Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA

Politik dalam islam

DOSEN PENGAMPU:

ZULHANDRA S.ag., MA

Wahyu Rizali A.H


20030033

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt karena atas
limpahan rahmatnya dan karunianya sehingga kami para penulis dapat
menyelesaikan makalah ini pada waktunya dengan baik. Tidak lupa shalawat serta
salam tercurahkan kepdaa Nabi Muhammad Saw yang syfa’atnya kita nanti kelak.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makah “Upaya Pembaharuan Pendidikan Nasional” dapat diselesaikan.
Makalah ini dususun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan.
Kami berharap makalah ini dapat menjadi para pembaca

Kami menyadari makalah bertema pendidikan ini masih perlu banyak


penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Kami selaku penulis terbuka
terhadap kritikan dan saran para pembaca agar makalah ini dapat lebih baik.

Demikian yang dapat kami para penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat. Wassalamu’alaikum wr.w.b

Muara tebo, 4 februari 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ………………………………………………………………………..
1.2 Rumusan masalah …. ……………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN
2.1 pengertian, tujuan dan prinsip prinsip ekonomi ………….…………………
2.2 masalah masalah pokok ekonomi islam ……………..…..……………………..
2.3 praktek ekonomi islam ………...…………………………………..……..……………..
2.4 kontribusi politik umat islam di Indonesia ………………………………………..

BAB III PENUTUP


3.1 KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………
BAB I
PEMBAHASAN
A.Latar belakang
Politik merupakan hal yang tidak terlepas dari kekuasaan sehingga dalam berpolitik
dibutuhkan penguasa yang dipercaya oleh rakyat dan untuk rakyat. Politik memiliki sistem
politik yang di dalamnya yang memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan (interrelated) dan
saling bergantung (interdependent). Sedangkan politik berarti berbagai macam kegiatan yang
terjadi di dalam suatu Negara yang berkaitan dengan proses menetapkan tujuan dan
bagaimana mencapai tujuan tersebut1 . Setiap politik terdiri dari dua unsur, yaitu penguasa dan
masyarakat beserta organisasi yang dibentuknya. Proses menuju panggung politik bisa
ditempuh atau dilakukan oleh siapa saja selama memiliki kapasitas. Politik tidak hanya
dijalankan atau dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tetapi bisa juga dilakukan
oleh para ulama. Ulama memiliki sumber daya yang sangat luar biasa untuk mempengaruhi
massa. Politik merupakam pembahasan yang tidak terlepas dari pembentukan Negara. Negara
membutuhkan seorang pemimpin untuk menyelamatkan umat. Memanglah dalam Alquran
maupun hadis tidak ditemukan secara gamblang konsep tentang Negara. Hal ini tentu bisa
dimaklumi karena konsep Negara atau nation-state seperti sekarang ini baru muncul pada abad
ke-16 yang dikemukakan oleh Nicolo Machiavelli. Namun demikian, bukan berarti bahwa
konsep Negara itu tidak ada sama sekali dalam Islam. Secara substantif, terdapat sejumlah ayat
Alquran dan hadis yang menunjukkan adanya pemerintahan pada umat Islam
B.RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang terdapat pada rangkuman kali ini ialah :

Menjelaskan dan menganalisis sejarah islam

Merencanakan keberlangsungan sejarah islam di masa yang akan datang

Mengetahui pandangan politik dalam islam


BAB II
PEMBAHASAN
A.pengertian dan prinsip prinsip politik islam
1)       Musyawarah

Asas musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara dan oarang-
oarang yang akan menjawat tugas-tugas utama dalam pentadbiran ummah. Asas musyawarah yang
kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan undang-undang yang telah
dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Asas musyawarah yang seterusnya ialah berkenaan
dengan jalan-jalan bagi menetukan perkara-perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses
ijtihad.

2)       Keadilan

Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi
Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam
meliputi dan merangkumi segala jenis perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk
keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang bersengketa di hadapan pihak
pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-anaknya. Kewajipan berlaku
adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah di antara asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi
peranan utama sistem politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama kerana dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia
dalam segala aspeknya.

3)       Kebebasan

Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang berterskan kepada makruf
dan kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem
politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan
negara Islam.

4)       Persamaan

Persamaan di sini terdiri dari pada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak, persamaan
dalam memikul tanggungjawab menurut peringkat-peringkat yang ditetapkan oleh undang-undang
perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuat kuasa undang-undang.

5)       Hak menghisab pihak pemerintah

Hak rakyat untuk menghisab pihak pemerintah dan hak mendapat penjelasan terhadap tindak
tanduknya. Prinsip ini berdasarkan kepada kewajipan pihak pemerintah untuk melakukan musyawarah
dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dan pentadbiran negara dan ummah. Hak rakyat untuk
disyurakan adalah bererti kewajiban setiap anggota dalam masyarakat untuk menegakkan kebenaran
dan menghapuskan kemungkaran. Dalam pengertian yang luas, ini juga bererti bahawa rakyat berhak
untuk mengawasi dan menghisab tindak tanduk dan keputusan-keputusan pihak pemerintah.
B.demokrasi menurut islam dan barat
Demokrasi Islam adalah ideologi politik yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip Islam
ke dalam kebijakan publik dalam kerangka demokrasi. Teori politik Islam menyebutkan tiga ciri
dasar demokrasi Islam: pemimpin harus dipilih oleh rakyat, tunduk pada syariah, dan
berkomitmen untuk mempraktekkan "syura", sebuah bentuk konsultasi khusus yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat ditemukan dalam berbagai hadits dengan komunitas
mereka.[1] Negara-negara yang memenuhi tiga ciri dasar tersebut antara lain Afghanistan, Iran,
dan Malaysia. Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab adalah contoh negara yang tidak
menganut prinsip demokrasi Islam meski negara-negara Islam, karena negara-negara ini tidak
mengadakan pemilihan. Pelaksanaan demokrasi Islam berbeda di negara-negara mayoritas
muslim, karena interpretasi syariah berbeda-beda dari satu negara ke negara lain, dan
penggunaan syariah lebih komprehensif di negara-negara di mana syariah menjadi dasar bagi
undang-undang negara.

Konsep liberalisme dan partisipasi demokratis sudah ada di dunia Islam abad pertengahan.[2]
[3][4] Kekhalifahan Rasyidin dianggap oleh para pendukungnya sebagai contoh awal sebuah
negara demokratis dan diklaim bahwa perkembangan demokrasi di dunia Islam akhirnya
terhenti setelah perpecahan Sunni–Syiah.

Pandangan Barat

Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena konsep
demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu

Fase Klasik

Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik dan
ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di
Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi (democratia, dari
demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau autocrats untuk
memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf
seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM)
merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana
sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
C.masyarakat madani dalam islam
Hakikat Manusia Menurut Islam adalah untuk kebaikan termasuk pada pengelompokkan masyarakat
madani. Masyarakat Madani adalah sekumpulan manusia yang berada dalam suatu wilayah atau daerah
yang hidup dengan aman serta patuh pada aturan atau ketentuan hukum tertentu dan segala bentuk
tatanan kemasyarakatan yang telah disepakati oleh suatu masyarakat di daerah tersebut.

Konsep umum menjelaskan bahwa masyarakat madani atau civil society atau al-mujtama' al-madani
berpedoman pada pola hidup masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.

Di dalam Al-Quran kehidupan masyarakat Madani adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang
diartikan sebagai negeri yang baik di atas keridhaan Allah. Hal ini sejalan dengan pengertian masyarakat
ideal yaitu masyarakat di bawah ampunan dan keridhaan Allah serta yang menjunjung tinggi Rukun
Iman , Rukun Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT dan hukum syariat lainnya.

f. Analisa

Madani pertama kali berasal dari bahasa Arab dari terjemahan al-mujtama al-madany.
Kemudian dicetuskan oleh Naquib al-Attas, seorang guru besar sejarah dan peradaban Islam dari
Malaysia yang mengambil istilah tersebut dari karakteristik masyarakat Islam yang diaktulisasikan
Rasulullah di Madinah dengan fenomena saat ini. istilah tersbeut kemudian dibawa oleh Anwar Ibrahim,
Deputi Perdana Menteri dalam Festival Istiqlal September 1995.

Beliau menjelaskan masyarakat madani pada kehidupan kontemporer seperti rasa kesediaan untuk
saling menghargai dan memahami. Kemudian muncul beberapa karya-karya dari intelektual Muslim
Indonesia, diantarnya Azyumardi Azra dengan bukunya "Menuju Masyarakat Madani" tahun 1999 dan
Lukman Soetrisno dengan bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarkat Madani" tahun 2000.

Konsep masyarakat madani menurut prespektif Islam sudah diatur dalam Al-Quran yang dibagi menjadi
3 jenis yait masyarakat terbaik (khairah ummah), masyarakat seimbang (ummatan wasathan) dan
masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut adalah kutipan ayat yang mengatur ketiga jenis
istiilah tersebut :

1. Khairah Ummah dalam QS Ali Imran 3:110, yaitu :

Artinya : "Kamu adalah umat terbaik untuk seluruh umat manusia. Kamu menyuruh kepada yang ma'ruf,
mencegah yang munkar untuk beriman kepada Allah. Apabila Ahli kitab beriman, maka itu lebih baik
bagi mereka, ada yang beriman diantara mereka, dan kebanyakan mereka adalah fasik."

2. Ummatan wasathan dalam QS Al-Baqarah 2:143, yaitu :

Artinya : "Dan demikian Kami menjadikan umat Islam sebagai umat yang adil sebagai saksi perbuatan
manusia dan Rasul adalah saksi perbuatan kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat sebagai kiblat mu
keculai agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan yang ingkat. Dan sungguh memindahkan
kiblat ke berat adalah orang yang mendapat petunjuk dan Allah tidak akan menyiakan imanmu. Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

3. Ummah Muqtasidah dalam QS Al-Maidah 5:66k, yaitu :

Artinya : "Dan mereka menjalankan Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan Tuhannya, mereka
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah. Diantara mereka ada golongan pertengaham. Dan
alangkah buruk yang dikerjakan mereka."

Penjelasan dari masing-masing ayat di atas adalah :

Konsep khairan ummah dalam QS Ali-Imran 3:110 adalah konsep masyarakat yang ideal. Mereka
ditugasi untuk mengembangkan beberapa fungsi diantaranya menyerukan kebaikan dan mencegah
terjadinya kemungkaran. Selain itu, mereka juga tidak boleh bercerai berai dan saling berselisih paham.
Al Quran telah memberikan Cara Meningkatkan Iman dan Taqwa serta cara berdamai untuk
memecahkan masalah internal yaitu metode syurah atau musyawarah, ishlah atau rekonsiliasi dan
berdakwah dnegan cara al-hikmah wa al-mujadalah bi allatu hiya ahsan yang berarto kebijaksanaan dan
perundingan dengan cara baik.

Konsep ummatan wasathan dalam QS Al-Baqarah 2:143 menjelaskan bahwa masyarakat seimbang
adalah masyarakat yang berada di posisi tengah-tengah yaitu menggabungkan yang baik dari yang
bertentangan.

Konsep ummah muqtashidah dalam QS Al-Maidah 5:66 adalah masyarakat moderat yakni entitas di
kalangan ahli kitab dan posisi ummah yang minoritas. Artinya bahwa kelompok tersebut meskipun kecil,
tetap dapat melakukan kebaikan dan perbaikan dan meminimalisir kerusakan. Hampir sama dengan
ummatan wasathan bahwa keduanya memelihara penerapan nilai-nilai utama di tengah komunitas
sekitar yang menyimpang. Yang membuat beda ummah muqtashid adalah komunitas agama Yahudi
atau Nashrani, dan ummah wasath adalah komunitas agama sendiri yakni Islam.

Konsep-konsep yang sudah dijelaskan tersebut sungguh telah diterapkan di Mdinah yang dipimpin oleh
Nabi Muhammad SAW. Diterapkan setelah

Nabi berhijrah dengan para sahabat dan dikeluarkannya Sahifah ay Watsiqah Madinah atau Piagam
Madinah atau Madinah Charter yang berisi hal-hal berikut ini :

1) Asas kebebasan beragama yakni negara mengakui dan melindungi kelompok yang beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing

2) Asas persamaan yakni semua orang yang mempunyai kedudukan sama sebagai anggota masyarakat
untuk saling membantu dan tidak boleh memperlakukan orang lain dengan buruk

3) Asas kebersamaan yaitu anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban sama kepada Negara
4) Asas keadilan yaitu setiap warga negara memiliki kedudukan sama di hadapan hukum dimana hukum
harus ditegakkan

5) Asas perdamaian yakni warga negara hidup berdaampingan tanpa perbedaan suku, agama dan ras

6) Asas musyawarah yaitu semua permasalah yang terjadi di negara tersebut diselesaikan melalui dewan
syura

Karakteristik Keislaman Pembangunan Masyarakat Madani

Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi akar pembangunan masyarakat
madani, diantaranya :

1. Islam humanis

Islam yang humanis berarti bahwa ajaran Islam yang diberikan oleh Rasulullah adalah
kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman dalam QS Al-Rum ayat 30 yang artinya : "Maka
hadapkan wajah dengan lurus pada agama Allah, tetap berada pada fitrah Allah yang telah emnciptaka
manusia sesuaai dengan fitrahnya.

Tidak ada yang berubah pada fitrah Allah, tetapi manusia tidak mengetahuinya." Oleh karena itu, ajaran
Islam yang disampaikan oleh Rasulullah mudah diterima oleh nalar dan naluri umat manusia.

2. Islam Moderat

Adalah keseimbangan ajaran Islam yang diterapkan dalam berbagai kehidupan manusia baik
secara vertikal maupun horizontal. Kemoderatan inin yang membuat ajaran Islam berbeda dengan
ajaran lainnya.

Dalam sejarahnya, karakteristik ini diaplikasikan sempurna dalam diri manusia. Jadi, kemoderatan
adlaah salah satu karakteristik fundamental agama Islam sebagai agama yang sangat kompatibel dengan
naluri dan fitrah manusia.

Dari asas kemoderatan inilah, konsepsi kemasyarakatn menjadi konsep yang utuh untuk membangun
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan kemormaan dalam Islam.

3. Islam Toleran

Kata toleran di dalam ajaran Islam berkaitan dengan penganut agama Islam sendri dan penganut
agama lain. Apabila dikaitkan dengan kaum muslimin, maka toleran berarti kelonggaran, kemudahan
dan fleksibilitas Islam. Sebab pada hakikatnya ajaran Islam mudah sekali untuk disampaikan dan
diaktulisasikan kepada umat manusia.
D.kontribusi politik umat islam di Indonesia
Dengan kontribusi berarti individu tersebut juga berusaha meningkatkan efisisensi dan
efektivitas hidupnya. Hal ini dilakukan dengan cara menajamkan posisi perannya, sesuatu yang
kemudian menjadi bidang spesialis, agar lebih tepat sesuai dengan kompetensi. Kontribusi dapat
diberikan dalam berbagai bidang yaitu pemikiran, kepemimpinan, profesionalisme, finansial, dan
lainnya.

1. Definisi Umat Islam


Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  “umat”  diartikan Sebagai :

(1) para penganut atau pengikut suatu agama

(2) makhluk manusia

Dalam beberapa ensiklopedi,  kata  tersebut  diartikan  dengan berbagai  arti.  Ada  yang  memahaminya
sebagai bangsa seperti keterangan Ensiklopedi Filsafat  yang  ditulis  oleh  sejumlah Akademisi  Rusia, 
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut  1974  M,  ada  juga  yang 
mengartikannya negara  seperti  dalam Al-Mu’jam Al-Falsafi, yang disusun oleh Majma’ Al-Lughah
Al-‘Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979

Pengertian-pengertian seperti yang telah diungkapkan  di  atas dapat  mengakibatkan kerancuan
pemahaman terhadap konsep ummat yang ada dalam Al-Quran. Bahkan, bisa jadi,  akan  menimbulkan
kesalahpahaman di kalangan umat Islam sendiri.

Kata  ummat  terambil  dari  kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan
meneladani. Dari  akar  yang sama,  lahir  antara  lain kata um yang berarti “ibu” dan imam yang
maknanya “pemimpin”;  karena  keduanya  menjadi  teladan, tumpuan pandangan, dan harapan
anggota masyarakat. Pakar-pakar  bahasa  berbeda  pendapat  tentang jumlah anggota satu umat. Ada
yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,

Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh umat. dari kaum Muslim sebanyak seratus orang, dan
memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali      diampuni oleh-Nya (HR An-Nasa’i).

 
Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat puluh  sudah  bisa disebut  umat.  Pakar  hadis An-
Nasa’i yang meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa Abu Al-Malih ditanyai  tentang  jumlah
orang yang shalat itu, dan menjawab, “Empat puluh orang.”

Kalau   kita   merujuk  kepada  Al-Quran,  agaknya  penjelasan Ar-Raghib dapat dipertanggungjawabkan.
Pakar bahasa Al-Quran itu (w.  508  H/1108  M)  dalam  bukunya Al-Mufradat fiGhari Al-Qur’an,
menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan  sebagai  semua  kelompok  yang  dihimpun   oleh sesuatu, 
seperti  agama,  waktu,  atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas
kehendak mereka.

Secara tegas Al-Quran dan  hadis  tidak  membatasi  pengertian umat hanya pada kelompok manusia.
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An’am [6]: 38).

Rasulullah Saw. bersabda: Semut (juga) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan) (HR. Muslim).

Seandainya anjing-anjing bukan umat dan umat-umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh
(HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup manusia atau  binatang seperti jenis, suku,
bangsa, ideologi, atau agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu    umat.
Bahkan  Nabi  Ibrahim  a.s.  sendirian yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji dalam dirinya, 
disebut oleh  Al-Quran  sebagai  “umat”  (QS Al- Nahl [16]: 120), dari sini  beliau  kemudian  menjadi 
imam,  yakni  pemimpin   yang diteladani.

Kata  umat  tidak  hanya  digunakan untuk manusia-manusia yang taat beragama, karena  dalam 
sebuah  hadis  dinyatakan  bahwa Rasul Saw. bersabda,

“Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan.”

Beliau ditanyai, “Siapa yang enggan itu?” Dijawabnya, “Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga,
dan yang durhaka maka ia telah enggan” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah).

Al-Quran surat Al-Ra’d ayat 30 menggunakan  kata  ummat  untuk menunjuk  orang-orang  yang enggan
menjadi pengikut para Nabi. Begitu kesimpulan Ad-Damighani  (abad  ke-ll  H)  dalam  Kamus Al-Quran
yang disusunnya.

Kata  ummat  dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani
menyebutkan sembilan  arti  untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang,
kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang  kafir,dan manusia seluruhnya.Benang  merah 
yang  menggabungkan  makna-makna di atas adalah”himpunan”. Al-Quran  memilih  kata  ini  untuk 
menunjukkan  antara  lain “himpunan  pengikut  Nabi Muhammad Saw. (umat Islam)”, sebagai isyarat   
bahwa    ummat    dapat     menampung     perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah
mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah Swt. Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid)
adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya’ [21]:
92).

Dalam kata “umat” terselip makna-makna yang cukup dalam.  Umat mengandung  arti gerak dinamis,
arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah,   harus jelas
jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat  yang  sama 
membutuhkan  waktu  untuk mencapainya.  Al-Quran  surat  Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat
untuk arti waktu. Sedangkan  surat  Al-Zukhruf  (43):22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup, Ali 
Syariati  dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan
kata  semacam  nation  atau qabilah  (suku).  Pakar  ini  mendefinisikan kata umat dalam konteks
sosiologis sebagai “himpunan manusiawi yang  seluruh anggotanya  bersama-sama  menuju  satu arah,
bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.”

Umat Islam disebut oleh Al-Quran  surat  Al-Baqarah  {2):  143 sebagai ummat(an) wasatha.

Demikianlah itu Kami menjadikan kamu ummatan wasatha, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Mulanya, kata wasath berarti segala yang  baik  sesuai  dengan obyeknya.  Sesuatu  yang baik berada
pada posisi di antara dua ekstrem.  Keberanian  adalah  pertengahan  sifat  ceroboh  dan takut. 
Kedermawanan  merupakan pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan
pertengahan  antara  kedurhakaan karena  dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini,
kata wasath berkembang maknanya menjad tengah. Yang menghadapi dua pihak  berseteru  dituntut 
untuk  menjadi wasath  (wasit)  dan  berada  pada  posisi tengah agar berlaku adil. Dari sini, lahirlah
makna ketiga wasath, yaitu adil. Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada  di
tengah,  agar  dilihat  oleh  semua  pihak,  dan  dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian
menurut lanjutan  ayat  di  atas agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan
patron bagi yang lain, dan  pada  saat  yang  sama  mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai
patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya. Keberadaan umat Islam dalam posisi
tengah  menyebabkan  mereka tidak  seperti  umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula
mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga  tidak lagi  berpijak  di bumi. Posisi tengah
menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani,  material,  dan  spiritual dalam
segala sikap dan aktivitas.

Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan
terbuka dengan semua  pihak (agama,  budaya,  dan  peradaban),  karena  mereka tidak dapat menjadi
saksi maupun berlaku adil jika  mereka  tertutup  atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan
global.[3]

1. Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata polis (bahasa Yunani), yang artinya negara kota. Namun
kemudian dikembangkan dan diturunkan menjadi kata lain seperti polities (warga negara), politikos
(kewarganegaraan atau civic), dan politike tehne (kemahiran politik), dan politike epistem (ilmu politik), 
(Cholisin, 2003:1). Sedangkan menurut Meriam Budiardjo dalam bukunya mengatakan bahwa politik
adalah berbagai macam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan itu. (Meriam Budiardjo, 2001:8).
Jadi politik ialah suatu proses dalam melaksanakan maupun dalam mencapai tujuan dari politik itu
sendiri.  Lain lagi pandangan dari Ramlan Surbakti (1992:11), yang menyatakan bahwa politik ialah
interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu. Sedangkan Menurut Hasan Al Banna (Usman Abdul Mu’iz, 2000:72).

Politik adalah upaya memikirkan persoalan internal (mengurus persoalan pemerintah, menjelaskan
fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hakhaknya, melakukan pengawasan kepada terhadap penguasa
untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka melakukan
kekeliruan), dan persoalan eksternal umat/rakyat (memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa,
mengantarkan mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukan ditengah-tengah bangsa lain, serta
membebaskan dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusanya) memberikan perhatian
kepadanya, dan bekerja demi kebaikan seluruhnya (kemaslahatan umat)  Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan negara, warganegara, kekuasaan dan segala
proses yang menyertainya adalah tak lepas daripada yang namanya politik. Jadi politik memiliki arti yang
luas.

1. Islam dan Politik


Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya ‘aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan
politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting
menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari’at,
sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas
aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata
kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai
kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai
sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan. Politik yang hanya dipahami
sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya
secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam
dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan
memperjelas korelasinya dengan Islam.

Syari’ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan
berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari’at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar
sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih
siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-
Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali. Pada zaman Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin dapat dipastikan,
beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang
mempunyai fungsi ganda memelihara agama sekaligus mengatur dunia dengan sasaran pencapaian
kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam
hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil
dan dengan lembaga kekuasann. Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan.
Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara
fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada
diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas’ud terhadap ungkapan uli
al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai
pemimpin agama. Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap,
perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan
dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah
memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk
dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut
pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu
hanya meliputi urusan lahiriyah saja. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah mengatakan, politik harus
sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum
prinsip syari’at. Tujuan itu ialah:

 Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam.

 Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat.

 Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer,
sekunder mau pun suplementer.

 Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya


tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal.

 Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan
saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara
luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari
itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani
mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan
lembaga kekuasaan. Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi,
tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada
kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan
lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.[4]

 Pengertian Politik Islam

Islam ialah agama yang syamiil (menyeluruh/sempurna) dan universal. Islam mengatur seluruh sendi-
sendi kehidupan manusia. Tak luput pula masalah politik ataupun urusan kenegaraan yang lainnya.
Didalam seluruh sejarah kemanusiaan, Islam telah menyumbangkan sesuatu yang sangat besar yang
tidak ternilai harganya, ialah suatu “model negara”, yang dinamakannya “Negara Islam” atau Daulah
Islamiyah (Zainal Abidin Ahmad, 1977:68).

Dalam Negara Islam yang menjadi dasar ialah Firman Tuhan dan suara rakyat (musyawarah). Dengan
tegas dapat dikatakan bahwa firman tuhan (Fox Dei) dan ajaran Nabi (Fox Prophetae) bergabung dengan
suara rakyat (Fox Popule), menjadi kekuasaan tertinggi di dalam negara (Zainal Abidin Ahmad, 1977:69)
Islam dan politik jelas tidak dapat dipisahkan. Nabi Muhammad sendiri ialah seorang politikus handal
yang bisa menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Bahkan di zaman Islam pertama dahulu, masjid itu tidak
hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja,  tapi juga mempunyai fungsi politik yang sangat penting.
Bukan saja tempat praktik politik seperti tempat musyawarah, ataupun tempat pembaiatan
pemimpin/kepala Negara, dan lainnya lagi, tetapi masjid juga dijadikan tempat mempelajari teori-teori
politik disampimg ilmu agama dan lainnya (Zainal Abidin Ahmad, 1977: 248)
BAB III

PENUTUP

A.kesimpulan
Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut
perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu
disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran Islam.

Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa
muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan
dengan konsep Islam yang sudah ada.

Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang seharusnya ada, maka Islam
yang demikian ialah Islam yang parsial.

Varian interpretasi Agama Munculnya varian-varian Islam dengan corak politik yang amat kuat
pada dasamya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini.

Anda mungkin juga menyukai