Anda di halaman 1dari 9

KONSTRUKTIVISME

PENGERTIAN
Istilah konstruktivisme berasal dari kata kerja “to construct”. Kata ini merupakan serapan
dari bahasa latin “con struere” yang berarti menyusun atau membuat struktur. Konsep inti
konstruktivisme dengan demikian adalah proses penstrukturan atau pengorganisasian.
Secara istilah, konstruktivisme merupakan suatu teori belajar mengajar yang mengedepankan
konstruksi (bentukan) pengetahuan yang berasal dari diri sendiri. Dalam konteks filsafat
pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern (Cahyo, 2013). Konstruktivisme memiliki dua ide utama yaitu pembelajar aktif dalam
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri dan bahwa interaksi sosial penting bagi
pengkonstruksian pengetahuan (Bruning, Schraw, Norby & Ronning,2004: 195). Dalam
konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang
disampaikan oleh guru maupun teks. Lebih dari itu pembelajaran adalah konstruksi pengetahuan
yang bersifat aktif dan personal (de Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004).
Berdasarkan penjelasan tersebut, konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya
membangun, membangun dari segi kemampuan, pemahaman, dalam proses pembelajaran yang
dibangun oleh individu secara perlahan, yang kemudian akan diperluas dengan batasan yang
telah ditentukan dan tidak secara tiba-tiba muncul dari dalam diri peserta didik (Arini, A., &
Umami, H. (2019). Sebab dengan memiliki sifat membangun maka dapat diharapkan keaktifan
dari pada siswa akan meningkat kecerdasannya.
Pendapat para ahli mengenai konstuktivisme diantaranya Shymansky yang mengatakan
konstuktivisme adalah aktivitas yang aktif, di mana peserta didik membina sendiri
pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dimilikinya.
Berdasarkan pendapatnya di atas, maka dapat di pahami bahwa konsturktivisme merupakan
bagaimana mengaktifkan siswa dengan cara memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk
memahami apa yang mereka telah pelajari dengan cara menerpakan konsep-konsep yang di
ketahuinya kemudian mempaktikkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya (Shymansky, 1992).
Adapun menurut Tran Vui, konstruktivisme ialah suatu teori belajar yang
berlandaskan atas pengalaman sendiri. Sedangkan, teori konstruktivisme adalah sebuah teori
yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mengembangkan kemampuan
dan pengetahuan yang telah dimilikinya (M Thobroni dkk, 2011). Dari pemaparan
keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa teori konstruktivisme merupakan teori
yang memberikan kearifan dan kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan pengetahuan,
pengalaman dengan sendirinya agar mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Adapun motivasi untuk peserta didik bahwa belajar telah menjadi
tanggung jawab dirinya sendiri dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran.

ASUMSI-ASUMSI KONSTRUKTIVISME
1. Manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka
sendiri (Schunk, 2012). Di mana siswa diberikan keluasan untuk mengembangkan ilmu
yang sudah didapatkan tersebut, baik dengan melakukan latihan, melakukan eksperimen
maupun berdiskusi sesama siswa. Dengan hal seperti itu maka ilmu-ilmunya tersebut
akan berkembang dan bertambah. Belajar adalah tentang membantu untuk
mengkonstruksikan makna mereka sendiri, bukan tentang "mendapatkan jawaban yang
benar" karena dengan cara seperti ini siswa dilatih untuk mendapatkan jawaban yang
benar tanpa benar-benar memahami konsepnya (Muijs, & Reynolds, 2009).
2. Anak-anak belajar dengan paling baik dengan menyelesaikan berbagai konflik kognitif
(konflik dengan berbagai ide dan konsepsi lain) melalui pengalaman, refleksi, dan
metakognisi (Beyer, 1985).
3. Guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara
tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya membangun situasi-situasi
sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran
melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial (Schunk, 2012). Maksudnya
seorang pendidik atau guru dituntut untuk lebih aktif dan menarik dalam menjelaskan,
selain itu juga guru harus bisa menggunakan media dalam proses pembelajaran. Jangan
hanya menggunakan metode-metode yang sudah lama atau jaman dulu, seperti ceramah,
mencatat sampai habis, akan tetapi guru harus mengajar dengan cara bagaimana supaya
siswa harus di buat aktif dan masuk dalam pembelajaran tersebut.
Adapun aktivitas-aktivitas pembelajaran meliputi mengamati fenomena-
fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan
bekerja sama dengan orang lain. Kegiatan lainnya adalah mengajak siswa mengunjungi
lokasi-lokasi di luar ruangan kelas. Guru-guru dari berbagai disiplin ilmu diperlukan
untuk merencanakan kurikulum bersama-sama. Siswa perlu diarahkan untuk dapat
mengatur diri sendiri dan berperan aktif dalam pembelajaran mereka dengan menentukan
tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui
standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi
minat mereka (Schunk, 2012).

KELEBIHAN KONSTRUKTIVISME
1. Guru bukan satu-satunya sumber belajar (Cahyo, 2013). Maksudnya yaitu dalam proses
pembelajaran guru hanya sebagai pemberi ilmu dalam pembelajaran, siswa tuntut untuk
lebih aktif dalam proses pembelajarannya, baik dari segi latihan, bertanya, praktik dan
lain sebagainya, jadi guru hanya sebagi pemberi arah dalam pembelajaran dan
menyediakan apa-apa saja yang dibutuhkan oleh siswanya. Sebab dalam kosntruktivisme
pengetahuan itu tidak hanya di dapatkan dalam proses pembelajaran akan tetapi bisa juga
di dapatkan melalui diskusi, pengalaman dan juga bisa di dapatkan di lingkungan
sekitarnya.
2. Siswa (pembelajaran) lebih aktif dan kreatif (Cahyo, 2013). Maksudnya di mana siswa
dituntut untuk bisa memahami pembelajarannya baik di dapatkan di sekolah dan yang dia
dapatkan di luar sekolah, sehingga pengetahuan-pengetahuannya yang dia dapatkan
tersebut bisa dia kaitkan dengan baik dan seksama, selain itu juga siswa di tuntut untuk
bisa memahami ilmu-ilmu yang baru dan dapat di koneksikan dengan ilmu-ilmu yang
sudah lama.
3. Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti menginstrksi informasi
dalam struktur penelitian lainnya (Cahyo, 2013). Artinya pembelajaran tidak hanya
mendengarkan dari guru saja akan tetapi siswa harus bisa mengaitkan dengan
pengalaman-pengalaman pribadinya dengan informasi-informasi yang dia dapatkan baik
dari temanya, tetangganya , keluarga, surat kabar, televisi, dan lain sebagainya.
4. Pembelajaran memiliki kebebasan dalam belajar (Cahyo, 2013). Maksudnya siswa bebas
mengaitkan ilmu-ilmu yang dia dapatkan baik di lingkungannya dengan yang di sekolah
sehingga tercipta konsep yang diharapkannya.
5. Perbedaan individual terukur dan di hargai (Cahyo, 2013).
6. Guru berfikir proses membina pengetahuan baru, siswa berfikir untuk menyelesaikan
masalah, dan membuat keputusan (Cahyo, 2013).

KEKURANGAN KONSTRUKTIVISME
1. Proses belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar yang bukan
merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa
kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutakhiran sruktur kognitif (Cahyo, 2013).
2. Peran siswa. Menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan (Cahyo, 2013).
3. Peran guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menerapkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri (Cahyo, 2013).
4. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam kegiatan belajar
adalah aktifitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri.
5. Evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman (Cahyo,
2013).

KONSEP KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN PAI


Pembelajaran konstruktivisme menekankan bahwa cara membangun pengetahuan
atau kemampuan baru membutuhkan proses konstruksi yang harus dibangun oleh peserta
didik sendiri dari hasil pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya (Sigit, 2013).
Dalam pembelajaran yang menggunakan basis konstruktivisme peserta didik diharapkan ikut
serta dan aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Bukan hanya menerima pelajaran dari
pendidik yang kemudian peserta didik menjadi pasif dalam proses pembelajaran seperti
halnya dalam pembelajaran yang menganut teori behaviorisme.
Dalam teori ini peserta didik diharuskan menemukan sendiri dan kemudian
mentransformasikan informasi yang telah kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan lama yang kemudian akan direvisi jika aturan tersebut tidak sesuai lagi. Tugas
siswa yang harus diperhatikan ialah memahami dan menerapkan pengetahuan, dengan cara
mencari masalah yang kemudian harus dipecahkan serta harus mencari segala sesuatu baru
dari pengalaman yang akan membantu dirinya dalam mengembangkan kemampuan yang
telah ia miliki.
Satu prinsip yang harus diperhatikan dalam teori ini ialah bahwa seorang pendidik dalam
proses pembelajaran bukan hanya memberikan pengetahuan secara langsung kepada peserta
didik, namun peserta didik sendirilah yang harus mencari, menemukan, dan kemudian
memecahkan masalah yang telah ia temukan. Lantas tugas guru memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide-ide yang telah
mereka dapatkan sehingga mereka sadar akan pentingya mengaplikasikan strategi belajar yang
telah mereka susun dengan pengetahuan mereka sendiri.
Pembelajaran konstruktivisme mempunyai beberapa strategi penerapan yaitu, pertama
top-down processing (Arini dan Umami, 2019). Dalam pembelajaran kontruktivisme, peserta
didik belajar mulai dari masalah yang utuh kemudian harus dipecahkan sehingga
mampu menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Contohnya, peserta didik
dianjurkan untuk membaca, kemudian ia akan belajar untuk mengeja kalimat yang akan dibaca
tersebut.
Kedua, cooperative learning (Arini dan Umami, 2019). Strategi yang diterapkan dalam
proses belajar, yang mana peserta didik akan menyelesaikan pemecahan masalah setelah ia
berdiskusi dengan teman atau kelompok. Strategi ini lebih menekankan lingkungan belajar
dan dari lingkungan itulah peserta didik mampu mengeksplorasi, mengutarkan serta
menantang pengetahuan yang telah ia miliki di depan kelompok belajar yang telah ditentukan
oleh guru. Ketiga, generative learning. Strategi ini membantu peserta didik untuk
mengintegrasikan materi dan pengetahuan baru secara aktif dalam proses pembelajaran. dengan
teori ini mampu mengajarkan peserta dalam mmbuat pertanyaan serta kesimpulan
dengan baik (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007).
Pembelajaran konstruksitivisme mencakup beberapa unsur penting diantaranya:
pertama, memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal peserta didik. Kegiatan
pembelajaran ditujukan kepada peserta didik agar mampu membangun atau mengonstruk
ulang pengetahuan yang sudah ia miliki di awal dengan pengetahuan baru sehingga mampu
mendorong siswa agar terjadi perubahan dengan memanfaatkan teknik yang telah ia miliki.
Kedua, pengalaman belajar yang autentik dan bermakna. Pembelajaran dirancang dengan
kegiatan sedemikian rupa agar menjadi bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, bakat,
sikap, kebutuhan siswa menjadi pertimbangan penting dalam pembelajaran. Gagasan ini bisa
dilihat dari usaha yang dilakukan oleh guru dalam mengaitkan pelajaran dengan kehidupan
sehari-hari dan juga penerapan konsep. Ketiga, Terbentuknya lingkungan sosial yang kondusif.
Kegiatan pembelajaran menawarkan kesempatan penuh kepada peserta didik agar terus
berinterkasi secara produktif antar siswa maupun guru. Dari hal inilah siswa mampu untuk
bersosialisasi dengan lingkungan secara kondusif. Keempat, mendorong peserta didik agar
lebih mandiri. Di kesempatan ini peserta didik harus mampu bertanggung jawab terhadap
proses belajarnya. Sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk merefleksi dan menata
kegiatan belajarnya. Kelima, usaha pengenalan tentang dunia ilmiah kepada peserta didik.
Pada ilmu sains diharapkan bukan hanya mengajarkan tentang produk, konsep, prinsip
serta teori, akan tetapi diharapkan mampu memberikan pelajaran sikap serta proses. Dengan
ini maka diharapkan sains mampu mengenalkan kehidupan ilmuwan kepada peserta didik
(Thobroni dkk, 2011).
Penerapan teori konstruktivis juga mempunyai beberapa kelemahan dan
kelebihan. Kelebihannya yaitu peserta didik mampu untuk menyelesaikan masalah,
merealisasikan ide serta membuat keputusan dalam proses pembelajaran, peserta didik
menjadi lebih paham dan dapat mengaplikasikan langsung karena terlibat dalam proses
pembelajaran, peserta didik akan mengingat lebih lama semua konsep pembelajaran karena
ia terlibat langsung secara aktif, peserta didik akan lebih mampu bersosialisasi dengan
lingkungan yang diperolehnya dari interaksi sesame teman dan guru, pemahaman peserta didik
akan menjadi lebih akurat, yakin, dan mampu berinteraksi sehat sehingga menjadikan proses
pembelajaran menyenangkan dan mampu membina pengetahuan baru (Thobroni dkk, 2011).
Sedangkan kelemahannya tampak dari beberapa hal, yaitu kurang mendukung peran guru
sebagai pendidik, lebih sulit untuk dipahami karena cakupannya lebih luas.
Implikasi Teori konstruktivistik dalam pembelajaran berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, seperti yang diajukan oleh Tayler beberapa sarannya yakni, kesempatan bagi
peserta didik untuk mengutarakan ide secara baik sesuai dengan bahasa sendiri, memberi
kesempatan peserta didik untuk berfikir lebih kreatif dan imajinatif sesuai dengan
pengalamannya, kesempatan peserta didik untuk mengaplikasikan ide baru, mendorong
peserta didik dalam mengembangkan gagasan yang telah ia miliki, peserta didik mampu
menciptakan lingkungan yang kondusif (Thobroni dkk, 2011).
Adapun tokoh kunci tepri ini adalah ahli psikologi Eropa Jean Piagetdan Lev
Vygotskyserta ahli psikologi Amerika Jerome Bruner. Merekalah pakar paham
konstruktivisme sekaligus pelopor konsep konstruktivisme. Jean Piagetialah seorang ahli
psikologi Swiss, yang paham sekali akan kemampuan anak berpikir dan berproses dalam
perkembangan intelektual. Piaget menjelaskan rasa ingin tahu anak menjadi bawaan sejak
lahir dan berkembang secara terus menerus sehingga mampu memahami dunia sekitarnya.
Dalam dunia pendidikan ia mengatakan bahwa perkembangan intelektual manusia
terjadi melalui tahapan yang sama dan secara berurutan. Ia pun menegaskan bahwa adanya
pengetahuan tersebut berasal dari asimilasi dan akomodasi. Dengan penjelasan bahwa asimilasi
merupakan hasil dari penyerapan informasi baru yang ada dalam pikiran. Sedangkan
akomodasi yakni membangun kembali struktur pikiran dengan informasi baru sehingga
mampu memberikan ruang pada informasi terbaru.
Vygotsky adalah ahli psikologi Rusia. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang
dihadapkan dengan pengalaman baru dan menantang mampu membantu perkembangan
intelektualnya. Mereka akan berusaha untuk menghadapi masalah serta memecahkannya dengan
kemampuan atau pengetahuan yang ia miliki. Demi mendapatkan pengetahuan baru maka ia
mengaitkan pengetahuan yang telah ia miliki sejak awal kemudian ia bangun pengetahuan baru
tersebut. Hanbury, mengemukakan aspek yang berkaitan dengan proses pembelajaran yaitu,
pengkonstruksian siswa dalam mengintegrasikan ide yang telah mereka miliki, proses
pembelajaran menjadi lebih bermakna, kesempatan bagi peserta didik dalam berdiskusi,
bertukar pengalaman dan ilmu dengan temannya. Wheatley juga mengemukakan pentingnya
melibatkan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran sekaligus pengkonstrusian
ilmu pengetahuan yang telah ia miliki dari sebelumnya melalui lingkungannya. Di sinilah
akan memudahkanpeserta didik dalam mempelajari sesuatu hal yang baru berdasarkan apa
yang telah ia ketahui sebelumnya (Thobroni dkk, 2011).
Sumber :
Arini, A., & Umami, H. (2019). Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam melalui
pembelajaran konstruktivistik dan sosiokultural. Indonesian Journal of Islamic Education
Studies (IJIES), 2(2), 104-114.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran(Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2007), 128.
Beyer BK (1985).Critical Thinking:What is it? Social Education, 49:270-276.
Bruning, R. H., Schraw, G. J., & Ronning, R. R. (1999). Cognitive psychology and instruction.
Prentice-Hall, Inc., One Lake Street, Upper Saddle River, NJ 07458.
Cahyo, A. N. (2013). Panduan aplikasi teori-teori belajar mengajar teraktual dan terpopuler.
Yogyakarta: DIVA Press.2013.
de Kock, A., Sleegers, P., & Voeten, M. J. (2005). New learning and choices of secondary school
teachers when arranging learning environments. Teaching and Teacher Education, 21(7),
799-816.
Muhammad Thobroni danArif Mustafa, Belajar & Pembelajaran Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional(Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011),
108.
Muijs, Daniel, & Renold, F.(2009) Effectiveness and disadvantage in education. Can a focus on
effectiveness aid equity in education? In, Raffo, Carlo, Dyson, Alan, Gunter, Helen, Hall,
Dave, Jones, Lisa and Kalambouka, Afroditi (eds.) Education and Poverty in Affluent
Countries. Abingdon, GB, Routledge
Schunk, D. H. (2012). Learning theories an educational perspective sixth edition. pearson.
Shymansky, J. A. (1992). Using constructivist ideas to teach science teachers about constructivist
ideas, or teachers are students too!. Journal of Science Teacher Education, 3(2), 53-57.
Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme Teori dan Aplikasi
Pembelajaran(Bandung: Alfabeta, 2013),22
Supardan, H. D. (2016). Teori dan praktik pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran.
Edunomic Jurnal Pendidikan Ekonomi, 4(1).
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustafa. Belajar & Pembelajaran Pengembangan Wacana dan
Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2011.

Anda mungkin juga menyukai