Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Ulkus merupakan suatu keadaan patologis yang menimbulkan kerusakan seluruh


lapisan epitel dan jaringan dibawahnya, dilapisi oleh jendalan fibrin sehingga berwarna putih
kekuningan (Birnbaum dan Dunne, 2009 dan Burket dkk, 2008). Menurut Neville dkk (2009)
ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dapat juga diartikan
bahwa ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Ulkus
dapat terjadi dimana saja di seluruh bagian dari tubuh manusia. Sedangkan menurut
Scully(2003) ulkus merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan hilangnya
kontinuitas epitel dan lamina propia dan membentuk kawah. Kadang secara klinis tampak
edema atau proliferasi sehingga terjadi pembengkakan pada jaringan sekitarnya. Jika terdapat
inflamasi, ulkus dikelilingi lingkaran merah yang mengelilingi ulkus yang berwarna kuning
ataupun abu-abu

Ulkus rongga mulut merupakan suatu kejadian yang menunjukan adanya kerusakan
atau diskontinuitas epitel dalam rongga mulut. Dalam rongga mulut, ulkus dapat didahului
oleh vesikel atau bula yang biasanya tidak berusia panjang. Meskipun banyak ulkus rongga
mulut memiliki penampakan klinis yang mirip, faktor etiologi yang mendasari dapat
bervariasi mulai dari lesi reaktif, neoplastik maupun manifestasi oral penyakit kulit (Regezi
dan Sciubba, 1993). Ulkus dapat pula merupakan manifestasi kerusakan epitel karena defek
(Scully, 2003).

Dokter gigi sebaiknya mengenal jenis, bentuk serta manifestasi dari penyakit-penyakit
di atas  dalam rongga mulut sehingga dapat segera mengenali dan mendiagnosis penyakit.
Ulkus pada rongga mulut dapat menjadi salah satu tanda dan gejala suatu penyakit, karena
terdapat berbagai penyakit yang secara klinis disertai adanya ulkus dengan durasi dan ciri-ciri
yang berbeda – beda. Selain itu dengan anamnesis riwayat yang lengkap dapat mendukung
dan memperkuat penegakkan diagnosis yang tepat mengenai suatu keadaan patologis pada
rongga mulut pasien.

Makalah ini akan membahas mengenai penyebab ulkus di rongga mulut misalnya
trauma, infeksi bakteri ( sifilis, gonorrhoe, tubercolosis, leprosy, actinomycosis, Noma),
infeksi jamur, penyakit imunologi, dan neoplasma.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ulseratif


Ulkus merupakan kondisi diskontinuitas jaringan yang meluas hingga ke dermis
hingga ke subcutis dan selalu terjadi pada kondisi patologis (Wolff dan Johnson, 2009).
Menurut Regezi dan Sciubba (1993), berdasarkan penyebabnya, ulkus dikelompokkan
menjadi 5, yaitu lesi reaktif, infeksi bakteri, infeksi jamur, kondisi yang berhubungan dengan
disfungsi immunologi dan neoplasma. Menurut Birnbaum dan Dunne (2010), ulkus dapat
dikelompokkan menjadi 5 berdasarkan penyebabnya, yaitu traumatik, infeksi, neoplasma,
sistemik dan lain-lain.

2.2 Lesi Reaktif


Pada umumnya, lesi ini disebabkan oleh trauma mekanis dan hubungan antara
penyebabnya diketahui. Ulkus traumatik tergolong lesi reaktif dengan gambaran klinis berupa
ulkus tunggal pada mukosa yang dapat disebabkan oleh adanya trauma fisik atau mekanik,
perubahan thermal, kimia dan radiasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Regezi dan
Sciubba, 1993)
a. Trauma mekanik atau fisik
Penyebabnya antara lain maloklusi, kesalahan pada pembuatan protesa,
menyikat gigi yang terlalu keras, kebiasaan pasien yang suka menggigit-gigit pipi atau
bibir dan oral piercing (Greenberg dkk., 2008). Menurut Birnbaum dan Dunne (2010),
trauma mekanik dapat disebabkan oleh karena tergigit baik disengaja maupun tidak
disengaja. Lokasinya bisa bersebelahan dengan gigi yang karies atau patah, tepi plat
gigi tiruan atau ortodontik.
Neville dkk. (2009) menuliskan bahwa pada anak-anak, ulkus traumatik
disebut Riga-Fede yang muncul pada permukaan ventral lidah. Ulkus ini bersifat
kronis, dengan gambaran histopatologis yang disebut ulserasi eosinofilik (traumatic
granuloma, traumatic ulcerative granuloma with stromal eosinophilia [TUGSE],
eosinophilic granuloma of the tongue).
b. Trauma termal
Greenberg dkk. (2008) menuliskan bahwa trauma termal dapat disebabkan karena
makanan yang panas sehingga menimbulkan luka bakar pada lidah dan palatum, atau
dapat disebabkan oleh berkontaknya instrument dental yang panas dengan mukosa
(iatrogenic). Pada umumnya, jejas yang ditimbulkan akibat thermal food burns
terletak pada palatum maupun mukosa bukal bagian posterior. Lesinya berwarna
kemerahan (eritema) pada bagian tengah ulkus dengan epitelium yang nekrosis pada
bagian tepinya (Neville dkk., 2009). Salah satu contoh food burns adalah pizza burns
yang diakibatkan oleh keju panas, dan paling banyak terdapat pada palatum (Regezi
dan Sciubba, 1993).
c. Trauma kimiawi
Trauma kimiawi dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan yang bersifat
kaustik, seperti obat kumur dengan kandungan tinggi alkohol, hidrogen peroksida dan
fenol dan penggunaan aspirin sebagai obat sakit gigi. Selain itu, sodium perborate dan
turpentin juga dapat menyebabkan terjadinya ulkus (Neville dkk., 2009). Penggunaan
aspirin baik dalam tablet maupun yang digunakan secara topikal pada mukosa dapat
menyebabkan ulkus pada mukosa (Greenberg dkk., 2008).
Material endodontik yang berfungsi sebagai bahan devitalisasi pulpa seperti
pasta arsen atau paraformaldehide dapat menyebabkan terjadinya nekrosis pada
gingiva dan tulang yang diakibatkan oleh bocornya bahan devitalisasi dari kamar
pulpa menuju ke jaringan sekitar. Sodium hypochlorite juga dapat menimbulkan efek
yang sama apabila mengalir ke jaringan sekitar. Pada penggunaan cotton roll, juga
dapat menyebabkan timbulnya ulkus pada mukosa rongga mulut. Kejadian ini disebut
cotton roll burn atau cotton roll stomatitis (Neville dkk., 2009).
d. Terapi radiasi dan kemoterapi
Manifestasi oral akibat terapi radiasi adalah oral mucositis yang timbul pada
minggu kedua setelah terapi, dan akan sembuh perlahan 2-3 minggu setelah terapi
dihentikan. Area yang terkena adalah mukosa yang disinari langsung oleh sinar X.
Pada kemoterapi, mukosa yang terkena adalah mukosa nonkeratinisasi, seperti
mukosa bukal, ventrolateral lidah, palatum mole, dan dasar mulut.
Lesi awal berwarna keputihan dengan sedikit deskuamasi pada keratin, yang
kemudian menimbulkan atrofi pada mukosa dengan gambaran edematous dan
eritematous. Selanjutnya ulkus akan ditutupi oleh membran fibrinopurulen. Ulkus
terasa nyeri dengan sensasi rasa terbakar, serta tidak nyaman (Neville dkk., 2009).
2.2.1 Gambaran klinis
Lesi ini ditandai dengan adanya membran fibrin purulen berwarna kekuningan yang
disertai dengan timbulnya rasa nyeri (Regezi dan Sciubba, 1993). Menurut Neville dkk.
(2009), tepi ulkus traumatik ditandai dengan area berwarna kekuningan yang dikelilingi oleh
halo eritematous, namun pada beberapa kasus kronis , tepi ulkus dapat berwarna putih karena
adanya hiperkeratosis .
Ulkus traumatik dapat terjadi pada lidah, bibir dan mukosa bukal. Selain itu, dapat
juga terjadi pada gingiva, palatum dan fornix. Lesi ini dapat sembuh dalam beberapa hari atau
minggu setelah penyebab traumanya dihilangkan. Rasa nyeri akan hilang dalam waktu 3 atau
4 hari (Wood dan Goaz, 1997), dan akan sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari. Jika ulkus
tidak sembuh dalam kurun waktu 2 minggu, maka diindikasikan untuk dilakukan biopsy
(Neville dkk., 2009)
Ulkus dimukosa labial
akut ulkus di dasar mulut

Ulkus kronis pada lateral lidah

2.2.2. Gambaran Histologi

Ulkus terdiri dari jaringan granulasi yang berisi sel inflamasi seperti limfosit, histiosit,
neutrofil dan sel plasma (Neville dkk., 2009). Pada kondisi akut, epitel permukaan hilang dan
diganti oleh jaringan fibrin yang mengandung neutrofil, degenerating cells dan debris.
Kondisi kronis ditandai dengan adanya jaringan granulasi dan scar, eosinofil dan
bertambahnya infiltrasi fagosit.

2.2.3 Diagnosa
Kondisi akut atau kronis didasarkan pada gambaran klinis dan riwayat serta etiologi.
Kondisi akut atau kronis didasarkan pada gambaran klinis dan riwayat serta etiologi
Diagnosis Diferensial (DD) : proses infeksi (sifilis, TB, jamur) atau keganasan. Perlu
observasi 2 minggu, bila tak ada perubahan atau tak lebih parah maka dilakukan biopsi.

2.2.4 Perawatan dan Prognosis


Ulkus traumatik dapat sembuh apabila sumber trauma atau faktor iritasi telah
dihilangkan. Untuk mempercepat proses penyembuhan, dapat diberikan aloclair pada
permukaan ulkus. Aloclair mengandung air, maltodextrin, propylene glycol,
polyvinylpyrrolidone (PVP), ekstrak aloe vera, kalium sorbate, natrium benzoate,
hydroxyethylcellulose, PEG 40, hydrogenated glycyrrhetic acid (MIMS,2009). Kandungan
PVP akan membentuk lapisan protektif tipis di atas ulkus yang akan menutupi dan
melindungi akhiran saraf yang terbuka sehingga mengurangi rasa nyeri dan mencegah iritasi
pada ulkus. Ekstrak Aloe vera mengandung kompleks polisakarida dan gliberellin.
Polisakarida berikatan dengan reseptor permukaan sel fibroblast untuk memperbaiki jaringan
yang rusak, menstimulasi dan mengaktivasi pertumbuhan fibroblast, sedangkan gliberellin
mempercepat penyembuhan ulkus dengan cara menstimulasi replikasi sel (Plasket, 2008).

2.3 lesi ulseratif Akibat Infkesi Bakteri


2.3.1 Sipilis
a. Etiologi
Penyebab penyakit ini kuman Treponema pallidum yang ditularrkan melalui kontak
seksual. Beberapa laporan menyebutkan bahwa transmisi melalui oral juga dapat terjadi.
Sifilis juga dapat juga timbul sebagai koinfeksi pada pasien HIV sero positif. Sifilis
merupakan infeksi yang berlangsung secara sistemik dan kronik dengan perjalanan melalui
beberapa stadium. Stadium I ( primer) durasinya seminggu, stadium II ( sekunder ) durasinya
minggu sampe bulan stadium III ( tersier) durasinya bulan sampe tahun. Dan juga kogenital
sifilis terjadi selama kehamilan trimester kedua , ketika T. pallidum melintasi plasenta dari
ibu yang terinfeksi. Spirochetemia yang berkembang pada janin dapat menyebabkan banyak
lesi inflamasi dan merusak di berbagai organ janin, atau dapat menyebabkan aborsi
Gambar patogenesis dari sifilis
b. Gambaran klinis

1. Sifilis Primer (chancre) : single, indurasi, ulkus tak sakit, sembuh spontan 4 — 6
minggu, lokasi di genital, bibir, oral, kadang di jari-jari, terjadi regional limfadenopati

Gambaran chancre

2. Sifilis Sekunder : Muncul 3-12 minggu setelah lesi primer, ulkus tidak sakit,
berbentuk datar dengan tepi irregular, dan ditutupi oleh membran keabuan (snail truck
ulcer). Lesi ini menyatu membentuk bercak membulat yang dikenal sebagai mucous
patch. Lokasi ulkus ini pada palatum, tonsil, tepi lateral lidah, dan bibir serta
maculopapular rash, multiple ulkus dan mucoid exudates, condylomata latum.

Lesi Cutaneus macular condylomata latum

3. Sifilis Tersier : glossitis, central vascular system, central nerves system,


membutuhkan waktu bertahun-tahun, gumma. Gumma merupakan lesi nodul tanpa
nyeri dengan nekrosis ditengah lsi yang dapat disertai ulserasi. Guma dapat
berkembang pada 2 tahun pertama. Guma tidak dapat sembuh sendirinya , bahkan lesi
ini dapat menyebabkan perforasi palatum durum dan rongga hidung
Gambaran gumma pada palatal.

4. Sifilis Kogenital : terjadi setengah terakhir dari waktu kehamilan. spirochetemia yang
umum terjadi pada sifilis kongenital dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis
yang dapat mempengaruhi sistem organ dalam janin. Ruam mucocutaneous dapat
dilihat awal. Ketika proses infeksi melibatkan vomer, cacat hidung yang dikenal
sebagai hidung pelana, terjadi periostitis tibia anterior hasil pertumbuhan tulang pada
deformitas yang dikenal sebagai saber shin. sifilis kongenital termasuk kondisi yang
dikenal secara kolektif sebagai triad Hutchinson: (1) reaksi peradangan pada kornea
(interstitial keratitis), (2) eigth nerve deafness, dan (3) kelainan gigi yang terdiri dari
berlekuk atau gigi seri berbentuk obeng (notched incisors) dan geraham ( mulberry
molar), mungkin terjadi karena infeksi bakteri spirochete dari organ enamel gigi
selama amelogenesis

Gambaran mulberry molar dan notched incisor


c. Histopatologi
Respons dasar jaringan terhadap infeksi pallidum T. terdiri dari proliferasi endarteritis dan
infiltrasi sel plasma. sel endotel berproliferasi dalam arteri kecil dan arteriol, menghasilkan
lembaran konsentris sel, yang menyebabkan lumen menyempit. sel plasma, bersama dengan
limfosit dan makrofag, berkummpul dalam distribusi perivaskular. Spirochetes dapat
ditunjukkan dalam berbagai jaringan lesi sifilis dengan mengunakan panadaan perak.
Gambaran gumma nekrosis dan jumlah makrofag sangat tinggi yang menghasilkan lesi
granulomatosa yang mirip dengan kondisi lain, seperti tuberkulosis

d. Diagnosa banding
 chancre : Squamous Cell Carcinoma (SCC), lesi trauma kronis, TB
 secondary syphilis : mucocutaneous lesions
 gummas : lesi destruktif pada midline granuloma.
e. Diagnosa
Diagnosa dapat detegakkan dengan cara pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan klinis
seperti pemeriksaan eksudat , staining perak (silver stain), serologi test untuk antibody
f. Pengobatan
penicillin (drug of choice), erythromycin, tetracycline

2.3.2 Gonorrhea

a. Etiologi

Gonorrhea disebabkan oleh gram-negatif Diplococcus Neisseria gonorrhoeae, yang


menginfeksi epitel kolumnar saluran genital saluran, rektum, faring, dan mata. Infeksi
ditularkan melalui kontak seksual langsung dengan pasangan yang terinfeksi. Penyebaran
infeksi pada pasangan seksual ditingkatkan oleh masa inkubasi yang singkat kurang dari 7
hari. infeksi kelamin dapat ditularkan dari mulut atau membrane mucous faring melalui
kontak orogenital.

b. Gambaran Klinis

Tidak ada tanda-tanda klinis yang spesifik secara konsisten dihubungkan dengan
gonore oral. Namun, ada gambaran multiple ulserasi dan eritema. Infeksi gonokokal umum
ya terjadi pada faring, tanda-tanda umum terlihat sebagai eritema terkait ulkus dan
limfadenopati servikal. Keluhan utama mungkin sakit tenggorokan, meskipun banyak pasien
tidak menunjukkan gejala.
c. Diagnosa Banding
Karena kurangnya lesi oral yang konsisten dan khas. Diagnosa banding penyakit ini
seperti ulkus aftosa, ulkus herpes, eritema multiforme, pemfigus, pemfigoid, erupsi obat, dan
infeksi streptokokus harus dipertimbangkan. Diagnosis gonore secara didasarkan dengan
pewarnaan Gram atau kultur pada media Thayer-Martin. Identifikasi cepat N. gonorrhoeae
dengan teknik antibodi immunofluorescent dan tes laboratorium lainnya dapat digunakan
untuk mendukung gambaran klinis.
e. Terapi
Terapi pada gonorrahe yaitu Penicillin-G, Spectinomycin ditambah Cephalosporin,
tetracycline
2.3.3 Tubercolosis
a. Etiologi
tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan
melalui udara. Walau organ paling utama terserang bakteri Mycobacterium tuberculosis
adalah paru – paru, tetapi pada individu yang kekebalan tubuh lemah, organ dan jaringan
manapun mudah terserang olehnya tak terkecuali mukosa mulut.

b. Gambaran Klinis
Pasien yang terinfeksi mungkin akan menunjukkan gejala. test kulit dan radiografi
dada dapat memberikan satu-satunya indikator infeksi. Pada penyakit ini gejala seperti
demam, keringat malam, malaise, dan penurunan berat badan mungkin muncul, batuk,
hemoptisis, dan nyeri dada (keterlibatan pleura) terjadi. gambaran klinis yang sangat
bervariasi muncul dan tergantung pada organ yang terlibat.
manifestasi oral, lesi yang khas pada lidah dan palatum yaitu ulkus kronis, indurated,
ulkus tidak sembuh yang biasanya menyakitkan. Keterlibatan tulang rahang atas dan rahang
bawah dapat menghasilkan osteomyelitis tuberkulosa.. Hasil keterlibatan faring ulser yang
menyakitkan, yang dapat menyebabkan perubahan disfagia, odynophagia, dan suara.
c. Histopatologi
Secara mikroskopis lesi TB terlihat sebagai inflamasi granulomatosa, di mana
granuloma menunjukkan nekrosis pusat caseous. Dalam jaringan, karekistik M. tuberculosis
meningkatkan makrofag, dimana zona makrofag dikelilingi oleh limfosit dan fibroblas. hasil
Fusion makrofag menunjukkan gambaran giant cell Langerhans, di mana inti didistribusikan
di sekitar pinggiran sitoplasma. Pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Fite digunakan untuk
mengkonfirmasi ad organismen adanya organisme dalam granuloma.

d. Diagnosa Banding
Diagnosis banding dari tubercolosis dilihat dari durasinya yaitu primary syphilis, deep
fungal disease, SCC , ulkus traumatis kronis (oral TB sulit dibedakan dengan kondisi-kondisi
lainnya).
e Terapi
Obat lini pertama kemungkinan akan digunakan untuk pengobatan TB termasuk isoniazid,
rifampin, pirazinamid, dan etambutol. kombinasi obat yang sering digunakan dalam rejimen
pengobatan 6-, 9-, atau 12 bulan yang dapat diperpanjang selama 2 tahun. Streptomisin jarang
digunakan untuk pengobatan lini pertama, kecuali dalam kasus-kasus resisten. Vaksin
Bacille Calmette-Guerin (BCG) efektif dalam mengendalikan TB pada masa kanak-kanak,
tetapi kehilangan khasiat di masa dewasa.

2.3.4 Leprosy
a. etiologi
Leprosy /Kusta juga dikenal sebagai penyakit Hansen, adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh basil tahan asam, Mycobacterium leprae. Penularan penyakit ini
memerlukan kontak langsung yang sering dengan individu yang terinfeksi untuk jangka
waktu yang panjang, dengan masa inkubasi berkisar sampai 5 tahun untuk bentuk tuberkuloid
hingga 12 tahun dalam bentuk penyakit lepromatosa. Inokulasi melalui saluran pernapasan
diyakini potensi penularan.
b. Gambaran klinis
Lesi oral muncul pada kasus penyakit lepromatosa sekitar 20% sampai 60%
berbentuk multiple nodul (nekrotik dan ulserasi) dengan penyembuhan lambat dan jaringan
parut atrofi.Cutaneous muncul sebagai plak eritematosa atau nodul, yang muncul sebagai
respon granulomatosa untuk organisme. lesi serupa dapat terjadi intraoral atau intranasal.
cacat rahang atas yang parah mungkin muncul, terjadi kerusakan klasik dari tulang hidung
anterior dan anterior alveolus maksilaris, serta peradangan intranasal dan kerusakan jaringan
yang disebut facies leprosa.
c. Histopatologi
Secara Mikroskopis terlihat respon inflamasi granulomatosa, di mana makrofag /
histiosit epithelioid dan giant cell berinti mendominasi. Infiltrasi saraf dengan sel-sel
inflamasi mononuklear juga terlihat. Pada kusta tuberkuloid granuloma yang terbentuk mirip
dengan yang hadir di lesi jaringan TB. Pada kusta leproid sedikit terbentuk granuloma dengan
lembaran makrofag. Dengan pewarnaan Fite dapat ditemukan mikroorganisme dalam
makrofa.
d. Diagnosis
Sebuah riwayat kontak dengan pasien yang terinfeksi atau hidup di daerah endemik
adalah penting untuk membangun diagnosis. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan
kulit dan keterlibatan saraf harus memberikan petunjuk tambahan untuk sifat dari penyakit.
Munculnya lesi mulut tanpa lesi kulit sangat mustahil. Diagnosis banding meliputi sifilis
stadium akhir, sarkoidosis, leishmaniasis kulit, lupus eritematosus, limfoma, dan penyakit
neoplastik. Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis karena ada tes
laboratorium untuk kusta telah dikembangkan.
e. Terapi
Terapi pada penyakit ini biasanya berkepanjangan. Pasien harus mengkonsumsi obat
tahunan. Obat yang paling umum digunakan termasuk dapson, rifampin, klofazimin, dan
minocycline. Penggunaan teratogen thalidomide untuk mengurangi komplikasi terapi kusta,
seperti analog thalidomide (misalnya, lenalidomide).

2.3.5 Actinomycosis
a. Etilogi
Actinomycosis adalah penyakit bakteri kronis yang menunjukkan beberapa gambaran klinis
dan mikroskopis seperti jamur. Hal ini paling sering disebabkan oleh bakteri gram positif
Actinomyces israelii. A. israelii merupakan flora normal dari rongga mulut dalam mayoritas
individu yang sehat biasanya ditemukan di kriptus tonsil, celah-celah gingiva, lesi karies, dan
saluran akar gigi non vital. Actinomycosis tidak dianggap sebagai penyakit menular karena
infeksi tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain. Infeksi biasanya muncul setelah
trauma, operasi, atau infeksi sebelumnya.
b. Gambaran Klinis
Infeksi A. israelii terlihat di Thoraks, abdomen, dan kepala dan leher biasanya didahului oleh
trauma atau hubungan langsung dari infeksi bersebelahan. Ketika terjadi di kepala dan leher,
kondisi ini biasanya menunjukan cervicofacial actinomycosis. Di mandibula mirip infeksi
piogenik sedangkan di maksila tampak sebagai osteomyielitis (sulfur granules/ granul –
granul belerang ). Lesi kulit yang indurated dan digambarkan memiliki konsistensi "woody
hard”. Pada pemeriksaan Radiografi berupa daerah radiolusen dengan batas tak jelas dan
irregular.

Cervicofacial actinomycosis. (Reproduced with permission from Regezi JA, Sciubba JJ, Pogrel MA: Atlas of Oral and
Maxillofacial Pathology. Philadelphia, 2000, WB Saunders, Fig. 10-15.)

c. Histopatologi
Terlihat respon inflamasi granulomatosa dengan pembentukan abses di sentral terlihat
di actinomycosis.

Actinomycosis colony (sulfur granule) surrounded by pus.

d. Diagnosis Banding
diagnosis banding penyakit yaitu osteomielitis, scrofula, dan infeksi stafilokokus,
seperti botryomycosis. diagnosis definitif tergantung pada identifikasi mikroorganisme
actinomycotic. Hal ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan langsung dari eksudat, evaluasi
mikroskopis dari bagian jaringan, atau kultur mikrobiologis dari bahan patologis.
e. Terapi
Penicilline (dosis tinggi dan dalam waktu lama), Tetracycline, Erythromycin, drainase
abses, dilakukan eksisi untuk meningkatkan penetrasi antibiotika.
2.3.6 Noma
a. Etiologi
Noma, juga dikenal sebagai cancrum oris dan stomatitis gangren, adalah penyakit pada anak-
akibat kurang gizi yang ditandai dengan proses destruktif dari jaringan orofasial. Kondisi ini
jarang terjadi di negara maju tetapi merupakan penyebab relatif umum kematian anak dan
morbiditas di beberapa bagian Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Noma disebabkan oleh
infeksi Fusobacterium necrophorum dan Vincent spirochetes.
b. Gambaran Klinis
Lesi awal noma adalah ulserasi menyakitkan, biasanya pada gingiva atau mukosa
bukal, yang menyebar dengan cepat dan akhirnya menjadi nekrotik. Terjadi keterlibatan
tulang sehingga kehilangan tulang berakibat gigi menjadi goyang dan terlepas di daerah yang
terkena. adanya penetrasi organisme ke pipi, bibir, atau langit-langit juga dapat terjadi
mengakibatkan lesi nekrotik berbau busuk
c. Terapi
Terapi melibatkan pengobatan faktor predisposisi, serta infeksi itu sendiri. Oleh
karena itu cairan, elektrolit, dan nutrisi umum perlu dikembalikan, bersama dengan
pemberian antibiotik. Antibiotik pilihan seperti klindamisin, piperasilin, dan gentamisin
aminoglikosida. Debridement jaringan nekrotik mungkin bermanfaat jika kerusakan luas,
dengan bedah rekonstruksi merupakan pilihan akhir untuk manajemen akut dan
penyembuhan.
2.4 Infeksi jamur
2.4.1 Deep Fungal Diseases
a. etiologi
Deep fungal diseases ditandai dengan keterlibatan utama dari paru-paru. Infeksi dapat
menyebarkan melibatkan organ lain. Etiologinya tergantung pada fungi sendiri seperti
Histoplasma capsulatum menyebabkan Histoplasmosis, Coccidioides immitis menyebabakan
Coccidioidomycosis, Blastomyces dermatidis menyebabkan Blastomycosis, Cryptococcus
neoformans menyebabkan Cryptococcosis.
b. Gambaran klinis
Tanda awal dan gejala Deep fungal diseases biasanya terkait dengan keterlibatan paru
dan termasuk batuk, demam, keringat malam, penurunan berat badan, nyeri dada, dan
hemoptisis. Lesi dikulit erupsi menyerupai eritema multiforme kadang-kadang muncul
bersamaan dengan infeksi coccidioidomycosis. lesi oral biasanya didahului oleh infeksi paru.
Lesi di mulut biasanya ulseratif, lesi tunggal atau ganda, nonhealing, indurated, dan sering
menyakitkan. Pada blastomycotic terdapat gambaran tambahan ada lesi purulensi.
c. Histopatologi
Respon inflamasi dasar pada Deep fungal diseases adalah granulomatosa. Pada
gambaran histologi terlihat adanya mikroorganisme, makrofag dan sel multinucleat giant cell
mendominasi. Gambaran Purulensi terlihat blastomikosis. Gambaran Khas blastomikosis
adalah hiperplasia pseudoepitheliomatous, terkait dengan infeksi superfisial di mana ulserasi
belum terjadi.
d. Diagnosis Banding
Secara klinis, kronis, nonhealing ulkus oral disebabkan oleh Deep fungal diseases
mungkin mirip dengan karsinoma sel skuamosa mulut, trauma kronis, oral TB , dan sifilis
primer. Gambaran klinis Blastomikosis mirip aktinomikosis cervicofacial. Untuk diagnosis
definitif diperlukan pemeriksaan biopsi untuk identifikasi mikroskopis organisme.
e. Terapi
umumnya terdiri dari antimikroba seperti ketoconazole, fluconazole, dan amfoterisin
B. Kedua ketokonazol dan flukonazol dapat diberikan secara oral.

2.4.2 Subcutaneuos Fungal Disease / Sporotrichosis


a. Etiologi
Disebabkan oleh Sporothrix schenckii yang merusak jaringan terutama subkutan.
Masa inkubasinya beberapa minggu setelah itu terbentuk nodul subkutan, yang sering
menjadi ulserasi. Keterlibatan sistemik jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada individu
dengan respon yang terjadi gangguan.
b. Gambaran Klinik
Pada kulit terlihat nodul merah muncul dengan eksudat, dan ulserasi. Lesi juga
biasanya muncul sebagai ulkus kronis nonspesifik dan Limfadenopati juga dapat hadir.

c. Histopatologi
Respon inflamasi terhadap S. schenckii adalah granulomatosa. Pusat abses dapat
ditemukan di beberapa granuloma, dan lapisan atas epitel menunjukkan hiperplasia
pseudoepitheliomatous.
d. Diagnosis
diagnosis dapat ditegakkan melalui kultur Sabouraud agar dan silver stains
e. Terapi
Terapi yang dapat diberikan yaitu potassium iodides dan ketokonazole
2.4.3 Phycomyosis / Mucormycosis
a. Etiologi
Disebabkan Mucor dan Rhizopus, infeksi ini terutama terjadi pada pasien
Ketoacidotic diabetics (poor), pasien Malignancy lanjutan, Pasien yang mendapat Terapi
steroids atau radiasi dan Pasien dengan immunodepressed.
b. Gambaran Klinik
Regio yang terlibat kepala dan leher (rongga hidung, sinus paranasal, dan orofaring).
Rasa sakit dan bengkak mendahului ulserasi. Terjadi nekrosi Jaringan yang mengakibatkan
perforasi palatum, komplikasi orbital dan otak. Invasi jamur ke dinding arteri invasi, yang
dapat menyebabkan penyebaran hematogen, trombosis, atau infark.
c. Histopatologi
Terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi akut/kronis. Dengan staining H&E terlihat fungus
pada area yang nekrosis. Jamur terdapat pada dinding arteri yang nekrose dan ditemukan
thrombus merupakan ciri khas dan jamur tampak besar, terwarnai pucat, tidak ada septa
hyphae dan bercabang ke sudut kanan.

d. Diagnosa Banding

Diagnosa banding penyakit ini gummatous pada syphilis, midline granuloma,


Wegener's granulomatosis.

e. Terapi
Terapi pada penyakit ini yaitu Amphotericin B dan dilakukan surgical debridement.

2.5 Lesi Ulseratif Akibat difungsi Imunologi

2.5.1 Ulkus Apthosa

Aphthous stomatitis disebut juga canker sore yang ditandai dengan timbulnya rasa
nyeri dan kerusakan pada membran mukosa. RAS terjadi pada 10% populasi dengan
prevalensi wanita lebih tinggi daripada pria. Merupakan lesi ulserasi yang paling sering
terjadi diantara lesi ulseratif nontraumatik yang lain

a. Etiologi
Menurut Nally (1997), faktor penyebab RAS belum diketahui, namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara kejadian RAS dengan respon system
imun yang abnormal. Birnbaum dan Dunne (2010) menyatakan bahwa faktor yang dapat
berkaitan dengan munculnya RAS meliputi trauma, stress psikologis, menstruasi dan
alergi makanan, misalnya coklat dan pengawet makanan. Selain itu, defisiensi Fe, asam
folat, dan vitamin B12 juga dapat menyebabkan RAS. Menurut Cawson dan Odell (2002),
faktor etiologi yang mungkin untuk RAS adalah genetik, respon terhadap trauma, infeksi,
abnormalitas imunologi, gangguan gastrointestinal, kekurangan hematologi, gangguan
hormonal, dan stress.
Lesi ini biasanya kambuhan, penyebabnya tidak diketahui tetapi kemungkinan karena
kerusakan sistem imun pada mediasi oleh sel T, dipacu oleh adanya stress, trauma dan
faktor lain yang mempengaruhi immunitas (Regezi dan Sciubba, 1993). Menurut Neville
dkk. (2009), pemeriksaan darah perifer pada pasien RAS menunjukkan adanya penurunan
rasio CD4+ terhadap CD8+ pada limfosit T, dan peningkatan T cell reseptor γδ+ dan
tumor necrosis factor-α (TNF- α). 
Lesi awal pada RAS adalah lesi inflamasi preulseratif yang terdapat pada epitel
rongga mulut yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit T. Sel T sitotoksik
tampak pada lokasi dimana banyak terdapat antigen atau di dalam keratinosit. Pelepasan
bermacam-macam sitokin dan kemokin imunoreaktif menginduksi respon yang dimediasi
oleh sel yang diyakini sebagai hasil dari lisisnya keratinosit (Silverman dkk., 2001).
Beberapa penyakit pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan ulkus pada rongga
mulut adalah:
 Celiac disease
Merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan adanya intoleransi terhadap gluten
pada usus halus. Campisi dkk. (2008) melaporkan bahwa lesi pada rongga mulut seperti
RAS dapat berfungsi sebagai tanda adanya gangguan gastrointestinal kronis yang
disebabkan oleh adanya malabsorpsi.
 Chron’s disease
Merupakan penyakit kronis pada gastrointestinal yang ditandai dengan adanya
pembengkakan pada saluran pencernaan, nyeri abdomen, nausea, diare, kehilangan berat
badan, demam, dan perdarahan rectal. Pada 10-20% pasien chron’s disease terjadi ulkus
pada rongga mulut, dengan karakteristik yang disebut cobble stone. Apabila terdapat
ulkus rekuren dengan sebab yang tidak jelas pada rongga mulut, maka penyakit ini dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu faktor etiologi ulkus.
 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang disebabkan oleh keluarnya asam
lambung menuju esophagus. Asam lambung yang keluar hingga ke rongga mulut dapat
menyebabkan terjadinya keruasakan pada mukosa yang bersifat erosif dan dapat berakhir
sebagai ulkus. Selain itu, GERD juga dapat menyebabkan timbulnya faringitis, laringitis,
bronchitis, dan pneumonia

b. Gambaran Klinis

RAS pada umumnya terjadi pada lining mucosa rongga mulut yang tidak mengalami
keratinisasi, seperti pada lidah, mukosa bukal, dan mukosa labial. Perkembangan RAS
biasanya ditandai dengan adanya gejala prodromal, seperti rasa terbakar, kesemutan
(tingling), atau mukosa yang berwarna kemerahan (Zunt, 2001). Ulkus pada RAS
berbentuk bulat atau oval dengan pusat berwarna putih kekuningan yang dikelilingi oleh
area berwarna kemerahan.

Gambar 1. Minor RAS pada mukosa labial dengan gambaran klinis berupa ulkus yang ditutupi oleh
membran fibrinopurulen berwarna putih kekuningan

 Klasifikasi
RAS diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu minor, mayor, dan herpertiform.
Minor aphthous ulcers merupakan ulkus yang paling sering terjadi, yaitu sekitar
80-85% dari seluruh kasus yang ada. Major aphthous ulcer terjadi pada 5-10%
kasus, dan herpetiform terjadi pada 5-10% kasus.

Minor aphthous ulcers


Pada umumnya, ulkus ini berbentuk bulat atau oval dengan bagian
tengah berwarna putih kekuningan dan dikelilingi oleh halo eritematous.
Ulkus ini sembuh dalam waktu 14 hari tanpa terbentuknya jaringan parut.
Lokasi lesi ini biasanya pada mukosa nonkeratinisasi, seperti pada mukosa
bukal, mukosa labial, dan dasar mulut. Namun, dapat juga terjadi pada mukosa
keratinisasi, seperti palatum keras, gingiva, dan dorsum lidah. Lesi ini dapat
multipel dengan diameter 2-5 mm.

Major aphthous ulcer (Sutton’s disease)


Ulkus ini lebih dalam daripada ulser aftosa minor dengan tepi lesi yang
irregular, dan diameter > 1cm. Ulkus ini dapat sembuh dalam waktu beberapa
minggu hingga bulan dan sering terbentuk jaringan parut. Pada lesi ini, perlu
dicurigai adanya keterlibatan kondisi sistemik, seperti defisiensi nutrisi atau
gangguan hematologis.
Biasanya ulkus ini ditemukan pada bagian posterior mulut, palatum mole,
dan daerah tonsila. Jumlah ulserasi bisa soliter atau multipel, ukurannya lebih
besar dari 1 cm, bisa juga mencapai 5 cm, bentuknya bulat atau lonjong, dasar
lesi kekuningan, keabuan, tepi lesi merah meradang, bisa lebih menonjol
dibandingkan jaringan sekitarnya, jaringan dasar tetap lunak dan tidak
mengalami indurasi.

Herpetiform aphthous ulcer


Lesi ini merupakan lesi yang multipel, rekuren dan menimbulkan rasa
nyeri, serta lebih banyak ditemukan pada wanita. Lokasinya pada lidah, dasar
mulut, dan mukosa bukal. Jumlah lesi multipel, bisa mencapai 100 lesi pada
saat yang bersamaan. Beberapa lesi dapat bergabung menjadi satu. Ukuran
kecil, diameter 1-3 mm, bentuknya tidak beraturan, dasar lesi keabuan, tepi
lesi tidak tegas, ditemukan daerah kemerahan yang luas pada membran
mukosa. Lesi ini sama seperti pada primary herpetic gingivostomatitis.
c. Histopatologis
sel-sel mononuklear ditemukan di submukosa dan jaringan perivaskular dalam
tahap preulcerative. Sel-sel ini didominasi limfosit CD4, pada tahap perkembangan
ulseratif jumlah limfosit CD4 berkurang dan digantikan oleh limfosit CD8. Makrofag
dan sel mast sering ditemukan pada ulkus
d. Diagnosa
Penegakkan Diagnosa ergantung riwayat penyakit dan gambaran klinis.
Diagnosa banding penyakit ini yaitu : secondary (recurrent) oral herpes, trauma,
Pemphigus Vulgaris (PV), Cicatrical Pemphigoid (CP), Crohn's disease, neutropenia,
celiac disease.
e. Terapi
Minor ulser apthous ringan tak memerlukan perawatan. Kondisi berat dengan
pemberian (corticosteroid, triamcinolone) Dapat ditambah anti-fungal, antibiotika,
oral rinse, immunomodulator (vitamin A), Vitamin B 12.
2.5.2 Behcet’s Sindrome
multisystem disease yang melibatkan organ-organ gastrointestinal, cardiovascular,
ocular, CNS, articular, pulmonary, dermis yang disertai dengan serious recurrent oral
aphthae minor.
a. Etiologi
Penyebab tak jelas diketahui, diduga berhubungan dengan immunodysfunction,
predisposisi genetic dengan ditemukannya HLA-B51.
b. Gambaran klinis
Adanya keterkaitan rongga mulut merupakan komponen yang penting pada Behcet’s
syndrome dengan manifestasi pada rongga mulut sebesar 99%. Lesi ini serupa dengan
aphthous ulcerations pada orang sehat dengan durasi dan frekuensi yang sama, namun pada
pasien dengan Behcet’s syndrome, lesi dapat berjumlah 6 atau lebih. Lesi dapat terjadi pada
palatum lunak dan orofaring, dengan tepi yang bergelombang dan dikelilingi oleh area
eritema yang difus. Pada penderita Behcet’s syndrome, ketiga jenis RAS dapat muncul,
namun minor RAS paling banyak terjadi pada pasien ini. Selain pada rongga mulut, lesi pada
genital ( ulser, nyeri, tidak nyaman, sekitar anus) dan mata ( uveitis, conjungtivitis, retinitis),
sakit kepala, manifestasi cardiovasculer vasculitis dan thrombosis.
c. Histopatologi
pada lesi ulseratif ditemukan limfosit T, pada dinding arteri ditemukan infiltrasi neutrofil.
Hasil pemeriksaan imunologis adanya Imunoglobulin dan Complement pada dinding
pembuluh darah.

d. Diagnosa
Diagnosis sindrom Behçet didasarkan pada tanda-tanda klinis dan gejala yang
berhubungan dengan berbagai daerah yang terkena.
e. Terapi
Tidak ada terapi standar dikenal sindrom Behçet ini. steroid sistemik sering diresepkan,
dan obat imunosupresif, seperti klorambusil dan azathioprine, dapat digunakan sebagai
pengganti atau di samping steroid. Dapson, cyclosporine, thalidomide, interferon, dan biologi
anti-tumor necrosis factor (TNF) agen mungkin memainkan peran dalam pengobatan pasien,
tergantung pada tingkat keparahan penyakit.
2.5.3 Sindrome Reiter’s
a. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebakan terjadinya Reiter’s Syndrome.
Beberapa infeksi gastrointestinal dan genital umumnya dapat menyebakan Reiter’s
Syndrome. Riwayat keracunan makanan juga dipercaya menjadi penyebab terjadinya
penyakit ini. Terpaparnya kembali beberapa oganisme juga merupakan trigger terjadinya
penyakit ini. Infeksi oleh bakteri seperti Chlamydia trachomatis, Salmonella, Campylobacter,
Yersinia juga umumnya terlibat. Mekanisme yang melibatkan triger penyakit ini tidak
diketahui. Dalam 344 kasus yang terjadi di Finlandia setelah terjadi wabah disentri, 2/3 dari
kasus Reiter’s Syndrome merupakan kelanjutan dari disentri. Reiter’s Syndrome juga
dianggap sebagai gangguan autoimun yang disebabkan oleh organisme penyabab infeksi.
Terdapat beberapa pendapat yang juga mengatakan bahwa predisposisi genetik pada
fenomena autoimune juga memungkinkan terjadinya Reiter’s Syndrome.

b. Faktor Resiko

Reiter’s syndrome paling sering terjadi pada laki-laki muda dengan dekade ketiga
kehidupan. Ini jarang terjadi pada anak-anak. Kebanyakan pasien anak datang dengan gejala
setelah usia 9 tahun. Reiter’s Syndrome setelah infeksi usus bawaan makanan sama umum
pada pria dan wanita. Namun, rasio laki-perempuan untuk penyakit yang berhubungan
dengan infeksi venereally diperoleh telah diperkirakan berkisar 5: 1 sampai 10: 1. Fokus
prostat kemungkinan infeksi persisten ini mendalilkan untuk menjelaskan dominasi laki-laki
dari ReA. Frekuensi Reiter’s Syndrome tampaknya terkait dengan prevalensi HLA-B27
dalam populasi. Seperti spondyloarthropathies lainnya, HLA-B27 dan ReA lebih sering
terjadi pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam. Ketika ReA terjadi pada orang
kulit hitam, sering B27-negatif.

c. Manifestasi Klinik
Gejala sistemik Reiter’s Syndrome biasanya didahului (satu bulan atau kurang) oleh
uretritis nonspesifik akut atau diare akut. Episode disentri dapat mengikuti setelah diare akut.
Tingkat keparahan dan durasi dari episode disentri biasanya berkorelasi dengan keparahan
dan durasi dari arthritis. Uretritis nonspesifik biasanya menyakitkan dan terdapat secret uretra
non-purulen. Kadang-kadang dapat dikaitkan dengan prostatitis atau servisitis.Reiter’s
Syndrome dapat hadir sebagai salah satu atau lebih dari empat sindrom berikut: sindrom
artritis perifer, sindrom enthesopathic, sindrom panggul dan aksial, dan sindrom
extramusculosceletal (kulit, membran mukosa, saluran pencernaan, gejala urogenital, dan
mata).

Arthritis Sindrom perifer biasanya melibatkan 2-4 sendi (oligoarthritis) seperti


pergelangan tangan, siku, lutut dan pergelangan kaki, pembengkakan difus jari atau jari kaki
seluruh (sosis digit) Terjadinya Reiter’s Syndrome yang melibatkan lebih dari empat sendi
(poliartritis) mungkin berhubungan dengan demam dan penurunan berat badan. Nyeri tumit
yang paling sering dipengaruhi. inflamasi dorsal atau punggung bawah arthritis hadir.
Balanitis circinata adalah lesi eritematosa glans penis. Lesi serupa dapat ditemukan pada
mukosa mulut. Yang penting, lesi mukokutan yang terkait dengan Reiter’s Syndrome adalah,
tidak seperti pada penyakit Behcet, tanpa rasa sakit. Keratoderma blenorrhagica merupakan
palmar atau lesi surya dari pustular psoriasis. Lesi psoriatik khas Lagi dengan hiperkeratosis
dan parakeratosis pada kulit atau kuku juga dapat hadir

Kelainan Okular menggambarkan pasien dengan konjungtivitis non-purulen. Sejak


itu konjungtivitis dianggap bagian klasik dari Reiter’s Syndrome, meskipun manifestasi
okular dapat beberapa. Keterlibatan okular biasanya dimulai dalam waktu satu bulan setelah
episode akut uretritis atau diare nonspesifik. Hal ini dapat hadir sebagai keratitis, episkleritis,
skleritis, uveitis, pars planitis, dan vaskulitis retina. Ada atau tidak ada perbedaan dalam
spektrum manifestasi okular, keparahan dan prognosis antara pasien dengan HLA-B27 terkait
radang mata dan mereka dengan sindrom Reiter masih belum jelas

e. Diagnosis
Tidak kriteria diagnostic yang pasti dalam mendeteksi Reiter’s Syndrome. Pemeriksaan
fisik merupakan yang pertama dan paling penting dalam mendiagnosis. Semakin banyak
gejala yang timbul maka psien semakin akurat dalam pendiagnosisan. Riwayat infeksi pasien
dicatat dan dilihat penyebab terjadinya infeksi. Manifestasi tipikal atrhitis muncul 3 minggu
setelah infeksi enterik. Infeksi enterik dapat disebabkan karean disentri oleh beberapa
Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Campylobacter. Kadang-kadang bisa disebabkan oleh
infeksi non-enterik dengan bakteri seperti Clostridium difficle atau oleh infeksi genital
dengan Chlamydia trachomatis, dan mungkin oleh agen lain juga. Beberapa metode
diagnostic efektif dalam menegakan Reiter’s Syndrome :

 Swab
Swab dapat diambil dari tenggorokan, uretra atau cervix untuk dilakukan kultus dan
studi tentang organisme penyebab
 Kultur
 Aspirasi cairan synovial
Aspirasi cairan synovial dapat diambil dari lutut yang terkena untuk dipelajari
 Pemeriksaan darah
Tes darah dilakukan untuk menganalisis kehadiran penanda genetic HLA-B27. Gen
ini selalu hadir dalam 75% dari semua pasien Reiter’s Syndrome.
 Pemeriksaan imaging
Pemeriksaan imaging seperti Xray dan MRI sering digunakan pada pasien Reiter’s
Syndrome. Biasanya Xray yang diambil berasal dari tulang pungggung bagian bawah
atau daerah panggul. Sedangkan MRI adalah alat lain yang digunakan dalam
mendiagnosis Reiter’s Syndrome.
f. Terapi
Terapi penyakit ini dengan pemberian NSAIDs, kadang ditambah antibiotika

2.5.4 Erythema Multiform


a. Etiologi
Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas
(Regezi,2003). Dan dianggap suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005) .Dimana terjadi
suatu reaksi kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada
antigen tertentu seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu seperti
barbiturat, sulfonamid.
b. Patogenesis
EM terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks antigen-antibodi (imun) yang
menyebabkan vaskulitis. Faktor-faktor spesifik penyebab vaskulitis kompleks imun adalah
alergi makanan, reaksi terhadap mikroorganisme, radioterapi, penyakit sistemik, dan
keganasan. Beberapa penelitian melaporkan keterlibatan beberapa mikroorganisme sebagai
pencetus EM termasuk virus dan terutama herpes simplex virus (HSV) yang prosentasenya
mencapai 70% pada kasus-kasus yang rekuren. HSV yang mencetuskan terjadinya Erythema
Multiforme disebut herpes associated EM (HAEM). Fragmen DNA HSV pada kulit dan
mukosa merupakan pencetusnya, sel CD4+ mentransport fragmen HSV ke epitelium dan
terjadi akumulasi sel-T yang merespon antigen HSV sehingga terjadilah kerusakan sel-sel. 
Pemakaian obat-obatan juga dapat memicu terjadinya EM, penelitian melaporkan 59%
terjadinya EM oleh karena hal ini. Peningkatan yang tajam terjadi karena penggunaan
cephalosporin. Hal ini dipicu oleh metabolit obat-obatan reaktif dan adanya peningkatan
apoptosis keratinosit oleh karena peningkatan TNF-α yang dirilis oleh keratinosit, makrofag
dan monosit menyebabkan kerusakan jaringan.
Penyebab EM lainnya adalah penggunaan phenytoin dan pemberian terapi radiasi
kranial
Selain itu pada erythema multifore tipe mayor terjadi adanya reaksi hipersensitivitas tipe III
yang diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun). Diikuti dengan
aktivasi komplemen, dan akumulasi limfosit polimorfonuklear. Dimanapun kompleks imun
mengendap akan timbul kerusakan jaringan yang membentuk lesi patologis
EM merupakan hasil dari T-cell mediated immune reactions sebagai agen pencetus
terjadinya cytotoxic immunological attack pada keratinosit yang mengekpresikan non-self
antigen yang kemudian akan terjadi vesikulasi subepitelial dan intraepitelial dan akhirnya
terjadilah blister dan erosi yang meluas.

b. Gambaran Klinis
a. mayor eritmea multiforme
pada tipe EM minor jarang sekali terjadi hanya pada bagian rongga mulut. Lesi berupa
vesikula banyak dan pecah, meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi
pseudomembran putih. Bagian mukosa lainnya seperti genital dan jarang pada konjungtiva.
Pada kulit biasanya muncul makula papula kemerahan paling sering muncul dengan khas
berupa lesi target.
b. Mayor eitema Multiforme
tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak daerah kulit yang
terlibat. Pada mukosa mulut lebih sering pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah
kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecahdan
meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat
pendarahan. Terjadi pada mata, genital, pharing, laryng , esophagus dan bronchial terutama
pada kasus yang sangat parah. Pada kulit lesi ini lebih sering terjadi dengan bentuk lesi merah
yang edematous, melepuh, dan adanya lesi target.
d. Histopatologi
Gambaran mikroskopis EM terdiri dari hiperplasia epitel dan spongiosis. Basal dan
parabasal keratinosit apoptosis biasanya terlihat. Vesikel terjadi antara epitel-jaringan ikat,
sering ditemukan nekrosis epitel. perubahan jaringan ikat biasanya muncul sebagai infiltrat
limfosit dan makrofag dalam ruang perivaskular dan papila jaringan ikat.
Studi Immunopathologic tidak spesifik untuk EM. epitel menunjukkan pewarnaan
negatif untuk imunoglobulin. Namun, pada dinding pembuluh darah menunjukkan IgM,
complemen, dan deposit fibrin. Temuan terakhir ini telah digunakan untuk mendukung
penyebab vaskulitis kompleks imun untuk EM. Autoantibodi untuk desmoplakins 1 dan 2
telah diidentifikasi dalam subset dari EM
e.diagnosis banding
Ketika target, atau iris, lesi kulit yang hadir, diagnosis klinis biasanya langsung. Namun,
dengan tidak adanya ini atau lesi kulit, beberapa kemungkinan harus dipertimbangkan untuk
penyakit ini, karena bisa didiagnosa infeksi primer HSV, ulkus aftosa, pemfigus vulgaris,
pemfigoid membran mukosa, dan lichen planus erosif. lokasi dirongga mulut sering pada
bibir, mukosa bukal, lidah, dan langit-langit (jarang gingiva); ulser yang lebih besar (biasanya
tidak didahului oleh blistter ); terdapat lesi target pada kulit; dan riwayat konsumsi obat baru
atau infeksi harus mendukung diagnosis EM.

f. Terapi
Pada EM minor, pengobatan simtomatik, termasuk menjaga mulut bersih dengan
mulut obat kumur diperlukan. Pada EM mayor , kortikosteroid topikal dengan antijamur
dapat membantu pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid sistemik menjadi
kontraindikasi, terutama sebagai terapi pemeliharaan. Acyclovir pada 400 sampai 600 mg
setiap hari mungkin efektif dalam mencegah kekambuhan pada pasien yang memiliki
penyakit HSV, meskipun khasiat tidak jelas. Faktor pendukung dalam perawatan , seperti oral
irigasi, asupan cairan yang cukup, dan penggunaan antipiretik, dapat memberikan pasien
dengan manfaat yang cukup besar.
2.5.5 Drug Reactions
a. etiologi
Meskipun kulit lebih sering terlibat dalam reaksi negatif terhadap obat, mukosa mulut
terkadang menjadi target terhadap reaksi negatif terhadap obat. Hampir setiap obat memiliki
potensi untuk menyebabkan reaksi yang tak diinginkan. beberapa pasien memiliki
kecenderungan yang lebih besar daripada yang lain untuk bereaksi terhadap obat. Efek
samping obat terhadap mukosa mulut (stomatitis medicametosa) memiliki berbagai
manifestasi termasuk blister, lichen planus like ( lichenoid), lupus like reaction, lesi ulseratif,
erupsi tetap ( edema, eritema).
Patogenesis reaksi obat mungkin berhubungan dengan mekanisme imunologi atau
nonimmunologic. Mekanisme imunologi dipicu oleh komponen antigen (hapten) pada
molekul obat, menghasilkan alergi obat. Potensi alergi obat secara langsung tergantung pada
imunogenisitas obat, frekuensi paparan, cara pemberian (topikal lebih mungkin dibandingkan
oral), dan reaktivitas bawaan dari sistem kekebalan tubuh pasien. Mekanisme yang terlibat
dalam alergi obat termasuk reaksi IgE-mediated, reaksi sitotoksik (antibodi untuk mengikat
untuk obat yang sudah melekat pada permukaan sel), dan sirkulasi kompleks antigen-
antibody.
b. Gambaran Klinis
manifestasi kulit dari reaksi obat secara luas bervariasi. Perubahan mungkin muncul
dengan cepat, seperti pada anafilaksis, angioedema, dan urtikaria, atau setelah beberapa hari
penggunaan obat. Manifestasi termasuk urtikaria, makulopapular ruam, eritema, vesikel, ulser
dan lesi target ( EM)
angioedema adalah reaksi alergi IgE-mediated yang dipicu oleh obat-obatan atau
makanan seperti kacang-kacangan dan kerang. Zat-zat ini dapat bertindak sebagai antigen
yang menimbulkan produksi IgE. Apabila terpapar antigen yang sama, sel mast terikat
dengan IgE pada kulit atau mukosa melepaskan zat zat menyebabkan gambaran klinis dari
angioedema. angioedema herediter menghasilkan perubahan klinis yang sama tetapi melalui
mekanisme yang berbeda. Individu yang mewarisi sifat autosomal dominan.
Angioedema baik didapat atau herediter, muncul sebagai pembengkakan,difuse dan
lembut tanpa rasa sakit, biasanya pada bibir, leher, atau wajah dan tidak ada perubahan
warna. Kondisi ini umumnya reda setelah 1 sampai 2 hari dan bisa kambuh di kemudian hari.
Perawatan darurat mungkin diperlukan jika proses mengarah ke gangguan pernapasan karena
keterlibatan glotis atau laring. Antihistamin dan kortikosteroid digunakan untuk mengobati
bentuk alergi.
Manifestasi oral dari reaksi obat mungkin seperti eritematosa, vesikular, atau ulseratif.
Dapat juga sebagai lichen planus erosif, dalam hal ini mereka dikenal sebagai reaksi obat
lichenoid. Ulkus meluas khas dari EM sering sebagai tanda dari reaksi obat.
c. Histopatologi
Secara mikroskop gambaran dari reaksi obat non spesifik seperti spongiosis,
keratinosit apoptosis, infiltrat limfoid, eosinofil, dan ulserasi. Pola mucositis (yaitu, infiltrasi
limfoid difokuskan pada jaringan epitel-ikat) sering terlihat dalam reaksi alergi mukosa.
d. Diagnosis
Gambaran klinis dan histologis reaksi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik,
diagnosis reaksi obat memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi dan anamnesis yang cermat.
Pencatatan pengunaan obat baru itu penting meskipun reaksi obat tertunda ( sampai 2
minggu). Penghentian penggunaan obat yang dicurigai harus menghasilkan perbaikan, dan
penggantian obat (prosedur yang biasanya disarankan untuk keselamatan pasien) harus
memperburuk kondisi pasien.
e.Terapi
Penghentian pemakaian obat yang diduga sebagai agen penyebab. Antihistamin dan
kadang-kadang kortikosteroid berguna pengelolaan dalam rongga mulut dan erupsi kulit
yang disebabkan oleh reaksi obat.

2.5.6 Contact Allergies


a. Etiologi
Reaksi kontak alergi (stomatitis venenata) dapat disebabkan stimulasi antigen oleh
sejumlah zat asing, termasuk makanan dan agen penyedap, pengawet, produk perawatan
mulut, bahan gigi, dan banyak agen lainnya. Respon imun yang dihasilkan terutama sel T
dimediasi. Pada fase sensitisasi, sel Langerhans epitel tampaknya memiliki peran utama
terhadap antigen. Sel-sel dendritik bertanggung jawab untuk memproses antigen yang masuk
ke epitel dari lingkungan eksternal. Kemudian Sel-sel Langerhans kemudian menyajikan
antigeni ke limfosit T. Sel limfosit T mensekresi mediator kimia inflamasi (sitokin) yang
menghasilkan karakteristik klinis dan perubahan histologis dari proses ini.
b. Gambaran Klinis
Lesi dari kontak alergi berbatasan langsung dengan tempat atau lokasi agen penyebab.
Gambaran bervariasi seperti eritematosa, erosif, vesikular, lichenoid, dan lesi ulseratif.
Cinnamon sebagai etiologi di stomatitis oral kontak. Gambaran attached gingiva sebagai
pita merah terang bilateral.
c. Histopatologi
Secara mikroskopis, epitel dan jaringan ikat menunjukkan perubahan inflamasi.
Spongiosis dan vesiculasi dapat dilihat dalam epitel, dan infiltrat lympho phagocytic
ditemukan dalam jaringan ikat pendukung. pembuluh darah dapat melebar, dan kadang-
kadang eosinofil dapat dilihat.
d. Diagnosis
anamnesi yang tepat untuk mengetahui sebab akibat dari penyakit. Melakukan biopsi
untuk mengkonfirmasi penyebab penyakit. Test patch mukosa mulut sulit dilakukan dan
biasanyanya menunjukkan hasil negatif palsu
e.Terapi
penghilangan agen penyebab dan pengunaan steroid topikal dapat mempercepat
penyembuhan
2.5.7 Wegener’s Granulamatosis
a. Etiologi
Granulomatosis Wegener adalah inflamasi nekrosis vaskulitis necrotizing yang penyebab
pastinya belum diketahui.
b. Gambaran Klinik
keterlibatan tiga organ terdiri dari saluran pernapasan atas, paru-paru, dan ginjal
terlihat dalam kondisi ini. Lesi dapat juga hadir dalam rongga mulut dan kulit dan berpotensi
dalam sistem organ lain. presentasi awal dalam rongga mulut dicatat dalam 6% sampai 13%.
Manifestasi rongga mulut mengambarkan mukosa palatal berbentuk cobblestone terasa sakit
dan gingiva (hiperplastik, perubahan granular) ( "strawberry gingivitis").
granulomatosis Wegener sering dikaitkan dengan manifestasi pada kepala dan leher,
seperti pembengkakan kelenjar parotis, edema wajah, sinusitis, rhinorrhea, hidung tersumbat,
dan epistaksis. Dalam kebanyakan kasus, terdapat ulserasi pada hidung atau sinus (biasanya
maksilaris). Nekrosis dan perforasi septum nasal atau palatum yang kadang-kadang terlihat.

c. Histopatologi
Dasar proses patologis yaitu granulomatous dengan karekteristik necrotising
vasculitis. Nekrosis dan multinucleated giant cells mungkin tampak pada area granulomatous.
d. Diagnosis
Diagnosis umumnya tergantung pada biopsi dari jaringan saluran pernapasan atas, lesi
paru dan ginjal. Ditemukan inflamasi granulomatosa dan necrotizing vasculitis. Pemeriksaan
imunofluoresensi antibodi sitoplasma antineutrophil (cANCAs) diperlukan untuk diagnosis.
e.Terapi
Penggunaan siklofosfamid agen sitotoksik dikombinasikan dengan kortikosteroid
( prednisone) telah memberikan pasien menderita dengan prognosis yang relatif
menguntungkan.
2.5.8 Midline Granuloma
Midline granuloma/extranodal NK/T-cell lymphoma merupakan proses kerusakan
agresif unifocal umumnya di garis tengah oronasal.
b. Gambaran Klinis
Lesi muncul secara klinis sebagai ulkus nekrotik yang progresif dan nonhealing.
Perluasan melalui jaringan lunak, tulang rawan, dan tulang. Perforasi nasal septum dan
palatum keras juga dapat dilihat. Secara klinis, diagnosis banding penyakit ini yaitu
granulomatosis Wegener, penyakit menular, dan karsinoma karena penyakit penyakit ini
menunjukkan gambaran klinis lesi destruktif dari midline hidung dan palatal
c. Histopatologi
Secara mikroskopi proses muncul sebagai inflamasi akut dan kronis pada sebagian
jaringan nekrotik. peradangan Angiocentric merupakan temuan umum dan khas (banyak
limfoma / T-sel NK).
d. Diagnosa
Diagnosa dilakukan biopsi dan pemeriksaan immunologi
e.Terapi
radiasi dan kemoterapi

2.6 Neoplasma
2.6.1 Squamous Cell Carcinoma 
Squamous Cell Carcinoma atau disebut juga Karsinoma Sel Skuamosa merupakan
kanker yang sering terjadi pada rongga mulut yang secara klinis terlihat sebagai plak
keratosis, ulserasi, tepi lesi yang indurasi, dan kemerahan.

a. Epidemiologi
Karsinoma sel skuamosa merupakan salah satu dari 10 jenis kanker yang paling sering
terjadi di seluruh dunia, dengan insidensi pada pria 5% dan wanita 2%. Karsinoma sel
skuamosa pada rongga mulut pada umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun. Di Amerika
Serikat prevalensi kanker mencapai 34.000 kasus baru per tahun.

b. Etiologi 
Karsinoma sel skuamosa adalah multifaktorial dan membutuhkan suatu proses
multipel. Perubahan dan terganggunya DNA dapat menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya kanker. Sebuah penelitian mengindikasikan virus seperti Herpes Simplex
Virus dan Papilloma Virus berperan dalam proses tersebut. Namun penyebab pasti dari
kanker masih belum jelas, tetapi faktor-faktor pendukung dapat merangsang terjadinya
kanker. Faktor-faktor tersebut digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu faktor internal
(herediter dan faktor pertumbuhan) dan faktor eksternal (bakteri, virus, jamur, bahan kimia,
obat-obatan, radiasi, trauma, panas, dingin, dan diet). Faktor-faktor tersebut dapat berperan
secara individual atau berkombinasi dengan faktor lain sehingga dapat mencetuskan kanker.
1. Tembakau dan Alkohol

75% dari seluruh kanker mulut dan faring di Amerika Serikat berhubungan dengan
penggunaan tembakau yaitu termasuk merokok dan mengkonsumsi alkohol. Penggunaan
alkohol dengan rokok bersama-sama secara signifikan memiliki resiko yang lebih tinggi
daripada digunakan secara terpisah. Merokok cerutu dan merokok menggunakan pipa
mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap kanker mulut dibandingkan dengan merokok
kretek. 

2. Bahan Kimia
Sebagian besar bahan-bahan kimia berhubungan dengan terjadinya kanker. Bahan-
bahan yang dapat menimbulkan kanker di lingkungan antara lain, seperti cool tar, polycylic
aromatic hydrocarbons, aromatic amines, nitrat, nitrit, dan nitrosamin. 

3. Infeksi
Beberapa mikroorganisme yang berhubungan dengan kanker mulut adalah candida
albicans. Hubungan antara candida albicans dengan penyakit speckled leukoplakia pertama
kali ditemukan oleh Jespen dan Winter pada tahun 1965. Beberapa studi menunjukkan
bahwa, sekitar 7-39% dari leukoplakia dijumpai adanya candida hyphae. Penyakit ini
mempunyai kecenderungan berubah menjadi kanker. 

4. Nutrisi
Pola diet makanan sangat berpengaruh terhadap timbulnya kanker. Defisiensi dari beberapa
mikronutriensi seperti vitamin A, C, E, dan Fe dilaporkan mempunyai hubungan dengan
terjadinya kanker. Vitamin-vitamin tersebut mempunyai efek antioksidan. Defisiensi zat besi
yang menyebabkan anemia. Radiasi sinar ultraviolet adalah suatu bahan yang diketahui
bersifat karsinogenik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Takeichi dkk, (1983)
terhadap efek radiasi di Hiroshima dan Nagasaki Jepang, melaporkan bahwa terjadi
peningkatan insidensi kanker kelenjar ludah pada orang yang selamat setelah terkena radiasi
bom atom pada periode antara 1957-1970, terjadinya kanker 2,6 kali lebih tinggi
dibandingkan yang tidak terkena radiasi. 

5. Faktor genetik
Seseorang yang memiliki riwayat keluarga menderita kanker memiliki risiko terkena kanker
sebanyak 3 sampai 4 kali lebih besar dari yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita
kanker. 
6.Sistem Kekebalan Tubuh

Dilaporkan bahwa ada peningkatan insidensi kanker pada pasien yang mendapat
penekanan sistem kekebalan tubuh, seperti pada penderita transplantasi, AIDS, dan defisiensi
kekebalan genetik. Insidensi tumor pada pasien yang mendapat tekanan sistem kekebalan
tubuh sebesar 10%. Gangguan sistem kekebalan selain disebabkan kerusakan genetik juga
disebabkan oleh penuaan, obat-obatan, infeksi virus.

c. Histopatologis
Secara histologis karsinoma sel skuamosa menunjukkan proliferasi sel-sel epitel skuamosa.
Terlihat sel-sel yang atipia disertai perubahan bentuk rete peg processus, pembentukan
keratin yang abnormal, pertambahan proliferasi basaloid sel, susunan sel menjadi tidak
teratur, dan membentuk tumor nest (anak tumor) yang berinfiltrasi ke jaringan sekitarnya atau
membentuk anak sebar ke organ yang lain.

d.Gambaran Klinis
Nodula berwarna seperti kulit normal, permukaannya halus tanpa ada krusta atau
ulkus dengan tepi yang berbatas kurang jelas. Nodula kemerahan dengan permukaan yang
papilomatosa atau verukosa, menyerupai bunga kol. Ulkus dengan krusta pada
permukaannya, tepi meninggi, berwarna kuning kemerahan. Dalam perjalanan penyakitnya
lesi akan meluas dan mengadakan metastase ke kelenjar limfe regional atau organ-organ
dalam.

- Karsinoma pada bibir


Karsinoma pada bibir bawah lebih sering terjadi daripada bibir atas. Penyebab yang paling
penting adalah sinar UV dan merokok menggunakan pipa. Lesi ini berkembang dari
vermillion dan tampak sebagai ulkus kronis yang tidak sembuh.
- Karsinoma pada lidah
SCC pada lidah merupakan keganasan yang palig sering terjadi pada rongga mulut,
dengan persentase 25-40%. Karsinoma pada lidah bersifat asimtomatik pada awalnya.
Pada tahap akhir, terjadi invasi yang dalam menyebabkan timbulnya rasa nyeri atau
disfagia. Selain itu, timbul ulkus yang tidak sembuh, indurasi, dapat berupa lesi berwarna
merah, putih, atau sebagai lesi berwarna merah-putih. Lokasi yang paling banyak terlibat
pada SCC lidah adalah bagian posterior-lateral lidah (45%). Lesi sangat jarang ditemukan
pada dorsum lidah atau ujung lidah.
- Karsinoma pada dasar mulut
Dasar mulut merupakan lokasi kedua yang paling sering pada SCC (15-20%). Karsinoma
ini lebih sering muncul pada laki-laki yang merokok dan peminum kronis. Ulkus yang
timbul tidak sakit, tidak sembuh, dan indurasi, dengan gambaran berupa patch berwarna
outih atau merah. Lesi ini umumnya terletak pada dasar lidah yang menyebabkan
berkurangnya pergerakan lidah. Metastase ke limfonodi submandibula sering ditemukan
pada SCC dasar lidah.

- Karsinoma pada mukosa bukal dan gingiva


Gambaran klinis ulkus pada SCC ini adalah patch berwarna putih, tidak sembuh, dan
eksofitik. Lesi ini tumbuh lambat dan jarang metastase, serta memiliki prognosis yang
cukup baik.
- Karsinoma pada palatum
Sangat jarang terjadi pada palatum durum. Lesi yang timbul bersifat asimtomatik, dengan
plak berwarna merah atau putih; atau berupa massa yang terulserasi dan mengalami
keratosis.
e.Diagnosa
Pemeriksaan intra oral dilakukan untuk mengamati secara klinis adanya kelainan atau
anomali pada daerah mulut. Biopsi dilakukan bila ditemukan lesi yang dicurigai, maka dapat
dilakukan biopsi untuk melihat gambaran secara mikroskopis. Gambaran histopatologis pada
karsinoma sel skuamosa telah dijelaskan pada sub bab histopatologis karsinoma sel
skuamosa.

f. Terapi

Tujuan utama terapi kanker mulut adalah kontrol dari kanker primer. Pemilihan
perawatan tegantung dari beberapa sebab yaitu tipe sel dan derajat diferensiasi, bagian yang
terlibat ukuran serta lokasi dari kanker primer, keterlibatan jaringan getah bening, ada
tidaknya keterlibatan tulang, kemampuan tercapainya tepi kanker pada waktu operasi,
kemampuan mempertahankan fungsi komunikasi, kemampuan mempertahankan fungsi
menelan, status fisik dan mental pasien, komplikasi yang mungkin terjadi, kerjasama pasien.
Secara umum perawatan kanker mulut biasanya dilakukan dengan pembedahan dan
radioterapi. Lesi kecil seperti Karsinoma stadium I dan stadium II dapat diobati dengan
pembedahan saja, pengobatan dengan radiasi ditunda bila terjadi kekambuhan. Lesi yang
besar seperti lesi stadium III dan stadium IV biasanya diobati dengan pembedahan dan diikuti
dengan radiasi. Diseksi pada leher yang efektif atau bersifat profilaksis yang sering
dihubungkan dengan pilosofi primer bedah. Stadium II dan lesi yang lebih besar sering
dilakukan diseksi pada leher. Dosis radiasi yang diperlukan untuk pengobatan karsinoma sel
skuamosa yang berhasil baik metode primer atau tambahan terentang antara 4000 sampai
7000 rads. Dosis radiasi yang dapat mematikan tumor memberikan efek samping sementara
termasuk ulserasi mukosa, nyeri, disgeusia, kandidiasis, dermatitis, alopesia, dan eritema
kulit. Sementara efek samping yang permanen adalah xerostomia dengan karies servikal tipe
radiasi, telangiektasia kulit, atrofi mukosa mulut dan kulit, alopesia permanen, dan osteoradio
nekrosis.

g. Prognosis
Kanker yang berlokasi di daerah bibir bawah mempunyai prognosis yang baik, sebab
mudah terlihat dan dapat dikenali pada tahap awal. Kebalikannya kanker yang sulit dilihat
secara klinis dan sulit dalam pemeriksaan langsung atau mempunyai gejala yang lambat
mempunyai prognosis yang kurang baik. Contohnya kanker yang berada pada dasar lidah
atau dinding tonsil. Terjadi maupun tidak terjadinya metastase, derajat diferensiasi, dan
tingkatan diferensiasi menentukan prognosis dari kanker mulut. Kanker yang berlokasi pada
dasar mulut atau palatum lunak sering bermetastase secara bilateral di daerah leher dan lebih
sulit dalam perawatannya dibandingkan dengan kanker yang berlokasi di depan dasar mulut,
yang cenderung hanya bermetastase secara unilateral di daerah leher. Karsinoma sel
skuamosa pada bibir bawah mempunyai prognosis yang paling baik dari seluruh kanker yang
ada di dalam rongga mulut. Karsinoma yang berada dipermukaan samping dari lidah
mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada yang berlokasi pada permukaan belakang
lidah. Pada intinya prognosis penderita karsinoma rongga mulut tergantung dari beberapa
faktor, yaitu ukuran kanker, daerah atau lokasi dari kanker primer, ada/tidaknya keterlibatan
jaringan limfa, ada/tidaknya metastase jauh dari kanker primer.

2.6.2 Carcinoma of the maxillary


a. etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, namun beberapa peneliti menyakini terdapat faktor
predisposisi seperti sinusitis kronis dan fistula oro antral.

b. Gambaran Klinis

Gambaran penyakit ini yaitu adanya riwayat sinusitis, rasa sakit tumpul bisa
berkembang jadi lebih parah dan rasa sakit pada apek gigi posterior rahang atas. Adanya
keterlibatan tulang alveolar yang menyebabkan gigi maloklusi, bergesernya gigi dan
mobilitas dari gigi. Adanya kegagalan penyembuhan soket gigi paska ekstraksi, parastesis,
terdapat ulkus pada palatum dan massa pada palatum.

c. Histopatologi

mirip karsinoma sel skuamosa dengan diferensiasi lesi tidak begitu.

d. Diagnosa Banding

Karsinoma antrum, Myeloma cell plasma, Osteosarkoma, Adenokarsinoma dan Limfoma

e. Terapi dan Prognosa


Terapi penyakit ini yaitu tindakan bedah dan terapi radiasi. Prognosa cukup baik, prognosa
dipengaruhi oleh stadium klinis, area tang terlibat.

Anda mungkin juga menyukai