Anda di halaman 1dari 56

RANGKUMAN BIOMOLEKUL

Dosen Pengampu: Dr. rer. nat. Senam M. Si

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR)


Polymerase Chain Reaction (PCR) pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 (USA)
oleh Kary B. Mullis. Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah reaksi amplifikasi/ penggandaan
molekul DNA secara in-vitro dengan menggunakan bantuan enzim Taq-Polymerase yang
dilakukan secara berulang-ulang menggunakan mesin thermal cycler (mesin PCR).

Gambar 1. mesin thermal cycler (mesin PCR).


Pada proses PCR yang dilakukan secara berulang-ulang adalah proses terjadinya
pemisahan untai ganda DNA menjadi untai tunggal, hibridisasi primer untuk mengawali replikasi
DNA dilanjutkan dengan proses penambahan basa pada cetakan DNA oleh enzim Taq-
Polymerase, untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan suatu tabung PCR yang bersifat reponsif
dengan perubahan suhu dan mesin thermal cycler, dimana suatu mesin yang mampu menaikkan
ataupun menurunkan suhu dengan cepat, dan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat
reaksi PCR. Amplifikasi DNA pada PCR dapat dicapai apabila menggunakan primer
oligonukleotida yang disebut amplimers. PCR itu sendiri didasari pada amplifikasi enzimatik
fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer dengan
ujung 5’ dari kedua untaian sekuensi target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer
(primer PCR) untuk memungkinkan DNA template disalin oleh DNA polymerase (Nasir, 2002).
Gambar 1. Tahapan PCR

Menurut (Chen & Janes, 2002) menyebutkan amplifikasi dari PCR dapat dikategorikan
menjadi empat kategori yaitu sebagai berikut.
1. Standard PCR, meliputi amplifikasi dari sekuens DNA tunggal yang ukurannya kurang dari 5
kb. PCR jenis ini dapat digunakan untuk beberapa aplikasi seperti: sekuensing siklus, kloning,
dan deteksi mutasi.
2. Long PCR, digunakan untuk amplifikasi dari sekuens tunggal DNA dengan ukuran antara 5
kb sampai 40 kb. Aplikasinya meliputi sekuensing rantai panjang seperti: amplifikasi dari
genom lengkap, untuk deteksi berbasis PCR dan diagnosis dari peristiwa delesi dan insersi
yang bermakna secara klinik, kloning molekular dan lain sebagainya.
3. Multiplex PCR, digunakan untuk amplifikasi dari sekuens DNA multiple dengan ukuran
kurang dari 5 kb. PCR jenis ini biasa digunakan dalam beberapa aplikasi seperti: studi
forensik, identifikasi patogen, analisis pautan, kuantifikasi cetakan template, diagnosis
penyakit genetik, dan lain sebagainya.
4. Degenerated PCR, adalah teknik PCR yang menggunakan primer hasil degenerated dan
belum ditambahkan enzim restriksi, adaptor, atau histidin taq.

Komponen dari PCR terdiri dari:


1. Cetakan DNA (DNA Template).
Kualitas dan konsentrasi dari cetakan DNA memberikan pengaruh secara langsung terhadap
hasil PCR. Untuk amplifikasi DNA genom, dapat digunakan 100 – 500 ng cetakan DNA.
Dapat dilakukan pemurnian untuk meningkatkan kualitas cetakan DNA yang digunakan untuk
PCR, baik dengan menggunakan kit ataupun dengan metode pemurnian standar (Sambrook &
Russell, 2001).
2. Enzim taq-DNA polymerase
Taq-polimerase biasa digunakan karena sifatnya yang termostabil. Taq-DNA polimerase
dimurnikan dari bakteri gram negatif Thermus aquaticus. Konsentrasi yang biasa digunakan
adalah 2.5 unit per 100 μL atau dapat dilakukan optimasi dengan dengan rentang konsentrasi
0,5-5 unit per 100 μl.
3. Empat jenis deoksinukleotida trifosfat (dNTP : dATP, dTTP, dGTP,dCTP).
4. Satu pasang oligonukleotida primer
Primer adalah adalah untai nukleotida yang menyediakan gugus 3’OH pada ujungnya. Primer
sangat diperlukan karena DNA polimerase hanya dapat menambahkan nukleotida pada gugus
3’OH (Karp, 2008). Ukuran yang optimal untuk primer biasanya berkisar antara 18-28
nukleotida. Ukuran primer yang lebih pendek biasanya kurang spesifik namun menghasilkan
PCR yang lebih efisien, sebaliknya primer yang lebih panjang akan meningkatkan spesifitas
dan menurunkan efisiensi PCR. Spesifitas menunjukkan frekuensi terjadinya kesalahan
primer, sedangkan efisiensi adalah jumlah produk PCR yang dapat dihasilkan dari sekian
siklus PCR yang dilakukan. Satu pasang primer terdiri dari primer forward dan primer
reverse. Primer forward berfungsi sebagai penambah gugus 3’OH pada proses amplifikasi
oleh DNA polimerase pada rantai antisense DNA, sedangkan primer reverse berfungsi pada
pada rantai sense DNA
5. Kation divalen (biasanya Mg2+).
Konsentrasi dari magnesium berpengaruh pada keberhasilan PCR. Konsentrasi yang
digunakan berkisar antara 0,5 – 5 mg. Konsentrasi magnesium yang berlebih akan
mengakibatkan akumulasi dari hasil amplifikasi yang tidak spesifik yang akan terlihat pada
agarose elektroforesis (pita), sebaliknya ketika terjadi kekurangan magnesium akan
mengakibatkan menurunnya kualitas amplifikasi PCR.
6. Larutan dapar.
Dapar PCR 10×: 500 mM KCl, 100 mM Tris-HCl, pH 8.3, 25°C.
Proses PCR terdiri dari serangkaian siklus temperatur (pemanasan dan pendinginan) yang
selalu terulang setiap 30-40 siklus dan berlangsung cepat yang terdiri atas tahapan sebagai
berikut:

Gambar 2. Siklus PCR


1. Pra denaturation dan Denaturasi (denaturation) adalah dua untai dari cetakan DNA yang
terpisah antara satu dan lainnnya. Untuk meyakinkan bahwa molekul DNA terdenaturasi
menjadi DNA untai tunggal dilakukan sebelum enzim taq polimerase ditambahkan ke dalam
tabung reaksi, berlangsung sekitar 3 menit,. Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan
DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini
mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama dapat
mengurangi aktifitas enzim Taq polymerase. Aktifitas enzim tersebut mempunyai waktu
paruh lebih dari 2 jam, 40 menit, 5 menit masing-masing pada suhu 92,50C; 950C dan 97,50C.
2. Penempelan (annealing) adalah kriteria yang digunakan untuk merancang primer yang baik
primer sebaiknya berukuran 18-25 basa, yang mengandung 50-60 % G+C dan untuk kedua
primer tersebut sebaiknya sama. Sekuens DNA masing-masing primer sebaiknya tidak saling
berkomplemen, karena mengakibatkan terbentuknya struktur sekunder pada primer tersebut
dan mengurangi efisiensi PCR. Waktu yang digunakan annealing 30-45 detik. Semakin
panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran temperatur penempelan antara
360C-720C, namun suhu yang biasa digunakan adalah 500C -600C dan temperatur tahap ini
disesuaikan dengan TM atau temperature melting dari primernya.
3. Pemanjangan (elongation/extention) temperatur ± 68-72 ºC, temperatur yang optimal bagi
enzim polimerase untuk mensintesis untai DNA yang kedua (Sambrook & Russell, 2001;
Chen & Janes, 2002). Selama tahap ini Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang
DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim pada suhu 720C
diperkirakan 35-100 nukleotida/detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan
molekul DNA target. Maka untuk produk PCR dengan panjang 2000 pasang basa, waktu 1
menit sudah lebih dari cukup pada tahap perpanjangan primer. Biasanya di akhir siklus PCR
waktu yang digunakan pada tahap ini diperpanjang sampai 5 menit sehingga seluruh produk
PCR diharapkan terbentuk menjadi DNA untai ganda.
Reaksi di atas diulangi lagi dari 25-30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan
diperoleh molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil dari polimerasi dalam jumlah
yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya
siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target dalam campuran reaksi. Produk PCR
dapat diidentifikasikan melalui ukuran menggunakan elektroforesis gel agarosa. Metode ini
terdiri dari menginjeksi DNA ke dalam gel agarosa dan menyatukan gel tersebut dengan listrik.
Hasilnya untai DNA kecil pindah dengan cepat dan untai yang besar diantara gel menunjukkan
hasil positif.

Gambar 1. Bagan proses PCR


Optimasi PCR
Untuk mendapatkan optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi
yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor
seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs, MgCl2
dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu.
Aplikasi PCR :
1. Bidang Penelitian gen
Studi pola ekspresi gen : gen individu yg bermasalah, dapat
diketahui dari PCR. Selain itu, Analisis kromosom : jika memiliki
kelainan kromosom dapat dideteksi dengan PCR, atau jenis kelamin
pada janin.
2. Bidang Mikrobiologi
3. Bidang Virologi
Untuk mendeteksi suatu virus, contohnya pada tanaman
menggunakan teknik PCR dengan primer degenerate dan spesifik.
Dapat juga pada binatang, contohnya kepiting.
4. Bidang Mikrobiologi
5. Bidang Kedokteran
Diagnosis penyakit dalam hitungan jam dengan hasil yang
akurat. Contohnya diagnosis penyakit infeksi malaria dan TBC.
6. Bidang Forensik
-muncul sidik jari berbasis PCR
-pengujian sidik jari dna dengan metode paternitas (jalur
keluarga)
-pengujian dna pada punting rokok,helai rambut, dll.
Langkah analisis : pengambilan sampel (harus menggunakan
sarung tangan), dna disimpan dalam kertas bukan plastic karna rentan
thd jamur, preparasi sampel
7. Bidang Lingkungan
8. Bidang Mikologi dan parasitologi
Hanya memiliki dna, untuk identifikasi awal mikroorganisme
dapat juga mendiagnosis scr efisien dan pengobatan infeksi jamur
dan parasit.
9. Bidang Kedokteran gigi
Untuk mendeteksi penyakit-penyakit dan infeksi mikroba
untuk membantu penyembuhan secara maksimal.
CLONING (KLONING)

A. Pengantar Kloning
Kloning menurut istilah berasal dari kata cloning, yang diartikan sebagai suatu usaha
untuk menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses yang aseksual (Soetandyo
Wignjosoebroto, 1997) atau kloning berarti penggandaan atau membuat kopian/fotokopi dari
suatu makhluk dengan cara nonseksual. Istilah tersebut awalnya dipakai dalam dunia tanaman,
yang berarti sekumpulan tanaman yang didapatkan dari proses pembiakan vegetatif ataupun
pembiakan tanpa perkawinan seperti pembiakan yang menggunakan stek atau cangkok. Kloning
dalam bidang genetika merupakan replikasi segmen DNA tanpa melalui proses seksual.
Ada beberapa langkah dasar dalam proses kloning gen yaitu sebagai berikut :
1. Suatu fragmen DNA yang mengandung suatu gen akan diklon serta diinsersikan pada suatu
molekul DNA sirkular yang disebut vektor sehingga menghasilkan suatu chimoera atau
disebut sebagai molekul DNA rekombiner.
2. Vektor bertindak sebagai wahana dimana vector yang membawa gen masuk kedalam sel tuan
rumah ( host ) yang biasanya berupa bakteri, walaaupun sel-sel jenis lain dapat di gunakan.
3. Didalam sel host, vektor mengadakan replikasi sehingga vector tersebut dapat menghasilkan
banyak kopian atau turunan yang identik, baik vektor sendiri ataupun gen yang dibawanya.
4. Ketika sel host membelah, maka kopi dari molekul DNA rekombinasi dapat diwariskan pada
progeni dan akan terjadi replikasi vektor selanjutnya.
5. Setelah itu akan terjadi sejumlah besar dari pembelahan sel, maka dapat dihasilkan pula
koloni atau klonsel host yang identik. Tiap-tiap dari sel tersebut dalam klon mengandung satu
kopi ataupun lebih molekul DNA rekombinasi dengan demikian dapat dikatakan gen yang
dibawa oleh molekul rekombinasi telah diklon.
Komponen penting dalam suatu eksperimen kloning gen adalah wahana yang membawa
gen tersebut masuk ke dalam sel tuan rumah dan bertanggung jawab atas terbentuknya replikasi.
Untuk dapat bertindak sebagai wahana pada suatu molekul DNA, DNA tersebut harus mampu
memasuki sel tuan rumah sehingga dapat mengadakan replikasi untuk menghasilkan salinan
dalam jumlah yang besar.
Dua jenis molekul DNA secara alamiah yang memenuhi persyaratansebagai berikut:
1. Plasmid, merupakan molekul DNA sirkuler yang terdapat didalam bakteri dan berbagai
organism-organisme lainnya. Plasmid dapat melakukan suatu replikasi dengan tidak
tergantung pada kromosom sel tuan rumah.
2. Krimosom virus, terutama bakteriofog, adalah virus yang harus menginfeksi suatu bakteri
pada saat infeksi molekul DNA bakteriofog virus diinfeksikan ke dalam sel tuan rumah,
kemudian DNA akan mengalami replikasi.
B. Kloning Plasmid

Plasmid merupakan DNA bakteri yang terisah dari kromosom bakteri dan plasmid dapat
bereplikasi sendiri. Plasmid juga mengandung berbagai jenis gen. tiap jenis (copy) plasmid
bervariasi antar sel yang stau dengan sel yang lainnya, bahkan antar sel dalam satu spesies
bakteri.

Gambar 1. Plasmid

Plasmid mulai digunakan sebagai vektor untuk mengklon gen tidak lama setelah David
Jackson, Robert Simon, dan Paul Berg berhasil membuat molekul DNA rekombinan pada tahun
1972. Dalam hal ini, plasmid digunakan sebagai pembawa fragmen DNA asing yang
dikombinasikan. Plasmid rekombinan pertama kali berhasil bereplikasi didalam suatu sel bakteri
yaitu plasmid pSC101 yang telah dikonstruksi oleh Stanley Cohen dan Herbert Boyer.

Gambar 1. Vektor berupa Plasmid


Contoh plasmid yang telah lama digunakan sebagai vektor untuk mengklon suatu gen
adalah plasmid pBR322. Plasmid pBR322 ini mengandung gen penyandi resistensi terhadap
ampisilin dan tetrasiklin. Pada gambar ditunjukkan adanya berbagai situs yang dapat dipotong
oleh enzim restriksi. Adanya gen resistensi terhadap antibiotik yang didalamnya mengandung
situs enzim restriksi yang berfungsi memberikan kemudahan dalam menyeleksi suatu plasmid
rekombinan atau memudahkan dalam menyeleksi klon bakteri yang telah membawa plasmid
rekombinan. Akan tetapi lebih mudah lagi dengan adanya enzim yang hanya memotong bagian-
bagian gen resistensi terhadap antibiotik. Misalnya saja, enzim PstI yang hanya akan memotong
plasmid pBR322 pada bagian gen resistensi terhadap ampisilin (gen ApR). Demikian pula
dengan enzim BamHI, enzim tersebut akan memotong plasmid pBR322 pada bagian gen
resistensi terhadap tetrasiklin (gen TetR).

Gambar 2. Berbagai situs yang dapat dipotong oleh enzim restriksi

Dari beberapa perangkat diatas yaitu enzim restriksi, enzim DNA ligase, dan plasmid,
memungkinkan kita untuk mengklonkan suatu gen ataupun suatu fragmen DNA. Sehingga, kita
dapat membuat suatu plasmid rekombinan (plasmid yang mengandung fragmen DNA asing) di
dalam suatu tabung reaksi. Apabila dikombinasikan dengan salah satu bakteri dengan cara
memindahkan DNA, yaitu dengan cara transformasi kita dapat memasukkan suatu plasmid
rekombinan tersebut ke dalam sel bakteri.

Tahapan utama dari mengklonkan suatu gen atau fragmen DNA adalah sebagai berikut.
1. Pemotongan DNA
Pertama-tama, dimana plasmid pBR322 dipotong di dalam tabung reaksi yang
menggunakan enzim PstI maka pBR322 akan terpotong pada bagian gen ApR.
2. Menyisipkan gen atau fragmen DNA
Apabila plasmid pBR322 sudah terbuka lingkarannya akan dicampur dengan potongan
DNA asing, kemudian ditambahkan enzim DNA ligase, maka kemungkinan hasilnya berupa
campuran yang berisi plasmid pBR322 yang tersambung kembali ataupun akan membentuk
lingkaran lagi seperti semula dan plasmid rekombinan yaitu plasmid pBR322 telah disisipi oleh
DNA asing.
3. Memasukkan DNA kedalam sel bakteri (transformasi)
Campuran kedua plasmid, dicampurkan dengan kumpulan sel bakteri hidup yang tidak
mempunyai plasmid. Sehingga diperoleh kemungkinan hasilnya berupa campuran yang berisi :
1) plasmid pBR322 tanpa sisipan yang terdapat pada sel bakteri, 2) plasmid rekombinan
(pBR322 yang telah disisipi DNA asingya) yang terdapat pada sel, 3) serta sel bakteri yang tidak
mengandung (tidak dimasuki) plasmid.
4. Seleksi klon
Seleksi klon bakteri yaitu suatu bakteri yang mengandung plasmid rekombinan.

Gambar 2. Tahapan klon DNA


C. Contoh Aplikasi Kloning
1. Kloning Gen pcbC dari Penicillium chrysogenum ke dalam Plasmid pPICZA untuk
Pengembangan Produksi Penisilin G dengan Tujuan: untuk memperoleh rekombinan
berupa fragmen gen pcbC yang disisipkan ke dalam Plasmid pPICZA
2. Kloning Gen Virulen Streptococcus agalactiae sebagai bahan dasar vaksin
rekombinan dengan Tujuan: untuk melakukan kloning gen virulen bakteri
Streptococcus agalactiae isolat lokal untuk mendukung pengembangan vaksin DNA
3. Kloning Gen Melanoma Antigen 1 (Mage-1) dari Jaringan Testis untuk Mendapatkan
Plasmid Rekombinan Mage-1 dengan Tujuan: untuk mengkloning area koding gen
Mage-1 dari jaringan testis pada vektor serta untuk mendapatkan plamid rekombinan
Mage-1
4. Pengklonan gen penyandi viral protein 15 (vp-15) wssv dan aplikasinya sebagai
vaksin rekombinan pada udang windu dengan tujuan: untuk mengisolasi dan
merekombinasikan gen penyandi vp-15 dari wssv sebagai vaksin dsrna
STRUKTUR GEN
W. Johannsen pada tahun 1909 menciptakan istilah gen. Gen adalah unit molekul DNA
atau RNA yang membawa informasi mengenai urutan asam amino lengkap suatu protein, atau
yang menentukan struktur lengkap suatu molekul rRNA (RNA ribosom) atau tRNA (transfer
RNA). Gen berfungsi mengatur perkembangan dan proses metabolisme serta menyampaikan
informasi genetika dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Setiap dari gen menempati lokus
tertentu yang tetap di dalam suatu kromosom. Lokasi dari gen di dalam kromosom disebut
dengan lokus (kromomer). Gen homolog adalah gen yang membawa sifat bagian tubuh yang
sama dan lokusnya bersesuaian di. Lokus tertentu dapat mengandung satu gen atau lebih.

Secara keseluruhan kumpulan gen-gen yang terdapat di dalam setiap sel individu organisme
disebut sebagai genom. Genom suatu organisme adalah kumpulan semua gen yang dimiliki oleh
organisme pada setiap selnya.

A. Struktur Gen Pada Manusia


Gen didefinisikan sebagai urutan-urutan kromosom DNA yang diperlukan untuk produksi
berbagai produk fungsiional, baik itu polipeptida atau mRNA. Pada gambar terlihat bahwa
sebuah gen tidak hanya mencakup urutan pengkodean sebenarnya akan tetapi urutan nukleotida
yang berdekatan dibutuhkan untuk ekspresi gen yang tepat. Urutan nukleotida yang berdekatan
menyediakan sinyal molekul “start” dan “stop” untuk sintesis dan transkripsi mRNA dari gen.
Pada ujung 5 adalah akhir sebuah transkripsi gen yang terletak didaerah promotor. Ada beberapa
jenis promotor ditemukan dalam genom manusia dengan sifat dan peraturan yang berbeda yang
menentukan pola perkembangan serta tingkat ekspresi dari gen tertentu di berbagai jaringan.

B. STRUKTUR GEN PROKARIOT


Pada prokariot gennya secara umum tersusun atas promoter, bagian struktural, dan
terminator.

Struktur Gen Prokariot


1. Promoter
Promoter adalah urutan DNA spesifik yang berperan dalam mengendalikan transkripsi gen
struktural dan terletak di daerah upstream (hulu) dari bagian struktural gen. Promoter berfungsi
sebagai tempat awal pelekatan enzim RNA polimerase yang nantinya melakukan transkripsi
pada bagian struktural. Pada prokariot bagian penting promoternya disebut sebagai Pribnow
Box yaitu pada urutan nukleotida -10 dan -35 atau biasanya berupa TATA box. Pribnow box
merupakan daerah tempat pembukaan heliks DNA untuk membentuk kompleks promotor
terbuka. Maka di TATA box itulah DNA dipisahkan dan jika di luar TATA box helix DNAnya
tetep akan berikatan.

2. Operator
Operator merupakan urutan dari suatu nukelotida yang terletak di antara promotor dan
bagian struktural yang merupakan tempatdari pelekatan protein represor (penekan atau
penghambat ekspresi gen). Jika ada suatu represor yang melekat pada operator maka RNA
polimerase yang mengarah ke ekspresi gen tidak akan bisa berlangsung.

3. Coding Region (Bagian Struktural)


Gen struktural merupakan bagian yang mengkode suatu dari urutan nukleotida RNA.
Transkripsi tersebut dimulai jika dari sekuens inisiasi transkripsi (ATG) sampai ke kodon stop
(TAA/TGA/TAG). Pada prokariot kita tidak akan menjumpai sekuens intron (yg tidak dapat
diekspresikan) sehingga semuanya dapat berupa ekson. Namun kadang pada archaebacteria dan
bakteriofag ada juga yg memiliki intron.
4. Terminator
Dicirikan dengan struktur jepit rambut / hairpin dan lengkungan yang kaya yang akan urutan
GC yang terbentuk pada molekul RNA hasil transkripsi.

C. STRUKTUR GEN EUKARIOT


Struktur gen eukariot hampir sama dengan struktur gen prokariot yaitu ada promoter,
bagian struktural dan terminator. Adapun perbedaannya hanya dibagian strukturalnya, yaitu
intron dan ekson. Perbedaan utama antara organisasi gen pada prokariot dengan eukariot adalah
bahwa bagian struktural gen prokariot (bakteri) tidak mengandung intron.

Intron adalah sekuens dari suatu nukleotida yang tidak ditemukan terjemahannya pada
serangkaian asam amino protein yang dikode oleh suatu gen. Intron akan ditranskripsi akan
tetapi mengalami suatu pemotongan sehingga tidak akan mengalami suatu translasi. Sedangkan
ekson adalah sekuens nukleotida yang akan diterjemahkan. Pada genom eubakteri, diketahui
tidak ada intron, tetapi pada genom arkhae bakteri tertentu diketahui ada intron.
D. Aplikasi Struktur Gen
1. Terapi Gen. Terapi gen adalah ketika DNA dimasukkan ke pasien untuk mengobati
penyakit genetik. DNA baru biasanya mengandung gen yang berfungsi untuk
memperbaiki efek mutasi penyebab penyakit. Terapi gen menggunakan
bagian DNA (biasanya gen ) untuk mengobati atau mencegah penyakit. Teknik ini
pertama kali dikembangkan pada tahun 1972 tetapi sejauh ini, memiliki keberhasilan
yang terbatas dalam mengobati penyakit manusia. Terapi gen mungkin merupakan
pilihan pengobatan yang menjanjikan untuk beberapa penyakit genetik termasuk distrofi
otot dan fibrosis kistik.
2. Produk Farmasi
3. Diagnosa Penyakit
4. Vaksin subunit rekombinan
RESTRIKSI DNA DAN SEQUENCING
Enzim restriksi merupakan enzim yang tidak stabil, sebaiknya disimpan pada suhu -200C
untuk sebagian besar enzim dan beberapa enzim perlu juga disimpan pada -700C. Enzim restriksi
mempunyai sekuen pengenalan yang pendek menghasilkan banyak potongan DNA sedangkan
yang mempunyai sekuen pengenalan yang panjang, akan dihasilkan potongan DNA yang lebih
sedikit. Enzim yang mempunyai sekuen pemotongan pendek maupun panjang, mempunyai
fungsi masing-masing didalam rekayasa genetika.
Enzim restriksi yang biasa digunakan memotong molekul DNA pada situs pengenalan
dan menghasilkan sebagai berikut:
1. Ujung menggantung 5’ yaitu enzim restriksi tersebut memotong secara asimetris pada situs
pemotongannya, sehingga menghasilkan hasil pemotongan memanjang pada ujung 5’. Contoh
enzim yang menghasilkan ujung menggantung 5’ adalah BamHI.

2. Ujung menggantung 3’ yaitu enzim restriksi ini juga memotong secara asimetris pada situs
pengenalan, namun menghasilkan hasil pemotongan yang memanjang pada ujung 3’.
Contohnya enzim yang menghasilkan pola seperti ini adalah KpnI.

3. Ujung tumpul adalah enzim yang memotong secara simetris antara kedua utas DNA sehingga
menghasilkan ujung tumpul. Contohnya adalah enzim SmaI.

Pola ujung menggantung, baik yang 3’ ataupun 5’, sering disebut juga dengan ujung
lengket (sticky ends) atau ujung kohesif (cohesive ends). Pola seperti ini akan mudah menempel
pada (annealing) dengan pasangan DNA karena adanya ikatan basa antara ujung-ujung yang
menggantung.

A. Sequencing
Sekuensing merupakan suatu teknik untuk menentukan urutan basa nukleotida dari urutan
suatu DNA seperti adenin, timin, guanosin, dan sitosin. Pada awal 1970-an seseorang
membutuhkan waktu sekitar satu tahun hanya untuk menyelesaikan 100 urutan basa DNA. Pada
tahun 1976 ditemukan teknik sekuensing DNA yang dikembangkan oleh Allan Maxam dan
Walter Gilbert di Amerika Serikat dimana memungkinkan dapat mensekuensing ribuan urutan
pasangan basa DNA dalam waktu setahun. Beberapa tahun kemudian teknik sequencing DNA
yang baru kembali diperkenalkan oleh Sanger. Penentuan dari urutan sekuensing basa DNA pada
prinsipnya melibatkan produksi seperangkat dari molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda
ukuran tetapi salah satu ujungnya selalu sama. Selanjutnya, fragmen-fragmen tersebut dipisahkan
menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid atau polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE)
agar pembacaan sekuens dapat dilakukan. Di bawah ini akan diuraikan sekilas dua macam
metode sekuensing DNA.
B. Metode Sequencing DNA
1. Metode Maxam-Gilbert
Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu
ujungnya, biasanya digunakan yaitu fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3’.
Metode dari Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai
tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahapan.
Contoh PAGE sekuensing dengan metode MaxamGilbert
Jika diurutkan dari yang terkecil hingga yang terbesar, hasilnya berupa fragmen-fragmen
dengan ujung yaitu TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG. Inilah sekuens fragmen DNA yang
dipelajari.
2. Metode Sanger
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit enzim DNA
polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut kemampuannya untuk
menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP
dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil yaitu OH pada atom C
nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga akan mengalami
kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk suatu ikatan pada
tahapan sekuensing Metode Sanger
Tahapan Sekuensing Pada Metode Sanger
1. Pertama adalah menyediakan dsDNA (double strand DNA)

2. Kemudian memotong dsDNA (double strand DNA) menjadi ssDNA (single strand DNA)

3. Kemudian mengambil template (cetakan) DNA dari ssDNA yang merupakan hasil potongan
dari dsDNA tadi

4. Setelah itu memyiapkan seluruh alat dan bahan yang akan digunakan untuk sekuensing DNA.
Bahan untuk sekuensing adalah template (cetakan) DNA, primer, dNTP, ddNTP dan enzym
polymerase.
5. Lalu menyiapkan 4 tabung reaksi. Pada tabung reaksi diberikan ddNTP, yaitu ddGTP, ddCTP,
ddATP, dan ddTTP. Masing-masing tabung reaksi tersebut diisi dengan ddNTP yang berbeda.
Tabung pertama diisi dengan ddGTP, tabung kedua diisi dengan ddCTP, serta tabung ketiga
yang diisi dengan ddATP, dan tabung keempat diisi dengan ddTTP.

6. Setelah masing-masing tabung diisi dengan ddNTP, kemudian masing-masing tabung diisi
dengan dNTP, berfungsi sebagai sumber nukleotida pada proses polimerasi yaitu dGTP,
dCTP, dATP, dan dTTP

7. Lalu memasukkan dNTP ke dalam tabung reaksi tadi.

8. Kemudian memasukkan primer ke dalam tabung reaksi yang berfungsi mengenali situs
spesifik pada DNA template, juga berfungsi sebagai landasan/pijakan untuk memulai
polimerisasi.
9. Setelah pemberian primer dilakukan, kemudia dimasukkan enzim polimerase (taq-
polymerase). Enzim polimerase memulai proses polimerisasi

10. Enzim polymerase akan terus mengkatalisis pembentukan polinukleotida dari nukleotida
dNTP (deoksi nukleotida tri phospat)

11. Ketika enzim taq-polymerase mengkatalisis pembentukan ikatan antara nukleotida, deoksi-
nukleotida (ddNTP) berikatan dengan polimer nukleotida sebelumnya
12. Kehadiran ddNTP (deoksinukleotida) akan mengakibatkan terhentinya/terminasi pada
proses polimerase, sehingga akan dihasilkan rantai polinukleotida yang berbeda panjangnya

13. Kehadiran dari ddNTP akan menghasilkan beberapa rantai polinukleotida berbeda

14. Kegiatan nomor 9 hingga nomor 13 dilakukan pada semua tabung reaksi

15. Kemudian keempat tabung reaksi tersebut dipersiapkan untuk di alirkan pada gel agarosa

16. Perbedaan pada panjang polinukleotida tersebut, mengakibatkan perbedaan letak gel
agarosa. Polinukleotida yang paling pendek bermigrasi/pergerakannya paling cepat pada gel
agarosa.

17. Hasil dari pembacaan sekeuensing dari arah 5’ ke 3’ adalah rantai kompemen, yaitu 5’
AGCCGATCC 3’. Sehingga DNA templatenya adalah 5’ GGATCGGCT 3’
C. Aplikasi Sequencing DNA
1. Pada pemuliaan tanaman
2. Perlindungan tanaman
3. Pemuliaan hewan ternak
4. Morfologi dan anatomi hewan
5. Studi penyakit genetik

Disamping itu, diantara beberapa manfaatnya dalam bidang penyakit genetik :


1. Menentukan lokasi kromosom dari gen penyakit tertentu
2. Menganalisis DNA anggota keluarga yang terkena penyakit
3. Mencari alel RFLP yang menunjukkan pola pewarisan yang sama dengan pola
penyakit tersebut
4. Setelah gen penyakit terlokalisasi, analisis RFLP dari keluarga lain dapat
mengungkapkan siapa yang berisiko terkena penyakit tersebut, atau siapa yang
cenderung menjadi pembawa gen mutan.
VEKTOR
A. Vektor
Vektor adalah suatu wahana yang membawa fragmen DNA yang masuk kedalam sel inang
hingga akan memungkinkan terjadinya suatu replikasi dan ekspresi fragmen DNA tersebut.
Vektor dapat diartikan juga sebagai DNA yang melingkar dan dapat digunakan dalam proses
kloning gen maupun perbanyakan fragmen DNA secara in vitro. Ada beberapa macam vektor
yang dapat digunakan dimana sel inangnya merupakan suatu bakteri, contohnya saja E.coli, yang
digunakan yaitu:
1. Plasmid
Plasmid adalah molekul dari DNA yang sebagian besar memiliki struktur sirkular namun
ada juga strukturnya yang linear dengan untai ganda di luar kromosom sehingga dapat
melakukan replikasi sendiri. Plasmid di tiga domain mikroba yaitu archaea, bakteri, dan
eukariot. Plasmid berada di sitoplasma bakteri yang berupa DNA sirkuler ekstra kromosomal.
DNA sirkuler ekstrakromosomal untaian ganda DNA ditemukan dalam sitoplasma mikroba yang
disebut plasmid. Ini adalah estitas genetika yang stabil yang dapat mereplikasi dirinya sendiri
secara otonom, independen dari DNA kromosom dari organisme inang. Karakteristiknya
termasuk ukurannya yang kecil dan kepemilikan gen yang meminjamkan kualitas yang
bermanfaat bagi organisme lain. Plasmid bervariasi pada setiap organism tergantung dari jumlah
gen. Ini juga bervariasi dalam jumlah salinan yang diamati dimana mengacu pada jumlah salinan
plasmid yang hadir dalam sel inang. Ketika sel membelah, maka jumlah plasmid akan merata di
antara sel anaknya. Sedangkan sebuah sel mikroba tunggal juga bisa menjadi inang untuk
berbagai bentuk plasmid. Kemampuan dari plasmid adalah untuk hidup berdampingan dengan
bentuk yang berbeda yang disebut kompatibilitas, dan mereka dapat dibedakan menjadi dua jenis
berdasarkan kualitasini, yaitu plasmid yang kompatibel dan tidak kompatibel sehubungan dengan
pengelompokan tertentu plasmid.
Sebuah plasmid dikatagorikan sebagai bagian dua atau lebih kelompok. Berikut adalah
jenis dan fungsi dari plasmid:
a. Plasmid Resistan (R-Plasmid)
Mereka memiliki gen yang memungkinkan host untuk menjadi resisten terhadap
antibiotic atau racun.
b. Plasmid degradatif
Ini menanamkan sel inang dengan kemampuan untuk memetabolisme senyawa organic
biasanya sulit atau tidak biasa seperti toluena dan asam salisilat.
c. Plasmid fertilitas (F-Plasmid)
Plasmide fertilitas terlibat dalam konjugasi bakteri dan memiliki (tra-) yang memulai
pembentukan F-pilus, f-pilus tersebut untuk memungkinkan konjugasi. Materi dari genetik
tersebut ditansfer melalui pilus ini antara sel-sel terkonjugasi. Ini adalah penularan sendiri, dan
F-pilus juga disebut pilus seks.
d. Col Plasmid atau coligenik
Plasmid ini menghasilkan racun yang disebut bakteriosin yang mematikan bakteri, terapi
kepemilikan plasmid ini membuat inang tahan terhadap racun.
e. Tumor-inducing Plasmid (Ti-Plasmid)

Ti-Plasmid mampu mengubah sel inang menjadi pathogen. Ini terjadi di Agrobacterium
tumafaciens, dimana pathogen ini dapat menyebabkan penyakit crown gall pada tanaman. Saat
infeksi plasmid ditransfer ke sel-sel normal dari tanaman di mana ia berproliferasi sehingga
memperburuk penyakit dengan beralih ke keadaan penyakit tumor. Dalam keadaan seperti ini,
sel-sel mensintesis racun dan faktor virulensi lainnya.
B. Plasmid sebagai Vektor

Dalam konteks rekayasa genetika, plasmid dapat dimodifikasi untuk membawa gen nondiri
disebut vektor. Hal ini untuk mengekspresikan atau membungkam gen tertentu dalam suatu
organisme inang dan juga dapat digunakan untuk menginduksi produksi beberapa salinan gen.
Apabila menginginkan produksi dari salinan gen maka gen tersebut dimasukkan ke dalam
plasmid vektor dengan cara pembatasan/ligasi yang dilakukan dengan menggunakan enzim
restriksi yang sesuai.
Vektor tidak hanya memiliki kemampuan untuk membawa gen tetapi juga berbagai fitur
lainnya. Contoh fitur-fitur ini termasuk resistensi antibiotik (kanamisin atau ampilisin), asal situs
replikasi, yang diidentifikasi oleh mesin replikasi inang dimana digunakan untuk meniru
plasmid, dan situs untuk beberapa kloning (MCS). Hal ini juga disebut situs polylinker yang
merupakan hamparan DNA terdiri dari beberapa urutan target enzim restriksi tertentu. Vektor
juga memiliki promoter urutan dekat MCS untuk eskpresi produksi gen yang efisien. Selain itu,
di beberapa vektor, MCS ditempatkan di dalam daerah pengkodean gen reporter tersebut
sehingga jika gen yang diinginkan dan diikat dengan baik, maka gen yang mengandung MSC
akan terganggu sehingga tidak diungkapkan. Akibatnya, ekspresi dari gen reporter akan
menunjukkan gen non-ligasi yang diinginkan. Gen reporter dipilih sehingga eksperesi dapat
ditentukan secara visual (kromogenik).
Di dalam sel inang vektor yang diikat kemudian diperkenalkan dengan proses yang
disebut transformasi, dan sel-sel inang itupun dapat dibiakkan dalam medium yang mengandung
antibiotik. Dan sel-sel yang berubah tersebut dikarenakan kepemilikan gen resistensi plasmid
tidak akan terpengaruh, akan tetapi bertahan dan berkembang biak sedangkan sel-sel non-
berubah akan rentan terhadap antibiotik. Ketahanan gen membantu dalam memilih sel yang
berubah yang disebut penanda seleksi. Sel-sel yang dipilih kemudian dipanen dan digunakan
untuk suatu eksperimen. Kapasitas vektor dalam hal ukuran insert sekitar 30 sampai 40 kbp (kilo
pasangan basa).
Jenis Vektor Plasmid
a. Vektor Ekspresi
Vector ekspresi digunakan untuk mengekspresikan protein non-diri di dalam sel inang.
Ini juga dapat digunakan untuk mengekspresikan gen berfungsi dalam genom inang. Vektor
ekspresi berisi urutan promotor bersamaan pula dengan urutan terminator transkripsi dan gen
yang disisipkan. Pada daerah promotor mendorong transkripsi yang memasukkan gen ke dalam
transkripi RNA, sedangkan urutan terminator transkripsi berhenti setelah gen telah ditranskrip
hal ini untuk mencegah generasi transkrip panjang yang bisa, pada gilirannya, menyebabkan
kesalahan RNA.
b. Vektor Kloning
Vektor kloning adalah jenis vektor yang digunakan untuk tujuan memperkenalkan suatu
gen ke dalam sel inang. Setelah gen ini dapat berhasil dikloning maka diungkapkan dalam sel
inang melalui transformasi, sehingga dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan selama
percobaan dan ini tidak setiap gen khusus terpisah dari suatu MCS, gen reporter, dan penanda
seleksi.
c. Vektor Shuttle
Vektor shuttle adalah vektor khusus yang dapat berkembang biak dan dapat
mengekspresikan serta memasukkan gen pada dua sistem host yang berbeda. Ini dapat
memungkinkan oleh para ilmuwan untuk mempelajari efek dari produk gen dalam dua
lingkungan host yang berbeda. Vektor shuttle yang paling umum adalah vektor yang dapat
berkembang dalam Saccharomyces cerevisiae dan Escherichia coli.
2. Bakteriofag
Bakteriofag adalah virus kompleks yang menginfeksi bakteri dan dapat digunakan sebagai
vektor kloning karena mempunyai konformasi linier untai ganda yang memiliki panjang sekitar
48,5 kb. Bakteriofag ini memiliki dua macam daur hidup, yaitu litik dan lisogenik. Pada daur
litik materi genetik dari bakteriofag dimasukkan ke dalam sel bakteri inang untuk selanjutnya
akan mengalami replikasi yang terjadi berulang kali di dalam sel tersebut sehingga menghasilkan
sejumlah protein kapsid yang membungkus tiap-tiap materi genetik yang dapat dihasilkan
banyak sekali bakteriofag progeni yang kemudian menyebakan terjadinya lisis pada sel inang.
Sementara itu daur lisogenik hanya dijumpai pada bakteriofag yang memiliki materi genetik
yang dapat berupa DNA untai ganda. Pada daur lisogenik ini tidak dihasilkannya suatu partikel
progeni. Bakteri inang tetap hidup serta ketika sel inang ini mengalami pembelahan, molekul
DNA bakteriofag akan dibawa ke sel-sel anakannya. Pada kebanyakan bakteriofag yang
berkelanjutan transmisi dari molekul DNA ke dalam sel-sel anakan sehingga terjadi integrasi
molekul DNA bakteriofag dengan DNA kromosm bakteri. Jenis bakteriofag yang dapat dijakian
vektor adalah sebagai berikut.

1. Bakteriofag λ
Bakteriofag atau fag λ merupakan virus kompleks yang dapat menginfeksi suatu bakteri E.colli.
Flag λ merupakan salah satu jenis dari jenis vektor cloning. DNA λ yang dapat diisolasi dari
partikel fag ini memiliki keistimewaan konformasi linier unatai ganda dengan panjang 48,5 kb.
2. Bakteriofag M13
Bakterioflag M13 mempunyai struktur ikosahedral berekor dan mempunyai struktur
berupa filament. Bakteriofag M13 mempunyai genom berupa untai DNA sirkuler sepanjang
6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung melalui pili, pili adalah suatu tonjolan pada
permukaan sitoplasma. Ketika berapda di dalam sel inang genom M13 berubah menjadi untai
ganda sirkuler yang dengan cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan/copy.
Salinan-salinan ini membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak ke
permukaan sel inang. Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi oleh membrane dan
keluar dari sel inang menjadi partikel fag infektif tanpa menyebabkan lisis.
3. Kosmid
Kosmid merupakan gabungan dari kos DNA λ dengan plasmid. Kemampuan untuk
membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb menjadi kosmid lebih menguntungkan
daripada fag λ dan plasmid.
4. Fasmid
Vektor sintesis gabungan antara fag λ dan plasmid disebut fasmid. Vektor fasmid
membawa segmen DNA λ yang berisi tempat att. Tempat att ini digunakan oleh DNA λ untuk
berintegrasi dengan kromosom sel inang pada sel lisogenik.
EKSPRESI GEN
Ekspresi gen merupakan suatu proses penerjemahan informasi yang dikode oleh gen
menjadi suatu urutan asam amino dalam sintesis protein. Dalam sintesis protein, informasi
genetik yang dibawa oleh DNA yang akan disalin menjadi mRNA melalui proses transkripsi.
Selanjutnya mRNA yang terbentuk segera diterjemahkan menjadi suatu polipeptida melalui
proses translasi.
Ekspresi gen berupa sintesis protein mencakup proses dua tahap
yaitu transkripsi dan translasi.
Tahapan utama dalam ekspresi gen

1. Transkripsi adalah suatu untai DNA yang digunakan sebagai pencetak untuk mensintesis
suatu untai RNA, yang disebut traksrip primer
2. Pemprosesan RNA adalah modifikasi dari transkripsi primer untuk menghasilkan RNA
dewasa (untuk gen pengkode protein) atau tRNA maupun rRNA fungsional.
3. Untuk gen pengkode RNA (tRNA dan rRNA), ekspresi gen selesai setelah terbentuknya
rRNA atau tRNA yang fungsional. Namun demikian protein gen memerlukan beberapa
tahapan antara lain
a. Nuclear transport/transportasi keluar ini yaitu mRNA harus ditransportasikan keluar
dari inti ke sitiplasma untuk proses sintesis protein
b. Protein synthesis/sintesis protein yaitu di dalam sitoplasma, mRNA berikatan dengan
ribosom, dimana ribosom dapat melakukan sintesis polipeptida yang berdasarkan
sekuen pada mRNA.
A. Transkripsi
Transkripsi adalah proses pengkopian DNA untuk menghasilkan transkrip RNA
komplemennya/RNA transcript. Ini adalah tahapan awal dari proses ekspresi dari setiap gen.
RNA yang dihasilkan, apabila RNA pengkode protein, akan mengalami splicing, poloadenilasi
dan transportasi ke sitoplasma. Setelah itu, melalui proses translasi akan menghasilkan molekul
protein yang diinginkan. Untai DNA yang berperan sebagai pencetak/ template disebut template
strand, minus strand atau antisense strand. Sedangkan untai DNA yang lain disebut non-template
strand, coding strand, plus strand atau sense strand. Hal ini karena diantara DNA coding strand
dan RNA strand merupakan komplemen mereka memiliki sekuen yang sama kecuali T pada
DNA coding strand diganti U pada untai RNA.

Secara skematis proses transkripsi sebagai berikut


a. DNA sebelum transkripsi
b. Selama transkripsi, DNA membuka sehingga salah stau untai DNA nya dapat digunakan
sebagai template/pencetak untuk mensintesis untai RNA yang komplemen

Transkripsi terdiri dari tahapan yaitu


1. Inisiasi
Daerah DNA di mana RNA polimerase melekat dan mengawali transkripsi disebut sebagai
promoter. Suatu promoter menentukan di mana transkripsi akan dimulai, dan juga menentukan
yang mana dari kedua untai heliks DNA yang digunakan sebagai suatu cetakannya.
2. Elongasi
Saat RNA bergerak di sepanjang DNA, maka RNA akan membuka pilinan heliks ganda
DNA, sehingga akan terbentuk molekul RNA yang akan lepas dari cetakan/tempalate DNA-nya.
3. Terminasi
Transkripsi berlangsung sampai RNA polimerase mentranskripsi urutan DNA yang disebut
sebagai terminator. Terminator yang ditranskripsi merupakan suatu urutan RNA yang berfungsi
sebagai sinyal terminasi yang sesungguhnya. Pada sel prokariotik, transkripsi biasanya berhenti
tepat pada akhir sinyal terminasi; yaitu, ketika polimerase mencapai titik terminasi sambil
melepaskan RNA dan DNA. Sebaliknya, pada sel eukariotik yaitu ketika polimerase terus
melewati sinyal terminasi, dimana suatu urutan AAUAAA di dalam suatu mRNA. Pada titik
yang lebih jauh berkisara antara 10 hingga 35 nukleotida, mRNA ini lalu dipotong hingga
terlepas dari enzim tersebut.

B. Translasi
Dalam suatu proses translasi, sel menginterpretasikan pesan genetik dan membentuk
protein yang sesuai. Pesan tersebut berupa serangkaian kodon di sepanjang molekul mRNA,
yang interpreternya adalah RNA transfer. Setiap tipe molekul tRNA menghubungkan pada
kodon tRNA tertentu dengan asam amino tertentu. Ketika tiba di ribosom, molekul tRNA
membawa asam amino spesifik pada salah satu ujungnya sedangkan pada ujung lainnya terdapat
triplet nukleotida yang disebut sebagai antikodon, yang berdasarkan aturan pemasangan basa,
dimana antikodon akan mengikatkan diri pada suatu kodon komplementer pada mRNA.
Sehingga tRNA akan mentransfer asam amino-asam amino dari sitoplasma ke ribosom.
Menurut dari asosiasi kodon dan antikodon dimana harus didahului oleh pelekatan yang
benar antara tRNA dengan asam amino sehingga tRNA akan mengikatkan diri pada suatu kodon
mRNA yang menentukan asam amino tertentu, dan yang akan membawa hanya asam amino ke
ribosom. Setiap dari asam amino akan digabungkan dengan tRNA yang sesuai oleh suatu enzim
spesifik yang disebut dengan aminoasil-ARNt sintetase (aminoacyl-tRNA synthetase).
Suatu ribosom akan memudahkan pelekatan yang spesifik antara antikodon tRNA dengan
kodon mRNA selama sintesis protein. Sub unit ribosom dibangun oleh protein-protein dan
molekul-molekul RNA yang disebut RNA ribosomal.
Translasi hampir sama tahapannya dengan transkripsi dimana ada tiga tahap
yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi. Semua tahapan ini memerlukan faktor-faktor protein
yang membantu mRNA, tRNA, dan ribosom selama proses translasi. Sedangkan inisiasi dan
elongasi pada rantai polipeptida juga membutuhkan sejumlah energi, dimana energi ini akan
disediakan oleh suatu GTP yaitu (guanosin triphosphat), yaitu suatu molekul yang mirip dengan
ATP.
1. Inisiasi
Pada tahap inisiasi dari proses translasi yaitu terjadi dengan adanya mRNA, dimana
sebuah tRNA memuat asam amino pertama dari suatu polipeptida, dan dua sub unit ribosom.
Pertama, sub unit ribosom yang kecil akan mengikatkan diri pada mRNA dan tRNA inisiator
khusus. Lalu sub unit ribosom kecil melekat pada tempat tertentu di ujung 5` dari mRNA-nya.
Kemudian pada arah ke bawah dari tempat pelekatan ribosom sub unit kecil pada mRNA
terdapat suatu kodon inisiasi AUG, dimana kodon inisiasi tersebut yang membawa asam amino
metionin, melekat pada kodon inisiasi.
2. Elongasi
Pada tahap elongasi dari proses translasi, asam amino ditambahkan satu per satu pada
asam amino pertama (metionin). Kemudian kodon mRNA pada ribosom akan membentuk ikatan
hidrogen dengan antikodon pada suatu molekul tRNA yang baru masuk, dimana tRNA tersebut
membawa asam amino yang tepat. Sehingga molekul rRNA dari sub unit ribosom besar
berfungsi sebagai enzim, yaitu akan mengkatalisis pembentukan ikatan peptida yang
menggabungkan suautu polipeptida yang memanjang ke asam amino yang baru tiba.
3. Terminasi
Tahap akhir dari translasi adalah terminasi (gambar). Pada tahap akhir dari elongasi
berlanjut hingga kodon stop mencapaisuatu ribosom. Pada triplet basa kodon stop adalah UAA,
UAG, dan UGA. Kodon stop tersebut tidak mengkode suatu asam amino akan tetapi bertindak
sebagai sinyal untuk menghentikan translasi.

C. Aplikasi Ekspresi Gen


DNA microarray
DNA microarray merupakan teknologi masa kini dalam bidang biologi molekuler
yang dapat digunakan untuk membaca ekspresi gen pada gen yang ada dalam tubuh
makhluk hidup khususnya manusia. Microarray: sebuah lempengan kaca atau chip yang
berukuran sangat kecil yang berisi ratusan hingga ribuan gen dalam bentuk fragmen DNA
yang berasal dari penggandaan cDNA. Fragmen DNA yang memuat gen tersebut dapat
mengenali gen dalam suatu sampel jaringan yang dianalisis. DNA microarray dapat
digunakan untuk banyak sampel secara serempak atau bersamaan.
Prinsip Kerja: Mengukur jumlah hibridisasi mRNA pada cDNA dalam chip.
1. Pada umumnya menggunakan dua sampel yang berbeda, misalnya sel kulit
normal dengan sel kanker kulit.
2. Kedua sampel diisolasi mRNA-nya, kemudian diletakkan dalam chip microarray.
3. Chip diberi penanda radioaktif untuk menghasilkan warna fluorosens setelah itu
dilakukan scanner yang terhubung dengan komputer.
4. Komputer akan menganalisis kedua sampel tersebut berdasarkan pola warna yang
ada.
Salah satu aplikasi DNA Microarrays adalah untuk mengamati perubahan tingkat
ekspresi genetik dari berbagai gen secara bersamaan. Jumlah gen yang diamati bisa
puluhan, ratusan bahkan ribuan. Contoh aplikasinya adalah untuk meneliti kanker
payudara dan respon pasien akan terapi yang diberikan untuk mengobati penyakit
tersebut. Dengan DNA Microarrays ini dokter dapat memprediksi respon atau ketahanan
pasien terhadap pengobatan, terutama pada kemotrapi.

DNA Profilling
1. Untuk mempelajari urutan DNA sebagai penyebab munculnya metastasis tumor.
2. Contoh: Kasus tumor, tumor yang semual berada di dalam sel berkembang dan
menyebar ke organ lain, misalnya tulang. Untuk mempelajari urutan DNA sebagai
penyebab munculnya metastasis tumor dapat dilakukan melalui teknik microarray
DNA.
3. Melalui suatu teknik isolasi secara in vivo diperoleh sel tumor yang telah
mengalami metastasis dan urutan DNA tersebut kemudian dibandingkan dengan
sel tumor yang belum mengalami metastasis.
SOUTHERN BLOTTING
A. Southern Blotting

Southern Blotting pertama kali dikemukakan oleh Edwin Southern pada tahun 1975.
Southern Blotting adalah metode untuk menyelidiki keberadaan sekuens DNA tertentu dalam
sampel DNA. Teknik ini dapat digunakan untuk pendeteksian pada suatu DNA sequence spesifik
(gen atau lain) didalam sampel kompleks DNA (selular DNA) dan juga dapat digunakan untuk
menentukan bobot molekular suatu restriksi fragmen dan untuk mengukur sejumlah relatif dalam
sampel yang berbeda. Prinsip Southern Blot pada awal tahun 1970-an dari metode gel
elektroforesis yang memungkinkan fragmen restriksi DNA dipisahkan berdasarkan ukuran
mereka mendorong pengembangan teknik untuk transfer dipisahkan dari fragmen secara banyak
dari gel ke nitroselulosa mendukung. Prosedur yang dijelaskan oleh Southern (1975), yang
melibatkan transfer kapiler DNA dari gel ke lembar nitroselulosa.
Metodologi Southern Blotting
Metodologi dari southern blotting dapat dilihat pada gambar berikut.

Gel Agarosa pada elektroforesis, mengandung fragmen restriksi fraksinasi, ditempatkan


pada kertas matriks yang membentuk hubungan antara gel dan reservoir buffer (high-salt).
Teknik ini mentransfer DNA ke kertas nitroselulosa (NC) dengan menggunakan prosedur aliran
pelarut. Caranya yaitu dengan menempatkan gel elektroforesis ke kertas matriks yang direndam
dengan larutan buffer yang berada di atas spons yang telah dibasahi. Membran tersebut
diletakkan di atas gel dan ditumpuk pula beberapa kertas peresap di atasnya.
Buffer kemudian mengalir secara perlahan-lahan ke membran, demikian pula dengan gel
yang membawa molekul ke kertas membran, sementara gelnya diserap oleh kertas peresap.
Kemudian fragmen DNA yang spesifik dideteksi dengan menggunakan pelacak. Pelacak tersebut
biasanya merupakan DNA yang dimurnikan dan bisa ditandai dengan aktifitas spesifik
radionukletida. Lokasi sinyal yang terlihat setelah autradiografi membuat kita dapat menentukan
ukuran dari fragmen DNA tersebut.
B. Prosedur Kerja Shoutern Blotting
Berikut ini adalah penjabaran tahapan tersebut:
1. Pertama-tama adalah melakukan pemotongan DNA yang diinginkan caranya adalah dengan
menggunakan enzim retriksi (endonuklease retriksi) yang bersifat spesifik terhadap DNA.
Kemudian DNA dicerna dengan pembatasan endonuklease. Sedangkan untuk tinggi berat
molekul DNA dicerna menjadi fragmen-framen yang lebih kecil dengan pembatasan
endonuklease. Fragmentasi adalah tahap dimana fragmen-fragmen dari DNA akan terpisah
berdasarkan ukuran berat molekulnya.
2. DNA ini dipisahkan oleh ukurannya dengan elektroforesis pada gel agarosa. Berdasarkan
prinsip elektroforesis, fragmen DNA yang ukuran berat molekulnya lebih kecil akan lebih
cepat bergerak dari kutub negatif ke kutub positif dibandingkan dengan fragmen DNA
dengan berat molekul yang lebih besar.
3. Pada proses denaturasi DNA dilakukan dengan merendam gel dalam larutan denaturan
NaOH. Digunakan NaOH karena bersifat basa sehingga dapat menyebabkan rusaknya ikatan
hidrogen antar untai DNA. DNA yang telah diperoleh kemudian ditransfer ke membran
nitroseluloasa, tahap inilah yang disebut blotting.
4. Selembar membran nilon atau nitroselulosa berwarna ungu ditempatkan di atas gel agarosa
dalam larutan buffer. Hal ini dianggap sebagai blotting. Kemudian berikan tekanan secara
merata ke gel baik menggunakan sedotan ataupun menempatkan tumpukan handuk yang berat
di atas membran dan gel untuk memastikan kontak antara gel dan membran. Sedangkan untuk
larutan buffer transfer oleh kapiler dari wilayah potensi air yang tinggi kepada daerah
potensial air yang rendah (biasanya kertas filter dan kertas tisu) kemudian digunakanlah
untuk memindahkan DNAdari gel ke membran. Untuk membran yang bermuatan positif
berwarna ungu yang biasanya digunakan untuk memungkinkan DNA mengikat dengan
afinitas tinggi pada ion membran melalui interaksi antara membran yang bermuatan negatif
DNA dan membran yang bermuatan positif.
5. Nitroselulosa membran dipanggang dengan suhu tinggi yaitu 60-100°C. Membran nilon
tersebut terpapar radiasi UV. Langkah-langkah tersebut digunakan untuk memastikan
permanen dan kovalen crosslink DNA hadir dalam membran.
6. Membran dihadapkan pada radiolabeled probe. Probe ini beruntai fragmen DNA tunggal yang
memiliki urutan sesuai yang ingin dideteksi. Probe ini diinkubasi dengan membran dan
diperbolehkan berhibridasi dengan DNA pada membrane. Biasanya probe radiolabeled
sehingga mereka dapat dideteksi pada film, namun juga digunakan probe yang non-radioaktif
seperti neon atau chromogenic pewarna. Setelah hibridasi, kelebihan probe dicuci jauh dari
membran, meninggalkan probe yang terikat secara khusus.
7. Hibridisasi DNA adalah proses pembentukan molekul double helix dari single strand DNA
probe dan single strand DNA target. Pola hibridisasi ini dideteksi oleh visualisasi pada film
sinar-X oleh autoradiografi pada kasus radioaktif atau fluorescent probe, ataupun
perkembangan warna pada membran jika metode deteksi chromogenic dimanfaatkan.
8. Deteksi DNA, merupakan tahap lanjutan dari proses hibridisasi DNA yang menggunakan
pelacak/probe. Probe biasanya DNA yang dimurnikan dan bisa ditandai dengan aktifitas
spesifik radionukletida. Pada tahap deteksi DNA ini digunakan Autoradiogram untuk melihat
lokasi sinyal DNA

Berikut adalah prosedur standar dari analisis southern blotting.


1. Pertama dipecah sedikitnya 1 ug gen Drosophila dengan enzim restriksi yang sesuai.
Dipecah 1-5 ug DNA dalam volume 20 ul dengan 10 unit enzim. Pemecahan dilakukan
selama 4-12 jam.
2. Kualitas pemecahan diperiksa dengan cara analisis 100 ng dari tiap sample dalam minigel.
meliputi sample control yang belum dipecah sebagai perbandingan
3. Sample yang telah dipecah tampak sebagai band-band dari repetitif sequen (urutan berulang)
yang dapat diperlihatkan.
4. Sisa DNA 1% pada gel agarose meliputi jalur dengan penanda lamda untuk gel yang
diwarnai dengan ethidium bromida dan difoto.
5. Gel diwarnai selama 20 menit dalam 1ug/ml ethidium bromida. Destain dalam air selama 10
menit dan difoto.
6. Gel diserap selama 15 menit dalam 0,12 M HCL dengan bromophenol blue hingga
menguning.
7. Serap gel dalam 0.4 M NaOH selama 30 menit.
8. Tiga potongan dalam memblot kertas akan meluas antara 1 inci di luar gel pada ke empat
sisinya. Lalu rendam masing-masing dengan 0.4 M NaOH dan ditumpukkan dalam suatu
kaca.
9. Potong gel hingga pertengahan dan membuang bagian puncaknya. Dengan memotong jalur
pertengahan, akan tertinggal di puncak gel dimana gel diratakan dengan prosedur blotting,
dan ini dapat digunakan untuk penyaringan baik yang telah ditempatkan diatas gel.
Kemudian gel yang tak teratur tersebut dihempaskan dan menempatkannya pada
pertengahan tumpukan kertas hisap untuk mendorong ke luar gelembung udara.
10. Gel kemudian dilempar hal ini dikarenakan DNA pada umumnya semakin dekat kepada sisi
bawah gel. Kemudian bagian dari frame gel dengan potongan plastik tersebut dimana bagian
plastik akan menjadi meluas di bawah tepi gel dari 1-2 milimeter, dengan perlahan memaksa
gelembung udara memrembes bebas dari gel. Sehingga plastik dapat mencegah penyangga
untuk mengalir di sekitar gel.
11. Suatu potongan Gen screen yang lebih untuk memenuhi ukuran gel dimana gel dengan
permukaan basah dengan beberapa tetesan 0.4 M NaOH. Perlahan-lahan akan meletakkan
gen yang menyaring ke permukaan gel. Hindari menjerat gelembung udara di bawah
saringan untuk menghindari bergesernya saringan yang berhubungan dengan gel seperti
beberapa DNA mungkin telah mulai untuk dipindahkan ke saringan.
12. Dua potongan kertas hisap tersebut untuk memenuhi Gen screen dan meletakkan hingga
lembar tersebut mengering pada waktu yang sama di atas saringan. Pada kertas pertama
terlihat basah, dan licin sebelum menambahkan yang kedua. Potongan yang kedua juga
basah sehingga digunakan tumpukan kertas tisu.
13. Menumpuk 1 inchi lapisan dari kertas tisu di atas potongan puncak kertas hisap. Tisu harus
memotong untuk memenuhi ukuran saringan.
14. Tempatkan potongan flat/plexiglass atau kaca yang diletakkan di paling atasnya. Kemudian
tumpukan tersebut ditimbang yang hancur bersama suatu botol yang berisi 200 - 500 ml
segala bentuk. Setelah itu DNA dipindahkan selama 6 jam.
15. Setelah transfer, kemudian DNA dipindahkan ke saringan dan diserap selama 15 menit
dalam 200 ml 0.2 M Tris-Cl pH 7.5, 2X SSC.
16. Blot filter kemudian dikeringkan dengan paper towels dan kemudian dibiarkan kering
selama sedikitnya 1 jam. Saringan dapat disimpan apabila telah kering, sehingga keadaan ini
cukup untuk menentukan DNA dalam saringan dan tidak untuk membakar saringan gen
screen untuk menyertakan DNA.

C. Aplikasi

Aplikasi yang paling umum dari southern blotting bertujuan untuk identifikasi dan
kloning dari gen tertentu. Shoutern Blotting DNA genomik digunakan untuk mengidentifikasi
satu atau lebih fragmen restriksi yang mengandung gen yang sedang dicari. Aplikasi dari
Southern Blotting yaitu dapat mengetahui ukuran fragmen DNA target, studi forensik seperti
DNA fingerprinting dan paternity test (Klug & Cummings 1994: 427). Southern Blotting
digunakan pada laboratorium forensik dimana untuk menganalisis DNA fingerprints dari sampel
darah yang tertinggal di tempat kejadian perkara (Bolsover dkk. 2011: 111). DNA
fingerprinting merupakan suatu teknik analisis DNA yang digunakan untuk mengetahui identitas
dari seseorang, serta untuk membedakan individu yang satu dengan individu yang lain dalam
satu spesies dengan cara mengidentifikasi pola khas dalam komposisi DNA mereka masing-
masing (Rosen & Gothard 2010: 146). Sedangkan aplikasi lain dari southern blotting adalah
untuk mendiagnosis penyakit leukemia dan limfoma dengan cara menggunakan probe yang
spesifik untuk translokasi atau penyusunan gen kembali (Provan & Gribben 2010: 60).
Dalam tingkat genetik southern blotting berfungsi untuk memodifikasi pada organisme
dimana southern blot digunakan sebagai test untuk memastikan bahwa bagian DNA tertentu
mengenal urutan gen. Analisis southern blot dilakukan untuk menandai karakter dari
transforman. Analisis dari southern blot bermanfaat untuk mengidentifikasi perbedaan bentuk
dari DNA, menentukan atau menyisipkan jumlah salinan dan untuk mendeteksi gross DNA
penyusunan kembali yang mungkin setelah terjadi suatu perubahan. Jika sedang menganalisis
suatu ß- galactosidase caranya yaitu dengan memasukkan atau menyisipkan potong-potongan
EcoRV maka akan dihasilkan potongan sekitar 1kb dari atas dan ke bawah yang dimulai dari
urutan persandian ß - galactosidase yang dipecah oleh enzim restriksi, analisis gel, dan bloting.
Soal tambahan :
Kapan berakhirnya tahapan proses elektroforesis ?
Berakhirnya proses elektroforesis pada gel agarosa pada proses southern blotting ini,
ditandai dengan DNA yang telah terpisah dan terkotak kota menurut ukurannya pada gel
agarosa, dimana DNA yang berukuran lebih kecil akan bergerak lebih cepat. DNA
berpindah dari kutub negatif ke kutub positif dikarenakan DNA bermuatan negatif.
Ketika DNA tersebut telah berpindah, kemudian tutup tangki dipindahkan dan gel
tersebut diwarnai dengan ethidium bromide.
Kenapa Etidiuum bromida cocok digunakan pada sinar UV?
Ethidium bromide adalah suatu bahan yang biasanya digunakan untuk proses
penggambaran molekul asam nukleat. Fungsi ethidium bromide ini digunakan saat proses
pewarnaan pada DNA atau RNA. Seharusnya senyawa SYBR Green ini kemampuannya
25 kali lebih sensitif ketika proses staining dibandingkan dengan Ethidium bromide akan
tetapi harga SYBR Green sangat tidak murah mengakibatkan bahan tersebut jarang
digunakan. Ethidium bromide ini tidak terlihat di cahaya natural maka digunakan suatu
bahan yang bisa membantu utntuk melihat senyawa ethidium bromide, bahan tersebut
adalah Loading Buffer yang berfungsi untuk mengisi gel agarosa(staining). Dengan
bantua sinar UV, maka DNA yang diwarnai dengan Etbr akan terlihat.
NORTHERN BLOTTING

Pada tahun 1977 Northern Blot atau RNA Blot dikenalkan pertama kali oleh E.M.
Southern, dua tahun setelah teknik Southern Blot. Sebenarnya secara umum teknik ini hampir
mirip dengan Suothern Blot hal yang membedakannya adalah sampel yang digunakan, yaitu
RNA.
Teknik northern blot ini digunakan untuk melihat ekspresi (transkripsi) suatu mRNA
(gen) pada organ atau jaringan tertentu, seperti daun, bunga, biji, batang, dan lain sebagainya.
Northern blot merupaka suatu teknik untuk mendapatkan informasi mengenai identitas, ukuran,
dan kelimpahan RNA. Prinsip dasar dari Northern Blot untuk memisahkan RNA yang
berdasarkan ukuran dan terdeteksi pada membran menggunakan probe hibridisasi dengan urutan
basa komplementer untuk semua atau sebgaian urutan utama mRNA target.
Northern Blotting telah telah sering digunakan bersamaan dengan PCR dan microarray
yang sering digunakan untuk tujuan diagnostik atau klinis. Northern Blotting digunakan dalam
riset biologi molekular untuk studi RNA dapat mendeteksi sebagai alternatif menyambung, studi
RNA umur-paruh, studi untuk memindahkan kemungkinan RNA dan cistron translasi dan sering
digunakan untuk mengkonfirmasikan dan memeriksa transgenik binatang.
Metoda Northern Blotting yang baku secara relatif lebih sedikit sensitive apabila
dibandingkan nuclease pengujian kadar logam dan RT-PCR. Kepekaan Northern Blotting
tersebut ditingkatkan dengan nilon selaput yang bermuatan positif, penggunaan antisense dalam
pemeriksaan yang sangat spesifik. Dasar dari pendeteksian urutan spesifik ini yaitu hibridisasi
asam nukleat. Hasilnya menunjukan bahwa tidak hanya urutan tertentu ada dalam sampel
berbeda tetapi juga jumlah urutan tersebut dalam suatu genom dan ukuran fragmen restriksi yang
mengandungnya dengan cara ini memungkinkan untuk membandingkan DNA dari individu atau
bahkan spesies berbeda, karena kekuatan selektif dari hibridisasi asam nukleat materi awal
analisis dapat berupa genom organismenya. Panjang DNA yang berlebihan ini akan
menghasilkan banyak fragmen restriksi dan jika semuanya ingin ditampakkan dengan pewarna
akan tampak sebagai noda didalam elektroforesis gel dan bukannya suatu pita yang terpisah.
Sebaliknya hanya pita DNA diinginkan saja yang ditampak dengan menggunakan probe yang
berlabel. Sehingga probe ini terdiri dari banyak salinan dari potongan DNA untai tunggal yang
berlabel radioaktoif atau berfluorosens yang akan berhibridisasi dengan pasangan basa DNA
yang diinginkan sebelum hibridisasi dan yang akan diuji lalu dipindahkan dengan aksi kapiler
blotting dari gel ke penumpu padat selembar kertas nitroselulose atau nilon.

Dibawah ini adalah gambar tahapan northen blottinng

Gambar 1. Tahapan Northen Blotting


Pertama-tama, RNA diisolasi menggunakan asam guanidinium yaitu metode ekstraksi
tiosianat-fenol-kloroform dijelaskan pada tahun 1986 oleh Chomczynski dan Sacchi2, lalu
diikuti dengan elektroforesis gel untuk pemisahan. Formaldehida dalam gel dan dalam buffer
migrasi, memastikan penghambatan aktivitas dari ribonuklease. Selanjutnya, RNA bermuatan
negatif akan ditrans ferred ke membran nilon didorong oleh gaya kapiler. Prosedur biasanya
berjalan selama semalam. Membran kemudian terkena sinar UV yang intens untuk menginduksi
RNA cross-linking. Selanjutnya, RNA tetap didalam membran hibridisasi dengan probe berlabel,
yang membentuk struktur RNA-DNA atau RNA-RNA untai ganda. Hibridisasi dilakukan
semalam dan terdeteksi oleh autoradiografi atau dengan menggunakan alat phosphoimager.
Suatu flowchart menunjukkan langkah-langkah individu dalam blotting utara dan waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan mereka disajikan pada Gambar dibawah ini.

Gambar 2. Skema Northern Blotting


Prinsip Northern Blotting
Prinsip northern blotting adalah RNA dipisahkan berdasarkan ukuran dan terdeteksi pada
membran menggunakan probe hibridisasi dengan dasar urutan juga memasang semua, atau
sebagian, dari urutan mRNA pada Gambar 2 memberikan gambaran skema northern blotting;
langkah-langkah yang terpisah dalam proses ini dirangkum. Perlu dicatat bahwa meskipun istilah
'Northern blotting' berlaku ketat hanya untuk transfer RNA dari gel ke membran, seluruh
prosedur sering longgar disebut deskriptor.

Pada langkah awal (langkah 1) yaitu untuk mengekstrak total RNA dari jaringan, dengan
menggunakan agen chaotropic seperti guanidinium isothiocyanate. Agen yang mengganggu sel-
sel dan denaturasi protein (termasuk RNases), serta RNA pelarut. Dalam beberapa kasus,
langkah yang terpisah untuk isolasi mRNA dari RNA total dapat disertakan pada (langkah 2),
pemberian ini meningkatkan sensitivitas. Peningkatan sensitivitas berasal dari kenyataan bahwa
hanya beberapa persen dari total RNA diekstraksi dari jaringan adalah mRNA. Isolasi dari
mRNA ke RNA total menggunakan poly-A prosedur + pilihan, dimana melibatkan kolom oligo-
T, atau manik-manik prima dengan oligo-T, untuk mengikat ke poli-A + ekor mRNA.
RNA diekstraksi, dimana RNA total atau poli-A positif yang dipilih, kemudian
dipisahkan berdasarkan ukuran molekul dengan elektroforesis agarosa-gel pada (langkah 3). Ini
diikuti dengan blotting ke membran nilon pada (langkah 4). Membran nilon, terutama membran
bermuatan positif, yang biasanya digunakan dalam preferensi untuk nitroselulosa karena
kapasitas mengikat tinggi untuk asam nukleat dan ketahanan mereka yang lebih besar pada
penanganan. Dua alternatif yang utama tersedia untuk blotting, baik kapiler ataupun vakum.
Pendekatan tradisional adalah dengan menggunakan blotting kapiler, tidak memerlukan peralatan
khusus. Namun, vakum blotting semakin digunakan, karena menawarkan keunggulan dalam hal
kecepatan (1-2 h v. 4-18 h) dan reproduktifitas. Sebuah blot memberikan refleksi yang tepat pada
membran spesies RNA dipisahkan dari gel. Gel itu sendiri terlalu rapuh untuk diperiksa
langsung, dan probe hibridisasi tidak akan mudah menembus gel. Berikutnya blotting RNA harus
bergerak pada membran pada (langkah 5), baik dengan pemanggangan di oven ataupun dengan
paparan sinar UV. Hal ini menyebabkan hubungan kovalen dari RNA ke membran, mencegah
asam nukleat hanyut selama pengolahan. Hibridisasi Probe kemudian harus disiapkan pada
(langkah 6), dan probe hibridisasi dengan membran pada (langkah 7). Hal ini diikuti dengan
mencuci keketatan setelah proses hibridisasi, yang memastikan bahwa probe terikat secara
khusus untuk mRNA target dan bahwa ada diabaikan non-spesifik mengikat mRNA lain atau
membran nilon itu sendiri. Sinyal hibridisasi kemudian terdeteksi, dan biasanya dengan film
serta dihitung mana yang dibutuhkan oleh densitometri pada (langkah 8). Pilihan harus dibuat
dalam pemilihan probe hibridisasi dan sifat dari sinyal deteksi, dan ini dianggap secara rinci pada
bagian berikutnya.

Soal tambahan : Apa fungsi zat anti RNAse?


Sejumlah kecil ribonucleases (RNase) kadang-kadang dapat dimurnikan bersama dengan
RNA yang diisolasi dan mengganggu aplikasi hilir. Kontaminasi semacam itu juga dapat
dimasukkan melalui ujung, tabung, dan reagen lain yang digunakan dalam prosedur. Inhibitor
RNase biasanya digunakan sebagai tindakan pencegahan dalam manipulasi enzimatik RNA
untuk menghambat dan mengendalikan kontaminan tersebut.
WESTERN BLOTTING
A. Western Blotting
Western blotting atau immunoblotting adalah istilah yang digunakan untuk proses transfer
dan imunodeteksi protein pada gel yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan berat
molekul protein suatu sampel dalam campuran, membandingkan suatu reaksi silang antar
protein, dan mempelajari modifikasi suatu protein selama sintesis. Dengan cara ini, protein
dalam hitungan nanogram dapat terdeteksi. Western Blotting (WB) merupakan teknik untuk
menandai suatu protein pada membran nitroselulosa, nilon, atau membran transfer lain setelah
protein tersebut terpisahkan melalui elektroforesis. Sehinga protein tersebut dapat dideteksi
melalui metode autoradiografi, pelabelan yang digunakan dengan senyawa-senyawa fluoresen,
pelabelan dengan 125I, pelabelan dengan antibodi terikat protein, lektin atau gen pengikat spesifik
lainnya (Attwood et al., 2006).
Imunodeteksi tidak dilakukan secara langsung pada gel karena sifat gel yang rapuh untuk
dapat melalui proses inkubasi yang lama dan pencucian yang berulang-ulang kali. Untuk
mengatasi hal tersebut maka protein terlebih dahulu ditransfer dari gel ke membran nitroselulosa
(NC) atau membran poliviniliden diflourida (PVDF). Membran ini dapat digunakan sebagai
tempat melekatnya protein yang diuji karena memudahkan manipulasinya, mengurangi lama
waktu pada saat inkubasi dan pencucian, hasil protein yang ditransfer adalah (hasil blot) yang
dipakai lagi untuk imunodeteksi protein yang lain (sesudah diinkubasi menggunakan detergen
untuk menghilangkan probing reagent), blot dapat disimpan selama 1 bulan, dan blot sesuai
untuk berbagai prosedur deteksi.
B. Prosedur Western Blotting
Pertama-tama protein yang diinginkan dipisahkan dari sampel secara elektroforesis.
Elektroforesis merupakan pemisahan protein yang berdasarkan ukuran molekul dalam suatu
tegangan listrik tertentu. Dalam elektroforesis, biasanya sampel mengandung protein biasanya
dicampur dengan SDS. SDS suatu detergen bermuatan negatif. Muatan negatif dari SDS tersebut
mengganggu kestabilan protein,, sehingga protein akan mengalami denaturasi. Interaksi ionik,
jembatan disulfida, dari suatu ikatan hidrogen akan menyebabkan suatu protein mengalami
folding untuk menjaga kestabilannya menjadi terganggu akibat adanya muatan SDS dan juga
muatan protein multimer juga akan terurai menjadi monomer penyusunnya.
Akibatnya, protein-protein yang ada pada sampel membentuk suatu rantai polipeptida
lurus. Semakin besar berat molekul suatu protein, maka rantai polipeptida akan semakin panjang.
Kemudian sampel protein dari rantai polipeptida lurus tersebut akan dimasukkan ke dalam suatu
membran poliakrilamid yang dialiri arus listrik. Protein bermuatan negatif akan bergerak menuju
menuju kutub positif. Laju pergerakan protein dalam membran poliakrilamid tersebut berbeda-
beda hal ini tergantung pada daya hambatnya yaitu daya hambat antara protein dan membran.
Protein yang berukuran lebih besar akan memiliki daya hambat lebih besar akan tetapi
pergerakan proteinnya menjadi lebih lambat dibandingkan dengan pergerakan protein yang
berukuran yang lebih kecil. Kemudian dialiri arus listrik selama beberapa waktu pada protein,
sehingga ketika dialiri arus listrik masing-masing protein akan terpisah berdasarkan ukuran
molekulnya, dimana protein yang lebih kecil atau memiliki berat molekul yang rendah akan
bergerak lebih jauh apabila dibanding dengan protein yang lebih besar. Dalam gel poliakrilamid
akan terbentuk suatu pita-pita yang merupakan protein yang telah terpisah berdasarkan berat dari
molekul (Gambar 2) (Koolman dan Roehm, 2005).
Gambar 2. Protein terpisah berdasarkan berat molekul
Tahap selanjutnya dalam Western Blotting yaitu pemindahan protein dari gel
poliakrilamid menuju gel transfer. Tahap pemindahan tersebut menggunakan arus listrik
sebagai faktor pendorong transfer protein. Oleh karena itu, proses pemindahan tersebut
disebut juga elektrotransfer. Transfer protein dari gel ke membran dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu: difusi sederhana, vacuum assisted sovent flow, dan electrophoretic elution.
Electrophoretic elution (bisa dikerjakan dengan 2 sistem, yaitu (Bollag et al., 1996):
1. Blotting semikering (semi dry transfer)
Blotting semikering adalah menggunakan kertas saring yang telah dibasahi dengan
larutan buffer transfer. Kertas saring tersebut diletakkan di antara gel poliakrilamid dan
gel transfer. Pada blotting kering transfer dapat dilakukan sampai 10-30 menit pada arus
lstrik tertentu.
2. Blotting basah (wet transfer)
Blotting basah tidak menggunakan kertas saring diantara gel poliakrilamid dan gel
transfer, tetapi pada kedua gel tersebut harus diimpitkan serta direndam dalam larutan
buffer transfer. Susunan dari lapisan-lapisan pada blotting basah dapat dilihat pada
Gambar 3 (Wenk dan Fernandis, 2007). Pada tahap ini transfer dengan blotting basah
dapat dilakukan sekitar 45 menit hingga 1 malam. Metode blotting basah ini lebih umum
digunakan karena fleksibilitas dari metode tersebut yang lebih baik.
Gambar 3. Susunan lapisan-lapisan pada blotting basah

Gel transfer yang umum digunakan pada Western Botting ada dua, yaitu nitroselulosa
dan nilon. Pada sebagian besar aplikasi, nitroselulosa lebih umum digunakan karena harganya
relatif tidak mahal dan blokingnya mudah dan cepat untuk dilakukan. Nilon juga digunakan
terutama pada beberapa keadaan khusus. Pertama, kapasitas pengikatan protein yang
dibutuhkan jauh lebih besar dari kapasitas pengikatan dari nitroselulosa dan protein. Yang
kedua, protein tersebut terikat sangat lemah pada nitroselulosa. Dan yang ketiga, adanya
kebutuhan resistensi terhadap tekanan mekanik (Bollag et al., 1996).
Transfer protein dari gel poliakrilamid menuju gel transfer merupakan tahap yang
sangat penting dalam Western Blotting. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam proses transfer protein tersebut.
1. Arus listrik yang digunakan untuk analisis menggunakan western blotting harus
diperhatikan karena arus yang terlalu tinggi dapat menghasilkan panas yang tinggi pula
selama transfer sehingga dapat menimbulkan masalah.
2. Kekuatan ion yang rendah pada larutan buffer transfer dapat digunakan pada tegangan
listrik yang tinggi tanpa perlu dikhawatirkan akan menghasilkan suatu panas yang tinggi.
3. Salah satu arus listrik yang dapat digunakan pada analisis ini adalah 200 mA selama 2 jam.
4. Untuk transfer protein dengan ukuran molekul besar, dapat menggunakan gel dengan
konsentrasi poliakrilamid yang rendah.
5. Buffer transfer dengan kekuatan ionic yang lemah digunakan untuk mengurangi panas hal
ini karena arusnya. Dan pada analisis ini methanol diperlukan untuk meningkatkan
pengikatan protein pada membran dan mengurangi pelebaran gel selama proses transfer.
Tahap terakhir yaitu deteksi protein yang telah dipindahkan ke membran transfer.
Deteksi protein tersebut memanfaatkan interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat
spesifik. Variasi dari metode yang digunakan tersebut terutama terletak pada penggunaan
antibodi primer dan antibodi sekunder, serta penggunaan molekul penanda. Berdasarkan
penggunaan dari antibodi primer maupun antibodi sekunder, ada dua metode pendeteksian,
yaitu: metode secara langsung dan metode secara tidak langsung. Metode langsung yaitu
menggunakan antibodi primer yang telah terkonjugasi dengan suatu molekul marker.
Sedangkan metode tidak langsung menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder.
Antibodi primer tersebut berfungsi sebagai mengikat protein target, sedangkan antibodi
sekunder berfungsi sebagai mengikat antibodi primer dan terkonjugasi pada molekul
penanda. Molekul penanda yang digunakan juga harus bervariasi. Molekul penanda yang
umum digunakan adalah enzim alkalin fosfatase (AP), enzim horsedish peroksidase (HRP),
125
immunogold, dan I. Masing-masing molekul penanda tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Seperti pada molekul penanda immunogold memiliki sensitifitas paling tinggi,
125
yaitu immunogold (1-25 pg). dan HRP, AP dan I yang memiliki sensitivitas relatif rendah
yaitu sekitar 10-20 pg, 10-50 pg, dan 50-100 pg.
EKSPRESI GEN PADA EUKARIOTIK
Pada sel eukariotik, gen dibedakan menjadi 3 macam kelas yakni:
a. Gen kelas I
Meliputi gen-gen yg mengkode 18SrRNA, 28SrRNA dan 5,8SrRNA (ditranskripsi oleh RNA
polimerase I). Pada gen kelas I terdapat dua macam promoter yaitu promoter antara (spacer
promoter) dan promoter utama.
b. Gen kelas II
Meliputi semua gen yang mengkode protein dan beberapa RNA berukuran kecil yang
terdapat di dalam nukleus (ditranskripsi oleh RNA polimerase II). Promoter gen kelas II terdiri
atas 4 elemen yaitu sekuens pemulai (initiator) yg terletak pada daerah inisiasi transkripsi,
elemen hilir (downstream) yang terletak disebelah hilir dari titik awal transkripsi, kotak TATA
dan suatu elemen hulu (upstream).
c. Gen kelas III
Meliputi gen-gen yg mengkode tRNA, 5SrRNA dan beberapa RNA kecil yang ada di dalam
nukleus (ditranskripsi oleh RNA polimerase III). Sebagian besar gen kelas III merupakan suatu
cluster dan berulang.

Sel-sel pada eukariot mengandung sejumlah molekul RNA dengan panjang 300 nukleotida.
Sebagian besar molekul-molekul tersebut disintesis oleh polymerase RNA III diluar nucleus.
Molekul rRNA 5S pada semua sel adalah sama pada semua spesies, bahkan juga sama dengan
rRNA yang terdapat pada mitokondria dan kloroplas. Pada sel eukariotik, gen untuk rRNA 5
tidak terdapat pada kromosom yang sama seperti rRNA jenis lain. Pada sel eukariot ekspresi gen
berlangsung di sejumlah tahapan yang berbeda yaitu : transkripsi, pasca transkripsi, translasi dan
pasca translasi.
Gambar 1. Tahapan Ekspresi Gen Eukariotik
1. Tahap transkripsi

Ekspresi gen terjadi pada tingkat awal transkripsi. Transkripsi diawali oleh suatu unsur
promoter proksimal yang membentuk 30 nukleotida yang berawal dari tempat start transkripsi.
Daerah ini yang mengandung TATA box dengan rangkaian TATA atau rangkaian yang sama.
Struktur ini mengikat suatu kompleks protein yang dikenal sebagai faktor TATA box, dalam hal
ini termasuk protein-protein pengikatan TATA box.
Beberapa promoter tidak mengandung TATA box dan mengewali transkripsi melalu
faktor-faktor yang sama. Factor-faktor ini pada umumnya disebut faktor piranti umum dan basal.
Protein lain dapat berikatan dengan faktor basal pada region promotor dan enhacher DNA
untuk bertindak bersama dengan RNA polymerase untuk dapat mengatur awal transkripsi.
Protein ini disebut factor transkripsi.

Mekanisme pada eukariotik sama dengan yang terjadi pada prokariotik. Dimana proses
transkripsi diawali inisiasi yaitu proses penempelan faktor-faktor transkripsi dan kompleks enzim
RNA polimerase pada daerah promoter. Faktor transkripsi dibedakan atas dua kelompok, yaitu
faktor transkripsi umum dan faktor transkripsi yang khusus pada suatu gen. Penempelan RNA
polimerase pada promoter oleh faktor transkripsi umumnya hanya menghasilkan transkripsi pada
dasar (basal level). Pengaturan transkripsi yang lebih khusus dilakukan oleh suatu gen. Meskipun
demikian, proses terjadinya penempelan tersebut untuk keberlangsungan proses transkripsi.
Setelah faktor-faktor transkripsi yang umum dan polimerase menempel pada promoter,
selanjutnya adalah terjadi proses pembentukan kompleks promoter terbuka. Transkripsi dimulai
pada titik awal dimana terletak beberapa nukleotida sebelum urutan kodon awal ATG.
Pada eukariotik terdiri atas tiga kelas gen, yaitu gen kelas I, gen kelas II, dan gen kelas III
yang masing-masing dikatalisis oleh RNA polimerase dan faktor transkripsi yang berbeda.
2. Tahap pasca transkripsi
Pada tahap ini terjadinya pengaturan setelah terbentuknya mRNA dan selama transport
RNA dari inti ke membrane sitoplasma. Pada tahap ini, RNA mengalami beberapa perubahan
setelah proses transkripsi. Namun mRNA yang ditranskripsikan dari gen berbeda. Pada sel
eukariotik, mRNA harus berpindah dari inti melalui pori-pori inti ke sitoplasma agar dapat
ditranslasikan. Nukleus menguraikan mRNA, untuk mencegah pembentukan protein yang dikode
oleh mRNA. Selama transportasi ini, mRNA terikat pada protein yang membantu penguraiannya.
3. Tahap translasi
Pada translasi terdapat tRNA yang berfungsi untuk mentransfer asam-asam amino ke
dalam ribosom. Molekul tRNA tersebut tidak semuanya identik. Tipe molekul tRNA
menghubungkan kodon mRNA tertentu dengan asam amino tertentu pula. Ketika tiba di
ribosom, molekul tRNA membawa asam amino ke salah satu ujung. Pada ujung lainya terdapat
triplet nukletioda yang disebut sebagai anti kodon yang berdasarkan aturan pemasangan basa,
dimana mengikatkan diri pada kodon komplementer di mRNA
Translasi itu terjadi pada ribosom, tersusun dari sub unit kecil dan sub unit yang besar.
Subunit dibangun oleh protein-protein dan molekul RNA yang disebut RNA ribosom. Ribosom
memudahkan pemasangan antara anti kodon tRNA dengan kodon mRNA selama proses sintesis
protein.
Terdapat tiga tahapan pada proses translasi yaitu inisiasi, elongasi dan terminasi, tahapan-
tahapannya sebagai berikut.
a. Inisiasi

Tahap inisiasi terjadi melibatkan tiga komponen yaitu mRNA. Kemudian mRNA yang
keluar dari nukleus menuju sitoplasma dijemput ribosom, kemudian mRNA masuk ke dalam
“celah” ribosom tersebut. Pada saat mRNA masuk ke ribosom, ribosom akan membaca kodon
yang akan masuk, dengan demikian proses pembacaan kodon dapat berlangsung secara
berurutan. Ketika kodon I terbaca ribosom (misal kodonnya AUG), maka tRNA yang membawa
antikodon UAC dan asam amino metionin akan datang. Lalu tRNA masuk ke celah ribosom
yang berfungsi untuk memudahkan perlekatan yang spesifik antara antikodon tRNA dengan
kodon mRNA selama sintesis protein. Sub unit ribosom dibangun oleh protein dan molekul RNA
ribosomal.

b. Elongasi

Tahap elongasi dari translasi yaitu asam amino ditambahkan satu per satu pada asam
amino yang pertama. Ribosom akan terus bergeser agar mRNA akan lebih masuk, agar dapat
membaca kodon II. (Misalnya pada kodon II yaitu UCA, yang diterjemahkan oleh tRNA yaitu
kodon AGU yang membawa asam amino serine). Di dalam ribosom, metionin yang pertama kali
masuk dirangkaikan dengan serine yang membentuk suatu dipeptida.
Ribosom yang terus bergeser, akan membaca kodon III. (Misalkan kodon III itu GAG,
maka akan diterjemahkan oleh antikodon CUC sambil membawa asam amino glisin). Kemudian
tRNA tersebut masuk ke dalam suatu ribosom. Lalu asam amino glisin kemudian dirangkaikan
pada dipeptida yang telah terbentuk sehingga akan membentuk tripeptida. Demikian selanjutnya
proses pembacaan kode genetika itu berlangsung di dalam ribosom.
Kodon mRNA pada ribosom membentuk ikatan hidrogen dengan antikodon molekul
tRNA yang baru masuk yang membawa asam amino. Molekul mRNA yang telah melepaskan
dari asam amino akan kembali ke sitoplasma untuk mengulangi kembali pengangkutan asam
amino yang lainnya. Molekul rRNA dari sub unit ribosom besar yang berfungsi sebagai enzim
mengkatalisis pembentukan ikatan peptida yang menggabungkan polipeptida yang memanjang
ke asam amino yang baru akan tiba.
c. Terminasi

Tahap akhir dari proses translasi yaitu terminasi. Elongasi berlanjut ketika suatu kodon
stop mencapai suatu ribosom. Triplet basa kodon stop yaitu UAA, UAG, serta UGA. Kodon stop
tidak akan mengkode suatu asam amino melainkan akan bertindak untuk menghentikan translasi.
Polipeptida yang dibentuk kemudian “diproses” menjadi suatu protein.
Pada pembentukan protein, faktor inisiasi untuk translasi terutama inisiasi eukariotik 2
merupakan pusat proses mekanisme pengatur. mRNA lain yang memiliki lengkung tajam akan
menghambat inisiasi translasi.
4. Tahap pasca translasi
Tahap ini merupakan tahap terbentuknya suatu protein. Setelah disintesis, lama hidup
protein tersebut diatur oleh degradasi proteolitik. Protein memiliki waktu paruh yang berbeda-
beda ada yang hanya bertahan beberapa jam atau beberapa hari. Sebagian besar protein
mengalami degadrasi oleh enzim lisosom. Protein lainnya akan didegadrasi oleh protease di
dalam sitoplasma.
DAFTAR PUSTAKA

Attwood, T.K., P.N. Campbell, J.H. Parish, A.D. Smith, J.L. Stirling dan F. Vella (Ed). 2006.
Oxford Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology, Revised Edition,
Oxford:University Press.

Balsover, S.R., J.S. Hyams, S. Jones, E.A. Shepard & H.A. White. 1997. From Genes to Cells.
John Wiley & Sons. New York.

Campbell, Reece, Mitchel. 2002. Biologi Terjemahan edisi kelima jilid 1. Jakarta. Erlangga.

Hirma, R. D., Hariyati, dan Afrina, Y., 2008. Pemotongan Molekul DNA Menggunakan Enzim
Restriksi Endonuklease dan Pengukuran Besarnya Pasangan Basa dari Fragmen yang
Terpotong. Universitas Brawijaya. Malang.

Jenie, Umar A. 1996. Perkembangan Ilmu Teknologi Rekayasa Genetika. Yogyakarta : Mimeo.

Klug, W.S. & M.R. Cummings. 1994. Concepts of Genetics. 4th ed. USA: Macmillan Publishing
Company

Marians, KJ. 1992. Prokaryotic DNA Replication. Annu Rev Biochem.

Marks, D. B., A. D. Marks & C. M. Smith. 1996. Basic medical biochemistry: a clinical
approach. Terj. dari Biokimia kedokteran dasar: sebuah pendekatan klinis. Jakarta : B.U.
Pendit. EGC

Newton, C.R. and A. Graham. 1994. PCR. UK: Bios Scientific Publisher.

Robert K. Murray dkk. 1999. Biokimia Harper Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran; Jakarta

Sri Widyarti, dkk. 2011. Biologi Molekular: Prinsip Dasar Analisis.Jakarta: Erlangga

Susman, Millard. (2001). Genes: Definition and Structure. Encyclopedia of Life Sciences:
Nature Publishing Group.
Tamarin, R. & R.W. Leavitt. 1991. Principles of Genetics, 3rd ed. Wm. USA : Brown Publishers

Terence A Brown. 2001. Southern Blotting and Related DNA Detection Techniques. Journal of
Encyclopedia of Life Sciences : 1 – 6. University of Manchester Institute of Science and
Technology, Manchester, UK.

Triwibowo Yuwono. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta. Erlangga

Oktahidayat, D. K., 2008. Enzim Restriksi: Jenis-Jenis dan Mekanisme Kerja Enzim Restriksi.
Jurnal Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Makassar.

Watson, James D., Tooze, John, Kurtz, David T. 1988. DNA Rekombinan. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai