Anda di halaman 1dari 17

ANALISA JURNAL SISTEM INTEGUMEN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah III

Dosen Pengampu : Sumbara, S.Kep., Ners., M.Kep.

Disusun oleh :

Kelompok 2

Harvy Fauzan 211FK03009

Feni Fauziah 211FK03010

A.Aziz 211FK03011

Moch Hisyam Fathurohman 211FK03012

Shafira Rizky A 211FK03013

Silfina Rahmah 211FK03014

Leni Wulandari 211FK03015

Wine Salaisa 211FK03016

Siti Aisyah 211FK03017

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

MEI 2023

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kita panjatkan puji dan syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT. Karena
tanpa rahmat dan ridhonya, kita tidak bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai
dengan tepat waktu. Penulisan makalah yang berjudal “Analisa Jurnal” ini untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III, Program Studi Sarjana
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana (Bandung).

Kami menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
semua kritik dan saran pembaca akan kami terima dengan senang hati demi perbaikan dalam
membuat makalah selanjutnya.

Tulisan ini dapat kami selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak, terutama rekan-rekan dan dosen yang bersangkutan.
Akhirnya, semoga makalah yang jauh dari sempuma ini ada manfaatnya.

Bandung, 18 Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................................................... 2
1.3 Masalah ......................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
2.1 Definisi...................................................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ............................................................................................................................. 3
2.3 Etiologi...................................................................................................................................... 3
2.4 Gejala Klinis ............................................................................................................................. 4
2.5 Komplikasi ................................................................................................................................ 4
2.6 Pencegahan ............................................................................................................................... 4
2.7 Pengobatan ................................................................................................................................ 5
BAB III ANALISA JURNAL............................................................................................................... 6
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................................ 13
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Scabies menurut WHO merupakan suatu penyakit signifikan bagi kesehatan
masyarakat karena merupakan kontributor yang substansial bagi morbiditas dan mortalitas
global. Prevalensi scabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus pertahunya
(Nugraheni, 2016). Scabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh
Sarcoptes scabei var hominis. Insiden scabies di negara berkembang menunjukkan siklus
fluktuasi atau peningkatan. Distribusi, prevalensi, dan insiden penyakit infeksi parasit pada
kulit ini tergantung dari area dan populasi yang diteliti. Penelitian di suatu kota miskin di
Bangladesh menunjukkan bahwa semua anak usia dari 6 tahun menderita scabies, serta di
pengungsian Sierra Leone ditemukan 86% anak pada usia 5-9 tahun terinfeksi Sarcoptes
scabei. Di Indonesia pada tahun 2011 didapatkan jumlah penderita scabies sebesar
6.915.135 (2,9%) dari jumlah penduduk 238.452.952 jiwa. Jumlah ini mengalami
peningkatan pada tahun 2012 yang jumlah penderita scabies diperkirakan sebesar 3,6 %
dari jumlah penduduk (Depkes RI, 2012). Pada hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, dikabupaten Jember jenis kelamin laki-laki terkena scabies lebih besar dari
pada perempuan ditunjukkan dengan hasil penelitian laki-laki 24,89% dan perempuan
5,82% (zaelany, 2017), di Padang terdapat kejadian scabies 24,6% (Gayatri, 2013), di
Yogyakarta 54,7% (Ghazali & Hilma, 2014).
Sedangkan di Boyolali penyakit scabies merupakan urutan ke 10 penyakit menular pada
tahun 2009. Penderita scabies diwilayah Boyolali tercatat sebanyak 2.654 kasus. Hal
tersebut diantaranya karena disebabkan adanya penemuan penderita scabies secara aktif di
beberapa desa endemis di wilayah Kabupaten Boyolali (Dinkes Boyolali, 2011). Penyakit
scabies disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei akan berkembang pesat jika kondisi
lingkungan buruk dan tidak didukung dengan perilaku hidup bersih dan sehat oleh santri.
Sarcoptes scabiei menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti sela jari, siku,
selangkangan. Scabies banyak menyerang pada orang yang hidup dengan kondisi personal
hygiene di bawah standar atau buruk, sosial ekonomi rendah, kepadatan penduduk, dan
perkembangan demografik serta ekologik.

1
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui perbedaan evektifitas obat salep dan oral pada penyakit scabies.
2. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan intervensi yang diberikan.

1.3 Masalah
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden bahwa pengobatan Scabies sangat
bermanfaat melalui analisa jurnal perawat atau mahasiswa dapat mengetahui kekurangan
dan kelebihan intervensi yang diberikan dalam penelitian.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi Sarcoptes scabiei varian
hominis dan produknya pada tubuh manusia yang ditandai dengan rasa gatal pada malam
hari, menyerang di bagian kulit yang berlipat dan lembab. Gejala klinis dapat terlihat di
seluruh tubuh (Boediardja & Handoko, 2016).

2.2 Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat. Ada dugaan setiap
siklus 30 tahun terjadi epidemik skabies (Boediardja & Handoko, 2016). Penyakit ini
banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda (Hilmy, 2011), tetapi dapat juga
mengenai semua umur (Ihtiaringtyas, 2019). Insiden sama pada pria dan wanita. Insiden
skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktasi yang sampai saat ini belum
dapat dijelaskan. Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah
kemiskinan, hygiene yang jelek (Affandi, 2019), seksual promiskuitas, diagnosis yang
salah, demografi, dan ekologi (Shimose & Munoz-Price, 2013).

2.3 Etiologi
Pada manusia Sarcoptes scabiei var homonis berbentuk oval dan pipih, berwarna putih
kotor, transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut, yang betina
berukuran 330- 450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan berukuran 200-240
mikron x 150-200 mikron. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
merupakan kaki depan dan 2 pasang kaki belakang. Ujung sepasang kaki pertama dan
kedua pada jantan dewasa didapatkan alat penghisap (pulvilli) sedangkan pada betina
didapatkan setae yang panjang. Baik jantan maupun betina memiliki berbentuk seperti
cakar yang berguna untuk mencengkeram kulit inang yang ditinggalinya (Boediardja &
Handoko, 2016). Telur Sarcoptes scabiei berbentuk oval berukuran panjang 0.1 – 0.15mm.
Sekitar 10 - 25 buah telur diletakkan memanjang membentuk garis horizontal sesuai jalur

3
terowongan yang digali oleh Sarcoptes scabiei betina. Larva Sarcoptes scabiei memiliki 6
kaki sedangkan nimfa dan dewasa memiliki delapan kaki. Perbedaan nimfa dan dewasa
adalah ukuran nimfa yang lebih kecil serta alat reproduksi yang belum sempurna (Griana,
2013).

2.4 Gejala Klinis


Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul rasa gatal
biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh
tubuh. Gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari dengan
predileksi di sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku,
aerola mammae (area sekeliling putting susu) dan permukaan depan pergelangan (Hay et
al., 2012).

2.5 Komplikasi
Komplikasi skabies jarang terjadi dan umumnya disebabkan oleh gosokan dan
garukan yang kuat (Barry, 2017). Gangguan pada lapisan kulit menyebabkan pasien
berisiko infeksi bakteri sekunder, terutama oleh Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus (Shimose & Munoz-Price, 2013). Superinfeksi dengan
Streptococcus pyogenes dapat memicu glomerulonefritis poststreptococcal akut, gagal
ginjal kronis, dan bahkan demam rematik. Piodermas yang umum termasuk impetigo dan
selulitis, dalam kasus jarang menyebabkan sepsis. Stafilokokus atau Streptokokus di lesi
juga dapat menyebabkan pielonefritis, abses, pneumonia piogenik, sepsis, dan kematian
(Barry, 2017).

2.6 Pencegahan
Penyakit ini sangat mudah menular, karena itu bila salah satu anggota keluarga
terkena, maka biasanya anggota keluarga lain ikut tertular. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan (Baron, 2018). Apabila tingkat
kesadaran tentang kesehatan yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup
rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang
masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan
terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan
yang masih sering dijumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan
yang telah ada. Penularan oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang-
kadang oleh larva (Boediardja & Handoko, 2016).

4
Penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung dan secara tidak langsung
melalui pakaian, bergantian handuk, alas tempat tidur serta sarung, itulah sebabnya
transmisi antara anggota keluarga sangat umum. Diperkirakan pasien membutuhkan antara
15 dan 20 menit kontak dekat untuk memindahkan Sarcoptes scabiei dari satu orang ke
orang lain (Shimose & Munoz-Price, 2013).

2.7 Pengobatan
a. Pengobatan rekomendasi (Salavastru, 2017).
1. Permetrin 5% krim dioleskan dari ujung kepala sampai ujung kaki dan dicuci
bersih setelah 8-12 jam. Perawatan harus diulangi setelah 7–14 hari (tingkat bukti
Ib).
2. Ivermectin oral (diminum bersama makanan) sebanyak 200 mikrogram / KgBb dua
dosis dalam 1 minggu terpisah (tingkat bukti Ib).
3. Lotion Benzyl benzoate 10–25% diberikan sekali sehari pada malam hari pada 2
hari berturut-turut dan diulang lagi 1 minggu kemudian (tingkat bukti IV).
b. Pengobatan alternatif (Salavastru, 2017).
1. Ivermectin 1% lotion dilaporkan sama efektifnya dengan permethrin krim 5%
(tingkat bukti Ib).
2. Malation 0,5% lotion cair (tingkat bukti IV).
3. Sulfur 6-33% bentuk krim, salep atau lotion (tingkat bukti Ib).

5
BAB III
ANALISA JURNAL

Judul Systematic Review: Perbandingan Efektivitas Pemberian


Terapi Ivermektin dengan Permetrin pada Pengobatan
Skabies
Jurnal -1 Intergrasi kesehatan & sains
Volume & Halaman Vol.3 no.2/2021
Tahun 2021
Penulis Rifa Meidina,1Ratna Dewi Indi Astuti,2 Wedi Iskandar3
Tanggal 31 Juli 2021

Tujuan Penelitian Efektivitas pengobatan ivermektin oral dengan krim


permetrin untuk pengobatan skabies.
Subjek Penelitian Subjek penelitian ini Obat - Obat Anti Skabies yang dicari
melalui artikel melalui database elektronik seperti Google
scholar dan cochrane, dan terdapat (17) Artikel Yang sesuai
dengan kriteria.
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan systematic review.
Pencarian data penelitian ini mengacu pada sumber database
nasional dan internasional, PubMed, Springer Link (yang
diakses melalui perpustakaan nasional), dan Google Scholar.
Pencarian artikel dalam tiga database tersebut kami
menggunakan kata kunci Sarcoptes scabiei varieta hominis
‘’OR” scabies “AND” permetrin “OR” ivermectin.
Penambahan kata kunci dan Boolean dalam strategi
pencarian dimaksudkan peneliti agar mencangkup seluruh
artikel secara luas dan padat.
Definisi Operasional Variabel dependen dalam kasus ini adalah penyakit scabies.
Variabel Ketergantungan
Cara & Alat Mengukur Berdasar atas 4 artikel dinyatakan bahwa permetrin lebih
Variabel Tergantung unggul dalam penatalaksanaan skabies. Permetrin 5% topikal

6
menunjukkan perbaikan lebih cepat pada minggu pertama
follow up. Uji pertama randomized double-blind yang
membandingkan keduanya yang terbaru adalah
membandingkan ivermektin regimen dua dosis dengan
permetrin 5% topikal yang telah ada. Permetrin berperan
mengganggu kanal natrium, menyebabkan penundaan
repolarisasi, paralisis, dan kematian parasit. Terlebih lagi,
aplikasi topical memastikan konsentrasi maksimum obat
kulit yang berperan dalam efikasi yang lebih superior.
Sedangkan pada 1 artikel dinyatakan bahwa aplikasi
ivermektin sama efektifnya dengan dua aplikasi krim
permetrin 2,5% pada follow-up 2 minggu. Setelah
mengulangi pengobatan, ivermektin sama efektifnya dengan
krim permetrin 2,5%. Dosis permetrin sebelumnya
membunuh sebagian besar tungau maka perbaikan pruritus
dapat disebabkan oleh penurunan tahap bertelur tungau.
Ivermektin, meskipun sangat efektif pada tungau stadium
dewasa, belum terbukti bersifat ovisidal sehingga
penggunaan tunggal mungkin tidak cukup untuk membasmi
semua tahapan parasit, dan dosis kedua mungkin diperlukan
dalam 1 hingga 2 minggu untuk kesembuhan 100%.
Definisi Operasioanal Variabel independen dalam penelitian ini adalah
Variabel Independen Perbandingan Efektivitas Pemberian Terapi Ivermektin
dengan Permetrin pada Pengobatan Skabies.
Hasil Penelitian Berdasar atas kriteria inklusi dan eksklusi terpilih 17 artikel
yang dianalisis pada scoping review ini. Tujuh penelitian
berasal dari Iran, lima penelitian berasal dari India, satu
penelitian dari Pakistan, Kepulauan Fiji, Indonesia, Polandia,
dan Filipina (Tabel).10–26 Dari 17 artikel yang diteliti,
sebanyak 12 artikel meneliti mengenai krim permethrin 5%
dan dua artikel meneliti mengenai krim permethrin 2,5%.
Sembilan artikel meneliti mengenai tablet ivermectin,
sedangkan yang meneliti mengenai ivermectin topikalhanya

7
dua artikel. Crotamiton dalam tiga artikel, losion sulfur
dibahas di dalam dua artikel, sedangkan sabun sulfur dibahas
di satu artikel. Benzyl benzoate, gamma benzene
hexachloride, lindane, tenutex, afoxolaner, salep 2-4, dan
Tinospora cordifolia diteliti di dalam satu artikel.
Kekuatan & Kelemahan Menurut jurnal 1 menjelaskan tentang pengobatan yang
Penelitian mengalami penyakit scabies, dari jurnal 1 memberikan obat
dengan krim permetrin 5% dan pengobatan melalui oral
dengan dosis 200mcg/kgbb lalu di berikan dosis selama 14
hari secara terpisah, lalu pengobatan oral dan krim ini untuk
pengobatan skabies, lalu ada pemberian obat permetrin 5%
topukal menunjukan lebih cepat penyembuhan dan di coba
dalam 1 minggu, lalu pemberian obat krim permetrin 2,5%
menunjukan lebih cepat penyembuhan dan di coba dalam 1
minggu, jadi simpulannya dalam jurnal 1 pemberian obat
scabies lebih efektif.

Judul SELECTION OF SCABICIDE IN TREATING SCABIES


PEMILIHAN SKABISIDA DALAM MENGOBATI
SKABIES
Jurnal -2 Journal of pharmaceutical and sciences (JPS)
Volume & Halaman Vol. 3 No. 2
Tahun 2020
Penulis Reqgi first trasia
Tanggal Juli 2020

Tujuan Penelitian Membahas jenis-jenis skabisida yang dapat digunakan serta


meninjau kelebihan dan kekurangan dalam penggunaannya.
Subjek Penelitian Subjek Penelitian ini adalah Obat skabies seperti sulfur
presipitatum, gama benzen heksaklorida, benzi benzoad,
krotamiton dan permetrin.

8
Metode Penelitian Metode dalam jurnal ini belum menggunakan metode
apapun, tetapi dalam penilitiannya Avila dkk melakukan
studi untuk menilai apakah vehikulum sulfur topikal
berpengaruh pada pengobatan skabies dengan
mengkomparasi vehikulum lemak babi dan vehikulum krim
dingin pada 51 responden.
Definisi Operasional Variabel independen dalam penelitian ini adalah kasus
Variabel Ketergantungan pemilihan skabisida dalam mengobati scabies.
Cara & Alat Mengukur Dari beberapa skabisida tersebut, permetrin adalah obat yang
Variabel Tergantung paling banyak digunakan karena efikasinya yang lebih tinggi.

Beberapa studi menyatakan bahwa ini adalah skabisida


paling baik untuk pengobatan skabies daripada terapi lain.
Efektivitasnya sebesar 91%. Dosis tunggalnya dapat
menyembuhkan 98% pasien. Namun, krim ini cukup mahal
dan kerap kali tidak ada di daerah endemis. (Sungkar, 2016).
Skabisida ini aman dan didetoksifikasi dengan proses
hidrolisisesterase yang cepat dari jaringan dan darah. Kadar
permetrin dalam plasma setelah penggunaan menunjukkan
bahwa obat ini aman dipakai oleh pasien skabies, kecuali
yang memiliki kontraindikasi. Hasil riset itu didukung oleh
studi yang melibatkan 1500 pasien skabies dari balita hingga
lansia. Pemakaian permetrin 5% sebagai terapi skabies telah
mengantongi persetujuan FDA sejak tahun 1989. Krim ini
dipakai dengan mengoleskan ke seluruh tubuh. Hal itu
ditujukan agar mematikan semua tungau di permukaan kulit
dan di dalam stratum korneum. Penggunaan krim ini harus
hati-hati di area lesi skabies seperti intertriginosa, bokong,
lipatan intergluteal, subungual, dan lainnya supaya tak luput
dari pengobatan. Krim ini disarankan untuk digunakan pada
malam hari selama 8-12 jam.

9
Definisi Operasioanal Variabel independen dalam penelitian ini adalah kasus
Variabel Independen pemilihan skabisida dalam mengobati scabies. Juli
- Desember 2020.
Hasil Penelitian 1. Sulfur Presipitatum
Konsentrasi diatas 5% sulfur dalam vaselin sudah sering
diaplikasikan sebagai skabisida. Sebetulnya 6% konsentrasi
sulfur telah efektif dalam pengobatan skabies, tetapi untuk
beberapa kasus sulfur 6% masih belum cukup, sehingga 10%
konsentrasi sulfur lebih banyak diaplikasikan. Konsentrasi
10% sulfur dapat mematikan nimfa, larva, dan tungau, tetapi
tidak mampu mematikan telur Sarcoptes scabiei. Untuk itu,
penggunaan sulfur direkomendasikan selama berturut-turut 3
hari, lalu diulangi 7 hari berikutnya.
2. Gama Benzen Heksaklorida
Di tahun 1948, Wooldridge menggunakan gama benzen
heksaklorida sebagai skabisida untuk pertama kalinya
Golongan ini terdapat dalam bentuk losion atau krim dengan
1% konsentrasi, Skabisida ini menjadi pilihan untuk
mengobati skabies sebab mampu mematikan larva, telur,
tungau dan nimfa, aman dari iritasi dan mudah dalam
penggunaannya. Cara memakai cbat ini yaitu dengan
mengoleskan dari leher hingga kaki, kemudian dicuci setelah
12 jam. Obat hi hanya perlu digunakan satu kali. Hanya saja,
bila masih dirasakan gejala aktif dari skabies, boleh diulangi
7 hari berikutnya. Obat ini bersifat neurotoksik, sehingga
tidak direkomendasikan untuk anak balita dan ibu hamil.
3. Krotamiton
Skabisida ini termasuk obat yang cukup efektif. Krotamiton
terdapat dalam sediaan losion atau krim dengan 10%
konsentrasi. Krotamiton digunakan dengan mengoleskan ke
seluruh tubuh. kemudian diulang 1 hari berikutnya. Obat ini
tidak boleh berkontak dengan uretra, mulut, dan mata. Selain
sebagai skabisida, krotamiton juga mempunyai efek

10
menghilangkan rasa gatal. Bila doleskan setiap hari secara
rutin selama 5 hari akan menyajikan hasil yang sangat baik.
Keberhasilan krotamiton berkisar antara 50-70%. Semakin
baik hasilknya jika diaplikasikan setelah mandi sebanyak 2
kali sehari. Kadang krotamiton bila dipakai lebih dari 5 hari
dapat menimbulkan sensitisasi dan iritasi pada kulit yang
erosif
4. Benzil Benzoat
Golongan ini disebut juga benzil alkohol dan ester asam
benzoat, didapatkan dari balsam Tolu dan Peru, tersedia
dalam bentuk losion atau emulsi dengan 20% konsentrasi
Benzil benzoat elektif pada semua siklus hidup tungau karena
memiliki sifat neurotoksik. Selain itu, obat ini juga efektif
dalam mengatasi skabies berkrusta yang gagal dengan
permetrin. (Anderson, 2015) Sayangnya, benzil benzoat
susah didapat, memicu rasa gatal paska pemakaian, dan
sering menyebabkan initasi. Benzil benzoat digunakan
dengan cara mengoleskan berturut-turut selama 3 hari setiap
malam.
5. Permetrin
Insektisida ini masuk dalam golongan piretroid sintetik,
bekerja dengan mendisrupsi Natrium channel,
mengakibatkan keterlambatan repolarisasi dinding sel tungau
yang dapat membunuh parasit. Obat ini ada dalam sediaan
krim dengan konsentrasi 5%, penggunaannya lebih cepat
dibanding gama benzen heksa klorida dan lebih ringan efek
sampingnya. Skabisida ini menjadi pilihan untuk terapi
karena toksisitas yang rendah dan tingginya tingkat
kesembuhan. Beberapa studi menyatakan bahwa ini adalah
skabisida paling baik untuk pengobatan skabies daripada
terapi lain. Efektivitasnya sebesar 91%. Dosis tunggalnya
dapat menyembuhkan 98% pasien. Namun, krim ini cukup
mahal dan kerap kali tidak ada di daerah endemis.

11
6. Vermektin
Derivat makrolid semisintetik ini dapat menginhibisi GABA
(gamma-aminobutyric-acid) pada neurotransmiter. Karena
itu, ivermektin mengakibatkan paralisis tungau. Efektivitas
vermektin oral sebagai skabisida sebanding dengan
permetrin. Untuk itu, ivermektin dapat djadikan pilihan
pengobatan skabies, sebab tubuh lebih toleran terhadapnya,
tidak menyebabkan efek samping saraf pusat dan tidak
memicu iritasi kulit.
Kekuatan & Kelemahan Menurut jurnal yang ke 2 menjelaskan tentang pengobatan
Penelitian scabies dengan memberikan obat skabisida, seperti sulfur
presipitatum, gaa benzen heksaklorida, benzil benzoat,
krotamiton, permentrin, ivermektin dan di obati dengan
terapi herbal, akan tetapi dari jurnal ke 2 ini menyebutkan
obat yang di resepkan pun tidak tepat, jadi kesimpulannya di
dalam jurnal ke 2 tidak efektik dalam pemberian obag
scabies.

12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Didapatkan bahwa pemberian keduanya dapat mengobati skabies. Aplikasi permetrin
dua kali dengan interval satu minggu dinilai lebih efektif daripada ivermektin dosis tunggal
dan pasien sembuh lebih awal. Dua dosis ivermektin sama efektifnya dengan aplikasi tunggal
permetrin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 modalitas pengobatan skabies,
yaitu sulfur presipitatum, gama benzen heksaklorida, benzil benzoat, krotamiton, permetrin,
ivermektin, dan terapi herbal. Yang paling sering digunakan adalah permetrin 5% karena
berbagai macam keunggulan dan rendahnya efek samping. Namun, pada kondisi resistensi
permetrin, penggunaan obat topikal lain seperti sulfur presipitatum, gama benzen heksaklorida,
dan benzil benzoat dapat dijadikan alternatif. Ivermektin menjadi satu-satunya obat oral yang
memiliki efek skabisida, tetapi belum tersedia di Indonesia. Beberapa skabisida harus
digunakan secara hati-hati pada bayi, balita, anak-anak, ibu hamil dan menyusui.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ihtiaringtyas, Suci dkk. 2019. Faktor Risiko Penularan Penyakit Skabies pada Santri di Pondok
Pesantren An Nawawi Berjan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo Jawa
Tengah. Purworejo: BALABA Volume 15 No. 1.
Griana, T. P., 2013. Scabies : Penyebab, Penanganan dan Pencegahannya. El-Hayah, Volume
4, p. 1.
Meidina, R., Astuti, R. D. I., & Iskandar, W. (2021). Systematic Review: Perbandingan
Efektivitas Pemberian Terapi Ivermektin dengan Permetrin pada Pengobatan
Skabies. Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains, 3(2), 142-147.
Trasia, Reqgi Pertama. "Pemilihan Scabicides dalam Pengobatan Scabies." Jurnal Farmasi Dan
Sains 3.2 (2020): 58-63.

14

Anda mungkin juga menyukai