Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KE-2

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh:

NAMA: MUHAMMAD TEDUH ALFIAN


NIM : 043104018
PRODI: ILMU HUKUM / S1

UNIVERSITAS TERBUKA MATARAM


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2023
1. Soal Polemik Aset Akademi TNI, Pemkot Magelang Akan Ikuti Keputusan
Presiden Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang, Jawa Tengah, akan mengikuti keputusan
Presiden Joko Widodo terkait polemik aset eks Mako Akabri. "Iya jelas. Kami
menyerahkan kepada Bapak Presiden, karena Bapak Presiden adalah kuasa pengelola aset
negara, jadi semua aset negara ini di bawah kewenangannya," kata Sekretaris Daerah
Kota Magelang, Joko Budiyono, kepada wartawan, Jumat (27/8/2021). Joko mengaku
telah melayangkan surat ke Istana tidak lama setelah logo TNI terpasang di muka atas
gedung kantor Wali Kota di Jalan Sarwo Edhie Wibowo Kota Magelang, Rabu
(26/8/2021) lalu. Surat itu juga ditujukan untuk Wakil Presiden, Ketua DPR RI,
Menhankam, Panglima TNI, Mendagri, Menkeu, Gubernur Jawa Tengah, DPRD Tingkat
I dan Kementerian Pertanahan. "Langsung kemarin tanggal 26 Agustus 2021 sudah kita
kirim langsung lewat kurir (utusan), langsung tidak via pos atau via jasa pengiriman,
langsung kami kirim kurir ke Bapak Presiden," kata Joko. Joko mengungkapkan, surat
yang ditujukan kepada presiden itu berisi permohonan bantuan penyelesaian polemik aset
yang melibatkan Akademi TNI tersebut. Dia berharap, pemerintah pusat bisa turun
tangan agar polemik ini tidak berkepanjangan. Ia pun melampirkan dasar dan penjelasan
historis bagaimana Pemkot Magelang bisa menempati tanah dan bangunan eks Mako
Akabri sejak 1 April 1985 itu. "Isi surat ke presiden, mohon penyelesaian permasalahan
aset ini, dimana permohonan kami ini didasarkan kepada prasasti dan dokumen-dokumen
serah terima aset dari Dephan ke Mendagri pada tahun 1985 lalu," ujarnya. Joko
menyatakan, siap dan menerima apa pun keputusan Presiden nantinya.

Pertanyaan: Bandingkanlah kekuatan hukum mengikat antara Keputusan Presiden dan


Peraturan Presiden.

JAWABAN:

Sebelum berlakunya UU 10/2004 (yang saat ini sudah dicabut dan diganti dengan UU
12/2011 dan perubahannya), keputusan presiden dikenal sebagai peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur di dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap MPR
No. III/MPR/2000. Hal ini juga ditegaskan oleh Maria Farida Indrati S. dalam buku
Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan bahwa keputusan
presiden dapat merupakan pengaturan secara langsung berdasarkan atribusi Pasal 4 ayat
(1) UUD 1945, yang disebut sebagai keputusan presiden yang mandiri. Selain itu,
terdapat pula keputusan presiden yang bersifat pelimpahan wewenang (delegasi) dari
peraturan pemerintah atau undang-undang untuk dilaksanakan. Keputusan presiden tidak
selalu merupakan keputusan yang bersifat penetapan dan berlaku sekali selesai
(einmahlig) tetapi juga keputusan presiden yang bersifat mengatur dan berlaku terus
menerus (dauerhafting). Namun demikian, dengan berlakunya UU 10/2004 (yang saat ini
sudah dicabut dan diganti UU 12/2011 serta perubahannya), istilah keputusan presiden
yang bersifat mengatur ini disebut dengan peraturan presiden. Artinya, saat ini keputusan
presiden yang berlaku adalah yang bersifat penetapan/keputusan (beschikking). Disarikan
dari artikel Perbedaan Peraturan dan Keputusan dijelaskan keputusan bersifat
individual, konkret, dan sekali selesai. Sementara peraturan (regeling) bersifat abstrak,
umum, dan terus menerus. Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 dijelaskan
bahwa keputusan tata usaha negara adalah: penetapan tertulis, dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara, berisi tindakan hukum tata usaha negara, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final,
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Sementara,
menurut Pasal 175 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 7 UU
Administrasi Pemerintahan mendefinisikan keputusan administrasi pemerintah atau
keputusan tata usaha negara adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi,
keputusan presiden yang sudah ada sebelum berlakunya UU 10/2004. (yang saat ini
sudah dicabut) dan UU 12/2011 yang sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai
peraturan. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus
dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Apabila dalam suatu keputusan presiden terdapat kepentingan seseorang atau badan
hukum perdata yang dirugikan, maka dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan
Tata Usaha Negara yang berisi tuntutan agar keputusan dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi. Sebagai contoh keputusan
presiden adalah Keppres 7/2020 tentang gugus tugas percepatan penanganan COVID-19

Lantas, apa itu peraturan presiden? Peraturan presiden adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggaakan kekuasaan
pemerintahan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, peraturan presiden masuk dalam
hierarki peraturan peraturan perundang-undangan. Sementara, materi muatan peraturan
presiden adalah: materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk
melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan. Salah satu contoh peraturan presiden adalah Perpres 10/2021
tentang bidang usaha penanaman modal. Apabila terdapat pihak-pihak yang dirugikan
atas norma dalam peraturan presiden, maka dapat mengajukan judicial review ke
Mahkamah Agung (“MA”), sesuai dengan kewenangan MA untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana
diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Perbedaan Kekuatan Hukum
Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden Selanjutnya, menjawab pertanyaan
Anda yang kedua mengenai bandingkanlah kekuatan hukum mengikat antara keputusan
presiden dan peraturan presiden, dapat kami sampaikan bahwa. Apabila keputusan
presiden tersebut bersifat konkret, individual, final atau sekali selesai, maka isi keputusan
hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu ang disebut dan mengenai
hal yang diatur dalam keputusan presiden tersebut. Serta jika keputusan presiden tersebut
berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus, yang dikeluarkan sebelum
berlakunya UU 10/2004 dan UU 12/2011, maka keputusan presiden tersebut dianggap
sebagai peraturan dan berlaku untuk semua orang sampai keputusan presiden tersebut
dicabut atau diganti dengan aturan baru. Artinya kedudukan keputusan presiden yang
bersifat mengatur (regeling) dan dikeluarkan sebelum berlakunya UU 10/2004 dan UU
12/2011 sama dengan peraturan presiden. Peraturan presiden berisi muatan yang bersifat
umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus. Semua orang terikat dengan peraturan
presiden tersebut sampai peraturan tersebut dicabut atau diganti dengan yang baru.

Sumber: https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-kekuatan-hukum-keputusan-
presiden-dengan-peraturan-presiden

2. PEMERINTAH melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan
Front Pembela Islam (FPI). Kepala Kepolisian RI menindaklanjutinya dengan
menerbitkan Maklumat Nomor Mak/1/I/2021 yang mengatur kepatuhan terhadap
larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian FPI pada Jumat, 1
Januari 2021. Secara substansi materi muatan maklumat ini justru terlihat lebih mengikat
dan operasional dibandingkan dengan SKB karena mengatur hal-hal sebagai berikut.
Pertama, masyarakat diminta tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
mendukung dan memfasilitasi kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut FPI.
Kedua, masyarakat diminta melaporkan kepada aparat apabila menemukan kegiatan,
simbol, dan atribut FPI. Ketiga, mengedepankan Satpol PP dengan dukungan TNI-Polri
untuk melakukan penertiban spanduk, atribut, pamflet. Keempat, masyarakat dilarang
mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website
maupun media sosial.

Pertanyaan:

a. Berdasarkan artikel di atas, berikan analisis anda mengenai kedudukan Maklumat


Polri dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
b. Berikan analisis anda apakah Surat Keputusan Bersama yang dibuat oleh Menteri
Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika,
Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) dapat dikategorikan sebagai Keputusan Menteri.

JAWABAN:

a. Empat rumusan materi maklumat tersebut memiliki muatan yang bersifat mengatur
bahkan membatasi hak asasi karena berisikan larangan untuk melakukan sesuatu,
perintah, dan melahirkan norma baru soal relasi Satpol PP, TNI, dan Polri layaknya
undang-undang. Sedangkan maklumat sendiri jika merujuk Kamus Besar Bahasa
Indonesia memiliki arti pemberitahuan; pengumuman. Lalu pertanyaan normatif
teoritisnya adalah, apakah produk hukum selain undang-undang dapat memiliki materi
muatan yang mengatur dan pembatasan atas hak asasi layaknya undang-undang? Tertib
Hukum Guna mendukung tegaknya prinsip negara hukum (rechtsstaat dan rule of law),
maka peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan dua tertib. Pertama, tertib
dasar peraturan perundang-undangan terkait dengan asas, jenis, hierarki, dan materi
muatan. Kedua, tertib pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan
tahapan pembentukan undang-undang (perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan) Ditinjau dari tertib dasar peraturan
perundang-undangan maklumat bermasalah secara jenis, hierarki dan materi muatan.
Maklumat bukanlah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan (UU Nomor 12 Tahun 2011), yang menyebutkan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945; Ketetapan
MPR; UU/Perpu; PP (Peraturan Pemerintah); Peraturan Presiden (Perpres); Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi; dan Perda Kabupaten/ Kota. Juga tidak ditemukan dalam Pasal
8 jenis peraturan perundang-undangan lain. Keberadaan hierarki peraturan perundang-
undangan memiliki arti penting mengingat hukum adalah sah jika hukum tersebut
dibentuk atau disusun oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dengan berdasarkan
norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah tidak akan bertentangan dengan
norma yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu kaidah hukum yang berjenjang. Adanya
kejelasan letak kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah
dalam rangka kemudahan pengujian atas keabsahan (validitas). Dalam konsep negara
hukum demokratis, setiap pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat
maupun daerah harus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya kepada rakyat. Hal ini
juga berkonsekuensi pada mekanisme pengujiannya validitas norma di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung yang harus jelas jenis dan hierarkinya. Pada posisi
inilah pengujian maklumat menjadi dipertanyakan. Keberadaan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan juga berakibat terhadap materi muatan karena setiap jenis
peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya
didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga materi yang
menurut ketentuannya harus diatur dengan undang-undang itu tidak dapat dan tidak
dibenarkan diatur dengan jenis atau bentuk peraturan lain, misalnya dengan PP, atau
Keputusan Presiden, begitu juga sebaliknya. Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2011
menyebutkan materi muatan undang-undang berisi: 1) pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan UUD NRI Tahun 1945; 2) perintah suatu undang-undang; 3) pengesahan
perjanjian internasional; 4) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; 5)
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas hal inilah materi muatan undang-
undanglah yang lebih tepat mengatur larangan, perintah, melahirkan norma baru bahkan
dapat menetapkan pembatasan untuk menjamin serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain yang saat ini tercermin pada isi maklumat Kapolri. Oleh karena
maklumat bermasalah secara asas, jenis, hierarki dan materi muatan, maka maklumat
tentu tidak memenuhi tertib pembentukan peraturan perundang-undangan dan saat ini
mekanisme pembentukannya tidak diatur dalam undang-undang. Berdasarkan hal itulah
dapat dikatakan maklumat Kapolri cacat secara formil dan materiil. Sehingga perlu ada
koreksi dan meninjau ulang wadah hukum yang digunakan jika pilihan pengaturan itu
masih dikehendaki. Di saat yang sama lembaga negara perlu menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya menjaga tertib peraturan perundang-undangan agar ada kepastian
hukum.

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/293556/18/maklumat-kapolri-dan-tertib-
perundang-undangan-1610020874

Anda mungkin juga menyukai