Anda di halaman 1dari 29

HUKUM TATA NEGARA

ISTILAH, PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM LEMBAGA NEGARA

A. Peristilahan
Dalam literatur Inggris, lembaga negara dikenal dengan
peristilahan sebagai berikut :
1. Body of State;
2. Political Institution;
3. States Organ.
Selain, itu lembaga negara juga dikenal dengan istilah :
1. Staats Organen (Belanda);
2. Alat perlengkapan federal (istilah ini digunakan pada masa
berlakunya Konstitusi RIS 1949);
3. Alat perlengkapan negara ( istilah ini digunakan pada masa
berlakunya UUDS 1950).
4. Pranata Negara.
Istilah yang resmi digunakan oleh Indonesia dewasa ini yaitu
“lembaga negara”. Adapun sebagai dasar hukum konstitusional
penggunaan istilah lembaga negara yaitu Pasal 24 C UUD Tahun 1945.
Pasal itu antara lain menentukan sebagai berikut :
Mahkamah Konstitusi berwenang....
“... Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD...”

Jadi, UUD sendiri menggunakan istilah lembaga negara, karena itu dapat
dikatakan istilah tersebut merupakan istilah resmi.

B. Pengertian
Secara sederhana, lembaga negara diartikan sebagai lembaga
yang menjalankan fungsi-fungsi negara. Sebelum perubahan UUD Tahun
1945, berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja antara Lembaga Tertinggi Negara dengan/antar
Lembaga Tinggi Negara, dikenal istilah “Lembaga Tertinggi Negara” dan
“Lembaga Tinggi Negara”. Waktu itu, dikenal predikat “tertinggi” dan
“tinggi”. Predikat tersebut menggambarkan adanya hirarki atau hubungan
atasan bawahan. Yang dikategorikan Lembaga Tertinggi Negara adalah
MPR, sedangkan Lembaga Tinggi Negara meliputi DPR, Presiden, MA, BPK
dan DPA (sekarang telah dibubarkan). Karena itu, MPR merupakan atasan
lembaga tinggi negara lainnya.

1
Namun, setelah perubahan UUD Tahun 1945, TAP MPR tersebut di
atas dicabut, sehingga predikat lembaga tertinggi dan tinggi negara juga
kehilangan dasar hukumnya. Dipihak lain, dalam perubahan UUD 1945
muncul istilah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
sehingga istilah dalam UUD itulah yang menjadi acuan dewasa ini.
Terhapusnya predikat “tertinggi” dan “tinggi” telah menimbulkan
konsekuensi bahwa dewasa ini antara lembaga negara yang satu dengan
lembaga negara yang lain muncul kesetaraan, tidak ada lagi hubungan
atasan bawahan seperti dulu. Lebih lengkapnya, muncul prinsip
kesetaraan dan saling mengontrol ( check and balances system) antar
lembaga negara. Jadi, apabila dalam tradisi yang lama MPR
kedudukannya paling tinggi, sekarang menjadi setara dengan lembaga
negara lainnya seperti DPR, Presiden dan lain-lain.

C. Macam-Macam Lembaga Negara


Kembali ke Pasal 24 C UUD 1945, dalam pasal tersebut
dimunculkan istilah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD. Ketentuan UUD yang singkat tersebut telah menimbulkan
penafsiran dalam praktik bahwa terdapat beberapa macam (kategori)
lembaga negara sebagai berikut :
1. Lembaga negara berdasarkan UUD/lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD;
2. Lembaga negara berdasarkan UU/lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UU;
3. Lembaga negara berdasarkan Perpres/lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Perpres.
Lembaga negara dengan kategori nomor 1 (satu) sering disebut
juga main states organ (lembaga negara utama). Lembaga negara ini
merupakan perpanjangan dari trias politika yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif serta menjalankan prinsip kesetaraan dan saling mengawasi
satu sama lain (checks and balances system). Sedangkan kategori
nomor 2 (dua) dan 3 (tiga) sering disebut juga auxiliary states organ
(lembaga negara penunjang) yang di Indonesia sekarang banyak
berwujud Komisi-komisi independen.
Siapa yang dikategorikan ke dalam cabang masing-masing?
1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD meliputi :
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, BPK dan KY. Sebagian pendapat
menambahkan KPU ke dalam cabang ini;
2. Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UU, contohnya
: KPK, Bank Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, Ombudsman
Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi
Aparatur Sipil Negara (KASN), Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, dan lain-lain.
3. Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Peraturan
Presiden, contohnya : Komisi Hukum Nasional, Dewan Maritim,

2
KOMNAS HAM, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi
Kejaksaan, dan lain-lain.
Dalam hukum lembaga negara yang menjadi fokus pembahasan
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD (nomor
1). Adapun nomor 2 dan 3 dibahas dalam bidang yang lainnya.

D. Lembaga Pemerintah (eksekutif)


Di samping istilah lembaga negara, dikenal pula istilah lembaga-
lembaga pemerintah (regering organen), yaitu lembaga yang berada di
bawah Presiden. Lembaga yang masuk dalam rumpun eksekutif ini
terbagi lagi menjadi:
a. Lembaga Pemerintah Kementerian, seperti Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Luar Negeri, dan sebagainya. Menteri merupakan jabatan
politik (non karier atau non PNS) yang diangkat oleh Presiden melalui
penunjukkan (appointe);
b. Lembaga Pemerintah Non Kementerian, seperti Kejaksaan Agung
(Kejagung), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Kepegawaian Negara
(BKN), Lembaga Administrasi Negara, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), TNI, Polri dan sebagainya. Kepala Lembaga
Pemerintah Non Kementerian semisal Kepala BKPM, Kepala BKN
direkrut dari PNS karier dengan jabatan struktural eselon I.a. Untuk
Panglima TNI dan Kepala Polri direkrut dari orang-orang yang
memiliki pangkat tertentu, yaitu Letnan Jenderal atau Jenderal.
Mereka semua diberikan status dan hak yang setingkat dengan
menteri.
c. Lembaga Pemerintahan Daerah. Adapun lembaga-lembaga daerah
merupakan lembaga pemerintah yang ada di daerah yaitu kepala
daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dan DPRD. Sama halnya dengan
lembaga pemerintah, lembaga daerah juga masuk ke dalam rumpun
eksekutif (Presiden). Jabatan Kepala Daerah dan Anggota DPRD
merupakan jabatan politik (non karier atau non PNS) yang
rekruitmennya dilakukan melalui Pemilihan Umum.

II. SUMBER HUKUM TATA NEGARA

A. Bentuk-bentuk Produk Keputusan Hukum

3
Dalam dunia hukum, dikenal adanya 3 (tiga) bentuk penuangan keputusan
norma hukum yaitu :
1. Peraturan (regels), sebagai hasil dari kegiatan yang bersifat mengatur. Sifat
peraturan adalah general norm (norma yang berlaku bagi setiap
orang/umum). Dalam hukum Indonesia regels dikenal dengan istilah
“Peraturan perundang-undangan” yang terdiri dari UUD, TAP MPR,
UU/Perpu, PP, Perpres dan Perda.
2. Vonis (vonnis), sebagai hasil dari kegiatan menghakimi (proses peradilan).
Contoh : putusan Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi.
3. Penetapan/Ketetapan (beschikking), sebagai hasil dari kegiatan
menetapkan secara administratif. Sifat penetapan adalah individual norm,
artinya hanya berlaku bagi orang-orang tertentu atau badan tertentu.
Contoh : Izin Mendirikan Bangunan yang diberikan kepada Ali, Izin Usaha
Perdagangan yang diberikan kepada suatu PT, Sertifikat Hak Milik atas
tanah yang diberikan kepada Badu dan sebagainya. Dalam sistem hukum
Indonesia penetapan dikenal dengan istilah keputusan tata usaha negara
(KTUN).

B. Pengertian dan Macam-macam Sumber Hukum

Pengertian sumber hukum dapat dilihat dari berbagai macam sudut


pandang, karena itu tidak heran apabila ruang lingkupnya begitu luas. Menurut
Hans Kelsen, terdapat 3 (tiga) pengertian sumber hukum :
1. Sumber hukum diartikan sebagai cara membentuk hukum (method of
creating law). Contoh, proses pembentukan undang-undang di DPR itu
merupakan bagian dari pengertian sumber hukum;
2. Sumber hukum diartikan sebagai alasan mengapa hukum memiliki
kekuatan mengikat (the reason for validity of law). Menurut Kelsen, suatu
peraturan hukum memiliki kekuatan mengikat karena menyantol
(bersandar) kepada peraturan yang lebih tinggi atau peraturan yang ada
diatasnya. Contoh : peraturan pemerintah (PP) memperoleh kekuatan

4
mengikat dari undang-undang, di mana PP menjabarkan lebih lanjut isi
undang-undang;
3. Sumber hukum diartikan sebagai hal-hal yang bersifat non yuridis (di luar
hukum), seperti ideologi, pandangan politik, norma agama, moral dan
sebagainya. Pengertian yang ketiga ini seringkali mempengaruhi atau
bahkan menentukan isi peraturan perundang-undangan di suatu negara.
Contoh : negara yang menganut ideologi komunis, seperti China, Korea
Utara, maka peraturan-peraturannya tentu saja akan banyak dipengaruhi
oleh paham-paham komunis.

Dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan


Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dapat ditemui pengertian
sumber hukum, yaitu sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan. 1
Menurut doktrin, sumber hukum terbagi menjadi dua yaitu :
1. Sumber hukum formal
Yaitu sumber hukum yang dikenal dari “jenis” (“bentuk”) dan “cara
pembuatannya”. Suatu norma, agar menjadi norma hukum yang berlaku
dan ditaati masyarakat, harus melalui proses pembuatan dan memiliki
bentuk tertentu. Ini merupakan ciri norma hukum yang membedakannya
dengan norma-norma non hukum lainnya (kesusilaan, kesopanan dan lain-
lain)

Menurut Prof. Mahadi, sumber hukum formal meliputi :


a. UU dalam arti luas

1
Ketetapan tersebut dewasa ini sudah tidak berlaku lagi tetapi pengertian sumber
hukum yang ada di dalamnya tetap relevan untuk dijadikan referensi.

5
UU dalam arti luas disebut juga peraturan perundang-undangan (regels)
yang meliputi : UUD, TAP MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda dan
peraturan lembaga negara serta peraturan lembaga pemerintah.
b. Hukum adat  HUKUM ADAT KETATANEGARAAN
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah berkembang semacam
hukum adat ketatanegaraan seperti misalnya peraturan tentang alat-
alat perlengkapan persekutuan adat  DESA ADAT CONTOHNYA
PERADILAN ADAT, peraturan tentang rembug desa dan lain-lain;
c. Hukum Kebiasaan/ CUSTOMARY LAW  DALAM KONTEKS HTN
ADALAH KONVENSI KETATANEGARAAN
Dalam hukum tata negara, hukum kebiasaan disebut sebagai konvensi
ketatanegaraan (constitutional convention). Menurut Prof. Soepomo
yang dimaksud dengan konvensi adalah aturan-aturan dasar  INI
SEKELAS/SAMA DENGAN KONSTITUSI/UUD 1945 yang timbul  ADA
INISIATOR dan terpelihara  DILAKUKAN BERULANG ULANG dalam
praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis  WUJUDNYA
TIDAK TERTULIS (UNWRITTEN) Contoh konvensi diantaranya :
1) pidato kenegaraan Presiden Indonesia setiap tanggal 16 Agustus di
hadapan Sidang Bersama (joint session) DPR dan DPD  SIDANG
TAHUNAN MPR (MPR TERDIRI ATAS ANGGOTA DPR DAN ANGGOTA
DPD). Dewasa ini, pidato kenegaraan sudah diatur dalam undang-
undang dan Peraturan Bersama DPR dan DPD. Oleh sebab itu, telah
bertransformasi menjadi hukum tertulis dan tidak dapat lagi disebut
konvensi.
2) mosi tidak percaya yang dikeluarkan oleh parlemen (DPR) untuk
menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa.
3) hubungan antara Raja, Menteri dan Parlemen dalam tata negara
Inggris.
d. Traktat/TREATY (perjanjian internasional/INTERNATIONAL
CONVENTION/INTERNATIONAL TREATIES).

6
Yaitu persetujuan internasional yang dibuat oleh subjek-subjek hukum
internasional mengenai suatu persoalan yang bersifat lintas batas
negara.
WHO  COVAX = PROGRAM PENDISTRIBUSIAN VAKSIN KE SELURUH
NEGARA

Misalnya, persoalan batas wilayah, perdagangan, ruang angkasa dan


sebagainya. Bila ditinjau dari jumlah pesertanya perjanjian
internasional terbagi menjadi 2 yaitu:
1) Perjanjian bilateral (perjanjian antar 2 negara), atau disebut juga
treaty contract. Misalnya perjanjian batas wilayah antara Indonesia
dengan Filipina, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Korea
Selatan dan sebagainya. Pada tahun 1814, Inggris dan Belanda
menandatangani perjanjian yang dikenal dengan nama Traktat
London. Pada intinya, traktat ini berisi tentang penyerahan wilayah
jajahan Inggris kepada Belanda. Wilayah jajahan itu tidak lain adalah
wilayah negara RI dewasa ini minus Timor-Timur. Traktat London
merupakan salah satu dokumen yuridis yang dijadikan dasar oleh
pemerintah RI untuk mempertahankan keutuhan wilayah RI.
2) Perjanjian multilateral (perjanjian yang dibuat oleh banyak negara),
atau disebut juga law making treaties. Misalnya, Konvensi Anti
Korupsi PBB, Perjanjian Ruang Angkasa (Space Treaty), dan
sebagainya.
e. Yurisprudensi  putusan hakim
Yaitu putusan hakim yang diikuti secara berulang-ulang dalam kasus
yang sama oleh hakim-hakim lainnya, sehingga dapat disebut juga
judge made law (hukum buatan hakim). Kenapa sampai diikuti
berulang-ulang ? Berarti idalam putusan tersebut terdapat
pertimbangan-pertimbangan (pendapat-pendapat) yang sangat mapan,
sehingga dijadikan standar oleh hakim-hakim lainnya.
f. Doktrin (ajaran para ahli/pendapat para sarjana/the professor’s law)

7
Ajaran para ahli, walaupun tidak memiliki kekuatan mengikat, tetapi
dapat menjadi sumber inspirasi bagi DPR dan Presiden dalam
membuat undang-undang dan bagi hakim dalam membuat putusan.
Misalnya, dalam memutus perkara, hakim dapat mencari dan
menemukan hukum dalam buku-buku yang dikarang para sarjana
terkemuka. CF. STRONG, CARL SCHMITH, BRIAN THOMPSON, PROF.
JIMLY ASSHIDDIQIE,

MONTESQUIEU  DE ESPRIT DES LOIS/THE SPIRIT OF LAW

Salah satu doktrin terkenal dalam ilmu hukum adalah teori Trias
Politica (pemisahan kekuasaan/SEPARATION OF POWER) yang
dikembangkan oleh Montesquieu. Menurut Montesquieu, kekuasaan
negara harus dipisah ke dalam 3 (tiga) cabang :
1) Legislatif (kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan)
 DPR, DPD, MPR;
2) Eksekutif (Kekuasaan menjalankan peraturan perundang-
undangan);  PRESIDEN DAN JAJARANNYA, INGGRIS : RATU +
PERDANA MENTERI, JORDANIA : SULTAN, JEPANG : KAISAR +
PERDANA MENTERI
3) Yudikatif (Kekuasaan kehakiman).  MA DAN MK
Masing-masing cabang harus dipegang oleh orang/lembaga yang
berbeda agar terhindar kesewenang-wenangan. Hal ini berarti, antara
cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain tidak boleh saling
mencampuri. Apakah Indonesia menganut teori Trias Politica ? Tidak
sepenuhnya. Buktinya : di Indonesia, Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang, padahal Presiden adalah lembaga eksekutif.
Sebagaimana dipahami, menurut teori Trias Politica, tugas
pembentukan peraturan perundang-undangan ada di tangan legislatif,
bukan eksekutif.

8
L
Di Indonesia, jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan dapat
ditemui dalam 4 ketentuan yaitu :
a. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. TAP ini telah dicabut oleh TAP MPR No. III/MPR/2000;
b. TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan; TAP ini statusnya menjadi tidak
berlaku lagi sejak terbitnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
c. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
d. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan  DIUBAH DENGAN UU NO. 16 TAHUN 2019. UU ini
menggantikan UU No. 10 Tahun 2004.

TAP MPRS XX/1966 TAP MPR III/2000 UU No.10,2004JUUU No. 12,


2011
UUD UUD UUD UUD9
TAP MPR TAP MPR UU/Perpu TAP MPR
UU/Perpu UU PP UU/Perpu
PP Perpu Perpres PP
Keppres Keppres Perda Perpres
Peraturan/ Perda Perda
Pelaksanaan
Lainnya
(Sudah dicabut) (sdh tdk berlaku) (sdh tdk berlaku) (skrg berlaku)

9
TAP MPR YANG MASIH BERLAKU :
- TAP MPRS/NO. XXV/MPRS/1966 TTG PEMBUBARAN PKI DAN
LARANGAN PENYEBARAN AJARAN KOMUNISME, MARXISME DAN
LENINISME
- TAP MPR NO. VIII/MPR/2000 TENTANG ETIKA KEHIDUPAN
BERBANGSA

PERATURAN DAERAH PROVINSI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

KEPUTUSAN ><PERATURAN

KEPUTUSAN  BERLAKUNYA INDIVIDUAL (HANYA UTK ORANG2


TERTENTU, YG DISEBUT DALAM KEPPRES

PERATURAN  BERLAKUNYA SECARA UMUM/BERLAKU BAGI SETIAP


ORANG/MASYARAKAT UMUM

JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN  SIFATNYA BERLAKU
UMUM/BERLAKU BAGI SETIAP ORANG

PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

a. UUD : LEMBAGA YANG BERWENANG MEMBENTUK


(MEREVISI/MENGAMANDEMEN)  MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
b. TAP MPR : PEMBENTUK  MPR
c. UU : PEMBENTUK  DPR BERSAMA PRESIDEN
d. Perpu : PEMBENTUK  PRESIDEN, SYARATNYA : ADA
KEGENTINGAN YANG MEMAKSA

PERPU ITU BERLAKU SAMPAI  PERSIDANGAN DPR BERIKUTNYA ?


KAPAN SIDANG BERIKUTNYA ? PALING LAMA 1 TAHUN
KESIMPULAN : PERPU BERLAKU PALING LAMA 1 TAHUN

SETELAH LEWAT 1 TAHUN ? PERPU ITU HARUS DIAJUKAN KE DPR,


UTK DIBAHAS KEMBALI OLEH DPR.

BAGAIMANA SIKAP DPR THD PERPU TSB ?


1. MENERIMA/MENYETUJUI PERPU  PERPU TSB BERUBAH STATUS
MENJADI UU
2. MENOLAK PERPU  PERPU HRS DIHAPUS/DICABUT.

10
e. PP : Peraturan Pemerintah  PRESIDEN (RANCANGAN
DISIAPKAN OLEH PARA MENTERI). PP DIBUAT UNTUK
MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG (UNDANG-UNDANG MEMANG
MENGAMANATKAN UTK MEMBUAT PP YG MENJABARKAN LEBIH
LANJUT UU TERSEBUT)
f. Keppres : Keputusan Presiden
g. Perpres : Peraturan Presiden  PEMBENTUK : PRESIDEN
(RANCANGAN DISIAPKAN OLEH MENTERI)
h. Perda : Peraturan Daerah
PERDA PROVINSI  PEMBENTUKNYA : DPRD PROVINSI + GUBERNUR
PERDA KABUPAEN : DPRD KABUPATEN + BUPATI
PERDA KITA : DPRD KOTA BERSAMA WALIKOTA

Tata urutan peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan


adanya hierarki. Maksudnya, peraturan perundang-undangan yang berada
di atas lebih tinggi kedudukannya dari pada yang ada di bawahnya (yang di
bawah lebih rendah) dan seterusnya. Misalnya, dalam UU No. 10 Tahun
2004 peraturan perundang-undangan yang tertinggi adalah UUD tahun
1945, di bawah UUD adalah UU/Perpu dan seterusnya. Peraturan yang ada
di di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di
atasnya.
Beberapa perkembangan baru menyangkut tata urutan peraturan
perundang-undangan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 TAP MPR dihapuskan. Namun dalam UU
No. 12 Tahun 2011 yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004, ternyata
TAP MPR dimunculkan lagi. Alasannya, karena masih ada beberapa TAP
MPR warisan masa lalu yang statusnya masih berlaku.2 Hal itu
menimbulkan konsekuensi bahwa Ketetapan MPR memiliki 2 (dua) sifat
sekaligus, yaitu :

2
Mulai tahun 2002, Ketetapan MPR yang pernah terbit selama ini memiliki berbagai
macam status. Ada yang statusnya dicabut, ada yang berlaku sampai pada waktu tertentu, ada yang
berlaku dengan syarat dan sebagainya. Akibat penerapan macam-macam status itu, berdampak
kepada tidak berlakunya lagi hampir semua Ketetapan MPR, kecuali ada 8 Ketetapan yang masih
bertahan (masih berlaku). Dalam perkembangannya kemudian, muncul UU No. 10 Tahun 2004
yang menghapus keberadaan TAP MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan.
Akibatnya, nasib 8 Ketetapan yang masih berlaku tersebut menjadi tidak jelas, apakah
kedudukannya di atas UU, sejajar dengan UU ataukah di bawah UU. Karena itulah, melalui UU No.
12 Tahun 2011 yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR dihidupkan kembali ke dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan untuk memperjelas kedudukan tersebut.

11
1) General norm, yang berlaku bagi semua orang. Sebagai contoh, TAP
MPR tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Ajaran
Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
2) Individual norm, yang berlaku bagi orang-orang tertentu. Sebagai
contoh, TAP MPR tentang Pengangkatan Wakil Presiden menjadi
Presiden dalam hal Presiden wafat.
b. Kedudukan Perpu kembali setara dengan UU.
c. Istilah Keppres diganti menjadi Perpres. Setelah terbitnya UU No. 10
Tahun 2004 Keppres tidak lagi berkedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan, sehingga Presiden tidak dapat mengeluarkan
keppres yang bersifat mengatur. Namun demikian, Keppres masih
dapat diterbitkan untuk hal-hal yang sifatnya individual. Misalnya
Keppres tentang pengangkatan/pemberhentian hakim konstitusi,
Keppres tentang pengangkatan/pemberhentian Menteri, Keppres
tentang pengangkatan Anggota DPR/DPD dan lain-lain. Keppres
semacam ini disebut juga sebagai “penetapan” atau beschikking.

Menurut UU No. 10 Tahun 2004, Perda terdiri dari :


a. Perda provinsi;
b. Perda kabupaten/kota;
c. Peraturan Desa (peraturan yang setingkat);
Namun dalam UU No. 12 Tahun 2011, peraturan desa dihapus, sehingga
tidak lagi masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian menurut UU yang baru, perda hanya meliputi perda
provinsi dan kabupaten/kota.
Siapakah yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan ?
a. UUD dibentuk oleh MPR;
b. TAP MPR dibentuk oleh MPR;
c. UU dibentuk oleh DPR dan presiden;
d. Perpu dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa;
e. PP dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan UU;

12
f. Perpres dibentuk oleh Presiden.
Berkenaan dengan UU, ada yang disebut undang-undang organik dan
UU Pokok.
a. UU Organik yaitu UU yang dibentuk karena diperintahkan oleh UUD.
Misalnya, UUD Tahun 1945 memerintahkan: “ketentuan lebih lanjut
mengenai Mahkamah Konstitusi diatur melalui UU”. Maka, UU tentang
Mahkamah Konstitusi itulah–yaitu UU No. 24 Tahun 2003 –yang
dikatakan sebagai UU Organik;
b. UU pokok adalah UU yang memuat hal-hal yang bersifat pokok (garis
besar). Dikemudian hari, tidak tertutup kemungkinan untuk
membentuk UU baru yang isinya menjabarkan lebih lanjut ketentuan-
ketentuan UU pokok tadi. Misalnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Agraria yang dijabarkan lebih lanjut antara lain
oleh UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak atas Tanggungan, dan lain-lain.
2. Sumber hukum materiil terkait erat dengan pertanyaan, “dari mana isi
(materi) hukum diambil”, atau dengan kata lain, hal-hal apa saja yang
mempengaruhi isi daripada hukum. Sumber HTN materiil bisa berupa
moral/etika, agama, budaya, prinsip politik, ekonomi dan yang terpenting
adalah falsafah atau pandangan hidup bangsa. Di Indonesia falsafah
dimaksud adalah Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala
hukum negara. Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila.

BAB III

KONSTITUSI

A. Istilah Konstitusi

Perkataan konstitusi berasal dari bahasa latin constitutio. Istilah

constitutio terkait erat dengan kata jus yang berarti “hukum” atau “prinsip”.

13
Apabila ditelusuri secara etimologi, constitutio merupakan penggabungan
dari dua kata, yaitu:

1. Cume berarti “bersama”; dan

2. Statuere berasal dari kata sta/stare (berdiri). Karena itu, kata statuere

berarti :

a. Membuat sesuatu agar berdiri; atau

b. Membuat mandiri (menetapkan).

Kesimpulannya :

1. Constitutio berarti menetapkan atau mendirikan sesuatu secara bersama-

sama;

2. Constitusiones (bentuk jamak) berarti segala sesuatu yang telah

ditetapkan.

Istilah konstitusi dikenal juga dengan constitution (Inggris), constituer

(Perancis), Grondrecht (Belanda), verfassung (Jerman).

B. Pengertian Konstitusi

1. Pengertian klasik (kuno)

Secara klasik konstitusi sering diartikan sebagai :

a. Politeia/segala sesuatu yang terkait dengan negara (politeia)

b. Undang-undang yang dibuat oleh Kaisar (Zaman Romawi Kuno)

c. Peraturan-peraturan Agama yang berlaku di Gereja (Romawi Kuno);

d. Titah Raja/Ratu (Zaman Inggris/Perancis Kuno).

2. Pengertian Modern

Pengertian konstitusi modern tidak harus selalu dikaitkan dengan

negara. Menurut Brian Thompson, secara sederhana, yang dimaksud

dengan konstitusi adalah dokumen yang mengandung peraturan-

peraturan tentang pengoperasian suatu organisasi. Organisasi dimaksud

14
beragam modelnya, bisa berupa organisasi mahasiswa, serikat buruh,

partai politik, ASEAN Uni Eropa, PBB, dan tentunya juga negara.

Dalam hukum tata negara, pengertian konstitusi tentulah harus

dikaitkan dengan negara. Pengertian konstitusi yang demikian antara lain

dapat ditemukan dalam pendapat Carl Schmitt. Menurut Carl Schmitt,

konstitusi adalah himpunan peraturan yang dijadikan dasar bagi jalannya

roda pemerintahan dalam suatu negara.

Konstitusi modern dipahami sebagai the higher law (hukum

tertinggi). Dalam posisi sebagai hukum tertinggi, konstitusi menentukan

bagaimana bangunan kenegaraan harus disusun. Dalam kaitan itu, perlu

dibedakan antara konstitusi dengan nomoi (undang-undang biasa), di

mana konstitusi lebih superior (tinggi) dari pada undang-undang biasa.

Jika norma hukum yang terkandung di dalam konstitusi bertentangan

dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka

ketentuan konstitusi itulah yang berlaku.

C. Bentuk-bentuk Konstitusi

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, pengertian konstitusi

harus dibedakan dengan UUD. Konstitusi mempunyai makna yang lebih luas

dari pada UUD. Artinya UUD itu baru merupakan sebagian dari pengertian

konstitusi, yaitu konstitusi yang ditulis. Singkatnya, konstitusi terbagi menjadi

2 yaitu :

1. Konstitusi tertulis (terdokumen), yaitu konstitusi yang disusun atau ditulis

dalam suatu naskah. Contoh UUD (grondwet/gerundgesetz). Hampir

semua negara di dunia ini memiliki UUD kecuali Inggris, Israel dan Saudi

Arabia.

2. Konstitusi tidak tertulis. “Tidak tertulis” di sini jangan selalu dibayangkan

tidak tertulis sama sekali. Tidak tertulis bisa diartikan sebagai “tersebar

di berbagai undang-undang atau Piagam”. Jadi, tidak disusun dalam

suatu dokumen atau naskah UUD. Salah satu negara yang memiliki

15
konstitusi tidak tertulis adalah Inggris. Ketentuan-ketentuan

ketatanegaraan Inggris tidak disusun dalam suatu naskah UUD,

melainkan tersebar di dalam berbagai undang-undang. Misalnya Undang-

Undang tentang Menteri Kerajaan (Minister Crown Act) dan sebagainya.

D. Fungsi dan Materi Muatan Konstitusi

1. Fungsi

Pusat perhatian konstitusi adalah kekuasaan, baik menyangkut

pengaturan pembagian kekuasaan dan yang paling utama adalah

pembatasan kekuasaan pemerintah. Dengan adanya pembatasan

tersebut, maka dapat menghindarkan kesewenang-wenangan pemerintah

(penguasa).

2. Materi Muatan

Mengenai apa yang seharusnya diatur dalam sebuah konstitusi,

K.C. Wheare mengatakan, “semakin sedikit yang diatur makin baik, asal

yang sedikit itu benar-benar merupakan peraturan hukum yang ditaati

dan dilaksanakan”. Pendek kata, idealnya, dalam konstitusi cukup diatur

hal-hal yang pokok saja.

Menurut C.F. Strong, suatu konstitusi harus memuat 3 (tiga)

materi, yaitu:

a. Kekuasaan pemerintah (Tugas dan wewenang lembaga negara);

b. Hak-hak yang diperintah (HAM);

c. Hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.

Apakah yang dimaksud dengan pemerintah ? dalam teori HTN diajarkan

bahwa pemerintah, yang merupakan alat kelengkapan pemerintahan yang

melaksanakan fungsi negara, terbagi menjadi 2 yaitu :

1. Pemerintah dalam arti luas, meliputi semua lembaga negara yang ada

yaitu :

a. Lembaga legislatif : DPR, DPD, MPR;

b. Lembaga eksekutif : Presiden ;

16
c. Lembaga yudikatif : Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi;

d. Lembaga di luar legislatif, eksekutif dan yudikatif, yaitu : BPK dan

Komisi Yudisial.

2. Pemerintah dalam arti sempit yaitu meliputi hanya lembaga eksekutif

saja : Presiden, Wapres, menteri-menteri, Gubernur dan seterusnya

sampai ke lurah.

E. Sifat Konstitusi

Suatu konstitusi dapat mempunyai sifat :

1. Fleksibel (luwes); dan

2. Rigid (kaku).

Ada 2 kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan

apakah suatu konstitusi itu bersifat fleksibel atau rigid yaitu :

1. Cara mengubah konstitusi tersebut

Apabila cara mengubahnya mudah (cukup dengan prosedur yang

sederhana), maka dikatakan fleksibel. Sebaliknya, apabila cara

mengubahnya sulit (membutuhkan prosedur khusus), maka dikatakan

rigid. Kebanyakan UUD membutuhkan prosedur khusus ( special

procedure) untuk perubahannya sehingga mengakibatkan rigidnya UUD


tersebut. contoh, UUD AS, UUD Indonesia dan sebagainya.

2. Kemampuan konstitusi tersebut mengikuti perkembangan zaman.

Konstitusi yang mudah mengikuti perkembangan zaman dikatakan

sebagai konstitusi yang fleksibel. Sebaliknya, konstitusi yang sulit

mengikuti perkembangan zaman dikatakan sebagai konstitusi yang rigid.

Konstitusi yang mudah mengikuti perkembangan zaman biasanya hanya

memuat hal-hal yang bersifat pokok saja, untuk penjabaran lebih lanjut

diatur dalam peraturan yang lebih rendah yang mudah untuk membuat

dan mengubahnya. Dampaknya, UUD tidak perlu terlalu sering diubah.

17
Sedangkan konstitusi yang rigid, biasanya terlampau banyak mengatur

persoalan (terlalu teknis), sehingga UUD itu jumlah pasalnya akan

sangat banyak. Sebagai contoh, UUD India jumlah Pasalnya mencapai

444 pasal. Dampaknya, UUD tersebut niscaya akan terlalu sering diubah.

Apabila negara terlalu sering mengadakan perubahan UUD, maka dapat

mengakibatkan sistem hukum menjadi tidak stabil dan kewibawaan UUD

itu sendiri akan merosot.

F. Supra Konstitusionalitas

Yaitu larangan untuk mengubah hal-hal (materi-materi) tertentu

yang ada di dalam konstitusi. Larangan semacam ini oleh Dr. G.F.M. van

der Tang disebut sebagai supra konstitusionalitas. Di Indonesia, supra

konstitusionalitas terdapat dalam Pasal 37 ayat (5) UUD Tahun 1945 pasca

perubahan yang menentukan : “Khusus mengenai bentuk negara kesatuan

republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.

G. Konstitusi di Indonesia

Ada 3 konstitusi yang pernah/sedang berlaku di Indonesia yaitu :

1. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (Konstitusi RIS 1949);

2. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950);

3. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)

a. UUD Tahun 1945 pra (sebelum) perubahan;

b.UUD Tahun 1945 pasca (setelah) perubahan.

H. Bagian-bagian dari Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD Tahun 1945

1. Konstitusi RIS 1949 terdiri atas :

a. Pembukaan;

18
b. Batang Tubuh : XVI Bab, 197 Pasal;

c.tidak ada Penjelasan.

2. UUDS 1950 terdiri atas :

a.Pembukaan;

b. Batang tubuh : XVI Bab, 146 Pasal

c.tidak ada Penjelasan

3. UUD Tahun 1945 pra perubahan, terdiri atas :

a.Pembukaan;

b. Batang Tubuh : XVI bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan, 2 Ayat

Aturan Tambahan;

c. Penjelasan.

4. UUD Tahun 1945 pasca perubahan, terdiri atas :

a.Pembukaan;

b. Pasal-pasal : XVI Bab, 37 Pasal, 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Pasal

Aturan Tambahan;

c.Bagian penjelasan dihapus (ditiadakan oleh MPR).

Bukti bahwa bagian penjelasan sudah dihapus dapat dilihat dalam Pasal

II Aturan Tambahan UUD Tahun 1945 yang menentukan : “Dengan

ditetapkannya perubahan UUD ini, UUD Tahun 1945 terdiri atas

pembukaan dan pasal-pasal”.

Walaupun kelihatannya jumlah pasal dalam UUD Tahun 1945 pra

perubahan sama dengan jumlah Pasal dalam UUD Tahun 1945 pasca

perubahan, yaitu sama-sama 37 pasal, tetapi ternyata butir ketentuan dalam

UUD Tahun 1945 pasca perubahan jauh lebih banyak ketimbang UUD Tahun

1945 pra perubahan. Hal ini terlihat, misalnya, Pasal 28 UUD Tahun 1945

pasca perubahan terdiri dari Pasal 28 (asli) dan Pasal 28 A s/d 28 J.

sedangkan Pasal 28 UUD Tahun 1945 pra perubahan hanya berupa

ketentuan tunggal saja, yaitu Pasal 28. Tidak ada ketentuan Pasal 28 A s/d

28 J dalam UUD Tahun 1945 pra perubahan.

19
Sebagaimana diketahui, UUD Tahun 1945 pra perubahan mempunyai

salah satu bagian yang disebut penjelasan. Sejak dulu, sebagian pakar HTN,

seperti misalnya Prof, Dr. Harun Alrasid, S.H., tidak mengakui bagian

penjelasan ini sebagai bagian resmi (bagian yuridis) UUD Tahun 1945 dengan

alasan :

1. Pada saat disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD Tahun

1945 hanya terdiri dari pembukaan dan batang tubuh. Sedangkan

penjelasan dibuat belakangan (menyusul) pada tahun 1946;

2. Penjelasan UUD Tahun 1945 merupakan pendapat pribadi Prof. Dr. Mr.

Soepomo.

Pakar HTN yang lain, Prof. Dr. Sri Soemantri M., S.H., mengakui bagian

penjelasan sebagai bagian resmi dari UUD Tahun 1945 dengan alasan

pada saat UUD Tahun 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden

5 Juli 1959, dinyatakan bahwa UUD Tahun 1945 terdiri atas pembukaan,

batang tubuh dan penjelasan.

Dewasa ini, bagian penjelasan sudah dihapus oleh MPR. Ini berarti

merupakan kemenangan bagi para pakar HTN yang tidak mengakui bagian

penjelasan.

I. Perubahan terhadap UUD Tahun 1945

Sampai dengan tulisan ini dibuat, MPR telah melakukan 4 kali perubahan

terhadap UUD Tahun 1945 yaitu :

1. Perubahan pertama, dilakukan pada bulan Oktober 1999 melalui forum

Sidang Umum MPR;

2. Perubahan Kedua, dilakukan pada bulan Agustus 2000 melalui forum

Sidang Tahunan MPR;

3. Perubahan Ketiga, dilakukan pada bulan Nopember 2001 melalui forum

Sidang Tahunan MPR;

4. Perubahan keempat, dilakukan pada bulan Agustus 2002 melalui Forum

Sidang Tahunan MPR.

20
Di masa yang akan datang tidak tertutup kemungkinan akan terjadi perubahan

lagi terhadap UUD Tahun 1945, dengan alasan :

1. Dewasa ini Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sedang memperjuangkan

agar dilakukan perubahan kembali terhadap UUD Tahun 1945. DPD

menghendaki kewenangannya dalam UUD ditingkatkan;

2. Pada 2002 lalu telah dibentuk Komisi Konstitusi (KK) oleh MPR. Hasil

kerja KK sudah dilaporkan kepada MPR melalui sidang MPR pada bulan

Oktober 2004 yang lalu.

J. Sistem Perubahan Konstitusi

Perubahan konstitusi dapat terjadi dengan jalan :

1. Sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam konstitusi tersebut;

2. Revolusioner (di luar prosedur).

Sistem perubahan konstitusi yang sesuai dengan prosedur dapat dibagi lagi

menjadi 3 (tiga) cara yaitu :

1. Pembaharuan naskah. Dalam sistem ini perubahan konstitusi hanya

menyangkut hal tertentu saja dan tidak terlalu mendasar;

2. Penggantian naskah. Dalam sistem ini perubahan cukup banyak dan

bersifat mendasar. Oleh sebab itu, naskah UUD lama digantikan dengan

naskah yang sama sekali baru;

3. Adendum (amandemen). Dalam sistem ini perubahan dilakukan melalui

naskah terpisah dari naskah asli UUD nya. Lalu naskah hasil perubahan

dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan naskah asli

UUD tersebut.

Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan UUD Tahun 1945 yang

selama ini dilakukan menggunakan cara adendum (amandemen). Adapun

prosedur perubahan UUD UUD Tahun 1945 terdiri dari beberapa tahap

yaitu: (Lihat Pasal 37 ayat (1-4) UUD Tahun 1945)

1. Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah

anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

21
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan

secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan

untuk diubah beserta alasannya.

3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis

Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan

dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah

satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dari prosedur perubahan tersebut terlihat bahwa bagian dari UUD

yang dapat diubah hanya bagian pasalnya saja, sedangkan bagian

pembukaan tidak dapat diubah.

KULIAH V HUKUM TATA NEGARA


OLEH : ARI WUISANG

PEMISAHAN/PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA

Berbicara mengenai pemisahan/pembagian kekuasaan negara,

maka terlebih dahulu harus diketahui siapa yang sesungguhnya

memegang kekuasaan tertinggi atau biasa disebut sebagai pemegang

kedaulatan dalam suatu negara. Berdasarkan UUD Tahun 1945 setelah

perubahan, dapat diketahui bahwa pemegang kedaulatan di negara

Indonesia adalah rakyat. Dengan perkataan lain, kedaulatan berasal dari

rakyat atau disebut juga kedaulatan rakyat. Di samping kedaulatan

rakyat, ternyata kedaulatan Tuhan dan kedaulatan hukum juga ikut

berjalan bersama-sama dengan kedaulatan rakyat tersebut.

Kedaulatan rakyat disalurkan ke dalam lembaga-lembaga negara.

Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga negara merupakan realisasi

dari kedaulatan rakyat. Dalam sistem kelembagaan negara, diadakan

22
pembagian kekuasaan. Tujuan diadakan pembagian kekuasaan adalah

untuk membatasi kekuasaan masing-masing lembaga negara, agar dapat

terhindar kesewenang-wenangan penguasa. Hal ini sesuai dengan hukum

besi kekuasaan, bahwa setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan

untuk berkembang menjadi sewenang-wenang. Seperti dikemukakan Lord

Acton, bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupt

absolutely (kekuasaan cenderung bersalah guna, kekuasaan yang absolut


sudah pasti akan bersalah guna)”.

Karena itu, kekuasaan harus dibatasi melalui pembagian kekuasaan

antar lembaga negara. Dalam kepustakaan, dikenal 2 (dua) macam

pembagian kekuasaan:

1. Pembagian kekuasaan dalam arti vertikal dan horisontal;

2. Pembagian kekuasaan dalam arti materiil dan formal.

ad. 1. Pembagian kekuasaan dalam arti vertikal dan horisontal

Secara vertikal artinya pembagian kekuasaan itu :

a. Dibagikan secara vertikal dari atas ke bawah oleh lembaga

tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara;

b. Pembagian kekuasaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah (otonomi daerah).

Pembagian kekuasaan secara vertikal oleh lembaga tertinggi

negara kepada lembaga tinggi negara pernah berlangsung di

Indonesia pada masa UUD Tahun 1945 sebelum perubahan, di

mana waktu itu MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang

memegang kedaulatan sepenuhnya, membagikan (mendistribusikan)

kekuasaannya kepada lembaga tinggi negara yang terdiri dari

Presiden, DPR, MA, BPK dan DPA (sekarang DPA sudah

23
dibubarkan). Model seperti ini disebut juga distribution of power

atau division of power.

Pembagian kekuasaan secara horisontal, berarti kekuasaan

negara dibagi atas cabang-cabang tertentu dan masing-masing

cabang tersebut dipegang dan dijalankan oleh lembaga negara

yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut berkedudukan

setara dan saling mengontrol satu sama lain. Jadi, tidak ada

cabang pemerintahan yang berkuasa penuh. Seperti dikatakan di

atas, tujuannya adalah agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan

yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Model ini

awal mulanya berkembang di Amerika Serikat dan populer dengan

sebutan separation of power (pemisahan kekuasaan) atau checks

and balances system (prinsip kesetaraan dan saling mengontrol


antar lembaga negara).

Dalam kaitan dengan sistem demokrasi, baik teori maupun

praktik, sistem demokrasi berlandaskan kepada suara mayoritas.

Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan

kebijakan publik atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme

perwakilan yang dipilih lewat pemilu. Kekuasaan mayoritas itu perlu

dibatasi karena dapat menjadi “celah” untuk menyalahgunakan

kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh

sebab itu, diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai

sesuatu yang bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru

menjadi salah satu pilar demokrasi. Pembatasan demokrasi

tersebut misalnya dengan memberikan kewenangan kepada

Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan undang-undang buatan

24
parlemen (parliamentary legislation/legislative act) yang

bertentangan dengan UUD.

Pembagian kekuasaan negara secara horisontal dianut oleh

Indonesia setelah perubahan UUD Tahun 1945, di mana sudah

tidak ada lagi lembaga tertinggi dan tinggi negara. Dengan kata

lain, semua lembaga negara berkedudukan sederajat dan saling

mengontrol. Menurut Prof. Maria Farida, lembaga negara setelah

perubahan UUD Tahun 1945 meliputi : MPR, DPR, DPD, Presiden,

MA, MK, BPK dan Komisi Yudisial (KY).

Sebagai contoh, prinsip saling mengontrol antara lembaga

negara di Indonesia dewasa ini antara lain :

a. Presiden dalam memberikan grasi dan rehabilitasi harus ada

pertimbangan dari Mahkamah Agung;

b. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Namun

demikian, agar suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat

menjadi UU, harus ada persetujuan bersama antara DPR

dengan Presiden.

ad. 2. Pembagian Kekuasaan dalam arti materiil dan formal

Model ini dikemukakan oleh Sir Ivor Jennings. Pembagian

kekuasaan secara materiil, maksudnya pembagian kekuasaan itu

dipertahankan secara prinsipil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang

secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan

pada 3 (tiga) bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Sebagai contoh, pembagian kekuasaan secara materiil ini

diterapkan secara kuat di Amerika Serikat dan Indonesia setelah

perubahan UUD Tahun 1945.

25
Di Amerika Serikat, kekuasaan legislatif dipegang oleh

Kongres (yang terdiri dari DPR dan Senat); kekuasaan eksekutif

dipegang oleh Presiden; dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh

Mahkamah Agung dan Pengadilan dibawahnya. Di Indonesia pun

demikian, dewasa ini kekuasaan legislatif dipegang oleh MPR, DPR

dan DPD; kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan

yudikatif dipegang oleh MA dan MK. Bahkan di luar ketiga cabang

kekuasaan itu masih ada lembaga BPK dan KY.

Pembagian kekuasaan secara formal maksudnya pemisahan

kekuasaan itu tidak dilakukan secara prinsipil. Misalnya, di Inggris,

fungsi yudikatif (MA) dirangkap oleh House of Lord (Majelis Tinggi),

padahal House of Lord adalah lembaga legislatif. Kemudian di

Indonesia, sebelum perubahan UUD Tahun 1945 juga pernah

terjadi lembaga eksekutif (Presiden) memegang kekuasaan

membentuk undang-undang, padahal membentuk undang-undang

merupakan tugas pokok lembaga legislatif (DPR).


BENTUK NEGARA, BENTUK PEMERINTAHAN, SISTEM PEMERINTAHAN
DAN SISTEM PARLEMEN

1. Bentuk Negara

Secara modern, menurut C.F. Strong, terdapat dua type (bentuk) negara, yaitu :
a. Federal (Serikat);
b. Kesatuan (Unitaris).

Federal (Serikat) Kesatuan (Unitaris)


1. Yang lahir terlebih dahulu 1. Yang lahir lebih dulu adalah
adalah negara-negara Pemerintah Pusat. Contoh :
bagian. Kemudian, negara- Proklamasi kemerdekaan
negara bagian tersebut Indonesia 17 Agustus 1945
berikrar (sepakat) untuk oleh Soekarno Hatta. Kemudian
bersatu membentuk negara pemerintah pusat

26
yang lebih besar menyerahkan sebagian
(Pemerintah Federal). kewenangannya kepada
pemerintahan daerah
(otonomi/desentralisasi).
2. Pemerintahan bawahan 2. Pemerintahan bawahan
disebut negara bagian disebut provinsi
3. Pada umumnya, 4. Pada umumnya kewenangan
kewenangan pemerintah pemerintahan daerah
pusat (pemerintah federal) ditentukan terlebih dahulu,
ditentukan terlebih dahulu, kemudian sisanya menjadi
kemudian sisanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
kewenangan negara bagian
(residual power)

2. Bentuk Pemerintahan
Di samping bentuk negara, ada pula yang dikenal dengan bentuk-bentuk
pemerintahan, yaitu :
a. Kerajaan;
b. Republik.

Kerajaan Republik
1. Kedudukan kepala negara 1. Kedudukan Kepala Negara
dipegang oleh dipegang oleh Presiden.
Raja/Ratu/Kaisar/Sultan
2. Pengisian Jabatan 2. Pengisian Jabatan Presiden
Raja/Ratu/Kaisar/Sultan umumnya dipilih melalui
dilakukan secara turun Pemilihan Umum
temurun
3. Raja/Ratu/Kaisar Sultan ada 3. Presiden ada yang hanya
yang hanya berkedudukan berkedudukan sebagai
sebagai kepala negara saja, kepala negara saja, dan
dan ada yang berkedudukan ada yang berkedudukan
sebagai kepala negara dan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan kepala pemerintahan
4. Dalam hal 4. Dalam hal Presiden hanya
Raja/Ratu/Kaisar/Sultan berkedudukan sebagai
hanya berkedudukan sebagai kepala negara saja, maka
kepala negara saja, maka kedudukan kepala
kedudukan kepala pemerintahan dipegang
pemerintahan dipegang oleh oleh Perdana Menteri atau
Perdana Menteri atau Kanselir. Contoh : Jerman,
Kanselir Contoh : Inggris, Italia, Israel, dan lain-lain
Thailand, Kamboja, Belanda
5. Jabatan 5. Setiap orang memiliki
Raja/Ratu/Kaisar/Sultan kesempatan yang sama

27
hanya dapat diraih oleh untuk menjabat sebagai
kalangan terbatas (keluarga Presiden, sepanjang
kerajaan). Dengan demikian, memenuhi syarat. Contoh:
tidak setiap orang dapat di Indonesia, syarat
menjadi Raja. menjadi Presiden dan
Wakil Presiden diatur di
UU No.7 Tahun 2017.

3. Sistem Pemerintahan
Sistem Parlementer Sistem Presidensial Sistem Semi Presidensial
1. Dual executive, fungsi 1. Single Executive, fungsi 1. Presiden sebagai
Kepala Negara dengan Kepala Negara dan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan Kepala Pemerintahan Kepala Pemerintahan.
dipisah. Kepala negara bersatu dalam jabatan
dipegang oleh Presiden 2. Presiden mengangkat
Raja/Ratu/Kaisar/Presid Perdana Menteri dari
en, sedangkan Kepala anggota Parlemen
Pemerintahan dipegang terpilih dan juga
oleh Perdana Menteri memberhentikannya.
(Premier). 2. Presiden membentuk
Kabinet Menteri 3. Presiden berbagi
2. Perdana Menteri kewenangan
membentuk Kabinet pemerintahan dengan
Menteri 3. Presiden tidak Perdana Menteri.
bertanggungjawab
3. Perdana Menteri dan kepada Parlemen, 4. Presiden berwenang
Menteri-Menteri kedudukan Presiden membubarkan
Bertanggungjawab tidak tergantung oleh parlemen dan
Kepada Parlemen, Parlemen mengadakan
kedudukan PM referendum.
tergantung oleh Parlemen 4. Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh 5. Presiden berwenang
4. Parlemen dapat Parlemen karena mengumumkan
menjatuhkan Perdana alasan kebijakan (fixed keadaan darurat dan
Menteri dan Menteri- term), kecuali Presiden wewenang penuh
Menteri apabila terbukti melakukan untuk mengatasinya
kebijakannya dianggap tindak
sudah tidak dapat pidana/kejahatan. 6. Dianut oleh Perancis.
dipercaya lagi dengan Tidak dikenal mosi
mengeluarkan mosi tidak tidak percaya.
percaya.

5. Presiden tidak dapat


5. Sebaliknya, Perdana membubarkan
Menteri dapat Parlemen
mengajukan permintaan

28
kepada
Raja/Ratu/Kaisar/Presid
en untuk membubarkan
Parlemen dan
mengadakan Pemilu 6. Dianut oleh Amerika
dipercepat. Serikat, Philipina,
Indonesia, negara-
6. Dianut oleh Inggris, negara Amerika
Malaysia, Singapura, Latin.
Italia, Jerman, Jepang dan
lain-lain

4. Sistem Parlemen
Dalam literatur, beberapa sistem parlemen yang dikenal adalah :
a. Sistem Satu Kamar (Monokameral/One Kameral/One Chamber)
Artinya, dalam negara tersebut hanya dikenal satu parlemen saja.
Contoh : di Cina parlemennya disebut Kongres Rakyat, di Jepang
Parlemennya disebut Diet.
b. Sistem Dua Kamar (DwiKameral/Bikameral/ Two Chamber)
Artinya, di negara tersebut terdapat 2 (dua) parlemen yang secara
struktur kedudukannya sederajat. Contoh : Amerika Serikat,
parlemennya ada dua kamar yaitu Senate (Perwakilan Negara Bagian)
dan House of Representatives (DPR). Inggris juga Parlemennya ada dua
kamar, yaitu House of Commons (DPR) dan House of Lords (Dewan
Bangsawan).
c. Sistem Tiga Kamar (Trikameral/ Three Chamber)
Sistem ini merupakan varian dari sistem satu kamar dan dua kamar dan
sejauh ini Indonesia dianggap menganut sistem parlemen 3(tiga) kamar.
Ada 3 parlemen yang berdiri sendiri dan berkedudukan sederajat di
Indonesia, yaitu MPR, DPR dan DPD.

29

Anda mungkin juga menyukai