Anda di halaman 1dari 5

BAB VII

AJARAN KAUSALITAS

Tujuan Umum Pembelajaran


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami ajaran
kausalitas dalam hukum pidana sebagai salah satu ajaran yang sangat penting dalam
hubungannya siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran pidana

Tujuan Khusus Pembelajaran


Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Memahami pentingnya asas kausalitas dalam hukum pidana
2. Menjelaskan kaitan asas legalitas dengan delik materiil dari hukum pidana
3. Menguraikan perbedaan antara teori conditio sine que non, teori-teori yang
mengindividualisir dan teori-teori yang menggeneralisir

1. Pentingnya Ajaran Kausalitas


Apabila dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat dibedakan
antara (1) tindak pidana yang dirumuskan secara formil, disebut dengan tindak pidana
formil (formeel delicten), dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materiil, disebut
dengan tindak pidana materiil (materieel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang
melakukan tingkah laku tertentu. Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya
wujud perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok
larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak
pidana formil, kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan
terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana tanpa melihat atau
bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu. Contohnya pencurian (362), apabila
perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai.1 Tindak pidana materiil ialah
tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut
akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat
konstitutif). Walaupun dalam rumusan tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku
(misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338 atau menggerakkan pada
penipuan: 378), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada
selesainya mewujudkan tingkah laku, akan tetapi apakah wujud dari tingkah laku telah
menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak. Pada pembunuhan (338) hilangnya nyawa
orang lain, atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda,
membuat hutang atau menghapuskan piutang. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan
nyawa, misalnya dengan wujud konkritnya menusuk (dengan pisau) tidaklah demikian
melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak

1
Adami Chazawi, Op,.Cit., hal. 213.
melahirkan akibat matinya korban. Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga
digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah
diwujudkan misalnya melepas tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau
belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah
percobaan pembunuhan (338 jo 53).2
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3
syarat esensial, yaitu:
1. terwujudnya tingkah laku
2. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg), dan
3. ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat
konstitutif.
Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya
tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas adalah kumulatif. Untuk menentukan
terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit. Akan tetapi untuk
menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh
terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit dikarenakan seringkali timbulnya suatu
akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu
dengan yang lainnya. Contoh, seorang bapak mengendarai sepeda motor hendak
menyeberang-mengambil jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan
kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah
belakang. Menghadapi keadaan seperti itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat
tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban dijalan yang keras, yang menyebabkan
bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda
motor, namun tiba-tiba di depan mobil yang telah berhenti dan masih duduk diatas sadel
sepeda motornya,bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke rumah
sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian
meninggal dunia. Hasil penyidikan menentukan bahwa si pengendara mobil dissangka
kurang hati-hati yang menyebabkan orang meninggal dunia (359). Di samping itu hasil
otopsi menentukan bahwa kematian korban karena seranngan jantung karena si korban
mengidap penyakit jantung yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan meyebabkan
kematian. Contoh kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam praktik
hukum untuk menentukan ada tidaknya hubungan kausal antara wujud perbuatan (pada
contoh di atas: mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat
yang timbul yang menyebabkan kematian bapak tadi.
Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh sehingga pada
ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktor itu ialah:
1. korban berbelok kanan-menyeberang dengan tiba-tiba
2. pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem
3. adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan
4. korban terkejut; menyebabkan
5. kambuhnya penyakit jantung korban
2
Loc.Cit.
6. tidak segera mendapatkan pertolongan medis.

1. Macam-Macam Ajaran Kausalitas


Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3
teori yang besar, yaitu:
1. teori conditio sine que non;
2. teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien);
3. teori-teori yang menggeneralisir (genaraliserende theorien)

ad. 1. Teori Conditio Sine Que Non


Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat
sebagai Presiden reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku
mengenai hukum ialah (1) Uber Kausalitat und deren verantwortung, dan (2) Die
Kausalitat und ible strafrechtliche Beziebungen. Tentang ajaran yang pertama kali
dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua
faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat.
Teori ini tidak membedakan mana faktor syarat dan mana faktor penyebab, segala
sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat
adalah termasuk penyebabnya. Berkaitan dengan contoh kasus diatas maka yang
menyebabkan kematian pengendara motor diatas tidak ada yang merupakan syarat,
semuanya menjadi faktor penyebab. Semua faktor dinilai sama perananannya terhadap
timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari
rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keadaan
senyatanya dalam peristiwa itu.3
Teori ini memperluas pertanggung jawab dalam hukum pidana disebabkan karena
orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekadar syarat saja dari timbulnya
suatu akibat, misalnya pada contoh diatas tadi ialah faktor pengeamudi mobil menginjak
rem dengan keras dan kemudian faktor menimbulkan bunyi keras dari gesekan ban
dengan aspal adalah sekadar faktor syarat saja, akan tetapi karena dinilai sama dengan
faktor penyebab kematiannya secara medis adalah karena kambuhnya penyakit jantung,
sehingga si pengemudi dinilai bertanggung jawab atas kematian bapak tadi.
Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan
faktor penyebab, yang dapat menimbulkan tidakadilan. Walupun teori ini memiliki
kelemahan yang mendasar, tetapi toh dalam praktik di negeri Belanda pernah juga dianut
oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan (8-4-1929) yang menyatakan bahwa
“untuk dianggap sebagai sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat
umum atau normal”.4
Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini, tetapi dengan mudah dapat digunakan
dan diterapkan pada segala peristiwa, dan para praktisi hukum tidaklah perlu berdebat
3
Ibid., hal. 218.
4
Satochid, Op,Cit., hal. 451.
panjang dan susah payah memikirkan untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya
atau faktor yang paling kuat baik secara akal maupun ilmu pengetahuan yang menjadi
penyebab atas timbulnya suatu akibat tertentu.

Ad.2. Teori-Teori yang Mengindividualisir


Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor
penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau
terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu berserta
akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah
peristiwa terjadi, maka diantara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu,
tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa
faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat
terhadap timbulnya suatu akibat. Sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor
syarat saja dan bukan faktor penyebab.
Jadi, tidak semua faktor yahg tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor
penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa
itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau palaing kuat
pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh kasus diatas
maka sekiranya faktor serangan penyakit jantung yang paling dominan peranannya
terhadap kematian pengendara motor tersebut. Sedangkan faktor lainnya bukanlah
sebagai faktor penyebab dari matinya orang tersebut.
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang
mengindeividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal,
yaitu:
a. dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang
paling kuat, dan
b. dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat
pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan
bagi sebagian ahli hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah
teori-teori yang menggeneralisir.

Ad.3. Teori-teori yang Menggeneralisir


Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari
rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akbiat adalah
dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta
pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Persoalannya ialah
bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umunya secara wajar dan
menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan ini, maka
timbulah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan toeri adequat
subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequat objektif.
a. Teori Adequat Subjektif
Teori adequat subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor
penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding)
atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si
pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut.5
Sebenarnya teori adequat subjektif dari von kries ini bukan teoeri kausalitas yang
murni, karena di dalamnya tersimpul penentuan tentang unsur kesalahan pada diri si
pembuat (Sudarto, 1990:71).

b. Teori Adequat Objektif


Teori ini dipelopori RUMELIN yang ajarannya disebut dengan teori obyectif
nachtragliche prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari causa dari
suatu akibat pada faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat.
Contoh teori adequat subjektif dengan teori adequat objektif serta penerapannya:
seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada
seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada
orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu
yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasuki racun,
maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien.
c. Ajaran kausalitas dalam Hal Perbuatan Pasif.
Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak
pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif
atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak
pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak
berbuat mana melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu.
RANGKUMAN
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat
esensial, yaitu: terwujudnya tingkah laku terwujudnya akibat, dan ada hubungan kausal
antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif. Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas adalah
kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah
sulit. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar
disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit dikarenakan seringkali
timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara
yang satu dengan yang lainnya.

5
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.223.

Anda mungkin juga menyukai