4 Soal HAN
4 Soal HAN
Terkait Pihak Ketiga yang keberatan/merasa dirugikan terhadap Keputusan Fiktif Positif yang
diterbitkan, apakah Pihak Ketiga dapat menggugat Keputusan Fiktif Positif tersebut ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Jelaskan.
Jawab :
Berdasarkan perubahan yang disebutkan, terdapat beberapa perubahan mendasar terkait keputusan
fiktif positif dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ("UU
AP"). Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dicermati beberapa poin berikut:
Sebelumnya, dalam UU AP yang asli, pemohon harus mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk menggugat keputusan fiktif positif yang diterbitkan oleh badan atau pejabat pemerintahan.
Namun, dengan adanya perubahan tersebut, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa
permohonan secara otomatis dianggap dikabulkan secara hukum. Artinya, keputusan fiktif positif
dianggap sah tanpa perlu melalui proses pengadilan.
Dalam konteks ini, perubahan tersebut menunjukkan bahwa Pihak Ketiga yang merasa dirugikan oleh
keputusan fiktif positif tidak lagi dapat langsung menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Dalam perubahan tersebut, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa PTUN
akan menjadi mekanisme penyelesaian sengketa terkait keputusan fiktif positif.
Sebagai gantinya, perubahan tersebut menyatakan bahwa pemohon dapat mengajukan permohonan
melalui sistem elektronik. Keputusan yang dihasilkan melalui sistem elektronik dianggap sebagai
keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang. Oleh karena itu, jika
Pihak Ketiga merasa dirugikan oleh keputusan fiktif positif, langkah yang dapat diambil adalah
mengajukan permohonan melalui sistem elektronik yang ditentukan oleh aturan pelaksana UU AP.
Pihak Ketiga juga perlu memperhatikan bahwa perubahan tersebut mengharuskan dibentuknya suatu
Peraturan Presiden yang menjadi payung hukum untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum. Oleh karena
itu, dalam hal terdapat perselisihan atau sengketa terkait keputusan fiktif positif, Peraturan Presiden
yang mengatur hal tersebut mungkin dapat memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai prosedur
penyelesaian sengketa yang dapat diikuti oleh Pihak Ketiga.
Dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih akurat dan terkini terkait kemungkinan penggugatan
terhadap keputusan fiktif positif berdasarkan perubahan UU AP, disarankan untuk memeriksa
peraturan perundang-undangan yang terkait, termasuk Peraturan Presiden yang dimaksud, dan
berkonsultasi dengan ahli hukum yang berwenang di bidang administrasi pemerintahan atau hukum
tata negara.
2. Apakah Keputusan Fiktif Positif berupa Izin yang telah diterbitkan dapat dilakukan Penarikan
Kembali Keputusan (Ketetapan) oleh Pemerintah sebagai salah satu jenis Sanksi Administrasi?
Jelaskan.
Jawab :
Keputusan Fiktif Positif adalah keputusan administrasi yang dianggap sah dan mengikat karena tidak
ada tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu yang ditentukan
untuk melakukan peninjauan atau banding terhadap keputusan tersebut. Dalam konteks tersebut,
Keputusan Fiktif Positif berarti bahwa pemerintah telah memberikan izin atau persetujuan untuk suatu
tindakan atau aktivitas yang sebenarnya tidak seharusnya diberikan izin tersebut.
Setiap negara memiliki sistem hukum administrasi yang berbeda, dan proses sanksi administrasi
mungkin beragam. Dalam beberapa sistem hukum, penarikan kembali keputusan administrasi adalah
tindakan yang memungkinkan pemerintah untuk membatalkan keputusan atau ketetapan yang telah
diterbitkan. Namun, penarikan kembali keputusan tersebut harus dilakukan melalui prosedur yang
ditetapkan oleh hukum, seperti pemberitahuan tertulis kepada pihak yang terkena dampak,
kesempatan untuk memberikan argumen atau pembelaan, dan pertimbangan faktor-faktor yang
relevan.
Tidak ada rujukan langsung terkait penarikan kembali keputusan fiktif positif dalam perubahan yang
disebutkan pada Pasal 175 angka (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang.
Dalam konteks umum, penarikan kembali keputusan administrasi dapat dilakukan oleh pemerintah
sebagai salah satu jenis sanksi administrasi. Namun, hal ini tergantung pada ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, untuk menentukan apakah penarikan
kembali keputusan fiktif positif berupa izin dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai sanksi
administrasi, perlu memeriksa peraturan perundang-undangan yang mengatur izin tersebut.
Jika peraturan perundang-undangan yang mengatur izin memuat ketentuan yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk menarik kembali keputusan yang diterbitkan secara fiktif
positif, maka pemerintah dapat menggunakan penarikan kembali keputusan sebagai sanksi
administrasi. Namun, jika tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur penarikan kembali
keputusan dalam konteks keputusan fiktif positif, maka pemerintah mungkin harus mengikuti prosedur
dan persyaratan yang berlaku untuk pencabutan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang relevan.
Bahwa sanksi administrasi dan prosedur penarikan kembali keputusan dapat berbeda-beda tergantung
pada sektor atau bidang yang diatur oleh izin tersebut, serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku di negara tersebut. Oleh karena itu, penting untuk merujuk pada peraturan perundang-
undangan yang spesifik yang mengatur izin yang relevan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
tentang kemungkinan penarikan kembali keputusan dalam konteks keputusan fiktif positif tersebut.
3. Jika menggunakan konsep sumber kewenangan Atribusi, Delegasi, dan Mandat, menurut anda
lembaga manakah yang lebih tepat mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik?
Jelaskan! (Jawaban disertai dengan Peraturan Perundang-Undangan/Pendapat Pakar yang
menjadi Referensi).
Jawab :
Dalam konteks penyelesaian kasus maladministrasi pelayanan publik, jika menggunakan konsep
sumber kewenangan seperti atribusi, delegasi, dan mandat, peradilan tata usaha negara (PTUN)
memiliki landasan hukum yang lebih tepat untuk mengadili kasus tersebut. Berikut adalah penjelasan
mengapa PTUN lebih tepat sebagai lembaga untuk mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik:
1) Atribusi adalah wewenang yang langsung ditentukan oleh UU kepada Badan Pejabat TUN.
PTUN memiliki atribusi atau kewenangan yang secara langsung diberikan oleh undang-undang
untuk mengadili perkara-administrasi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara memberikan landasan hukum yang jelas mengenai kewenangan PTUN
dalam mengadili sengketa administrasi, termasuk kasus maladministrasi pelayanan publik.
2) Delegasi adalah wewenang yang diberikan dengan adanya penyerahan wewenang dari
pemberi delegasi kepada penerima delegasi.
Penerima delegasi telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan Keputusan TUN untuk
atas nama penerima delegasi itu sendiri. Undang-undang yang mengatur PTUN telah
memberikan kewenangan kepada PTUN untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan
tindakan atau keputusan administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Delegasi ini
berarti bahwa undang-undang memberikan wewenang kepada PTUN untuk memeriksa dan
memutus perkara yang terkait dengan maladministrasi pelayanan publik.
3) Mandat adalah wewenang yang diberikan kepada Mandataris (penerima Mandat) dari
Mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atasnama Mandans
(pemberi mandat).
Dalam hal ini tidak ada pengalihan wewenang dari Mandans kepada Mandataris. Tetap
tanggung jawab ada ditangan Mandans (Pemberi Mandat). PTUN memiliki mandat yang jelas
dalam menyelesaikan perkara-administrasi. Mandat ini mencakup penyelesaian sengketa
administrasi, termasuk maladministrasi pelayanan publik. PTUN memiliki kewenangan untuk
memeriksa keabsahan dan kepatuhan tindakan administrasi terhadap hukum, serta dapat
memberikan putusan yang mengikat dan dapat dilaksanakan.
Selain itu, Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
mengatur bahwa PTUN memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di bidang tata usaha
negara dan perbuatan melawan hukum (PMH) yang terkait dengan pelayanan publik. Hal ini
menegaskan peran PTUN dalam menangani kasus maladministrasi pelayanan publik.
Peraturan perundang-undangan :
Dalam kasus maladministrasi pelayanan publik, lembaga yang lebih tepat untuk mengadili masalah
tersebut akan tergantung pada sistem hukum dan struktur pemerintahan suatu negara. Dalam
beberapa sistem hukum, yurisdiksi untuk mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik dapat
diberikan kepada beberapa lembaga yang memiliki peran dan wewenang yang berbeda. Lembaga yang
lebih tepat mengadili kasus maladministrasi pelayanan publik, yaitu : Pengadilan Administrasi:
menangani kasus maladministrasi pelayanan public, Pengadilan administrasi memiliki yurisdiksi untuk
memeriksa dan mengadili sengketa administratif antara warga negara dan pemerintah, termasuk
sengketa terkait pelanggaran dalam pelayanan publik. Pengadilan administrasi sering kali memiliki
kewenangan untuk memeriksa keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan
mengeluarkan putusan yang mengikat. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN).
4. Buatlah bagan alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan publik baik melalui
PTUN dan Ombudsman disertai dengan jangka waktu penyelesaiannya, dan ketentuan yang
mengaturnya.
Jawab :
Bagan alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan publik melalui PTUN dan Ombudsman,
beserta jangka waktu penyelesaiannya dan ketentuan yang mengaturnya:
Bahwa waktu penyelesaian sengketa dan ketentuan yang mengaturnya dapat bervariasi tergantung
pada kebijakan, prosedur, dan kompleksitas masing-masing lembaga (PTUN dan Ombudsman). Bagan
diatas memberikan gambaran umum tentang alur penyelesaian sengketa maladministrasi pelayanan
publik melalui kedua lembaga tersebut.