Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH BIOMOLEKUL DAN REKAYASA GENETIKA

Mata Kuliah : Biomolekul dan Rekayasa Genetika


Dosen : Dr. rer.nat Senam, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA PASCASARJANA


UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
I. Polymerase Chain Reaction (PCR)
A. Pendahuluan ................................................................................................... 1
B. Proses ............................................................................................................... 2
C. Aplikasi ........................................................................................................... 4
II. Cloning
A. Pendahuluan ................................................................................................... 5
B. Proses ............................................................................................................... 8
C. Aplikasi ........................................................................................................... 9
III. Structure of Genes
A. Promotor ....................................................................................................... 10
B. Open Reading Frame ................................................................................... 12
C. Terminator.................................................................................................... 13
IV. Restriction Site and Sequencing
A. Pendahuluan ................................................................................................. 16
B. Proses ............................................................................................................. 17
C. Aplikasi ......................................................................................................... 20
V. Vector Constructions
A. Pendahuluan ................................................................................................. 21
B. Proses ............................................................................................................. 23
C. Aplikasi ......................................................................................................... 24
VI. Gen Expression
A. Pendahuluan ................................................................................................. 26
B. Proses ............................................................................................................. 26
C. Aplikasi ......................................................................................................... 30

ii
VII. Southern Blotting
A. Pendahuluan ................................................................................................. 32
B. Proses ............................................................................................................. 33
C. Aplikasi ......................................................................................................... 35
VIII. Northern Blotting
A. Pendahuluan ................................................................................................. 36
B. Proses ............................................................................................................. 37
C. Aplikasi ......................................................................................................... 39
IX. Westhern Blotting
A. Pendahuluan ................................................................................................. 41
B. Proses ............................................................................................................. 41
C. Aplikasi ......................................................................................................... 45
X. Gen Expression in the Eukaryotic
A. Pendahuluan ................................................................................................. 46
B. Proses dan Aplikasi ...................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 52

iii
I. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

A. Pendahuluan
Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara
in vitro (pada tabung reaksi, bukan pada sel). Teknik PCR dapat digunakan untuk
mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam.
Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing
DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit
genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.

Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah template DNA; sepasang
DNA primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang
komplementer dengan urutan nukleotida DNA template; dNTPs (Deoxynucleotide
triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA.
1. Template DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan
molekul DNA baru yang sama. Template DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA
plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA template tersebut
mengandung fragmen DNA target yang dituju.
2. DNA Primer
DNA primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi
dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk
proses eksistensi DNA.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)
dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin trifosfat),
dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP
(deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block
DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus
–OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan
untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.

1
4. Buffer PCR dan MgCl2
Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk
melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk
menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion
tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi
menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan
interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP
(senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas
dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang
diperlukan. Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan
supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang
diperlukan.
5. Enzim Polimerase DNA
Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA.
Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA.

B. Proses PCR
Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang dalam 30- 40 siklus dan
berlangsung dengan cepat:
1. Denaturasi (Pemanasan)
Di dalam proses PCR, denaturasi awal dilakukan sebelum enzim taq polimerase
ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Denaturasi DNA merupakan proses pembukaan
DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal. Ini biasanya berlangsung sekitar 3
menit, untuk meyakinkan bahwa molekul DNA terdenaturasi menjadi DNA untai
tunggal. Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi
(membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya
proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mengurangi aktifitas
enzim Taq polymerase. Aktifitas enzim tersebut mempunyai waktu paruh lebih dari 2
jam, 40 menit, 5 menit masing-masing pada suhu 92,5; 95 dan 97,5oC.

2
2. Annealing (penempelan primer)
Kriteria yang umum digunakan untuk merancang primer yang baik adalah bahwa
primer sebaiknya berukuran 18 – 25 basa, mengandung 50 – 60 % G+C dan untuk
kedua primer tersebut sebaiknya sama. Sekuens DNA dalam masing-masing primer itu
sendiri juga sebaiknya tidak saling berkomplemen, karena hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya struktur sekunder pada primer tersebut dan mengurangi efisiensi PCR.
Waktu annealing yang biasa digunakan dalam PCR adalah 30 – 45 detik. Semakin
panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran temperatur penempelan
yang digunakan adalah antara 36oC sampai dengan 72oC, namun suhu yang biasa
dilakukan itu adalah antara 50 – 60oC.
3. Extention (Pemanjangan Primer)
Selama tahap ini Taq polymerase memulai aktivitasnya memperpanjang DNA primer
dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72oC
diperkirakan 35 – 100 nukleotida/detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam
dan molekul DNA target. Dengan demikian untuk produk PCR dengan panjang 2000
pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap perpanjangan primer
ini. Biasanya di akhir siklus PCR waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang
sampai 5 menit sehingga seluruh produk PCR diharapkan terbentuk DNA untai ganda.

Reaksi-reaksi tersebut di atas diulangi lagi dari 25 – 30 kali (siklus) sehingga pada akhir
siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru yang merupakan hasil
polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA
cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA
target dalam campuran reaksi. Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan
menggunakan elektroforesis gel agarosa. Metode ini terdiri atas menginjeksi DNA ke
dalam gel agarosa dan menyatukan gel tersebut dengan listrik. Hasilnya untai DNA kecil
pindah dengan cepat dan untai yang besar diantara gel menunjukkan hasil positif.

3
Gambar 1. Proses PCR

C. Aplikasi
a. Bidang Forensik
1) Munculnya sidik jari berbasis PCR
2) Pegujian Sidik jari DNA dengan metode Paternitas
3) Pengujian DNA pada putung rokok, helai rambut, dan lain-lain

b. Bidang Kedokteran
Teknik PCR telah menjadi alat diagnostik dan penelitian standar di bidang kedokteran
gigi. PCR dan teknik biologi molekuler lainnya memungkinkan diagnosis mikroba
infeksi yang menyebabkan infeksi maksilofasial. Ini membantu dalam manajemen yang
efektif dari kondisi seperti penyakit periodontal, karies, kanker mulut, dan infeksi
endodontik.

4
c. Bidang Virologi
Aplikasi Teknik PCR menggunakan Primer Degenerate dan Spesifik Gen AV1 untuk
mendeteksi Begomovirus pada tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Tujuan dari
penelitian adalah untuk mendeteksi begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat
menggunakan teknik PCR dengan primer degenerate dan spesifik. Selain itu, PCR
konvensional dan Real Time PCR digunakan untuk mendeteksi White Spot Syndrome
Virus pada kepiting. Tujuan dari penelitian adalah untuk mencari metode deteksi White
Spot Syndrome Virus yang terbaik pada kepiting sebagai Carrier WSSV yang
menginfeksi udang windu.
d. Bidang Mikrobiologi
Deteksi cepat bakteri Escherichia coli dalam sampel air dengan metode PCR
menggunakan primer 16e1 dan 16e2. DNA genomik Escherichia coli diekstraksi
menggunakan metode boiling, kemudian diamplifikasi menggunakan primer 16e1 dan
16e2. Hasil PCR positif Escherichia coli ditunjukkan dengan adanya fragmen DNA
pada ukuran sekitar 584 pasang basa pada gel elektroforesis. Langkah aplikasi PCR
dalam kasus ini, yaitu:
1) Penyiapan template DNA Escherichia coli
2) Penyiapan template DNA dari sampel air dengan metode boiling
3) Amplifikasi template DNA dengan PCR
4) Analisis hasil PCR dengan elektroforesis gel agarosa
5) Deteksi Escherichia coli secara konvensional menggunakan media perbenihan
e. Bidang Kesehatan
Teknik PCR dapat mendiagnosis penyakit influenza A (H1N1) yang sebelumnya
disebut flu babi dengan cepat dan akurat. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa
dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR mengamplifikasi
daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak
dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya. Selain itu, juga dapat mendeteksi virus
dengue: DEN 1-4, penentuan spesies Plasmodium dalam kasus infeksi malaria,
identifikasi gen Mycobacterium tuberculosis yang bertanggung jawab dalam
pathogenesis, serta Genotyping Salmonella enterica serovar Typhi sebagai penyebab
demam tifoid.

5
II. CLONING

A. Pendahuluan

Kloning berasal dari kata “clone” yang berasal kata dari bahasa inggris memiliki arti
“Potongan” biasanya dipakai untuk memperbanyak tanaman, untuk pertama kalinya cloning
muncul karna usulan dari salah satu para ahli bernama Herbert Webber pada tahun 1903.
Secara terminologis, kloning adalah proses pembuatan sejumlah besar sel atau molekul yang
seluruhnya identik dengan sel atau molekul asalnya. Kloning dalam bidang genetika
merupakan replikasi segmen DNA tanpamelalui proses seksual. Itulah sebabnya, kloning
juga dikenal dengan istilahrekombinasi DNA. Rekombinasi DNA membuka peluang baru
dalam terobosanteknologi untuk mengubah fungsi dan perilaku makhluk hidup sesuai
dengankeinginan dan kebutuhan manusia.

Kloning melibatkan lima komponen utama, yaitu : fragmen DNA (gen) yang akan di kloning
(disebut juga DNA sisipan), DNA vektor (bisa plasmid, bakteriofage atau cosmid), enzim
restriksi, enzim ligase, dan sel inang (bakteri atau ragi).
1. DNA sisipan (Insert).
Tujuan kloning adalah memperbanyak suatu fragmen DNA dari suatu organisme dalam
suatu sel inang. Namun tujuan akhirnya bisa bermacam-macam, diantaranya: produksi
protein penting dengan skala besar, untuk deteksi patogen atau sel abnormal, dan
identifikasi DNA sidik jari pada kasus forensik dan hubungan kekerabatan antara
individu. DNA sisipan bisa diperoleh dengan dua cara, yaitu : Produk PCR; dan Fragmen
DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi yang spesifik.

Gambar 2. DNA Sisipan

6
2. DNA vektor / plasmid vektor
DNA Vektor merupakan pembawa molekul DNA di dalam proses pengklonan Gen.
Plasmid sendiri merupakan salah satu vektor yang biasa digunakan dalam proses
pengklonan gen. Plasmid ialah molekul DNA rantai ganda yang berbentuk (tak berujung)
yang berukuran kecil dan terdapat di dalam sitoplasma. Karakteristik yang penting dari
plasmid adalah dapat melakukan replikasi, terdapat di luar kromosom dan secara genetik
dapat ditransfer dengan stabil. Plasmid terdapat baik secara alami maupun sudah
mengaami modifikasi yang disesuaikan dengan keperluan di dalam manipulasi genetik.
Keunggulan plasmid, yaitu:
1) Plasmid dapat bereplikasi sendiri di dalam sel inang karena mempunyai suatu urutan
DNA spesifik.
2) Plasmid telah memiliki sisi pengenalan beberapa enzim restriksi sehingga dapat
disisipi DNA asing.
3) Plasmid mengandung gen resistensi terhadap antibiotik, yang berguna untuk seleksi
DNA rekombinan.

Ampr = mengkode enzim


Ori = titik awal DNA bereplikasi

Gambar 3. Plasmid

3. Enzim Retriksi
Enizim retriksi adalah enzim yang berasal dari mikroba yang bekerja untuk memotong
sekuens atau urutan DNA rantai ganda secara spesifik. Sekuen pengenalan merupakan
sekuen DNA yang menjadi tempat menempelnya enzim restriksi saat melakukan
pemotongan.

7
4. Enzim Ligase
Enzim ligase adalah enzim yang berfungsi untuk menyambung dua ujung potongan DNA.
Enzim ligase yang sering digunakan adalah DNA ligase dari E. Coli dan DNA ligase dari
Fage T4. Berikut adalah prinsip kerja enzim ligase.
1) Enzim ligase menyambung dua ujung DNA yang semulanya terpotong
2) Penyambungan dilakukan dengan cara menyambung 2 ujung DNA melalui ikatan
kovalen antara ujung 3’OH dari utas satu dengan ujung 5’P dari utas yang lain.
3) Penggunaan ligasi DNA ini mengkatalis ikatan fosfodiester antara kedua ujung DNA
sehingga kedua fragmen DNA yang berupa potongan bisa bersatu menjadi satu.

5. Sel Inang
Tempat DNA dibiakan biasanya berupa organisme uniseluler, contohnya bakteri.

Gambar 4. Sel Inang

B. Proses
Kloning gen terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Isolasi DNA
Adapun tujuan dari isolasi fragmen DNA ini adalah untuk memisahkan antara fragmen
DNA yang baik dan yang buruk, di mana nantinya yang baiklah yang akan digunakan
untuk dipasangkan dengan DNA yang baik lainnya. Perlu diketahui bahwa pada proses
ini setidaknya membutuhkan DNA primer, DNA polimerasi serta DNA yang merupakan
campuran dari 4 deoksiribonukleotida-trifosfat yang terdiri atas dATP, dCTP, dGTP dan
dTTP.

8
b. Pemotongan DNA dengan Enzim Restriksi
Tahap ini Dilakukan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease. Pemutusan ini
dilakukan di dalam strain tertentu yang bertujuan untuk mencegah agar tidak merusak
DNA.
c. Penyambungan Fragmen Menggunakan Enzim Ligase
Penyambungan fragmen DNA merupakan tahapan penggabungan antara fragmen DNA
satu dengan yang lainnya sehingga nantinya akan tercipta DNA rekombinan. Proses ini
biasanya akan berlangsung pada suhu 4-15oC dalam jangka waktu 24 jam. Berikut adalah
beberapa cara penyambungan fragmen DNA:
1) Cara I – menggunakan enzim DNA ligase yang berasal dari bakteri.
2) Cara II – menggunakan DNA ligase yang berasal dari bakteri E-Coli yang sudah
terinfeksi oleh bakteriofag T4 atau biasa disebut enzim T4 ligase.
3) Cara III – dengan cara memberi enzim deoksinukleotidil transferase agar fragmen
DNA tersebut dapat tersintesis dengan baik.
d. Transformasi Rekombinan DNA ke dalam Sel Inang
Perpindahan molekul DNA yang berasal dari pendonor yang berada diluar lingkup sel
atau memasukan DNA ke dalam sel inang. Transformasi dapat dilakukan dengan cara:
1) Heat Shock (Kejutan Panas), dimana campuran sel dan DNA plasmid rekombinan
didinginkan dalam waktu yang lama, kemudian di panaskan dengan segera pada suhu
42°C.
2) Elektroporasi (kejutan listrik) menggunakan suatu alat yang dialiri arus listrik
e. Seleksi Klon Rekombinan
Seleksi klon rekombinan ini bertujuan untuk menentukan koloni mana yang membawa
plasmid rekombinan. Terdapat beberapa cara seleksi klon rekombinan, di antaranya:
1) Seleksi berdasarkan sifat resistan terhadap antibiotik.
2) Seleksi dengan melibatkan gen LacZ.

C. Aplikasi
Kloning hewan pada domba dolly. Mekanisme Kloning sel domba dengan menggunakan
kelenjer susu domba finndorset sebagai donor inti dan sel telur domba blackface sebagai
resipien. Sel telur domba blackface dihilangkan intinya dengan cara menghisap nulkeusnya

9
keluardari sel menggunakan pipet mikro. Kemudian, sel kelenjer susu domba finn dorset
difusikan dengan sel telur blackface yang tanpa nukleus. Proses penggabungan inidibantu
oleh kejutan/sengatan listrik, sehingga terbentuk fusi antara sel telurdomba blackface tanpa
nucleus dengan sel kelenjar susu dompa finndorsat. Hasilfusi ini kemudian berkembang
menjadi embrio dalam tabung percobaan dankemudian dipendahkan kedalam rahim domba
blackface. Kemudian embrioembrio berkembang dan lahir dengan ciri-ciri sama dengan finn
dorset.

Gambar 5. Domba Dolly

10
III. STRUCTURE OF GENES

A. Promotor
Promoter adalah situs (daerah) yang dikenali pertama kali oleh RNA polimerase sebagai
tempat penempelannya. Promoter ini merupakan sekuensi DNA yang terdiri dari sekitar 40
pb yang terletak tepat sebelum situs mulainya transkripsi. Untuk memudahkan para ahli,
pemberian kode +1 berarti bahwa pada situs tersebut nukleotida pertama disintesis. Jadi,
promoter terletak di daerah sebelum atau di depan (up-stream) situs +1. Daerah sebelum
+1 diberi kode mulai -1, -2 dan seterusnya.

Pada prokariot, dua daerah yang hampir selalu ada pada promoter adalah sekuensi -35 dan
-10. Kedua daerah tersebut terdiri dari 6 pb yang keduanya dipisahkan oleh sekitar 25 pb.
Pada daerah -35 (antara -35- -30), tiga basa yang hampir selalu (75%) ada adalah TTG... .
Pada daerah -10 (antara -12- -7), basa yang dikonversi adalah TA... T. Daerah ini disebut
juga dengan kotak Pribnov (Pribnov box) yang merupakan daerah peringatan bagi RNA
polimerase untuk memulai transkripsi.

Gamba 6. Tata Box

Pada eukariot, RNA polimerase II akan mengenali daerah promoter yang lebih awal yaitu
pada -130 yang disebut juga dengan kota CAAT (CAAT box) dan -30 yang disebut dengan
kotak TATA (TATA box) atau disebut juga kotak Goldberg-Hogness yang kaya basa AT.
Kotak TATA ini mempunyai kesamaan dengan kotak Pribnov pada prokriot.
11
Proses pemajangan RNA dilakukan leh RNA polimerase yang sudah tidak mengandung
faktor sigma. Posisi faktor sigma digantikan oleh NusA. Pada tahap ini ribonukleotida
secara suksesif menempel pada utas RNA yang sedang tumbuh membentuk hibrid DNA/
RNA. RNA polimerase bergerak terus sepanjang utas DNA sambil memisahkan kedua utas
DNA. Utas DNA yang terurai secara lokal ini besarnya sekitar 17 pb. Pada tahap
pemanjangan ini RNA polimerase menutupi DNA sepanjang sekitar 60 pb. Dengan
bergeraknya sintesis RNA, pada bagian tertentu dari utas RNA yang telah disintesis
berpisah dengan utas DNA sedangkan bagian yang lain masih membentuk hibrid
RNA/DNA dengan panjang sekitar 12 pb.

B. Open Reading Frame


Open Reading Frame (ORF) adalah urutan DNA yang terdiri dari kembar tiga yang bisa
diterjemahkan menjadi asam amino dimulai dengan kodon inisiasi dan diakhiri dengan stop
kodon. Kodon start adalah kodon yang akan memulai proses pembacaan kodon. Triplet
basa yang menjadi kodon start adalah AUG. Kodon stop adalah kodon yang akan
mengakhiri proses pembacaan kodon. Triplet basa yang menjadi kodon stop adalah UAA,
UAG atau UGA. Artinya jika dalam suatu deret kodon terdapat salah satu dari kodon stop
tersebut maka pembacaan kodon akan langsung berhenti. Mereka juga dikenal secara
historis sebagai kodon omong kosong. Kodon UAA disebut oker, dan kodon UAA disebut
amber, setelah nama-nama mutasi omong kosong dengan mana mereka awalnya
diidentifikasi. Kerangka baca yang tersumbat tidak dapat diterjemahkan menjadi protein
karena kejadiannya kode terminasi. Jika kode genetik dibaca dalam triplet yang tidak
tumpang tindih, ada tiga cara yang memungkinkan menerjemahkan urutan nukleotida
menjadi protein, tergantung pada titik awalnya. Proses transkripsi tidak akan dimulai
sebelum ada kodon start tersebut. Berikut adalah gambar open reading frame (ORF).

12
Gambar 7. Open Reading Frame

Adapun cara pembacaan Open Reading Frame adalah sebagai berikut.

Gambar 8. Pembacaan ORF

C. Terminator
Terminasi yaitu berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi kompleks transkripsi
atau terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-kofaktornya dari untai DNA
cetakan. Begitu pula halnya dengan molekul RNA hasil sintesis. Hal ini terjadi ketika RNA
polimerase mencapai urutan basa tertentu yang disebut dengan terminator.Terminasi
transkripsi dapat terjadi oleh dua macam sebab, yaitu terminasi yang hanya bergantung
kepada urutan basa cetakan (disebut terminasi diri) dan terminasi yang memerlukan

13
kehadiran suatu protein khusus (protein rho). Di antara keduanya terminasi diri lebih umum
dijumpai. Terminasi diri terjadi pada urutan basa palindrom yang diikuti oleh beberapa
adenin (A). Urutan palindrom adalah urutan yang sama jika dibaca dari dua arah yang
berlawanan. Oleh karena urutan palindom ini biasanya diselingi oleh beberapa basa
tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan akan mempunyai ujung terminasi berbentuk
batang dan kala (loop). Berikut ini alur dari proses terminasi pada sel eukariot.
1. Rho Independent
• Dalam mekanisme ini, transkripsi dihentikan karena urutan spesifik dalam
terminator DNA.
• Terminator DNA mengandung invert repeat yang menyebabkan pasangan bebas
sebagai transkrip RNA membentuk struktur pin rambut.
• Ulangi terbalik ini diikuti oleh jumlah TTTTTTTT (~ 8 bp) yang lebih besar pada
DNA templat. Urasil muncul dalam RNA. Beban struktur pin rambut tidak
ditoleransi oleh pasangan basa A = U sehingga RNA terpisah dari heteroduplex
RNA-DNA .

Gambar 9. Rho Independen


2. Rho dependent
• Dalam mekanisme ini, transkripsi diakhiri oleh protein rho (ρ).
• Ini adalah protein ATpase mengikat untai tunggal berbentuk cincin.

14
• Protein yang mengikat RNA untai tunggal saat keluar dari kompleks enzim
polimerase dan menghidrolisis RNA dari kompleks enzim.
• Protein rho tidak mengikat RNA yang proteinnya sedang diterjemahkan.
Sebaliknya itu mengikat RNA setelah terjemahan.
• Pada bakteri transkripsi dan translasi terjadi secara bersamaan sehingga protein rho
mengikat RNA setelah terjemahan selesai tetapi transkripsi masih ON.

Gambar 10. Rho Dependen pada transkripsi prokariot

Sedangkan pada sel prokariot, alur dari proses terminasi sebagai berikut.
• Pembentukan ikatan peptida dan perpanjangan polipeptida berlanjut sampai berhenti
kodon muncul di situs-A.
• Jika stop kodon muncul di situs A itu tidak dikenali oleh t-RNA yang membawa asam
amino karena kodon stop tidak memiliki antikodon pada mRNA.
• Stop kodon dikenali oleh protein berikutnya yang disebut faktor pelepasan (Rf-1, RF-
2 dan RF-3) yang menghidrolisis dan menyebabkan pelepasan semua komponen
yaitu 30s, 50S, mRNA dan memisahkan polipeptida.
• RF-1 mengenali UAA dan UAG sementara RF-2 mengenali UAA dan UGA
sementara RF-3 memisahkan subunit 30S dan 50S.

15
IV. RESTRICTION SITE AND SEQUENCING

A. Pendahuluan
Restriction site adalah lokasi pada molekul DNA yang mengandung urutan nukleotida
spesifik (4-8 pasangan panjang), yang dikenali oleh enzim restriksi. Perkembangan teknologi
DNA rekombinan sangat dimungkinkan karena penemuan enzim yang dapat memotong
molekul DNA pada lokasi-lokasi spesifik yang jumlahnya terbatas. Enzim-enzim tersebut
dikenal sebagai enzim restriksi. Enzim restriksi adalah enzim yang bekerja untuk memotong
fragmen DNA pada situs spesifik. Enzim retriksi ditemukan pertama kali pada akhir tahun
1960-an. Kerja enzim ini dalam tubuh inangnya adalah mengenali dan memotong DNA
(termasuk DNA fage tertentu) yang asing bagi bakteri tersebut.

Enzim restriksi memiliki tiga tipe yaitu: Tipe I memotong DNA secara acak dan jauh dari
sekuens pengenalannya; Tipe II memotong DNA dekat atau pada situs pengenalan, tipe ini
menghasilkan fragmen-fragmen sesuai dengan yang diinginkan sehingga biasa digunakan
untuk analisis DNA dan kloning gen, enzim tipe II yang umum digunakan adalah HhaI,
HindIII, EcoRI; Tipe III tidak digunakan dalam laboratorium. Hal ini dikarenakan enzim ini
memotong di luar situs pengenalan dan membutuhkan dua sekuen dengan orientasi
berlawanan pada DNA yang sama untuk menyelesaikan pemotongan sehingga enzim ini
jarang menghasilkan potongan sempurna.

Hasil pemotongan enzim restriksi ada dua jenis, yaitu blunt end (hasil pemotongan yang
menghasilkan ujung tumpul) dan sticky end (hasil pemotongan yang menghasilkan ujung
lancip/lengket).

Gambar 11. Contoh hasil pemotongan

16
Sequencing adalah penentuan urutan basa DNA dalam segmen molekul DNA yang relatif
pendek, yang memungkinkan untuk dapat mengetahui kode genetik dari molekul DNA. Pada
mulanya, Sequencing DNA dilakukan dengan mentranskripsikannya ke dalam bentuk RNA
terlebih dahulu karena metode Sequencing RNA telah ditemukan sebelumnya. Pada tahun
1965, Robert Holley dan timnya dari Cornell University di New York, Amerika Serikat,
mempublikasikan sekuens tRNA alanin dari khamir yang terdiri atas 77 nukleotida.
Sequencing tRNA tersebut membutuhkan waktu 7 tahun dan hasilnya merupakan sekuens
molekul asam nukleat yang pertama kali dipublikasikan.

DNA sequencing menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) sebagai


pijakannya. DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGTnya dijadikan sebagai template
untuk kemudian diamplifikasi menggunakan enzim dan bahan-bahan yang mirip dengan
reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu, Proses ini dinamakan cycle
sequencing. Perbedaan cycle sequencing dengan PCR biasa yaitu primer yang digunakan
hanya satu untuk satu arah pembacaan, tidak dua (sepasang) seperti PCR dan ddNTPs
(dideoxy-Nucleotide Triphosphate) adalah modifikasi dari dNTPs dengan menghilangkan
gugus 3′OH pada ribose.

Saat proses ekstensi, enzim polimerase akan membuat rantai baru DNA salinan dari template
dengan menambahkan dNTP-dNTP sesuai dengan urutan pada DNA cetakannya. Jika yang
menempel adalah ddNTP, maka otomatis proses polimerisasi akan terhenti karena ddNTP
tidak memiliki gugus 3′-OH yang seharusnya bereaksi dengan gugus 5′-Posfat dNTP
berikutnya membentuk ikatan posfodiester. Pada akhir cycle sequencing, yang dihasilkan
adalah fragmen-fragmen DNA dengan panjang bervariasi. Jika fragmen-fragmen tersebut
dipisahkan dengan elektroforesis, maka akan terpisah-pisah dengan jarak antar fragmennya
satu basa- satu basa.

B. Proses
Dalam proses sequencing, terdapat 2 metode, Metode Maxam-Gilbert dan Metode Sanger.
Metode Maxam-Gilbert mulanya cukup populer karena dapat langsung menggunakan DNA
hasil pemurnian, sedangkan metode Sanger pada waktu itu memerlukan kloning untuk
membentuk DNA untai tunggal. Sekarang sekuensing Maxam-Gilbert menjadi tidak populer

17
karena kerumitan teknisnya, digunakannya bahan kimia berbahaya, dan kesulitan dalam scale-
up. Berikut adalah tahapan sequencing metode Sanger, yaitu:
1. Menyediakan dsDNA (double strand DNA)
2. Memotong dsDNA (double strand DNA) menjadi ssDNA (single strand DNA)
3. Mengambil template (cetakan) DNA dari ssDNA hasil potongan dari dsDNA tadi
4. Menyediakan seluruh alat dan bahan untuk sekuensing DNA. Bahan untuk sekuensing
adalah template (cetakan) DNA, primer, dNTP, ddNTP dan enzim polymerase
5. Menyiapkan 4 tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi diberikan ddNTP, yaitu
ddGTP, ddCTP, ddATP, dan ddTTP. Masing-masing tabung reaksi diisi dengan ddNTP
yang berbeda.
6. Setelah masing-masing tabung diisi dengan ddNTP, kemudian masing-masing tabung
diisi dengan dNTP, yaitu dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP.

Gambar 12. Tabung reaksi diisi dengan dNTP


7. Memasukkan primer ke dalam tabung reaksi, juga dimasukkan enzim polimerase (taq-
polymerase)
8. Enzim polymerase terus mengkatalisis pembentukan polinukleotida dari nukleotida
dNTP (deoksi nukleotida tri phospat)

Gambar 13. Proses katalisis pembentukan Polinukleotida


9. Pada saat enzim taq-polymerase mengkatalisis pembentukan ikatan antara nukleotida,
deoksi-nukleotida (ddNTP) hadir berikatan dengan polimer nukleotida sebelumnya.

18
10. Kehadiran ddNTP (deoksinukleotida) mengakibatkan terhentinya/terminasi proses
polimerase, sehingga dihasilkan rantai polinukleotida yang berbeda panjangnya.

Gambar 14. Hasil rantai polinukleotida yang berbeda panjangnya


11. Keberadaan ddNTP menghalangi terbentuknya ikatan phospodiester antara satu nukleotida
dengan nukleotida berikutnya, sehingga mengakibatkan terminasi/pengakhiran proses
polimerisasi.

Gambar 15. Struktur dNTP dan ddNTP Gambar 16. Proses Terminasi
12. Kehadiran ddNTP menghasilkan beberapa rantai polinukleotida berbeda
13. Kegiatan nomor 7-11 dilakukan pada keempat tabung reaksi
14. Keempat tabung reaksi tersebut dipersiapkan untuk dialirkan pada gel agarosa
15. Perbedaan panjang polinukleotida tersebut, mengakibatkan perbedaan letak pada gel
agarosa. Polinukleotida yang paling pendek bermigrasi/pergerakannya paling cepat pada
gel agarosa.

19
Gambar 17. Tabung reaksi dialirkan pada Gel Agarosa dan perbedaan letak polinukleutida
16. Hasil pembacaan sekuensing dari arah 5’ ke 3’ adalah rantai kompemen, yaitu 5’
AGCCGATCC 3’. Sehingga DNA templatenya adalah 5’ GGATCGGCT 3’

Gambar 18. Hasil Pembacaan Sequencing DNA

C. Aplikasi
Dalam ilmu pengobatan, sekuensing DNA digunakan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis,
dan mengembangkan pengobatan penyakit genetik. Tahun 1970 merupakan awal
pengembangan sekuensing DNA dengan metode kromatografi. Pada bidang forensik,
sekuensing DNA telah diterapkan dalam ilmu forensik untuk mengidentifikasi individu
tertentu karena setiap individu memiliki urutan yang unik pada DNA nya. Hal ini terutama
digunakan untuk mengidentifikasi pelaku criminal dengan mencari beberapa bukti yang
tertinggal pada TKP berupa sampel rambut, kuku, kulit atau darah. Sekuensing DNA juga
digunakan untuk menentukan orang tua dari seorang anak.

Dalam penelitian medis, sekuensing DNA dapat digunakan untuk mendeteksi gen yang terkait
dengan beberapa faktor keturunan atau penyakit yang diperoleh. Para ilmuwan menggunakan
teknik yang berbeda dari rekayasa genetika seperti terapi gen untuk mengidentifikasi gen yang
cacat dan menggantinya dengan yang sehat, serta untuk mendeteksi dan mengobati beberapa
penyakit. Misalnya pada kanker, dokter semakin dapat menggunakan data sekuens untuk
mengidentifikasi jenis kanker tertentu yang dimiliki pasien.

20
V. Vector Construction

A. Pendahuluan
Vektor adalah alat pengangkut yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk kedalam sel
inang hingga memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi fragmen DNA tersebut. Vektor
merupakan DNA yang melingkar dan dapat digunakan untuk proses kloning gen maupun
perbanyakan fragmen DNA secara in vitro. Vektor di sini diartikan sebagai alat pembawa
DNA ke dalam sel induk barunya. Syarat vektor: 1) mampu bereplikasi mandiri; 2)
mengandung penanda/marker; 3) berat molekul kecil; 4) memiliki situs restriksi unik.

Komponen-komponen Vektor:
1. Origin of Replication
Ori merupakan tempat awal replikasi DNA di sel Prokariot (tempat pengenalan). Pada
daerah ini banyak terdapat basa adenin (A) dan timin (T), ikatan yang terjadi antara basa
A dan T terdiri dari dua buah ikatan hidrogen, sehingga kemungkinan untuk memisahkan
diri ketika replikasi DNA akan lebih mudah dari pada pasangan G-C ikatan hidrogen.

Gambar 19. ORI

2. ARS (Autonomous Replication Sequence


ARS merupakan tempat awal replikasi untuk DNA di sel eukariot. Pada daerah ini banyak
mengandung basa adenin dan timin.

21
Gambar 20. ARS

3. Gen AmpR
Bakteri tidak mampu hidup dalam media pertumbuhan yang mengandung antibiotik
ampisilin karena kemampuan pembentukan dinding sel bakteri yang tergantung adanya
anti biotik ampisilin pada media tersebut. Oleh karena itu diperlukan gen AmpR yang
dapat mengkode enzim β-laktamase yang dapat merusak cincin β-laktam pada molekul
antibiotik ampisilin. Jika cincin pada β-laktam. Mengalami kerusakan maka kinerja
antibiotik ampisilin tidak berfungsi lagi, sehingga sel bakteri tetap mampu membentuk
dinding sel dan mampu hidup dalam media yg mengandung antibiotik ampisilin.

Gambar 21. Gen AmpR


4. Gen Marker
Gen marker ini bermanfaat untuk seleksi transforman mikroorganisme eukariot. Apakah
gen yang ingin diekspresikan telah masuk dalam inang atau belum.

Ada beberapa macam vektor yang dapat digunakan yang sel inangnya merupakan bakteri,
misalnya E.Coli, antara lain:
1. Plasmid
Plasmid adalah molekul DNA dupleks kecil melingkar yang fungsi alaminya memberikan
resistensi antibiotik terha-dap sel inang. Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning,
plasmid harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

22
• Mempunyai ukuran relative kecil bila dibandingkan dengan pori dinding sel sebingga
dapat dengan mudah melintasinya.
• Mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai masuk tidaknya
plasmid ke dalam sel inang.
• Mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam salah satu
marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA.
• Mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi di dalam sel
inang.
2. Bakteriofag
Bakteriofag adalah virus kompleks yang menginfeksi bakteri. Bakteriofag biasanya
memiliki molekul DNA linier tempat DNA asing dapat dimasukkan ke dalamnya di
beberapa lokasi enzim restriksi. DNA gabungan dikumpulkan setelah bakteriofage
menjalani siklus litiknya dan menghasilkan partikel-partikel bakteriofage infektif yang
matang. Keunggulan vektor ini yaitu dapat menerima potongan DNA dengan panjang 10-
20 kb.
3. Kosmid
Kosmid merupakan gabungan dari kos DNA λ dengan plasmid. Kemampuannya untuk
membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb menjadi-kan kosmid lebih
menguntungkan daripada fag λ dan plasmid.
4. BAC (Bacterial Artifical Chromosome
Vektor BAC mengandung sekuens dari plasmid F E.Coli dan mempu-nyai kemampuan
untuk mengkloning sampai dengan 75-200 kb fragmen.

B. Proses
Pertama yang dibutuhkan untuk mengkonstruksi veKtor adalah ekstracrhomosomal yang
mereplikasi plasmid sikular. Selain itu, juga membutuhkan nzim restriksi yang digunakan
untuk memotong restriction site di mana gen yang diinginkan akan terikat dan sebuah DNA
ligase untuk menggabungkan gen dalam plasmid pada restriction site.

23
Gambar 22. Proses konstruksi vektor

C. Aplikasi
Salah satu aplikasi konstruksi vektor yaitu pada biner gen Kappa(κ)-carrageenase dan
transformasi ke agrobacterium tumefaciens sebagai media untuk pembuatan rumput laut
transgenik. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan konstruksi gen κ-Carrageenase, dan
Agrobacterium tumefaciens membawa konstruksi gen tersebut. Gen penyandi enzim κ-
Carrageenase (κ-Car) berperan dalam biosintesis κ-karagenan. Sekuen gen κ-Car diligasi
antara sekuen promoter 35S CaMV dan terminator Nos untuk menghasilkan vektor ekspresi
pMSH/κ-Car. Ekspresi gen κ-Car pada plasmid pMSH/κ-Car diatur oleh promoter 35S
CaMV dan terminator Nos.

Transformasi plasmid pMSH/κ-Car ke bakteri Escherichia coli dilakukan menggunakan


metode heat-shock, sedangkan ke Agrobacterium tumefaciens menggunakan metode tri-
parental mating. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa koloni bakteri E. coli dan A.
tume-faciens tumbuh pada media selektif yang mengandung antibiotik. Analisis PCR dengan
templat DNA dari koloni bakteri E. coli dan A. tumefaciens tersebut menggunakan primer
35S-Forward dan tNos- Reverse menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 2.000 bp,

24
sama dengan total ukuran sekuen promoter 35S CaMV, gen κ-Car, dan terminator tNos. Hal
tersebut menunjukkan bahwa konstruksi pMSH/κ-Car telah berhasil dibuat, dan koloni A.
tumefaciens transforman positif membawa plasmid pMSH/κ-Car telah dihasilkan.

Gambar 23. Contoh rumput laut transgenik

25
VI. Gen Expression

A. Pendahuluan
Ekspresi gen merupakan suatu proses penerjemahan informasi yang dikode oleh gen menjadi
urutan asam amino dalam sintesis protein. Dalam sintesis protein, informasi genetik yang
dibawa DNA akan disalin menjadi mRNA melalui proses transkripsi. Selanjutnya mRNA
yang terbentuk diterjemahkan menjadi polipeptida melalui proses translasi.

Gambar 24. Ekspresi gen


B. Proses
Transkripsi merupakan proses pembentukan molekul RNA dengan menggunakan DNA
sebagai cetakannya. Proses transkripsi menghasilkan tiga jenis RNA yaitu: RNA duta
(mRNA= messenger RNA), RNA transfer (tRNA = transfer RNA) dan RNA ribosomal
(rRNA = ribosomal RNA). Ketiga jenis RNA ini berperan dalam proses translasi. Proses
transkripsi dikatalis oleh enzim transcriptase atau RNA polymerase. Proses transkripsi terbagi
menjadi tiga tahap:
• Inisiasi. Setelah mengalami pengikatan oleh promoter, RNA polimerase akan terikat pada
suatu tempat di dekat promoter, yang dinamakan tempat awal polimerisasi atau tapak
inisiasi (initiation site). Dan sintesis RNA pun segera dimulai.

Gambar 25. Inisiasi pada prokariotik

Gambar 26. Inisiasi pada sel eukariotik


26
• Elongasi. Elongasi merupakan pengikatan enzim RNA polimerase beserta kofaktor-
kofaktornya pada untai DNA cetakan membentuk kompleks transkripsi.

Gambar 27. Elongasi pada sel prokariotik

Pada sel eukariotik yang lebih


kompleks, proses inisiasi terbagi
menjadi capping, poliasenasi, dan
splicing.

Gambar 28. Proses capping sel eukariotik

Gambar 29. Proses poliadenasi sel eukariotik

Gambar 30. Proses splicing sel eukariotik


• Terminasi. Terminasi yaitu berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi
kompleks transkripsi atau terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-

27
kofaktornya dari untai DNA cetakan. Hal ini terjadi ketika RNA polimerase mencapai
urutan basa tertentu yang disebut dengan terminator.

Gambar 31. Proses terminasi

Translasi Pada tahap ini terjadi proses penerjemahan urutan kodon pada mRNA oleh tRNA
menjadi urutan asam amino. Penerjemahan satu kodon mengahsilkan satu asam amino. Dalam
proses translasi terjadi 3 tahap yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi. Proses translasi dibagi
menjadi:
• Inisiasi. Dimulai dengan pengenalan rangkaian AUG, kemudian mengenal dan berikatan
dengan molekul tRNA pada antikodon untuk asam amino yang khusus, seperti ACC untuk
tryptophan, dengan cara ini activating enzymes mengikatkan molecules tRNA ke asam
amino tertentu, setelah itu baru fase pemanjangan dengan cara pembacaan yang sama.

Gambar 32. Inisiasi translasi sel prokariotik

Gambar 33. Inisiasi translasi sel eukariotik

28
• Elongasi. Elongasi yaitu proses penyusunan polipeptida yang dibawa oleh RNAt. Proses
tersebut terjadi pada saat RNAt masuk kedalam ribosom pada posisi A kemudian bergeser
ke posisi P untuk melepaskan asam amino yang dibawanya. Kemudian RNAt bergeser lagi
ke posisi E untuk keluar dari ribosom. Setelah satu RNAt keluar dari ribosom maka
ribosom bergeser satu rantai kodon ke arah ujung 3’ pada mRNA sehingga RNAt lainnya
akan menduduki posisi Apada ribosom yang telah kosong. Proses tersebut akan
berlangsung terus sampai pada kodon stop yaitu UGA atau UAA atau UAG. Kodon stop
itu sendiri adalah triplet yang menandai berakhirnya proses penyusunan rantai polipeptida.

Gambar 34. Proses elongasi translasi


• Terminasi. Terminasi merupakan tahap pelepasan rantai polipeptida dari ribosom. Dalam
pelepasan rantai polipeptida ada satu protein yang disebut sebagai faktor pelepasan yang
akan mengikatkan diri pada kodon stop di site A dan menambahkan air pada rantai
polipepida. Reaksi ini akan memutuskan (menghidrolisis) ikatan antara polipeptida yang
sudah selesai tRNA disitus P, sehingga polipeptida akan terlepas.

Gambar 35. Proses terminasi translasi


Perbedaan proses ekspresi gen pada sel prokariotik dan eukariotik dapat dijelaskan pada table
1 berikut:

29
Tabel 1. Perbedaan sel prokariotik dan eukariotik
Pembeda Prokariotik Eukariotik
Segresi Ekspresi gen prokariotik terjadi ekspresi gen eukariotik terjadi di dalam
apartat di sitoplasma. nukleus dan translasi terjadi di sitoplasma.
Segresi Transkripsi dan translasi terjadi Transkripsi dan translasi secara temporal
temporal secara simultan selama dipisahkan dalam ekspresi gen eukariotik.
ekspresi gen prokariotik.
Elemen Prokariota mengandung tiga Eukariota mengandung set elemen
promotor elemen promotor: satu hulu ke promotor yang jauh lebih besar termasuk
gen, kedua adalah 10 kotak TATA.
nukleotida di hilir, dan yang
ketiga adalah 35 nukleotida di
hilir.
Bingkai Intron tidak mengganggu Intron mengganggu bingkai pembacaan
pembacaan bingkai pembacaan terbuka
terbuka gen prokariotik.
RNA ekspresi gen prokariotik Tiga RNA polimerase digunakan dalam
polymerase dilengkapi dengan satu jenis ekspresi gen eukariotik.
RNA polimerase.
Regulasi Regulasi ekspresi gen Regulasi ekspresi gen eukariotik dapat
ekspresi prokariotik terjadi pada level terjadi pada level epigenetik, level
gen transkripsional. transkripsional, level pasca transkripsional,
level translasi, dan level pasca translasi.

C. Aplikasi
Salah satu aplikasi dari ekspresi gen yaitu ekspresi gen myostatin pada program pemuliaan
kambing. Kita butuh ternak dengan laju pertumbuhan yang cepat dan menghasilkan daging
banyak. Salah satu faktor yang mengendalikan pertumbuhan adalah myostatin atau Growth
Differentiations Factor 8 (GDF8) yang merupakan anggota dari superfamili Transforming
Growth Factor-β (TGF-β) yang mengontrol pertumbuhan dan diferensiasi jaringan otot
tubuh. Tidak adanya myostatin di dalam sel menyebabkan pembesaran jaringan otot yang
melebihi normal baik hipertrofi maupun hiperplasia, kondisi tersebut ditemukan pada kasus
“Double Muscling” sapi Belgian Blue. Double Muscling” terjadi karena tidak adanya gen
myostatin di dalam sel tubuh, sehingga hal ini akan membuat tubuh tetap melakukan
pembesaran massa otot.

Proses seleksi dilakukan dengan mengambil darah dari setiap ternak kambing yang dimiliki
kemudian dilakukan analisis molekuler di laboratorium untuk memperoleh informasi dan

30
mengelompokkan ternak sesuai dengan ekspresi gen myostatin masing-masing ternak ke
dalam tiga kelompok yaitu:
1. Kelompok ternak yang gen myostatinnya (GDF8) terdiri dari dua copy yaitu ternak
yang mempunyai potensi double muscling yang tinggi.
2. Kelompok ternak yang gen myostatinnya (GDF8) terdiri dari satu copy yaitu ternak
yang mempunyai potensi double muscling sedang.
3. Kelompok ternak yang gen myostatinnya (GDF8) tidak ada copy, yaitu ternak yang
mempunyai potensi double muscling tidak ada (normal atau biasa).
Ternak yang mempunyai minimal satu copy gen myostatin dipakai sebagai ternak pada
program pemuliaan yang ditujukan untuk menghasilkan daging kambing yang berkualitas
tinggi, sedangkan yang tidak ada copy gennya dikeluarkan (culling) dari program pemuliaan.
Khusus untuk calon pejantan diambil dari ternak kambing yang mempunyai dua copy gen
myostatin.

Gambar 36. Sapi Belgian blue Gambar 37. Kambing Boer

31
VII. Southern Blotting

A. Pendahuluan
Suatu metode yang sering digunakan dalam bidang biologi molekular untuk menguji
keberadaan dari sekuen DNA dalam suatu sampel DNA. Southern blot digunakan untuk
mendeteksi keberadaan sepotong DNA tertentu dalam sampel. DNA yang terdeteksi dapat
berupa gen tunggal, atau dapat menjadi bagian dari potongan DNA yang lebih besar seperti
genom virus. Kunci dari metode ini adalah hibridisasi. Hibridisasi adalah Proses
pembentukan molekul DNA beruntai ganda antara probe DNA beruntai tunggal dan DNA
pasien target beruntai tunggal.

Komponen-komponen pada southern blotting adalah sebagai berikut:


1. Membran nitroselulosa. Yaitu tempat hasil jiplakan fragmen DNA dari gel agarosa

Gambar 38. Membran nitroselulosa


2. DNA probe. Adalah fragmen DNA yang berfungsi sebagai pelacak target gen. Harus
bersifat spesifik dan komplemen terhadap DNA terget.

Gambar 39. DNA probe


3. Larutan buffer. Untuk membawa DNA dari gel dan memobilisasi DNA pada membran
(larutan akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
4. DNA. Materi atau molekul yang akan diidentifikasi pada Southern Blotting.
5. Enzim retriksi. Berfungsi memotong DNA menjadi suatu fragmen tertentu.

32
Gambar 40. Komponen southern blotting

B. Proses
1. Isolasi DNA dan Pemotongan DNA
Tahap untuk memperoleh DNA yang akan dideteksi. Pemotongan DNA yang ingin
diperoleh dilakukan dengan menggunakan enzim retriksi (endonuklease retriksi) yang
bersifat spesifik terhadap DNA.

Gambar 41. Isolasi DNA dengan enzim restriksi

2. Fragmentasi DNA dengan Elekktroforesis


Merupakan tahap dimana Fragmen-fragmen dari DNA akan terpisah berdasarkan ukuran
berat molekulnya. Berdasarkan prinsip elektroforesis, Fragmen DNA yang ukuran berat
molekulnya lebih kecil akan lebih cepat bergerak dari kutub negatif ke kutub positif
dibandingkan dengan fragmen DNA dengan berat molekul lebih besar.

Gambar 42. Pergerakan


fragmen DNA

33
3. Denaturasi DNA
Proses denaturasi DNA dilakukan dengan merendam gel dalam larutan denaturan (NaOH).
Larutan NaOH bersifat basa sehingga dapat menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen antar
untai DNA. Ikatan hidrogen antar untai DNA yang putus menyebabkan struktur DNA yang
semula double heliks menjadi DNA single strand.

Gambar 43. Denaturasi DNA

4. Transfer DNA ke Membran (Blot)


DNA yang telah diperoleh kemudian ditransfer ke membran nitroseluloasa, tahap inilah
yang disebut dengan blotting. Tahap ini dapat dilakukan dengan 2 pilihan metode, yaitu
berdasarkan prinsip kapilaritas dan prinsip elektroferesis.

Gambar 44. Prinsip kapilaritas Gambar 45. Prinsip elektroferesis

Kapilaritas adalah peristiwa naiknya zat cair pada pembuluh, celah atau pori-pori kecil.
Gel agarosa dijiplak pada membran nitroselulosa. Fragmen DNA yang telah terjiplak pada
membran nitroselulosa kemudian dipanaskan pada suhu 60oC kemudian membran diberi
radiasi UV agar terbentuk ikatan kovalen dan permanen antara pita-pita DNA dengan
membran.

34
Gambar 46. Transfer DNA ke membran selulosa

5. Hibridisasi
Hibridisasi DNA adalah proses pembentukan molekul double helix dari single strand DNA
probe dan single strand DNA target. Tahap ini terjadi ketika membran nitroselulosa
direndam dalam larutan yang berisi probe DNA.
Fragmen Single Strand D N A

Probe yang cocok untuk single strand DNA Label isotop atau flu
oroscens
Gambar 47. Hibridisasi DNA

6. Deteksi DNA
Merupakan tahap lanjutan dari proses hibridisasi DNA yang menggunakan pelacak/probe.
Probe biasanya merupakan DNA yang dimurnikan dan bisa ditandai dengan aktifitas
spesifik radionukletida. Pada tahap deteksi DNA digunakan autoradiogram untuk melihat
lokasi sinyal DNA.

C. Aplikasi
Untuk mengetahui apakah seseorang mengidap HIV diperlukan pemeriksaan penunjang di
laboratorium, salah satu teknik pemeriksaan tersebut yaitu menggunakan PCR dan blotting.
DNA yang terdeteksi HIV dapat berupa gen tunggal, atau dapat menjadi bagian dari potongan
DNA yang lebih besar seperti genom virus.

35
VIII. Northern Blotting

A. Pendahuluan
Northern Blot atau RNA Blot dikenalkan pertama kali olehAlwin pada tahun 1977. Secara
umum teknik ini mirip dengan Southern Blot, akan tetapi sampel yang digunakan, yaitu
RNA. Prinsip northern blot adalah memisahkan RNA berdasarkan ukuran dan terdeteksi
pada membran menggunakan probe hibridisasi dengan urutan basa komplementer untuk
semua, atau sebagian, dari urutan mRNA target.

Komponen-komponen northern blotting diantaranya:


1. Membran: Membran digunakan sebagai tempat hasil jiplakan fragmen RNA dari gel
agarosa formaldehid. Membran yang digunakan pada Northern blooting adalah nilon.
2. Probe: Probe atau RNA probe adalah fragmen yang digunakan untuk hibridisasi asam
nukleat. Probe dilengkapi semua, atau sebagian, urutan basa komplementer dari urutan
mRNA target.

Gambar 48. Formaldehida Gambar 49. Nilon

Perbedaan Southern blotting dan Northern blotting tersedia dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2. Perbedaan Southern blotting dan Northern blotting
Pembeda Southern Blotting Northern Blotting
Deteksi molekul DNA (ds) mRNA (ss)
Membran Nitroselulosa Nilon
Elektroforesis gel Gel agarosa Gel agarosa formaldehid
Perawatan gel Pemurnian, denaturasi, netralisasi -
Metode blotting Transfer melalui kapiler Transfer melalui kapiler
Probes DNA (radioaktif dan cDNA, cRNA (radioaktif dan
nonradioaktif) nonradioaktif)
Sistem deteksi Autoradiography, Autoradiography,
chemiluminescent, colorimetric. chemiluminescent, colorimetric.

36
B. Proses
1. Isolasi RNA. Isolasi RNA dapat dilakukan dengan beberapa tahap berikut:
Penghancuran dinding sel
• Lisis dilakukan menggunakan detergen
• Pengotor akibat lisis sel dipisahkan dengan cara sentrifugasi
• Kemudian molekul nukleotida (DNA dan RNA) dipisahkan dari protein
menggunakan fenol.
Penghilangan protein dan DNA. Enzim DNAase digunakan untuk menghancurkan
DNA sehingga RNA diisolasi secara utuh.
Pemurnian RNA. Purifikasi RNA dapat dilakukan dengan mencampur larutan tersebut
dengan PCl yang berfungsi memekatkan, memisahkan RNA dari larutan, dan
mengendapkan.
2. Elektroforesis. Merupakan tahap dimana RNA dielektroforesis menggunakan gel
agarosa formaldehida.
3. Transfer ke membran dan imobilisasi. Tahap dimana RNA yang sebelumnya telah
berhasil diisolasi kemudian ditransfer ke membran nilon. Membran nilon dengan
muatan positif paling efektif untuk digunakan dalam northern blot karena asam nukleat
bermuatan negatif sehingga memiliki afinitas tinggi. Transfer buffer yang digunakan
mengandung formamida karena menurunkan suhu dari interaksi probe-RNAyang dapat
menyebabkan degradasi RNA.

Gambar 50. Northern blotting

37
4. Prehibridisasi dan hibridisasi dengan probe. Tujuan dilakukannya prehibridisasi
sebelum hibridisasi adalah memblok bagian nonspecific untuk mencegah probe yang
single strand dari mengikat sembarang bagian pada membran. Hibridisasi asam nukleat
mensyaratkan bahwa probe ini melengkapi semua atau sebagian, dari urutan mRNA
target. Probe harus diberi label baik dengan isotop radioaktif (32P) atau dengan
chemiluminescence di mana alkali fosfatase atau horseradish peroxidase (HRP)
memecah chemiluminescent substrat menghasilkan emisi terdeteksi cahaya.

Gambar 51. Komponen hibridisasi


5. Pencucian. Tujuan dari pencucian membran adalah untuk memastikan bahwa probe
telah terikat secara khusus dan untuk mencegah sinyal balik yang timbul. Hal ini juga
dilakukan untuk menghilangkan unhibridisasi probe, dengan larutan buffer misalnya
dengan Sodium Citrate.

Gambar 52. Struktur Sodium citrate

38
6. Deteksi. Jika probe radiolabeled selesai digunakan, blot disimpan dalam bungkus
plastik agar tidak kering kemudian membran di autoradiografi dengan X-ray. Tahapan
deteksi dalam northern blot dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Radioaktivitas. Probe ditandai dengan 32P (atau 33P).
2. Non Radioaktivitas. Deteksi dilakukan dengan pewarnaan, misalnya dengan teknik
chemiluminescence.

Gambar 53. Proses deteksi

C. Aplikasi
Salah satu aplikasi northern blotting yaitu lanjutan pendeteksian pada orang yang diduga
menderita HIV, di mana telah diperiksa menggunakan teknik southern blotting dan dapat
juga dideteksi lagi dengan northern blotting. Teknik ini untuk mempelajari ekspresi gen
dengan mendeteksi RNA. Ekstraksi RNA dilaksanakan dengan menggunakan Mini Kit
dari RNA QIAamp Viral Extraction (Qiagen, Jerman). RNA yang diperoleh dapat
disimpan pada freezer suhu -20oC. Sensitivitas dan spesifisitas teknik deteksi HIV secara
molekuler seperti RT-PCR sangat ditentukan oleh primer yang digunakan. Primer yang
digunakan adalah Hi 976C (3’- TCT GCA GCT TCC TCA TTG ATG G- 5’) dan Hi-853F
(3’- CAG CAT TAT CAG AAG GAG CCA C- 5’) (Primer ini ditemukan oleh sang penulis
jurnal sendiri). Hasil RT-PCR dideteksi dengan teknik elektroforesis gel. Fragmen DNA

39
hasil PCR setelah didenaturasi dengan pemanasan, dispotkan pada membran nilon Hybond
N+ menggunakan dot blotter.

40
IX. Western Bloting

A. Pendahuluan
Western blot, juga disebut protein immunoblot, adalah teknik analitik yang digunakan
untuk mendeteksi protein spesifik dalam sampel. . Basis identifikasi western blot adalah
dua sifat yang membedakan: berat molekul dan spesifisitas pengikatan antibodi. Perlatan
yang digunakan pada western blot dapat dilihat di gambar berikut.

Gambar 54. Peralatan western blotting

B. Proses
1. Preparasi sampel
Pada prinsipnya semua protein dalam tubuh dapat digunakan sebagai sampel untuk
Western Blotting.

2. Elektroforesis
Prinsip dasar western blot adalah elektroforesis protein dan ELISA. Elektroforesis
adalah metode yang biasa digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran,
bentuk atau muatan. Protein adalah molekul besar dengan muatan, protein dapat
bermigrasi dalam gel poliakrilamida di bawah medan listrik. Kecepatan migrasi
tergantung pada berat molekul protein: protein berat bergerak lebih lambat daripada
41
protein ringan. Ini seperti pelari yang berlari menembus hutan, molekul poliakrilamida
dalam gel itu seperti cabang-cabang di sepanjang garis samping, yang bisa
memperlambat pelari turun. Pelari besar akan lebih dipengaruhi oleh "cabang" dari
pelari kecil sehingga mereka berjalan lebih lambat. Itu sebabnya kami bisa memisahkan
protein pelari itu. Jika kita memuat sampel protein campuran pada satu sisi gel,
tambahkan medan listrik konstan pada gel, dan biarkan protein bermigrasi pada gel
untuk jangka waktu tertentu, sampel protein campuran dapat dipisahkan menjadi pita
berbeda pada gel. Jika kita menempatkan beberapa protein dengan berat molekul yang
diketahui di bawah kondisi elektroforesis yang sama bersama dengan sampel yang diuji
sebagai kontrol, kita dapat mengukur berat molekul protein dalam sampel yang diuji
dengan membandingkan lokasi protein sampel dengan protein kontrol. Protein kontrol
ini umumnya dikenal sebagai penanda berat molekul atau tangga protein.

Gambar 55. Proses elektroforesis pada protein

42
3. Elektroblotting
Ketika protein berhasil dipisahkan di dalam gel elektroforesis, selanjutnya dengan
menggunakan medan listrik, pita protein ditransfer ke membran polyvinylidene
fluoride (PVDF) atau nitrocellulose (NC). Proses transfer protein dari gel ke membrane
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara transfer basah dan transfer semi kering.
Pada transfer basah, gel dan membrane direndam di dalam larutan buffer, selanjutnya
arus listrik diterapkan dari gel ke membrane. Cara ini direkomendasikan untuk protein
yang berukuran besar, namun cara ini butuh banyak larutan buffer. Sedangkan pada
transfer semi kering, hanya kertas saring saja yang dibasahi larutan buffer. Lebih
lengkapnya dapat dilihat di gambar berikut.

Gambar 56. Transfer basah dan transfer semi kering pada elektroblotting

4. Deteksi
Proses deteksi merupakan interaksi antara antigen dan antibody spesifik. Setelah pita
protein dipindahkan ke membran PVDF / NC, membrane diberikan larutan blocking
(BSA atau susu) yang berfungsi untuk mencegah pengikatan antibody yang tidak
spesifik pada permukaan membrane. Selanjutnya membrane dibilas dengan larutan
buffer, dan membrane ditambahkan antibodi primer sebagai anti spesifik protein untuk
menyelidiki protein sampel, dan kemudian menggunakan antibodi sekunder berlabel
untuk visualisasi lebih lanjut. Antibodi sekunder merupakan antibody spesifik untuk
suatu spesies pada antibody primer, Ia menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh

43
antibody primer. Antibody sekunder mengandung fluoriphore, yaitu senyawa yang bisa
berfluorosensi (mampu memancarkan sinar), sehingga nantinya akan menghasilkan
visualisasi hasil yang diinginkan.

Gambar 57. Proses elektroblotting dan deteksi protein

Gambar 58. Proses deteksi dan visualisasi

44
C. Aplikasi
Western Blot digunakan sebagai tes pengujian penyakit Lyme. Penyakit lume adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi. Bakteri ini dapat
menular kepada manusia melalui gigitan kutu berkaki hitam atau disebut kutu rusa.

Gambar 59. Penyakit lyme


ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Tes ini dilakukan untuk
mendeteksi antibodi B. burgdorferi. Western Blot dapat digunakan untuk mengonfirmasi
tes ELISA yang positif. Tes ini untuk memeriksa keberadaan antiboddi yang spesifik
terhadap protein B. burgdorferi. Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan PCR
dilakukan untuk mengevaluasi orang yang terjangkit penyakit Lyme dengan gejala sendi
dan saraf.

Selain itu, western blotting dapat digunakan untuk isolasi protein Human Granulocyt
Colony Stimulating (hG-CSF) faktor rekombinan dari Escherichia Coli.

Gambar 60. Strktur hG-CSF

45
X. Gen Expression in the Eukaryotic Cell

A. Pendahuluan

Ekspresi gen merupakan proses di mana informasi yang dikode di dalam gen diterjemahkan
menjadi urutan asam amino selama sintesis protein. Ekspresi Gen juga dapat diartikan
bagaimana sel mengatur untuk memperlihatkan ciri-ciri makhluk hidup tersebut
berdasarkan gen-gen yang dimiliki. Ekspresi gen ini berkaitan dengan sintesis protein, yaitu
proses transkripsi dan translasi. DNA akan mengkode informasi genetik sesuai
kebutuhannya. Ekspresi gen merupakan rangkaian proses penerjemahan informasi genetik
(dalam bentuk urutan basa pada DNA atau RNA) menjadi protein, dan fenotipe. Informasi
yang dibawa oleh bahan genetik tidak bermakna apapun bagi suatu organisme jika tidak
diekspresikan menjadi fenotipe. Ekspresi gen adalah proses penentuan sifat suatu organisme
oleh gen. Suatu sifat yang dimiliki oleh organisme merupakan hasil metabolisme yang terjadi
di dalam sel. Gen tersusun dari molekul DNA, sehingga gen menentukan sifat suatu
organisme.

Salah satu contoh ekspresi gen yang akan dibahas adalah ekpresi gen insulin. Insulin berasal
dari Bahasa Latin ‘insula’ yang berarti ‘pulau’, karena diproduksi di Pulau-pulau Langerhans
di pancreas. Pulau Langerhans adalah daerah pancreas yang mengandung sel-sel endokrin
(penghasil hormone). Insulin adalah sebuah hormone polipeptida yang mengatur metabolism
karbohidrat.

Gambar 61. Letak Pulau Langerhans

46
Struktur kimia insulin, insulin merupakan suatu protein yang kecil dan sederhana. Insulin
terdiri dari 51 asam amino, 30 diantaranya menyusun 1 rantai polipeptoda dan 21 asam amino
menyusun rantai kedua. Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan ikatan disulfida.

Gambar 62. Rantai protein pada insulin

Kode genetik dari insulin ditemukan dalam DNA pada bagian atas short arm dari kromosom
ke-11. Kromosom ini mengandung 153 basa nitrogen (63 pada rantai A dan 90 pada rantai
B). DNA (yang menyusun kromosom) terdiri dari 2 rantai helix yang saling berpilin, tersusun
dari rantai nukleotida, setiap rantai tersusun dari gula deoksiribosa, fosfat, dan basa nitrogen.
Ada 4 jenis basa yang berbeda, Adenin, Thymine, Cytosine, dan Gunanine. Sintesis dari
protein tertentu seperti insulin ditentukan oleh susunan basa-basa tersebut yang berulang.

B. Proses dan Aplikasi


Sintesis insulin diawali dengan proses transkripsi. Rantai ganda dari kromosom ke-11 dari
DNA dibagi 2, mengekspos basa nitrogen yang tidak berpasangan, yang spesifik untuk
produksi insulin. Selanjutnya gen insulin yang ingin direkombinasi diisolasi. Suatu DNA
kecil berbentuk lingkaran yang exist dalam bakteria, dikenal sebagai plasmid. Plasmid ini
selanjutnya dimodifikasi agar disisipkan suatu urutan DNA manusia yang mengandung gen
pembentuk proinsulin. Proinsulin adalah precursor untuk pembentukan insulin. Plasmid yang
telah mengandung gen proinsulin lalu disisipkan (tranformasi) ke dalam Eschericia coli yang
akan memproduksi human proinsulin. Bakteri ini akan berkembang baik di dalam suatu
fermentor yang berisi media produksi dan akan menghasilkan human proinsulon dalam
jumlah besar. Selanjutnya dilakukan PCR untuk memperbanyak jumlahnya.

47
Selanjutnya insulin dikloning dan dipotong dengan menggunakan enzim retriksi, Enzim
restriksi, yang secara alami diproduksi oleh bakteri, bertindak sebagai gunting biologik
(biological scalpels) yang hanya mengenali bagian tertentu dari nukleotida, seperti bagian
yang mengkode insulin. Kemudian gen digabungkan menggunankan vektor. Vektor yang
digunakan sebagai “pabrik” yang memproduksi insulin secara rekayasa genetika adalah
berupa bakteri Escherichia coli, suatu bakteri gram negatif yang mendiami saluran
pencernaan manusia. Jika menggunakan promotor pada vektor, maka bagian insulin yang
digunakan hanya ORFnya saja, tetapi jika ingin menggunakan promotor dari insulin, maka
insulin yang diambil dari promotor hingga terminator dari insulin.

Gambar 63. Isolasi dan pemotongan DNA

Gambar 64. Penyisipan vektor

48
Sewaktu bakteri itu (E.Colli) berkembang biak, gen insulin bereplikasi bersama dengan
plasmid, suatu daerah sirkuler dari DNA (gambar 9). E. coli memproduksi enzim yang secara
cepat mendegradasi protein asing seperti insulin. Dengan menggunakan strain mutan yang
tidak memiliki enzim ini, masalah ini dapat dihindari.

Gambar 65. Electron micrograph of the Vector’s plasmid

Di industri, biasanya setelah insulin berhasil dikloning, hasilnya dicek lagi menggunakan
metode sequencing, hal ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya mutasi yang terjadi
pada gen insulin, karena jika gen insulin sudah kemasukan satu basa saja, maka hasil yang
diinginkan akan berbeda dan berbahaya bagi penggunanya.

Langkah selanjutnya yaitu gen insulin hasil kloning tadi dimasukkan ke ragi, selanjutnya
bakteri diinaktifkan dengan cara heat sterilization, proinsulin dipanen. Proinsulin diambil allu
dengan cara memotong secara enzymatik akan dihasilkan human insulin. Proses selanjutnya
adalah sentrifugasi dan penghilangan sel-sel yang tidak diperlukan. Pemurnian dilakukan
dengan cara liquid chromatography dan crystallization. Nantinya bila ada pengguna yang
membutuhkan, maka hal yang perlu dilakukan hanya menyesuaikan dengan kadar atau
konsentrasi yang dibutuhkan, tergantung masing-masing pengguna.

49
Gambar 66. Rangakain proses rekombinann gen insulin

50
Dalam sintesa human insulin memerlukan jutaan kopi dari bakteri yang plasmidnya telah
digabungkan dengan gen insulin untuk menghasilkan insulin. Gen insulin diekspresikan
sewaktu bakteri bereplikasi dengan B-galaktosidase dalam sel mengalami mitosis.

Gambar 67. Mitosis pada gen

51
DAFTAR PUSTAKA

Abravaya, K., Espin, C., Hoenle, R., Gorzowski, J., Perry, R., & Kroeger, P. (2000).
Performance of a multiplex qualitative PCR LCx assay for detection of human
immunodeficiency virus type 1 (HIV-1) group M subtypes, group O, and HIV-2.
Journal of Clin Microbiol, 38, 716-23.
Bollag, D.M., M.D. Rozycki, S.J. Edelstein. (1996). Protein Method. New York: Wiley-Liss,
Inc.
Butler, J. M. 2005. Forensic DNA typing: biology, technology, and genetics of STR markers.
London: Elsevier Academic Press.
Buwono, I. D. (2017). Buku Ajar Plikasi Teknologi DNA Rekombinan Untuk Perakitan
Konstruksi Vektor Ekspresi Ikan Lele Transgenik. Yogyakarta: Deepublish.
Campbell dan Farrell. 2008. Biochemistry Sixt Edition. Kanada: Brooks/cole.
Dickover, R.E., Herman, S.A., Saddiq, K., Wafer, D., Dillon, M., & Bryson, Y.J. (1998).
Optimization of specimen handling procedures for accurate quantitation of level of
human immunodeficiency virus rna in plasma by reverse transcriptase PCR. Journal
of Clin Microbiol, 36(3), 1070.
Dewi, Retno. 2011. Proses Transkripsi pada Prokariotikik dan Eukariotik (online).
http://dokumen.tips/documents/transkripsi-eukariotik-Prokariotik.html. Diakses
tanggal 29 Desember 2019.
Handoyo, D. & Rudiretna, A. 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Unitas, 9(1), 17-29.
K. Irifune., et al. (2005). Adoptive transfer of T-helper cell type 1 clones attenuates an
asthmatic phenotype in mice. Eur Respir J, 25(4), pp. 653-659.
Kamionka, Mariusz. (2011). Engineering of Therapeutic Proteins Production in Escherichia
coli. Current Pharmaceutical Biotechnology, 12, p.268 -274. Bentham Science
Publisher, Ltd.
Kindt, T.J., R.A. Goldsby, B.A. Osborne, J. Kuby. 2007. Kuby Immunology. New York: H.
Freeman.
Kevin, Frederick. 2011. From Gene to Protein (online).
https://www.academia.edu/6208866/FROM_GENE_TO_PROTEIN_TRANSKRIPSI
_DAN_TRANSLASI. Diakses 29 Desember 2019.
Koolman J, Roehm KH. (2005). Color Atlas of Biochemistry: 2nd edition, revised, enlarged.
Ed ke-2. Stuttgart: Thieme.
Mustofa, Aziz & Musbikin, Imam. 2001. Kloning Manusia Abad XX1. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nicholl, D. S. T. 2002. An Introduction to Genetic Engineering. Ed ke-2. Edinburgh:
Cambridge University Press.
Niedlich. 2010. Makalah Ekspresi Gen dan Regulasinya (online).
https://www.scribd.com/doc/97237329/Makalah-Ekspresi-Gen-Dan-Regulasinya.
Diakses 29 Desember 2019.
Promega. 2012. Wizard genomic DNA purification kit. USA: Promega Corp.
Purwanti, Aliyah. 2009. Perbedaan Transkripsi dan Translasi pada Sel Prokariotik dan
Eukariotik (online). http://www.slideshare.net/aliyahpurwanti 09/perbedaan-proses-
transkripsitranslasi-pada-sel-Prokariotik-dan-eukariotik. Diakses 29 Desember 2019.

52
Reece, J. B. 2004. Analysis of genes and genom. John Wiley & Sons Ltd. Chicester: The
Atrium.
Walsh, Gary. 2007. Pharmaceutical Biotechnology: Concepts and Applications. England:
John Wiley & Sons, Ltd.
Yusuf, Z.K. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek, 5 (6).
Zador, Erno. 2011. The Polymerase Chain Reaction. Rumania: Cross-Border Co-operation.
Zein, M.S.A. & D.M. Prawiradilaga. 2013. DNA barcode fauna Indonesia. Jakarta: Kencana.

53

Anda mungkin juga menyukai