Anda di halaman 1dari 12

SPEKTRUM FIKIH SIYASAH DAN DINAMISASI PEMIKIRAN

POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Efrinaldi
Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat
Jl. Prof. Mahmud Yunus Lubuk Lintah Padang
E-mail: Efrinaldi_74@yahoo.co.id

Abstract: The Spectrum of Islamic Political Law and the dynamicization of Islamic Political Thought in Indonesia.
This paper describes some spectrums of various Islamic political thought. Three spectra growing about the
relationship between Islam and the state in the perspective of political jurisprudance consist of (1) an integral
style, (2) the sect of which argues that Islam is only a religion, that has no relalionship to the state; and (3) the
sect states that in Islam there is no state system, but there are sets of ethical values ​​and principles for statehood.
In addition , there are also two other major trends. For the Islamic Liberal, state of affairs is merely for human.
There is no regulation or obligation of Islamic teachings specifically on the government form. Besides, moderate
Islamists Literal stated that while established of Medina had the first written constitution in the world (the
Medina charter), the Prophet Muhammad acted as a head of the state, raised some state officials, and also
applied Islamic law for people.
Keywords: spectrum, political islamic jurisprudance, Islamic political thought, Indonesia

Abstrak: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Politik Islam di Indonesia.Tulisan ini memaparkan beberapa
spektrum pemikiran politik Islam yang beragam. Tiga spektrum yang berkembang mengenai hubungan antara
Islam dan negara dalam perspektif Fikih Siyasah meliputi pertama, corak yang bersifat integralistik; kedua,
aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama semata-mata, yang tidak ada hubungannya dengan
kenegaraan; ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika dan prinsip-prinsip bagi kehidupan bernegara. Di samping itu, ada juga dua
kecendrungan besar lainnya. Bagi Islam Liberal, urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi manusia. Tak
ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang bentuk pemerintahan manusia. Sedang
kelompok Islam Literal berpendapat bahwa sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki konstitusi tertulis
pertama di dunia (piagam Madinah), Nabi Muhammad saw sudah bertindak sebagai kepala negara, mengangkat
pejabat-pejabat negara, juga menjalankan hukum-hukum (syariat) Islam terhadap seluruh warga negara.
Kata kunci: spektrum, fikih siyasah, pemikiran politik Islam, Indonesia

Pendahuluan kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan imarah


Dalam perspektif Fikih Siyasah, tujuan Islam (kepemimpinan).”1
ter­penting adalah mewujudkan keadilan sosial yang Oleh sebab itu, keberadaan negara amat
terformulasi dengan tindakan “menyeru kepada penting dalam rangka mengurus dan mengayomi
kebaikan dan mencegah kejahatan” (al-amr bi al- umat. Tanpa negara umat tidak akan mungkin
ma`rûf wa al-nahy `an al-munkar). Namun, siapa saja mewujudkan cita-cita sosial-politik dan keadilan
yang menghendaki suatu tujuan, konsekuensinya sosial, melaksanakan hukum Islam, menciptakan
harus mau melaksanakan cara-cara untuk mencapai sistem pendidikan Islam dan mempertahankan
tujuan tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (661 kebudayaan Islam dari penyelewengan-pe­
H/1263 M-728 H/1328 M) menegaskan: nyelewengan, baik dari dalam maupun serangan–
“Allah mewajibkan manusia untuk melakukan
perintah berlaku ma’ruf dan nahi munkar, ke­ 1
Taqiy al-Dîn Abu al-Abbâs Ahmad ibn Taimiyah, Al-
adilan, melaksanakan haji, melaksanakan shalat- Siyâsah al-Syar`iyah fi Ishlâh al-Râ`î wa al-Râ`iyah, (Maroko: Dâr
al-Âfâq al-Jadîdah, 1991), h. 149 dan E.I.J. Rosenthal, Political
shalat jemaah, dan memerangi orang-orang Thought in Medieval Islam, (Cambridge: Cambridge University
yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana Press, 1958), h. 53.

19 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

serangan dari luar. Negara yang tidak kon­stitusional syariat Islam direalisir dalam kehidupan berbangsa
dapat menyebabkan masyarakat tidak berdaya dan bernegara secara harmonis dalam konteks
menghadapi penguasa yang kejam. Akhirnya Islam pluralisme sosial. Karena secara politis, syariah
dianggap hanya ibadah (ritual) belaka dan ilusi adalah sumber nilai yang memberi corak dari
semata. Selain itu, janji Islam sebagai petunjuk dinamika perkembangan politik dan negara yang
bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat ideal yang dicita-citakan. Ini berarti suatu keharusan
belum dapat dibuktikan secara optimal. membumikan syariah Islam menghendaki betapa
Memang, secara global di dunia Islam dewasa urgennya pemerintahan dalam Islam, yang
ini ada tiga spektrum yang berkembang mengenai ditegakkan dengan prinsip-prinsip syariah, yang
hubungan antara Islam dan negara dalam perspektif mencakup nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran,
Fikih Siyasah. Pertama, spektrum dengan corak dan kesejahteraan masyarakat.4
yang bersifat integralistik. Aliran ini berpendirian Negara dalam pandangan Islam merupakan
bahwa Islam bukanlah semata-mata agama, dalam otoritas syariah terhadap seluruh manusia, baik
pengertian hanya menyangkut hubungan dengan terhadap kalangan penguasa maupun terhadap
Tuhan belaka. Islam adalah satu agama yang massa rakyat, yang prinsip-prinsipnya dirumuskan
sempurna dan lengkap, mencakup pengaturan oleh Allah yang disampaikan oleh Nabi kepada
bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk manusia yang termaktub dalam Alquran dan Sunah
kehidupan bernegara. Tegasnya, sistem kenegaraan serta dijabarkan dalam penafsiran-penafsiran
harus sepenuhnya mengacu pada Islam. Tokoh- ulama, yang secara sosiologis ditegakkan oleh
tokoh utama aliran ini, antara lain, Hasan al-Banna, kekuatan-kekuatan yang dipercayai.5 Tujuan negara
Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Ridha, dan Abul itu adalah mewujudkan kesejahteraan,6 akan
A’la al-Maududi. Kedua, aliran yang berpendapat
bahwa Islam adalah agama semata-mata, yang oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam
tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. mencapai kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat.
Nabi hanya seorang Rasul semata, bukan sebagai Ketentuan syara` itu terbatas dalam firman Allah dan sabda
Rasul. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam
kepala negara. Tokoh aliran ini yang terkemuka Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h.17. Atas dasar
di antaranya Ali Abd Al-Raziq dan Thaha Husein. wacana itulah, para ahli hukum Islam dalam konteks siyâsah,
Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa dalam berpendirian bahwa kalâmullah dan Sunnah Rasul merupakan
landasan konstitusional negara menurut Islam yang mesti
Islam tidak terdapat sistem kenegaraan, tetapi diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibnu
terdapat seperangkat tata nilai etika dan prinsip- Taimiyah misalnya, mencuat dengan karyanya “al-Siyâsah al-
prinsip bagi kehidupan bernegara. Di antara para Syar`iyah.” Demikian pula dengan tokoh yang lain, seperti
al-Mawardi dengan “Al-Ahkâm al-Sulthâniyah”-nya dan Ibn
tokoh aliran ini ialah Muhammad Husein Haikal.2 Jama`ah (w. 1333) dengan karyanya “Tahrîr al-Ahkâm”.
Spektrum dalam perspektif Fikih Siyasah 4
Abd al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, (Beirut: al-
dan dinamisasi dalam dinamika perubahan Mukhtar al-Islami, 1994), h.120.
5
Negara pada dasarnya merupakan organisasi dalam suatu
politik menjadi sangat signifikan untuk ditelusuri. wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (high authority)
Terutama dalam konteks keindonesiaan yang yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan ber­
mayoritas warga negaranya adalah Muslim. sama atas nama masyarakat (community). (Roger H. Soltau,
An Introduction to Politics, (London: Longmans, Green and Co.,
1961), h. 1. Lebih khas, bagi setiap Muslim, negara itu adalah
Urgensi Negara dan Pemerintahan dalam alat (agency) untuk merealisasikan fungsinya sebagai khalifah
Islam di muka bumi, untuk mencapai keridhaan Allah kesejahteraan
duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama
Menurut para politikus Muslim, keberadaan manusia dan alam lingkungannya. Kajian tentang “al-hukûmah
negara sangat urgen dalam mengayomi ma­ al-Islâmiyah” (format pemerintahan Islam) ini, lebih lanjut diulas
syarakat dan dalam negara seyogianya prinsip- dalam: Abd al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, h. 119-135.
6
Fazlur Rahman, “Implementation of the Islamic Concept
prinsip dasar syariah diimplementasikan.3 Nilai-nilai of State in the Pakistani Milleu, dalam Islamic Studies, (1967),
h. 206 dikutip oleh John J. Donohue dan John L. Esposito,
2
Pentingnya negara itu untuk mengayomi umat, lebih Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj.,
lanjut dimuat dalam: Muhammad Yusuf Musa, Nizhâm al-Hukm (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 482-483. Sedangkan tujuan
fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 11-17. negara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat universal di
3
Syarî`ât (bentuk jamak/plural dari syarî`ah) diartikan dunia dan akhirat, berdasarkan atas pandangan Ibn Khaldun,
se­bagai ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan dieksplorasi oleh Muhammad Yusuf Musa, h. 135. Dalam

| 20
Efrinaldi: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik ...

lebih tepat dikatakan, kesejahteraan masyarakat ngelola negara dengan pengawasan-pengawasan


universal di dunia dan akhirat. Sedangkan ikatan dari kelompok pemerintahannya (quwwah); dan
antara penguasa dan rakyat adalah berdasarkan keadilan (`adâlah)—sebagai manifestasi kesalehan.9
atas dorongan batin, yakni keyakinan kepada Oleh sebab itu, format suatu negara yang
Allah dan kehidupan akhirat nanti. mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam
Tugas-tugas suatu negara dalam konsepsi kehidupan sosial merupakan suatu bentuk tata
Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas- politik dan kultural dengan prinsip-prinsip yang
tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh permanen dan sistem yang dinamis.10 Umat
negara yang konstitusinya berdasar syariah. manusia dapat terhindar dari fluktuasi yang tak
Tugas ini dirancang agar syariah terpelihara dan berkesudahan: dewasa, layu, hancur, dan lahir
tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan- kembali. Umat dapat menghindari perubahan-
peraturannya ditaati. Misalnya, mengurus pe­ perubahan sejarah ini dengan menggunakan dan
laksanaan salat jamaah, pendistribusian zakat, mentaati sistem sosio-kultural Islam, termasuk
melaksanakan hudud, menegakkan keadilan subsistem politisnya.
(al-qadhâ’), mengawasi pasar (hisbah), me­ Al-Ghazali, 11 seorang tokoh hukum dan
nangani penyelewengan-penyelewengan di dalam spiritualis Islam, misalnya dalam teorisasi ke­
timbangan, ukuran; kesusilaan dan kesopanan negaraan mengutamakan perpaduan moral
masyarakat, serta melaksanakan jihad untuk (agama) dengan kekuasaan. Negara itu, dipimpin
memberantas kemunkaran dan kezaliman yang oleh manusia biasa, tetapi harus mempunyai
meresahkan masyarakat.7 moral yang baik. Unsur agama mesti diperoleh
Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh dan dipertahankan dalam negara.12
negara pada umumnya. Secara historis, ke dalam Eksistensi agama dalam negara dan kaitannya
tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat dengan otoritas kepala negara diibaratkan al-
kepala negara, menteri, panglima, hakim, dan Ghazali sebagai anak kembar.13
lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur
lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan
pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas
di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas- “Agama dan kekuasaan (politik) adalah dua anak
tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu yang kembar. Keduanya itu tidak bisa dipisahkan
demi kepentingan masyarakat.8 dengan yang lain”.
Kepala negara, dalam konsepsi Islam, di­pilih Agama adalah suatu fondasi, sedangkan
berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. kepala negara adalah penjaganya. Sesuatu yang
Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi jabatan tanpa fondasi akan mudah runtuh dan suatu
kepala negara tersebut, selain memiliki syarat fondasi tanpa penjaga akan hilang. Atas dasar
moral dan intelektual, adalah kejujuran (amanah); itu, menurut al-Ghazali,14 asal-usul dan keberadaan
kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam me­
9
Kualifikasi pokok bagi jabatan kepala negara ini, dalam
perspektif al-fiqh al siyâsi, tujuan etis yang menjadikan dasar wacana perbandingan di kalangan para ahli, terurai dalam: Abd
pendirian sebuah negara adalah penerapan hukum Islam al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, h. 268-76 dan al-Ghazali, Al-
secara utuh. Ini berarti bahwa kekuasaan pemerintah Islam Mustazhiri, (Kairo: Nasyr, 1964), h. 68, yang terakhir ini dikutip
diharapkan mampu meliputi seluruh cara dan segi kehidupan, oleh Zainal A. Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral (Menurut
baik masyarakat maupun perseorangan, dengan aturan yang Imam al-Ghazali), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 267.
memenuhi tujuan etika keagamaan masyarakat Islam. Dengan 10
M.M. Rabi, The Political Theory of Ibn Khaldun, (Leiden:
demikian, jika nilai-nilai syariah sudah dilaksanakan, maka E.I.J. Brill, 1967), h.24-6 dan A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan
kesejahteraan universal duniawi dan ukhrawi akan dapat Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta: Gramedia, 1992).
diraih. Abd al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, h. 263-267. 11
Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad Ibn Muham­
7
Abd al-Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, h. 121 dan Ibn mad al-Ghazali, lahir di Thus 450 H/1058 M, dan meninggal di
Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah, h. 149. daerah yang sama pada 505 H/1111 M.
8
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, 12
Al-Ghazali, Ihyâ `Ulûm al-Dîn, (Kairo: Mushthafa al-
edisi Inggeris terj.Franz Rosenthal, (Princeton: Princeton Halabi, 1939), Juz. II, h. 153.
University Press, 1967), h. 448-65. Bandingkan dengan Abd al- 13
Al-Ghazali, Ihyâ `Ulûm al-Dîn, Juz. II, h. 153
Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kâmilah, h. 260. 14
Al-Ghazali, Ihyâ `Ulûm al-Dîn, Juz. II, h. 153, dalam

21 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

negara merupakan suatu keharusan bagi ketertiban tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan
dunia. Ketertiban dunia merupakan keharusan bagi yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke
ketertiban agama, sedangkan ketertiban agama dalam fikih.18
amat penting untuk mencapai kesejahteraan Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:
akhirat kelak. Secara syar‘i, pengangkatan kepala pertama, kedaulatan. Kedaulatan yang mutlak dan
negara yang mampu mengelola pemerintahan legal adalah milik Allah. Abu al-A`la al-Maududi
secara efektif merupakan suatu keharusan yang menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori
tak bisa diabaikan. politik Islam.” Al-Maududi menegaskan:
Al-Ghazali memandang negara sangat penting Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan
artinya dalam mewujudkan ketertiban dunia kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem
dan perdamaian. Keberadaan negara sangat sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah.
urgen dalam menata kehidupan berbangsa dan Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satrunya
bernegara secara efektif dan merupakan suatu titik awal dari filsafat politik dalam Islam.19
perangkat untuk mensosialisasikan syariat Islam. Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-
Nya seperti yang dapat dipahami dari syariah.
Prinsip-Prinsip Negara dalam Syariah Islam Syariah sebagai sumber dan kedaulatan yang
Menurut teori Islam, negara yang dibentuk aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar.
seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh
syariah. Artinya, nilai-nilai syariah direalisir dalam konsensus rakyat (ijma` al-ummah), memiliki
kehidupan berbangsa dan bernegara.15 Endang kedaulatan dan hak untuk mengatur diri sendiri.
Saifuddin Anshari mengatakan: Kedua, syûrâ dan ijma`.20 Mengambil keputusan
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan
alat) bangsa untuk mencapai tujuannya. Bagi melalui konsensus dan konsultasi dengan semua
setiap Muslim negara adalah alat untuk me­ pihak. Kepemimpinan negara dan pemerintahan
realisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat
dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai melalui pemilihan. Sebuah pemerintahan atau
khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, sebuah otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta men­ cara-cara non-syariah adalah tidak sah dan tidak
jadi rahmat bagi sesama manusia dan alam dapat memaksa ketaatan rakyat.
lingkungannya.”16
Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak
Karena itu, secara tradisional, para ahli fikih
pokok tertentu. Di antaranya adalah: jaminan
menekankan tiga ciri penting sebuah negara Islam
terhadap keamanan pribadi, harta benda dan
itu: masyarakat Muslim (ummah), hukum Islam
harga diri, kemerdekaan untuk mengeluarkan
(syariah), dan kepemimpinan masyarakat Muslim
pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan
(khalifah).17
pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi,
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,
ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan
mengacu pada teks-teks syariah yang jelas dan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.21

konsepsi negara ini, al-Ghazali terkenal dengan “Negara Etik” 18


S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Evironmental..., h. 93-95.
(Ethical State), atau disebut juga dengan “al-Balad al-Akhlaq”. 19
Abu al-A`la al-Maududi, It’s Meaning and Message, peny.
Tentang butir-butir nasehat untuk penguasa yang sarat Khurshid Ahmad, (London: Islamic Council of Europe, 1976), h.
dengan moral universal, termuat dalam: al-Ghazali, Al-Tibr al- 147-148 dan The Islamic Law and Constitution, terj. Asep Hikmat,
Masbûk fi Nashîhat al-Mulk, terj.Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, Hukum dan Konstitusi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan,
(Bandung: Mizan, 1994), h. 58-68. 1990), Cet. ke-1, h. 156-157.
15
S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Evironmental System 20
M.Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, (Surabaya:
Engineering, (London: The Macmillan Press,1980), Cet ke-1, h. 93. Al-Ikhlas, 1970), h. 182-184.
16
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: 21
Subhi Mahmassani, Arkân Huqûq al-Insân, alih bahasa
Rajawali Press, 1986), h. 167. Hasanuddin, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia, Studi Per­
17
Mumtaz Ahmad, State, Politics, and Islam, alih bahasa bandingan Syari’ah Islam dan Perundang-undangan Modern,
Ena Hadi, Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, (Jakarta: Tintamas Indonesia—Pustaka Litera Antar Nusa, 1993),
1994), h. 58. h. 73-164.

| 22
Efrinaldi: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik ...

Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara,


yang bertentangan pendapat dengan pemerintah
sekalipun, mesti tunduk kepada otoritas negara
yaitu kepada hukum-hukum negara.22
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan 26
bagi warga negara yang non-Muslim—memiliki
“Prinsip-prinsip politik dalam ajaran Islam itu
hak-hak sipil yang sama.23 Karena negara ketika
adalah: 1) Persamaan yang komplit; 2) Keadilan
itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh
yang merata; 3) Kemerdekaan dalam pengertian
pengambilan keputusan yang memiliki posisi
yang sangat luas; 4) Persaudaraan; 5) Persatuan; 6)
kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka Gotong royong (saling membantu); 7) Membasmi
harus sanggup menjunjung tinggi syariah. Dalam pelanggaran hukum; 8) Menyebarkan sifat-sifat
sejarah politik Islam, prinsip dan kerangka kerja utama; 9) Menerima dan mempergunakan hak milik
konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap yang dianugerahkan Tuhan; 10) Meratakan kekayaan
dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya;
tersebut. 11)Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; 12)
Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang me­ Memegang teguh prinsip musyawarah).
nentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat Adapun menurut M. Tahir Azhary, di dalam
harus diselesaikan berdasarkan keputusan dari Alquran dan Sunah Rasulullah terkandung
suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh sembilan prinsip negara hukum, yakni:
masyarakat. Prinsip mengambil keputusan (1) Prinsip kekuasaan sebagai amanah (Q.S. 4:
menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk 58, 14-13); (2) Prinsip musyawarah (42: 38, 3:
mencapai tujuan bersama.24 159); (3) Prinsip keadilan (4:135, 5: 8, 16: 90, 6:
Selain prinsip-prinsip dasar negara yang 160); (4) Prinsip persamaan (9:13); (5) Prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
konstitusinya berdasar syariah, ada juga prinsip-
hak asasi manusia (17: 70, 17: 33, 5: 32, 88: 21,
prinsip tambahan (subsider) yang merupakan
88: 22, 50: 45, 4: 32); (6) Prinsip pengadilan
kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih
bebas (dialog Mu`adz dengan Rasulullah
dari hukum Islam. Prinsip-prinsip tambahan saw ketika akan diangkat menjadi hakim di
tersebut adalah mengenai pembagian fungsi- Yaman); (7) Prinsip perdamaian (2: 194, 2:
fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan 190, 8: 61 –62); (8) Prinsip kesejahteraan
Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan (34: 15); (9) Prinsip ketaatan rakyat (4: 59).27
ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip- Sebenarnya masih banyak para pakar politik
prinsip berkonsultasi (syura) harus dilaksanakan dan hukum Islam yang menguraikan prinsip-
di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang- prinsip negara dalam syariat Islam. Namun, dari
undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan uraian di atas cukup representatif bagi penulis
memperhatikan otoritas (kewenangan) yang untuk menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip
dimiliki masing-masing lembaga tersebut.25 negara dalam Islam itu adalah: 1) prinsip tauhid;
Prinsip-prinsip pembentukan negara dalam 2) prinsip keadilan; 3) prinsip kedaulatan rakyat;
syari’ah, Abdul Qadir Audah menyebutnya dengan 4) prinsip musyawarah; 5) prinsip kesamaan di
prinsip-prinsip politik ajaran Islam. Menurutnya: hadapan hukum; 6) prinsip kebebasan rakyat; 7)
prinsip persatuan; 8) prinsip persaudaraan; 9)
prinsip kekuasaan sebagai amanah; 10) prinsip
ketaatan rakyat; 11) prinsip perdamaian; 12)
prinsip kesejahteraan; 13) prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

26
Abdul Qadîr Audah, Al-A`mâl al-Kamilah…, h. 211-223.
22
Subhi Mahmassani, Arkân Huqûq al-Insân, h. 66. 27
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu
23
Subhi Mahmassani, Arkân Huqûq al-Insân, h. 55-61. Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
24
S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Evironmental..., h. 93-95. Implementasi Pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:
25
S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Evironmental..., h. 95-96. Bulan Bintang, 1992), h. 27.

23 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Setelah diteliti dan dikaji, ternyata keberadaan Nasionalisme pada mulanya merupakan konsep
Negara Madinah sarat dengan prinsip-prinsip ini. mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu
Dalam Piagam Madinah, misalnya, digalang suatu wilayah politik kenegaraan,30 selain juga sebagai
perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan gejala awal modernisme bersamaan runtuhnya
kewajiban semua komunitas dalam kehidupan imperium kekaisaran di berbagai belahan dunia,
sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan seperti sistem kekhalifahan yang berakar di Timur
hubungan antara Islam dan ketatanegaraan dan Tengah dan merembes memasuki wilayah Eropa.
undang-undang yang diletakkan oleh Nabi saw, Beriringan dengan fenomena tersebut, kolonialisme
untuk menata kehidupan sosial-politik masyarakat dan kapitalisme muncul yang berseberangan
Madinah. dengan sosialisme dan komunisme. Di sisi lain,
Prinsip-prinsip negara tersebut sangat rep­ nasionalisme lahir dalam konteks historis yang
resentatif untuk masa itu. Bahkan untuk dewasa ini subjektif, sehingga tidak lama kemudian berubah
pun relevan karena nilai-nilainya universal. Sebab menjadi ideologi yang mendasari lahirnya berbagai
prinsip-prinsip tersebut telah menjadi tuntunan negara di seluruh kawasan bumi.
berbagai bangsa di dunia, agar tegak dalam hidup Dalam teori politik, manusia terbagi ke dalam
bermasyarakat dan bernegara, yaitu tatanan berbagai bangsa, dan nasionalisme sebagai nilai
masyarakat yang demokratis, adil, dan damai. rohaniah mendorong kehendak untuk hidup
Karena pada hakikatnya implementasi prinsip- dan survive sebagai suatu bangsa yang bersatu
prinsip tersebut merupakan penghargaan terhadap dan berdaulat.31 Hal ini mendorong dinamika
hak-hak asasi manusia, dan akan menumbuhkan keberagamaan menjadi sangat intens dan kritis.
sikap demokratis dalam berbagai aspek kehidupan. Negara-negara yang pada mulanya lahir dalam
konteks keagamaan mulai menampilkan unsur
Islam dan Nasionalisme dalam Konstelasi baru nasionalitas tersebut. Pada saat yang sama,
Politik beberapa pengalaman kenegaraan menunjukkan
Diskursus Islam dan nasionalisme dewasa ini terjadinya penyilangan agama dan nasionalitas
makin signifikan. Konseptualisasi nasionalisme sepanjang inovasi kreatif setiap founding fathers
beriringan dengan munculnya persoalan ke­ suatu negara. Dalam situasi demikian, nasionalisme
bangsaan dan keberagamaan. Gagasan keber­ terlihat sebagai suatu legitimasi politik paling akurat
agamaan dalam wawasan kebangsaan disadari negara-negara di dunia, sehingga nasionalisme tetap
makin urgen, terlepas dari berbagai polemik sebagai wacana global sepanjang perkembangan
seputar format suatu negara. peradaban modern hingga akhir abad ini.
Nasionalisme secara etimologis berasal dari Konsep negara bangsa yang melahirkan
bahasa Inggris, yakni dari kata nation yang berarti doktrin mengenai nasionalisme merupakan
bangsa. Dalam pengertian politik, bangsa adalah realitas obyektif yang terus mengoreksi doktrin
masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan ke­ber­agamaan. Meski kecendrungan global dapat
mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya membangkitkan doktrin kosmopolitanisme agama,
sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan aneh­nya semangat kebangsaan tetap menjadi
ke dalam.28 Nation dalam konteks political science basis fundamental negara kebangsaan.
ini yang dimaksud sebagai kajian pokok tentang Dengan demikian, dalam nasionalisme terdapat
nasionalisme. Lebih lanjut, dalam International suatu kemauan yang kuat untuk bersatu dalam
Encyclopaedia of the Social Sciences, nasionalisme bidang politik dalam suatu negara kebangsaan
dinyatakan sebagai suatu ikatan politik yang (nasional). Rasa nasionalisme itu sudah dianggap
mengikat kesatuan masyarakat modern dan
memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan Press, 1972), h. 63.
kekuasaan).29
30
David L. Sill (ed.), International Encyclopaedia…, h. 63
31
Dalam konteks ini, nasionalisme terlihat sebagai suatu
keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, dianut oleh sejumlah
28
Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan besar manusia perseorangan sehingga mereka membentuk
Nasional, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), h. 87. suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan
29
David L. Sill (ed.), International Encyclopaedia of The segolongan sebagai suatu bangsa. Lothrop Stoddard, Dunia
Social Sciences, (New York: The Macmillan Company & The Free Baru Islam, (Jakarta: Gunung Agung, 1964), h. 137.

| 24
Efrinaldi: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik ...

muncul manakala suatu bangsa memiliki cita- menimbulkan konflik dalam nasionalisme.
cita yang sama untuk mendirikan suatu negara Persaingan antara negara-negara kebangsaan
kebangsaan. Keinginan untuk bersatu, persamaan di Eropa, kemudian berkembang dalam mem­
nasib, dan patriotisme kemudian bersatu dan perebutkan negeri-negeri jajahan. Pertemuan
melahirkan rasa nasionalisme. antara rasa kebangsaan yang agresif dengan
Nasionalisme, dalam analisis historikal, perkembangan kapitalisme dalam nasionalisme
lebih awal berkembang di Barat. Nasionalisme Barat itu mendorong lahirnya imperialisme.
memang merupakan gejala modern, tetapi tidak Pada awalnya penjajahan merupakan usaha pe­
ada kesepakatan mengenai kapan persis muncul ngembangan perdagangan, terutama disebabkan
dan berkembangnya. Ada pandangan yang me­ adanya kebutuhan bahan mentah, atau berdasarkan
ngatakan bahwa nasionalisme pertama kali muncul motif ekonomi, dalam perkembangan selanjutnya
di Inggeris pada abad ke-17, ketika terjadi revolusi penjajahan dengan sasaran negeri-negeri yang
Puritan.32 Selain itu, ada persepsi yang mengatakan masih terbelakang: Asia, Afrika, dan Amerika
manifestasinya pertama kali muncul di Amerika Latin, bermotif bukan sekedar menaklukkan,
Utara.33 Meskipun demikian, ada kesamaan persepsi tetapi karena persaingan fanatisme nasional
tentang munculnya nasionalisme itu berawal dari di antara negara-negara Eropa, karena adanya
Barat, kemudian menyebar ke Timur. rasa kebangsaan yang agresif.36 Dalam konteks
Dalam historisitas politik, nasionalisme ini, terlihat diferensiasi yang signifikan dengan
muncul sebagai respons terhadap kekuatan- munculnya nasionalisme di negara-negara di luar
ke­kuatan imperialisme Barat, terutama sejak Eropa. Di dunia ketiga, nasionalisme umumnya
revolusi Perancis secara revolusioner meluaskan merupakan respons terhadap dominasi bangsa
penetrasinya ke berbagai bangsa di permukaan kolonial yang menjajah dan kemudian baru
bumi ini. Nasionalisme di Eropa dengan slogan menjelma menjadi sebuah gerakan demokrasi.
“liberte”, “egalite” dan “fraternite”34 muncul Penjajahan ini menimbulkan gerakan nasional
yang kemudian sepadan beriringan dengan di negara-negara jajahan. Perjuangan menentang
munculnya term demokrasi. penjajahan itu muncul dalam waktu yang hampir
Nasionalisme Barat mengandung prinsip bersamaan, dengan bentuk dan tujuan gerakan
demokrasi yang muncul dari revolusi Perancis.35 nasionalisme yang hampir selalu searah di negara
Nasionalisme yang pada mulanya melahirkan jajahan. Perjuangan kemerdekaan setelah sekian
deklarasi hak-hak manusia berubah sifat menjadi lama tanah tumpah darah ditaklukkan oleh
suatu policy yang didasarkan atas kekuatan dan bangsa-bangsa Eropa, membangunkan harapan-
self interest dan bukan atas dasar humaniter. harapan baru dan menggerakkan rakyat-rakyat
Nasionalisme Perancis yang menyuarakan bangsa Timur dalam satu kesadaran diri baru,
kebebasan, kemerdekaan, dan persaudaraan, kesadaran nasional. Persamaan akan nasib yang
dalam perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip sama-sama tertekan dan tertindas memperkuat
tersebut mulai tersisih dengan prinsip-prinsip baru, munculnya rasa nasionalisme ini.
seperti hubungan darah, tanah air, liberalisme, dan Di Indonesia, kesadaran rakyat untuk melepas­
kapitalisme. Konsekuensi dari perkembangan ini kan diri dari cengkreman penjajahan untuk hidup
mandiri, bebas, dan berkedaulatan merupakan
32
Hans Kohn, Nasionalisme (Arti dan Sejarahnya), (Jakarta: suatu pioner bagi background munculnya ke­
PT Pembangunan, 1976), h. 12. sadaran dan semangat sebagai suatu bangsa.
33
David L. Shill, International Encyclopaedia of the Social Semangat kebersamaan sebagai kalangan terjajah
Sciences, (New York: The Macmillan Company & The Free Press,
1972), h. 63. yang tentu berbeda sekali dari berbagai aspek
34
Nasikun, Pembangunan dan Dinamika Integrasi Nasional dengan kepentingan kaum penjajah. Kondisi ini
dalam Masyarakat Majemuk, dalam Eko Prasetyo, et.al. (ed), memicu bagi lahirnya nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme, Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 3.
Penindasan kolonial Belanda terhadap rakyat
35
Kemenangan kaum Borjuis pada Revolusi Perancis
melahirkan demokrasi parlementer, yang biasa juga disebut
demokrasi liberal. (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 36
Barbara Ward, Manusia dalam Kemelut Ideologi,
(Jakarta: Gunung Agung, 1965). (Bandung: Iqra, 1982), h. 32.

25 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab dari pergerakan menuju Indonesia Merdeka.42
timbulnya gagasan nasionalisme Indonesia. 37 Pada mulanya pergerakan nasional di
Di samping itu, homogenitas keagamaan yang Indonesia, versi Hatta, dimulai oleh beberapa
meluas di Indonesia juga merupakan faktor yang orang, kemudian diikuti oleh pergerakan rakyat
paling menyokong berkembvangnya nasionalisme. untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan
Islam dalam realitas masyarakat menjadi simbol negerinya.43 Gagasan Hatta ini sebagaimana
kesatuan dan tali pengikat bersama dalam ditegaskan oleh Toynbee bahwa semua gerakan
melawan infiltrasi dan penindasan asing.38 bersama dimulai oleh individu-individu dan
Nasionalisme pada mulanya merupakan diselenggarakan terutama oleh suatu minoritas
gagasan mengenai kesatuan bangsa dalam suatu aktif sedangkan massa mengikuti dari belakang.44
wilayah politik kenegaraan, yang dalam teorisasi Atas dasar ini, terlihat nasionalisme di
politik nasionalisme sebagai suatu nilai rohaniah Indonesia pada mulanya sebagai nasionalisme
dan semangat yang mendorong kehendak untuk yang anti-imperialisme dan kolonialisme. Per­
hidup sebagai suatu bangsa dan mempertahankan gerakan kemerdekaan di Indonesia dengan
kelangsungan hidup kebangsaannya itu. 39 garis perjuangan yang tegas untuk menggalang
Nasionalisme muncul sebagai manifestasi dari persatuan dan kekuatan nasional yang progresif
kemauan untuk bersatu dalam bidang politik untuk mengenyahkan imperialisme dan kolonial­
sebagai suatu bangsa yang memiliki cita-cita yang isme dari tanah air Indonesia. Corak nasionalisme
sama untuk mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia bukan saja disebabkan posisi Indonesia
(nasional). Nasionalisme terlihat sebagai suatu sebagai bagian dari dunia Timur, tetapi juga
konstruksi identitas yang diolah melalui narasi karena pergerakan yang terdapat di Indonesia
kebangsaan, yang pada periode kemerdekaan terlahir antara lain karena pengaruh pergerakan
cenderung pada semangat kerakyatan yang pada nasionalisme di negeri-negeri Asia.
mulanya bersifat kultural dan menjelma bersifat Pada mulanya perkembangan nasionalisme
politis dan bahkan ideologis. Dalam interaksinya di Indonesia lebih bercorak nasionalisme kultural
dengan kesadaran keberagamaan, nasionalisme yang berdasar ikatan kesamaan budaya lokal
berkaitan dengan modus aktualisasi yang peka dan daerah. Nasionalisme dalam pengertian
dan peduli terhadap berbagai persoalan makro politik muncul beriringan setelah H. Samanhudi
yang berkenaan dengan isu-isu kebangsaan.40 menyerahkan tampuk pimpinan Serikat Islam
Dalam pandangan Mohammad Hatta, salah (SI) kepada H. Oemar Said Tjokroaminoto pada
seorang Proklamator RI dan The Founding bulan Mei 1912 yang mengubah sifat SI dan
Father of the Republic, dengan mengacu pada memperluas ruang geraknya.45 Dalam waktu yang
Lothrop Stoddard dalam The New World of Islam, bersamaan, organisasi Perhimpunan Indonesia di
nasionalisme dikatakan adalah kepercayaan yang negeri Belanda muncul pula sebagai organisasi
dianut oleh sejumlah individu yang jumlahnya pergerakan pelopor nasionalisme yang disusul
cukup besar bahwa mereka merupakan suatu oleh organisasi-organisasi lainnya seperti PNI di
bangsa (nationality); ia merupakan kesadaran Bandung pada tahun 1927. Corak nasionalisme
tentang keterikatan mereka sebagai satu bangsa dalam perkembangannya di Indonesia ternyata
(nation).41 Dalam aspek politik, nasionalisme mengiringi latar belakang pemikiran kepercayaan
menurut Hatta, adalah kebangsaan sebagai roh dan kultur bangsa Indonesia untuk menentang
imperialisme dan kolonialisme Belanda.
37
George Mc. T. Kahin, Nationalism and Revolution in
Indonesia, (Ithaca: Cornell University, 1970), h. 37. dikutip oleh
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, Soekarno Versus Natsir, 42
Frans Seda, Nasionalisme dan Demokrasi, dalam Sri Edi
(Jakarta: Teraju, 2002), h. 52. Swasono (ed.), Bung Hatta, Bapak Kedaulatan Rakyat, (Jakarta:
38
Georeg Mc. T. Kahin, Nationalism and..., h. 38. Yayasan Hatta, 2002), h. 106.
39
Abdul Munir Mulkhan, “Dialog Reflektif Nasionalisme, 43
Frans Seda, Nasionalisme dan Demokrasi, h.42-43.
Agama dan Modernitas”, dalam Georeg Mc. T. Kahin, 44
Toynbee, The Western Question in Greece and Turkey,
Nationalism and...,. h. 14. h. 181, dikutip dalam Deliar Noer, Mohammad Hatta, Biografi
40
Abdul Munir Mulkhan, “Dialog Reflektif...”, h. xi. Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 72.
41
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I, (Jakarta/ 45
Amelz (ed), H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan Per­
Amsterdam/ Surabaya: Balai Buku Indonesia, 1953), h. 42. juangannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), h. 94

| 26
Efrinaldi: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik ...

Ketika proses awal pembentukan negara Dalam perjalanan sejarah Indonesia, upaya
Indonesia setelah melepaskan diri dari penjajah, menyelesaikan konflik ideologis itu kemudian di­
ternyata persoalan yang paling krusial adalah lanjutkan melalui Pemilu 1955, yang dikenal sebagai
menyepakati dasar negara. Perbedaan paham di Pemilu yang paling jurdil. Ketika itu kelompok Islam
kalangan kaum pergerakan nasional Indonesia tampil dengan Masyumi sebagai sebuah partai
makin kentara, terutama antara kelompok Islam politik yang merupakan suatu federasi dari seluruh
versus nasionalis. Dalam sidang BPUPKI (Badan organisasi sosial dan partai-partai Islam.
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Perdebatan antara kelompok Islam dengan
permasalahan pokok yang menjadi polemik politik nasionalis, sebagai kekuatan ideologi yang
tatkala ada pembicaraan tentang dasar negara berbeda, juga muncul pada masa Orde Baru
tersebut. Kelompok Islam politik berupaya untuk dan era berikutnya. Perdebatan tersebut tidak
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hal ini lepas dari kutub pemikiran mengenai hubungan
tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis. agama dengan negara. Hubungan agama dan
Perdebatan menunjukkan tentang masalah agama negara di Indonesia seakan menjadi perdebatan
dengan negara, yang bahkan telah terjadi antara sepanjang sejarah.
Soekarno dan Natsir sebelum Indonesia merdeka.
Kelompok Islam politik menekankan bahwa Sketsa Pemikiran Politik Islam di Indonesia
Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Urusan Munculnya berbagai mazhab fikih, juga dalam
kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian teologi, dan filsafat Islam menunjukkan bahwa
integral dengan Islam. Sedangkan kalangan ajaran-ajaran Islam itu multiinterpretatif.49 Watak
nasionalis mendukung gagasan pemisahan agama multiinterpretatif ini telah berperan sebagai dasar
dari negara. Agama sebagai aturan-aturan spritual dari kelenturan Islam dalam sejarah. Selebihnya,
(akhirat) dan negara adalah masalah duniawi hal yang demikian itu juga mengisyaratkan
(sekuler).46 Perdebatan hubungan agama dengan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena
negara yang muncul pada era berikutnya tidak itu, sebagaimana dikatakan oleh banyak pihak,
lepas dari kutub pemikiran ini. Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat
Perdebatan kelompok Islam politik dengan secara monolitik.
kalangan nasionalis bergulir terus pada Piagam Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah
Jakarta47 Resolusi konflik ideologis kemudian diretas Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada
oleh Mohammad Hatta, sebagai suatu upaya men­ sisi lain, hampir setiap orang Islam percaya akan
jamin persatuan bangsa dalam masa-masa gawat pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan
dan sulit yang dihadapi dan menghindarkan adanya politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang
sesuatu dalam konstitusi yang menabur benih multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan
perpecahan.48 Perubahan-perubahan dalam Piagam tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam
Jakarta dapat diterima karena toleransi kelompok dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh
Islam yang sangat kuat komitmennya terhadap anggapan yang dapat ditangkap dari perjalanan
kesatuan bangsa dan bahkan dalam semangat diskursus intelektual dan historisitas pemikiran dan
nasionalisme demi keutuhan negara Republik praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang
Indonesia. Kelompok Islam dapat menerima berbeda mengenai hubungan Islam dan politik.50
permintaan Hatta tersebut, dengan berharap
kemudian akan membicarakan kembali masalah
ideologis melalui jalan yang demokratis. 49
Telaah historis-sosiologis yang panjang mengenai hal ini
dapat ditemukan antara lain, dalam Marshall G.S. Hodgson, The
Venture of Islam: Conscience and History in a World of Civilization,
46
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Panitia Volume I-III, (Chicago: University of Chicago Press, 1974).
Di Bawah Bendera Revolusi, 1964), Jilid I, h. 404-407. 50
Lihat: Erwin I.J. Rosenthal, Islam in the Modren National
47
Piagam Jakarta sebenarnya adalah memuat kandung­ State, (Cambridge: Cambridge University Press,1965), W.
an Pancasila yang sekarang menjadi ideologi negara, yang sila Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburgh:
pertama dikembangkan dengan anak kalimat: “Dengan kewajib­ Edinburgh University Press, 1960), Qamaruddin Khan, Political
an melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“. Concepts in the Quran,(Lahore: Islamic Book Foundation, 1982),
48
C. Van Deck, Darul Islam : Sebuah Pemberontakan, Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam,
(Jakarta : Grafiti Pers, 1983), h. 52 (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1961).

27 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Secara garis besar, dewasa ini ada beberapa beberapa mainstream (arus utama) pemikiran
spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda. politik Islam. Arus utama ini dimaksudkan
Sementara sama-sama mengakui pentingnya sebagai kategori analitik, karena itu tidak terlalu
prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, menunjukkan perbedaan absolut antara ide-ide
keduanya mempunyai penafsiran yang jauh dan orientasi-orientasi dalam kerangkanya.
berbeda atas ajaran-ajaran Islam dan kesesuaiannya Arus pertama dapat disebut formalistik/
dengan kehidupan modern dan aplikasinya dalam skripturalistik. Istilah ini dimaksudkan untuk
kehidupan nyata. mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang
Pada ujung satu spektrum, beberapa kalangan mem­pertahankan pelaksanaan yang ketat dari
Islam beranggapan bahwa Islam harus menjadi bentuk-bentuk Islam yang formal. Orientasi politik
dasar negara; bahwa syariah harus diterima sebagai formalistik di satu pihak menunjukkan bahwa kul­
konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada turalisasi Islam harus ditransformasikan ke dalam
di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara politisasi, yang kemudian memunculkan simbolisme
bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep Islam. Pemeliharaan secara formalis atas otentisitas
ummat yang tidak mengenal batas-batas politik bahasa wahyu bukan saja me­nunjukkan ikatan yang
atau kedaerahan; dan bahwa sementara mengakui kuat pada skripturalisme-tradisionalis, di samping
prinsip syura (musyawarah), aplikasi prinsip itu mempertahankan ke­cenderungan fundamentalis
berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal untuk menekankan konsep skriptural Islam, walau­
dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan pun tanpa dibarengi kesesuaian dengan bentuk-
kata lain, dalam konteks pandangan semacam ini, bentuk lembaga dan ide-ide modern.
sistem politik modern—di mana banyak negara Formalisme Islam nampak menggabungkan
Islam yang baru merdeka telah mendasarkan penafsiran literal atas kitab suci. Sama-sama
bangunan politiknya—diletakkan dalam posisi menekankan skripturalisme tradisional di satu
yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam. pihak, dan pihak lain menekankan kecenderungan
Pada ujung spektrum yang lain, beberapa fundamentalis yang menekankan konsep skriptural
kalangan Islam lainnya berpendapat bahwa Islam Islam, walaupun bukan dalam pengertian konsep-
tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori konsep syariah dapat dipahami secara tradisional.
negara atau sistem politik yang harus dijalankan Namun demikian, tidak sesuai dengan bentuk-
oleh umatnya. Menurut aliran pemikiran ini, bahkan bentuk dari ide-ide dan lembaga-lembaga modern.
istilah negara (dawlah) pun tidak dapat ditemukan Beberapa unsur dari formalisme Islam
dalam Alquran. Meskipun “terdapat berbagai moderat terlihat misalnya dalam ide-ide intelektual
ungkapan dalam Alquran yang merujuk atau universalis. Pengelompokkan ini memasukkan
seolah-olah merujuk kepada kekuasaan politik dan Amien Rais ke dalam kelompok universalis. Di
otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya samping Amien, Jalaluddin Rahmat dan AM.
bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi Saefuddin termasuk ke dalamnya.
teori politik”. Bagi mereka, jelas bahwa Alquran Universalisme Islam mendukung pandangan
bukanlah buku tentang ilmu politik”. bahwa hakikat Islam adalah universal dan me­
Meski demikian, pendapat ini juga mengakui nyeluruh. Pemikir-pemikir universal cenderung
bahwa Alquran mengandung nilai-nilai dan ajaran- menekankan kedaulatan Ilahi dalam prinsip tauhid
ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas yang menurut mereka membantu membebaskan
sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran manusia dari kekuasaan-kekuasaan non-Ilahi.
ini mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, Untuk membuat Islam bagi kekuatan pembebas,
kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.” Untuk kaum universalis melihat perlunya Islam yang
itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, dilembagakan. Menekankan keniscayaan adanya
sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk
seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan
adalah sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. sifat dasar dari formalisme Islam.
Selain kategori general di atas, ada sementara Di samping itu, ada pula arus yang cen­
kalangan yang menilai bahwa di Indonesia ada derung menekankan pentingnya tingkat makna

| 28
Efrinaldi: Spektrum Fikih Siyasah dan Dinamisasi Pemikiran Politik ...

substansial tertentu sambil menolak bentuk-bentuk Madjid 51—sebagai alternatif wacana Islam,
pemikiran formalistik. Karena itu, arus ini dapat merupakan konsekuensi penolakan terhadap
disebut substantivistik. Istilah ini dimasudkan politisasi agama, seiring dengan berkembangnya
untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang gerakan Islam “militan” dan politisasi agama.
menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai- Penegakan syari’at Islam, misalnya, kasus pe­
nilai Islam dalam aktifitas politik, bukan sekedar nerapan hukum rajam pada anggota Laskar
manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide Jihad yang dilakukan oleh kelompok itu sendiri
maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi merupakan indikasi menguatnya gerakan Islam
ini, yang lebih penting adalah eksistensi intrinsik militan (Gatra, No.24, April 2001), dan adanya
ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, keinginan untuk memasukkan syariat Islam ke
dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakukan dalam UUD dalam proses amandemen UUD
kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, 1945. Kehadiran Islam Liberal juga merupakan
menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern. protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam
Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi ortodoks.
budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang Dalam hubungan Islam dan negara, bagi
dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir Islam Liberal urusan negara adalah semata-mata
yang menekankan pentingnya memperhatikan urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau
unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang
Islam), yang telah berupaya memperhatikan bentuk pemerintahan manusia.52 Argumen lainnya
cita-cita Islam bagi budaya nasional Indonesia, adalah Nabi tak pernah menyatakan secara tegas
yang membedakan secara jelas antara Islam bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah
dan negara. Salah seorang pencetus indigenisme memiliki pola politik tertentu. Hubungan Islam
adalah Abdurrahman Wahid, tokoh NU, yang dan negara menurut pandangan ini adalah bahwa
ketika pada awal tahun 80-an terkenal karena Islam tidak secara jelas mengungkap masalah
gagasannya tentang “pribumisasi Islam” dalam konsep negara, dan urusan negara adalah urusan
menghadapi kultur Indonesia. Ide ini didasarkan duniawi serta tidak diatur oleh agama.
pada postulat pluralisme masyarakat Indonesia, Berseberangan dengan ini, kelompok Islam
di mana Islam hanya berfungsi sebagai salah Literal jelas keberatan dengan pandangan ini.
satu faktor komplementer bagi bangsa Indonesia Kelompok Islam Liberal ditandaskan tidak melihat
secara keseluruhan. Dalam hubungan ini penting realitas sejarah. Dalam pandangan Islam Literal,
bagi umat Islam mengembangkan kesadaran sejak berdirinya negara Madinah yang memiliki
kebangsaan. Karena menurutnya, atas dasar konstitusi tertulis pertama di dunia (piagam
kesadaran ini negara Indonesia didirikan. Madinah), Nabi Muhammad saw sudah bertindak
Arus utama lainnya dewasa ini adalah sebagai kepala negara, yang selain mengangkat
Islam Liberal. Istilah Islam Liberal pertama kali pejabat-pejabat negara juga menjalankan hukum-
dikemukakan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (India, hukum (syariat) Islam terhadap seluruh warga
1899-1981). Inti utama dari pemikiran Islam Liberal, negara. Realitas di Indonesia juga begitu banyak
menurut hasil penelitian Leonard Binder, mesti syariat Islam yang sudah diatur oleh negara,
Alquran itu bahasa wahyu namun demikian seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang UU Pokok Perbankan, UU Zakat, UU Haji, dan
bersifat verbal. Sehingga untuk mendapatkan sebagainya. Begitu pula kemunculan gerakan-
makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata yang gerakan militan Islam di Indonesia, seperti Laskar
terungkap dalam Alquran dan untuk memahaminya Jihad, FPI, dan Hizbut Tahrir yang menguat, bisa
melalui usaha yang didasarkan kata-kata, tetapi dimaknai sebagai partisipasi mereka untuk terlibat
penafsirannya dapat melampauinya sehingga merebut simpati publik.
menemukan arti sebenarnya.
Maraknya gagasan Islam Liberal di Indonesia— 51
Fauzan al-Anshary, “Koreksi atas Tafsir Liberal Syari’at
yang menurut Fauzan al-Anshari merupakan Islam”, Republika, 31 Agustus 2001.
kelanjutan petualangan pemikiran Nurcholis
52
Luthfi As-Syaukani, Pengantar Wajah Islam Liberal di
Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002).

29 |
MADANIA Vol. XVII, No. 1, Juni 2013

Penutup Effendy, Edy A. (ed.), Dekonstruksi Islam, Mazhab


Secara spesifik Islam memang tidak meletak­ Ciputat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
kan suatu pola baku tentang teori negara atau Efrinaldi, Fiqh Siyasah, Dasar-dasar Pemikiran Politik
sistem politik yang harus dijalankan oleh umatnya. Islam, Jakarta: Granada Press, 2007.
Bahkan istilah negara (dawlah) pun tidak dapat Efrinaldi, Rekonstruksi Pemikiran Politik Islam,
ditemukan dalam Alquran. Meskipun “terdapat Jakarta: Citra Publika Press, 2008.
berbagai ungkapan dalam Alquran yang merujuk Efrinaldi, Teori Pembentukan Negara, Visi al-Ghazali
atau seolah-olah merujuk kepada kekuasaan (Merajut Etika dalam Transisi Politik dan
politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan- Kekuasaan), Jakarta: Transmisi Media, 2002.
ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or
Reality?, terj. Alwiyah Abdurrahman, Bandung:
ada pengaruhnya bagi teori politik”.
Mizan, 1994.
Meski demikian, harus diakui bahwa Alquran
Fromm, Erich, Escape from Freedom. London:
mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang
Routledge and Kegan Paul, 1942.
bersifat etis mengenai aktifitas sosial dan politik
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam:
umat manusia. Mabâdi al-Siyâsi termaktub dalam
Conscience and History in a World of
nilai-nilai substansial Islam. Ajaran-ajaran ini
Civilization, Volume I-III, Chicago: University
mencakup prinsip-prinsip tentang “keadilan, of Chicago Press, 1974.
kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.” Khan, Qamaruddin, Political Concepts in the Quran,
Kulturalisasi Islam harus ditransformasikan ke Lahore: Islamic Book Foundation, 1982.
dalam politisasi, yang dibarengi kesesuaian dengan Khathîb, Muhammad `Ajjâj al-, Al-Sunnah Qabla
bentuk-bentuk lembaga dan ide-ide modern. al-Tadwîn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1963.
Orientasi politik dalam perspektif Fikih Siyasah Lewis, Bernard, The Political Language of Islam,
secara progresif menekankan tuntutan manifestasi London: The University of Chicago Press, 1988.
substansial nilai-nilai Islam dalam aktifitas politik, Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan, dan
bukan sekedar manifestasinya yang formal, baik Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Yang lebih Mahzar, Armahedi, Integralisme, Sebuah Rekonstruksi
penting adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Filsafat Islam, Bandung: Pustaka, 1983.
Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
yaitu penyiapan landasan budaya, menuju Rahman, Fazlur, Islam and Modernity:
terwujudnya masyarakat Indonesia modern. Transformation of an Intellectual Tradition,
Chicago: Chicago University Press, 1980.
Pustaka Acuan Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History.
Ahmed, Akbar S. & Hastings Donnan, Islam, Karachi: Institute of Islamic Research,1965.
Globalization, and Postmodernity, London: Rahman, Fazlur, Mayor Themes of the Qur’an.
Routledge, 1994. Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica,1980.
Al-Anshary, Fauzan, Koreksi atas Tafsir Liberal Rahman, Fazlur, Toward Reformulating the
Syari’at Islam, Republika, 31 Agustus 2001. Methodology of Islamic Law, dalam
Asad, Muhammad, The Principles of State and “International Law and Politics”, vol. 12, 1972.
Government in Islam, Berkeley and Los Rosenthal, Erwin I.J., Islam in the Modren National
Angeles: University of California Press, 1961. State. Cambridge: Cambridge University
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Fiqh Islam, Mempunyai Press,1965.
Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, Syahrastani, Muhammad Ibn `Abd al-Karîm
Jakarta: Bulan Bintang, 1975. al-, Kitâb al-Milal wa al-Nihal. Kairo: Dâr al-
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Ma`rifah, 1951.
Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966. Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought,
As-Syaukani, Luthfi, Pengantar Wajah Islam Liberal Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960.
di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002. Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam,
Benson, Purnell Handy, Religion in Contemporary Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Culture, New York: Harper and Brothers, 1960. Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

| 30

Anda mungkin juga menyukai