Anda di halaman 1dari 239

POKOK-POKOK HASIL

RISET KESEHATAN DASAR


RISKESDAS 2013

PROVINSI BALI

PENYUSUN:
Setia Pranata
Yurika Fauziah
Made Asri Budisuari
Ina Kusrini

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN


KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2013

1-i
Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang


All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Bali 2013
Penulis : Setia Pranata, Yurika Fauziah, Made Asri Budisuari, Ina Kusrini
Layout : Asri Guswati Pertiwi
Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Susilowati Herman, Niniek L. Pratiwi, Agus Suprapto


C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 239 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

ISBN 978-602-0936-10-9

Diterbitkan oleh :
Lembaga Penerbitan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013
Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226
Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933
Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh :
Tim Riskesdas 2013
Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)

1-ii
BAB 1. Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya, sehingga Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Bali telah selesai
dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan penggalian informasi kesehatan masyarakat dan
berbagai faktor yang mempengaruhinya, dengan melakukan wawancara dan pemeriksaan
anggota rumah tangga serta observasi langsung ke rumah warga. Kegiatan ini menghasilkan
informasi status kesehatan masyarakat yang representatif untuk tingkat kabupaten dan kota
serta dapat dimanfaatkan untuk dasar perencanaan pembangunan kesehatan. Laporan riset
disajikan dalam 2 (dua) buku, yaitu :
Buku 1 : Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Bali
Buku 2 : Riskesdas 2013 Dalam Angka Provinsi Bali
Buku 1, berisi penjelasan tentang latar belakang, tujuan, konsep dan metode Riskesdas yang
diikuti dengan penjelasan hasil analisis indikator penting pembangunan kesehatan. Analisis
disajikan secara deskriptif dan menampilkan pola kecenderungan perubahan indikator 2007–
2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi capaian program,
sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi, kabupaten dan kota, guna perbaikan
yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id.
Buku 2, memberikan data lebih detail tentang berbagai angka variabel atau indikator dalam
beberapa jenis ukuran untuk mempertajam penjelasan buku 1.

Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk
mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas dan buku 2 untuk memperoleh
informasi lebih rinci.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas Kesehatan
Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian
Daerah, Organisasi Provinsi dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013.
Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis
data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada
para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional,
para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.
Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT
melimpahkan barokah-Nya kepada kita.

Kepala Pusat Humaniora,


Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Selaku Koordinator Wilayah III Riskesdas 2013

drg. Agus Suprapto, MKes.

1-i
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data
dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah
dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan
data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan
kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan
perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah,
efektif dan efisien.
Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan
data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan
mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi–tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati
kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti
Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi
peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional.
Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat
Indonesia.
Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator,para
penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional
dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta
semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting
dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
Pembangunan Kesehatan di negeri ini.
Semoga buku ini bermanfaat.
Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 1 Desember 2013
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI

Dr. dr. Trihono, MSc

1-ii
RINGKASAN EKSEKUTIF

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 adalah survai tingkat nasional yang dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI dengan melibatkan BPS,
organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga penelitian, pemerintah daerah, dan partisipasi
masyarakat, untuk menyediakan informasi kesehatan yang berbasis bukti (evidence-based)
untuk menunjang perencanaan bidang kesehatan kabupaten/ kota. Riskesdas 2013
dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan tentang status kesehatan masyarakat di tingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/kota, faktor-faktor yang melatarbelakanginya dan masalah
kesehatan masyarakat yang spesifik di setiap wilayah. Riskesdas di Provinsi Bali mencakup 9
Kabupaten/Kota: Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem,
Buleleng dan Kota Denpasar.
Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang
bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi dasar pengembangan
Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat
provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di
setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana berbagai faktor yang
melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota; 4) Faktor
apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5) Bagaimana korelasi
antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian
1, dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk
analisis lanjut.
Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain yaitu penyediaan
data dasar dan status kesehatan dan factor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga
maupun tingkat individual, dengan ruang lingkup sebagai berikut: 1) Akses dan pelayanan
keluarga; 4) Kesehatan lingkungan; 5) Pemukiman dan ekonomi; 6) Penyaki menular; 7)
Penyakit tidak menular; 8) Cedera; 9) Gigi dan mulut; 10) disabilitas; 11) Kesehatan Jiwa; 12)
Pengetahuan, sikap dan perilaku; 13) Pembiayaan kesehatan; 14) Kesehatan reproduksi; 15)
Kesehatan anak; 16) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, Lila lengkar
atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 17) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 18)
Pemeriksaan status gigi permanen; 19) Pengambilan spesimen darah dan urin, garam dan air
rumah tangga.

Metode
Riskesdas adalah sebuah survei berbasis`komunitas dengan desain cross sectional. Sampel
Riskesdas 2013 mewakili nasional dan 33 provinsi yang tersebar di 497 Kabupaten/Kota.
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga dengan representatif kabupaten,
kota dari 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing
Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage
sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP
2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi,
dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara
stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan
TB-paru hasil Riskesdas 2007. Secara nasional jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan
masyarakat adalah sebesar 2.800 BS dengan 70.000 rumah tangga, sedang untuk sampel
biomedis adalah sebesar 823 BS dengan 20.575 rumah tangga.
Di Provinsi Bali, diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota
rumah tangga di 9 kabupaten/kota, 231 blok sensus dan 5775 rumah tangga. Selanjutnya,
seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses
penarikan sampel tersebut di atas diambil sebagai sampel individu.

1-iii
Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili
nasional. Pada 14 BS yang terpilih untuk biomedis di Provinsi Bali, rumah tangganya dan
anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan
pemeriksaan biomedis. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin
dan malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan
sampel biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air.

Hasil
Tetang akses pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas kesehatan, menunjukkan
bahwa rumah tangga yang tahu keberadaan rumah sakit pemerintah adalah 88,6%, rumah sakit
swasta 76,8%, puskesmas atau puskesmas pembantu 95,5%, praktek dokter atau klinik 82,7%,
praktek bidan atau rumah bersalin 85,2, poyandu 77,1%, poskesdes atau poskestren 25% dan
posyandu 5,7%.
Menuju rumah sakit pemerintah, 23,8% penduduk punya waktu tempuh ≤ 15 menit, 39,4%
antara 16-30 menit, sejumlah 24,7% antara 31-60 menit dan >60 menit sejumlah 12,2 persen.
Untuk menuju Puskesmas, 75,2% penduduk butuh waktu < 15 menit. Menuju Polindes lebih
mudah lagi karena 87,3% mampu mencapai polindes dalam waktu < 15 menit. Untuk rawat inap
di Provinsi Bali paling banyak memanfaatkan RS Pemerintah (4.5%) kemudian disusul RS
Swasta (2,3%). Untuk rawat jalan di Provinsi Bali paling banyak memanfaatkan Puskesmas
(59.4%) kemudian disusul Pengobat Tradisional (15.8%).

Selain memanfaatkan sarana dan fasilitas kesehatan, sejumlah 35,1 persen dari RT di Bali
menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi tertinggi berada di kota Denpasar (49,4%)
dan terendah di kabupaten Gianyar 13,9 persen. Hampir 3 jenis obat yang rata-rata disimpan
dalam setiap RT. Dari 35,1 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi,
terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak
teridentifikasi. Proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,8 persen dan antibiotika 26,8 persen.
Sejumlah (25,0%) rumah tangga memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir.

Dalam upaya kesehatan lingkungan, proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air
minum improved di Bali adalah sebesar 82,0 persen. Ini merupakan provinsi dengan proporsi
tertinggi di Indonesia untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved. Masyarakat
sudah menggunakan fasilitas BAB milik sendiri (77,8%), milik bersama sebanyak (12,5%) dan
fasilitas umum (0,6%). Masih terdapat RT yang tidak memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan,
yaitu sebesar 9,1 persen. Untuk penampungan air limbah RT di Bali sebagian besar dibuang
melalui SPAL (40,4%). Berdasarkan penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Bali
menempati rumah milik sendiri (74,9%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik
orang tua/sanak/ saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat
18,4 persen rumah dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang.

Mengenai penyakit menulat, di Bali Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 22,6 persen. Tiga
Kabupaten/Kota dengan ISPA tertinggi adalah Bangli (36,1 %), Karangasem (35,9 %), dan
Klungkung (27,3 %). Period prevalence dan prevalensi pneumonia provinsi Bali tahun 2013
sebesar 1,5 persen dan 3,1 persen. Empat kabupaten yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia yang melebihi angka rerata Bali adalah Bangli (4,4% dan 9,0%), Karangasem (3,7%
dan 8,3%), Klungkung (2,3% dan 4,4%), dan Jembrana (1,8% dan 3,3%). Period Prevalence
pneumonia di Bali tahun 2013 menurun dibandingkan dengan tahun 2007.
Prevalensi hepatitis Bali tahun 2013 berdasarkan diagnosa petugas kesehatan adalah 0,2
persen, dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang tercatat sebesar 0,1 persen. Untuk diare,
Period prevalen diare di provinsi Bali adalah 1,7%. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur
adalah 1,9 persen. Adapun penyakit yang ditularkan oleh vektor, Tidak seperti di daerah-daerah
endemis malaria seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku, insiden Malaria
pada penduduk di provinsi Bali bisa dikatakan tidak ada.

1-iv
Kondisi pada penyakit tidak menular, prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan
wawancara di Bali masing-masing 6,2 persen, 3,5 persen, dan 0,2 per mil. Prevalensi DM dan
hipertiroid berdasarkan jawaban pernahdidiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen.
Prevalensi hipertensi yang didapat melalui pengukuran pada responden umur ≥ 18 tahun adalah
19,9 persen. Prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,4
persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,3 persen. Prevalensi gagal ginjal
kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Bali sebesar 0,2 persen dan penyakit batu ginjal
sebesar 1,0 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah didiagnosis nakes 19,3
persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 39,1 persen.
Sebagai daerah pariwisata, Bali juga rentang dengan aktivitas yang bisa mengakibatkan cedera.
Ternyata prevalensi cedera di Provinsi Bali adalah 8,6 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di
Bangli (13,4 persen) dengan penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (43,3
%) dan kecelakaan transportasi darat lain (5,8%).
Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut dilakukan
wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan
penerangan. Sebesar 24,0 persen penduduk Bali menyatakan mempunyai masalah gigi dan
mulut dalam 12 bulan terakhir. Kabupaten Bangli (41,6%), Klungkung (36,4%) dan Karangasem
(32,2%) adalah tiga daerah yang persentase penduduknya terbanyak bermasalah gigi dan mulut.
Diantara yang bermasalah gigi dan mulut, terdapat 38,8 persen yang menerima perawatan dan
pengobatan dari tenaga medis. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk
mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD sebesar 9,3 persen.
Mengenai gangguan jiwa berat, 2,3 per mil penduduk Bali mengalami gangguan jiwa berat
dengan prevalensi psikosis tertinggi di Bangli (6,5 per mil). Tentang gangguan mental
emosional, prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional Propinsi Bali
adalah 4,4 persen. Kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi adalah Bangli (12,6%), dan yang
terendah di Gianyar (0,5%).
Informasi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur
10 tahun atau lebih. Berdasarkan temuan lapangan, terdapat peningkatan proporsi penduduk
Bali yang berperilaku cuci tangan secara benar pada tahun 2013 (66,7%) dibandingkan tahun
2007 (30,6%). Demikian pula dengan perilaku BAB benar terjadi peningkatan dari 82,6 persen di
tahun 2007 menjadi 91,1 persen di tahun 2013.
Proporsi penduduk yang saat ini merokok setiap hari adalah 18,0% dan 4,4% merokok kadang-
kadang. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap perhari per orang adalah 12 batang rokok,
setara dengan satu pak. Kegiatan merokok setiap hari sudah mulai dilakukan oleh mereka yang
berumur 10-14 tahun (0,2%). Proporsi perokok setiap hari ini terus meningkat sesuai
bertambahnya kelompok umur sampai pada umur 30-34 (26,4%).

Di provinsi Bali, proporsi aktivitas fisik tergolong “kurang aktif” secara umum adalah 14,2%.
Rerata perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 97,5 persen, sedikit lebih tinggi
dibandingkan tahun 2007. Konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun paling
banyak konsumsi bumbu penyedap (72,5%), diikuti kopi (49,0%) dan makanan dan minuman
manis (22,4%). Pada konsumsi makanan dari olahan tepung ≥1 kali per hari, roti adalah
makanan yang proporsinya tertinggi (20,5%) dibandingkan biskuit (16,2%) dan mie.
Pengkonsumsi mi instan ≥1 kali per hari adalah 5,3%.
Dalam hal pembiayaan kesehatan, secara umum terdapat 11,0 persen penduduk Bali belum
memiliki jaminan kesehatan. Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 7,3 persen penduduk,
Jamsostek 5,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan
masing-masing sebesar 3,9 dan 3,5 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesda
(67,7%) dan Jamkesmas (12,4%). Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, penduduk Bali
mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke
warung tanpa resep dokter adalah 16,3 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.5.000.
Blok Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan pelayanan
kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan selama
masa hamil sampai masa nifas. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan pemakaian cara/alat KB

1-v
adalah 63 persen dan penggunaan CPR modern 61,7%. Diantara penggunaan KB modern
tersebut, 38,8% adalah penggunakan KB hormonal dan 38,2% non MKJP. Untuk pelayanan KB,
sebagian besar diberikan oleh bidan (81,5%).
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil (99,6%) sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan (K1) dan frekuensi pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama masa
kehamilannya adalah 95,8 persen. Adapun untuk cakupan pemeriksaan kehamilan pertama
pada trimester pertama adalah 90,3% dan frekuensi ANC 1-1-2 atau K4 sebesar 84,7%.
Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap secara keseluruhan, persentase
imunisasi menurut jenisnya relatif baik. Semua imunisasi sudah mempunyai cakupan lebih dari
90%. Kunjungan neonatal pada 6-48 jam pertama (KN1) adalah 82,2 persen, kunjungan
neonatal pada saat 3-7 hari adalah 66,2 persen dan persentase KN3 yang dilakukan pada saat
8-28 hari adalah 62,4 persen. Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak
balita terdapat sebanyak 60,7 persen balita dengan catatan berat badan lahir. Terdapat 8,8
persen bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan 9,7 persen bayi dengan panjang
badan lahir pendek (<48 cm). Jika dikombinasikan antara BBLR dan panjang badan lahir
pendek, maka terdapat 3,6 persen balita yang BBLR dan juga memiliki panjang badan lahir
pendek.
Mengetahui status gizi diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dan
disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Prevalensi
berat-kurang Balita pada tahun 2013 adalah 13,2 persen. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi Bali tahun 2007 (11,4 %) terlihat meningkat. Prevalensi pendek sebesar 32,6 persen
dan prevalensi balita kurus dan sangat kurus, kondisinya menurun dari 10 persen pada tahun
2007 menjadi 8,8 persen pada tahun 2013. Pada anak umur 5 – 12 tahun, prevalensi pendek
adalah 19,4 persen dan kurus adalah 7,4 persen. Masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun
masih tinggi yaitu 21,4 persen. Untuk kelompok 13-15 tahun, prevalensi pendek pada remaja
adalah 20,5 persen dan prevalensi kurus, 11,1 persen. Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-
15 tahun adalah 13.9 persen. Pada status gizi remaja umur 16–18 tahun, prevalensi pendek
adalah 31,4 persen, prevalensi kurus 5,6 persen dan terdapat sebanyak 11,2 persen prevalensi
gemuk yang terdiri dari 8,6 persen gemuk dan 2,6 persen obesitas.
Mengenai kesehatan indera, sebanyak 0,6% penduduk Bali mengalami severe low vision.
Prevalensi tertinggi kasus severe low vision terdapat di Klungkung (1,2%) dan Buleleng (1,1%).
Selain itu pemeriksaan juga menemukan 0,3% penduduk Bali mengalami kebutaan, dengan
prevalensi tertinggi di Jembrana (0,6%). Pada kasus pterygium, prevalensi di Bali adalah 25,3%
dan kekeruhan kornea mata adalah 11%. Disamping pterygium dan kekeruhan kornea mata
ditemukan prevalensi katarak sebesar 2,8%. Tentang gangguan pendengaran pada penduduk
Bali, secara umum prevalensi gangguan pendengaran adalah 2,0% dan prevalensi ketulian
adalah 0,1%. Sesuai Tes Konversasi, kabupaten Gianyar (3,2%) merupakan daerah dengan
prevalensi gangguan pendengaran tertinggi di bali.
Ringkasan hasil per topik riskesdas 2013 disajikan pada tulisan berikut ini.

1-vi
RINGKASAN HASIL
Akses Pelayanan Kesehatan
Dalam analisis ini, sarana pelayanan kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Sarana
pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek dan bidan
praktek dan (2) Upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yaitu pelayanan posyandu,
poskesdes, pos obat desa, warung obat desa, dan polindes/bidan di desa. Informasi
penggunaan pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter
praktek dan bidan praktek rawat inap dalam 5 (lima) tahun terakhir dan atau rawat jalan dalam 1
(satu) tahun terakhir, dimana terakhir menjalani perawatan kesehatan, serta dari mana sumber
biaya perawatan kesehatan tersebut.
Menuju rumah sakit pemerintah, 23,8% penduduk punya waktu tempuh ≤ 15 menit, 39,4%
antara 16-30 menit, sejumlah 24,7% antara 31-60 menit dan >60 menit sejumlah 12,2 persen.
Untuk menuju Puskesmas, 75,2% penduduk butuh waktu < 15 menit. Menuju Polindes lebih
mudah lagi karena 87,3% mampu mencapai polindes dalam waktu < 15 menit.
Di Provinsi Bali, sebanyak 27,3% rumah tangga memanfaatkan pelayanan di posyandu atau
poskesdes. Sebanyak 45.2% rumah tangga menyatakan tidak membutuhkan pelayanan di
posyandu atau poskesdes karena berbagai alasan, seperti tidak ada anggota rumah tangga
(ART) yang sakit, tidak ada yang hamil atau tidak mempunyai bayi/balita. Sedangkan yang
sebetulnya membutuhkan tetapi tidak memanfaatkan posyandu atau poskesdes adalah
sebanyak 14.1% rumah tangga.
Jenis pelayanan yang paling banyak dimanfaatkan di Posyandu adalah penimbangan (80.6%).
Adapun pelayanan KIA yang terbanyak dimanfaatkan adalah pemeriksaan bayi/balita (31.1%),
disusul imunisasi (47,5%) dan pengobatan (46.2%). Persentase rumah tangga yang
memanfaatkan pelayanan di polindes/bidan di desa 78.2% adalah pengobatan. Pemanfaatan
pemeriksaan kehamilan 26.7%, pemeriksaan balita 23.9% dan persalinan 11.1%.
Untuk rawat inap di Provinsi Bali paling banyak memanfaatkan RS Pemerintah (4.5%) kemudian
disusul RS Swasta (2,3%). Sumber pembiayaan rawat inap di Provinsi Bali masih didominasi
(67.5%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket’), kemudian
berturut-turut disusul oleh pembiayaan oleh Askes/Jamsostek (22.2%) dan Askeskin/SKTM
(17.9%).
Untuk rawat jalan di Provinsi Bali paling banyak memanfaatkan Puskesmas (59.4%) kemudian
disusul Pengobat Tradisional (15.8%). Sumber pembiayaan rawat inap di Provinsi Bali masih
didominasi (71.9%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket’),
kemudian disusul Askeskin/SKTM (18.9%).

Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional


Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui
proporsi RT (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT
yang memiliki pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG,
serta jenis dan alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Sejumlah 35,1 persen dari RT di Bali menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan proporsi
tertinggi berada di kota Denpasar (49,4%) dan terendah di kabupaten Gianyar 13,9 persen.
Hampir 3 jenis obat yang rata-rata disimpan dalam setiap RT. Dari 35,1 persen rumah tangga
yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat
tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,8
persen dan antibiotika 26,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi
menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 80,8 persen rumah tangga
menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dengan proporsi tertinggi di Gianyar (90,8%)
dan terendah di Karangasem (68,9%). 87,1 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa
resep, dengan proporsi tertinggi di Badung (93,7%) dan terendah di Klungkung (79,2%).

1-vii
Sebanyak 52,6 persen rumah tangga menyimpan obat sisa, sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan (40,9%) Obat sisa
dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang
tidak dihabiskan. Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat
menyebabkan penggunaan salah (misused) atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa.
RT yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG di provinsi Bali terdapat 51,4
persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah
tersebut, sebagian besar (80,6%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Sebanyak
79,9 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 77,7 persen obat
program pemerintah. Sejumlah 47,6 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat
sama dengan obat bermerek. Oleh karena itu masih sangat perlu promosi mengenai obat
generik secara strategik terutama di era Jaminan Kesehatan Nasional.
Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan
tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah (25,0%) rumah tangga memanfaatkan
Yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga
terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (72,6%) dan ramuan (39,4%). Proporsi RT yang
memanfaatkan Yankestrad tertinggi di Jembrana (43,7%) dan terendah di Gianyar (3,5%).
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Karangasem
(71,2%) dan yang terendah di Tabanan (14,3%). Rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad
keterampilan dengan alat tertinggi di Kota Denpasar (13,3%) dan terendah di Karangasem
(3,0%). Adapun yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Jembrana
(84,2%) dan terendah di Karangasem (41,7%) dan rumah tangga yang memanfaatkan
Yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Karangasem (11,4%) dan terendah di
Jembrana (2,0%). Alasan utama RT memanfaatkan Yankestrad terbanyak secara umum adalah
untuk menjaga kesehatan/kebugaran, kecuali Yankestrad keterampilan dengan pikiran alasan
pemanfaatannya berdasarkan tradisi/kepercayaan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemanfaatan
Yankestrad masih cukup rasional

Kesehatan Lingkungan
Air minum
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Bali adalah sebesar
82,0 persen. Ini merupakan provinsi dengan proporsi tertinggi di Indonesia untuk RT yang
memiliki akses terhadap air minum improved. Berdasarkan kabupaten, Badung dan Jembrana
sebagai kabupaten dengan proporsi yang tertinggi dan yang terendah terhadap air minum
improved.
Berdasarkan gender, ART yang biasa mengambil air pada umumnya adalah laki-laki dewasa
dan perempuan dewasa (masing-masing 71,3% dan 27,8%). Masih terdapat anak laki-laki
(0,3%) dan anak perempuan (0,5%)berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air untuk
kebutuhan minum RT.
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (5%), berwarna (0,8%),
berasa (0,7%), berbusa (0,1%), dan berbau (0,4%). Berdasarkan kabupaten, proporsi RT
tertinggi dengan air minum keruh, berwarna, berasa, berbusa dan berbau adalah Jembrana.
Proporsi RT yang mengolah air sebelum di minum adalah sebesar 48,5 persen. Dari 48,5
persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 95,6 persennya melakukan
pengolahan dengan cara dimasak. Cara pnengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah
sinar mata hari/solar disinfection (2,3%), menambahkan larutan tawas (0,4%), disaring dan
ditambah larutan tawas (0,2%) dan disaring saja (1,5%).
Sanitasi
Proporsi RT di Bali menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 77,8 persen, milik bersama
sebanyak 12,5 persen, dan fasilitas umum adalah 0,6 persen. Masih terdapat RT yang tidak
memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 9,1 persen. Kabupaten tertinggi RT yang
tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Karangasem (22,6%) dan Bangli (22,2%).

1-viii
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef)
di Indonesia adalah sebesar 72,5 persen. Kabupaten tertinggi proporsi RT yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Gianyar (87,2%) dan Badung (84,1%). Sedangkan
yang terendah adalah Bangli (48,0%), dan Klungkung (48,2%).
Untuk penampungan air limbah RT di Bali sebagian besar dibuang melalui SPAL (40,4%).
Sebagian lagi dibuang langsung ke got atau sungai (32,2%). Tabanan (56,9%) merupakan
daerah yang paling banyak membuang limbah air secara langsung di got atau sungai. Ada 16,8
persen yang tanpa menggunakan penampungan dan langsung dibuang ke tanah. Paling banyak
dilakukan di Bangli (52,9%). Sedangkan dalam hal pengelolaan sampah RT kebanyakan
diangkut petugas (38,2%) dan dilakukan dengan cara dibakar (36,6%). Jembrana (68,2%) dan
Gianyar (53,8%) banyak mengelola sampah dengan cara dibakar. Namun demikian ada juga
dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan. Kabupaten dengan proporsi RT yang
mengelola sampah dengan cara dibuang sembarangan adalah Karangasem (22,6%), Tabanan
(21,9%), Klungkung (21,8%), dan Bangli (19,2%).
Perumahan
Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT menempati rumah milik sendiri
(74,9%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara atau
menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 18,4 persen rumah dengan
kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi ruangan
dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitupula dalam
hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun dapurnya
bersih dengan pencahayaan cukup. Terdapat 65 persen RT yang ventilasinya cukup dan
dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.

Penyakit Menular
Penyakit menular yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 berdasarkan media/cara penularan
yaitu: 1) melalui udara (Infeksi Saluran Pernafasan Akut/ISPA, pneumonia, dan TB paru); (2)
melalui makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria).
Ditularkan melalui udara
Period prevalence Bali Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan dan keluhan penduduk adalah 22,6 persen. Tiga Kabupaten/Kota dengan ISPA
tertinggi adalah Bangli (36,1 %), Karangasem (35,9 %), dan Klungkung (27,3 %).
Period prevalence dan prevalensi pneumonia Provinsi Bali tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan
3,1 persen. Empat kabupaten yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia
yang melebihi angka rerata Bali adalah Bangli (4,4% dan 9,0%), Karangasem (3,7% dan 8,3%),
Klungkung (2,3% dan 4,4%), dan Jembrana (1,8% dan 3,3%). Period Prevalence pneumonia di
Bali tahun 2013 menurun dibandingkan dengan tahun 2007.
Prevalensi penduduk Bali yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.1
persen, berbeda dengan prevalensi TB pada tahun 2007 yang menunjukkan angka 0,3 persen.
Tiga Kabupaten/Kota dengan TB tertinggi adalah Gianyar (0.2%), Karangasem (0.2%), dan
Buleleng (0.2%). Kalau dilihat berdasarkan gejala TB seperti batuk lebih dari dua minggu,
proporsi penduduk Bali dengan gejala TB adalah 4,0 persen dan 2.5 persen diantaranya
mengalami batuk berdarah Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, 32,4 persen
diobati dengan obat program.
Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya
Prevalensi hepatitis Bali tahun 2013 berdasarkan diagnosa petugas kesehatan adalah 0,2
persen, dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang tercatat sebesar 0,1 persen. Bangli
(0,6%), Karangasem (0,3%) dan Tabanan (0,3%) merupakan tiga kabupaten dengan prevalensi
hepatitis tertinggi. Bila dibandingkan dengan Riskesdas 2007, Kabupaten Bangli masih
merupakan daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi.

1-ix
Period prevalence diare di Provinsi Bali pada Riskesdas 2013 adalah 1,7%. Adapun insiden
diare untuk seluruh kelompok umur adalah 1,9 persen. Kabupaten/Kota dengan insiden diare
diatas angka provinsi antara lain Tabanan (2,8%), Klungkung (2,7%), Bangli (2,6%), Badung
(2,3%), dan Jembrana (2,0)
Ditularkan vektor
Tidak seperti di daerah-daerah endemis malaria seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur dan Maluku, insiden Malaria pada penduduk di Provinsi Bali bisa dikatakan tidak ada.
Berdasarkan diagnosa petugas kesehatan, insiden malaria di Bali hanya ditemukan di kabupaten
Karangasem (0,1%). Tetapi kalau dilihat dari gejala yang dialami, walau angkanya relatif kecil,
kasus malaria di Bali memang ditemukan disemua kabupaten/kota kecuali di Gianyar.

Penyakit Tidak Menular


Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke
orang. Data PTM dalam Riskesdas2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung;
(9) stroke; (10) gagal ginjal kronis; (11) batu ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit
asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, PPOK dari umur ≥30
tahun, DM, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal
jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanyakan pada responden
umur ≥15 tahun.
Data prevalensi penyakit ditentukan berdasarkan hasil wawancara berupagabungan kasus
penyakit yang pernah didiagnosis dokter/tenaga kesehatan atau kasus yang mempunyai riwayat
gejala PTM (berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu
ginjal ditentukan berdasarkaninformasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk hipertensi, selain
berdasarkan hasil wawancara, prevalensi juga disampaikan berdasarkan hasil pengukuran
tekanan darah.
Prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Bali masing-masing 6,2
persen, 3,5 persen, dan 0,2 per mil. Prevalensi asma, PPOK dan kanker lebih tinggi pada
perempuan. Prevalensi DM dan hipertiroid berdasarkan jawaban pernahdidiagnosis dokter
sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 1,5 persen.
Prevalensi hipertensi yang didapat melalui pengukuran pada responden umur ≥ 18 tahun adalah
19,9 persen, tertinggi di Tabanan (25,8%). Prevalensi hipertensi yang didapat melalui kuesioner
terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 8,8 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan
minum obat sebesar 8,7 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Pada analisis
hipertensi terbatas pada usia 15 - <18 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan prevalensi
Propinsi Bali sebesar 19,9 persen (laki-laki 19,9 persen dan perempuan 20,0 persen), perdesaan
(20,2,6%) lebih tinggi dari perkotaan (19,7%).
Prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter sebesar 0,4 persen, dan
berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,3 persen. Prevalensi jantung koroner
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Tabanan, Klungkung dan karang Asem (0,6%).
Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Bangli (4,3%)
dan diikuti Karangasem (4,0%),.
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Bali sebesar 0,2 persen
dan penyakit batu ginjal sebesar 1,0 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah
didiagnosis nakes 19,3 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 39,1 persen.

1-x
Cedera
Prevalensi cedera di Provinsi Bali adalah 8,6 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Bangli
(13,4 persen) dan terendah di Gianyar (2,8%). Kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi
cedera lebih tinggi dari angka provinsi sebanyak 4 kabupaten.
Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (43,3 %) dan kecelakaan
transportasi darat lain (5,8%). Untuk cedera karena terbakar, gigitan hewan dan cidera lainnya
proporsinya sangat kecil, yaitu 0,7%, 1,2%, dan 0,8% Tidak ada responden yang mengalami
cidera karena keracunan.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Gianyar (53,3%) dan
terendah di Klungkung (31,7%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terdapat
di Kota Denpasar (8,3%) dan terendah ditemukan di Bangli (1,8%). Proporsi jatuh tertinggi di
Klungkung (54,6%) dan terendah di Jembrana (23,4%). Proporsi tertinggi terkena benda
tajam/tumpul terdapat di Jembrana (13,5%) dan terendah Gianyar (1,6%). Proporsi kejatuhan
tertinggi ditemukan di Gianyar (3,4%) sedangkan tidak ada yang mengalami kejatuhan di
kabupaten Jembrana.
Kesehatan Gigi dan Mulut
Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara
menyeluruh perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas
2013, telah dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut
masyarakat, dengan cara wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam
(kaca mulut) dan bantuan penerangan sinar matahari atau lampu senter. Data yang didapat
adalah masyarakat bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari
tenaga medis gigi dan EMD.
Sebesar 24,0 persen penduduk Bali menyatakan mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12
bulan terakhir. Kabupaten Bangli (41,6%), Klungkung (36,4%) dan Karangasem (32,2%) adalah
tiga daerah yang persentase penduduknya terbanyak bermasalah gigi dan mulut. Diantara yang
bermasalah gigi dan mulut, terdapat 38,8 persen yang menerima perawatan dan pengobatan
dari tenaga medis. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan
pelayanan dari tenaga medis gigi/EMD sebesar 9,3 persen.
Sebagian besar (91,8%) penduduk Bali berumur 10 tahun keatas mempunyai kebiasaan
menyikat gigi setiap hari. Kebiasaan yang banyak dilakukan adalah menyikat gigi pada saat
mandi pagi (86,8%). Sebagian penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore (69,5%).
Walau sudah punya kebiasaan menyikat gigi setiap hari, tetapi hanya ada 4,1% penduduk yang
melakukan dengan benar.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan
penjumlahan dari indeks D-T,M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Indeks DMF-T Bali sebesar 4,1 dengan nilai masing-masing: D-T=1,1; M-
T=2,9; F-T=0,12.
Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang
diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh
mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial
lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010).
Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan
mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Riskesdas 2013 menunjukkan 83 persen penduduk Indonesia disability free. Interpretasi lain
adalah penduduk Indonesia cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang dialami
dalam melakukan aktivitas rutin, sebagai hal yang menyulitkan. Menggunakan komponen
pembanding Riskesdas 2007, prevalensi disabilitas Bali adalah 10,6 sedikit lebih kecil dari angka
nasional 11 persen.

1-xi
Kesehatan Jiwa
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Bali 2,3 per mil. Prevalensi psikosis tertinggi di
Bangli (masing-masing 6,5 per mil), sedangkan yang terendah di Kota Denpasar (1,0 per mil).
Tentang gangguan mental emosional, prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental
emosional Propinsi Bali adalah 4,4 persen. Kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi adalah
Bangli (12,6%), dan yang terendah di Gianyar (0,5%).

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku


Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau
lebih. Berdasarkan analisis kecenderungan secara rerata, terdapat peningkatan proporsi
penduduk Bali yang berperilaku cuci tangan secara benar pada tahun 2013 (66,7%)
dibandingkan tahun 2007 (30,6%). Demikian pula dengan perilaku BAB benar terjadi
peningkatan dari 82,6 persen di tahun 2007 menjadi 91,1 persen di tahun 2013. Kenaikan
tertinggi pada proporsi perilaku benar pada cuci tangan terdapat di Kabupaten Gianyar dengan
besar kenaikan proporsi 49,2% dan kenaikan proporsi terbesar ke dua adalah kabupaten
Tabanan sebesar 48,0%. Kenaikan terbesar pada proporsi perilaku BAB benar pada tahun 2007
ke tahun 2013 terjadi di kabupaten Karangasem sebesar 19,6%. Prestasi tertinggi dicapai kota
Denpasar karena penduduknya sudah 100% melakukan BAB dengan benar.

Proporsi penduduk umur ≥10 tahun Bali yang saat ini merokok setiap hari adalah 18,0% dan
4,4% merokok kadang-kadang atau tidak setiap hari merokok. Proporsi perokok setiap hari saat
ini terbanyak ada di Kabupaten Jembrana. Di Jembrana, 22,8% penduduk merokok setiap hari
dan 4,4% kadang-kadang merokok. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap perhari per orang
di Bali adalah 12 batang rokok, setara dengan satu pak. Proporsi terbanyak jumlah rerata
batang rokok yang dihisap adalah 14,4 batang perhari di Tabanan. Pada perokok kadang-
kadang, rerata jumlah batang rokok yang dihisap perminggu adalah 10 - 11 batang rokok.
Kegiatan merokok setiap hari sudah mulai dilakukan oleh mereka yang berumur 10-14 tahun
(0,2%). Proporsi perokok setiap hari ini terus meningkat sesuai bertambahnya kelompok umur
sampai pada umur 30-34 (26,4%). Setelah kelompok umur tersebut, proporsi perokok setiap hari
makin berkurang. Dari semua laki-laki yang berumur 10 tahun keatas, 35,2% nya adalah perokok
setiap hari. Tidak banyak berubah dibandingkan kondisi tahun 2007, dimana laki-laki yang
merokok setiap hari terdapat 35,5%. Pada kelompok perempuan, proporsi perokok setiap hari
pada tahun 2013 (0,6%) jauh lebih rendah dibandingkan data 2007 dimana tercatat 5,0%
perempuan adalah perokok. Terkait kebijakan kawasan tanpa rokok, yang tidak setuju dengan
kebijakan tersebut di Bali sebanyak 5,7%. Dua daerah dengan proporsi terbesar yang tidak
setuju KTR adalah kabupaten Buleleng (12,8%) dan Jembrana (10,2%).

Di provinsi Bali, proporsi aktivitas fisik tergolong “kurang aktif” secara umum adalah 14,2%. Ada
tiga daerah dengan aktivitas fisik “kurang aktif” berada diatas rata-rata Bali adalah Badung
(25,8%), Buleleng (20,3%) dan Bangli (14,6%).
Proporsi rerata perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 97,5 persen, sedikit lebih tinggi
dibandingkan tahun 2007. Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥10 tahun
paling banyak konsumsi bumbu penyedap (72,5%), diikuti kopi (49,0%) dan makanan dan
minuman manis (22,4%).
Pada konsumsi makanan dari olahan tepung ≥1 kali per hari, roti adalah makanan yang
proporsinya tertinggi (20,5%) dibandingkan biskuit (16,2%) dan mie. Pengkonsumsi mi instan ≥1
kali per hari adalah 5,3%. Jembrana adalah kabupaten dengan proporsi tertinggi yang
mengonsumsi makanan olahan dari tepung ≥1 kali per hari. Konsumsi mie instant (16,1%) dan
mie basah (3,7%), roti (35,5%) dan biskuit (31,9%)
di Bali, persentase rumah tangga dengan PHBS baik adalah 52,8%, dengan persentase tertinggi
pada Gianyar (62,3%) dan persentase terendah pada Buleleng (42,8%). Selain Buleleng, Bangli,
Jembrana, Karangasem dan Klungkung adalah lima kabupaten yang masih memiliki rumah
tangga PHBS baik di bawah rerata Bali.

1-xii
Pembiayaan Kesehatan
Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Secara umum terdapat 11,0 persen penduduk Bali belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/
ASABRI dimiliki oleh sekitar 7,3 persen penduduk, Jamsostek 5,5 persen, asuransi kesehatan
swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 3,9 dan 3,5 persen.
Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesda (67,7%) dan Jamkesmas (12,4%). Kabupaten
Jembrana menjadi kabupaten yang paling tinggi (97,7%) cakupan kepemilikan jaminan diantara
Kabupaten/kota lain, Sebaliknya Kota Denpasar adalah daerah dengan cakupan kepemilikan
jaminan kesehatan yang paling rendah dengan 21,7 persen penduduk tidak punya jaminan.
Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih sedikit yang memiliki jaminan kesehatan
dibanding di perdesaan, terutama untuk jenis selain jamkesmas dan jamkesda. Kondisi
kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar
kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5 tahun
adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (17,7%).
Mengobati sendiri
Proporsi penduduk Bali yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli
obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 16,3 persen dengan rerata
pengeluaran sebesar Rp.5.000. Klungkung, Jembrana, Bangli, Tabanan dan Badung adalah lima
kabupaten tertinggi dalam melakukan pengobatan sendiri untuk periode satu bulan terakhir.
Mengenai rerata pengeluaran saat melakukan pengobatan sendiri, bervariasi mulai sebesar
Rp.2.000. sampai Rp. 10.000. kota Denpasar, Gianyar dan Badung adalah daerah dengan rerata
pengeluaran tertinggi yaitu sebesar Rp.10.000.
Rawat jalan
Sebanyak 13,4 persen penduduk Bali dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan
median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.40.000. Klungkung dan Bangli merupakan dua
Kabupaten dengan proporsi penduduk tertinggi yang melakukan rawat jalan. Masing-masing
24,2% dan 24.0 dengan median biaya sebesar Rp. 35.000 dan Rp. 30.000 dalam satu bulan
terakhir. Sedangkan yang paling sedikit melakukan rawat jalan adalah penduduk Gianyar.
Sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Bali masih didominasi (71,0%) pembiayaan
yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket). Kemudian berturut-turut disusul
pembiayaan oleh Jamkesda (15,2%) dan Jamkesmas (4,3%), dan terendah adalah pembiayaan
oleh asuransi swasta (1,0%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 2,7 persen,
Jamsostek 1,5 persen, tunjang kesehatan Perusahaan 2,2 persen, sumber lainnya 1,3 persen
dan sebanyak 0,8 persen dibiayai lebih dari satu sumber.
Rawat inap
Dalam satu tahun terakhir, 2,6 persen penduduk Bali melakukan rawat inap dengan median
biaya sebesar Rp.2.500.000. Penduduk Bangli, Tabanan dan Klungkung adalah yang tertinggi
dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap. Median biaya rawat
inap terbesar dalam satu tahun terakhir adalah Rp.5.000.000 pada kabupaten Badung.
Sedangkan median biaya rawat inap terendah Rp. 1.200.000. pada penduduk kabupaten
Karangasem
Sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Bali masih
didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 44,8 persen. Kondisi ini menarik untuk
dikaji lebih jauh, mengingat hanya sekitar 11 persen penduduk Bali belum memiliki jaminan
kesehatan.

1-xiii
Kesehatan Reproduksi
Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan
pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan
kesehatan selama masa hamil sampai masa nifas.
Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini.
Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia
kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi.
Hasil Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB adalah 63 persen dan penggunaan CPR modern
61,7%. Diantara penggunaan KB modern tersebut, 38,8% adalah penggunakan KB hormonal
dan 38,2% non MKJP. Untuk pelayanan KB, sebagian besar diberikan oleh bidan (81,5%).
Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan
tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui
pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu
hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang
terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil (99,6%) sudah melakukan
pemeriksaan kehamilan (K1) dan frekuensi kehamilan minimal 4 kali selama masa kehamilannya
adalah 95,8 persen. Adapun untuk cakupan pemeriksaan kehamilan pertama pada trimester
pertama adalah 90,3 persen dan frekuensi ANC 1-1-2 atau K4 (minimal 1 kali pada trimester
pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua dan minimal 2 kali pada trimester3) sebesar 84,7
persen. Tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan ANC adalah bidan (72%) dan
tempat pelayanan ANC paling banyak diberikan di praktek bidan (56,4%).
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan
persalinan, sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hasil
Riskesdas 2013, persalinan di fasilitas kesehatan adalah 98,6 persen dan masih terdapat 1,4
persen di rumah/lainnya. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter
spesialis, dokter umum dan bidan) mencapai 98,8 persen.

Kesehatan Anak dan Imunisasi


Untuk kesehatan anak, cakupan imunisasi dasar lengkap secara keseluruhan, persentase
imunisasi menurut jenisnya relatif baik. Semua imunisasi sudah mempunyai cakupan lebih dari
90%. Cakupan imunisasi mulai yang tertinggi sampai terendah adalah untuk BCG (97,6%),
campak (93,5%), HB-0 (93,4%), polio4 (92,4%) dan terendah DPT-HB3 (90,4%). Bila dilihat
masing-masing imunisasi menurut kabupaten/kota, Jembrana mempunyai cakupan imunisasi
yang terendah untuk jenis imunisasi HB-0 (84,0%), BCG (89,5%) dan Campak (83,0%).
Kabupaten Bangli mempunyai cakupan terendah jenis imunisasi DPT-HB 3 (63,8%) dan Polio 4
(84,3%). Kabupaten Tabanan. mempunyai cakupan 100% untuk semua jenis imunisasi dasar
Kunjungan neonatal pada 6-48 jam pertama (KN1) adalah 82,2 persen. Kabupaten/kota dengan
persentase KN1 tertinggi adalah Tabanan (92,3%) dan terendah di Buleleng (55,2%).
Persentase kunjungan neonatal pada saat 3-7 hari adalah 66,2 persen, dengan persentase
kunjungan tertinggi adalah Tabanan (91,7%). Sedangkan persentase KN3 yang dilakukan pada
saat 8-28 hari adalah 62,4 persen. Berdasarkan lengkap dan tidaknya KN, secara keseluruhan
kunjungan neonatal lengkap di Bali adalah 53,2%, tidak lengkap 33,4% dan yang tidak penah
melakukan kunjungan neonatal adalah 13,3%. Tiga daerah dengan KN lengkap tertinggi adalah
Denpasar (75,1%), Tabanan (74,8%) dan Gianyar (70,1%). Tiga daerah dengan KN tidak
lengkap tertinggi adalah Karangasem (65,3%), Bangli (60,2%) dan Jembrana (44,6%).
Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada
dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan
anak lainnya). Sebanyak 60,7 persen balita dengan catatan berat badan lahir. Terdapat 8,8
persen bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2500 gram. Persentase
bayi dengan panjang badan lahir pendek (<48 cm) yaitu sebesar 9,7 persen. Jika
dikombinasikan antara BBLR dan panjang badan lahir pendek, maka terdapat 3,6 persen balita

1-xiv
yang BBLR dan juga memiliki panjang badan lahir pendek dan prevalensi tertinggi di
karangasem (13,1%).
Persentase proses mulai menyusui pada anak umur 0-23 bulan 62,6% pada saat < 1 Jam (IMD),
30,7% antara 1-6 jam, sisanya lebih dari 7 jam. Inisiasi menyusu dini kurang dari satu jam
setelah bayi lahir adalah 62,6 persen, tertinggi di Tabanan (84,5%) diikuti oleh Gianyar (82,6%).
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
sebesar 49,6 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 45,2 persen, diberi obat tabur sebesar 0,3
persen, dan diberi ramuan/obat tradisional sebesar 4,9 persen. Cara perawatan tali pusar pada
anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Denpasar (73,0%) dan terendah di
Jembrana (7,0%). Cara perawatan tali pusar dengan diberi betadine atau alkohol, tertinggi di
Jembrana (85,2%) dan yang terendah di Denpasar (25,8%). Sedangkan perawatan tali pusar
dengan menggunakan ramuan dan obat tradisional, presentase tertinggi terdapat di Bangli
(24,4%) dan Karangasem (19,2%).
Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut kabupaten
disajikan pada Tabel 3.13.23. Dari Tabel tersebut dihasilkan persentase pernah disunat pada
anak perempuan usia 0 - 11 tahun sebesar 6,0 persen. Sunat pada perempuan di Bali tertinggi
dilakukan di Jembrana (34,8%). Di Klungkung dan Bangli tidak ditemukan kejadian sunat pada
anak perempuan.

Gizi
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). dan
disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu: berat badan menurut umur (BB/U),
tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Prevalensi
berat-kurang pada tahun 2013 adalah 13,2 persen, terdiri dari 3 persen gizi buruk dan 10,2
persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi Bali tahun 2007 (11,4 %) terlihat
meningkat. Prevalensi pendek sebesar 32,6 persen terdiri dari 13,1 persen sangat pendek dan
19,5 persen pendek. Mengenai prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus, kondisinya
menurun dari 10 persen pada tahun 2007 menjadi 8,8 persen pada tahun 2013.
Pada anak umur 5 – 12 tahun, prevalensi pendek adalah 19,4 persen (6,9% sangat pendek dan
12,5% pendek). Prevalensi kurus adalah 7,4 persen, terdiri dari 2,3 persen sangat kurus dan 5,1
persen kurus. Ini merupakan prevalensi kurus paling rendah di Indonesia. Masalah gemuk pada
anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 21,4 persen, terdiri dari gemuk 12,6 persen dan sangat
gemuk (obesitas) 8,8 persen.
Untuk kelompok 13-15 tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Prevalensi
pendek pada remaja Bali adalah 20,5 persen (7,2% sangat pendek dan 13,3% pendek). Untuk
prevalensi kurus, angka di Bali adalah 11,1 persen (3,3% sangat kurus dan 7,8% kurus).
Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun adalah 13.9 persen, terdiri dari 9,7 persen
gemuk dan 4,2 persen sangat gemuk (obesitas).
Pada status gizi remaja umur 16–18 tahun, prevalensi pendek adalah 31,4 persen, prevalensi
kurus 5,6 persen dan terdapat sebanyak 11,2 persen prevalensi gemuk yang terdiri dari 8,6
persen gemuk dan 2,6 persen obesitas.
Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari 1. status gizi menurut Indeks Masa
Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2. status gizi menurut lingkar perut
(LP); 3. risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4.
wanita hamil risiko tinggi (TB<150 cm). Prevalensi penduduk dewasa kurus 8,7 persen, berat
badan lebih 13,3 persen dan obesitas 15,5 persen. Secara umum prevalensi obesitas pada laki-
laki dan perempuan dewasa berbeda. Perempuan (29,7%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(27,8%). Tentang prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun, prevalensi obesitas
sentral di Bali adalah 24,1%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (16,4%).
Risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) digambarkan dengan
menggunakan LILA (lingkar lengan atas) yang disesuaikan dengan umur (age adjusted).
Ditemukan prevalensi risiko KEK penduduk wanita hamil umur 15 – 49 tahun, sebanyak 10,1
persen. Prevalensi risiko KEK terendah di kabuipaten Gianyar (0,0 %) dan tertinggi di

1-xv
Karangasem (27,1 %). Untuk prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Bali adalah
provinsi dengan Prevalensi risiko KEK terendah (14 %) di Indonesia.
Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan<150 cm (WHO 2007). Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi di Bali sebesar 12,1
persen. Ini merupakan yang terendah di Indonesia. Menurut kabupaten/kota, Gianyar adalah
kabupaten dengan prevalensi wanita hamil risiko tinggi yang tertinggi. Prevalensi Di Denpasar
adalah yang terendah (00,0 %) dan disusul Badung (9,7%). Berdasarkan karakteristik
penduduk, risiko tinggi wanita hamil lebih banyak ditemukan pada wanita yang berpendidikan
rendah, tiunggal di perdesaan dan bekerja sebagai petani/nelayan/buruh.

Kesehatan Indera
Sebanyak 0,6% mengalami severe low vision. Prevalensi tertinggi kasus severe low vision
terdapat di Klungkung (1,2%) dan Buleleng (1,1%). Selain itu pemeriksaan juga menemukan
0,3% penduduk Bali mengalami kebutaan, dengan prevalensi tertinggi di Jembrana (0,6%).
Pada kasus pterygium, prevalensi di Bali adalah 25,3% dan kekeruhan kornea mata adalah 11%.
Dilihat dari kelompok umur, pada kedua jenis morbiditas permukaan mata tampak
kecenderungan makin tinggi usia, makin tinggi pula prevalensinya. Berdasarkan jenis kelamin,
tidak terlalu berbeda. Untuk daerah perdesaan prevalensi pterygium (26,6%) dan kekeruhan
kornea (13,5%) lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan yang mempunyai prevalensi
pterygium (24,3%) dan kekeruhan kornea (9,4%). Untuk pterygium tampak bahwa tiga daerah
dengan prevalensi tertinggi terdapat di Tabanan (44,4%), Jembrana (40,5%) dan Klungkung
(37,0%). Sedangkan pada kasus kekeruhan kornea mata, prevalensi tertinggi berada di
Jembrana (17,1%) dan Bangli (17,0%).
Disamping pterygium dan kekruhan kornea mata disediakan juga data tentang katarak.
Prevalensi katarak di Bali adalah 2,8%. Menurut kelompok umur, tampak bahwa makin tinggi
umurnya makin tinggi pula prevalensi kataraknya. Prevalensi katarak pada perempuan (3,1%)
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (2,4%). Bila dilihat dari daerah tempat tinggalnya,
prevalensi katarak penduduk yang tinggal di perdesaan (3,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (2,1%). Daerah dengan prevalensi katarak tertinggi
adalah kabupaten Klungkung (10,7%) dan Tabanan (5,3%). Adapun daerah yang prevalensinya
terendah adalah kota Denpasar (0,9%).
Tentang gangguan pendengaran pada penduduk Bali, secara umum prevalensi gangguan
pendengaran adalah 2,0% dan prevalensi ketulian adalah 0,1%. Berdasarkan tingkat usia, makin
tinggi usia makin tinggi prevalensi gangguan pendengaran. Walau tidak jauh berbeda, penduduk
dengan jenis kelamin perempuan (2,2%) labih banyak mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan penduduk dengan jenis kelamin laki-laki (1,9%). Dilihat dari lokasi tempat
tinggalnya, mereka yang tinggal di perdesaan (2,2%) lebih banyak mengalami gangguan
pendengaran dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan (1,9%). Prevalensi
gangguan pendengaran menurut tingkat pendidikan, yang tertinggi adalah kelompok yang tidak
sekolah (8,0%). Sesuai Tes Konversasi, tampak bahwa kabupaten Gianyar (3,2%) merupakan
daerah dengan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi di bali. Daerah dengan prevalensi
gangguan pendengaran terendah adalah Badung (0,9%).

1-xvi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. Error! Bookmark not defined.
SAMBUTAN ........................................................................................................................................ 1-ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................ 1-iii
RINGKASAN HASIL ........................................................................................................................ 1-vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... 1-xvii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................................. 1-xix
Daftar Singkatan ............................................................................................................................. 1-xxx
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ................................................................................................ 2
1.3. Pertanyaan Penelitian................................................................................................................ 2
1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 2
1.5. Kerangka Pikir............................................................................................................................ 3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 .......................................................................................................... 4
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 ........................................................................................... 6
1.8. Manfaat Riskesdas 2013 ........................................................................................................... 7
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 .............................................................................................. 7
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS.................................................................................................... 8
2.1. Desain ......................................................................................................................................... 8
2.2. Lokasi .......................................................................................................................................... 8
2.3. Populasi dan Sampel .................................................................................................................. 8
2.4. Variabel ..................................................................................................................................... 10
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data................................................................ 11
2.6. Manajemen Data ...................................................................................................................... 11
2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ......................................................................................... 13
2.8. Pengolahan dan Analisis Data ................................................................................................. 14
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................................................... 15
3.1. Akses Pelayanan Kesehatan.................................................................................................... 15
3.2. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL .................................................. 23
3.3 Kesehatan Lingkungan ............................................................................................................ 31
3.4. Penyakit Menular ...................................................................................................................... 45
3.5. Penyakit Tidak Menular ............................................................................................................ 59
3.6. Cedera ...................................................................................................................................... 73
3.7 Kesehatan Gigi dan Mulut ......................................................................................................... 81
3.8 Status disabilitas ........................................................................................................................ 90
3.9. Kesehatan Jiwa......................................................................................................................... 91
3.10. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku .......................................................................................... 94
3.11. Pembiayaan Kesehatan........................................................................................................ 122
3.12. Kesehatan Reproduksi ......................................................................................................... 131

1-xvii
3.13 Kesehatan Anak dan Imunisasi ............................................................................................. 148
3.14. Status Gizi............................................................................................................................. 175
3.15. Kesehatan Indera ................................................................................................................. 190
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 202
LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 204

1-xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.3.1 Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................ 9
Tabel 2.3.2 Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan
masyarakat yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................................................................................... 9
Tabel 3.1.1. Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan jenis fasilitas
kesehatan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................ 15
Tabel 3.1.2. Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 16
Tabel 3.1.3. Persentase rumah yang dapat menggunakan moda transportasi menuju rumah
sakit pemerintah menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................. 17
Tabel 3.1.4. Persentase rumah tangga yang dapat menggunakan moda transportasi menuju
rumah sakit pemerintah menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............ 17
Tabel 3.1.5. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 18
Tabel 3.1.6. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 18
Tabel 3.1.7. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas
pembantu menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................. 19
Tabel 3.1.8. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas
pembantu menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................. 19
Tabel 3.1.9. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013. ........................................................... 20
Tabel 3.1.10. Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 20
Tabel 3.1.11. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 21
Tabel 3.1.12. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 21
Tabel 3.1.13. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau
puskesmas pembantu menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......... 22
Tabel 3.1.14. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau
puskesmas pembantu menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............... 22
Tabel 3.1.15. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut
kabupaten/Kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................ 23
Tabel 3.1.16. Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 23
Tabel 3.2.1. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang
disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................. 24
Tabel 3.2.2. Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 25
Tabel 3.2.3. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 25
Tabel 3.2.4. Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 26

1-xix
Tabel 3.2.5. Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 26
Tabel 3.2.6. Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang
obat generik (OG ) menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............... 27
Tabel 3.2.7. Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang
obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................... 27
Tabel 3.2.8. Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 28
Tabel 3.2.9. Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik
(OG) menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................... 28
Tabel 3.2.10. Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun
terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 29
Tabel 3.2.11. Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun
terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 30
Tabel 3.2.12. Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan
Yankestrad, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................... 30
Tabel 3.3.1. Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air per orang per hari
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 46
Tabel 3.3.2. Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 46
Tabel 3.3.3. Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut
karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ...................................................................................... 34
Tabel 3.3.4. Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum
diminum
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 35
Tabel 3.3.5. Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 36
Tabel 3.3.6. Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 37
Tabel 3.3.7. Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013................................................... 39
Tabel 3.3.8. Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat
tinggal menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........................................ 40
Tabel 3.4.1. Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................ 45
Tabel 3.4.2. Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 46
Tabel 3.4.3. Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 47
Tabel 3.4.4. Karakteristik penduduk yang didiagnosis, diobati dengan obat program, dan
gejala TB, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ...................................................................... 48
Tabel 3.4.5. Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................ 49

1-xx
Tabel 3.4.6. Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 50
Tabel 3.4.7. Proporsi jenis hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........ 51
Tabel 3.4.8. Karakteristik penduduk yang didiagnosis hepatitis menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 52
Tabel 3.4.9. Insiden diare pada balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................... 53
Tabel 3.4.10. Insiden diare balita menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................... 54
Tabel 3.4.11. Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/Kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 54
Tabel 3.4.12. Pengobatan diare balita yang menggunakan oralit dan zinc menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................. 55
Tabel 3.4.13. Insiden dan prevalen malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................... 56
Tabel 3.4.14. Karakteristik responden dengan malaria, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................... 56
Tabel 3.4.15. Pengobatan malaria dengan obat program dan pengobatan responden sendiri
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 57
Tabel 3.4.16. Karakteristik responden malaria dengan obat program dan pengobatan sendiri
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ...................................................................................... 58
Tabel 3.5.1. Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 61
Tabel 3.5.2. Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 62
Tabel 3.5.3. Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur
≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................ 64
Tabel 3.5.4. Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 65
Tabel 3.5.5. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15
tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................... 66
Tabel 3.5.6. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15
tahun menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................... 67
Tabel 3.5.7. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15
tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................... 69
Tabel 3.5.8. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15
tahun menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................................... 70
Tabel 3.6.1. Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 74
Tabel 3.6.2. Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik responden, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 75
Tabel 3.6.3. Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........... 77
Tabel 3.6.4. Proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................... 78
Tabel 3.6.5. Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ..................................................................................................................................... 79
Tabel 3.6.6. Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ................................................................................................................... 80

1-xxi
Tabel 3.7.1. Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
sesuai effective medical demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 82
Tabel 3.7.2. Prevalensi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................... 83
Tabel 3.7.3. Persentase penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................................................................................... 85
Tabel 3.7.4. Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku
benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............. 86
Tabel 3.7.5. Persentase penduduk sepuluh tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik responden, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ........................................................................................................... 87
Tabel 3.7.6. Komponen D, M, F dan Index DMF-T menurut karakteristik responden, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................................... 89
Tabel 3.8.1. Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 90
Tabel 3.8.2. Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............. 91
Tabel 3.9.1. Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 92
Tabel 3.9.2. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 93
Tabel 3.10.1. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam buang
air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 .............................................................................................................................. 95
Tabel 3.10.2. Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam hal buang
air besar dan cuci tangan menurut karakteristik responden, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ............................................................................................................. 96
Tabel 3.10.3. Analisis kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB
dan cuci tangan yang benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2007- 2013 ..................................................................................................................... 97
Tabel 3.10.4. Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang melakukan kebiasaan merokok
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 98
Tabel 3.10.5. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kebiasaan merokok dan
karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................................. 100
Tabel 3.10.6. Rerata jumlah batang rokok (kretek,putih dan linting) setiap hari dan setiap
Minggu dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................................... 101
Tabel 3.10.7. Rerata jumlah batang rokok tiap hari dan rerata jumlah batang rokok yang
dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut karakteristik responden,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 102
Tabel 3.10.8. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut usia pertama
kali merokok tiap hari berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................. 103
Tabel 3.10.9. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut usia pertama
kali merokok tiap hari dan karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................. 104
Tabel 3.10.10. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas menurut usia mulai merokok
berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................... 105

1-xxii
Tabel 3.10.11. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok berdasarkan usia
pertama kali merokok menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ............................................................................................................................. 106
Tabel 3.10.12. Proporsi jenis rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 107
Tabel 3.10.13. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut jenis rokok
yang dihisap dan karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................. 108
Tabel 3.10.14. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok
dalam gedung/ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013...... 109
Tabel 3.10.15. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok dalam rumah ketika
bersama anggota rumah tangga menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ........................................................................................................... 109
Tabel 3.10.16. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan
mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ...... 110
Tabel 3.10.17. Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang setuju kebijakan kawasan tanpa
rokok/ktr menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................. 110
Tabel 3.10.18. Proporsi aktivitas fisik penduduk umur 10 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 111
Tabel 3.10.19. Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentari) penduduk 10 tahun ke atas
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................ 112
Tabel 3.10.20. Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentari) penduduk 10 tahun ke atas
menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................... 113
Tabel 3.10.21. Proporsi porsi makan buah/sayur per hari dalam seminggu Penduduk Umur 10
tahun ke Atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................... 114
Tabel 3.10.22. Analisis tren proporsi kurang makan buah dan sayur (< 5 porsi per minggu)
penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2013 ......................................................................... 115
Tabel 3.10.23. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 115
Tabel 3.10.24. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan konsumsi makanan minuman
berisiko menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................... 116
Tabel 3.10.25. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan
dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................... 117
Tabel 3.10.26. Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan
dari tepung menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............................. 118
Tabel 3.11.1. Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 123
Tabel 3.11.2. Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 124
Tabel 3.11.3. Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
median biayanya menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ....................... 125
Tabel 3.11.4. Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
median biayanya menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................... 126
Tabel 3.11.5. Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang
dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......... 127
Tabel 3.11.6. Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang
dikeluarkan (Rp) berdasarkan karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............... 128

1-xxiii
Tabel 3.11.7. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 129
Tabel 3.11.8. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 130
Tabel 3.11.9. Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................................................... 130
Tabel 3.11.10. Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 131
Tabel 3.12.1. Indikator utama dan unit analisis yang digunakan blok kesehatan reproduksi,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 132
Tabel 3.12.2. Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan
pengelompokan jenis kandungan hormonal, jangka waktu efektivitas KB
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................ 135
Tabel 2.12.3. Persentase kelahiran pemeriksaan kehamilan serta cakupan indikator ANC
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 *) ....................................... 138
Tabel 3.12.4. Persentase ibu hamil mengkonsumsi zat besi dan jumlah hari mengkonsumsi
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................ 140
Tabel 3.12.5. Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 143
Tabel 3.12.6. Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 144
Tabel 3.12.7. Persentase tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 . ........................................................................................................................... 145
Tabel 3.12.8. Persentase tempat bersalin menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .... 146
Tabel 3.12.9. Persentase pelayanan KB pasca salin menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ........................................................................................................... 147
Tabel 3.13.1. Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 149
Tabel 3.13.2. Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 150
Tabel 3.13.3. Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 151
Tabel 3.13.4. Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 152
Tabel 3.13.5. Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/
kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........................................................................... 156
Tabel 3.13.6. Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................................... 157
Tabel 3.13.7. Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................................................... 158
Tabel 3.13.8. Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 159
Tabel 3.13.9. Persentase jenis kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59
bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................. 161
Tabel 3.13.10. Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........................................... 161

1-xxiv
Tabel 3.13.11. Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 162
Tabel 3.13.12. Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 163
Tabel 3.13.13. Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 164
Tabel 3.13.14. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 165
Tabel 3.13.15. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 166
Tabel 3.13.16. Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 167
Tabel 3.13.17. Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 168
Tabel 3.13.18. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin a selama
enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........... 169
Tabel 3.13.19. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama
enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................ 170
Tabel 3.13.20. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan
terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................... 172
Tabel 3.13.21. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan
terakhir menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................... 173
Tabel 3.13.22. Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................ 174
Tabel 3.15.1. Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision pada
responden 6 tahun keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 192
Tabel 3.15.2. Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision pada
responden usia 6 tahun keatas tanpa/dengan koreksi optimal menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 193
Tabel 3.15.3. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................................. 194
Tabel 3.15.4. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................ 195
Tabel 3.15.5. Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada
responden semua umur menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......... 196
Tabel 3.15.6. Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada
responden semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013..... 197
Tabel 3.15.7. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia 5 tahun keatas
sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .............. 198
Tabel 3.15.8. Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia 5 tahun keatas
sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........ 199
Tabel 3.15.9. Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .......................................................... 199
Tabel 3.15.10. Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia 2 tahun keatas menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................ 200

1-xxv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.5.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem
Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM............................................................ 3
Gambar 1.6.1 Alur pikir Riskesdas 2013 .............................................................................................. 5
Gambar 3.2.1. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 24
Gambar 3.2.2. Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun
terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan di kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................................... 29
Gambar 3.3.1. Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................ 33
Gambar 3.3.2. Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ......................... 33
Gambar 3.3.3. Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................. 34
Gambar 3.3.4. Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum
diminum, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................... 35
Gambar 3.3.5. Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut Kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................... 37
Gambar 3.3.6. Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
Improved menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................................... 38
Gambar 3.3.7. Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 38
Gambar 3.3.8. Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat
tinggal,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................................................... 40
Gambar 3.3.9. Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 41
Gambar 3.3.10. Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding
terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Provinsi Bali, Riskesdas 2013............. 41
Gambar 3.3.11. Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga
dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan
pencahayaan alami, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................. 42
Gambar 3.3.12. Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ........................................................................................................... 42
Gambar 3.3.13. Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik
menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................. 43
Gambar 3.3.14. Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 .......................................................................................................... 43
Gambar 3.3.15. Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ..................................................................................... 44
Gambar 3.3.16. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................. 44
Gambar 3.5.1. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosa pada umur ≥ 18
tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................. 71

1-xxvi
Gambar 3.5.2. Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥
18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ............ 72
Gambar 3.5.3. Kecenderungan prevalensi stroke per mil pada umur ≥ 15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 .......................................... 72
Gambar 3.5.4. Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara pada
umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan
2013 ............................................................................................................................ 72
Gambar 3.6.1. Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebab cedera menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 .......................................... 76
Gambar 3.7.1. Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta
mendapat perawatan, dan EMD*), Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................. 84
Gambar 3.7.2. Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan
dari tenaga medis dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013 .............................. 84
Gambar 3.7.3. Komponen D, M, F dan Index DMF –T, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan
2013 ............................................................................................................................. 88
Gambar 3.9.1. Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................................... 94
Gambar 3.10.1. Proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan yang benar
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007- 2013 ................................ 97
Gambar 3.10.2. Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang melakukan kebiasaan merokok
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013........................................... 99
Gambar 3.10.3. Proporsi penduduk bali umur 10 tahun ke atas dengan konsumsi makanan
olahan dari tepung ≥ 1x/hari, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................... 119
Gambar 3.10.4. Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.................... 121
Gambar 3.10.5. Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) menurut karakteristik wilayah dan ekonomi, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ........................................................................................................................... 122
Gambar 3.12.1. Pengggunaan KB saat ini menurut Kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013. .......................................................................................................................... 133
Gambar 3.12.2. Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan kelompok
umur, Provinsi Bali, Riskesdas 2013......................................................................... 134
Gambar 3.12.3. Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini oleh WUS kawin dan kelompok
umur, Provinsi Bali, Riskesdas 2013......................................................................... 134
Gambar 3.12.4. Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih .................................................................... 135
Gambar 3.12.5. Proporsi penggunaan fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan KB yang
dipilih WUS kawin, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................................... 135
Gambar 3.12.6. Proporsi alasan utama tidak menggunakan KB bagi WUS kawin pernah dan
tidak pernah ber KB, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................. 136
Gambar 3.12.7. Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 139
Gambar 3.12.8. Proporsi fasilitas kesehatan untuk pelayanan ANC, Provinsi Bali, Riskesdas
2013 ........................................................................................................................... 139
Gambar 3.12.9. Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil
observasi lembar amanat persalinan buku KIA, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ...... 141

1-xxvii
Gambar 3.12.10. Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010
sampai saat wawancara menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
(Masalah kecukupan sampel) ................................................................................... 142
Gambar 3.12.11. Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat
wawancara menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................ 142
Gambar 3.12.12. Distribusi persentase kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara
menurut pelayanan kb pasca salin dan provinsi, Riskesdas 2013 (tidak
memadai kab/kota) .................................................................................................... 147
Gambar 3.12.13. Proporsi penduduk perempuan 10-54 tahun dengan umur perkawinan pertama
pada umur anak-anak (< 18 tahun) menurut provinsi, Riskesdas 2013 ................... 148
Gambar 3.13.1. Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013............................. 153
Gambar 3.13.2. Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 .................................. 153
Gambar 3.13.3. Kecenderungan persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Propvinsi Bali,
Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 155
Gambar 3.13.4. Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur
12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013. .................... 160
Gambar 3.13.5. Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak usia 12-
59 bulan, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................... 160
Gambar 3.13.6. Persentase kunjungan neonatal lengkap, tidak lengkap dan tidak pernah KN
pada anak anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 163
Gambar 3.13.7. Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 171
Gambar 3.13.8. Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6
bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan
2013 ........................................................................................................................... 172
Gambar 3.13.9. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................. 175
Gambar 3.14.1. Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................... 178
Gambar 3.14.2. Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................... 179
Gambar 3.14.3. Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................... 180
Gambar 3.14.4. Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita,
Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................... 181
Gambar 3.14.5. Prevalensi pendek anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................................. 182
Gambar 3.14.6. Prevalensi IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2007 dan 2013 ................................................................................. 182
Gambar 3.14.7. Prevalensi pendek remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 183
Gambar 3.14.8. Prevalensi IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 184

1-xxviii
Gambar 3.14.9. Prevalensi pendek TB/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 184
Gambar 3.14.10. Prevalensi IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 185
Gambar 3.14.11. Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>1 8
tahun), Provinsi Bali, Riskesdas 2013....................................................................... 186
Gambar 3.14.12. Prevalensi obesitas (IMT>25) pada penduduk dewasa umur > 18 tahun,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013. .................................................................................. 186
Gambar 3.14.13. Prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki dan perempuan umur > 18 tahun,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ................................................................................... 187
Gambar 3.14.14. Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.......................................... 188
Gambar 3.14.15. Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 . ...................................................... 188
Gambar 3.14.16. Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........................................................ 189
Gambar 3.14.17. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ........................................................ 189
Gambar 3.14.18. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 ............................................................. 190

1-xxix
Daftar Singkatan
µg/L : microgram per Liter
ACT : Artemisinin-based combination therapy
ADA : American Diabetes Assocation
Amanat Persalinan : Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat
ANC : Antenatal care
ANC 4x + : proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
APN : Asuhan Persalinan Normal
ART : Anggota Rumah Tangga
Asabri : Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
ASI : Air Susu Ibu
Askes : Asuransi kesehatan
BAB : Buang air besar
Badan Litbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Balita : Bawah lima tahun
BB : Berat Badan
BB/TB : Berat badan/Tinggi Badan
BB/U : Berat badan/umur
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
BP : Balai Pengobatan
BPS : Badan Pusat Statistik
BS : Blok Sensus
Buku KIA : Buku Kesehatan Ibu dan Anak
CPR : Contraceptive Prevalence Rate
D : Diagnosis dokter/tenaga kesehatan
D1 : Diploma 1
D3 : Diploma 3
DG : Diagnosis atau gejala
Dinkes : Dinas Kesehatan
DM : Diabetes Mellitus
DO : Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri
EIU : Eksresi Iodium Urin
EKG : Elektro Kardio Gram
EMD : Effective Medical Demand
FKM : Fakultas Kesehatan Masyarakat
G : Gejala klinis spesifik penyakit
GAKI : Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
GATS : Global Adults Tobacco Survey
GDP : Glukosa Darah Puasa
GDPP : Glukosa Darah Pasca Pembebanan
GDS : Glukosa Darah Sewaktu
GGK : Gagal ginjal kronik
Hb : Hemoglobin
HDL : High-Density Lipoprotein
HIV/ AIDS : Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency
Syndrome
ICCIDD : International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders
ICF : International Classification of Functioning
IFCC : International Federation of Clinical Chemistry
IMD : Inisiasi Menyusu Dini
IMT : Indeks Massa Tubuh
Indeks DMF-T : Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth)
IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IU : International Unit

1-xxx
IUD : Intra Uterine Device
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JMP : Joint Monitoring Programme
JNC : Joint National Committee
JPK : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
K1 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan
K1 ideal : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
pertama kali pada trimester 1
K4 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
selama 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada
trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada
trimester 3.
Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan
Kasie litbang : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan
Kasie Litbangda : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah
Kasie puldata : Kepala Seksi Pengumpulan Data
Kasubdin : Kepala Sub Dinas
Katim : Ketua Tim
KB : Keluarga Berencana
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KEK : Kurang Energi Kronis
KEPK : Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
Kespro : Kesehatan Reproduksi
KF : Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam
sampai 42 hari setelah melahirkan.
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KIO3 : Kalium Iodat
KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KK : Kepala Keluarga
KLB : Kejadian Luar Biasa
KMS : Kartu Menuju Sehat
KN : Kunjungan Neonatal
Korwil : Koordinator Wilayah
Lansia : Lanjut usia
LDL : Low-Density Lipoprotein
LH : Lahir Hidup
LiLA : Lingkar Lengan Atas
Linakes : Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis
kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan)
LM : Lahir Mati
LN : Luar Negeri
LP : Lingkar Perut
MDGs : Millennium Development Goals
Menkes : Menteri Kesehatan
MI : Missing Indeks
MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Nakes : Tenaga Kesehatan
NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III
NLIS : Nutrition Landscape Information System
Non MKJP : Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
OG : Obat Generik

1-xxxi
OT : Obat Tradisional
P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
PB : Panjang Badan
PBTDK : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
PCA : Principal Component Analysis
PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
PDBK : Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
PERDAMI : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia
PERHATI : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
Perpres : Peraturan Presiden
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PJK : Penyakit Jantung Koroner
PM : Penyakit Menular
PMT : Pemberian Makanan Tambahan
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polindes : Pondok Bersalin Desa
Poltekkes : Politeknik Kesehatan
Poskesdes : Pos Kesehatan Desa
Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPI : Program Pengembangan Imunisasi
Ppm : Part per million
PPS : Probability Proportional To Size
PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis
PSU : Primary Sampling Unit
PT : Perguruan Tinggi
PTI : Performance Treatment Index
PTM : Penyakit Tidak Menular
PUS : Pasangan Usia Subur
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu : Puskesmas Pembantu
PWS KIA : Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak
RB : Rumah Bersalin
RDT : Rapid Diagnostic Test
RI : Republik Indonesia
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RKD : Riskesdas
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RS : Rumah Sakit
RT : Rumah Tangga
RTI : Required Treatment Index
SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
SDM : Sumber Daya Manusia
SKN : Sistem Kesehatan Nasional
SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SMA/MA : Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
SMP/MTS : Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah
SP 2010 : Sensus Penduduk 2010
SPK : Standar Pelayanan Kebidanan
SRQ : Self Reporting Questionnaire
STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
TB : Tinggi Badan
TB : Tuberkulosis

1-xxxii
TB/U : Tinggi badan/Umur
TGT : Toleransi Glukosa Terganggu
TKP : Tempat Kejadian Perkara
TNI/Polri : Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI
U : Ukur
UI : Universitas Indonesia
UKBM : Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
UNAIR : Universitas Airlangga
UNHAS : Universitas Hasanuddin
UNICEF : United Nations Children’s Fund
USI : Universal Salt Iodization
UU : Undang – Undang
WG : Washington Group
WHO : World Health Organization
WHODAS 2 : WHO Disability Assessment Schedule 2
WUS : Wanita Usia Subur
Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional

1-xxxiii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju,
adil, dan makmur. Visi tesebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi
pembangunan kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi
kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan
menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun 2012
memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem
yang ada.
Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI
adalah “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan
serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif”. Untuk itu
diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang
dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya.
Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang
dirancang dapat berskala nasional, Provinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan
secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan
sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada
hasil pelaksanaan Riskesdas di Provinsi Bali.
Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu
status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas,
dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku
kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol,
aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan
(akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota
rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan.
Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan
penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan
sebagai bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai
dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan (IPKM) yang berguna untuk membuat
peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK).
Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan
keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan
mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.
Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali
dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk
meningkatkan kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman
dan Ekonomi, Farmasi, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai gangguan jiwa berat
dan pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari
Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air dan
Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi
dikembangkan dari komposit variabel aset yang termasuk dalam blok Pemukiman dan Ekonomi.
Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 Sebaliknya ada
satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga
dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak
dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS,

1
kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di
sekitar rumah tangga.
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013

Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data
berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di
tingkat Kabupaten/kota, Provinsi dan Nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu:

1) Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi,


dan kabupaten tahun 2013?
2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan
kabupaten/kota?
3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota?
4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan?
5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?

Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan
penelitian 3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

1.4. Tujuan Riskesdas 2013

Tujuan Umum :

Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di


berbagai tingkat administrasi.

Tujuan Khusus:
1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di
berbagai tingkat administrasi.
2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota pada tahun 2013.
3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007
ke 2013.
4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM.
5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.

2
1.5. Kerangka Pikir

FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN


Visi, Misi,
strategi dan
kebijakan

- Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi


- Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Kesehatan
- Farmasi dan Pelayanan Kesehatan
Tradisional

- Status Gizi
- Kesehatan Reproduksi
- Kesehatan Bayi dan Balita
Manajemen Sumber Akses Pelayanan - Morbiditas Penyakit Menular
daya Kesehatan Derajat Kesehatan
- Penyakit Tidak Menular
- Penyakit Bawaan,
- Gangguan Indera
- Kesehatan Jiwa dan gangguan
emosional
- Gigi dan Mulut
Pembiayaan - Cedera,
Kesehatan Pemerataan & Keadilan - disabilitas
Pembiayaan Kesehatan - Kecacatan
-Pemeriksaan Spesimen Darah
- Status Iodium
-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
Kesehatan Lingkungan

Gambar 1.5.1
Kerangka pikirRiskesdas 2013 (dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013

Alur pikir (Gambar 1.6.1) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam
Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk
menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat
menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat
kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6
menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan.
Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan
kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya.
Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih,
akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya
penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas
2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey
tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di
dunia.

4
 Status gizi
1. Indikator

 Kesehatan Ibu dan

 Morbiditas PM, PTM,


Anak

Cedera dan Kesehatan


Policy
 Sanitasi lingkungan
Jiwa
Questions
 Pengetahuan, sikap  Tabel Dasar
6. Laporan

 Hasil Pendahuluan
 Disabilitas
dan Perilaku

 Ekonomi  Hasil Pendahuluan


Nasional

 Akses dan
 Hasil Akhir Nasional
Provinsi
Pembiayaan
 Hasil Akhir Provinsi
Research
 Farmasi dan
Pelayanan
Questions
Pelayanan Kesehatan
Tradisional

2. Disain Alat

 Kuesioner wawancara,
Pengumpul Data
 Deskriptif
5. Statistik

 Bivariat
pengukuran, Riskesdas
 Multivariat
2013
 Validitas
pemeriksaan
 Uji Hipotesis
 Reliabilitas
 Dapat diterima

3. Pelaksanaan

 Pengembangan
Riskesdas 2013 4. Manajemen Data

 Editing
Riskesdas 2013

 Uji Coba
manual Riskesdas
 Entry
 Pengembangan modul  Cleaning
 Perlakuan terhadap
 Pelatihan pelaksana
pelatihan

 Penelusuran sampel  Perlakuan terhadap


missing data

 Pengorganisasian
 Logistik  Consistency check
outliers

 Pengumpulan data  Analisis  syntax


 Supervisi / bimbingan
 Pengarsipan
appropriateness

 Validasi
teknis

Gambar 1.6.1
Alur pikir Riskesdas 2013

5
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013

Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun
2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013,
tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.

Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:

1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim


Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat :
Tim Penasehat terdiri dari Menkes dan Kepala BPS dan Pejabat eselon I


Kementerian Kesehatan.


Tim Pengarah terdiri dari Kabadan, Pejabat eselon I dan sektor terkait.


Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing.


Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes


Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes
Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil yang
akan mengkoordinir beberapa provinsi.

 Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina
2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:

Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/ Kasie Puldata Dinkes
Provinsi.

 Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten,


3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :

Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik


Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota.

Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim
pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari
5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan
manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.

Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan
manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan
kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.

6
1.8. Manfaat Riskesdas 2013

Manfaat Penelitian

1. Untuk kabupaten/kota:
a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah
kesehatan dalam enam tahun terakhir.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.
2. Untuk provinsi dan pusat:
a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas
pembangunan kesehatan antar wilayah.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan.
3. Untuk Peneliti
a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut.
b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.
4. Untuk Institusi Pendidikan
a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir.
b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya.

1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013

Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor
LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent
(Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.

7
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS

2.1. Desain

Riskesdas adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013 terutama
dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok
Indonesia, yang terwakili oleh penduduk di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.

2.2. Lokasi

Sampel Riskesdas 2013 mewakili nasional dan 33 provinsi yang tersebar di 497
Kabupaten/Kota. Di Provinsi Bali, riset ini dilakukan di 9 Kabupaten/Kota yang ada. Secara
nasional, catatan berkenaan dengan lokasi adalah terjadi 43 pergantian BS dari 2800 BS yang
telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena jumlah rumah tangga dari BS semula terpilih kurang
dari 25 RT, artinya rumah tangga yang akan menjadi sampel untuk setiap BS tidak terpenuhi
dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Namun kondisi ini tidak terjadi di Provinsi Bali.

2.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi.
Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP)
2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan
metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian singkat
proses penarikan sampel dimaksud.

Penarikan sampel Blok Sensus

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP
2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi,
dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara
stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnyaangka prevalensi malaria dan
TB-paru hasil Riskesdas 2007. Secara nasional jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan
masyarakat adalah sebesar 2.800 BS dengan 70.000 rumah tangga, sedang untuk sampel
biomedis adalah sebesar 823 BS dengan 20.575 rumah tangga. Dari setiap provinsi diambil
sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi
tersebut.
Riskesdas 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS di Provinsi Bali. Terdapat 231 BS
terpilih. Semuanya berhasil dikunjungi. Untuk sampel biomedis, dari total BS yang ada, terpilih
14 BS. Jumlah sampel BS, Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang dapat dikunjungi
disetiap provinsi dapat dilihat pada tabel 2.3.1. dan 2.3.2.

8
Tabel 2.3.1.
Distribusi sampel kesehatan masyarakat dan biomedis yang dapat dikunjungi menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Blok Sensus Sampel Kesehatan Masyarakat yang
Target dikunjungi
Kabupaten/kota Kesehatan Blok Rumah Anggota Rumah
Masyarakat Sensus Tangga Tangga
Jembrana 22 22 550 1680
Tabanan 26 26 650 2061
Badung 27 27 675 2342
Gianyar 26 26 650 2945
Klungkung 21 21 525 1906
Bangli 22 22 550 2040
Karangasem 26 26 650 2210
Buleleng 29 29 725 2484
Denpasar 32 32 800 2511
BALI 231 231 5.775 20179

Tabel 2.3.2.
Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat
dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jumlah Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga
Jumlah
Respon Jumlah
Kabupaten/kota Blok Sensus
Target Dikunjungi rate yang Diwawancara
Dikunjungi
(%) terdata
Jembrana 22 550 550 100 1680 1680
Tabanan 26 650 650 100 2061 2061
Badung 27 675 675 100 2342 2342
Gianyar 26 650 650 100 2945 2945
Klungkung 21 525 525 100 1906 1906
Bangli 22 550 550 100 2040 2040
Karangasem 26 650 650 100 2210 2210
Buleleng 29 725 725 100 2484 2484
Denpasar 32 800 800 100 2511 2511
Bali 231 5.775 5.775 100 20179 20179

Penarikan sampel Rumah Tangga /Anggota Rumah Tangga

Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak
sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh
Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih. Dengan demikian dari 231 BS di
provinsi Bali, terpilih 5.775 rumah tangga yang tersebar di 9 Kabupaten/Kota.

Penarikan sampel Biomedis

Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili
nasional. Sampel biomedis di provinsi Bali, terpilih 14 BS yang tersebar di kabupaten Jembrana,
Tabanan dan kota Denpasar. Pada BS yang terpilih untuk biomedis, rumah tangganya dan
anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan
pemeriksaan biomedis. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin

9
dan malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan
sampel biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air.
2.4. Variabel

Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi


pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan
menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 315 variabel yang
tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok
sebagai berikut:
Blok I. Pengenalan tempat
Blok II. Keterangan Rumah Tangga
Blok III. Keterangan Pengumpul Data
Blok IV. Keterangan Anggota Rumah Tangga
Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan
Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga
Blok VIII. Kesehatan Lingkungan
Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi.
Blok X. Keterangan Wawancara Individu
Blok XI, Keterangan Individu
a. Penyakit Menular
b. Penyakit tidak Menular
c. Cedera
d. Gigi dan Mulut
e. Ketidakmampuan/Disabilitas
f. Kesehatan Jiwa
g. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
h. Pembiayaan Kesehatan
i. Kesehatan Reproduksi
j. Kesehatan Anak dan Imunisasi
k. Pengukuran dan Pemeriksaan
l. Pemeriksaan mata
m. Pemeriksaan THT
n. Pemeriksaan Status Gigi Permanen
o. Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin.

10
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data dengan
rincian sebagai berikut:
1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah Tangga
atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi.
b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota
rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak
diwawancarai.
2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.
b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi
sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi
pendampingnya.
3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
a. Timbangan badan
b. Alat ukur tinggi badan
c. Alat ukur Lingkar pinggang dan Lengan atas
d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart
e. Spekulum
f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam)

4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan
dengan menggunakan formulir tersendiri.

2.6. Manajemen Data

Proses manajemen data Riskesdas 2013 terdiri dari Receiving Batching, Edit, Entri,
Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan
waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di lokasi pengumpulan
data dan juga dipusat yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang dilakukan di lokasi
pengumpulan data adalah Receiving Batching, Edit, Entri, pengiriman data, sedangkan
proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di Pusat. Tim Manajemen Data yang
dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara
keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan manajemen data Riskesdas 2013
adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke tim manajemen data melalui email
dan laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan
dilihat dalam web. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci sebagai berikut.

11
2.6.1. Receiving Batching
Proses Receiving Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara.
Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah
diwawancarai, jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang diwawancarai dan
jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah
data yg diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu
untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data
yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.

2.6.2. Editing
Pengumpulan data Riskesdas 2013 dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari empat
pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut didampingi
oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai supervisor
yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata
rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh
supervisor atau PJT Kabupaten/ Kota semenjak pewawancara selesai melakukan wawancara
dengan responden. PJT Kabupaten/ Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan.
PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan
jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus.
Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti :
• Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh
pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59
tahun.
• Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi
• Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan
• Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor
laboratorium, sebelum dilakukan entri data.

2.6.3. Entry
Program entri data Riskesdas 2013 dikembangkan menggunakan software CSPro 4.0. Program
entri tersebut mencakup kuesioner Rumah Tangga, individu, Konsumsi, dan Pemeriksaan
Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri Data kuesioner kesmas dan hasil pemeriksaan RDT
malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil
pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan
apusan darah tebal malaria dilakukan oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta,
maka entri data juga dilakukan oleh tim tersebut.
Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai
kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak mengandung skip questions
(pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga
konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu
maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara
komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan entri. Hasil
pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses manajemen
data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.
Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada PJT
Kabupaten/ Kota. PJT Kabupaten/ Kota menerima data elektronik tersebut dan mengirimnya ke
Tim Manajemen Data melalui email bersama file Receiving Batching bernama “Formulir Kontrol
Data.xls”. Pengiriman dilakukan setiap selesai entry 1 (satu) Blok Sensus. Setelah mengirim data
elektronik dan file formulir kontrol data, PJT Kabupaten/Kota mengisi laporan kemajuan
(progress report) berbasis web di http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil kemajuan

12
pengumpulan data, penerimaan data dan cleaning data dapat di akses melalui web di alamat
http://puldata.litbang.depkes.go.id.

2.6.4. Penggabungan Data


File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kab/ Kota, digabung oleh tim manajemen data.
Setiap anggota tim manajemen data di Pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari
1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggungjawab data melakukan penggabungan data,
kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya cleaning sementara
agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data.
Setelah seluruh data mempunyai status bersih sementara selesai digabung, dilanjutkan
dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 2798
Blok Sensus terdiri dari file Rumah Tangga, file daftar Anggota Rumah Tangga, file Individu,
file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru.

2.6.5. Cleaning
Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang
kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas 2013. Tim Manajemen Data di Pusat
sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saatmenerima
data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim
pengumpul data di Kabupaten, maka tim Manajemen Data Pusat akan berkoordinasi dengan
PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki
melalui email.
Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap
sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan
cleaning variabel secara keseluruhan.
Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data
Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan
akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas 2013.

2.6.6. Imputasi
Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen
Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013
imputasi dilakukan untuk data-data kontinyu yang outlier. Sedangkan data missing hanya ada
pada pertanyaan Blok Perilaku Seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan
tidak bersedia menjawab.

2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013

Keterbatasan data Riskesdas 2013 mencakup keterbatasan metodologis dan keterbatasan


manajemen.

Keterbatasan metodologi

Beberapa indikator MDGs Kesehatan tidak dapat dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 karena
besar sampel yang tidak memadai dan cara pengumpulan/pengukuran/pemeriksaan yang tidak
dapat dilaksanakan dalam survai kesehatan rumah tangga, yaitu :
1) Angka Kematian Bayi AKB), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka Kematian Ibu
(AKI)
2) Prevalensi HIV/AIDS ibu hamil yang berusia antara 15-24 tahun
3) Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi

13
4) Rasio kehadiran disekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun karena HIV/AIDS
terhadap kehadirandi sekolah anak yatim piatu berusia 10-14 tahun.
5) Angka kematian karena malaria
6) Angka kematian karena TB
7) Angka kesembuhan penderita TB

Keterbatasan manajemen operasional

Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah :


1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi
dimaksud, atau karena kondisi alam yang tidak memungkinkan seperti ombak besar.
Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 2 blok sensus yang terpilih.
2) Sejumlah rumah tangga yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat dijumpai
oleh Tim Enumerator 2013. Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas 2013
adalah sebanyak, 99.1% yang tersebar di seluruh kabupaten/kota (lihat table 2.3.2).
3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa
diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas 2013. Pada saat pengumpulan data
dilakukan sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah
tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 99.4 persen. (lihat tabel 2.3.2) .

2.8. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas
yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah
tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada tabel 2.3.2.
Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun
anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas
pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier
serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel.
Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang menberikan gambaran
nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel
yang digunakan untuk kepentingan analisis.

14
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Akses Pelayanan Kesehatan

3.1.1. Keberadaan fasilitas kesehatan


Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit
pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau
klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poyandu, poskesdes atau poskestren dan posyandu.
Data yang ditampilkan berupa persentase pengetahuan rumah tentang keberadaan fasilitas
kesehatan tersebut. Persentase pengetahuan rumah tangga terhadap puskesmas atau
puskesmas pembantu di Provinsi Bali sebesar 95,5 persen dan pengetahuan terhadap
poskesdes atau poskestren sebanyak 25,0 persen.
Pada tabel 3.1.1 bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan
yang terbanyak adalah puskesmas/pustu (95,5%) dan terendah adalah polindes (5,7%). Jika
lihat dari data kabupaten/kota, maka rumah tangga yang mengetahui keberadaan puskesmas
tertinggi di Gianyar (100,0%) dan terendah di Buleleng (84,5%).
Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang poskesdes atau posketren yang terbanyak di
Badung (85,4%) dan terendah di Kota Denpasar (0,3%). Poskesdes atau Poskestren merupakan
salah satu Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sehingga peran masyarakat
atau pondok pesantren yang berperan mendirikan dan memiliki fasilitas tersebut.

Tabel 3.1.1
Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan jenis fasilitas kesehatan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Keberadaan fasilitas kesehatan
RS RS Puskesmas/ Praktek Praktek Posyandu Poskesdes/ Polindes
Kabupaten/Kota
Pemerintah Swasta Pustu dokter/ bidan / poskestren
klinik RB
Jembrana 82,3 62,5 90,9 76,2 80,1 59,9 8,4 0,2
Tabanan 99,2 78,0 98,6 82,5 91,5 77,1 38,1 15,7
Badung 98,7 93,8 99,4 97,4 97,7 90,7 85,4 7,0
Gianyar 100,0 99,8 100,0 99,3 99,9 99,3 16,2 11,3
Klungkung 84,3 53,4 98,4 64,4 71,8 72,4 11,3
Bangli 96,5 52,8 96,2 62,2 76,7 73,4 24,9 7,8
Karang Asem 65,1 36,6 95,1 61,8 68,2 57,9 9,3 3,0
Buleleng 65,7 60,4 84,5 65,3 65,3 59,9 20,4 7,8
Kota Denpasar 99,6 98,9 98,1 97,7 95,1 86,6 0,3
Provinsi Bali 88,6 76,8 95,5 82,7 85,2 77,1 25,0 5,7

Pada tabel 3.1.2 informasi tentang Pengetahuan rumah tangga tentang fasilitas kesehatan
tersebut menurut karakteristik tipe daerah bahwa puskesmas atau puskesmas pembantu di
perkotaan sebanyak 97,0 persen dan di perdesaan sebanyak 93,0 persen. Sedangkan
pengetahuan tentang keberadaan poskesdes atau poskestren di perkotaan sebanyak 233,7
persen dan di perdesaan sebanyak 26,9 persen. .
Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, bahwa rumah tangga dengan kriteria terbawah
mempunyai kecenderungan pengetahuan yang rendah terhadap keberadaan fasilitas kesehatan.
Misalnya pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit pemerintah, pada kuintil
terbawah sebanyak 72,6 persen dan pada kuintil teratas sebanyak 98,0 persen. Pada fasilitas
kesehatan polindes juga tidak berbeda dengan pengetahuan tentang fasilitas rumah sakit
pemerintah. Pada kuintil teratas pengetahuan tentang polindes tertinggi (7,8%) kuintil terendah
(4,8%), sedangkan pengetahuan tentang polindes terendah pada kuintil menengah (4,3%)
Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah menurut kuintil indeks
kepemilikan terbanyak pada penduduk yang teratas 98,0 persen dan terbawah 72,6 persen.
Pengetahuan tentang keberadaan rumah sakit swasta pada penduduk teratas 95,3 persen dan

15
terbawah 45,1 persen. Untuk keberadaan puskesmas atau puskesmas pembantu pada
penduduk kuintil teratas 97,9 persen dan kuintil menengah bawah 92,8 persen. Pengetahuan
keberadaan posyandu pada penduduk kuintil teratas 89,5 persen dan terbawah 65,2 persen.

Tabel 3.1.2.
Persentase pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
keberadaan fasilitas kesehatan
Karakteristik RS RS Puskesmas/ Praktek Praktek Posyandu Poskesdes/ Polindes
Pemerintah Swasta Pustu dokter/ bidan / poskestren
klinik RB
Tipe daerah
Perkotaan 95,7 90,7 97,0 91,9 91,2 83,2 23,7 4,1
Perdesaan 77,1 54,0 93,0 67,5 75,3 67,2 26,9 8,4
Kuintil indek kepemilikan
Terbawah 72,6 45,1 93,8 57,9 69,9 65,2 18,2 4,8
Menengah 82,6 64,2 92,8 74,2 78,7 70,0 24,4 5,0
bawah
Menengah 91,5 81,0 95,7 86,9 87,4 77,2 25,1 4,3
Menengah 93,9 89,2 96,3 91,1 90,5 79,5 26,1 6,3
atas
Teratas 98,0 95,3 97,9 96.5 94,9 89,5 29,3 7,8

3.1.2. Keterjangkauan fasilitas kesehatan


Keterjangkuan fasilitas kesehatan dalam riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi,
waktu tempuh (dalam satuan menit) dan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan. Moda
transportasi yang digunakan menuju fasilitas kesehatan tersebut berupa mobil pribadi,
kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke
posyandu, poskesdes dan polindes) dan lainnya, yang menggunakan lebih dari satu moda
transportasi. Dalam penyajian hasil bahwa moda transportasi tersebut dibedakan menurut
fasilitas kesehatan yang ada.
Pengetahuan rumah tangga tentang waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dihitung dalam
bentuk menit yang dibuat menjadi 4 kategori yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit dan >
60 menit. Sedangkan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan dalam mata uang rupiah
dibuat 4 kategori yaitu ≤ 10.000; >10.000 – 50.000; >50.000 – 200.000 dan >200.000.
Pada tabel 3.1.3 bahwa pengetahuan rumah tangga menuju ke rumah sakit pemerintah yang
terbanyak menggunakan sepeda motor (72,5%), lebih dari 1 moda transportasi (14,1%),
kendaraan umum (6,3%), menggunakan mobil pribadi (5,6%), lainnya (1,0%), jalan kaki (0,3%),
dan sepeda (0,02%). Pengetahuan rumah tangga yang menggunakan sepeda motor menuju
rumah sakit pemerintah di kota Denpasar sebanyak 92,5 persen dan yang terendah di Gianyar
0,4 persen.
Pengetahuan rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menggunakan lebih dari 1 moda
transportasi terbanyak di Gianyar 99,3 persen dan terendah di Jembrana 0,4 persen. Pada
penggunaan kendaraan umum terbanyak di Karangasem 21,4 persen dan terendah di Ginyar 0,2
persen.
Pengetahuan tentang penggunaan mobil pribadi menuju rumah sakit pemerintah terbanyak
Bangli 12,8 persen dan terendah di Gianyar 0,1 persen. Sedangkan transportasi dengan
kendaraan lainnya terbanyak Buleleng 2,9 persen. Tidak ada responden yang menggunakan
perahu dan kendaraan udara untuk menuju rumah sakit pemerintah, hal itu dikarenakan kondisi
geografis di proinsi bali yang tidak memerlukan kendaraan udara dan perahu untuk menuju
rumah sakit pemerintah.

16
Tabel 3.1.3
Persentase rumah tangga dalam menggunakan moda transportasi menuju rumah sakit
pemerintah menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/Kota Moda transportasi
mobil kendaraan jalan sepeda Sepeda lainnya lebih
pribadi umum kaki motor dari 1
moda
Jembrana 4,7 9,0 0,8 80,8 1,0 3,3 0,4
Tabanan 8,9 7,5 0,1 81,5 0,4 0,6 0,9
Badung 9,4 1,0 0,2 85,2 0,2 3,9
Gianyar 0,1 0,2 0,4 99,3
Klungkung 2,6 7,0 1,0 64,2 0,6 24,6
Bangli 12,8 15,8 0,2 65,3 0,4 5,4
Karang Asem 6,2 21,4 0,2 60,0 0,6 3,3 8,4
Buleleng 2,9 13,6 1,5 76,7 2,9 2,3
Kota Denpasar 3,9 1,1 92,5 0,1 2,5
Provinsi Bali 5,6 6,3 0,3 72,5 0,2 1,0 14,1

Pada tabel 3.1.4 memberikan informasi menurut karakteristik bahwa rumah tangga yang
menggunakan moda transportasi dengan sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah di
perkotaan sejumlah 76,6% dan di perdesaan sebanyak 64,2%.Sedangkan yang menggunakan
lebih dari 1 moda transportasi di perkotaan 13,9 persen dan di perdesaan 14,6 persen. Pada
rumah tangga yang menggunakan kendaraan umum di perkotaan 3,1 persen dan perdesaan
12,9 persen. Rumah tangga yang menggunakan mobil pribadi di perkotaan 5,1 persen dan
perdesaan 6,4 persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan rumah tangga yang menggunakan sepeda motor pada
penduduk menengah atas 81,7 persen dan terbawah 58,6 persen. Untuk penggunaan lebih dari
1 moda transportasi pada penduduk menengah bawah 9,4 persen dan teratas 18,7 persen.
Responden yang termasuk dalam kuintil terbawah, menggunakan kendaraan umum tertinggi
(22,8%) dibanding responden yang termasuk kuintil teratas (0,4%).

Tabel 3.1.4
Persentase rumah tangga dalam menggunakan moda transportasi menuju rumah sakit
pemerintah menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Moda transportasi
mobil kendaraan jalan sepeda sepeda lainnya lebih
pribadi umum kaki motor dari 1
moda
Tipe daerah
Perkotaan 5,1 3,1 0,5 76,6 0,1 0,8 13,9
Perdesaan 6,4 12,9 0,1 64,2 0,4 1,3 14,6

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 3,2 22,8 0,4 58,6 0,3 3,1 11,6
Menengah 1,5 9,0 0,4 77,9 0,2 1,6 9,4
bawah
Menengah 1,0 4,2 0,3 77,1 0,0 0,6 16,7
Menengah 2,9 2,6 0,3 81,7 0,4 0,4 11,7
atas
Teratas 15,8 0,4 0,3 64,6 0,1 0,1 18,7

Tabel 3.1.5 waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah ≤ 15 menit sejumlah 23,8 persen, 16-
30 menit sejumlah 39,4 persen, 31-60 menit sejumlah 24,7 persen dan >60 menit sejumlah 12,2
persen. Jika dilihat waktu tempuh ≤ 15 menit, maka terbanyak di Klungkung 47,9 persen dan
terendah di Karangasem 14,1 persen. Pada waktu tempuh 16-30 menit menuju rumah sakit
pemerintah terbanyak di Kota Denpasar 63,8 persen dan terndah di Buleleng 12,2 persen. Pada

17
waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi di Buleleng 41,9 persen dan di Klungkung 2,8 persen.
Untuk waktu tempuh >60 menit terbanyak di Buleleng 36,6 persen dan terendah di Kota
Denpasar 0,1 persen.

Tabel 3.1.5.
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Waktu tempuh (menit)
Kabupaten/kota
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Jembrana 30,8 51,9 16,5 0,8
Tabanan 25,0 31,1 25,6 18,2
Badung 17,3 28,7 41,9 12,1
Gianyar 19,7 37,2 33,3 9,8
Klungkung 47,9 30,8 2,8 18,4
Bangli 21,6 38,0 27,3 13,1
Karang Asem 14,1 34,0 37,6 14,3
Buleleng 16,1 12,2 35,1 36,6
Kota Denpasar 30,3 63,8 5,8 0,1
Provinsi Bali 23,8 39,4 24,7 12,2

Tabel 3.1.6. Waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah pada 16-30 menit di
perkotaan 44,1 persen dan di perdesaan 29,7 persen. Pada waktu tempuh 31-60 menit di
perkotaan 20,8 persen dan di perdesaan 32,6 persen. Sedangkan pada < 5 menit di perkotaan
30,9 persen dan di perdesaan 9,2 persen. Sedangkan pada waktu tempuh > 60, di perkotaan
4,1 persen dan perdesaan 28,5 persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan degan waktu tempuh 16-30 menit pada penduduk teratas
46,6 persen dan terbawah 28,0 persen. Dengan waktu tempuh >60 menit pada penduduk
terbawah 27,3 persen dan menengah atas 5,2 persen.

Tabel 3.1.6
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Waktu tempuh (menit)
Karakteristik
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Tipe daerah
Perkotaan 30,9 44,1 20,8 4,1
Perdesaan 9,2 29,7 32,6 28,5

Kuintil Indeks kepemilikan


Terbawah 8,2 28,0 36,5 27,3
Menengah bawah 18,9 34,7 25,1 21,3
Menengah 31,2 38,4 21,0 9,4
Menengah atas 29,1 42,9 22,7 5,2
Teratas 24,8 46,6 22,7 6,0

Tabel 3.1.7 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju pukesmas atau
puskesmas pembantu terbanyak dengan waktu < 15 menit sejumlah 75,2 persen dan terendah
dengan waktu >60 menit sejumlah 0,5 persen. Jika dilihat data menurut kabupaten/kota dengan
waktu tempuh ≤ 15’ terbanyak di Jembrana sejumlah 89,3 persen dan terendah di Buleleng
sejumlah 49,5 persen.
Untuk waktu tempuh 16-30’ terbanyak di Buleleng sejumlah 42,5 persen dan terendah di
Tabanan sejumlah 7,9 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh 31-60’ terbanyak di Buleleng
sejumlah 7,5 persen dan di kota Denpasar tidak ada responden yang waktu tempuh menuju
puskesmas selama 31-60 menit. Untuk waktu tempuh >60’, di Klungkung dan Karangasem 2,0
persen, sedangkan tidak ada responden yang menjawab waktu tempuh > 60 menit di Tabanan,
Gianyar dan kota Denpasar.

18
Tabel 3.1.7
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Waktu tempuh (menit)
Kabupaten/kota
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Jembrana 89,3 10,4 0,2 0,1
Tabanan 88,5 7,9 3,6
Badung 81,5 18,2 0,1 0,2
Gianyar 73,6 24,1 2,4
Klungkung 87,8 8,1 2,1 2,0
Bangli 73,0 23,2 2,9 0,9
Karang Asem 51,4 41,7 4,9 2,0
Buleleng 49,5 42,5 7,5 0,6
Kota Denpasar 85,1 14,9
Provinsi Bali 75,2 21,9 2,4 0,5

Tabel 3.1.8 memberi informasi tentang waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau
puskesmas pembantu dilihat dari karakteristik tipe daerah dan kuintil indeks kepemilikan. Pada
rumah tangga dengan waktu tempuh ≤ 15 menit yang di perkotaan 81,0 persen dan perdesaan
65,3 persen. Dengan waktu tempuh 16-30’ di perkotaan 18,0 persen dan perdesaan 28,5
persen. Untuk waktu tempuh 31-60 menit, di perkotaan 0,9 persen dan perdesaan 5,0 persen.
Sedangkan waktu tempuh >60’ di perkotaan 0,1 persen dan perdesaan 1,1 persen.
Pada rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan dengan waktu tempuh ≤ 15’ penduduk
menengah atas 83,5 persen dan terbawah 54,4 persen. Waktu tempuh 16-30’ pada penduduk
terbawah 35,6 persen dan menengah atas 16,1 persen. Untuk waktu tempuh 31-60 menit
terbawah (8,1%) dan teratas (0,1%). Sedangkan dengan waktu tempuh >60’ penduduk terbawah
1,9 persen dan teratas tidak ada yang menjawab.

Tabel 3.1.8
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Waktu tempuh (menit)
Karakteristik
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Tipe daerah
Perkotaan 81,0 18,0 0,9 0,1
Perdesaan 65,3 28,5 5,0 1,1

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 54,4 35,6 8,1 1,9
Menengah bawah 70,4 26,3 3,2 0,2
Menengah 79,9 17,7 2,1 0,4
Menengah atas 83,5 16,1 0,3 0,1
Teratas 82,1 17,7 0,1

Tabel 3.1.9 waktu tempuh rumah tangga menuju polindes di Bali masih didominasi dengan
waktu ≤ 15 menit sejumlah 87,3 persen dan disusul dengan waktu 16-30 menit sejumlah 11,4
persen. Di Jembrana dan Tabanan 100% rumah tangga mempunyai waktu tempuh≤ 15 menit
saat menuju ke Polindes.

19
Tabel 3.1.9
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013.
Waktu tempuh (menit)
Kabupaten/kota
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Jembrana 100,0
Tabanan 100,0
Badung 85,9 14,1
Gianyar 83,7 14,5 1,7
Klungkung
Bangli 72,5 21,5 6,0
Karang Asem 84,6 15,4
Buleleng 79,2 18,3 2,6
Kota Denpasar
Provinsi Bali 87,3 11,4 0,5 0,7

Tabel 3.1.10 waktu tempuh rumah tangga menuju polindes ≤ 15 menit di perkotaan 93,5 persen
dan perdesaan 82,3 persen. Dengan waktu tempuh 16-30 menit di perkotaan 6,5 persen dan
perdesaan 15,4 persen. Berdasarkan pada kuintil indeks kepemilikan, waktu ≤ 15 menit pada
saat menuju Polindes, teratas adalah mereka dengan kuintil indeks menengah (100%) dan
terbawah adalah mereka dengan kuintil indeks terbawah 73,4 persen.

Tabel 3.1.10
Persentase waktu tempuh rumah tangga menuju polindes menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Waktu tempuh (menit)
Karakteristik
≤ 15’ 16-30’ 31-60’ >60’
Tipe daerah
Perkotaan 93,5 6,5
Perdesaan 82,3 15,4 1,0 1,3

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 73,4 23,6 2,9
Menengah bawah 80,8 15,8 3,4
Menengah 100,0
Menengah atas 94,0 6,0
Teratas 85,7 13,3 1,0

Tabel 3.1.11 menggambaran biaya transportasi yang dikeluarkan rumah tangga ketika menuju
rumah sakit pemerintah. Pada biaya transportasi ini didominasi ≤ Rp.10.000 sejumlah 68,8
persen; > Rp.10.000 - Rp.50.000 sejumlah 25,7 persen; >Rp.50.000-Rp.200.000 sejumlah 5,0
persen dan > Rp.200.000 sejumlah 0,5 persen. Pada biaya transportasi ≤ Rp.10.000 menurut
kabupaten/kota terbanyak di Kota Denpasar 68,8 persen dan terendah di Gianyar 9,0 persen.

20
Tabel 3.1.11
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Kabupaten/Kota
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 > 200.000
Jembrana 90,1 6,7 2,1 1,0
Tabanan 72,0 26,8 0,5 0,7
Badung 72,4 26,3 1,1 0,2
Gianyar 9,0 66,3 23,6 1,1
Klungkung 76,9 15,1 7,8 0,2
Bangli 66,2 21,2 10,5 2,1
Karang Asem 73,5 20,7 5,1 0,7
Buleleng 39,8 53,0 6,8 0,4
Kota Denpasar 95,8 4,2
Provinsi Bali 68,8 25,7 5,0 0,5

Tabel 3.1.12 memberi informasi tentang karakteristik rumah tangga tentang biaya transportasi
menuju rumah sakit pemerintah di perkotaan 76,7 persen dan perdesaan 52,9 persen. Untuk
biaya transportasi > Rp.10.000 – Rp.50.000 di perkotaan 20,5 persen dan perdesaan 37,2
persen.
Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan dengan biaya ≤ Rp. 10.000 pada penduduk kuintil
teratas 70,9 persen dan terbawah 47,6 persen. Sedangkan pada biaya transportasi > Rp.10.000
– Rp.50.000 pada penduduk menengah bawah 36,8 persen dan menengah atas 20,3 persen.

Tabel 3.1.12
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Karaktteristik
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 > 200.000
Tipe daerah
Perkotaan 76,7 20,0 3,1 0,2
Perdesaan 52,9 37,2 8,8 1,1

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 47,6 35,4 14,2 2,7
Menengah bawah 58,4 36,8 3,9 0,9
Menengah 70,6 25,9 3,1 0,4
Menengah atas 75,3 20,3 4,2 0,2
Teratas 70,9 23,8 5,0 0,3

Tabel 3.1.13 memberi informasi tentang biaya transportasi sekali jalan menuju puskesmas
menurut provinsi terbanyak pada besaran biaya ≤ Rp.10.000 (91,2%), kemudian antara
>Rp.10.000 – Rp.50.000 (8,7%), > Rp.50.000 – Rp.200.000 (0,1%) dan > Rp.200.000 (0,0%).
Jika dilihat dari biaya transportasi ≤ Rp.10.000, maka terbanyak di Tabanan 99,6 persen dan
terendah di Gianyar 61,5 persen. Sedangkan biaya transportasi antara > Rp. 10.000 –
Rp.50.000, terbanyak di Gianyar 37,4 persen dan terendah di Tabanan 0,4 persen.

21
Tabel 3.1.13
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Kabupaten/kota
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 >50.000 – 200.000 > 200.000
Jembrana 98.9 1.1
Tabanan 99.5 0.5
Badung 97.6 2.4
Gianyar 61.5 37.5 1.0
Klungkung 97.0 2.7 0.1 0.2
Bangli 97.6 2.1 0.2
Karang Asem 94.3 5.7
Buleleng 77.6 22.4
Kota Denpasar 99.0 1.0
Provinsi Bali 91.5 8.4 0.1 0.0

Tabel 3.1.14 menurut karakteristik tempat tinggal dimana biaya transportasi sekali jalan menuju
puskesmas atau puskesmas pembantu dengan kategori ≤ Rp.10.000 di perkotaan 92,0 persen
dan perdesaan 89,5 persen. Untuk biaya antara > Rp. 10.000 – Rp.50.000 di perkotaan 8,0
persen dan perdesaan 10,1 persen. Jika dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, biaya transportasi
≤ Rp.10.000, maka penduduk menengah atas 94,7 persen dan terbawah 87,4 persen. Biaya
transportasi antara > Rp. 10.000 – Rp.50.000 pada penduduk terbawah 12,3 persen dan
menengah atas 5,3 persen. Biaya transportasi antara > Rp.50.000 – Rp.200.000 didominasi
pada penduduk menengah 0,3 persen dan.

Tabel 3.1.14
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju puskesmas atau puskesmas pembantu
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Karakteristik ≤ 10,000 >10,000 – 50,000 >50,000 – > 200,000
200,000
Tipe daerah
Perkotaan 92.2 7.7 0.0
Perdesaan 90.2 9.4 0.3 0.0

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 85.5 14.3 0.1 0.1
Menengah bawah 87.4 12.4 0.2
Menengah 93.5 6.4 0.0
Menengah atas 94.2 5.5 0.2
Teratas 91.6 8.4 0.1

Tabel 3.1.15 menampilkan biaya transportasi rumah tangga sekali jalan menuju posyandu
menurut provinsi terbanyak dengan biaya ≤ Rp.10.000 (97,1%), antara >Rp.10.000 – Rp.50.000
(2,9%). Jika dilihat per kabupaten yang mengeluarkan biaya transportasi ≤ Rp.10.000 100,0
persen adalah Jembrana, Tabanan, Klungkung dan Karangasem dan terendah di Gianyar 80,2
persen.

22
Tabel 3.1.15
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut kabupaten/Kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Kabupaten/Kota
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 Tidak menjawab
Jembrana 100,0 0,0 0,0
Tabanan 100,0 0,0 0,0
Badung 99,3 0,7 0,0
Gianyar 80,2 19,8 0,0
Klungkung 100,0 0,0 0,0
Bangli 99,6 0,4 0,0
Karang Asem 100,0 0,0 0,0
Buleleng 97,2 2,8 0,0
Kota Denpasar 100,0 0,0 0,0
Propinsi Bali 97,1 2,9 0,0

Tabel 3.1.16 biaya transportasi rumah tangga sekali jalan menuju posyandu menurut
karakteristik dengan biaya ≤ Rp.10.000 di perkotaan (96,5%) dan perdesaan (98,3%). Besar
biaya transportasi antara >Rp.10.000 – Rp.50.000 di perkotaan 3,5 persen dan perdesaan 1,7
persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa biaya transportasi ≤ Rp.10.000 pada penduduk
menengah atas 94,9 persen dan menengah 99,6 persen. Besar biaya antara > Rp.10.000 –
Rp.50.000 pada penduduk menengah 0,4 persen dan teratas 5,1 persen.

Tabel 3.1.16
Persentase biaya transportasi rumah tangga menuju posyandu menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Biaya transportasi (rupiah)
Karakteristik
≤ 10.000 >10.000 – 50.000 Tidak menjawab
Tipe daerah
Perkotaan 96,5 3,5 0,0
Perdesaan 98,3 1,7 0,0

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 98,6 1,4 0,0
Menengah bawah 97,5 2,5 0,0
Menengah 99,6 0,4 0,0
Menengah atas 98,0 2,0 0,0
Teratas 94,9 5,1 0,0

3.2. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui


proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga
yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG.
Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun terakhir.

3.2.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah Tangga


Sejumlah 35,1 persen rumah tangga di provinsi Bali menyimpan obat untuk penobatan sendiri
(swamedikasi). Teringgi berada di kota Denpasar (49,4%) dan terendah di kabupaten Gianyar
13,9 persen. Hampir 3 jenis obat yang rata-rata disimpan dalam setiap RT. (Tabel 3.2.1).

23
Tabel 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Menyimpan obat
Kabupaten/Kota
Ya Rerata jumlah obat
Jembrana 30.7 3.30
Tabanan 35.7 2.72
Badung 37.5 2.69
Gianyar 13.9 1.47
Klungkung 41.6 2.68
Bangli 38.8 3.27
Karangasem 15.5 2.21
Buleleng 35.9 2.58
Kota Denpasar 49.4 3.01
Provinsi Bali 35.1 2.78

Gambar 3.2.1 menunjukkan bahwa dari 35,1 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk
swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas (OB), antibiotika (AB), obat tradisional (OT) dan
obat-obat yang tidak teridentifikasi. Di provinsi Bali proporsi RT yang menyimpan obat keras 35,8
persen dan antibiotika 26,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi
menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional.

Gambar 3.2.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Bali, Riskesdas
2013

Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di
rumah tangga (Tabel 3.2.2).

24
Tabel 3.2.2
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Obat keras Obat Antibiotika Obat Obat tidak
bebas tradisional teridentifikasi
Tempat tinggal
Perkotaan 34,3 87,9 25,4 3,6 10,0
Perdesaan 39,0 74,9 30,0 3,3 12,3
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 37,2 70,6 33,7 7,5 7,5
Menengah bawah 38,6 79,5 32,3 3,4 8,8
Menengah 36,0 82,5 28,2 3,3 10,9
Menengah atas 33,0 87,2 22,9 3,4 14,1
Teratas 36,3 88,1 24,5 2,7 9,5
Tabel 3.2.3 menunjukkan rumah tangga menyimpan antibiotika dan obat keras yang diperoleh
tanpa resep dokter. Di Provinsi Bali 80,8 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang
diperoleh tanpa resep dengan proporsi tertinggi di Gianyar (90,8%) dan terendah di Karangasem
(68,9%). 87,1 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi
tertinggi di Badung (93,7%) dan terendah di Klungkung (79,2%).

Tabel 3.2.3
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis obat tanpa resep
Kabupaten/kota Obat keras Antibiotika

Jembrana 73,0 84,7


Tabanan 85,3 93,6
Badung 88,9 93,7
Gianyar 90,8 92,7
Klungkung 73,0 79,2
Bangli 80,9 82,9
Karangasem 68,9 83,6
Buleleng 79,3 85,4
Kota Denpasar 79,1 84,7
Provinsi Bali 80,8 87,1

Secara nasional tabel 3.2.4 menunjukkan apotek dan toko obat/warung merupakan sumber
utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 48,3 persen dan 20,5
persen. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek
dan toko obat/warung lebih tinggi di perkotaandibanding di perdesaan. Namun, 31,5 persen
rumah tangga memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di
perdesaan (45,2%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah
memperoleh obat dari sumber nakes. Tidak ada data untuk proporsi rumah tangga yang
mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik).

25
Tabel 3.2.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Sumber obat
Apotek Toko Yankes Nakes Lain-lain
Karakteristik obat/ formal
warung
Tempat tinggal
Perkotaan 57,4 21,7 12,5 25,3 2,6
Perdesaan 27,9 17,8 16,9 45,2 8,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 14,0 19,4 22,9 48,8 6,5
Menengah bawah 28,1 21,0 16,1 44,9 4,7
Menengah 42,6 22,4 14,8 32,5 5,6
Menengah atas 55,5 22,2 12,1 26,0 3,2
Teratas 66,8 17,7 10,9 23,5 3,4

Tabel 3.2.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi.
Status obat dikelompokkan menurut obat yang ‘sedang digunakan’, obat ‘untuk persediaan’ jika
sakit, dan ‘obat sisa’. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari
penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di propinsi Bali 52,6 persen rumah tangga
menyimpan obat sisa, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang
menyimpan obat untuk persediaan (40,9%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa
juga lebih tinggi di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan menengah atas.

Tabel 3.2.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Status obat di rumah tangga
Karakteristik Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa
Tempat tinggal
Perkotaan 23,7 42,1 54,4
Perdesaan 26,2 38,2 48,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 28,6 29,4 53,0
Menengah bawah 27,6 37,4 48,0
Menengah 24,0 40,6 52,5
Menengah atas 21,5 42,8 54,6
Teratas 24,7 44,7 52,9

3.2.2. Pengetahuan Rumah Tangga tentang Obat Generik (OG)


Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau
pernah mendengar dan ’berpengetahuan benar’, serta persepsi mengenai OG. Definisi rumah
tangga ’berpengetahuan benar’ tentang OG adalah rumah tangga mengetahui bahwa obat
generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan
merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan
sumber informasi OG.

26
Tabel 3.2.6
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG )
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Mengetahui tentang Pengetahuan tentang OG


Kabupaten/kota OG Benar Salah
Jembrana 29.9 10,3 89,7
Tabanan 50.1 25,7 74,3
Badung 70.4 14,0 86,0
Gianyar 76.9 21,0 79,0
Klungkung 39.4 9,1 90,9
Bangli 29.1 17,5 82,5
Karangasem 8.2 22,1 77,9
Buleleng 36.6 14,2 85,8
Kota Denpasar 63.9 24,9 75,1
Provinsi Bali 49.5 19,4 80,6

Tabel 3.2.6 menunjukkan bahwa di provinsi Bali terdapat 51,4 persen rumah tangga yang
mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar
(80,6%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel 3.2.7 menunjukkan
pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan maupun di perdesaan.
Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah proporsi RT dengan pengetahuan
benar tentang OG.

Tabel 3.2.7
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Mengetahui tentang Pengetahuan tentang OG
Karakteristik OG Benar Salah
Tempat tinggal
Perkotaan 59,2 19,9 80,1
Perdesaan 33,6 18,1 81,9
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 15,1 9,4 90,6
Menengah bawah 30,7 16,5 83,5
Menengah 49,6 15,5 84,5
Menengah atas 63,4 19,0 81,0
Teratas 77,2 24,4 75,6

Tabel 3.2.8 menunjukkan 79,9 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat
murah dan 77,7 persen obat program pemerintah. Sejumlah 47,6 persen rumah tangga
mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu di
promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik
dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek
dagang, paling rendah (26,1%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar
yang diharapkan diketahui masyarakat luas.

27
Tabel 3.2.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG ) menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Persepsi rumah tangga tentang OG
Obat Obat Obat Dapat Obat Khasiat Obat
Karakteristik
gratis murah bagi dibeli di tanpa sama dg program
pasien warung merek obat ber pemerin-tah
miskin dagang merek
Tempat tinggal
Perkotaan 37,8 78,7 38,4 25,6 27,0 48,2 75,1
Perdesaan 56,5 83,5 62,9 20,2 23,7 45,9 85,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 57,1 77,5 60,1 25,6 12,3 33,9 81,5
Menengah bawah 53,1 82,6 60,6 25,8 23,0 42,5 80,1
Menengah 48,1 80,1 52,6 18,8 21,9 42,5 78,7
Menengah atas 39,1 82,2 43,8 26,9 26,0 47,9 76,6
Teratas 36,7 77,7 33,5 24,7 31,7 54,0 76,6

Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaaan paling banyak diperoleh dari
media elektronik (65,0%). Informasi oleh media elektronik ini, juga merata pada semua kuintil
indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih
banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi.

Tabel 3.2.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Sumber informasi tentang OG
Karakteristik Media Media Tenaga Kader, Teman, Pendidikan
cetak elektronik kesehatan toma kerabat
Tempat tinggal
Perkotaan 25,1 66,1 61,2 10,8 25,4 7,1
Perdesaan 29,2 61,9 75,4 25,9 28,4 9,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 20,6 59,9 72,6 23,8 25,6 4,1
Menengah bawah 19,7 60,5 70,2 19,0 24,0 5,1
Menengah 28,3 60,9 65,2 15,4 25,3 4,3
Menengah atas 23,3 64,8 61,0 13,7 25,8 7,1
Teratas 30,0 69,8 64,8 12,2 27,7 11,3

3.2.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)


Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang
menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat
(akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa
alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan
keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga
dalam).
Gambar dan tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah
memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, berbagai jenis Yankestrad yang
dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya.

28
Gambar 3.2.2.
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang
dimanfaatkan di kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Sejumlah (25,0%) rumah tangga di Indonesia memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir.
Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa
alat (72,6%) dan ramuan (39,4%) (Gambar 3.2.2).

Tabel 3.2.10
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis Yankestrad
Pernah Ramuan Keterampilan
Kabupaten/kota memanfaat-kan
Yankestrad Dengan alat Tanpa alat Dengan
pikiran
Jembrana 43,7 53,6 5,9 84,2 2,0
Tabanan 23,9 14,3 12,7 76,4 8,7
Badung 37,2 28,7 12,1 79,0 4,0
Gianyar 3,5 23,5 12,5 81,3 5,9
Klungkung 26,3 38,9 3,6 66,7 3,7
Bangli 29,1 34,2 9,6 64,9 9,6
Karang Asem 26,7 71,2 3,0 41,7 11,4
Buleleng 14,9 38,6 6,1 71,9 5,2
Kota Denpasar 25,8 41,3 13,3 75,9 2,8
Provinsi Bali 25,0 39,4 9,7 72,6 5,1

Tabel 3.2.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di
Jembrana (43,7%) dan terendah di Gianyar (3,5%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan
Yankestrad ramuan tertinggi di Karangasem (71,2%) dan yang terendah di Tabanan (14,3%).
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di
Kota Denpasar (13,3%) dan terendah di Karangasem (3,0%). Proporsi rumah tangga yang
memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Jembrana (84,2%) dan terendah
di Karangasem (41,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan
dengan pikiran tertinggi di Karangasem (11,4%) dan terendah di Jembrana (2,0%).

29
Tabel 3.2.11
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis Yankestrad
Pernah Ramuan Keterampilan
Karakteristik memanfaat-kan
Yankestrad Dengan alat Tanpa alat Dengan
pikiran
Tempat tinggal
Perkotaan 25,6 34,9 11,3 76,3 3,6
Perdesaan 24,2 47,2 6,7 66,3 7,8
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 24,6 52,9 1,9 61,7 7,3
Menengah bawah 22,8 40,3 6,3 73,3 6,8
Menengah 22,5 39,6 8,8 74,3 4,9
Menengah atas 25,7 31,8 12,0 74,9 3,0
Teratas 28,8 36,2 15,5 76,2 4,6

Tabel 3.2.11 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan
tanpa alat di perkotaan (76,3%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (66,3%), begitu juga
yankestrad dengan alat, di perkotaan (11,3%) lebih tinggi dibanding dengan di perdesaan
(6,7%). Sedangkan Yankestrad ramuan dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan lebih rendah
(34,9%) dibanding perdesaan (47,2%).

Tabel 3.2.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Alasan memanfaatkan Yankestrad
Menjaga Tradisi, Lebih Coba- Putus Biaya
Jenis Yankestrad
kesehatan, keper- manjur coba asa murah
kebugaran cayaan
Yankestrad ramuan 36,1 24,2 20,6 5,5 5,8 3,8
Keterampilan dengan alat 25,0 14,4 29,1 14,2 6,9 5,1
Keterampilan tanpa alat 41,9 16,7 17,2 4,4 4,7 4,3
Keterampilan dengan pikiran 12,9 53,2 4,5 2,4 14,8 7,8

Tabel 3.2.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai Yankestrad oleh
rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat
sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‘menjaga kesehatan,
kebugaran’. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‘coba-coba’ cukup tinggi untuk
Yankestrad keterampilan dengan alat (14,2%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
dampak negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‘tradisi
kepercayaan’ terlihat dominan pada pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan pikiran
(53,2%).

30
3.3 Kesehatan Lingkungan
Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengevaluasi program yang
sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor
risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data
kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam
upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data
kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan
perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan
kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan
atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan
data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran
penyakit tular vektor (DBD, malaria).
Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan.Analisis data
dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi,
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan.

3.3.1 Air minum


Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan
rumah tangga dan minum. rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air terhadap
penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah tangga yang
mengambil air, kualitas fisik air, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air minum. Tabel
secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses terhadap
sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut kriteria tersebut,
rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga dengan
sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air
terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA JIKA sumber air untuk keperluan
rumah tangga lainnya improved).
Hasil menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Bali pada
umumnya adalah PDAM dan penampungan air hujan (38,9%), sumur gali terlindung (18,2 %),
dan sumur bor/pompa (11,8 %) (Tabel 3.3.1, Riskesdas 2013 dalam Angka). Di perkotaan,
lebih lebih banyak rumah tangga yang menggunakan air dari PDAM/ledeng (31,4%) dan sumur
gali terlindung (27,2 %), sedangkan di perdesaan lebih banyak yang menggunakan mata air tak
terlindung (31,5%). (Tabel 3.3.2, Riskesdas 2013 dalam Angka).
Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan rumah tangga
selain PDAM dan penampungan air hujan, pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga
di Bali, pada umumnya berjumlah antara 20 sampai 49,9 liter (29,1%), dan antara 50 sampai
99,9 liter (28,5%). Proporsi rumah tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai
300 liter per orang per hari paling tinggi adalah Gianyar (81,5%), sedangkan proporsi terendah
adalah Karangasem (11,3%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari
20 liter per orang per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 0,1
persen dan 0,6 persen). Berdasarkan provinsi, proporsi rumah tangga dengan jumlah pemakaian
air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Karangasem (14,1%) diikuti Bangli
(8,6%) (Tabel 3.3.5, Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per
orang per hari di perdesaan lebih tinggi (5,3%) dibandingkan di perkotaan (3,9%), sebaliknya
proporsi rumah tangga jumlah pemakaian air per orang per hari 20 liter atau lebih perdesaan
juga lebih tinggi (30,5%) dibandingkan dengan di perkotaan (28,3%). Rumah tangga dengan
kuintil indeks kepemilikan menengah sampai teratas cenderung menggunakan air lebih dari 100-
300 liter per orang per hari, sedangkan rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah kecenderungan pemakaian air kurang dari 20 liter per orang per
hari (Tabel 3.3.1).

31
Tabel 3.3.1
Proporsi rumah tangga berdasarkan rerata pemakaian air per orang per hari
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Rerata pemakaian air bersih
Karakteristik per orang per hari (liter)
<7,5 7,5-19,9 20-49,9 50-99,9 100-300 >300
Tempat tinggal
Perkotaan 3,9 28,3 26,4 38,2 3,2
Perdesaan 0,1 5,3 30,5 32,1 30,3 1,7

Kuintil Indeks kepemilikan


Terbawah 0,2 8,8 38,5 28,7 22,6 1,3
Menengah bawah 4,3 29,4 32,7 31,5 2,1
Menengah 3,0 28,8 28,5 36,9 2,8
Menengah atas 4,2 29,2 30,1 33,8 2,6
Teratas 0,1 3,0 22,6 23,8 46,7 3,8

Untuk sumber air minum, rumah tangga di Bali menggunakan air kemasan, air isi ulang/depot air
minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa, sumur
terlindung, mata air (baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan dan air
sungai/irigasi (Tabel 3.3, Riskesdas 2013 dalam Angka).
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Bali adalah
sebesar 90,8 persen. Kabupaten dengan proporsi terendah untuk rumah tangga yang memiliki
akses terhadap air minum improved adalah Jembrana (64,4%), Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum improved di perkotaan (93,5%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (86,4%). Proporsi
rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi adalah
rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (96,8%) dan menengah atas (94,9%)
(Tabel 3.3.2).

Tabel 3.3.2
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Akses Ke sb Air Minum
Karakteristik
Improved Improved
Tempat tinggal
Perkotaan 93,5 6,5
Perdesaan 86,4 13,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 78,4 21,6
Menengah bawah 87,9 12,1
Menengah 93,0 7,0
Menengah atas 94,9 5,1
Teratas 96,8 3,2

Berdasarkan gender, anggota rumah tangga yang biasa mengambil air di Bali pada umumnya
adalah perempuan dewasa dan laki-laki dewasa (masing-masing 71,3 % dan 21,8%. Apabila
dibandingkan, proporsi anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air (79,6%) di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (52,5%); sedangkan untuk perempuan dewasa
di perdesaan (45,6%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (20,0%). Masih terdapat anak laki-

32
laki (0,3%) dan anak perempuan (0,5%) berumur di bawah 12 tahun yang biasa mengambil air
untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan anak perempuan
berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perdesaan (1,1%) lebih tinggi
dibandingkan di perkotaan (0,3%) (Gambar 3.3.1)

80 79,6
70
79,6 60 52,5
50 45,6
40
20 30
20
20

0,3 10 1,1 0,8


0,3 0,1
0,1 0
Perkotaan Perdesaan

Orang Dewasa P Orang Dewasa L Orang Dewasa P Orang Dewasa L


Anak perempuan Anak laki-laki Anak perempuan Anak laki-laki

Gambar 3.3.1
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga dengan
anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air; sebaliknya semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan, semakin rendah proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga perempuan
dewasa mengambil air.

90
80,6 80,6
77,5
80
70 64,7
60 55,6
50 41,9
40 33,7
30 21,9 19,1 19,2
20
10 1,4 1,1 1,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,1
0
Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas

Orang Dewasa P Orang Dewasa L Anak perempuan Anak laki-laki

Gambar 3.3.2
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Secara kualitas fisik, air minum yang dikonsumsi oleh rumah tangga di Bali 96,4 % termasuk
dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa,dan tidak berbau).

33
Masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (5,0%), berwarna (0,8%), berasa
(0,7%), berbusa (0,1%), dan berbau (0,4%). Berdasarkan kabupateni, proporsi rumah tangga
tertinggi dengan air minum keruh adalah di Jembrana (5,0%), berwarna di Buleleng (2,9%),
berasa adalah di Bangli dan Jembrana (3,1%), berbusa adalah di Bangli (0,3%) dan berbau
adalah di Jembrana (1,7%)(Tabel 3.3.13, Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak
keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa,dan tidak berbau) di perkotaan (97,3%) lebih
tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (94,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan,
proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung meningkat (Tabel
3.3.3).

Tabel 3.3.3
Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kualitas fisik air minum
Karakteristik Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Baik
keruh berwarna berasa berbusa berbau
Tempat tinggal
Perkotaan 98,1 99,1 99,6 99,9 99,6 97,3
Perdesaan 96,2 99,3 98,6 99,9 99,5 94,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 94,5 97,8 97,8 99,9 99,4 92,3
Menengah bawah 96,4 99,1 99,1 100,0 99,7 95,3
Menengah 97,1 99,3 99,4 99,9 99,4 96,2
Menengah atas 98,5 99,8 99,7 99,8 99,5 97,7
Teratas 99,6 99,7 99,9 100,0 99,9 99,3
*) tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa dan tidak berbau

Gambar 3.3.3 Memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum menurut provinsi.
Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum di Bali sebesar 48,5 persen.
Empat kabupaten tertinggi dengan rumah tangga mengolah air sebelum diminum adalah
Klungkung (72,7%), Karang Asem (72,5%), Buleleng (71,4%) dan Jembrana (71 %)

80 71 72,7 72,5 71,4


70 65,5
60 55,9
50,2
50
40 31,4
30
20 13,2
10
0
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Buleleng Kota
Asem Denpasar

Gambar 3.3.3
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut kabupaten,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

34
Dari 57,1 persen rumah tangga di Bali yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 94,6
persennya melakukan pengolahan dengan cara dimasak. Cara pnengolahan lainnya adalah
dengan dijemur di bawah sinar matahari/solar disinfection (2,8%), menambahkan larutan tawas
(0%), disaring dan ditambah larutan tawas (0,3%) dan disaring saja (2,2%)

100 95,6
90
80
70
60
50
40
30
20
10 2,3 0,4 1,5
0,2
0
Dimasak Penyinaran Tambah larutan Disaring dan Disaring saja
matahari tawas tambah larutan
tawas

Gambar 3.3.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (94,3%) hampir sama dengan di perdesaan
(96,6%). Tidak ada perbedaan proporsi yang jauh diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan
dalam melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak (Tabel 3.3.4).

Tabel 3.3.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum diminum
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Cara pengolahan air
dan tambah
an/dimasak

Penyinaran
Pemanas-

matahari

Tambah

Disaring

Disaring
larutan

larutan

Karakteristik
tawas

tawas

saja

Tempat tinggal
Perkotaan 94,3 2,2 0,7 0,3 2,4
Perdesaan 96,6 2,3 0,1 0,1 0,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 96,7 2,9 0,3 0,2
Menengah bawah 96,3 2,6 0,3 0,1 0,7
Menengah 95,2 1,9 0,8 0,6 1,5
Menengah atas 96,2 1,6 0,1 2,2
Teratas 89,6 2,0 0,4 7,9

35
3.3.2 Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air
besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air
limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Tabel secara
lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Untuk akses terhadap fasilitas
tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Menurut
kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah
rumah tangga yang menggunakan fasilitas fasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB jenis
leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Bali menggunakan fasilitas BAB
milik sendiri (77,8%), milik bersama (12,5%), dan fasilitas umum (0,6%). Kabupaten tertinggi
untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Gianyar (91,9%).
Meskipun sebagian besar rumah tangga di Bali memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah
tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar
9,1 persen. Kabupaten rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan
tertinggi adalah Karangasem (28,6%). (Tabel 3.3.23, Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri
di perkotaan lebih tinggi (81,3%) dibandingkan di perdesaan (72,1%); sedangkan proporsi rumah
tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun BAB sembarangan di perdesaan
(masing-masing 8,8%, 0,4%, dan 18,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (14,8%,
0,7%, dan 3,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah
tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan, proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Tabel
3.3.5)

Tabel 3.3.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Fasilitas tempat buang air besar
Karakteristik
Sendiri Bersama Umum Tidak ada
Tempat tinggal
Perkotaan 81,3 14,8 0,7 3,3
Perdesaan 72,1 8,8 0,4 18,7
Kuintil Indeks Kepemilikan
Menengah bawah 29,0 17,0 1,0 53,0
Menengah 82,0 16,6 1,2 0,2
Menengah atas 81,5 18,0 0,5
Teratas 89,8 10,0 0,2
Menengah bawah 96,7 3,2 0,2

Gambar 3.3.5 menunjukkan bahwa pembuangan akhir tinja rumah tangga di Bali sebagian
besar menggunakan tangki septik (84,6%). Kabupaten dengan proporsi tertinggi untuk rumah
tangga dengan pembuangan akhir tinja berupa tangki septik adalah Badung (98,0%), Masih
terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL,
kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun)
Kabupaten dengan proporsi pembuangan akhir tinja ke tangki septik terendah adalah Klungkung
(53,1%)

36
120

100

80

60

40

20

0
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Buleleng Kota
Asem Denpasar

Septitank Bukan Septitank

Gambar 3.3.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut Kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan
tangki septik di perkotaan lebih tinggi (91,4%) dibanding di perdesaan (73,4%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik
juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah
tangga yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Tabel 3.3.6).

Tabel 3.3.6
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Tempat pembuangan akhir tinja
Karakteristik Bukan tangki
Tangki septik septik
Tempat tinggal
Perkotaan 91,4 8,6
Perdesaan 73,4 26,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 34,3 65,7
Menengah bawah 92,3 7,8
Menengah 92,5 7,6
Menengah atas 96,3 3,7
Teratas 98,1 1,9

Gambar 3.3.6 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi
improved sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Bali tahun 2013 adalah sebesar 72,5
persen. Kabupaten dengan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi improved tertinggi adalah Gianyar (74,6 %)

37
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Gambar 3.3.6
Kecenderungan rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi Improved menurut
kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Gambar 3.3.7 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari
kamar mandi, tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Bali
membuang limbahnya menggunakan penampungan tertutup di pekarangan (40,4%) dan
langsung ke got (32,2%). Hanya 4,7% yang menggunakan penampungan terbuka di
pekarangan, dan 6,0% penampungannya di luar pekarangan.

32,2
40,4

16,8
6

4,7

Tertutup di pekarangan/SPAL Penampungan terbuka di lapangan


Penampungan di luar pekarangan Tanpa penampungan (di tanah)
Langsung ke got/sungai

Gambar 3.3.7
Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 38,2 persen rumah tangga di Bali yang pengelolaan
sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola sampah dengan
cara dibakar (36,6%), ditimbun dalam tanah (7,0%), dibuat kompos (3,5%), dibuang ke
kali/parit/laut (6,3%), dan dibuang sembarangan (8,4%). Lima kabupaten dengan proporsi rumah
tangga mengelola sampah dengan cara diangkut petugas tertinggi adalah Kota Denpasar

38
(81,3%). Kabupaten dengan proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara
dibakar tertinggi adalah Jembrana (68,2%), (Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, porporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut
petugas lebih tinggi di perkotaan (55,8%) dibandingkan di perdesaan (9,3%), sedangkan
proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar di perdesaan (50,2%) lebih
tinggi dibanding perkotaan (28,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah
tangga yang mengelola sampah dengan cara diangkut petugas semakin tinggi. Sebaliknya,
proporsi rumah tangga yang mengelola sampah dengan cara dibakar cenderung lebih tinggi
pada kuintil indeks kepemilikan menengah atas (Tabel 3.3.7).

Tabel 3.3.7
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengelolaan sampah
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Cara pengelolaan sampah rumahtangga
Karakteristik Dibuang
Diangkut Ditimbun Dibuat Dibuang ke
Dibakar semba-
petugas dalam tanah kompos kali/parit/ laut
rangan
Tempat tinggal
Perkotaan 55,8 4,9 1,5 28,3 4,8 4,7
Perdesaan 9,3 10,6 6,8 50,2 8,6 14,5

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 4,5 9,9 6,4 47,8 10,7 20,7


Menengah bawah 18,0 8,7 8,1 45,7 9,2 10,3
Menengah 39,4 6,8 2,6 39,6 6,5 5,1
Menengah atas 53,5 6,8 1,3 29,2 3,9 5,3
Teratas 64,4 4,1 0,4 25,1 2,5 3,5

3.3.3 Perumahan
Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan
bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi
rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka
jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku
rumah tangga dalam menguras bak mandi, dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya
dan beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap
disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar
3.3.8. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Bali menempati
rumah milik sendiri (74,9%) Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah dengan cara
kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/ saudara maupun
rumah dinas.

39
1,4 2,8 0,2 0,3

15

5,4

74,9

Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa*


Bebas sewa** Rumah dinas Lain nya

*) milik orang lain


**) milik orang tua/sanak/ saudara

Gambar 3.3.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri
di perkotaan lebih rendah (63,6%) dari pada di perdesaan (93,5%). Sebaliknya proporsi rumah
tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan lebih tinggi
(kontrak: 8,2%, sewa 24,0%) dari pada di perdesaan (kontrak: 0,9%, sewa 0,3%) (Tabel 3.3.8).

Tabel 3.3.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati
Bebas sewa
Milik Bebas sewa Rumah Lain
karakteristik Kontrak Sewa (milik orang
sendiri (milik orang lain) dinas nya
tua/sanak/ saudara
Tempat tinggal
Perkotaan 63,6 8,2 24,0 1,3 2,6 0,2 0,0
Perdesaan 93,5 0,9 0,3 1,4 3,1 0,1 0,7

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 85,9 1,2 2,2 3,6 5,5 1,5
Menengah 83,3 2,0 10,5 1,2 2,8 0,1 0,1
bawah
Menengah 66,5 6,0 23,4 1,2 2,7 0,2 0,0
Menengah 63,0 9,5 24,6 0,7 2,0 0,2
atas
Teratas 78,5 7,2 11,8 0,6 1,6 0,3
*) milik orang lain
**) milik orang tua/sanak/ saudara

Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan

40
bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan sebagai
tidak padat. Proporsi rumah tangga di Bali yang termasuk ke dalam kriteria tidak padat adalah
sebesar 81,6%. Kota Denpasar mempunyai proporsi tertinggi untuk rumah tangga dengan
kategori padat (5,5%) (Gambar 3.3.9).

100%
8,4 8 9,1 13,4
90% 19,8 24,1 21 22
31,5
80%
70%
60%
50%
91,6 92 90,9 86,6
40% 80,2 75,9 79 78
68,5
30%
20%
10%
0%
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Buleleng Kota
Asem Denpasar

>8 m2/orang <8 m2/orang

Gambar 3.3.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Gambar 3.3.10 memperlihatkan kondisi fisik bangunan rumah (jenis bahan) yang meliputi
plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas
berplafon adalah sebesar 39,3 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 95,6 persen, dan
lantai bukan tanah sebesar 98,0% persen.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
perkotaan lebih tinggi (47,5%) dibandingkan di perdesaan (28,9%). Demikian juga untuk dinding
dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk
wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 97,4%; lantai bukan tanah: 99,4%) dibandingkan
perdesaan (dinding tembok: 92,8%; lantai bukan tanah: 95,8%).

120
120
95,6 98 97,4 99,4 95,8
100 100 92,8
87,6
80
80 80 67,8
60
60
40
19,9 40
20 4,4 2
0 20
Atap plafon Dinding Lantai
Tembok Bukan 0
Tanah Atap plafon Dinding Lantai Bukan
Tembok Tanah
Ya Tidak Perkotaan Perdesaan

Gambar 3.3.10
Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, dinding terbuat dari tembok
dan lantai bukan tanah, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

41
Pada gambar 3.3.11 di bawah ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan
ruang tidur, ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan
jendela, ventilasi dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari
ruang lainnya. Dalam hal kebersihan, lebih banyak dari ruang tidur (86,7%) dan ruang keluarga
(85,6%) ruang tersebut bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah
tangga yang ventilasinya cukup dan kurang dari 50 persen jendela dibuka setiap hari

100 90,8
90 83,1 85,7 85,6 85,2 88,6 82,7
76,2 77,5
80
70 65 65,3
60,4
60 54,7 54,6
49,9
50
40
30
20
10
0
Terpisah Bersih Jendela dibuka tiap Ventilasi cukup Pencahayaan
hari Cukup

Ruang Tidur Ruang Keluarga Dapur

Gambar 3.3.11
Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur
dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Gambar 3.3.12 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Papua, sebanyak 99,0% rumah
tangga menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah, siasanya 1,0%
menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik).

99

Listrik* Non Listrik*

Listrik* : Listrik PLN dan non PLN


Non listrik* : Petromaks/ aladin, Pelita/sentir/ obor

Gambar 3.3.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

42
Gambar 3.3.13 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
menurut provinsi. Lima kabupaten dengan proporsi tertinggi rumah tangga yang tidak
menggunakan listrik adalah Karangasem (7,2%).

8 7,2
7
6
5
4
3
2 1,5
0,8 0,8
1 0,1
0
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Buleleng Kota
Asem Denpasar

Gambar 3.3.13
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik
menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 3.3.14. Proporsi
jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per kabupaten dikelompokan menjadi dua,
yaitu yang aman, artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan
tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu
bakar). Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar aman di Bali adalah sebesar
69,1 persen.
Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (85,7%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (41,8%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan
bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (58,2%) dibanding di perkotaan (14,3%)
Gambar 3.3.14.

Penggunaan bahan Bakar


Penggunaan Bahan Bakar 85,7
90
80
70 58,2
30,9
60
50 41,8
40
69,1 30
20 14,3
10
0
Perkotaan Perdesaan

Aman* Tidak Aman* Aman* Tidak Aman

Bahan bakar aman* : listrik, Gas/elpiji


Tidak aman * : minyak tanah, arang, kayu bakar

Gambar 3.3.14
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

43
Gambar 3.3.15 memperlihatkan proporsi rumah tangga dalam upaya mencegah gigitan nyamuk
di Bali. baik secara mekanis (kelambu, kasa nyamuk) maupun kimiawi (insektisida, obat anti
nyamuk bakar, repelen). Proporsi tertinggi rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan
nyamuk adalah dengan menggunakan obat anti nyamuk bakar (41%), diikuti oleh penggunaan
kelambu (11,5%), repelen (7,3%) dan Kasa nyamuk (6,4%). Menurut karakteristik, proporsi
penggunaan obat anti nyamuk bakar di perdesaan (15,2%) lebih tinggi dibanding di perkotaan
(45,4%). Penggunaan kelambu, proporsi di perdesaan (1,6%) lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan (0,4%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan repelen, insektisida
dan kasa nyamuk di perkotaan (masing-masing 10,3%; 16,5%, dan 9,7 %) lebih tnggi
dibandingkan di perdesaan (masing-masing ( 2,5%; 3,3% dan 1,0% )

50 45,2
0,5 0,8
40 34
11,5
30
7,3 16,5
20
9,710,3
6,4 41 10
0,4 0,7 1,6 1 2,5 3,3 0,2
0
Perkotaan Perdesaan

Kelambu Obat nyamuk bakar


Kelambu Obat nyamuk bakar
Kasa nyamuk Repelen
Kasa nyamuk Repelen
Insektisida Minum obat
Insektisida Minum obat

Gambar 3.3.15
Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Gambar 3.3.16 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di
dalam rumah di Indonesia. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 83,7 persen. Penyimpanan/penggunaan pestisida/
insektisida/pupuk kimia di perkotaan (17,2%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan
(14,6%).

100
82,8 85,4
80
16,3
60
40
17,2 14,6
83,7 20
0
Menyimpan Tidak
Menyimpan

Menyimpan Tidak Menyimpan Perkotaan Perdesaan

Gambar 3.3.16
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

44
3.4. Penyakit Menular

Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok
umur dengan total sampel di 9 Kabupaten/Kota, provinsi Bali. Informasi yang diperoleh berupa
insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang digali melalui teknik wawancara
menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis dan
informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita
penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak
pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik
penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan
data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden
diukur dalam kurun dua minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun satu bulan atau
kurang, dan prevalensi dalam kurun satu tahun atau kurang.
Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang
ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis),
penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air,
dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan
dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG’s dan program
pengendalian hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia.

3.4.1. Penyakit yang ditularkan melalui Udara


Penyakit yang ditularkan melalui udara meliputi ISPA, Pneumonia, dan Tuberkulosis. Tampilan
tabel tentang penyakit ini untuk menggambarkan kondisi berdasarkan Kabupaten/Kota dan juga
berdasarkan karakteristik. Semua penyakit ini juga didata pada Riskesdas 2007. Informasi kurun
waktu tertentu seperti pneumonia ditambahkan untuk menyesuaikan kebutuhan program.
3.4.1.1. ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering
atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Tiga
Kabupaten/Kota dengan ISPA tertinggi adalah Bangli (36,1 %), Karangasem (35,9 %), dan
Klungkung (27,3 %). Kalau dilihat berdasarkan nilai diatas rerata Provinsi Bali, Jembrana
(24,3%), Tabanan (24,6%) dan Badung (24,3%) juga merupakan darah berisiko. Period
prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013 (22,6%), lebih tinggi dibandingkan dengan
2007 (21,5%)

Tabel 3.4.1
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

ISPA Period prevalence pneumonia Prevalensi pneumonia


Kabupaten/Kota
D DG D DG D DG
Jembrana 15 24,3 0,1 1,8 0,9 3,3
Tabanan 16,8 24,6 0,2 0,6 0,9 1,7
Badung 11,1 24,3 0,0 1,1 0,9 2,4
Gianyar 13,5 14,4 0,1 0,1 0,4 0,6
Klungkung 13,7 27,3 0,3 2,3 0,9 4,4
Bangli 22,6 36,1 0,2 4,4 0,6 9,0
Karang Asem 14,6 35,9 0,1 3,7 0,8 8,3
Buleleng 7,8 20,4 0,1 1,1 0,6 2,3
Kota Denpasar 8 15,4 0,3 1,2 0,9 2,2
Bali 12,2 22,6 0,2 1,5 0,8 3,1

45
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(37,7%). Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini
lebih banyak dialami pada kelompok penduduk yang tinggal di daerah pedesaan (28,3%) dan
pada rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah (lihat
tabel 3.4.2).

Tabel 3.4.2
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Period prevalence Prevalensi pneumonia
ISPA
Karakteristik Penduduk Pneumonia
D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 23,9 34,4 0,8 1,5 1,9 2,9
1-4 23,3 37,7 0,7 0,8 2,2
5-14 14,4 26,0 0,1 1,7 0,5 3,0
15-24 9,6 19,9 0,2 1,0 0,6 1,9
25-34 8,6 17,8 0,0 1,1 0,5 2,2
35-44 10,2 19,1 0,3 1,7 0,7 3,3
45-54 11,5 21,0 0,1 2,0 1,0 4,2
55-64 11,5 22,8 0,2 1,8 1,4 5,0
65-74 14,4 25,1 0,1 2,0 1,0 4,4
≥75 12,9 23,5 0,8 2,5 2,1 8,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 12,5 23,0 0,2 1,6 0,8 3,6
Perempuan 11,8 22,2 0,2 1,3 0,7 2,7
Pendidikan
Tidak sekolah 15,5 30,6 0,0 3,0 1,2 6,8
Tidak tamat SD 13,8 25,5 0,2 1,9 0,7 3,8
Tamat SD 11,8 22,4 0,1 1,6 0,7 3,5
Tamat SMP 9,7 19,9 0,4 1,4 0,9 2,7
Tamat SMA 8,5 16,4 0,1 1,0 0,7 2,0
Tamat D1/D2/D3/PT 7,5 13,6 0,5 0,8 1,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 11,3 21,5 0,3 1,5 0,8 2,9
Pegawai 9,2 16,0 0,0 0,7 0,6 1,7
Wiraswasta 9,7 17,4 0,2 1,0 0,8 2,2
Petani/Nelayan/Buruh 12,0 24,7 0,1 2,5 0,9 5,5
Lainnya 8,8 21,7 0,1 1,3 1,0 3,6
Tempat Tinggal
Perkotaan 10,5 18,9 0,2 1,1 0,8 2,4
Perdesaan 14,7 28,3 0,1 2,1 0,7 4,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 15,0 32,1 0,1 3,4 0,7 7,1
Menengah Bawah 14,2 25,9 0,2 1,7 0,8 3,4
Menengah 12,6 21,2 0,2 1,1 0,7 2,1
Menengah Atas 11,3 20,7 0,2 1,0 0,8 2,4
Teratas 9.3 16.7 0,1 0,8 0,8 1,9

46
3.4.1.2. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi
disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya
(sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua
penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang.
Period prevalence dan prevalensi Provinsi Bali tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan 3,1 persen.
Empat kabupaten yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia yang melebihi
angka rerata Bali adalah Bangli (4,4% dan 9,0%), Karangasem (3,7% dan 8,3%), Klungkung
(2,3% dan 4,4%), dan Jembrana (1,8% dan 3,3%) sebagimana terlihat pada tabel 3.4.1. Period
Prevalence pneumonia di Bali tahun 2013 menurun dibandingkan dengan tahun 2007.
Berdasarkan kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia banyak dialami oleh mereka
yang berumur diatas 45 tahun. Selain itu, Period prevalence pneumonia di Bali lebih banyak
ditemukan pada laki-laki, mereka yang berpendidikan rendah, mereka yang tinggal di pedesaan
dan lebih banyak dialami oleh kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
3.4.1.3. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) yang dalam hal ini adalah TB Paru merupakan penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utamanya adalah batuk
selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.
Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis
yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke
duanya, Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan
dalam total jumlah penduduk dengan TB.

Tabel 3.4.3
Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB
Kabupaten/kota OAT Batuk
Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah
Jembrana 0,0 1,5 30,2 3,2 2,5
Tabanan 0,1 0,9 38,3 3,7 1,3
Badung 0,0 1,0 43,1 2,4 1,6
Gianyar 0,2 1,1 17,4 1,1 3,1
Klungkung 0,1 1,1 52,4 7,8 4,5
Bangli 0,0 0,6 85,2 10,6 3,1
Karang Asem 0,2 0,8 67,4 12,1 3,3
Buleleng 0,2 0,6 34,7 2,3 3,8
Kota Denpasar 0,1 1,2 10,3 2,3 0,8
Bali 0,1 1,0 32,4 4,0 2,5

Prevalensi penduduk Bali yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.1
persen, berbeda dengan prevalensi TB pada tahun 2007 yang menunjukkan angka 0,3 persen.
Tiga Kabupaten/Kota dengan TB tertinggi adalah Gianyar (0.2%), Karangasem (0.2%), dan
Buleleng (0.2%). Kalau dilihat berdasarkan gejala TB seperti batuk lebih dari dua minggu,
proporsi penduduk Bali dengan gejala TB adalah 4,0 persen dan 2.5 persen diantaranya
mengalami batuk berdarah (tabel 3.4.3).
Berdasarkan karakteristik penduduknya, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk
dengan usia lebih dari 55 tahun, perempuan, dan berpendidikan SD ke bawah. Tidak terdapat
perbedaaan dilihat dari tempat tinggal di daerah perkotaan atau di perdesaan. Menurut kuintil

47
indeks kepemilikan, proporsi TB tertinggi terdapat pada kuintil indeks kepemilikan teratas dan
menengah bawah, masing-masing 0.2% (tabel 3.4.4)

Tabel 3.4.4
Karakteristik penduduk yang didiagnosis, diobati dengan obat program, dan gejala TB, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB

Karakteristik Responden OAT Batuk


Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah

Kelompok umur (tahun)


<1 35,4 0,6
1-4 0,2 0,8 19,6 2,8 1,2
5-14 0,0 0,6 8,0 3,7 1,3
15-24 0,1 0,8 15,6 3,0 2,3
25-34 0,2 0,5 17,6 3,8 2,3
35-44 0,0 1,2 37,1 3,7 2,6
45-54 0,1 1,3 51,9 4,6 1,9
55-64 0,2 1,4 82,1 6,4 5,1
65-74 0,4 1,8 61,8 7,0 5,8
≥75 0,4 3,0 35,4 7,6 1,1
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,1 1,0 32,3 4,5 1,9
Perempuan 0,2 1,0 32,6 3,6 3,2
Pendidikan
Tidak sekolah 0,4 1,7 61,8 7,5 5,3
Tidak tamat SD 0,1 0,9 47,7 5,7 2,4
Tamat SD 0,1 1,1 36,2 5,1 3,3
Tamat SMP 0,1 1,0 13,6 3,0 1,4
Tamat SMA 0,1 0,8 13,7 2,5 1,1
Tamat D1/D2/D3/PT 0,0 1,0 12,6 1,8 3,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,1 1,1 37,6 4,0 2,9
Pegawai 0,2 1,0 15,1 2,3 1,2
Wiraswasta 0,1 1,0 19,6 2,6 1,2
Petani/Nelayan/Buruh 0,2 1,0 50,2 6,7 3,7
Lainnya 0,1 1,3 26,9 6,7 5,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,1 1,0 25,2 2,9 1,5
Pedesaan 0,1 1,0 44,1 5,9 3,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,0 0,9 37,4 8,7 3,3
Menengah Bawah 0,2 0,9 47,1 4,3 2,5
Menengah 0,0 1,2 26,5 3,3 2,3
Menengah Atas 0,1 0,9 26,4 2,9 2,1
Teratas 0,2 1,0 29,7 2,4 2,1

48
Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, hanya 32.4% diobati dengan
obat program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah Bangli
(85,2%). Karangasem (67,4%), dan Klungkung (52.4%).

3.4.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya


Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare
dan hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan
diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.
3.4.2.1. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E.
Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut
kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada
kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa
menunjukkan gejala (asimptomatis).

Prevalensi hepatitis Bali tahun 2013 berdasarkan diagnosa petugas kesehatan adalah 0,2
persen, dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007 yang tercatat sebesar 0,1 persen. Bangli
(0,6%), Karangasem (0,3%) dan Tabanan (0,3%) merupakan tiga kabupaten dengan prevalensi
hepatitis tertinggi. Bila dibandingkan dengan Riskesdas 2007, Kabupaten Bangli masih
merupakan daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi.

Tabel 3.4.5
Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Hepatitis Insiden Diare Period prevalence Diare


Kabupaten/kota
D DG D DG D DG
Jembrana 0,2 0,5 2,0 3,1 4.8 7.3
Tabanan 0,3 0,5 2,8 3,8 4.7 6.6
Badung 0,0 0,1 2,3 3,0 3.9 5.0
Gianyar 0,1 1,3 1,4 2.0 2.2
Klungkung 0,1 0,5 2,7 4,8 5.4 9.6
Bangli 0,6 3,3 2,6 4,4 5.3 8.8
Karang Asem 0,3 0,7 1,3 3,1 4.5 9.2
Buleleng 0,2 1,0 2,3 3,3 4.0 5.5
Kota Denpasar 0,1 0,6 0,9 1,6 1.8 2.9
Bali 0,2 0,7 1,9 2,8 3.6 5.5

Berdasarkan karakteristik, prevalensi hepatitis lebih banyak ditemukan pada laki-laki, penduduk
yang tinggal di perdesaan dan yang mempunyai kuintil indeks kepemilikan, kelompok terbawah.
Dari jenis kelamin, prevalensi tampak lebih banyak ditemukan pada penduduk berusia diatas 15
tahun (tabel 3.4.6).

49
Tabel 3.4.6
Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Hepatitis Insiden Diare Period prevalence Diare


Karakteristik Penduduk
D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 6,2 3,1 2,2 4,3
1-4 0,1 3,5 3,8 3,3 2,7
5-14 0,1 0,5 1,7 3,0 1,7 2,0
15-24 0,2 0,6 1,8 1,4 1,0 0,9
25-34 0,1 0,5 1,1 4,8 1,3 4,8
35-44 0,3 0,9 1,7 4,4 1,7 4,4
45-54 0,2 1,3 1,9 3,1 1,9 6,1
55-64 0,3 0,7 1,5 3,3 2,5 2,2
65-74 0,2 1,2 2,8 1,6 1,7 1,3
≥75 0,6 1,3 3,1 2,0 4,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,2 0,7 1,9 2,9 1,7 2,7
Perempuan 0,1 0,7 1,8 2,8 1,7 2,6
Pendidikan
Tidak sekolah 0,1 0,9 1,5 2,2 2,3 4,0
Tidak tamat SD 0,1 0,8 1,9 3,1 2,2 3,3
Tamat SD 0,3 0,7 2,0 2,9 1,8 2,6
Tamat SMP 0,3 1,0 1,4 2,6 1,4 2,3
Tamat SMA 0,2 0,5 1,6 2,4 1,1 1,9
Tamat D1/D2/D3/PT 0,1 0,6 1,0 2,0 0,8 1,4
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,1 0,6 1,6 2,7 1,3 2,2
Pegawai 0,1 0,7 1,4 2,4 1,3 1,9
Wiraswasta 0,2 0,7 1,4 2,0 1,2 1,8
Petani/Nelayan/Buruh 0,3 1,2 2,1 3,2 2,3 3,7
Lainnya 0,4 1,1 1,2 3,1 1,5 3,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,1 0,5 1,6 2,4 1,4 2,0
Perdesaan 0,3 0,9 2,2 3,5 2,2 3,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,3 1,3 2,1 3,8 2,8 4,8
Menengah Bawah 0,2 0,6 2,5 3,5 2,0 3,3
Menengah 0,3 0,7 1,8 2,9 1,8 2,3
Menengah Atas 0,1 0,7 1,5 2,3 1,3 1,9
Teratas 0,1 0,3 1,5 2,1 1,2 1,6

Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk Bali adalah hepatitis A (25,7 %) dan hepatitis
B (20,1 %) (tabel 3.4.7). Dua daerah yang paling banyak terdapat hepatitis A adalah Kota
Denpasar (67,0%) dan Karangasem (40,7%). Sedangkan untuk hepatitis B, Tabanan (52,9%)
dan Buleleng (22,5%) adalah dua daerah terbanyak Hepatitis B.

50
Tabel 3.4.7
Proporsi jenis hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis Hepatitis
Kabupaten/Kota
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya
Jembrana - - - 42,3
Tabanan 14,8 52,9 11,7 -
Badung - - - -
Gianyar - - - -
Klungkung - - - -
Bangli 13,9 17,0 - -
Karang Asem 40,7 9,6 - 19,3
Buleleng 17,0 22,5 22,1 -
Kota Denpasar 67,0 - -
Bali 25,7 20,1 6,4 6,7

Hepatitis A banyak diderita oleh kaum perempuan, tinggal di perkotaan dan bekerja sebagai
wiraswasta. Dilihat dari kuintil indeks kepemilikan, banyak diderita oleh mereka di kuintil
menengah dan atas. Untuk Heptitis B, penderitanya lebih banyak laki-laki, mereka yang tinggal
atau menetap di perkotaan dan pada kuintil menengah atas.

51
Tabel 3.4.8.
Karakteristik penduduk yang didiagnosis hepatitis menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Jenis Hepatitis
Karakteristik Penduduk
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya
Kelompok umur (tahun)
<1
1-4
5-14 23,9 10,9
15-24 49,0
25-34 9,4 44,3
35-44 27,4 30,7 20,9
45-54 14,4 30,7
55-64 29,2 42,7
65-74 42,5
≥75
Jenis Kelamin
Laki-laki 15,7 29,3 11,1 11,6
Perempuan 39,4 7,5
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD 26,4
Tamat SD 24,2 28,7 9,8
Tamat SMP 26,6 19,5
Tamat SMA 46,5 18,6 10,6 13,9
Tamat D1/D2/D3/PT 100,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 47,5 19,1
Pegawai 31,3 27,5 19,1
Wiraswasta 68,7 31,3
Petani/Nelayan/Buruh 4,5 19,7 16,2
Lainnya 52,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 34,5 18,1 10,5 8,2
Perdesaan 20,2 21,4 3,9 5,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 14,4 13,9 13,6 12,1
Menengah Bawah 15,7 25,0
Menengah 45,2 9,9
Menengah Atas 61,4 30,4
Teratas 45,4 16,3 20,2

52
3.4.2.2. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir.
Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program, dan
period prevalence diare agar bisa dibandingkan dengan Riskesdas 2007.
Period prevalence diare di Provinsi Bali pada Riskesdas 2013 adalah 1,7%. Adapun insiden
diare untuk seluruh kelompok umur adalah 1,9 persen. Kabupaten/Kota dengan insiden diare
diatas angka provinsi antara lain Tabanan (2,8%), Klungkung (2,7%), Bangli (2,6%), Badung
(2,3%), dan Jembrana (2,0) (tabel 3.4.5).
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi
menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Daerah perdesaan mempunyai
proporsi lebih tinggi dibandingkan perkotaan. tabel 3.4.6).

Tabel 3.4.9
Insiden diare pada balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Insiden Diare Balita (persen)
Kabupaten/kota
D DG
Jembrana 2,6 6,2
Tabanan 2,5 3,9
Badung 5,5 5,5
Gianyar 2,0 2,0
Klungkung 6,1 6,6
Bangli 5,5 6,9
Karang Asem 4,9 6,1
Buleleng 6,1 7,6
Kota Denpasar 2,4 3,2
Bali 4,0 5,0

Berdasarkan diagnosa petugas, insiden diare balita di Bali adalah 4,0 persen. Lima daerah
dengan insiden diare melebihi angka provinsi adalah Klungkung (6,1%), Buleleng (6,1%),
Badung (5,5%), Bangli (5,5%), dan Karangasemn (4,9%) (tabel 3.4.9). Karakteristik diare balita
tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (8,5%), laki-laki (4,5%), tinggal di daerah
pedesaan (4,9%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (5,6%) (tabel
3.4.10).

53
Tabel 3.4.10.
Insiden diare balita menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Insiden Diare Balita
Karakteristik Penduduk
D DG
Kelompok umur (tahun)
0-11 bulan 6,2 7,7
12-23 bulan 8,5 10,9
24-35 bulan 1,8 3,0
36-47 bulan 2,6 2,8
48-59 bulan 1,4 1,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 4,5 5,0
Perempuan 3,4 5,0
Tempat Tinggal
Perkotaan 3,4 3,8
Perdesaan 4,9 7,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 3,2 5,7
Menengah Bawah 5,6 6,8
Menengah 3,8 5,6
Menengah Atas 4,5 4,5
Teratas 2,8 3,0

Pada saat terjadi kasus diare, Oralit dan zinc merupakan zat yang sangat dibutuhkan pada
pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak
kehilangan cairan akibat diare dan Kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses
penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam
menurunkan tingginya angka kematian akibat diare sampai 40 persen.
Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada balita di Bali adalah 37,4 persen. Tiga kabupaten
tertinggi dalam hal penggunaan oralit adalah Klungkung (62,3%), Gianyar (57,4%) dan Denpasar
(53,6%). Selain menggunakan oralit, pengobatan diare juga dilakukan dengan menggunakan
zinc. Penggunaan zinc pada penduduk Bali adalah 23,7 persen. Daerah yang penggunaan zinc-
nya diatas penggunaan provinsi adalah Tabanan (41,5%), Karangasem (36,5%), dan Badung
(31,7%).

Tabel 3.4.11
Penggunaan oralit dan zinc untuk diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Kabupaten/kota Oralit Zn
Jembrana 24,5 20,0
Tabanan 30,3 41,5
Badung 30,8 31,7
Gianyar 57,4 11,4
Klungkung 62,3 22,3
Bangli 40,7
Karang Asem 33,2 36,5
Buleleng 33,1 21,3
Kota Denpasar 53,6 17,6
Bali 37,4 23,7

54
Berdasarkan karakteristik, penggunaan oralit terbanyak pada balita adalah pada kelompok usia
48-59 bulan (67,6%) dan berjenis kelamin laki-laki. Dilihat dari tempat tinggal, lebih banyak
digunakan di daerah perkotaan, walau perbedaannya tidak menyolok. Dari kuintil indeks
kepemilikan, golongan menengah atas adalah yang tertinggi menggunakan oralit (47,4%). Tidak
jauh berbeda dengan penggunaan oralit, penggunaan zinc sebagai pengobatan diare balita
paling banyak juga ditemukan pada kelompok umur 48-59 bulan (41,9%) dan mereka yang
berjenis kelamin laki-laki (35,2%). Berbeda dengan oralit, penggunaan Zinc untuk balita di Bali,
lebih banyak di daerah perdesaan.

Tabel 3.4.12
Pengobatan diare balita yang menggunakan oralit dan zinc menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Karakteristik Penduduk Oralit Zn

Kelompok umur (tahun)


0-11 bulan 18,3 19,3
12-23 bulan 32,9 26,8
24-35 bulan 30,5 14,4
36-47 bulan 51,6 11,8
48-59 bulan 67,6 41,9

Jenis Kelamin
Laki-laki 43,9 35,2
Perempuan 30,8 12,0
Tempat Tinggal
Perkotaan 38,7 20,3
Perdesaan 36,0 27,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 34,2 17,7
Menengah Bawah 44,4 29,2
Menengah 35,2 12,6
Menengah Atas 47,4 37,6
Teratas 14,6 16,1

3.4.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)


Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas
terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat
bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan “tidak pernah didiagnosis
malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil
atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah
dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum
obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan “pernah
didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan” ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan
obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24
jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.
Tidak seperti di daerah-daerah endemis malaria seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur dan Maluku, insiden Malaria pada penduduk di Provinsi Bali bisa dikatakan tidak ada.
Berdasarkan diagnosa petugas kesehatan, insiden malaria di Bali hanya ditemukan di kabupaten

55
Karangasem (0,1%). Tetapi kalau dilihat dari gejala yang dialami, walau angkanya relatif kecil,
kasus malaria di Bali memang ditemukan disemua kabupaten/kota kecuali di Gianyar.

Tabel 3.4.13
Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Insiden Malaria Prevalensi Malaria
Kabupaten/Kota
D DG D DG
Jembrana 1,0 0,8 3,2
Tabanan 0,0 0,3 0,4 1,7
Badung 0,0 0,5 0,6 2,2
Gianyar 0,0 0,1 0,8
Klungkung 1,3 0,2 3,7
Bangli 0,0 2,5 0,1 6,6
Karang Asem 0,1 2,7 0,5 6,9
Buleleng 0,5 0,4 1,9
Kota Denpasar 0,4 0,3 2,0
Bali 0,0 0,8 0,4 2,7

Tabel 3.4.14 menunjukkan Prevalensi malaria nampak merata pada semua kelompok umur.
Prevalensi tertinggi adalah pada kelompok umur <1 tahun. Angka prevalensi malaria ini tidak
banyak berbeda ketika dilihat dari karakteristik yang lainnya.

Tabel 3.4.14.
Karakteristik responden dengan malaria, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Insiden Malaria Prevalensi Malaria
Karakteristik Responden
D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 1,3 3,5
1-4 0,4 0,0 2,1
5-14 0,0 1,2 0,3 3,1
15-24 0,7 0,3 2,6
25-34 0,0 0,6 0,3 2,3
35-44 0,0 0,9 0,2 2,5
45-54 0,6 0,5 3,1
55-64 0,0 1,0 0,7 3,1
65-74 0,8 0,6 3,1
≥75 0,4 0,4 1,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,0 0,7 0,5 2,7
Perempuan 0,0 0,9 0,3 2,8
Pendidikan
Tidak sekolah 0,1 1,8 0,5 4,5
Tidak tamat SD 1,1 0,2 3,5
Tamat SD 0,0 1,1 0,5 3,1
Tamat SMP 0,7 0,3 2,6
Tamat SMA 0,0 0,3 0,4 1,5
Tamat D1/D2/D3/PT 0,1 0,3 1,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,0 0,9 0,3 2,6
Pegawai 0,3 0,5 1,7
Wiraswasta 0,0 0,5 0,1 2,2
Petani/Nelayan/Buruh 1,3 0,4 3,7
Lainnya 1,3 0,7 4,0
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,0 0,4 0,3 1,9
Pedesaan 0,0 1,4 0,4 4,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,0 2,4 0,3 6,4
Menengah Bawah 0,0 0,7 0,5 2,2
Menengah 0,0 0,7 0,3 2,3
Menengah Atas 0,0 0,4 0,3 2,0
Teratas 0,2 0,4 1,6

56
Proporsi pengobatan dengan obat malaria program dapat ditemukan di tujuh kabupaten yang
ada di Bali kecuali Klungkung dan Bangli. Badung dan Karangasem adalah Kabupaten dengan
angka pemberian obat ACT program yang tertinggi. (Tabel 3.4.15)

Tabel 3.4.15.
Pengobatan malaria dengan obat program dan pengobatan responden sendiri menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Pengobatan penyakit malaria
Minum Pengobatan
kabupaten/kota Mendapatkan Mendapatkan
obat Sendiri
obat ACT obat dalam 24
selama 3
program jam pertama
hari
Jembrana 23,3 71,7 100,0 0,2
Tabanan 23,1 42,9 0,3
Badung 34,2 52,8 100,0 0,2
Gianyar 6,9 100,0 100,0 0,2
Klungkung 0,6
Bangli 0,1
Karang Asem 25,8 51,2 100,0 0,4
Buleleng 19,6 100,0 100,0 0,4
Kota Denpasar 18,4 100,0 0,6
Bali 23,2 53,8 89,2 0,3

Di provinsi Bali, lebih dari 50 persen penderita malaria mendapat obat program dalam 24 jam
pertama menderita sakit. Diantara mereka yang didiagnosa malaria sudah sekitar 90 persen
mengkonsumsi obat selama 3 hari.
Proporsi pengobatan dengan obat malaria program cenderung sama untuk setiap daerah.
Keadaan ini menunjukkan adanya kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria
pada semua kelompok umur. Untuk pengobatan efektif sesuai program, mereka yang
dikelompok umur 5-14 tahun, 45-54 tahun dan 65-74 tahun adalah yang terbaik. Perempuan
lebih baik dalam hal pengobatan efektif dibandingkan laki-laki. Walau tidak banyak
perbedaannya tetapi masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih mempunyai kewaspadaan dan
keperdulian dalam menangani masalah malaria.

57
Tabel 3.4.16.
Karakteristik responden malaria dengan obat program dan pengobatan sendiri, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Pengobatan penyakit malaria
Pengobatan
Karakteristik Responden Mendapatkan obat Mendapatkan obat Minum obat Sendiri
ACT program dalam 24 jam pertama selama 3 hari
Kelompok umur (tahun)
<1
1-4 0,1
5-14 10,2 100,0 100,0 0,4
15-24 18,6 39,6 100,0 0,2
25-34 45,4 20,6 100,0 0,3
35-44 22,1 39,5 0,5
45-54 19,7 100,0 100,0 0,4
55-64 33,0 53,2 77,3 0,2
65-74 36,2 100,0 100,0 0,4
≥75 0,1
Jenis Kelamin
Laki-laki 21,9 50,2 81,9 0,3
Perempuan 25,4 59,0 100,0 0,4
Pendidikan
Tidak sekolah 29,7 51,2 100,0 0,5
Tidak tamat SD 19,0 100,0 100,0 0,4
Tamat SD 4,3 100,0 17,1 0,3
Tamat SMP 65,7 45,3 100,0 0,5
Tamat SMA 33,2 48,2 83,8 0,3
Tamat D1/D2/D3/PT 0,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 22,6 78,0 100,0 0,3
Pegawai 44,1 39,6 89,6 0,4
Wiraswasta 28,7 0,4
Petani/Nelayan/Buruh 13,4 50,7 100,0 0,4
Lainnya - - 0,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 25,7 55,4 92,9 0,4
Pedesaan 19,6 50,5 82,3 0,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 11,6 100,0 100,0 0,4
Menengah Bawah 23,5 20,6 100,0 0,4
Menengah 17,3 100,0 100,0 0,2
Menengah Atas 30,2 74,2 54,8 0,3
Teratas 27,3 40,0 100,0 0,4

58
3.5. Penyakit Tidak Menular

Penyakit tidak menular (PTM) adalah penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM
mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM
utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke), kanker, diabetes (DM) dan penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru
obstruksi kronis). (WHO media centre, update 2013).
Tujuan Riskesdas 2013 dalam bidang PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk
dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui
pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma (2)
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung
koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit
sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: besaran PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan,
besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden.
Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga
medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Data penyakit
asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru
obstruksi kronis umur > 30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid,
hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal,
penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur > 15 tahun. Riwayat penyakit
ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan
pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami
gejala.
Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi
wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes, dan kondisi sedang minum
obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran,
dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital.
Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda ≥10
mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data
pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil
ukur tensi.Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013
dibandingkan RKD 2007.
Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah didiagnosis asma oleh tenaga
kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada
mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi, dada rasa tertekan di pagi hari
atau waktu lainnya? Pada RKD 2013 pertanyaan asma berdasarkan pertanyaan yang lebih
komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara dingin/rokok/ debu/
infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat malam hari atau
menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada pada RKD
2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan merokok
dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah dengan
meningkatnya usia.
Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis tumor/kanker oleh tenaga
kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pembengkakan seperti lipoma sering disebut
tumor oleh masyarakat. RKD 2013 menanyakan apakah pernah didiagnosis kanker oleh dokter.
Pertanyaan tentang hipertiroid dalam RKD 2007 tidak ada, pada RKD 2013 ditanyakan apakah
pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter? Prevalensi yang didapat berdasar pertanyaan tentu
akan lebih rendah dari kenyataan sebenarnya karena biasanya penduduk berobat ke tenaga
medis setelah ada gejala dimana penyakit sebenarnya sudah berlanjut. Tekanan darah pada
waktu RKD 2007 diukur dengan tensimeter digital IA2 dan sesuai pedoman, pengukuran
dilakukan pada lengan kanan. RKD 2013 mengggunakan tensimeter IA1 karena IA2 diskontinu
dan sesuai pedoman, diukur pada lengan kiri. Orang Indonesia umumnya menggunakan lengan
kanan yang lebih banyak gerak dari pada lengan kiri dan telah diketahui hasil pengukuran lengan
kanan akan lebih tinggi 1 – 4 mmHg dari pada lengan kiri.

59
Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantung koroner/gagal
jantung/ jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga
kesehatan? Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit
jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan
gejala sesuai kriteria “Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang
diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter? Bagi yang
belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013
juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal
oleh dokter? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah
pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait
penyakit.
Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4)
DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal
kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk beberapa
penyakit, ditambahkan bentuk grafik kecenderungan 2007 dan 2013. Tabel menunjukkan
prevalensi nasional dan provinsi, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti
telah didiagnosis tenaga kesehatan atau dokter, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala
(yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D,
dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi
berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis/minum
obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U. Kecenderungan prevalensi penyakit
dalam RKD 2007 dan 2013 (DM, hipertensi, stroke, dan sendi/rematik) disajikan dalam bentuk
grafik.

3.5.1. Asma
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan
(sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa
tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap
rokok), sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan.
Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah
satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres
dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan
dengan disertai salah satu atau lebih gejala : mengi dan/atau sesak napas berkurang atau
menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa
pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi
dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur < 40 tahun.

3.5.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara
khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk),
disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang
dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk
berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks
Brinkman ≥ 200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai
lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari.

60
3.5.3. Kanker
Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus
bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan
sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh
dokter.

Tabel 3.5.1.
Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)***
Jembrana 6,8 3,5 0,2
Tabanan 7,2 3,5 0,4
Badung 5,9 1,8 0,5
Gianyar 2,4 1,0 0,1
Klungkung 7,7 6,0 0,3
Bangli 8,3 6,5 0,1
Karang Asem 12,3 9,4 0,2
Buleleng 5,4 3,9 0,0
Kota Denpasar 4,8 1,4 0,1
Provinsi Bali 6,2 3,5 0,2
*Wawancara semua umur berdasarkan gejala
**Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter

Tabel 3.5.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Indonesia masing-
masing 6,2 persen, 3,5 persen, dan 0,2 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Karang
Asem (12,5%), dan terendah Gianyar (2,4%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Karang
Anyar (9,4%), dan terendah Gianyar 1,0 persen. Prevalensi PPOK lebih rendah dari kejadian
sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun. Prevalensi
kanker tertinggi terdapat di Badung (0,5‰) dan terendah terdapat di Buleleng (0,0‰).

61
Tabel 3.5.2.
Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Karakteristik Responden Asma* PPOK** Kanker (‰)***
Kelompok umur (tahun)
<1 1,3
1- 4 6,2
5-14 6,6 0,1
15-24 7,0
25-34 6,8 1,5 0,1
35-44 7,4 2,1 0,3
45-54 5,1 3,1 0,2
55-64 5,2 5,3 0,5
65-74 3,1 7,8 1,0
75+ 3,4 10,8 0,7
Jenis Kelamin
Laki-Laki 5,9 3,3 0,1
Perempuan 6,6 3,7 0,3
Pendidikan
Tidak Sekolah 7,8 8,8 0,2
Tidak Tamat SD 6,7 5,8 0,2
Tamat SD 7,1 4,4 0,2
Tamat SMP 7,3 2,0 0,1
Tamat SMA 5,0 1,2 0,2
Tamat PT 3,0 0,8 0,6
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 6,5 5,4 0,2
Pegawai 4,3 0,9 0,3
Wiraswasta 5,8 1,4 0,2
Petani/Nelayan/Buruh 7,7 5,0 0,2
Lainnya 6,5 4,0
Tempat Tinggal
Perkotaan 5,3 2,4 0,2
Perdesaan 7,7 5,1 0,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 10,0 8,2 0,1
Menengah bawah 7,6 6,3 0,2
Menengah 5,4 4,0 0,2
Menengah atas 5,3 2,5 0,2
Teratas 4,3 1,6 0,3

62
Dari tabel 3.5.2 prevalensi asma tertinggi tampak pada kelompok umur 35-44 (7,4%) dan
terendah pada kelompok umur (1,3%). Prevalensi kanker tertinggi pada kelompok umur 65-74
(1,0‰). Prevalensi asma, PPOK dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada
laki-laki, Prevalensi asma terlihat lebih tinggi di perdesaan (7,7%) dibanding perkotaan (5,3%),
PPOK lebih tinggi di perdesaan dari perkotaan, hal ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai
faktor risiko PPOK terbanyak. Prevalensi kanker di kota sama dengan di perdesaan. Prevalensi
PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan status ekonomi
terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan
pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas.
3.5.4. Diabetes melitus
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal.
Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara
absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I / diabetes juvenile yaitu
diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes
yang didapat setelah dewasa.
Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri)
terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat,
keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi,
luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu
sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah
didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita
kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan
sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun.
3.5.5. Penyakit Hipertiroid
Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi
berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang
mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-
debar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin,
dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.

3.5.6. Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi


Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara
kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu
fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan
sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi
oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita
hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi
(minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada
kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun,
maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada
penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk
umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII
2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi.

63
Tabel 3.5.3
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥ 15 tahun dan hipertensi pada umur ≥ 18 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Hipertensi
Kabupaten/Kota Diabetes Hipertiroid
Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Jembrana 1,9 2,0 0,5 10,4 10,4 16,6
Tabanan 1,5 1,5 1,0 12,9 12,9 25,8
Badung 1,3 1,4 0,3 8,4 8,4 22,4
Gianyar 1,0 1,0 0,0 4,1 4,1 13,3
Klungkung 1,5 1,6 0,2 14,9 14,9 20,5
Bangli 1,0 1,8 0,8 14,8 14,8 23,9
Karang Asem 0,8 1,0 0,7 10,4 10,2 20,8
Buleleng 1,7 1,9 0,3 9,0 9,0 19,8
Kota Denpasar 1,4 1,5 0,2 5,3 5,3 18,4
Propinsi Bali 1,3 1,5 0,4 8,8 8,7 19,9

Dari tabel 3.5.3 terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Indonesia berdasar wawancara
yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. Diabetes terdiagnosis dokter dan
gejala sebesar 1,5 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
Jembrana (1,9). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi terdapat di
Jembrana (2,0%). Prevalensi hipertiroid tertinggi di Tabanan (1,0%). Prevalensi hipertensi di
Propinsi Bali yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 19,9 persen,
tertinggi di Tabanan (25,8%). Prevalensi hipertensi rata-rata di Bali yang didapat melalui
kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 8,8 persen, yang didiagnosis tenaga
kesehatan dan minum obat sebesar 8,7 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri.
Dari tabel 3.5.4 terlihat prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter dan gejala
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung
menurun, mungkin pada kelompok ini banyak yang telah meninggal. Prevalensi hipertiroid
cenderung meningkat seiring bertambahnya umur dan menetap mulai umur antara 55-74 tahun.
Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat
meningkat dengan bertambahnya umur dan menurun pada usia 75+. Prevalensi Diabetes,
privalensi responden laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sebaliknya, prevalensi
hipertiroid dan hipertensi, perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Prevalensi diabetes di
perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan, sebaliknya, prevalensi hipertiroid dan hipertensi di
perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Prevalensi Diabetes cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD dibanding dengan tamat PT. Status
ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan teratas, prevlensinya juga tertinggi.. Prevalensi
hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak
bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik. .
Pada analisis hipertensi terbatas pada usia 15 - <18 tahun menurut JNC VII 2003 didapatkan
prevalensi Propinsi Bali sebesar 19,9 persen (laki-laki 19,9 persen dan perempuan 20,0 persen),
perdesaan (20,2,6%) lebih tinggi dari perkotaan (19,7%).

Tabel 3.5.4.
Prevalensi diabetes, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Responden Diabetes * Hipertiroid* Hipertensi**

64
Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,3 0,3 0,8 0,8 8,0
25-34 0,2 0,3 0,1 2,8 2,8 10,7
35-44 0,9 1,0 0,4 6,9 6,9 16,7
45-54 2,5 2,6 0,5 12,1 12,2 25,4
55-64 4,1 4,1 0,7 19,1 19,3 36,1
65-74 3,9 3,9 0,7 24,5 24,7 43,3
75+ 2,1 2,3 0,9 22,4 22,4 43,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 1,4 1,6 0,3 7,3 7,3 19,9
Perempuan 1,2 1,4 0,5 10,2 10,3 20,0
Pendidikan
Tidak Sekolah 1,1 1,5 0,9 18,6 18,9 36,5
Tidak Tamat SD 1,8 1,8 0,8 14,9 15,0 28,4
Tamat SD 1,6 1,7 0,4 12,2 12,2 24,3
Tamat SMP 0,9 1,3 0,2 5,3 5,4 13,8
Tamat SMA 1,1 1,2 0,2 4,7 4,7 14,5
Tamat PT 1,7 1,7 0,5 4,9 4,9 14,9
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 1,7 2,0 0,2 11,3 11,4 23,7
Pegawai 1,1 1,2 0,4 4,7 4,8 15,4
Wiraswasta 1,5 1,5 0,3 8,2 8,2 19,3
Petani/Nelayan/Buruh 0,9 1,0 0,6 10,3 10,3 21,3
Lainnya 2,4 2,7 0,7 8,5 8,5 17,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 1,5 1,6 0,2 7,7 7,8 19,7
Perdesaan 1,1 1,3 0,6 10,4 10,4 20,2

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 0,6 1,1 0,7 10,7 10,8 21,1
Menengah bawah 0,9 0,9 0,4 9,6 9,6 19,7
Menengah 1,1 1,3 0,2 7,7 7,7 18,9
Menengah atas 1,9 1,9 0,5 8,8 8,9 20,3
Teratas 1,9 1,9 0,3 7,6 7,6 19,8
*Umur > 15 tahun **Umur ≥ 18 tahun

3.5.7. Penyakit jantung


Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan
gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit
jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden.

65
3.5.7.1. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah
karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada
atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja
berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh.
Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau
infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah
mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan
nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan
kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa
dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.

3.5.7.2. Penyakit gagal jantung


Gagal Jantung / Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat
beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.
Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit
gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas
saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai
bawah bengkak.
3.5.8. Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global,
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan
gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas
(pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan
sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes
tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau
kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut
menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan
atau tidak mengerti pembicaraan.

Tabel 3.5.5.
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jantung Koroner Gagal jantung Stroke (‰)
Kabupaten/Kota
D D/G D D/G D D/G
Jembrana 0,4 1,3 0,1 0,2 9,0 1,5
Tabanan 0,6 1,0 0,1 0,2 10,0 10,0
Badung 0,2 0,4 0,1 0,1 3,0 4,0
Gianyar 0,2 0,3 0,1 0,1 2,0 2,0
Klungkung 0,6 2,2 0,1 0,2 7,0 12,0
Bangli 0,5 4,3 0,2 0,4 2,0 18,0
Karang Asem 0,6 4,0 0,6 6,0 16,0
Buleleng 0,5 1,1 0,3 0,6 5,0 9,0
Kota Denpasar 0,4 0,7 0,1 0,1 6,0 7,0
Propinsi Bali 0,4 1,3 0,1 0,3 5,0 9,0
Tabel 3.5.5 menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis dokter di
Provinsi Bali sebesar 0,4 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,3
persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Tabanan,

66
Klungkung dan karang Asem (0,6%). Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis
dan gejala tertinggi di Bangli (4,3%) dan diikuti Karangasem (4,0%),.
Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di provinsi Bali sebesar 0,1
persen, dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Buleleng (0,3%) dan tidak ada yang terdiagnosis gagal
jantung di kabupaten Karang Asem. Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala
tertinggi di Karangasem dan Buleleng (0,6%).
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 0,5 permil dan
yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala sebesar 0,9 permil. Prevalensi Stroke
berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Tabanan (1,0‰), Prevalensi Stroke berdasarkan
terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di Jembrana (1,5‰), dan terendah di Gianyar
(0,2‰).
Tabel 3.5.6
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥ 15 tahun menurut
karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jantung Koroner Gagal jantung Stroke (‰)
Karakteristik Responden
D D/G D D/G D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,5 0,0 0,0 0,0 1,0
25-34 0,1 0,7 0,0 0,1 0,0 1,0
35-44 0,3 1,3 0,1 0,3 2,0 4,0
45-54 0,5 1,9 0,3 0,5 6,0 11,0
55-64 1,0 1,9 0,3 0,6 18,0 24,0
65-74 1,5 2,9 0,2 0,4 29,0 39,0
75+ 2,0 3,4 0,2 1,0 17,0 37,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 0,4 1,2 0,1 0,1 7,0 10,0
Perempuan 0,4 1,5 0,2 0,4 3,0 7,0
Pendidikan
Tidak Sekolah 0,7 3,3 0,1 0,2 10,0 28,0
Tidak Tamat SD 0,4 2,1 0,2 0,4 11,0 18,0
Tamat SD 0,7 2,0 0,3 0,6 8,0 12,0
Tamat SMP 0,3 1,0 0,1 0,1 1,0 3,0
Tamat SMA 0,2 0,5 0,0 0,1 2,0 3,0
Tamat PT 0,4 0,4 0,1 0,1 7,0 7,0
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 0,4 1,2 0,2 0,4 10,0 15,0
Pegawai 0,3 0,6 0,0 0,0 3,0 4,0
Wiraswasta 0,3 0,8 0,1 0,1 3,0 5,0
Petani/Nelayan/Buruh 0,5 2,1 0,2 0,3 4,0 9,0
Lainnya 0,9 2,3 0,2 1,0 4,0 8,0
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,4 0,9 0,1 0,2 6,0 7,0
Perdesaan 0,4 2,0 0,2 0,4 5,0 12,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 3,2 0,2 0,6 5,0 13,0
Menengah bawah 0,3 1,2 0,3 0,5 5,0 11,0
Menengah 0,3 0,8 0,0 0,1 5,0 7,0
Menengah atas 0,3 0,9 0,1 0,1 5,0 6,0
Teratas 0,6 0,9 0,1 0,2 6,0 9,0

67
Tabel 3.5.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara
yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 75+ tahun yaitu 2,0 persen dan 3,4 persen
untuk yang terdiagnosis dan gejala. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter tidak ada beda
antara laki-laki maupun perempuan (0,4%), sedangkan berdasarkan diagnosis dokter dan gejala
lebih tinggi pada perempuan (1,5%). Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak
bersekolah dan pekerjaan lainnya. Berdasar PJK terdiagnosis dokter prevalensi perkotaan sama
dengan perdesaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi diperdesaan
dan pada status ekonomi terbawah.
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
umur 45 – 64 tahun (0,3%), untuk yang terdiagnosis dokter menurun sedikit pada umur ≥65
tahun (0.2%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi pada umur ≥ 75 tahun
(1,0%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan (0,2%) dibanding
laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter dan gejala prevalensi perempuan juga lebih tinggi
(0,4%) daripada laki-laki (0,1%). Prevalensi yang didiagnosis dokter serta yang didiagnosis
dokter dan gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tamat SD (0,3% dan
0,6%) dan masyarakat yang tinggal di perdesaan (0,2% dan 0,4%) Prevalensi yang didiagnosis
dokter serta yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi pada masyarakat yang tidak bekerja,
diikuti masyarakat yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh dan pekerjaan lainnya.
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes
dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 65-74 tahun
(2,9‰ dan 3,9‰). Prevalensi yang terdiagnosis nakes lebih tinggi pada laki-laki (0,7‰)
dibanding perempuan (0,3‰) demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala, laki-laki (1,0 ‰)
lebih tinggi dibanding perempuan (0,7‰).
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis nakes (1,0‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (2,8‰) Prevalensi stroke di kota
(0,6‰) lebih tinggi dari di desa (0,5‰) dengan diagnosis nakes. Sedangkan didiagnosis nakes
dan gejala di perdesaan lebih tinggi (1,2‰) dibanding perkotaan (0,7‰),. Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (1,0‰) maupun yang
didiagnosis nakes dan gejala (1,5‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis dan gejala lebih tinggi
pada kuintil indeks kepemilikan terbawah 1,3 permil.

3.5.9. Penyakit ginjal


Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor,
misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain.
Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain.
Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk,
pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau
transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia,
penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu
ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai
penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.

3.5.10. Penyakit sendi/ rematik/ encok


Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi
tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/ rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang
disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena
benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari.
Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit
sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi
hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di
persendian yang timbul bukan karena kecelakaan.

68
Tabel 3.5.7
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi


Kabupaten/kota
D D D D/G
Jembrana 0,2 1.0 33,1 39.1
Tabanan 0,1 0.6 21,6 29.6
Badung 0,2 1.0 15,3 29.4
Gianyar 0,2 0.2 20,0 20.8
Klungkung 0,0 0.5 27,0 49.1
Bangli 0,2 1.1 29,9 48.0
Karang Asem 0,4 1.2 25,9 52.1
Buleleng 0,3 0.9 25,6 34.8
Kota Denpasar 0,1 0.4 4,5 10.8
Provinsi Bali 0,2 0.7 19,3 30.0

Tabel 3.5.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar didiagnosis dokter di Popinsi
Bali sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Karang Asem sebesar 0,4 persen. Sedangkan
yang terendah adalah Klungkung (0,0%)
Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Bali sebesar
1,0 persen. Prevalensi tertinggi di Karang Asem (1,2%), diikuti Bangli (1,1%), Badung dan
Jemrana masing–masing sebesar 1,1 persen.
Prevalensi penyakit sendi berdasar diagnosis nakes di Provinsi Bali 19,3 persen dan berdasar
diagnosis dan gejala 39,1 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Jembrana
(33,1%), diikuti Bangli (29,9%), Klungkung (27,0%) dan Karang Asem (25,9%). Prevalensi
penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Karang Asem (52,1%),
diikuti Klungkung (49,1%), dan Bangli (48,0%).

69
Tabel 3.5.8
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi*


Karakteristik Responden
D D D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,2 1,8 6,3
25-34 0,3 7,6 16,0
35-44 0,2 0,4 16,3 28,2
45-54 0,3 0,9 31,5 46,2
55-64 0,4 2,3 42,6 57,3
65-74 0,5 1,9 49,9 64,7
75+ 0,6 1,0 49,6 64,8
Jenis Kelamin
Laki-Laki 0,3 1,0 16,2 25,4
Perempuan 0,1 0,4 22,4 34,5
Pendidikan
Tidak Sekolah 0,3 1,3 45,2 65,4
Tidak Tamat SD 0,2 1,7 34,8 54,3
Tamat SD 0,2 0,8 31,8 43,8
Tamat SMP 0,1 0,4 10,2 19,4
Tamat SMA 0,1 0,4 8,0 15,3
Tamat PT 0,4 0,8 5,8 10,7
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 0,3 0,7 17,6 27,4
Pegawai 0,1 0,4 7,0 13,5
Wiraswasta 0,1 0,3 17,0 27,4
Petani/Nelayan/Buruh 0,3 1,2 32,0 46,5
Lainnya 0,1 0,6 21,4 34,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,2 0,6 14,1 23,2
Perdesaan 0,2 0,8 27,5 40,5

Kuintil Indeks Kepemilikan

Terbawah 0,2 0,9 29,0 46,4


Menengah bawah 0,2 0,8 26,7 39,0
Menengah 0,3 0,7 18,3 27,8
Menengah atas 0,1 0,5 16,0 25,3
Teratas 0,2 0,8 11,1 18,3

70
Tabel 3.5.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur
≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,1%),
prevalensi perdesaan sama dengan perkotaan (0,2%). Prevalensi tertinggi pada tingkat
pendidikan tamat PT (0,4%), pekerjaan petani/nelayan/buruh dan tidak kerja (0,3%).dan kuintil
indeks kepemilikan menengah sebesar 0,3 persen.
Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun (2,3%). Prevalensi lebih tinggi
pada laki-laki (1,0%) dibanding perempuan (0,4%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak
tamat SD (1,7%) serta masyarakat petani/nelayan/buruh (1,2%) dan status ekonomi terbawah
0,9 persen. Prevalensi di perdesaan lebih tinggi (1,0%) dibanding perkotaan (0,4%).
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi
tertinggi pada umur 65-74 tahun sebesar 49,9 persen. Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih
tinggi pada perempuan (22,4%) dibanding laki-laki (16,2%) demikian juga yang didiagnosis
nakes dan gejala pada perempuan (34,5%) lebih tinggi dari laki-laki (25,4%). Prevalensi lebih
tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (45,2%) maupun diagnosis
nakes dan gejala (65,4%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan petani/nelayan/buruh baik yang
didiagnosis nakes (32,0%) maupun diagnosis nakes dan gejala (46,5%). Prevalensi yang
didiagnosis nakes di perdesaan (27,5%) lebih tinggi dari perkotaan (14,1%), demikian juga yang
diagnosis nakes dan gejala di pedesaan (40,5%), di perkotaan (23,2%). Kelompok yang
didiagnosis nakes, prevalensi tertinggi pada status ekonomi dengan kuintil indeks kepemilikan
terbawah (29,0%) dan menengah bawah (26,7%). Demikian juga pada kelompok yang
terdiagnosis nakes dan gejala, prevalensi tertinggi pada status ekonomi dengan kuintil indeks
kepemilikan terbawah (46,4%) dan menengah bawah (39,0%).

Gambar 3.5.1.
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosa pada umur ≥ 18 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

71
Gambar 3.5.2.
Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥ 18 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

Gambar 3.5.3.
Kecenderungan prevalensi stroke per mil pada umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

Gambar 3.5.4
Kecenderungan prevalensi sendi/rematik/encok berdasarkan wawancara pada umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

72
3.6. Cedera

Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang
tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera
diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami
responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Yang dimaksud dengan cedera dalam
Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas
sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan,
kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.
Khusus untuk analisis pemakaian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas.
Skema jumlah data yang dianalisis sebagai berikut :

Jumlah total responden (semua umur)

Tidak cedera Cedera

Penyebab cedera Penyebab lain


Transportasi sepeda motor

Umur ≥ 1 tahun Umur < 1 tahun


Jenis cedera

Tempat kejadian

Pemakaian helm
 Bagian tubuh

 Lama rawat
cedera

 Kecacatan

Keterangan:
: ada di laporan Riskesdas 2013 dalam angka

3.6.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya


Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab
yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan
(undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri,
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak),
penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak
disengaja antara lain : terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian,
digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja,
terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi,
terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu
penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja
atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang
tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi cedera menurut provinsi disajikan pada tabel 3.6.1.

73
Tabel 3.6.1
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Penyebab cedera
Kabupaten/kota Cedera Sepe Trans Benda Ter Gigitan Ke Lainn
da darat Jatuh tajam/ bakar hewan Jatuh ya
motor lain tumpul an
Jembrana 6,9 51,9 6,6 23,4 13,5 2,5 2,0
Tabanan 8,2 45,5 5,4 35,8 9,0 0,5 2,7 1,0
Badung 11,7 37,6 6,9 39,2 11,8 0,2 0,9 2,8 0,5
Gianyar 2,8 53,3 2,4 39,4 1,6 3,4
Klungkung 12,6 31,7 4,0 54,6 6,1 0,5 2,2 0,8
Bangli 13,4 45,2 1,8 38,9 9,2 1,3 2,6 0,4 0,6
Karang Asem 8,1 50,9 3,5 33,7 8,0 2,9 1,0
Buleleng 10,8 38,8 6,2 39,8 10,0 0,3 2,1 2,7
Kota Denpasar 7,1 47,7 8,3 33,9 4,6 1,8 0,7 3,0
Provinsi Bali 8,6 43,3 5,8 37,7 8,7 0,7 1,2 1,9 0,8

Prevalensi cedera secara di Propinsi Bali adalah 8,6 %, prevalensi tertinggi ditemukan di Bangli
(13,4 %) dan terendah di Gianyar (2,8 %). Kabupaten/kota yang mempunyai angka prevalensi
lebih tinggi dari provinsi Bali adalah Badung (11,7 %), Klungkung (12,6 %), Bangli (13,4 %),
Buleleng (10,8 %).
Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (37,7 %) dan kecelakaan sepeda motor (43,3 %).
Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0 meliputi terkena benda
tajam/tumpul (8,7 %), Gigitan hewan (1,2 %) dan kejatuhan (1,9 %). Sedangkan untuk penyebab
yang belum disebutkan proporsinya kecil (dibawah 0).
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Gianyar (53,3 %) dan
terendah di Klungkung (31,7 %). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terdapat
di Kota Denpasar (8,3 %) dan terendah ditemukan di Bangli (1,8 %). Proporsi jatuh tertinggi di
Klungkung (54,6 %) dan terendah di Jembrana (23,4 %). Proporsi tertinggi terkena benda
tajam/tumpul terdapat di Jembrana (29 %) dan terendah di Gianyar (1,6 %).
Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik responden
disajikan pada tabel 3.6.2

74
Tabel 3.6.2
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Penyebab Cedera
Karakteristik Cedera Sepe Trans Benda Ter Gigitan Ke Lain
Responden da darat Jatuh tajam/ Bakar Hewan jatuh nya
motor lain tumpul an
Kelompok umur (th)
<1 2,3 100,0
1–4 7,8 6,3 5,6 72,5 10,2 1,2 2,1 2,2
5 – 14 10,3 24,7 14,1 51,2 5,8 0,9 1,0 2,2 0,1
15 – 24 13,7 73,7 4,4 14,4 5,3 0,2 1,0 0,1 1,0
25 – 34 7,8 53,1 2,4 25,4 14,3 0,5 2,0 2,3
35 – 44 6,4 51,1 4,4 26,1 12,6 1,4 1,6 2,9
45 – 54 6,7 41,9 0,7 42,6 9,2 1,2 0,8 3,6
55 – 64 7,6 25,5 5,2 53,3 9,4 1,6 0,9 2,4 1,6
65 – 74 8,1 11,7 0,8 72,6 6,3 0,6 2,7 3,0 2,3
75+ 6,3 8,7 71,5 8,5 9,7 1,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 10,3 45,6 4,9 35,7 9,2 0,7 1,0 2,2 0,8
Perempuan 6,9 39,8 7,1 40,6 7,9 0,7 1,6 1,5 0,7
Pendidikan
Tidak sekolah 8,2 13,6 8,1 63,6 8,0 1,3 1,7 2,4 1,3
Tidak tamat SD/MI 9,6 25,1 11,4 51,5 7,6 0,3 1,7 2,1 0,3
Tamat SD/MI 9,3 44,2 3,7 36,3 10,6 0,6 1,2 3,4
Tamat SMP/MTS 10,9 65,9 2,7 19,9 7,7 0,5 0,7 1,5 1,2
Tamat SMA/MA 7,8 61,7 6,4 19,8 8,8 0,4 0,9 0,5 1,5
Tamat Diploma/PT 5,6 55,6 1,3 28,5 7,3 2,8 1,5 3,1
Status pekerjaan
Tidak bekerja 10,7 48,0 7,1 35,5 6,4 0,7 0,8 0,9 0,5
Pegawai 8,1 65,7 5,8 16,8 7,0 0,8 0,4 1,5 2,0
Wiraswasta 5,9 50,9 1,9 30,4 10,0 1,3 0,4 4,6 0,6
Petani/nelayan/ buruh 8,7 39,3 2,3 39,5 13,6 0,2 2,5 2,5
Lainnya 8,3 50,0 4,2 24,0 13,6 0,9 7,4
Tempat tinggal
Perkotaan 8,2 43,0 6,9 37,3 8,3 0,7 0,7 2,0 1,1
Perdesaan 9,2 43,7 4,2 38,1 9,2 0,7 2,0 1,7 0,4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 10,3 40,1 3,8 40,8 10,4 1,3 2,1 1,6
Menengah bawah 10,0 42,7 4,1 40,2 8,7 0,2 1,0 2,3 0,8
Menengah 8,1 45,5 5,7 34,8 9,1 1,1 2,6 1,2
Menengah atas 8,6 52,3 8,3 30,3 6,2 0,4 1,1 1,0 0,5
Teratas 6,9 35,5 6,8 42,2 9,3 1,6 0,9 2,1 1,6
: proporsinya kecil sehingga disarankan tidak dibuat laporan provinsi

Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-
24 tahun (13,7 %), laki-laki (10,3 %), pendidikan tamat SMP/MTS (10,9 %), yang tidak bekerja
(10,7 %), bertempat tinggal di perdesaan (9,2 %) dan pada Indeks kuintil terbawah (10,3 %).
Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena kecelakaan motor
(73,7 %) pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (45,6 %), tamat SMP/MTS (65,9 %),
pegawai (39,9 %), tinggal di perdesaan (43,7 %) dan Kuintil menengah atas (52,3 %). Selain itu
penyebab cedera karena jatuh menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu
100 % pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (40,6 %), tidak sekolah (63,6 %), bekerja
sebagai petani/nelayan/buruh (39,5 %), tinggal di perdesaan (38,1 %) dan Kuintil teratas (42,2

75
%). Sedangkan penyebab cedera terkena benda tajam/tumpul proporsi tertinggi didapatkan pada
umur 25-34 tahun (14,3 %), laki-laki (9,2 %), tamat SD/MI (10,6 %), petani/nelayan/buruh dan
yang lainnya (13,6 %) dan bertempat tinggal di perdesaan (9,2 %) dan kuintil terbawah (10,4 %).
Prevalensi cedera dikumpulkan pada Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013 dengan pertanyaan
yang sama, Gambaran kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya digambarkan pada
Gambar 3.6.1.

Transportasi

Gambar 3.6.1
Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebab cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan 2013
Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan sedikit kenaikan dari 6,8 % (RKD 2007) menjadi
8,6 % (RKD 2013), Penyebab cedera yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007
dengan 2013 hanya untuk transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat lainnya), jatuh
dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat transportasi darat
tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 29,9 % menjadi 49,1 %, Sedangkan untuk
penyebab cedera yang menunjukkan penurunan proporsi terlihat pada jatuh yaitu dari 55,5 %
menjadi 37,7 %.

3.6.2 Jenis Cedera


Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat
menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari, Seseorang yang cedera bisa mengalami
minimal 1 jenis (multiple injuries), Gambaran proporsi jenisi cedera yang diallami penduduk
menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.3

76
Tabel 3.6.3
Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis Cedera
Lecet/ Luka Patah Terkilir Anggota Cedera Gegar Lainnya
Kabupaten/kota Memar robek Tulang Tubuh Mata otak
terputus
Jembrana 67,1 30,8 5,5 26,4 1,2
Tabanan 45,5 25,2 6,5 33,0 0,4 1,8
Badung 69,7 25,1 4,5 18,5 0,1 0,2 0,5 1,3
Gianyar 74,1 18,9 6,0 9,1 6,2
Klungkung 59,4 23,2 3,0 30,5 0,5 0,4 0,8
Bangli 68,8 18,6 3,9 20,0 0,4 3,7
Karang Asem 67,4 26,0 7,6 22,7 0,6 0,4 1,3 1,4
Buleleng 71,7 27,2 6,1 19,3 0,3 1,5 1,6
Kota Denpasar 78,1 24,5 5,4 19,6 3,5
Provisi Bali 68,2 24,9 5,4 21,6 0,1 0,2 0,6 2,1
Proporsi jenis cedera di Provinsi Bali di dominasi oleh luka lecet/memar sebesar 68,2 %,
terbanyak terdapat di Kota Denpasar 78,1 % dan yang terendah di Tabanan yaitu 45,5 %, Jenis
cedera terbanyak ke dua adalah luka robek 24,9 %. Ditemukan Luka robek terbanyak di
Jembrana sebesar 30,8 %. Luka terkilir menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis
luka ini tertinggi ditemukan di Tabanan sekitar 33,0 % jauh di atas Provinsi Bali yaitu 21,6 % dan
terendah di Gianyar 9,1 %, Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 5,4 %, anggota
tubuh terputus, cedera mata dan gegar otak masing-masing proporsinya di Propinsi Bali 0,1 %,
0,2 % dan 0,6 %.
Adapun untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden disajikan pada
Tabel 3.6.4.

77
Tabel 3.6.4
Proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis Cedera
Karakteristik Responden Lecet/ Luka Patah Terkilir Anggota Cedera Gegar Lainn
Memar robek Tulang Tubuh Mata otak ya
terputus
Kelompok umur (th)
<1 100,0 25,3
1–4 79,2 19,7 4,3 4,7 0,5 2,3
5 – 14 73,5 27,0 2,9 12,9 0,7 2,9
15 – 24 80,3 24,0 4,5 17,7 0,3 0,3 1,8
25 – 34 67,2 25,1 4,9 21,4 0,5 0,3 0,4
35 – 44 57,1 34,9 7,1 26,8 0,1 0,3 2,0
45 – 54 59,3 20,3 10,1 34,9 1,3 2,9
55 – 64 55,0 24,9 3,5 35,4 2,1 1,5
65 – 74 35,2 13,7 12,7 43,9 1,4 3,6
75+ 51,1 9,9 16,5 34,5 3,7 7,8
Jenis Kelamin
Laki-laki 67,1 26,4 6,6 21,1 0,2 0,2 0,7 2,9
Perempuan 69,8 22,6 3,6 22,4 0,1 0,4 0,9
Pendidikan
Tidak sekolah 61,6 24,8 6,1 28,5 0,7 1,1 3,5
Tidak tamat SD/MI 65,5 28,4 4,3 21,0 0,2 0,6 2,9
Tamat SD/MI 62,4 25,2 6,1 23,5 0,2 0,9 1,4
Tamat SMP/MTS 71,9 25,0 6,0 22,6 0,4 0,2 0,4 0,9
Tamat SMA/MA 73,7 26,1 6,1 20,0 0,0 0,3 0,6 1,5
Tamat Diploma/PT 59,6 14,1 3,8 34,2 7,8
Status pekerjaan
Tidak bekerja 71,2 23,3 6,3 21,7 0,3 0,7 1,8
Pegawai 73,0 25,5 6,7 20,6 0,4 0,5 2,7
Wiraswasta 59,3 29,4 6,1 28,9 0,8 1,4
Petani/nelayan/ buruh 57,5 25,9 5,0 28,3 0,0 0,5 1,1
Lainnya 59,3 24,4 5,1 26,1 1,7 1,9 3,8
Tempat tinggal
Perkotaan 71,8 26,2 4,9 18,6 0,3 0,4 2,5
Perdesaan 63,2 23,1 6,3 25,7 0,3 0,9 1,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 65,2 24,3 6,0 21,2 0,2 1,3 2,0
Menengah bawah 66,7 25,5 3,4 25,5 0,5 1,4
Menengah 69,2 29,4 5,8 22,0 0,7 0,6 0,5 2,8
Menengah atas 72,2 19,6 5,3 21,3 0,6 1,0
Teratas 67,5 26,2 6,9 18,0 0,1 3,4
*Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injuries)

Tabel 3.6.4 memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden,
Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar, luka
robek dan terkilir,
Berdasarkan kelompok umur, cidera lecet/memar dengan proporsi tertinggi terdapat pada usia <
1 tahun (100 %), jenis kelamin wanita (69,8 %), tingkat pendidikan tamat SMA/MA (73,7 %),
pekerjaan pegawai (73,0 %), tempat tinggal di perkotaan (71,8 %), indeks kepemilikan (72,2 %).

Untuk luka robek, proporsi tertinggi pada usia 35-44 tahun (34,9 %), jenis kelamin laki-laki (26,4
%) tidak tamat SD?MI (28,4 %), pekerjaan wiraswasta (29,4 %), tempat tinggal di perkotaan

78
(26,2 %), dan indeks kepemilikan menengah (29,4 %). Sedangkan luka terkilir menempati posisi
ketiga tertinggi untuk cidera. Proporsi tertinggi pada usia 65-74 (43,9 %), jenis kelamin wanita
(22,4 %), tamat diploma/PT (34,2 %), pekerjaan wiraswasta (28,9 %), tempat tinggal di
pedesaan (25,7 %) dan indeks kepemilikan menengah kebawah (25,5 %).

3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera


Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang
mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara),
Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai
keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi
tersebut, Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan
outdoor), Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya, Gambaran tentang
tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.6.5

Tabel 3.6.5
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Tempat terjadinya cedera
Kabupaten/kota Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Jembrana 35,3 3,5 2,6 49,5 1,4 7,6
Tabanan 29,9 4,1 2,3 45,9 1,6 3,0 13,1
Badung 40,5 3,3 7,0 40,8 3,7 2,0 1,4 1,3
Gianyar 37,9 1,1 52,5 8,5
Klungkung 29,5 2,4 2,3 39,7 3,0 0,3 22,3 0,5
Bangli 25,9 7,0 5,7 48,7 2,5 1,3 8,6 0,2
Karang Asem 24,3 2,8 1,6 54,2 3,0 1,1 12,6 0,5
Buleleng 37,1 4,9 1,6 39,8 3,2 0,8 12,3 0,3
Kota Denpasar 36,8 4,7 5,9 46,5 4,4 0,6 1,2
Provinsi Bali 34,3 4,0 3,9 44,9 3,1 1,2 8,1 0,6

Persentase tempat terjadinya cedera di Bali, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan
raya yaitu 44,9 % selanjutnya di rumah (34,3 %), area pertanian (8,1 %) dan sekolah (4,0 %).
Kabupaten/kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi
adalah Badung (40,5 %) dan terendah di Karangasem (24,3 %). Adapun untuk proporsi tempat
cedera di sekolah tertinggi di Bangli (7,0 %) dan terendah di Gianyar (0 %), Tempat kejadian
cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang
lain,Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang
melebihi angka provinsi sebanyak 6 kabupaten/kota, Adapun proporsi kejadian cedera di jalan
raya terbanyak di Karangasem (54,2 %) dan terendah di Klungkung (39,7 %). Adapun untuk
tempat kejadian cedera di tempat pertanian, umum industri dan lainnya proporsinya tampak lebih
kecil dibandingkan tempat lain.
Adapun untuk gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden
disajikan pada Tabel 3.6.6

79
Tabel 3.6.6
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Tempat terjadinya cedera
Karakteristik Rumah Sekolah Olah Jalan Tempat Industri Pertanian Lainn
Responden raga raya umum ya
Kelompok umur (th)
<1 97,7 0 0,4 1,6 0,1 0 0,2 0
1–4 87,0 2,4 1,0 8,0 0,5 0 0,5 0,5
5 – 14 52,9 14,4 4,9 24,2 1,0 0,1 2,1 0,4
15 – 24 15,9 4,6 5,9 66,7 2,2 1,5 2,7 0,6
25 – 34 21,0 1,5 3,3 58,0 3,7 3,8 7,9 0,9
35 – 44 24,9 1,7 1,9 50,5 3,4 3,8 12,3 1,6
45 – 54 29,2 1,6 0,8 44,3 3,4 3,0 16,1 1,5
55 – 64 39,1 1,3 1,0 34,0 2,6 2,0 18,7 1,3
65 – 74 52,2 1,1 1,2 20,5 2,3 0,9 21,0 0,9
75+ 74,5 0,9 2,0 10,5 1,7 0,1 9,4 1,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 29,9 5,0 5,0 46,6 2,5 2,6 7,5 1,0
Perempuan 47,1 6,2 1,2 36,7 1,9 0,4 6,0 0,5
Pendidikan
Tidak sekolah 55,5 5,8 2,4 19,8 1,4 0,7 13,5 0,9
Tidak tamat SD/MI 47,5 11,0 3,4 26,9 1,5 0,9 7,9 0,9
Tamat SD/MI 29,1 5,6 3,0 45,0 2,3 2,2 11,7 1,2
Tamat SMP/MTS 20,3 4,2 4,4 60,3 2,5 2,7 5,0 0,6
Tamat SMA/MA 18,6 2,2 4,9 64,2 3,6 2,8 2,9 0,6
Tamat Diploma/PT 19,5 2,3 5,7 64,7 4,4 0,9 1,8 0,7
Status pekerjaan
Tidak bekerja 34,4 8,2 5,2 45,6 1,6 0,4 4,0 0,5
Pegawai 14,9 1,6 4,8 66,3 4,9 4,6 2,1 0,8
Wiraswasta 21,5 1,7 2,3 61,9 3,8 3,0 5,1 0,9
Petani/nelayan/
22,1 1,4 1,4 44,9 2,9 4,1 21,4 1,7
buruh
Lainnya 24,0 2,5 4,1 57,7 4,1 2,2 4,4 1,0
Tempat tinggal
Perkotaan 36,8 5,5 4,2 45,5 2,9 2,1 2,3 0,7
Perdesaan 36,2 5,4 2,7 39,7 1,5 1,4 12,0 0,9
Kuintil Indeks
Kepemilikan
Terbawah 39,4 5,3 2,2 31,2 1,5 1,3 17,5 1,5
Menengah bawah 37,5 5,0 2,6 40,1 1,9 1,5 10,5 0,9
Menengah 36,8 5,0 3,4 43,7 2,3 2,2 5,8 0,8
Menengah atas 35,1 5,7 3,9 47,1 2,7 2,2 2,6 0,7
Teratas 34,7 6,2 5,1 47,8 2,6 1,2 1,8 0,4

Tabel 3.6.6 menggambarkan proporsi tempat kejadian cedera berdasarkan karakterikstik


responden. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi tinggi terjadi
pada kelompok umur Balita dan lansia (Lanjut usia), Adapun tempat kejadian cedera di sekolah
kebanyakan terjadi pada kelompok umur anak (5 – 14 tahun) demikian juga dengan tempat
kejadian cedera di area olahraga, Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang

80
banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7 %.
Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola yang sama yaitu kebanyakan
terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-
74 tahun (21,0 %).
Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah, Adapun berdasarkan pendidikan yang
menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah
terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat
kejadian cedera di area olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada
sekolah dan area olahraga, Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan industri memperlihatkan
proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi
pada status pekerjaan sebagai buruh/petani (21,4 %).
Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang menunjukkan lebih
tinggi pada perkotaan dibanding perdesaan kecuali pada area pertanian.
Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin
tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di rumah dan area pertanian
menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di
kedua tempat tersebut semakin rendah.

3.7 Kesehatan Gigi dan Mulut

Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik
dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004,
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan sekarang Riskesdas 2013.
Riskesdas 2007 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator
status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Namun
terdapat beberapa kesalahan dalam angka status kesehatan gigi dan mulut, oleh karena itu
dilakukan perbaikan laporan Riskesdas 2007 dalam Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut
tahun 2012, yang telah disusun oleh Kristanti dkk (2012). Hasil Riskesdas 2013 dapat
diperbandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi dari berbagai
program yang berkaitan dengan perbaikan derajat kesehatan penduduk Indonesia.
Dalam Riskesdas 2013 ini dikumpulkan berbagai indikator kesehatan gigi-mulut masyarakat,
baik melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel
keseluruhan adalah Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur yang meliputi data
subjek yang bermasalah gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga
medis, jenis tindakan yang diterima dari tenaga medis gigi dan mulut, perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi melalui kapan responden menyikat gigi, perilaku benar menyikat gigi yang
ditanyakan pada responden usia 10 tahun keatas. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan gigi dan
mulut serta melihat kondisi gigi dan kesehatan mulut dan diidentifikasi terdapatnya gigi berjejal,
gigi goyang, ada/tidaknya karang gigi dan atau kelainan gusi, sariawan, serta diskolorisasi stain
rokok (hasil dilaporkan dalam Riskesdas 2013 dalam Angka).

3.7.1 Effective Medical Demand


Penduduk yang bermasalah gigi dan mulut seharusnya menerima pengobatan atau perawatan
yang tepat dari tenaga medis, Agar diketahui keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan
pelayanan dari tenaga medis gigi, maka perlu dihitung Effective Medical Demand (EMD).

81
Tabel 3.7.1
Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective
medical demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Bermasalah Menerima perawatan Effective medical demand
Kabupaten/kota Gigi dan mulut dari tenaga medis gigi (%)
(%) ( %)
Jembrana 28,8 35,8 10,3
Tabanan 25,7 46,1 11,9
Badung 31,6 33,9 10,7
Gianyar 8,5 58,2 4,9
Klungkung 36,4 39,7 14,5
Bangli 41,6 37,2 15,5
Karang Asem 32,2 32,5 10,5
Buleleng 22,2 35,4 7,9
Kota Denpasar 15,6 46,0 7,2
Bali 24,0 38,8 9,3

Tabel 3.7.1 menggambarkan prevalensi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang
menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota,
penduduk yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis dan penghitungan
Effective Medical Demand.
Dalam buku Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut yang disusun oleh Kristanti dkk, 2012,
Effective Medical Demand yang dihitung berdasarkan informasi tentang penduduk yang
mempunyai masalah gigi dan mulut serta penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan
dari perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis (tenaga medis) dengan menggunakan
rumus berikut:

Effective Medical Demand=persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi


dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima
perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis,

Riskesdas 2013 ini menunjukkan sebesar 24,0 persen penduduk Bali menyatakan mempunyai
masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand), Kabupaten Bangli (41,6%),
Klungkung (36,4%) dan Karangasem (32,2%) adalah tiga daerah yang persentase penduduknya
terbanyak mengaku bermasalah dengan gigi dan mulut. Adapun persentase terendah adalah
kabupaten Gianyar (8,5%) dan kota Denpasar (15,6%), Diantara yang bermasalah gigi dan
mulut, terdapat 38,8 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis
(perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis).
Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga
medis gigi/EMD sebesar 9,3 persen, Provinsi dengan EMD tertinggi adalah kabupaten Bangli
(15,5%) dan angka EMD terendah di kabupaten Gianyar (4,9%).
Tabel 3.7.2 menunjukkan persentase penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan
terakhir menurut karakteristik, Menurut kelompok umur, yang menyatakan dirinya bermasalah
gigi dan mulut/potential demand meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi. Pada usia
kelompok usia 45-54 tahun dan usia 55-64 tahun merupakan kelompok penduduk yang
menyatakan bermasalah gigi dan mulut dengan persentase tertinggi, masing-masing 30,3 dan
30,8 persen.
Tentang EMD, persentase bervariasi antar kelompok umur, Persentase EMD tertinggi dijumpai
pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 12,9 persen dan pada kelompok umur 45-54
tahun sebesar 12,1 persen. Menurut jenis kelamin, EMD pada perempuan (10,2%) lebih tinggi
dibanding pada laki-laki (8,5%).

82
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, EMD kelompok dengan pendidikan tamat SMA dan
Perguruan Tinggi lebih rendah dibandingkan mereka yang berpendidikan dibawahnya, Demikian
juga menurut status ekonominya, EMD kelompok ekonomi menengah keatas lebih rendah
diibandingkan kelompok menengah bawah dan terbawah. Menurut lokasi tempat tinggal, EMD
masyarakat perdesaan (10,6%) lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan (8,5%), Kalau
dilihat berdasarkan pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terendah (8,6%) dibandingkan
kelompok pekerja lainnya.

Tabel 3.7.2
Prevalensi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Bermasalah Menerima perawatan dari tenaga Effective medical demand
gigi dan mulut (%) medis gigi (%)
(%)
Kelompok Umur
<1 1,5 10,7 0,2
1–4 10,9 19,8 2,2
5–9 27,7 46,7 12,9
10 – 14 22,4 31,3 7,0
15 – 24 21,3 33,1 7,1
25 – 34 23,7 41,9 9,9
35 – 44 26,9 43,8 11,8
45 – 54 30,3 40,0 12,1
55 – 64 30,8 38,3 11,8
65 + 20,6 30,6 6,3
Kelompok Umur (WHO)
12 22,1 27,7 6,1
15 17,7 21,0 3,7
18 22,0 31,6 6,9
35-44 26,9 43,8 11,8
45-54 30,3 40,0 12,1
55-64 30,8 38,3 11,8
≥ 65 20,6 30,6 6,3
Jenis Kelamin
Laki – laki 23,0 37,0 8,5
Perempuan 25,1 40,5 10,2
Pendidikan
Tidak Skolah 29,5 35,4 10,4
Tidak Tamat SD 30,6 38,1 11,7
Tamat SD 26,9 37,7 10,1
Tamat SLTP 24,4 41,8 10,2
Tamat SLTA 21,3 41,9 8,9
Tamat PT 18,6 46,5 8,7
Pekerjaan
Tidak Bekerja 22,5 36,3 8,8
Pegawai 20,9 41,0 8,6
Wiraswasta 25,7 44,0 11,3
Petani/Nelayan/Buruh 31,0 36,6 11,4
Lainnya 30,5 41,3 12,6
Tempat Tinggal
Perkotaan 21,4 39,8 8,5
Pedesaan 28,0 37,7 10,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 32,7 31,5 10,3
Menengah Bawah 27,6 40,2 11,1
Menengah 23,2 37,1 8,6
Menengah Atas 21,7 37,1 8,1
Teratas 18,3 49,2 9,0

83
38,8 EMD
61,2 %
(9,3%)
24% %

Mendapat Perawatan
Tidak Me dapat…
76%

Gigi Bermasalah Tidak bermasalah

EMD = Effective Medical Demand; menggambarkan kemampuan atau keterjangkauan untuk mendapat
pelayanan dari tenaga medis
Gambar 3.7.1
Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan,
dan EMD*), Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Dalam gambar 3.7.1 terlihat bahwa 76 persen penduduk tidak bermasalah terhadap gigi dan
mulut, namun 24 persen penduduk mengaku mengalami masalah terhadap kesehatan gigi dan
mulut. Dari 24 persen yang bermasalah tersebut 61,2 persen diantaranya tidak melakukan
perawatan dan 38,8 persen mengaku melakukan perawatan, Dari 38,8 persen penduduk yang
menjalani perawatan gigi, EMD-nya 9,3 persen.

45 42,4
38,8
40

35

30
24
25 22,5
2007
20
2013
15
9,5 9,3
10

0
Gigi Bermasalah Mendapat Perawatan EMD

Gambar 3.7.2
Kecenderungan penduduk bermasalah gigi dan mulut, menerima perawatan dari tenaga medis
dan EMD menurut Riskesdas 2007 dan 2013

84
Gambar 3.7.2 menunjukkan prevalensi penduduk bermasalah gigi dan mulut menurut Riskesdas
2013 lebih tinggi dari data Riskesdas 2007, namun kondisi tersebut tidak disertai dengan
peningkatan proporsi penduduk yang menerima perawatan. Penduduk yang menerima
perawatan dari tenaga medis mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2007, Mengenai
EMD atau keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi,
tampak sedikit menurun.
Tabel 3.7.3
Persentase penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Dokter gigi Dokter Gigi Perawat Gigi Paramedik Tukang gigi Lainnya
Kabupaten/kota
Spesialis lainnya
Jembrana 5,4 58,1 12,2 24,8 4,6
Tabanan 4,1 75,0 10,9 10,3 1,1 0,5
Badung 9,8 69,2 4,4 13,8 4,6
Gianyar 16,6 75,1 8,9 3,3
Klungkung 1,2 52,5 15,0 16,3 1,1 29,7
Bangli 1,3 30,7 18,6 52,8 0,3 1,8
Karang Asem 3,3 34,1 21,2 13,3 0,7 37,4
Buleleng 5,1 39,9 25,1 25,6 0,7 12,1
Kota Denpasar 7,6 81,2 4,7 7,2 0,5 4,4
Bali 6,1 59,1 12,8 17,6 0,5 9,8

Tabel 3.7.3 menggambarkan persentase penduduk dalam berobat gigi sesuai jenis tenaga
kesehatan menurut kabupaten/kota, Pada tabel 3,7,3 terlihat bahwa diantara tenaga kesehatan,
dokter gigi merupakan tenaga yang menjadi pilihan utama penduduk dalam berobat gigi. Pada
umumnya responden datang ke dokter gigi, banyak berada di daerah Denpasar sebagai ibu kota
Bali dan kabupaten disekitarnya. Persentase tertinggi pemanfaatan dokter gigi adalah penduduk
Denpasar sebanyak 76,3 persen, diikuti oleh Gianyar (75,1%), Tabanan (75,0%) dan Badung
sebesar 69,2 persen. Perawatan dokter gigi terendah berada di Bangli sebesar 30,7 persen,
Penduduk yang berobat gigi ke dokter spesialis terbanyak berada di kabupaten Gianyar sebesar
16,6 persen, Badung (9,8%) dan Denpasar sebanyak 7,6 persen. Pemanfaatan tenaga perawat
gigi yang terbanyak berada di Buleleng sebesar 25,1 persen dan Karangasem sebanyak 21,2
persen, Persentase penduduk merawat gigi sesuai tenaga kesehatan yang dikunjungi dan
menurut karakteristik dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 dalam Angka.

3.7.2 Perilaku Menyikat Gigi Penduduk Umur ≥ 10 Tahun


Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar
untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam
Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui apakah responden mempunyai kebiasaan menyikat
gigi setiap hari dan kapan saja waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat
gigi dalam Riskesdas 2013, adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari, sesudah makan pagi
dan sebelum tidur malam, Perilaku menyikat gigi dengan benar berkaitan dengan karakteristik
penduduk jenis kelamin, kuintil indeks kepemilikan, dan tempat tinggal.
Tabel 3.7.4 menunjukkan sebagian besar (91,8%) penduduk Bali berumur 10 tahun keatas
mempunyai kebiasaan menyikat gigi setiap hari. Kabupaten/kota dengan persentase menyikat
gigi setiap hari tertinggi adalah Denpasar (97,5%) dan Badung (94,2%), sedangkan yang
terendah adalah Karangasem (84,4%) dan Klungkung (84,8%).
Sebagian besar penduduk Bali (86,8%) mempunyai kebiasaan menyikat gigi pada saat mandi
pagi. Persentase tertinggi adalah Jembrana dan Denpasar sebesar 95,6% dan 95,5%, Sebagian
besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar 69,5% dengan
persentase tertinggi di Jembrana sebesar 90,8%, dan yang terendah di Klungkung sebesar
42,9%. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore,
Walau masyarakat Bali sudah punya kebiasaan menyikat gigi setiap hari, tetapi tidak banyak
yang melakukan dengan baik dan benar. Hanya ada 4,1% penduduk Bali yang melakukan sikat
gigi dengan benar, Perilaku penduduk menyikat gigi menurut karakteristik dapat dilihat dalam
laporan Riskesdas 2013 dalam Angka.

85
Tabel 3.7.4
Persentase penduduk umur ≥10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Waktu Menyikat Gigi
Menyikat
Sikat Gigi Sesudah Sesudah Sebelum Sesudah
Kabupaten/kota Mandi Mandi Mandi Pagi gigi dengan
Setiap Hari Makan Bangun Tidur makan
Pagi Sore dan sore benar
Pagi Pagi Malam siang
Jembrana 92,7 95,6 90,8 3,0 4,6 22,0 5,1 88,7 1,5
Tabanan 88,4 83,9 47,1 10,6 0,8 39,3 4,6 42,9 8,0
Badung 94,2 91,6 70,1 5,0 4,0 43,3 5,0 66,9 3,6
Gianyar 90,4 91,2 78,3 8,2 1,5 29,2 1,0 75,9 6,7
Klungkung 84,8 63,4 42,9 6,7 25,2 46,1 6,8 30,0 4,5
Bangli 86,5 52,2 55,0 5,7 35,0 32,0 6,2 27,3 3,2
Karang Asem 84,4 74,1 70,7 6,7 12,8 22,8 5,3 57,0 4,2
Buleleng 93,6 89,2 75,8 3,0 7,6 19,5 1,8 72,0 2,1
Kota Denpasar 97,5 95,5 71,6 4,8 2,7 43,4 4,3 70,1 3,7
Bali 91,8 86,8 69,5 5,7 6,9 33,7 4,0 64,0 4,1

86
Tabel 3.7.5
Persentase penduduk sepuluh tahun ke atas yang menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik responden,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Waktu Menyikat Gigi
Karakteristik Responden Sikat Gigi Setiap Hari Mandi Mandi Sore Sesudah Makan Sesudah Bangun Pagi Sebelum Tidur Sesudah makan Mandi Pagi Menyikat gigi
Pagi Pagi Malam siang dan sore benar
Kelompok Umur ( thn )
10 – 14 95,6 88,8 71,2 5,3 7,5 33,9 4,8 67,7 4,3
15 – 24 99,8 90,9 69,9 2,9 7,8 40,2 3,7 65,6 2,5
25 – 34 100,0 86,4 64,2 8,3 7,4 51,7 4,9 59,7 8,3
35 – 44 97,6 86,3 70,0 6,6 7,2 34,1 4,5 64,8 4,4
45 – 54 93,3 85,0 69,8 4,8 6,7 29,1 3,6 63,2 3,2
55 – 64 79,8 79,8 63,1 5,5 7,9 25,0 3,2 54,1 3,4
65 + 44,6 79,9 59,5 4,0 5,9 19,3 1,3 49,6 2,3
Kelompok Umur 12 Th (WHO)
12 97,2 89,7 71,0 5,4 6,0 30,5 4,2 67,8 4,1
15 99,2 90,0 69,2 6,1 7,2 42,1 4,5 65,7 4,9
18 98,8 87,6 72,1 5,6 6,8 36,3 3,8 66,4 4,5
35-44 97,6 86,3 70,0 6,6 7,2 34,1 4,5 64,8 4,4
45-64 93,3 85,0 69,8 4,8 6,7 29,1 3,6 63,2 3,2
55-64 79,8 79,8 63,1 5,5 7,9 25,0 3,2 54,1 3,4
≥65 44,6 79,9 59,5 4,0 5,9 19,3 1,3 49,6 2,3
Jenis Kelamin
Laki – laki 91,8 87,6 68,5 5,6 5,2 32,5 3,8 63,7 3,8
Perempuan 91,9 85,9 70,4 5,8 8,7 35,0 4,1 64,3 4,5
Pendidikan
Tidak Sekolah 59,0 74,9 65,6 5,0 11,2 16,9 2,2 52,3 3,0
Tidak Tamat SD 84,7 83,0 68,8 4,9 9,2 25,3 4,0 60,8 2,8
Tamat SD 90,1 84,7 71,7 4,3 7,5 23,1 3,3 64,1 2,7
Tamat SLTP 97,8 86,7 70,2 6,4 7,5 34,2 4,2 65,2 4,8
Tamat SLTA 99,0 91,2 68,9 6,0 4,8 42,5 4,3 66,5 4,8
Tamat PT 99,3 89,1 66,2 9,0 5,8 54,3 4,8 63,4 7,4
Pekerjaan
Tidak Kerja 89,8 89,2 69,7 5,3 6,6 35,7 4,0 34,3 4,1
Pegawai 98,8 91,9 68,5 7,3 4,4 45,4 4,4 33,6 5,6
Wiraswasta 97,1 87,4 69,6 5,5 7,0 36,2 4,1 34,8 4,2
Petani/Nelayan/Buruh 85,8 79,0 70,0 5,2 8,6 19,4 3,4 40,8 3,0
Lainnya 93,7 81,0 68,9 4,9 13,2 27,6 4,7 39,2 3,3
Tempat Tinggal
Perkotaan 94,4 90,7 70,3 5,7 5,1 38,4 3,9 67,5 4,3
Pedesaan 87,8 80,3 68,0 5,8 9,9 25,9 4,1 58,3 3,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 82,0 75,1 70,2 6,2 12,5 19,6 4,1 43,3 3,7
Menengah Bawah 89,2 82,3 68,9 4,8 9,2 24,6 3,3 38,9 3,2
Menengah 93,4 89,7 71,2 4,2 6,2 29,6 3,8 33,2 2,8
Menengah Atas 95,1 89,4 68,5 6,2 5,6 38,0 4,3 34,8 4,6
Teratas 96,1 91,9 69,0 6,9 3,9 47,5 4,2 33,0 5,7

87
Tabel 3.7.5,diatas menggambarkan kebiasaan menyikat gigi menurut karakteristik responden
umur 10 tahun ke atas, Tabel diatas juga mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk bali
berperilaku salah dalam menyikat gigi. Perilaku menyikat gigi setiap hari menurut karakteristik
umur responden, dari kelompok umur makin meningkat sampai mencapai 100% pada usia 25-34
dan kemudian menurun sesuai sesuai meningkatnya kelompok usia.
Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda perilaku menyikat gigi antara laki-laki dan perempuan,
walaupun persentase perempuan dalam menyikat gigi dengan benar lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikan, nampak ada kecenderungan makin tinggi pendidikan,
makin tinggi persentase perilaku menyikat gigi setiap hari dan makin tinggi pula persentase
benar dalam menyikat gigi.
Berdasar pekerjaan, kelompok pegawai lebih tinggi persentase perilaku menyikat gigi setiap hari
dan lebih tinggi pula persentase benar dalam menyikat gigi dibandingkan kelompom pekerjaan
lainnya, Pola yang sama tampak pada penduduk yang tinggal di perkotaan dibandingkan
penduduk perdesaan, Sedang untuk berdasarkan pada kuintil indeks kepemilikan dari bawah
hingga teratas mengalami peningkatan, Pada kuintil Indeks kepemilikan ditemukan semakin
tinggi tingkat ekonominya, semakin baik menyikat gigi dengan benar

3.7.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T


Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari indeks D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan
banyaknya kerusakan yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decay/D (merupakan jumlah
gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal). Missing/M (jumlah gigi
permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah gigi permanen
yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal, Indeks DMF-T menggambarkan tingkat
keparahan kerusakan gigi permanen.

4,5 4,1
4
3,5
3,5
2,9 2,9
3
2,5
2007
2
2013
1,5 1,1
1 0,6
0,5 0,1 0,12 0 0,02
0
D–T M–T F–T DF-T DMF – T

Gambar 3.7.3
Komponen D, M, F dan Index DMF –T, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

Indeks DMF-T Bali sebesar 4,1 dengan nilai masing-masing: D-T=1,1; M-T=2,9; F-T=0,12; yang
berarti rata-rata kerusakan gigi penduduk Indonesia per 100 orang adalah 410 buah gigi, terdiri
dari 110 gigi rusak karena karies gigi, kemudian 290 gigi karena dicabut dan hanya 12 gigi yang
dilakukan penumpatan.

88
Tabel 3.7.6
Komponen D, M, F dan index DMF-T menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
D–T M–T F–T DF-T DMF – T
Karakteristik responden
(X) (X) (X) (X) (X)
Kelompok Umur (WHO)
12 1,02 0,34 0,04 0,02 0,55
15 1,07 0,34 0,05 0,01 0,98
18 1,14 0,45 0,07 0,03 1,43
35 – 44 2,00 3,35 0,11 0,03 4,56
45 – 54 2,13 5,65 0,14 0,04 5,34
55 – 64 2,15 10,13 0,09 0,03 10,65
65 + 1,84 17,05 0,06 0,02 16,53
Kelompok Umur ( Th)
12-14 1,02 0,3 0,02 0,01 0,68
15-24 1,22 0,5 0,05 0,02 1,29
25-34 1,78 1,9 0,08 0,03 3,18
35-44 2,00 3,4 0,09 0,03 4,56
54-64 2,13 5,7 0,10 0,04 5,34
≥ 65 2,15 10,1 0,06 0,03 10,65
Jenis Kelamin
Laki – laki 1,58 2,49 0,07 0,02 3,63
Perempuan 1,59 3,30 0,10 0,03 4,61
Pendidikan
Tidak Sekolah 2,08 8,51 0,02 0,02 10,6
Tidak tamat SD 1,69 4,19 0,03 0,01 5,9
Tamat SD 1,62 3,00 0,03 0,02 4,7
Tamat SLTP 1,43 1,70 0,05 0,02 3,17
Tamat SLTA 1,45 2,18 0,11 0,03 3,75
Tamat PT 1,34 2,36 0,33 0,05 4,03
Pekerjaan
Tidak bekerja 1,32 2,31 0,05 0,02 3,39
Pegawai 1,56 2,23 0,18 0,04 2,86
Wiraswasta 1,77 3,61 0,10 0,03 4,99
Petani Nelayan/
2,06 4,30 0,03 0,02
Buruh 6,12
Lainnya 1,76 3,64 0,05 0,02 4,75
Tempat Tinggal
Perkotaan 1,4 2,8 0,1 0,03 3,33
Pedesaan 1,7 3,1 0,03 0,02 5,41
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 1,8 3,2 0,02 0,02 5,16
Menengah Terbawah 1,6 3,2 0,03 0,01 5,41
Menengah 1,6 3,1 0,03 0,02 4,10
Menengah Atas 1,5 2,7 0,07 0,02 3,78
Teratas 1,3 2,4 0,15 0,04 3,00
Bali 1,1 2,9 0,12 0,02 4,1

Tabel 3.7.6 menunjukkan indeks DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu
sebesar 0,55 pada kelompok umur 12 tahun dan 0,98 pada umur 15 tahun,, kemudian 1,43 pada
umur 18 tahun, 4,56 pada umur 34-44 tahun, 5,34 pada umur 45-54 tahun, 10,65 pada umur
55-64 tahun dan 16,53 pada umur 65 tahun keatas, yang berarti kerusakan rata-rata 16 gigi per
orang, Namun berdasarkan indeks kepemilikan, kondisinya berbanding terbalik dengan
kelompok umur, Semakin tinggi status ekonomi responden, semakin rendah nilai DMF-T, Hal ini

89
terlihat pada kuintil indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya 5,16 sedang pada status
ekonomi teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 3,0,
Menurut jenis kelamin, kelompok perempuan (4,61) indeks DMF-Tnya lebih tinggi daripada laki-
laki (3,63), Demikian juga menurut tempat tinggal, penduduk yang tinggal di perdesaan lebih
tinggi indeks DMF-Tnya dibandingkan penduduk perkotaan, Berdasarkan jenis pekerjaan, indeks
terendah adalah pada kelompok pegawai dan yang tertinggi pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh, Kalau dilihat dari tingkat pendidikan, mereka yang berpendidikan SD
kebawah indeks DMF-Tnya lebih tinggi dibandingkan mereka yang berpendidikan diatasnya,
Informasi lebih lengkap tentang kesehatan gigi dan mulut ini dapat dilihat pada buku Tabel
Riskesdas 2013,

3.8 Status disabilitas

Bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya pengalaman hidup penduduk karena kondisi


kesehatan, penyakit atau cedera yang dialami. Apakah seseorang dapat bekerja dan
melaksanakan kegiatan / aktivitas rutin yang diperlukan untuk memenuhi perannya di rumah,
tempat kerja , sekolah atau area sosial lain. Apa yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan
melakukan aktivitas rutin. Informasi disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas,
mengukur dampak dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja sistem kesehatan.
Informasi diperoleh menggunakan adaptasi WHODAS 2, instrumen yang dikembangkan tim
WHO sebagai operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF).
Ditanyakan 12 pernyataan pada responden berusia 15 tahun mengenai adanya kesulitan yang
dialami terkait kondisi kesehatan dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima
opsi jawaban responden, yaitu 1. tidak ada kesulitan, 2.sedikit kesulitan, 3. cukup mengalami
kesulitan, 4. kesulitan berat dan 5. tidak mampu melakukan. Selanjutnya bagi responden dengan
jawaban berkode 2,3,4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari
sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan
aktivitas rutin walaupun tidak optimal.
Tabel 3.8.1
Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Komponen disabilitas Tidak ada Ringan Sedang Berat Sangat berat
1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30
89.5 4.1 3.1 2.9 0.5
menit?
2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga
91.5 4.6 2.1 1.4 0.4
yang menjadi tanggung jawabnya
3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal
baru, seperti untuk menemukan
91.3 4.2 2.2 1.8 0.5
tempat/alamat baru, mempelajarai
permainan, resep baru
4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan 92.4 3.9 1.6 1.6 0.5
keagamaan, sosial)
5. Seberapa besar masalah kesehatan yang
91.5 4.6 2.4 1.1 0.3
dialami mempengaruhi keadaan emosi?
6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam
91.9 4.2 2.4 1.2 0.3
melakukan sesuatu selama 10 menit?
7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh
88.4 3.9 3.2 3.5 0.9
misalnya 1 kilometer?
8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 95.6 2.8 0.8 0.4 0.3
9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 96.0 2.7 0.7 0.3 0.3
10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan
94.8 3.3 1.1 0.5 0.3
orang yang belum dikenal sebelumnya?
11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 95.0 3.3 1.1 0.3 0.3
12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan
93.3 3.5 1.7 1.0 0.4
sehari-hari?

90
Tabel 3.8.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 11 dari 100 penduduk Bali dengan
level sedang hingga berat, diikuti oleh kesulitan berdiri selama 30 menit sebanyak 10.5%.
Kesulitan membersihkan diri dialami oleh hampir 4,4 persen penduduk Bali , dengan level
sedang hingga tidak mampu membersihkan diri / mandi tanpa dibantu.

Tabel 3.8.2
Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Rerata hari produktif
Jumlah hari produktif hilang
hilang
Kabupaten/kota Prevalensi
Total Tidak Masih Tidak Masih
mampu mampu mampu mampu

Jembrana 9.2 10.6 1.6 8.9 48,655 247,898


Tabanan 9.7 14.4 1.2 13.1 132,208 602,303
Badung 4.9 16.8 2.6 14.2 103,015 404,988
Gianyar 8.6 3.9 1.5 2.4 101,954 164,616
Klungkung 20.3 14.1 1.5 12.6 31,370 385,366
Bangli 18.8 8.3 1.0 7.3 70,536 307,466
Karang Asem 21.1 18.9 1.5 17.4 62,960 1,222,991
Buleleng 11.9 6.9 1.6 5.3 76,290 471,276
Kota Denpasar 6.9 4.7 1.2 3.5 67,634 281,694
Bali 10.6 10.1 1.5 8.6 694,622 4,088,599

Tabel 3.8.2 menunjukkan prevalensi disabilitas, rerata skor, rerata hari produktif hilang, dan
jumlah hari hilang, Prevalensi penduduk Bali dengan disabilitas sedang sampai sangat berat
sebesar 10,6%, bervariasi dari yang tertinggi di Klungkung (20,3%) dan yang terendah di Kota
Denpasar (6,9%), Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat
berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas, Rata–rata penduduk bali tidak dapat
berfungsi optimal selama 8,6 hari, Rerata hari produktif hilang tertinggi di Bali (10,1 hari) dengan
Karang asem yang tertinggi (18,9%)
Jumlah hari produktif hilang merupakan jumlah hari seseorang tidak mampu melakukan kegiatan
rutin secara optimal, diperoleh dari perkalian antara rerata hari produktif hilang dan jumlah
penduduk dengan disabilitas, Bali mengalami jumlah kehilangan hari produktif 694.622
Klungkung merupakan kabupaten dengan jumlah hari produktif hilang paling rendah karena
penduduk dengan disabilitasnya terkecil, Dapat disebabkan oleh sedikitnya populasi dan
kecilnya prevalensi penduduk dengan disabilitas di wilayah tersebut.

3.9. Kesehatan Jiwa

Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat,
gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya, Gangguan jiwa berat adalah
gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight)
yang buruk, Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau
katatonik, Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis
adalah skizofrenia,
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh
karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi
pasien dan keluarga, Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya
pelayanan kesehatan yang besar,
Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental
emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional

91
adalah istilah yang sama dengan distres psikologik, Kondisi ini adalah keadaan yang
mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan
gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan
yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula,
Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil
ditanggulangi.

3.9.1 Gangguan Jiwa Berat


Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara
(enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga, Inti
pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang
mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka
prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time
prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai
riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya, Pewawancara telah
dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri
gangguan jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara
tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala
rumah tangga atau orang yang mewakilinya.
Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus
tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk
mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang
dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat
dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan
memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata.

Tabel 3.9.1
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil


Jembrana 3,3
Tabanan 3,2
Badung 2,5
Gianyar 1,8
Klungkung 3,5
Bangli 6,5
Karang Asem 2,6
Buleleng 1,4
Kota Denpasar 1,0
Provnsi Bali 2,3

Berdasarkan tabel 3.9.1 terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Bangli (6,5 per mil),
sedangkan yang terendah di Kota Denpasar (1,0 per mil), Prevalensi gangguan jiwa berat Prop
Bali sebesar 2,3 per mil, Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil
indeks kepemilikan dipaparkan pada laporan Riskesdas 2013 dalam Angka,
Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 per mil sampai dengan
0,4 persen (Lewis et al,,2001), Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi
skizofrenia sebesar 1 persen penduduk.

3.9.2 Gangguan Mental Emosional


Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional

92
tercantum dalam kuesioner individu butir F01–F20, Gangguan mental emosional dinilai dengan
Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan, Pertanyaan-
pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur ≥15 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi, Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban “ya” dan “tidak”, Nilai batas pisah
yang ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6
atau lebih jawaban “ya”, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental
emosional, Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan (Hartono,
1995), Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya
mengungkap status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk
mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik, , Dalam Riskesdas 2013 pertanyaan dibacakan
petugas wawancara kepada seluruh responden
Responden untuk gangguan mental emosional adalah ART umur ≥15 tahun yang menjawab
langsung semua pertanyaan yang dibacakan pewawancara, Responden yang terpaksa diwakili
atau didampingi ART lain saat diwawancara dengan alasan karena yang bersangkutan
menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita
penyakit fisik berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan responden tidak mampu
menjawab pertanyaan yang diberikan, tidak dianalisis dalam laporan ini

Tabel 3.9.2
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/Kota Gangguan mental emosional (%)
Jembrana 6,5
Tabanan 3,6
Badung 3,2
Gianyar 0,5
Klungkung 9,5
Bangli 12,6
Karang Asem 7,6
Buleleng 5,0
Kota Denpasar 2,3
Provinsi Bali 4,4
*) berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20

Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional Propinsi Bali adalah 4,4
persen, Kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Bangli
(12,6%), sedangkan yang terendah di Gianyar (0,5%),

93
Gambar 3.9.1
Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gambar 3.9.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional sesuai
kelompok umur, jenis kelamin dan pendidikan ART menurut Riskesdas 2013 senada dengan
hasil Riskesdas 2007.

3.10. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau
lebih, Jumlah sampel sebesar 5,761, Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis,
penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah, sayur, makanan tertentu
(makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dipanggang/dibakar,
makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan
bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu.

3.10.1 Perilaku Higienis


Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan
perilaku mencuci tangan, Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk
melakukannya di jamban, Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan
dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (memegang uang,
binatang dan berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, dan setelah
menggunakan pestisida/insektisidan sebelum menyusui bayi,

94
Tabel 3.10.1
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam buang air besar dan
cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Berperilaku benar Berperilaku benar


Kabupaten/Kota
dalam hal BAB* dalam hal cuci tangan**

Jembrana 88,1 70,2


Tabanan 91,2 66,9
Badung 99,4 66,6
Gianyar 95,9 78,3
Klungkung 82,8 54,3
Bangli 73,2 66,8
Karangasem 73,3 53,8
Buleleng 88,6 58,4
Denpasar 100,0 73,7
Bali 91,1 66,7
*) Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban
**) Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap
kali tangan kotor (memegang uang, binatang dan berkebun), setelah buang air besar, setelah
menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi, dan sebelum
makan,

Data diatas menunjukkan bahwa 91,1% penduduk Bali berusia 10 tahun keatas perilaku benar
dalam hal buang air besar, Dari semua kabupaten/kota yang ada, Kota Denpasar sudah benar
100% dalam hal BAB, Dua daerah dengan proporsi terendah dalam hal berperilaku BAB benar
adalah Bangli (73,2%) dan Karangasem (73,3%),

Dalam hal berperilaku cuci tangan, penduduk Bali masih 66,7% yang melakukan cuci tangan
dengan benar, Badung (78,3%) dan Denpasar (73,7%) merupakan dua daerah dengan angka
tertinggi, Proporsi terendah dalam berperilaku cuci tangan benar adalah Karangasem (53,8%),
Klungkung (54,3%) dan Buleleng (58,4%),

95
Tabel 3.10.2
Proporsi penduduk 10 tahun ke atas yang berperilaku benar dalam hal buang air besar dan cuci
tangan menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Berperilaku benar dalam Berperilaku benar dalam
Karakteristik responden
hal BAB* cuci tangan**
Kelompok umur (tahun)
10-14 89,1 63,0
15-19 92,8 71,3
20-24 91,9 71,3
25-29 91,6 70,7
30-34 91,0 70,3
35-39 92,9 71,9
40-44 92,0 68,4
45-49 91,1 69,6
50-54 90,6 65,0
55-59 90,4 63,5
60-64 87,9 55,4
+65 89,3 48,4

Jenis Kelamin
Laki-laki 91,0 63,8
Perempuan 91,2 69,7

Pendidikan
Tidak sekolah 77,4 45,9
Tidak tamat SD 84,0 59,6
Tamat SD 87,1 63,2
Tamat SMP 92,5 68,6
Tamat SMA 98,2 74,0
Tamat PT 99,9 78,0

Pekerjaan
Tidak kerja 92,4 65,2
Pegawai 98,7 74,%
Wiraswasta 97,3 73,5
Petani/nelayan/buruh 79,7 58,2
Lain-lain 89,8 68,6

Tempat tinggal
Perperkotaanan 97,0 68,9
Perperdesaanan 82,0 63,3

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 46,4 54,0
Menengah bawah 99,2 62,8
Menengah 99,8 66,4
Menengah atas 99,9 70,4
Teratas 99,9 75,1
*) Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban
**) Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali
tangan kotor (memegang uang, binatang dan berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki
bayi/anak, dan setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi dan sebelum makan

Proporsi mencuci tangan yang benar pada penduduk usia 10 tahun ke atas tampak bervariasi
menurut kelompok umur dan pekerjaan, Proporsi mencuci tangan dengan benar lebih tinggi
pada penduduk yang tinggal di perkotaan, yang lebih berpendidikan dan yang lebih tinggi kuintil

96
indeks kepemilikannya, Dari segi pekerjaan, mereka yang bekerja sebagai pegawai dan
wiraswasta lebih banyak mencuci tangan dengan benar dibandingkan jenis pekerjaan lainnya.

Demikian juga dalam hal BAB, Perilaku benar dalam BAB lebih dilakukan oleh penduduk yang
bertempat tinggal di daerah perkotaan dibandingkan daerah perdesaan, Semakin tinggi
pendidikan responden dan semakin baik kuintil indeks kepemilikan, maka proporsi BAB dengan
benar juga semakin tinggi.
Tabel 3.10.3
Analisis kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dan cuci tangan
yang benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007- 2013
Berperilaku benar dalam hal BAB* 2007- Berperilaku benar dalam hal cuci tangan**
Kabupaten/Kota 2013
2007 2013 2007 2013
Jembrana 77,3 88,1 26,6 70,2
Tabanan 86,0 91,2 18,9 66,9
Badung 96,3 99,4 41,5 66,6
Gianyar 91,8 95,9 29,1 78,3
Klungkung 76,8 82,8 19,5 54,3
Bangli 66,6 73,2 36,7 66,8
Karangasem 53,7 73,3 16,1 53,8
Buleleng 77,0 88,6 25,1 58,4
Denpasar 98,5 100,0 50,6 73,7
Bali 82,6 91,1 30,6 66,7

*) Perilaku benar dalam BAB bila BAB di jamban


**) Perilaku benar dalam cuci tangan bila cuci tangan pakai sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap
kali tangan kotor (memegang uang, binatang dan berkebun), setelah buang air besar, setelah
menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisi, sebelum menyusui bayi, dan sebelum
makan,

90
80
70
60
50 th. 2007
40
30
th. 2013
20
10
0

Gambar 3.10.1
Proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan yang benar menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007- 2013

Berdasarkan analisis tren terlihat bahwa ada kenaikan proporsi perilaku cuci tangan secara
benar. Rerata Bali berperilaku benar dalam mencuci tangan pada hasil Riskesdas tahun 2013

97
(66,7%) lebih tinggi dibandingkan hasil 2007 (30,6%). Kenaikan tertinggi pada proporsi perilaku
benar pada cuci tangan terdapat di Kabupaten Gianyar dengan besar kenaikan proporsi 49,2%
dan kenaikan proporsi terbesar ke dua adalah kabupaten Tabanan sebesar 48,0%.

Perilaku BAB dengan benar juga terjadi peningkatan, Pada tahun 2007 rerata Bali adalah 82,6%
meningkat menjadi 91,1% pada tahun 2013. Kenaikan terbesar pada proporsi perilaku BAB
benar pada tahun 2007 ke tahun 2013 terjadi di kabupaten Karangasem sebesar 19,6%,
Prestasi tertinggi dicapai kota Denpasar karena penduduknya sudah 100% melakukan BAB
dengan benar.

3.10.2 Penggunaan Tembakau


Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua
kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan
mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan
metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan
sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.

Tabel 3.10.4
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang melakukan kebiasaan merokok menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Perokok saat ini Tidak merokok

Kabupaten/kota
Perokok Perokok Mantan Bukan
setiap hari kadang-kadang perokok perokok

Jembrana 22,8 4,4 5,5 67,3


Tabanan 19,2 3,6 6,5 70,7
Badung 19,4 5,6 5,7 69,4
Gianyar 11,0 2,7 1,4 84,9
Klungkung 16,5 4,8 7,0 71,7
Bangli 19,9 4,6 7,0 68,6
Karangasem 17,6 4,3 3,4 74,6
Buleleng 19,7 4,3 3,3 72,6
Denpasar 17,5 5,1 5,0 72,4
Bali 18,0 4,4 4,6 73,0

Berdasarkan tabel 3.10.4 rerata proporsi penduduk Bali yang saat ini merokok setiap hari adalah
18,0% dan 4,4% merokok kadang-kadang atau tidak setiap hari merokok, Proporsi perokok
setiap hari saat ini terbanyak ada di Kabupaten Jembrana, Di Jembrana, 22,8% penduduk
merokok setiap hari dan 4,4% kadang-kadang merokok,

Gambar 3.10.2 dibawah menunjukkan urutan daerah berdasarkan banyak penduduknya yang
merokok setiap hari, Jembrana, Bangli, Buleleng, Badung dan Tabanan adalah Kabupaten
dimana jumlah perokok setiap harinya melebihi rata-rata Bali, Dari gambar tersebut, terlihat
bahwa daerah dengan penduduk yang merokok setiap harinya terendah adalah kabupaten
Gianyar, Ada 84,9% penduduk Gianyar yang bukan perokok,

98
25,00%

20,00%

18,00
15,00%
Perokok setiap hari
10,00%
Perokok kadang-
4,60 kadang
5,00% Mantan perokok
4,40
0,00%

Gambar 3.10.2
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang melakukan kebiasaan merokok menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013.
Kegiatan merokok setiap hari sudah mulai dilakukan oleh mereka yang berumur 10-14 tahun
(0,2%). Proporsi perokok setiap hari ini terus meningkat sesuai bertambahnya kelompok umur
sampai pada umur 30-34 (26,4%). Setelah kelompok umur tersebut, proporsi perokok setiap hari
makin berkurang, Dari semua laki-laki yang berumur 10 tahun keatas, 35,2% nya adalah perokok
setiap hari, Tidak banyak berubah dibandingkan kondisi tahun 2007, dimana laki-laki yang
merokok setiap hari terdapat 35,5%, Pada kelompok perempuan, proporsi perokok setiap hari
jauh lebih rendah (0,6%) dibandingkan data 2007 dimana tercatat 5,0% perempuan adalah
perokok.

99
Tabel 3.10.5
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kebiasaan merokok dan karakteristik
responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Perokok saat ini Tidak merokok

Karakteristik responden Perokok


Perokok Mantan Bukan
kadang-
setiap hari perokok perokok
kadang
Kelompok umur (tahun)
10-14 0,2% 0,1% 0,3% 99,4%
15-19 8,2% 4,5% 1,4% 85,9%
20-24 21,8% 5,8% 2,4% 70,0%
25-29 25,1% 5,1% 3,2% 66,6%
30-34 26,4% 4,6% 4,3% 64,6%
35-39 25,7% 4,9% 4,9% 64,5%
40-44 22,5% 4,7% 5,3% 67,4%
45-49 20,6% 5,1% 6,2% 68,1%
50-54 18,6% 5,2% 6,0% 70,2%
55-59 16,4% 5,0% 7,0% 71,7%
60-64 15,2% 5,0% 7,6% 72,2%
65+ 10,3% 4,6% 12,2% 72,9%
Jenis kelamin
Laki-laki 35,2% 8,3% 8,6% 47,9%
Perempuan 0,6% 0,5% 0,7% 98,2%
Pendidikan
Tidak sekolah 12,3% 4,8% 5,4% 77,5%
Tidak tamat SD 10,7% 2,7% 3,8% 82,9%
Tamat SD 15,8% 4,2% 4,4% 75,5%
Tamat SMP 19,8% 4,4% 3,9% 72,0%
Tamat SMA 24,2% 5,3% 4,9% 65,6%
Tamat PT 17,6% 4,9% 6,7% 70,9%
Pekerjaan
Tidak bekerja 4,5% 2,5% 2,7% 90,3%
Pegawai 25,8% 6,4% 6,1% 61,6%
Wiraswasta 21,8% 4,9% 5,0% 68,2%
Petani/nelayan/buruh 27,9% 5,4% 5,8% 60,9%
Lain-lain 19,8% 2,9% 5,5% 71,7%
Tempat tinggal
Perperkotaanan 17,5% 4,5% 4,7% 73,2%
Perperdesaanan 18,6% 4,2% 4,6% 72,6%
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 20,4% 5,2% 4,1% 70,2%
Menengah bawah 20,3% 4,5% 4,8% 70,4%
Menengah 18,9% 4,6% 4,5% 72,0%
Menengah atas 18,0% 4,2% 5,2% 72,6%
Teratas 13,9% 3,9% 4,5% 77,8%

Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang
mempunyai proporsi terbesar 27,9% dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya, Pekerja
pegawai menduduki urutan ke dua terbanyak proporsi perokok setiap hari 25,8%. Proporsi
perokok setiap hari tampak ada kecendrungan menurun sesuai meningkatnya kuintil indeks
kepemilikan, Kalau dilihat berdasarkan lokasi tempat tinggal, tidak terdapat perbedaan yang
berarti antara penduduk yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan.

100
Selain dilihat dari rutinitas merokok setiap harinya, perlu juga diketahui seberapa banyak batang
rokok yang dihisap setiap hari atau setiap minggunya. Hitungan hari, dikenakan pada mereka
yang merokok setiap hari dan digunakan hitungan minggu bila perokok tersebut merokok tidak
setiap hari alias kadang-kadang saja.

Tabel 3.10.6
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap (kretek,putih dan linting) setiap hari dan setiap Minggu
bagi bukan perokok tiap hari penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

Perokok (Kretek,putih Perokok (Kretek,putih


dan linting) tiap hari dan linting)tiap minggu
Kabupaten/Kota
Jembrana 12,7 15,2
Tabanan 14,4 9,3
Badung 12,9 8,7
Gianyar 10,1 11,9
Klungkung 9,8 9,8
Bangli 10,2 6,7
Karangasem 9,6 12,8
Buleleng 11,8 12,8
Denpasar 12,5 9,2
Bali 12,0 10,4

Rerata jumlah batang rokok yang dihisap perhari per orang di Bali adalah 12 batang rokok,
setara dengan satu pak. Proporsi terbanyak jumlah rerata batang rokok yang dihisap adalah
14,4 batang perhari di Tabanan, Pada perokok kadang-kadang, rerata jumlah batang rokok yang
dihisap perminggu adalah 10 - 11 batang rokok.

101
Tabel 3.10.7
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap perokok tiap hari dan perokok kadang-kadang
penduduk umur 10 tahun ke atas menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Rerata jumlah Rokok Rerata jumlah Rokok (Kretek,
Karakteristik responden (Kretek, putih dan linting) tiap putih dan linting) per minggu
hari

Kelompok umur (tahun)


10-14 13,3 4,0
15-19 9,1 8,2
20-24 11,6 11,8
25-29 11,7 9,7
30-34 11,7 13,1
35-39 13,3 9,5
40-44 13,3 10,5
45-49 13,2 8,7
50-54 11,6 9,3
55-59 10,7 12,1
60-64 10,2 8,2
+65 10,7 11,3
Jenis kelamin
Laki-laki 12,1 10,3
Perempuan 7,6 10,4

Pendidikan
Tidak sekolah 9,1 10,2
Tidak tamat SD 11,4 12,3
Tamat SD 11,7 10,5
Tamat SMP 12,1 10,0
Tamat SMA 12,6 10,1
Tamat PT 12,3 9,6

Pekerjaan
Tidak bekerja 10,1 9,8
Pegawai 12,2 9,5
Wiraswasta 13,6 10,7
Petani/nelayan/buruh 11,6 11,4
Lain-lain 12,1 9,8

Tempat tinggal
Perperkotaanan 12,3 9,6
Perperdesaanan 11,6 11,6

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 10,3 11,1
Menengah bawah 11,6 11,9
Menengah 12,3 10,9
Menengah atas 12,8 8,8
Teratas 12,8 9,6

Berdasarkan table 3.10.7 diatas tampak rerata jumlah batang rokok yang dihisap perhari pada
kelompok umur 10-14 tahun sudah sejumah 13 – 14 batang rokok perhari, Padahal kelompok
umur ini masih usia sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Tidak ada

102
kecenderungan bertambah jumlah batang rokok yang dihisap perhari terkait dengan semakin
bertambah kelompok usia. Terlihat bahwa mereka yang berjenis kelamin laki-laki mengkonsumsi
rokok lebih banyak dibandingkan perempuan.

Agak berbeda dengan kondisi pada perokok kadang-kadang. Dilihat dari semua jenis
karakteristik yang ada, tidak ditemukan perbedaan yang menyolok atau kecenderungan tertentu.
Rerata perokok setiap minggu pada laki-laki 10,3 batang perhari, sama dibandingkan perempuan
yang menghabiskan 10,4 batang per hari.

Tabel 3.10.8
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut usia pertama kali merokok tiap
hari berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Usia pertama kali merokok tiap hari (tahun)


Kabupaten/Kota 20 – 25 –
3–4 5–9 10 – 14 15 – 19 24 29 >= 30
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
Jembrana 0,0 8,2 44,6 30,4 9,7 7,1
Tabanan 0,0 0,6 4,2 46,1 34,0 9,7 5,4
Badung 0,0 0,4 4,9 44,0 30,7 12,0 8,0
Gianyar 0,0 5,3 52,1 33,6 5,7 3,2
Klungkung 0,0 0,3 5,2 47,4 25,5 10,1 11,6
Bangli 0,0 0,3 6,6 38,0 28,4 12,9 13,7
Karangasem 0,0 1,8 3,5 51,0 26,2 7,8 9,8
Buleleng 0,0 0,1 7,9 58,1 23,8 5,4 4,7
Denpasar 0,0 0,3 5,1 48,8 34,0 8,5 3,3
Bali 0,0 0,4 5,6 48,6 30,0 8,9 6,5

Berdasarkan pengakuan responden, mereka mulai pertama kali merokok setiap hari pada usia 5-
9 tahun dengan proporsi 0,4%. Namun proporsi mulai merokok setiap hari paling banyak, ada
pada kelompok usia 15-19 tahun (48,6%), Tiga daerah tertinggi proporsi mulai merokok setiap
hari pada klompok umur 15-19 tahun adalah Buleleng (58,1%), Gianyar (52,1%) dan
Karangasem (51,0%).

103
Tabel 3.10.9
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut usia pertama kali merokok tiap
hari dan karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Usia mulai merokok tiap hari (tahun)


Karakteristik
responden 3–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 >= 30
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
Kelompok umur (tahun)
10-14 0,0 100,0
15-19 0,0 16,3 83,7
20-24 0,0 5,5 69,4 25,1
25-29 0,0 0,8 6,0 54,3 33,5 5,4
30-34 0,0 0,7 5,2 51,5 31,3 10,4 0,9
35-39 0,0 0,3 3,2 44,2 34,9 11,5 5,8
40-44 0,0 0,2 4,6 43,6 30,1 12,5 9,0
45-49 0,0 0,1 4,8 40,3 30,8 11,8 12,2
50-54 0,0 0,9 2,6 40,4 33,9 11,6 10,5
55-59 0,0 6,1 36,4 32,4 14,7 10,4
60-64 0,0 8,9 33,0 32,0 6,0 20,1
+65 0,0 0,7 7,8 32,8 25,3 10,1 23,3

Jenis kelamin
Laki-laki 0,0 0,4 5,6 48,9 29,8 8,9 6,3
Perempuan 0,0 4,9 28,5 39,6 7,7 19,2

Pendidikan
Tidak sekolah 0,0 2,6 9,1 34,5 26,8 8,2 18,8
Tidak tamat SD 0,0 0,4 7,9 44,2 30,2 8,7 8,6
Tamat SD 0,0 0,7 6,3 45,0 29,0 9,2 9,8
Tamat SMP 0,0 0,2 6,5 54,3 27,9 7,6 3,6
Tamat SMA 0,0 0,1 4,5 52,2 30,7 8,3 4,1
Tamat PT 0,0 2,2 42,4 35,7 14,2 5,5

Pekerjaan
Tidak bekerja 0,0 6,1 56,6 23,2 7,1 7,1
Pegawai 0,0 0,1 4,4 49,4 33,4 9,4 3,4
Wiraswasta 0,0 0,3 4,5 46,1 32,2 10,4 6,5
Petani/buruh/Nelayan 0,0 0,8 6,9 47,2 28,2 8,4 8,5
Lain-lain 0,0 6,0 45,8 30,2 8,2 9,9

Tempat tinggal
Perperkotaanan 0,0 0,2 5,8 47,8 31,5 9,0 5,6
Perperdesaanan 0,0 0,6 5,2 49,6 27,9 8,7 7,9

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 0,0 1,0 6,3 47,8 27,5 8,9 8,5
Menengah bawah 0,0 0,2 6,2 50,9 27,3 7,5 7,9
Menengah 0,0 0,2 5,9 51,0 30,2 7,7 5,0
Menengah atas 0,0 0,4 5,9 47,2 31,4 8,1 6,9
Teratas 0,0 0,3 3,6 45,7 33,5 12,5 4,4
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa responden berusia 10-24 tahun tidak ada yang
mengaku mulai merokok setiap hari mulai usia 5-9 tahun. Responden diatas 24 tahun yang
mengaku dan mulai merokok setiap hari pada usia 5-9 tahun. Dilihat dari jenis kelamin, laki-laki
memulai merokok setiap hari pada usia 5-9 tahun. Pada perokok wanita, tidak seorangpun yang
mengaku merokok setiap hari sebelum mereka berumur 10 tahun, Berdasarkan karakteristik

104
yang lain seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal dan kuintil indeks
kepemilikan, tidak ada pola yang berbeda.

Tabel 3.10.10
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas menurut usia mulai merokok berdasarkan
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Usia mulai merokok (tahun)


Kabupaten/Kota
3–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 >= 30
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
Jembrana 0,0 1,6 14,5 56,3 18,9 3,3 5,4
Tabanan 0,0 0,7 7,9 57,0 21,8 7,1 5,5
Badung 0,0 0,9 13,2 53,3 21,8 5,9 4,9
Gianyar 0,0 0,5 14,8 61,3 14,7 4,8 3,8
Klungkung 0,0 1,2 10,9 52,0 16,7 9,7 9,6
Bangli 0,0 1,0 9,2 42,0 27,5 9,0 11,2
Karangasem 0,0 1,7 5,4 55,3 23,6 7,4 6,6
Buleleng 0,0 0,1 10,2 67,1 13,5 4,6 4,4
Denpasar 0,0 0,9 11,0 62,1 20,1 3,8 2,0
Bali 0,0 0,9 10,8 57,9 19,8 5,7 5,0

Tabel 3.10.10 menggambarkan usia responden mulai merokok, Dalam bagian ini tercatat usia
responden mulai merokok sekalipun hanya untuk mencoba-coba menghisap rokok, Usia mulai
merokok paling banyak pada kelompok usia 15-19 tahun (57,9%). Dalam tabel di atas tercatat
bahwa tidak ada responden yang memulai merokok pada usia 3-4 tahun, Usia mulai merokok
dilakukan pada umur 5-9 tahun. Kondisi ini terjadi di semua Kabupaten/Kota di Bali. Proporsi
terbanyak awal merokok di usia dini terdapat di Karangasem, Jembrana dan Klungkung.

105
Tabel 3.10.11
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok berdasarkan usia pertama kali merokok
menurut karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Usia Pertama Kali Merokok (tahun)


Karakteristik
responden 3–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 >= 30
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
Kelompok umur (tahun)
10-14 0,0 17,5 82,5
15-19 0,0 1,1 25,7 73,2
20-24 0,0 0,8 13,4 74,6 11,2
25-29 0,0 1,3 14,6 61,6 19,7 2,7
30-34 0,0 1,1 10,3 61,3 21,6 4,4 1,3
35-39 0,0 0,5 7,2 61,4 22,0 6,3 2,6
40-44 0,0 0,5 8,1 57,8 20,7 7,0 5,8
45-49 0,0 0,4 8,7 53,8 18,6 9,1 9,5
50-54 0,0 1,1 6,0 53,3 25,2 7,0 7,3
55-59 0,0 0,8 9,1 42,7 25,7 10,2 11,5
60-64 0,0 1,3 8,8 32,0 30,1 6,8 21,0
65+ 0,0 0,7 10,7 35,7 23,1 13,7 16,3

Jenis kelamin
Laki-laki 0,0 0,9 10,8 58,4 19,6 5,6 4,7
Perempuan 0,0 1,1 11,2 39,1 25,7 7,7 15,1

Pendidikan
Tidak sekolah 0,0 1,9 10,8 37,6 26,4 10,2 13,1
Tidak tamat SD 0,0 1,9 11,0 49,7 20,9 5,9 10,6
Tamat SD 0,0 1,2 11,2 51,6 20,0 7,1 9,0
Tamat SLTP 0,0 0,5 13,3 63,5 17,9 2,8 2,1
Tamat SLTA 0,0 0,7 10,2 64,1 18,2 4,6 2,3
Tamat D1-D3/PT 0,0 0,2 7,1 56,9 24,2 9,3 2,3

Pekerjaan
Tidak bekerja 0,0 0,9 14,8 57,6 16,0 5,4 5,4
Pegawai 0,0 0,8 9,9 60,4 21,4 5,2 2,3
Wiraswasta 0,0 0,8 11,1 59,2 18,6 6,0 4,3
Petani/buruh/Nelayan 0,0 1,1 9,8 55,6 20,2 5,9 7,4
Lain-lain 0,0 12,7 54,7 20,2 6,4 6,0

Tempat tinggal
Perperkotaanan 0,0 0,9 12,4 58,0 19,9 5,0 3,7
Perperdesaanan 0,0 0,9 8,2 57,7 19,5 6,7 7,0

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 0,0 1,7 8,3 54,7 20,3 6,7 8,3
Menengah bawah 0,0 0,6 10,2 60,9 16,6 5,6 6,3
Menengah 0,0 0,7 13,7 54,4 21,8 4,5 4,9
Menengah atas 0,0 1,0 11,1 59,9 19,4 4,9 3,6
Teratas 0,0 0,5 10,2 59,0 20,8 6,9 2,7

Proporsi responden yang berusia 10-14 tahun yang mengaku merokok mulai usia 5-9 tahun
sebanyak 17,5%, mulai merokok di usia 10-14 tahun sebanyak 82,5%. Menurut jenis kelamin,
usia mulai merokok pada usia muda sampai katagori usia lebih 30 tahun, proporsi perempuan

106
lebih tinggi dibandingkan laki-laki, kecuali pada katagori umur 15-19 tahun menunjukkan lebih
tinggi proporsi laki-laki. Tidak ada gambaran spesifik menurut tingkat pendidikan, daerah tempat
tinggal, jenis pekerjaan dan tingkat Kuintil indeks kepemilikan.

Tabel 3.10.12
Proporsi jenis rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Jenis rokok yang dihisap
Kabupaten/Kota Rokok
Kretek Rokok linting Cangklong/cerutu
Putih
Jembrana 52,5 52,0 8,2 0,6
Tabanan 60,4 38,6 2,0
Badung 27,2 74,1 0,8
Gianyar 22,4 77,3 0,9 0,3
Klungkung 54,0 37,7 11,7
Bangli 41,2 58,5 12,9
Karangasem 35,8 58,6 12,9
Buleleng 39,3 62,6 5,8
Denpasar 30,4 75,0 3,6 0,2
Bali 38,0 62,9 5,3 0,1

Secara umum proporsi jenis Rokok yang dihisap terbanyak adalah rokok putih 62,9%, diikuti
dengan rokok kretek 38,0%, rokok linting 5,3% dan cerutu 0,1%, Kecuali Tabanan dan
Klungkung, lebih dari 50% jenis rokok yang dihisap adalah rokok putih. Untuk penggunaan rokok
kretek, rerata Bali 38,0%, dengan penduduk daerah terbanyak penghisap rokok kretek adalah
Tabanan dan Klungkung.

107
Tabel 3.10.13
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok menurut jenis rokok yang dihisap dan
karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Jenis rokok yang dihisap

Karakteristik responden Kretek Cangklong/Cerut


Rokok putih Rokok linting
u

Kelompok umur (tahun)


10-14 24,3 100,0
15-19 17,9 84,8 1,9 0,9
20-24 19,1 82,2 2,2
25-29 36,4 67,8 2,5
30-34 33,0 71,1 2,4 0,2
35-39 38,7 63,9 3,0
40-44 41,2 61,6 1,9
45-49 46,5 57,3 2,8 0,4
50-54 55,8 43,2 7,7
55-59 54,3 45,2 10,3
60-65 49,9 41,2 17,4
+65 48,6 29,5 33,4 0,3

Jenis Kelamin
Laki-laki 38,2 63,3 4,6 0,1
Perempuan 30,0 48,4 33,0

Pendidikan
Tidak sekolah 41,1 39,1 28,4
Tidak tamat SD 52,3 44,8 12,9
Tamat SD 46,6 54,9 7,3 0,2
Tamat SMP 35,7 65,5 1,4 0,1
Tamat SMA 33,0 70,8 2,1 0,1
Tamat PT 24,6 78,4 0,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 28,2 68,1 9,1
Pegawai 31,5 71,8 1,3
Wiraswasta 36,1 66,6 2,3 0,2
Petani/Nelayan/buruh 46,1 52,8 8,6 0,2
Lain-lain 45,3 63,2 5,5

Tempat tinggal
Perperkotaanan 33,7 69,5 3,0 0,1
Perperdesaanan 44,5 53,1 8,7 0,2

Kuintil indeks kepemilikan


Kuintil-1 44,0 49,2 15,2 0,2
Kuintil-2 44,0 57,2 4,7 0,3
Kuintil-3 36,1 67,7 2,2
Kuintil-4 34,8 68,7 2,7 0,1
Kuintil-5 31,7 70,9 2,4

Menurut karakteristik responden, berdasarkan kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal dan
kuintil indeks kepemilikan pada umumnya proporsi jenis rokok yang dihisap terbanyak adalah
rokok putih. Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, makin rendah pendidikan, makin

108
banyak menghisap rokok kretek. Berbeda dengan rokok putih, Makin tinggi pendidikan, makin
tinggi proporsi penghisap rokok putih.

Tabel 3.10.14
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok dalam
gedung/ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Perokok merokok dalam gedung/ruangan
Kabupaten/Kota
Jembrana 77,2
Tabanan 76,5
Badung 50,6
Gianyar 57,8
Klungkung 36,9
Bangli 68,2
Karangasem 52,9
Buleleng 67,3
Denpasar 55,0
Bali 60,6
Kebiasaan merokok dalam gedung atau ruangan jelas berdampak negatif berupa polusi bagi
orang lain. Proporsi merokok dalam gedung rerata Bali adalah 60,6%, Kabupaten dengan
proporsi perokok dalam ruangan tertinggi adalah Jembrana (77,2%), Sedangkan satu-satunya
daerah dengan proporsi tidak sampai 50% adalah Klungkung.
Dalam Riskesdas 2013, selain ditanyakan kebiasaan merokok dalam ruangan/gedung, juga
ditanyakan perilaku responden merokok dalam rumah ketika bersama dengan anggota rumah
tangga lainnya. Hal ini penting untuk menjaring berapa besarnya proporsi perokok pasif di
Indonesia, Ternyata 64,1% perokok di Bali, juga merokok di dalam rumah saat bersama ART.

Tabel 3.10.15
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok dalam rumah ketika bersama anggota
rumah tangga menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/Kota Perokok merokok Didalam rumah bersama ART

Jembrana 84,5
Tabanan 78,8
Badung 54,4
Gianyar 66,2
Klungkung 52,1
Bangli 73,6
Karangasem 68,4
Buleleng 72,4
Denpasar 46,2
Bali 64,1

Selain merokok, Riskesdas juga mencari informasi tentang kebiasaan mengunyah tembakau,
Walau tidak sampai menyebabkan polusi dan merugikan orang lain, mengunyah tembakau dapat
merugikan diri sendiri, Bagaimana proporsi pengunyah tembakau dapat dilihat pada tabel
3.10.16.

109
Tabel 3.10.16
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Pengunyah Tembakau saat
ini Tidak Mengunyah Tembakau
Kabupaten/Kota
kadang- Tidak
setiap hari Mantan
kadang Pernah

Jembrana 3,1 1,9 1,0 94,0


Tabanan 3,2 1,9 1,0 93,9
Badung 3,9 0,8 0,9 94,4
Gianyar 5,2 0,9 1,3 92,5
Klungkung 6,8 1,8 1,6 89,9
Bangli 8,7 2,0 1,6 87,8
Karangasem 5,7 1,2 0,5 92,6
Buleleng 2,2 1,3 0,4 96,2
Denpasar 2,0 0,8 0,9 96,3
Bali 3,8 1,2 0,9 94,0

Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Bali sebesar 3,8%,
mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 1,2% dan mantan pengunyah tembakau 0,9%.
Bangli dan Klungkung adalah 2 daerah dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari yang
tertinggi di Bali.

Untuk meminimalisir dampak negatif merokok seperti membuat orang sebagai perokok pasif,
pemerintah menetapkan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)., Pada Riskesdas ini,
responden ditanya tentang pendapatnya, setuju atau tidaknya dengan kebijakan KTR.

Tabel 3.10.17
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas yang setuju kebijakan kawasan tanpa rokok/KTR
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kebijakan KTR
Kabupaten/Kota
Setuju Tidak Setuju
Jembrana 89,8 10,2
Tabanan 91,9 8,1
Badung 93,6 6,4
Gianyar 91,6 8,4
Klungkung 91,2 8,8
Bangli 91,1 8,9
Karangasem 91,2 8,8
Buleleng 87,2 12,8
Denpasar 91,3 8,7
Bali 94,3 5,7

Terkait kebijakan kawasan tanpa rokok, yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut di Bali
sebanyak 5,7%, Dua daerah dengan proporsi terbesar yang tidak setuju KTR adalah kabupaten
Buleleng (12,8%) dan Jembrana (10,2%).

110
3.10.3. Perilaku Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem
jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktivitas fisik dalam seminggu
terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yag secara terus
menerus melakukan aktivitas fisik yang membawa beban lebih dari 10 Kg secara terus menerus
selama miminum 10 menit sampai maksimum 6 jam selama sehari. Kegiatan aktivitas fisik
dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam
satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu.
Selain frekuensi, dilakukan pula pengumpulan data intensitas, yaitu jumlah hari melakukan
aktivitas ’berat’, ’sedang’ dan ’berjalan’. Perhitungan jumlah menit aktivitas fisik dalam seminggu
mempertimbangkan pula jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas diberi pembobotan,
masing-masing untuk aktivitas ‘berat’ empat kali, aktivitas ‘sedang’ dua kali terhadap aktivitas
‘ringan’ atau jalan santai.

Perilaku sedentary atau perilaku duduk-duduk atau berbaring dalam sehari hari baik di tempat
kerja, di rumah, di perjalanan (transportasi), termasuk waktu berbincang–bincang, transportasi
dengan kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau nonton 111elevise tetapi tidak
termasuk waktu tidur. Berikut proporsi aktifitas fisik “cukup” dan “kurang pada table di bawah
ini, Perilaku sedentary yang merupakan salah satu perilaku duduk-duduk dan berbaring namun
tidak tidur merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh
darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup.

Penelitian yang dilakukan di Amerika tentang perilaku sedentary yang menggunakan nilai cut of
point <3 jam, 3-6 jam, > 6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas sedentari sampai
dengan < 3 jam dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P &
Lee, 2012). Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik “aktif” dan “kurang aktif” pada
table 3.10.18.

Tabel 3.10.18
Proporsi aktivitas fisik penduduk umur 10 tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Aktivitas Fisik
Kabupaten/Kota
Aktif Kurang Aktif*)
Jembrana 89,5 10,5
Tabanan 92,9 7,1
Badung 74,2 25,8
Gianyar 95,5 4,5
Klungkung 88,3 11,7
Bangli 85,4 14,6
Karangasem 87,9 12,1
Buleleng 79,7 20,3
Denpasar 86,6 13,4
Bali 85,8 14,2
*) Kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu

Di provinsi Bali, proporsi aktivitas fisik tergolong “kurang aktif” secara umum adalah 14,2%, Ada
tiga daerah dengan aktivitas fisik “kurang aktif” berada diatas rata-rata Bali adalah Badung
(25,8%), Buleleng (20,3%) dan Bangli (14,6%).

Perilaku sedentari atau perilaku duduk dalam sehari hari baik di tempat kerja, di rumah,di
kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau nonton televise, tidak termasuk waktu tidur.
Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit

111
penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup.
Dikatakan oleh seorang peneliti dari Harvard yang meneliti perilaku sedentari dengan nilai cut off
points<3 jam, 3-6 jam, >6jam, Mereka yang melakukan perilaku sedentari setiap hari >3 jam
dapat mengurangi umur harapan hidup 22 menit(Peter T Katzmarzyk, 2012).

Tabel 3.10.19
Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentari) penduduk 10 tahun ke atas menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Aktivitas Sedentari
Kabupaten/Kota
3-5,59 >6 jam
<3 jam
Jembrana 31,6 44,0 24,4
Tabanan 18,1 46,7 35,2
Badung 48,2 41,7 10,1
Gianyar 23,9 22,9 53,2
Klungkung 29,9 33,5 36,6
Bangli 33,3 31,9 34,8
Karangasem 38,5 42,2 19,3
Buleleng 57,7 36,8 5,6
Denpasar 25,3 30,7 44,0
Bali 35,0 36,2 28,7

Berdasarkan tabel di atas tampaknya proporsi perilaku sedentari 3-5,99 jam rerata Bali adalah
36,2%. Daerah dengan perilaku sedentari 3-5,99 jam di atas rerata Bali adalah kabupaten
Tabanan (46,7%), Jembrana (44,0%), Karangasem (42,2%), Badung (41,7%) dan Buleleng
(36,8%).

112
Tabel 3.10.20
Proporsi aktivitas duduk dan berbaring (sedentari) penduduk 10 tahun ke atas menurut
karakteristik responden, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Aktivitas Sedentari
Karakteristik
<3 jam 3-5,59 jam >6 jam
Kelompok umur (tahun)
10-14 30,8% 34,1% 35,1%
15-19 32,0% 37,3% 30,7%
20-24 33,9% 37,8% 28,3%
25-29 34,1% 36,9% 29,0%
30-34 38,2% 36,7% 25,1%
35-39 38,1% 38,3% 23,6%
40-44 38,7% 35,6% 25,7%
45-49 39,0% 38,2% 22,8%
50-54 37,6% 36,5% 25,9%
55-59 35,0% 37,1% 27,9%
60-64 32,0% 34,7% 33,3%
65+ 28,9% 30,9% 40,2%

Jenis kelamin
Laki-laki 36,1% 37,0% 26,9%
Perempuan 34,0% 35,5% 30,5%

Pendidikan
Tidak sekolah 35,2% 36,6% 28,2%
Tidak tamat SD 31,8% 36,3% 31,9%
Tamat SD 38,7% 35,6% 25,6%
Tamat SLTP 35,9% 37,5% 26,6%
Tamat SLTA 34,0% 36,7% 29,4%
Tamat D1-D3/PT 30,3% 34,2% 35,5%

Pekerjaan
Tidak bekerja 30,0% 34,7% 35,3%
Pegawai 33,9% 35,3% 30,8%
Wiraswasta 32,9% 37,1% 30,0%
Petani/buruh/nelayan 43,6% 38,2% 18,3%
Lain=lain 38,5% 39,9% 21,6%

Tempat tinggal
Perperkotaanan 34,0% 33,3% 32,8%
Perperdesaanan 36,7% 40,8% 22,5%

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 41,7% 37,6% 20,7%
Menengah bawah 39,4% 37,0% 23,6%
Menengah 34,9% 35,2% 29,8%
Menengah atas 29,8% 36,7% 33,5%
Teratas 31,9% 35,2% 32,8%

Proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok umur, pendidikan dan kuintil
indeks kepemilikan tidak ada kecenderungan tertentu terkait proporsi perilaku sedentary 3-5,99
jam sehari. Proporsi perilaku sedentary 3-5,99 jam di daerah perperdesaanan (40,8%) lebih

113
besar dibandingkan perperkotaanan (33,3%), Laki-laki (37,0%) mempunyai perilaku sedentary
lebih tinggi dibandingkan perempuan (35,5%).

3.10.4. Perilaku Konsumsi Buah dan Sayur


Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari
konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan
‘cukup’ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per
hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ’kurang’ apabila konsumsi sayur dan/atau
buah kurang dari ketentuan di atas.

Tabel 3.10.21
Proporsi porsi makan buah/sayur per hari dalam seminggu penduduk umur 10 tahun ke atas
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Konsumsi Buah/Sayur per hari Dalam Seminggu
Kabupaten/Kota Tidak
1 – 2 Porsi 3 – 4 Porsi >= 5 Porsi
Konsumsi

Jembrana 0,3 70,8 25,9 3,0


Tabanan 0,1 70,0 28,0 1,9
Badung 0,9 71,3 23,7 4,1
Gianyar 0,0 22,8 70,9 6,3
Klungkung 0,4 47,8 47,9 3,9
Bangli 0,8 74,3 19,2 5,6
Karangasem 2,1 95,0 2,6 0,3
Buleleng 0,2 95,1 4,0 0,7
Denpasar 0,3 93,9 5,2 0,5
Bali 0,5 74,7 22,2 2,5

Bagian besar (74,7%) responden mengkonsumsi buah/sayur 1-2 porsi perhari dalam satu
minggu. Hanya sebesar 2,5% responden mengkonsumsi buah/sayur 5 porsi atau lebih
buah/sayur dalam sehari sesuai dengan yang direkomendasikan, Walau tidak banyak, tetapi
perlu diperhatikan bahwa masih ada 0,5% responden yang tidak makan buah/sayur dalam
sehari-harinya. Daerah dengan proporsi diatas rerata Bali yang mengkonsumsi buah/sayur
sesuai dengan rekomendasi (5 porsi atau lebih dalam sehari dalam seminggu) adalah Gianyar
(6,3%), Bangli (5,6%), Badung (4,1%), Klungkung (3,9%) dan Jembrana (3,0%).

114
Tabel 3.10.22
Analisis tren proporsi kurang makan buah dan sayur (< 5 porsi per minggu) penduduk Umur 10
tahun ke atas menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2013
Kurang Makan Buah dan atau Sayur
Kabupaten/Kota
Tahun 2007 Tahun 2013
Jembrana 95,9 97,0
Tabanan 99,0 98,1
Badung 96,9 95,9
Gianyar 98,0 93,7
Klungkung 90,3 96,1
Bangli 95,4 94,4
Karangasem 97,9 99,7
Buleleng 93,8 99,3
Denpasar 97,3 99,5
Bali 96,5 97,5

Dengan indikator bahwa seseorang harus mengkonsumsi lebih dari 5 porsi setiap minggunya,
tampak bahwa 97,5% penduduk Bali kurang makan buah dan sayur. Dibandingkan dengan
kondisi di tahun 2007, trend perilaku kurang konsumsi buah dan atau sayur tidak tampak adanya
perubahan.

3.10.5. Pola Konsumsi Makanan Tertentu


Penduduk yang “sering” makan makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak,
jeroan, makanan dibakar/panggang, makanan yang diawetkan, minuman berkafein, dan bumbu
penyedap dianggap sebagai berperilaku konsumsi makanan tertentu, Perilaku konsumsi
makanan tertentu dikelompokkan “sering” apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut
satu kali atau lebih setiap hari.

Tabel 3.10.23
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Perilaku konsumsi berisiko≥1 kali per hari
Kabupaten/kota Hewani
Manis Asin Berlemak Dibakar Penyedap Kopi Kafeinselainkopi
berpengawet
Jembrana 30,2 4,7 40,1 7,4 6,3 91,1 51,8 8,3
Tabanan 13,9 3,7 9,3 1,1 3,4 85,7 56,1 5,4
Badung 23,9 5,3 26,1 1,7 4,2 82,8 46,5 8,9
Gianyar 7,8 8,9 11,3 2,2 8,8 35,0 48,4 9,9
Klungkung 25,6 5,4 34,3 3,6 5,2 79,6 45,5 7,7
Bangli 32,0 10,2 35,7 2,2 4,3 91,2 61,8 9,6
Karangasem 15,2 12,7 11,0 1,5 1,1 92,0 58,8 1,9
Buleleng 27,3 6,4 16,7 1,5 3,6 68,6 52,1 10,9
Denpasar 28,3 4,1 12,2 1,2 5,3 61,6 37,0 9,3
Bali 22,4 6,4 18,4 2,0 4,7 72,5 49,0 8,3
Proporsi penduduk Bali dengan konsumsi makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari adalah
22,4 persen. Bangli (32,0%), Jembrana (30,2%), Denpasar (28,3%), Buleleng (27,3%),
Klungkung (25,6%) dan Badung (23,9%) merupakan daerah dengan proporsi penduduk
pengkonsumsi makanan/minuman manis melebihi rerata Bali.
Proporsi penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan
gorengan ≥1 kali per hari adalah 18,4%. Empat daerah yang proporsinya di atas rerata Bali
adalah Jembrana (40,1%), Bangli (35,7%), Klungkung (34,3%), dan Badung (26,1%).

115
Untuk konsumsi makanan berpenyedap, 72,5 persen penduduk Bali mengonsumsi penyedap ≥1
kali dalam sehari. Daerah dengan proporti tertinggi pengkonsumsi makanan berpenyedap adalah
Karangasem (92,0%), Bangli (91,2%) dan Jembrana (91,1%), Sedangkan daerah terendah
adalah Gianyar (35,0%).

Tabel 3.10.24
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan konsumsi makanan minuman tertentu menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Makanan Berisiko ≥1 kali sehari
Karakteristik Hewani Penyedap Kopi Kafein
Manis Asin berlemak dibakar berpengawet buatan
selain kopi
Kelompok Umur (thn)
10 – 14 35,4 7,3 19,1 2,1 8,1 75,4 4,9 5,9
15 – 19 24,9 5,4 18,9 1,7 6,7 72,8 13,5 6,7
20 – 24 24,1 6,3 18,5 2,8 5,3 70,2 31,5 9,0
25 – 29 22,1 7,4 19,4 2,5 3,9 70,2 43,5 7,9
30 – 34 23,7 6,9 18,8 1,7 4,2 75,2 55,5 8,6
35 – 39 22,0 6,6 19,2 1,6 4,4 74,0 62,6 10,3
40 – 44 20,0 5,9 19,8 2,5 4,5 71,8 64,8 8,7
45 -49 18,9 6,3 19,0 2,2 3,8 73,3 68,6 9,2
50 -54 18,3 6,8 17,8 2,1 3,6 72,5 71,5 8,9
55 -59 15,6 5,6 16,1 1,7 2,9 71,4 71,2 9,0
60 -64 16,5 5,8 18,5 2,0 3,6 69,8 71,7 8,3
65 + 15,1 5,9 13,7 1,3 2,9 70,2 65,3 7,5

Jenis kelamin
Laki-laki 23,9 6,1 19,1 2,3 4,9 71,6 56,7 9,9
Perempuan 20,8 6,8 17,8 1,8 4,5 73,4 41,3 6,7

Pendidikan
Tidak sekolah 17,0 8,7 15,0 1,6 3,7 78,5 64,1 6,5
Tidak Tamat SD 25,8 6,8 18,9 2,3 4,8 75,1 43,8 6,4
Tamat SD 22,0 7,2 20,2 2,2 3,9 75,5 56,7 8,0
Tamat SLTP 23,0 6,6 20,6 2,1 4,8 75,2 45,3 8,9
Tamat SLTA 22,3 5,5 17,5 2,0 5,3 68,8 46,2 9,2
Tamat D1-D3/PT 20,9 4,2 13,4 1,2 5,3 61,3 38,0 9,9

Pekerjaan
Tidak berkerja 25,3 6,3 17,8 2,2 5,7 73,1 28,1 6,6
Pegawai 22,7 4,9 16,1 1,7 5,5 66,9 47,0 10,3
Wiraswasta 19,4 5,9 18,6 1,7 5,1 69,3 57,7 10,5
Petani/Nelayan/Buruh 18,9 8,0 20,8 2,2 2,8 78,1 72,9 7,7
Lainnya 27,4 8,0 20,0 2,4 2,5 72,0 60,8 8,6

Tempat tinggal
Perkotaan 24,3 5,6 18,1 2,1 5,8 68,2 44,4 8,9
Perdesaan 19,4 7,8 19,0 1,9 3,0 79,2 56,1 7,3
Kuintil indeks
kepemilikan
Terbawah 20,9 8,1 20,4 2,0 2,3 81,6 59,8 6,2
Menengah bawah 20,6 7,6 19,8 1,6 3,1 77,9 56,2 7,7
Menengah 22,2 6,3 20,5 2,2 4,7 69,1 51,4 8,6
Menengah atas 23,8 5,8 16,6 2,3 6,2 69,9 46,3 10,0
Teratas 23,5 5,2 16,0 2,1 6,1 67,6 37,0 8,5

116
Dari tabel 3.10.24 tampak bahwa perilaku penduduk mengonsumsimakanan/minuman manis
bervariasi antar kelompok umur. Ada kecenderungan makin tua, makin tidak banyak
mengkonsumsi manis, Konsumsi makanan/minuman manis lebih banyak pada laki-laki, dan
penduduk di daerah perkotaan. Terdapat kecenderungan kuintil indeks kepemilikan semakin
besarproporsi penduduk mengonsumsi makanan manis.

Perilaku konsumsi makanan berlemak ≥1 kali per hari bervariasi antar kelompok umur demikian
pula dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan kuintil indeks kepemilikan. Konsumsi makanan
berlemak ≥1 kali per hari lebih banyak pada laki-laki (19,1%), Berdasarkan lokasi tempat tinggal,
tidak banyak perbedaan antara penduduk di daerah perkotaan dan perdesaan.

Berdasarkan tabel 3.10.13 menurut kelompok umur dan pekerjaan tampak bahwa perilaku
konsumsi makanan berpenyedap ≥1 kali per hari cenderung bervariasi. Penduduk yang tinggal
di daerah perdesaan cenderung lebih banyakmengonsumsi makanan berpenyedap. Menurut
kuintil indeks kepemilikan, ada kecenderungan menurun pada kuintil yang lebih tinggi, Demikian
juga menurut tingkat pendidikan, ada kecenderungan menurun pada pendidikan yang lebih
tinggi.

Tentang pola minum kopi, menurut kelompok umur, terlihat bahwa makin tinggi kelompok usia
makin tinggi konsumsi kopinya, Dari jenis pekerjaan, proporsinya bervariasi, Dari tingkat
pendidikan dan pengeluaran RT perkapita, ada kecenderungan makin tinggi tingkatannya makin
rendah konsumsi kopinya, Laki-laki lebih banyak yang minum kopi dibandingkan perempuan,
Bila ditinjau dari daerah, penduduk di daerah perdesaan (56,1%) lebih banyak yang minum kopi
dibandingkan yang tinggal di daerah perkotaan (44,4%),

3.10.6 Konsumsi Makanan dari Olahan dari Tepung


Seperti juga konsumsi makanan bersiko, data pada konsumsi makanan dari olahan tepung ini
untuk memberikan informasi tentang kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi makanan
berisiko yang terbuat dari tepung terigu, Ada dugaan kandungan bahan berisiko seperti adanya
lapisan lilin pada mie, roti dan biskuit,

Tabel 3.10.25
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Makanan Olahan Tepung ≥1 kali per hari
Kabupaten/Kota
Mi Instant Mi Basah Roti Biskuit
Jembrana 16,1 3,7 35,5 31,9
Tabanan 4,4 1,3 8,9 6,6
Badung 4,6 1,9 22,2 13,4
Gianyar 2,4 0,8 25,6 23,9
Klungkung 7,9 1,7 22,7 16,8
Bangli 5,3 2,4 16,1 12,5
Karangasem 5,6 1,3 7,4 5,0
Buleleng 5,6 1,7 14,5 12,8
Denpasar 3,7 1,7 29,2 22,4
Bali 5,3 1,7 20,5 16,2

Tabel 3.10.25 menunjukkan rerata penduduk Bali berperilaku mengonsumsi mie, roti dan
biskuit,≥1 kali per hari, Jembrana adalah kabupaten dengan proporsi tertinggi yang
mengonsumsi makanan olahan dari tepung ≥1 kali per hari. Konsumsi mie instant (16,1%) dan
mie basah (3,7%), roti (35,5%) dan biskuit (31,9%).

117
Tabel 3.10.26
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Makanan Olahan dari Tepung (>=1 kali sehari)
Karakteristik
Mie Instant Mie Basah Roti biskuit

Kelompok Umur (thn)


10 – 14 10,3 2,1 31,4 26,6
15 – 19 11,1 2,4 24,9 21,4
20 – 24 6,7 3,1 22,2 16,4
25 – 29 5,5 2,1 22,9 18,3
30 – 34 4,1 1,2 22,4 16,8
35 – 39 4,0 1,4 21,8 16,2
40 – 44 4,4 1,3 19,2 14,9
45 -49 4,2 1,9 16,9 14,0
50 -54 2,5 1,1 13,3 9,6
55 -59 1,8 0,9 11,5 9,0
60 -64 2,3 0,9 14,7 10,7
65 + 2,2 1,2 11,1 9,0

Jenis kelamin
Laki-laki 5,7 1,8 19,6 15,6
Perempuan 4,9 1,6 21,4 16,8

Pendidikan
Tidak sekolah 3,6 1,4 10,0 7,6
Tidak Tamat SD 6,4 1,5 19,2 16,5
Tamat SD 6,0 1,8 15,9 12,9
Tamat SLTP 6,5 1,7 22,5 17,5
Tamat SLTA 4,9 2,0 24,0 18,2
Tamat D1-D3/PT 1,8 1,0 30,3 23,5
Pekerjaan
Tidak berkerja 7,3 1,9 23,9 19,7
Pegawai 4,0 1,9 26,1 20,2
Wiraswasta 3,3 1,2 23,2 16,7
Petani/Nelayan/Buruh 4,9 1,6 10,8 8,4
Lainnya 4,5 1,5 14,7 12,5

Tempat tinggal
Perkotaan 5,1 1,9 25,1 19,5
Perdesaan 5,7 1,5 13,5 11,1

Kuintil indekskepemilikan
Terbawah 6,6 1,3 11,3 8,8
Menengah bawah 7,0 1,9 13,4 11,1
Menengah 5,6 1,9 18,3 14,8
Menengah atas 4,3 1,5 23,0 18,8
Teratas 3,8 1,9 31,6 23,7

Berdasarkan tabel 3.10.26 karakteristik menurut kelompok umur tampaknya ada kecenderungan
menurun perilaku konsumsi mie instant ≥1 kali per hari menurut kelompok umur, semakin tua
kelompok umur semakin rendah proporsi konsumsi mie instant. Konsumsi mie instant lebih
banyak pada laki laki (5,7%) dibandingkan pada perempuan(4,9%). Tidak ada perbedaan di
perkotaan maupun perdesaan. Responden yang tidak bekerja cenderung lebih banyak

118
mengkonsumsi mie instant (7,3%) dibandingkan mereka yang bekerja. Berdasarkan kuintil
indeks kepemilikan, ada kecenderungan makin tinggi kuintil makin sedikit mengkonsumsi mie
instan, Sedangkan perilaku konsumsi makanan yang terbuat dari mie basah ≥1 kali per hari
sangat bervariasi pada semua katagori.
Untuk konsumsi roti, menurut kelompok umur tampaknya ada kecenderungan perilaku konsumsi
makanan roti ≥1 kaliper hari semakin tua kelompok umur semakin rendah proporsi konsumsi roti.
Tampak perbedaan konsumsi roti menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal,
perempuaan lebih banyak, begitu juga dengan yang tinggal di perkotaan. Ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pengeluaran RT perkapita dan semakin tinggi pendidikan, semakin besar
proporsi konsumsi roti.
Pola dari konsumsi biskuit tidak berbeda dengan pola konsumsi roti. Berdasarkan tabel
karakteristik diatas menurut kelompok umur tampaknya ada kecenderungan perilaku konsumsi
biskuit ≥1 kaliper hari, semakin tua kelompok umur semakin rendah proporsi konsumsi biskuit.
Konsumsi makanan biskuit lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki laki, Mereka
yang tinggal di perkotaan lebih besar proporsi makan biskuit di bandingkan di perdesaan. Ada
kecenderungan semakin tinggi tingkat pengeluaran RT perkapita dan semakin tinggi pendidikan,
semakin besar proporsi konsumsi biskuit.

40,00%

35,00%

30,00%

25,00%

20,00% mie instan


mie basah
15,00%
roti
10,00%
biskuit
5,00%

0,00%

Gambar 3.10.3.
Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas dengan konsumsi makanan olahan dari tepung ≥
1x/hari, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

3.10.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)1 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup
perilaku individu dan gambaran rumah tangga. Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada
indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif,
kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok,
penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah, Indikator
1
Program PHBS adalah upaya untuk memberi pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan
edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan
pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat.

119
Rumah Tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat,
kesesuaianluas lantai dengan jumlah penghuni (≥8m2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai
rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10
indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri
dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8), PHBS diklasifikasikan “kurang”
apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai
kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita.

Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator
PHBS ditetapkan sebelumnya.
Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementrian
Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi :1) Persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan;2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif;4)
penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun;6) memberantas jentik
nyamuk;7) memakai jamban sehat;8)makan buah dan sayur setiap hari;9)melakukan aktifitas
fisik setiap hari;10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013 untuk rumah tangga
dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk
rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7).
Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah
tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah
tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang
punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita. Jumlah
sampel rumah tangga dalam analisa PHBS ini adalah sebesar 294,959 (220,895 rumah tangga
tanpa balita dan 74,064 rumah tangga yang memiliki balita).

RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS
yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator
individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok
dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga
(sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam
PHBS RISKESDAS 2013 ini adalah sebagai berikut:
1. Persalinan oleh tenaga kesehatan
Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga
kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun waktu
tahun 2010 sampai tahun 2013)
2. Melakukan penimbangan bayi dan balita.
Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai
riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir.
3. Memberikan ASI eksklusif,
Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara
individu baduta usia 0 – 23 bulan. Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini
adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir
saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan
berumur enam bulan atau lebih.
4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun
saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar,
setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan
sebelum menyusui bayi (bilasedang menyusui).
5. Memakai jamban sehat,
Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan
jamban saja,
6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari,
Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau
sedang dalam tujuh hari seminggu,
7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari,

120
Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi
buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu,
8. Tidak merokok dalam rumah,
Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai
kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta
memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang
merokok,
9. Penggunaan air bersih.
Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang
menggunakan sumber air bersih dengan kategori ‘improved’ untuk seluruh keperluan
rumah tangga (‘JMP’),
10. Memberantas jentik nyamuk.
Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah
rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang
tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai.

Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 ini berbeda dengan indikator
yang digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan
kecenderungan kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS.

70,00%

60,00%

50,00%

40,00%

30,00%

20,00%

10,00%

0,00%

Gambar 3.10.4
Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumah tangga dengan balita
dan >=5 indikator untuk rumah tangga tidak punya balita, Nilai maksimal indikator yang terpenuhi adalah 10
indikator untuk rumah tangga dengan balita dan 7 indikator untuk rumah tangga tanpa balita,

Gambar 3.10.4 menunjukkan bahwa di Bali, persentase rumah tangga dengan PHBS baik
dijumpai sebesar 52,8%, dengan persentase tertinggi pada Gianyar (62,3%) dan persentase
terendah pada Buleleng (42,8%). Selain Buleleng, Bangli, Jembrana, Karangasem dan
Klungkung adalah lima kabupaten yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah
rerata Bali.

121
70,0%
60,0%
50,0%
40,0%
30,0%
20,0%
10,0%
0,0%

Gambar 3.10.5
Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gambar3.10.5 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan
(56,0%) dibandingkan di perdesaan (47,6%). Kalau ditinjau dari kuintil indeks kepemilikan,
menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah
tangga dengan PHBS baik meningkat, Kuintil indeks kepemilikan terbawah 30,1% dan yang
teratas 65,2%.

3.11. Pembiayaan Kesehatan

Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status),
ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness
of financing), (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan
penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber
pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang
dikeluarkannya.
Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yangharus disediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Jaminan kesehatan adalah jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang
yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013).
Menurut UU No, 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan
bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya
guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain.
Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang
memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin
agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
optimal (UU No, 36, 2009).

122
Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan
jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap
berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi Biaya sendiri, Asuransi
Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial
Tenaga Kerja), Asuransi kesehatan swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

3.11.1. Kepemilikan Jaminan Kesehatan


Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun
yang tidak tercakup jaminan kesehatan, Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan
(PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian
Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda, Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI
dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran
jaminan tersebut,

Tabel 3.11.1
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Kabupaten Jenis Jaminan Kesehatan
Askes/ Jamsostek Askes Perusahaan Jamkesmas Jamkesda Tidak
Asabri Swasta punya
Jembrana 6,0 1,1 0,3 0,1 3,6 92,1 2,3
Tabanan 8,5 2,7 1,5 0,8 17,6 67,9 6,6
Badung 4,2 8,7 8,1 10,8 9,1 71,1 5,9
Gianyar 9,1 3,7 1,4 1,5 4,8 78,1 5,5
Klungkung 11,1 2,5 1,3 0,6 16,0 73,4 1,0
Bangli 12,0 1,5 1,3 0,4 9,5 63,9 19,9
Karang Asem 5,1 0,5 0,7 1,2 22,0 80,4 8,8
Buleleng 6,6 1,5 1,1 0,1 23,9 58,0 13,1
Kota Denpasar 7,8 14,0 9,6 6,9 6,0 52,4 21,7
Bali 7,3 5,5 3,9 3,5 12,4 67,7 11,0
INDONESIA 6,0 4,4 1,7 1,7 28,9 9,6 50,5

Tabel 3.11.1 menunjukkan 11,0 persen penduduk Bali belum memiliki jaminan kesehatan,
Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 7,3 persen penduduk, Jamsostek 5,5 persen, asuransi
kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 3,9 dan 3,5
persen, Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesda (67,7%) dan Jamkesmas (12,4%).
Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut Kabup[aten/kota sangat bervariasi,
Kabupaten Jembrana menjadi kabupaten yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan
diantara Kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 97,7 persen penduduk atau hanya 2,3 persen yang
tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya Kota Denpasar adalah daerah dengan cakupan
kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah dengan 21,7 persen penduduk tidak punya
jaminan.
Selain kota Denpasar, terdapat dua Kabupaten lain dengan cakupan kepemilikan jaminan
kesehatan kurang dari rata-rata Bali 89 persen, Daerah tersebut adalah Kabupaten Bangli
(19,9%) dan Buleleng (13,1%).
Tabel 3.11.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi
kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan.

123
Tabel 3.11.2
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Jenis Jaminan Kesehatan


Karakteristik
Askes/ Askes Tidak
Jamsostek Perusahaan Jamkesmas Jamkesda
Asabri Swasta punya

Kel umur (tahun)


0-4 3,6 5,5 4,7 3,1 11,5 62,7 17,7
5 -14 6,1 5,3 3,5 3,8 14,1 69,3 9,4
15-24 8,2 5,5 3,6 4,0 11,2 63,7 14,1
25-34 4,2 9,9 4,7 4,9 13,2 64,3 13,0
35-44 6,5 6,4 5,4 4,3 13,4 68,8 9,5
45-54 13,1 3,5 3,6 2,7 11,6 68,5 7,1
55-64 11,6 0,9 2,3 0,9 9,3 73,8 7,9
65-74 9,0 0,3 1,0 0,3 12,5 75,6 7,5
75+ 7,0 0,3 10,2 77,7 11,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 9,2 4,1 3,1 2,6 11,7 68,7 10,8
Pegawai 16,6 16,4 8,1 10,4 5,4 54,2 9,7
Wiraswasta 4,2 2,9 6,3 2,0 6,7 75,4 11,4
Petani/Nelayan/Buruh 1,1 0,4 0,3 0,2 21,5 74,1 9,2
Lainnya 6,2 1,2 0,8 0,3 16,7 71,4 14,1
Tempat tinggal
Perkotaan 8,5 8,1 6,1 5,5 8,6 63,7 12,8
Perdesaan 5,4 1,3 0,5 0,4 18,2 73,8 8,2
Kuintil Indeks
Kepemilikan
Terbawah 0,8 0,1 0,0 0,1 29,7 71,8 8,3
Menengah bawah 1,4 1,7 0,3 0,5 21,1 71,0 10,7
Menengah 4,7 3,6 0,9 1,9 11,4 72,5 13,0
Menengah atas 10,3 8,2 3,8 5,0 4,9 63,9 13,6
Teratas 15,3 10,9 11,5 7,8 1,8 61,9 9,1

Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih sedikit yang memiliki jaminan kesehatan
dibanding di perdesaan, terutama untuk jenis selain jamkesmas dan jamkesda. Kondisi
kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar
kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5 tahun
adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (17,7%). Kelompok umur 14-24 dan 24-34
adalah kelompok tertinggi berikutnya yang tidak mempunyai kepemilikan jaminanan kesehatan.
Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang
tidak memiliki jaminan adalah kelompok pekerjaan lainnya (14,1%). Sedangkan yang terendah
adalah kelompok petani/nelayan dan buruh (9,2%) karena dijamin oleh Jamkesmas dan
Jamkesda. Kelompok terendah yang lain adalah pegawai (9,7%) yang terdiri dari pegawai formal
ataupun non formal. Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran,
sebanyak 11,4 persen kelompok wiraswasta ini masih belum memiliki jaminan kesehatan
apapun.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kepemilikan jaminan kesehatan Askes, Jamsostek, Askes
swasta dan jaminan kesehatan oleh Perusahaan menunjukkan bahwa makin kuintil indeks
kepemilikan makin tinggi pula kepemilikan jaminan tersebut. Kondisi ini berbanding terbalik
dengan kepemilikan Jamkesmas, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan makin rendah
kepemilikan Jamkesmas. Walaupun Jamkesmas adalah jaminan kesehatan yang ditujukan dan
diutamakan pada kelompok menengah ke bawah, akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada

124
penduduk menengah atas (4,9%) dan teratas (1,8%). Di Bali terdapat jamkesda yang dikenal
dengan istilah Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Sasaran program JKBM tersebut
adalah penduduk Bali yang sudah terdaftar dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
anggota keluarganya. Karena program tersebut, adalah hal yang sudah seharusnya bila
kepemilikan Jamkesda cukup tinggi pada semua kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks
kepemilikan.
3.11.2. Mengobati Sendiri, Pemanfaatan Rawat Jalan dan Rawat Inap
Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan
rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan
mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di
apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Analisis pemanfaatan rawat jalan
merupakan pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh seseorang dalam satu bulan terakhir untuk
mengatasi gangguan kesehatan dirinya. Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) suatu
bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh
rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin, Pemanfaatan rawat inap ditanyakan
dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

Tabel 3.11.3
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut
kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten Mengobati sendiri
Rp
Jembrana 21,8 3,500,00
Tabanan 20,1 2,000,00
Badung 19,6 10,000,00
Gianyar 4,6 10,000,00
Klungkung 23,0 4,000,00
Bangli 21,5 2,000,00
Karang Asem 15,8 4,000,00
Buleleng 16,6 5,000,00
Kota Denpasar 14,4 10,000,00
Bali 16,3 5,000,00
INDONESIA 26,4 5,000,00

Tabel 3.11.3 menggambarkan proporsi penduduk Bali yang mengobati diri sendiri dalam satu
bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah
16,3 persen dengan median pengeluaran sebesar Rp,5,000, Klungkung, Jembrana, Bangli,
Tabanan dan Badung adalah lima kabupaten tertinggi dalam melakukan pengobatan sendiri
untuk periode satu bulan terakhir, Mengenai median pengeluaran saat melakukan pengobatan
sendiri, bervariasi mulai sebesar Rp,2,000, sampai Rp, 10,000, kota Denpasar, Gianyar dan
Badung adalah daerah dengan median pengeluaran tertinggi yaitu sebesar Rp,10,000.

125
Tabel 3.11.4
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran median biaya menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Mengobati diri sendiri
Rp
Kel umur
0-4 tahun 10,7 13,000,00
5-14 tahun 10,7 5,000,00
15-24 tahun 15,0 5,000,00
25-34 tahun 18,5 5,000,00
35-44 tahun 21,8 5,000,00
45-54 tahun 19,6 5,000,00
55-64 tahun 18,1 5,000,00
65-74 tahun 15,5 10,000,00
75+ tahun 11,2 6,000,00
Pekerjaan
Tidak bekerja 14,7 5,000,00
Pegawai 17,4 7,000,00
Wiraswasta 19,2 5,000,00
Petani/Nelayan/Buruh 20,3 2,500,00
Lainnya 21,2 3,000,00
Tempat tinggal
Perkotaan 16,1 7,000,00
Perdesaan 16,6 3,000,00
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 19,9 2,000,00
Menengah bawah 16,5 3,000,00
Menengah 15,3 5,000,00
Menengah atas 17,2 7,500,00
Teratas 14,1 11,000,00

Tabel 3.11.4 menggambarkan proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan
besaran biayanya menurut Karakteristik. Dilihat berdasarkan kelompok usia, proporsi yang
mengobati sendiri makin meningkat sampai kelompok usia 35-44, Sedangkan dari besaran
biayanya, pengeluaran terbesar adalah untuk mengobati mereka pada kelompok usia 0-4 tahun
yakni Rp, 13,000.

Berdasarkan tempat tinggal, proporsi penduduk daerah perkotaan tidak banyak berbeda dengan
penduduk perdesaan dalam hal melakukan pengobatan sendiri. Perbedaaanya adalah besaran
rupiah yang digunakan mengobati sendiri seperti dengan cara membeli obat ditoko obat atau
diwarung, Penduduk perkotaan lebih tinggi pengeluarannya dari pada perdesaan, Median biaya
yang dikeluarkan perkotaan sebesar Rp,7,000, dan di perdesaan sebesar Rp, 3,000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang terbawah untuk
mengobati sendiri (14,1%) dengan biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya yaitu
Rp,11,000. Kecenderungan yang tampak adalah makin tinggi kuintil indeks kepemilikan makin
tinggi pula biaya pengobatan yang dikeluarkan.
Tabel 3.11.5 menggambarkan 13,4 persen penduduk Bali dalam satu bulan terakhir melakukan
rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp,40,000. Klungkung dan Bangli
merupakan dua Kabupaten dengan proporsi penduduk tertinggi yang melakukan rawat jalan.
Masing-masing 24,2% dan 24,0 dengan median biaya sebesar Rp, 35,000 dan Rp, 30,000
dalam satu bulan terakhir. Sedangkan yang paling sedikit melakukan rawat jalan adalah
penduduk Gianyar.

126
Tabel 3.11.5
Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Rawat Jalan Rawat Inap

Rp Rp

Jembrana 16,1 30,000 2,2 3,000,000


Tabanan 22,4 35,000 3,6 1,300,000
Badung 14,7 50,000 2,4 5,000,000
Gianyar 2,3 40,000 1,5 3,000,000
Klungkung 24,2 35,000 3,2 2,000,000
Bangli 24,0 30,000 3,8 2,000,000
Karang Asem 11,7 50,000 2,8 1,200,000
Buleleng 12,9 35,000 2,1 1,940,000
Kota Denpasar 9,7 60,000 2,7 3,000,000

Bali 13,4 40,000 2,6 2,500,000

Dalam satu tahun terakhir, 2,6 persen penduduk Bali melakukan rawat inap dengan median
biaya sebesar Rp,2,500,000, Penduduk Bangli, Tabanan dan Klungkung adalah yang tertinggi
dalam pemanfaatan rawat jalan juga tertinggi untuk pemanfaatan rawat inap. Median biaya rawat
inap terbesar dalam satu tahun terakhir adalah Rp,5,000,000 pada kabupaten Badung.
Sedangkan median biaya rawat inap terendah Rp, 1,200,000, pada penduduk kabupaten
Karangasem.

127
Tabel 3.11.6
Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp)
berdasarkan karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Rawat Jalan Rawat Inap
Rp Rp

Kel umur
0-4 tahun 20,3 40,000 3,2 3,000,000
5-14 tahun 11,4 35,000 1,2 2,500,000
15-24 tahun 8,2 45,000 2,5 2,500,000
25-34 tahun 9,1 40,000 2,3 1,500,000
35-44 tahun 12,5 50,000 2,5 1,750,000
45-54 tahun 15,0 40,000 2,5 3,000,000
55-64 tahun 21,6 50,000 3,5 3,500,000
65-74 tahun 23,5 50,000 5,7 1,600,000
75+ tahun 23,8 48,000 4,6 4,000,000
Tempat tinggal
Perkotaan 11,1 50,000 2,5 3,000,000
Perdesaan 16,9 35,000 2,7 1,500,000
Indeks Kuintil Kepemilikan
Terbawah 15,3 30,000 1,9 1,150,000
Menengah bawah 15,6 35,000 2,8 1,450,000
Menengah 14,2 40,000 2,4 2,000,000
Menengah atas 11,9 45,000 2,6 2,000,000
Teratas 11,2 80,000 2,9 4,500,000

Tabel 3.11.6 menggambarkan proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya
yang dikeluarkan berdasarkan karakteristik, sebesar 20,3 persen balita dalam satu bulan terakhir
melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp,30,000 pada satu bulan terakhir.
Kelompok lanjut usia mulai 55 tahun keatas merupakan kelompok proporsi tertinggi yang
melakukan rawat jalan dengan median biaya Rp, 48,000, sampai 50,000, sedangkan kelompok
15-24 tahun adalah pemanfaat terendah.
Sebanyak 3,2 persen kelompok balita memanfaatkan rawat inap dan jumlah tersebut lebih tinggi
daripada angka Bali (2,6%) dan nasional (2,3%). Tabel 3,11,6 juga menggambarkan
kecenderungan pemanfaatan fasilitas rawat inap dalam satu tahun terakhir menurut kelompok
usia semakin meningkat dari segi persentasenya.
Pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap di perkotaan lebih kecil dibandingkan perdesaan.
Namun untuk biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan
sebesar Rp,50,000, sedangkan di perdesaan sebesar Rp,35,000. Biaya rawat inap satu tahun
terakhir di perkotaan sebesar Rp,3,000,000, Jumlah tersebut sekitar dua kali lipat biaya rawat
inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp,1,500,000.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, pengeluaran untuk rawat jalan dan rawat inap paling tinggi
pada kelompok penduduk kuintil teratas. Kecenderungan yang tampak adalah makin tinggi kuintil
indeks kepemilikan, makin tinggi pula biaya rawat jalan dan rawat inap yang dikeluarkan.

3.11.3. Sumber Pembiayaan


Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat, Riskesdas
2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang
memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun
terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS,
veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum

128
dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.
Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (satu tahun
terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir
(rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median.
Tabel 3.11.7 menggambarkan bahwa sumberbiaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Bali
masih didominasi (71,0%) pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of
pocket). Kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesda (15,2%) dan Jamkesmas
(4,3%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (1,0%), Sumber biaya rawat
jalan dari Askes/ASABRI sebesar 2,7 persen, Jamsostek 1,5 persen, tunjang kesehatan
Perusahaan 2,2 persen, sumber lainnya 1,3 persen dan sebanyak 0,8 persen dibiayai lebih dari
satu sumber.
Sumber biaya rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri atau keluarga tertinggi adalah di
Bangli (84,7%). Selain itu terdapat tiga kabupaten lagi yang melebihi angka Bali, yakni
Karangasem (76,7%), Badung (73,9%) dan Buleleng (72,6%). Dua kabupaten dengan
pembiayaan out of pocket terendah adalah Gianyar (54,6%) dan Klungkung (58%). Di kedua
kabupaten tersebut, sumber biaya rawat jalan paling banyak berasal dari Jamkesda dan
Jamkesmas.

Tabel 3.11.7
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Sumber biaya rawat jalan di semua fasilitas kesehatan
Lebih
Kabupaten/kota Biaya Askes/ Asuransi Sumber
Jamsostek Jamkesmas Jamkesda Perusahaan dr 1
sendiri ASABRI swasta Lainnya
Sumber
Jembrana 68,9 1,1 0,1 1,1 28,2 0,1 0,4
Tabanan 71,0 5,0 0,1 7,7 14,1 0,3 1,7
Badung 73,9 1,4 2,7 1,3 1,7 11,7 6,2 1,2
Gianyar 54,6 1,6 2,6 7,8 31,9 1,4
Klungkung 58,0 4,6 0,7 8,5 26,8 0,5 0,6 0,3
Bangli 84,7 2,9 0,7 7,4 0,7 1,6 2,1
Karangasem 76,7 1,1 3,5 16,9 0,5 1,3
Buleleng 72,6 2,4 0,6 6,5 15,0 0,3 2,0 0,7
Denpasar 64,1 2,6 5,8 4,7 3,0 10,1 6,2 2,8 0,6
Bali 71,0 2,7 1,5 1,0 4,3 15,2 2,2 1,3 0,8

129
Tabel 3.11.8
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Sumber Biaya Rawat jalan Semua Fasilitas
Lebih dr
Karakteristik
Biaya Askes/ Asuransi Jamkesda Sumber 1
Sendiri ASABRI Jamsostek Swasta Jamkesmas Perusahaan Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 68,7 3,5 2,9 1,9 3,7 13,1 4,0 1,7 0,5
Perdesaan 73,3 1,9 0,2 0,1 5,0 17,4 0,2 0,9 1,1

Kuintil indeks
kepemilikan
Terbawah 72,5 0,4 7,9 17,0 1,1 1,1
Menengah bawah 70,5 0,9 0,2 7,6 19,7 0,4 0,0 0,8
Menengah 74,6 1,6 0,5 0,4 3,1 17,5 0,5 1,1 0,6
Menengah atas 68,9 5,2 2,7 0,3 2,3 14,3 3,3 2,2 0,8
Teratas 68,5 5,4 4,2 4,0 0,9 7,8 6,4 2,0 0,7
Tabel 3.11.8 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes. ASABRI, JPK
Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak
dimanfaatkan di daerah perkotaan, Di daerah perdesaan lebih banyak memanfaatkan
Jamkesmas dan Jamkesda.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas
kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi
lebih dari 68 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 72,5 persen melakukan rawat
jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas
terdapat 68,5 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada
penduduk kuintil terbawah (7,9%), kecenderungannya, makin tinggi kuintil indeks kepemilikan
makin sedikit yang menggunakannya Jamkesmas. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya
rawat jalan dari Askes, ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan
kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin
tinggi. Sedangkan pemanfaatan sumber biaya dari Jamkesda menunjukan variasi yang tidak
terlalu berbeda antar karakteristik penduduk baik menurut tempat tingal maupun kuintil indeks
kepemilikan.

Tabel 3.11.9
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali
Riskesdas 2013
Sumber biaya rawat inap di semua fasilitas kesehatan
Lebih dr
Kabupaten Biaya Askes/ Asuransi Sumber
Jamsostek Jamkesmas Perusahaan 1
Sendiri ASABRI Swasta Jamkesda Lainnya
Sumber
Jembrana 60,9 2,4 3,8 26,6 1,5 4,9
Tabanan 46,5 6,3 1,5 12,1 9,2 1,3 2,3 20,9
Badung 50,7 0,5 5,3 3,6 15,4 20,4 4,0
Gianyar 39,3 2,2 5,5 2,5 44,8 5,7
Klungkung 46,3 1,2 10,0 29,9 3,4 9,2
Bangli 37,8 2,4 1,6 2,9 7,2 12,3 1,5 34,3
Karangasem 39,8 4,2 14,0 34,0 2,0 6,0
Buleleng 46,3 5,2 1,5 9,6 13,5 7,8 16,2
Denpasar 41,8 5,8 6,8 5,0 7,0 8,2 12,7 3,3 9,2
Bali 44,8 4,0 2,5 1,9 8,1 17,9 5,9 2,5 12,3

130
Tabel 3.11.9 memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua
fasilitas kesehatan di Bali masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 44,8
persen. Kondisi ini menarik untuk dikaji lebih jauh, mengingat hanya sekitar 11 persen penduduk
Bali belum memiliki jaminan kesehatan, Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber
biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda.
Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah
Jamkesda 17,9 persen, lebih dari satu sumber (12,3%), Jamkesmas (8,1%). Perusahaan (5,9%)
dan Askes/ASABRI 4 persen. Prosentase terkecil sumber biaya untuk rawat inap pada semua
fasilitas kesehatan adalah dari Asuransi swasta (1,9%) dan Jamsostek (2,5%).
Tabel 3.11.10
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas
Lebih dr
Karakteristik Biaya Askes/ Asuransi Sumber
Jamsostek Jamkesmas Jamkesda Perusahaan 1
Sendiri ASABRI Swasta Lainnya
Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 46,0 4,2 3,7 2,2 5,1 16,6 10,0 2,5 9,6
Perdesaan 43,1 3,7 0,8 1,5 12,4 19,9 2,4 16,2

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 30,4 20,7 23,0 1,4 24,6
Menengah
39,3 2,9 1,6 13,5 26,3 2,1 14,4
bawah
Menengah 49,5 3,6 0,6 6,6 22,8 3,3 1,9 11,6
Menengah
48,2 5,6 5,5 1,8 5,7 13,0 7,7 2,8 9,7
atas
Teratas 49,6 5,4 3,7 5,0 1,5 10,5 13,0 3,3 8,0

Tabel 3.11.10 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada
semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes, ASABRI, JPK
Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak
dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas dan Jamkesda
lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan
selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil.
Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri
pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 30 persen. Pada penduduk
kuintil terbawah didapati 30,4 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa
jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas didapatkan 49,6 persen, Sumber biaya
rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (20,7%),
sebaliknya pada penduduk teratas hanya 1,5 persen yang menggunakannya.

3.12. Kesehatan Reproduksi

Kesehatan Reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas tahun 2010, dan pada saat
itu hanya memberikan gambaran nasional. Pada Riskesdas 2013 ini bertujuan untuk
menyediakan menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi untuk tingkat nasional
maupun provinsi sehingga provinsi memungkinkan untuk mendapatkan informasi tentang
indikator cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas sebagai komplemen dari data
rutin.
Tujuan dari blok kesehatan reproduksi adalah menyediakan informasi yang terkait dengan MDGs
ke lima yaitu meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi.
Informasi yang dikumpulkan pada Blok Kespro sebagai berikut:

131
1. Kehamilan saat ini yaitu, kejadian kehamilan seluruh penduduk perempuan 10-54 tahun yang
dilaporkan oleh rumah tangga pada saat wawancara,
2. Penggunaan cara/alat Keluarga Berencana (KB) saat ini
3. Cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas (antenatal care
/ANC, penolong persalinan dan pelayanan ibu nifas),
4. Isu kespro (umur perkawinan pertama kali, umur pertama kali melakukan hubungan seksual,
kehamilan yang tidak diinginkan).
Pertanyaan blok kesehatan reproduksi terkait dengan masalah kesehatan ibu, ditanyakan
kepada semua perempuan 10-54 tahun.
Analisis data kesehatan reproduksi ini menggunakan 3 subset data hasil Riskesdas 2013,
sebagai berikut;
1. Data keterangan anggota rumah tangga untuk mendapatkan proporsi penduduk yang sedang
hamil saat ini,
2. Data individu perempuan 10-54 tahun untuk penggunaan cara/alat KB dan beberapa isu
kespro, Untuk indikator CPR (Contraceptive Prevalence Rate) khusus WUS (wanita usia
subur) 15-49 tahun berstatus kawin/ hidup bersama,
3. Data riwayat kelahiran (lahir hidup/lahir mati/keguguran) pada periode 1 Januari 2010 sampai
saat wawancara, termasuk yang sedang hamil saat wawancara berlangsung, Untuk analisis
cakupan pelayanan saat hamil sampai masa nifas menggunakan data dari seluruh kelahiran
(lahir hidup/lahir mati)
Resume jumlah sampel yang digunakan untuk analisis disajikan dalam Tabel 3.12.1

Tabel 3.12.1
Indikator utama dan unit analisis yang digunakan blok kesehatan reproduksi, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Indikator Unit Analisis

Proporsi Hamil
Proporsi kehamilan Semua anggota rumah tangga perempuan 10-54
tahun
Pelayanan program KB
Penggunaan KB saat ini, CPR, jenis KB yang WUS (15-49 tahun) berstatus kawin
digunakan
Tenaga & Tempat pelayanan KB modern WUS kawin yg menggunakan KB modern
Alasan utama tidak KB WUS kawin yang tidak menggunakan KB
Pelayanan kesehatan ibu
Masa Kehamilan:
Pemeriksaan kehamilan: Jumlah kelahiran (LH dan LM) dari riwayat
K1, K1 ideal, K4 dan ANC 4x + kehamilan 1 Jan 2010 sd wawancara
Konsumsi zat besi, Buku KIA
Pelayanan ANC: Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1
- Tempat Januari 2010 sd saat wawancara, yang
- Tenaga melakukan ANC
Saat Bersalin:
Cakupan pelayanan ibu bersalin: Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan
- Proporsi Linakes, 2010 sd wawancara
- Proporsi tempat bersalin
Masa Nifas:
Cakupan Masa Nifas (KF) Jumlah kelahiran (LH dan LM) periode 1 Jan
Cakupan Kb Pasca Salin 2010 sd wawancara
Isu kesehatan reproduksi
- Umur perkawinan pertama Semua perempuan 10-54 tahun yang berhasil
- Umur pertama melakukan hubungan diwawancarai
seksual

132
3.12.1 Kehamilan Saat Ini
Riskedas 2013 mengumpulkan informasi tentang karakteristik seluruh Anggota Rumah Tangga
(ART) dengan menggunakan kuesioner rumah tangga (RKD2013,Ruta). Kepala rumah tangga
atau yang mewakili selain ditanya tentang informasi karakteristik seluruh ART, juga ditanya
tentang adanya ART perempuan 10-54 tahun yang sedang hamil, Informasi tentang kehamilan
ini memberi gambaran proporsi penduduk Indonesia yang sedang hamil.
Proporsi kehamilan usia 10-54 tahun di Indonesia adalah 2,68 persen. Di antara penduduk
perempuan 10-54 tahun tersebut, terdapat kehamilan pada umur sangat dini (< 15 tahun)
meskipun dengan proporsi yang sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19
tahun) adalah 1,97 persen.

3.12.2. Pelayanan Program Keluarga Berencana


Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan Program Keluarga Berencana
Nasional, Salah satu indikator program KB adalah penggunaan KB saat ini dan CPR.
CPR yaitu persentase penggunaan cara/alat KB oleh pasangan usia subur (PUS) dalam hal ini
adalah WUS kawin/hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010).
Analisis penggunaan KB ini dilakukan pada kelompok WUS berstatus kawin dan hidup bersama,
Pada saat analisis, penetapan jenis alat/cara KB merujuk pada efektivitas alat/cara KB yang
digunakan, Apabila responden menggunakan lebih dari 1 alat/cara KB maka yang dipilih adalah
yang paling efektif.
Indikator penggunaan KB dan CPR KB modern ini memungkinkan untuk memberikan gambaran
sampai tingkat provinsi dan Kab/Kota yang disajikan dalam Laporan Riskesdas Provinsi, Khusus
untuk tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB, analisis dilakukan dari penduduk yang
menggunakan KB modern.

3.12.2.1. Pola Penggunaan KB Saat ini


Gambar 3.12.1 merupakan proporsi penggunaan KB saat ini di Bali dari Riskesdas 2013,
Proporsi penggunaan KB hasil Riskesdas 2013 menurut provinsi secara rinci dapat diihat pada
Buku Tabel. Pada Riskesdas 2013 penggunaan KB saat ini adalah 63 persen, Gambar tersebut
menunjukkan bahwa secara umum proporsi penggunaan KB antar kabupaten/kota di Bali
bervariasi, Pada Riskesdas 2013, besarnya proporsi penggunaan KB terendah 50,8 persen
(Denpasar) dan tertinggi 72,2 persen (Bangli), Sebaliknya proporsi WUS kawin yang tidak
pernah menggunakan KB, tertinggi adalah Kota Denpasar (25,9%) dan terendah adalah
Jembrana (7,6%).

80 72,2
70 63
60 50,8
50
40
30 25,9
saat ini KB
20 14,7
7,6 tidak pernah KB
10
0

Gambar 3.12.1
Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

133
Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat/cara KB modern dan cara tradisional. Penggunaan
menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional.
Indikator CPR modern merupakan salah indikator MDGs ke lima dengan target peningkatan
CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).
Gambar 3.12.2 menyajikan pola penggunaan KB yang didominasi oleh alat/cara KB modern
(61,7%) dibanding cara tradisional (1,3%), Alat/cara KB modern terdiri dari kondom pria/wanita,
sterilisasi pria, sterilisasi wanita, IUD/AKDR/spiral, pil, suntikan, dan diafragma serta
susuk/implant. Sedangkan alat/cara KB tradisional meliputi metode menyusui alami, pantang
berkala/kalender dan senggama terputus dan lainnya, Kabupaten dengan proporsi penggunaan
KB modern tertinggi di Bangli (71,1%) dan terendah di Denpasar (50,5%), sedangkan
kabupaten/kota dengan penggunaan KB tradisional tertinggi adalah Badung (5,6%).

120

Tidak KB 100
Pernah modern
80
KB 61,7%
14,7% 60
sekarang
KB 40
63% 20
KB 0
Pernah tradision
KB al
1,3% Tidak pernah
22,2%

Gambar 3.12.2 Gambar 3.12.3


Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini
oleh WUS kawin dan kelompok umur, oleh WUS kawin dan kelompok umur,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013 Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gambar 3.12.3 adalah pengguna alat/cara KB menurut kelompok umur, Dari gambar tersebut
terlihat bahwa proporsi penggunaan KB saat yang terbanyak adalah kelompok umur 35-66 tahun
yaitu lebih dari 69,3 persen. Kelompok umur 15-19 tahun dan 45-49 tahun adalah kelompok
umur yang paling sedikit menggunakan alat/cara KB yaitu masing-masing 55,2 persen.
Proporsi penggunaan cara/alat KB menurut karakteristik lainnya disajikan pada buku Tabel.
Wilayah perdesaan lebih banyak yang pada saat ini menggunakan KB (71,2%) dibanding di
perkotaan (57,9%). Sedangkan berdasarkan kuntil indeks kepemilikan terbanyak pengguna
alat/cara KB adalah kelompok terbawah dan menengah bawah (71,5% dan 70,1%), WUS kawin
yang tidak pernah menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang berpendidikan tinggi/
lulus PT (34,2%), wiraswasta (19,0%) dan mereka dengan kuintil indeks kepemilikan teratas 19,8
persen.
3.12.2.2. Penggunaan KB Kandungan Hormonal dan Jangka Waktu Efektivitas
Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Tabel, tentang jenis-jenis alat/cara KB
yang digunakan menurut kelompok KB modern dan KB tradisional. Berdasarkan jenis alat KB
modern tersebut dapat dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan jangka waktu
efektivitas alat KB modern yang digunakan.
Pengelompokan KB hormonal adalah KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan non
hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/IUD, diafragma dan kondom.
Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD,
sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.

134
Tabel 3.12.2
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kandungan
hormonal dan jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013
Kandungan hormon Jangka waktu efektivitas
Kabupaten/Kota Cara modern
Hormonal Non hormonal MKJP Non MKJP
Jembrana 61,2 49,1 12,4 18,0 43,5
Tabanan 70,3 41,8 28,5 28,6 41,7
Badung 61,3 35,5 26,9 24,3 38,1
Gianyar 68,1 36,9 31,1 30,7 37,4
Klungkung 63,1 35,9 28,4 31,6 32,7
Bangli 71,7 42,3 29,7 29,1 43,0
Karang Asem 70,6 48,2 22,8 26,4 44,5
Buleleng 65,2 44,5 20,9 21,8 43,6
Kota Denpasar 50,9 29,7 21,2 21,2 29,6
Provinsi Bali 62,7 38,8 24,2 24,7 38,2

Tabel 3.12.2 adalah proporsi penggunaan KB modern menurut kandungan hormonal dan jangka
waktu efektivitas. Kabupaten Jembrana merupakan daerah paling banyak menggunakan
alat/cara KB hormonal (49,1%), sedangkan Denpasar (29,7%) merupakan kota paling sedikit
dalam penggunaan alat/cara KB hormonal. Alat/cara KB non hormonal paling banyak digunakan
di kabupaten Gianyar (31,71) dan paling sedikit di Jembrana (12,4%), Klungkung (31,6%) dan
Gianyar (30,7%) merupakan kabupaten terbanyak WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB
non MKJP sedangkan yang paling sedikit adalah Jembrana (18,0%).

3.12.2.3 Tenaga dan Tempat untuk Pelayanan KB Modern


Informasi tenaga dan tempat pelayanan KB modern bermanfaat untuk evaluasi pelaksanaan
program pelayanan KB, Gambar 3.12.4 dan Gambar 3.12.5 menunjukkan proporsi WUS
berstatus kawin (15-49 tahun) berdasarkan tenaga dan tempat pelayanan KB. Tenaga yang
banyak memberi pelayanan KB adalah bidan hingga 81,5 persen, sangat kontras dengan tenaga
kesehatan lainnya hanya mencapai 13,7 persen.

90 81,5 Posyand Polindes Apotek/l


80 u 1,6% ainnya
Praktek Klinik/BP
70 0,4% RS 6%
Perawat 1,1%
10,4%
60 1% Puskesm
50 as/Pust Tim
40 13,3% KB/
30 medi
20 13,7 s
Praktek kelili
10 3,5 1,3
Bidan ng
0 1%
Praktek
60,9%
Dokter
4,4%

Gambar 3.12.4 Gambar 3.12.5


Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih Proporsi penggunaan fasilitas kesehatan
untuk mendapat pelayanan KB yang dipilih
WUS kawin, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

135
Pada Gambar 3.12.5 tempat pelayanan KB yang paling diminati adalah praktek bidan (60,9%),
selanjutnya adalah di puskesmas (13,3%), dan rumah sakit (6,5%). Tempat yang paling sedikit
diminati adalah di Posyandu (0,4%), praktek perawat dan tim KB/ medis keliling.
Berdasarkan karakteristik daerah sebagaimana terdapat pada buku Tabel 3.12.8, terdapat
perbedaan penggunaan tenaga kesehatan. Penduduk di perkotaan lebih banyak memanfaatkan
RS, Klinik BP, Dokter Praktek dan Apotek sebagai fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan
KB yang dipilih WUS kawin, Adapun penduduk perdesaan lebih memilih puskesmas/pustu, tim KB/
medis keliling, Bidan dan Polindes.

3.12.2.4 Alasan Utama tidak menggunakan alat/cara KB


Pada Riskesdas 2013, responden yang pernah ber KB atau tidak pernah menggunakan alat/cara
KB sama sekali, ditanya tentang alasan utama tidak ber KB. Secara umum, alasan utama terkait
dengan hak setiap perempuan untuk mempunyai anak sehingga tidak menggunakan KB. Untuk
alasan karena masalah fertilitas menunjukkan mereka memang tidak memerlukan KB lagi.
Alasan lainnya seperti masalah kepercayaan, dilarang suami/keluarga, kurang pengetahuan,
masalah akses alat KB, takut efek samping dan alasan tidak nyaman dapat menjadi informasi
penting bagi pemerintah dalam merancang program intervensi untuk meningkatkan cakupan KB.
Alasan utama tidak menggunakan alat/cara KB dapat dilihat pada Gambar 3.12.7 sedangkan
Tabel 3.12.12 dan Tabel 3.12.13 pada Buku 2 alasan menurut provinsi, Provinsi dengan
persentase paling tinggi untuk alasan karena dilarang agama/kepercayaan di Kalimantan Barat
(2,4%), dilarang suami/keluarga di Provinsi NTB (5,9%) dan kurang pengetahuan di Papua
(1,9%). Provinsi DIY paling tinggi yang memberi alasan takut efek samping (26,0%), Alasan
akses alat paling tinggi di Provinsi Papua Barat dan Maluku masing-masing 4,3 persen,
sedangkan masalah ketidaknyaman paling tinggi dikeluhkan di Provinsi Sumatera Utara (21,8%)
(Tabel 3.12.11 buku 2). Pada Tabel 3.12.12 buku 2 untuk alasan utama pada WUS kawin yang
tidak pernah menggunakan alat/cara KB menurut provinsi adalah Papua paling tinggi untuk
alasan masalah agama (9,8%), dilarang suami/keluarga (12%), kurang pengetahuan (18,5%),
provinsi DIY paling banyak memberi alasan takut efek samping (24,9%), di Papua Barat provinsi
paling tinggi karena masalah akses terhadap alat KB (3,5%) dan Maluku paling tinggi
menyatakan tidak nyaman (11,4%).
Alasan tersebut merupakan informasi yang dapat menjadi masukan bagi perencana program
dalam merancang intervensi untuk meningkatkan pelayanan KB.

Tidak nyaman
Tidak pernah KB
Pernah KB
Takut efek samping

Dilarang suami/ keluarga

Responden tidak ingin

Fertilitas
0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0

Gambar 3.12.6
Proporsi alasan utama tidak menggunakan KB bagi WUS kawin pernah dan tidak pernah ber KB,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

136
3.12.3 Pelayanan Kesehatan Masa Kehamilan, Persalinan dan Nifas
Setiap kehamilan memiliki risiko untuk menghadapi kematian ibu, Pemantauan dan perawatan
kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk
kelangsungan hidup ibu dan bayinya, Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu,
Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di
masyarakat,
Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan,
Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1
Januari 2010 sampai dengan wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat
pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas, Analisis dilakukan terhadap
49,603 kelahiran untuk mendapat gambaran indikator pelayanan kehamilan, persalinan sampai
masa nifas,
Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu,
1. Cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali
2. Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten

3.12.3.1. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Indikator Cakupan ANC


ANC (Antenatal Care) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan
dalam Standar Pelayanan Kebidanan/ SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010),
Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan,
dokter umum, bidan dan perawat,

Definisi Operasional Indikator ANC


K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi
kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan
ibu hamil minimal 1 kali tanpa
memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
K1 ideal adalah proporsi kelahiran yang
mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
pertama kali pada trimester 1.
K4 adalah proporsi kelahiran yang mendapat
pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali
dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1
kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada
trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.
ANC minimal 4 kali adalah proporsi kelahiran
yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil
minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode
waktu pemeriksaan.

137
Tabel 3.12.3
Persentase kelahiran pemeriksaan kehamilan serta cakupan indikator ANC menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013*)
Melakukan ANC Cakupan ANC
Kabupaten/Kota
K1 Tidak Total K1 ideal ANC K4 ANC min 4x
Jembrana 100,0 100,0 87,3 79,0 94,7
Tabanan 100,0 100,0 85,8 83,8 96,6
Badung 100,0 100,0 97,9 96,4 100,0
Gianyar 100,0 100,0 97,5 97,2 100,0
Klungkung 100,0 100,0 92,4 89,6 99,7
Bangli 97,3 2,7 100,0 88,0 72,5 94,8
Karangasem 97,4 2,6 100,0 79,9 63,6 81,2
Buleleng 100,0 100,0 83,7 71,6 89,6
Kota Denpasar 100,0 100,0 92,4 91,1 100,0
BALI 99,6 0,4 100,0 90,3 84,7 95,8
*)periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara

Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs maupun indikator ANC
untuk program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K4, Tabel 3,12,3
menunjukkan bahwa 99,6 persen dari kelahiran yang melakukan ANC yang berarti juga
mendapat ANC minimal 1 kali atau K1, Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 97 persen
di Bangli dan Karangasem dan 100 persen di kabupaten/kota lainnya.
Pada Tabel 3,12,3 juga menyajikan cakupan indikator ANC yang lain yaitu K1 ideal, K4 dan ANC
minimal 4 kali, Indikator K1 dan ANC minimal 4x merupakan indikator MDGs, sedangkan K4 dan
K1 ideal adalah indikator untuk melihat frekuensi dan merujuk pada periode trimester saat
melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu
indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2010).
Indikator cakupan ANC yang meliputi K1 ideal, K4 dan ANC minimal 4x juga bervariasi menurut
provinsi, Cakupan K1 ideal secara nasional adalah 81,6 persen, dimana Bali merupakan provinsi
dengan cakupan tertinggi (90%). Berdasarkan kabupaten/kota, terdapat 5 dari 9 kabupaten/kota
di Bali dengan cakupan K1 ideal di bawah rata-rata Bali, Kabupaten tersebut antara lain
Karangasem, Buleleng, Tabanan, Jembrana dan Bangli.
Cakupan K4 Bali adalah 84,7 persen, cakupan paling rendah 63,6 persen di Karangasem dan
tertinggi 97,2 persen di Gianyar. Adapun ANC minimal 4x Bali adalah 95,8 persen dengan
cakupan terendah 81,2 persen di Karangasem dan tertinggi 100 persen di Kota Denpasar,
Badung dan Gianyar.
Seharusnya setiap ibu yang menerima ANC pada trimestes 1 (K1 ideal) akan menerima
pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4, Tabel
3,12,3 terlihat dari K1 ideal sebesar 90,3 persen dan K4 sebesar 84,7 persen, yang artinya
terjadi penurunan sebesar 5,6 persen, dari ibu yang menerima K1 ideal tidak semua melanjutkan
ANC sampai sesuai standar minimal ANC (1-1-2).
Sebesar 95,8 persen kelahiran melakukan ANC minimal 4x. Persentase ini lebih tinggi dibanding
dengan K1 ideal dan ANC K4. Artinya ada kelahiran yang melakukan ANC pertama kali tidak
pada trimester pertama, tidak melakukan ANC sesuai standar minimal (K4), Misalnya, Ibu
dengan kelompok umur 20-24 tahun, 99,8 persen melakukan ANC (K1), namun hanya 92,8
persen yang K1 ideal, turun menjadi 87,1 persen yang ANC K4.

3.12.3.2. Tenaga dan Tempat Pemeriksa Kehamilan


Tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan adalah dokter kebidanan
dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Proporsi tenaga kesehatan yang dipilih ibu
hamil seperti yang disajikan pada Gambar 3.12.7 menunjukkan bahwa bidan merupakan tenaga
yang paling berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil sebesar 72,0 persen.
Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut

138
kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Buku Tabel (Tabel 3,12,16 dan Tabel
3.12.17). Dibandingkan kabupaten lainnya, peran Bidan dalam memberikan pelayanan
kesehatan ibu hamil, paling kecil terdapat di Badung (52,9%) dan Denpasar (59%), Ini terjadi
karena pelayanan oleh Dokter Kebidanan/ Kandungan di Badung (43,8%) dan Denpasar (41,0%)
paling tinggi dibandingkan kabupaten lainnya. Masyarakat dengan karakteristik tinggal di
perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga
menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter
spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan
indeks kepemilikan atas.
Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari
RS hingga posyandu yang merupakan salah satu upaya untuk mendekatkan tenaga kesehatan
yang memberi pelayanan kepada masyarakat. Gambar 3,12,9 memperlihatkan bahwa sebagian
besar fasilitas yang digunakan untuk ANC ibu hamil adalah praktek bidan (56,4%), Dokter
Praktek/ Klinik (14,7%), RS (12,3%) dan pemanfaatan Puskesmas/Pustu sebesar 11,9%.
Proporsi fasilitas kesehatan yang dipilih masyarakat untuk pemeriksaan kehamilan menurut
provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada Buku 2 (Tabel 3,12,16 dan Tabel 3.12.17).

Posyand
dokter Poskesde u Lainnya RS
perawat kebidan 0,1% 12,3%
0% s/ 0,3%
an/kand Polindes RB
ungan 1,1% 3,3%
27,5%
Puskesm
bidan as/pustu
72% 11,9%
dokter
umum Praktek Praktek
0,5% Bidan Dr/
56,4% Klinik
14,7%

Gambar 3.12.7 Gambar 3.12.8


Proporsi tenaga kesehatan yang memberi Proporsi fasilitas kesehatan untuk pelayanan
pelayanan ANC, Provinsi Bali, Riskesdas ANC, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
2013

3.12.3.3. Konsumsi Zat Besi


Konsumsi zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu
hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan
agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI,
2001). Pada Riskesdas 2013 menanyakan berapa hari mengkonsumsi zat besi selama hamil,
Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk
yang di jual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi.
Tabel 3.12.4 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil
menurut kabupaten/kota. Konsumsi zat besi yang dilaporkan oleh ibu selama kehamilannya
adalah 98,1 persen, Dari kehamilan yang mengkonsumsi tersebut 45,3 persen melaporkan
mengkonsumsi zat besi minimal 90 hari selama kehamilannya.
Kabupaten/kota dengan asupan zat besi minimal 90 hari di atas rata-rata provinsi Bali paling
tinggi adalah Gianyar (83,2%) dan Badung (75,5%). Daerah dengan asupan zat besi minimal 90
hari yang paling rendah adalah kota Denpasar (8,9%).
Konsumsi zat besi menurut karakteristik pada buku tabel (Tabel 3.12.19) menunjukkan semakin
tinggi usia saat melahirkan semakin rendah persentase cakupan konsumsi zat besi. Berdasarkan

139
daerah, penduduk di perdesaan (50,9%) lebih tinggi persentase cakupannya dibandingkan
perkotaan (42,3%). Sedangkan menurut karakteristik yang lain, persentasenya bervariasi. Dilihat
dari pendidikan, persentase cakupan konsumsi zat besi terbesar ada pada kelompok tamat SD
(50,3%) dan yang terkecil adalah mereka yang berpendidikan lulus Perguruan Tinggi (28,6%).
Pada karakteristik kuintil indeks kepemilikan, kelompok menengah atas dan teratas lebih kecil
persentase cakupannya dibandingkan kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan di bawahnya.

Tabel 3.12.4
Persentase ibu hamil mengkonsumsi zat besi dan jumlah hari mengkonsumsi menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Mengkonsumsi zat besi Jumlah hari mengkonsumsi*
Kabupaten/Kota
Ya Tidak Total 90+ <90 Lupa
Jembrana 98,5 1,5 100,0 47,9 32,6 18
Tabanan 96,9 3,1 100,0 35,1 23,5 38,3
Badung 97,7 2,3 100,0 75,5 3,7 18,5
Gianyar 100,0 100,0 83,2 6,0 10,8
Klungkung 93,1 6,9 100,0 38,4 33,0 21,7
Bangli 94,2 5,8 100,0 56,3 31,0 6,9
Karangasem 98,8 1,2 100,0 54,7 32,2 11,9
Buleleng 97,7 2,3 100,0 39,3 29,5 28,9
Kota Denpasar 99,3 0,7 100,0 8,9 14,8 75,6
Bali 98,1 1,9 100,0 45,3 19,3 33,4
*) Kolom 5, 6 dan 7 pada Tabel 3,12,18 dan 3,12,19 merujuk pada jawaban responden yang mengkonsumsi zat besi (kolom 2)

3.12.3.4. Kepemilikan Buku KIA dan Pelaksanaan P4K


Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis keberadaannya dengan dukungan dari
JICA (Japan International Cooperation Agency). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil,
bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita), Buku KIA juga memuat
informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak, Setiap kehamilan
mendapat 1 buku KIA.
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program
terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan
tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka
meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan
yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan
penggunaan KB pasca persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Dit, Bina Kes Ibu).
Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada lembar “Amanat
Persalinan” yang merupakan kependekan dari “Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat”
(Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang dituliskan terkait
perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu :
1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin),
2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan),
3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju
tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan),
4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan
5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah).

Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA, jika bisa menunjukkan
maka dilanjutkan dengan melakukan observasi terhadap isian 5 komponen tersebut pada lembar
Amanat Persalinan,

140
13,7% 60 52,8
47,2
50
42,3% 38,1 35 39,6
40 33,8 33,2
30
44%
20
10
0

kendaraan

tidak ada isian


penolong persalinan

dana persalinan

metode KB

sumbangan darah

lengkap
memiliki buku KIA -
menunjukkan buku KIA

memiliki buku KIA - tidak


dapat menunjukkan buku KIA

tidak memiliki buku KIA

5 komponen kelengkapan
Gambar 3.12.9
Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar
amanat persalinan buku KIA, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Hasil analisis menunjukkan bahwa 86,3 persen mempunyai Buku KIA, namun yang bisa
menunjukan hanya 42,3 persen. Kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan menurut
kabupaten/kota bervariasi. Daerah dengan proporsi cakupan tertinggi adalah kabupaten
Klungkung (74,1%) disusul Jembrana (55,1%), Tabanan (55,0%) dan Karangasem (53,5%),
Proporsi terendah ada di Kota Denpasar (25,5%) dan Badung (33,6%), (Lihat buku tabel, Tabel
3.12.20 dan 3.12.21).
Selanjutnya pada buku KIA dilakukan observasi Lembar Amanat Persalinan untuk melihat isian 5
komponen P4K. Hasil observasi buku KIA menunjukkan untuk isian penolong persalinan sebesar
52,8 persen, dana persalinan sebesar 38,1 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 35
persen, metode KB pasca salin sebesar 39,6 persen dan 33,8 persen untuk isian sumbangan
darah, Kelengkapan isian semua komponen sebesar 33,2 persen dan 47,2 persen tidak ada
isian.
Tabel 3.12.20 menyajikan kepemilikan buku KIA dan hasil observasi isian dari komponen P4K
pada lembar Amanat Persalinan Buku KIA yang diperlihatkan oleh responden menurut
kabupaten/kota dan Tabel 3.12.21 menurut Karakteristik.

141
3.12.3.5. Metode Persalinan
Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya
faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindak
medis sebagai upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan anak.

30
23,8 25,1
25 22,7
21,2
20 17,2 17,3
15 13,2

10 6,8 8
6,5
5
0

Gambar 3.12.10
Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara
menurut kabupaten, Provinsi Bali, Riskesdas 2013 (Masalah kecukupan sampel)

Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan
dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar
sebesar 17,3 persen, Variasi antar kabupaten/kota menunjukkan bahwa yang tertinggi di kota
Denpasar (25,1%) dan terendah di kabupaten Karangasem (6,5%), Tabel 3.12.24 (buku tabel)
merupakan persentase metode persalinan menurut provinsi dan karakteristik (Tabel 3.12.25).
Secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi
tertinggi pada kelompok dengan usia lebih dari 35 tahun (23,8%), pendidikan tinggi /lulus PT
(34,5%), pekerjaan sebagai pegawai (25,2%), tinggal di perkotaan (20,0%) dan kuintil indeks
kepemilikan teratas (23,9%).

40
35
30
25
20
15
10
5
0
Kui til i deks…
Kelo pok u ur…

Tamat D1-D3/PT
<20 th

Tamat SD/MI

Teratas
Tamat SMA/MA

Pekerjaan
Tidak berkerja
Pegawai
Wiraswasta
Pendidikan

Menengah
≥ th
20-34 th

Tidak sekolah

Petani/nelayan/buruh
Lainnya

Perdesaan
Tidak tamat SD/MI

Menengah bawah

Menengah atas
Tempat tinggal
Perkotaan

Terbawah
Tamat SMP/MTS

Gambar 3.12.11
Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

142
3.12.3.6. Penolong Persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator
MDGs 5. Tenaga yang kompeten sebagai tenaga persalinan menurut PWS KIA adalah dokter
kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Departemen Kesehatan menetapkan target
bahwa 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2012 (Depkes, 2000c),
Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja
yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas penolong persalinan
dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Apabila
penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari 1 maka dipilih yang paling
tinggi dan sedangkan penolong persalinan dengan kualifikasi terendah apabila lebih dari 1
penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah.
Tabel 3.12.5 memperlihatkan distribusi kelahiran yang ditolong oleh tenaga berkualifikasi
tertinggi. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa persalinan oleh penolong linakes
(persalinan dengan tenaga kesehatan) kualifikasi tertinggi sebesar 98,8 persen, dengan rincian
39,7 persen oleh dokter kebidanan dan kandungan, 0,4 persen oleh dokter umum dan 58,8
persen oleh bidan. Selain dilakukan oleh penolong persalinan tenaga kesehatan, terdapat
persalinan yang ditolong oleh dukun sebesar 0,6 persen dan 0,4 persen penolong lainnya.
Terlihat bahwa secara umum bidan merupakan tenaga utama sebagai penolong persalinan di
Bali, kecuali di Gianyar, Denpasar dan Badung dimana penolong persalinan oleh dokter
kebidanan dan kandungan lebih tinggi dibandingkan tenaga bidan.

Tabel 3.12.5
Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Penolong persalinan kualifikasi tertinggi1 Peno-
Dr,kebid & Dokter Bidan Pera- Dukun Kelu- Tidak Total long
Kabupaten/Kota kandungan umum wat arga/ ada linakes2
lain- peno-
nya long
Jembrana 20,0 78,2 1,7 100,0 98,3
Tabanan 37,1 62,9 100,0 100,0
Badung 51,2 47,3 0,7 0,7 100,0 98,6
Gianyar 55,1 44,9 100,0 100,0
Klungkung 35,5 1,6 59,8 1,0 2,0 100,0 97,0
Bangli 25,2 71,6 1,8 1,4 100,0 96,8
Karangasem 19,2 3,6 71,9 2,2 3,1 100,0 94,7
Buleleng 24,2 75,8 100,0 100,0
Kota Denpasar 52,5 47,5 100,0 100,0
Bali 39,7 0,4 58,8 0,6 0,4 0,2 100,0 98,8
Keterangan :
1) Jika penolong persalinan > 1, maka dipilih penolong dengan kualifikasi tertinggi
2) Penolong linakes adalah dokter kebidanan & kandungan, dokter umum dan bidan

Pola penolong persalinan menurut kabupaten/kota untuk kualifikasi tertinggi yang mencapai
persentase penolong linakes di bawah rata-rata provinsi adalah kabupaten Karangasem
(94,7%), Bangli (96,8%), Klungkung (97,0%), Jembrana (98,3%) dan Badung (98,6%). Pola
penolong persalinan dengan kualifikasi terendah menurut provinsi dapat dilihat pada Buku Tabel
3.12.26

143
Tabel 3.12.6
Persentase penolong persalinan kualifikasi tertinggi menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Karakteristik Penolong persalinan kualifikasi tertinggi Peno-long
Dr,kebid Dokter Bidan Perawat Dukun Keluarga/ Tidak ada Total Linakes
& umum lainnya penolong
kandung
an
Pendidikan
Tidak sekolah 23,3 69,8 6,9 100,0 93,1
Tidak Tamat SD 21,7 77,1 1,2 100,0 98,8
Tamat SD 20,6 1,1 76,0 0,8 0,9 0,6 100,0 97,7
Tamat SLTP 27,3 70,4 1,9 0,4 100,0 97,7
Tamat SLTA 49,2 0,5 50,4 100,0 100,0
Tamat D1-D3/PT 77,1 22,9 100,0 100,0
Pekerjaan
Tidak berkerja 42,0 0,7 56,4 0,3 0,3 0,3 100,0 99,1
Pegawai 62,4 0,6 36,5 0,6 100,0 99,4
Wiraswasta 35,2 64,8 100,0 100,0
Petani/Nelayan/Buruh 17,4 80,2 0,7 1,3 0,4 100,0 97,6
Lainnya 31,0 64,2 4,8 100,0 95,2
Tempat Tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Kuintil Indeks
Kepemilikan
Terendah 15,4 76,1 4,9 2,6 1,1 100,0 91,4
Menengah bawah 17,4 0,9 79,7 0,5 1,5 100,0 98,0
Menengah 22,3 1,3 76,0 0,3 100,0 99,7
Menengah atas 39,2 60,4 0,5 100,0 99,5
Teratas 64,7 34,9 0,4 100,0 99,6
Bali 39,7 0,4 58,8 0,6 0,4 0,2 100,0 98,8

Pola penolong persalinan menurut karakteristik terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan
persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi
maupun terendah. Demikian juga dengan kelompok yang bekerja sebagai pegawai dan
mempunyai indeks kepemilikan teratas.
Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan adalah kelahiran dari ibu
yang mempunyai pendidikan rendah, mereka yang bekerja selain pegawai dan mempunyai
kuintil indeks kepemilikan terendah.
Pola penolong persalinan dengan kualifikasi terendah menurut karakteristik dapat dilihat pada
Buku 2 Tabel 3.12.27.

3.12.3.7. Tempat Persalinan


Tempat persalinan yang ideal adalah melahirkan di institusi kesehatan, Secara umum, 70 persen
kelahiran periode 1 januari 2010 sampai dengan saat wawancara terjadi di fasilitas kesehatan
dengan rincian, 21 persen di rumah sakit (baik pemerintah maupun swasta) dan 38 persen
dilahirkan di rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan, 7,3 persen di
Puskesmas/Pustu, 3,7 persen di Poskesdes/Polindes, Terdapat 30 persen masih melahirkan di
rumah/lainnya.

144
Tabel 3.12.7
Persentase tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Tempat bersalin
Kabupaten/Kota RB/klinik/ Puskesmas/ Polindes/ Rumah/
RS Total
praktek nakes pustu poskesdes lainnya
Jembrana 24,0 70,4 3,8 0,0 1,7 100,0
Tabanan 54,2 37,8 7,9 0,0 0,0 100,0
Badung 50,5 41,2 6,7 0,0 1,6 100,0
Gianyar 61,9 31,9 6,1 0,0 0,0 100,0
Klungkung 43,2 31,8 19,1 0,0 6,0 100,0
Bangli 35,4 41,9 15,5 4,0 3,2 100,0
Karangasem 24,2 62,4 8,1 1,1 4,2 100,0
Buleleng 20,2 66,5 5,0 6,8 1,6 100,0
Kota Denpasar 48,3 49,5 2,2 0,0 0,0 100,0
BALI 41,6 49,3 6,3 1,3 1,4 100,0

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan Daerah Khusus Ibu Kota merupakan provinsi
dengan cakupan persalinan di rumah terendah, berkisar 1 sampai 4 persen, Sementara Provinsi
dengan cakupan persalinan di rumah tinggi adalah Maluku (75 persen), Sulawesi Barat (69
persen), kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara (67 persen), Meskipun
demikian, 20 persen di Maluku bersalin di RS.

Tabel 3.12.8 menunjukkan tempat bersalin menurut karakteristik, Kelahiran pada ibu berumur
risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun atau umur 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah
(berkisar 35 persen sampai 71 persen) dibanding ibu umur 20-34 tahun (berkisar 27 persen).
Pendidikan ibu dan kuintil indeks kepemilikan menunjukkan hubungan yang positif dengan
tempat persalinan, Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, dan semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan semakin rendah prosentase ibu yang melahirkan di rumah. Pemanfaatan fasilitas
kesehatan, baik milik pemerintah ataupun swasta, untuk persalinan jauh lebih tinggi di daerah
perkotaan dibanding di perdesaan (85 persen dibanding 55 persen).

145
Tabel 3.12.8
Persentase tempat bersalin menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Tempat bersalin
RB/klinik/
Karakteristik Puskesmas/ Polindes/ Rumah/
RS praktek Total
pustu poskesdes lainnya
nakes
Umur saat bersalin*
<20 th 30,4 59,2 9,9 0,0 0,4 100,0
20-34 th 42,0 48,7 6,3 1,4 1,6 100,0
≥35 th 45,7 47,0 4,7 1,3 1,3 100,0
Pendidikan
Tidak sekolah 26,3 44,2 17,9 9,6 1,9 100,0
Tidak tamat SD/MI 25,1 56,7 14,4 2,6 1,2 100,0
Tamat SD/MI 23,7 62,4 8,0 2,9 3,1 100,0
Tamat SMP/MTS 32,3 57,2 7,8 0,4 2,3 100,0
Tamat SMA/MA 50,7 43,5 4,5 0,9 0,5 100,0
Tamat D1-D3/PT 72,0 27,2 0,7 0,0 0,0 100,0
Pekerjaan
Tidak berkerja 39,9 53,5 4,6 1,0 1,0 100,0
Pegawai 64,7 31,2 3,5 0,0 0,6 100,0
Wiraswasta 43,8 46,6 6,1 2,1 1,4 100,0
Petani/nelayan/buruh 22,6 59,9 11,9 3,1 2,6 100,0
Lainnya 32,9 52,5 9,8 0,0 4,8 100,0
Tempat tinggal
Perkotaan 46,6 47,0 4,8 0,7 0,8 100,0
Perdesaan 32,4 53,6 9,0 2,4 2,6 100,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 17,4 56,9 13,8 2,7 9,1 100,0
Menengah bawah 22,4 58,3 12,5 3,5 3,4 100,0
Menengah 36,1 52,2 9,3 2,1 0,3 100,0
Menengah atas 38,0 55,4 5,2 0,2 1,2 100,0
Teratas 60,3 37,8 1,3 0,6 0,0 100,0
Bali 41,6 49,3 6,3 1,3 1,4 100,0

3.12.3.8. Pelayanan Kesehatan Masa Nifas


Masa nifas adalah masih merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin,
Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagai besar kematian ibu terjadi pada
masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya
menurunkan angka kematian ibu.
Pelayanan Masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6
jam sampai 42 hari setelah melahirkan, Kementerian Kesehatan menetapkan program
pelayanan atau Kontak Ibu Nifas yang dinyatakan dalam indikator :
1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin
2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan
3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.

3.12.3.9. Pelayanan KB Pasca Salin


Selain kontak ibu nifas, KB pasca salin juga merupakan pelayanan masa nifas,
Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan
penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan yaitu penggunaan
metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan sebagai
langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB,
Dalam Riskesdas 2013 menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa
nifas sampai 42 hari setelah melahirkan,

146
Gambar 3.12.12 menyajikan distribusi persentase pelayanan KB pasca persalinan menurut
Provinsi.
80,0

70,0
59,6
60,0

50,0

40,0

30,0

20,0

10,0

0,0

Lampung
DIY

Sumbar
Sumut
Pabar

Jabar
Malut

Sulut

Sumsel

Banten
NTT

Bali

Jambi
Sulbar

Kalbar

Bengkulu
Jateng
Sulteng

Gorontalo
Sulsel

Kaltim

DKI
Kalteng

Kalsel
Papua

Riau

Babel
Maluku

Aceh
Sultra

NTB
Kep.Riau

INDONESIA
Jatim

Gambar 3.12.12
Distribusi persentase kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut pelayanan
KB pasca salin dan Provinsi, Riskesdas 2013 (tidak memadai kab/kota)
Terlihat bahwa 59,6 persen melaporkan penerimaan pelayanan KB pasca salin, Persentase
bervariasi menurut provinsi,

Tabel 3.12.9
Persentase pelayanan KB pasca salin menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Mendapat pelayanan KB pasca salin
Karakteristik
Ya Tidak Total
Kelompok umur (tahun)
<20 th 66,9 33,1 100,0
20-34 th 62,3 37,7 100,0
≥35 th 65,0 35,0 100,0
Pendidikan
Tidak sekolah 55,0 45,0 100,0
Tidak tamat SD/MI 70,9 29,1 100,0
Tamat SD/MI 68,3 31,7 100,0
Tamat SMP/MTS 68,2 31,8 100,0
Tamat SMA/MA 62,5 37,5 100,0
Tamat D1-D3/PT 43,1 56,9 100,0
Pekerjaan
Tidak berkerja 58,7 41,3 100,0
Pegawai 55,6 44,4 100,0
Wiraswasta 66,1 33,9 100,0
Petani/nelayan/buruh 75,8 24,2 100,0
Lainnya 68,4 31,6 100,0
Tempat tinggal
Perkotaan 59,3 40,7 100,0
Perdesaan 69,9 30,1 100,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 69,0 31,0 100,0
Menengah bawah 71,3 28,7 100,0
Menengah 67,7 32,3 100,0
Menengah atas 57,8 42,2 100,0
Teratas 59,6 40,4 100,0

147
Penerimaan pelayanan KB pasca salin enurut karakteristik terlihat bahwa di perkotaan lebih
besar daripada di perdesaan, Tidak ada kecenderungan bermakna menurut karakteristik lainnya,
Tabel dasar KB pasca salin dapat dilihat pada Buku 2 Tabel 3.12.34 dan Tabel 3.12.35

3.12.4 Isu Kesehatan Reproduksi

3.12.4.1. Umur Perkawinan Pertama


Perkawinan merupakan ikatan seksual yang stabil dan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat fertilitas secara umum. Semakin dini umur perkawinan maka rentang
waktu untuk terpapar dalam proses reproduksi juga semakin panjang, Buku 2 Tabel 3,12,36
menunjukkan bahwa 2,6 persen dari perempuan 10-54 tahun yang kawin pertama kali pada
umur kurang dari 15 tahun dan terdapat 23,9 persen yang kawin pertama kali pada umur 15-19
tahun.
Perkawinan pada umur anak-anak merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi di
Indonesia, Menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak
adalah mereka yang belum mencapai umur 18 tahun (Kementerian Sekretariat Negara, Tahun
2002).

25,0 22,9

20,0

14,6
15,0

10,0

4,8
5,0

0,0
Jambi
INDONESIA
Maluku

Aceh
Sumbar

NTB
Kepri

Riau

Jateng

Papua
Malut
Bali

Sultra
Gorontalo

Jatim
Banten
DKI

Sumsel
Sumut
NTT

Lampung
Bengkulu

Kalbar

Sulbar
DIY

Jabar
Babel

Pabar

Sulsel

Kalsel
Sulut

Sulteng

Kalteng
Kaltim

Gambar 3.12.13
Proporsi penduduk perempuan 10-54 tahun dengan umur perkawinan pertama pada umur anak-
anak (< 18 tahun) menurut provinsi, Riskesdas 2013

3.13 Kesehatan Anak dan Imunisasi

Blok Kesehatan Anak dan Imunisasi bertujuan untuk memperoleh informasi dari berbagai
indikator kesehatan anak yang meliputi: prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), perilaku
perawatan tali pusar bayi baru lahir, cakupan pemeriksaan bayi baru lahir (pemeriksaan
neonatal), prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi usia neonatal, kepemilikan akte
kelahiran anak balita, cakupan imunisasi, cakupan kepemilikan KMS anak balita dan Buku KIA,
cakupan pemantauan pertumbuhan anak balita, cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi pada bayi dan anak balita, prevalensi cacat lahir atau kecacatan pada anak balita,
cakupan pemberian ASI, cakupan inisiasi menyusu dini (IMD), cakupan pemberian kolostrum,
prevalensi pemberian makanan prelakteal, cakupan pemberian ASI eksklusif atau menyusui
eksklusif dan sunat perempuan.
Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi usia neonatal,
kepemilikan akte kelahiran anak balita. cakupan kepemilikan KMS anak balita dan Buku KIA,

148
cakupan pemberian kolostrum dan prevalensi pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan
dalam buku seri kedua (Riskesdas 2013 dalam angka).
Sampel yang digunakan untuk mendapatkan informasi tersebut diperoleh dari anak umur 0-59
bulan sebanyak 1,448.

3.13.1. Berat dan Panjang Lahir


Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir
pada anak umur 0-59 bulan. Berat badan lahir dan panjang badan lahir dicatat atau disalin
berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS,
atau buku catatan kesehatan anak lainnya, Di provinsi Bali, persentase anak balita yang memiliki
catatan berat badan lahir adalah 60,7 persen,.

Tabel 3.13.1
Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Kabupaten/Kota Ada catatan
<2500 gr 2500 - 3999 gr >4000 gr
Jembrana 4,1 88,5 7,4
Tabanan 9,0 83,2 7,8
Badung 11,8 84,9 3,4
Gianyar 6,8 88,9 4,3
Klungkung 4,9 91,1 4,1
Bangli 6,3 85,7 8,1
Karangasem 13,1 82,9 3,9
Buleleng 7,6 88,8 3,6
Denpasar 8,7 87,1 4,2
Bali 8,8 86,7 4,6

Kategori berat badan lahir anak balita dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <2500 gram (BBLR),
2500-3999 gram, dan ≥4000 gram. Persentase berat badan lahir berdasarkan catatan yang
dipunyai rumah tangga pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada tabel
3.13.1. Persentase berat badan lahir <2500 gram sebesar 8,8 persen. Persentase BBLR
tertinggi terdapat di Karangasem (13,1%) dan terendah di Jembrana (4,1%). Tabel ini juga
menunjukkan bahwa persentase anak balita yang mempunyai berat badan lahir 2500-3999 gram
sebesar 86,7 persen, dan ≥4000 gram sebesar 4,6 persen.

149
Tabel 3.13.2
Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Berat Badan Lahir


Karakteristik
<2500 gr 2500 - 3999 gr >4000 gr
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 12,9 80,6 6,5
6 – 11 bulan 9,3 84,5 6,2
12 – 23 bulan 10,0 85,6 4,5
24 – 35 bulan 6,2 90,2 3,6
36 – 47 bulan 10,6 84,8 4,6
48 – 59 bulan 4,3 92,6 3,1
Jenis Kelamin
Laki-laki 6,9 87,6 5,5
Perempuan 10,6 85,7 3,6
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 9,4 80,6 10,0
Tidak tamat SD 14,8 76,9 8,2
Tamat SD 6,2 88,4 5,4
Tamat SMP 11,7 87,2 1,0
Tamat SMA 9,2 86,3 4,6
Tamat D1/D2/D3/PT 5,3 89,1 5,6
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 6,8 90,0 3,3
Pegawai 8,2 88,3 3,5
Wiraswasta 7,8 85,5 6,7
Petani/Nelayan/Buruh 11,2 83,9 4,9
Lainnya 3,8 95,1 1,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 8,7 87,2 4,1
Perdesaan 8,9 85,6 5,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 9,4 83,8 6,8
Menengah bawah 10,1 85,8 4,1
Menengah 9,0 85,7 5,3
Menengah Atas 10,3 85,9 3,8
Teratas 6,2 89,5 4,3

Tabel 3.13.2 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik
anak, pendidikan kepala keluarga (KK), pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks
kepemilikan, Menurut kelompok umur anak balita tidak menunjukkan adanya pola
kecenderungan yang jelas antar kelompok umur, Persentase berat badan lahir <2500 gram pada
anak perempuan (10,6%) lebih tinggi daripada anak laki-laki (6,9%), namun persentase berat
lahir >4000 gram pada anak laki-laki (5,5%) lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (3,6%).
Menurut pendidikan KK dan kuintil indeks kepemilikan terlihat bahwa pada tingkat pendidikan KK
tertinggi dan kuintil indeks kepemilikan tertinggi, mempunyai persentase berat badan lahir <2500
gram yang terrendah. Sedangkan menurut jenis pekerjaan, anak balita dari keluarga
petani/buruh/nelayan mempunyai persentase berat badan lahir <2500 gram lebih tinggi

150
dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lainnya, Persentase berat badan lahir <2500 gram
tidak banyak berbeda antara daerah perdesaan (8,9%) dan perkotaan (8,7%).
Tabel 3.13.3 menyajikan persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut
Kabupaten/Kota, Katagori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48 -
52 cm, dan >52 cm, Persentase panjang badan lahir <48 cm diketahui sebesar 9,7 persen, 48-
52 cm sebesar 85,2 persen dan >52 cm sebesar 5,1 persen. Persentase bayi lahir pendek
(panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di Karangasem (18,1%) dan terendah di Klungkung
(4,0%).

Tabel 3.13.3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Panjang Badan Lahir


Kabupaten/Kota
< 48 cm 48 - 52 cm > 52 cm
Jembrana 10,9 88,8 0,3
Tabanan 4,4 89,9 5,7
Badung 9,1 82,6 8,2
Gianyar 8,2 86,5 5,3
Klungkung 4,0 91,5 4,5
Bangli 5,8 87,4 6,8
Karangasem 18,1 81,9
Buleleng 15,1 81,1 3,8
Denpasar 8,9 86,0 5,1
Bali 9,7 85,2 5,1

Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik anak, pendidikan KK,
pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 3.13.4.
Menurut kelompok umur anak balita tidak menunjukkan adanya pola yang jelas di antara
kelompok umur, Persentase bayi lahir pendek pada perempuan (9,1%) lebih rendah daripada
anak laki-laki (10,2%).

151
Tabel 3.13.4
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Panjang Badan Lahir


Karakteristik
< 48 cm 48 - 52 cm > 52 cm
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 8,0 79,3 12,8
6 – 11 bulan 11,5 83,1 5,4
12 – 23 bulan 9,2 84,1 6,6
24 – 35 bulan 13,4 84,6 2,0
36 – 47 bulan 8,4 89,0 2,6
48 – 59 bulan 8,0 89,2 2,9
Jenis Kelamin
Laki-laki 10,2 83,6 6,2
Perempuan 9,1 86,9 4,0
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 9,9 90,1
Tidak tamat SD 12,5 82,2 5,2
Tamat SD 9,0 86,5 4,5
Tamat SMP 16,4 78,4 5,2
Tamat SMA 8,3 87,4 4,3
Tamat D1/D2/D3/PT 4,4 87,1 8,5
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 9,2 73,8 16,9
Pegawai 8,5 86,6 4,9
Wiraswasta 11,3 83,4 5,3
Petani/Nelayan/Buruh 10,4 85,3 4,3
Lainnya 6,5 91,9 1,6
Tempat Tinggal
Perkotaan 8,7 85,9 5,4
Perdesaan 11,6 83,9 4,4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 11,2 82,4 6,4
Menengah bawah 11,8 87,7 0,5
Menengah 10,8 87,3 1,9
Menengah Atas 10,7 83,4 5,8
Teratas 6,1 84,7 9,2

Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk yang mempunyai kuintil teratas mempunyai
proporsi anak dengan panjang badan lahir <48 cm paling kecil, Demikian juga dengan anak yang
lahir dari KK yang berpendidikan Tamat SMA sampai Perguruan Tinggi, proporsinya lebih kecil
dibandingkan yang berpendidikan di bawahnya, Daerah perdesaan (11,6%) lebih banyak
ditemukan panjang badan lahir <48 cm dibandingkan perkotaan (8,7%),

152
14 13,1
12
10
8
6
3,6
4
2
0

Gambar 3.13.1
Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Gambar 3,13,1, menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah
(<2500 gram) dan panjang badan lahir pendek (<48 cm) menurut Kabupaten/Kota, Pada gambar
tersebut menunjukkan bahwa persentase balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah
(<2500 gram) dan panjang badan lahir pendek (<48 cm) sebesar 3,6 persen. Persentase
tertinggi ada di Karangasem (13,1%), namun Buleleng dan Badung perlu perduli karena
persentasenya berada diatas rerata Bal.,

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Kui til I deks…
Ta at…

Peta i/Nelaya /B…


Tidak per ah…
Tidak tamat SD

Perdesaan
Pekerjaan KK
Kelompok Umur

Wiraswasta

Menengah Atas
Teratas
Jenis Kelamin

Pendidikan KK

Tamat SD

Pegawai
Tidak bekerja

Tempat Tinggal
0 – 5 bulan

Laki-laki

Menengah bawah
Menengah
12 – 23 bulan
24 – 35 bulan
36 – 47 bulan
48 – 59 bulan

Tamat SMP
Tamat SMA

Lainnya

Terbawah
6 – 11 bulan

Perempuan

Perkotaan

Gambar 3.13.2
Persentase anak dengan berat badan <2500 gram dan panjang badan lahir <48 cm menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Selanjutnya pada Gambar 3.13.2 menyajikan persentase balita yang memiliki riwayat berat
badan lahir rendah (<2500 gram) dan panjang badan lahir pendek (<48 cm) menurut
karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan.
Dari Tabel tersebut diketahui persentase balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah
(<2500 gram) dan panjang badan lahir pendek (<48 cm) cukup bervariasi.
Persentase balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah (<2500 gram) dan panjang
badan lahir pendek (<48 cm) pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Menurut pendidikan
KK, terlihat persentase tertinggi balita yang memiliki riwayat berat badan lahir rendah (<2500
gram) dan panjang badan lahir pendek (<48 cm) ada pada kelompok dengan pendidikan KK

153
tidak tamat SD, Sedangkan menurut pekerjaan KK, terlihat persentase tertinggi pada kelompok
petani/nelayan/buruh. Menurut tipe daerah, balita yang tinggal di perkotaan lebih sedikit
dibandingkan di perdesaan, Menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, persentase tertinggi
ada pada golongan terbawah dan persentase terendah ada pada golongan teratas.

3.13.2. Kecacatan
Pada Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak yang mengalami kecacatan,
Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi termasuk karena
penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk anak
berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:
a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan (Kaufman & Hallahan).
b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran
baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tuna wicara.
 Gangguan pendengaran pada anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi secara karena
anak mengalami hambatan pendengaran baik permanen maupun tidak permanen
yang berakibat anak mengalami hambatan berbicara, Jadi anak mengalami
gangguan pendengaran dan berbicara (bisu tuli).
c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin
(pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal
sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang
dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian
crease), Ciri-ciri anak Down Syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak
antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih
lebar, garis tangan melengkung tidak terputus.
d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro muskuler (syaraf otot) dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.
e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya,
f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.
Data kecacatan tidak dapat disajikan menurut provinsi karena persentasenya sangat kecil
sehingga hanya disajikan data nasional, Pada Gambar 3.13.3, sekedar menunjukkan bahwa ada
kasus kecacatan pada anak usia 24-59 bulan di Bali.

154
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Minimal Tuna netra Tuna Down Tuna Tuna daksa Bibir
satu jenis wicara syndrome rungu sumbing
cacat

Gambar 3.13.3
Persentase kecacatan pada anak 24-59 bulan, Propvinsi Bali, Riskesdas 2013
3.13.3 Status Imunisasi
Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan
melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan
kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu, tuberkulosis, difteri,
pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0,
satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali
imunisasi campak, Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi
polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat
minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal
empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.
Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan imunisasi ditanyakan pada ibu yang mempunyai
balita umur 0-59 bulan, Informasi tentang imunisasi dikumpulkan dengan empat cara yaitu:


Wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui,


Catatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS),


Catatan dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dan
Catatan dalam Buku Kesehatan Anak lainnya,
Bila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi,
disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis tersebut.
Selain untuk setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak, Oleh karena jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio,
DPT-HB, dan campak yang berbeda, bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis cakupan imunisasi.
Hal ini disebabkan bila bayi umur 0-11 bulan dimasukkan dalam analisis, dapat memberikan
interpretasi yang berbeda karena sebagian bayi belum mencapai umur untuk imunisasi tertentu,
atau belum mencapai frekuensi imunisasi tiga kali.
Oleh karena itu hanya anak umur 12-23 bulan yang dimasukkan dalam analisis imunisasi, Ada
beberapa alasan untuk analisis imunisasi hanya 12-23 bulan, yaitu karena imunisasi kelompok
umur anak 12-23 bulan dapat mendekati perkiraan “valid immunization”, survei-survei lain juga
menggunakan umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi sehingga dapat dibandingkan,
dan bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada pengumpulan data lebih rendah dibanding
kelompok umur di atasnya. Walaupun referens umur untuk imunisasi adalah umur 12-23 bulan,
tetapi hal tersebut hanya untuk metode pengumpulan data, sedangkan dalam penyajian data

155
tetap disebut sebagai imunisasi bayi. Namun karena ada keterbatasan sampel maka untuk
menggambarkan angka kabupaten/kota, analisis dilakukan dari data usia 12-59 bulan.
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasi (missing). Hal ini disebabkan beberapa
alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah
diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS tidak
lengkap/tidak terisi, catatan dalam Buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan
KMS/Buku KIA/Catatan kesehatan anak karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu, subyek yang
ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan
pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan
dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi karena kekurangan metode survei potong lintang
dalam Riskesdas 2013.
Tabel 3.13.5 dan Tabel 3.13.6 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio
empat kali (polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut provinsi dan
karakteristik responden, Pada Tabel 3.13.5 dapat dilihat secara keseluruhan, persentase
imunisasi menurut jenisnya relatif baik, Semua imunisasi sudah mempunyai cakupan lebih dari
90%. Cakupan imunisasi mulai yang tertinggi sampai terendah adalah untuk BCG (97,6%),
campak (93,5%), HB-0 (93,4%), polio4 (92,4%) dan terendah DPT-HB3 (90,4%), Bila dilihat
masing-masing imunisasi menurut kabupaten/kotai, Jembrana mempunyai cakupan imunisasi
yang terendah untuk jenis imunisasi HB-0 (84,0%), BCG (89,5%) dan Campak (83,0%),
Kabupaten Bangli mempunyai cakupan terendah jenis imunisasi DPT-HB 3 (63,8%) dan Polio 4
(84,3%). Kabupaten yang mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk semua jenis imunisasi
dasar adalah Tabanan, Semua jenis imunisasi mempunyai cakupan 100%.

Tabel 3.13.5
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Jenis Imunisasi Dasar


Kabupaten/kota
HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak
Jembrana 84,0 89,5 77,7 89,5 83,0
Tabanan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Badung 92,8 100,0 93,9 93,9 95,0
Gianyar 97,7 100,0 95,2 95,4 100,0
Klungkung 93,0 97,2 92,6 92,6 92,6
Bangli 91,5 96,5 63,8 84,3 91,4
Karangasem 100,0 100,0 100,0 100,0 97,6
Buleleng 85,9 96,4 90,1 86,7 91,5
Denpasar 96,7 97,0 89,6 91,8 91,0
Bali 93,4 97,6 90,4 92,4 93,5
Tabel 3.13.6 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi menurut karakteristik anak balita, kepala
keluarga dan tempat tinggal, Tidak terdapat perbedaan cakupan tiap jenis imunisasi menurut
jenis kelamin. Persentase semua jenis imunisasi lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di
perkotaan, Selain itu, tidak terlihat adanya kecenderungan tertentu dilihat dari tingkat pendidikan
KK, dan kuintil indeks kepemilikan. Sedangkan menurut pekerjaan, balita yang memiliki kepala
keluarga yang tidak bekerja mempunyai cakupan terendah untuk tiap jenis imunisasi.

156
Tabel 3.13.6
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013
Persentase Imunisasi Dasar
Karakteristik
HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak
Jenis Kelamin
Laki-laki 90,3 97,7 87,2 90,2 94,0
Perempuan 96,5 97,5 93,6 94,6 92,9
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Tidak tamat SD 86,5 100,0 91,7 91,7 100,0
Tamat SD 92,7 95,6 86,3 89,3 89,1
Tamat SMP 96,1 97,6 92,0 96,1 94,5
Tamat SMA 94,7 97,6 90,2 91,5 93,2
Tamat D1/D2/D3/PT 86,4 100,0 95,5 95,5 97,0
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 84,7 84,7 67,1 67,1 84,7
Pegawai 91,9 100,0 93,1 93,1 91,6
Wiraswasta 100,0 97,3 92,7 95,4 96,7
Petani/Nelayan/Buruh 90,9 96,9 88,6 93,3 94,5
Lainnya 95,9 95,9 89,9 81,0 86,9
Tempat Tinggal
Perkotaan 91,6 97,0 90,2 90,0 93,3
Perdesaan 96,2 98,6 90,8 96,2 93,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 97,8 99,2 80,5 93,9 87,4
Menengah bawah 91,2 99,2 99,1 95,8 97,3
Menengah 86,5 93,2 87,0 88,5 93,6
Menengah Atas 94,9 100,0 87,0 89,3 93,4
Teratas 98,0 97,3 95,5 95,5 93,6

Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan dapat dilihat pada Tabel
3.13.7 Cakupan imunisasi lengkap pada anak, merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-
0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak.
Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 3.13.7
Persentase imunisasi lengkap antar kabupaten/kota terdapat variasi yang besar. Persentase
imunisasi lengkap terendah di Bangli (62,2%) dan tertinggi di Tabanan (100%). Selain
perbedaan yang besar untuk cakupan imunisasi lengkap antar provinsi, masih terdapat 1,3%
anak 12-59 bulan yang belum pernah mendapatkan imunisasi, Persentase tertinggi anak yang
belum pernah mendapat imunisasi terdapat di Jembrana (5,6%).

157
Tabel 3.13.7
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Kelengkapan Imunisasi Dasar


Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi
Jembrana 72,2 22,2 5,6
Tabanan 100,0
Badung 84,8 15,2
Gianyar 91,2 8,8
Klungkung 85,6 14,4
Bangli 62,2 34,5 3,3
Karangasem 94,2 5,8
Buleleng 68,2 28,2 3,6
Denpasar 77,5 22,5
Bali 80,8 17,9 1,3

Tabel 3.13.8 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap menurut karakteristik anak balita, kepala
keluarga dan tempat tinggal. Persentase imunisasi lengkap di perdesaan lebih tinggi (85,3%)
daripada di perkotaan (77,9%) dan masih terdapat 1,2% anak 12-59 bulan di perdesaan dan
1,3% anak 12-59 bulan di perkotaan yang tidak mendapat imunisasi sama sekali. Tabel 3.13.8
juga menunjukkan tidak adanya kecenderungan tertentu jika dilihat dari karakteristik tingkat
pendidikan, pekerjaan dan kuintil indeks kepemilikan KK.

158
Tabel 3.13.8
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

Kelengkapan Imunisasi Dasar


Karakteristik
Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi
Jenis Kelamin
Laki-laki 77,4 21,3 1,3
Perempuan 84,1 14,7 1,3
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 100,0
Tidak tamat SD 78,2 21,8
Tamat SD 74,1 22,1 3,8
Tamat SMP 88,9 8,7 2,4
Tamat SMA 80,4 19,6
Tamat D1/D2/D3/PT 79,1 20,9
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 67,1 32,9
Pegawai 79,7 20,3
Wiraswasta 86,0 14,0
Petani/Nelayan/Buruh 81,0 16,2 2,8
Lainnya 67,6 28,3 4,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 77,9 20,8 1,3
Perdesaan 85,3 13,5 1,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 77,5 22,5
Menengah bawah 84,3 14,9 0,8
Menengah 78,3 16,7 5,0
Menengah Atas 75,9 24,1
Teratas 86,9 13,1

Pada Gambar 3.13.4, menunjukkan informasi tentang riwayat Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI), Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila
seorang anak memperoleh imunisasi perlu diobservasi beberapa saat untuk memastikan tidak
terjadi KIPI. Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusukan jarum suntik baik langsung
maupun tidak harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi langsung dapat berupa rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan. Sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
antara lain seperti rasa takut, pusing, mual sampai sinkope.
Gambar 3.13.4 menunjukkan bahwa dari semua yang pernah imunisasi, terdapat 30 persen
anak 12-59 bulan yang mengalami KIPI. Secara berturut-turut dari yang terbanyak mengalami
KIPI adalah Badung (47,9%), Denpasar (41,2%), Bangli (32,5), Karangasem (32,2%), Jembrana
(30,8%), Klungkung (29,4%), Buleleng (18,2%), Tabanan (12,6%) dan yang paling sedikit adalah
Gianyar (9,0%).

159
60

50

40

30

20

10

Gambar 3.13.4
Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Berdasarkan jenisnya, KIPI yang terjadi di Provinsi Bali secara keseluruhan dapat dilihat pada
gambar 3.13.5. Ada empat jenis KIPI yang diakui pernah dialami oleh anak usia 12-59 bulan
yakni bengkak (19,3%) sebagai gejala terbanyak, disusul dengan kemerahan (17,5%), bernanah
(6,6%) dan demam tinggi (3,3%).

120

100

80

60

40

20

0
pernah pernah KIPI bengkak kemerahan bernanah demam tinggi
imunisasi

Gambar 3.13.5
Persentase keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak usia 12-59 bulan, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

Mengenai jenis KIPI yang terjadi disetiap kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 3.13.9, KIPI
berupa demam tinggi kebanyakan terjadi di Buleleng dan Karangasem, Yang berupa bengkak,
daerah Badung, Klungkung dan Denpasar adalah tiga daerah terbanyak ditemukan KIPI
bengkak, Jenis KIPI kemerahan banyak ditemukan di Bangli, Jembrana dan Badung, Secara
lengkap jenis KIPI menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 3.13.9 dibawah.

160
Tabel 3.13.9
Persentase jenis kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Keluhan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


Demam tinggi Bengkak Kemerahan Bernanah Lainnya
Jembrana 16,8 30,8 7,4 0,0
Tabanan 4,8 12,6 0,0
Badung 3,2 29,9 25,1 15,1 0,0
Gianyar 3,2 5,9 0,0
Klungkung 29,4 10,7 8,8 0,0
Bangli 24,2 32,5 12,5 0,0
Karangasem 6,2 16,8 10,3 1,3 0,0
Buleleng 7,5 13,2 13,2 11,1 0,0
Denpasar 2,2 27,6 21,8 2,6 0,0
Bali 3,3 19,3 17,5 6,6 0,0

3.13.4 Kunjungan Neonatal


Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan
pada saat bayi berumur 6-48 jam (disebut KN1), 3-7 hari (disebut KN2), dan 8-28 hari (disebut
KN3). Data kunjungan neonatal yang dikumpulkan adalah data dari anak balita umur 0-59 bulan
dan dikumpulkan melalui wawancara dengan responden yang paling mengetahui keadaan anak
sejak lahir sampai umur saat ini.

Tabel 3.13.10
Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Kunjungan Neonatal
Kabupaten/kota
KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)
Jembrana 69,7 45,5 39,5
Tabanan 92,3 91,7 79,1
Badung 90,7 81,0 71,5
Gianyar 85,7 74,9 78,9
Klungkung 82,1 69,3 63,6
Bangli 68,6 29,5 28,5
Karangasem 89,0 42,7 39,9
Buleleng 55,2 40,4 40,1
Denpasar 91,7 81,6 79,8
Bali 82,2 66,2 62,4

Persentase KN1 pada anak balita menurut kabupaten/kota di Bali disajikan pada Tabel 3.13.10,
Persentase kunjungan neonatal pada saat 6-48 jam adalah 82,2 persen. Kabupaten/kota dengan
persentase KN1 tertinggi adalah Tabanan (92,3%) dan terendah di Buleleng (55,2%).
Persentase kunjungan neonatal pada saat 3-7 hari adalah 66,2 persen, dengan persentase
kunjungan tertinggi adalah Tabanan (91,7%), Sedangkan persentase KN3 yang dilakukan pada
saat 8-28 hari adalah 62,4 persen.

161
Tabel 3.13.11
Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Karakteristik Kunjungan Neonatal


KN1 (6 – 48 jam) KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 hari)
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 84,5 68,5 65,6

6 – 11 bulan 89,3 74,6 69,7

12 – 23 bulan 82,2 67,1 65,5

24 – 35 bulan 84,0 66,2 60,3

36 – 47 bulan 78,8 63,0 59,6

48 – 59 bulan 80,5 64,0 59,9

Jenis Kelamin
Laki-laki 82,5 64,7 61,2

Perempuan 82,0 67,7 63,7

Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 88,0 73,4 59,8

Tidak tamat SD 71,3 47,3 47,1

Tamat SD 75,8 54,7 56,4

Tamat SMP 81,5 61,4 58,2

Tamat SMA 86,1 72,8 65,8

Tamat D1/D2/D3/PT 87,7 81,7 77,3

Pekerjaan KK
Tidak bekerja 91,2 75,9 74,6

Pegawai 88,0 76,5 71,4

Wiraswasta 84,5 72,4 68,8

Petani/Nelayan/Buruh 75,0 52,3 48,4

Lainnya 76,8 56,8 63,4

Tempat Tinggal
Perkotaan 83,9 71,4 68,3

Perdesaan 79,4 57,2 52,4

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 69,1 42,7 40,5

Menengah bawah 81,2 56,8 54,1

Menengah 85,3 67,7 66,5

Menengah Atas 84,6 70,1 67,2

Teratas 86,5 83,5 75,1

Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik anak balita, kepala keluarga, dan tempat
tinggal, disajikan pada Tabel 3.13.11. Tabel 3.13.11 menunjukkan bahwa persentase kunjungan
neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir cukup bervariasi bila dilihat dari kelompok
umur, jenis kelamin anak, tempat tinggal dan jenis pekerjaan KK, persentase kunjungan
neonatal di perkotaan lebih tinggi dari pada di perdesaan. Tabel 3.13.11 juga menunjukkan

162
bahwa semakin kuintil indeks kepemilikan cenderung semakin tinggi pula persentase kunjungan
neonatal pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari.
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi
berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali
yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan
kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3).
Secara keseluruhan kunjungan neonatal lengkap di Bali adalah 53,2%, tidak lengkap 33,4% dan
yang tidak penah melakukan kunjungan neonatal adalah 13,3%, Tiga daerah dengan KN
lengkap tertinggi adalah Denpasar (75,1%), Tabanan (74,8%) dan Gianyar (70,1%). Tiga daerah
dengan KN tidak lengkap tertinggi adalah Karangasem (65,3%), Bangli (60,2%) dan Jembrana
(44,6%).
120
100
80
60
KN Lengkap
40
20
KN Tidak
0
Lengkap
Karangasem
Jembrana

Klungkung

Tabanan
Buleleng

Denpasar
Gianyar
Bali

Badung
Bangli

Gambar 3.13.6
Persentase kunjungan neonatal lengkap, tidak lengkap dan tidak pernah KN pada anak umur 0-
59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Gambar 3.13.6 juga menunjukkan daerah dengan persentase tidak pernah melakukan
kunjungan neonatal, Tiga daerah diatas rerata Bali yang tidak pernah melakukan kunjungan
neonatal antara lain Buleleng (35,1%), Jembrana (28,0%) dan Bangli (28,0%). Persentase
kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.13.12.

Tabel 3.13.12
Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
Kategori Kunjungan Neonatal
Kabupaten/kota
Tidak Pernah KN KN Tidak Lengkap KN Lengkap
Jembrana 28,0 44,6 27,3
Tabanan 3,5 21,6 74,8
Badung 7,4 27,7 64,9
Gianyar 7,9 22,0 70,1
Klungkung 11,5 36,2 52,3
Bangli 28,0 60,2 11,8
Karangasem 10,0 65,3 24,7
Buleleng 35,1 39,5 25,4
Denpasar 4,1 20,8 75,1
Bali 13,3 33,4 53,2

163
Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut karakteristik disajikan pada Tabel 3.13.13,
Tabel tersebut menunjukkan bahwa menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal
lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Pada daerah perdesaan masih ada 16,7
persen yang tidak pernah mendapat kunjungan neonatal. Berdasarkan tingkat pendidikan dan
kuintil indeks kepemilikan, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil
indeks kepemilikan cenderung semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap.
Ketika masih usia bayi kurang dari 28 hari hampir 15 persen yang tidak pernah dikunjungi.
Kebanyakan mereka berasal dari orang tua berpendidikan dan indeks kepemilikan rendah
dengan persentase petani/buruh.

Tabel 3.13.13
Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Kategori Kunjungan Neonatal


Karakteristik
Tidak Pernah KN KN Tidak Lengkap KN Lengkap
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 11,3 34,5 54,2
6 – 11 bulan 6,4 31,0 62,5
12 – 23 bulan 12,6 33,6 53,8
24 – 35 bulan 12,9 33,6 53,5
36 – 47 bulan 16,2 34,3 49,5
48 – 59 bulan 15,3 33,0 51,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 13,1 35,2 51,7
Perempuan 13,6 31,6 54,8
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 11,4 32,8 55,8
Tidak tamat SD 25,4 36,7 37,9
Tamat SD 18,6 39,8 41,6
Tamat SMP 14,9 35,4 49,7
Tamat SMA 9,9 31,3 58,9
Tamat D1/D2/D3/PT 6,5 24,4 69,1
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 7,1 30,5 62,4
Pegawai 8,3 28,2 63,4
Wiraswasta 10,8 27,4 61,8
Petani/Nelayan/Buruh 20,2 41,8 38,0
Lainnya 15,7 40,1 44,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 11,3 28,6 60,1
Perdesaan 16,7 41,8 41,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 25,2 45,8 29,1
Menengah bawah 17,3 38,6 44,0
Menengah 10,9 32,2 56,8
Menengah Atas 10,1 33,3 56,5
Teratas 7,7 22,9 69,5

164
3.13.5 Perawatan Tali Pusar
Riskesdas 2013 juga menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir, Tali
pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa (menurut Asuhan Persalinan Normal =
APN). Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik
lainnya.
Tabel 3.13.14 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan
menurut provinsi. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar
pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 49,6 persen, diberi
betadine/alkohol sebesar 45,2 persen, diberi obat tabur sebesar 0,3 persen, dan diberi
ramuan/obat tradisional sebesar 4,9 persen.
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
tertinggi di Denpasar (73,0%) dan terendah di Jembrana (7,0%). Cara perawatan tali pusar
dengan diberi betadine atau alkohol, tertinggi di Jembrana (85,2%) dan yang terendah di
Denpasar (25,8%). Sedangkan perawatan tali pusar dengan menggunakan ramuan dan obat
tradisional, presentase tertinggi terdapat di Bangli (24,4%) dan Karangasem (19,2%).

Tabel 3.13.14
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Cara Perawatan Tali Pusar
Kabupaten/kota Tidak diberi Diberi betadine/ Diberi Diberi ramuan/
apa-apa alkohol obat tabur obat tradisional
Jembrana 7,0 85,2 1,7 6,1
Tabanan 45,1 54,2 0,7
Badung 62,6 34,8 2,6
Gianyar 63,2 34,5 2,3
Klungkung 35,1 61,0 1,8 2,1
Bangli 30,5 45,1 24,4
Karangasem 14,2 65,5 1,1 19,2
Buleleng 45,5 52,8 1,7
Denpasar 73,0 25,8 1,1
Bali 49,6 45,2 0,3 4,9

Tabel 3.13.15 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan
menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks
kepemilikan. Menurut kelompok umur balita, persentase cara perawatan tali pusar pada anak
usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa menunjukkan pola kecenderungan yang menurun
seiring meningkatnya kelompok umur. Sedangkan persentase cara perawatan tali pusar pada
anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa pada laki-laki dan perempuan tampak tidak
jauh berbeda.
Demikian juga menurut pendidikan KK, persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-
59 bulan dengan tidak diberi apa-apa di antara tingkat pendidikan KK menunjukkan pola
kecenderungan makin tinggi pendidikan KK, makin tinggi pula perawatan tali pusar dengan tidak
menggunakan apa-apa. Kondisi ini berbanding terbalik dengan penggunaan ramuan atau obat
tradisional. Sedangkan jika dilihat berdasarkan pekerjaan KK, persentase cara perawatan tali
pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh sebesar 39,4 persen, lebih rendah dibandingkan kelompok pekerjaan
lainnya.
Selanjutnya persentase cara perawatan tali pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi
apa-apa di perkotaan sebesar 56,1 persen, lebih tinggi daripada di perdesaan (38,4%). Menurut
kelompok kuiintil indeks kepemilikan terlihat kecenderungan persentase cara perawatan tali

165
pusar pada anak usia 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa meningkat seiring dengan
meningkatnya kelompok kuintil indeks kepemilikan.

Tabel 3.13.15
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

Cara Perawatan Tali Pusar


Karakteristik Diberi Diberi
Tidak diberi betadine/ Diberi obat ramuan/obat
apa-apa alkohol tabur tradisional
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 64,0 31,7 0,5 3,8
6 – 11 bulan 53,3 42,2 0,4 4,1
12 – 23 bulan 49,4 45,0 0,2 5,4
24 – 35 bulan 52,2 41,0 0,9 5,9
36 – 47 bulan 46,4 45,5 0,2 7,9
48 – 59 bulan 43,9 54,3 1,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 50,5 44,1 0,5 4,9
Perempuan 48,7 46,3 0,1 4,9
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 35,3 46,9 1,8 16,0
Tidak tamat SD 43,8 40,2 1,4 14,6
Tamat SD 43,9 48,4 7,7
Tamat SMP 47,1 47,1 0,5 5,3
Tamat SMA 50,0 47,6 0,2 2,2
Tamat D1/D2/D3/PT 67,1 32,2 0,8
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 52,3 47,7
Pegawai 57,7 40,6 0,1 1,6
Wiraswasta 54,4 41,6 0,4 3,5
Petani/Nelayan/Buruh 39,4 51,0 0,4 9,2
Lainnya 40,8 51,7 7,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 56,1 41,6 0,1 2,2
Perdesaan 38,4 51,3 0,6 9,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 35,7 46,9 0,4 17,0
Menengah bawah 40,9 54,2 1,0 3,9
Menengah 43,9 50,7 0,2 5,2
Menengah Atas 57,9 40,9 1,2
Teratas 62,4 36,1 1,4

3.13.6 Pola Pemberian ASI


Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai
menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal,
menyusui eksklusif, dan pemberian MP-ASI, Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan

166
menyusui ekslusif, Menyusui ekslusif jika anak usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam
terakhir dan tidak diberi makanan prelakteal,
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya, Bagi bayi,
menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan hidup bayi,
kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi,
Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas bayi dan balita, Inisiasi menyusu dini mempunyai
peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan
pasca melahirkan (postpartum),
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe
lebih panjang, pemulihan status gizi yang lebih baik sebelum kehamilan berikutnya, UNICEF dan
WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada
bayinya, Sesudah usia 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI)
dengan tetap memberikan ASI sampai minimal umur 2 tahun, Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Kesehatan juga merekomendasi kepada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6
bulan kepada bayinya,

Tabel 3.13.16
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kategori Proses Mulai Menyusu


Kabupaten/Kota
< 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam
Jembrana 50,0 48,2 1,8
Tabanan 84,5 7,6 7,9
Badung 43,5 45,2 2,2 4,5 4,5
Gianyar 82,6 14,9 2,5
Klungkung 56,3 30,4 6,3 6,9
Bangli 45,4 40,8 9,1 4,7
Karangasem 63,7 26,1 6,8 3,5
Buleleng 68,8 24,8 3,9 2,5
Denpasar 66,6 30,6 1,7 1,1
Bali 62,6 30,7 0,8 3,3 2,6

Persentase proses mulai menyusui pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota
disajikan pada Tabel 3.13.16. Persentase proses mulai menyusui kurang dari satu jam (IMD)
setelah bayi lahir adalah 62,6 persen, tertinggi di Tabanan (84,5%) diikuti oleh Gianyar (82,6%).

167
Tabel 3.13.17
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

Kategori Proses Mulai Menyusu


Karakteristik
< 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 66,7 28,8 4,0 0,5
6 – 11 bulan 59,4 34,5 1,9 4,2
12 – 23 bulan 62,4 29,9 0,6 4,4 2,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 60,2 34,7 1,8 3,3
Perempuan 64,9 27,0 1,5 4,7 1,9
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 61,8 17,2 5,5 15,5
Tidak tamat SD 71,9 24,6 3,4
Tamat SD 70,7 23,6 1,5 2,6 1,5
Tamat SMP 62,4 30,1 3,9 3,6
Tamat SMA 55,3 36,8 1,1 4,0 2,8
Tamat D1/D2/D3/PT 68,5 31,5
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 77,1 13,3 9,7
Pegawai 53,8 40,7 1,3 4,1
Wiraswasta 65,1 28,3 1,4 5,2
Petani/Nelayan/Buruh 66,8 26,2 0,9 3,7 2,3
Lainnya 63,4 23,7 11,5 1,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 62,3 32,6 1,3 2,9 1,0
Perdesaan 63,2 27,7 4,0 5,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 63,5 28,8 3,5 4,2
Menengah bawah 63,2 26,7 4,8 5,3
Menengah 62,2 33,0 1,7 1,9 1,2
Menengah Atas 69,8 25,7 1,8 2,7
Teratas 53,7 39,5 6,8

Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan menurut karakterisitik anak, pendidikan
kepala keluarga (KK), pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan
pada Tabel 3.13.17. Proses mulai menyusui <1 jam menurut semua katagori tidak menunjukkan
kecenderungan tertentu. Berdasarkan pekerjaan KK, kelompok yang bekerja sebagai pegawai
paling rendah prosentasenya untuk menyusui <1 jam. Hal serupa juga tampak bila dilihat
berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, Prosentase terendah adalah pada kelompok kuintil
teratas, Persentase mulai menyusu <1 jam di perkotaan tidak jauh berbeda dengan perdesaan
(62,3% dibanding 63,2%).

168
3.13.7 Cakupan Kapsul Vitamin A
Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berusia enam bulan, Kapsul merah (dosis 100,000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan
kapsul biru (dosis 200,000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan,

Tabel 3.13.18
Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin a selama enam bulan terakhir
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Menerima Kapsul Vitamin A


Jembrana 64,7
Tabanan 95,2
Badung 77,0
Gianyar 68,7
Klungkung 81,3
Bangli 78,7
Karangasem 85,3
Buleleng 72,6
Denpasar 71,5
Bali 76,0

Tabel 3.13.18 menunjukkan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan di
provinsi Bali adalah 76,0 persen. Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa persentase anak umur
6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tertinggi di Tabanan
(95,2%) dan terendah di Jembrana (64,7%).

169
Tabel 3.13.19
Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir
menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Karakteristik Menerima Kapsul Vitamin A


Kelompok Umur
6 – 11 bulan 74,3
12 – 23 bulan 79,9
24 – 35 bulan 78,5
36 – 47 bulan 73,1
48 – 59 bulan 74,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 72,7
Perempuan 79,4
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 75,1
Tidak tamat SD 70,9
Tamat SD 78,5
Tamat SMP 75,9
Tamat SMA 76,9
Tamat D1/D2/D3/PT 71,6
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 87,1
Pegawai 76,6
Wiraswasta 71,8
Petani/Nelayan/Buruh 76,8
Lainnya 77,7
Tempat Tinggal
Perkotaan 74,3
Perdesaan 78,7
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 76,1
Menengah bawah 77,4
Menengah 74,7
Menengah Atas 74,8
Teratas 76,8

Tabel 3.13.19 menyajikan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A
selama enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat
tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa persentase anak
umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir cukup bervariasi
di antara kelompok umur balita. Kelompok umur yang presentase penerimaan vitamin A-nya
paling tinggi adalah kelompok umur 12-23 bulan (79,9%). Persentase anak umur 6-59 bulan
yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir pada laki-laki lebih sedikit
dibandingkan pada perempuan.
Menurut pendidikan dan pekerjaan KK, terlihat tampak adanya kecenderungan tertentu. Kalau
menurut tempat tinggal, persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A
selama enam bulan terakhir di perkotaan sebesar 74,3 persen, lebih rendah daripada di

170
perdesaan (78,7%). Selanjutnya menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, persentasenya
bervariasi dan tidak tampak kecenderungan tertentu.

3.13.8 Pemantauan Pertumbuhan


Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
pertumbuhan (growth faltering) secara dini, Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut,
penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di
berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan
yang lain,
Pada Riskesdas 2013, ditanyakan frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam
bulan terakhir yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang frekuensi penimbangan ART
untuk pemantauan pertumbuhan dalam 6 bulan terakhir. Idealnya dalam 6 bulan anak balita
ditimbang minimal 6 kali.

70

60

50

40
2007
30 2013

20

10

0
tidak 1-3 kali ≥ kali

Gambar 3.13.7
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Gambar 3.13.7 menunjukkan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-


59 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar tersebut terlihat
bahwa frekuensi penimbangan yang >4 kali menurun 18,4% pada tahun 2013 dibanding tahun
2007. Ditambah lagi, anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan
terakhir meningkat signifikan dari 14,6 persen di tahun 2007 menj,adi 30,0 persen di tahun 2013.
Tabel 3.13.20 menggambarkan frekuensi penimbangan anak umur 6-56 bulan selama enam
bulan terakhir menurut kabupaten/kota di Bali. Secara keseluruhan terdapat 47,0% yang
menimbang ≥ 4 kali, 23,0% yang menimbang 1-3 kali dan sebanyak 30 yang tidak pernah
melakukan penimbangan.

171
Tabel 3.13.20
Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Frekuensi Penimbangan


≥ 4 kali 1 – 3 kali Tidak Pernah
Jembrana 50,0 13,8 36,2
Tabanan 75,2 9,8 15,0
Badung 51,9 31,6 16,5
Gianyar 35,0 34,1 30,9
Klungkung 66,6 18,8 14,6
Bangli 53,5 20,6 26,0
Karangasem 40,8 19,6 39,6
Buleleng 40,2 15,2 44,6
Denpasar 39,6 27,7 32,7
Bali 47,0 23,0 30,0

Gambar 3.13.8 menyajikan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita >4 kali
dalam enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota, tahun 2007 dibanding 2013. Dari gambar
terlihat bahwa frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir
sebanyak ≥4 kali pada semua kabupaten mengalami penurunan kecuali Tabanan yang
mengalami peningkatan dari 69,9% di tahun 2007 menjadi 75,2% di tahun 2013. Penurunan
persentase tertinggi terjadi di kabupaten Gianyar dari 78,8% menjadi 35,0% disusul oleh
Karangasem dari 68,4% menjadi 40,8%.

90
80
70
60
50
2007
40
2013
30
20
10
0

Gambar 3.13.8
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2007 dan 2013

Tabel 3.13.21 menyajikan persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama
enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal,
dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut kelompok umur terlihat adanya kecenderungan
persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak
≥4 kali yang lebih tinggi pada kelompok umur lebih muda. Persentase frekuensi penimbangan
anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥4 kali pada anak perempuan

172
sebesar 48,3 persen, lebih tinggi daripada laki-laki (45,8%). Sedangkan menurut pendidikan KK,
persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak
≥4 kali terlihat bervariasi di antara kelompok pendidikan KK, dengan presentasi paling rendah
pada anak dengan pendidikan KK tamat PT (38,2%).
Menurut pekerjaan KK, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam
bulan terakhir sebanyak ≥4 kali juga bervariasi di antara jenis pekerjaan KK. Frekuensi
penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak ≥4 kali terlihat lebih
tinggi di pedesaan (51,9%) dibandingkan perkotaan (44,1%). Menurut kelompok kuintil indeks
kepemilikan, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan
terakhir sebanyak ≥4 kali terlihat tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas di antara
kelompok kuintil indeks kepemilikan.

Tabel 3.13.21
Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut
karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Frekuensi Penimbangan
Karakteristik
≥ 4 kali 1-3 kali Tidak Pernah
Kelompok Umur
6 – 11 bulan 74,5 19,1 6,4
12 – 23 bulan 49,7 29,7 20,6
24 – 35 bulan 44,2 22,4 33,4
36 – 47 bulan 44,6 24,7 30,8
48 – 59 bulan 38,2 17,8 44,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 45,8 24,8 29,4
Perempuan 48,3 21,1 30,6
Pendidikan KK
Tidak pernah sekolah 67,6 12,6 19,8
Tidak tamat SD 44,1 15,6 40,3
Tamat SD 44,7 18,5 36,8
Tamat SMP 50,2 18,8 31,0
Tamat SMA 49,3 26,7 24,0
Tamat D1/D2/D3/PT 38,2 31,6 30,2
Pekerjaan KK
Tidak bekerja 44,6 29,4 26,0
Pegawai 46,1 27,4 26,5
Wiraswasta 46,8 26,4 26,8
Petani/Nelayan/Buruh 48,2 16,5 35,2
Lainnya 47,2 20,3 32,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 44,1 26,7 29,2
Perdesaan 51,9 16,8 31,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 43,2 19,5 37,2
Menengah bawah 57,3 13,1 29,6
Menengah 43,6 21,5 34,9
Menengah Atas 48,8 24,1 27,0
Teratas 42,6 33,5 23,9

173
3.13.9 Sunat Perempuan
Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak
perempuan usia 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat, presentase kategori umur ketika
disunat. Selain itu juga disajikan data tentang presentase orang yang menyarankan untuk
melakukan sunat dan presentase yang melakukan sunat anak, keduanya disajikan lengkap
dalam buku Riskesdas dalam Angka.
Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut kabupaten
disajikan pada Tabel 3.13.22. Dari Tabel tersebut dihasilkan persentase pernah disunat pada
anak perempuan usia 0 - 11 tahun sebesar 6,0 persen, Sunat pada perempuan di Bali tertinggi
dilakukan di Jembrana (34,8%). Di Klungkung dan Bangli tidak ditemukan kejadian sunat pada
anak perempuan.

Tabel 3.13.22
Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0 - 11 tahun yang menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Kabupaten/kota Pernah disunat


Jembrana 34,8
Tabanan 0,6
Badung 6,0
Gianyar 0,3
Klungkung
Bangli
Karangasem 2,9
Buleleng 6,6
Denpasar 6,0
Bali 6,0

Gambar 3.13.9 menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun
menurut pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut
pendidikan KK ada penurunan persentase mulai kelompok tidak tamaat SD sampai tamat
Perguruan Tinggi. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun di
perkotaan tidak jauh berbeda dibandingkan di perdesaan. Sedangkan menurut kuintil indeks
kepemilikan tampak persentase tertinggi anak perempuan usia 0 - 11 tahun pernah disunat pada
kuintil menengah.

174
14
12
10
8
6
4
2
0

Kui til I deks…


Tidak tamat SD

Pekerjaan KK

Menengah
Wiraswasta

Menengah Atas
Teratas
Pendidikan KK

Tamat D1/D2/D3/PT

Tidak bekerja
Pegawai
Tamat SD

Tempat Tinggal

Perdesaan

Menengah bawah
Tidak pernah sekolah

Tamat SMP
Tamat SMA

Lainnya

Terbawah
Perkotaan
Petani/Nelayan/Buruh
Gambar 3.13.9
Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0 - 11 tahun menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
3.14. Status Gizi
Uraian status gizi terdiri dari: (1) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 – 18 tahun; (3)
status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko
tinggi (risti). Selain itu disajikan juga gambaran kecenderungan status gizi hasil dari Riskesdas
2007, 2010, dan 2013, Informasi lengkap status gizi disajikan secara lengkap baik menurut
provinsi maupun karakteristik di buku Riskesdas 2013 dalam angka. Responden yang dianalisis
untuk status gizi seperti skema berikut:

Rumah Tangga

anak balita anak 5-12 th remaja 13-15 th remaja 16-18 th dewasa ≥ 18 th

anak balita anak balita anak balita wanita usia Ibu hamil
dianalisis BB/U dianalisis TB/U dianalisis BB/TB subur

175
3.14.1. Status gizi anak balita
3.14.1.1. Cara penilaian status gizi anak balita

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), Berat
badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg,
panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm.
Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U,
TB/U, dan BB/TB.

Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak
balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak
balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut
ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut :

a, Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U :

Gizi Buruk : Zscore < -3,0


Gizi Kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Gizi Baik : Zscore ≥ -2,0

b, Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore <-3,0


Pendek : : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≤-2,0

c, Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:

Sangat kurus : Zscore < -3,0


Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
Gemuk : Zscore > 2,0

d, Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:

Pendek-kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
Pendek-normal : Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
Pendek-gemuk : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
TB Normal-kurus : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
TB Normal-normal : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
TB Normal-gemuk : Zscore TB/U ≥ -2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator BB/U:

Prevalensi gizi buruk : (∑ Balita gizi buruk/ ∑Balita) x 100%


Prevalensi gizi kurang : (∑ Balita gizi kurang/ ∑Balita) x 100%
Prevalensi gizi baik : (∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100%

Berdasarkan indikator TB/U


Prevalensi sangat pendek : (∑ Balita sangat pendek/ ∑Balita) x 100%
Prevalensi pendek : (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑Balita) x 100%

176
Berdasarkan indikator BB/TB:

Prevalensi sangat kurus : (∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100%


Prevalensi kurus : (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100%
Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi gemuk : (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%

Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Prevalensi pendek-kurus : (∑ Balita pendek-kurus/ ∑ Balita) x 100%


Prevalensi pendek-normal : (∑ Balita pendek-normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi pendek-gemuk : (∑ Balita pendek-gemuk/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TB normal-kurus : (∑ Balita normal-kurus/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TB normal-normal : (∑ Balita normal-normal/∑ Balita) x 100%
Prevalensi TB normal-gemuk : (∑ Balita normal-gemuk/∑ Balita) x 100%

Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:

Berat Kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)
Pendek : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)
Kurus : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)

3.14.1.2. Sifat-sifat indikator status gizi


Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum,
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut
karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang
rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Sebagai contoh misalnya:
kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya:
terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi
kurus, Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada
saat dewasa (Teori Barker).
Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis,
Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek.

3.14.1.3. Status gizi balita menurut indikator BB/U


Gambar 3.14.1 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) menurut kabupaten/kota dan
provinsi, Secara provinsi, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 13,2 persen, terdiri
dari 3 persen gizi buruk dan 10,2 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi Bali tahun 2007 (11,4 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi
kurang yaitu dari 8,2 persen tahun 2007 meningkat menjadi 10,2 persen tahun 2013.
Sedangkan prevalensi gizi buruk mengalami penurunan sebesar 0,2 persen dari 2007 dan 2013
(Gambar 3,14,4), Terkait dengan MDGs, Bali sudah mencapai apa yang ditargetkan MDG yakni
15,5 persen prevalensi gizi buruk-kurang tahun 2015.

177
25

20

15 13,2

10 2007
11,4
2013
5

Gambar 3.14.1
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan 2013
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0 -
29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun
2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang
berarti masalah gizii berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Beruntung, semua kabupaten/kota di Bali, prevalensi
gizi buruk-kurang pada anak balita jauh di bawah angka nasional dan bahkan kabupaten
Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli dan kota Denpasar sudah mencapai
target MDG.
Diantara 9 kabupaten/kota di provinsi Bali, memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka
prevalensi yang ditargetkan oleh MDG adalah Karangasem (15,4%) dan Buleleng (18,2),
Karangasem mampu menurunkan prevalensi gizi buruk kurang dari 19,8% pada tahun 2007
menjadi 15,4% pada tahun 2013, Berbeda dengan kabupaten Buleleng yang mengalami
peningkatan prevalensi gizi buruk kurang dari 14,9% di 2007 menjadi 18,2% di tahun 2013.
Berdasarkan gambar 3.14.1 tampak bahwa proses perubahan yang positif dalam arti mampu
menurunkan prevalensi gizi buruk kurang terdapat di Klungkung yang mampu menurunkan
8,3%, Karangasem menurunkan 4,4%, Denpasar menurunkan 0,6% dan Bangli menurunkan
0,1%. Selain di keempat kabupaten/kota tersebut, semua mengalami peningkatan prevalensi
gizi buruk kurang pada balita.

3.14.1.4. Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U


Gambar 3.14.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut kabupaten/kota dan provinsi,
Prevalensi pendek secara provinsi tahun 2013 adalah 32,6 persen, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan tahun 2007 (31,0%). Prevalensi pendek sebesar 32,6 persen terdiri
dari 13,1 persen sangat pendek dan 19,5 persen pendek, Pada tahun 2013 prevalensi sangat
pendek menunjukkan penurunan, dari 16,0 persen tahun 2007. Prevalensi pendek meningkat
dari 15,0 persen pada tahun 2007 menjadi 19,5 persen pada tahun 2013.

178
45
40
32,6
35
30
25 31
20
2007
15
10 2013
5
0

Gambar 3.14.2
Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan 2013

Terdapat 6 kabupaten yang mempunyai prevalensi diatas prevalensi provinsi, Urutan kabupaten
dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: Gianyar (41%), Bangli (40%), Karangasem
(39,1%), Buleleng (35,6%), Jembrana (34%), dan Tabanan (32,7%). Masalah kesehatan
masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila
prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 4 kabupaten, Karangasem, Buleleng,
Jembrana dan Tabanan termasuk kategori berat, dan sebanyak 2 kabupaten, Gianyar dan
Bangli termasuk kategori serius.

Gambar 3.14.2 juga menunjukkan perubahan prevalensi pendek yang terjadi pada 9
kabupaten/kota di Bali, Perubahan positif hanya terjadi di 2 kabupaten/kota, Klungkung dan
Denpasar. Prevalensi pendek di Klungkung, turun dari 28,3% pada tahun 2007 menjadi 19,3%
pada tahun 2013, Denpasar berubah dari 30,2% menjadi 28,8%.

3.14.1.5. Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB


Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk
adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus
di Bali tahun 2013 yaitu 3,4 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun tahun 2007 (4,4
%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 5,4 persen juga menunjukkan
adanya penurunan dari 5,6 persen (tahun 2007), Secara keseluruhan prevalensi anak balita
kurus dan sangat kurus menurun dari 10 persen pada tahun 2007 menjadi 8,8 persen pada
tahun 2013.

179
16
14
12 10,1
10
8
8,8
6 2007
4 2013
2
0

Gambar 3.14.3
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan 2013

Gambar 3.14.3 menyajikan prevalensi kurus menurut provinsi dan nasional, Terdapat 4
kabupaten/kota dimana prevalensi kurus diatas angka provinsi, dengan urutan dari prevalensi
tertinggi sampai terendah, adalah: Gianyar (12,8%), Buleleng (11,5%) Denpasar (10,9%) dan
Badung (10%). Secara umum, prevalensi kurus di Bali mengalami penurunan dari 10,1% di
tahun 2007 menjadi 8,8% di tahun 2013.

Mengacu pada WHO yang menyatakan bahwa masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap
serius bila prevalensi kurus antara 10,0 - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen
(WHO 2010). Maka, diantara 9 kabupaten/kota, 4 kabupaten/kota tersebut diatas masuk kategori
serius.

Pada tahun 2013 prevalensi gemuk di Bali adalah 12,6 persen, yang menunjukkan terjadi
penurunan dari 13,1 persen pada tahun 2007. Terdapat 4 kabupaten/kota yang memiliki
masalah anak gemuk di atas angka provinsi dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah,
yaitu: Gianyar (19%) Jembrana (16,9%), Denpasar (14,2%) dan Buleleng (14,1%).

3.14.1.6. Kecenderungan Prevalensi Status Gizi Anak Balita Tahun 2007- 2013
Gambar 3.14.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, Dilihat dari kondisi pada tahun 2013, terlihat prevalensi gizi buruk
sedikit menurun dan gizi kurang meningkat. Prevalensi sangat pendek turun 2,9 persen dari
tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 4,5 persen dari tahun 2007. Berdasarkan indeks
BB/TB, prevalensi kurus turun 1 persen, prevalensi kurus turun 0,2 persen dan prevalensi gemuk
turun 0,5 persen.

180
25

20

15

10 2007
2013
5

0
Gizi Buruk Gizi Sangat Pendek Sangat Kurus Gemuk
Kurang Pendek Kurus
BB/U TB/U BB/TB
Gambar 3.14.4
Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada balita, Provinsi Bali,
Riskesdas 2007 dan 2013

3.14.2. Status gizi anak umur 5-18 tahun


Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun,
13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini
didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) ang
disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut
umur (IMT/U).

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan
berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U, Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi
anak dikategorikan sebagai berikut:

Klasifikasi indikator TB/U:

Sangat pendek :Zscore< -3,


Pendek : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore≥ -2,0

Klasifikasi indikator IMT/U:

Sangat kurus : Zscore< -3,0


Kurus : Zscore≥ -3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore≥-2,0 s/d ≤1,0
Gemuk : Zscore> 1,0 s/d ≤ 2,0
Obesitas : Zscore> 2,0

181
3.14.2.1. Status gizi anak umur 5 – 12 tahun
Gambar 3.14.5 menunjukkan bahwa prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah 19,4
persen (6,9% sangat pendek dan 12,5% pendek). Prevalensi pendek terendah di kabupaten
Badung (14,9%) dan tertinggi di kabupaten Karangasem (31,2 %).

30
25,8
25

20

15 12,3 12,5
Sangat pendek
10 6,9
6,3 Pendek
5 3,1

Gambar 3.14.5
Prevalensi pendek anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2007 dan 2013

Sebanyak 3 kabupaten dari 9 kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi pendek di atas


prevalensi Bali, Ketiga kabupaten tersebut antara lain Karangasem, Buleleng (26,7%) dan
Jembrana (20,4%). Daerah yang paling kecil prevalensi pendeknya adalah kabupaten Badung
(10,5%).

20 18,4
18
16
14 12,6
12
10 8,8 sangat kurus
7,5
8 kurus
6 5,1
gemuk
4 2,3 2,3
2 obesitas
0

Gambar 3.14.6
Prevalensi IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2007 dan 2013

Gambar 3,14,6, menunjukkan prevalensi kurus dan gemuk (menurut IMT/U) pada anak umur 5-
12 tahun. Prevalensi kurus adalah 7,4 persen, terdiri dari 2,3 persen sangat kurus dan 5,1

182
persen kurus, Ini merupakan prevalensi kurus paling rendah di Indonesia. Di provinsi Bali,
pervalensi pendek paling tinggi di kabupaten Karangasem (9,5%) dan terendah di Bangli (3,2%),
Sebanyak 4 kabupaten dengan prevalensi kurus diatas Bali, yaitu Klungkung (7,5%), kota
denpasar (8,8%), Jembrana (8,9%) dan Karangasem.

Masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 21,4 persen, terdiri dari gemuk
12,6 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk di Bali (21,4%) berada
di atas angka nasional, Prevalensi terendah di Bali adalah kabupaten Karangasem (8,3%) dan
tertinggi di Badung (30,1%). Terdapat 4 kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas angka
Bali, yaitu Tabanan (23,4%), kota Denpasar (26,7%), Gianyar (28,9%) dan Badung.

3.14.2.2. Status gizi remaja umur 13 -15 tahun


Sama halnya dengan anak 5-12 tahun, untuk kelompok 13-15 tahun penilaian status gizi
berdasarkan TB/U dan IMT/U, Gambar 3.14.7, menyajikan prevalensi pendek pada remaja
umur 13-15 tahun. Prevalensi pendek pada remaja Bali adalah 20,5 persen (7,2% sangat
pendek dan 13,3% pendek. Prevalensi pendek terendah di kabupaten Badung (5,8 %) dan
tertinggi di Buleleng (28,7%), Dari 9 kabupaten/kota, 6 diantaranya mempunyai prevalensi
pendek diatas prevalensi Bali. Keenam daerah tersebut adalah Klungkung, kota Denpasar,
Jembrana, Gianyar, Karangasem dan yang tertinggi kabupaten Buleleng.

25
20,4
20

15 13,3 13,3

10 Sangat pendek
7,2
5,1 Pendek
5
0,7
0

Gambar 3.14.7
Prevalensi pendek remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013

Gambar 3.14.8 menunjukkan prevalensi kurus dan gemuk pada remaja umur 13-15 tahun, Untuk
prevalensi kurus, angka di Bali adalah 11,1 persen terdiri dari 3,3 persen sangat kurus dan 7,8
persen kurus. Prevalensi kurus terlihat paling rendah di kabupaten Bangli (1,3 %) dan paling
tinggi di Jembrana (13,4%). Sebanyak 5 kabupaten dengan prevalensi anak kurus (IMT/U) diatas
prevalensi Bali yaitu Tabanan, Buleleng, Klungkung, Karangasem dan Jembrana.

183
18
16 15,3

14 12,3
12
10 9,1
sangat kurus
8 6,4
4,9 kurus
6
4 gemuk
2 1,3 obesitas
0,6
0

Gambar 3.14.8
Prevalensi IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013

Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 13,9 persen, terdiri dari 9,7 persen
gemuk dan 4,2 persen sangat gemuk (obesitas). Terdapat 3 kabupaten/kota yang mempunyai
prevalensi gemuk diatas prevalensi Bali, Ketiga daerah tersebut adalah kabupaten Tabanan
(16,3%), kota Denpasar (19,6%) dan yang tertinggi Badung (27,6%).

3.14.2.3. Status gizi remaja umur 16 – 18 tahun


Gambar 3.14.9 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun, Prevalensi pendek adalah 31,4
persen (7,5% sangat pendek dan 23,9% pendek), Prevalensi pendek terendah adalah kota
Denpasar 8,7%. Daerah dengan prevalensi pendek tertinggi adalah Buleleng 29,2%. Selain
Buleleng, masih ada 3 derah lagi yang mempunyai prevalensi pendek diatas angka Bali adalah
Bangli (22,8%), Klungkung (18,9%) dan Tabanan (15,7%).

25 23,6

20

15 13,3

10 8,7 8,7
Sangat pendek
5,6
5 Pendek
1,5
0

Gambar 3.14.9
Prevalensi pendek TB/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

184
Gambar 3.14.10 menyajikan prevalensi kurus dan gemuk pada remaja umur 16-18 tahun,
Secara umum prevalensi kurus di Bali adalah 5,6 persen (0,3% sangat kurus dan 5,3% kurus).
Sebanyak 5 kabupaten/kota dengan prevalensi kurus diatas angka Bali, yaitu kabupaten Gianyar
(6,7%), Karangasem (7,5%), Jembrana (7,3%), Denpasar (8,2%) dan yang mempunyai
prevalensi tertinggi, Klungkung (8,3%).

16
14,1
14
12
10 8,6 8,3
8 sangat kurus
6 5,3 kurus
4 2,6 gemuk
2 0,3 obesitas
0

Gambar 3.14.10
Prevalensi IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas
2013

Pada gambar 3.14.10 dapat dilihat juga Prevalensi gemuk pada remaja umur 16 – 18 tahun.
Terdapat sebanyak 11,2 persen prevalensi gemuk yang terdiri dari 8,6 persen gemuk dan 2,6
persen obesitas, Kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah kabupaten Badung
(16,6 %) dan terendah adalah Klungkung (1,7 %), Tiga daerah yang berisiko karena prevalensi
gemuk diatas angka Bali adalah Badung (16,6%), kota Denpasar (16,2%) dan kabupaten
Tabanan (14,3%).
3.14.3. Status gizi dewasa
Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari 1, status gizi menurut Indeks Masa
Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2, status gizi menurut lingkar perut
(LP); 3, risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4,
wanita hamil risiko tinggi (TB<150 cm).

3.14.3.1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT)
Status gizi menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah
sebagai berikut:

��� = � ��� �� � �� ÷ �� ��� �� � ²


Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut:
Kategori kurus IMT < 18,5
Kategori normal IMT ≥18,5 - <24,9
Kategori BB lebih IMT ≥25,0 - <27,0
Kategori obesitas IMT ≥27,0
Gambar 3.14.11 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas
menurut IMT/U di masing masing kabupaten/kota, Prevalensi penduduk dewasa kurus 8,7
persen, berat badan lebih 13,3 persen dan obesitas 15,5 persen. Prevalensi penduduk kurus
terendah di Gianyar (4,7%) dan tertinggi di Karangasem (14,7%). Lima kabupaten dengan
prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi provinsi, yaitu Buleleng, Bangli, Tabanan,

185
Klungkung dan Karangasem. Prevalensi penduduk obesitas terendah di kabupaten Gianyar
(10,8%) dan tertinggi di Badung (22,6%), Tentang berat badan lebih, ada tiga kabupaten/kota
dengan prevalensi diatas angka Bali, yaitu Jembrana (15,2%), Denpasar (14,8%) dan Tabanan
(13,6%).

50
45
40
35
30 15,5
25
Obesitas
20
15 13,3 BB Lebih
10 Kurus
5 8,7
0

Gambar 3.14.11
Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>1 8 tahun), Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Gambar 3.14.12 menyajikan prevalensi obesitas penduduk dewasa (> 18 tahun) di masing-
masing kabupaten/kota. Prevalensi penduduk dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 28,8
persen, Prevalensi terendah di kabupaten Karangasem (19,1%) dan tertinggi di kabupaten
Badung (38,6%). Seperti yang tampak pada gambar 3,14,18, terdapat empat kabupaten/kota
dengan prevalensi diatas prevalensi Bali, yaitu Tabanan, Denpasar, Jembrana dan Badung.

45
38,6
40
35
28,8
30
25 19,1
20
15
10
5
0

Gambar 3.14.12
Prevalensi obesitas (IMT>25) pada penduduk dewasa umur > 18 tahun, Provinsi Bali, Riskesdas
2013

186
Tabel 3.14.13 menggambarkan prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan dewasa (> 18
tahun). Secara umum prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan dewasa berbeda,
Prevalensi obesitas pada perempuan (29,7%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (27,8%).
Besarnya perbedaan ini tampak nyata di beberapa kabupaten/kota seperti Tabanan, Bangli dan
Jembrana, Satu-satunya daerah yang prevalensi obesitas laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan adalah kota Denpasar.

45 40,9
40
35 29,7
27,5
30
25
27,8
20 25,3 2013
15 laki-laki
10 16,3
perempuan
5
0

Gambar 3.14.13
Prevalensi obesitas (IMT>25) pada laki-laki dan perempuan umur > 18 tahun, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

3.14.3.2. Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP)


Gambar 3.14.14 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun
menurut provinsi. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan
beberapa penyakit degeneratif/kronis, Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan
dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005).

Secara umum, prevalensi obesitas sentral di Bali adalah 24,1%, lebih tinggi dari prevalensi pada
tahun 2007 (16,4%). Prevalensi obesitas sentral terendah di kabupaten Gianyar (17,2 %) dan
tertinggi di Badung (32,3 %). Kecuali kabupaten Gianyar dan kota Denpasar, semua kabupaten
di Bali mengalami peningkatan prevalensi obesitas sentral dibandingkan tahun 2007, Sebanyak
5 kabupaten/kota memiliki prevalensi obesitas diatas angka Bali, yakni Kota Denpasar,
Klungkung, Tabanan, Jembrana dan Badung.

187
35 32,3

30
24,1
25
20
15
17,2 16,4 2007
10
2013
5
0

Gambar 3.14.14
Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi dan menurut
karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka.

3.14.3.3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15 – 49
tahun
Gambar 3.14.15 dan Gambar 3.14.16 menyajikan informasi masalah kurang energi
kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15 -49
tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko
(KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan
ambang batas nilai rerata LILA<23,5 cm.

30 27,1
25
20
15 10,1
10
5
0

Gambar 3.14.15
Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali,
Riskesdas 2013

Tabel 3.14.21 menyajikan prevalensi risiko KEK penduduk wanita hamil umur 15 – 49 tahun,
sebanyak 10,1 persen, Prevalensi risiko KEK terendah di kabuipaten Gianyar (0,0 %) dan
tertinggi di Karangasem (27,1 %). Sebanyak 6 kabupaten dengan prevalensi risiko KEK diatas
angka provinsi, yaitu provinsi Klungkung, Buleleng, Jembrana, Tabanan, Bangli dan
Karangasem.

188
Gambar 3.14.15 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil), Secara
nasional prevalensi risiko KEK WUS sebanyak 20,8 persen, Bali adalah provinsi dengan
Prevalensi risiko KEK terendah (14 %). Di Bali, prevalensi tertinggi di kabupaten Karangasem
(22%) dan yang terendah di Gianyar (6,9%), Tiga daerah yang prevalensi risiko KEK diatas
angka Bali adalah Kota Denpasar, Klungkung dan Karangasem, sedangkan enam kabupaten
lainnya mempunyai prevalensi di bawah angka Bali.

25 22
20
14
15
10 6,9
5
0

Gambar 3.14.16
Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15 – 49 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013
3.14.3.4. Wanita hamil berisiko tinggi
Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan<150 cm (WHO 2007). Gambar 3.14.24 menyajikan prevalensi wanita hamil
berisiko tinggi di Bali sebesar 12,1 persen, Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi ini merupakan
yang terendah di Indonesia, Kalau dilihat menurut kabupaten/kota. Gianyar adalah kabupaten
dengan prevalensi wanita hamil risiko tinggi yang tertinggi, Prevalensi Di Denpasar adalah yang
terendah (00,0 %) dan disusul Badung (9,7%), Selain itu prevalensinya diatas angka Bali.

35 29,4
30
25 21,2 18,9
18,7
20 14,8 14,1 14
15 12,1
9,7
10
5
0

Gambar 3.14.17
Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

189
Lebih rinci, data ibu hamil berisiko tinggi dapat dilihat pada Gambar 3.14.22 dibawah. Gambar
tersebut menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi menurut karakteristik penduduk.
Risiko tinggi wanita hamil lebih banyak ditemukan pada wanita yang berpendidikan rendah,
tiunggal di perdesaan dan bekerja sebagai petani/nelayan/buruh.

35 32,7
30 27,5
25 21,4
19,2
20
15
8,6
10
4,6
5 2,3
0

Gambar 3.14.18
Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut karakteristik, Provinsi
Bali, Riskesdas 2013

3.15. Kesehatan Indera

Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu, Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia
untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik, Informasi visual
ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera
pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa
ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera
peraba), Sekitar 90% informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui
indera penglihatan dan pendengaran, Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara
objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran
(tajam pendengaran),
Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan
pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat
ini, Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih
mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi
profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai
kontroversial, Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran
masyarakat tidak dikumpulkan,
Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa
dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan
organisasi profesi, Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI)
dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Indonesia (Perhati) juga
melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data
Riskesdas 2013 terkumpul, Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas
pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas,

190
3.15.1. Kesehatan Mata
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013
meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-
hole) pada responden usia 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap
responden semua umur. Prevalensi xeroftalmia dihitung berdasarkan hasil
pemeriksaan/observasi nakes terhadap responden balita (6-59 bulan). Pemeriksaan visus dan
observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya
matahari. tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light.
Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter. dengan kartu E
disesuaikan setinggi posisi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan
tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi
kebutaan. begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim
enumerator.
Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik
<3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Low vision didefinisikan sebagai visus pada mata
terbaik ≤6/60 atau mencakup low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai low vision
unilateral. Prevalensi pterygium. kekeruhan kornea. katarak. dan xeroftalmia dihitung
berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes.
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus. tetapi dilakukan
pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan
pin-hole. seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data
prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data
(surveyor) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu
pen-light. sehingga prevalensi tersebut cenderung kurang valid.

3.15.1.1. Prevalensi Kebutaan


Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter.
satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60. sedang untuk visus 6/18. dan kecil
untuk visus 6/6). serta penutup mata dengan pinhole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk
kategori visus. yaitu:
1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)
2. Tidak dapat melihat E kecil. tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)
3. Tidak dapat melihat E sedang. tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)
4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m). tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)
5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m
6. TIDAK DIPERIKSA
Interpretasi kode visus adalah sebagai berikut kode 1 berarti visus normal (6/6). kode 2 berarti
gangguan visus ringan (6/6<visus x≤6/18). kode 3 berarti low vision (6/18<visus x≤6/60). 4
berarti severe low vision (6/60<visus x≤3/60) dan kode 5 berarti buta(<3/60). Visus tidak
diperiksa jika responden berusia 6 tahun keatas. tetapi tidak kooperatif. atau tidak
memungkinkan untuk diperiksa visusnya. seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau
mengalami kelumpuhan total.
Responden usia 6 tahun keatas yang memenuhi kriteria untuk dianalisis berjumlah 17.069 orang.

191
Tabel 3.15.1.
Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision pada responden usia 6 tahun
ke atas tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013

Pakai Kacamata/
Kabupaten Severe Low vision Kebutaan
Lensa kontak
Jembrana 7,2 0,4 0,6
Tabanan 3,0 0,8 0,5
Badung 6,3 0,1 0,1
Gianyar 7,0 0,5 0,0
Klungkung 1,9 1,2 0,5
Bangli 2,5 0,4 0,5
Karang Asem 1,2 0,9 0,1
Buleleng 2,2 1,1 0,2
Kota Denpasar 9,3 0,4 0,2
Bali 5,2 0,6 0,3
Tabel 3.15.1 merupakan hasil pemeriksaan visus terhadap responden usia 6 tahun keatas, Ada
tiga hal yang ditampilkan pada tabel tersebut, prevalensi pemakaian kaca mata atau lensa
kontak, low vision dan kebutaan. Pemeriksaan yang dilakukan pada responden menunjukkan
bahwa 5,2% menggunakan kaca mata atau lensa kontak, Prevalensi tertinggi penggunaan kaca
mata atau lensa kontak terdapat di kota Denpasar (9,3%), Jembrana (7,2%) dan Gianyar (7,0%).
Sebanyak 0,6% mengalami severe low vision atau kemampuan melihat kartu tumbling E ukuran
besar setelah berada pada jarak pandang 3 meter, Prevalensi tertinggi kasus severe low vision
di Bali terdapat di Klungkung (1,2%) dan Buleleng (1,1%). Selain itu pemeriksaan juga
menemukan kasus kebutaan. Terdapat 0,3% penduduk Bali mengalami kebutaan, dengan
prevalensi tertinggi di Jembrana (0,6%).

192
Tabel 3.15.2
Prevalensi ketersediaan koreksi refraksi, kebutaan, dan low vision pada responden usia 6 tahun
ke atas tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Responden Pakai Kacamata/
Severe Low vision Kebutaan
Lensa kontak
Kelompok umur (tahun)
6-14 0,9 -
15-24 3,8 0,0 -
25-34 3,9 0,1 -
35-44 4,9 0,1 0,1
45-54 9,6 0,2 0,1
55-64 10,1 1,0 0,4
65-74 10,0 5,3 1,8
75+ 8,2 9,3 5,3

Jenis kelamin
Laki-laki 4,6 0,4 0,2
Perempuan 5,7 0,9 0,3

Tipe daerah
Perkotaan 7,0 0,5 0,2
Perdesaan 2,3 0,9 0,4

Pendidikan
Tidak sekolah 1,8 2,5 0,9
Tidak tamat SD 2,3 0,8 0,5
Tamat SD 4,3 0,8 0,3
Tamat SMP 4,3 0,2 0,1
Tamat SMA 6,5 0,1 -
Tamat PT 15,4 0,4 0,1

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 5,4 1,2 0,5
Pegawai 9,1 0,1 0,1
Wiraswasta 7,7 0,2 0,1
Petani/nelayan/buruh 2,2 0,6 0,3
Lainnya 3,2 0,8 -

Tingkat kesejahteraan
Terbawah 1,1 1,2 0,3
Menengah bawah 1,7 0,8 0,4
Menengah 3,3 0,4 0,2
Menengah atas 6,7 0,3 0,3
Teratas 10,4 0,5 0,2

Tabel 3.15.2. menggambarkan prevalensi Ketersediaan Koreksi Refraksi. Kebutaan. dan Low
Vision pada Responden Usia 6 Tahun Keatas Tanpa/Dengan Koreksi Optimal Menurut
Karakteristik usia. jenis kelamin. tipe daerah. tingkat pendidikan. jenis pekerjaan dan kuintil
indeks kepemilikan. Dilihat dari kelompok umur. ada kecenderungan yang sama pada
pemakaian kaca mata. severe low vision dan kebutaan. Makin tinggi kelompok usia. makin tinggi
pula prevalensinya.
Berdasarkan jenis kelamin. kelompok perempuan (5.7%) lebih banyak menggunakan kacamata
dibandingkan laki-laki (4.6%). Penduduk yang tinggal di perkotaan tiga kali lebih banyak yang
menggunakan kacamata/lensa kontak dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan.
Berdasarkan jenis pekerjaan. prevalensinya bervariasi. yang tertinggi adalah kelompok yang
bekerja sebagai pegawai dan yang terendah adalah yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh.

193
Pola yang sama juga tampak pada penggunaan kacamata/lensa kontak bila dilihat dari tingkat
pendidikan dan tingkat kesejahteraan ekonominya. Makin tinggi pendidikan dan kesejahteraan
ekonominya. makin tinggi pula prevalensi penggunaan kacamata/lensa kontaknya.

3.15.1.2. Kelainan Permukaan Mata dan Lensa


Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium.
kekeruhan kornea, dan xeroftalmia, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat
diidentifikasi oleh surveyor adalah kekeruhan lensa (katarak). Pemeriksaan morbiditas
permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden. kecuali xeroftalmia yang hanya
diperiksa pada responden berusia dibawah 60 bulan (balita).

Tabel 3.15.3.
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Morbiditas Permukaan Mata
Karakteristik Responden
Pterygium Kekeruhan Kornea
Kelompok umur (tahun)
0-5 0,5 0,5
6-14 1,5 0,9
15-24 9,8 1,5
25-34 23,1 3,1
35-44 35,4 8,5
45-54 49,3 21,7
55-64 57,5 35,7
65-74 62,4 52,4
75+ 58,6 60,4

Jenis kelamin
Laki-laki 26,1 11,2
Perempuan 24,4 10,8

Tipe daerah
Perkotaan 24,3 9,4
Perdesaan 26,7 13,5

Pendidikan
Tidak sekolah 37,1 27,7
Tidak tamat SD 22,0 14,0
Tamat SD 35,6 17,6
Tamat SMP 23,3 6,4
Tamat SMA 26,3 5,9
Tamat PT 23,2 5,3

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 21,5 11,7
Pegawai 27,0 5,7
Wiraswasta 34,2 11,8
Petani/nelayan/buruh 43,3 21,8
Lainnya 31,6 14,6

Tingkat kesejahteraan
Terbawah 29,4 15,8
Menengah bawah 26,4 13,2
Menengah 25,0 10,9
Menengah atas 23,9 9,5
Teratas 23,0 7,7

194
Tabel 3.15.3 dan 3.15.4 menggambarkan prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea mata,
Secara umum prevalensi pterygium di Bali adalah 25,3% dan kekeruhan kornea mata adalah
11%. Tabel 3.15.3 menggambarkan prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea mata
berdasarkan karakteristik kelompok umur, jenis kelamin, tipe daerah, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan dan kuintil indeks kepemilikan. Dilihat dari kelompok umur, pada kedua jenis
morbiditas permukaan mata tampak kecenderungan makin tinggi usia, makin tinggi pula
prevalensinya, Berdasarkan jenis kelamin, tidak terlalu berbeda, Untuk daerah perdesaan
prevalensi pterygium (26,6%) dan kekeruhan kornea (13,5%) lebih tinggi dibandingkan daerah
perkotaan yang mempunyai prevalensi pterygium (24,3%) dan kekeruhan kornea (9,4%).
Berdasarkan tingkat pendidikan, prevalensi tertinggi pterygium dan kekeruhan kornea ada pada
kelompok dengan pendidikan terendah. Petani/nelayan/buruh adalah kelompok terbanyak
menderita pterygium (43,3%) dan kekeruhan kornea (21,8%) dibandingkan kelompok pekerjaan
yang lain. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan terlihat kecenderungan makin tinggi kuintil
indeksnya makin rendah prevalensi pterygium dan kekeruhan korneanya.

Tabel 3.15.4
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada responden semua umur menurut
kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/kota Pterygium Kekeruhan kornea
Jembrana 40,5 17,1
Tabanan 44,4 14,4
Badung 24,0 12,9
Gianyar 4,8 7,1
Klungkung 37,0 14,0
Bangli 30,6 17,0
Karang Asem 24,7 14,9
Buleleng 12,3 7,8
Kota Denpasar 28,0 6,6
Bali 25,3 11,0

Tabel 3.15.4 menggambarkan prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/
kota, Untuk pterygium tampak bahwa tiga daerah dengan prevalensi tertinggi terdapat di
Tabanan (44,4%), Jembrana (40,5%) dan Klungkung (37,0%). Sedangkan pada kasus
kekeruhan kornea mata, prevalensi tertinggi berada di Jembrana (17,1%) dan Bangli (17,0%).
Disamping pterygium dan kekruhan kornea mata, Riskesdas juga menyediakan informasi/ data
tentang katarak, suatu kelainan/ kekeruhan lensa yang tebal dan biasanya mengganggu
penglihatan. Prevalensi katarak di Bali adalah 2,8%. Tabel 3.15.5 menggambarkan kondisi
prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak berdasarkan
karakteristik kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah tempat tinggal dan
kuintil indeks kepemilikannya.
Menurut kelompok umur, tampak bahwa makin tinggi umurnya makin tinggi pula prevalensi
kataraknya. Prevalensi katarak pada perempuan (3,1%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-
laki (2,4%), Bila dilihat dari daerah tempat tinggalnya, prevalensi katarak penduduk yang tinggal
di perdesaan (3,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan (2,1%).
Berdasarkan jenis pekerjaan, prevalensi tertinggi katarak ada pada mereka yang bekerja
sebagai petani/nelayan/buruh (5,7%) dan yang terendah adalah kelompok pegawai (0,6%).
Sedangkan kalau dilihat dari tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, ada
kecenderungan yang sama bahwa makin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikannya,
makin rendah prevalensi kataraknya.

195
Tabel 3.15.5
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden
semua umur menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Responden Katarak Alasan Belum Operasi
Tidak tahu Tidak mampu Takut Operasi
kalau katarak membiayai
Kelompok umur (tahun)
0-5 -
6-14 -
15-24 0,1 51,5
25-34 0,0
35-44 0,6 66,9 4,8 1,0
45-54 3,6 68,6 5,6 12,1
55-64 10,0 68,3 4,7 8,4
65-74 19,4 66,0 3,6 7,1
75+ 32,3 55,5 4,4 12,7

Jenis kelamin
Laki-laki 2,4 65,3 4,9 6,1
Perempuan 3,1 63,9 4,0 11,7

Tipe daerah
Perkotaan 2,1 56,2 7,8 11,8
Perdesaan 3,7 72,1 1,4 6,9

Pendidikan
Tidak sekolah 9,2 63,6 3,4 10,0
Tidak tamat SD 4,2 68,4 4,2 6,2
Tamat SD 4,5 64,3 5,1 10,8
Tamat SMP 1,0 59,5 4,3 11,3
Tamat SMA 0,7 59,0 6,5 8,2
Tamat D1-D3/PT 0,4 61,5 2,9

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 3,9 55,6 5,6 8,9
Pegawai 0,6 72,8 12,1 1,1
Wiraswasta 1,8 59,8 6,6 13,6
Petani/nelayan/buruh 5,7 73,8 2,7 8,5
Lainnya 3,1 55,5 19,4

Tingkat kesejahteraan
Terbawah 3,7 70,3 4,9 7,2
Menengah bawah 4,7 71,9 3,5 8,5
Menengah 2,4 60,3 6,7 8,0
Menengah atas 2,1 58,4 5,3 9,0
Teratas 1,6 51,4 1,9 15,6

Tabel 3.15.6 menggambarkan prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi
pada setiap daerah Kabupaten/kota di Bali. Tabel tersebut menunjukkan bahwa daerah dengan
prevalensi katarak tertinggi adalah kabupaten Klungkung (10,7%) dan Tabanan (5,3%). Adapun
daerah yang prevalensinya terendah adalah kota Denpasar (0,9%).

196
Tabel 3.15.6
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada responden
semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/kota Katarak Alasan Belum Operasi
Tidak tahu kalau Tidak Takut
katarak mampu Operasi
membiayai
Jembrana 1,4 83,7 3,2 2,5
Tabanan 5,3 84,7 0,5
Badung 1,1 20,3 26,9 15,9
Gianyar 1,0 5,0 8,0 51,1
Klungkung 10,7 86,7 0,3 6,5
Bangli 1,8 52,4 1,3
Karang Asem 3,7 54,0 6,3
Buleleng 2,7 50,4 11,2 23,1
Kota Denpasar 0,9 44,1 1,3 4,2
Bali 2,8 64,6 4,4 9,2

Mengenai alasan mengapa belum melakukan operasi, hampir penduduk di semua daerah
mempunyai alasan utama tidak tahu kalau menderita katarak, kecuali kabupaten Badung dan
Gianyar. Penduduk Badung lebih banyak beralasan tidak mampu membiayai dibandingkan
alasan tidak tahu kalau katarak. Sedangkan penduduk Gianyar alasan utamanya lebih berupa
ketakutan untuk melakukan operasi.

3.15.2. Kesehatan Telinga


Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan
pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya
gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik
oleh nakes terlatih pada responden berusia 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran
dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara.
Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang
sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk
pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga
hanya dilakukan uji/tes konversasi.

3.15.2.1. Prevalensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian


Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut:
Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya, Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”, Jika
responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya, Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” 
pendengaran NORMAL,
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya
dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2” 
gangguan pendengaran ringan.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu
kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta
mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “3  gangguan pendengaran sedang,
Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “4”  ketulian.

197
Tabel 3.15.7
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia 5 tahun keatas sesuai tes
konversasi menurut karakteristik, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Responden Gangguan Pendengaran Ketulian
Kelompok umur (tahun)
5-14 0,6
15-24 0,4
25-34 0,4
35-44 0,5 0,1
45-54 1,3 0,1
55-64 4,0 0,1
65-74 12,1 0,1
75+ 28,8 1,0

Jenis kelamin
Laki-laki 1,9 0,0
Perempuan 2,2 0,1

Tipe daerah
Perkotaan 1,9 0,0
Perdesaan 2,2 0,1

Pendidikan
Tidak sekolah 8,0 0,2
Tidak tamat SD 2,1 0,1
Tamat SD 2,5 0,0
Tamat SMP 0,5 0,0
Tamat SMA 0,6 0,1
Tamat PT 1,3 0,0

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 3,1 0,1
Pegawai 1,0 0,1
Wiraswasta 1,2 0,1
Petani/nelayan/buruh 2,3 0,0
Lainnya 1,9

Tingkat kesejahteraan
Terbawah 3,0 0,1
Menengah bawah 2,1 0,1
Menengah 1,4 0,1
Menengah atas 2,0 0,0
Teratas 1,8 0,0

Tabel 3.15.7 dan tabel 3.15.8 memberikan informasi tentang gangguan pendengaran dan
ketulian pada responden dengan usia 5 tahun keatas sesuai tes konversasi. Gangguan
pendengan yang dimaksud pada tabel tersebut adalah respondeng dengan gangguan ringan
yang mempunyai skor “2” dan responden dengan gangguan sedang yang mempunyai skor “3”,
Secara umum prevalensi gangguan pendengaran pada penduduk Bali adalah 2,0% dan
prevalensi ketulian adalah 0,1%.

Tabel 3.15.7 menggambarkan gangguan pendengaran dan ketulian pada responden dengan
usia 5 tahun keatas sesuai tes konversasi menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat usia, makin
tinggi usia makin tinggi prevalensi gangguan pendengaran. Walau tidak jauh berbeda, penduduk
dengan jenis kelamin perempuan (2,2%) labih banyak mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan penduduk dengan jenis kelamin laki-laki (1,9%), Dilihat dari lokasi tempat

198
tinggalnya, mereka yang tinggal di perdesaan (2,2%) lebih banyak mengalami gangguan
pendengaran dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan (1,9%),

Prevalensi gangguan pendengaran menurut tingkat pendidikan, yang tertinggi adalah kelompok
yang tidak sekolah (8,0%). Berdasarkan jenis pekerjaan dan status ekonominya, mereka yang
tidak bekerja dan mereka yang mempunyai tingkat perekonomian terbawah adalah yang
mempunyai prevalensi tertenggi gangguan pendengaran,

Tabel 3.15.8
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian responden usia 5 tahun keatas sesuai tes
konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/kota Gangguan Pendengaran Ketulian

Jembrana 1,9 0,2


Tabanan 2,4 0,1
Badung 0,9 0,0
Gianyar 3,2 0,0
Klungkung 2,4 0,0
Bangli 2,3 0,0
Karang Asem 2,3 0,2
Buleleng 1,8 0,0
Kota Denpasar 1,7 0,1
Bali 2,0 0,1

Tabel 3.15.8 memberikan informasi tentang Prevalensi Gangguan Pendengaran dan Ketulian
Responden Usia 5 Tahun Keatas Sesuai Tes Konversasi Menurut Kabupaten/kota di Bali. Pada
tabel tersebut tampak bahwa kabupaten Gianyar (3,2%) merupakan daerah dengan prevalensi
gangguan pendengaran tertinggi di bali. Daerah dengan prevalensi gangguan pendengaran
terendah adalah Badung (0,9%).

3.15.2.2. Morbiditas Telinga


Mengetahui morbiditas telinga dilakukan dengan pemeriksaan liang telinga dan daerah belakang
daun telinga (retroaurikuler). Kelainan yang dilihat dalam liang telinga antara lain serumen
berupa penumpukan kotoran telinga pada liang telinga dan sekret, baik yang berupa cairan
encer, kental dan darah. Pada daerah belakang daun telinga (retroaurikuluer) diperiksa apakah
terdapat abses atau fistel.

Tabel 3.15.9
Prevalensi morbiditas telinga lainnya pada penduduk umur ≥2 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Kabupaten/kota Serumen Sekret dalam Liang Abses/fistel
Telinga Retroaurikular
Jembrana 59,1 0,2 0,0
Tabanan 40,2 0,3 0,2
Badung 13,4 0,2 0,1
Gianyar 1,2 0,0 0,0
Klungkung 45,4 1,3 0,0
Bangli 43,8 0,1 0,2
Karang Asem 60,9 0,1 0,2
Buleleng 10,0 0,0 0,2
Kota Denpasar 14,3 0,0 0,0
Bali 25,2 0,2 0,1

199
Tabel 3.15.9 menunjukkan informasi tentang prevalensi morbiditas telinga pada penduduk yang
berusia 2 tahun keatas menurut Kabupaten/kota di Bali. Prevalensi morbiditas telinga penduduk
Bali yang tertinggi adalah serumen (25,2%). Morbiditas telinga yang lain, seperti sekret dalam
telinga (0,2%) dan abses/fistel retroaurikuler (0,1%) yang sangat kecil prevalensinya, Menurut
kabupaten/kota yang ada, terdapat 5 daerah yang tinggi prevalensinya melebihi rerata Bali, Dari
urutan tertinggi, daerah tersebut antara lain Karangasem (60,9%), Jembrana (59,1%), Klungkung
(45,4%), Bangli (43,8%) dan kabupaten Tabanan (40,2%).

Tabel 3.15.10
Prevalensi morbiditas telinga pada responden usia 2 tahun ke atas menurut karakteristik,
Provinsi Bali, Riskesdas 2013
Karakteristik Serumen Sekret dalam liang Abses/fistel
Telinga retroaurikular
Kelompok umur (tahun)
2-4 25,7 4,9 0,0
5-14 28,6 5,3 0,0
15-24 18,5 4,0 0,0
25-34 18,5 4,0 0,1
35-44 22,0 5,5 0,1
45-54 27,1 5,7 0,1
55-64 34,7 4,5 0,3
65-74 43,1 8,0 0,3
75+ 43,5 8,6 0,6
Jenis kelamin
Laki-laki 27,1 5,9 0,1
Perempuan 23,3 5,5 0,0
Pendidikan
Tidak sekolah 41,8 6,7 0,3
Tidak tamat SD 32,1 6,6 0,1
Tamat SD 30,2 5,3 0,1
Tamat SMP 21,4 5,4 0,2
Tamat SMA 15,7 4,9 0,0
Tamat D1-D3/PT 11,6 4,6 0,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 25,1 5,6 0,0
Pegawai 14,0 5,5 0,1
Wiraswasta 19,6 4,0 0,2
Petani/nelayan/buruh 35,2 6,5 0,2
Lainnya 28,5 2,5 0,2
Tempat tinggal
Perkotaan 19,1 6,0 0,0
Perdesaan 34,7 5,1 0,2
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 44,3 5,1 0,2
Menengah bawah 29,8 5,5 0,1
Menengah 24,3 5,6 0,1
Menengah atas 20,5 6,0 0,0
Teratas 14,2 5,8 0,0

Tabel 3.15.10 memberikan informasi tentang prevalensi morbiditas telinga pada penduduk yang
berusia 2 tahun keatas menurut karakteristik kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, daerah tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Berdasarkan kelompok
umur, prevalensi serumen tertinggi ada pada penduduk dengan usia 55 tahun keatas, Untuk
sekret dalam telinga, 8,6% dari mereka yang berusia 75 tahun keatas dan 8% dari mereka yang
berusia antara 65-74 tahun ditemukan sekret dalam liang telinga.

200
Berdasarkan jenis kelamin, penduduk dengan jenis kelamin laki-laki (27,1%) lebih tinggi
prevalensinya dibandingkan perempuan (23,3%). Demikian juga untuk kelainan berupa sekret
dan abses/fistel, laki-laki juga lebih tinggi dibandingkan perempuan. Menurut tempat tinggal,
penduduk di perdesaan (34,7%) lebih tinggi prevalensinya dibandingkan penduduk yang tinggal
perkotaan (19,1%), Kelompok petani/nelayan/buruh (35,2%) adalah kelompok yang paling
banyak menderita kelainan serumen dan sekret dibandingkan kelompok dengan jenis pekerjaan
lainnya.
Menurut tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, tampak ada kecenderungan yang
sama, Makin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, makin rendah prevalensi
serumennya. Kalau dilihat berdasarkan karakteristik daerah tempat tinggal, prevalensi serumen
di perdesaan (34,7%) hampir dua kali lebih banyak dibandingkan penduduk yang tinggal di
daerah perkotaan (19,1%).

201
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan R,I, Laporan Riskesdas 2007 Provinsi Bali, Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Depkes R,I,

Departemen Kesehatan R,I, Laporan Riskesdas 2010 Provinsi Bali, Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Depkes R,I,

Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta,

Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www,kesehatanibu,depkes,go,id/wp-content/,,,/download,
php?id=59

Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin, www,kesehatanibu,


depkes,go,id/wp-content/,,,/download,php?id=56

Katzmarzyk,Peter T 2012, Sedentari Behaviour and Life Expectancy in the USA: A Cause
Deleted Life Table Analysis, Digital Access to Scholarship at Harvard, diunduh 14 Nopember
2013 www,dash,harvard,edu/bitstream/handle/1/10445571/3400064,pdf?sequence=1

Katzmarzyk PT, Lee I-M, Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted
life table analysis, BMJ Open 2012;2: e000828, doi:10,1136/ bmjopen-2012-000828,

Kementrian Kesehatan, 2011, Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

Kementerian Kesehatan R,I,, 2011, “Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan”, Jakarta,


Kementerian Kesehatan R,I,, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012,
Kementerian Kesehatan RI, Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia, Jakarta ,
2012 hal 1-73,
Kementerian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Gigi dan Mulut, Jakarta 1999,

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group, KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease, Kidney inter,,
Suppl, 2013; 3: 1—150,

National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US, 2004, The seventh
report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure, NIH Publication No, 04-5230, August 2004, (cited 2007 Nov 2), Available from:
http://www,nhlbi,nih,gov/guidelines/hypertension/jnc7full,pdf,

Pusat promosi Kesehatan, departemen Kesehatan RI, 2009,Rumah Tangga berperilaku hidup
bersih dan sehat

Report of WHO, Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia,
Geneva: WHO; 2006, P,9—43,

Rajagukguk, Omas Bulan, 2010, Keluarga Berencana dalam Dasar-Dasar Demografi, Salemba
Empat, Jakarta,

Republik Indonesia, 2002, Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,


Jakarta,

202
World Heatlh Organization, 2012, Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis Guide,
Surveillance and Population-based Prevention, Department of Chronic Diseases and Health
Promotion,Geneva, www.who.int/chp/steps
World Heatlh Organization, 2012, WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core
and expanded), Surveillance and Population-based Prevention, Department of Chronic Diseases
and Health Promotion,Geneva, www.who.int/chp/steps

203
LAMPIRAN
1. SK. Menkes untuk Riskesdas 2013
2. SK Korwil
3. Kuesioner Rumah Tangga (RKD 13. RT)
4. Kuesioner Individu (RKD 13. IND)
5. Persetujuan Etik
6. Informed consent
7. Rekomendasi Penelitian

204

Anda mungkin juga menyukai