Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/345083529

Penelitian Lintas Budaya

Conference Paper · October 2009

CITATIONS READS

0 8,707

1 author:

Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia
59 PUBLICATIONS   592 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Short Story Use in EFL Classrooms View project

Teaching Research in ELT through Blended Learning View project

All content following this page was uploaded by Parlindungan Pardede on 31 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penelitian Lintas Budaya
Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia
parlpard2010@gmail.com

Pendahuluan
Peningkatan hubungan antarpribadi, antarkelompok maupun antarbangsa yang
dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu
membuat kebutuhan untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang
mereka temui dengan tujuan mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat.
Para pedagang, diplomat, tentara, maupun mahasiswa yang harus berinteraksi,
bertugas, atau tinggal bersama komunitas dengan budaya yang asing karena tuntutan
pekerjaan maupun studi mereka sering menemukan masalah-masalah yang timbul
karena perbedaan budaya. Untuk menjawab tantangan ini, para ilmuan menggagas
kajian perbandingan terhadap sifat-sifat manusia melalui penelitian terhadap
kebudayaan-kebudayaan yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin disiplin
ilmu yang relevan. Gagasan untuk meningkatkan pemahaman atas konflik antar
etnis dan masalah-masalah global yang dipicu oleh keanekaragaman budaya dunia
dengan menggunakan strategi inter dan multidisipliner inilah yang menjadi cikal
bakal kajian lintas budaya (KLB) yang dalam bahasa Inggris disebut cross-cultural
studies (atau lebih sering disebut dengan cultural studies saja).
Makalah ini fokus pada penelitian lintas budaya sebagai landasan untuk
memahami bagaimana materi-materi yang digunakan dalam program-program
pemahaman lintas budaya diperoleh oleh para ilmuan. Pembahasan diawali dengan
menguraikan hakikat dan sejarah singkat crosscultural studies sebagai titik tolak.
Setelah itu pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan tentang metodologi
penelitian lintas budaya dan diakhiri dengan uraian singkat tentang beberapa
penelitian lintas budaya terkini sebagai contoh.

Hakikat Kajian Lintas Budaya


Istilah “cross-cultural studies” muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an
yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter
Murdock, seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya
merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data
kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi


Disajikan dalam Seminar Penelitian Pendidikan FKIP UKI, yang diselenggarakan pada tanggal 13
Oktober 2009 di Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur

1
hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
(Wikipedia, 2008c). Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya
merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara
membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di
bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya,
filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk
kajian dalam konteks ini. Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya
diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu
dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif
ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu
dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang
memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life). Oleh karena itu,
unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang
‘spektakuler’saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar,
dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu
dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-
cultural studies. Kajian lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam
“cross-cultural studies” dengan makna kedua di atas.
Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam penamaan crosscultural studies
menyiratkan sikap dan ‘positioning’ para penggagas yang tidak puas terhadap
kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak dan saling mengklaim
kebenaran. Padahal lambat laun disadari bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin
ilmu pengetahuan secara sendiri-sendiri bersifat parsial dan tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan di kalangan masyarakat secara komprehensif. Kondisi inilah
yang mendorong ilmuwan memasukkan kontribusi teori maupun metode dari
berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk memahami fenomena-
fenomena kultural dalam realita kehidupan masyarakat manusia maupun
representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan masyarakat. Wikipedia
(2008d) menyatakan: “Cultural studies is an academic discipline which combines
political economy, communication, sociology, social theory, literary theory, media
theory, film/video studies, cultural anthropology, philosophy, museum studies and
art history/criticism to study cultural phenomena in various societies. Cultural
studies researchers often concentrate on how a particular phenomenon relates to
matters of ideology, nationality, ethnicity, social class, and/or gender.”

Sejarah Singkat Kajian Lintas Budaya


Menurut Wikipedia (2008c), kajian lintas budaya pertamakali dilakukan oleh Abū
Rayhān Bīrūnī yang menulis kajian-kajian antropologis bandingan di bidang agama,
kemasyarakatan, dan kebudayaan di Timur Tengah, Mediterania, dan khususnya di
India. Dia menyajikan temuan-temuannya secara objektif dan netral dengan
menggunakan metode perbandingan kebudayaan. Kajian lintas budaya yang
ekstensif kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa antropologis,

2
seperti Tylor dan Morgan. Mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai
kebudayaan yang dihimpun oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti
missioner, petualang, atau pegawai-pegawai kolonial (Wikipedia, 2008c). Bahan-
bahan itu kemudian diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami ciri-ciri
masyarakat manusia.
Kajian lintas budaya modern diawali oleh George Peter Murdock (1897-1985)
yang terkenal dengan kajian perbandingan system-sistem dan analisis kajian lintas
budaya tentang keteraturan danperbedaan-perbedaan yang terdapat diantara
masyarakat yang berbeda. Dia mempelopori penggunaan pendekatan empiris
terhadap antropologi melalui kompilasi data berbagai kebudayaan mandiri dan
pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik yang sesuai. Murdok
memandang dirinya lebih sebagai ilmuwan sosial yang tetap menjalin kemitraan
dengan para peneliti di bidang ilmu lainnya daripada antropolog. Menurut Gillies
(2005), sambil mengajar di Universitas Yale, selama tahun 1930-an hingga 1940-an
Murdock mengembangkan beberapa kompilasi data kultural mendasar, termasuk
“Cross Cultural Survey” yang kemudian lebih dikenal dengan Human Relations
Area Files (HRAF) dan Ethnographic Atlas. Saat ini, HRAF merupakan sebuah
index berbagai lembaga etnografi dunia. HRAF sekarang dapat diakses dilebih dari
250 perpustakaan institusional di seluruh dunia.
Berdasarkan keyakinannya bahwa kompilasi data kultural yang disusunnya
akan lebih bermanfaat bila para peneliti dari luar Universitas Yale, pada tahun 1948,
Murdock mengajukan pembentukan sebuah organisasi inter-universitas kepada
Social Science Research Council. Dengan bantuan dana dari badan tersebut,
Murdock mendirikan Human Relations Area Files yang koleksinya ditempatkan di
Universitas Yale. Pada tahun 1969, Bersama Douglas R. White, Murdock membuat
sampel kajian lintas budaya standar (Standard Cross-Cultural Sample) yang dipakai
secara luas di bidang kajian budaya. Sampel itu terdiri dari dokumentasi 186
kebudayaan yang saat ini diprogram dalam bentuk 2000 variabel yang hingga saat
ini dapat diakses pada jurnal elektronik World Cultures.

Metodologi Kajian Lintas Budaya.


Seperti telah disinggung sebelumnya, kajian lintas budaya mengambil interaksi
sehari-hari manusia dengan latarbelakang kebudayaan berbeda sebagai bagian dari
budaya yang perlu dicermati. Kajian lintas budaya dilandaskan pada asumsi dasar
bahwa kontak, persinggungan atau pergesekan antar budaya yang memicu proses
inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli.
Melalui analisis bandingan terhadap berbagai unsur yang terlibat dalam kontak antar
individu dengan kebudayaan berbeda diharapkan dapat menghasilkan: (1)
generalisasi induk dan orisinalitas budaya, seperti tujuan penelitian Tylor dan
antropolog lainnya; dan (2) pemahaman tentang proses evolusi dan difusi budaya,
yang menjadi fokus utama kajian lintas budaya kontemporer.

3
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan pertama di atas dilandasi pada
paham positivistik dan biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Dengan
menggunakan metode etnografis, data dijaring tidak hanya dari satu wilayah tetapi
juga dari luar wilayah budaya yang bersangkutan. Kajian seperti inilah yang
dilakukan Murdock (Wikipedia, 2008e) ketika dia mencoba mencari korelasi budaya
hubungan kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Dia mencari seberapa jauh
korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat tembikar,
menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji
masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak
sehat” berbeda dengan “rasa sakit”. Dari hasil-hasil analisi data, biasanya diperoleh
kesimpulan tentang adanya “culture area”, atau sebuah golongan budaya
berdasarkan wilayah geografisnya. Sebagai contoh, menurut Endraswara (dalam
Prasetia, 2007), Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi
sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti
budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa,
etnografi Sunda, dan sebagainya.
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan kedua di atas menggunakan
studi komparatif dalam rangka merekonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi,
serta transformasi budaya masa kini. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek
historis dan homogenitas. Tujuan yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan
budaya pada masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan itu, perbadingan
diarahkan pada tiga hal pokok: (1) persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku
budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya yang hadir,
(2) kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya masing-
masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu memban-dingkan kepribadian dan jatidi
pemilik budaya masing-masing. Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti
akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan
memben¬tuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana
budaya transformasi dan mana budaya yang asli Endraswara (dalam Prasetia, 2007).
Mengingat luasnya ruang lingkup dan banyaknya unsur maupun disiplin ilmu
yang terlibat dalam kajian lintas budaya, metode penelitian yang ’fixed’ untuk
digunakan dalam bidang ini tidak dapat ditentukan. Home/FAQ (2006)
menegaskan: “There is no such thing as “the cultural studies method,” and there is
no single or simple answer to the question of how to do cultural studies. Hal ini
diakibatkan oleh kenyataan bahwa kajian budaya merupakan studi yang kontekstual,
dengan pengertian bahwa pertanyaan apapun yang dicoba dijawab biasanya
membutuhkan berbagai pendekatan dan metode yang tersedia. Di satu penelitian,
analisis atas data yang diperoleh dari berbagai teks mungkin sudah memadai. Pada
penelitian lain, metode etnografi yang utuh mungkin dibutuhkan; sedangkan
penelitian yang lain lagi membutuhkan metode perpaduan beberapa metode.
Sehubungan dengan hal ini, yang dibahas dalam makalah ini dibatasi hanya pada
metode-metode penelitian lintas budaya yang paling lazim digunakan, yaitu:

4
etnografi, folklore, etnometodologi, etnosains interaksi simbolik, dan grounded
theory. Secara umum materi penjelasan tersebut diadaptasi dari Prasetia (2007).

1. Etnografi
Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan kebu¬dayaan
sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristi¬wa kultural yang
menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan
bagaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa
unik—yang jarang teramati oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi merupakan
kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup
serta berbagai aktivitas sosial, peristiwa dan kejadian unik dan berbagai benda
kebudayaan dari suatu masyarakat. Penelitian etnografi cenderung mengarah ke
kutub induktif, kon¬struktif, transferabilitas, dan subyektif. Selain itu, etnografi juga
lebih mene¬kankan teknik idiografik yang dilaksanakan dengan cara
mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan berperan serta
(partisipant observa¬tion). Sehubungan dengan itu, peneliti justru lebih banyak
belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang
budaya. Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi—berasal dari kata ’ethno’
(bangsa) dan ‘graphy’ (menguraikan atau menggam¬barkan)—yaitu ragam
pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan
bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari.
Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu
secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian tersebut
kemudian akan mengungkapkan pandangan hidup dari sudut pandang penduduk
setempat. Selain analisis data yang dilakukan secara holistic–bukan parsial, ciri-ciri
lainnya dari penelitian etnografi adalah: (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya
peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari;
(b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan
data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena
budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian
mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) digunakan
untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e) analisis
bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang
ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran
data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis); (i)
orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan
juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan
emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti
dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik, (k) dalam pengumpulan data
menggu¬nakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik; (1) dapat

5
menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar
menggunakan kualitatif.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupa¬kan
model penelitian budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-
mata sebagai produk, melainkan proses. Harris (dalam Prasetia, 2007) menegaskan
bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan
maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai,
melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia dan sekaligus
merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Oleh sebab itu,
etnografi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai pengeta¬huan yang
diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpreta¬sikan pengalaman dan
melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh
tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis
yaitu: (1) seleksi sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja,
misalkan kriteria umur atau wilayah subyek; (2) seleksi komprehensif, artinya seleksi
bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan; (3) seleksi quota, seleksi apabila
populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya
menurut pekerjaan dan jenis kelamin; (4) seleksi menggunakan jaringan, seleksi
menggunakan informasi dari salah satu warga pemilik budaya, dan (5) seleksi dengan
perbandingan antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada,
sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki
pengalaman khas.Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat
memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Meskipun
demikian, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat
kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu
menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting
lagi, jika harus mengambil sampel, sebaiknya dilakukan secara pragmatik dan bukan
secara acak. Peneliti perlu mengetahui konteks masyarakat yang diteliti, tanpa
membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya.

2. Kajian Folklore
Istilah folklor berasal dari kata folk, yang berarti ’kolektif’, dan lore, yang berrti
’tradisi’. Jadi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Menurut Dundes
(dalam Prasetia, 2007), folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang
lainnya. Ciri fisik, antara lain berujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah
pentingnya adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun.
Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi’ semacam ini yang dikenal dengan
budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga
menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor
adalah milik kolektif kebudayaan.

6
Dalam kaitannya dengan budaya, folklor memiliki beragam bentuk. Pakar
yang berbeda memberikan ragam yang berbeda (Prasetia, 2007). Menurut Bascom,
misalnya, folklor terdiri dari budaya material, organisasi politik, dan religi. Menurut
Balys, folklor terdiri dari kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll. Menurut
Espinosa folklor terdiri dari: kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magi,
ilmu gaib dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti
budaya melalui kajian folklor.
Sebagai patokan tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian
folklor atau bukan, Dananjaya (dalam Prasetia, 2007) mengusulkan sembilan kriteria
berikut. Pertama, penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu
melalui tutur kata dari mulut ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari. Kedua,
bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk
standar.Ketiga, folklor ada dalam berbagai versi-versi atau varian. Keempat, folklore
bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti. Kelima, folklor biasanya
mempunyai bentuk berumus atau berpola. Keenam, mempunyai kegunaan dalam
kehidupan kolektif. Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang
tidak tentu sesuai dengan logika umum. Kedelapan, merupakan milik bersama suatu
masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan lugu.
Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel, yaitu: pengumpulan
data, pengklasifikasian, dan penganalisisan. Tahap-tahap ini, tentu didahului
prapenelitian yang bermacam-macam, antara lain perlu persiapan matang dan
mampu menjalin kerjasama yang baik dengan pemiliki folklor. Dengan cara terjun
langsung ke kancah folklor, peneliti akan mengambil data asli dan bukan sekunder.
Tentu saja, sulit tidaknya data digali dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu
dipertimbangkan masak-masak. Lebih penting lagi, peneliti folklor perlu
membangun jalinan yang akrab dengan subyek penelitian. Jika tidak, kemungkinan
besar folklor yang berhubungan dengan kepercayaan rahasia akan sulit terungkap.
Padahal, folklor demikian justru ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan
antara peneliti dan subjek penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan
penelitian. Jika hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada
tanda-tanda bahwa penelitian kurang berhasil.

3. Etnometodologi
Etnometodologi adalah metode kajian modern yang banyak diterapkan pada ilmu
sosial. Namun, dalam kajian budaya metode ini sering digunakan. Etnometodologi
dipelopori oleh Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini
merupakan cara pandang kajian sosial budaya masyarakat sebagaimana adanya.
Jadi, dasar filosofi metode penelitian ini adalah fenomenologi, yang memandang
“pengertian dan penje¬lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas
itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108).
Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang,
menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan

7
untuk mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami
kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan
masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok
memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat
mereka hidup. Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengung¬kap
budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium
interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya
biasanya memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan
itu, realita menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini.
Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskanpada postpositivistik.
Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha
mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran
pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.

4. Etnosains
Etnosains adalah salah satu teori penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains
berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti ’bangsa’, dan Latin scientia artinya
’ilmu’. Jadi, secara etimologis etnosains berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
suatu komunitas budaya, sedangkan dalam konteks kajian lintasbudaya, etnosains
merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe
kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas suatu
komunitas budaya.
Menurut Haviland (dalam Prasetia, 2007), etnosains adalah cabang
pengka¬jian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam
mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi
mereka mempertahankan hidup. Ditinjau dari pandangan ini, dapat dinyatakan
bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru (the new ethnography).
Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya di luar Barat justru akan mampu
membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori budaya Barat
yang belum tentu relevan.
Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau
folk. Pangkal kajian selalu berpusat pada pemilik budaya. Dengan demikian, budaya
tidak lagi dipandang dari aspek peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman
empiris pemilik. Budaya diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa
campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau
mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan
seterusnya. Tugas peneliti lebih mengarah pada upaya menjelaskan kepada publik
tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertu¬gas mensistematiskan
pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian.
Kehadiran etnosains, menurut Putra (dalam Prasetia, 2007), me¬mang akan
memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal
yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap

8
memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti
budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains.
Pengumpulan data dalam etnisains tidak berbeda dengan penelitian etno¬grafi,
yaitu dengan menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul,
pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti. Kategorisasi
tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada infor¬man, dan kalau mungkin informan
boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi informan ini yang lebih asli,
dibanding peneliti.

5. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa¬fah dasar interaksionisme simbolik
adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang
juga memanfa-atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma
penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika
semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah
berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan
mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun
selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku
manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan
pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin
melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi manusia
banyak menampilkan simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan
makna tersebut.
Prasetia (2007) menyebutkan tiga premis inte¬raksionisme simbolik yang perlu
dipahami peneliti budaya. Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar
makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Sebagai contoh, tentara
berseragam, mobil polisi, tukang ojek, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu
kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua, dasar interaksionisme
simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi
sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang
dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam
konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna
ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh
orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga
menggunakan kebudayaan untuk menginterpre¬tasikan situasi.
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007)
menambahkan lagi tujuh proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu
pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang
menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam
interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia merupakan proses yang berkembang

9
holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku
menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan
berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik.
Ke¬enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-
reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan
pendekatan intuitif untuk menangkap makna.
Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip
interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak
cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks;
(2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri
pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi
dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ¬asi yang
melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
(6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan,
sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses. Pertama, terjemahan
(translation) yang dilakukan dengan cara mengalihbahasakan ungkapan penduduk
asli menjadi tulisan. Kedua, aktivitas penafsiran yang dilakukan sesuai dengan latar
belakang atau konteksnya, sehingga terangkum konsep yang jelas. Ketiga,
ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk
mengungkap di balik yang tersaji. Keempat, kegiatan pemaknaan, yang menuntut
kemam¬puan integratif inderawi, daya pikir, dan akal budi peneliti. Pemaknaan
sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya,
melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha
merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota
komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik
berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan¬-pancingan
pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah
interaksi antar pelaku budaya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu
bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang
lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.

6. Grounded Theory
Grounded theory termasuk ragam. atau model penelitian dasar yang ingin mencari
rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah
simpulan secara induktif yang digunakan untuk sebuah teori. Dalam kaitannya
dengan budaya, grounded theory merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas
dasar data berbentuk kenyataan Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya
yang bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan tersebut, dan kelak bisa
dimanfaatkan ulang untuk kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, Grounded
merupakan penelitian dasar yang diarahkan untuk: (a) mengembangkan kategori-
kategori yang menjelaskan data, (b) “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus

10
yang menunjukkan relevansinya, dan (c) mengembangkan kategori-kategori ke
dalam kerangka analitik yang lebih umum. Dilihat dari sisi ini, grounded theory
merupakan pengembangan etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian
budaya kognitif.
Melalui grounded theory, budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan
zamannya. Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata
lain, peneli¬tian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori
yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk menciptakan teori. Jika ada
hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki
pembuktian, melainkan lebih mengem¬bangkan hipotesis. Makna boleh berubah
dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan ditemukan
teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi
setempat. Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari
simpulan deduktif-logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang secara progresif
menjadi besar.
Sampel pada penelitian grounded berbeda dengan sampel positivistik-statistik.
Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih
berdasarkan struktur populasi, grounded theory justru bertujuan untuk menemukan
dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan
konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada
grounded theory mengarah pada kelompok atau subkelompok yang akan
memperkaya penemuan ciri-ciri utama. Data yang digunakan tidak terbatas pada
wawancara dan pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau
referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar kerja penelitian berlangsung efisien.
Dari data tersebut akan dihasilkan sebuah teori subs¬tantif dan bukan teori formal
(yang jangkauannya lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian). Dalam kaitannya
dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi (teori yang dibangun dari
data berdasarkan wilayah substansi penelitian) budaya tertentu. Kendati demikian,
grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke
situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih
berlaku pada salah satu substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang
lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.
Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded
theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data
secara sistematis dan intensif (sering kali¬mat demi kalimat) terhadap catatan
lapangan, hasil wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan,
data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang
baik. Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah
kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah
kategori yang tepat. Dalam proses pengkatego¬rian, kemungkinan besar lalu muncul
kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan

11
kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan
untuk menutup kesenjangan teori yang telah muncul.

Teknik Analisis Kajian Lintas Budaya


Mengingat bahwa kajian lintas budaya merupakan kajian yang dilakukan dengan
cara membandingkan berbagai unsur sejumlah kebudayaan maupun ucapan, sikap,
tingkah laku berbagai individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda yang
terlibat dalam interaksi sehari-hari, maka ’perbandingan’ merupakan teknik analisis
utama dalam bidang penelitian ini. Gilliet (2005) menegaskan:”To understand
culture, societies must be compared.” Analisis perbandingan dalam bidang kajian
lintas budaya dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.
Pertama, perbandingan regional (regional comparison) yang dilkukan dengan
terlebih dahulu mengklasifikasikan kebudayaan-kebudayaan yang dijaring. Setelah
itu, ditarik kesimpulantentang proses bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu
berdifusi menjadi sebuah wilayah kultural (cultural region). Teknik analisis ini
berupaya melihat bagaimana berbagai kebudayaan saling berhubungan sebagai unit-
unit kebudayaan yang menyeluruh (whole cultural units).
Kedua, analisis holocultural, atau analisis lintas budaya global (worldwide
cross-cultural analysis). Teknik ini merupakan pengembangan analisis yang
diprakarsai oleh Tylor dan kemudian oleh Murdock. Levinson (dalam Gillies, 2005)
menjelaskan bahwa analisis holocultural “is designed to test or develop a proposition
through the statistical analysis of data on a sample of ten or more nonliterate societies
from three or more geographical regions of the world”. Dalam pendekatanini, ciri-
ciri kultural diambil darikonteks seluruh kebudayaan dan dibandingkan dengan ciri-
ciri kultural yang relevan dalam kebudayaan-kebudayaan yang lebih luas untuk
menentukan pola-pola keteraturan dan perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan-
kebudayaan yang diteliti.
Ketiga, analisis komparatif terkontrol (controlled comparative), yang dilakukan
terhadap kajian perbandingan dengan skala yang lebih kecil. Menurut Eggan (dalam
Gillies, 2005), kombinasi konsep antropologis tentang etnologi dengan struktur dan
fungsi akan memungkinkan peneliti menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang lebih spesifik dengan rentang subyek yang lebih luas.

Contoh Penelitian Lintas Budaya


Berikut ini adalah dua abstrak penelitian lintas budaya yang dikutip dari Poerwanto
(2002). Kedua contoh penelitian ini diharapkan dapat mengkonkritkan
beberapakonsepyang dijelaskan di atas.

12
Death: A Cross-Cultural Perspective
Phylis Palgi dan Henry Abramovitch (1984)

Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya berbagai upacara
penguburan yang dikaitkan dengan gagasan yang ada di balik upacara tersebut pada
penduduk di Melanesia, Siberia Timur Laut, dan India. Berbagai pandangan
evolusionis tentang kematian—seperti kepercayaan tentang kehidupan lain setelah
kematian, perbedaan jenis kelamin mendominasi upacara adapt penguburan—
digunakan sebagai latar belakang.
Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi
mengenai asal mula kematian, penyebab kematian seseorang, ketakutan terhadap
arwah, perlakuan terhadap jenazah, hal-hal tabu selama masa berkabung, dan
berbagai konsepsi lain, Palgi dan Abramovitch menemukan sejumlah persamaan
maupun perbedaan diantara masyarakat-masyarakat subjek penelitian. Berdasarkan
temuan-temuan berbentuk persamaan itu, kedua peneliti merumuskan beberapa hal
yang universal tentang kematian.

The Origins of the Economic


F.L. Pryor (1984)

Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya pandangan 60 kelompok
masyarakat hal-halyang berkaitan dengan konsep ekonomi. Variabel yang diteliti
antara lain hubungan permasalahan ekonomi dengan kelangkaan dan penyewaan
tanah, intensitas modal dalam produksi, pasar, tenaga kerja terdidik, perbudakan,
ketimpangan sosial, dan lain-lain.
Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi ke 60
kelompok masyarakat mengenai variable-variabel tersebut, Pryor menggeneralisasi
beberapa hal yang universal tentang perekonomian.

Penutup
Dalam skala nasional, keanekaragaman suku bangsa di Indonesia merupakan aset
pembangunan dan sekaligus potensi bagi pemunculan konflik. Untuk mencegah
disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh keanekaragaman budaya tersebut,
penelitian kajian lintas budaya bisa berkontribusi strategis. Data-data etnografi yang
ada perlu dilengkapi dan dikemas sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh
sebanyak mungkin warga negara. Jika suatu waktu timbul masalah yang dipicu oleh
keragaman budaya, data tersebut mudah dicari dan dirujuk.
Dalam konteks global, penelitian kajian lintas budaya juga berperan penting
dalam membantu masyarakat memahami berbagai budaya bangsa lain. Pemahaman
itu sangat dibutuhkan oleh pelajar, usahawan, pekerja, diplomat, dan warga

13
Indonesia lainnya yang berinteraksi dengan warga bangsa lain dalam rangka
mencegah kesalahpahaman dan konflik.

Daftar Pustaka
Aminudin. (1990). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.
Malang: Yayasan Asih, Asah, Asuh.
Gillies, Judith L. (2005). “Cross-Cultural Analysis”. Diunduh pada tanggal 4
Oktober 2008 dari “http://jgillies@tenhoor.as.ua.edu
Home / FAQ. 2006. “Cultstud-L”. Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008
dari “Home / FAQ. Journal.
Lewis, Hugh M. (2005). “Cross Cultural Researches, Political Economies and the
Genders of Anthropologies” Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari “http:
Cross Cultural .htm”
Poerwanto, Heri. (2002). “Analisis Komparasi Lintas Budaya”. Dipublikasikan
dalam Jurnal Humaniora Vol.XIV, No.1 2002.
Prasetia, Teguh Iman. (2007).”Interaksi Simbolik dan Cross-Cultural Studies”
Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008
dari http://prasetia/culturalstudies/17.htm
Simatupang, G.R. dan Lono Lastoro. (2006). “Cross-Cultural Studies”Makalah,
disampaikan dalam Bengkel Kerja Budaya: Belajar Menulis Sejarah Sosial
Masyarakat, kerjasama Lafadl dan Desantara, di SAV PUSKAT Sinduharjo,
Sleman, 25 Juli 2006.
White, Douglas R. (2003). “Cross-Cultural Research: An Introduction for Students”
Diunduh tanggal 8 Oktober 2008 dari
“http://eclectic.ss.uci.edu/~drwhite/courses/ WCC03.html.”
Wikipedia.(2008a). “Anthropology”. Diunduh pada tanggal 24 Oktober 2008 dari
“http://en. wikipedia.org/wiki/Anthropology”
Wikipedia.(2008b). “Cultural Anthropology”. Diunduh pada tanggal 26 Oktober
2008 dari “http://en. wikipedia.org/wiki/Cultural Anthropology”
Wikipedia. (2008c). “Cross-Cultural Studies”. Diunduh pada tanggal 18 Oktober
2008 dari “http://en. wikipedia.org/wiki/Cross-cultural_studies”
Wikipedia. (2008d). “Cultural Studies”. 2008. Diunduh pada tanggal 18 Oktober
2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/Cultural_studies”
Wikipedia.(2008e). “George Peter Murdock”. 2008. Diunduh pada tanggal 11
Oktober 2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/George Peter Murdock”
Wikipedia.(2008f). “Centre for Contemporary Cultural Studies”. 2008. Diunduh
pada tanggal 24 Oktober 2008 dari “http://en.wikipedia. org/wiki/Centre for
Contemporary Study”
Ying Dong and Kun-Pyo Lee. (2008). “A Cross-Cultural Comparative Study of
Users’ Perceptions of a Webpage: With a Focus on the Cognitive Styles of
Chinese, Koreans and Americans.” Published in International Journal of
Design Vol.2 No.2 2008. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008
dari http://www.ijdesign.org 30

14

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai