Anda di halaman 1dari 5

BAB III

PENETAPAN MASALAH

A. Teori
Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan
antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan.
Lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika bertumbukkan
dengan lempeng benua sehingga akan mengalami perlambatan gerak yang
menyebabkan penumpukkan energi di zona penunjangan. Pada kondisi batas
elastisitas lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan batuan yang diikuti
oleh lepasnya energi secara tiba-tiba yang menimbulkan getaran partikel ke
segala arah yang disebut gempa bumi. Berdasarkan faktor penyebab terjadinya
gempa, gempa bumi tektonik terjadi akibat pelepasan energi dari pergerakan
lempeng-lempeng tektonik bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Gempa bumi
vulkanik terjadi akibat aktivitas gunung berapi serta pergerakan magma di
dalam perut bumi (Agusti and Elva Rahmah, 2019).
Kerusakan permukiman akibat musibah gempa umumnya disebabkan
karena pengaruh getaran gempa yang dahsyat di permukiman penduduk.
Secara struktur, efek dari kekuatan gempa yang besar dan diluar perhitungan
menyebabkan bangunan menjadi lemah pada struktur gesernya yaitu pada kaki
kolom dan balok bangunan, hal ini menyebabkan struktur bangunan tidak
stabil dan bisa menjadi runtuh secara tiba-tiba apabila ada gaya luar terhadap
bangunan. Untuk kawasan permukiman yang kondisi bangunannya mengalami
kerusakan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan kerusakan yang ditimbulkan
yaitu: (Sushanti et al., 2020).
1. Permukiman dengan tingkat kerusakan rumah rusak berat
2. Permukiman dengan tingkat kerusakan rumah rusak sedang
3. Permukiman dengan tingkat kerusakan permukiman rusak ringan
B. Metode
Pemulihan pasca bencana menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dengan manajemen kebencanaan yang ada di Indonesia. Proses
pemulihan telah menjadi salah satu langkah penting yang harus
diimplementasikan setelah bencana terjadi senada dengan pemulihan bencana
dapat dikonseptualisasikan sebagai proses diferensial memulihkan,
membangun kembali, dan membentuk kembali lingkungan fisik, sosial
ekonomi dan alam melalui perencanaan dan tindakan pasca terjadinya
bencana, pemulihan bencana bisa menjadi peluang untuk pemerintah dalam
membangun daerah agar lebih baik dan dapat bertahan pada resiko bencana
yang lebih besar pada waktu mendatang. Proses pemulihan tersebut disebut
sebagai fase rehabilitasi dan rekonstruksi (Bakti and Nurmandi, 2020).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 21 tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, menyatakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana terdiri
dari rehabilitasi dan rekonstruksi, yang manatujuan penyelenggaraan
penanggulangan bencana tersebut untuk menjamin terselenggaranya
pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi,
dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat
dari ancaman, risiko, dan dampak bencana (Kurnia, 2017).

C. Hasil dan Pembahasan Penetapan Masalah


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendefinisikan
bencana, berfokus pada bencana alam, yang kemudian dirincikan dalam
Undang - Undang No. 24 tahun 2007 adalah peristiwa atau kejadian –
kejadian alam dengan potensi konsekuensi mengalami kerugian, baik materil
maupun materil, contohnya seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain
sebagainya. Gempa bumi adalah peristiwa bergeraknya lempengan tektonik,
berada pada lapisan litosfer, mampu menyebabkan patahan pada kerak bumi
dengan area sumber gerakan disebut epicenter, getaran dapat dirasakan dari
ratusan bahkan ribuan mil dari pusat, serta alat pendeteksinya disebut
seismometer yang mengukur kekuatan gempa menggunakan gelombang
seismic (Lathifa and Putra, 2022).
Adapun faktor yang mempengaruhi kerawanan terhadap gempa bumi,
yaitu sebagai berikut:
1. Kondisi jenis batuan yang menutupinya endapan hasil aktivitas gunung
berapi/ endapan piroklastik berumur Plistosen dengan sifat fisik batuan
belum mengalami konsolidasi (lemah), sehingga jika terjadi gempa bumi
efek rusaknya tidak dapat diredam, sehingga dampaknya aka menimbulkan
kerusakan yang lebih parah.
2. Morfologi perbukitan dengan kemiringan dari landai sampai curam terlihat
dari citra satelit. Kemiringan lereng dapat memberikan gambaran tingkat
stabilitas terhadap kemungkinan terjadinya longsoran atau runtuhan tanah
dan batuan, terutama pada saat terjadi kawasan rawan gempa bumi.
Semakin terjal lereng maka potensi untuk terjadinya gerakan tanah dan
batuan akan semakin besar, walaupun jenis batuan yang menempatinya
cukup berpengaruh untuk tidak terjadinya longsoran (Ridha, Rahmawaty
and Santoso, 2021).
Hal utama yang bisa terjadi saat gempa bumi adalah banyaknya
bangunan yang roboh, ini membuat kebanyakan orang menjadi panik
bahkan ada yang harus kehilangan anggota keluarganya yang tertimbun
runtuhan bangunan. Dalam hal ini akan mempengaruhi psikologis
seseorang yang harus kehilangan keluarganya. Pada sektor ekonomi,
hampir semua aktifitas perekonomian terutama di perkantoran dan tempat
perbelanjaan terhenti apabila terjadi gempa bumi karena orang lebih
mengutamakan keselamatan jiwanya, ini akan mengurangi pendapatan di
bidang ekonomi. Bahkan di rumah sakit banyak pasien yang harus
dikeluarkan dari rumah sakit untuk keselamatannya dan hal ini secara
tidak langsung akan mengurangi layanan kesehatan bagi para pasien
(Jakandar, 2019).
Selain itu banyak bangunan bersejarah misalnya masjid yang rusak
karena gempa bumi, padahal situs-situs ini sangat berharga bagi
kelestarian budaya kita. Lebih lanjut tanah longsor akibat guncangan
tersebut. Tanah longor lebih berdampak pada rusaknya daerah gempa yang
bisa mengancam keberadaan manusia maupun flora dan fauna yang ada di
sekitarnya. Dengan adanya longsor banyak korban yang meninggal
tertimbun tanah longsoran tersebut, pohon tumbang dan banyak hewan
yang mati. Ini dapat membuat keadaan sosial di tempat tersebut akan
berubah, yang dulunya keluarganya masih utuh kini harus ada yang hilang.
Yang dulunya hewan ternak banyak kini tinggal sedikit dan yang dulunya
masih banyak pepohonan kini tinggal sedikit karena yang tersisa hanya
hamparan tanah saja (Jakandar, 2019).

DAFTAR PUSTAKA

Agusti, D. and Elva Rahmah (2019) ‘Pembuatan Booklet Mitigasi Bencana


Gempa Bumi dan Tsunami Sebagai Media Informasi Bagi Masyarakat
Kota Padang’, Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan, pp.
113–124.
Bakti, H.K. and Nurmandi, A. (2020) ‘Pemulihan Pasca Bencana Gempa Bumi Di
Lombok Utara Pada Tahun 2018’, Jurnal Geografi, 12(02), p. 137.
doi:10.24114/jg.v12i02.16750.
Jakandar, L.E. (2019) ‘Dampak Gempa Bumi Lombok Terhadap Kondisi Sosial
Ekonomi Masyarakat Di Desa Kekait Kecamatan Gunung Sari Kabupaten
Lombok Barat’, Sophist : Jurnal Sosial Politik, Kajian Islam dan Tafsir,
1(2), pp. 210–227. doi:10.20414/sophist.v1i2.772.
Kurnia, M.L. (2017) ‘Pelaksanaan Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Perumahan Pasca Gempa 30 September 2009 di Sumatera Barat’,
Pagaruyuang Law Journal, 1(1), pp. 76–91. Available at:
http://joernal.umsb.ac.id/index.php/pagaruyuang/index.
Lathifa, E. and Putra, R.D. (2022) ‘Tingkat Literasi Kebencanaan Mahasiswa
Asal Indonesia Yang Sedang Studi Di Izmir, Turkiye’, Jurnal Ilmu
Komunikasi UHO : Jurnal Penelitian Kajian Ilmu Komunikasi dan
Informasi, 7(3), p. 387. doi:10.52423/jikuho.v7i3.26239.
Ridha, R., Rahmawaty, A.A. and Santoso, H. (2021) ‘Strategi Percepatan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Melalui Zonasi Rumah Tahan
Gempa (RTG) di Kabupaten Lombok Utara’, Seminar Nasional
Planoearth #02 Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Berbasis
Pengurangan Risiko Bencana, pp. 33–41. Available at:
https://journal.ummat.ac.id/index.php/PRPE/article/view/3987.
Sushanti, I.R. et al. (2020) ‘Strategi Penanggulangan Kerusakan Rumah Tinggal
Pasca Bencana Gempa Bumi Di Kawasan Permukiman’, Jurnal
Planoearth PWK FT Universitas Muhammadiyah Mataram, 2, pp. 17–24.

Anda mungkin juga menyukai