Anda di halaman 1dari 6

NAMA : SALSABILA KARIIMA

NIM : A1011211277
HUKUM KEWARGANEGARAAN & KEIMIGRASIAN

1.
● Dalam Pasal 85 UU No. 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa setelah selesai menjalani masa
10 tahun di rumah detensi, deteni harus lapor diri secara periodik termasuk perubahan
pekerjaan. Akan tetapi, tidak ada amanat bahwa deteni dapat diizinkan bekerja apabila
sudah keluar dari Rudenim. Maka, status keimigrasian apa yang akan diberikan serta
bagaimana dengan Izin bekerjanya. Selain itu, masalah pengungsi juga belum diatur oleh
UU Keimigrasian.
● Bagi para pengungsi, tidak adanya regulasi yang kuat membuat mereka secara efektif
berstatus sebagai terdampar atau terkatung-katung di Indonesia. Tidak ada mekanisme
yang jelas untuk mengakhiri ketidakpastian status mereka. Untuk kembali ke negara asal
(repatriasi) adalah tidak mungkin. Untuk mendapatkan pemukiman kembali ke negara
ketiga (resettlement) adalah kecil peluangnya. Lalu untuk bertahan hidup selamanya di
Indonesia (reintegration) adalah bukan pilihan yang baik juga.
● Mengingat Indonesia-pun bukan negara maju dan banyak rakyatnya yang masih berada di
bawah garis kemiskinan. Di tengah ‘kekosongan hukum’ ini, praktik penanganan
pengungsi di Indonesia terjadi secara bervariasi dan tidak memiliki pola yang sama.
Misalnya apabila pengungsi/pencari suaka (boat people) masuk ke perairan Aceh atau
Sumatera Utara. Ada kalanya mereka boleh masuk perairan Indonesia, dan ada kalanya
diusir oleh aparat. Lalu, nelayan dan masyarakat setempat juga lazimnya akan menolong
mereka untuk mendarat dan adakalanya aparat negara akan membiarkan mereka
melakukannya. Tapi juga ada saat-saat aparat membatasi aktivitas tersebut.

2. Dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945, dengan tegas dinyatakan bahwa, Setiap orang berhak
atas status kewarganegaraan". Pada ketentuan tersebut tidak dinyatakan bahwa setiap orang juga
berhak atas satu atau dua kewarganegaraan. Hal yang penting bagi UUD 1945 adalah tidak boleh
terjadi keadaan apatride, sedangkan kemungkinan terjadinya bipatride, tidak diharuskan dan juga
tidak dilarang. Hal yang penting bagi negara ialah bahwa warga negaranya itu memenuhi hak
dan kewajiban sebagai warga negara. Sehingga jelas dan tegas hak dan kewajiban setiap warga
negara dalam UUD 1945, hal inilah yang membedakan dengan orang asing. Penelitian Hukum
Normatif Empiris, yaitu penelitian yang memperhatikan bahwa hukum bekerja pada segi
kaidah/norma/normwissenschaft yaitu perundang-undangan yang berkaitan dengan
kewarganegaraan Republik Indonesia, yang tidak terlepas dari unsur sosial/empiris. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) Indonesia menganut asas kewarganegaraan, yaitu Ius soli, ius
sanguinis, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan rangkap terbatas. (2) Hak
dan kewajiban warga negara tercantum dalam UUD 1945, hal tersebut menimbulkan implikasi
bahwa warga negara Indonesia yang memiliki status kewarganegaraan ganda juga mempunyai
hak, kewajiban dan partisipasi dalam negara yang sama dengan warga negara asli Indonesia,
asalkan mereka ketika berusia 18 tahun harus memilih kewarganegaraan Indonesia.

3. Perkawinan yang dilaksanakan di luar wilayah Indonesia wajib dicatatkan di Instansi yang
berwenang dinegara setempat dan dilaporkan ke perwakilan Republik Indonesia (KBRI) di
negara dilangsungkan perkawinan. Apabila negara setempat tidak menyelenggarakan
perkawinan bagi orang asing maka pencatatan dilakukan di KBRI setempat yang kemudian
mencatatkan peristiwa perkawinan dalam buku register Akta Perkawinan dan menerbitkan
kutipan Akta Perkawinan. Pasangan suami-isteri harus mencatatkan perkawinan yang telah
dilaksanakan di luar negeri kepada Kantor Catatan Sipil setempat paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

4. Seorang refugee/pengungsi tidak dimungkinkan untuk mendapatkan Izin Tinggal Terbatas


(“ITAS”) atau Izin Tinggal Tetap (“ITAP”) karena untuk memperoleh ITAS maupun ITAP, orang
tersebut harus mempunyai dokumen perjalanan yang sah seperti visa. Selain itu
refugee/pengungsi juga hanya diizinkan untuk tinggal sementara sebelum dipindahkan ke negara
ketiga. Seorang refugee/pengungsi juga tidak dimungkinkan untuk mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, karena salah satu syarat untuk memperoleh kewarganegaraan
Indonesia adalah sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5
(lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, serta
mempunyai pekerjaan/berpenghasilan tetap. Refugee/pengungsi hanya tinggal untuk sementara
di Indonesia dan tidak diperbolehkan untuk bekerja di Indonesia.

5. Pada masa pemerintahan colonial misalnya, Institusi Imigrasi berbentuk Dinas Imigrasi
dibawah pemerintahan Hindia Belanda , orang asing yang masuk secara illegal dimungkinkan
untuk memperoleh kartu ijin masuk yang sah, sehingga banyak orang asing yang masuk tanpa
prosedur keimigrasian dan menarik banyak orang asing pendatang untuk masuk dan bekerja di
Indonesia tanpa adanya pembatasan yang menyebabkan tenaga kerja semakin murah dan
menguntungkan bagi kaum capital. Pada masa ini kebijakan Imigrasi dikenal open door Policy.
Pada tahun 1950 sampai dengan 1992, Jawatan Imigrasi telah beralih dari pemerintah hindia
Belanda ke pemerintahan Indonesia. Kebijakan yang sebelumnya bersifat open door policy telah
menjadi Politik hukum yang didasarkan pada kepentingan Nasional yaitu politik saringan.
Beberapa perubahan telah terjadi baik dari segi peryaratan maupun adminstrasi dibidang
keimigrasian, yang menyaratkan oarng asing pendatang harus membawa keuntungan secara
ekonomi untuk Indonesia. Selain itu pada masa ini pertama kali adanya penetapan Tindak Pidana
Keimigrasian sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 8 Drt. Tahun
1955 tentang tindak pidana Imigrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa Pemerintah saat itu melihat
tingginya dampak yang merugikan dengan hadirnya orang asing pendatang di Indonesia.

6. Beberapa substansi baru yang diatur dalam RUU tentang Keimigrasian secara garis besar
adalah:
1. Hak Setiap Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara Indonesia (WNI) berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk
wilayah Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi manusia
(HAM), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

2. Fungsi dan Pelaksanaan Keimigrasian


Fungsi keimigrasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan untuk melaksanakan fungsi
tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Menteri Hukum dan HAM. Untuk melaksanakan tugas keimigrasian, pada setiap
kabupaten, kota, atau kecamatan dapat dibentuk Kantor Imigrasi. Selain Kantor Imigrasi,
di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk Rumah Detensi.

3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia


Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen
perjalanan yang sah dan masih berlaku dan bagi orang asing yang masuk wilayah
Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku. Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi berperan dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan orang
yang masuk dan keluar wilayah Indonesia.
Pengaturan mengenai masuk dan keluarnya orang dari atau ke wilayah Indonesia,
meliputi pula pengaturan mengenai kewajiban bagi penanggung jawab alat angkut. Untuk
membatasi yuridiksi pemeriksaan, diatur pula mengenai Area Imigrasi yakni suatu area
tertentu untuk melakukan pemeriksaan keimigrasian dan merupakan area terbatas yang
hanya dapat dilalui oleh penumpang atau awak alat angkut yang akan keluar atau masuk
wilayah Indonesia atau pejabat dan petugas yang berwenang.

4. Pencegahan dan Penangkalan


Selain berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan di bidang keimigrasian,
Menteri Hukum dan HAM juga melaksanakan pencegahan berdasarkan keputusan
Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan permintaan Kepala Badan
Narkotika Nasional. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi orang yang dicegah,
yang bersangkutan dapat melakukan keberatan.
Demi keamanan dan ketertiban umum, Menteri Hukum dan HAM berwenang pula
melakukan penangkalan bagi seseorang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pejabat yang
berwenang dapat meminta kepada Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan
penangkalan. Jangka waktu penangkalan dipersingkat menjadi 6 (enam) bulan.
Penangkalan terhadap WNI tidak diberlakukan karena bertentangan dengan HAM dan
prinsip perlindungan negara terhadap warga negara.

5. Visa, Izin Masuk, dan Izin Tinggal


Dalam bagian ini diatur mengenai jenis visa dan kepada siapa visa dapat diberikan dan
kepada siapa visa tidak dapat diberikan. Termasuk pengaturan mengenai orang asing
yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa, izin masuk bagi orang asing yang
telah memenuhi persyaratan untuk masuk ke wilayah Indonesia. Bagi orang asing yang
berada di wilayah Indonesia, diwajibkan memiliki izin tinggal. Dalam bagian ini diatur
mengenai jenis dan macam izin tinggal.

6. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia


Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam RUU ini meliputi Paspor Republik
Indonesia (sebagai dokumen negara) dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (sebagai
dokumen resmi).
Paspor Republik Indonesia terdiri atas:
a. Paspor Diplomatik;
b. Paspor Dinas; dan
c. Paspor Biasa.

Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas:


a. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing;
c. Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas.

Dalam bagian ini diatur pula mengenai siapa yang dapat memperoleh Paspor dan Surat
Perjalanan Laksana Paspor, beserta persyaratannya.

7. Pengawasan Keimigrasian
Menteri melakukan pengawasan Keimigrasian yang meliputi:
a. pengawasan terhadap WNI yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau masuk
wilayah Indonesia, dan yang berada di luar wilayah Indonesia.
b. pengawasan terhadap lalu lintas orang asing yang masuk atau keluar wilayah
Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah
Indonesia.

Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap orang asing, Menteri Hukum dan HAM
membina hubungan kerja sama dengan badan atau instansi pemerintah terkait dan
bertindak selaku koordinator pengawasan orang asing. Untuk menegakkan pengawasan
yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, diatur pula mengenai Tindakan Administratif
Keimigrasian dan pengaturan mengenai Rumah Detensi Imigrasi. Rumah Detensi
Imigrasi dapat juga berfungsi sebagai cabang Rumah Tahanan Negara tempat penahanan
tersangka tindak pidana keimigrasian.

Dalam bagian ini diatur pula fungsi dan peran serta keimigrasian dalam rangka
mendukung terwujudnya perlindungan kepada korban tindak pidana perdagangan orang
dan penyelundupan migran.

8. Kewenangan Penyidik Keimigrasian


RUU ini memberikan penguatan terhadap kewenangan Penyidik Keimigrasian yang
semula hanya meliputi:
a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian;
b. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang yang disangka
melakukan tindak pidana keimigrasian;
c. memeriksa dan/atau menyita surat‑surat, dokumen‑dokumen, Surat Perjalanan, atau
benda‑benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
e. melakukan pemeriksaan di tempat‑tempat tertentu yang diduga terdapat surat‑surat,
dokumen‑dokumen, Surat Perjalanan, atau benda‑benda lain yang ada hubungannya
dengan tindak pidana keimigrasian;
f. mengambil sidik jari dan memotret tersangka,

Selain itu diberikan tambahan kewenangan, berupa:


1. mencari keterangan dan alat bukti;
2. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
3. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan;
4. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen perjalanan;
5. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas
dirinya;
6. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
7. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber-sumber yang berkompeten;
8. melakukan penghentian penyidikan; atau
9. mengadakan tindakan lain menurut hukum.

Di samping itu, Penyidik keimigrasian yang telah selesai melakukan penyidikan tindak
pidana keimigrasian tersebut wajib menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada
penuntut umum.

9. Ketentuan Pidana
Subyek yang dikenai pidana diperluas, antara lain meliputi: penanggung jawab alat
angkut, penjamin atau sponsor, deteni atau orang asing penghuni rumah detensi, dan
orang asing yang melakukan perkawinan semu. Namun, terdapat pula perbuatan yang
sebelumnya dikategorikan tindak pidana keimigrasian dilakukan dekriminalisasi menjadi
tindak pelanggaran keimigrasian yang bersifat administratif, misalnya: orang asing
pemegang izin tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam
wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal dikenakan
tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dan penangkalan. Pelanggaran
semacam ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Di samping itu, beberapa
perbuatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian ditingkatkan pidananya dalam rangka memberikan efek jera. Pemidanaan
tidak hanya kepada orang perseorangan, melainkan juga dapat dijatuhkan kepada
korporasi.

7. Kalau masuk pakai visa kunjungan, maka akan memperoleh izin tinggal kunjungan.Sedangkan
visa tinggal terbatas, akan mendapatkan izin tinggal terbatas. Untuk izin tinggal tetap hanya bisa
didapat melalui alih status dari izin tinggal terbatas

Anda mungkin juga menyukai