Anda di halaman 1dari 35

KEWARGANEGARAAN

“Dinamika Historis Konstitusional dan Sosial Politik di Indonesia”

Disusun oleh:
Kelompok 5
1. Jelita Natania Damo (211011030039)
2. Sartika Salayar (211011030031)
3. Syifa Salsabila (211011030005)
4. Francisca Mandas (211011030023)
5. Vinda Ristia Nina (211011030014)
6. Cristhina Embong Bulan (211011030034)
7. Chintya Araman (211011030081)
8. Valiant Katopo (211011030089)
9. Jesen Maabuat (211011030082)
Dosen Pengampuh :
Dr. Marina F. O. Singkoh, S.Pi, M.Si

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan Karunia dan lindungan-Nya disertai keteguhan dan kesabaran hati, begitu
besar rasa syukur yang di rasakan, karena berkat Rahmat-Nyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Dinamika Historis Konstitusional dan Sosial Politik di Indonesia”
dengan baik. Makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewarganegaraan.

Dalam penyususan Makalah ini tentu tak lepas dari pengarahan dan bimbingan dari
dosen penanggung jawab mata kuliah kewarganegaraan, Dr. Marina F. O. Singkoh, S.Pi,
M.Si. Serta kerja kelompok dalam tim dan bantuan narasumber yang sangat bermanfaat
untuk penyusunan laporan studi kasus ini.

Dengan rasa rendah hati kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi penyajian, penulisan dan penggunaan tatah Bahasa. Oleh karena itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk perbaikan dimasa yang
akan datang. Walaupun demikian kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Manado, 16 April 2022

Kelompok 1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................5
1.3 Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................6

2.1 Konteks dan Peran Konstitusi.........................................................................................6


2.2 Dinamika Perkembangan Konstitusi Republik lndonesia.............................................7
2.3 Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen............9
2.4 Sosial Poilitik di Indonesia.............................................................................................14
BAB III PENUTUP........................................................................................................................32

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................32
3.2 Saran...............................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................34
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan pendidikan kewarganegaraan di manapun umumnya bertujuan untuk
membentuk warga negara yang baik (good citizen). Kita dapat mencermati Undang-
Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 Ayat (1) huruf b yang
menyatakan bahwa kurikulum Pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
pendidikan kewarganegaraan. Demikian pula pada ayat (2) huruf b dinyatakan bahwa
kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan kewarganegaraan. Bahkan
dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lebih eksplisit dan tegas
dengan menyatakan nama mata kuliah kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib.
Dikatakan bahwa mata kuliah kewarganegaraan adalah Pendidikan yang mencakup
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika untuk membentuk
mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Salah satu tujuan negara RI adalah “melindungi warga negara atau menjaga
ketertiban” selain berupaya mensejahterakan masyarakat. Dalam tujuan negara
sebagaimana dinyatakan diatas, secara eksplisit dinyatakan bahwa “negara
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum,dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta
melaksanakan ketertiban dunia Agar negara dapat melaksanakan tugas dalam bidang
ketertiban dan perlindungan warga negara, maka disusunlah peraturan-peraturan yang
disebut peraturan hukum. Peraturan hukum mengatur hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia lainnya, di samping mengatur hubungan manusia atau warga
negara dengan negara, serta mengatur organ-organ negara dalam menjalankan
pemerintahan negara.
Indonesia adalah negara hukum, artinya negara yang semua penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan serta kemasyarakatannya berdasarkan atas hukum,
bukan didasarkan atas kekuasaan belaka.
Penegakan hukum di Indonesia dipandang masih lemah. Dalam beberapa
kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum. Rasa keadilan masyarakat
pun belum sesuai dengan harapan. Sebagian masyarakat bahkan merasakan bahwa
aparat penegak hukum sering memberlakukan hukum bagaikan pisau yang tajam ke
bawah tetapi tumpul ke atas. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus bahkan telah
menjadi suatu yang dibenarkan atau kebiasaan maka tidak menutup kemungkinan
akan terjadi revolusi hukum. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini adalah menghadapi persoalan penegakan hukum di tengah
maraknya pelanggaran hukum di segala strata kehidupan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana konteks konstitusional yang ada di Indonesia?
2) Bagaimana sosial politik di Indonesia?
3) Bagaimana Perkembangan Kedudukan Lembaga-lembaga negara di Indonesia?
4) Bagaimana dinamika perkembangan kontitusional di Indonesia?
5) Bagaimana dinamika perkembangan sosial politik di Indonesia?
6) Seberapa berpengaruh sosial politik dalam dinamika perkembangan
konstitusional?

1.3 Tujuan
1) Dapat memahami dinamika konstitusional dan sosial politik yang ada di
Indonesia.
2) Mengetahui perkembangan kedudukan lembaga-lembaga negara di Indonesia
3) Mengetahui pengaruh sosial politik bagi dinamika konstitusional.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konteks dan Peran Konstitusi


Suatu konstitusi memuat semacam “power map” yang merumuskan bagaimana organ
dan sistem kekuasaan berkerja. Secara umum suatu konstitusi terdapat beberapa hal penting
yang lazim diatur, yaitu:

1. Rumusan mengenai cita-cita, tujuan dan hal-hal yang berkaitan cara pencapaiannya,
selain mengenai simbol, lambang, batas dan letak negara:

2. Hal-hal yang berkaitan dengan hak dasar atau prinsip hak asasi manusia yang menjadi
hak dari setiap warga negara yang wajib dilindungi oleh negara;

3. Pokok pikiran dan perumusan mengenai sistem hukum, sistem kekuasaan dan
pemerintahan, paham demokrasi serta sistem dan mekanisme check and balances
kekuasaan;

4. Pengaturan mengenai organ, peran dan lingkup kewenangan dari instrumen kekuasaan.
Oleh karena itu akan dirumuskan apa saja organ dan instrumen penting kekuasaan
negara, apa saja tugas dan wewenang suatu lembaga negara, bagaimana mekanisme dan
tata hubungan antara suatu organ dengan instrumen lainnya dalam membentuk sistem
kekuasaan;

5. Prosedur atau tata cara dan mekanisme yang mengatur hubungan, pelaksanaan dan
pengusahaan hal penting tertentu di dalam negara seperti: pengelolaan sumber daya
alam dan mengatur mekanisme pemilihan kepala pemerintahan;

Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikemukakan secara tegas
pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan Pasal 1
ayat (2) menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang
Undang Dasar”.

Negara hukum yang didasarkan atas kedaulatan rakyat tersebut adalah dasar suatu sistem
dari Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mempunyai tujuan “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan ... dan keadilan sosial ...” sesuai dengan pembukaan konstitusi.

Uraian di atas menegaskan, bahwa negara hukum harus didasarkan pada kedaulatan
rakyat dan ditujukan untuk kepentingan perlindungan segenap bangsa serta mewujudkan
kesejahteraan. Konsep, kerangka teoritik, serta prinsip negara hukum yang antara lain
meliputi: asas legalitas, persamaan dalam hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan hak
asasi, peradilan yang bebas dan tidak memihak seyogianya ditujukan untuk melindungi
kepentingan rakyat.

2.2 Dinamika Perkembangan Konstitusi Republik lndonesia


Menurut KC Wheare (12B), secara umum proses Amandemen dalam sebagian besar
Konstitusi Modem dimaksudkan untuk melindungi satu atau lebih dari empat tujuan berikut:
1) Konstitusi hanya boleh diubah dengan pertimbangan yang matang, dan bukan karena
alasan sederhana atau secara serampangan;
2) Rakyat mesti diberi kesempatan mengemukakan pendapat mereka sebelum dilakukan
perubahan;
3) Dalam sistem federal, kekuasaan unit-unit dan pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh
satu pihak;
4) Hak individu atau masyarakat misalnya hak minoritas bahasa,agama,atau kebudayaan
mesti dilindungi.

Di Indonesia sendiri telah tercatat beberapa upaya dalam hal konstitusi diantaranya:

1). Pembentukan Undang-Undang Dasar;


2). Penggantian Undang-Undang Dasar;
3). Perubahan Undang-Undang Dasar dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar.

Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional


amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama
masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan
adendum/sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen
merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli.
Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya
kembali UUD 1945 sampai dengan amandemen UUD 1945 I, II , III, IV, banyak pasal yang
diamandemen. Para penyusun UUD 1945 menyadari bahwa UUD 1945 disusun dalam waktu
yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan untuk
penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru.

Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia
kembali memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD 1945, tetapi
UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai banyak.
Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945
sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan
“staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi,
Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan
kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang
terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD 1945 sebagai sandaran.

Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum
yang mengatur tata cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan
sosial yang dominan pada saat-saat tertentu. Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam
UUD 1945 masih berlaku, dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak
dicapai tidak ada lagi/waktunya sudah lampau. Demikian pula aturan tambahan, sebagai
aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945.

Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu


perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam
konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum
dalam UUD 1945 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah
UUD yaitu MPR. Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia
sebagai berikut:

1. Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota MPR.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-
kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

2.3 Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen


Kedudukan lembaga – lembaga negara sebelum amandemen terdiri dari :

a. MPR
Sebelum amandemen UUD 1945, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
menjadi lembaga tertinggi negara. Di bawah ini, merupakan tugas dan wewenang MPR:
 Membuat putusan yang tidak bisa ditentang oleh lembaga lain, termasuk
menetapkan Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pelaksanaannya
dimandatkan pada Presiden.
 Mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
 Meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden mengenai pelaksanaan
GBHN.
 Memberhentikan presiden jika yang bersangkutan melanggar GBHN.
 Mengubah Undang - Undang Dasar.
 Menetapkan pimpinan majelis yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.
 Memberikan keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah anggota MPR.
 Menetapkan peraturan tata tertib Majelis.
 Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan
Majelis.
b. Presiden
Sebelum amandemen UUD 1945, Presiden merupakan lembaga negara yang
mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden
menjabat sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Pada saat sebelum
amandemen, Presiden diangkat oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR.
Selain itu, tidak dijelaskan adanya aturan mengenai batasan periode jabatan seorang
Presiden dan mekanisme yang jelas tentang pemberhentian Presiden dalam masa
jabatannya. Sebelum adanya amandemen Presiden mempunyai hak prerogatif yang
besar.
Ada beberapa wewenang dan tugas dari Presiden sebelum amandemen, yaitu:
 Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - undang dalam situasi
yang memaksa.
 Menetapkan Peraturan Pemerintah.
 Mengangkat dan memberhentikan menteri - menteri
 Memegang posisi dominan sebagai mandatori MPR.
 Memegang kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan juga yudikatif.
 Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.

c. DPR
Sebelum amandemen UUD 1945, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Karena, anggota
DPR merupakan Anggota Partai Politik peserta Pemilu yang dipilih oleh rakyat dan
DPR tidak bertanggung jawab terhadap Presiden. Sebelum adanya amandemen, tugas
dan wewenang DPR seperti di bawah ini:
 Mengajukan rancangan undang-undang
 Memberikan persetujuan atas Peraturan Perundang-undangan (Perpu).
 Memberikan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
 Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa.

d. DPA
Sebelum amandemen UUD 1945, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ini
fungsinya yaitu memberikan masukkan atau pertimbangan kepada Presiden. DPA
dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 1945 sebelum amandemen. Tugas dan wewenang
DPA seperti di bawah ini:
 Pada Ayat 2 pasal ini menyatakan, jika DPA berkewajiban memberi jawaban
atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah.
 Pada penjelasan Pasal 16 disebutkan jika DPA berbentuk Council of State yang
wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah.

e. BPK
Sebelum amandemen Undang - Undang Dasar 1945, tidak banyak dijelaskan
mengenai BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan). Tapi, ada beberapa tugas dan
wewenang dari BPK sebelum amandemen, yaitu:
 Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN)
dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan
DPD serta ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum.
 Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen
yang bersangkutan ke dalam BPK.

f. MA
Sebelum amandemen Undang - Undang Dasar 1945, kekuasaan kehakiman ini
dilakukan hanya oleh Mahkamah Agung (MA). Lembaga mahkamah agung ini sifatnya
mandiri dan juga tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan
lainnya. Tugas dan wewenang MA sebelum amandemen, di antaranya adalah:
 Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk memberikan grasi
dan rehabilitasi.
 Menguji peraturan perundang-undangan.
 Mengajukan tiga orang hakim konstitusi.
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi.
Kedudukan lembaga-lembaga negara pasca amandemen :
1. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
MPR adalah lembaga tinggi negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi
negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK. Pasca perubahan UUD
1945 keberadaan MPR telah sangat jauh berbeda dibandingkan sebelumnya. Kini MPR
tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat dan tidak lagi berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negada dengan kekuasaan yang sangat besar, termasuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tugas dan wewenang MPR adalah mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden
berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR, dan memutuskan usul
DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
2. Presiden
Berbeda dengan sistem pemilihan Presiden dan Wapres sebelum adanya amandemen
dipilih oleh MPR, sedangkan setelah adanya amandemen UUD 1945 sekarang
menentukan bahwa mereka dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon
Presiden dan Wapres diusulkan oleh Parpol atau gabungan parpol peserta pemilu.
Presiden tidak lagi bertanggung jawab terhadap MPR, melainkan langsung kepada
rakyat. Presiden dan Wapres dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatannya.
3. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Tugas dan wewenang DPR pasca amandemen UUD 1945:
 Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
 Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang.
 Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan
DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam
pembahasan.
 Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-Undang APBN
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
 Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD.
 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran
pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah.
DPR tidak mengambil dan memproses keputusan terhadap pendapat sendiri, melainkan
mengajukannya kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan mencetuskan pendapat
yang berisi dugaan DPR itu.
4. DPD (Dewan Perwakilah Daerah)
DPD adalah lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan
kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelat ditiadakannya
utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sevagai anggota MPR. Fungsi DPD:
 Pengajuan usul.
 Ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan
bidang legislasi tertentu.
5. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
BPK adalah lembaga tinggi negara yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang bebas dan mandiri. BPK berwenang
mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD)
serta meyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD yang ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum.
6. MA (Mahkamah Agung)
Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman,
yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Kewajiban dan wewenang MA:
 Mengadili pada tingkat kasasi.
 Menguji peraturan per undang-undangan di bawah Undang-Undang.
 Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
 Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
 Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan
rehabilitasi.
7. MK (Mahkamah Konstitusi)
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan MA, yang
dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
Wewenang MK:
 Menguji UU terhadap UUD.
 Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara.
 Memutus pembubaran partai politik.
 Memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut
UUD.
8. KY (Komisi Yudisial)
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang
bersifat mandiri dan berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon
Hakim Agung.
Wewenang KY:
 Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan.
 Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
 Menjaga Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)bersama-sama
dengan MA.

2.4 Sosial Poilitik di Indonesia


2.4.1 Pengertian Sosial Politik
Istilah sosial politik terdiri berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan
politik. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat, kelompok –
kelompok sosial, dan tingkah laku individu baik individual maupun kolektif
dalam konteks sosial. Politik adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan
sebagai konsep inti. Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa sosiologi
politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, dan komando
di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat
nasional.
Sosial dan politik mempunyai hubungan dan ketekaitan yang sangat
erat. Seperti yang kita ketahui, bahwa dunia politik pasti berkenaan dengan
dunia sosial masyarakat. Masyarakat menjadi penghubung antara sosial dan
politik itu sendiri. Di dalam kegiatan politik, kita tidak bisa lepas dari
partisipasi masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi pelaku politik
tersebut. Begitu juga sebaliknya, dalam kehidupan sosial kita tidak bisa
lepas dari unsur – unsur politik.
Istilah sosial dan politik sudah dikenal oleh bangsa Indonesia sejak lama.
Untuk urusan politik, Indonesia sudah melakukan banyak sekali kegiatan
politik sejak kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia telah
mencatat sebanyak tiga fase pemerintahan, yaitu Demokrasi Terpimpin atau
Orde Lama yang dilaksanakan sejak kemerdekaan Indonesia di bawah
kepemimpinan Ir. Soekarno, kemudian Orde Lama yaitu pada masa
kepemimpinan Soeharto, dan Era Reformasi yang dimulai sejak lengsernya
Soeharto pada tahun 1998.
Ketiga fase tersebut telah menorehkan berbagai macam sejarah baik
dan buruk yang membentuk dan membekas di era reformasi sekarang ini.
Pergantian fase itu sebenarnya adalah bertujuan untuk Indonesia yang lebih
baik. Seluruh sistem pemerintahan di Orde Lama yang tidak sesuai dengan
rakyat Indonesia telah diubah. Namun terlepas dari itu semua, sebagai
negara multikultur dan masyarakatnya yang sangat dinamis, Indonesia tidak
bisa terlepas dari berbagai permasalahan khususnya dalam dunia
perpolitikan.

2.4.2 Dinamika Historis Sosial Politik


Keruntuhan komunisme pada tahun 1989 menjadi momentum yang
krusial bagi demokrasi sebagai sebuah sistem politik untuk menyebarkan
pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Sebagai sebuah konsep, demokrasi
mempunyai makna yang luas dan juga kompleksitasnya sendiri. Penulis ini
ingin menjelaskan varian dari demokrasi terutama debat antara demokrasi
liberal dengan demokrasi sosial. Selain itu, penulis juga menjelaskan praktek
demokrasi di Indonesia setelah era reformasi 1998 dan menunjukkan
masalah yang dihadapi oleh negara ini dalam menciptakan masyarakat yang
demokratis. Istilah demokrasi pada dua dasawarsa terakhir, khususnya di
berbagai negara berkembang kian populer, baik pada tingkat wacana
maupun aras gerakan sosial politik. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi
telah menempati stratum teratas yang diterima oleh banyak negara karena
dianggap mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik,
baik yang melibatkan kepentingan antar individu dalam masyarakat,
hubungan antar masyarakat, masyarakat dan negara maupun antar negara di
dunia. Ambruknya ideologi komunisme Uni Soviet tahun 1989, setidaknya
telah menjadi momentum penting bagi perluasan demokrasi sebagai wacana
pilihan sistem politik. Kepopuleran demokrasi sebagai ideologi politik
secaracepat menyebar oleh berkembangnya wacana kritis yang sebagian
besar mengungkapkan kegagalan praktek otoritarianisme. Hadirnya
demokrasi seakan telah menjadi hal berarti dan nyata mengatasi masalah
sosial politik yang selama ini diderita berbagai negara. Sebagai sebuah
konsep, demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen
yang kompleks. Demokrasi adalah suatu metode politik, sebuah mekanisme
untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberi kesempatan untuk
memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing
meraih suara (David Lechmann, 1989).
Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada
masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi. Jadi dengan kata lain dapat
diungkap bahwa demokrasi adalah suatu metode penataan kelembagaan
untuk sampai pada keputusan politik, dimana individu meraih kekuasaan
untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam meraih
suara. Namun demikian, proses kompetisi itu harus tetap dibingkai oleh
etika normatif yang mengarah pada terjadinya equlibrium sosial. Dalam
demokrasi kesantunan politik harus tetap dijaga. Konsep liberalisasi yang
melekat pada ideologi demokrasi musti diartikan sebagai sebuah masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab, yaitu masyarakat yang memiliki aturan
main yang jelas sehingga si kuat tidak menindas si lemah. Ini dapat terjadi
kalau ada hukum yang mengatur segala bentuk permainan, baik politik,
ekonomi, dan kebudayaan. Aturan main itu hendaknya menjamin pemberian
ruang gerak atau kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
melakukan aktifitas kehidupannya. Aturan main yang sudah dirumuskan dan
dituangkan dalam bentuk hukum tersebut seyogyanya dihormati oleh setiap
aktor sosial dalam segala tingkat dan kapasitas. Dengan kata lain, baik itu
penguasa, pemerintah, pengusaha dan rakyat kebanyakan semuanya harus
hormat dan tunduk pada hukum (aturan main). Barang siapa yang
menyimpang dari aturan main atau barang siapa yang mencoba
memanipulasi aturan main dapat ditindak melalui lembaga peradilan tanpa
pandang bulu. Kalau kesadaran akan logika demokasi seperti itu sudah
melembaga dan diinternalilasi oleh individu setiap anggota masyarakat,
maka liberalisme sebagai “roh demokrasi” justru akan mendatangkan
harmoni dan kemajuan peradaban. Kebebasan berusaha (free enterprise),
kebebasan bersaing (free fight), kebebasan bersuara dan kebebasan memilih
afiliasi politik justru tidak akan mendatangkan kekacauan tetapi
kesejahteraan sosial. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa kemajuan
masyarakat terjadi kalau semua aktor sosial sadar akan aturan main tersebut.
Seandainya salah satu pihak melanggar aturan main dalam praktekpolitik
khususnya penunjang kekuasaan maka konsep liberalisme akan tereduksi
dalam faham Darwinisme (Mangunwijaya,1994).
Dalam faham Darwinisme tersebut konsep liberalisme dimaknai sebagai
kebebasan yang tanpa batas, barang siapa yang kuat maka dialah yang akan
eksis atau “survival of the fittest”. Dalam faham ini orang boleh ngomong
semaunya sendiri, partai boleh melakukan demagogi hingga kapasitas
maksimum, kekuatan politik boleh bertindak apa saja. Sehingga yang
muncul bukan equilibrium sosial tapi kondisi yang chaos. Dalam konteks
masyarakat yang sedang membangun dan memberdayakan rakyatnya bukan
konsep liberalisme dalam pengertian Darwin ini yang perlu di introdusir,
namun pengertian liberalisme dalam bingkai kesantunan dan kemaslahatan
yang harus diadopsi dan dipelajari. Dengan suasana liberalisasi yang
kondusif ini maka negara akan dapat menjalankan ideologi demokrasinya
secara lebih tertata dan konstruktif. Negara demokrasi ini akan dapat
mengambil keputusan-keputusan dasar pemerintahannya yang tergantung
sepenuhnya pada persetujuan bebas dari yang diperintah. Keterbukaan akan
kritik juga merupakan syarat dari negara tipe ini, sehingga aspirasi
masyarakat lapis bawah dapat mencuat ke permukaan dan digunakan
sebagai landasan kebijakan pemerintah demi kemakmuran nasional. Institusi
politik yang liberal merupakan syarat mutlak dari negara yang menyebut
dirinya sebagai negara demokratis. Liberalisasi atau demokratisasi
merupakan dua hal yang secara total hidup dan berkembang di masyarakat.
Demokrasi tidak dapat berjalan in vacuum, maksudnya demokrasi tidak
dapat terjadi hanya pada sektor kehidupan politik saja, sementara sektor-
sektor kehidupan lainnya tidak demokratis. Atau liberalisasi tidak dapat
hanya berlaku dalam bidang ekonomi saja, sementara bidang politik tidak
mengalami liberalisasi (David Held, 1987).
Jadi dalam ideologi demokrasi responsifitas pemerintah terhadap
preferensi warga negaranya yang setara secara politis harus menjadi dasar
pijakannya, oleh karena itu maka negara memiliki kewajiban dalam
memberikan peluang dan kesempatan bagi warganya untuk:
1) Merumuskan preferensinya
2) Menunjukkan preferensi- nya pada warga negara dan pemerintah melalui
tindakan pribadi dan kolektif dan
3) memberikan bobot yang sama pada preferensinya,
yang dilakukan oleh warga negara (MacPherson. C.B., 1997)
Ketiga kesempatan yang harus dimiliki oleh semua warga negara di atas,
akan dapat berjalan secara optimal apabila ada sejumlah jaminan
kelembagaan. Jaminan itu diantaranya adalah:
a) kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi,
b) kebebasan mengeluarkan pendapat,
c) hak memilih,
d) kesempatan menjadi pejabat pemerintah,
e) hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari
dukungan,
f) hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam meraih suara,
g) sumber-sumber informasi alternatif,
h) lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung kepada
perolehan suara dan pengungkapan preferensi lainnya
(George Sorensen, 2003).
Kedelapan kondisi itu adalah merupakan elemen dasar bagi
berlangsungnya iklim demokrasi yang sehat. Secara singkat kedelapan
elemen dasar demokrasi itu dapat diringkas dalam tiga dimensi yaitu
kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik. Ketika demokrasi diartikan
sebagai kompetisi, partisipasi dan kebebasan maka proses demokratisasi
(perubahan sistem politik dari bentuk non demokratis ke bentuk yang lebih
demokratis), dapat dilakukan dengan dua jalan yang paling esensial yaitu
jalan yang terfokus pada kompetisi dan jalan yang terfokus pada partisipasi.
Meningkatnya partisipasi (atau inklusifitas) berarti meningkatnya
jumlah warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan.
Rezim non-demokratis mungkin saja menjauhkan sebagian besar
masyarakatnya dari partisipasi. Pada rezim demokratis, seluruh penduduk
dewasa memperoleh hak kebebasan secara penuh. Kompetisi (atau
liberalisasi) menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan, paling tidak
bagi beberapa anggota sistem politik. Meningkatnya liberalisasi berarti
meningkatnya peluang bagi oposisi politik dan meningkatnya kompetisi
untuk meraih kekuasaan pemerintahan. Dengan adanya tiga dimensi
demokrasi yaitu kompetisi, partisipasi dan kebebasan di suatu negara maka
akan lebih membuka peluang bagi berseminya proses demokratisasi.
Terciptanya iklim demokratis yang optimal akan berdampak pada semakin
menguatnya hak-hak warga negara dalam mengekspresikan aspirasinya.
Hak-hak warga yang harus diperjuangkan dan diakomodasi dalam sistem
politik yang demokratis adalah:
 perjuangan untuk mendapatkan otoritas bagi parlemen terpilih untuk
mengambil keputusan/kebijakan,
 perjuangan untuk memperoleh perluasan atas hak memilih,
 perjuangan untuk membuat subyek penguasa berhubungan dengan
kehendak para pemilih,
 perjuangan untuk mengadakan pemilu berdasarkan perhitungan yang
jujur,
 perjuangan bagi diterimanya partai-partai politik yang terorganisir
sebagai aktor sosial yang memiliki legitimasi dan sebagai peserta
pemilu,
 perjuangan bagi terciptanya emansipasi bagi sekelompok masyarakat
yang secara personal masih bergantung pada kelompok dominan agar
mereka juga memiliki hak memilih pemerintah mereka.
Apabila suatu negara dapat menegakkan pilar demokrasi secara stabil
dan kuat, maka bukan suatu hal yang mustahil bagi negara itu untuk
merealisasikan kondisi yang menjadi parameter berlangsungnya sistem
politik yang bercorak poliarki. Adapun parameter yang harus dimiliki
pemerintahan yang bersifat poliarki adalah:
 para pemimpinnya tidak menggunakan koersi kekerasan, yaitu polisi dan
militer untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya,
 adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis,
 potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat
yang masih dapat ditoleransi,
 dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam politik ada budaya
politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan
lembaga poliarki (John Markoff, 2002).
Jadi praksis demokrasi yang paling substansial adalah negara wajib
melindungi rakyat, utamanya dalam merepresentasikan hak-hak kewargaan
mereka, lebih utama lagi dalam menyelenggarakan terciptanya hak-hak
dasar hidup yang layak. Untuk itu maka negara berkewajiban
mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang asosial. Negara juga
harus mampu mengorganisasi dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan ke arah tercapainya tujuan negara. Jadi secara umum bagi negara
yang demokratis kebijakan negara adalah kebijakan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan warga. Dukungan dari warga akan diperoleh
manakala anggota warga merasa kehendak dan kepentingannya mendapat
saluran yang wajar. Agar tidak terjadi penyimpangan demokrasi maka yang
diperlukan adalah penegasan perlunya keseimbangan yang kuat di antara
elemenelemen negara untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat, dimana
masyarakat secara efektif terlayani melalui sarana dan perlengkapan
pemerintah. Untuk itu maka harus ada penguatan paradigma di kalangan
rakyat ke arah “high trust society” yaitu masyarakat yang memiliki
kepercayaan dan rasa hormat akan kredibilitas pemerintah yang berkuasa.
Dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya kepada
pemerintahannya akan sangat sulit membangun dan membangkitkan
partisipasi. Kondisi ini tentu saja akan menjadi batu sandungan bagi
penguatan iklim demokrasi di negara itu. Kontrol atas kekuasaan sebuah
“state” dalam menjalankan sistem pemerintahannya agar tidak berlaku
totaliter dilakukan oleh rakyat. Dengan kontrol ini maka ketertiban bersama,
kesejahteraan umum dan hak-hak individu rakyat akan tetap terjaga. Karena
itu wewenang negara demokrasi adalah terbatas, yaitu sejauh mandat yang
diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praksis pencapaian kesejahteraan
bersama menjadi tujuannya (Muji Sutrisno, 2000).
Dengan demikian jelaslah bahwa di satu pihak sistem negara
demokratis membutuhkan penataan kelembagaan sebagai mekanisme
pembagian kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat. Di lain pihak bila
mekanisme kelembagaan sudah dibuat dan terus berproses, tidak otomatis
bisa dikatakan demokrasi telah berjalan optimal. Demokrasi baru dapat
dikatakan berhasil apabila tujuan society mendirikan state telah dicapai.
Tujuan yang harus diupayakan terwujudnya adalah adanya kesejahteraan
masyarakat, yang secara hukum berarti terjaminnya hak hidup dan martabat
masingmasing warga negara di negara tersebut. Praktik Demokrasi di
Indonesia Tahun 1998 adalah merupakan babak baru dalam dinamika sistem
politik di Indonesia, pada tahun itu dimulailah tradisi demokrasi dalam
semua proses politik di negara ini. Setelah hampir 32 tahun terdominasi dan
terhegemoni sistem politik yang sangat militeristik dan bersifat sentralistik,
maka era ’98 melepaskan proses politik Indonesia dari jeratan dan pasungan
intervensi politik negara yang sangat dominatif.
Angin perubahan bertiup kencang menyapu debu-debu praktek
otoritarianisme di masa lampau diganti dengan iklim yang segar bagi
berseminya tunas-tunas demokrasi di segala bidang kehidupan. Reformasi
politik yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun memberikan
manfaat yang besar bagi dinamika sistem politik di Indonesia. Fenomena
kebebasan politik ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi terbangunnya
suatu tata pemerintahan yang bersih, adil dan berwibawa. Dengan terjadinya
proses demokratisasi di Indonesia tentunya diharapkan akan terbentuk suatu
negara demokratis yang memiliki kredibilitas tinggi dan terwujudnya suatu
masyarakat sipil yang sejahtera. Banyak keuntungan dan kemanfaatan yang
diraih sebagai dampak terjadinya gelombang perubahan di Indonesia.
Keberhasilan dari arus reformasi ini diantaranya adalah terbentuknya
puluhan partai yang digalang oleh aneka kelompok masyarakat yang
memiliki latar belakang ideologi, aspirasi dan tradisi politik yang bervariasi.
Demikian pula terjadi liberalisasi media massa yang sangat luas, media
sangat leluasa dalam mencari dan menyebarkan informasi pada publik.
Rakyat tidak dihalanghalangi ketika hendak menyampaikan
aspirasinya. Keterbukaan bagi seluruh elemen masyarakat didalam
melontarkan kritik dan saran kepada penguasa di ruang publik. Hal positif
lain yang dicapai dengan adanya reformasi di segala bidang di Indonesia
adalah partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur,
berbagai upaya pemulihan dan pembangunan ekonomi diselenggarakan,
desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan, penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan transparan,
kampanye perlindungan HAM semakin marak, reformasi sektor pertahanan
dan keamanan menjadi agenda yang diprioritaskan. Tuntutan bagi suatu
negara yang demokratis juga berhasil diwujudkan, yaitu terselenggaranya
pemilihan umum yang dilandasi semangat penegakkan prinsip keadilan dan
kejujuran.
Musim semi demokratisasi di Indonesia terlihat juga pada terjadinya
desakralisasi lembaga kepresidenan. Pada masa orde baru yang bercorak
absolut, presiden adalah penguasa tunggal dan tidak dapat tersentuh oleh
hukum. Tetapi ketika reformasi bergulir presiden dapat ditumbangkan dari
tampuk kekuasaannya melalui mekanisme konstitusional oleh rakyat. Ini
adalah suatu fenomena kemajuan dalam sistem politik di Indonesia. Hal lain
yang dapat menjadi parameter keberhasilan proses demokratisasi di
Indonesia adalah terselenggaranya tiga kali pemilu yang relatif lancar yaitu
pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009.
Bagi sebuah negara demokrasi, pelaksanaan pemilu adalah
merupakan momentum dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan
penguatan kelembagaan politik. Dengan terlaksananya pemilu di Indonesia
itu, maka transisi demokrasi di Indonesia dapat berjalan sesuai rencana dan
mampu mendorong Indonesia sebagai negara “South East Asia’s only fully
functioning Democracy”. Proses demokratisasi di Indonesia akan menjamin
semakin kokohnya sistem demokrasi sosial yang berlanjut (suistainable
constitutional democracy), dimana hal ini sangat dibutuhkan guna
menempatkannya sebagai instrumen efektif yang bekerja bagi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kita juga tidak boleh menutup
mata, bahwa sebagai bangsa yang baru saja menjalankan roda demokrasi
dalam praktek penyelenggaraan negara, masih banyak ditemui kelemahan
dan kekurangan. Kelemahan itu diantaranya adalah sektor kehidupan
masyarakat baik dalam bidang ekonomi, pendididkan, kesehatan,
pengelolaan lingkungan hidup dll, masih jauh dari apa yang diangankan
masyarakat.
Pemaksaan kehendak, kekerasan politik, korupsi dan keculasan yang
dilakukan aparat legislatif, eksekutif dan yudikatif bukannya semakin
menyusut namun menunjukkan eskalasi yang meningkat, munculnya
puluhan partai baru pada pemilu 2009 tidak memberikan rasa optimisme
pada masyarakat, namun justru menciptakan rasa pesimis, skeptis bahkan
sikap sinis. Anggapan yang berkembang pada masyarakat, partai politik
hanya akan dijadikan kedok dan kendaraan bagi petualang politik dalam
meraih dan mewujudkan hasrat pribadi dan ambisi yang jauh dari upaya
menyejahterakan rakyat. Boleh dikatakan bahwa proses demokratisasi yang
terjadi di Indonesia baru sebatas meningkatkan kebebasan politik dan
penghargaan atas hak asasi manusia, tetapi belum membawa kepada
pembangunan ekonomi yang cepat dan memberdayakan ekonomi rakyat
yang bisa mengentaskan dari jerat kemiskinan.
Demokratisasi di Indonesia masih direcoki dengan tindakantindakan
anarkis dan menyulut kekacauan sosial. Hal ini disebabkan karena iklim
demokratis yang seharusnya mengedepankan tatanan dan ketertiban serta
moralitas dalam berpolitik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah
merebaknya fenomena dimana pemimpin dan masyarakat dapat melakukan
apapun sesuai dengan yang mereka inginkan dan sistem hukum (aturan)
dilecehkan serta tidak dihormati. Meskipun proses pemilu tahun 2009 dapat
terselenggara, namun ada hal yang cukup signifikan sebagai bagian
pembelajaran bagi pelaksanaan demorasi di Indonesia.
Pemilu 2009 di Indonesia meskipun secara umum berlangsung
kondusif, namun banyak terjadi kelemahan dan kesemrawutan. Hal ini
terjadi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara tidak
dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai dengan
Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kacau, surat suara yang salah alamat,
penghitungan suara yang melebihi tenggat waktu yang ditetapkan (tidak
konsisten dan berubah-ubah) instrumen teknologi informasi (IT) yang
dipergunakan KPU untuk penghitungan suara secara cepat namun hasilnya
tidak seperti yang diharapkan, padahal piranti itu dibeli dengan dana rakyat
yang besarnya milyaran rupiah, dugaan adanya kecurangan pemilu berupa
praktek penggelembungan suara pada salah satu parpol dll.
Kelemahan-kelemahan ini menunjukkan kacaunya sistem
managemen dan tidak kompetennya personel KPU yang memperihatinkan.
Carut marut kinerja KPU ini akan dapat mengakibatkan terjadinya cacat
moral dan politik yang sangat mencederai berlangsungnya proses
demokratisasi di Indonesia. Disamping lemahnya tata kerja KPU dalam
penyelenggaraan pemilu 2009, hal yang tidak kalah pentingnya bagi
terjadinya cacat moral dan politik di Indonesia adalah maraknya praktek jual
beli suara (money politics). Hal ini menampakkan bahwa saat ini para elit
politik di Indonesia masih memandang bahwa menjadi anggota legislatif
adalah bukan jabatan amanah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tetapi
merupakan kekuatan sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber
kuasa (tidak hanya politis) tetapi juga sosial, ekonomi dan sebagainya.
Sehingga jangan heran kalau rakyat menjadi skeptis dan apatis terhadap
hasil pemilu 2009. Rakyat menjadi malas untuk berpartisipasi dalam
kegiatan lima tahunan ini, hal ini terlihat pada tingginya angka pemilih yang
tidak menggunakan haknya (golput). Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan,
kedepan harus ada penyempurnaan baik pada institusi pe- nyelenggara KPU
maupun kualitas intelektual dan moral dari para calon legislatif.
Akselerasi demokratisasi di Indonesia masih panjang dan berliku,
masih dibutuhkan upaya-upaya yang konkret di dalam
mengimplementasikan konsep demokrasi ini. Adapun upaya-upaya itu
diantaranya adalah: Pertama, pemahaman nilai-nilai demokrasi secara
individual. Nilai-nilai yang mendorong terwujudnya kompetisi, partisipasi
dan kebebasan perlu diinternalisasi pada tingkat individual sehingga
terwujud tata tertib sosial. Perilaku kompetisi tidak diartikan sebagai
perilaku saling memaki, menghujat dan menjatuhkan, partisipasi tidak
dimaknai sebagai kemauan yang bebas tanpa batas.
Tiga nilai tersebut harus menjelma dalam perilaku sosial masyarakat
Indonesia dan diharapkan akan membangun ketertiban sosial. Kedua,
pembentukan masyarakat sipil dan kelembagaan sosial. Demokrasi
mensyaratkan adanya masyarakat sipil yang mandiri (Chandoke, 1999) yaitu
masyarakat yang sadar akan terbentuknya ketertiban sosial tanpa melalui
caracara kekerasan. Segala persoalan yang timbul dan dihadapi oleh
masyarakat harus diselesaikan melalui dialog dan negosiasi dalam rangka
mencari solusi tanpa campur tangan kekuasaan negara melalui tangan-
tangan aparatnya. Apabila hal ini dapat terwujud di Indonesia maka
masyarakat yang memiliki tipe ini akan menjadi kekuatan pengontrol bagi
kebijakan publik dan pembentukan hukum karena ia akan mengontrol
kinerja lembaga pemerintah, legislatif dan yudikatif dengan sikap kritisnya.
Agar tercipta masyarakat yang tertib dan kritis itu maka diperlukan adanya
penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai
sarana untuk perjuangan masyarakat.
Ketiga, perbaikan kinerja parlemen, yaitu peningkatan kapasitas
lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mewakili kepentingan
masyarakat baik di tingkat lokal, regional dan nasional dirasa sangat mutlak
diperlukan. Mereka yang telah terpilih dan duduk di DPR baik pusat, tingkat
I dan II seyogyanya tidak lagi sekedar menyuarakan kepentingan
kelompoknya tetapi harus menyatu dan menyuarakan kepentingan
masyarakat secara luas. Ini semua untuk menghindari kesan bahwa
demokrasi perwakilan hanya memberi kesempatan partisipasi lima tahun
sekali kepada masyarakat ketika negara sedang menyelenggarakan pemilu.
Setelah terbentuk wakilwakilnya di DPR dan setelah presiden terpilih
membentuk kabinet, mereka kaum eksekutif dan legislatif bekerja sendiri
untuk mengeluarkan berbagai kebijakan dan hukum dengan meninggalkan
masyarakat di belakangnya. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan kebijakan publik dan pembuatan perundang-undangan
tidak ada cara lain kecuali para anggota DPR harus aktif mendatangi
masyarakat. Jangan mengulang kegagalan DPR masa lalu yang hanya
menunggu masukan dari masyarakat dan kemudian menampung aspirasi itu.
Situasi ini akan menghasilkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga
yang terhormat ini. Keempat, peningkatan kepekaan pemerintah, hal ini
terjadi bila secara umum pemerintah bisa menegakkan keadilan dan
sekaligus mensejahterakan kehidupan segenap lapisan kehidupan segenap
lapisan masyarakat yang ada di negara Indonesia. Indikator yang paling
komplit adanya pemerintahan yang memiliki kepekaan adalah pemerintahan
yang secara aktif mengambil peran dalam pembentukan undang-undang
tanpa harus menunggu masalah muncul ke permukaan. Sebelum
mengusulkan perundangan, melalui kebijakan departemen yang terkait
pemerintah harus bersikap terbuka dan sekaligus aktif mencari masukan,
kritik dan saran dari masyarakat. Ini merupakan langkah pemerintah dalam
mendorong partisipasi dalam pembuatan perundangan dan kebijakan publik.
Sebab semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembuatan
kebijakan dan perundangan maka akan semakin absah pemerintahan itu di
mata rakyatnya.
Upaya penyempurnaan proses demokratisasi di Indonesia adalah
suatu hal yang masih harus dilakukan. Kalau tidak ada perubahan maka
apatisme publik akan semakin menguat, tingkat partisipasi politik semakin
melemah dan dampaknya tidak mustahil akan terjadi “negara yang gagal”
(the failled state) tentu hal ini adalah suatu hal yang tidak kita inginkan dan
sekuat tenaga harus dihindari. Semua pihak harus arif dalam merespon
dinamika yang terjadi. Aparat penyelenggara negara baik legislatif, eksekutif
maupun yudikatif harus berani melakukan langkah koreksi untuk
penyempurnaan secara signifikan. Hanya dengan cara inilah maka frozen
democracies dapat dicegah, the failled state dapat dihindari dan bangsa ini
dapat lolos dari ujian demokrasi.
Kesimpulan Demokrasi adalah konsep politik yang menjadi pilihan
sistem politik di berbagai negara dunia ketiga pada dua dasawarsa terakhir.
Ambruknya ideologi komunisme Uni Soviet di tahun 1989, semakin
menambah popularitas demokrasi sebagai ideologi politik. Konsep
demokrasi dianggap mampu dan nyata untuk mengatasi masalah sosial
politik yang dihadapi berbagai negara. Agar akselerasi praktek
demokratisasi dapat ditingkatkan, maka perlu upaya-upaya konkrit yang
harus dilakukan, diantaranya adalah penanaman atas pemahaman nilai-nilai
demokrasi secara individual ditingkatkan, pembentukan masyarakat sipil dan
kelembagaan sosial, perbaikan kinerja parlemen dan peningkatan kepekaan
pemerintah. Bangsa Indonesia yang masih dalam taraf belajar berdemokrasi
harus selalu belajar dan melakukan pembenahan di segala bidang.
Kelemahan yang terjadi selama satu dekade proses reformasi digulirkan
sebaiknya terus dikoreksi dan diperbaiki. Dengan cara ini maka praktek
demokrasi untuk kesejahteraan rakyat dapat direalisasi dan kegagalan
demokrasi dapat dihindari.

2.4.3 Konsep Wawasan Nusantara,


Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah merupakan satu kesatuan
politik, sosial-budaya, ekonomi serta pertahanan dan keamanan.
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik Memiliki
makna:
1. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya
merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup, dan kesatuan
matra seluruh bangsa serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.
2. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara
dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus
merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-
luasnya.
3. Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib
sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta mempunyai tekad
dalam mencapai cita-cita bangsa.
4. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan
negara yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju
tujuannya.
5. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu
kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
6. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem
hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional.
7. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain
ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas
aktif serta diabdikan pada kepentingan nasional.Implementasi wawasan
nusantara dalam kehidupan politik akanmenciptakan iklim
penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak
dalam wujud pemerintahan yang kuat, aspiratif, dan terpercaya yang
dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
2.4.4 Latar Belakang Politis Wawasan Nusantara
Dari latar belakang sejarah dan kondisi sosiologis Indonesia
sebagaimana telah dinyatakan di atas, Anda dapat memahami betapa
perlunya wawasan nusantara bagi bangsa Indonesia. Selanjutnya secara
politis, ada kepentingan nasional bagaimana agar wilayah yang utuh dan
bangsa yang bersatu ini dapat dikembangkan, dilestarikan, dan
dipertahankan secara terus menerus. Kepentingan nasional itu merupakan
turunan lanjut dari cita-cita nasional, tujuan nasional, maupun visi nasional.
Cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan
UUD 1945 alinea II adalah untuk mewujudkan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sedangkan tujuan nasional
Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV
salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Visi nasional Indonesia menurut ketetapan MPR
No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan adalah terwujudnya
masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil,
sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan
negara.Wawasan nusantara yang bermula dari Deklarasi Djuanda 1957
selanjutnya dijadikan konsepsi politik kenegaraan. Rumusan wawasan
nusantara dimasukkan dalam naskah Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagai hasil ketetapan MPR mulai tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan
1998. Setelah GBHN tidak berlaku disebabkan MPR tidak lagi diberi
kewenangan menetapkan GBHN, konsepsi wawasan nusantara dimasukkan
pada rumusan Pasal 25 A UUD NRI 1945 hasil Perubahan Keempat tahun
2002.
Wawasan nusantara pada dasarnya adalah pandangan geopolitik bangsa
Indonesia. Apa itu geopolitik?Geopolitik berasal dari bahasa Yunani, dari
kata geo dan politik. “Geo” berarti bumi dan “Politik” politeia, berarti
kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri (negara) dan teia yang berarti
urusan. Sementara dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian
asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-
cita atau tujuan tertentu. Tindakan, cara dan perilaku masyarakat
dipengaruhi oleh kondisi geografi tempat masyarakat hidup. Selanjutnya
geopolitik dipandang sebagai studi atau ilmu.Geopolitik secara tradisional
didefinisikan sebagai studi tentang "pengaruh faktor geografis pada tindakan
politik”. Geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang
setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah
atau tempat tinggal suatu bangsa. Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara faktor–faktor geografi, strategi dan politik suatu negara.
Adapun dalam impelementasinya diperlukan suatu strategi yang bersifat
nasional (Ermaya Suradinata, 2001). Pandangannya tentang wilayah, letak
dan geografi suatu negara akan mempengaruhi kebijakan atau politik negara
yang bersangkutan.Terkait dengan hal ini, banyak ahli yang mengemukakan
pandangan atau teori teorinya tentang geopolitik. Di antaranya adalah teori
Geopolitik Frederich Ratzel, teori Geopolitik Rudolf Kjellen, teori
Geopolitik Karl Haushofer, teori Geopolitik Halford Mackinder, teori
Geopolitik Alfred Thayer Mahan dan teori Geopolitik Nicholas J. Spijkman.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:
 Sistem perubahan konstitusi di Indonesia, menganut sistem constitutional
amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD
lama masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut
merupakan adendum/sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang
diamandemen merupakan / menjadi bagian zdari konstitusi yang asli.
 Demokrasi adalah konsep politik yang menjadi pilihan sistem politik di
berbagai negara dunia ketiga pada dua dasawarsa terakhir. Ambruknya
ideologi komunisme Uni Soviet di tahun 1989, semakin menambah
popularitas demokrasi sebagai ideologi politik. Konsep demokrasi dianggap
mampu dan nyata untuk mengatasi masalah sosial politik yang dihadapi
berbagai negara. Bangsa Indonesia yang masih dalam taraf belajar
berdemokrasi harus selalu belajar dan melakukan pembenahan di segala
bidang. Kelemahan yang terjadi selama satu dekade proses reformasi
digulirkan sebaiknya terus dikoreksi dan diperbaiki. Dengan cara ini maka
praktek demokrasi untuk kesejahteraan rakyat dapat direalisasi dan
kegagalan demokrasi dapat dihindari.
 Seiring dengan perkembangan konstitusional di Indonesia di Indonesia telah
merubah kedudukan lembaga-lembaga negara yang ada. Yaitu seperti pada saat
sebelum amandemen kedudukan lembaga-lembaga negara secara berurut adalah
MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, MA. Sedangkan saat setelah amandemen
kedudukan lembaga-lembaga negara berubah menjadi, MPR, Presiden, DPR, DPA,
BPK, MA, MK, dan KY.

3.2 Saran
Dengan pemahaman yang kurang terhadap konstitusi menjadi salah satu
penyebab begitu banyak praktik korupsi. Maka dari itu beberapa pihak terus
melakukan sosialisasi yang mana mempunyai tujuan untuk memperkenalkan
konstitusi negara itu sendiri. Berikut beberapa contoh dari perilaku konstitusi yang
dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari :
 Mengakui dan dapat menghargai hak-hak asasi orang lain.
 serta menaati peraturan-peraturan yang berlaku, baik itu peraturan lalu lintas,
sekolah, dan lain-lain.
 Tidak main hakim sendiri.
 Menjaga keseimbangan antara hak dan juga kewajiban.
 Adanya keterbukaan dan etika dalam menghadapi Mematuhi masalah.
 Melaksanakan pemilihan umum dengan adil, jujur, bebas serta transparan.
 Menjalin persatuan serta kesatuan melalui beberapa kegiatan.
 Mengembangkan sikap sadar dan juga rasional.
DAFTAR PUSTAKA

Durin,R. 2015. “Dinamika Ketatanegaraan dan Konstitusi Indonesia. Jurnal Ekonomi


KIAT. (Diakses pada 12 Oktober 2022)

Nurita, R.S. 2015. Dinamika dan Perkembangan Konstitusi Republik Indonesia. Jurnal
Cakrawala Hukum. (Diakses pada 12 Oktober 2022)

Rangga, A. 2020. Struktur Lembaga Negara. Cerdikia Negara. (Diakses pada 12 Oktober
2022)

Anda mungkin juga menyukai