Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 2

SISTEM HUKUM INDONESIA

Dikerjakan Oleh :

NAMA : MUHAMMAD TEDUH ALFIAN

NIM : 043104018

PRODI : ILMU HUKUM, FHISIP (Fakultas Hukum, Ilmu Sosial,


dan IlmuPolitik)

UNIVERSITAS TERBUKA

2023
Soal 1

Eksistensi DPD dimunculkan pertama kali dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang


Dasar 1945 tahun 2001. Ketentuan-ketentuan terkait fungsi DPD sebagaimana yang
dicantumkan dalam Pasal 22 D UUD 1945. Namun sebenarnya apabila dicermati isi
ketentuan Pasal 22 D UUD 1945 dapat dikatakan bahwa fungsi DPD terkait legislasi,
kontrol, bugeting dan/atau rekrutmen adalah bersifat terbatas.

Silakan anda buktikan bahwa isi Pasal 22 D UUD 1945 menunjukkan fungsi DPD terkait
legislasi, kontrol, budgeting dan/atau rekrutmen adalah terbatas.

Jawaban:

Eksistensi DPD dimunculkan pertama kali dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang


Dasar 1945 tahun 2001. Ketentuan-ketentuan yang mengatur DPD itu secaraberurutan
adalah sebagai berikut.

1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum (Pasal 22 C ayat (1)).
2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 22 C ayat (2)).
3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 22 C ayat
(3)).
4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang
(Pasal 22 C ayat (4)).
5. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta pengembangan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22 D ayat (1)).
6. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, seperti perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang- undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat (2)).
7. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti(Pasal 22 D ayat
(3)).
8. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang (Pasal 22 D ayat (4)).

Mencermati untaian ketentuan di atas, nampak terlihat jelas, seperti yang telah penulis
beri tanda dengan garis bawah dan huruf miring, DPD itu hanya "kepanjangan tangan
DPR". DPD "tidak utuh" (kalau kata "tidak" saja dirasa terlalu berlebihan) memiliki
fungsi-fungsi keparlemenan pada umumnya seperti fungsi legislasi, kontrol, budgeting
dan/atau bahkan rekrutmen.

Ketidakutuhan fungsi legislasi dapat terlihat dari ketentuan Pasal 22 D ayat (1), dimana
DPD hanya dapat 34 mengajukan RUU kepada DPR, walaupun menurut Pasal 22D ayat
(2) nya menyebut dapat ikut membahas RUU untuk bidang-bidang tertentu, tapi
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 5 UUD 1945 itu sendiri, DPR lah badan pemegang
kekuasaan membentuk Undang-undang itu bersama-sama dengan Pemerintah (tanpa ada
perubahan apapun walaupun sudah muncul DPD). Dengan demikian DPD tidak
mempunyai hak memutuskan atau pun menolak suatu RUU seperti halnya DPR dan/ atau
Pemerintah.

Jadi berdasarkan konstuksi beberapa ketentuan di atas kalau DPD mau mengusulkan
RUU (tidak juga tidak apa-apa karena bukan merupakan kewajiban) mekanismenya
adalah sebagai berikut:

1. DPD menyusun RUU;


2. RUU diajukan kepada DPR;
3. DPR beserta Pemerintahlah penentu gol tidaknya RUU itu tanpa keikutsertaan DPD.
Sedangkan wewenang DPD tentang pengawasan tertera di dalam UUD 1945 Pasal
23F(1) dan UU No.22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 45, di dalam sistematikanya dilukiskan seperti
terlampir. (Sumber : DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD
1945, Ginandjar Kartasasmita 22 Juni 2004).

Demikian pula untuk fungsi kontrol, walaupun menurut Pasal 22 D ayat (3) DPD (lagi-
lagi) dapat melakukan pengawasan, namun hasil pengawasan DPD itu ternyata tidak
dapat ditindaklanjuti oleh DPD sendiri tapi DPR lah yang menentukan akan
ditindaklanjuti atau tidak hasil pengawasan DPD tersebut. Begitu juga untuk fungsi
budgeting, DPD ini hanya "memberikan pertimbangan" kepada DPR atas RUU APBN.
Apalagi untuk fungsi rekrutmen seperti halnya dengan fungsi senat di Amerika dimana
DPD ini disebut-sebut sebagai senatnya Indonesia yang mempunyai wewenang
memberikan pertimbangan dan persetujuan dalam pengangkatan duta, konsul, menteri,
hakim federal dan pejabat-pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang, sama
sekali tidak dimiliki oleh DPD.

Analisis penulis di atas, diakui pula oleh ketua DPD periode 2004-2009 Ginanjar
Kartasasmita yang menyatakan bahwa wewenang DPD terbatas, baik di bidang legislasi,
pengawasan, maupun anggaran. Itu pun hanya bisa dilaksanakan melalui "pintu" DPR
sehingga DPD akan terus bergantung kepada DPR dalam bekerja. Kondisi ini
menyebabkan DPD memiliki ruang gerak dan medan perjuangan terbatas dan dibatasi,
baik oleh konstitusi maupun sikap politik DPR. Gambaran ini sangat paradoks dengan
tingkat legitimasi anggotanya yang jauh melebihi anggota DPR, baik karena anggota
DPD itu dipilih langsung oleh rakyat maupun karena jumlah pemilihnya yang jauh
melampaui jumlah pemilih anggota DPR. Sebagai contoh terdapat 11 orang anggota
DPD dipilih oleh masing-masing lebih dari satu juta, sedangkan dari 550 anggota DPR
hanya ada dua orang yang memenuhi BPP yang jumlahnya berkisar 200.000 suara. 35
Padahal menurut Bagir Manan,36 dibalik kelahiran DPD ini terdapat dua gagasan.
Pertama, untuk mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar (bicameral).
DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat
sebagi Perwakilan negara bagian (DPD), terdiri dari yang dan House of Representatives
sebagai perwakilan seluruh rakyat (DPR). Kedua, gagasan untuk meningkatkan
keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. (BRK)

Soal 2

Buktikan bahwa perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga yang dilakukan salah satu
pesero CV CM tanpa persetujuan dari pesero lain adalah sah berdasarkan ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata!

Pasal 1320 ayat (1) KUH PerdataPasal 1320 ayat (1) menyatakan salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”.
Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Berdasarkan pasal
dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas
konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan
berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka
perjanjian yang dibuattidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat
dipaksa untuk memberikansepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut
Contradictio interminis, adanyapaksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.Adanya
enga nis dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat
perjanjian.sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt
servanda menjadikekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral,
tetapi juga kewajibanhukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim
maupun pihak ketiga tidakboleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak
tersebut.Perkataan “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang enga
n dikenalmaupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan enga
nisi perjanjian,yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan.
Perjanjian yang dibuatsesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan
mengikat (Badrulzaman,2001:84). Maka dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa
syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: adanya kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya; Tuan Alimeminjam uang dari Nn. Barbie sebesar Rp. 400
juta sebagaimana tertuang didalam aktapengakuan hutang No. 22 yang dibuat dihadapan
notaris pada tanggal 10 Januari 2017 dan uang tersebut harus dikembalikan selambat-
lambatnya tanggal 10 April 2017, kecakapanuntuk membuat suatu perikatan;. Suatu
pokok persoalan tertentu;, suatu sebab yang tidak terlarang.

Soal 3

Silakan dianalisis cara menentukan perbuatan “penyalahgunaan wewenang” yang


dilakukan oleh pejabat pemerintah berkualitas sebagai mal-adminstrasi, dengan indikator
yang digunakan adalah :

1. Ketentuan perundang-undangan, yakni UU No. No.30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan.
2. Asas Spesialitas dalam pemberian wewenang.

Jawaban:

1. Perkara korupsi saat ini merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk
dibicarakan.Apalagi jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan
yang terkenaldan memiliki image bersih dan merakyat. Tindak pidana
korupsi oleh pejabatpemerintah kebanyakan diawali dengan adanya
penyimpangan administratif.Patokan untuk melihat hal tersebut yang pertama adalah
apakah ada samenhang antaraklausula yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan administratif dengankerugian yang menjadi konsekuensinya.
Sebagai contoh PP No. 10 Ta hun 2000 yang menyeret anggota DPRD karena
menafsirkan kata “dan lain-lain” untuk membayarkan premi asuransi para
anggota DPRD tersebut. Dimana jika terjadikerugian keuangan negara maka sudah
dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidanakorupsi. Kedua adalah mengenai
pertanggung jawaban terhadap penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan
terjadinya tindak pidana korupsi. Pertanggungjawaban tersebut menurut Hukum
Administrasi merupakan tanggungjawab yang bersifat tunggal yang artinya top
leaderlah yang menjadi pelaku utamanya.
Ketiga adalah kata “dapat” dalam frasa “dapat menimbulkan kerugian keuangan ne-
gara dan perekonomian negara”. Penjelasan diatas dirumuskan sebagai delik
formil,yaitu adanya tindak pidana korupsi terjadi karena sudah dipenuhi unsur-unsur
yangsudah dirumuskan oleh delik, tidak didasarkan pada timbulnya akibat. Penjelasan
iniberarti, adanya potensial loss saja sudah memiliki unsur yang cukup untuk
membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi.Kewenangan atau wewenang memiliki
kedudukan penting dalam kajian hukum tatanegara dan hukum administrasi.
Penyalahgunaan wewenang dianggap sa- ma dengan unsur melawan hukum.
Sepertikita ketahui bahwa Unsur "melawan hukum" merupakan "genus"nya,
sedangkanunsur "pe- nyalahgunaan wewenang" adalah "species" nya.
"Penyalahgunaanwewenang" subjek deliknya adalah pegawai negeri atau
pejabat publik, berbedadengan unsur "melawan hukum" subjek deliknya setiap
orang.`Dalam pemberian suatu kewenangan kepada orang/badan dapat
menimbulkanmasalah baru yaitu penyalahgunaan kewenangan. Pengertian
mengenaipenyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat
diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan
yangbertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentinganpribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalahbenar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang
dari tujuankewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-
peraturan lainnya;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yangseharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telahmenggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Berdasarkan hal diatas, konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum


Adiministrasi Negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Detournement de pouvoir atau melampaui wewenang/batas kekuasaaan


Menurut Wiktionary, “melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di
luarwewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan
tertentu. 18Berdasarkan pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang
No. 37 Tahun 2008tentang Ombudsman Republik Indonesia yang
menguraikan unsur dari pemenuhansuatu tindakan administrasi point
kedua: “yang melampaui wewenang, ataumenggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenangtersebut, atau termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalampenyelenggaraan
pelayanan publik”19
b) Abuse de droit atau sewenang-wenang.
Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-
wenang), yaituperbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar
lingkungan ketentuanperundang-undangan. Pendapat ini mengandung
pengertian bahwa untuk menilaiada tidaknya penyalahgunaan wewenang
dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang
tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindaksewenang-wenang juga dapat
diartikan menggunakan wewenang (hak dankekuasaan untuk
bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan
dimaksud bertentangan dengan ketentuan.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya


ketidaksahan(cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/
penyelenggaranegara. Cacat hukum keputusan dan/atau tindakan pemerintah/
penyelenggaranegara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur
kewenangan,unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat
hukum tindakanpenyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga
macam, yakni: cacatwewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga
hal tersebutlah yangmenjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


Pasal17 menyatakan bahwa (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dilarangmenyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan
Wewenangsebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. larangan melampaui Wewenang;


b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui


Wewenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan
dan/atauTindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan


Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila
Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau


b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-


wenangsebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan
dan/atauTindakan yang dilakukan:

a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau


b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2. Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan
atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan
maksud“diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai
dengan“tujuan dan maksud“ diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan
wewenangtersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud“ pemberian wewenang
itu makatelah melakukan penyalahgunaan wewenang (“détournement de
pouvoir”).Parameter “tujuan dan maksud“ pembe- rian wewenang dalam menentukan
terjadinyapenyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialitas
(specialialiteitsbeginsel).Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam
bukunya yang berjudul DeVrij- heid Van De Overheid. Secara substansial
specialialiteitsbeginsel mengandungmakna bahwa setiap kewenangan memiliki
tujuan tertentu. Dalam kepustakaanhukum administrasi sudah lama dikenal asas
zuiverheid van oogmerk (ketajaman arahatau tujuan). Menyimpang dari asas ini akan
melahirkan “détournement de pouvoir”.Penyalahgunaan wewenang dalam terdiri dari:
A. Diskresi
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan
pemahamanten- tang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan
cara melihat ruanglingkupnya. Ke- kuasaan bebas atau kekuasaan
diskresi meliputi: (a)kewenangan untuk memutus sendiri,(b)
kewenangan interpretasi terhadapnorma-norma tersamar atau vage normen
(Philipus M. Hadjon, 2004:6).Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip
dari W. Konijnenbelt menyatakan bah wa untuk mengukur
penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai
berikut: (a) unsur menyalahgunakan ke- wenangan dinilai adatidaknya
pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup
dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat
alternatif. (b) Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau
zorgvuldigheid ini diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas
Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan
peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan
ke- adaantertentu yang mendesak sifatnya (Indriyanto Seno Adji, 2009:75-
76).Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat
menggunakanperaturan perundang-undangan (written rules), atau
menggunakan parameterasas lega- litas; sedangkan pada kewenangan
bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-
asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah
memadai.

B. B. Cacat Prosedur
Di dalam hukum administrasi asas legali- tas/keabsahan
(legaliteitbeginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup 3 (tiga) aspek yaitu:
wewenang,prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun
substansi harusberdasarkan peraturan perundang-undangan (asas
legalitas), karena padaperaturan perundang-undangan tersebut sudah
ditentukan tujuan diberikannya wewe nang kepada pejabat administrasi,
bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang
substansinya.Di dalam praktik peradilan sering dipertukarkan/dicampur
adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur yang
seolah-olah cacatprosedur itu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang
(Nur Basuki Minarno,2009:82-85)
Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang
lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping
berakibat padapencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi
pidana jika denganpenyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian
negara.

Referensi:

BMP ISIP4 1 3 1 SISTEM HUKUM INDONESIA, PENERBIT


UNIVERSITAS TERBUKA.
MODUL 5, HUKUM PERDATA
MODUL 6, HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Anda mungkin juga menyukai