ISBN 978-602-235-536-6
Diterbitkan oleh :
Lembaga Penerbitan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013
Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226
Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933
Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id
Didistribusikan oleh :
Tim Riskesdas 2013
Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta
1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
RISET KESEHATAN DASAR
RISKESDAS 2013
PROVINSI ACEH
PENULIS:
1.ENDI RIDWAN
2.MARICE SIHOMBING
3.APRILDAH SAPARDIN
KATA PENGANTAR
Assalamu‘alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan
riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas
menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan
kesehatan.
Hasil akhir Riskesdas 2013 Provinsi Aceh disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil
Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan,
dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013
dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu
kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif
mengenai Riskesdas, buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci.
Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 –
2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang
telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang
dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013 Provinsi
Aceh. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan
analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan
kepada para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan
Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.
Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan
barokah-Nya kepada kita.
Wassalamu‘alaikum wr.wb.
Jakarta, Desember 2013
Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik
Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data
dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah
dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan
data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan.
Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan
kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.
Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data
dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan
program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya
juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan
Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil
Riskesdas 2013, guna mengidentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan
penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan
kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.
Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para
penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional
dari Dinas Kesehatan Provinsi dan coordinator Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan
Badan Pusat Statistik, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan
dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.
Semoga buku ini bermanfaat.
Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.
B. Ringkasan hasil
Kesehatan lingkungan
Air minum
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi Aceh adalah
sebesar 47,1 persen (perkotaan: 28,1%; perdesaan: 54,8%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi
tertinggi untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (8,4%), berwarna (6,4%),
berasa (4,0%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,2%). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi RT
tertinggi dengan air minum keruh adalah di Nagan Raya (25%), berwarna dan berasa juga di Nagan
Raya (24,4% dan 2,6%), berbusa dan berbau adalah di Aceh Utara (12,9%).
Proporsi RT yang mengolah air sebelum di minum di Provinsi Aceh adalah sebesar 59,9 persen.
Dari 59,9 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 95,8 persennya melakukan
pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar
mata hari/solar disinfection sebanyak 1,7 persen, menambahkan larutan tawas 0,1 persen, disaring
dan ditambah larutan tawas 0,3 persen dan disaring saja sebanyak 2,1 persen.
Sanitasi
Proporsi RT di Provinsi Aceh menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 64,6 persen, milik
bersama sebanyak 5,7 persen, dan fasilitas umum adalah 7,0 persen. Masih terdapat RT yang tidak
memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi
RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Kabupaten Gayo Lues (59,2%),
Aceh Tenggara (43,7%), Pidie (40,9%), Aceh Selatan (37,0%), dan Simeuleu (35,8%).
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di
Provinsi Aceh adalah sebesar 53,4 persen. Lima Kabupaten/kota tertinggi proporsi RT yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Kota Banda Aceh (97,0%), Lhokseumawe
(84,2%), Aceh Jaya (82,4%), Sabang (80,8%), dan Langsa (80,6%).
Untuk penampungan air limbah RT di Provinsi Aceh umumnya dibuang langsung ke got (45,4%).
Hanya 15,7 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi
SPAL dan 14,4 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 8,5% ditampung di
luar pekarangan. Sementara dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara
dibakar (70,6%) dan hanya 13,7 persen yang diangkut oleh petugas. Sementara lainnya dengan
cara ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan.
Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi
adalah di Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh Tamiang (84,3%), dan
Aceh Utara (82,8%).
Perumahan
Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Provinsi Aceh menempati rumah
milik sendiri (83,5%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/
saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 86,2 persen rumah
dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi
ruangan dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula
dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun
dapurnya bersih dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 60 persen RT yang ventilasinya cukup
dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman
(listrik, gas/elpiji) sebesar 72,9 persen, di perkotaan lebih tinggi (93,6%) dibandingkan di perdesaan
(64,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan
kelambu (65,2%), diikuti oleh penggunaan obat nyamuk bakar (46,3%), kasa nyamuk (16,5%),
makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Informasi diperoleh melalui
wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis.
Ditularkan melalui udara
Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan keluhan penduduk di Provinsi Aceh didapati 30 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA
tertinggi adalah Aceh Timur, Bireuen, Subulussalam, Aceh Utara dan Aceh Tengah. Period
prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah 2,6 persen dan 5,4
persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai period prevalance dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Sabang, Subulussalam dan Aceh Selatan.
Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013
sebesar1,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan TB tertinggi adalah Subulussalam (3,7%), Aceh
Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya masing-masing
sebesar 2,1 persen.
Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya
Prevalensi hepatitis di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 adalah 1,8 persen. Lima kabupaten/kota
dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh Utara
(2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Banda Aceh masing-masing (2,5%). Berdasarkan pekerjaan,
kelompok wiraswasta menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok
lainnya. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk adalah hepatitis B (15,8 %) dan hepatitis
A (13,4%).
Period prevalence diare Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 (9,3%). Insiden diare untuk seluruh
kelompok umur adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalen diare
tertinggi yaitu Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan
12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireuen (6,6% dan 10,5%). Insiden diare balita sebesar
10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Pidie Jaya (17,9%), Aceh
Tenggara (17,3%), Aceh Timur (16,9%), Subulussalam (16,4%) dan Aceh Utara (14,5%).
Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (16,5%), perempuan,
tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (14,9%).
Ditularkan vektor
Insiden Malaria di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun 2013
sebanyak 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah
Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun
(4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). Proporsi penderita malaria yang
mendapatkan obat ACT program di Provinsi Aceh 32,8%, di dapat pada 24 jam pertama demam
sebesar 41,4 persen dan obat diminum dalam 3 hari sebesar 70,0 persen.
Cedera
Prevalensi cedera secara keseluruhan di Provinsi Aceh adalah 7,3 persen, dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya
(2,2%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi cedera dari 5,2 persen menjadi 7,3 persen.
Penyebab cedera terbanyak, yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Proporsi
kecelakaan sepeda motor tertinggi terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Subulussalam (59,9%)
dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007,
Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi kecelakaan sepeda motor dari
35,4 persen menjadi 48,6 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi kecelakaan sepeda motor
terbanyak pada penduduk umur 25-34 tahun, laki-laki, tamat sekolah menengah atas, wiraswasta, di
perkotaan, dan pada kuintil teratas.
Cedera akibat terjatuh tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Barat (16,0%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Tenggara (1,2%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 5-14 tahun, laki-laki, tamat
Gigi dan mulut
Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh
perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah
dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara
wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan
penerangan sinar matahari atau lampu senter. Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah
gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan effective medical
demand (EMD).
Prevalensi masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir untuk Provinsi Aceh dijumpai sebesar
30,5 persen, sebanyak 8 kabupaten/kota mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas
angka provinsi. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan
dari tenaga medis gigi sebesar 14,0 persen (EMD). Kabupaten/kota dengan EMD tertinggi adalah
Bener Meriah (18,7%), dan angka EMD terendah di Aceh Tenggara (7,6%). Ditemukan EMD
meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi, dan persentase EMD tertinggi dijumpai pada
kelompok umur 45-54 tahun (EMD: 21,1 dibanding EMD umur 10-14 tahun: 11,9), EMD di
perdesaan (14,5) lebih besar dari EMD perkotaan (12,8), dan EMD meningkat pada status ekonomi
lebih tinggi (EMD teratas: 14,8) ada pada kuintil menengah bawah.
Provinsi Aceh menyikat gigi setiap hari ditemukan sekitar 90 persen.
Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah
tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Provinsi Aceh menyikat gigi pada saat mandi
pagi maupun mandi sore, (91,9 %). Perilaku menyikat gigi dengan benar setelah makan pagi dan
sebelum tidur malam, untuk penduduk Provinsi Aceh ditemukan 2,4 persen.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan
penjumlahan dari indeks D-T,M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Indeks DMF-TProvinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T=
1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08.
Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (4,3%) dibanding laki-laki (3,8%). Namun untuk kuintil
indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil
indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya (4,7%) sedangkan untuk yang teratas nilai DMF-T
nya lebih rendah (3,2%).
Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan.
Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana
seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal
yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi
besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi
efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 87,3 persen penduduk Provinsi Aceh disability free.
Interpretasi lain adalah penduduk Aceh cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang
Kesehatan jiwa
Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) Provinsi Aceh
adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Banda Aceh dan Kabupaten Bireun.
Terendah pada Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Menurut karakteristik tempat tinggal,
prevalensi gangguan jiwa berat lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan, sedangkan
menurut kuintil indeks kepemilikan, gangguan jiwa berat banyak ditemukan pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah sebesar 5,8 permil. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental
emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,0 persen dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil
indeks kepemilikan terendah.
Rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen. Rerata batang rokok yang
dihisap per hari per orang adalah 15,3 batang (setara lebih satu bungkus). Perokok aktif
berdasarkan kelompok umur proporsi terbanyak pada kelompok umur, 30-34 tahun, pada laki-laki
proporsi lebih banyak di bandingkan perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap
hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang
menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan
lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil
kepemilikan menengah. Usia pertama kali merokok yang ditanyakan pada penduduk usia ≥ 10 tahun
menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Aceh mulai merokok aktif setiap hari sebanyak 0,2 persen
dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 53,9 persen.
Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Aceh sebesar 4
persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan mantan pengunyah
tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas
proporsi provinsi adalah Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat (6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo
Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%). Perempuan (5,2,%) lebih banyak mengunyah tembakau
setiap hari dibandingkan laki-laki (2,7%). Penduduk di perdesaan lebih banyak smokeless setiap
hari daripada di perkotaan. Ditemukan pekerjaan sebagai pegawai mempunyai proporsi terendah
sebanyak 2,5 persen, dan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan
proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Terdapat 7
kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Provinsi
Aceh. Proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari ≥ 6 jam perhari sebanyak 11,2
persen. Perilaku sedentary antara lain perilaku duduk-duduk ditempat kerja atau berbaring dirumah
Proporsi rerata penduduk Provinsi Aceh yang berperilaku mengonsumsi sayur/buah dengan cukup
(≥ 5 porsi per hari dalam seminggu) hanya 2,7 persen, tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (9,6%),
Aceh Jaya (8,9%), Aceh Selatan (8,6%) dan Kota Banda Aceh (8,0%).Perilaku konsumsi makanan
tertentu pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi makanan dan minuman manis
(52,3%), diikuti konsumsi bumbu penyedap (37,9%), dan makanan berlemak (21,2%). Hampir 40
persen penduduk Provinsi Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (37,9%), tertinggi di
Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%).
Di Provinsi Aceh, rumah tangga dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang menerapkan
indikator -yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga- dengan baik
sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase
terendah di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%).
Pembiayaan
Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Sebanyak 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI
dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan
tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,9 persen. Kepemilikan jaminan
didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (30,8%).
Kabupaten Nagan Raya dan Bireuen adalah kabupaten/kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan
jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen
penduduknya tidak mempunyai jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8 persen.
Akan tetapi Jamkesmas masih dimiliki juga pada penduduk menengah atas (45,1%) dan teratas
(25,7%).
Mengobati sendiri
Proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan
membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 23,6 persen dengan rerata
pengeluaran sebesar Rp 15.000,-00. Sumber biaya rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri
atau keluarga tertinggi adalah di Kabupaten Bener Meriah (74,5%), Nagan Raya (73,5%) dan Kota
Subulussalam (72,7%). Sedangkan pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok
umur 5-14 tahun (56,5%), jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal
di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Rawat jalan
Sebanyak 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan
median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.28.000,00. Sumber biaya rawat jalan secara
keseluruhan untuk Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh
Jamkesmas/Jamkesda (49,5%), kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau
keluarga (out of pocket) (44,5%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,1 persen,
dan Jamsostek sebesar 0,9 persen. Jamkesmas/Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah
perkotaan.
Rawat inap
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas/Jamkesda
cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil kepemilikan.
Kesehatan reproduksi
Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan
pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan
selama masa hamil sampai masa nifas.
Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara
perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9
persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan
reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk
bereproduksi.
Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada
umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19
tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program
keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.
Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini.
Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia
kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil
Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen dan CPR modern
sebesar 52,9 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan
alat/cara KB non MKJP (jangka pendek) sebesar 44,2 persen. Pelayanan KB di Indonesia sebagian
besar diberikan oleh bidan (83,5%) di fasilitas pelayanan kesehatan swasta yaitu tempat praktek
bidan (57,6%).
Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan
tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui
pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu
hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang
terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Provinsi Aceh (94,8%) sudah
melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dengan frekuensi minimal 4 kali selama masa
kehamilannya adalah 87,0 persen. Proporsi melakukan ANC berdasarkan umur saat bersalin
terendah adalah kelompok umur <20 tahun, tidak sekolah dan tidak tamat SD, tidak bekerja dan
petani/nelayan/buruh, kuintil indeks kepemilikan terbawah. Cakupan ibu hamil kontak pertama
dengan tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (87,0%). Proporsi terendah
pada kelompok usia saat bersalin < 20 tahun (76,5%), pendidikan tidak tamat SD (76,2%),
petani/nelayan/buruh (82,8%) serta kuintil indeks kepemilikan terbawah (75,7%). Cakupan ANC K4
sebesar 60,0 persen sedangkan ANC ≥ 4x sebesar 72,3 persen. Konsumsi zat besi selama hamil
ditemukan sebesar 81,1 persen.
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan,
sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kelahiran pada ibu berumur
risiko tinggi (umur ibu 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah (17,4%) dibanding ibu umur 20-34
untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan
KB pasca bersalin mencapai 63,3 persen.
Kesehatan anak
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut kabupaten/kota dengan
kategori lengkap, tidak lengkap, dan tidak imunisasi masing-masing 38,4 persen, 41,9 persen dan
19,7 persen. Persentase imunisasi dasar lengkap tertinggi di Aceh Jaya (92,4%), tidak lengkap
tertinggi didapatkan di Aceh Timur (64,7%) sedangkan tidak imunisasi tertinggi didapatkan di Nagan
Raya (64,8%).
Pengumpulan data kunjungan neonata yang meliputi kunjungan pada saat yang ditentukan (KN1,
KN2 dan KN3). Hasilnya menunjukkan bahwa persentase KN1 (6-48 jam) sebesar 72,3 persen, KN2
(3-7 hari) sebesar 65,6 persen dan KN3 (8-28 hari) sebesar 35,4 persen. KN1 paling tinggi terdapat
di Simeulue (95,7%), KN2 terdapat di Simeulue (89,2%) dan KN3 terdapat di Aceh Jaya (71,1%).
Persentase rumah tangga yang melakukan kunjungan neonatal lengkap di Provinsi Aceh sebesar
32,5 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Kota Sabang (10,2%).
Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada
dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak
lainnya). Persentase BBLR (<2500 gram) di Provinsi Aceh 8,6 persen, tertinggi terdapat di
Kabupaten Aceh Barat Daya sebesar 26,2 persen. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak
menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih
tinggi dibanding laki-laki (7,7%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,7%)
lebih tinggi dibandingkan perempuan (7,2%).
Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48 - 52 cm, dan >52 cm.
Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota berdasarkan kategori
tersebut diketahui bahwa persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 13,7 persen, dan >52
cm sebesar 4,1 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi terdapat di Kabupaten
Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1%).
Persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi
adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen dan tidak ada anak yang mengalami tuna rungu
dan tuna daksa 0,0.persen. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir sumbing mempunyai
persentase yang sama (0,1 persen).
Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Aceh
adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Jaya (39,4%).
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
sebesar 25,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3
persen dan diberi ramuan tradisional 6,1 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak
umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Banda Aceh (67,5%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%).
Kesehatan indera
Prevalensi kebutaan untuk Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi
2,5%). Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua
kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan.
Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi
ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe (16,7%).
Kabupaten dengan prevalensi pterygium terendah adalah, Aceh Tenggara (3,2%), Aceh Tamiang
(4,3%) dan Nagan Raya (4,4%).
Prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti
oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten
Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota Banda Aceh (1,0%) dan Aceh Jaya (1,2%).
Prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Aceh 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan
(5,0%), dan terendah di Kota Banda Aceh (0,9%).Prevalensi ketulian di Provinsi Aceh sebesar 0,06
persen, tertinggi di Kota Subulussalam (0,5%) dan terendah di Kota Lhokseumawe (0,001%).
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks
kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan
pendengaran dan ketuliannya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... i
RINGKASAN ..........................................................................................................................................iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ xvii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................. xx
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................xxv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................................xxx
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ............................................................................................... 2
1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 2
1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ............................................................................................................ 2
1.5. Kerangka Pikir .......................................................................................................................... 3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 4
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 .......................................................................................... 6
1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ................................................................................... 6
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................................. 7
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS..................................................................................................... 8
2.1. Desain ....................................................................................................................................... 8
2.2. Lokasi ........................................................................................................................................ 8
2.3. Populasi dan Sampel ................................................................................................................ 8
2.4. Variabel ................................................................................................................................... 10
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 11
2.6. Manajemen Data .................................................................................................................... 11
2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ....................................................................................... 13
2.8. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................................... 14
2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ............................................................................ 14
BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN .............................................................................. 16
3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan ......................................................................................... 16
3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan......................................................................................... 18
BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL ................................................ 22
4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ................................................................ 22
4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)..................................................... 25
5.3 Perumahan .............................................................................................................................. 42
BAB 6. PENYAKIT MENULAR ............................................................................................................ 48
6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara ................................................................................. 48
6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya .................................................. 54
6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)...................................................................... 62
BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR................................................................................................. 68
7.1. Asma ....................................................................................................................................... 69
7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ................................................................................ 69
7.3. Kanker..................................................................................................................................... 69
7.4. Diabetes Melitus ..................................................................................................................... 71
7.5. Penyakit hipertiroid ................................................................................................................. 72
7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ............................................................................................ 72
7.7. Penyakit Jantung .................................................................................................................... 75
7.8. Stroke...................................................................................................................................... 75
7.9. Penyakit ginjal ......................................................................................................................... 78
7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok ............................................................................................ 78
BAB 8. CEDERA .................................................................................................................................. 82
8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya .................................................................................... 82
8.2. Jenis cedera............................................................................................................................ 85
8.3. Tempat Terjadinya Cedera ..................................................................................................... 89
BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT ............................................................................................ 93
9.1. Effective Medical Demand ...................................................................................................... 93
9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun ................................................................ 98
9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T ........................................................................ 101
BAB 10. STATUS DISABILITAS ........................................................................................................ 104
BAB 11. KESEHATAN JIWA ............................................................................................................ 107
11.1. Gangguan Jiwa Berat ......................................................................................................... 107
11.2. Gangguan Mental Emosional ............................................................................................. 109
11.3. Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.................................................... 112
BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU ......................................................................... 116
12.1. Perilaku Higienis ................................................................................................................. 116
12.2. Penggunaan Tembakau ..................................................................................................... 118
12.3. Perilaku Aktifitas Fisik ......................................................................................................... 124
13.1. Kepemilikan jaminan kesehatan ......................................................................................... 137
13.2. Mengobati sendiri ............................................................................................................... 139
13.3. Rawat Jalan ....................................................................................................................... 141
13.4. Rawat Inap .......................................................................................................................... 142
13.5. Sumber pembiayaan .......................................................................................................... 144
BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI .............................................................................................. 148
14.1. Kehamilan saat ini .............................................................................................................. 148
14.2. Pelayanan Program Keluarga Berencana .......................................................................... 149
14.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas .......................................... 152
BAB 15. KESEHATAN ANAK ............................................................................................................ 164
15.1. Berat dan panjang badan lahir ........................................................................................... 164
15.2. Kecacatan ........................................................................................................................... 171
15.3. Status Imunisasi ................................................................................................................. 173
15.4. Kunjungan neonatal ............................................................................................................ 180
15.5. Perawatan Tali Pusar ......................................................................................................... 186
15.6. Pola pemberian ASI ............................................................................................................ 187
15.7. Cakupan kapsul vitamin A .................................................................................................. 189
15.8. Pemantauan Pertumbuhan................................................................................................. 190
15.9. Sunat Perempuan ............................................................................................................... 192
BAB 16. STATUS GIZI....................................................................................................................... 195
16.1. Status gizi anal balita .......................................................................................................... 195
16.2. Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun.................................................................................... 202
16.3. Status gizi dewasa .............................................................................................................. 209
BAB 17. KESEHATAN INDERA ........................................................................................................ 219
17.1. Kesehatan Mata.................................................................................................................. 219
17.2. Kesehatan telinga ............................................................................................................... 227
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 232
LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 234
DAFTAR TABEL
Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil,
dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan
kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan
menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan;
menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik. Sistem Kesehatan Nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian
dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang adai.
Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah
―Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta
berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif‖. Untuk itu diperlukan data
kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara
berkesinambungan dan dapat dipercayaii.
Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang
dirancang dapat berskala nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara
berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai
bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini, laporan difokuskan pada hasil pemeriksaan
riskesdas di Provinsi Aceh.
Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu
status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan
status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku
kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol,
aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan
(akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah
tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaaniii.
Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan
penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai
bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar
penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)iv yang berguna untuk membuat
peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK)v.
Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan
keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.
Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan
meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan
tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei
tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan
pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol,
pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga.
Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian
3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.
Tujuan Umum:
Tujuan Khusus:
1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di
Provinsi Aceh.
2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat kabupaten/kota Provinsi Aceh
pada tahun 2013.
3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke
2013.
4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM.
5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.
1.5. Kerangka Pikir
- Status Gizi
- Kesehatan Reproduksi
- Kesehatan Bayi dan Balita
Manajemen Sumber Akses Pelayanan - Morbiditas Penyakit Menular
daya Kesehatan Derajat Kesehatan
- Penyakit Tidak Menular
- Penyakit Bawaan,
- Gangguan Indera
- KesehatanJiwa dan gangguan
emosional
- Gigi dan Mulut
Pembiayaan - Cedera,
Kesehatan Pemerataan & Keadilan - disabilitas
Pembiayaan Kesehatan - Kecacatan
-Pemeriksaan Spesimen Darah
- Status Iodium
-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
Kesehatan Lingkungan
Gambar 1.1.
Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM
3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013
Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam
Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk
menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat
menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat
kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6
menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan.
Dengan demikian, hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2013 bukan saja harus mampu menjawab
pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan
berikutnya.
Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih,
akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya
penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas
2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Surveyvi
tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di
dunia.
1. Indikator
Status gizi
Kesehatan Ibu dan
Anak
Morbiditas PM, PTM,
Cederadan Kesehatan
Policy 6. Laporan
Jiwa
Questions Tabel Dasar
Sanitasi lingkungan
Pengetahuan, sikap Hasil Pendahuluan
dan Perilaku Nasional
Disabilitas Hasil Pendahuluan
Ekonomi Provinsi
Akses dan Hasil Akhir Nasional
Research
Pembiayaan Hasil Akhir Provinsi
Questions
Pelayanan
Farmasi dan
Pelayanan Kesehatan
Tradisional
5. Statistik
2. Disain Alat
Deskriptif
Pengumpul Data
Bivariat
Kuesioner wawancara, Riskesdas
pengukuran, 2013 Multivariat
pemeriksaan Uji Hipotesis
Validitas
Reliabilitas
Dapat diterima
4. Manajemen Data
3. Pelaksanaan Riskesdas 2013
Riskesdas 2013 Editing
Pengembangan Entry
manual Riskesdas Cleaning
Uji Coba Perlakuan terhadap
Pengembangan modul missing data
pelatihan Perlakuan terhadap
Pelatihan pelaksana outliers
Penelusuran sampel Consistency check
Pengorganisasian Analisis syntax
Logistik appropriateness
Pengumpulan data Pengarsipan
Supervisi / bimbingan
teknis
Validasi
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013
Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun
2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013,
tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.
Organisasi pengumpulan data Riskesdas Povinsi Aceh 2013 adalah sebagai berikut:
Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim
pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari
5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan
manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.
Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan
manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan
kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.
1. Untuk kabupaten/kota:
a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah
kesehatan dalam enam tahun terakhir.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.
3. Untuk Peneliti
a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut.
b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.
Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor
LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent
(Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS
2.1. Desain
Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013
terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok
Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil
keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berbagai ukuran sampling error termasuk
didalamnya standar error, relative standar error, confidence interval, design effect dan jumlah
sampel tertimbang akan menyertai setiap estimasi variabel. Menggunakan desain ini, maka
setiap pengguna informasi Riskesdas dapat memperoleh gambaran yang utuh dan rinci
mengenai berbagai masalah kesehatan yang ditanyakan, diukur atau diperiksa.
2.2. Lokasi
Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota
yang tersebar merata di Provinsi Aceh.
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 23
kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus
Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage
sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini
adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud.
Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak
sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh
Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih.
Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili
nasional. Untuk Provinsi Aceh terpilih kabupaten Aceh Timur (6 BS) dan Aceh Barat daya (3 BS).
2.4. Variabel
Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data
dengan rincian sebagai berikut:
1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah
Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi.
b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh
anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama
sekali tidak diwawancarai.
2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.
b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam
kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang
menjadi pendampingnya.
3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
a. Timbangan badan
b. Alat ukur tinggi badan
c. Alat ukur Lingkar pinggang dan Lengan atas
d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart
e. Spekulum
f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan
garam)
4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan
dengan menggunakan formulir tersendiri.
Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 terdiri dari Receiving Batching,
Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut
membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di
lokasi pengumpulan data dan juga dipusat yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang
dilakukan di lokasi pengumpulan data adalah Receiving Batching, Edit, Entri,
pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di
Pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data
Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan
manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke
tim manajemen data melalui email dan laporan kemajuan pengumpulan data dan
2.6.1 Receiving Batching
Proses Receiving Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara.
Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah
diwawancarai, jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang diwawancarai dan
jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah
data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu
untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data
yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.
2.6.2 Editing
Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari
empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut
didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai
supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013, editing merupakan
salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing
mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai
melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna
dan alur pertanyaan.
PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan
jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus.
Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti :
• Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh
pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59
tahun.
• Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi
• Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan
• Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor
laboratorium, sebelum dilakukan entri data.
2.6.3 Entry
Program entri data RiskesdasProvinsi Aceh 2013 dikembangkan menggunakan software
CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner rumah tangga, individu, Konsumsi,
dan Pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri data kuesioner kesehatan
masyarakat dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di
lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-
entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan
oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh
tim tersebut.
Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ditujukan untuk responden
dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak
mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan
ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan
berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-
batasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan
entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses
manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.
Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada
http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil kemajuan pengumpulan data,
penerimaan data dan cleaning data dapat di akses melalui web di alamat
http://puldata.litbang.depkes.go.id.
Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas
yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah
tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada tabel 2.1.
Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun
anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas
pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier
serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel.
Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan gambaran
nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel
yang digunakan untuk kepentingan analisis.
Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah tangga untuk prediksi status ekonomi
yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk kepentingan analisis, tetapi digunakan
pendekatan perhitungan indeks kepemilikan
Status sosial ekonomi merupakan salah satu variabel proxy yang sering digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Terdapat tiga cara untuk mengukur status
sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per bulan atau
berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran status ekonomi tersebut
mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Pengukuran status ekonomi berdasarkan data penghasilan perbulan mudah ditanyakan, namun
mempunyai akurasi yang sulit dipercaya, mengingat tidak semua responden bersedia menjawab
dengan jujur jumlah penghasilan per bulan mereka. Di beberapa negara berkembang, sebagian
besar penduduk berkerja pada sektor informal, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi
jumlah penghasilan pasti per bulannya.
Mengukur status ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang
cukup baik diantara ketiga cara pengukuran, namun untuk dapat memperoleh informasi
pengeluaran tersebut diperlukan data rinci tentang berbagai jenis pengeluaran RT secara detail
yang seringkali membingungkan responden dan time consumed.
Pada beberapa tahun terakhir, pengukuran status ekonomi banyak menggunakan data
kepemilikan barang tahan lama, seperti rumah, mobil, motor, sepeda, kulkas dan lain
sebagainya. Kelebihan pengukuran berdasarkan kepemilikan barang tahan lama ini lebih mudah
ditanyakan dan diobservasi, namun memerlukan perhitungan yang lebih kompleks untuk
menyusun satu indeks kepemilikan yang merupakan komposit dari beberapa variabel terkait
Variabel pembentuk indeks adalah: 1) sumber air utama untuk minum, 2) bahan bakar
memasak, 3) kepemilikan fasilitas buang air besar, 4) jenis kloset, 5) tempat pembuangan akhir
tinja, 6) sumber penerangan, 7) sepeda motor, 8) TV, 9) pemanas air, 10) tabung gas 12 kg, 11)
lemari es, dan 12) mobil. Tahapan selanjutnya indeks yang sudah terbentuk dikelompokkan
kedalam 5 kuintil: terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas.
BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN
Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan
yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas
pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes
atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga
menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda
motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu
moda transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang
paling sering digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir
memperoleh gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju
fasilitas kesehatan dalam satu kali pergi. Hasil lebih rinci dari blok Akses dan Pelayanan
Kesehatan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 31 sd
59 tabel 3.1 sampai tabel 3.50.
Gambar 3.2
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Pada gambar 3.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan
atau rumah bersalin di Provinsi Aceh angkanya 56,4 persen, namun jika dilihat antar
kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh Tenggara (91%) dan terendah di Nagan Raya (8,5%).
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu di
Provinsi Aceh adalah 61,9 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh
Tengah (93,1%) dan terendah di Aceh Barat Daya (12,1%).
Gambar 3.4
Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 3.4 menunjukkan proporsi pengetahuan rumah-tangga untuk menuju puskesmas yang
dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan sebesar 18,3 persen dan perdesaan 32,1
persen. Sementara yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 2,5
persen dan perdesaan 1,1 persen. Rumah-tangga yang menggunakan sepeda motor di
perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50 persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan menggunakan sepeda
motor, dimana penggunaan tertinggi ada pada rumah-tangga menengah atas (70%) dan
terendah pada rumah-tangga terbawah (30,4%). Sementara yang terendah adalah pada
penggunaan sepeda untuk menuju ke RS pemerintah, dimana angka tertinggi ada pada rumah-
tangga terbawah0,0 persen dan terendah di rumah-tangga teratas 0,5 persen..
Gambar 3.5
Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 3.5 menjelaskan bahwa waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di
rumah sakit pemerintah tertinggi pada 31-60 menit (32%) dan terendah <16 menit (16%).
Berbeda dengan pola pada waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada
<16 menit (28,9%) dan terendah >60 menit (22,5%). Pola ini hampir sama dengan waktu
tempuh menuju fasilitas kesehatan lainnya, yaitu puskesmas atau pustu, praktek dokter atau
klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu
terbanyak pada waktu tempuh <16 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam
angka.
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang waktu tempuh rumah tangga menuju
rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal yaitu dengan waktu 16-30 menit, tertinggi di
perkotaan (41%), sementara di perdesaan (25,6%). Dengan waktu 31-60 menit di perkotaan
(24,7%) dan perdesaan (34,6%). Sedangkan dengan waktu tempuh <16 menit di perkotaan
(27,3%) dan perdesaan (6,3%).
Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi
pada rumah tangga teratas (38,5%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (22,2%).Dengan
waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga terbawah (31,3%) dan terendah pada
rumah tangga teratas (25,5%).
Gambar 3.7
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Aceh 2013
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta,
puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau
rumahbersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan >
Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- untuk rumah sakit swasta
(48,6%), puskesmas atau puskesmas (87%), dokter praktek atau klinik (78,7%) dan praktek
bidan atau rumah bersalin (93,5%). (Gambar 3.7)
.
Gambar 3.8
Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka
Badan litbangkes 2007, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan litbangkes Kemenkes RI, Jakarta
Kementerian kesehatan RI, 2007, Permenkes RI nomor 949 tahun 2007 tentang tentang kriteria
sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di DTPK,
Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar, Kemenkes RI, Jakarta.
Kementerian kesehatan RI, 2013, Permenkes RI nomor 6 tahun 2013 tentang kriteria fasilitas
pelayanan kesehatan terpencil, sangat terpencil, dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak
diminati, Jakarta.
Suharmiati; Handayani L.; Kristiana L., 2012, Faktor Faktor yang mempengaruhi keterjangkauan
pelayanan kesehatan di puskesmas terpencil perbatasan di kabupaten Sambas (Studi kasus di
Puskesmas Sajingan Besar), Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, volume 15, No.3 Juli 2012,
ISSN:1410-2935.
BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL
100
81,4 OK=Obat Keras
OB=Obat Bebas
80 AB=Antibiotik
OT=Obat Tradisional
OT=Obat Tidak
60
42,4
40 32,8
20 9,9
5,3
0
OK OB AB OT OTT
Gambar 4.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Aceh 2013
Tabel 4.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan
proporsi tertinggi rumah tangga di Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Nagan Raya (5,1%).
Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, tertinggi di Aceh Timur ( lebih dari 3
Tabel. 4.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata
jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Menyimpan Obat
Kabupaten/Kota
Ya* Rerata Jumlah Items Obat
Simeulue 20,8 2,01
Aceh Singkil 25,9 2,77
Aceh Selatan 12,7 3,20
Aceh Tenggara 30,1 1,72
Aceh Timur 43,3 3,45
Aceh Tengah 33,9 1,73
Aceh Barat 31,6 2,84
Aceh Besar 28,3 1,94
Pidie 31,9 3,43
Bireuen 29,2 3,13
Aceh Utara 24,3 2,87
Aceh Barat Daya 24,3 2,45
Gayo Lues 30,4 3,16
Aceh Tamiang 44,6 2,75
Nagan Raya 5,1 2,03
Aceh Jaya 12,9 2,00
Bener Meriah 44,8 3,06
Pidie Jaya 15,6 3,18
Kota Banda Aceh 60,1 2,88
Kota Sabang 33,4 2,32
Kota Langsa 42,1 2,83
Kota Lhokseumawe 40,8 3,27
Kota Subulussalam 42,2 2,73
Aceh 31,6 2,8
*) dalam persen (%)
Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di
rumah tangga menunjukkan bahwa dari 35,2 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk
swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang
tidak teridentifikasi. Secara propinsi proporsi RT yang menyimpan obat keras 42,4 persen dan
antibiotika 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan
penggunaan obat yang tidak rasional dan dapat memicu resistensi obat. (Tabel 4.2)
Tabel. 4.2
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Tabel. 4.3
Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Menyimpan obat
Kabupaten/Kota
Obat Keras Antibiotika
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang
memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan (52,1%), sebaliknya proporsi rumah tangga
yang memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan lebih tinggi di perdesaan(36,2%).
Proporsi rumah tangga yang mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas,
rumah sakit, klinik) lebih rendah di perkotaan (19,9%) dibandingkan dengan di perdesaan
Tabel. 4.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Toko
Yankes
Karakteristik Apotek obat/ Nakes Lain-lain*
formal
warung
Tempat Tinggal
Perkotaan 52,1 19,8 19,9 19,7 3,2
Perdesaan 23,7 19,7 29,8 36,2 3,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 14,5 21,7 30,2 37,7 3,7
Menengah bawah 23,0 18,9 31,5 36,3 3,3
Menengah 31,3 18,6 30,7 29,6 1,8
Menengah atas 41,9 20,1 21,9 27,9 3,0
Teratas 48,7 19,9 20,1 24,0 4,0
Tabel 4.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status
obat dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit,
dan ‗obat sisa‘. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari
penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Berdasarkan tempat tinggal didapati 40,7
persen rumah tangga menyimpan obat sisa di wilayah perkotaan, lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa di perdesaan (20,8%).
Tabel. 4.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Tempat Tinggal
Perkotaan 35,9 40,7 43,5
Perdesaan 46,8 20,8 46,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 50,2 13,5 45,9
Menengah bawah 47,7 17,8 47,7
Menengah 43,0 25,7 48,3
Menengah atas 39,4 34,3 45,1
Teratas 38,1 40,3 41,9
Tabel 4.6
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG)
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 4.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan
(11,5%) maupun di perdesaan (4,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi
proporsi RT dengan pengetahuan benar tentang OG.
Tabel 4.7
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Mengetahui tentang Pengetahuan tentang OG
Karakteristik
OG Benar* Salah
Tempat Tinggal
Perkotaan 48,6 11,5 88,5
Perdesaan 23,7 4,3 95,7
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 13,4 3,4 96,6
Menengah bawah 18,0 3,0 97,0
Menengah 29,1 4,8 95,2
Menengah atas 47,2 10,1 89,9
Teratas 53,7 12,3 87,7
*Berpengetahuan ’BENAR’ tentang Obat Generik (OG) adalah jika Rumah Tangga menjawab ’YA’ untuk
pernyataan bahwa OG adalah ’Obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek’ dan ’Obat tanpa merek
dagang’
Tabel 4.8 menunjukkan 83,3 persen rumah tangga di perdesaan mempunyai persepsi OG
sebagai obat murah lebih tinggi dibanding perkotaan (69,1%), sedangkan yang berpendapat
sebagai obat program pemerintah, lebih tinggi di perkotaan (75,7%) daripada di perdesaan
(68,8%). Sebesar 50,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat
bermerek di daerah perkotaan, dan ini lebih tinggi dari daerah perdesaan (35,1%). Persepsi
tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih
baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa
merek dagang, masih sangat rendah baik di perkotaan (31,4%) maupun di perdesaan (21,7%),
padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui
masyarakat luas.
Tabel 4.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persepsi Responden Tentang OG
Obat Dapat Obat Khasiat
Obat
Obat Obat bagi dibeli di tanpa sama dg
Karakteristik Program
Gratis Murah Pasien Warung Merek Obat
Pemerintah
Miskin Dagang Bermerek
Tempat Tinggal
Perkotaan 69,1 82,6 50,3 28,6 31,4 50,5 75,7
Perdesaan 83,3 86,3 63,6 39,1 21,7 35,1 68,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 89,2 87,9 77,7 53,0 26,1 36,1 61,8
Menengah bawah 82,9 84,9 67,3 41,3 22,4 34,1 63,4
Menengah 76,7 84,3 57,2 33,3 20,1 35,8 71,1
Menengah atas 76,9 85,1 50,7 28,5 28,1 44,5 75,4
Teratas 70,3 83,4 54,1 31,8 29,7 48,9 76,1
Tabel 4.9 menunjukkan informasi tentang OG paling banyak didapat dari tenaga kesehatan, di
perdesaan sebanyak 80,9 persen lebih tinggi dari di perkotaan 74,0 persen. Sedangkan melalui
Tabel 4.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG)
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Rumah tangga yang mengetahui tentang OG dan menyatakan sumber informasi
Karakteristik OG diperoleh dari:
Media Media Tenaga Kader, Teman,
Pendidikan
cetak elektronik kesehatan toma kerabat
Tempat Tinggal
Perkotaan 40,9 68,4 74,0 29,2 29,2 22,2
Perdesaan 49,6 67,9 80,9 38,7 40,8 14,4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 49,8 64,4 81,7 43,2 45,4 6,0
Menengah bawah 41,7 62,5 82,9 37,8 44,4 10,8
Menengah 43,2 66,7 74,2 37,0 34,0 15,2
Menengah atas 44,7 68,4 75,9 33,0 30,2 19,7
Teratas 48,7 72,6 78,7 29,8 35,2 25,0
Gambar 4.2
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Tabel 4.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di
Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan Kota Subulussalam (50,1%), terendah di Kota Sabang
(1,1%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Kota Sabang
(100%) dan yang terendah di Bener Meriah (3,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan
Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kabupaten Gayo Lues (15%) dan terendah di
Kabupaten Bener Meriah (0,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad
keterampilan tanpa alat tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (98,4%) dan terendah di Kabupaten
Pidie (18,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan
pikiran, tertinggi di Kabupaten Pidie (55,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tengah (1,1%).
Tabel 4.10
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Tabel 4.11
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Tabel 4.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh
rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat
sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‗menjaga kesehatan,
kebugaran‘. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‗coba-coba‘ cukup tinggi untuk
yankestrad keterampilan dengan alat (13,1%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak
negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‗tradisi
kepercayaan‘ terlihat dominan pada pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran
(57,0%).
Tabel 4.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan
Yankestrad, Provinsi Aceh 2013
Alasan memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat
Karakteristik Menjaga Tradisi
Lebih Biaya Lebih Putus Coba- Lain
kesehatan keper-
manjur murah aman asa coba nya*)
kebugaran cayaan
Yankestrad Ramuan 16,2 7,0 39,5 22,1 4,0 7,1 2,8 1,3
Keterampilan dengan
22,7 16,1 23,0 17,5 4,9 0,0 13,1 2,2
alat
Keterampilan tanpa
33,0 31,0 23,0 3,8 3,5 2,0 2,3 1,4
alat
Keterampilan dengan
0,9 19,7 57,0 3,8 0,0 7,5 10,1 0,6
pikiran
Daftar Pustaka
Hardon A, Hodgkin C and Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers.
WHO and University of Amsterdam, 2004.
World Health Organization. Guidelines for the regulatory assessment of Medicinal Products for
use in self-medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000.
BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN
Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 ditujukan untuk mengevaluasi program yang
sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor
risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data
kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam
upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data
kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan
perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan
kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan
atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan
data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran
penyakit tular vektor (DBD, malaria).
Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi,
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Hasil lebih rinci dari blok Kesehatan Lingkungan
dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 75 sampai
dengan 112, tabel 5.1 sampai tabel 5.66
Gambar 5.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, maka proporsi rumah tangga di
Provinsi Aceh yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat
(tahun 2007: 48,2%; tahun 2013: 53,4%) (Gambar 5.2).
Gambar 5.2
Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
Improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Gambar 5.3 menunjukkan situasi anggota rumah tangga menurut gender yang biasa mengambil
air di Provinsi Aceh. Pada umumnya yang biasa mengambil air minum adalah laki-laki dewasa
dan perempuan dewasa (masing-masing 63,7% dan 35,2%). Apabila dibandingkan, proporsi
anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air di perkotaan (76,8%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (58,6%); sedangkan untuk perempuan dewasa di perdesaan (40,2%)
lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (22,3%).
Gambar 5.3
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air,
Provinsi Aceh 2013
Masih terdapat anak laki-laki (0,6%) dan anak perempuan (0,5%) berumur di bawah 12 tahun
yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga
dengan anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perkotaan
Gambar 5.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.6 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum menurut kabupaten/kota. Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum
di Provinsi Aceh sebesar 59,5 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi dengan rumah tangga
mengolah air sebelum diminum adalah Pidie Jaya (84,5%), Bener Meriah (82,2%),
Subulussalam (80%), Aceh Timur (78,5%), dan Bireuen (74,3%) sedangkan lima provinsi
terendah adalah Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Tamiang.
Gambar 5.6
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut
Gambar 5.7
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum
sebelum diminum, Provinsi Aceh 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (95,7%) hampir sama dengan di perdesaan
(95,9%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan dalam
melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak.
5.2 Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air
besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air
limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Untuk akses
terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun
2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved adalah rumah tangga yang menggunakanfasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB
jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Provinsi Aceh menggunakan
fasilitas BAB milik sendiri (64,6%), milik bersama (5,7%), dan fasilitas umum (7%). Tertinggi
untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Kota Banda Aceh
(98,1%); diikuti oleh Kota Langsa (90,5%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Provinsi
Aceh memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB
sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Proporsi rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Kabupaten Gayo Lues
(59,2%); Aceh Tenggara (43,7%);dan Pidie (40,9%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri
di perkotaan lebih tinggi (87,6%) dibandingkan di perdesaan (55,4%); sedangkan proporsi rumah
tangga BAB di fasilitas milik bersama, umum, maupun sembarangan, di perdesaan (masing-
masing 5,8, 9,1, dan 29,7 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (5,5, 1,8, dan 5
persen). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga
yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan,
proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Buku Riskesdas
Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL,
kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun).
Kabupaten/kota dengan proporsi pembuangan akhir tinja ke tangki septik terendah adalah Aceh
Tenggara (26,4%), Gayo Lues (34%) dan Aceh Timur (39,4%)
Gambar 5.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan
tangki septik di perkotaan lebih tinggi (87,2%) dibanding di perdesaan (53,1%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik
juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah
tangga yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Buku Riskesdas dalam Angka
2013).
Tabel 5.1 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved
sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah sebesar 53,4
persen. Kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi improved tertinggiadalah Kota Banda Aceh (97%), Lhokseumawe (84,2%), Kabupaten
Aceh Jaya (82,4%), Kota Sabang (80,8%) dan Kota Langsa (80,6%), sedangkan
kabupaten/kota dengan proporsi akses terendah adalah Kabupaten Aceh Tenggara (21,4%),
Aceh Barat Daya (26,1%), Gayo Lues (27,6%) dan Pidie (29,8%).
Tabel 5.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Akses Fasilitas Sanitasi
Kabupaten/Kota
Improved *) Unimproved **)
Simeulue 44,6 55,4
Aceh Singkil 54,7 45,3
Aceh Selatan 41,4 58,6
Aceh Tenggara 21,4 78,6
Aceh Timur 35,3 64,7
Aceh Tengah 70,9 29,1
Aceh Barat 58,1 41,9
Aceh Besar 56,6 43,4
Pidie 29,8 70,2
Bireuen 67,9 32,1
Aceh Utara 46,7 53,3
Aceh Barat Daya 26,1 73,9
Gayo Lues 27,6 72,4
Aceh Tamiang 68,2 31,8
Nagan Raya 43,2 56,8
Aceh Jaya 82,4 17,6
Bener Meriah 53,0 47,0
Pidie Jaya 55,2 44,8
Kota Banda Aceh 97,0 3,0
Kota Sabang 80,8 19,2
Kota Langsa 80,6 19,4
Kota Lhokseumawe 84,2 15,8
Kota Subulussalam 40,4 59,6
ACEH 53,4 46,6
*)Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan,pembuangan akhir tinja di
tangki septik
**) Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung,pembuangan akhir tinja di tangki septik
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved di perkotaan (80,6%) lebih tinggi dibanding di perdesaan (42,5%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi
rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved semakin tinggi
(Gambar 5.9).
Gambar 5.10 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari
kamar mandi tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Aceh
membuang limbahnya langsung ke got sebesar 45,4 persen, diikuti tanpa penampungan sebesar
16,0 persen, tertutup di pekarangan/SPAL 15,7 persen, kemudian masih sebanyak 8,5 persen
yang menggunakan penampungan di luar pekarangan, dan penampungan terbuka di lapangan
sebanyak15,3 persen.
Gambar 5.10
Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Aceh 2013
Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 13,7 persen rumah tangga di Provinsi Aceh yang
pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola
sampah dengan cara dibakar (70,6%), ditimbun dalam tanah (3,6%), dibuat kompos (0,2%),
dibuang ke kali/parit/laut (7,6%), dan dibuang sembarangan (4,4%). (Gambar 5.11)
Gambar 5.11
Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, Provinsi Aceh 2013
Lima kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga mengelola sampah dengan cara diangkut
petugas tertinggi adalah Kota Banda Aceh (79,2%), Lhokseumawe (46,1%), Sabang (45,4%),
Langsa (30,0%) dan Aceh Tengah (23,5)%.
dengan cara dibakar dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih rendah (Buku Riskesdas
dalam Angka 2013).
Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya
dengan dibakar adalah Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh
Tamiang (84,3%) dan Aceh Utara (82,8%). Lima kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh
(18,3%), Aceh Tengah (32,7%), Lhokseumawe (37,8%), Bener Meriah (42,6%) dan Sabang
(50,7%). (Gambar 5.12)
Gambar 5.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
5.3 Perumahan
Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan
bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi
rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka
jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku
rumah tangga dalam menguras bak mandi dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan
beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap
disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar
5.13, terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Provinsi Aceh menempati rumah milik
sendiri sebanyak 83,5 persen. Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah dengan
cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/saudara
maupun rumah dinas.
Gambar 5.13
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal,
Provinsi Aceh 2013
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri
di perkotaan lebih rendah (71,0%) dari pada di perdesaan (88,5%). Demikian juga proporsi
rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan kontrak
(71%) lebih rendah dari pada di perdesaan (88,5%), sedangkan sewa sebaliknya. (Tabel 5.25).
Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan
sebagai padat. Proporsi rumah tangga di Provinsi Aceh yang termasuk ke dalam kriteria tidak
padat (<8 m2/orang) adalah sebesar 13,8 persen. Kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi
untuk rumah tangga dengan kategori kurang padat adalah Kabupaten Aceh Timur (25,4%), Aceh
Tenggara (20,4%), dan Aceh Singkil (20,0%). Sementara rumah tangga yang termasuk katagori
padat ≥ 8 m2/orang) di Provinsi Aceh adalah 86,2 persen (Gambar 5.14)
Gambar 5.14
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Gambar 5.15 memperlihatkan kondisi fisik banunan rumah (jenis bahan) yang meliputi
plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas
berplafon adalah sebesar 45,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 54,1 persen, dan
lantai bukan tanah sebesar 87,6 persen.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
perkotaan lebih tinggi (76,5%) dibandingkan di perdesaan (45,7%). Demikian juga untuk dinding
dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk
wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 59,8%; lantai bukan tanah: 40,3%) dibandingkan
perdesaan (dinding tembok: 98,5%; lantai bukan tanah: 92,2%).
Pada gambar 5.16 ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur,
ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi
dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya.
Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga
maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah
tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Gambar 5.16
Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur
dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.17 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Indonesia, sebagian besar (96,8%)
rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah,
siasanya (3,2%) menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik).
Gambar 5.17
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.18 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
Gambar 5.18
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 5.20. Menurut
Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per
kabupaten/kota dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi
menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi
menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang
menggunakan bahan bakar aman di Provinsi Aceh adalah sebesar 64 persen.
Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (82,2%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (56,7%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan
bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (43,3%) dibanding di perkotaan (17,8%)
(Gambar 5.19).
Gambar 5.19
(masing-masing 31,5%; 6,4%, dan 25,6%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (masing-
masing 10,4%; 3,3%; dan 7,7%).
Gambar 5.20
Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.21
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia,
Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
829/Menkes/SK/VII/199 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas air Minum
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1077/Menkes/Per/V/2011
WHO,UNICEF. 2006. Meeting The MDG Drinking Water and Sanitation Target: The Urban and
Rural Challenge of The Decade. WHO Press. Geneva.Hal 1- 41
WHO,UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Drinking Water – 2013 Update . WHO Press.
Geneva. Hal 1-38
BAB 6. PENYAKIT MENULAR
6.1.1 ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering
atau berdahak. Periode prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir di Provinsi
Aceh sebesar 30,0 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah kabupaten Aceh
Timur (43,2%), Bireun (38,7%), kota Subulussalam (38,3%), Aceh Utara (35,1%) dan Aceh
Tengah (34,3%).
Gambar 6.1
Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Pada Riskesdas 2007, Bireuen juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period
prevalence ISPA Provinsi Aceh menurut Riskesdas 2013 (48,7%) tidak jauh berbeda dengan
2007 (38,7%), walau angka prevalence sudah turun. (Gambar 6.1)
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(32,6%). Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini
lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan pendidikan tidak sekolah (37,9%), kuintil
indeks kepemilikan terbawah (lihat Tabel 6.2).
Tabel 6.1
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence
Period Prevalence Pneumonia Prevalensi pneumonia
Kabupaten/Kota ISPA
D D/G D D/G D D/G
Simeulue 19,7 28,4 0,4 1,5 1,6 3,7
Aceh Singkil 9,3 23,4 0,4 2,7 1,0 4,6
Aceh Selatan 15,2 29,1 0,9 4,2 4,1 9,4
Aceh Tenggara 17,0 25,8 0,1 1,8 0,7 3,6
Aceh Timur 32,8 43,2 0,4 6,2 1,9 11,1
Aceh Tengah 14,4 34,3 0,2 1,3 0,9 2,2
Aceh Barat 15,1 26,1 1,0 3,5 3,5 7,8
Aceh Besar 18,4 18,9 0,1 0,6 1,4 2,1
Pidie 12,9 22,0 0,5 1,5 2,5 4,3
Bireuen 30,1 38,7 0,2 4,1 1,6 7,2
Aceh Utara 24,7 35,1 0,6 2,5 2,5 5,6
Aceh Barat Daya 22,9 32,6 0,5 2,6 1,4 5,6
Gayo Lues 12,1 21,9 0,2 1,1 0,5 1,7
Aceh Tamiang 12,6 27,7 0,1 2,2 0,4 3,7
Nagan Raya 19,3 23,7 0,2 0,8 2,9 4,2
Aceh Jaya 14,6 21,6 0,3 1,6 1,9 4,0
Bener Meriah 14,8 32,7 0,1 1,0 0,8 2,7
Pidie Jaya 25,7 30,3 0,4 3,2 2,6 6,8
Kota Banda Aceh 20,7 30,4 0,2 2,5 0,6 3,9
Kota Sabang 21,9 26,9 0,4 6,9 2,4 10,3
Kota Langsa 13,3 21,8 0,0 0,5 0,6 1,8
Kota Lhokseumawe 21,1 32,4 0,5 4,1 1,4 6,4
Kota Subulussalam 25,7 38,3 0,8 4,5 2,5 8,4
Aceh 20,1 30,0 0,4 2,6 1,8 5,4
*) D= Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala
6.1.2. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi
disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya
(sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua
penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang.
Period prevalencedan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen
dan 5,4 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai period prevalence dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Aceh Timur, Kota Sabang,
Subulussalam dan Kabupaten Aceh Selatan (Tabel 6.1).
Berdasarkan kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia yang tinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus
meninggi pada kelompok umur berikutnya. Insidens pneumonia mulai meningkat pada umur 35-
44 tahun dan terus meningkat pada umur berikutnya. Tidak ada perbedaan pada jenis kelamin
dan dialami oleh kuintil indeks kepemilikan terbawah (Tabel 6.2.)
Tabel 6.2
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence Period Prevalence
Prevalensi Pneumonia
Karakteristik ISPA Pneumonia
D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 25,2 37,4 2,0 1,1 4,1
1-4 32,6 46,9 0,7 3,9 1,6 6,0
5-14 22,9 33,7 0,1 2,1 1,2 4,3
15-24 15,4 24,0 0,2 2,3 1,5 4,5
25-34 15,9 24,3 0,2 2,0 1,5 4,3
35-44 17,4 26,0 0,4 2,7 1,9 5,6
45-54 20,4 29,7 0,9 3,3 2,6 6,7
55-64 20,6 31,2 0,6 3,6 3,3 8,5
65-74 22,7 33,8 1,0 4,0 4,0 10,6
≥75 28,1 39,2 0,6 6,9 5,6 15,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 20,9 30,9 0,5 2,9 2,0 5,9
Perempuan 19,4 29,0 0,3 2,4 1,6 4,9
Pendidikan
Tidak sekolah 27,0 37,9 0,5 3,5 2,3 7,2
Tidak tamat SD 21,9 32,4 0,3 2,8 1,7 5,6
Tamat SD 19,2 29,4 0,5 3,1 2,2 6,3
Tamat SMP 17,9 26,8 0,4 2,6 2,0 5,3
Tamat SMA 15,0 23,3 0,3 1,8 1,6 4,3
Tamat D1/D2/D3/PT 13,7 19,5 0,1 1,3 1,0 3,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 18,2 26,9 0,3 2,4 1,7 5,0
Pegawai 13,6 20,8 0,2 1,1 1,2 3,1
Wiraswasta 17,0 25,6 0,6 2,6 2,0 5,6
Petani/Nelayan/Buruh 19,5 29,7 0,4 3,5 2,5 7,3
Lainnya 15,1 23,2 0,6 2,3 1,4 4,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 17,8 27,7 0,3 1,9 1,2 3,9
Perdesaan 21,1 30,9 0,4 3,0 2,0 6,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 21,2 33,4 0,6 4,1 2,7 8,4
Menengah Bawah 20,7 31,1 0,3 2,8 1,9 5,4
Menengah 19,8 28,9 0,4 2,5 1,3 4,7
Menengah Atas 19,5 28,4 0,2 1,7 1,3 3,9
Teratas 19,2 27,5 0,3 1,9 1,7 4,1
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.
Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis
yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke
duanya. Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan
dalam total jumlah penduduk dengan TB.
Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013
adalah 1,6 persen ( terdiri dari (ya,≤ 1 tahun 0,3 persen dan ya > 1 tahun 1,3 persen). Lima
kabupaten/kota di Provinsi Aceh dengan TB tertinggi adalah Kota Subulussalam (3,7%),
Kabupaten Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya
masing-masing 2,1 persen. (Tabel 6.3)
Tabel 6.3
Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB
Kabupaten/kota OAT Batuk
Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah
Simeulue 0,1 1,1 12,9 5,0 5,0
Aceh Singkil 0,6 1,5 30,3 3,8 4,8
Aceh Selatan 1,1 2,5 18,4 7,3 5,5
Aceh Tenggara 0,2 2,0 6,5 3,7 2,0
Aceh Timur 0,5 0,6 25,4 4,6 5,1
Aceh Tengah 0,0 0,7 2,8 2,1 0,9
Aceh Barat 0,4 1,6 34,7 4,6 4,9
Aceh Besar 0,1 1,1 25,3 1,0 9,9
Pidie 0,2 1,9 46,8 4,0 3,9
Bireuen 0,3 1,4 36,7 4,6 3,6
Aceh Utara 0,4 1,3 27,2 3,4 3,1
Aceh Barat Daya 0,6 1,5 48,9 7,4 3,4
Gayo Lues 0,0 0,9 22,3 5,4 3,0
Aceh Tamiang 0,2 0,6 26,9 4,7 1,7
Nagan Raya 0,1 1,9 19,7 3,5 6,5
Aceh Jaya 0,0 0,5 7,2 1,1 3,5
Bener Meriah 0,1 1,4 3,4 4,6 1,0
Pidie Jaya 0,3 1,8 23,5 6,2 2,8
Kota Banda Aceh 0,1 0,8 16,1 5,8 1,6
Kota Sabang 0,3 0,6 3,2 0,4
Kota Langsa 0,1 1,4 19,9 2,1 1,4
Kota Lhokseumawe 0,3 1,6 30,2 3,9 3,3
Kota Subulussalam 0,9 2,8 33,6 7,8 2,7
Aceh 0,3 1,3 27,2 4,2 3,6
Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk
> 55 tahun, laki-laki, pendidikan tidak sekolah dan bertempat tinggal di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi TB terendah terdapat pada kuintil indeks
kepemilikan teratas (1,5%) (Tabel 6.4).
Tabel 6.4
Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB
Karakteristik OAT Batuk
Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah
Kelompok umur (tahun)
<1 0,1 0,6 11,2 3,9 0,4
1-4 0,0 0,8 0,8 3,9 2,8
5-14 0,1 1,0 11,8 4,0 1,5
15-24 0,2 1,2 16,8 3,1 1,4
25-34 0,3 1,4 24,5 3,3 4,1
35-44 0,6 1,5 27,2 4,5 5,8
45-54 0,5 2,0 39,9 4,8 6,5
55-64 0,8 2,4 46,8 6,6 5,9
65-74 1,3 1,9 54,9 9,0 5,0
≥75 0,5 1,0 72,9 7,8 2,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,4 1,6 30,4 4,6 3,6
Perempuan 0,2 1,1 22,2 3,7 3,5
Pendidikan
Tidak sekolah 0,2 1,6 29,8 5,7 3,4
Tidak tamat SD 0,5 1,4 29,9 4,9 2,8
Tamat SD 0,5 1,6 32,1 4,9 5,8
Tamat SMP 0,3 1,4 23,2 3,7 3,4
Tamat SMA 0,2 1,3 31,0 3,1 3,1
Tamat D1/D2/D3/PT 0,1 1,1 15,5 3,1 3,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,3 1,2 27,9 3,8 3,7
Pegawai 0,1 1,4 20,3 2,9 3,7
Wiraswasta 0,4 1,3 40,1 4,2 4,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,6 2,0 34,6 5,3 5,1
Lainnya 0,1 2,1 16,1 3,8 4,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,2 1,2 26,4 3,5 2,3
Perdesaan 0,4 1,4 27,4 4,4 4,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 1,4 34,5 5,1 5,3
6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya
Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare
dan hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan
diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.
6.2.1. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E.
Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut
kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada
kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa
menunjukkan gejala (asimptomatis).
Prevalensi hepatitis Provinsi Aceh tahun 2013 adalah1,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan
prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh
Utara (2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh masing-masing (2,5%).
(Tabel 3.4.5).
Dalam Riskesdas 2013 ini mengumpulkan informasi insiden diare dan period prevalens diare.
Period prevalen diare di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare
untuk seluruh kelompok umur di Aceh adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden
dan period prevalen diare tertinggi adalah Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten
Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan
Bireun (6,6% dan 10,5%). (Tabel 6.5).
Tabel 6.5
Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Prevalensi
Insiden Diare Period prevalence Diare
Kabupaten/Kota Hepatitis
D DG D DG D DG
Simeulue 0,2 1,2 2,6 2,9 3,1 6,6
Aceh Singkil 0,3 1,6 4,2 6,0 3,5 10,7
Aceh Selatan 0,0 2,0 4,4 5,0 4,9 10,8
Aceh Tenggara 0,0 0,8 4,6 5,3 2,7 9,0
Aceh Timur 0,7 5,0 7,2 8,9 6,6 17,0
Aceh Tengah 0,3 0,4 3,2 6,5 3,2 11,4
Aceh Barat 0,2 2,0 2,9 4,1 2,6 8,3
Aceh Besar 0,1 0,5 1,7 1,8 1,3 3,1
Pidie 0,3 1,0 3,2 3,8 3,6 8,6
Bireuen 0,9 2,7 5,7 6,6 2,8 10,5
Aceh Utara 0,1 2,8 6,2 7,4 3,6 12,3
Aceh Barat Daya 0,5 2,0 2,4 1,5 4,4
Gayo Lues 0,0 0,4 2,7 3,7 2,2 7,1
Aceh Tamiang 0,3 0,6 3,6 4,1 3,3 8,1
Nagan Raya 0,1 0,5 1,8 1,8 2,7 4,9
Aceh Jaya 0,1 1,8 3,7 4,0 2,6 6,8
Bener Meriah 0,3 3,4 3,1 5,0 2,4 9,8
Pidie Jaya 0,3 2,5 6,5 6,9 5,2 12,7
Kota Banda Aceh 0,2 2,5 1,1 2,0 1,6 4,7
Kota Sabang 0,1 0,1 1,9 2,4 1,0 3,4
Kota Langsa 0,1 0,4 1,9 2,4 1,7 5,2
Kota Lhokseumawe 0,4 1,1 5,3 6,0 2,8 9,2
Kota Subulussalam 1,8 8,8 9,6 5,6 15,7
Aceh 0,3 1,8 4,1 5,0 3,2 9,3
Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis hepatitis A dan
hepatitis B pada kelompok umur > 60 tahun dengan jenis kelamin laki-laki pada hepatitis A dan
perempuan pada hepatitis B, pendidikan tamat SMA dan bertempat tinggal di daerah perkotaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi hepatitis A dan B terendah terdapat pada kuintil
indeks kepemilikan menengah (Tabel 6.8).
Tabel 6.8
Proporsi penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Penderita Hepatitis yang Diderita
Karakteristik
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya
Kelompok umur (tahun)
<1 25,9 36,8
1-4 17,8 8,9 0,5 5,2
5-14 9,0 14,9
15-24 19,9 24,6
25-34 3,3 19,9
35-44 9,4
45-54 34,4
55-64
65-74 25,9 36,8
≥75 17,8 8,9 0,5 5,2
Jenis Kelamin
Laki-laki 17,0 11,8 0,2 1,9
Perempuan 4,6 25,4
Pendidikan
Tidak sekolah 6,2 1,9
Tidak tamat SD 10,2
Tamat SD 8,5 12,9
Tamat SMP 5,8 14,2 8,9
Tamat SMA 34,9 29,6
Tamat D1/D2/D3/PT 17,0 24,5 1,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 2,5 21,4 0,4 3,6
Pegawai 13,7 33,7
Wiraswasta 48,6 34,2
Petani/Nelayan/Buruh 12,8 0,8
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan 17,4 30,8 0,6
Perdesaan 12,2 11,2 1,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 15,7
Menengah Bawah 6,8 5,7 0,8
Menengah 13,2 23,6
Menengah Atas 12,4 33,7 6,4
Teratas 18,4 33,0
6.2.2. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir.
Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden
diare tertinggi adalah Kabupaten Pidie Jaya (17,9%), Aceh Tenggara (17,3%), Aceh Timur
(16,9%), Kota Subulussalam (16,4%) dan Kabupaten Aceh Utara (14,5%). (Tabel 6.9).
Tabel 6.9
Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence
Insiden Diare Balita (persen)
Kabupaten/Kota Pneumonia Balita (permil)
D DG D DG
Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan sebanyak 16,0
persen, perempuan (10,5%), tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks
Tabel 6.10
Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence Pneumonia
Insiden Diare Balita
Karakteristik Balita
D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
0-11 bulan 7,7 8,7 20,0
12-23 bulan 14,2 16,0 25,1
24-35 bulan 10,6 11,3 35,6
36-47 bulan 6,3 7,7 11,4 41,2
48-59 bulan 7,0 7,8 15,8 52,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 8,7 9,9 5,6 37,3
Perempuan 9,4 10,5 6,3 34,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 5,9 7,1 3,3 24,6
Perdesaan 10,3 11,4 7,0 40,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 13,5 14,9 13,1 58,0
Menengah Bawah 10,1 11,4 2,6 34,1
Menengah 9,0 10,5 9,1 32,7
Menengah Atas 6,3 7,0 3,5 23,5
Teratas 6,1 6,9 1,3 30,3
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai
rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di
dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare.
Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya
angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada
penduduk Provinsi Aceh adalah 33,3 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi yang memakai oralit
dalam mengelola diare adalah Kabupaten Nagan Raya (100%),Aceh Tamiang (61,8%), Aceh
Jaya (55,8%), Aceh Tenggara (49,5%), dan Simeulue (47,0%).
Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Provinsi Aceh adalah 22,8 persen.
Lima kabupaten/kota tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Kabupaten Nagan
Raya (100%), Aceh Utara (54,0%), Aceh Tenggara (29,0%), Kota Sabang dan Kota Banda
Aceh masing-masing 37 % dan 31,8%, (Tabel 6.11).
Tabel 6.11
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Oralit Zn
Simeulue 47,0 11,6
Aceh Singkil 19,4
Aceh Selatan 45,1 17,5
Aceh Tenggara 49,5 29,0
Aceh Timur 29,1 12,9
Aceh Tengah 11,9 10,7
Aceh Barat 21,9
Aceh Besar 38,9 17,5
Pidie 24,4 22,9
Bireuen 18,5 21,2
Aceh Utara 41,3 54,0
Aceh Barat Daya 41,0
Gayo Lues 11,7 3,9
Aceh Tamiang 61,8 21,0
Nagan Raya 100,0 100,0
Aceh Jaya 55,8 1,0
Bener Meriah 21,9 12,1
Pidie Jaya 19,2 26,1
Kota Banda Aceh 18,3 31,8
Kota Sabang 31,3 37,0
Kota Langsa 33,0 1,6
Kota Lhokseumawe 46,1 25,6
Kota Subulussalam 18,5 4,1
Aceh 33,3 22,8
Berdasarkan karakteristik, pemakaian oralit dan zinc dalam mengelola diare balita tertinggi pada
kelompok umur 12-23 bulan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, pengelolaan diare dengan
oralit dan zinc diperkotaan pada oralit dan di perdesaan untuk zinc. (Tabel 6.12).
Tabel 6.12
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Oralit Zn
Tabel 6.14 menunjukkan bahwa prevalensi malaria pada usia 35-44 tahun relatif lebih tinggi
dibanding kelompok umur yang lain. Prevalensi malaria pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya (9,5%), sedangkan
berdasarkan tempat tinggal lebih banyak terjadi di perdesaan (10,1%). Semakin rendah kuintil
indeks kepemilikan semakin tinggi prevalensi malaria.
Tabel 6.14
Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Proporsi pengobatan dengan obat malaria program cenderung lebih baik pada usia dewasa
dibandingkan dengan anak, hal ini merupakan kebalikan dari data nasional (Tabel 6.16).
Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada
dewasa sudah cukup baik. Pengobatan dengan obat malaria program relatif lebih baik di daerah
perkotaan, pada jenis kelamin perempuan, kelompok lainnya, dan kelompok dengan kuintil
indeks kepemilikan teratas (Tabel 6.16).
Tabel 6.16
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita
malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Pengobatan penyakit malaria
Karakteristik Mendapatkan obat Mendapatkan obat Minum obat Mengobati Sendiri
ACT program dalam 24 jam pertama selama 3 hari
Kelompok umur (tahun)
<1 100,0 0,4
1-4 9,4 54,1 9,3 0,9
5-14 32,7 65,6 28,2 0,7
15-24 54,4 50,0 29,3 0,6
25-34 60,9 89,9 53,1 0,5
35-44 31,6 74,6 31,6 1,0
45-54 46,9 96,9 43,8 1,2
55-64 36,5 8,8 0,5
65-74 100,0 1,4
≥75 100,0 0,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 43,1 74,5 33,9 0,9
Perempuan 37,5 59,2 29,7 0,6
Pendidikan
Tidak sekolah 47,6 92,3 39,9 0,7
Tidak tamat SD 43,5 57,5 32,2 1,0
Tamat SD 46,4 83,2 42,1 0,7
Tamat SMP 41,9 63,3 31,4 0,7
Tamat SMA 36,4 60,3 23,2 0,6
Tamat D1/D2/D3/PT 8,7 30,9 8,7 0,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 39,2 62,4 31,3 0,7
Pegawai 45,8 47,1 15,3 0,3
Wiraswasta 72,1 79,0 60,7 0,4
Petani/Nelayan/Buruh 39,0 75,2 32,4 1,1
Lainnya 20,5 93,5 20,5 0,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 21,5 76,0 12,5 0,6
Perdesaan 45,3 68,8 36,6 0,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 30,5 54,9 16,7 47,4
Menengah Bawah 42,4 72,1 41,1 44,1
Menengah 53,8 82,0 40,5 42,1
Menengah Atas 54,1 68,6 38,6 43,0
Daftar Pustaka
Bhisma Murti. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press 1997: 152-
79
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007
Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian TB edisi 2 Tahun 2012
Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. 2012
Direktorat PPBB Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. 2011.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 2012
Kenneth J. Rothman. Epidemiologi Modern. Yayasan Pustaka Nusatama 1995: 33-49
BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR
7.1. Asma
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan
(sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa
tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap
rokok), sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan.
Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah
satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres
dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan
dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau
menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa
pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi
dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan
terbanyak).
Tabel 7.1
Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)***
Simeulue 1,1 4,8 1,3
Aceh Singkil 4,8 5,5 1,0
Aceh Selatan 3,9 6,4 0,0
Aceh Tenggara 1,0 1,7 0,0
Aceh Timur 7,7 8,6 2,0
Aceh Tengah 3,3 1,8 3,0
Aceh Barat 4,0 6,4 3,1
Aceh Besar 1,7 0,6 0,2
Pidie 3,3 3,4 0,2
Bireuen 6,0 6,1 2,3
Aceh Utara 5,9 5,0 1,4
Aceh Barat Daya 5,3 6,9 1,0
Gayo Lues 3,1 3,2 1,0
Aceh Tamiang 1,8 3,6 2,0
Nagan Raya 0,9 1,8 0,2
Aceh Jaya 2,7 3,9 2,0
Bener Meriah 4,0 3,4 2,0
Pidie Jaya 3,9 4,2
Kota Banda Aceh 3,2 0,2 1,0
Kota Sabang 1,2 2,7
Kota Langsa 2,3 1,9 1,0
Kota Lhokseumawe 6,2 7,2 1,1
Kota Subulussalam 4,1 7,4 2,4
ACEH 4,0 4,3 1,4
*Wawancara semua umur berdasarkangejala
**Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
Pada tabel 7.2 terlihat bahwa prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥ 45 tahun mulai menurun.
Prevalensi kanker agak meningkat pada umur 75 tahun (5‰). Prevalensi asma dan kanker pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan. Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih tinggi
di perdesaan dari perkotaan, hal ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai faktor risiko PPOK
Tabel 7.2
Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Asma* PPOK** Kanker(‰)***
Kelompok umur (tahun)
<1 0,1
1- 4 2,9
5-14 3,8
15-24 4,8 1,0
25-34 4,6 1,5 2,0
35-44 4,6 2,5 4,0
45-54 3,0 4,5 3,0
55-64 4,2 7,5 1,3
65-74 3,4 11,2 1,1
75+ 2,9 12,9 5,0
Jenis kelamin
Laki-Laki 3,6 4,9 0,4
Perempuan 4,4 3,6 2,3
Pendidikan
Tidak sekolah 4,1 9,8 1,4
Tidak Tamat SD/MI 4,3 6,5 1,1
Tamat SD/MI 4,7 5,6 2,1
Tamat SMP/MTS 5,1 2,9 1,0
Tamat SMA/MA 3,7 2,3 2,0
Tamat D1-D3/PT 2,4 0,2 2,5
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 4,8 5,0 2,0
Pegawai 2,4 0,8 1,2
Wiraswasta 3,2 2,8 1,2
Petani/nelayan/buruh 4,4 5,3 2,0
Lainnya 3,9 3,1
Tempat tinggal
Perkotaan 3,6 2,9 2,0
Perdesaan 4,2 4,8 1,3
Tabel 7.4 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter dan gejala
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung
menurun, mungkin pada kelompok ini banyak yang telah meninggal. Prevalensi hipertiroid
cenderung meningkat seiring bertambahnya umur, namun akan cenderung turun pada umur ≥ 75
tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat
meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi
di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi
pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan dengan status ekonomi dengan kuintil
persen), dan perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%). Juga memperlihatkan bahwa
prevalensi hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia.
Tabel 7.4
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Hipertensi**
Diabetes * Hipertiroid*
Karakteristik Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,5 0,2 0,8 0,9 8,3
25-34 0,4 1,0 0,3 3,5 3,6 12,6
35-44 1,7 2,7 0,5 9,0 9,2 21,9
45-54 4,6 5,6 0,4 16,5 16,8 32,4
55-64 6,5 7,3 0,4 23,9 24,1 38,5
65-74 4,6 6,0 0,7 34,0 34,4 56,1
75+ 2,7 3,6 0,2 35,1 35,6 55,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 1,7 2,7 0,2 6,8 7,0 18,5
Perempuan 1,9 2,5 0,4 12,5 12,6 24,4
Pendidikan
Tidak Sekolah 3,1 3,7 1,0 20,9 21,0 36,6
Tidak Tamat SD 1,9 3,1 0,3 16,0 16,1 28,9
Tamat SD 1,9 2,9 0,3 13,4 13,6 26,4
Tamat SMP 1,5 2,3 0,3 8,0 8,2 18,8
Tamat SMA 1,7 2,2 0,3 5,3 5,4 15,8
Tamat PT 2,6 3,0 0,4 6,6 6,7 18,8
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 1,7 2,3 0,4 11,1 11,3 21,4
Pegawai 3,1 3,5 0,4 8,0 8,1 20,6
Wiraswasta 2,6 3,4 0,2 7,7 7,8 19,9
Petani/Nelayan/Buruh 1,3 2,4 0,2 9,6 9,7 22,5
Lainnya 1,6 2,6 0,3 6,7 6,8 21,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 3,2 3,6 0,4 9,6 9,8 22,3
Perdesaan 1,3 2,2 0,3 9,7 9,9 21,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,8 1,8 0,3 9,8 10,1 21,1
Menengah bawah 0,9 1,9 0,3 9,4 9,4 21,5
7.7. Penyakit Jantung
Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan
gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit
jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden.
7.7.1 Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah
karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada
atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja
berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh.
Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau
infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah
mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan
nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan
kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa
dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.
7.7.2 Penyakit gagal jantung
Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat
beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.
Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit
gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas
saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai
bawah bengkak.
7.8. Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global,
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan
gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas
(pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan
sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes
tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau
kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut
menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan
atau tidak mengerti pembicaraan.
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis
dokter di Aceh sebesar 0,7 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 2,3
persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Aceh Timur (1,8%)
diikuti Aceh Singkil (1,5%), Kota Sabang (1,3%) dan Kota Lhokseumawe (1,2%). Sementara
prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Aceh Timur (9,6%), diikuti
Kota Subulussalam (4,6%), Kota Lhokseumawe (3,9%), dan Bireuen (2,7%).
Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1
persen, dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Sabang (0,4%), disusul Kota Lhokseumawe dan
Bener Meriah masing-masing 0,3 persen serta Bireuen (0,2%). Prevalensi gagal jantung
berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kota Subulussalam (1,6%), diikuti Aceh Selatan
11 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di
Kota Sabang (29,8‰), diikuti Lhokseumawe (19,2‰) dan Bireun sebanyak 18,2 permil.
Tabel 7.5
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 7.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3,4 persen dan 7,1
persen, menurun pada kelompok umur ≥75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter
maupun berdasarkan diagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada perempuan (0,9% dan 2,6%).
Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK
terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi diperkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter
dan gejala lebih tinggi diperdesaan dan pada status ekonomi terbawah.
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
umur kelompok 65 – 74 tahun (0,4%), untuk yang terdiagnosis dokter menurun sedikit pada
umur ≥ 75 tahun (0.3%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi pada
kelompokumur ≥ 75 tahun (1,8%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi sama
antaraperempuandan laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter dan gejala prevalensi lebih
banyak perempuan (0,4%) dibanding dengan laki-laki (0,3%). Prevalensi yang didiagnosis
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes
dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65-74
(44,3‰ dan 58,5‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes pada laki-laki lebih tinggi
(6,8‰) dibandingkan wanita (6,4‰), demikian juga pada prevalensi stroke yang didiagnosis
nakes dan gejala.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis nakes (19,3‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (28,0‰). Prevalensi stroke di
kota lebih tinggi dari di desa, dengan diagnosis nakes (8,5‰ vs 11,0‰). Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat yang tidak bekerja untuk stroke dengan diagnosis nakes (6,8‰) sedangkan
yang didiagnosis nakes dan gejala lebih tinggi yang bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh
(12,5‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis dan gejala lebih tinggi pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah 12,1 permil .
Tabel 7.6
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Jenis kelamin
Laki-Laki 0,5 2,0 0,1 0,3 6,8 11,1
Perempuan 0,9 2,6 0,1 0,4 6,4 9,9
Pendidikan
Tidak sekolah 1,6 7,2 0,0 1,1 19,3 28,0
Tidak Tamat SD/MI 1,5 4,1 0,1 0,6 7,6 18,7
Tamat SD/MI 0,8 2,8 0,1 0,5 10,0 15,6
Tamat SMP/MTS 0,5 2,2 0,1 0,3 4,2 5,8
Tamat SMA/MA 0,5 1,3 0,1 0,2 4,1 5,7
Tamat D1-D3/PT 0,4 0,6 0,0 0,1 5,1 8,3
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 0,9 2,3 0,1 0,4 6,8 1,0
Pegawai 0,5 0,9 0,1 0,2 8,5 9,6
Wiraswasta 0,6 1,9 0,0 0,3 5,4 8,8
Petani/nelayan/buruh 0,6 3,1 0,1 0,4 6,8 12,5
Lainnya 0,4 1,3 0,0 0,1 3,3 5,2
Tempat tinggal
Perkotaan 0,8 1,7 0,1 0,2 8,5 11,0
Perdesaan 0,7 2,5 0,1 0,4 5,8 10,3
Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor,
misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain.
Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain.
Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk,
pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau
transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia,
penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu
ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai
penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.
Tabel 7.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada
kelompok umur 55-64 tahun (1,0%), diikuti umur 45-54 tahun (0,8%), dan umur 65-74 tahun
(0,7%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,5%) lebih
tinggi dari perempuan (0,3%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,4%), tamat
SD (0,7%), petani/nelayan/buruh (0,6%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
atas masing-masing 0,5 persen.
Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun sebanyak 2,2 persen, kemudian
diikuti kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 2,0 persen, lalu kelompok umur 45-54 tahun dan
umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih
tinggi pada perempuan demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Semakin rendah
tingkat pendidikan dan semakin rendah status ekonomi masyarakat semakin meningkat
prevalensinya penyakit.
Tabel 7.8
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi*
Karakteristik
D D D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,2 2,0 5,4
25-34 0,3 0,4 9,0 15,0
35-44 0,4 1,4 21,6 30,3
45-54 0,8 1,7 34,9 44,1
55-64 1,0 2,0 43,9 55,3
65-74 0,7 1,7 50,3 61,9
75+ 1,4 2,2 58,4 68,3
Jenis Kelamin
Laki-Laki 0,5 1,1 14,7 20,9
Perempuan 0,3 0,8 21,8 29,6
Pendidikan
Tidak Sekolah 0,6 2,0 42,7 52,4
Tidak Tamat SD 0,5 1,6 32,1 42,9
Tamat SD 0,7 1,3 26,8 35,9
Tamat SMP 0,3 0,7 13,8 20,6
Tamat SMA 0,2 0,6 10,2 14,9
Tamat PT 0,1 0,4 8,1 11,9
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 0,3 0,7 16,3 22,7
Pegawai 0,2 0,6 11,0 15,7
Wiraswasta 0,3 1,1 15,6 23,2
Petani/Nelayan/Buruh 0,7 1,4 25,1 33,7
Lainnya 0,1 0,6 15,0 20,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,3 0,9 14,1 19,1
Perdesaan 0,4 0,9 20,0 27,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 0,8 22,8 31,8
Daftar Pustaka
Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left
and right arms. Arch Intern Med 2007;167 (4): 388 – 93.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter.,
Suppl. 2013; 3: 1—150.
Laporan Riskesdas 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes
R.I.
National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh
report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Available from:
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf.
Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia.
Geneva: WHO; 2006. P.9—43.
WHO, Media Centre. Nocommunicable diseases. Updated March 2013. Access 18 November
2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/
BAB 8. CEDERA
Prevalensi Benda
Kabupaten/Kota Sepeda Trans. Gigitan
Cedera Jatuh tajam/ Terbakar Kejatuhan Keracunan Lainnya
motor darat lain hewan
tumpul
Simeulue 4,5 23,9 5,5 46,6 18,7 1,0 3,3 1,1
Aceh Singkil 8,2 43,5 4,6 41,9 4,7 1,2 2,7 1,6
Aceh Selatan 9,1 49,0 11,3 31,5 5,2 2,2 0,8
Aceh Tenggara 3,8 42,9 1,2 48,7 5,8 1,4
Aceh Timur 6,3 47,3 6,6 28,6 7,5 3,0 5,8 1,1
Aceh Tengah 9,7 51,7 3,5 30,3 8,6 1,0 2,8 2,0
Aceh Barat 7,0 59,2 16,0 13,2 4,4 1,7 0,4 5,1
Aceh Besar 4,2 58,9 13,0 21,1 5,2 1,6 0,2
Pidie 8,9 31,8 12,4 32,0 18,8 0,4 3,6 1,1
Bireuen 11,2 46,2 10,6 26,5 8,3 0,6 6,6 1,2
Aceh Utara 4,1 65,3 9,4 13,1 7,5 4,7 0,1
Aceh Barat
5,6 48,9 8,5 34,2 1,4 3,7 3,3
Daya
Gayo Lues 6,5 59,9 8,4 26,0 2,2 1,6 1,0 0,9
Aceh Tamiang 12,8 52,1 6,4 31,7 7,7 2,1
Nagan Raya 2,2 82,4 1,9 9,0 4,5 2,2
Aceh Jaya 8,1 58,6 4,5 27,2 2,6 0,7 6,4
Bener Meriah 19,4 36,4 4,2 48,2 6,5 0,1 0,4 3,4 0,8
Pidie Jaya 6,0 34,1 5,7 38,0 9,8 4,1 2,1 4,8 1,5
Kota Banda
7,0 48,9 4,4 43,0 2,4 0,4 0,8
Aceh
Kota Sabang 5,4 46,9 3,0 35,2 10,2 4,8
Kota Langsa 3,8 56,3 5,4 20,9 9,5 0,7 1,7 5,2 0,2
Kota
6,6 56,5 7,4 25,4 3,0 0,6 5,9 1,3
Lhokseumawe
Kota
11,3 59,9 5,4 28,2 4,5 1,8
Subulussalam
Aceh 7,3 48,6 8,1 30,2 7,7 0,7 0,2 3,7 0,0 0,8
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden (Tabel 8.2) yaitu pada kelompok
umur 15-24 tahun (10,9%), laki-laki (9,2%), pendidikan tamat SMP/MTS (8,6%), yang bekerja
sebagai petani/nelayan/buruh (8,2%), serta bertempat tinggal di perdesaan (7,5%).
Ditinjau dari penyebab cedera langsung, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh pada
kelompok umur < 1 tahun(83,0%), perempuan (37,3%), tidak sekolah (45,1%), tidak bekerja
(27,8%) dan tinggal di perkotaan (30,5%).
Selain itu penyebab cedera langsung karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat
pertama yaitu, pada kelompok umur 15-24 tahun (70,3%), laki-laki (51,6%), tingkat pendidikan
tamat SMA/MA (68,5%), bekerja sebagai wiraswasta (71,6%) dan tinggal di perkotaan (54,1%).
Tabel 8.2
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Penyebab Cedera
Prevalensi Trans Benda Ke- Ke-
Karakteristik Cedera Sepeda Gigitan Lain-
darat Jatuh tajam/ Terbakar jatuh racun
motor Hewan nya
lain tumpul an an
Kelompok umur (thn)
<1 0,6 12,5 83,0 4,6
1–4 5,0 11,2 8,3 69,6 3,6 4,6 0,8 1,6 0,4
5 – 14 7,6 26,6 18,4 39,9 7,6 1,2 0,2 4,9 1,2
15 – 24 10,9 70,3 4,4 18,3 5,6 0,3 0,1 1,1 0,0
25 – 34 7,0 64,4 4,1 16,2 9,5 0,4 0,2 3,7 1,5
35 – 44 5,8 50,6 2,8 26,7 12,4 0,3 7,1
45 – 54 6,8 49,4 5,2 30,6 9,2 0,4 3,4 1,8
55 – 64 6,8 35,5 8,7 39,7 8,6 0,4 0,5 5,7 0,1 0,8
65 – 74 6,9 29,7 8,1 53,5 2,4 6,2
75+ 4,4 9,6 6,9 72,0 2,1 9,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 9,2 51,6 8,3 26,0 8,5 0,9 0,2 3,8 0,0 0,6
Perempuan 5,5 43,5 7,7 37,3 6,3 0,5 0,2 3,5 1,0
Pendidikan
Tidak sekolah 5,3 24,9 8,2 45,1 9,3 2,9 8,4 1,1
Tidak tamat SD/MI 7,6 27,8 19,1 37,5 7,5 0,3 0,5 6,1 0,0 1,1
Tamat SD/MI 7,1 46,6 6,2 31,6 9,9 0,1 4,3 1,4
Tamat SMP/MTS 8,6 63,1 4,4 19,3 9,8 0,8 0,1 2,2 0,3
Tamat SMA/MA 8,2 68,5 4,4 19,2 5,1 0,0 0,2 2,2 0,5
Tamat Diploma/PT 5,4 64,2 7,6 21,7 2,7 0,5 3,2 0,2
Status pekerjaan
Tidak bekerja 7,8 53,1 8,5 27,8 6,0 0,4 0,2 3,3 0,8
Pegawai 6,3 63,4 6,0 21,4 5,2 2,8 1,2
Wiraswasta 7,5 71,6 3,6 14,9 7,1 0,2 1,5 1,0
Petani/nelayan/buruh 8,2 49,8 4,3 27,1 12,4 0,3 0,3 5,4 0,0 0,5
Lainnya 8,5 62,4 2,6 20,5 10,9 0,7 2,4 0,5
Tempat tinggal
Perkotaan 7,1 54,1 7,4 30,5 3,8 0,6 0,1 2,8 0,7
Perdesaan 7,5 46,5 8,3 30,1 9,2 0,8 0,3 4,0 0,0 0,8
Gambar 8.1
Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Tabel 8.4 memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden.
Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar,
terkilir dan luka robek.
Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan
cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 proporsinya
rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi
yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proposinya tinggi ditunjukkan
pada jenis cedera patah tulang dan terkilir.
Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi didapat pada umur 15-24 tahun untuk jenis
cedera lecet/memar (74,0%), dan luka robek (31,0%), patah tulang (30,3%), dan terkilir (60,5%)
pada umur 75 tahun keatas, anggota tubuh terputus pada usia produktif (25-54 tahun) sekitar 0,1
persen, cedera mata pada umur 35 – 54 tahun sekitar 3,8 persen, gegar otak pada umur 65-74
tahun 0,9 persen dan jenis cedera lainnya pada umur 65 tahun keatas 1,2 persen.
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi
Adapun jika berdasarkan pada pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan
pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi
jenis cedera meingkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi. Sedangkan menurut
status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu.
Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada
perbedaan antara perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar lebih tinggi di
perkotaan sedangkan luka robek dan patah tulang lebih tinggi proporsinya di perdesaan.
Menurut tingkat pengeluaran perkapita per bulan tampak bahwa yang menunjukkan pola yang
jelas hanya pada jenis cedera yang proporsinya menunjukkan 3 angka besar dibandingkan
dengan jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan
pola positif dengan semakin tinggi status ekonomi semakin besar proporsi luka lecetnya,
sedangkan untuk luka robek dan terkirlir sebaliknya dengan semakin tinggi status ekonominya
tampak jenis lukanya semakin menurun proporsinya.
Tabel 8.4
Proporsi jenis cedera menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Cedera
Karakteristik Anggota
Lecet/ Luka Patah Cedera Gegar
Terkilir Tubuh Lainnya
Memar robek Tulang Mata otak
terputus
Kelompok umur (thn)
<1 57,5 55,0
1–4 66,0 16,2 3,3 30,1 2,9
5 – 14 65,1 25,5 5,8 30,9 0,5 0,3 1,9
15 – 24 74,0 31,6 6,7 39,9 0,2 0,6 0,8 1,1
25 – 34 67,4 31,0 7,7 40,4 0,1 1,5 0,7 1,1
35 – 44 61,2 28,0 8,2 44,4 0,4 1,4 0,5
45 – 54 68,5 29,4 9,7 45,4 0,1 3,4 0,6 2,7
55 – 64 50,2 28,1 11,9 43,8 0,0 0,1 1,2
65 – 74 59,6 15,1 11,6 52,0 0,9 1,2
75+ 34,9 5,0 30,3 60,5
Jenis Kelamin
Laki-laki 66,8 32,8 8,2 37,3 0,1 1,2 0,7 1,7
Perempuan 66,7 19,6 6,0 41,5 0,0 0,3 0,4 1,0
Pendidikan
Tidak sekolah 52,5 27,9 9,1 31,6 0,9 1,0 6,2
Tidak tamat SD/MI 65,9 24,8 6,8 34,3 0,0 1,4 0,6 1,6
Tamat SD/MI 63,4 32,1 6,9 36,9 0,0 0,7 0,7 1,2
Tamat SMP/MTS 68,7 32,9 7,5 43,6 0,2 1,1 1,1 0,5
Tamat SMA/MA 72,1 26,1 8,1 42,3 0,1 0,6 0,2 1,0
Tamat Diploma/PT 70,5 21,8 10,1 54,7 1,8 0,7 0,7
Status pekerjaan
Tidak bekerja 66,7 27,0 7,0 40,3 0,1 0,7 0,4 1,7
Pegawai 69,6 23,8 5,7 50,3 0,2 1,5
Wiraswasta 68,8 35,3 7,4 40,2 0,1 2,1 1,5 0,5
Petani/nelayan/ buruh 66,5 30,8 9,8 39,7 0,0 0,9 0,9 0,8
Lainnya 71,4 37,4 8,7 39,5 2,2 1,6
Tempat tinggal
Perkotaan 70,1 26,4 5,1 40,9 0,1 0,4 0,7 1,0
Perdesaan 65,5 28,4 8,3 38,2 0,0 1,1 0,6 1,6
Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 8.5. Secara
umum di Aceh, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan raya yaitu 47,3 persen.
selanjutnya di rumah (30,7%), area pertanian (9,9%) dan sekolah (4,9%). Kabupaten /kota yang
memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah Kabupaten Pidie
Jaya (43,3%) dan terendah di Aceh Utara (16,2%). Adapun untuk porporsi tempat cedera di
sekolah tertinggi di Aceh Barat Daya (11,2%) dan terendah di Gayo Lues (0,2%). Tempat
kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat
yang lain. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan yang yang
melebihi angka provinsi sebanyak 13 kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian di jalan raya
terbanyak di Kabupaten Nagan Raya (79,0%) dan terendah di Simeulue (25,4%). Adapun untuk
tempat kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil
dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi
yang sangat melebihi angka provinsi (9,9%) di Kabupaten Simeulue (25,6%) dan terendah di
Kota Lhokseumawe (0,7%).
Tabel 8.5
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Area Tempat terjadinya cedera
Kabupaten/Kota Olah Jalan Tempat
Rumah Sekolah Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Simeulue 33,9 3,1 5,7 25,4 25,6 6,3
Aceh Singkil 22,1 6,6 3,8 38,3 2,9 5,4 18,2 2,9
Aceh Selatan 31,2 5,6 1,4 49,6 2,9 7,9 1,4
Aceh Tenggara 30,3 5,3 6,4 44,4 1,8 9,5 2,3
Aceh Timur 25,5 1,4 2,6 40,1 3,2 24,7 2,4
Aceh Tengah 24,0 2,3 3,6 46,3 1,0 0,7 22,0
Aceh Barat 32,9 5,7 48,0 8,0 5,3
Aceh Besar 35,4 7,2 50,6 1,2 5,7
Pidie 37,1 3,8 6,6 39,8 0,8 1,4 10,1 0,3
Bireuen 35,2 6,8 3,3 42,3 2,8 0,6 8,7 0,2
Aceh Utara 16,2 3,4 3,1 64,1 2,0 1,5 9,7
Aceh Barat Daya 29,9 11,2 4,8 47,8 2,4 3,8
Gayo Lues 28,7 0,2 0,9 56,3 1,4 9,2 3,4
Aceh Tamiang 36,4 5,2 2,6 48,7 0,8 5,6 0,7
Nagan Raya 18,6 79,0 2,4
Aceh Jaya 28,2 2,2 6,4 56,9 0,8 1,9 1,5 2,0
Bener Meriah 32,6 5,2 7,0 38,5 1,0 15,2 0,5
Pidie Jaya 43,3 7,8 3,0 36,4 7,8 1,6
Kota Banda Aceh 31,5 5,7 4,1 56,1 0,9 1,7
Kota Sabang 34,6 1,8 13,1 45,5 1,5 2,4 1,1
Kota Langsa 24,0 4,6 3,3 56,6 2,2 5,1 2,0 2,1
Kota Lhokseumawe 23,1 5,9 5,7 60,9 3,7 0,7
Kota Subulussalam 25,6 3,8 0,7 53,6 3,7 0,5 10,9 1,2
Aceh 30,7 4,9 3,6 47,3 2,0 0,8 9,9 0,8
Tabel 8.6
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Area Tempat terjadinya cedera
Karakteristik Olah Jalan Tempat
Rumah Sekolah Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Kelompok umur (thn)
<1 95,4 4,6
1–4 86,3 4,2 6,2 0,4 2,8 0,2
5 – 14 47,4 11,7 3,9 28,7 1,4 0,1 6,2 0,5
15 – 24 16,0 3,8 7,2 64,8 1,8 0,1 5,9 0,4
25 – 34 19,2 1,8 2,6 62,3 1,5 1,9 9,8 0,9
35 – 44 22,0 1,8 1,9 50,0 4,1 1,2 18,2 0,9
45 – 54 22,2 3,0 0,7 50,6 3,5 1,3 17,1 1,6
55 – 64 29,7 1,4 1,5 40,4 1,3 3,3 21,1 1,4
65 – 74 43,4 2,1 29,0 4,2 19,9 1,3
75+ 50,8 16,5 22,4 10,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 24,5 4,8 5,1 50,7 2,1 1,2 10,6 1,0
Perempuan 41,2 5,1 1,2 41,6 1,8 8,7 0,5
Pendidikan
Tidak sekolah 50,5 5,5 2,3 28,6 1,2 12,0
Tidak tamat SD/MI 41,4 9,6 2,4 30,5 1,6 0,5 12,5 1,4
Tamat SD/MI 28,4 4,5 3,3 45,8 2,4 0,5 13,6 1,5
Tamat SMP/MTS 17,7 3,9 3,7 59,4 2,3 1,9 10,9 0,3
Tamat SMA/MA 17,7 3,0 4,8 65,5 1,4 0,7 6,2 0,6
Tamat Diploma/PT 12,6 2,5 10,0 64,8 6,3 0,9 2,9
Status pekerjaan
Tidak bekerja 29,1 6,2 5,7 50,8 1,3 0,3 6,1 0,5
Pegawai 13,6 2,5 1,2 67,0 4,8 3,4 7,3 0,3
Wiraswasta 14,9 2,8 1,8 66,2 4,2 2,8 7,0 0,3
Petani/nelayan/ buruh 16,7 1,3 2,1 50,3 2,4 1,1 24,6 1,5
Lainnya 23,0 0,8 5,3 62,5 3,7 2,8 1,9
Tempat tinggal
Perkotaan 29,0 5,4 5,3 53,4 3,2 1,2 1,9 0,7
Perdesaan 31,4 4,7 3,0 45,0 1,5 0,6 12,9 0,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 31,1 3,5 3,8 40,6 1,2 0,2 17,8 1,9
Menengah bawah 29,8 4,2 1,9 48,5 2,1 1,2 11,9 0,5
Menengah 32,2 4,3 4,0 48,6 2,2 1,3 7,2 0,1
Menengah atas 32,2 6,8 2,8 48,2 1,1 0,6 7,8 0,6
Teratas 27,9 5,9 6,7 51,3 3,9 0,5 3,0 0,9
Daftar Pustaka
International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Vol 1. Tenth
Revision (ICD-10). World Health Organization. Geneva, 1992. vol 1, p: 891 – 1010.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Desember 2008, hal: 160 – 169.
Pedoman Pengisian Kuesioner. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2007, hal: 59 – 60.
Riyadina, W,. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis lanjut data
Riskesdas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008.
Sethi D et. al., Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. World
Health Organization. Geneva. 2004.
Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT
14%
EMD
Gambar 9.1
Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan,
dan EMD, Provinsi Aceh 2013
Gambar 9.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima
perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Proporsi
penduduk yang menyatakan mempunyai masalah gigi dan mulut di Provinsi Aceh sebesar 30,5
Tabel 9.1
Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective
medical demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 9.1 menunjukkan bahwa kabupaten/kota bener meriah mempunyai masalah gigi dan mulut
yang paling tinggi (46,6%), dan yang terendah adalah Aceh Tenggara (16,1%) dengan masing–
masing EMD 18,7 persen, dan 7,6 persen.
Tabel 9.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand)
menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia 45 – 54 tahun sebesar 40,4 persen. Demikian
pula dengan proporsi EMD sebesar 21,1 persen. Proporsi EMD pada perempuan (15,6%) lebih
tinggi dibanding laki-laki (12,4%). Proporsi EMD pada jenis pendidikan tertinggi adalah kelompok
penduduk tidak tamat SD (16,1%) dan terendah pada kelompok penduduk tamat PT (11,9%)
Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok petani/nelayan/buruh mempunyai EMD terbesar (16,8%)
dan EMD tertinggi berdasarkan indeks kuintil kepemilikan adalah pada kelompok berpenghasilan
menengah bawah (14,8%).
Tabel 9.2
Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai
effective medical demand menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Kelompok Umur
<1 0,4 53,1 0,2
1-4 8,5 32,2 2,7
5-9 34,1 50,4 17,2
10-14 28,7 41,6 11,9
15-24 27,9 39,1 10,9
25-34 33,1 50,3 16,6
35-44 39,1 48,8 19,0
45-54 40,4 52,3 21,1
55-64 36,5 40,8 14,9
≥ 65 25,9 32,5 8,4
Indeks Umur (WHO)
12 28,0 43,1 12,0
15 27,4 30,0 8,2
18 28,6 33,3 9,5
35-44 39,1 48,8 19,1
45-54 40,4 52,3 21,1
55-64 36,5 40,8 14,9
≥ 65 25,9 32,5 8,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 29,5 42,2 12,4
Perempuan 31,5 49,5 15,6
Pendidikan
Tidak Sekolah 34,0 43,3 14,7
Tidak Tamat SD 36,0 44,8 16,1
Tamat SD 35,0 45,3 15,8
Tamat SLTP 32,8 47,2 15,5
Tamat SLTA 32,2 47,4 15,3
Tamat PT 22,8 52,3 11,9
Pekerjaan
Tidak Bekerja 31,2 45,5 14,2
Pegawai 27,7 50,8 14,1
Wiraswasta 34,1 48,0 16,3
Petani/Nelayan/Buruh 38,0 44,4 16,8
Lainnya 33,9 43,3 14,6
Tempat Tinggal
Perkotaan 29,3 43,7 12,8
Perdesaan 31,0 46,8 14,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 32,3 40,3 12,9
Menengah bawah 33,0 44,7 14,8
Pada tabel 9.3 terlihat bahwa di Provinsi Aceh, penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis
sebanyak 3,3 persen, yang berobat ke dokter gigi 25,4 persen, dan ke perawat gigi 35,0 persen.
Penduduk yang berobat gigi ke dokter spesialis terbanyak berada di Kota Banda Aceh sebesar
12,8 persen dan kabupaten Aceh Singkil 5,8 persen. Pada umumnya responden datang ke
dokter gigi yang banyak berada di kota besar, seperti di Kota Banda Aceh sebanyak 51,1
persen, diikuti oleh Lhokseumawe sebesar 43,4 persen. Perawatan dokter gigi terendah berada
di Kabupaten Simeulue sebesar 9,9 persen. Penduduk yang berobat ke perawat gigi yang
terbanyak di Kota Sabang sebesar 69 persen dan terendah di Kabupaten Gayo Lues sebanyak
7,4 persen.
Tabel 9.3
Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Dokter gigi Paramedik
Kabupaten/Kota Dokter Gigi Perawat Gigi Tukang gigi Lainnya
Spesialis lainnya
Simeulue 1,6 9,9 51,2 26,7 0,5 19,6
Aceh Singkil 5,8 17,8 17,2 53,2 0,6 6,4
Aceh Selatan 4,1 22,8 60,1 11,0 2,0 6,3
Aceh Tenggara 12,1 64,0 21,6 0,1 2,3
Aceh Timur 3,3 28,5 26,3 52,5 1,8 2,6
Aceh Tengah 2,3 33,2 13,7 40,6 2,2 16,0
Aceh Barat 4,4 22,3 22,1 45,6 1,0 13,2
Aceh Besar 4,2 23,1 56,7 12,7 1,0 15,4
Pidie 1,2 18,3 27,4 58,3 0,5 3,0
Bireuen 1,6 16,6 37,8 46,7 1,5 7,2
Aceh Utara 2,4 15,0 43,5 42,4 1,5 8,6
Aceh Barat Daya 3,9 13,1 62,7 26,8 9,5 1,6
Gayo Lues 1,0 27,6 7,4 68,2 1,6 1,1
Aceh Tamiang 3,6 42,3 16,4 31,1 5,1 9,7
Nagan Raya 4,1 13,4 42,1 42,6 4,0
Aceh Jaya 0,4 28,6 39,5 40,1 2,5 16,7
Bener Meriah 1,3 37,0 21,3 25,9 1,3 20,7
Pidie Jaya 4,7 23,3 36,8 52,1 0,4 5,8
Kota Banda Aceh 12,8 51,1 20,8 15,5 2,5
Kota Sabang 3,5 27,4 69,0 14,1 0,9
Kota Langsa 1,7 30,4 26,2 15,6 0,7 31,0
Kota Lhokseumawe 2,3 43,4 26,1 22,6 1,5 22,8
Kota Subulussalam 2,0 27,4 17,4 50,3 1,4 4,0
Aceh 3.1 25.0 34,4 38,2 1,7 8,9
99
Tabel 9.6
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Waktu menyikat gigi
Sikat gigi Menyikat gigi
Karakteristik Sesudah makan Sesudah bangun Sebelum tidur Sesudah makan Mandi pagi dan
setiap hari Mandi pagi Mandi sore dengan benar
pagi pagi malam siang sore
Kelompok umur (tahun)
10-14 92,3 27,6 94,2 74,4 3,4 7,8 23,1 5,0 1,6
15-24 96,4 24,1 92,9 78,9 5,0 10,2 35,3 7,0 2,8
25-34 96,5 27,1 90,8 77,0 4,6 11,5 35,1 6,1 2,7
35-44 93,7 29,2 90,1 75,1 3,7 11,3 27,3 5,3 2,0
45-54 86,4 32,0 91,9 71,7 3,3 9,7 25,1 5,0 1,6
55-64 69,4 37,7 91,3 65,3 3,9 8,3 22,0 4,5 1,6
>=65 41,7 46,2 91,6 56,4 2,5 6,2 18,3 2,7 1,3
Kelompok Umur 12 Th (WHO)
12 93,0 30,0 95,2 71,5 3,4 8,3 24,6 5,5 1,4
15 96,0 20,1 95,5 82,3 4,0 8,2 27,1 5,9 1,7
18 97,1 23,4 92,6 80,7 4,4 12,2 36,6 8,3 2,4
35-44 93,7 29,2 90,1 75,1 3,7 11,3 27,3 5,3 2,0
45-64 86,4 32,0 91,9 71,7 3,3 9,7 25,1 5,0 1,6
55-64 69,4 37,7 91,3 65,3 3,9 8,3 22,0 4,5 1,6
≥65 41,7 46,2 91,6 56,4 2,5 6,2 18,3 2,7 1,3
Jenis Kelamin
Laki – laki 88,8 28,2 92,9 74,8 4,0 8,1 24,8 4,3 1,7
Perempuan 91,0 28,4 91,0 75,4 4,3 12,0 34,5 7,1 2,7
Pendidikan
Tidak sekolah 60,3 67,0 92,0 71,4 4,7 7,4 16,9 5,9 2,1
Tidak tamat SD/MI 81,3 70,1 92,9 73,5 3,2 8,1 17,2 5,0 1,3
Tamat SD/MI 86,7 68,7 89,4 74,2 3,1 12,0 22,1 5,3 1,4
Tamat SLTP 94,4 72,9 92,1 76,1 4,4 9,6 28,2 6,0 2,1
Tamat SLTA 96,5 74,7 93,2 76,6 4,6 9,5 38,1 6,1 2,9
Tamat D1-D3/PT 98,0 71,9 93,4 73,5 6,3 11,4 56,6 6,7 4,8
Pekerjaan
Tidak kerja 90,6 73,3 93,2 76,3 4,0 9,5 30,7 6,2 2,2
Pegawai 97,2 74,4 93,2 76,2 6,2 9,6 49,2 5,7 4,6
Wiraswasta 94,0 70,0 91,3 72,8 4,8 10,6 33,9 5,6 2,8
Petani/nelayan/buruh 84,3 67,3 88,2 72,7 3,2 11,9 18,2 4,5 1,0
Lainnya 93,0 75,8 95,5 77,1 5,1 6,7 37,0 7,2 3,6
Tempat tinggal
Perkotaan 94,2 73,0 94,1 74,7 4,3 8,1 43,5 5,6 2,8
Pedesaan 88,2 71,1 90,9 75,3 4,1 11,0 23,9 5,8 2,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 80,4 69,3 90,4 75,2 3,7 9,9 14,7 5,2 1,4
Menengah bawah 89,3 73,4 92,2 77,0 3,4 9,2 22,3 6,3 1,7
Menengah 91,2 70,1 91,7 73,3 4,1 11,3 28,5 6,2 2,1
Menengah atas 94,5 72,3 92,1 75,0 3,8 9,7 37,8 5,3 2,0
Teratas 95,8 73,4 93,2 75,0 5,8 10,5 46,6 5,8 4,0
100
Tabel 9.6 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menurut karakteristik responden. Menurut Kelompok umur, pada kelompok usia 15-24
tahun sampai dengan 45-54 tahun perilaku menyikat gigi dengan benar semakin meningkat. Laki-laki
yang berperilaku menyikat gigi dengan benar (1,7%) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,7%).
Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar
dibandingkan perdesaan. Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka
semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai lebih
banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. (Pokok-Pokok Riskesdas Indonesia, 2013)
Jumlah sampel untuk usia ≥ 12 tahun, berjumlah 789.771 orang responden. Huruf X adalah rata-rata dari
D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF . Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T,
M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa
Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal),
Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah
gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat
keparahan kerusakan gigi permanen.
Tabel 9.7 menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik responden, indeks DMF-T meningkat seiring
dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,12 pada kelompok umur 12 tahun 1,22 pada umur 15 tahun,
1,32 pada umur 18 tahun, 6,11 pada umur 35-44 tahun, dan selanjutnya 19,5 pada umur 65 tahun
keatas, yang berarti kerusakan rata-rata 19 gigi per orang. Pada indeks kepemilikan, nilai DMF-T
cenderung meningkat pada kuintil pemilikan yang lebih rendah, terlihat pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah nilai DMF-T nya 4,7 sedang pada status ekonomi teratas nilai DMF-T lebih rendah yaitu 3,2.
Indeks DMF-T Provinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T= 1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08;
yang berarti kerusakan gigi penduduk Aceh rata-rata 8 gigi per orang. (Laporan Riskesdas 2013
Nasional)
Tabel 9.7
Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Depkes RI. Badan Penelitian & pengembangan 1997. Status Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri
Survei Kesehatan Rumah Tangga no 7.
Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2002. Status Kesehatan Gigi dan Mulut di
Indonesia 2001. Analisis Data Survei kesehatan Rumah Tangga . Jakarta 2001.
Depkes RI. Hasil Riskesdas Indonesia 2007. Jakarta 2008.
Kristanti Ch M Dkk. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di indonesia. Jakarta 2012.
Kristanti, Ch M, Budiarso, Ratna. Persepsi dan Motivasi Masyarakat Untuk berobat Gigi, Survei
Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta , Prosiding Seminar SKRT 1986.
WHO, 1995. Oral Health Care, Needs of the Community. A. Public Health Report.
BAB 10. STATUS DISABILITAS
Tabel 10.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 15 dari 100 penduduk A termasuk 8 persen
dengan level sedang hingga berat, diikuti oleh kesulitan berdiri selama 30 menit. Kesulitan membersihkan
diri dialami oleh hampir 8,5 persen penduduk, termasuk 2.4 persen dengan level sedang hingga tidak
mampu membersihkan diri/mandi tanpa dibantu.
Tabel 10.1
Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Aceh 2013
Komponen Disabilitas Tidak ada ringan sedang Berat Sangat berat
1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30
84,6 7,5 3,8 3,3 0,7
menit?
2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga
86,4 7,5 3,6 2,1 0,5
yang menjadi tanggung jawabnya
3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru,
seperti untuk menemukan tempat/alamat 87,4 6,8 3,3 2,0 0,5
baru, mempelajarai permainan, resep baru
4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan 88,6 7,0 2,5 1,5 0,5
keagamaan, sosial)
5. Seberapa besar masalah kesehatan yang
87,3 7,7 3,1 1,5 0,3
dialami mempengaruhi keadaan emosi?
6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam
87,8 7,4 2,8 1,6 0,4
melakukan sesuatu selama 10 menit?
Tabel 10.2 menunjukkan beberapa indikator disabilitas. Prevalensi yang diperoleh dari jawaban 3, 4, 5
pada salah satu dari 12 komponen disabilitas menunjukkan 12,7 persen penduduk mengalami kesulitan.
Kota Sabang merupakan kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi, sedangkan Kota Langsa terendah.
Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari tidak dapat berfungsi optimal karena disabilitas. Rata-
rata penduduk Aceh tidak dapat berfungsi optimal selama 6.02 hari karena disabilitas. Tertinggi di
Lhokseumawe dan terendah di Aceh Singkil.
Tabel 10.2
Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Rerata hari produktif hilang
Kabupaten/Kota Prevalensi
Total Tidak mampu Masih mampu
Simeulue 21,8 8,25 0,95 7,31
Aceh Singkil 31,2 3,14 1,02 2,12
Aceh Selatan 9,3 7,62 3,92 3,70
Aceh Tenggara 5,3 3,39 1,86 1,53
Aceh Timur 15,8 7,27 3,48 3,79
Aceh Tengah 19,4 5,38 1,19 4,20
Aceh Barat 10,2 5,83 3,66 2,16
Aceh Besar 4,6 6,21 3,12 3,09
Pidie 14,1 5,31 3,06 2,25
Bireuen 18,1 6,19 2,80 3,39
Aceh Utara 12,5 7,06 1,40 5,67
Aceh Barat Daya 6,2 10,41 2,86 7,56
Gayo Lues 6,1 5,78 2,48 3,30
Aceh Tamiang 17,6 5,38 1,15 4,23
Nagan Raya 13,0 4,18 1,28 2,89
Aceh Jaya 11,6 5,15 2,82 2,33
Bener Meriah 22,3 4,06 0,72 3,34
Pidie Jaya 12,5 7,90 2,56 5,35
Kota Banda Aceh 5,6 6,30 2,36 3,94
Kota Sabang 37,6 3,91 1,47 2,44
Kota Langsa 4,2 7,52 2,64 4,88
Kota Lhokseumawe 9,2 11,24 3,22 8,02
Kota Subulussalam 13,6 3,66 2,18 1,48
Aceh 12,7 6,02 2,27 3,75
Berdasarkan tempat tinggal, dibandingkan wilayah perdesaan, penduduk di wilayah perkotaan memiliki
prevalensi atau masalah disabilitas lebih rendah. Perempuan mengungguli laki-laki pada indikator
masalah disabilitas. Makin tinggi kelompok umur makin tinggi masalah disabilitas, dan kelompok usia 75
tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Sedangkan pada
karakteristik tingkat pendidikan semakin rendah pendidikan maka semakintinggi juga masalah disabilitas
(Tabel 10.3)
Tabel 10.3
Indikator disabilitas menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Tidak ada masalah Masalah
Umur
15-24 tahun 95,1 4,9
25-34 tahun 92,4 7,6
35-44 tahun 89,4 10,6
45-54 tahun 83,8 16,2
55-64 tahun 71,8 28,2
65-74 tahun 50,9 49,1
75+ tahun 36,6 63,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 89,7 10,3
Perempuan 84,9 15,1
Pendidikan KK
Tidak sekolah 62,4 37,6
Tidak tamat SD 75,5 24,5
Tamat SD 83,9 16,1
Tamat SMP 90,7 9,3
Tamat SMA 92,7 7,3
Tamat PT 93,1 6,9
Pekerjaan KK
Tidak Bekerja 85,9 14,1
Pegawai 92,2 7,8
Wiraswasta 90,7 9,3
Petani/nelayan/buruh 86,4 13,6
Lainnya 89,1 10,9
Tempat Tinggal
Perkotaan 89,5 10,5
Perdesaan 86,4 13,6
Tabel 11.1
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gangguan mental emosional terbanyak pada populasi dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil indeks
kepemilikan terendah. Terdapat peningkatan angka gangguan mental emosional yang sejalan dengan
pertambahan usia. Sedangkan untuk karakteristik pendidikan didapati bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan, semakin tinggi gangguan mental emosional. (Tabel 11.4)
Tabel 11.4
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun
(berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Gangguan mental emosional (%)
Kelompok umur (tahun)
15 – 24 4,2
25 – 34 4,5
35 – 44 7,0
45 – 54 8,6
55 – 64 11,0
65 – 74 13,5
75+ 21,5
Jenis kelamin
Laki-laki 4,3
Perempuan 8,8
Pendidikan
Tidak sekolah 16,7
Tidak Tamat SD/MI 12,2
Tamat SD/MI 8,1
Tamat SMP/MTS 5,5
Tamat SMA/MA 4,5
Tamat D1-D3/PT 2,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 7,8
Pegawai 2,7
Wiraswasta 4,3
Petani/nelayan/buruh 6,9
Lainnya 5,7
Tempat tinggal
Perkotaan 5,0
Perdesaan 7,3
Cakupan pengobatan yang ditanyakan kepada responden adalah cakupan terhadap pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi strata 1, 2 dan
3. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan sesuai PP No 36 Pasal 2. Tahun 1996
tentang tenaga kesehatan.
Secara nasional, cakupan pengobatan RT yang mempunyai ART yang mengalami ganguan jiwa di
Provinsi Aceh sebesar 54,0 persen, yang berarti lebih dari 50 RT pernah membawa ART yang
mengalami gangguan jiwa untuk mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan.
Tabel 11.5 memperlihatkan cakupan pengobatan gangguan mental emosional. Subjek yang dianalisis
yaitu subjek yang diidentifikasi mengalami gangguan mental emosional saat diwawancara. Subjek
ditanyakan mengenai pengobatan yang pernah dilakukan dan pengobatan dalam 2 minggu terakhir.
Individu yang mengalami gangguan mental emosional sekitar 35,5 persen pernah melakukan pengobatan
dan sekitar 18,5 persen melakukan pengobatan dalam waktu 2 minggu terakhir. Kabupaten Aceh Besar
merupakan kabupaten yang memiliki cakupan tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya di Aceh untuk
pengobatan gangguan mental emosional baik yang pernah (62,1%) maupun yang melakukan
pengobatan 2 minggu terakhir (42,4%). Sedangkan Kota Subulussalam merupakan yang terendah dalam
hal cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional baik yang pernah (16,2%) maupun yang
melakukan pengobatan 2 minggu terakhir (2,2%).
Tabel 11.5
Proporsi cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
memperlihatkan bahwa persentase cakupan pengobatan seumur hidup menurut umur semakin tua
semakin meningkat begitu pula semakin rendah tingkat pendidikan semakin meningkat. Sedangkan
dalam 2 minggu terakhir, persentase paling tinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 tahun dan
pendidikan tamat SD. Perempuan, tempat tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan ekonomi
menengah bawah memiliki presentase cakupan pengobatan lebih banyak baik pada pengobatan seumur
hidup maupun 2 minggu terakhir.
Tabel 11.6
Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Cakupan pengobatan gangguan mental emosional
Karakteristik
Seumur hidup 2 minggu
Kelompok Umur (tahun)
15 – 24 1,2 11,2
25 – 34 1,9 18,9
35 – 44 2,6 19,4
45 – 54 3,5 24,0
55 – 64 4,6 20,5
65 – 74 4,6 18,1
75+ 7,0 14,5
Jenis kelamin
Laki-laki 33,7 16,6
Perempuan 36,4 19,4
Pendidikan
Tidak Sekolah 39,1 16,4
Tidak Tamat SD 39,2 19,8
Tamat SD 37,2 21,1
Tamat SLTP 30,0 16,5
Tamat SLTA 32,8 16,5
Tamat D1-D3/PT 37,7 15,5
Pekerjaan
Tidak Bekerja 2,2 1,1
Pegawai 1,3 0,8
Wiraswasta 1,5 0,6
Petani/Nelayan/Buruh 2,5 1,3
Lainnya 1,7 0,9
Tempat Tinggal
Perkotaan 33,9 15,9
Perdesaan 35,6 19,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 34,2 16,9
Menengah Bawah 36,4 18,8
Menengah 30,6 17,1
Menengah Atas 37,8 17,9
Teratas 42,6 24,9
Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner
serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi nasional serta beberapa prevalensi
berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 11.1.
Gambar 11.1
Prevalensi gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Aceh,
Riskesdas 2007 dan 2013
Gambar 11.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional menurut
kelompok umur, jenis kelamin ART senada. Semakin lanjut usia semakin tinggi gangguan
mental emosional baik pada tahun 2007 tetapi tidak pada tahun 2013. Berdasarkan tingkat
pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, angka kejadian gangguan mental emosional
makin kecil terlihat pada tahun 2013. Menurut tempat tinggal pada Riskesdas 2007 dan 2013
prevalensi gangguan mental emosional di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007.
Hartono, I. G. 1995. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community
health centre in Indonesia. Thesis, University of Western Australia.
Lewis, G. H., Thomas, H. V., Cannon, M. & Jones, P. B. 2001. Epidemiological methods. In:
Thornicroft, G. & Szmukler, G. (eds.) Textbook of community psychiatry. New York: Oxford
University Press.
BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU
Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau
lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik,
perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin,
makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap,
kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung
terigu. Hasil lebih rinci untuk blok pengetahuan, sikap dan perilaku dapat dilihat pada Buku
Riskesdas dalam Angka pada halaman 185 sampai dengan 240 tabel 12.1 sampai 12.55.
Tabel 12.1, menunjukkan bahwa rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi
Aceh menunjukan 33,6 persen dan lima kabupaten/kota terendah adalah Pidie (11,4%), Pidie
Jaya (16,1%), kota Subulussalam (20,3%), Aceh Selatan (20,4%), dan Aceh Singkil (20,8%).
Rerata provinsi perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen. Lima kabupaten/kota terendah
adalah Gayo Lues(44,2%), Aceh Timur (51,5%), Aceh Tenggara (57,4%), Pidie (57,6%) dan
Aceh Barat Daya (58,8%).
Tabel 12.1
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benardalam buang air besar dan cuci
tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Berperilaku BAB Perilaku cuci tangan
Kabupaten/Kota
benar benar
Simeulue 62,7 33,3
Aceh Singkil 70,7 20,8
Aceh Selatan 63,9 20,4
Aceh Tenggara 57,4 35,2
Aceh Timur 51,5 28,4
Aceh Tengah 82,3 37,7
Aceh Barat 71,4 33,0
Aceh Besar 96,9 54,2
Pidie 57,6 11,4
Bireuen 80,1 28,4
Aceh Utara 62,4 41,0
Aceh Barat Daya 58,8 39,9
Gayo Lues 44,2 37,7
Aceh Tamiang 80,8 37,6
Nagan Raya 65,7 38,8
Aceh Jaya 85,1 35,3
Bener Meriah 90,3 35,1
Pidie Jaya 76,1 16,1
Kota Banda Aceh 99,1 50,4
Kota Sabang 88,0 22,4
Kota Langsa 93,7 29,6
Kota Lhokseumawe 91,4 40,7
Kota Subulussalam 66,0 20,3
Aceh 73,1 33,6
Berdasarkan analisis kecenderungan Gambar 12.1 terlihat bahwa rerata nasional proporsi
penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat tahun 2007 (16,0%)
menjadi 33,6 persen pada tahun 2013.
Kecenderungan penduduk yang berperilaku BAB dengan benar terlihat pada Gambar 12.2, yaitu
adanya peningkatan proporsi perilaku penduduk Indonesia umur ≥10 tahun yang semula 71,1
persen (2007) menjadi 82,6 persen (2013).
Gambar 12.2
Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013
Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua
kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan
mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan
metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan
sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.
Berdasarkan tabel 12.2 rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen,
terdiri dari perokok setiap hari (25%) dan kadang-kadang merokok (4,3%). Proporsi perokok saat
ini terbanyak di Aceh Jaya dengan perokok setiap hari 32,0 persen dan kadang-kadang
merokok 4,0 persen.
Tabel 12.2
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Perokok saat ini Tidak merokok
Kabupaten/Kota Perokok Perokok kadang- Mantan Bukan
setiap hari kadang perokok perokok
Simeulue 23,9 2,4 4,3 69,4
Aceh Singkil 23,3 3,6 4,5 68,5
Aceh Selatan 29,4 1,5 1,1 68,0
Aceh Tenggara 25,5 3,7 0,9 69,9
Aceh Timur 28,3 4,3 4,2 63,1
Aceh Tengah 29,9 3,6 1,9 64,6
Aceh Barat 27,7 3,7 1,7 66,8
Aceh Besar 17,9 6,9 3,0 72,2
Pidie 23,3 4,0 2,9 69,8
Bireuen 26,9 4,8 2,4 65,9
Aceh Utara 23,0 4,9 1,5 70,6
Aceh Barat Daya 29,5 3,5 1,6 65,4
Gayo Lues 30,8 2,4 1,7 65,1
Aceh Tamiang 25,4 3,5 2,9 68,2
Nagan Raya 17,3 4,4 1,3 77,0
Aceh Jaya 32,0 4,0 1,2 62,8
Bener Meriah 32,7 2,7 2,9 61,7
Pidie Jaya 21,9 6,4 3,4 68,3
Kota Banda Aceh 23,1 5,2 3,7 68,1
Kota Sabang 25,4 5,1 3,5 65,9
Kota Langsa 23,9 2,9 3,0 70,2
Kota Lhokseumawe 21,9 5,2 2,8 70,1
Kota Subulussalam 27,1 4,1 3,4 65,4
Aceh 25,0 4,3 2,5 68,2
Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari sudah mulai pada kelompok umur 10-14 tahun
sebesar 0,3 persen dan tertinggi pada umur 30-34 tahun sebesar 36,3 persen, proporsi perokok
setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (500 berbanding 4).
Berdasarkan jenis pekerjaan, wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai
proporsi terbesar (49,3%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap
hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. (Tabel 12.3)
Tabel 12.3.
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok
dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Perokok saat ini
Karakteristik
Perokok setiap hari Perokok kadang kadang
Umur
10-14 0,3 1,1
15-19 10,1 8,7
20-24 29,6 7,5
25-29 28,3 4,4
30-34 36,3 3,3
35-39 35,1 3,6
40-44 35,8 3,6
45-49 32,3 3,4
50-54 35,5 3,1
55-59 35,8 2,7
60-64 28,2 4,6
65+ 21,8 3,5
Jenis kelamin
Laki-laki 50,0 8,4
Perempuan 0,4 0,3
Pendidikan
Tidak sekolah 18,3 2,2
Tidak tamat SD 17,6 2,1
Tamat SD 24,3 3,2
Tamat SMP 25,6 5,4
Tamat SMA 32,1 6,0
Tamat PT 18,5 4,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 7,7 3,6
Pegawai 32,3 4,2
Wiraswasta 49,3 6,9
Petani/nelayan/buruh 47,6 4,8
Lain-lain 36,8 3,3
Tempat tinggal
Perkotaan 23,4 4,9
Perdesaan 25,6 4,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 26,7 4,5
Menengah bawah 25,8 3,9
Menengah 25,3 4,1
Menengah atas 24,3 4,4
Teratas 22,1 4,6
Tabel 12.4.
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Perokok
Simeulue 19,0
Aceh Singkil 18,4
Aceh Selatan 18,6
Aceh Tenggara 17,1
Aceh Timur 16,9
Aceh Tengah 15,4
Aceh Barat 16,8
Aceh Besar 11,2
Pidie 13,7
Bireuen 14,7
Aceh Utara 14,4
Aceh Barat Daya 16,6
Gayo Lues 13,3
Aceh Tamiang 14,6
Nagan Raya 19,1
Aceh Jaya 14,5
Bener Meriah 15,0
Pidie Jaya 13,8
Kota Banda Aceh 14,4
Kota Sabang 16,6
Kota Langsa 14,5
Kota Lhokseumawe 15,1
Kota Subulussalam 17,1
Aceh 15,3
Tabel 12.5 menunjukkan proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari
di Aceh sebesar 4 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan
mantan pengunyah tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau
setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Kabupaten Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat
(6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%).
Tabel 12.5
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Pengunyah tembakau saat ini Tidak mengunyah tembakau
Kabupaten/Kota
Setiap hari Kadang-kadang Mantan Tidak pernah
Simeulue 3,3 3,2 4,5 89,0
Aceh Singkil 4,4 4,4 1,6 89,6
Aceh Selatan 6,2 7,9 1,5 84,4
Aceh Tenggara 7,4 5,8 1,8 85,0
Aceh Timur 4,7 13,6 1,7 80,0
Aceh Tengah 2,2 2,5 0,4 95,0
Aceh Barat 6,6 17,0 1,6 74,8
Aceh Besar 2,9 3,9 1,7 91,5
Pidie 3,7 7,6 1,6 87,0
Bireuen 5,0 14,2 5,0 75,9
Aceh Utara 3,4 6,0 2,0 88,6
Aceh Barat Daya 6,1 7,9 2,6 83,4
Gayo Lues 6,2 10,1 6,5 77,2
Aceh Tamiang 1,9 0,9 0,8 96,4
Nagan Raya 4,0 6,8 1,1 88,1
Aceh Jaya 1,4 3,0 4,2 91,4
Bener Meriah 3,2 7,3 1,8 87,7
Pidie Jaya 3,3 2,5 1,3 92,9
Kota Banda Aceh 1,9 4,7 1,4 92,1
Kota Sabang 2,8 3,8 1,4 92,0
Kota Langsa 3,4 2,0 0,1 94,5
Kota Lhokseumawe 3,8 9,0 0,5 86,7
Kota Subulussalam 5,1 10,8 6,3 77,8
Aceh 4,0 7,3 2,0 86,7
Tabel 12.6 mengungkapkan proporsi mengunyah tembakau setiap hari berdasarkan karakteristik
responden menunjukkan bahwa menurut kelompok umur semakin bertambah umur proporsi
mengunyah tembakau semakin besar. Menurut jenis kelamin, perempuan (5,2,%) lebih banyak
mengunyah tembakau dibandingkan laki-laki (2,7%). Prevalesi pengunyah tembakau setiap hari
di perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan. Pekerjaan sebagai pegawai dengan proporsi
terendah (2,5%) dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Ada kecenderungan semakin
tinggi kuintil indeks kepemilikan proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.
Tabel 12.6
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan mengunyah tembakau dan karateristik,
Provinsi Aceh 2013
Pengunyah tembakau saat ini Tidak mengunyah tembakau
Karakteristik
Setiap hari Kadang-kadang Mantan Tidak pernah
Kelompok umur (tahun)
10-14 1,5 1,5 1,0 96,0
15-19 2,2 3,9 1,1 92,8
20-24 2,5 5,8 0,9 90,8
25-29 2,3 6,2 1,6 89,9
30-34 2,3 8,1 1,5 88,2
35-39 4,0 9,1 2,0 85,0
40-44 3,8 11,7 2,1 82,3
45-49 4,5 12,3 2,6 80,5
50-54 8,7 12,4 4,0 74,9
55-59 8,5 10,1 4,6 76,8
60-64 10,9 12,7 3,1 73,3
65+ 14,2 9,5 7,1 69,1
Jenis kelamin
Laki-laki 2,7 8,4 2,2 86,6
Perempuan 5,2 6,2 1,8 86,8
Pendidikan
Tidak sekolah 10,2 11,4 3,5 74,9
Tidak Tamat SD/MI 5,6 7,2 2,6 84,5
Tamat SD/MI 4,7 7,6 2,3 85,4
Tamat SMP/MTS 2,9 6,8 1,8 88,5
Tamat SMA/MA 2,7 7,3 1,6 88,5
Tamat D1-D3/PT 2,4 5,8 1,3 90,4
Pekerjaan
Tidak bekerja 3,7 4,9 1,7 89,7
Pegawai 2,5 8,3 1,7 87,5
Wiraswasta 3,6 9,7 2,1 84,6
Petani/nelayan/buruh 5,1 10,8 2,7 81,3
Lain-lain 3,9 8,9 2,5 84,7
Tempat tinggal
Perkotaan 3,0 6,7 1,6 88,7
Perdesaan 4,4 7,6 2,2 85,9
Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem
jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu
terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus
menerus melakukan aktivitas fisik yang membawa beban lebih dari 10 Kg secara terus menerus
selama miminum 10 menit sampai maksimum 6 jam selama sehari. Kegiatan aktivitas fisik
dikategorikan ‗cukup‘ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam
satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu.
Selain frekuensi, dilakukan pula pengumpulan data intensitas, yaitu jumlah hari melakukan
aktivitas ‘berat‘, ‘sedang‘ dan ‘berjalan‘. Perhitungan jumlah menit aktivitas fisik dalam seminggu
mempertimbangkan pula jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas diberi pembobotan,
masing-masing untuk aktivitas ‗berat‘ empat kali, aktivitas ‗sedang‘ dua kali terhadap aktivitas
‗ringan‘ atau jalan santai.
Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring dan lain sebagainya
dalam sehari-hari baik di tempat kerja, di rumah, di perjalanan (transportasi), termasuk waktu
berbincang–bincang, transportasi dengan kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau
nonton televisi tetapi tidak termasuk waktu tidur. Berikut proporsi aktifitas fisik ―cukup‖ dan
―kurang pada tabel di bawah ini. Perilaku sedentary yang merupakan salah satu perilaku duduk-
duduk dan berbaring namun tidak tidur merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit
penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup.
Dikatakan oleh seorang peneliti dari Harvard yang meneliti perilaku sedentary dengan nilai cut of
point<3 jam, 3-5,99 jam, > 6jam. Mereka yang melakukan perilaku sedentary setiap hari >3 jam
dapat megurangi umur harapan hidup 22 menit.
Dalam RISKESDAS 2013 ini kriteria aktifitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktifitas
fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang
tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. Berikut proporsi penduduk melakukan
aktifitas fisik ―aktif‖ dan ―kurang aktif‖ pada Tabel 12.7.
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Ada 23
kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata
Provinsi Aceh, Lima tertinggi adalah, penduduk Kota Banda Aceh (88,1%), Langsa (85,0%),
Nagan Raya (83,0%), Aceh Besar (81,4%) dan Kota Sabang (80,9%).
Tabel 12.7
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Aktifitas fisik
Kabupaten/Kota
Aktif Kurang aktif
Simeulue 36,6 63,4
Aceh Singkil 19,7 80,3
Aceh Selatan 23,7 76,3
Aceh Tenggara 38,7 61,3
Aceh Timur 28,8 71,2
Aceh Tengah 28,5 71,5
Aceh Barat 28,2 71,8
Aceh Besar 18,6 81,4
Pidie 20,2 79,8
Bireuen 28,9 71,1
Aceh Utara 33,2 66,8
Aceh Barat Daya 22,7 77,3
Gayo Lues 24,5 75,5
Aceh Tamiang 24,4 75,6
Nagan Raya 17,0 83,0
Aceh Jaya 30,8 69,2
Bener Meriah 32,1 67,9
Pidie Jaya 35,1 64,9
Kota Banda Aceh 11,9 88,1
Kota Sabang 19,1 80,9
Kota Langsa 15,0 85,0
Kota Lhokseumawe 21,9 78,1
Kota Subulussalam 25,3 74,7
Aceh 62,8 37
*) Kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu
Berdasarkan tabel 12.8 proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam
sebanyak 36,6 persen. Lima kabupaten/kota di atas angka provinsi adalah, Kota Banda Aceh
(56,3%), Simeulue (56,0%), Subulussalam (51,8%), Aceh Besar (49,3%) dan Pidie Jaya
(48,1%).
Tabel 12.8
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Aktifitas sedentari
Kabupaten/Kota
<3 jam 3- 5.9 jam ≥ 6 jam
Simeulue 36,4 56,0 7,6
Aceh Singkil 69,2 30,4 0,4
Aceh Selatan 78,2 20,8 1,1
Aceh Tenggara 65,6 30,1 4,3
Aceh Timur 66,0 29,1 4,9
Aceh Tengah 63,5 32,6 3,9
Aceh Barat 16,8 49,3 33,9
Aceh Besar 73,3 25,9 0,9
Pidie 33,2 41,6 25,2
Bireuen 50,1 43,0 6,9
Aceh Utara 50,6 38,3 11,1
Aceh Barat Daya 71,7 26,1 2,2
Gayo Lues 52,8 40,4 6,8
Aceh Tamiang 67,0 20,7 12,3
Nagan Raya 65,3 29,8 4,9
Aceh Jaya 40,3 39,0 20,7
Bener Meriah 49,7 44,9 5,5
Pidie Jaya 46,6 48,1 5,3
Kota Banda Aceh 29,8 56,3 13,9
Kota Sabang 50,3 43,3 6,4
Kota Langsa 43,8 41,5 14,7
Kota Lhokseumawe 21,7 34,0 44,2
Kota Subulussalam 34,7 51,8 13,5
Aceh 52,3 36,6 11,2
Tabel 12.9 Menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok umur
ada kecenderungan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam sehari menurun dengan semakin
bertambahnya umur, Proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam di daerah perkotaan (40,0%) lebih
besar dibandingkan perdesaan (35,2%), dan wanita lebih banyak daripada laki-laki. Perilaku
sedentari merupakan perilaku yang terkait dengan duduk-duduk, kemungkinan masyarakat
diperkotaan lebih banyak santai, kurang aktifitas dan menikmati TV, ngobrol. Relatif tidak
tampak perbedaan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam menurut jenis pekerjaan dan tingkat
kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 12.9
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Aktivitas sedentari
Karakteristik
<3 jam 3- 5.9 jam ≥ 6 jam
Kelompok umur (tahun)
10-14 44,5 41,5 14,1
15-19 46,6 41,6 11,8
20-24 51,8 38,7 9,5
25-29 52,6 36,7 10,7
30-34 56,4 34,4 9,1
35-39 58,2 32,3 9,4
40-44 59,5 31,0 9,5
45-49 57,1 33,4 9,4
50-54 57,8 32,2 10,0
55-59 57,2 32,6 10,2
60-64 50,7 37,2 12,1
65+ 41,4 37,7 20,9
Jenis kelamin
Laki-laki 54,6 35,2 10,2
Perempuan 50,0 37,9 12,1
Pendidikan
Tidak sekolah 47,9 36,0 16,1
Tidak tamat SD 49,3 37,0 13,7
Tamat SD 55,9 34,4 9,7
Tamat SLTP 52,5 36,9 10,6
Tamat SLTA 51,4 37,9 10,7
Tamat D1-D3/PT 49,2 38,5 12,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 47,5 38,8 13,7
Pegawai 49,8 38,9 11,3
Wiraswasta 55,0 34,0 11,0
Petani/buruh/nelayan 61,3 32,3 6,4
Lainnya 56,1 35,9 8,0
Tempat tinggal
Perkotaan 44,5 40,0 15,5
Perdesaan 55,4 35,2 9,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 52,5 35,9 11,6
Menengah bawah 55,1 34,1 10,8
Menengah 52,9 38,4 8,7
Menengah atas 50,9 36,7 12,4
Teratas 49,3 37,9 12,8
12.4 Perilaku konsumsi sayur dan buah
Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari
konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan
‗cukup‘ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per
hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ‘kurang‘ apabila konsumsi sayur dan/atau
buah kurang dari ketentuan di atas. Riskesdas 2007 dan 2013 mengumpulkan hal yang sama
sehingga dapat dilakukan analisis kecenderungan proporsi penduduk umur >10 tahun yang
mengonsumsi kurang sayur dan buah.
Pada gambar 12.3 terlihat bahwa secara nasional tidak terjadi perubahan yang berarti antara
data 2007 dan 2013. Perubahan yang menonjol seperti terjadi di Aceh Selatan, dengan proporsi
kurang konsumsi sayur dan buah semakin meningkat, dari 91,4 persen menjadi 99,4 persen.
Sedangkan di Langsa semakin menurun yaitu dari 98,8 persen menjadi 80,8 persen.
Gambar 12.3
Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013
Hampir 40 persen penduduk Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari sebanyak 37,9
persen (Gambar 12.4), tertinggi di Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%) (Tabel
12.10). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan
tertentu dapat dilihat pada buku II: Riskesdas 2013 dalam Angka
Gambar 12.4
Proporsi (%) penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu >1 kali sehari,
Provinsi Aceh 2013
Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas
2013. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit.
Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 12.5
Tabel 12.11 menunjukkan rerata penduduk Provinsi Aceh berperilaku mengonsumsi mie instant,
1 dari 10 penduduk mengonsumsi mie instan ≥1 kali per hari. Tujuh kabupaten/kota tertinggi
yang mengonsumsi mie instant ≥1 kali per hari diatas rerata provinsi adalah, Subulussalam
(23,2%), Aceh Besar (19,4%), Pidie (15,2%), Aceh Selatan (13,1%), Lhokseumawe (12,7%),
Pidie Jaya (11,5%) dan Nagan Raya (11,2%). Penduduk yang mengonsumsi mie basah ≥1
kaliper hari hanya 6,7 %, sedangkan 17,1% penduduk mengonsumsi roti ≥1 kaliper hari.
Lima belas persen penduduk Aceh mengonsumsi biskut ≥1 kaliper hari. Proporsi tertinggi di
atas rerata provinsi yaitu Kabupaten Aceh Besar (38,3%), Kota Lhokseumawe (27,6%), Aceh
Jaya (25,8%) dan Aceh Utara (19,2%).
Tabel 12.11
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Makanan Olahan Tepung ≥1 kali per hari
Kabupaten/Kota
Mi Instant Mi Basah Roti Biskuit
Simeulue 8,8 2,3 17,3 16,2
Aceh Singkil 4,3 1,6 15,1 13,3
Aceh Selatan 13,1 6,6 10,5 9,7
Aceh Tenggara 1,6 1,4 10,7 10,2
Aceh Timur 9,1 5,9 13,9 15,0
Aceh Tengah 6,0 4,8 11,8 17,0
Aceh Barat 8,4 5,6 14,4 12,5
Aceh Besar 19,4 10,1 42,3 38,3
Pidie 15,2 15,1 13,7 13,4
Bireuen 9,9 9,4 9,5 8,1
Aceh Utara 6,3 4,6 18,1 19,2
Aceh Barat Daya 7,4 4,2 4,4 3,4
Gayo Lues 2,4 2,0 6,5 6,3
Aceh Tamiang 4,0 0,9 7,4 3,9
Nagan Raya 11,2 9,8 18,3 18,1
Aceh Jaya 14,7 7,3 28,3 26,8
Bener Meriah 7,4 4,2 14,8 13,9
Pidie Jaya 11,5 9,6 11,8 11,6
Kota Banda Aceh 6,2 2,8 28,3 17,4
Kota Sabang 7,1 3,9 15,4 14,5
Kota Langsa 5,9 4,3 21,0 18,6
Kota Lhokseumawe 12,7 12,1 26,4 27,6
Kota Subulussalam 23,2 11,7 19,7 16,1
Aceh 9,6 6,7 17,1 15,9
12.7 Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)2 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup
perilaku individu dan gambaran rumah tangga, Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada
indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/
ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup
beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah, Indikator Rumah Tangga
meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas
lantai dengan jumlah penghuni (≥8m2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan
tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator,
sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8
indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8), PHBS diklasifikasikan ―kurang‖ apabila
mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang
dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita,
Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator
PHBS ditetapkan sebelumnya, Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat
Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI
ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6)
memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9)
melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013
untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10;
sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi
adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan
penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik
adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah
tangga yang punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai
balita.
Dalam RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria
PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator
individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok
dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga
(sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan
dalam PHBS RISKESDAS 2013 ini adalah sebagai berikut:
1. Persalinan oleh tenaga kesehatan,
Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga
kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun
waktu tahun 2010 sampai tahun 2013)
2. Melakukan penimbangan bayi dan balita,
Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai
riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang
dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab pemantauan pertumbuhan menyajikan data
frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan
terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab
pemantauan pertumbuhan menyajikan data frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah
antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan terakhir,
3. Memberikan ASI eksklusif,
Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara
individu baduta usia 0 – 23 bulan, Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini
adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir
saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan
berumur enam bulan atau lebih. Pada sub-bab pola pemberian ASI, data pemberian ASI
disajikan pada responden 0-6 bulan. Pada sub bab pola pemberian ASI, data pemberian
ASI disajikan pada responden 0-6 bulan,
4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun
saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar,
setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan
sebelum menyusui bayi (bilasedang menyusui),
5. Memakai jamban sehat,
Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan
jamban saja,
6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari,
Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau
sedang dalam tujuh hari seminggu. Pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan
individu, pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan individu,
7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari,
Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi
buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu,
8. Tidak merokok dalam rumah,
Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai
kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta
memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang
merokok,
9. Penggunaan air bersih,
Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumahtangga yang menggunakan
sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga.
10. Memberantas jentik nyamuk,
Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah
rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang
tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai,
Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 ini berbeda dengan indikator yang
digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan
kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS.
Gambar 12.6 menunjukkan bahwa proporsi RT yang memenuhi kriteria PHBS baik, menurut
kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebesar 19,6 persen. Kabupaten/kota dengan PHBS baik
tertinggi terdapat di Kota Banda Aceh (46,1%), diikuti Lhokseumawe (40,4%), Langsa (34,7%)
dan Kabupaten Aceh Jaya (23,5%). Rumah tangga dengan kriteria PHBS baik terendah terdapat
di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%), Gayo Lues (9,0%), Aceh Timur (11,0%) dan Kota
Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumahtangga dengan balita
dan >=5 indikator untuk rumahtangga tidak punya balita,
Gambar 12.6
Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 12.7 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan
(33,0%) dibandingkan di perdesaan (14,2%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik
meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 4,2%, teratas 32,2%).
Gambar 12.7
Daftar Pustaka
Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted
life table analysis. BMJ Open 2012;2: e000828. doi:10.1136/ bmjopen-2012-000828.
Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Pusat promosi Kesehatan, departemen Kesehatan RI, 2009.Rumah Tangga berperilaku hidup
bersih dan sehat
World Health Organization, Regional Office for South East Asia 2012.Global Adult Tobacco
Survey:Indonesia Report 2011
World Heatlh Organization. 2012. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis
Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and
Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps
World Heatlh Organization. 2012. WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core
and expanded). Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases
and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps.
BAB 13. PEMBIAYAAN KESEHATAN
Tabel 13.1 menunjukkan 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan.
Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi
kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,4 dan 0,5
persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (17,7%). Dari
data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk
kesehatan yang paling rendah dengan 25 persen penduduk tidak punya jaminan dan dibawah
rata-rata provinsi.
Tabel 13.2
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Jaminan Kesehatan
Karakteristik Askes/ Askes Tidak
Jamsostek Perusahaan Jamkesmas Jamkesda
Asabri Swasta punya
Kelompok umur (tahun)
0-4 6,6 1,7 0,4 0,6 40,4 43,7 8,4
5 -14 6,3 1,3 0,4 0,5 60,2 29,5 3,3
15-24 7,9 1,3 0,3 0,5 59,4 29,6 2,9
25-34 8,4 2,4 0,4 0,5 55,0 32,5 3,4
35-44 11,0 2,1 0,6 0,7 58,2 28,0 2,3
45-54 14,3 1,1 0,4 0,8 57,1 26,6 1,6
55-64 10,9 0,5 0,4 0,4 60,8 27,6 1,9
65-74 10,7 0,3 0,5 0,3 63,4 24,8 1,6
75+ 10,9 0,3 0,0 55,7 31,7 2,8
Pekerjaan
Tidak bekerja 8,0 1,3 0,4 0,6 60,0 28,9 2,6
Pegawai 53,1 8,3 1,6 2,2 18,4 18,5 2,9
Wiraswasta 6,5 1,1 0,9 0,3 50,7 40,0 3,2
Petani/nelayan/buruh 1,2 0,3 0,0 0,1 71,1 26,9 2,5
Lainnya 8,2 1,6 0,4 0,6 54,3 35,1 2,2
Tempat tinggal
Perkotaan 17,4 3,6 1,3 1,7 37,2 37,0 4,6
Perdesaan 5,4 0,7 0,1 0,1 64,4 28,3 2,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,6 0,2 0 0 75,4 23,1 2,2
Menengah bawah 1,7 1,1 0 0,1 70 25,8 2,6
Menengah 4,7 1,5 0,1 0,2 60,8 30,7 3,5
Menengah atas 13,2 2,7 0,3 0,5 45,1 36,7 4,3
Teratas 27,3 2,3 1,8 2,3 25,7 39,7 4,4
Gambar 13.1
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut
13.3 Rawat Jalan
Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau
utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya.
Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besaran biaya
merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan
median.
Gambar 13.2 memperlihatkan 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir
melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 28.000,00. Penduduk
Aceh Jaya merupakan kabupaten tertinggi yang melakukan rawat jalan (26,3%) dengan median
biaya sebesar Rp. 30.000,00 dalam satu bulan terakhir. Penduduk Kabupaten Simeulue
merupakan yang terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan (3,2%) dengan
pengeluaran rerata sebesar Rp. 50.000,00
Gambar 13.3
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 13.6 menggambarkan sebesar 1,5 persen balita memanfaatkan rawat inap. Kelompok
usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga
Tabel 13.6
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Rawat Inap
Karakteristik
% Rp
Kel umur (tahun)
0-4 1,5 200.000
5 -14 1,0 500.000
15-24 2,1 300.000
25-34 2,6 1.000.000
35-44 2,8 800.000
45-54 3,3 600.000
55-64 4,7 700.000
65-74 5,9 1.000.000
75+ 6,2 1.000.000
Tempat tinggal
Perkotaan 2,7 1.400.000
Perdesaan 2,2 500.000
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 1,7 1.400.000
Menengah bawah 2,5 500.000
Menengah 2,2 1.400.000
Menengah atas 2,3 500.000
Teratas 3,2 1.400.000
Tabel 13.7 menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik umur, tertinggi pada kelompok umur
<1 tahun menggunakan biaya sendiri (59,5%), jenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai
wiraswasta, tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sedangkan
pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun tertinggi (56,5%),
jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal di perdesaan dengan
kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Tabel 13.7
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Sumber Biaya Rawat Jalan
Karakteristik Biaya Askes/ Asuransi Jamkesma/ Sumber Lebih dr 1
Jamsostek Perusahaan
Sendiri Asabri Swasta Jamkesda Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 42,3 7,4 2,1 0,5 43,9 1,9 1,1 0,7
Perdesaan 45,1 1,9 0,6 0,1 51,0 0,1 0,4 0,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 38,9 0,2 0,6 58,6 0,6 1,1
Menengah bawah 43,9 1,0 0,5 53,4 0,1 0,2 0,9
Menengah 43,6 2,2 0,7 0,1 51,8 0,2 0,8 0,6
Menengah atas 46,2 6,1 1,8 0,4 43,1 1,2 0,4 0,8
Teratas 53,9 9,2 1,3 0,7 32,1 1,4 1,1 0,4
Gambar 13.5
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Aceh 2013
Tabel 13.8 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada jenis
fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan Askes, dan Jamkesmas/jamkesda lebih
banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari biaya sendiri lebih
banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan
Jamkesmas/Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber
biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri merata
pada semua kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 13.8
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Sumber Biaya Rawat inap
Karakteristik
Biaya Askes/ Asuransi Jamkesmas/ Sumber Lebih dr 1
Jamsostek Perusahaan
Sendiri Asabri Swasta Jamkesda Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 0,2 0,3 0,0 1,1 0,0 0,0 0,0
Perdesaan 0,3 0,0 0,0 0,0 1,0 0,0 0,0 0,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,3 0,0 0,7 0,0 0,0
Menengah bawah 0,3 0,0 0,0 1,2 0,1
Menengah 0,2 0,1 0,0 1,1 0,0 0,0
Menengah atas 0,2 0,1 0,0 0,0 0,9 0,0 0,0 0,0
Teratas 0,3 0,5 0,1 1,1 0,0 0,0 0,1
Daftar Pustaka
Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa Aksara. 1996
Gottret, Pablo and Schieber, George. Health Financing Revisited: A Practioner’s Guide. The
World Bank. Washington DC, 2006
Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
The World Health Report 2000: Health systems: Improving Performance. World Health
Organization, Geneva, 2000
The World Health report 2010: Health Systems Financing The Path To Universal Coverage.
World Health Organization, Geneva, 2010
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI
Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi tentang KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa
nifas dalam Blok Kesehatan Reproduksi.
Tujuan kesehatan reproduksi adalah mendapatkan informasi terkait dengan MDGs ke lima yang
berkaitan dengan upaya meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi,
antara lain;
1. Penggunaan KB
2. Riwayat kesehatan reproduksi seumur hidup; umur kawin pertama, umur melakukan
hubungan seksual pertama, umur saat hamil pertama, riwayat kehamilan seumur hidup
3. Cakupan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan masa nifas pada periode 1
Januari 2010 sampai saat wawancara.
4. Status kesehatan ibu hamil
Kesehatan reproduksi ditanyakan khusus pada perempuan usia 10 – 54 tahun.
Gambar 14.2
Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh secara umum,
adalah 45,9 persen yang terdiri dari 48,9 persen pengguna KB modern dan 0,6 persen
pengguna KB tradisional. Adapun penggunaan KB menurut kelompok umur terbanyak pada
kelompok umur 30-34 tahun (56,8%), sedangkan pada kelompok umur berisiko yaitu 45-49
tahun (24,2%) dan kelompok umur 15-19 tahun (44,8%) masih rendah.
b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas
Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD,
sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.
Gambar 14.3
Proporsi WUS Kawin yang menggunakan KB menurut jenis alat KB yang digunakan,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.3 di atas menunjukkan dominasi penggunaan jenis suntikan KB. Dari data jenis KB
tersebut selanjutnya dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas.
Gambar 14.4
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok
kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.4 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan
hormonal menurut provinsi. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Aceh Tenggara
(62,8%) dan paling rendah di Nagan Raya (30,8%). Sementara untuk proporsi alat KB non
hormonal paling tinggi di Banda Aceh (11,5%) dan paling rendah di Aceh Barat Daya (0,7%).
Tingginya penggunaan KB hormonal dipengaruhi oleh jenis KB suntikan yang besar.
Gambar 14.5
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka
waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.5 menunjukkan variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu
efektivitas (MKJP dan Non MKJP). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Gayo Lues
(59,7%) dan paling rendah di Nagan Raya (29,8%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP
paling tinggi di Banda Aceh (10,3%) sedangkan paling kecil adalah Pidie Jaya (1,2%).
Gambar 14.7
Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.7 menunjukkan bahwa 95,4 persen dari kelahiran yang mendapat ANC (K1).
Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode
trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang
antara 82,5 persen (Nagan Raya) dan 100 persen (Langsa dan Aceh Jaya). Untuk cakupan ANC
minimal 4 kali, Aceh Jaya (99,9%) sedangkan Langsa (84,9%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali
Gambar 14.8
Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.8 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator
untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan
kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC
(Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010).
Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan
ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu
hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu
hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator
ANC K4. Cakupan K1 ideal secara provinsi adalah 65,4 persen dengan cakupan terendah di
Nagan Raya (15,3%) dan tertinggi di Sabang (91,7%). Cakupan K4 secara provinsi adalah 70,4
persen dengan cakupan terendah adalah Maluku (41,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta
(86,0%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional
memperlihatkan bahwa terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan
ANC sesuai standar minimal (K4).
b. Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan
Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil
adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu.
Gambar 14.9
Proporsi pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC,
Indonesia 2013
Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut provinsi
dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Masyarakat dengan
karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan.
Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan,
pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan teratas.
Proporsi tempat mendapat layanan ANC menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi
dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat
kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA.
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program
terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan
tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka
meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan
yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan
penggunaan KB pasca persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Direktorat Bina
Kesehatan Ibu). Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada
lembar ―Amanat Persalinan‖ yang merupakan kependekan dari ―Menyambut Persalinan Agar
Aman dan Selamat‖ (Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang
dituliskan terkait perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB
yaitu :
1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin).
2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya
persalinan).
3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju
tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan).
4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan
5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
Gambar 14.11
Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar
amanat persalinan dari yang dapat menunjukkan buku KIA, Provinsi Aceh 2013
Hasil analisis menunjukkan bahwa 75,1 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa
menunjukkan hanya 30,9 persen. 213
Gambar 14.12 juga menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K dalam
lembar amanat persalinan menunjukkan isian penolong persalinan 23,0 persen, dana persalinan
12,2 persen, kendaraan/ambulans desa 11,1 persen, metode KB pasca salin 12,8 persen dan
9,9 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar
8,5 persen dan 76,4 persen tidak ada isian.
e. Cara persalinan
Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya
faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan
medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan
dengan komplikasi (Depkes, 2001). Riskesdas Aceh 2013 menanyakan proses persalinan yang
dialami. Gambar 14.12 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut
kabupaten/kota dan Gambar 14.13 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
10
15
20
25
30
5
0
Nagan Raya
Aceh Tengah
Pidie Jaya
Aceh Selatan
Gayo Lues
Bener Meriah
Aceh Utara
Aceh Tamiang
Aceh Jaya
Bireuen
Aceh Timur
Kota Subulussalam
Aceh Besar
Aceh Tenggara
Gambar 14.12
Aceh Singkil
ACEH
9,3
Pidie
Aceh Barat Daya
Simeulue
Kota Sabang
Aceh Barat
Kota Langsa
Proporsi persalinan sesar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.12
Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Aceh 2013
g. Tempat Persalinan
Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan
penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di
fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya
jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka
tidak dapat segera ditangani.
Gambar 14.13 menunjukkan 57,6 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat
Gambar 14.13
Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.14 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek
nakes, puskesmas/pustu) dan polindes/poskesdes serta di rumah menurut karakteristik. Pada
kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas)
lebih banyak melahirkan di rumah yang mencapai 45,0 persen. Sedangkan ibu dengan tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di
perkotaan paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan
rendah, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memilih
melahirkan dirumah.
h. Pelayanan Kesehatan Masa Nifas
Masa nifas merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi
Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagai besar kematian ibu terjadi pada masa nifas
sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu. Pelayanan Masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu
selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan
program pelayanan atau Kontak Ibu Nifas yang dinyatakan dalam indikator :
1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin
2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan
3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.
Gambar 14.15
Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas menurut kontak ibu nifas,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.18 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan
periode waktu setelah bersalin proporsi semakin menurun. Sekitar 85,5 persen ibu nifas terjadi
kontak dengan tenaga kesehatan pada dalam periode 3 hari setelah melahirkan. Kontak ibu
nifas dengan tenaga kesehatan berikutnya pada periode 7-28 hari setelah melahirkan menurun
menjadi 44,6 persen, sedangkan yang mendapat pelayanan ibu nifas pada periode 29-42 hari
setelah melahirkan turun menjadi 25,1 persen. Adapun ibu nifas yang mendapat pelayanan
kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 21,4 persen.
Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada
periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3
hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut provinsi (Gambar 14.16) yaitu tertinggi di
Pidie Jaya (99,5%) dan terendah di Nagan Raya (66,2%)
Gambar 14.16
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Gambar 14.17 memperlihatkan bahwa semakin
tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan makin besar, proporsi di perkotaan
lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur
saat bersalin dan pekerjaan.
Rincian data cakupan pelayanan KF menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
i. Pelayanan KB Pasca Salin
Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan
penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan. KB pasca salin adalah
penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan
sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013
menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari
setelah melahirkan.
Gambar 14.18 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Indonesia sebesar
59,6 persen dan bervariasi menurut provinsi, dengan rentang 26,0 persen (Papua) dan 73,2
persen (Bangka Belitung).
Gambar 14.18
Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010,
Jakarta
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin,
www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-
content/.../download.php?id=59
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.
Kemenkes RI, 2011. ―Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan‖, Jakarta.
Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012.
BAB 15. KESEHATAN ANAK
Tabel 15.2
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Panjang badan lahir
Kabupaten/Kota
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Simeulue 14,0 82,7 3,3
Aceh Singkil 8,8 85,5 5,7
Aceh Selatan 58,5 41,5
Aceh Tenggara 12,2 84,6 3,2
Aceh Timur 15,6 84,4
Aceh Tengah 33,6 66,4
Aceh Barat 4,1 92,8 3,0
Aceh Besar 4,0 92,9 3,2
Pidie 16,9 80,2 2,9
Bireuen 86,6 13,4
Aceh Utara 9,6 82,5 7,8
Aceh Barat Daya 8,1 91,9
Gayo Lues 16,4 82,3 1,3
Aceh Tamiang 44,0 46,7 9,3
Nagan Raya 36,3 63,7
Aceh Jaya 24,4 73,2 2,4
Bener Meriah 7,4 88,7 3,9
Pidie Jaya 19,7 57,1 23,2
Kota Banda Aceh 4,2 94,2 1,6
Kota Sabang 100,0
Kota Langsa 31,3 68,7
Kota Lhokseumawe 10,6 89,4
Kota Subulussalam 3,1 87,9 9,1
Aceh 13,7 82,2 4,1
Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik anak, pendidikan
KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 15.3.
Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas.
Persentase bayi lahir pendek pada anak laki-laki relatif lebih tinggi (14,0%) daripada anak
perempuan (13,3%).
Berdasarkan pendidikan terlihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan, semakin
rendah persentase anak lahir pendek. Namun, tidak demikian dengan kuintil kepemilikan. Bayi
lahir pendek pada kuintil kepemilikan teratas (15,2%) lebih tinggi bla dibandingkan anak lahir
Tabel 15.3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Ada catatan
Karakteristik
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Kelompok umur (bulan)
0–5 15,8 80,1 4,1
6 – 11 14,2 83,6 2,2
12 – 23 14,3 81,0 4,7
24 – 35 14,2 81,7 4,2
36 – 47 11,4 82,1 6,4
48 – 59 13,1 84,9 2,0
Jenis kelamin
Laki-laki 14,0 80,9 5,2
Perempuan 13,3 83,7 2,9
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 26,4 72,3 1,3
Tidak Tamat SD/MI 16,4 72,5 11,1
Tamat SD/MI 10,7 87,5 1,7
Tamat SMP/MTS 14,8 82,6 2,6
Tamat SMA/MA 14,1 79,6 6,3
Tamat D1-D3/PT 12,3 86,0 1,7
Pekerjaan
Tidak bekerja 19,2 69,2 11,6
Pegawai 13,7 79,7 6,6
Wiraswasta 15,5 81,1 3,4
Petani/nelayan/buruh 11,1 86,0 2,8
Lainnya 20,2 75,9 3,9
Tempat tinggal
Perkotaan 13,4 82,3 4,3
Perdesaan 13,8 82,2 4,0
6
5
4
3
2 1,5
1
0
Pidie Jaya
Aceh Jaya
Aceh Tamiang
Aceh Timur
Pidie
Kota Lhokseumawe
Aceh Tengah
Bener Meriah
Aceh Tenggara
Simeulue
Kota Subulussalam
Gayo Lues
ACEH
Nagan Raya
Kota Langsa
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Gambar 15.2
Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir < 2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 15.3 memperlihatkan persentase balita yang memiliki riwayat pendek dan BBLR
menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada
kelompok umur 48-59 bulan lebih tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Sedang balita umur
0-5 bulan persentasenya hanya berkisar satu persen. Informasi ini menunjukkan persentase
balita dengan riwayat lahir pendek dan BBLR ada penurunan. Persentase balita yang memiliki
riwayat lahir pendek dan BBLR pada laki-laki dan perempuan relatif sama yaitu lebih dari satu
persen.
6 5,4 5,4
5
4
3 2,7
2,3 2,3
2 1,5 1,6
1
1 0,7
0,3 0,4
0
Lainnya
Pegawai
Perkotaan
Tidak pernah sekolah
Tidak Tamat SD/MI
Menengah
Tamat SMA/MA
Petani/nelayan/buruh
12 – 23 bln
24 – 35 bln
36 – 47 bln
48 – 59 bln
0 – 5 bln
Tidak bekerja
Wiraswasta
Perdesaan
Menengah atas
Teratas
6 – 11 bln
Tamat D1-D3/PT
Perempuan
Laki-laki
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Terbawah
Menengah bawah
Gambar 15.3
Persentase anak dengan berat badan < 2500 gram dan panjang badan lahir < 48 cm menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR cenderung menurun seiring
dengan meningkatnya pendidikan kepala rumah tangga. Menurut pekerjaan, diperoleh
persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok
kepala rumah tangga yang tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh dibandingkan kepala rumah
tangga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri. Menurut tempat tinggal, balita yang tinggal tinggal
di perdesaan (1,6%) relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (1,2%). Berdasarkan kelompok
kuintil indeks kepemilikan, diketahui persentase yang relatif tinggi ada pada kelompok kuintil
indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah.
15.2 Kecacatan
Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami
kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi
termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk
anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:
a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan (Kaufman & Hallahan).
b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan
dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada
anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran,
baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan
berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu).
c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin
(pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal
sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang
dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian
crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak
antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih
lebar, garis tangan melengkung tidak terputus.
d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.
e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya.
f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.
Tabel 15.4 menunjukkan persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis
kecacatan yang tertinggi adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen. Tidak ada anak
yang mengalami tuna rungu dan tuna daksa 0,0. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir
sumbing mempunyai persentase yang sama (0,1 persen)
Tabel 15.4
Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan,
Provinsi Aceh 2013
10
0
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Gambar 15.4
Imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun
2007, 2010, dan 2013
Tabel 15.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio
4). DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten/kota. Berdasarkan
jenis imunisasi, persentase tertinggi adalah BCG (72,9%) dan terendah adalah DPT-HB 3
(52,9%). Kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis
imunisasi ada di Nagan Raya yaitu Polio 4 (12,2%), campak (22,2%), BCG (33,0%) dan HB-0
(34,5%). Sedang kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi tertinggi ada di Aceh Jaya
yaitu HB-0 (95,8%), BCG (92,6%), DPT-HB 3 (92,3%), Polio 4 (92,4%), dan campak (92,3%).
Tabel 15.5
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Jenis imunisasi dasar
Kabupaten/Kota
HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak
Simeulue 89,8 98,5 80,1 89,7 98,3
Aceh Singkil 74,3 72,0 57,8 57,0 66,2
Aceh Selatan 29,6 39,7 11,2 13,2 34,7
Aceh Tenggara 73,2 84,6 63,1 72,9 84,6
Aceh Timur 39,6 60,9 38,5 51,9 47,7
Aceh Tengah 79,7 97,5 94,7 94,7 94,8
Aceh Barat 73,9 67,6 58,0 54,1 77,2
Aceh Besar 77,5 76,1 60,1 66,2 68,0
Pidie 75,2 69,3 40,7 50,9 58,7
Bireuen 75,1 83,0 57,4 70,5 66,0
Aceh Utara 47,6 56,6 17,6 21,0 28,2
Aceh Barat Daya 38,1 38,1 21,0 38,1 54,6
Gayo Lues 95,7 95,7 85,9 91,8 88,4
Aceh Tamiang 68,9 89,1 85,7 85,7 84,8
Nagan Raya 34,5 33,0 12,2 22,2
Aceh Jaya 95,8 92,6 92,3 92,4 92,3
Bener Meriah 68,0 92,7 70,8 82,7 79,1
Pidie Jaya 52,9 69,1 63,2 43,6 71,9
Kota Banda Aceh 82,8 82,8 69,6 74,2 70,8
Kota Sabang 65,5 71,1 63,4 63,4 68,4
Kota Langsa 70,0 92,7 78,2 79,3 72,8
Kota Lhokseumawe 46,4 59,9 27,8 33,6 32,1
Kota Subulussalam 40,4 33,8 5,2 30,9 39,2
Aceh 64,8 72,9 52,9 58,3 62,4
Tabel 15.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan
imunisasi relatif lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Persentase semua
jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Terlihat
kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan,
semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Berdasarkan pekerjaan diperoleh kepala rumah tangga
yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok pekerjaan lainnya.
Tabel 15.6
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persentase imunisasi dasar
Karakteristik
HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak
Jenis kelamin
Laki-laki 65,2 73,7 54,6 57,9 63,3
Perempuan 64,4 72,1 51,1 58,7 61,5
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 69,9 77,5 37,6 39,7 66,8
Tidak Tamat SD/MI 61,3 67,5 43,9 45,3 56,7
Tamat SD/MI 47,8 58,0 40,2 43,3 42,5
Tamat SMP/MTS 69,6 78,2 56,8 54,1 66,1
Tamat SMA/MA 69,4 77,3 56,3 69,1 69,9
Tamat D1-D3/PT 81,3 85,6 71,6 78,5 78,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 65,4 80,1 51,0 54,8 61,5
Pegawai 78,2 86,8 68,4 78,9 81,8
Wiraswasta 70,9 70,0 49,1 53,3 58,4
Petani/nelayan/buruh 56,8 69,3 49,6 54,1 57,8
Lainnya 64,2 73,9 58,3 64,9 67,6
Tempat tinggal
Perkotaan 71,9 77,9 59,8 67,5 65,6
Perdesaan 61,8 70,8 50,0 54,4 61,1
Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 15.7. Cakupan
imunisasi dasar lengkap bevariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Aceh Jaya (92,4%)
dan terendah di Subulussalam dan Aceh Selatan (4,8%). Di Provinsi Aceh terdapat 19,7 persen
anak umur 12-59 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi
di kabupaten/kota Nagan Raya (64,8%) dan terendah di Simeulue (1,5%).
Tabel 15.7
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kelengkapan imunisasi dasar
Kabupaten/Kota
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Simeulue 74,6 23,9 1,5
Aceh Singkil 47,5 38,6 13,9
Aceh Selatan 4,8 42,6 52,6
Aceh Tenggara 57,1 27,5 15,4
Aceh Timur 16,3 64,7 19,0
Aceh Tengah 75,4 22,1 2,5
Aceh Barat 29,3 55,3 15,5
Aceh Besar 52,2 29,3 18,5
Pidie 32,4 51,0 16,7
Bireuen 39,0 44,1 17,0
Aceh Utara 14,0 49,9 36,1
Aceh Barat Daya 15,4 39,1 45,5
Gayo Lues 85,9 12,0 2,1
Aceh Tamiang 57,5 34,4 8,1
Nagan Raya 35,2 64,8
Aceh Jaya 92,4 3,4 4,2
Bener Meriah 49,3 46,6 4,1
Pidie Jaya 21,8 63,1 15,2
Kota Banda Aceh 63,4 22,4 14,2
Kota Sabang 53,7 26,6 19,7
Kota Langsa 43,6 53,1 3,2
Kota Lhokseumawe 14,6 46,8 38,5
Kota Subulussalam 4,8 44,8 50,4
Aceh 38,3 41,9 19,8
Tabel 15.8 menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase
imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (42,8%) daripada di perdesaan (36,5%), dan
terdapat 20,2 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama
sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks
kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkap.
Berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak
umur 12-59 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (61,7%) dan terendah pada
kelompok tamat SD/MI (26,7%). Kuintil indeks kepemilikan menengah atas memiliki cakupan
imunisasi dasar lengkap yang lebih tinggi (52,6%) dibandingkan dengan yang lainnya.
Berdasarkan pekerjaan, terlihat bahwa cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59 bulan
cenderung tinggi pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai.
Tabel 15.8
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Kelengkapan imunisasi dasar
Karakteristik
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Jenis kelamin
Laki-laki 39,4 40,0 20,6
Perempuan 37,3 43,9 18,8
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 35,7 53,8 10,5
Tidak Tamat SD/MI 31,4 45,9 22,7
Tamat SD/MI 26,7 41,6 31,7
Tamat SMP/MTS 37,0 49,2 13,8
Tamat SMA/MA 42,2 41,1 16,8
Tamat D1-D3/PT 61,7 25,1 13,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 33,6 49,4 17,0
Pegawai 57,8 30,5 11,7
Wiraswasta 31,9 49,1 19,0
Petani/nelayan/buruh 35,2 41,7 23,2
Lainnya 51,5 29,2 19,3
Tempat tinggal
Perkotaan 42,8 38,6 18,6
Perdesaan 36,5 43,3 20,2
Pada Tabel 15.9 diketahui persentase tertinggi alasan utama tidak diimunisasi adalah karena
keluarga tidak mengijinkan (43,0%), takut anak menjadi panas (32,0%) dan sibuk/repot (15,0%).
Tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD) memiliki persentase tinggi anak tidak pernah di
imunisasi karena alasan keluarga tidak mengijinkan. Berdasarkan tempat tinggal diketahui
persentase keluarga tidak mengijinkan anak di imunisasi lebih tinggi di perdesaan (45%)
daripada di perkotaan (37,7%).
Pada balita yang tidak diimunisasi karena alas an takut anak menjadi panas, terlihat bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, persentase anak yang tidak di imunisasi
semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena alasan takut anak
Tabel 15.9
Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Alasan tidak pernah imunisasi
Karakteristik Takut anak Anak Tidak tahu Tempat
Keluarga tidak Sibuk/
menjadi sering tempat imunisasi
mengijinkan repot
panas sakit imunisasi jauh
Jenis kelamin
Laki-laki 47,5 32,6 11,6 2,9 4,6 12,8
Perempuan 37,5 31,3 4,3 1,2 7,8 17,8
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 73,6 26,4
Tidak Tamat SD/MI 72,1 7,2 6,4 14,3
Tamat SD/MI 36,9 32,5 7,0 3,9 8,9 11,3
Tamat SMP/MTS 63,2 16,4 6,1 6,1 20,4
Tamat SMA/MA 31,9 50,5 12,3 1,9 0,6 18,1
Tamat D1-D3/PT 49,9 16,1 34,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 34,5 10,3 49,9 5,3
Pegawai 42,5 30,4 6,0 33,0
Wiraswasta 43,7 50,5 5,3 5,5 4,3 11,3
Petani/nelayan/buruh 44,1 25,4 8,4 0,3 8,8 13,4
Lainnya 34,8 34,2 31,0
Tempat tinggal
Perkotaan 37,7 34,0 10,1 0,6 3,4 25,5
Perdesaan 45,0 31,2 7,6 2,7 7,1 11,0
90
80,2
80
70
60
50 47,1
40 35,3
30 26,1
20
10,1 9,5
10
0
Pernah Pernah KIPI bengkak KIPI kemerahan KIPI bernanah KIPI demam
imunisasi mengalami KIPI tinggi
Gambar 15.5
Persentase keluhan kejadian pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan,
Provinsi Aceh 2013
60
50
40 35,4
32,5
28,8
30 25,8 23,2
17,9
20
10
0
KN1 (6 – 48 KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 KN lengkap Tidak KN
jam) hari)
2010 2013
Gambar 15.6
Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap, Provinsi Aceh 2010 dan 2013
Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 72,3 persen pada Riskesdas 2013 untuk
Provinsi Aceh dan relatif lebih rendah dengan hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2010. Pada tahun
2013, kabupaten/kota dengan persentase KN1 tertinggi ada di Simeulue (95,7%) dan terendah
di Aceh Selatan (51,2%).
120
100
72,3 73,2
80
60
40
20
0
Kota Langsa
Kota Subulussalam
Bener Meriah
ACEH 2013
ACEH 2010
Aceh Besar
Simeulue
Nagan Raya
Kota Sabang
Kota Lhokseumawe
Gayo Lues
Aceh Tenggara
Pidie Jaya
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tamiang
Pidie
Aceh Singkil
Bireuen
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
Aceh Barat
Aceh Jaya
Gambar 15.7
Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel 15.10. Dari tabel
tersebut, persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin
menurun seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut
jenis kelamin anak relatif tidak berbeda sedangkan menurut tempat tinggal, persentase
kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula kunjungan
neonatal pada bayi berumur 6-48 jam namun tidak pada pada bayi berumur 3-7 hari dan 8-28
hari. Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal pada umur 6-48
jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok wiraswasta yaitu 77,6 persen pada KN1,
68,0 persen pada KN2, dan 38,0 persen pada KN3.
Tabel 15.10
Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Kunjungan Neonatal
Karakteristik
KN1 (6- 48 jam) KN2 (3–7 hari) KN3 (8–28 hari)
Kelompok Umur (bulan)
0–5 76.6 69.0 43.0
6 – 11 77.2 70.0 34.2
12 – 23 76.0 66.3 34.6
24 – 35 74.2 65.2 33.7
36 – 47 74.1 64.5 36.1
48 – 59 71.6 62.1 32.1
Jenis Kelamin
Laki-laki 75.0 65.9 36.0
Perempuan 74.0 64.9 33.8
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 62.3 67.2 35.7
Tidak tamat SD 74.9 61.8 29.5
Tamat SD 68.3 61.6 32.0
Tamat SMP 77.2 67.4 35.2
Tamat SMA 78.3 68.2 36.8
Tamat D1/D2/D3/PT 74.1 63.7 40.1
Pekerjaan
Tidak bekerja 71.7 57.8 35.4
Pegawai 77.0 67.1 35.6
Wiraswasta 77.6 68.0 38.0
Petani/Nelayan/Buruh 72.3 64.4 33.9
Lainnya 70.9 60.6 24.9
Tempat Tinggal
Perkotaan 78.1 64.5 28.5
Perdesaan 73.0 65.8 37.5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 62.7 55.9 24.2
Menengah bawah 76.9 68.3 36.0
Menengah 76.7 66.7 38.7
Menengah Atas 75.1 66.9 37.2
Teratas 80.6 68.8 38.0
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi
berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali
yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan
kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut
kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.8.
Gambar 15.8 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap
ada sebesar 32,5 persen pada Provinsi Aceh tahun 2013, lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 2010 (25,8%). Persentase kunjungan neonatal lengkap tahun 2013 di Provinsi Aceh
tertinggi di Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Sabang (10,2%).
80
70
60
50
40 32,5
25,8
30
20
10
0
Kota Subulussalam
Kota Langsa
Kota Sabang
Bener Meriah
Nagan Raya
Aceh Besar
Simeulue
Gayo Lues
ACEH 2010
ACEH 2013
Pidie Jaya
Aceh Tenggara
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Aceh Tamiang
Aceh Tengah
Aceh Selatan
Bireuen
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
Aceh Barat
Aceh Jaya
ACEH 2010 ACEH 2013
Gambar 15.8
Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota,
Riskesdas 2010 dan 2013
Tabel 15.11 menunjukkan bahwa persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak laki-laki
lebih tinggi dibanding anak perempuan. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal
lengkap di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis
pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan
wiraswasta kemudian diikuti oleh jenis pekerjaan pegawai.
Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring
dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis
pekerjaan tidak bekerja (27,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (20,3%).
Tabel 15.11
Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Kunjungan neonatal
Karakteristik
Tidak pernah KN KN tidak lengkap KN lengkap
Kelompok umur (bulan)
0–5 17,4 44,2 38,5
6 – 11 19,8 48,9 31,3
12 – 23 21,9 46,2 31,9
24 – 35 24,2 43,6 32,2
36 – 47 23,9 42,3 33,8
48 – 59 27,1 42,7 30,1
Jenis kelamin
Laki-laki 22,5 44,1 33,3
Perempuan 24,0 44,4 31,6
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 30,0 39,9 30,1
Tidak Tamat SD/MI 23,9 48,6 27,5
Tamat SD/MI 27,8 43,6 28,6
Tamat SMP/MTS 21,0 46,3 32,6
Tamat SMA/MA 20,8 43,9 35,4
Tamat D1-D3/PT 22,7 39,7 37,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 27,2 40,1 32,7
Pegawai 20,3 46,3 33,5
Wiraswasta 20,5 43,5 36,0
Petani/nelayan/buruh 25,1 43,9 31,0
Lainnya 27,7 48,9 23,4
Tempat tinggal
Perkotaan 20,2 53,2 26,6
Perdesaan 24,5 40,7 34,9
70
61,4
60
50,3
50
40
30 25,8 26,4
20
7,9 9,3
10 5 6,6 5,5
1,7
0
< 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam
2010 2013
Gambar 15.9
Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan,
Provinsi Aceh 2010 dan 2013
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota
disajikan pada Tabel 15.13. Persentase propinsi proses mulai menyusu kurang dari satu jam
(IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang
(87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%).
Tabel 15.13
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 15.10 menampilkan persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan < 1 jam
(IMD) menurut karakterisitik. Proses mulai menyusui <1 jam menurut kelompok umur tidak
70
60
50
40
30
20
10
0
6 – 11 bln
Tidak tamat SD
Wiraswasta
Pegawai
12 – 23 bln
Menengah Atas
Teratas
Laki-laki
Tamat D1/D2/D3/PT
Tidak bekerja
Perkotaan
Menengah
Tamat SD
Perdesaan
Menengah bawah
0 – 5 bl
Perempuan
Tamat SMP
Tidak pernah sekolah
Tamat SMA
Lainnya
Terbawah
Petani/Nelayan/Buruh
Gambar 15.10
Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan <1 jam (IMD) menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan
kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.
Gambar 15.11menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada 6-59
bulan menurut kabupaten/kota pada tahun 2007 dan 2013. Cakupan pemberian vitamin A
menurun dari 74,9 persen (2007) menjadi 73,8 persen (2013). Persentase anak umur 6-59
bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir di Provinsi Aceh sebesar
73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya
(49,4%).
120
100
73,8 74,9
80
60
40
20
0
Kota Subulussalam
Kota Sabang
Kota Langsa
Simeulue
Bener Meriah
Nagan Raya
Aceh Besar
ACEH
Gayo Lues
ACEH
Kota Lhokseumawe
Aceh Tenggara
Pidie Jaya
Aceh Tamiang
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Pidie
Aceh Timur
Aceh Singkil
Bireuen
Aceh Tengah
Aceh Utara
Aceh Jaya
Aceh Barat
2017 2013
Gambar 15.11
Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan,
Provinsi Aceh 2007 dan 2013
40,2
40 35,6
32
30 27,8
20 17
10
0
≥ 4 kali 1 – 3 kali Tidak Pernah
2007 2013
Gambar 15.12
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan
terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
100
80
60 47,3
40
20 32
0
Pidie Jaya
Kota Sabang
Aceh Tamiang
Aceh Barat
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Pidie
Aceh Jaya
Aceh Tengah
Aceh Utara
Bireuen
Aceh Singkil
Aceh Tenggara
Kota Subulussalam
Aceh Besar
Simeulue
Bener Meriah
ACEH
Aceh Barat Daya
Nagan Raya
Gayo Lues
Aceh Selatan
Kota Langsa
2007 2013
15.9 Sunat Perempuan
Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur
ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang persentase orang yang menyarankan untuk
melakukan sunat dan persentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan
lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota
ditampilkan pada Gambar 15.14. Provinsi Aceh persentase pernah disunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun sebesar 67,1 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika
umur 1-4 tahun (66,9%). Menurut kabupaten/kota (Gambar 15.15), persentase tertinggi di
Kabupaten Gayo Lues (90,3%) dan terendah di Kota Subulussalam (30,4%).
Gambar 15.14
Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika di sunat,
Provinsi Aceh 2013
100 90,3
80 67,1
60
40
20
0
Kota Langsa
Kota Subulussalam
ACEH
Simeulue
Bener Meriah
Aceh Besar
Nagan Raya
Kota Sabang
Gayo Lues
ota Lhokseumawe
Pidie Jaya
Aceh Tenggara
Aceh Barat Daya
Aceh Tengah
Aceh Singkil
Aceh Timur
Pidie
Aceh Tamiang
Bireuen
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Jaya
100
74,8 72,6 75,1
80 67,7
65,6 63,8 60,4
60
40
20
0
Tamat SMP
Tamat SMA
Lainnya
Tidak pernah sekolah
Pegawai
Tidak tamat SD
Tamat SD
Perkotaan
Menengah
Menengah Atas
Wiraswasta
Teratas
Tamat D1/D2/D3/PT
Tidak bekerja
Petani/Nelayan/Buruh
Perdesaan
Terbawah
Menengah bawah
Gambar 15.16
Persentase ana perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ICF International 2013. Survei Demografi
dan Keshatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu
ekslusif. Jakarta. 2012
United Nations Children‘s Fund World Health Organization, Low Birthweight: Country, regional
and global estimates. UNICEF, New York, 2004
World Health Organization. Indicators for assessing infant and young child feeding practices part
2: measurement. Geneva. 2010
BAB 16. STATUS GIZI
Pada Riskesdas 2013, status gizi penduduk disajikan dalam 5 (lima) bagian yang terdiri dari 1)
Status Gizi Balita, 2) Status Gizi anak umur 5 – 18 tahun, 3) Status gizi penduduk dewasa, 4)
Risiko Kurang Energi Kronis dan 5) Wanita Hamil Risti Jumlah responden yang dianalisis terdiri
dari 5.485 anak balita (indikator BB/U, BB/TB dan TB/U), 11.960 anak umur anak umur 5 – 12
tahun, 4.856 anak umur 13 – 15 tahun, 4.225 anak umur 16 – 18 tahun, 58.225 orang dewasa
untuk data obesitas sentral, dan 21.796 Wanita Usia Subur (WUS), dan 593 ibu hamil.
16.1. Status gizi anal balita
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan
anak ditimbang dengan menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang
dan tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel
BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan
BB/TB.
1. Cara Penilaian Status Gizi Balita
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita
dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku
antropometri balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score dari masing-masing
indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :
Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:
Berat Kurang : Istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)
Pendek : Istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (Stunting)
Kurus : Istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (Wasting)
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut
karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat
badan yang rendah dapat disebabkan karena pendek (kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (akut).
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku
kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat jdigunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif
pada saat dewasa (Teori Barker).
Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis.
Sebagai contoh adalah anak kurus dan pendek.
Gambar 16.1 menyajikan prevalensi berat kurang (underweight) menurut kabupaten/kota dan
provinsi. Dapat dilihat bahwa secara propinsi, prevalensi berat kurang pada tahun 2013 adalah
26,3 persen, terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang. Jika dibandingkan
dengan angka prevalensi Provinsi Aceh tahun 2007 (26,5%) relatif tidak berbeda namun, bila
dibandingkan dengan tahun 2010 (23.7%) terlihat ada peningkatan prevalensi berat kurang.
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 10,7 persen pada tahun 2007, 7,1
persen pada tahun 2010, dan 8,3 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang ada
peningkatan dimana pada tahun 2007sebesar 15,8 persen menjadi 18,4 persen pada tahun
2013
Diantara 23 kabupaten/kota di Aceh, 11 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi berat kurang di
atas angka prevalensi provinsi yaitu berkisar antara 27,7 persen sampai dengan 35,5 persen.
Urutan ke 11 Kabupaten/Kota tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Aceh
Timur (2) Simeulue, (3) Pidie, (4) Aceh Utara, (5) Aceh Barat, (6) Subulussalam, (7) Pidie Jaya,
(8) Aceh Barat Daya, (9) Aceh Selatan, (10) Bireun dan (11) Nagan Raya. Menurut WHO 20103
masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/U berat kurang pada
prevalensi antara 20 persen - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi
berat kurang lebih besar atau sama dengan 30 persen.
30 26,5 26,3
23,7
25
20
15
10
0
2007 2010 2013
Gambar 16.1
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Provinsi Aceh tahun 2007, 2010 dan
2013
Gambar 16.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh
2013 sebesar 41,5 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (39,0%).
Namun bila dibanding dengan tahun 2007 (44,6%) relatif ada penurunan. Prevalensi pendek
sebesar 41,5 persen terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek. Pada
tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 26,9 persen tahun 2007
dan 24,2 persen tahun 2010. Prevalensi pendek menurun dari 23,5 persen pada tahun 2007
menjadi 21,4 persen tahun 2013.
Terdapat 10 kabupaten/kota yang mempunyai angka prevalensi diatas angka Provinsi Aceh
dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Aceh Tengah, (2) Pidie, (3) Aceh
Barat Daya, (4) Simeulue, (5) Aceh Timur, (6) Subulussalam, (7) Bener Meriah, (8) Aceh
Tamiang, (9) Aceh Utara dan, (10) Aceh Selatan.
Menurut WHO 20101, masalah kesehatan masyarakat dianggap prevalensi tinggi bila prevalensi
kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas atau sama dengan
40 persen. Sebanyak 8 kabupaten/kota termasuk kategori prevalensi tinggi, yaitu (1) Pidie Jaya
(2) Bireun, (3) Aceh Timur, (4) Kota Sabang, (5) Aceh Besar, (6) Aceh Jaya, (7) Nagan Raya
dan (8) Banda Aceh
60
44,6
41,5
50 39
40
30
20
10
0
2007 2010 2013
Gambar 16.2
Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <- 2SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013
Gambar 16.3 menyajikan prevalensi kekurusan menurut kabupaten/kota. Salah satu indikator
untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan
sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi sangat kurus tingkat Provinsi
Aceh tahun 2013 sebesar 6,1 persen relatif tidak berbeda dengan tahun 2010 (6,3%) dan
menurun bila dibandigkan tahun 2007 (9,2%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus di
Provinsi Aceh pada tahun 2013 sebesar 9,6 persen, meningkat dari 7,9 persen tahun 2010, dan
relatif sama dengan tahun 2007 yaitu 9,1 persen.
18,3
20 14,2 15,7
10
0
2007 2010 2013
Gambar 16.3
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <- 2 SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan
2013
30 26,9
24,2
21,4
20,1
20 16,6 18,4 17,7
16,2
15,8 14,8 15,2
10,7 9,8
9,2 9,1 9,6
10 7,1 7,9 7,9
6,3 6,1
0
gizi buruk gizi kurang sangat pendek sangat kurus kurus gemuk
pendek
BB/U TB/U BB/TB BB/TB
Tabel 16.1 di bawah ini menyajikan gabungan prevalensi balita menurut ke tiga indikator status
gizi yang digunakan yaitu BB/U (Gizi Buruk dan Kurang), TB/U (kependekan), BB/TB
(kekurusan). Indikator TB/U memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya kronis dan BB/TB
memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya akut.
Dua belas kabupaten/kota masih menghadapi permasalahan gizi kronis dan 4 kabupaten/kota
menghadapi permasalahan gizi akut dan kronis.
Tabel 16.1
Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
BB/U* TB/U BB/TB
Kabupaten/Kota (Buruk+Kurang) ( Sangat pendek+ (Sangat kurus+ Akut* Kronis**
Pendek) Kurus)
Simeulue 33,6 49,9 11,6 “ “”
Aceh Singkil 26 40,4 8,1 “”
Aceh Selatan 28,6 41,7 6,6 “”
Aceh Tenggara 18,4 29,3 3,5
Aceh Timur 35,5 39,3 2,4 “”
Aceh Tengah 16,5 59,3 3,6 “”
Aceh Barat 33 40,9 15,1 “ “”
Aceh Besar 22,1 36,5 5,3
Pidie 33,4 57,5 10,3 “ “”
Bireuen 28,4 39,4 7,0 “”
Aceh Utara 33,3 43,5 8,0 “”
Aceh Barat Daya 29,8 50,2 2,0 “”
Gayo Lues 25 49,7 2,9 “”
Aceh Tamiang 23 45 1,4 “”
Nagan Raya 27,7 33,3 19,7 “
Aceh Jaya 22,6 34,7 1,9
Bener Meriah 15,9 46,9 0,3 “”
Pidie Jaya 30,6 39,9 12,9 “ “”
Kota Banda Aceh 8,1 30,7 2,4
Kota Sabang 14,5 38,3 3,6 “”
Kota Langsa 18,1 29,3 5,6
Kota Lhokseumawe 20,7 27,5 4,9
Kota Subulussalam 31,7 48,5 6,0 “”
Aceh 26,3 41,5 6,1 “”
Memperhatikan jumlah sampel balita yang bisa dianalisis sampai tingkat kabupaten/kota, uraian
berikut ini mengkaji urutan (rangking) dari yang terbaik sampai yang terburuk terhadap seluruh
kabupaten/kota.
Berdasarkan BB/U: underweight (gabungan gizi buruk + gizi kurang berdasarkan BB/U),
Berdasarkan TB/U: stunting (gabungan antara sangat pendek dan pendek)
Berdasarkan BB/TB: wasting (gabungan antara sangat kurus dan kurus)
Terbaik Terburuk
1. Kota Banda Aceh 8,1% 1. Aceh Timur 35,57%.
2. Kota Sabang 14,5% 2. Simeulue 33,6%
3. Bener Meriah 15,9% 3. Pidie 33,4%
Berdasarkan TB/U (gabungan sangat pendek + pendek), gambarannya adalah sebagai berikut
Terbaik Terburuk
1. Kota Lhokseumawe 27,5% 1. Blora 59,3%
2. Kota Langsa 29,3% 2. Aceh Tengah 57,5%
3. Aceh Tenggara 29,3% 3. Aceh Baratdaya 50,2 %
Berdasarkan BB/TB (gabungan sangat kurus dan kurus) gambaran terbaik dan terburuk adalah
sebagai berikut:
Terbaik Terburuk
1. Kota Sabang 4,8% 1. Aceh Barat 29,7%
2. Aceh Tengah 5,6% 2. Nagan Raya 29,0%
3. Bener Meriah 6,8% 3. Aceh Utara 24,6%
Berdasarkan baku antropometri anak 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai Z_scoreTB/U dan
IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Z_score ini status gizi anak
dikategorikan sebagai berikut:
Gambar 16.5 menunjukkan bahwa secara provinsi prevalensi pendek pada anak umur 5-12
tahun adalah 34.3 persen 12,9% sangat pendek dan 21,4% pendek). Prevalensi sangat pendek
terendah di Lhoksemawe ( 6,7%) dan tertinggi di Sabang (26,1%).
60
50
40
21,4
30
20
10 12,9
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Kota Langsa
Simeulue
Aceh Besar
Kota Sabang
Aceh Tenggara
Gayo Lues
Nagan Raya
Pidie Jaya
ACEH
Kota Lhokseumawe
Aceh Singkil
Aceh Timur
Aceh Tengah
Pidie
Aceh Tamiang
Aceh Barat Daya
Bireuen
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Jaya
Gambar 16.5
Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Sebanyak 9 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi provinsi yaitu
dari Sabang, Pidie, Nagan Raya, Simeuleu, Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh
Besar dan Pidie Jaya.
Gambar 16.6 memperlihatkan bahwa secara provinsi prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada
anak umur 5-12 tahun adalah 12,5 persen, terdiri dari 3,9 persen sangat kurus dan 8,6 persen
kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Kota Banda Aceh (1,1%) dan paling tinggi di
25
20
15 8,6
10
5 3,9
0
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Simeulue
Aceh Besar
Aceh Tenggara
Gayo Lues
Nagan Raya
Kota Sabang
Pidie Jaya
Kota Lhokseumawe
Aceh Singkil
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Tamiang
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Jaya
Kota Langsa
ACEH
Sangat kurus Kurus
Gambar 16.6
Prevalensi kurus IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Secara provinsi masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 14,8 yang terdiri
dari gemuk 8,9 persen dan sangat gemuk (obesitas) 5,9 persen. Prevalensi gemuk terendah di
Aceh Timur (3%) dan tertinggi di Kota Sabang (40,1%). Sebanyak 13 kabupaten/kota dengan
prevalensi sangat gemuk di atas angka provinsi, yaitu Bireuen, Aceh Besar, Aceh Barat Daya,
Aceh Tengah, Aceh Selatan, Kota Langsa, Aceh Barat, Pidie, Aceh Tenggara, Nagan Raya,
Aceh Tamiang, Banda Aceh, dan Sabang.
50
40
30
20 5,9
10
8,9
0
Aceh Tamiang
Aceh Timur
Pidie Jaya
Kota Sabang
Aceh Singkil
Pidie
Aceh Jaya
Aceh Barat
Aceh Utara
Kota Lhokseumawe
Aceh Tengah
Aceh Tenggara
Aceh Besar
Kota Subulussalam
Simeulue
Bireuen
Bener Meriah
Gayo Lues
Nagan Raya
Aceh Selatan
ACEH
Kota Langsa
Gambar 16.7
2. Status gizi remaja umur 13–15 tahun
Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status
gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 16.8 menyajikan prevalensi pendek pada remaja
umur 13-15 tahun. Secara provinsi, prevalensi pendek pada remaja adalah 40,4 persen (17,5%
sangat pendek dan 22,9% pendek. Prevalensi sangat pendek terendah di Banda Aceh (5,0 %)
dan tertinggi di Simeuleu (38,1%). Sebanyak 10 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat
pendek diatas prevalensi provinsi yaitu Simeuleu, Sabang, Pidie, Aceh Utara, Nagan Raya,
Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Barat.
60
50 22,9
40
30
20
17,5
10
0
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Simeulue
Aceh Besar
Nagan Raya
Aceh Tenggara
Gayo Lues
Pidie Jaya
Kota Sabang
Kota Lhokseumawe
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Tamiang
Pidie
Bireuen
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Barat
Aceh Jaya
Kota Langsa
ACEH
Sangat pendek Pendek
Gambar 16.8
Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.9 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 12,9
persen terdiri dari 3,5 persen sangat kurus dan 9,4 persen kurus. Prevalensi sangat kurus
terlihat paling rendah di Aceh Tengah (2,0%) dan paling tinggi di Aceh Utara (25,6%). Sebanyak
8 kabupaten/kota yang angka prevalensi sangat kurus (IMT/U) di atas prevalensi provinsi yaitu
Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Timur, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya dan
Lhokseumawe.
Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Aceh sebesar 9,8 persen, terdiri
dari 8,2 persen gemuk dan 1,6 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 kabupaten/kota
dengan prevalensi gemuk di atas angka provinsi, yaitu Aceh Selatan, Aceh Tengah, Bener
Meriah, Aceh Singkil, Bireuen, Aceh Jaya, Gayo Lues, Simeulue, Nagan Raya, Lhokseumawe,
Subulussalam, Sabang, dan Langsa.
10
15
20
25
5
0
10
15
20
25
30
0
5
Simeulue
Simeulue
Aceh Singkil
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Tenggara
Aceh Timur
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Barat
Aceh Besar
Aceh Besar
Pidie Pidie
Bireuen Bireuen
Gemuk
Aceh Utara Aceh Utara
Aceh Barat Daya Aceh Barat Daya
Sangat kurus
Aceh Tamiang
Gambar 16.10
Nagan Raya Nagan Raya
Provinsi Aceh 2013
Kurus
sangat gemuk
Aceh Jaya Aceh Jaya
Bener Meriah Bener Meriah
ACEH
1,6
3,5
8,2
Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut
3. Status gizi remaja umur 16 -18 tahun
Gambar 16.11 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara provinsi prevalensi
pendek adalah 35,7 persen (8,6% sangat pendek dan 27,1% pendek). Sebanyak 12
kabupaten/kota dengan prevalensi pendek diatas prevalensi provinsi, yaitu Sabang, Aceh
Tenggara, Aceh Barat Daya, Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Jaya, Simeulue, Nagan Raya,
Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Aceh Barat.
50
40
27,1
30
20
10
8,6
0
Kota Subulussalam
Aceh Besar
Simeulue
Bener Meriah
ACEH
Gayo Lues
Kota Sabang
Pidie Jaya
Nagan Raya
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Aceh Tenggara
Aceh Tamiang
Pidie
Bireuen
Aceh Tengah
Aceh Singkil
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
Aceh Jaya
Aceh Barat
Kota Langsa
Gambar 16.11
Prevalensi pendek TB/U remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.12 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara provinsi
sebesar 8,5 persen (2,0% sangat kurus dan 6,5% kurus). Sebanyak 7 kabupaten/kota dengan
prevalensi kekurusan diatas provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Barat
Daya, Aceh jaya, Kota Sabang dan Kota Lhokseumawe.
25
20
15
11,1
10
0 2
Simeulue
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Aceh Besar
Gayo Lues
Kota Sabang
ACEH
Aceh Tenggara
Nagan Raya
Kota Lhokseumawe
Pidie Jaya
Aceh Tamiang
Pidie
Aceh Tengah
Aceh Timur
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Jaya
Aceh Barat
Kota Langsa
Sangat kurus Kurus
Gambar 16.12
Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Prevalensi gemuk pada remaja (IMT/U) umur 16–18 tahun sebanyak 6,9 persen terdiri dari 5,8
persen gemuk dan 1,1 persen obesitas. Kabupaten dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah
Kabupaten Aceh Tengah 12,5 persen dan terendah Aceh Tamiang (3,8%). Dua belas
kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas prevalensi provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh
Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya,
Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe dan Subulussalam (Gambar 16.13).
14
12
10
8 5,8
6
4
2
1,1
0
Kota Subulussalam
Simeulue
Aceh Besar
Nagan Raya
Bener Meriah
Pidie Jaya
Gayo Lues
Kota Sabang
Kota Lhokseumawe
Aceh Tenggara
Pidie
Aceh Tamiang
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Singkil
Aceh Barat Daya
Bireuen
Aceh Utara
Kota Banda Aceh
Aceh Selatan
Aceh Barat
Aceh Jaya
Kota Langsa
ACEH
4. Kecenderungan status gizi IMT/U remaja umur 16-18 tahun tahun 2010 dan 2013
Pada gambar 16.14 menyajikan kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun
2010 dan 2013, dan prevalensi sangat kurus naik dari 5,8 persen (tahun 2010) menjadi 6,5
persen (tahun 2013. Begitu juga prevalensi gemuk meningkat tajam dari 1,0 persen (2010)
menjadi 5,8 persen (2013).
7 6,5
5,8 5,8
6
4
2,8
3
2
2
1
1
0
Sangat kurus Kurus Gemuk
2010 2013
Gambar 16.14
Kecenderungan status gizi IMT/U umur 16-18 tahun, Provinsi Aceh 2010 dan 2013
1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks massa tubuh (IMT)
Status gizi menurut IMT dinilai dari rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT = Berat Badan(kg) ÷ Tinggi Badan (m)²
Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai
berikut:
Kategori kurus IMT < 18,5
Kategori normal IMT >=18,5 - <24,9
Kategori BB lebih IMT >=25,0 - <27,0
Kategori obese IMT >=27,0
Sembilan kabupaten/kota dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi provinsi,
yaitu Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Sabang,
Lhokseumawe, dan Subulussalam. Prevalensi penduduk obesitas terendah di Kabupaten Pidie
(0,0%) dan tertinggi di Pidie Jaya (4,1%). Sepuluh kabupaten/kota dengan prevalensi diatas
provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie
Jaya, Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam.
25
20
15 1,1
10 5,8
5
6,5
0
Kota Subulussalam
Simeulue
Bener Meriah
Aceh Besar
Gayo Lues
Kota Sabang
Pidie Jaya
Nagan Raya
Aceh Tengah
Aceh Tamiang
Aceh Tenggara
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Pidie
Bireuen
Aceh Selatan
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
Aceh Jaya
Aceh Barat
Kota Langsa
Kurus Gemuk ACEH
Obesitas
Gambar 16.15
Prevalensi status gizi kurus, gemuk, dan obesitas penduduk dewas (>18 tahun) menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Tabel 16.2 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa menurut status IMT di masing-masing
kabupaten. Secara provinsi dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun
adalah: 11,1 persen kurus, dan 27,9 persen kegemukan yang terdiri dari BB lebih 11,6 persen
dan 16,6 persen obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan
untuk kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk kegemukan adalah di Kota Sabang (39,1
%), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (15,8 %).
Tabel 16.2
Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Status gizi menurut IMT
Kabupaten/Kota Kurus Normal BB Lebih Obese
(%) (%) (%) (%)
Simeulue 9,4 72,0 10,3 8,2
Aceh Singkil 10,0 57,4 14,6 18,0
Aceh Selatan 15,3 61,4 9,8 13,5
Aceh Tenggara 4,6 64,5 13,4 17,5
Aceh Timur 13,4 58,4 11,2 17,1
Aceh Tengah 5,9 60,5 12,8 20,7
Aceh Barat 12,6 63,0 10,6 13,7
Aceh Besar 11,5 59,3 12,1 17,1
Pidie 12,0 58,6 12,6 16,9
Bireuen 13,2 57,1 11,7 18,0
Aceh Utara 12,8 64,5 9,9 12,7
Aceh Barat Daya 12,9 60,1 10,1 16,9
Gayo Lues 11,6 62,3 11,8 14,3
Aceh Tamiang 10,6 64,8 10,9 13,7
Nagan Raya 8,4 75,8 7,8 8,0
Aceh Jaya 14,1 59,4 10,5 15,9
Bener Meriah 9,8 58,8 12,8 18,7
Pidie Jaya 9,9 63,4 12,8 14,0
Kota Banda Aceh 6,4 60,5 13,8 19,2
Kota Sabang 4,4 56,5 13,1 26,0
Kota Langsa 10,1 57,3 12,6 20,1
Kota Lhokseumawe 11,3 53,3 12,9 22,5
Kota Subulussalam 8,3 61,8 9,8 20,1
Aceh 11,1 61,1 11,6 16,3
Tabel 16.3 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa kurus menurun seiring dengan
bertambahnya umur , namun kembali meningkat ketika berumur > 55 tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi penduduk laki-laki dewasa kurus lebih tinggi (12,1%) daripada perempuan
(10,1%). Prevalensi obesitas pada laki-laki lebih rendah (9,5 %) dibanding perempuan (23,0%).
Cenderung lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi obesitas cenderung lebih
tinggi pada kelompok penduduk dewasa yang berpendidikan lebih tinggi, dan berpenghasilan
tetap (pegawai). Semakin tinggi kuintil Indeks Kepemilikan rumah tangga prevalensi obesitas
Tabel 16.3
Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Status gizi menurut IMT
Karakteristik Kurus Normal BB Lebih Obese
(%) (%) (%) (%)
Kelompok umur
19 19,6 72,0 5,9 2,5
20 – 24 17,3 70,9 4,8 7,0
25 – 29 9,7 66,6 10,3 13,4
30 – 34 7,3 62,0 13,4 17,3
35 – 39 5,6 57,8 14,2 22,5
40 – 44 6,3 54,5 15,5 23,7
45 – 49 8,6 54,6 14,9 22,0
50 – 54 8,2 53,8 15,3 22,7
55 – 59 13,1 57,9 10,8 18,2
60 – 64 15,2 57,5 13,9 13,4
65 + 25,9 56,1 8,5 9,5
Jenis kelamin
Laki-laki 12,1 68,3 10,1 9,5
Perempuan 10,1 54,0 13,0 23,0
Pendidikan
Tidak sekolah 22,5 58,8 8,4 10,3
Tidak tamat SD/MI 15,6 60,6 9,6 14,1
Tamat SD/MI 10,9 62,3 12,0 14,8
Tamat SMP/MTs 9,4 60,5 11,5 18,5
Tamat SMA/MA 10,8 62,5 11,1 15,6
Tamat Diploma/PT 5,7 55,4 15,8 23,1
Status pekerjaan
Tidak bekerja 12,7 57,6 11,0 18,7
Pegawai 4,5 56,1 17,8 21,5
Wiraswasta 7,5 61,6 12,9 17,9
Petani/nelayan/buruh 12,6 66,3 10,0 11,0
Lainnya 9,8 61,3 11,2 17,8
Tempat tinggal
Perkotaan 9,0 57,0 13,5 20,5
Perdesaan 11,9 62,8 10,8 14,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 16,4 66,0 8,4 9,2
Menengah bawah 12,1 65,3 9,3 13,2
Gambar 16.16 menggambarkan prevalensi obesitas pada penduduk dewasa usia > 18 tahun di
kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas
sebesar 9,5 persen dan perempuan 23,0 persen. Prevalensi penduduk dewasa laki-laki yang
obes terendah ada di Kabupaten Aceh Selatan (3,4%) dan tertinggi di Banda Aceh (16,0%).
Prevalensi penduduk dewas perempuan yang obes terendah ada di Simeulue (10,0%) dan
teringgi di Sabang (37%).
50
40
37,1
30
23
20
16
10 10 9,5
3,4
0
Simeulue
Aceh Besar
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Gayo Lues
Nagan Raya
Kota Sabang
Pidie Jaya
ACEH
Aceh Tenggara
Aceh Tengah
Aceh Tamiang
Kota Lhokseumawe
Aceh Timur
Pidie
Bireuen
Aceh Selatan
Aceh Utara
Aceh Jaya
Kota Langsa
Laki-laki Perempuan
Gambar 16.16
Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT >25) pada laki-laki dan perempuan umur >18 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
30
22,7
20
11,9
10
0
Simeulue
Kota Subulussalam
Bener Meriah
Gayo Lues
ACEH
Kota Sabang
Nagan Raya
Aceh Besar
Pidie Jaya
Aceh Tamiang
Aceh Tenggara
Kota Lhokseumawe
Aceh Barat Daya
Pidie
Bireuen
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Aceh Jaya
Aceh Utara
Kota Langsa
2013 2007
Gambar 16.17
Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15 – 49
tahun
Gambar 16.17 dan Gambar 16.18 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK)
pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15-49 tahun, berdasarkan
indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam
kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas
nilai rerata LILA <23,5 cm.
Tabel 16.3 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional
sebanyak 20,3 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Aceh Tamiang (5,1%) dan tertinggi di
Aceh Selatan (66,0%). Sebanyak 14 kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK diatas angka
provinsi, yaitu Sabang, Lhokseumawe, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Singkil, Gayo
Lues, Banda Aceh, Simeulue, Aceh Jaya, Aceh Barat, Langsa, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Selatan.
70
60
50
40
30
20,3
20
10
0 Aceh Tamiang
Kota Sabang
Aceh Timur
Kota Lhokseumawe
Aceh Utara
Aceh Singkil
Aceh Jaya
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Tenggara
ACEH
Bener Meriah
Bireuen
Gayo Lues
Simeulue
Kota Banda Aceh
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Kota Langsa
Gambar 16.18
Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.19 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara
provinsi prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil sebanyak 23,6 persen. Prevalensi terendah
WUS tidak hamil ada di Nagan Raya (7,4%) dan prevalensi tertinggi di Bireuen (33,3%). Sebelas
kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil diatas provinsi, yaitu Simeulue,
Lhokseumawe, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Tengah, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Selatan,
Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Bireuen.
40
35
30
23,6
25
20
15
10
5
0
Kota Subulussalam
Kota Sabang
Bener Meriah
Aceh Besar
Gayo Lues
ACEH
Simeulue
Nagan Raya
Aceh Tenggara
Aceh Tamiang
Kota Lhokseumawe
Pidie Jaya
Pidie
Aceh Timur
Aceh Tengah
Bireuen
Aceh Selatan
Kota Banda Aceh
Aceh Utara
Aceh Jaya
Aceh Barat
Kota Langsa
4. Wanita hamil berisiko tinggi
Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan <150 cm. Gambar 16.18 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar
32,7 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Banda Aceh (4,8%) dan tertinggi
di Aceh Selatan (87,3%). Dua belas kabupaten/kota dengan prevalensi diatas angka provinsi,
yaitu Aceh Barat, Bireuen, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie,
Aceh Singkil, Simeulue, Gayo Lues, dan Aceh Selatan.
100
80
60
40 32,7
20
Gambar 16.20
Prevalensi wanita hamil risiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Data pada Tabel 16.4 menunjukkan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 32,7 persen.
Tabel 16.4
Prevalensi wanita hamil risiko tinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Berisiko Tinggi
Kabupaten/Kota
(Tinggi Badan < 150cm)
Simeulue 54.2
Aceh Singkil 51.0
Aceh Selatan 87.3
Aceh Tenggara 10.2
Aceh Timur 38.5
Aceh Tengah 25.5
Aceh Barat 33.8
Aceh Besar 24.9
Pidie 48.7
Bireuen 35.8
Aceh Utara 41.7
Aceh Barat Daya 22.7
Gayo Lues 64.8
Aceh Tamiang 21.9
Nagan Raya
Aceh Jaya 42.6
Bener Meriah 44.9
Pidie Jaya 15.4
Kota Banda Aceh 4.8
Kota Sabang 13.8
Kota Langsa 40.8
Kota Lhokseumawe 18.3
Kota Subulussalam 21.6
Aceh 32.7
Daftar Pustaka
Bappenas 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2011.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas)
Departemen Kesehatan 1994, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Pedoman penggunaan
alat ukur lingkaran lengan atas (LILA) pada wanita usia subur. Jakarta: Depkes,
Departemen Kesehatan 1996. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis.
Jakarta Dep.Kes RI
Departemen Kesehatan 2001. Pedoman Praktis memantau status gizi orang dewasa. Jakarta
Departemen Kesehatan.
WHO 2000. The Asia-Pacific Perspective Redefining Obesity and Its Tratment. February. WHO-
Western Pacific Region
WHO 2005. WHO Child Gold Standards. WHO. Geneva
WHO 2007. WHO Reference 2007 for Child and Adolescent. WHO. Geneva
WHO 2010. Interpretation Guide Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile
Indicators.
BAB 17. KESEHATAN INDERA
a. Prevalensi Kebutaan
Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter,
satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil
untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk
kategori visus, yaitu:
1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)
2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)
3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)
4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)
5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m
6. TIDAK DIPERIKSA
Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode
2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision
(visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai
3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6
tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti
responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.
Gambar 17.1
Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut
Gambar 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih
rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6
tahun keatas tertinggi ditemukan di Aceh Selatan (1,0%) diikuti Bireuen (0,9%), Subulussalam
(0,8%), dan Aceh Timur (0,6%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan
di Aceh Timur (1%) diikuti Gayo Lues (1,3%) dan Aceh Selatan (1,1%). Prevalensi kebutaan
terendah ditemukan di Aceh Singkil, Banda Aceh (masing-masing 0,0%) diikuti Aceh Tengah
dan Gayo Lues (masing-masing 0,1%)
Gambar 17.2
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
kelompok umur, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.4
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil
indeks kepemilikan, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di
perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi
Gambar 17.5
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat
tinggal, Provinsi Aceh 2013
Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena
faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka
tidaktahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita
katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya. (Gambar 17.7)
Gambar 17.7
Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Pada tabel 17.2 terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi
di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi
katarak terendah ditemukan di Kabupaten Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota banda Aceh (1,0%)
dan Aceh Jaya (1,2%). Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani
operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang
dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi (27,0%).
Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena takut operasi (14,6%).
Tabel 17.2
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk
semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Alasan belum operasi
Kabupaten/Kota Katarak Tidak tahu kalau Tidak mampu
Takut operasi
katarak membiayai
Simeulue 3,6 2,3 3,8 3,0
Aceh Singkil 1,9 69,4 16,6 4,9
Aceh Selatan 3,0 12,9 12,7 32,3
Aceh Tenggara 2,2 8,8 15,1 0,8
Aceh Timur 1,0 22,8 18,0 8,8
Aceh Tengah 1,3 14,5 8,0 5,8
Aceh Barat 2,0 30,3 16,2 13,1
Aceh Besar 2,7 34,3 1,7 10,6
Pidie 3,3 14,1 5,8 10,3
Bireuen 3,9 32,9 20,0 14,9
Aceh Utara 2,3 35,6 6,8 31,2
Aceh Barat Daya 0,5 16,8 10,6 1,9
Gayo Lues 0,7 54,8 19,0 2,4
Aceh Tamiang 2,3 19,2 15,8 27,7
Nagan Raya 2,6 19,2 4,6 2,2
Aceh Jaya 1,2 4,6 21,6 28,8
Bener Meriah 1,3 80,9 0,8 4,7
Pidie Jaya 4,6 30,9 12,9 11,8
Kota Banda Aceh 1,0 13,0 26,1
Kota Sabang 1,4 22,2 11,7 41,5
Kota Langsa 2,9 20,5 3,0 22,8
Kota Lhokseumawe 6,4 50,8 7,6 10,1
Kota Subulussalam 1,4 32,5 33,9 5,3
Aceh 2,8 27,7 11,0 14,6
Gambar 17.8 mengungkapkan bahwa berdasarkan uji Tes Konversasi terhadap gangguan
pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun, ternyata rataan prevalensi gangguan
pendengaran di Provinsi Aceh sebesar 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan sebanyak
5,0 persen dan terendah di Kota Banda Aceh sebesar 0,9 persen.
Prevalensi ketulian penduduk berumur ≥5 tahun di Provinsi Aceh sebesar 0,06 persen, tertinggi
Gambar 17.8
Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai Tes Konversasi menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.9
b. Morbiditas Telinga Lainnya
Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran
dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel
retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun
sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis,
tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat
menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung.
Kelompok umur ≥75 tahun mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen,
sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 29,4 persen; 3,9
persen; dan 2,2 persen. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur
15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (9,4%), 25-34 tahun untuk sekret (1,0%), dan 15-
24 tahun untuk abses/fistel retroaurikular (0,1%). Berdasarkan kabupaten/kota prevalensi
penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Aceh Timur (42,1%) dan terendah di Banda
Aceh (0,2%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan
provinsi disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Daftar Pustaka
Bashiruddin J, Soetirto I. 2010. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing
Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 49-52.
Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1996: Survei Nasional Kesehatan
Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995.
Foster A. Cataract and ―Vision 2020-the right to sight‖ initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7.
Limburg H. 2001. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO
Prevention of blindness and deafness.
Putri Herman NW. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran Pada Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Diakses
dari: http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/NING% 20WIDYA%20PUTRI%20HERMAN.pdf
Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining Gangguan Pendengaran pada
Neonatal Risiko Tinggi. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 4, Maret 2005: 149-54.
Soetjipto, Damayanti. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian.
2010. Diakses dari: http://ketulian.com/vi/web/ index.php?to=home.
Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995.
WHO Fact Sheet No. 282. http://www.who.int/about/regions/en /index.html.
World Health Organization. Global data on visual impairment 2010.
World Health Organization: International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems. 10th revision. Current version. Version for 2003. Chapter VII. H54. Blindness and low
vision. Diakses di: http://www.who.int/classifications/icd/en.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aceh Dalam Angka 2013. Kerjasama Bappeda Aceh dengan Badan Pusat Statistik Provinsi
Aceh. Katalog BPS 1102001.11
2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development
Goals Indonesia 2009.
3. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003.
4. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007.
5. Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (Riskesdas). 2007
7. Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 1997
8. Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I,
Jakarta, Depkes, 2003.
9. Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
10. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta. 2001.
11. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta 2004.
12. Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-
KIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga,
Jakarta.
13. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
2009.
14. Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995
15. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian
Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut
Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta.
16. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat
Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi
di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004.
17. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty
Acids. National Academy Press.
18. Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A
21. Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta.
22. Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura,
Ministry of Health 2007.
23. Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004
24. Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002
25. Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and
White NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility.Lancet
1996;347:1654-1658.
26. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
2005
27. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul
Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013
28. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah
disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005.
29. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia.
Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005.
30. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999
31. Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of
Health 2007.
32. UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007.
33. WHO. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding.
Geneva, Switzerland. 28-30 March 2013.
34. World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical
Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001.
35. World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva,
WHO 2008.
LAMPIRAN
i
UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 (sekretariat negara)
ii
Sistem Kesehatan Nasional (Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012)
iii
Laporan Riskesdas Tahun 2007
iv
Buku IPKM Tahun 2010, Balitbangkes
v
Permenkes 027 tahun 2012 tentang PDBK
vi
WHO 2002. www.WHO.int/healthinfo/survey/en