Anda di halaman 1dari 14

BAB X

PENYERTAAN

Tujuan Umum Pembelajaran (TUP):


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang
pelaku dan keturutsertaan (daderschap en deelneming).

Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP):


Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan:
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian deelneming atau keturutsertaan.
(2) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dader atau pelaku.
(3) Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk deelneming.
(4) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan.
(5) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian medeplegen atau turut melakukan
(6) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian uitlokken atau menggerakkan orang lain
untuk melakukan tindak pidana
(7) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan
(8) Mahasiswa mampu menyebutkan perbedaan antara beberapa bentuk deelneming

A. PENGERTIAN DEELNEMING
Ajaran mengenai deelneming itu menurut van Hamel, sebagai suatu ajaran yang bersifat
umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan
pembagian pertanggung-jawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut
rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian,
akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu
kerjasama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material.1
Ketentuan berkenaan dengan masalah pelaku (dader) dan keikutsertaan
(deelneming) terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasal 55 KUHP menyatakan:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan
perbuatan itu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberikan
kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan
sesuatu perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan
kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta
dengan akibatnya

Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1
(Lamintang, 1984: 567).
1e. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2e. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu.
Adapun maksud ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP dengan sengaja telah
dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk mengatur
pertanggungjawaban menurut hukum pidana dari setiap orang yang terlibat di dalam suatu
tindak pidana-kecuali pelakunya sendiri-, oleh karena tanpa adanya ketentuan pidana
seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 KUHP itu, orang-orang tersebut menjadi tidak
dapat dihukum.
B. PENGERTIAN PELAKU (DADER)
Pada delik formal, yakni delik-delik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh
pelakunya, yaitu segera setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang
oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang
diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai
seorang dader itu, memang tidak sulit. Orang tinggal menemukan siapa yang sebenarnya
telah melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah disebutkan di
dalam undang-undang. Lain halnya apabila orang harus memastikan siapa yang harus
dipandang sebagai seorang dader pada delik-delik material, oleh karena untuk dapat
memastikan siapa yang harus dipandang sebagai dader itu, sebelumnya orang harus telah
dapat memastikan apakah suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai suatu penyebab dari
suatu akibat yang timbul ataupun tidak.
van Hattum sebagaimana dikutip oleh dalam Lamintang menjelaskan bahwa bahwa
apa yang disebut dengan causaliteitsleer (ajaran kausalitas) itu mempunyai arti yang
sangat penting di dalam ajaran daderschap pada khususnya dan di dalam ajaran mengenai
deelneming pada umumnya.2
Pengertian dader atau pelaku dari suatu tindak pidana menurut van Hamel adalah:
pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang
bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak
dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seorang diri telah
melakukan tindak pidana yang bersangkutan.3

Pengertian dader seperti tersebut di atas dapat dibandingkan dengan pula telah
rumusan dader menurut Simons sebagai berikut:
Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang
bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu
ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan
suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan
tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-
undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur
suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undang-undang, baik itu
merupakan unsur-unsur subyektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang
2
Lamintang, P.A.F., Op.Cit. hal. 563.

3
Ibid., hal. 566.
apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya
sendiri atau timbul karena digerakkan pihak ketiga.4
Tegasnya dari kedua pendapat di atas, yang dipandang sebagai pelaku dari suatu
tindak pidana yaitu dengan melihat pada bagaimana caranya tindak pidana tersebut
dirumuskan dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh undang-
undang dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang.
Dalam hal ini yang dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang
disebutkan dalam Pasal 55 KUHP, sebagaimana dijelaskan oleh memori penjelasan KUHP
bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam Pasal 55 KUHP itu adalah pelaku.

C. BENTUK-BENTUK DEELNEMING
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP
adalah:
1. Doen plegen atau menyuruh melakukan.
2. Medeplegen atau turut melakukan.
3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
4. Medeplichtigheid.

Ad. 1. Pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan


Pada doen plegen terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu
tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melakukan tindak pidana tersebut.
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain
melakukan suatu tindak pidana biasanya disebut sebagai pelaku tidak langsung
(middellijke dader). Disebut sebagai pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak
secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang
lain. Sedangkan orang lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai
pelaku material (materieele dader).
Menurut ketentuan Pasal 55 KUHP, pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi
hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya
sendiri, dan dalam hal ini adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku material
(materieele dader).

Ad. 2. Pengertian Medeplegen atau turut melakukan.


Oleh karena di dalam bentuk deelneming selalu terdapat seorang pelaku dan seorang
atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan pelakunya, maka
bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap.
Dengan demikian, maka medeplegen itu juga merupakan suatu daderschap. Apabila
seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang
dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu

4
Ibid., hal. 567.
tindak pidana, maka setiap peserta di dalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang
mededader dari peserta atau peserta-peserta yang lain.5
Di dalam praktek tidak mudah untuk menentukan pelaku dan pelaku penyerta
tersebut. Dalam hal ini menurut pendapat van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat
dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak pidana
dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna.
Menurut pendapat van Hattum, perbuatan medeplegen di dalam Pasal 55 KUHP itu
haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut
melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain.
Apakah dengan demikian untuk adanya suatu medeplegen itu sudah cukup apabila
opzet seorang mededader itu ditujukan kepada perbuatan “turut melakukan” saja?.
Tentang hal tersebut menurut van Hattum, “kecuali bahwa opzet seorang mededader
itu harus ditujukan kepada suatu kerjasama, opzet dari mededader tersebut harus juga
ditujukan kepada unsur-unsur dari delik yang diliputi oleh opzet, yang harus dipenuhi oleh
seorang pelaku”.
Ini berarti bahwa menurut van Hattum opzet seorang mededader itu harus ditujukan
kepada:
a. Maksud untuk bekerja sama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak
pidana, dan
b. Dipenuhinya semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur
opzet, yang harus dipenuhioleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang
disyaratkan di dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut pendapat Hoge Raad (HR) untuk adanya suatu medeplegen itu disyaratkan
bahwa setiap pelaku itu mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang
disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu haruslah diselidiki dan
dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut memang terdapat pada tiap peserta .
Pendapat HR di atas ternyata tidak diikuti oleh Mahkamah Agung RI, yang tidak
memperhatikan adanya maksud yang sama diantara peserta, melainkan hanya
memperhatikan tindakan peserta yang mana yang dapat dipandang sebagai wajar untuk
disebut sebagai penyebab suatu akibat yang timbul.
Dalam putusan kasasinya tanggal 26 Juni 1971 nomor 15 K/Kr./1970, MA memberi
putusan yang berbunyi:
“Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di
dalam Pasal 339 KUHP, terdakwa I-lah yang memukul si korban dengan sepotong
besi yang mengakibatkan matinya si korban. Karena itu untuk terdakwa II kualifikasi
yang sangat tepat adalah “turut melakukan” tindak pidana (medeplegen), sedangkan
pembuat materialnya ialah terdakwa I”.
Di dalam putusan kasasi MA di atas tidak tampak adanya syarat bahwa untuk suatu
medeplegen itu juga disyaratkan bahwa opzet para peserta dalam kejahatan itu harus pula
ditujukan kepada medewerking atau pada kerjasama untuk melakukan kejahatan yang
bersangkutan, melainkan hanya kepada dipenuhinya unsur-unsur dari rumusan tindak
pidana di dalam Pasal 339 KUHP.
5
Ibid., hal.588.
Untuk adanya suatu medeplegen itu justru yang perlu diperhatikan ialah ada atau
tidaknya suatu volledig en nauwe samenwerking atau adanya suatu kerjasama yang
lengkap dan bersifat demikian eratnya diantara para peserta di dalam kejahatan, oleh
karena itu tanpa adanya kerjasama seperti itu, kita juga tidak dapat berbicara mengenai
adanya suatu medeplegen.
Dari putusan kasasi di atas dapat diketahui bahwa MA telah mensyaratkan bahwa
didalam suatu opzettelijk delict atau di dalam suatu tindak pidana yang menurut ketentuan
undang-undang harus dilakukan dengan sengaja itu, opzet para medepleger harus juga
ditujukan kepada semua unsur dari delik yang bersangkutan.6
Tentang hal ini Pompe (dalam Lamintang, 1984: 597), menyatakan antara lain:
Demikian halnya agar seseorang yang turut melakukan itu dapat dihukum, maka
orang tersebut harus mempunyai opzet dan memenuhi lain-lain unsur dari delik yang
bersangkutan. Apabila opzet tersebut tidak terdapat pada orang yang turut
melakukan, maka orang tersebut tidak dapat dihukum karena telah turut
melakukan...,Oleh karena itu sama halnya dengan dapat dihukumnya seseorang yang
telah ‘menyuruh melakukan’, maka untuk dapat dihukumnya seseorang yang telah
“turut melakukan” itu disyaratkan, bahwa mereka itu harus mempunyai suatu opzet
yang ditujukan kepada tindak pidana yang ingin mereka lakukan.
Sekarang timbul pertanyaan, dimanakah letak perbedaan antara suatu medeplegen
dengan suatu medeplichtigheid itu?.
Tentang hal ini dapat dilihat penjelasan dalam Memorie van Toelichting (MvT) yang
antara lain menyebutkan:
Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu
melakukan itu adalah, bahwa orangyang disebutkan pertama itu secara langsung
telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah
diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung
turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk
menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebut terakhir
itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan atau perbuatan-
perbuatan seperti dimaksud di atas.

Adapun untuk menentukan batas-batas antara mededaderschap dan


medeplichtigheid itu, di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana pada dasarnya terdapat
dua paham yaitu de objectieve deelnemingstheorie dan de subjectieve deelnemingstheorie.
Menurut objectieve deelnemingstheorie, apakah terdapat suatu mededaderschap
ataukah suatu medeplichtigheid, hal mana digantungkan pada sifat dari perbuatan yang
telah dilakukan seseorang. Teori ini mensyaratkan adanya suatu tindakan yang juga dapat
dianggap sebagai penyebab dari terjadinya suatu tindak pidana, atau juga dapat dianggap
sebagai sebagian dari tindakan untuk melaksanakan suatu tindak pidana, yang mampu
membuat tindak pidana tersebut menjadi suatu kenyataan.7
Menurut subjectieve deelnemingstheorie, terutama dari von Buri, apakah terdapat
suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid itu, hal mana digantungkan pada
kenyataan apakah tujuan atau maksud sesorang itu tergantung pada tujuan atau maksud
6
Ibid., 595.
7
Simons dalam Lamintang, Ibid., hal. 600.
orang lain ataupun tidak. Jadi menurut teori ini, seorang mededader itu mempunyai tujuan
sendiri, dan tidak menginginkan akibat perbuatannya itu harus digantungkan pada
kehendak orang lain. Sedangkan seorang medeplichtige itu menggantungkan tujuannya
pada tujuan seorang pelaku, dan menggantungkan akibat perbuatannya pada si pelaku,
yakni selama pelaku tersebut menghendaki timbulnya suatu akibat.
Dengan demikian adanya suatu kesadaran diantara para peserta di dalam suatu
tindak pidana bahwa mereka telah melakukan suatu kerjasama untuk melakukan suatu
tindak pidana itu merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam suatu
mededaderschap, atau dapat dikatakan sebagai suatu faktor yang menentukan untuk dapat
mengatakan bahwa disitu terdapat suatu medeplegen atau suatu keturutsertaan melakukan
suatu tindak pidana.

Ad. 3. Pengertian Uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
pidana
Van Hamel telah merumuskan uitlokking itu sebagai berikut:
Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan
pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena
telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan
tindak pidana yang bersangkutan”.
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa antara doen plegen atau menyuruh
melakukan dengan uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa di dalam doen plegen itu
orang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang di dalam
doktrin juga sering disebut sebagai doen pleger atau manus domina itu telah tidak
melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan
orang lain, yang biasanya disebut sebagai de materiele dader ataupun yang juga
sering disebut sebagai manus ministra. Sedang di dalam uitlokking itu, orang yang
telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang
didalam doktrin sering juga disebut sebagai de uitlokker atau provocateur atau agent
provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak melakukan sendiri tindak pidana
yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya
disebut sebagai de uitgelokte atau sebagai orang yang telah digerakkan.
Di dalam doktrin, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan
suatu tindak pidana itu kecuali disebut sebagai agentprovocateur atau sebagai
lokbeambte, ia juga sering disebut sebagai auctor intellectualis ataupun sebagai
intellectueel dader.
Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu terdapat suatu kesamaan, akan
tetapi di antara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan,
yaitu antara lain adalah:
a. Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu
haruslah merupakan orang yang niet-toerekenbaar atau haruslah merupakan orang
yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang yang telah
digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang
sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau toerekenbaar.
b. Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan
suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang,
sedang cara-cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana di dalam uitlokking itu telah
ditentukan secara limitatif dalam undang-undang.
Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam doenplegen itu yang disyaratkan
bukanlah bahwa orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu harus
merupakan orang yang ontoerekeningsvatbaar, artinya bahwa orang tersebut haruslah
merupakan seseorangyang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, melainkan bahwa perbuatan orang yang
telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Atau dengan perkataan lain,
perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindakpidana itu haruslah niet-
toerekenbaar.
Hal itu sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam MvT yang antara lain
menyebutkan:
“Pelaku langsung (dari suatu tindak pidana) itu merupakan seorang manus
ministra yaitu orang yang bertindak tanpa opzet (dolus), tanpa schuld (culpa)
atau tanpa toerekenbaarheid (tanpa perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya), disebabkan oleh ketidak tahuan pada
dirinya, oleh kesalahpahaman, yang memang dikehendaki oleh orang yang
menyuruh atau oleh kekerasan yang telah berpengaruh pada dirinya”.
Dari rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat diketahui, bahwa suatu
uitlokking itu harus dilakukan dengan sengaja atau secara opzettelijk. Dan opzet
seorang uitlokker itu harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada tindak pidananya,
yakni tindak pidana yang ia harapkan akan dilakukan oleh orang yang telah ia
gerakkan dengan mempergunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam
Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP tersebut.
Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu menghendaki agar de uitgelokte
melakukan suatu pembunuhan seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP,
maka opzet dari uitlokker tersebut haruslah pula ditujukan kepada tindak pidana
pembunuhan yang bersangkutan. Dan ini berarti pula uitlokker tersebut harus
memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat dalam
rumusan Pasal 338KUHP.
Bagaimana dengan opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan
pembunuhan tersebut?
Van Hamel berpendapat, bahwa secara yuridis opzet dari orang yang telah
digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah identik dengan opzet
dari orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk melakukan tindak pidana
yang bersangkutan.
Jadi opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan itu
harus pula sama dengan opzet dari uitlokker-nya. Dan ini berarti pula bahwa sama
halnya dengan uitlokker-nya, maka orang yang telah digerakkan untuk melakukan
pembunuhan itu harus juga memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan
seperti yang terdapat di dalam rumusan Pasal 338 KUHP.
Untuk adanya suatu uitlokking itu haruslah dipenuhi dua syarat obyektif, yaitu:
1. Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus
menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau
menghasilkan suatu strafbarepoging atau suatu percobaan yang dapat dihukum;
dan
2. Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena
orang tersebut telah tergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain
dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat
1 angka 2 KUHP.
Menurut van Hamel antara tindak pidana yang telah dilakukan oleh orangyang
tergerak dengan uitlokking-nya itu sendiri harus terdapat suatu hubungan kausal, yang
harus dibuktikan. Walaupun diakui bahwa untuk menyatakan terbuktinya hubungan kausal
itu tidaklah mudah, dan biasanya orang menganggap bahwa hubungan kausal tersebut
sebagai cukup terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “orang yang tergerak”
itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang
menggerakkan.
Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan orang lain itu tidaklah perlu harus
ditujukan kepada seseorang tertentu atau kepada orang-orang tertentu saja, melainkan ia
juga dapat dilakukan secara umum, dalam arti ditujukan kepada orang banyak. Dan sudah
barang tentu untuk menggerakkan orang-orang tersebut harus pula dipergunakan salah
satu cara seperti yang telah disebutkan secara limitatif di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2
KUHP. Sebab bila tidak demikian, perbuatan menggerakkan orang banyak itu bukannya
menghasilkan suatu uitlokking, melainkan ia akan menghasilkan suatu opruing atau suatu
perbuatan menghasut seperti yangdimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, dimana poging
tot uitlokking atau percobaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak
pidana itu telah dijadikan suatu kejahatan yang berdiri sendiri.
Diantara cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang uitlokker dalam
menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana, terdapat beberapa cara yang
sangat perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan atau
ancaman dengan kekerasan itu sifatnya tidak boleh sedemikian rupa sehingga orang
yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan
overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana
itu berada di dalam keadaan yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi
niet-toerekenbaar atau menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya, dan
ini berarti bahwa orang tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan
dengan suatu doen plegen.
2. Perbuatan untuk membuat orang yang digerakkan menjadi mempunyai pandangan yang
keliru dari orang yang telah digerakkan itu. Apabila sebagai akibat pandangan yang
keliru dari orang yang telah digerakkan itu, orang tersebut menjadi tidak mempunyai
schuld terhadap salah satu unsur delik, padahal undang-undang telah mensyaratkan
tentang harus adanya unsur schuld (dolus atau culpa) pada pelakunya terhadap unsur
tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak
pidana itu menjadi niet-toerekenbaar, sehingga dalam keadaan semacam itu orang tidak
lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen.
3. Berkenaan dengan misbruik van gezag atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut
Simons, “misbruik van gezag” itu menunjukan adanya sifat membawah dari orang
yang digerakkan terhadap orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk
melakukan suatu tindak pidana.8

Ad. 4. Pengertian medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana


Menurut Simons, medeplichtigheid itu merupakan suatu onzelf standige
deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah
seorang medeplichtige itu dapat dihukum atau tidak, hal mana tergantung pada
kenyataan, yaitu apakah pelakunya sendiri telah melakukan suatu tindak pidana atau
tidak.
Bentuk medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan membantu melakukan
suatu kejahatan. Dengan demikian, maka setiap tindakan yang dilakukan orang dengan
maksud membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat membuat orang
tersebut dituntut dan dihukum karena dengan sengaja telah membantu orang lain, pada
waktu orang lain tersebut sedang melakukan suatu kejahatan.
Bantuan yang dapat diberikan oleh seorang medeplichtige dapat merupakan
bantuan yang bersifat material, yang bersifat moral ataupun yang bersifat intelektual.
Bentuk medeplichtigheid yang kedua adalah kesengajaan memberikan bantuan
kepada orang lain untuk mempermudah orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan.
Bantuan ini dapat bersifat material misalnya menyerahkan senjata atau alat-alat kepada
pelakunya, dan dapat pula bersifat intelektual, misalnya dengan memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada di
dalam pengawasannya.
Dari rumusan Pasal 56 KUHP dapat diketahui, bahwa pemberian bantuan seperti
dimaksudkan di atas haruslah diberikan dengan sengaja (opzettelijk).
Tentang opzet ini menurut Simons: ”Opzet seorang medeplichtige itu harus
ditujukan kepada semua unsur dari tindak pidana yang bersangkutan, bahkan juga kepada
unsur-unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan, bahwa opzet pelakunya itu harus
pula ditujukan kepada unsur-unsur tersebut”.9
Ini berarti bahwa walaupun kejahatan yang sedang atau yang akan dilakukan oleh
pelakunya itu sebenarnya merupakan suatu culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang
8
Ibid., hal. 614.
9
Simon dalam Lamintang, P.A.F. Op.Cit., hal. 619.
menurut rumusannya di dalam undang-undang sebenarnya dapat dilakukan dengan tidak
sengaja, akan tetapi terhadap kejahatan tersebut, seorang medeplichtige itu harus pula
mempunyai suatu opzet.
Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka perbuatan medeplichtige itu
harus memenuhi unsur yang bersifat obyektif dan unsur yang bersifat subyektif.
Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang
bersifat subyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut
benar-benar telah dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa medeplichtige tersebut
memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung
dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan perbuatan mempermudah atau
mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki.
Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
B meminjam rencong pada A. Tidaklah mungkin ada bentuk pembantuan di sini,
apabila A dalam hal meminjamkan rencong itu tidak ada keinsyafan bahwa rencong
akan digunakan oleh B untuk menikam C (membunuh), misalnya B mengatakan
untuk digunakan sebagai pelengkap baju pengantin pria khas Aceh. Keinsyafan A
bahwa rencong yang dipinjamkan pada B hendak digunakan untuk menikam C harus
telah terbentuk sebelum rencong dipinjamkan pada B.

Contoh: Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.


A memberhentikan dan memegang B yang sedang berlari kencang dengan
ketakutan, karena sedang dikejar oleh C untuk dibunuh. Tidaklah mungkin ada
bentuk pembantuan pembunuhan dalam hal A memberhentikan B dan
memegangnya itu, apabila dalam batin A tidak ada kesadaran bahwa dalam
melakukan perbuatan itu bahwa dia akan dibunuh oleh C.
Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang
bersifat obyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut
memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya
suatu kejahatan. Dan ini berarti bahwa apabila alat-alat yang oleh seorang medeplichtige
telah diserahkan kepada seorang pelaku itu ternyata tidak dipergunakan oleh pelakunya
untuk melakukan kejahatannya, maka medeplichtige tersebut juga tidak dapat dihukum.

Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.


A seorang pemilik senjata api memberikan pinjaman kepada temannya B yang
diketahuinya untuk membunuh C. Wujud perbuatan meminjamkan senjata api ini,
tidaklah menentukan untuk terwujudnya pembunuhan atau matinya C. Terwujudnya
pembunuhan atau matinya C adalah sepenuhnya bergantung dari perbuatan B
pembuat pelaksananya, apakah dia mempergunakannya menembak ataukah tidak,
dan apabila telah digunakannya menembak musuhnya, apakah perbuatannya
menembak itu mampu memenuhi syarat yang mematikan korban C ataukah tidak.

Contoh: Pembantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.


A memegangi kaki seorang perempuan yang sedang diperkosa oleh seorang laki-
laki B. Perbuatan A berupa memegang kaki korban, tidaklah menentukan
penyelesaian kejahatan perkosaan itu, melainkan sekadar mempermudah saja bagi
temannya B dalam menyelesaikan atau mewujudkan perkosaan. Penyelesaian
perkosaan sepenuhnya bergantung dari pembuat pelaksananya atau si pemerkosa itu
sendiri, apakah dia mampu melakukan persetubuhan dengan perempuan yang
dipaksanya itu ataukah tidak. Persetubuhan disini diartikan dapatnya dia
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin perempuan itu yang kemudian
mengeluarkan sperma.10
D. PERBEDAAN BEBERAPA BENTUK DEELNEMING

a. Perbedaan antara uitlokking dengan doen plegen:

Uitlokking Doen Plegen

Perbuatan orang yang Perbuatan orang yang


digerakkan untuk disuruh melakukan sutau
melakukan suatu tindak tindak pidana itu harus tidak
pidana itu harus dapat dapat dipertanggung-
dipertanggungjawabkan jawabkan kepada orang
kepada orang tersebut. tersebut.

Cara-cara yang harus Cara-cara untuk menyuruh


dipergunakan untuk meng- melakukan itu tidak
gerakkan orang lain itu telah ditentukan di dalam undang-
ditentukan secara limitatif undang
dalam undang-undang

b. Perbedaan antara uitlokking dengan medeplichtigheid:

Uitlokking Medeplichtigheid
Orang yang digerakkan Pelakunya telah mempunyai
untuk melakukan suatu opzet untuk melakukan suatu
tindak pidana itu pada kejahatan, yang kemudian
awalnya tidak mempunyai didukung atau didorong oleh
opzet untuk melakukan suatu medeplichtigheid
tindak pidana tersebut.
Opzet orang yang
digerakkan untuk
melakukan suatu tindak
pidana itu, justru
dibangkitkan karena
adanya uitlokking;

c. Perbedaan antara medeplegen dengan medeplichtigheid:

Medeplegen Medeplichtigheid
Perbuatan seorang Perbuatan seorang

10
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 145.
medepleger ditekankan pada medeplichtige ditekankan
perbuatan turut melakukan; pada perbuatan membantu
melakukan atau membantu
untuk melakukan suatu
kejahatan;

Seorang medepleger itu Seorang medeplichtige itu


harus melakukan suatu cukup apabila ia telah
uitvoeringshandeling atau melakukan suatu
suatu tindakan pelaksanaan; voorbereidingshandeling
atau suatu tindakan
persiapan ataupun suatu
ondersteuningshandeling
atau suatu tindakan
dukungan;

Turut melakukan suatu Membantu melakukan


pelanggaran dapat dihukum; pelanggaran tidak dapat
dihukum;

Seorang medepleger dapat Seorang medeplichtige itu


dijatuhi hukuman yang dapat dijatuhi dengan
sama beratnya dengan hukuman pokok yang
hukuman yang dapat terberat yang dapat dijatuh-
dijatuhkan kepada seorang kan kepada pelakunya
pelaku, sesuai dengan setelah dikurangi dengan
hukuman yang telah sepertiga-nya.
diancamkan di dalam
rumusan suatu delik.

E. PENGATURAN DEELNEMING ATAU PENYERTAAN DALAM RKUHP


Penyertaan dalam RKUHP diatur pada Paragraf 5, terdiri dari 3 pasal yaitu Pasal 21, 22,
dan 23

Pasal 21
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang :
a. melakukan sendiri tindak pidana;
b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan;
c. turut serta melakukan; atau
d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya
melakukan tindak pidana.

Penjelasan:
Huruf a
Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Jika dilakukan oleh
beberapa orang, maka tiap-tiap peserta dalam perbuatan itu mempunyai kedudukan yang
mungkin berbeda-beda. Dalam ketentuan pasal ini ditentukan bentuk-bentuk dari
penyertaan tersebut yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pembuat.
Menyuruh melakukan tindak pidana terjadi sebelum dilakukannya tindak pidana dan tidak
dipersoalkan tentang cara menyuruh dan cara pembuat tindak pidana materiil melakukan
tindak pidana. Dalam hal menyuruh melakukan, pembuat tindak pidana materiil tindak
pidana tidak dipidana. Pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh dibatasi sampai
pada perbuatan yang dilakukan oleh pembuat tindak pidana materiil.
Turut serta melakukan tindak pidana adalah mereka yang bersama-sama melakukan tindak
pidana. Jadi mereka dengan sengaja ikut serta dan tidak perlu tiap-tiap peserta hams
melakukan perbuatan pelaksanaan dilihat sebagai kesatuan. Dengan demikian hal yang
utama adalah dalam pelaksanaan tindak pidana terdapat kerja sama Dalam menentukan
turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta tidak dilihat secara
terpisah, berdiri sendiri, dan terlepas dari perbuatan peserta lainnya, tetapi yang erat
antarpara peserta.

Huruf b
Peserta yang dimaksud dalam ketentuan ini disebut sebagai penganjur. Pada dasarnya,
penganjur melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain. Berbeda dengan
perbuatan menyuruh di mana pembuat tindak pidana materiil tidak dipidana, maka dalam
penganjuran pembuat tindak pidana materiil dapat dipidana.
Tidak setiap tindak pidana yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah
penganjuran. Syarat-syarat untuk penganjuran disebutkan secara limitatif, yakni :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu;
b. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
c. menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan; atau
d. memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
Yang dimaksud dengan "memberi atau menjanjikan sesuatu" adalah memberi atau
menjanjikan sesuatu barang, uang, dan keuntungan yang akan diterima oleh orang yang
dianjurkan melakukan tindak pidana. Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat" adalah baik kekuasaan yang berdasarkan hukum publik maupun
hukum privat.
Yang dimaksud dengan "menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan" adalah
dengan segala macam bentuk kekerasan, ancaman, atau penyesatan yang menimbulkan
orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Apabila kekerasan atau ancaman
sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana materiil tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan karena itu tidak dapat dipidana, maka
dalam keadaan tersebut bukan merupakan penganjuran tetapi menyuruh melakukan.
Yang dimaksud dengan "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" adalah termasuk
upaya-upaya yang disyaratkan dalam pembantuan Huruf c
Huruf d
Yang dimaksud dengan "memancing" adalah membujuk (uitlokken).

Pasal 22
(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang :
a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan; atau
b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan
terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.

Penjelasan:
Terdapat dua macam bentuk pembantuan yaitu pembantuan pada waktu melakukan tindak
pidana dan pembantuan yang mendahului tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada
waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta melakukan.
Dalam ikut serta melakukan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang melakukan
tindak pidana, namun dalam pembantuan kerja sama antara pembuat tindak pidana dan
orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam turut serta
melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta dilihat sebagai satu kesatuan.
Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan tindak pidana yang
sebenarnya, baik dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan.

Pasal 23
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana
hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam
penyertaan. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-
sama, sedangkan di antara mereka terdapat orang yang belum cukup umur atau orang
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, karena sakit ingatan, maka orang
yang sudah dewasa atau tidak sakit jiwa,dijatuhi pidana sebagaimana biasa, sedangkan
untuk yang belum cukup umur pidananya dikurangi dan untuk orang yang sakit ingatan
tidak dapat dipidana.

RANGKUMAN:
1. Deelneming (keturutsertaan) merupakan ajaran mengenai pertanggungjawaban dan
pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut
rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian,
akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu
kerjasama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material.
2. Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan Pasal 55 dan 56
KUHP adalah:
a. Doen plegen atau menyuruh melakukan.
b. Medeplegen atau turut melakukan.
c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
d. Medeplichtigheid.

GLOSSARIUM:

1. Middellijke dader yaitu orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak
pidana. Disebut sebagai pelaku tidak langsung karena tidak langsung melakukan
sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain.
2. Materieele dader yaitu orang lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana,
disebut juga sebagai pelaku material.

Anda mungkin juga menyukai