Anda di halaman 1dari 269

Cetakan Pertama, Desember 2013

Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang


All right reserved

Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas Provinsi Aceh 2013


Penulis : Endi Ridwan, Dkk
Layout : Andi Maharany Patta Katy
Desain Sampul : Suci Wiji Lestari

Editor : Susilowati Herman, Nurul Puspasari,


C-1 Jakarta

Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 234 hlm. Uk 21 cm x 29,7 cm

ISBN 978-602-235-536-6

Diterbitkan oleh :
Lembaga Penerbitan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013
Jl. Percetakan Negara No 29 Jakarta 10560 Kotak Pos 1226
Telepon : (021) 4261088 Ext.123 Faksimilie (021) 4243933
Email: LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id

Didistribusikan oleh :
Tim Riskesdas 2013
Copyright (C) 2013 pada Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes Jakarta

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

1. Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
RISET KESEHATAN DASAR
RISKESDAS 2013

PROVINSI ACEH

PENULIS:
1.ENDI RIDWAN
2.MARICE SIHOMBING
3.APRILDAH SAPARDIN
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan
riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas
menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan
kesehatan.
Hasil akhir Riskesdas 2013 Provinsi Aceh disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil
Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan,
dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013
dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu
kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif
mengenai Riskesdas, buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci.
Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator 2007 –
2013. Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang
telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang
dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan www.litbang.depkes.go.id
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Poltekkes, Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitian Daerah, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas 2013 Provinsi
Aceh. Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan
analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan
kepada para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan
Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar.
Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan
barokah-Nya kepada kita.

Wassalamu‘alaikum wr.wb.
Jakarta, Desember 2013
Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik

Dr. Siswanto, MHP.,DTM


SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI

Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data
dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah
dilaksanakan di Indonesia, masing–masing pada tahun 2007, 2010, dan 2013.
Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan
data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan.
Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan
kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien.
Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data
dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan
program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya. Saya
juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan
Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil
Riskesdas 2013, guna mengidentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan
penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan
kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia.
Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para
penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional
dari Dinas Kesehatan Provinsi dan coordinator Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan
Badan Pusat Statistik, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan
dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini.
Semoga buku ini bermanfaat.
Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2013


Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI

Dr. dr. Trihono, MSc


RINGKASAN
A. Ringkasan eksekutif
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar
dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran wilayah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Indikator yang dihasilkan antara lain status kesehatan dan faktor
penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum. Pertanyaan penelitian yang menjadi
dasar pengembangan Riskesdas 2013 adalah: 1) bagaimanakah pencapaian status kesehatan
masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 2) Apakah telah terjadi perubahan
masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan kabupaten/kota; 3) Apa dan bagaimana faktor-
faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota; 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan; dan 5)
Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab
pertanyaan penelitian 1, dan 2. Secara rinci hasil Riskesdas dapat dilihat pada Buku II ―Riskesdas
2013 Dalam Angka‖ sedangkan pertanyaan penelitian 3, 4, dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam
bentuk laporan hasil analisis lanjut.
Untuk menjawab kelima pertanyaan tersebut, dirumuskan tujuan antara lain penyediaan data dasar
dan status kesehatan dan faktor penentu kesehatan, baik di tingkat rumah tangga maupun
individual, dengan ruang lingkup: 1) Akses dan pelayanan kesehatan; 2) Farmasi dan pelayanan
kesehatan tradisional; 3) Kesehatan lingkungan; 4) Pemukiman dan ekonomi; 5) Penyakit menular;
6) Penyakit tidak menular; 7) Cedera; 8) Gigi dan mulut; 9) Disabilitas; 10) Kesehatan jiwa; 11)
Pengetahuan, sikap dan perilaku; 12) Pembiayan kesehatan; 13) Kesehatan reproduksi; 14)
Kesehatan anak; 15) Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi/panjang badan, lingkar lengan
atas, lingkar perut) dan tekanan darah; 16) Pemeriksaan indera mata dan telinga; 17) Pemeriksaan
status gigi permanen; 18) Pemeriksaan spesimen darah dan penentuan kadar iodium dalam urin,
garam dan air rumah tangga (menggambarkan tingkat Nasional).
Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013
terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok
Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil
keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga pengguna informasi Riskesdas dapat
memperoleh gambaran yang utuh dan rinci mengenai berbagai masalah kesehatan yang
ditanyakan, diukur atau diperiksa.
Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota
yang tersebar merata di Provinsi Aceh. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah
tangga biasa yang mewakili 23 kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih
berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS
dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas
2007 Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi, dan
rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified
random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil
Riskesdas 2007. Dari Provinsi Aceh diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah
tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas 2013 berhasil mengumpulkan data
dari seluruh BS terpilih yaitu sebanyak 467 BS dan 11.625 RT (response rate 99,6 persen). Jumlah
anggota rumah tangga yang berhasil diwawancara adalah 40.951 (response rate 92,3 persen).
Sedangkan untuk pengukuran biomedis hanya diambil sub sampel yang mewakili nasional yaitu 9
Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga setempat dengan klasifikasi minimal lulusan politeknik
kesehatan (Diploma 3), yang sebelumnya telah dilatih secara seksama meliputi teori dan praktek
oleh tenaga terlatih dari Badan Litbangkes. Dalam pelaksanaan, Riskesdas ini juga melibatkan
seluruh instansi terkait di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) meliputi Dinas Kesehatan, Badan
Pusat Statistik, Pemerintah Daerah dan unsur terkait lainnya
Keterbatasan Riskesdas Provinsi Aceh 2013 mencakup: 1) non-sampling error antara lain: blok
sensus yang tidak terjangkau atau terjadi konflik, RT yang tidak dijumpai, anggota RT yang tidak
bisa diwawancarai karena tidak ada ditempat sampai waktu pengumpulan data selesai, 2) estimasi
tingkat kabupaten tidak bisa berlaku untuk semua indikator karena keterbatasan jumlah sampel
untuk keperluan analisis.
Seluruh hasil Riskesdas ini bermanfaat sebagai masukan dalam pengembangan kebijakan dan
perencanan program kesehatan. Sebanyak 1060 variabel yang terkelompokkan berdasarkan dua
jenis kuesioner (RKD13.RT dan RKD13.IND), maka hasil Riskesdas 2013 dapat digunakan antara
lain untuk melihat kecenderungan perubahan beberapa indikator yang sama dengan Riskesdas
2007, pengembangan riset dan analisis lanjut, penelusuran hubungan kausal-efek, dan pemodelan
statistik.
Riskesdas menghasilkan berbagai peta masalah kesehatan dan kecenderungannya, pada bayi lahir
sampai dewasa. Prevalensi anak balita menurut indikator BB/U di Provinsi Aceh dengan status gizi
buruk 7,9 persen, gizi kurang 18,4 persen, gizi baik 70,7 persen dan gizi lebih 2,9 persen.
Dapat dilihat bahwa secara provinsi, prevalensi berat kurang BB/U pada tahun 2013 adalah 26,3
persen (terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang). Prevalensi anak kurus BB/TB
15,7 persen (terdiri dari 6,1 persen sangat kurus dan 9,6 persen kurus). Menurut WHO 20101
masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi berat kurang (BB/U) pada
prevalensi antara 20 - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi berat
kurang, lebih besar atau sama dengan 30 persen.
Adapun prevalensi anak pendek TB/U 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4
persen pendek). Masalah stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional sebesar
37,2 persen. Sedangkan prevalensi kependekan (stunting) menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh
sebesar 41,5 persen (terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek). Menurut
WHO 20101, stunting dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan kategori prevalensi
tinggi bila prevalensi kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas
atau sama dengan 40 persen.
Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB
kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila di atas atau sama dengan 15,0
persen. Pada tahun 2013, secara propinsi prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 15,7 persen.
Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di provinsi masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius.
Jika diamati berat bayi lahir, prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah<2500 gram (BBLR) di
Provinsi Aceh sebesar 8,6 persen, tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya (26,2 %). Untuk
pertama kali di tahun 2013 dilakukan juga pengumpulan data panjang bayi lahir. Bayi dikatakan lahir
pendek jika panjang bayi lahir < 48 cm. Prevalensi bayi lahir pendek di Provinsi Aceh sebesar 13,7
persen masih dibawah angka nasional (20,2 %). Prevalensi bayi lahir pendek, tertinggi di Kabupaten
Aceh Selatan (58,5 %) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1 %).
Imunisasi dasar lengkap yang meliputi HB-O, BCG, DPT-HB, Polio dan Campak didapat dengan
yang tidak pernah diimunisasi, dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan,
tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot.
Program pelayanan kesehatan anak berupa kunjungan neonatal (KN) lengkap di Provinsi Aceh
sebesar 32,5 persen, cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk anak balita yang menerima kapsul
vitamin A selama 6 bulan terakhir sebesar 73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan
terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (49,4%). Persentase rataan provinsipada proses mulai
menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase
tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%)
Penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen, diantaranya menggunakan cara
modern 48,9 persen dan 45,1 persen menggunakan KB hormonal dan 3,8 persen non hormonal.
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) didapati sebesar 4,7 persen dan non-
MKJP 44,2 persen. Selain penggunaan KB dikumpulkan juga cakupan pelayanan masa hamil,
persalinan, dan pasca melahirkan.
Pemetaan penyakit menular menunjukkan bahwa period prevalen diare di Provinsi Aceh pada
Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 5 persen.
Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan
period prevalence diare tertinggi adalah, Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten Aceh
Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireun
(6,6% dan 10,5%).
Period prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen dan
9,3 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi
untuk semua umur adalah Aceh Timur, Bireun, Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Proporsi
penduduk Aceh dengan gejala TB adalah 4,2 persen dan 3,6 persen diantaranya mengalami batuk
berdarah.
Prevalensi hipertensi berdasarkan kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen,
yang didiagnosis tenaga kesehatan dan minum obat sebesar 9,8 persen.Jadi, ada 0,1 persen yang
minum obat sendiri. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih
rendah dan kelompok tidak bekerja, mungkin akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.
Prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan wawancara yang terdiagnosis
dokter sebesar (1,8% dan 0,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
Kota Lhokseumawe 4,6 persen dan Banda Aceh 3,8 persen.
Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas di Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, tertinggi
terdapat di Kabupaten Aceh Selatan 1,0 persen. Diikuti Kabupaten Bireun 0,9 persen dan Kota
Subulussalam 0,8 persen. Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan
prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Kabupaten Aceh Singkil (17,2%), dan
Kota Lhokseumawe sebesar 16,7 persen.
Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) menurut propinsi
adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Bireun. Terendah pada Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya.
Prevalensi orang yang mengalami gangguan emosional tercatat sebesar 6,0 persen di Provinsi
Aceh.
Sementara untuk masalah cedera, prevalensi cedera di Provinsi Aceh sebesar 7,3 persen , tertinggi
ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%), terendah di Nagan Raya (2,2%). Sedangkan
perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar
(49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi
pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan
tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil kepemilikan menengah.
Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat yang baik
sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase
terendah pada Aceh Selatan (6,8%).
Riskesdas merupakan instrumen penting dalam menyediakan informasi terkini mengenai situasi
status kesehatan dan gizi masyarakat dan perlu dilakukan secara berkala dan konsisten. Monitoring
dan evaluasi pada semua lini program kesehatan hendaknya dilakukan tingkat lokal sehingga setiap
daerah dapat memfokuskan prioritas program kesehatan dan capacity building sesuai masalah yang
dihadapi.

B. Ringkasan hasil

Akses dan pelayanan kesehatan


Informasi mengenai akses dan pelayanan kesehatan dalam Riskesdas 2013 didapatkan dari
pengetahuan RT tentang keberadaan fasilitas dan jenis pelayanan kesehatan terdekat yang berada
di sekitar tempat tinggal. Jenis pelayanan kesehatan yang ditanyakan ada delapan jenis, yaitu
keberadaan: (1) RS pemerintah; (2) RS swasta; (3) puskesmas atau pustu; (4) praktek dokter atau
klinik; (5) praktek bidan atau rumah bersalin; (6) posyandu; (7) poskesdes atau poskestren; dan (8)
polindes. Selain data itu juga diketahui tentang keterjangkauan terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut yang dilihat dari jenis moda transportasi, waktu tempuh, dan biaya menuju
fasilitas kesehatan tersebut.
Di Provinsi Aceh proporsi RT yang mengetahui keberadaan RS pemerintah sebanyak 86,2 persen,
RS swasta 31,7 persen, sedangkan puskesmas/pustu sebanyak 93,1 persen. RumahTangga yang
mengetahui keberadaan RS pemerintah tertinggi di Kabupaten Simeulue, Gayo Lues, dan Kota
Sabang masing masing sebesar 99,4 persen, sedangkan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya
(49,6%). Pengetahuan RT tentang keberadaan RS swasta tertinggi Kota Banda Aceh (91,9%) dan
terendah di Kabupaten Gayo Lues (0,7%). Pengetahuan RT tentang keberadaan puskesmas/pustu
tertinggi di Kota Sabang (99,3%), terendah di Kabupaten Nagan Raya (82,3%). Pengetahuan RT
tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin di Provinsi Aceh adalah 56,4 persen,
tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (91,0%), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (8,5%).
Pengetahuan tentang keberadaan posyandu sebanyak 61,9 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh
Tengah (93,1%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya (12,1%).
Proporsi pengetahuan RT yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju
RS pemerintah di perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50,0 persen. Untuk penggunaan kendaraan
umum di perkotaan 18,3 persen dan perdesaan 32,1 persen. Sementara yang menggunakan lebih
dari satu moda transportasi di perkotaan 6,8 persen dan di perdesaan 14,0 persen. Waktu tempuh
RT menuju fasilitas kesehatan di RS pemerintah lebih dari 60 menit sebanyak 20,2 persen,
sedangkan ke RS swasta sebanyak 22,5 persen. Berbeda dengan waktu tempuh menuju RS
Pemerintah dan RS Swasta, maka waktu tempuh menuju ke fasilitas kesehatan lain seperti,
puskesmas/pustu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau
klinik ( 78,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (93,5%). Demikian juga biaya transportasi ke
poskesdes atau poskestren (99,2%), polindes (99,0%) dan posyandu (98,8%).

Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional


Bahasan farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi
RT (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi), proporsi RT yang memiliki
pengetahuan benar tentang obat generik (OG) dan sumber informasi tentang OG, serta jenis dan
alasan memanfaatkan Yankestrad dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Sejumlah 31,6 persen dari 11.625 RT di Provinsi Aceh menyimpan obat untuk swamedikasi, dengan
proporsi tertinggi RT di Kota Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (5,1%).
Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam. Dari 42,4 persen RT yang menyimpan obat
keras dan antibiotika sebanyak 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi
menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional. Terdapat 81,4 persen RT menyimpan obat
keras dan 85,9 persen RT menyimpan antibiotika yang diperoleh tanpa resep. Jika status obat
dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit, dan ‗obat
sisa‘ maka 42,9 persen RT menyimpan obat yang sedang digunakan, 28,0 persen RT menyimpan
obat sisa dan 45,6 persen RT yang menyimpan obat untuk persediaan. Obat sisa dalam hal ini
adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan.
Seharusnya obat sisa resep secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan
penggunaan salah (misused) atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa.
Secara nasional sebanyak 31,9 persen RT pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG.
Rumah tangga yang pernah mendengar atau mengetahui mengenai OG di Provinsi Aceh sebanyak
33,7 persen. Delapan puluh empat koma tujuh persen RT mempunyai persepsi OG sebagai obat
murah, 71,9 persen obat program pemerintah, 42,0 persen OG berkhasiat sama dengan obat
bermerek dan 26,1 persen OG adalah obat tanpa merek dagang. Sumber informasi tentang OG di
perkotaan maupun perdesaaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (77,8%). Oleh
karena itu masih sangat perlu promosi mengenai obat generik secara strategik terutama di era
Jaminan Kesehatan Nasional.
Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, keterampilan
tanpa alat, dan keterampilan dengan pikiran. Sejumlah 2.326 dari 11.617 (18,5%) RT di Provinsi
Aceh memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan proporsi RT yang memanfaatkan
Yankestrad tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan terendah di Kota Sabang (1,1%).
Alasan utama RT memanfaatkan Yankestrad terbanyak secara umum adalah untuk menjaga
kesehatan/kebugaran. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yankestrad masih cukup rasional.
Sementara itu alasan terbanyak pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran adalah
berdasarkan tradisi/kepercayaan.

Kesehatan lingkungan
Air minum
Proporsi RT yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi Aceh adalah
sebesar 47,1 persen (perkotaan: 28,1%; perdesaan: 54,8%). Lima kabupaten/kota dengan proporsi
tertinggi untuk RT yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara
Secara kualitas fisik, masih terdapat RT dengan kualitas air minum keruh (8,4%), berwarna (6,4%),
berasa (4,0%), berbusa (0,5%), dan berbau (1,2%). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi RT
tertinggi dengan air minum keruh adalah di Nagan Raya (25%), berwarna dan berasa juga di Nagan
Raya (24,4% dan 2,6%), berbusa dan berbau adalah di Aceh Utara (12,9%).
Proporsi RT yang mengolah air sebelum di minum di Provinsi Aceh adalah sebesar 59,9 persen.
Dari 59,9 persen RT yang melakukan pengolahan air sebelum diminum, 95,8 persennya melakukan
pengolahan dengan cara dimasak. Cara pengolahan lainnya adalah dengan dijemur di bawah sinar
mata hari/solar disinfection sebanyak 1,7 persen, menambahkan larutan tawas 0,1 persen, disaring
dan ditambah larutan tawas 0,3 persen dan disaring saja sebanyak 2,1 persen.

Sanitasi
Proporsi RT di Provinsi Aceh menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah 64,6 persen, milik
bersama sebanyak 5,7 persen, dan fasilitas umum adalah 7,0 persen. Masih terdapat RT yang tidak
memiliki fasiltas BAB/BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi
RT yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan adalah Kabupaten Gayo Lues (59,2%),
Aceh Tenggara (43,7%), Pidie (40,9%), Aceh Selatan (37,0%), dan Simeuleu (35,8%).

Proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHO–Unicef) di
Provinsi Aceh adalah sebesar 53,4 persen. Lima Kabupaten/kota tertinggi proporsi RT yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah Kota Banda Aceh (97,0%), Lhokseumawe
(84,2%), Aceh Jaya (82,4%), Sabang (80,8%), dan Langsa (80,6%).

Untuk penampungan air limbah RT di Provinsi Aceh umumnya dibuang langsung ke got (45,4%).
Hanya 15,7 persen yang menggunakan penampungan tertutup di pekarangan dengan dilengkapi
SPAL dan 14,4 persen menggunakan penampungan terbuka di pekarangan, dan 8,5% ditampung di
luar pekarangan. Sementara dalam hal pengelolaan sampah RT umumnya dilakukan dengan cara
dibakar (70,6%) dan hanya 13,7 persen yang diangkut oleh petugas. Sementara lainnya dengan
cara ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, dibuang ke kali/parit/laut dan dibuang sembarangan.
Lima kabupaten/kota dengan proporsi RT yang mengelola sampah dengan cara dibakar tertinggi
adalah di Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh Tamiang (84,3%), dan
Aceh Utara (82,8%).

Perumahan
Berdasarkan status penguasaan bangunan, sebagian besar RT di Provinsi Aceh menempati rumah
milik sendiri (83,5%), sisanya kontrak, sewa, menempati milik orang lain, milik orang tua/sanak/
saudara atau menempati rumah dinas. Menurut kepadatan hunian, terdapat 86,2 persen rumah
dengan kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang (padat). Untuk kondisi
ruangan dalam rumah, sebagian besar ruangan-ruangan terpisah dari ruang lainnya. Begitu pula
dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat RT kondisi ruang tidur, ruang keluarga maupun
dapurnya bersih dengan pencahayaan cukup. Kurang dari 60 persen RT yang ventilasinya cukup
dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.
Dalam penggunaan bahan bakar untuk keperluan RT, yang menggunakan bahan bakar aman
(listrik, gas/elpiji) sebesar 72,9 persen, di perkotaan lebih tinggi (93,6%) dibandingkan di perdesaan
(64,7%). Untuk pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, sebagian besar RT menggunakan
kelambu (65,2%), diikuti oleh penggunaan obat nyamuk bakar (46,3%), kasa nyamuk (16,5%),
makanan, air dan lainnya (hepatitis, diare); (3) melalui vektor (malaria). Informasi diperoleh melalui
wawancara menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur secara klinis.
Ditularkan melalui udara
Period prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan keluhan penduduk di Provinsi Aceh didapati 30 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA
tertinggi adalah Aceh Timur, Bireuen, Subulussalam, Aceh Utara dan Aceh Tengah. Period
prevalence dan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah 2,6 persen dan 5,4
persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai period prevalance dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk semua umur adalah Aceh Timur, Sabang, Subulussalam dan Aceh Selatan.
Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013
sebesar1,6 persen. Lima kabupaten/kota dengan TB tertinggi adalah Subulussalam (3,7%), Aceh
Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya masing-masing
sebesar 2,1 persen.
Ditularkan melalui makanan, air dan lainnya
Prevalensi hepatitis di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 adalah 1,8 persen. Lima kabupaten/kota
dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh Utara
(2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Banda Aceh masing-masing (2,5%). Berdasarkan pekerjaan,
kelompok wiraswasta menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok
lainnya. Jenis hepatitis yang banyak menginfeksi penduduk adalah hepatitis B (15,8 %) dan hepatitis
A (13,4%).
Period prevalence diare Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 (9,3%). Insiden diare untuk seluruh
kelompok umur adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalen diare
tertinggi yaitu Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan
12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan Bireuen (6,6% dan 10,5%). Insiden diare balita sebesar
10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden diare tertinggi adalah Pidie Jaya (17,9%), Aceh
Tenggara (17,3%), Aceh Timur (16,9%), Subulussalam (16,4%) dan Aceh Utara (14,5%).
Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (16,5%), perempuan,
tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (14,9%).

Ditularkan vektor
Insiden Malaria di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun 2013
sebanyak 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah
Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun
(4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). Proporsi penderita malaria yang
mendapatkan obat ACT program di Provinsi Aceh 32,8%, di dapat pada 24 jam pertama demam
sebesar 41,4 persen dan obat diminum dalam 3 hari sebesar 70,0 persen.

Penyakit tidak menular


Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang.
Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK); (3)
kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7) jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10)
(berdasarkan diagnosis atau gejala). Prevalensi kanker, gagal ginjal kronis, dan batu ginjal
ditentukan berdasarkan informasi pernah didiagnosis dokter saja. Untuk prevalensi hipertensi, selain
berdasarkan hasil wawancara,prevalensi juga berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah.
Angka prevalensi asma, PPOK, dan kanker berdasarkan wawancara di Provinsi Aceh masing-
masing 4,0 persen, 4,3 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma dan kanker lebih tinggi pada
perempuan, prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki.
Prevalensi DM dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan jawaban dan pernah didiagnosis dokter
sebesar 1,8 persen dan 0,3 persen. DM berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 2,6 persen.
Prevalensi hipertensi pada umur ≥18 tahun di Provinsi Aceh yang didapat melalui jawaban pernah
didiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, sedangkan yang pernah didiagnosis tenaga
kesehatan atau sedang minum obat hipertensi sendiri sebesar 9,8 persen. Jadi, terdapat 0,1 persen
penduduk yang minum obat sendiri, meskipun tidak pernah didiagnosis hipertensi oleh nakes.
Prevalensi hipertensi di Provinsi Aceh berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar
21,5 persen. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi
daripada laki-laki.
Prevalensi jantung koroner berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,7
persen, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 2,3 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1 persen, dan berdasarkan
diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi stroke di Provinsi Aceh berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
atau gejala sebesar 10,5 per mil. Jadi, sebanyak 62,8 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh
nakes. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring
peningkatan umur responden. Prevalensi stroke pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan pernah didiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,4
persen dan penyakit batu ginjal sebesar 0,9 persen. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan pernah
didiagnosis nakes di Provinsi Aceh 18,3 persen dan berdasarkan diagnosis atau gejala 25,3 persen.
Prevalensi penyakit sendi semakin sejalan dengan meningkatnya umur dengan prevalensi
perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.

Cedera
Prevalensi cedera secara keseluruhan di Provinsi Aceh adalah 7,3 persen, dengan prevalensi
tertinggi ditemukan di Kabupaten Bener Meriah (19,4%) dan terendah di Kabupaten Nagan Raya
(2,2%). Perbandingan hasil Riskesdas 2007 dengan Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi cedera dari 5,2 persen menjadi 7,3 persen.
Penyebab cedera terbanyak, yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Proporsi
kecelakaan sepeda motor tertinggi terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Subulussalam (59,9%)
dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007,
Riskesdas 2013 menunjukkan kecenderungan peningkatan proporsi kecelakaan sepeda motor dari
35,4 persen menjadi 48,6 persen. Berdasarkan karakteristik, proporsi kecelakaan sepeda motor
terbanyak pada penduduk umur 25-34 tahun, laki-laki, tamat sekolah menengah atas, wiraswasta, di
perkotaan, dan pada kuintil teratas.
Cedera akibat terjatuh tertinggi ditemukan di Kabupaten Aceh Barat (16,0%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Tenggara (1,2%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 5-14 tahun, laki-laki, tamat
Gigi dan mulut

Untuk mengetahui besarnya permasalahan di bidang kesehatan gigi dan mulut secara menyeluruh
perlu dilakukan pengukuran di masyarakat dalam skala nasional. Melalui Riskesdas 2013, telah
dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan gigi dan mulut masyarakat, dengan cara
wawancara dan observasi dengan menggunakan instrumen genggam (kaca mulut) dan bantuan
penerangan sinar matahari atau lampu senter. Data yang didapat adalah masyarakat bermasalah
gigi dan mulut, tindakan yang diterima oleh responden dari tenaga medis gigi dan effective medical
demand (EMD).
Prevalensi masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir untuk Provinsi Aceh dijumpai sebesar
30,5 persen, sebanyak 8 kabupaten/kota mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut diatas
angka provinsi. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan
dari tenaga medis gigi sebesar 14,0 persen (EMD). Kabupaten/kota dengan EMD tertinggi adalah
Bener Meriah (18,7%), dan angka EMD terendah di Aceh Tenggara (7,6%). Ditemukan EMD
meningkat pada kelompok umur yang lebih tinggi, dan persentase EMD tertinggi dijumpai pada
kelompok umur 45-54 tahun (EMD: 21,1 dibanding EMD umur 10-14 tahun: 11,9), EMD di
perdesaan (14,5) lebih besar dari EMD perkotaan (12,8), dan EMD meningkat pada status ekonomi
lebih tinggi (EMD teratas: 14,8) ada pada kuintil menengah bawah.
Provinsi Aceh menyikat gigi setiap hari ditemukan sekitar 90 persen.
Untuk perilaku benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor gender, ekonomi, dan daerah
tempat tinggal. Ditemukan sebagian besar penduduk Provinsi Aceh menyikat gigi pada saat mandi
pagi maupun mandi sore, (91,9 %). Perilaku menyikat gigi dengan benar setelah makan pagi dan
sebelum tidur malam, untuk penduduk Provinsi Aceh ditemukan 2,4 persen.
Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi. Indeks DMF-T merupakan
penjumlahan dari indeks D-T,M-T, dan F-T. Indeks DMF-T ini meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Indeks DMF-TProvinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T=
1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08.
Indeks DMF-T lebih tinggi pada perempuan (4,3%) dibanding laki-laki (3,8%). Namun untuk kuintil
indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil
indeks kepemilikan terbawah nilai DMF-T nya (4,7%) sedangkan untuk yang teratas nilai DMF-T
nya lebih rendah (3,2%).

Disabilitas
Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup
penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang
memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan.
Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana
seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal
yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO, 2010). Informasi
besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi
efektivitas dan kinerja program kesehatan.
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 87,3 persen penduduk Provinsi Aceh disability free.
Interpretasi lain adalah penduduk Aceh cenderung tidak menganggap kesulitan sangat ringan yang
Kesehatan jiwa
Prevalensi anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) Provinsi Aceh
adalah 2,7 per mil, nasional (1,7 per mil), terbanyak terdapat di Banda Aceh dan Kabupaten Bireun.
Terendah pada Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya. Menurut karakteristik tempat tinggal,
prevalensi gangguan jiwa berat lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan, sedangkan
menurut kuintil indeks kepemilikan, gangguan jiwa berat banyak ditemukan pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah sebesar 5,8 permil. Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental
emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,0 persen dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil
indeks kepemilikan terendah.

Pengetahuan, sikap, dan perilaku


Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku
mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di
jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum
menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun),
setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida,
dan sebelum menyusui bayi. Adapun rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi
Aceh menunjukan 33,6 persen dan perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen.

Rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen. Rerata batang rokok yang
dihisap per hari per orang adalah 15,3 batang (setara lebih satu bungkus). Perokok aktif
berdasarkan kelompok umur proporsi terbanyak pada kelompok umur, 30-34 tahun, pada laki-laki
proporsi lebih banyak di bandingkan perokok perempuan. Wiraswasta adalah perokok aktif setiap
hari yang mempunyai proporsi terbesar (49,3%). Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang
menghisap cerutu cenderung meningkat, tertinggi pada kelompok umur 35-39 tahun, perempuan
lebih banyak daripada laki-laki dan berpendidikan tamat SD, pekerjaan lain-lain dengan kuintil
kepemilikan menengah. Usia pertama kali merokok yang ditanyakan pada penduduk usia ≥ 10 tahun
menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Aceh mulai merokok aktif setiap hari sebanyak 0,2 persen
dan prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 53,9 persen.

Proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Aceh sebesar 4
persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan mantan pengunyah
tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau setiap hari diatas
proporsi provinsi adalah Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat (6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo
Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%). Perempuan (5,2,%) lebih banyak mengunyah tembakau
setiap hari dibandingkan laki-laki (2,7%). Penduduk di perdesaan lebih banyak smokeless setiap
hari daripada di perkotaan. Ditemukan pekerjaan sebagai pegawai mempunyai proporsi terendah
sebanyak 2,5 persen, dan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan
proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.

Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Terdapat 7
kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada di atas rerata Provinsi
Aceh. Proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari ≥ 6 jam perhari sebanyak 11,2
persen. Perilaku sedentary antara lain perilaku duduk-duduk ditempat kerja atau berbaring dirumah
Proporsi rerata penduduk Provinsi Aceh yang berperilaku mengonsumsi sayur/buah dengan cukup
(≥ 5 porsi per hari dalam seminggu) hanya 2,7 persen, tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (9,6%),
Aceh Jaya (8,9%), Aceh Selatan (8,6%) dan Kota Banda Aceh (8,0%).Perilaku konsumsi makanan
tertentu pada penduduk umur ≥10 tahun paling banyak konsumsi makanan dan minuman manis
(52,3%), diikuti konsumsi bumbu penyedap (37,9%), dan makanan berlemak (21,2%). Hampir 40
persen penduduk Provinsi Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari (37,9%), tertinggi di
Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%).
Di Provinsi Aceh, rumah tangga dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang menerapkan
indikator -yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga- dengan baik
sebanyak19,6 persen, dengan persentase tertinggi pada Kota Banda Aceh (46,1%) dan persentase
terendah di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%).

Pembiayaan
Kepemilikan Jaminan Kesehatan
Sebanyak 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI
dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi kesehatan swasta dan
tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,9 persen. Kepemilikan jaminan
didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (30,8%).
Kabupaten Nagan Raya dan Bireuen adalah kabupaten/kota yang paling tinggi cakupan kepemilikan
jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 96,6 persen penduduk atau hanya 3,4 persen
penduduknya tidak mempunyai jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8 persen.
Akan tetapi Jamkesmas masih dimiliki juga pada penduduk menengah atas (45,1%) dan teratas
(25,7%).
Mengobati sendiri
Proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan
membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 23,6 persen dengan rerata
pengeluaran sebesar Rp 15.000,-00. Sumber biaya rawat jalan yang ditanggung oleh pasien sendiri
atau keluarga tertinggi adalah di Kabupaten Bener Meriah (74,5%), Nagan Raya (73,5%) dan Kota
Subulussalam (72,7%). Sedangkan pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok
umur 5-14 tahun (56,5%), jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal
di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Rawat jalan
Sebanyak 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan
median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.28.000,00. Sumber biaya rawat jalan secara
keseluruhan untuk Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh
Jamkesmas/Jamkesda (49,5%), kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau
keluarga (out of pocket) (44,5%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 3,1 persen,
dan Jamsostek sebesar 0,9 persen. Jamkesmas/Jamkesda lebih banyak dimanfaatkan di daerah
perkotaan.
Rawat inap
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas/Jamkesda
cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil kepemilikan.

Kesehatan reproduksi
Blok Kesehatan Reproduksi yang dikumpulkan bertujuan untuk menyediakan informasi cakupan
pelayanan kesehatan ibu terkait dengan indikator MDG yaitu pelayanan KB, pelayanan kesehatan
selama masa hamil sampai masa nifas.
Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan/hidup bersama. Di antara
perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9
persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan
reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk
bereproduksi.
Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada
umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan kehamilan pada umur remaja (15-19
tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program
keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia.
Pelaksanaan program keluarga berencana dinyatakan dengan pemakaian alat/cara KB saat ini.
Pemakaian alat KB modern yang dinyatakan dengan CPR modern di antara WUS (wanita usia
kawin 15-49 tahun) merupakan salah satu dari indikator universal akses kesehatan reproduksi. Hasil
Riskesdas 2013, pemakaian cara/alat KB di Provinsi Aceh sebesar 51,8 persen dan CPR modern
sebesar 52,9 persen. Diantara penggunaan KB modern tersebut, sebagian besar menggunakan
alat/cara KB non MKJP (jangka pendek) sebesar 44,2 persen. Pelayanan KB di Indonesia sebagian
besar diberikan oleh bidan (83,5%) di fasilitas pelayanan kesehatan swasta yaitu tempat praktek
bidan (57,6%).
Setiap ibu hamil menghadapi risiko terjadinya kematian, sehingga salah satu upaya menurunkan
tingkat kematian ibu adalah meningkatkan status kesehatan ibu hamil sampai bersalin melalui
pelayanan ibu hamil sampai masa nifas. Pada Riskesdas 2013, indikator cakupan pelayanan ibu
hamil sampai masa nifas diperoleh dari informasi riwayat kehamilan berdasarkan kelahiran yang
terjadi pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara.
Pemeriksaan kehamilan sangat penting dilakukan oleh semua ibu hamil untuk mengetahui
pertumbuhan janin dan kesehatan ibu. Hampir seluruh ibu hamil di Provinsi Aceh (94,8%) sudah
melakukan pemeriksaan kehamilan (K1) dengan frekuensi minimal 4 kali selama masa
kehamilannya adalah 87,0 persen. Proporsi melakukan ANC berdasarkan umur saat bersalin
terendah adalah kelompok umur <20 tahun, tidak sekolah dan tidak tamat SD, tidak bekerja dan
petani/nelayan/buruh, kuintil indeks kepemilikan terbawah. Cakupan ibu hamil kontak pertama
dengan tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (87,0%). Proporsi terendah
pada kelompok usia saat bersalin < 20 tahun (76,5%), pendidikan tidak tamat SD (76,2%),
petani/nelayan/buruh (82,8%) serta kuintil indeks kepemilikan terbawah (75,7%). Cakupan ANC K4
sebesar 60,0 persen sedangkan ANC ≥ 4x sebesar 72,3 persen. Konsumsi zat besi selama hamil
ditemukan sebesar 81,1 persen.
Proses persalinan dihadapkan pada kondisi kritis terhadap masalah kegawatdaruratan persalinan,
sehingga sangat diharapkan persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Kelahiran pada ibu berumur
risiko tinggi (umur ibu 35 tahun ke atas) lebih banyak di rumah (17,4%) dibanding ibu umur 20-34
untuk KF lengkap yang dicapai baru sebesar 32,1 persen. Ibu bersalin yang mendapat pelayanan
KB pasca bersalin mencapai 63,3 persen.

Kesehatan anak
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan menurut kabupaten/kota dengan
kategori lengkap, tidak lengkap, dan tidak imunisasi masing-masing 38,4 persen, 41,9 persen dan
19,7 persen. Persentase imunisasi dasar lengkap tertinggi di Aceh Jaya (92,4%), tidak lengkap
tertinggi didapatkan di Aceh Timur (64,7%) sedangkan tidak imunisasi tertinggi didapatkan di Nagan
Raya (64,8%).
Pengumpulan data kunjungan neonata yang meliputi kunjungan pada saat yang ditentukan (KN1,
KN2 dan KN3). Hasilnya menunjukkan bahwa persentase KN1 (6-48 jam) sebesar 72,3 persen, KN2
(3-7 hari) sebesar 65,6 persen dan KN3 (8-28 hari) sebesar 35,4 persen. KN1 paling tinggi terdapat
di Simeulue (95,7%), KN2 terdapat di Simeulue (89,2%) dan KN3 terdapat di Aceh Jaya (71,1%).
Persentase rumah tangga yang melakukan kunjungan neonatal lengkap di Provinsi Aceh sebesar
32,5 persen, tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Kota Sabang (10,2%).
Informasi tentang berat badan lahir dan panjang badan lahir anak balita didasarkan kepada
dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota RT (buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak
lainnya). Persentase BBLR (<2500 gram) di Provinsi Aceh 8,6 persen, tertinggi terdapat di
Kabupaten Aceh Barat Daya sebesar 26,2 persen. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak
menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih
tinggi dibanding laki-laki (7,7%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,7%)
lebih tinggi dibandingkan perempuan (7,2%).
Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: <48 cm, 48 - 52 cm, dan >52 cm.
Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut kabupaten/kota berdasarkan kategori
tersebut diketahui bahwa persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 13,7 persen, dan >52
cm sebesar 4,1 persen. Persentase panjang badan lahir <48 cm tertinggi terdapat di Kabupaten
Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota Subulussalam (3,1%).
Persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis kecacatan yang tertinggi
adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen dan tidak ada anak yang mengalami tuna rungu
dan tuna daksa 0,0.persen. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir sumbing mempunyai
persentase yang sama (0,1 persen).
Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Aceh
adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang (87,5%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Jaya (39,4%).
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
sebesar 25,7 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3
persen dan diberi ramuan tradisional 6,1 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak
umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Banda Aceh (67,5%) dan terendah di
Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%).

Kesehatan indera
Prevalensi kebutaan untuk Provinsi Aceh sebesar 0,4 persen, jauh lebih kecil dibanding prevalensi
2,5%). Proporsi responden yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua
kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan.
Prevalensi pterygium Provinsi Aceh adalah sebesar 9,3 persen dengan prevalensi tertinggi
ditemukan di Kabupaten Bireun (18,0%), Aceh Singkil (17,2%), dan Kota Lhokseumawe (16,7%).
Kabupaten dengan prevalensi pterygium terendah adalah, Aceh Tenggara (3,2%), Aceh Tamiang
(4,3%) dan Nagan Raya (4,4%).
Prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti
oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kabupaten
Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota Banda Aceh (1,0%) dan Aceh Jaya (1,2%).

Prevalensi gangguan pendengaran di Provinsi Aceh 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan
(5,0%), dan terendah di Kota Banda Aceh (0,9%).Prevalensi ketulian di Provinsi Aceh sebesar 0,06
persen, tertinggi di Kota Subulussalam (0,5%) dan terendah di Kota Lhokseumawe (0,001%).
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks
kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin sedikit prevalensi gangguan
pendengaran dan ketuliannya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................... i
RINGKASAN ..........................................................................................................................................iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ xvii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................. xx
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................xxv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................................xxx
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013 ............................................................................................... 2
1.3. Pertanyaan Penelitian .............................................................................................................. 2
1.4. Tujuan Riskesdas 2013 ............................................................................................................ 2
1.5. Kerangka Pikir .......................................................................................................................... 3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013 ......................................................................................................... 4
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013 .......................................................................................... 6
1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ................................................................................... 6
1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013 ............................................................................................. 7
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS..................................................................................................... 8
2.1. Desain ....................................................................................................................................... 8
2.2. Lokasi ........................................................................................................................................ 8
2.3. Populasi dan Sampel ................................................................................................................ 8
2.4. Variabel ................................................................................................................................... 10
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 11
2.6. Manajemen Data .................................................................................................................... 11
2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013 ....................................................................................... 13
2.8. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................................... 14
2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan ............................................................................ 14
BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN .............................................................................. 16
3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan ......................................................................................... 16
3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan......................................................................................... 18
BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL ................................................ 22
4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga ................................................................ 22
4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)..................................................... 25
5.3 Perumahan .............................................................................................................................. 42
BAB 6. PENYAKIT MENULAR ............................................................................................................ 48
6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara ................................................................................. 48
6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya .................................................. 54
6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)...................................................................... 62
BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR................................................................................................. 68
7.1. Asma ....................................................................................................................................... 69
7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ................................................................................ 69
7.3. Kanker..................................................................................................................................... 69
7.4. Diabetes Melitus ..................................................................................................................... 71
7.5. Penyakit hipertiroid ................................................................................................................. 72
7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi ............................................................................................ 72
7.7. Penyakit Jantung .................................................................................................................... 75
7.8. Stroke...................................................................................................................................... 75
7.9. Penyakit ginjal ......................................................................................................................... 78
7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok ............................................................................................ 78
BAB 8. CEDERA .................................................................................................................................. 82
8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya .................................................................................... 82
8.2. Jenis cedera............................................................................................................................ 85
8.3. Tempat Terjadinya Cedera ..................................................................................................... 89
BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT ............................................................................................ 93
9.1. Effective Medical Demand ...................................................................................................... 93
9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun ................................................................ 98
9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T ........................................................................ 101
BAB 10. STATUS DISABILITAS ........................................................................................................ 104
BAB 11. KESEHATAN JIWA ............................................................................................................ 107
11.1. Gangguan Jiwa Berat ......................................................................................................... 107
11.2. Gangguan Mental Emosional ............................................................................................. 109
11.3. Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.................................................... 112
BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU ......................................................................... 116
12.1. Perilaku Higienis ................................................................................................................. 116
12.2. Penggunaan Tembakau ..................................................................................................... 118
12.3. Perilaku Aktifitas Fisik ......................................................................................................... 124
13.1. Kepemilikan jaminan kesehatan ......................................................................................... 137
13.2. Mengobati sendiri ............................................................................................................... 139
13.3. Rawat Jalan ....................................................................................................................... 141
13.4. Rawat Inap .......................................................................................................................... 142
13.5. Sumber pembiayaan .......................................................................................................... 144
BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI .............................................................................................. 148
14.1. Kehamilan saat ini .............................................................................................................. 148
14.2. Pelayanan Program Keluarga Berencana .......................................................................... 149
14.3. Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas .......................................... 152
BAB 15. KESEHATAN ANAK ............................................................................................................ 164
15.1. Berat dan panjang badan lahir ........................................................................................... 164
15.2. Kecacatan ........................................................................................................................... 171
15.3. Status Imunisasi ................................................................................................................. 173
15.4. Kunjungan neonatal ............................................................................................................ 180
15.5. Perawatan Tali Pusar ......................................................................................................... 186
15.6. Pola pemberian ASI ............................................................................................................ 187
15.7. Cakupan kapsul vitamin A .................................................................................................. 189
15.8. Pemantauan Pertumbuhan................................................................................................. 190
15.9. Sunat Perempuan ............................................................................................................... 192
BAB 16. STATUS GIZI....................................................................................................................... 195
16.1. Status gizi anal balita .......................................................................................................... 195
16.2. Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun.................................................................................... 202
16.3. Status gizi dewasa .............................................................................................................. 209
BAB 17. KESEHATAN INDERA ........................................................................................................ 219
17.1. Kesehatan Mata.................................................................................................................. 219
17.2. Kesehatan telinga ............................................................................................................... 227
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 232
LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 234
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Nama Tabel Hal


Tabel 2.1. Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 9
Tabel 4.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata
jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi
Aceh 2013 23
Tabel 4.2 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 23
Tabel 4.3 Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika
tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 24
Tabel 4.4 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 25
Tabel 4.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 25
Tabel 4.6 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
tentang obat generik (OG) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 26
Tabel 4.7 Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar
tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 27
Tabel 4.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG)
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 27
Tabel 4.9 Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat
generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 28
Tabel 4.10 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 29
Tabel 4.11 Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1
tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 30
Tabel 4.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak
memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Aceh 2013 30
Tabel 5.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 39
Tabel 6.1 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 50
Tabel 6.2 Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 51
Tabel 6.3 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 52
Tabel 6.4 Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 53
Tabel 6.5 Prevalensi hepatitis, insiden dan periode prevalence diare menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 55
Tabel 6.9 Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 59
Tabel 6.10 Insiden diare dan period prevalence pneumonia pada balita menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 60
Tabel 6.11 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 61
Tabel 6.12 Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013 62
Tabel 6.13 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 63
Tabel 6.14 Insiden dan prevalensi malaria menurut menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013 64
Tabel 6.15 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai
program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 65
Tabel 6.16 Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai
program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 66
Tabel 7.1 Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 70
Tabel 7.2 Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013 71
Tabel 7.3 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada
umur ≥ 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 73
Tabel 7.4 Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada
umur ≥ 18 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 74
Tabel 7.5 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada
umur ≥ 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 76
Tabel 7.6 Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada
umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 77
Tabel 7.7 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur
≥ 15 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 79
Tabel 7.8 Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur
≥ 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 80
Tabel 8.1 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota, Provinsi
Aceh 2013 83
Tabel 8.2 Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh
2013 84
Tabel 8.3 Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 86
Tabel 8.4 Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 88
Tabel 8.5 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi
Aceh 2013 90
Tabel 8.6 Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Aceh
2013 91
Tabel 9.2 Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir
sesuai effective medical demand menurut karakteristik, Provinsi Aceh
2013 95
Tabel 9.3 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 96
Tabel 9.4 Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013 97
Tabel 9.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi
dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 99
Tabel 9.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi
dengan benar menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 100
Tabel 9.7 Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Provinsi
Aceh 2013 102
Tabel 10.1 Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Aceh
2013 104
Tabel 10.2 Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 105
Tabel 10.3 Indikator disabilitas menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 106
Tabel 11.1 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh
2013 108
Tabel 11.2 Prevalensi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 109
Tabel 11.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥15
tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 110
Tabel 11.4 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥15
tahun (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 114
Tabel 11.5 Proporsi cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 113
Tabel 11.6 Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 114
Tabel 12.1 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang
air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 117
Tabel 12.2 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 119
Tabel 12.3 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 120
Tabel 12.4. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 121
Tabel 12.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang mempunyai kebiasaan
mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 122
Tabel 12.6 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan mengunyah
tembakau dan karateristik, Provinsi Aceh 2013 123
Tabel 12.7 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 125
Tabel 12.8 Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 126
Tabel 13.1 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 137
Tabel 13.2 Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 138
Tabel 13.4 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
biayamenurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 139
Tabel 13.5 Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta biaya yang
dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 142
Tabel 13.6 Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp)
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 144
Tabel 13.7 Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 145
Tabel 13.8 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 147
Tabel 15.1 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013 166
Tabel 15.2 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 167
Tabel 15.3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 168
Tabel 15.4 Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan, Provinsi Aceh
2013 172
Tabel 15.5 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 175
Tabel 15.6 Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 176
Tabel 15.7 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 177
Tabel 15.8 Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 178
Tabel 15.9 Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 179
Tabel 15.10 Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 Bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 183
Tabel 15.11 Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak
anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 185
Tabel 15.12 Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan
menurut kabupaten/kota,Provinsi Aceh 2013 186
Tabel 15.13 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 188
Tabel 16.1 Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh, Riskesdas 2013 201
Tabel 16.2 Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori
IMT dan kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 211
Tabel 16.3 Prevalensi status gizi penduduk dewasa (> 18 tahun) menurut kategori
IMT dan karakteristik, Provinsi Aceh, Riskesdas 2013 212
Tabel 16.4 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi
Tabel 17.3 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun 229
sesuai tes konversasi menurut karakteristik Provinsi Aceh 2013
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Nama Gambar Hal


Gambar 1.1 Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem
Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM 3
Gambar 1.2 Alur Pikir Riskesdas 2013 5
Gambar 3.1 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit
pemerintah dan rumah sakit swasta, Provinsi Aceh 2013. 16
Gambar 3.2 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau
rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 17
Gambar 3.3 Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 17
Gambar 3.4 Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 18
Gambar 3.5 Waktu tempuh menuju faskes terdekat menurut pengetahuan rumah
tangga, Provinsi Aceh 2013 19
Gambar 3.6 Waktu tempuh menuju RS pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi
Aceh 2013 19
Gambar 3.7 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Aceh
2013 20
Gambar 3.8 Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Aceh 2013 21
Gambar 4.1 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang
disimpan, Provinsi Aceh 2013 22
Gambar 4.2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun
terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Aceh 2013 28
Gambar 5.1 Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
improved menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 33
Gambar 5.2 Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap
sumber air minum improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007
dan 2013 34
Gambar 5.3 Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air, Provinsi Aceh 2013 34
Gambar 5.4 Proporsi rumahtangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa
mengambil air menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 35
Gambar 5.5 Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013 36
Gambar 5.6 Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 36
Gambar 5.7 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum sebelum
diminum, Provinsi Aceh 2013 37
Gambar 5.8 Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 38
Gambar 5.11 Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan sampah, Provinsi 40
Aceh 2013
Gambar 5.12 Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan 41
dibakar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.13 Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan 42
tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.14 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut 43
kabupaten/kota,Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Gambar 5.15 Proporsi rumah tangga berdasarkan keberadaan plafon/langit-langit, 43
dinding terbuat dari tembok dan lantai bukan tanah, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.16 Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang 44
keluarga dan ruang dapur dengan kebersihan, keberadaan jendela,
ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.17 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi 44
Aceh 2013
Gambar 5.18 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik 45
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.19 Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis bahan bakar/energi, Provinsi 45
Aceh 2013
Gambar 5.20 Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, 46
Provinsi Aceh 2013
Gambar 5.21 Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan 46
pestisida/insektisida/pupuk kimia, Provinsi Aceh 2013
Gambar 6.1 Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 49
dan 2013
Gambar 8.1 Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Provinsi Aceh 2007
dan 2013 85
Gambar 9.1 Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta
mendapat perawatan dan EMD, Provinsi Aceh 2013 93
Gambar 11.1 Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik,
Provinsi Aceh 2007 dan 2013 115
Gambar 12.1 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci
tangan dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan
2013 117
Gambar 12.2 Kecenderungan proporsi penduduk umur ≥10 tahun berperilaku BAB
dengan benar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 118
Gambar 12.3 Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan
buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 128
Gambar 12.4 Proporsi (%) penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu
>1 kali sehari, Provinsi Aceh 2013 130
Gambar 12.5 Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut frekuensi makanan
bersumber tepung terigu ≥1 kali/hari, Provinsi Aceh 2013 130
Gambar 12.6 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 134
Gambar 12.7 Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 134
Gambar 13.1 Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran
Gambar 13.4 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Aceh
2013 145
Gambar 13.5 Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Aceh
2013 146
Gambar 14.1 Proporsi perempuan hamil menurut kelompok umur dan tempat tinggal,
Provinsi Aceh 2013 148
Gambar 14.2 Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok
umur, Provinsi Aceh 2013 149
Gambar 14.3 Proporsi WUS Kawin yang menggunakan KB menurut jenis alat KB yang
digunakan,Provinsi Aceh 2013 150
Gambar 14.4 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern
berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 150
Gambar 14.5 Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern
berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 151
Gambar 14.6 Proporsi pemanfaatan tempat dan tenaga kesehatan dalam
mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Aceh 2013 152
Gambar 14.7 Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 153
Gambar 14.8 Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 154
Gambar 14.9 Proporsi pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat
pelayanan ANC, Indonesia 2013 155
Gambar 14.10 Proporsi konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengkonsumsi, Provinsi
Aceh 2013 156
Gambar 14.11 Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan
hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan
Buku KIA, Provinsi Aceh 201 157
Gambar 14.12 Proporsi persalinan sesar menurut menurut kabupaten/kota, Provinsi
Aceh 2013 158
Gambar 14.11 Proporsi persalinan sesar menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 158
Gambar 14.12 Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi
Aceh 2013 159
Gambar 14.13 Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 160
Gambar 14.14 Proporsi tempat bersalin menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 160
Gambar 14.15 Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas menurut kontak ibu nifas,
Provinsi Aceh 2013 161
Gambar 14.16 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam - 3 hari setelah melahirkan
menurut provinsi, Provinsi Aceh 2013 162
Gambar 14.17 Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam - 3 hari setelah melahirkan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 162
Gambar 14.18 Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi
Aceh 2013 163
Gambar 15.1 Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita di
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 164
Gambar 15.5 Persentase keluhan kejadian pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-
59 bulan, Provinsi Aceh 2013 180
Gambar 15.6 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap, Provinsi Aceh 2010 dan
2013 181
Gambar 15.7 Kecenderungan KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2010 dan
2013 181
Gambar 15.8 Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota,
Riskesdas 2010 dan 2013 184
Gambar 15.9 Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan,
Provinsi Aceh 2010 dan 2013 187
Gambar 15.10 Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan <1 jam (IMD)
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 189
Gambar 15.11 Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59
bulan, Provinsi Aceh 2007 dan 2013 190
Gambar 15.12 Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59
bulan dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Riskesdas 2007
dan 2013 191
Gambar 15.13 Kecenderungan frekuensi pemanfaatan pertumbuhan balita ≥ 4 kali
dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan
2013 191
Gambar 15.14 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan
umur ketika di sunat, Provinsi Aceh 2013 192
Gambar 15.15 Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 192
Gambar 15.16 Persentase ana perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013 193
Gambar 16.1 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Provinsi
Aceh tahun 2007, 2010 dan 2013 198
Gambar 16.2 Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <-2SD Provinsi Aceh tahun
2007, 2010, dan 2013 199
Gambar 16.3 Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <-2SD Provinsi Aceh tahun
2007,2010, dan 2013 200
Gambar 16.4 Kecenderungan prevalensi gizi kurang, pendek, kurus, dan gemuk pada
balita, Provinsi Aceh 2007, 2010 dan 2013 200
Gambar 16.5 Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 203
Gambar 16.6 Prevalensi kurus IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 204
Gambar 16.7 Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5–12 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 204
Gambar 16.8 Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013 205
Gambar 16.9 Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 206
Gambar 16.10 Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk IMT/U remaja umur 13-
15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013 206
Gambar 16.14 Kecenderungan status gizi IMT/U umur 16-18 tahun, Provinsi Aceh 2010 209
dan 2013
Gambar 16.15 Prevalensi status gizi kurus, gemuk, dan obesitas penduduk dewas (>18 210
tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.16 Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT >25) pada laki-laki dan 213
perempuan umur > 18 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh
2013
Gambar 16.17 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun 214
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013
Gambar 16.18 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut 215
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.19 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun menurut 215
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 16.20 Prevalensi wanita hamil risiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut 216
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan 220
koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007-2013.
Gambar 17.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan 221
kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan 222
kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.4 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan 222
kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan,Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.5 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan 223
kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, 223
Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi 226
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.8 Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes 230
konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 17.9 Prevalensi ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi 230
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
DAFTAR SINGKATAN
5T 5 jenis komponen ANC meliputi 1) timbang berat badan dan ukur
tinggi badan; 2) ukur tekanan darah/tensi; 3) pemberian tablet
tambah darah; 4) pemberian imunisasi tetanus toksoid dan 5) ukur
tinggi fundus.
AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome
AKABA Angka Kematian Balita
AKB Angka Kematian Bayi
AKDR Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
AKG Angka Kecukupan Gizi
AKI Angka Kematian Ibu
AKI Angka Kematian Ibu
ALH Anak Lahir Hidup
AMH Anak Masih Hidup
ANC Ante Natal Care
ART Anggota Rumah Tangga
BAB Buang Air Besar
Balitbangkes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
BB/TB Berat Badan menurut Tinggi Badan
BB/U Berat Badan menurut Umur
BP Balai Pengobatan
BPS Badan Pusat Statistik
BS Blok Sensus
BTA Basil Tahan Asam
CO Carbon Monoksida
D Diagnosis
DAM Depot Air Minum
DIY Daerah Istimewa Yogyakarta
DKBM Daftar Komposisi Bahan Makanan
DPT Diphtery Pertusis Tetanus
DPT-HB Diphtery Pertusis Tetanus-Hepatitis B
DST Drug susceptibility test
EQAS External Quality Assurance Scheme
Faskes Fasilitas Kesehatan
FDC Fixed Dose Combination
G Gejala
HIV Human Immunodeficiency Virus
IMT Indeks Massa Tubuh
IMT/U Indeks Massa Tubuh menurut Umur
KB Keluarga Berencana
KEPK Komisi Etik Penelitian Kesehatan
KF Kunjungan Nifas
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KIA Kesehatan Ibu dan Anak
KMS Kartu Menuju Sehat
KMS Bumil Kartu Menuju Sehat Ibu Hamil
KN1 Kunjungan Neonatal 1
KN2 Kunjungan Neonatal 2
KN3 Kunjungan Neonatal 3
LQAS Lot Quality Sampling Assesment
M.tb Mycobacterium tuberculosis
MDG Millenium Development Goals
MDGs Millenium Development Goals
MDR Multi Drug Ressistant
Nakes Tenaga Kesahatan
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
OAT Obat Anti Tuberculosis
ODHA Orang dengan HIV/AIDS
P2PL Pencegahan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan
PAH Penampungan Air Hujan
PAM Perusahaan Air Minum
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDBK Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
Penasun Pengguna Narkoba Suntik
PJT Penanggung Jawab Teknis
PNS Pegawai Negeri Sipil
Polindes Pos Bersalin Desa
Polri Polisi Republik Indonesia
PONED Pelayanan Obstetrik Neonata Emergency Dasar
Poskesdes Pos Kesehatan Desa
Posyandu Pos Pelayanan Terpadu
PPI Program Pengembangan Imunisasi
PPM Puskesmas Pelaksana Mandiri
PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronik
PPS Petugas Pengumpul Spesimen
PRM Puskesmas Rujukan Mikroskopik
PUGS Pedoman Umum Gizi Seimbang
SP Sensus Penduduk
SPAL Sarana Pembuangan Air Limbah
Subdit Sub Direktorat
TB Tuberkulosis
TB/U Tinggi Badan menurut Umur
TNI Tentara Nasional Indonesia
Trimester Tiga bulanan
TT Tetanus Toksoid
TT Tidak Tahu
UKP Umur Perkawinan Pertama
VCT Voluntary HIV Counseling and Testing
WHO World Health Organization
WNPG Wydia Karya Pangan dan Gizi
XDR Extensively Drug Ressistant
ZN Ziehl Neelsen
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang maju, adil,
dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan
kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan
menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan;
menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola
kepemerintahan yang baik. Sistem Kesehatan Nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian
dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang adai.
Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah
―Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta
berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif‖. Untuk itu diperlukan data
kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara
berkesinambungan dan dapat dipercayaii.
Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang
dirancang dapat berskala nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara
berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai
bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini, laporan difokuskan pada hasil pemeriksaan
riskesdas di Provinsi Aceh.
Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu
status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan
status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku
kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol,
aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan
(akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah
tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaaniii.
Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan
penyelenggara program kesehatan baik di pusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai
bahan penyusunan RPJMN 2010-2014, data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar
penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)iv yang berguna untuk membuat
peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar
Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK)v.
Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan
keterwakilan sampel hingga tingkat Kabupaten/Kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional.
Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan
meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan
tidak dikumpulkan seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei
tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak dikumpulkan antara lain ketanggapan
pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol,
pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga.

1.2. Ruang Lingkup Riskesdas 2013


Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas di Provinsi Aceh 2013 ini adalah untuk
mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan
status kesehatan di tingkat Kabupaten/kota, termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013Provinsi Acehyaitu:


1. Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat provinsi, dan kabupaten
tahun 2013?
2. Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik di setiap provinsi, dan
kabupaten/kota?
3. Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di
tingkat provinsi, dan kabupaten/kota?
4. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan?
5. Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan?

Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian
3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut.

1.4. Tujuan Riskesdas 2013

Tujuan Umum:

Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di


Provinsi Aceh.

Tujuan Khusus:
1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di
Provinsi Aceh.
2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat kabupaten/kota Provinsi Aceh
pada tahun 2013.
3) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari 2007 ke
2013.
4) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten kota menggunakan IPKM.
5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan.
1.5. Kerangka Pikir

FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN


Visi, Misi,
strategi dan
kebijakan

- Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi


- Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Kesehatan
- Farmasi dan Pelayanan Kesehatan
Tradisional

- Status Gizi
- Kesehatan Reproduksi
- Kesehatan Bayi dan Balita
Manajemen Sumber Akses Pelayanan - Morbiditas Penyakit Menular
daya Kesehatan Derajat Kesehatan
- Penyakit Tidak Menular
- Penyakit Bawaan,
- Gangguan Indera
- KesehatanJiwa dan gangguan
emosional
- Gigi dan Mulut
Pembiayaan - Cedera,
Kesehatan Pemerataan & Keadilan - disabilitas
Pembiayaan Kesehatan - Kecacatan
-Pemeriksaan Spesimen Darah
- Status Iodium
-------: tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013
Kesehatan Lingkungan

Gambar 1.1.
Kerangka pikir Riskesdas 2013 dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM

3
1.6. Alur Pikir Riskesdas 2013
Alur pikir (Gambar 1.2) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam
Riskesdas 2007 dan 2013. Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk
menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat
menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat
kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6
menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan.
Dengan demikian, hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2013 bukan saja harus mampu menjawab
pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan
berikutnya.
Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih,
akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya
penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas
2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Surveyvi
tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di
dunia.
1. Indikator
 Status gizi
 Kesehatan Ibu dan
Anak
 Morbiditas PM, PTM,
Cederadan Kesehatan
Policy 6. Laporan
Jiwa
Questions  Tabel Dasar
 Sanitasi lingkungan
 Pengetahuan, sikap  Hasil Pendahuluan
dan Perilaku Nasional
 Disabilitas  Hasil Pendahuluan
 Ekonomi Provinsi
 Akses dan  Hasil Akhir Nasional
Research
Pembiayaan  Hasil Akhir Provinsi
Questions
Pelayanan
 Farmasi dan
Pelayanan Kesehatan
Tradisional

5. Statistik
2. Disain Alat
 Deskriptif
Pengumpul Data
 Bivariat
 Kuesioner wawancara, Riskesdas
pengukuran, 2013  Multivariat
pemeriksaan  Uji Hipotesis
 Validitas
 Reliabilitas
 Dapat diterima

4. Manajemen Data
3. Pelaksanaan Riskesdas 2013
Riskesdas 2013  Editing
 Pengembangan  Entry
manual Riskesdas  Cleaning
 Uji Coba  Perlakuan terhadap
 Pengembangan modul missing data
pelatihan  Perlakuan terhadap
 Pelatihan pelaksana outliers
 Penelusuran sampel  Consistency check
 Pengorganisasian  Analisis syntax
 Logistik appropriateness
 Pengumpulan data  Pengarsipan
 Supervisi / bimbingan
teknis
 Validasi
1.7. Pengorganisasian Riskesdas 2013

Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun
2012-2014. Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat
Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013,
tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013.

Organisasi pengumpulan data Riskesdas Povinsi Aceh 2013 adalah sebagai berikut:

1. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi:


 Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina
Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes
Provinsi.

2. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota :


 Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/ kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten,
Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik
Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota.

Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim
pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah Tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari
5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan
manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.

Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas
(Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas
Kedokteran Gigi), dll. Di beberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan
manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan persetujuan
kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin.

1.8. Manfaat Riskesdas Provinsi Aceh 2013


Manfaat Penelitian

1. Untuk kabupaten/kota:
a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah
kesehatan dalam enam tahun terakhir.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya.

2. Untuk provinsi dan pusat:


a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas
pembangunan kesehatan antar wilayah.
b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti.
c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan.

3. Untuk Peneliti
a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut.
b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan.

4. Untuk Institusi Pendidikan


1.9. Persetujuan Etik Riskesdas 2013

Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor
LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent
(Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran.
BAB 2. METODOLOGI RISKESDAS

2.1. Desain

Riskesdas Provinsi Aceh adalah sebuah survei dengan desain cross sectional. Riskesdas 2013
terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok
Provinsi Aceh secara menyeluruh, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil
keputusan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berbagai ukuran sampling error termasuk
didalamnya standar error, relative standar error, confidence interval, design effect dan jumlah
sampel tertimbang akan menyertai setiap estimasi variabel. Menggunakan desain ini, maka
setiap pengguna informasi Riskesdas dapat memperoleh gambaran yang utuh dan rinci
mengenai berbagai masalah kesehatan yang ditanyakan, diukur atau diperiksa.

2.2. Lokasi
Sampel Riskesdas 2013 Provinsi Aceh ditingkat kabupaten/kota berasal dari 23 kabupaten/kota
yang tersebar merata di Provinsi Aceh.

2.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 23
kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus
Penduduk (SP) 2010. Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage
sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas 2007. Berikut ini
adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud.

Penarikan sampel Blok Sensus


Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas memilih BS yang telah dikumpulkan SP
2013. Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS dengan memperhatikan status ekonomi,
dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara
stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan
TB-paru hasil Riskesdas 2007. Dari Provinsi Aceh diambil sejumlah BS yang representative
(mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Riskesdas 2013 berhasil
mengumpulkan data dari seluruh BS terpilih yaitu sebanyak 467 BS dan 11625 RT. Jumlah
sampel BS, Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang dapat dikunjungi dapat dilihat
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Distribusi BS, RT dan ART yang dapat dikunjungi (respon rate) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Jumlah Jumlah Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga

Kabupaten/Kota Respons Jumlah


Blok Sensus Respons
Target Dikunjungi rate yang Diwawancara
Dikunjungi Rate (%)
(%) terdata
Simeulue 18 450 450 100 1782 1779 99,83
Aceh Singkil 18 450 450 100 1836 1684 91,72
Aceh Selatan 21 525 520 99 1940 1668 85,98
Aceh Tenggara 21 525 525 100 1908 1905 99,84
Aceh Timur 23 575 564 98 2386 2060 86,34
Aceh Tengah 21 525 517 98.5 1797 1784 99,28
Aceh Barat 21 525 525 100 1861 1757 94,41
Aceh Besar 23 575 575 100 2076 1984 95,57
Pidie 26 650 650 100 2405 2006 83,41
Bireuen 24 600 600 100 2556 2203 86,19
Aceh Utara 26 650 650 100 2058 2058 100,00
Aceh Barat Daya 19 475 474 99.8 1871 1311 70,07
Gayo Lues 18 450 440 97.8 1773 1726 97,35
Aceh Tamiang 22 550 546 99.3 2127 2066 97,13
Nagan Raya 19 475 475 100 1814 1719 94,76
Aceh Jaya 18 450 447 99.3 1496 1462 97,73
Bener Meriah 19 475 475 100 1810 1674 92,49
Pidie Jaya 19 475 475 100 1934 1822 94,21
Kota Banda Aceh 22 550 549 99.8 1998 1884 94,29
Kota Sabang 11 275 275 100 980 980 100,00
Kota Langsa 21 525 518 98.7 2063 2013 97,58
Kota Lhokseumawe 21 525 525 100 2171 1975 90,97
Kota Subulussalam 16 400 400 100 1726 1431 82,91
Aceh 467 11 675 11 625 99.6 44368 40951 92,30

Penarikan sampel Rumah Tangga /Anggota Rumah Tangga

Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak
sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh
Penanggung Jawab Tehnis Kabupaten yang sudah dilatih.

Penarikan sampel Biomedis

Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari 1000 BS yang mewakili
nasional. Untuk Provinsi Aceh terpilih kabupaten Aceh Timur (6 BS) dan Aceh Barat daya (3 BS).
2.4. Variabel

Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi


pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan
menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat kurang lebih 315 variabel yang
tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok
sebagai berikut:
Blok I. Pengenalan tempat
Blok II. Keterangan Rumah Tangga
Blok III. Keterangan Pengumpul Data
Blok IV. Keterangan Anggota Rumah Tangga
Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan
Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga
Blok VIII. Kesehatan Lingkungan
Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi.
Blok X. Keterangan Wawancara Individu
Blok XI, Keterangan Individu
a. Penyakit Menular
b. Penyakit tidak Menular
c. Cedera
d. Gigi dan Mulut
e. Ketidakmampuan/Disabilitas
f. Kesehatan Jiwa
g. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
h. Pembiayaan Kesehatan
i. Kesehatan Reproduksi
j. Kesehatan Anak dan Imunisasi
k. Pengukuran dan Pemeriksaan
l. Pemeriksaan mata
m. Pemeriksaan THT
n. Pemeriksaan Status Gigi Permanen
o. Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin.
2.5. Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data
dengan rincian sebagai berikut:
1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah Kepala Keluarga atau Ibu rumah
Tangga atau Anggota Rumah Tangga yang dapat memberikan informasi.
b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh
anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama
sekali tidak diwawancarai.
2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik
wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner.
a. Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga.
b. Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam
kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang
menjadi pendampingnya.
3) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut:
a. Timbangan badan
b. Alat ukur tinggi badan
c. Alat ukur Lingkar pinggang dan Lengan atas
d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart
e. Spekulum
f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker
g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan
garam)

4) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan
dengan menggunakan formulir tersendiri.

2.6. Manajemen Data

Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 terdiri dari Receiving Batching,
Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut
membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di
lokasi pengumpulan data dan juga dipusat yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang
dilakukan di lokasi pengumpulan data adalah Receiving Batching, Edit, Entri,
pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di
Pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data
Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan
manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke
tim manajemen data melalui email dan laporan kemajuan pengumpulan data dan
2.6.1 Receiving Batching
Proses Receiving Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara.
Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah
diwawancarai, jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang diwawancarai dan
jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah
data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu
untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data
yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik.
2.6.2 Editing
Pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013 dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari
empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut
didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai
supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas Provinsi Aceh 2013, editing merupakan
salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing
mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai
melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/Kota harus memahami makna
dan alur pertanyaan.
PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan
jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus.
Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti :
• Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan, contoh
pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur 15-59
tahun.
• Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi
• Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan
• Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor
laboratorium, sebelum dilakukan entri data.

2.6.3 Entry
Program entri data RiskesdasProvinsi Aceh 2013 dikembangkan menggunakan software
CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner rumah tangga, individu, Konsumsi,
dan Pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri data kuesioner kesehatan
masyarakat dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di
lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-
entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan
oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh
tim tersebut.
Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas Provinsi Aceh 2013 ditujukan untuk responden
dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak
mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan
ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan
berikutnya. Oleh karena itu maka dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-
batasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan
entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses
manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data.
Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada
http://puldata.litbang.depkes.go.id/adminweb/. Hasil kemajuan pengumpulan data,
penerimaan data dan cleaning data dapat di akses melalui web di alamat
http://puldata.litbang.depkes.go.id.

2.6.4 Penggabungan Data


File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data.
Setiap anggota tim manajemen data di pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari
1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggungjawab data melakukan penggabungan data,
kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya cleaning sementara
agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data.
Setelah seluruh data mempunyai status bersih sementara selesai digabung, dilanjutkan
dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 2798
Blok Sensus terdiri dari file Rumah Tangga, file daftar Anggota Rumah Tangga, file Individu,
file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru.
2.6.5 Cleaning
Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang
kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas 2013. Tim manajemen data di pusat
sudah melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima
data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim
pengumpul data di kabupaten, maka tim manajemen data pusat akan berkoordinasi dengan
PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki
melalui email.
Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap
sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan
cleaning variabel secara keseluruhan.
Tim manajemen data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data
Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no responses, outliers amat menentukan
akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas 2013.
3.6.6. Imputasi
Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen
Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013
imputasi dilakukan untuk data-data kontinyu yang outlier. Sedangkan data missing hanya ada
pada pertanyaan Blok Perilaku Seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan
tidak bersedia menjawab.

2.7. Keterbatasan Data Riskesdas 2013

Keterbatasan data Riskesdas 2013 mencakup keterbatasan metodologis dan keterbatasan


manajemen.

Keterbatasan manajemen operasional

Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah :


1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi
3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa
diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas 2013. Pada saat pengumpulan data
dilakukan sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah
tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 92,3 persen. (lihat tabel 2.1) .

2.8. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas
yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah
tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada tabel 2.1.
Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun
anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas
pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier
serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel.
Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan gambaran
nasional maupun provinsi. Pada bab hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel
yang digunakan untuk kepentingan analisis.

2.9. Pengembangan kuintil indeks kepemilikan

Riskesdas 2013 tidak mengumpulkan pengeluaran rumah tangga untuk prediksi status ekonomi
yang digunakan sebagai salah satu karakteristik untuk kepentingan analisis, tetapi digunakan
pendekatan perhitungan indeks kepemilikan

1. Penentuan kuintil indeks kepemilikan

Status sosial ekonomi merupakan salah satu variabel proxy yang sering digunakan untuk
mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Terdapat tiga cara untuk mengukur status
sosio-ekonomi, yaitu melalui data penghasilan per bulan, atau pengeluaran per bulan atau
berdasarkan kepemilikan barang tahan lama. Ketiga proxy pengukuran status ekonomi tersebut
mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Pengukuran status ekonomi berdasarkan data penghasilan perbulan mudah ditanyakan, namun
mempunyai akurasi yang sulit dipercaya, mengingat tidak semua responden bersedia menjawab
dengan jujur jumlah penghasilan per bulan mereka. Di beberapa negara berkembang, sebagian
besar penduduk berkerja pada sektor informal, sehingga sulit untuk mendapatkan informasi
jumlah penghasilan pasti per bulannya.
Mengukur status ekonomi berdasarkan data pengeluaran per bulan mempunyai akurasi yang
cukup baik diantara ketiga cara pengukuran, namun untuk dapat memperoleh informasi
pengeluaran tersebut diperlukan data rinci tentang berbagai jenis pengeluaran RT secara detail
yang seringkali membingungkan responden dan time consumed.
Pada beberapa tahun terakhir, pengukuran status ekonomi banyak menggunakan data
kepemilikan barang tahan lama, seperti rumah, mobil, motor, sepeda, kulkas dan lain
sebagainya. Kelebihan pengukuran berdasarkan kepemilikan barang tahan lama ini lebih mudah
ditanyakan dan diobservasi, namun memerlukan perhitungan yang lebih kompleks untuk
menyusun satu indeks kepemilikan yang merupakan komposit dari beberapa variabel terkait
Variabel pembentuk indeks adalah: 1) sumber air utama untuk minum, 2) bahan bakar
memasak, 3) kepemilikan fasilitas buang air besar, 4) jenis kloset, 5) tempat pembuangan akhir
tinja, 6) sumber penerangan, 7) sepeda motor, 8) TV, 9) pemanas air, 10) tabung gas 12 kg, 11)
lemari es, dan 12) mobil. Tahapan selanjutnya indeks yang sudah terbentuk dikelompokkan
kedalam 5 kuintil: terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, dan teratas.
BAB 3. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN

Endi Ridwan, Aprildah Nur Sapardin dan Marice Sihombing

Akses Pelayanan Kesehatan dalam Riskesdas 2013 mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan
yang terdiri dari rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas
pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes
atau poskestren dan polindes. Moda transportasi yang dapat digunakan oleh rumah tangga
menuju fasilitas kesehatan yang terdiri dari mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda
motor, sepeda, perahu, transportasi udara dan lainnya serta penggunaan lebih dari dari satu
moda transportasi atau kombinasi. Waktu tempuh dengan moda transportasi tersebut yang
paling sering digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk menit. Kemudian yang terakhir
memperoleh gambaran tentang biaya atau ongkos transportasi oleh rumah tangga menuju
fasilitas kesehatan dalam satu kali pergi. Hasil lebih rinci dari blok Akses dan Pelayanan
Kesehatan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 31 sd
59 tabel 3.1 sampai tabel 3.50.

3.1 Keberadaan pelayanan kesehatan


Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari
rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau
klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes,
terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang
diwawancara dan dianalisis sebanyak 11.625 rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa
persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu.
Persentase pengetahuan rumah tangga terhadap puskesmas atau puskesmas pembantu secara
nasional sebanyak 93,1 persen dan pengetahuan terhadap poskesdes atau poskestren
sebanyak 19,7 persen.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh sebanyak 86,2 persen rumah tangga
mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh
31,7 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit
pemerintah tertinggi di Kabupaten Gayo Lues dan Kota Sabang (99,4%) sedangkan terendah di
Kabupaten Aceh Barat Daya (49,6%). Sedangkan pengetahuan rumah tangga tentang
keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di Kota Lhokseumawe (92,8%) dan terendah di Kota
Subulussalam (0%).

Gambar 3.2
Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Pada gambar 3.2 menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan
atau rumah bersalin di Provinsi Aceh angkanya 56,4 persen, namun jika dilihat antar
kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh Tenggara (91%) dan terendah di Nagan Raya (8,5%).
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu di
Provinsi Aceh adalah 61,9 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Aceh
Tengah (93,1%) dan terendah di Aceh Barat Daya (12,1%).

3.2 Keterjangkauan fasilitas kesehatan


Keterjangkuan fasilitas kesehatan berdasarkan kabupaten/kota dalam Riskesdas 2013 ini dilihat
dari aspek alat transportasi, waktu tempuh (dalam satuan menit) dan biaya transportasi menuju
fasilitas kesehatan. Alat transportasi yang digunakan menuju fasilitas kesehatan tersebut berupa
mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu dan lainnya, yang
menggunakan lebih dari satu alat transportasi. Dalam penyajian hasil dinyatakan bahwa alat
transportasi tersebut dibedakan menurut fasilitas kesehatan yang ada.
Pengetahuan rumah tangga tentang waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dihitung dalam
bentuk menit yang dibuat menjadi 4 kategori yaitu ≤15 menit; 16 – 30 menit; 31-60 menit dan >
60 menit. Sedangkan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan dalam mata uang rupiah
dibuat beberapa kategori yaitu ≤ 10.000; >10.000 – 50.000; >50.000.

Gambar 3.4
Proporsi moda transportasi ke rumah sakit pemerintah menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 3.4 menunjukkan proporsi pengetahuan rumah-tangga untuk menuju puskesmas yang
dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan sebesar 18,3 persen dan perdesaan 32,1
persen. Sementara yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 2,5
persen dan perdesaan 1,1 persen. Rumah-tangga yang menggunakan sepeda motor di
perkotaan 62,6 persen dan perdesaan 50 persen.
Menurut kuintil indeks kepemilikan bahwa yang tertinggi adalah dengan menggunakan sepeda
motor, dimana penggunaan tertinggi ada pada rumah-tangga menengah atas (70%) dan
terendah pada rumah-tangga terbawah (30,4%). Sementara yang terendah adalah pada
penggunaan sepeda untuk menuju ke RS pemerintah, dimana angka tertinggi ada pada rumah-
tangga terbawah0,0 persen dan terendah di rumah-tangga teratas 0,5 persen..
Gambar 3.5
Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan terdekat menurut pengetahuan rumah tangga,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 3.5 menjelaskan bahwa waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di
rumah sakit pemerintah tertinggi pada 31-60 menit (32%) dan terendah <16 menit (16%).
Berbeda dengan pola pada waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada
<16 menit (28,9%) dan terendah >60 menit (22,5%). Pola ini hampir sama dengan waktu
tempuh menuju fasilitas kesehatan lainnya, yaitu puskesmas atau pustu, praktek dokter atau
klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu
terbanyak pada waktu tempuh <16 menit. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam
angka.
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang waktu tempuh rumah tangga menuju
rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal yaitu dengan waktu 16-30 menit, tertinggi di
perkotaan (41%), sementara di perdesaan (25,6%). Dengan waktu 31-60 menit di perkotaan
(24,7%) dan perdesaan (34,6%). Sedangkan dengan waktu tempuh <16 menit di perkotaan
(27,3%) dan perdesaan (6,3%).
Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh 16-30 menit, tertinggi
pada rumah tangga teratas (38,5%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (22,2%).Dengan
waktu tempuh 31-60 menit, tertinggi pada rumah tangga terbawah (31,3%) dan terendah pada
rumah tangga teratas (25,5%).

Gambar 3.7
Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Aceh 2013

Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta,
puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau
rumahbersalin dengan 3 kategori yaitu ≤ Rp.10.000,-; >Rp.10.000 – Rp.50.000 dan >
Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada ≤ Rp.10.000,- untuk rumah sakit swasta
(48,6%), puskesmas atau puskesmas (87%), dokter praktek atau klinik (78,7%) dan praktek
bidan atau rumah bersalin (93,5%). (Gambar 3.7)
.
Gambar 3.8
Biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Aceh 2013

Gambar 3.8 menunjukkan biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Bersumberdaya


Masyarakat (UKBM) seperti Poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2
kategori yaitu yaitu ≤Rp.10.000,- dan >Rp.10.000,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak
yang ≤Rp.10.000,- yaitu di poskesdes atau poskestren (99,2%), polindes (99%) dan posyandu
(98,8%).

Daftar Pustaka
Badan litbangkes 2007, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan litbangkes Kemenkes RI, Jakarta
Kementerian kesehatan RI, 2007, Permenkes RI nomor 949 tahun 2007 tentang tentang kriteria
sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di DTPK,
Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar, Kemenkes RI, Jakarta.
Kementerian kesehatan RI, 2013, Permenkes RI nomor 6 tahun 2013 tentang kriteria fasilitas
pelayanan kesehatan terpencil, sangat terpencil, dan fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak
diminati, Jakarta.
Suharmiati; Handayani L.; Kristiana L., 2012, Faktor Faktor yang mempengaruhi keterjangkauan
pelayanan kesehatan di puskesmas terpencil perbatasan di kabupaten Sambas (Studi kasus di
Puskesmas Sajingan Besar), Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, volume 15, No.3 Juli 2012,
ISSN:1410-2935.
BAB 4. FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL

Marice Sihombing, Aprildah Nur Sapardin , dan Endi Ridwan


Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui
proporsi rumah tangga (RT) yang menyimpan obat untuk pengobatan sendiri (swamedikasi),
rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber
informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam
kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Sampel yang dianalisis sejumlah 294.969 rumah tangga,
dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga
tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad).
Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada
Riskesdas 2013. Hasil lebih rinci dari blok Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional dapat
dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angkahalaman 60 sampai dengan 75
tabel 4.1 sampai 4.28
4.1. Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga
Data obat yang disimpan di rumah tangga dalam Riskesdas 2013 meliputi obat keras, obat
bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Proporsi rumah
tangga yang menyimpan antibiotika dipisahkan dalam penyajian data ini karena penggunaan di
masyarakat cukup tinggi dan tidak rasional dapat memicu perkembangan resistensi mikroba.
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa dari 31,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk
swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang
tidak teridentifikasi. Secara proporsi RT yang menyimpan obat bebas 81,4 persen dan antibiotika
32,8 persen

100
81,4 OK=Obat Keras
OB=Obat Bebas
80 AB=Antibiotik
OT=Obat Tradisional
OT=Obat Tidak
60
42,4
40 32,8

20 9,9
5,3

0
OK OB AB OT OTT

Gambar 4.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Aceh 2013

Tabel 4.1 menunjukkan variasi RT yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan
proporsi tertinggi rumah tangga di Banda Aceh (60,1%) dan terendah di Nagan Raya (5,1%).
Rerata sediaan obat yang disimpan hampir 3 macam, tertinggi di Aceh Timur ( lebih dari 3
Tabel. 4.1
Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat/OT, dan rerata
jumlah items obat/OT yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Menyimpan Obat
Kabupaten/Kota
Ya* Rerata Jumlah Items Obat
Simeulue 20,8 2,01
Aceh Singkil 25,9 2,77
Aceh Selatan 12,7 3,20
Aceh Tenggara 30,1 1,72
Aceh Timur 43,3 3,45
Aceh Tengah 33,9 1,73
Aceh Barat 31,6 2,84
Aceh Besar 28,3 1,94
Pidie 31,9 3,43
Bireuen 29,2 3,13
Aceh Utara 24,3 2,87
Aceh Barat Daya 24,3 2,45
Gayo Lues 30,4 3,16
Aceh Tamiang 44,6 2,75
Nagan Raya 5,1 2,03
Aceh Jaya 12,9 2,00
Bener Meriah 44,8 3,06
Pidie Jaya 15,6 3,18
Kota Banda Aceh 60,1 2,88
Kota Sabang 33,4 2,32
Kota Langsa 42,1 2,83
Kota Lhokseumawe 40,8 3,27
Kota Subulussalam 42,2 2,73
Aceh 31,6 2,8
*) dalam persen (%)

Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di
rumah tangga menunjukkan bahwa dari 35,2 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk
swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang
tidak teridentifikasi. Secara propinsi proporsi RT yang menyimpan obat keras 42,4 persen dan
antibiotika 32,8 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan
penggunaan obat yang tidak rasional dan dapat memicu resistensi obat. (Tabel 4.2)
Tabel. 4.2
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Obat Obat Tidak


Obat Keras Obat Bebas Antibiotika
Tradisional Teridentifikasi
Tempat Tinggal
Perkotaan 40,8 84,0 29,3 10,2 3,2
Perdesaan 43,2 79,9 34,9 9,7 6,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 41,5 75,8 38,6 10,1 8,0
Menengah bawah 45,5 81,3 35,7 8,5 10,0
Tabel 4.3 menunjukkan rumah tangga menyimpan antibiotika dan obat keras yang diperoleh
tanpa resep dokter. Di tingkat Provinsi Aceh 81,4 persen rumah tangga menyimpan obat keras
yang diperoleh tanpa resep dengan proporsi tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (93,6%) dan
terendah di Kabupaten Bireun (66,8%). Delapan puluh enam persen rumah tangga menyimpan
antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kabupaten Aceh Tenggara (98,4%) dan
terendah di Kabupaten Aceh Singkil (67,9%).

Tabel. 4.3
Persentase rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Menyimpan obat
Kabupaten/Kota
Obat Keras Antibiotika

Simeulue 91,8 91,1


Aceh Singkil 74,8 67,9
Aceh Selatan 76,8 78,7
Aceh Tenggara 93,6 98,4
Aceh Timur 86,0 85,5
Aceh Tengah 89,7 93,7
Aceh Barat 78,7 87,5
Aceh Besar 88,1 94,4
Pidie 83,7 92,8
Bireuen 66,8 76,0
Aceh Utara 73,8 70,1
Aceh Barat Daya 82,1 81,1
Gayo Lues 88,5 80,3
Aceh Tamiang 85,8 89,1
Nagan Raya 83,8 85,9
Aceh Jaya 79,4 88,6
Bener Meriah 85,1 93,1
Pidie Jaya 70,2 72,6
Kota Banda Aceh 78,0 87,6
Kota Sabang 87,7 94,0
Kota Langsa 75,4 86,0
Kota Lhokseumawe 85,9 91,8
Kota Subulussalam 77,8 83,8
Aceh 81,4 85,9

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang
memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan (52,1%), sebaliknya proporsi rumah tangga
yang memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan lebih tinggi di perdesaan(36,2%).
Proporsi rumah tangga yang mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas,
rumah sakit, klinik) lebih rendah di perkotaan (19,9%) dibandingkan dengan di perdesaan
Tabel. 4.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat dan OT
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Toko
Yankes
Karakteristik Apotek obat/ Nakes Lain-lain*
formal
warung
Tempat Tinggal
Perkotaan 52,1 19,8 19,9 19,7 3,2
Perdesaan 23,7 19,7 29,8 36,2 3,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 14,5 21,7 30,2 37,7 3,7
Menengah bawah 23,0 18,9 31,5 36,3 3,3
Menengah 31,3 18,6 30,7 29,6 1,8
Menengah atas 41,9 20,1 21,9 27,9 3,0
Teratas 48,7 19,9 20,1 24,0 4,0

Tabel 4.5 menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status
obat dikelompokkan menurut obat yang ‗sedang digunakan‘, obat ‗untuk persediaan‘ jika sakit,
dan ‗obat sisa‘. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari
penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Berdasarkan tempat tinggal didapati 40,7
persen rumah tangga menyimpan obat sisa di wilayah perkotaan, lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa di perdesaan (20,8%).

Tabel. 4.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat dan OT yang disimpan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Status Obat di Rumah Tangga


Karakteristik
Sedang digunakan Obat sisa Untuk persediaan

Tempat Tinggal
Perkotaan 35,9 40,7 43,5
Perdesaan 46,8 20,8 46,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 50,2 13,5 45,9
Menengah bawah 47,7 17,8 47,7
Menengah 43,0 25,7 48,3
Menengah atas 39,4 34,3 45,1
Teratas 38,1 40,3 41,9

4.2. Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG)


Tabel 4.6 menunjukkan bahwa di Provinsi Aceh terdapat 33,7 persen rumah tangga yang
mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar
(79,3%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG.

Tabel 4.6
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG)
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Mengetahui tentang Pengetahuan tentang OG


Kabupaten/Kota
OG Benar* Salah
Simeulue 23,0 4,5 95,5
Aceh Singkil 21,5 0,8 99,2
Aceh Selatan 14,0 1,9 98,1
Aceh Tenggara 78,2 38,1 61,9
Aceh Timur 13,5 2,4 97,6
Aceh Tengah 11,3 0,5 99,5
Aceh Barat 16,6 1,9 98,1
Aceh Besar 68,1 18,1 81,9
Pidie 11,6 1,8 98,2
Bireuen 16,8 2,5 97,5
Aceh Utara 31,0 3,9 96,1
Aceh Barat Daya 18,6 9,6 90,4
Gayo Lues 19,3 4,5 95,5
Aceh Tamiang 35,0 1,5 98,5
Nagan Raya 9,0 1,2 98,8
Aceh Jaya 50,5 9,9 90,1
Bener Meriah 27,5 3,3 96,7
Pidie Jaya 17,1 1,4 98,6
Kota Banda Aceh 66,1 16,3 83,7
Kota Sabang 43,2 10,5 89,5
Kota Langsa 51,8 3,7 96,3
Kota Lhokseumawe 53,5 8,0 92,0
Kota Subulussalam 11,4 1,3 98,7
Aceh 33,7 20,7 79,3
*Berpengetahuan ’BENAR’ tentang Obat Generik (OG) adalah jika Rumah Tangga menjawab ’YA’ untuk pernyataan
bahwa OG adalah ’Obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek’ dan ’Obat tanpa merek dagang’

Tabel 4.7 menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan
(11,5%) maupun di perdesaan (4,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi
proporsi RT dengan pengetahuan benar tentang OG.
Tabel 4.7
Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Mengetahui tentang Pengetahuan tentang OG
Karakteristik
OG Benar* Salah
Tempat Tinggal
Perkotaan 48,6 11,5 88,5
Perdesaan 23,7 4,3 95,7
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 13,4 3,4 96,6
Menengah bawah 18,0 3,0 97,0
Menengah 29,1 4,8 95,2
Menengah atas 47,2 10,1 89,9
Teratas 53,7 12,3 87,7
*Berpengetahuan ’BENAR’ tentang Obat Generik (OG) adalah jika Rumah Tangga menjawab ’YA’ untuk
pernyataan bahwa OG adalah ’Obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek’ dan ’Obat tanpa merek
dagang’

Tabel 4.8 menunjukkan 83,3 persen rumah tangga di perdesaan mempunyai persepsi OG
sebagai obat murah lebih tinggi dibanding perkotaan (69,1%), sedangkan yang berpendapat
sebagai obat program pemerintah, lebih tinggi di perkotaan (75,7%) daripada di perdesaan
(68,8%). Sebesar 50,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat
bermerek di daerah perkotaan, dan ini lebih tinggi dari daerah perdesaan (35,1%). Persepsi
tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih
baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa
merek dagang, masih sangat rendah baik di perkotaan (31,4%) maupun di perdesaan (21,7%),
padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui
masyarakat luas.

Tabel 4.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsi tentang obat generik (OG )
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persepsi Responden Tentang OG
Obat Dapat Obat Khasiat
Obat
Obat Obat bagi dibeli di tanpa sama dg
Karakteristik Program
Gratis Murah Pasien Warung Merek Obat
Pemerintah
Miskin Dagang Bermerek
Tempat Tinggal
Perkotaan 69,1 82,6 50,3 28,6 31,4 50,5 75,7
Perdesaan 83,3 86,3 63,6 39,1 21,7 35,1 68,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 89,2 87,9 77,7 53,0 26,1 36,1 61,8
Menengah bawah 82,9 84,9 67,3 41,3 22,4 34,1 63,4
Menengah 76,7 84,3 57,2 33,3 20,1 35,8 71,1
Menengah atas 76,9 85,1 50,7 28,5 28,1 44,5 75,4
Teratas 70,3 83,4 54,1 31,8 29,7 48,9 76,1

Tabel 4.9 menunjukkan informasi tentang OG paling banyak didapat dari tenaga kesehatan, di
perdesaan sebanyak 80,9 persen lebih tinggi dari di perkotaan 74,0 persen. Sedangkan melalui
Tabel 4.9
Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG)
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Rumah tangga yang mengetahui tentang OG dan menyatakan sumber informasi
Karakteristik OG diperoleh dari:
Media Media Tenaga Kader, Teman,
Pendidikan
cetak elektronik kesehatan toma kerabat
Tempat Tinggal
Perkotaan 40,9 68,4 74,0 29,2 29,2 22,2
Perdesaan 49,6 67,9 80,9 38,7 40,8 14,4
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 49,8 64,4 81,7 43,2 45,4 6,0
Menengah bawah 41,7 62,5 82,9 37,8 44,4 10,8
Menengah 43,2 66,7 74,2 37,0 34,0 15,2
Menengah atas 44,7 68,4 75,9 33,0 30,2 19,7
Teratas 48,7 72,6 78,7 29,8 35,2 25,0

4.3. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad)


Yankestrad terdiri dari 4 jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang
menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat
(akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa
alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan
keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga
dalam). Tabel pada sub-blok ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah
memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan
serta alasan utama memanfaatkannya.

Gambar 4.2
Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Tabel 4.10 menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad tertinggi di
Kabupaten Bener Meriah (68,9%) dan Kota Subulussalam (50,1%), terendah di Kota Sabang
(1,1%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Kota Sabang
(100%) dan yang terendah di Bener Meriah (3,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan
Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kabupaten Gayo Lues (15%) dan terendah di
Kabupaten Bener Meriah (0,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad
keterampilan tanpa alat tertinggi di Kabupaten Bener Meriah (98,4%) dan terendah di Kabupaten
Pidie (18,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan
pikiran, tertinggi di Kabupaten Pidie (55,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tengah (1,1%).

Tabel 4.10
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Pernah Yankestrad Yankestrad Yankestrad


Yankestrad
Kabupaten/Kota memanfaatkan ketrampilan ketrampilan ketrampilan dg
ramuan
Yankestrad dengan alat tanpa alat pikiran

Simeulue 14,4 42,6 2,4 79,8 17,2


Aceh Singkil 31,0 59,2 4,3 81,5 4,9
Aceh Selatan 30,4 90,2 2,5 20,2 3,5
Aceh Tenggara 43,9 77,9 3,8 88,5 4,1
Aceh Timur 18,6 52,8 7,6 36,6 39,3
Aceh Tengah 31,5 7,2 9,8 90,8 1,1
Aceh Barat 14,9 52,5 1,7 47,3 30,6
Aceh Besar 4,5 52,6 12,2 46,5 7,7
Pidie 13,2 45,0 3,3 18,8 55,5
Bireuen 18,0 26,3 6,6 81,3 2,8
Aceh Utara 11,2 71,1 1,1 26,0 11,7
Aceh Barat Daya 10,8 42,4 8,7 40,3 17,4
Gayo Lues 19,0 14,4 15,0 45,8 38,1
Aceh Tamiang 11,5 22,3 3,7 71,3 11,4
Nagan Raya 4,0 49,7 22,2 30,7
Aceh Jaya 11,5 14,6 9,2 75,8 12,2
Bener Meriah 68,9 3,7 0,8 98,4 7,2
Pidie Jaya 7,9 29,0 2,9 40,7 34,5
Kota Banda Aceh 14,2 56,2 6,2 51,2 6,2
Kota Sabang 1,1 100,0 43,0
Kota Langsa 13,9 25,1 7,4 78,9 7,8
Kota Lhokseumawe 30,4 50,3 8,5 57,9 34,9
Kota Subulussalam 50,1 18,4 2,7 90,1 43,1
Aceh 18,5 44,3 4,9 61,1 17,1
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan
tanpa alat lebih banyak di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, sebaliknya proporsi
rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan lebih tinggi diperdesaan. Pemanfaatan
Yankestrad keterampilan tanpa alat sejalan dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan,
Sedangkan pemanfaatan Yankestrad ramuan terbanyak dilakukan oelh kuintil indeks
kepemilikan terbawah. Seperti terlihat pada tabel 4.11

Tabel 4.11
Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis
Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Pernah Yankestrad Yankestrad Yankestrad


Yankestrad
Karakteristik memanfaatkan ketrampilan ketrampilan ketrampilan dg
ramuan
yankestrad dengan alat tanpa alat pikiran
Tempat Tinggal
Perkotaan 17,6 41,7 7,0 67,4 11,3
Perdesaan 18,9 45,3 4,1 58,7 19,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 19,0 57,3 2,8 52,2 22,8
Menengah bawah 17,5 42,4 4,0 62,1 20,0
Menengah 17,2 36,3 3,2 65,1 17,4
Menengah atas 19,3 39,8 6,1 63,1 12,4
Teratas 19,7 43,1 9,3 65,1 11,3

Tabel 4.12 memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai yankestrad oleh
rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat
sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama ‗menjaga kesehatan,
kebugaran‘. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama ‗coba-coba‘ cukup tinggi untuk
yankestrad keterampilan dengan alat (13,1%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak
negatif dari penggunaan alat yang belum terstandardisasi. Alasan utama karena ‗tradisi
kepercayaan‘ terlihat dominan pada pemanfaatan yankestrad keterampilan dengan pikiran
(57,0%).

Tabel 4.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan
Yankestrad, Provinsi Aceh 2013
Alasan memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat
Karakteristik Menjaga Tradisi
Lebih Biaya Lebih Putus Coba- Lain
kesehatan keper-
manjur murah aman asa coba nya*)
kebugaran cayaan
Yankestrad Ramuan 16,2 7,0 39,5 22,1 4,0 7,1 2,8 1,3
Keterampilan dengan
22,7 16,1 23,0 17,5 4,9 0,0 13,1 2,2
alat
Keterampilan tanpa
33,0 31,0 23,0 3,8 3,5 2,0 2,3 1,4
alat
Keterampilan dengan
0,9 19,7 57,0 3,8 0,0 7,5 10,1 0,6
pikiran
Daftar Pustaka

Badan POM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). 2008

Database Registrasi, Badan POM RI. Accessed September 2013


fromhttp://www.pom.go.id/webreg/index.php/home/produk/

Hardon A, Hodgkin C and Fresle D. How to investigate the use of medicines by consumers.
WHO and University of Amsterdam, 2004.

Media Informasi Obat dan Penyakit – online. http://medicastore.com/

MIMS Indonesia.108th. Edition. 2007.

World Health Organization. Guidelines for the regulatory assessment of Medicinal Products for
use in self-medication. WHO/EDM/QSM/00.1, 2000.
BAB 5. KESEHATAN LINGKUNGAN

Aprildah Nur Sapardin, Marice Sihombing, dan Endi Ridwan

Topik kesehatan lingkungan pada Riskesdas 2013 ditujukan untuk mengevaluasi program yang
sudah ada, menindaklanjuti upaya perbaikan yang akan dijalankan, dan mengidentifikasi faktor
risiko lingkungan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Dengan diperolehnya data
kesehatan lingkungan termutakhir, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam
upaya pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Pada Riskesdas 2013 disajikan data
kesehatan lingkungan yang meliputi, air minum, sanitasi (jamban dan sampah), dan kesehatan
perumahan. Data kesehatan perumahan meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan
kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk memasak, dan penggunaan
atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan
data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran
penyakit tular vektor (DBD, malaria).
Sebagai unit analisis adalah rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis data
dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan keadaan kesehatan lingkungan menurut provinsi,
tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan. Hasil lebih rinci dari blok Kesehatan Lingkungan
dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 75 sampai
dengan 112, tabel 5.1 sampai tabel 5.66

5.1 Air Minum dan Air untuk Keperluan Rumah tangga


Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air untuk keperluan
minum dan keperluan rumah tangga. Rerata pemakaian air per orang per hari, jarak sumber air
terhadap penampungan tinja, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum, anggota rumah
tangga yang mengambil air, kualitas fisik air, pengelolaan (pengolahan dan penyimpanan) air
minum. Untuk akses terhadap sumber air minum digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun
2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga memiliki akses ke sumber air minum improved
adalah rumah tangga dengan sumber air minum dari air ledeng/PDAM, sumur bor/pompa,
sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan air kemasan (HANYA
JIKA sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya improved).
Hasil menunjukkan bahwa jenis sumber air untuk seluruh kebutuhan rumah tangga di Provinsi
Aceh pada umumnya adalah sumur gali terlindung (46,7%), air ledeng/PDAM (17,6%) dan sumur
gali tidak terlindungi (12,8%) (Riskesdas 2013 dalam Angka). Di perkotaan, lebih banyak rumah
tangga yang menggunakan air dari sumur gali terlindungi (37,9%) dan air ledeng/PDAM (35,7%),
sedangkan di perdesaan lebih banyak yang menggunakan sumur gali terlindung (50,2%).
Pada rumah tangga yang menggunakan sumber air untuk seluruh keperluan rumah tangga
selain air sungai/danau/irigasi, pemakaian air per orang per hari oleh rumah tangga di Provinsi
Aceh, pada umumnya berjumlah antara 50 sampai 99,9 liter (29,1%), dan antara 100 sampai
300 liter (44,4%). Proporsi rumah tangga tertinggi untuk pemakaian air antara 100 liter sampai
300 liter per orang per hari paling tinggi adalah Pidie (80,2%), sedangkan proporsi terendah
adalah Aceh Selatan (3,0%). Masih terdapat rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20
liter per orang per hari, bahkan kurang dari 7,5 liter per orang per hari (masing-masing 1,8
persen dan 0,0 persen). Berdasarkan kabupaten/kota, proporsi rumah tangga dengan jumlah
pemakaian air per orang per hari kurang dari 20 liter tertinggi adalah Pidie (0,2%) diikuti Bener
Meriah dan Kota Langsa (masing-masing 0,1 persen).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pemakaian air kurang dari 20 liter per
tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah kecenderungan
pemakaian air adalah kurang dari 100 liter per orang per hari.
Untuk sumber air minum, rumah tangga di Provinsi Aceh menggunakan air kemasan, air isi
ulang/depot air minum, air ledeng baik dari PDAM maupun membeli eceran, sumur bor/pompa,
sumur terlindung, mata air (baik terlindung maupun tidak terlindung), penampungan air hujan
dan air sungai/irigasi.
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved di Provinsi
Aceh adalah sebesar 66,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah
tangga yang memiliki akses terhadap air minum improved adalah Aceh Tenggara (67,5%), Aceh
Jaya (63,3%), Pidie (62,3%), Bireuen (61,9%) dan Nagan Raya (59,7%); sedangkan lima
kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh (12,4%), Sabang (18,4%), Lhokseumawe (24,7%),
Langsa (25,7%) dan Aceh Tamiang (28,1%).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air
minum improved di perkotaan (28,1%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (54,8%).
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved paling tinggi
adalah rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (61,1%) dan terbawah
(57,7%) (Gambar 5.1).

Gambar 5.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum Improved menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, maka proporsi rumah tangga di
Provinsi Aceh yang memiliki akses terhadap sumber air minum improved cenderung meningkat
(tahun 2007: 48,2%; tahun 2013: 53,4%) (Gambar 5.2).
Gambar 5.2
Kecenderungan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum
Improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013

Gambar 5.3 menunjukkan situasi anggota rumah tangga menurut gender yang biasa mengambil
air di Provinsi Aceh. Pada umumnya yang biasa mengambil air minum adalah laki-laki dewasa
dan perempuan dewasa (masing-masing 63,7% dan 35,2%). Apabila dibandingkan, proporsi
anggota rumah tangga laki-laki dewasa mengambil air di perkotaan (76,8%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (58,6%); sedangkan untuk perempuan dewasa di perdesaan (40,2%)
lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (22,3%).

Gambar 5.3
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air,
Provinsi Aceh 2013

Masih terdapat anak laki-laki (0,6%) dan anak perempuan (0,5%) berumur di bawah 12 tahun
yang biasa mengambil air untuk kebutuhan minum rumah tangga. Proporsi rumah tangga
dengan anak perempuan berumur di bawah 12 tahun sebagai pengambil air minum di perkotaan
Gambar 5.4
Proporsi rumah tangga berdasarkan anggota rumah tangga yang biasa mengambil air menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes RI) No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang


Kualitas Air Minum disebutkan bahwa air minum harus memenuhi persyaratan kesehatan secara
fisik, kimia, dan mikrobiologi. Dalam laporan ini air minum yang dikonsumsi dikategorikan baik
apabila memenuhi persyaratan kualitas fisik; yaitu tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa,
tidak berbusa, dan tidak berbau. Pada umumnya air minum rumah tangga di Provinsi Aceh
(88,2%) termasuk dalam kategori baik (tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa,
dan tidak berbau). Masih terdapat rumah tangga dengan kualitas air minum keruh (8,4%),
berwarna (6,4%), berasa (4,0%), berbusa (1,2%), dan berbau (3,8%). Berdasarkan provinsi,
proporsi rumah tangga tertinggi dengan air minum keruh, berwarna dan berasa adalah di Nagan
Raya (masing-masing 25,0%; 24,4% dan 13,6%), berbusa di Aceh Timur (3,4%) dan berbau
adalah di Aceh Utara (12,9%). (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik (tidak
keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbusa, dan tidak berbau) di perkotaan (96,0%) lebih
tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (92,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan,
proporsi rumah tangga dengan kualitas air minum kategori baik cenderung meningkat (Gambar
5.5).
Gambar 5.5
Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas fisik air minum menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 5.6 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum
diminum menurut kabupaten/kota. Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum di minum
di Provinsi Aceh sebesar 59,5 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi dengan rumah tangga
mengolah air sebelum diminum adalah Pidie Jaya (84,5%), Bener Meriah (82,2%),
Subulussalam (80%), Aceh Timur (78,5%), dan Bireuen (74,3%) sedangkan lima provinsi
terendah adalah Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Tamiang.

Gambar 5.6
Proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum menurut
Gambar 5.7
Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air minum
sebelum diminum, Provinsi Aceh 2013

Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga yang melakukan pengolahan air sebelum diminum
dengan cara pemanasan/dimasak, di perkotaan (95,7%) hampir sama dengan di perdesaan
(95,9%). Tidak ada perbedaan proporsi diantara tingkat kuintil indeks kepemilikan dalam
melakukan pengolahan air minum dengan cara dipanaskan atau dimasak.

5.2 Sanitasi
Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi penggunaan fasilitas buang air
besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air
limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah. Untuk akses
terhadap fasilitas tempat buang air besar (sanitasi) digunakan kriteria JMP WHO - Unicef tahun
2006. Menurut kriteria tersebut, rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved adalah rumah tangga yang menggunakanfasilitas BAB milik sendiri, jenis tempat BAB
jenis leher angsa atau plengsengan, dan tempat pembuangan akhir tinja jenis tangki septik.
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga di Provinsi Aceh menggunakan
fasilitas BAB milik sendiri (64,6%), milik bersama (5,7%), dan fasilitas umum (7%). Tertinggi
untuk proporsi rumah tangga menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah Kota Banda Aceh
(98,1%); diikuti oleh Kota Langsa (90,5%). Meskipun sebagian besar rumah tangga di Provinsi
Aceh memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB
sehingga melakukan BAB sembarangan, yaitu sebesar 22,7 persen. Proporsi rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas BAB/BAB sembarangan tertinggi adalah Kabupaten Gayo Lues
(59,2%); Aceh Tenggara (43,7%);dan Pidie (40,9%) (Buku Riskesdas 2013 dalam Angka).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri
di perkotaan lebih tinggi (87,6%) dibandingkan di perdesaan (55,4%); sedangkan proporsi rumah
tangga BAB di fasilitas milik bersama, umum, maupun sembarangan, di perdesaan (masing-
masing 5,8, 9,1, dan 29,7 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (5,5, 1,8, dan 5
persen). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah tangga
yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks kepemilikan,
proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi (Buku Riskesdas
Masih terdapat rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik (SPAL,
kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun).
Kabupaten/kota dengan proporsi pembuangan akhir tinja ke tangki septik terendah adalah Aceh
Tenggara (26,4%), Gayo Lues (34%) dan Aceh Timur (39,4%)

Gambar 5.8
Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat pembuangan akhir tinja menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga dengan pembuangan akhir tinja menggunakan
tangki septik di perkotaan lebih tinggi (87,2%) dibanding di perdesaan (53,1%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga dengan pembuangan tinja ke tangki septik
juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi rumah
tangga yang tidak menggunakan tangki septik semakin tinggi (Buku Riskesdas dalam Angka
2013).
Tabel 5.1 menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi improved
sesuai dengan kriteria JMP WHO - Unicef tahun 2006. Proporsi rumah tangga yang memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi improved di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah sebesar 53,4
persen. Kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas
sanitasi improved tertinggiadalah Kota Banda Aceh (97%), Lhokseumawe (84,2%), Kabupaten
Aceh Jaya (82,4%), Kota Sabang (80,8%) dan Kota Langsa (80,6%), sedangkan
kabupaten/kota dengan proporsi akses terendah adalah Kabupaten Aceh Tenggara (21,4%),
Aceh Barat Daya (26,1%), Gayo Lues (27,6%) dan Pidie (29,8%).
Tabel 5.1
Proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
berdasarkan kriteria JMP WHO – Unicef 2006 menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Akses Fasilitas Sanitasi
Kabupaten/Kota
Improved *) Unimproved **)
Simeulue 44,6 55,4
Aceh Singkil 54,7 45,3
Aceh Selatan 41,4 58,6
Aceh Tenggara 21,4 78,6
Aceh Timur 35,3 64,7
Aceh Tengah 70,9 29,1
Aceh Barat 58,1 41,9
Aceh Besar 56,6 43,4
Pidie 29,8 70,2
Bireuen 67,9 32,1
Aceh Utara 46,7 53,3
Aceh Barat Daya 26,1 73,9
Gayo Lues 27,6 72,4
Aceh Tamiang 68,2 31,8
Nagan Raya 43,2 56,8
Aceh Jaya 82,4 17,6
Bener Meriah 53,0 47,0
Pidie Jaya 55,2 44,8
Kota Banda Aceh 97,0 3,0
Kota Sabang 80,8 19,2
Kota Langsa 80,6 19,4
Kota Lhokseumawe 84,2 15,8
Kota Subulussalam 40,4 59,6
ACEH 53,4 46,6
*)Fasilitas sendiri, sarana jamban leher angsa dan atau plengsengan,pembuangan akhir tinja di

tangki septik
**) Tidak memiliki fasilitas, sarana jamban cemplung,pembuangan akhir tinja di tangki septik

Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved di perkotaan (80,6%) lebih tinggi dibanding di perdesaan (42,5%). Semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan, proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved juga semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan; proporsi
rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved semakin tinggi
(Gambar 5.9).
Gambar 5.10 menunjukkan proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah dari
kamar mandi tempat cuci, maupun dapur. Pada umumnya limbah rumah tangga di Aceh
membuang limbahnya langsung ke got sebesar 45,4 persen, diikuti tanpa penampungan sebesar
16,0 persen, tertutup di pekarangan/SPAL 15,7 persen, kemudian masih sebanyak 8,5 persen
yang menggunakan penampungan di luar pekarangan, dan penampungan terbuka di lapangan
sebanyak15,3 persen.

Gambar 5.10
Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Aceh 2013

Dalam hal cara pengelolaan sampah, hanya 13,7 persen rumah tangga di Provinsi Aceh yang
pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Sebagian besar rumah tangga mengelola
sampah dengan cara dibakar (70,6%), ditimbun dalam tanah (3,6%), dibuat kompos (0,2%),
dibuang ke kali/parit/laut (7,6%), dan dibuang sembarangan (4,4%). (Gambar 5.11)

Gambar 5.11
Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, Provinsi Aceh 2013

Lima kabupaten/kota dengan proporsi rumah tangga mengelola sampah dengan cara diangkut
petugas tertinggi adalah Kota Banda Aceh (79,2%), Lhokseumawe (46,1%), Sabang (45,4%),
Langsa (30,0%) dan Aceh Tengah (23,5)%.
dengan cara dibakar dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih rendah (Buku Riskesdas
dalam Angka 2013).
Lima kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga yang mengelola sampahnya
dengan dibakar adalah Aceh Besar (89,6%), Nagan Raya (89,1%), Bireuen (88,7%), Aceh
Tamiang (84,3%) dan Aceh Utara (82,8%). Lima kabupaten/kota terendah adalah Banda Aceh
(18,3%), Aceh Tengah (32,7%), Lhokseumawe (37,8%), Bener Meriah (42,6%) dan Sabang
(50,7%). (Gambar 5.12)

Gambar 5.12
Proporsi rumah tangga berdasarkan pengelolaan sampah dengan dibakar menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
5.3 Perumahan

Data perumahan yang dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 adalah data status penguasaan
bangunan, kepadatan hunian, jenis bahan bangunan (plafon/langit-langit, dinding, lantai), lokasi
rumah, kondisi ruang rumah (terpisah, kebersihan, ketersedian dan kebiasaan membuka
jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami), penggunaan bahan bakar untuk memasak, perilaku
rumah tangga dalam menguras bak mandi dan penggunaan/penyimpanan bahan berbahaya dan
beracun seperti pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Tabel secara lengkap
disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan dapat dilihat pada Gambar
5.13, terlihat bahwa pada umumnya rumah tangga di Provinsi Aceh menempati rumah milik
sendiri sebanyak 83,5 persen. Masih terdapat rumah tangga yang menempati rumah dengan
cara kontrak dan sewa, menempati rumah milik orang lain, milik orang tua/sanak/saudara
maupun rumah dinas.

Gambar 5.13
Proporsi rumah tangga berdasarkan status penguasaan bangunan tempat tinggal,
Provinsi Aceh 2013

Menurut karakteristik, proporsi rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri
di perkotaan lebih rendah (71,0%) dari pada di perdesaan (88,5%). Demikian juga proporsi
rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak maupun sewa, di perkotaan kontrak
(71%) lebih rendah dari pada di perdesaan (88,5%), sedangkan sewa sebaliknya. (Tabel 5.25).
Kepadatan hunian merupakan salah satu persyaratan rumah sehat. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
disebutkan bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan
sebagai padat. Proporsi rumah tangga di Provinsi Aceh yang termasuk ke dalam kriteria tidak
padat (<8 m2/orang) adalah sebesar 13,8 persen. Kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi
untuk rumah tangga dengan kategori kurang padat adalah Kabupaten Aceh Timur (25,4%), Aceh
Tenggara (20,4%), dan Aceh Singkil (20,0%). Sementara rumah tangga yang termasuk katagori
padat ≥ 8 m2/orang) di Provinsi Aceh adalah 86,2 persen (Gambar 5.14)
Gambar 5.14
Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2007 dan 2013

Gambar 5.15 memperlihatkan kondisi fisik banunan rumah (jenis bahan) yang meliputi
plafon/langit-langit, dinding dan lantai terluas. Proporsi rumah tangga dengan atap rumah terluas
berplafon adalah sebesar 45,4 persen, dinding terbuat dari tembok sebesar 54,1 persen, dan
lantai bukan tanah sebesar 87,6 persen.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa proporsi rumah dengan atap terluas berplafon di
perkotaan lebih tinggi (76,5%) dibandingkan di perdesaan (45,7%). Demikian juga untuk dinding
dan lantai, jenis bahan dinding terluas terbuat dari tembok dan jenis lantai bukan tanah untuk
wilayah perkotaan lebih tinggi (dinding tembok: 59,8%; lantai bukan tanah: 40,3%) dibandingkan
perdesaan (dinding tembok: 98,5%; lantai bukan tanah: 92,2%).
Pada gambar 5.16 ini disajikan kondisi ruangan dalam rumah seperti ketersediaan ruang tidur,
ruang dapur dan ruang keluarga dilihat dari keadaan, kebersihan, tersediaan jendela, ventilasi
dan pencahayaannya. Sebagian besar ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruang lainnya.
Dalam hal kebersihan, sekitar tiga perempat rumah tangga kondisi ruang tidur, ruang keluarga
maupun dapurnya bersih dan berpencahayaan cukup. Tetapi kurang dari 50 persen rumah
tangga yang ventilasinya cukup dan dilengkapi dengan jendela yang dibuka setiap hari.

Gambar 5.16
Proporsi rumah tangga berdasarkan ketersediaan ruang tidur, ruang keluarga dan ruang dapur
dengan kebersihan, keberadaan jendela, ventilasi, dan pencahayaan alami, Provinsi Aceh 2013

Gambar 5.17 memperlihatkan jenis sumber penerangan di Indonesia, sebagian besar (96,8%)
rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik sebagai sumber penerangan dalam rumah,
siasanya (3,2%) menggunakan petromaks/aladin, pelita/sentir/obor (non listrik).

Gambar 5.17
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan, Provinsi Aceh 2013

Gambar 5.18 memperlihatkan proporsi rumah tangga sesuai jenis penerangan non listrik
Gambar 5.18
Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan non listrik menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Jenis penggunaan bahan bakar di rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 5.20. Menurut
Keputusan Menterian Kesehatan Republik Indonesia No 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan, jenis bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga per
kabupaten/kota dikelompokan menjadi dua, yaitu yang aman artinya tidak berpotensi
menimbulkan pencemaran (listrik dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi
menimbulkan pencemaran (minyak tanah, arang dan kayu bakar). Proporsi rumah tangga yang
menggunakan bahan bakar aman di Provinsi Aceh adalah sebesar 64 persen.
Menurut karakteristik, penggunaan bahan bakar yang aman di perkotaan (82,2%) lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan (56,7%). Sebaliknya, proporsi rumah tangga yang menggunakan
bahan bakar tidak aman lebih tinggi di perdesaan (43,3%) dibanding di perkotaan (17,8%)
(Gambar 5.19).

Gambar 5.19
(masing-masing 31,5%; 6,4%, dan 25,6%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (masing-
masing 10,4%; 3,3%; dan 7,7%).

Gambar 5.20
Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku mencegah gigitan nyamuk, Provinsi Aceh 2013

Gambar 5.21 menunjukkan penyimpanan/penggunaan pestisida/insektisida/pupuk kimia di


dalam rumah di Indonesia. Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan
pestisida/insektisida/pupuk kimia sebesar 15,9 persen. Penyimpanan/penggunaan
pestisida/insektisida/pupuk kimia di perkotaan (18,7%) sedikit lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan (14,8%).

Gambar 5.21
Proporsi rumah tangga yang menggunakan atau menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia,
Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
829/Menkes/SK/VII/199 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Kualitas air Minum
Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1077/Menkes/Per/V/2011
WHO,UNICEF. 2006. Meeting The MDG Drinking Water and Sanitation Target: The Urban and
Rural Challenge of The Decade. WHO Press. Geneva.Hal 1- 41
WHO,UNICEF. 2013. Progress on Sanitation and Drinking Water – 2013 Update . WHO Press.
Geneva. Hal 1-38
BAB 6. PENYAKIT MENULAR

Aprildah Nur Sapardin, Marice Sihombing dan Endi Ridwan


Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok
umur dengan total sampel 40.951 responden di 23 kabupaten/kota Provinsi Aceh. Informasi
yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang digali melalui
teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur
secara klinis. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh
tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis,
ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G:
gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit merupakan data yang didapat
dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden, period prevalence
dan prevalensi merupakan angka kesakitan yang diukur berdasarkan onset penyakit dalam
kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence
dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang.
Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang
ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis),
penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air,
dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Penyakit-penyakit tersebut berhubungan
dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), MDG dan program pengendalian
hepatitis di Indonesia yang pertama kali dilakukan di dunia. Hasil lebih rinci dari blok Penyakit
Menular dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka halaman 114
sampai dengan 129 tabel 6.1 sampai tabel 6.16.

6.1 Penyakit yang ditularkan melalui Udara


Penyakit yang ditularkan melalui udara yang akan disajikan dalam laporan ini meliputi ISPA,
pneumonia dan tuberkulosis paru. Semua jenis penyakit ini juga dikumpulkan pada Riskesdas
2007. Tabel 3.4.1 menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan
melalui udara meliputi ISPA, Pneumonia menurut kabupaten/kota di Provinsi Aceh dan Tabel
3.4.2. memperlihatkan hal yang sama menurut karakteristik.

6.1.1 ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan
panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering
atau berdahak. Periode prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir di Provinsi
Aceh sebesar 30,0 persen. Lima kabupaten/kota dengan ISPA tertinggi adalah kabupaten Aceh
Timur (43,2%), Bireun (38,7%), kota Subulussalam (38,3%), Aceh Utara (35,1%) dan Aceh
Tengah (34,3%).
Gambar 6.1
Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013

Pada Riskesdas 2007, Bireuen juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA. Period
prevalence ISPA Provinsi Aceh menurut Riskesdas 2013 (48,7%) tidak jauh berbeda dengan
2007 (38,7%), walau angka prevalence sudah turun. (Gambar 6.1)
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(32,6%). Menurut jenis kelamin, tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini
lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan pendidikan tidak sekolah (37,9%), kuintil
indeks kepemilikan terbawah (lihat Tabel 6.2).
Tabel 6.1
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence
Period Prevalence Pneumonia Prevalensi pneumonia
Kabupaten/Kota ISPA
D D/G D D/G D D/G
Simeulue 19,7 28,4 0,4 1,5 1,6 3,7
Aceh Singkil 9,3 23,4 0,4 2,7 1,0 4,6
Aceh Selatan 15,2 29,1 0,9 4,2 4,1 9,4
Aceh Tenggara 17,0 25,8 0,1 1,8 0,7 3,6
Aceh Timur 32,8 43,2 0,4 6,2 1,9 11,1
Aceh Tengah 14,4 34,3 0,2 1,3 0,9 2,2
Aceh Barat 15,1 26,1 1,0 3,5 3,5 7,8
Aceh Besar 18,4 18,9 0,1 0,6 1,4 2,1
Pidie 12,9 22,0 0,5 1,5 2,5 4,3
Bireuen 30,1 38,7 0,2 4,1 1,6 7,2
Aceh Utara 24,7 35,1 0,6 2,5 2,5 5,6
Aceh Barat Daya 22,9 32,6 0,5 2,6 1,4 5,6
Gayo Lues 12,1 21,9 0,2 1,1 0,5 1,7
Aceh Tamiang 12,6 27,7 0,1 2,2 0,4 3,7
Nagan Raya 19,3 23,7 0,2 0,8 2,9 4,2
Aceh Jaya 14,6 21,6 0,3 1,6 1,9 4,0
Bener Meriah 14,8 32,7 0,1 1,0 0,8 2,7
Pidie Jaya 25,7 30,3 0,4 3,2 2,6 6,8
Kota Banda Aceh 20,7 30,4 0,2 2,5 0,6 3,9
Kota Sabang 21,9 26,9 0,4 6,9 2,4 10,3
Kota Langsa 13,3 21,8 0,0 0,5 0,6 1,8
Kota Lhokseumawe 21,1 32,4 0,5 4,1 1,4 6,4
Kota Subulussalam 25,7 38,3 0,8 4,5 2,5 8,4
Aceh 20,1 30,0 0,4 2,6 1,8 5,4
*) D= Diagnosis, D/G = Diagnosis atau gejala

6.1.2. Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi
disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya
(sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua
penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang.
Period prevalencedan prevalensi pneumonia di Provinsi Aceh tahun 2013 sebesar 2,6 persen
dan 5,4 persen. Empat kabupaten/kota yang mempunyai period prevalence dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Aceh Timur, Kota Sabang,
Subulussalam dan Kabupaten Aceh Selatan (Tabel 6.1).
Berdasarkan kelompok umur penduduk, gambaran pneumonia yang tinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus
meninggi pada kelompok umur berikutnya. Insidens pneumonia mulai meningkat pada umur 35-
44 tahun dan terus meningkat pada umur berikutnya. Tidak ada perbedaan pada jenis kelamin
dan dialami oleh kuintil indeks kepemilikan terbawah (Tabel 6.2.)
Tabel 6.2
Period prevalence ISPA, period prevalence dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence Period Prevalence
Prevalensi Pneumonia
Karakteristik ISPA Pneumonia
D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 25,2 37,4 2,0 1,1 4,1
1-4 32,6 46,9 0,7 3,9 1,6 6,0
5-14 22,9 33,7 0,1 2,1 1,2 4,3
15-24 15,4 24,0 0,2 2,3 1,5 4,5
25-34 15,9 24,3 0,2 2,0 1,5 4,3
35-44 17,4 26,0 0,4 2,7 1,9 5,6
45-54 20,4 29,7 0,9 3,3 2,6 6,7
55-64 20,6 31,2 0,6 3,6 3,3 8,5
65-74 22,7 33,8 1,0 4,0 4,0 10,6
≥75 28,1 39,2 0,6 6,9 5,6 15,6
Jenis Kelamin
Laki-laki 20,9 30,9 0,5 2,9 2,0 5,9
Perempuan 19,4 29,0 0,3 2,4 1,6 4,9
Pendidikan
Tidak sekolah 27,0 37,9 0,5 3,5 2,3 7,2
Tidak tamat SD 21,9 32,4 0,3 2,8 1,7 5,6
Tamat SD 19,2 29,4 0,5 3,1 2,2 6,3
Tamat SMP 17,9 26,8 0,4 2,6 2,0 5,3
Tamat SMA 15,0 23,3 0,3 1,8 1,6 4,3
Tamat D1/D2/D3/PT 13,7 19,5 0,1 1,3 1,0 3,0
Pekerjaan
Tidak bekerja 18,2 26,9 0,3 2,4 1,7 5,0
Pegawai 13,6 20,8 0,2 1,1 1,2 3,1
Wiraswasta 17,0 25,6 0,6 2,6 2,0 5,6
Petani/Nelayan/Buruh 19,5 29,7 0,4 3,5 2,5 7,3
Lainnya 15,1 23,2 0,6 2,3 1,4 4,4
Tempat Tinggal
Perkotaan 17,8 27,7 0,3 1,9 1,2 3,9
Perdesaan 21,1 30,9 0,4 3,0 2,0 6,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 21,2 33,4 0,6 4,1 2,7 8,4
Menengah Bawah 20,7 31,1 0,3 2,8 1,9 5,4
Menengah 19,8 28,9 0,4 2,5 1,3 4,7
Menengah Atas 19,5 28,4 0,2 1,7 1,3 3,9
Teratas 19,2 27,5 0,3 1,9 1,7 4,1
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.
Penyakit TB ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤2 tahun berdasarkan diagnosis
yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan baik melalui pemeriksaan dahak, foto thoraks atau ke
duanya. Berbeda dengan penyakit-penyakit menular yang lain, gejala TB tidak ikut dimasukkan
dalam total jumlah penduduk dengan TB.
Prevalensi penduduk di Provinsi Aceh yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2013
adalah 1,6 persen ( terdiri dari (ya,≤ 1 tahun 0,3 persen dan ya > 1 tahun 1,3 persen). Lima
kabupaten/kota di Provinsi Aceh dengan TB tertinggi adalah Kota Subulussalam (3,7%),
Kabupaten Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Pidie, Aceh Barat Daya dan Pidie Jaya
masing-masing 2,1 persen. (Tabel 6.3)

Tabel 6.3
Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB
Kabupaten/kota OAT Batuk
Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah
Simeulue 0,1 1,1 12,9 5,0 5,0
Aceh Singkil 0,6 1,5 30,3 3,8 4,8
Aceh Selatan 1,1 2,5 18,4 7,3 5,5
Aceh Tenggara 0,2 2,0 6,5 3,7 2,0
Aceh Timur 0,5 0,6 25,4 4,6 5,1
Aceh Tengah 0,0 0,7 2,8 2,1 0,9
Aceh Barat 0,4 1,6 34,7 4,6 4,9
Aceh Besar 0,1 1,1 25,3 1,0 9,9
Pidie 0,2 1,9 46,8 4,0 3,9
Bireuen 0,3 1,4 36,7 4,6 3,6
Aceh Utara 0,4 1,3 27,2 3,4 3,1
Aceh Barat Daya 0,6 1,5 48,9 7,4 3,4
Gayo Lues 0,0 0,9 22,3 5,4 3,0
Aceh Tamiang 0,2 0,6 26,9 4,7 1,7
Nagan Raya 0,1 1,9 19,7 3,5 6,5
Aceh Jaya 0,0 0,5 7,2 1,1 3,5
Bener Meriah 0,1 1,4 3,4 4,6 1,0
Pidie Jaya 0,3 1,8 23,5 6,2 2,8
Kota Banda Aceh 0,1 0,8 16,1 5,8 1,6
Kota Sabang 0,3 0,6 3,2 0,4
Kota Langsa 0,1 1,4 19,9 2,1 1,4
Kota Lhokseumawe 0,3 1,6 30,2 3,9 3,3
Kota Subulussalam 0,9 2,8 33,6 7,8 2,7
Aceh 0,3 1,3 27,2 4,2 3,6
Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis TB adalah penduduk
> 55 tahun, laki-laki, pendidikan tidak sekolah dan bertempat tinggal di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi TB terendah terdapat pada kuintil indeks
kepemilikan teratas (1,5%) (Tabel 6.4).
Tabel 6.4
Diagnosis, pengobatan obat program, dan gejala TB menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Diagnosis TB dan yang diobati program Gejala TB
Karakteristik OAT Batuk
Ya, ≤ 1 thn Ya, > 1 thn Batuk ≥ 2 mgg
Program darah
Kelompok umur (tahun)
<1 0,1 0,6 11,2 3,9 0,4
1-4 0,0 0,8 0,8 3,9 2,8
5-14 0,1 1,0 11,8 4,0 1,5
15-24 0,2 1,2 16,8 3,1 1,4
25-34 0,3 1,4 24,5 3,3 4,1
35-44 0,6 1,5 27,2 4,5 5,8
45-54 0,5 2,0 39,9 4,8 6,5
55-64 0,8 2,4 46,8 6,6 5,9
65-74 1,3 1,9 54,9 9,0 5,0
≥75 0,5 1,0 72,9 7,8 2,7
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,4 1,6 30,4 4,6 3,6
Perempuan 0,2 1,1 22,2 3,7 3,5
Pendidikan
Tidak sekolah 0,2 1,6 29,8 5,7 3,4
Tidak tamat SD 0,5 1,4 29,9 4,9 2,8
Tamat SD 0,5 1,6 32,1 4,9 5,8
Tamat SMP 0,3 1,4 23,2 3,7 3,4
Tamat SMA 0,2 1,3 31,0 3,1 3,1
Tamat D1/D2/D3/PT 0,1 1,1 15,5 3,1 3,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,3 1,2 27,9 3,8 3,7
Pegawai 0,1 1,4 20,3 2,9 3,7
Wiraswasta 0,4 1,3 40,1 4,2 4,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,6 2,0 34,6 5,3 5,1
Lainnya 0,1 2,1 16,1 3,8 4,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,2 1,2 26,4 3,5 2,3
Perdesaan 0,4 1,4 27,4 4,4 4,0
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 1,4 34,5 5,1 5,3
6.2. Penyakit yang ditularkan melalui Makanan, Air dan lainnya
Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare
dan hepatitis. Penyakit ini juga diteliti pada Riskesdas 2007. Pada Riskesdas 2013, pertanyaan
diare ditambahkan dalam kurun waktu < 2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program.
6.2.1. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E.
Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut
kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada
kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa
menunjukkan gejala (asimptomatis).
Prevalensi hepatitis Provinsi Aceh tahun 2013 adalah1,8 persen. Lima kabupaten/kota dengan
prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur (5%), Bener Meriah (3,4%), Aceh
Utara (2,8%), Bireun (2,7%), Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh masing-masing (2,5%).
(Tabel 3.4.5).
Dalam Riskesdas 2013 ini mengumpulkan informasi insiden diare dan period prevalens diare.
Period prevalen diare di Provinsi Aceh pada Riskesdas 2013 sebesar 9,3 persen. Insiden diare
untuk seluruh kelompok umur di Aceh adalah 5 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden
dan period prevalen diare tertinggi adalah Kota Subulussalam (9,0% dan 15,7%), Kabupaten
Aceh Timur (8,9% dan 17%), Aceh Utara (7,4% dan 12,5%), Pidie Jaya (6,9% dan 12,7%) dan
Bireun (6,6% dan 10,5%). (Tabel 6.5).
Tabel 6.5
Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Prevalensi
Insiden Diare Period prevalence Diare
Kabupaten/Kota Hepatitis
D DG D DG D DG
Simeulue 0,2 1,2 2,6 2,9 3,1 6,6
Aceh Singkil 0,3 1,6 4,2 6,0 3,5 10,7
Aceh Selatan 0,0 2,0 4,4 5,0 4,9 10,8
Aceh Tenggara 0,0 0,8 4,6 5,3 2,7 9,0
Aceh Timur 0,7 5,0 7,2 8,9 6,6 17,0
Aceh Tengah 0,3 0,4 3,2 6,5 3,2 11,4
Aceh Barat 0,2 2,0 2,9 4,1 2,6 8,3
Aceh Besar 0,1 0,5 1,7 1,8 1,3 3,1
Pidie 0,3 1,0 3,2 3,8 3,6 8,6
Bireuen 0,9 2,7 5,7 6,6 2,8 10,5
Aceh Utara 0,1 2,8 6,2 7,4 3,6 12,3
Aceh Barat Daya 0,5 2,0 2,4 1,5 4,4
Gayo Lues 0,0 0,4 2,7 3,7 2,2 7,1
Aceh Tamiang 0,3 0,6 3,6 4,1 3,3 8,1
Nagan Raya 0,1 0,5 1,8 1,8 2,7 4,9
Aceh Jaya 0,1 1,8 3,7 4,0 2,6 6,8
Bener Meriah 0,3 3,4 3,1 5,0 2,4 9,8
Pidie Jaya 0,3 2,5 6,5 6,9 5,2 12,7
Kota Banda Aceh 0,2 2,5 1,1 2,0 1,6 4,7
Kota Sabang 0,1 0,1 1,9 2,4 1,0 3,4
Kota Langsa 0,1 0,4 1,9 2,4 1,7 5,2
Kota Lhokseumawe 0,4 1,1 5,3 6,0 2,8 9,2
Kota Subulussalam 1,8 8,8 9,6 5,6 15,7
Aceh 0,3 1,8 4,1 5,0 3,2 9,3

Berdasarkan pekerjaan, kelompok petani/nelayan/buruh menempati prevalensi hepatitis tertinggi


dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi mulai meningkat pada penduduk berusia
diatas 15 tahun dan prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
(Tabel 3.4.6). Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah kelompok yang
paling tinggi menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil
indeks kepemilikan, maka semakin tinggi proporsi diare pada penduduk. Jenis kelamin dan
tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (Tabel 6.6).
Tabel 6.6
Prevalensi hepatitis, insiden dan period prevalence diare menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Prevalensi Hepatitis Insiden Diare Period prevalence Diare
Karakteristik
D DG D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 0,3 7,7 8,7 5,0 14,3
1-4 1,0 9,3 10,5 5,5 16,9
5-14 0,1 1,2 4,2 5,0 2,8 8,7
15-24 0,4 1,8 3,2 4,3 2,4 7,7
25-34 0,3 1,9 3,0 3,5 2,9 7,7
35-44 0,4 2,5 3,6 4,7 3,0 8,8
45-54 0,5 2,9 3,0 3,9 4,1 9,1
55-64 0,3 2,4 4,6 5,5 3,5 10,3
65-74 0,4 2,2 4,3 5,3 3,0 9,0
≥75 1,0 4,0 4,6 5,3 5,1 12,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,4 2,4 4,3 5,2 3,3 9,5
Perempuan 0,2 1,3 4,0 4,9 3,2 9,2
Pendidikan
Tidak sekolah 0,4 2,4 3,8 4,8 4,0 9,9
Tidak tamat SD 0,2 1,8 4,2 4,8 2,9 9,0
Tamat SD 0,4 2,4 4,3 5,2 3,1 9,3
Tamat SMP 0,3 1,8 3,2 4,4 3,0 8,4
Tamat SMA 0,3 1,9 2,8 3,6 2,7 7,5
Tamat D1/D2/D3/PT 0,4 1,4 2,4 3,0 2,3 6,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,2 1,7 3,6 4,6 2,7 8,3
Pegawai 0,5 1,5 1,9 2,6 2,6 6,1
Wiraswasta 0,4 2,3 3,4 4,5 2,7 8,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,5 3,1 3,7 4,4 3,7 9,5
Lainnya 0,2 0,7 3,7 4,2 2,4 7,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,2 1,5 3,1 3,9 2,5 7,3
Perdesaan 0,3 2,0 4,6 5,5 3,5 10,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,4 2,5 5,1 6,1 4,0 11,4
Menengah Bawah 0,2 2,2 4,6 5,6 3,4 10,3
Menengah 0,2 1,5 4,6 5,4 3,2 9,9
Menengah Atas 0,3 1,4 3,0 4,0 2,9 7,6
Teratas 0,2 1,5 3,2 3,7 2,5 6,8
Tabel 6.7
Proporsi penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Hepatitis yang Diderita
Kabupaten/Kota
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya
Simeulue 41,8 49,1 41,8
Aceh Singkil
Aceh Selatan 1,2
Aceh Tenggara 100,0 100,0
Aceh Timur 32,7 32,7
Aceh Tengah 35,3
Aceh Barat 74,5 21,8 74,5
Aceh Besar 100,0
Pidie
Bireuen 3,9 18,9 3,9
Aceh Utara
Gayo Lues
Aceh Tamiang 12,9 12,9
Nagan Raya 57,0
Aceh Jaya 100,0 100,0
Bener Meriah
Pidie Jaya 44,1 4,5
Kota Banda Aceh 28,0 43,3 28,0
Kota Sabang 100,0 100,0
Kota Langsa
Kota Lhokseumawe 31,8
Aceh 13,4 15,8 0,1 13,4
*) 2 kabupaten/kota yang tidak ada hasilnya Aceh Barat daya dan kota Subulussalam

Berdasarkan karakteristik penduduk Aceh, yang paling banyak didiagnosis hepatitis A dan
hepatitis B pada kelompok umur > 60 tahun dengan jenis kelamin laki-laki pada hepatitis A dan
perempuan pada hepatitis B, pendidikan tamat SMA dan bertempat tinggal di daerah perkotaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi hepatitis A dan B terendah terdapat pada kuintil
indeks kepemilikan menengah (Tabel 6.8).
Tabel 6.8
Proporsi penderita hepatitis A,B,C dan hepatitis lain menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Penderita Hepatitis yang Diderita
Karakteristik
Hepatitis A Hepatitis B Hepatitis C Hepatitis Lainnya
Kelompok umur (tahun)
<1 25,9 36,8
1-4 17,8 8,9 0,5 5,2
5-14 9,0 14,9
15-24 19,9 24,6
25-34 3,3 19,9
35-44 9,4
45-54 34,4
55-64
65-74 25,9 36,8
≥75 17,8 8,9 0,5 5,2
Jenis Kelamin
Laki-laki 17,0 11,8 0,2 1,9
Perempuan 4,6 25,4
Pendidikan
Tidak sekolah 6,2 1,9
Tidak tamat SD 10,2
Tamat SD 8,5 12,9
Tamat SMP 5,8 14,2 8,9
Tamat SMA 34,9 29,6
Tamat D1/D2/D3/PT 17,0 24,5 1,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 2,5 21,4 0,4 3,6
Pegawai 13,7 33,7
Wiraswasta 48,6 34,2
Petani/Nelayan/Buruh 12,8 0,8
Lainnya
Tempat Tinggal
Perkotaan 17,4 30,8 0,6
Perdesaan 12,2 11,2 1,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 15,7
Menengah Bawah 6,8 5,7 0,8
Menengah 13,2 23,6
Menengah Atas 12,4 33,7 6,4
Teratas 18,4 33,0
6.2.2. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir.
Insiden diare balita di Provinsi Aceh adalah 10,2 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden
diare tertinggi adalah Kabupaten Pidie Jaya (17,9%), Aceh Tenggara (17,3%), Aceh Timur
(16,9%), Kota Subulussalam (16,4%) dan Kabupaten Aceh Utara (14,5%). (Tabel 6.9).

Tabel 6.9
Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence
Insiden Diare Balita (persen)
Kabupaten/Kota Pneumonia Balita (permil)
D DG D DG

Simeulue 2,7 2,7 14,3


Aceh Singkil 6,6 10,0 10,0
Aceh Selatan 6,5 7,2 14,6 41,5
Aceh Tenggara 16,3 17,3 31,6
Aceh Timur 14,6 16,9 7,6 103,1
Aceh Tengah 6,4 9,1
Aceh Barat 6,1 7,7 10,7
Aceh Besar 2,7 2,7 5,0 14,2
Pidie 7,3 8,7 8,6 21,6
Bireuen 12,4 12,4 42,7
Aceh Utara 13,9 14,5 26,7 30,9
Aceh Barat Daya 6,0 6,0 27,4
Gayo Lues 7,3 8,6 3,9
Aceh Tamiang 10,6 11,9 4,6 48,1
Nagan Raya 16,9
Aceh Jaya 5,2 5,6
Bener Meriah 6,2 10,5 8,9
Pidie Jaya 17,9 17,9 66,4
Kota Banda Aceh 2,7 5,2 46,4
Kota Sabang 1,5 1,5 96,7
Kota Langsa 5,2 6,0 10,0
Kota Lhokseumawe 6,9 7,0 50,0
Kota Subulussalam 15,5 16,4 40,5
ACEH 9,0 10,2 6,1 35,6

Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan sebanyak 16,0
persen, perempuan (10,5%), tinggal di daerah perdesaan (11,4%), dan kelompok kuintil indeks
Tabel 6.10
Insiden diare dan Period Prevalence pneumonia pada balita menurut menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Period Prevalence Pneumonia
Insiden Diare Balita
Karakteristik Balita
D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
0-11 bulan 7,7 8,7 20,0
12-23 bulan 14,2 16,0 25,1
24-35 bulan 10,6 11,3 35,6
36-47 bulan 6,3 7,7 11,4 41,2
48-59 bulan 7,0 7,8 15,8 52,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 8,7 9,9 5,6 37,3
Perempuan 9,4 10,5 6,3 34,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 5,9 7,1 3,3 24,6
Perdesaan 10,3 11,4 7,0 40,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 13,5 14,9 13,1 58,0
Menengah Bawah 10,1 11,4 2,6 34,1
Menengah 9,0 10,5 9,1 32,7
Menengah Atas 6,3 7,0 3,5 23,5
Teratas 6,1 6,9 1,3 30,3

Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai
rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di
dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare.
Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya
angka kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam mengelola diare pada
penduduk Provinsi Aceh adalah 33,3 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi yang memakai oralit
dalam mengelola diare adalah Kabupaten Nagan Raya (100%),Aceh Tamiang (61,8%), Aceh
Jaya (55,8%), Aceh Tenggara (49,5%), dan Simeulue (47,0%).
Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Provinsi Aceh adalah 22,8 persen.
Lima kabupaten/kota tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Kabupaten Nagan
Raya (100%), Aceh Utara (54,0%), Aceh Tenggara (29,0%), Kota Sabang dan Kota Banda
Aceh masing-masing 37 % dan 31,8%, (Tabel 6.11).
Tabel 6.11
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Oralit Zn
Simeulue 47,0 11,6
Aceh Singkil 19,4
Aceh Selatan 45,1 17,5
Aceh Tenggara 49,5 29,0
Aceh Timur 29,1 12,9
Aceh Tengah 11,9 10,7
Aceh Barat 21,9
Aceh Besar 38,9 17,5
Pidie 24,4 22,9
Bireuen 18,5 21,2
Aceh Utara 41,3 54,0
Aceh Barat Daya 41,0
Gayo Lues 11,7 3,9
Aceh Tamiang 61,8 21,0
Nagan Raya 100,0 100,0
Aceh Jaya 55,8 1,0
Bener Meriah 21,9 12,1
Pidie Jaya 19,2 26,1
Kota Banda Aceh 18,3 31,8
Kota Sabang 31,3 37,0
Kota Langsa 33,0 1,6
Kota Lhokseumawe 46,1 25,6
Kota Subulussalam 18,5 4,1
Aceh 33,3 22,8

Berdasarkan karakteristik, pemakaian oralit dan zinc dalam mengelola diare balita tertinggi pada
kelompok umur 12-23 bulan. Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, pengelolaan diare dengan
oralit dan zinc diperkotaan pada oralit dan di perdesaan untuk zinc. (Tabel 6.12).
Tabel 6.12
Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Oralit Zn

Kelompok umur (tahun)


0-11 bulan 20,4 28,9
12-23 bulan 41,1 27,8
24-35 bulan 39,8 17,3
36-47 bulan 39,0 25,1
48-59 bulan 20,5 14,0
Jenis Kelamin
Laki-laki 33,1 16,2
Perempuan 33,5 29,2
Tempat Tinggal
Perkotaan 35,3 14,5
Perdesaan 32,8 24,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 36,3 11,9
Menengah Bawah 43,0 35,8
Menengah 28,9 24,3
Menengah Atas 27,2 16,8
Teratas 24,9 25,4

6.3. Penyakit yang ditularkan oleh Vektor (Malaria)


Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas
terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat
bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan ―tidak pernah didiagnosis
malaria oleh tenaga kesehatan‖ ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil
atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah
dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum
obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan ―pernah
didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan‖ ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan
obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24
jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari.
Insiden malaria pada penduduk Aceh tahun 2013 adalah 2,4 persen. Prevalensi malaria tahun
2013 sebesar 9,3 persen. Lima kabupaten/kota dengan insiden dan prevalensi malaria tertinggi
adalah Kota Subulussalam (5,5% dan 15,7%), Kabupaten Aceh Timur (5,2% dan 17%), Aceh
Barat (4,3% dan 8,3%), Bireun (4,1% dan 10,5%) dan Aceh Selatan (3,8% dan 10,8%). (Tabel
6.13).
Tabel 6.13
Insiden dan prevalensi malaria menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Kabupaten/Kota Insiden Malaria Prevalensi Malaria


D DG D DG
Simeulue 0,3 0,7 1,2 6,6
Aceh Singkil 0,5 2,6 1,8 10,7
Aceh Selatan 0,7 3,8 2,4 10,8
Aceh Tenggara 0,3 1,4 0,4 9,0
Aceh Timur 0,2 5,2 1,9 17,0
Aceh Tengah 0,1 1,4 0,7 11,4
Aceh Barat 1,0 4,3 1,6 8,3
Aceh Besar 0,5 0,7 1,4 3,1
Pidie 0,3 2,2 1,4 8,6
Bireuen 0,5 4,1 1,1 10,5
Aceh Utara 0,1 3,2 0,9 12,3
Aceh Barat Daya 0,2 1,5 1,4 4,4
Gayo Lues 0,1 1,6 0,1 7,1
Aceh Tamiang 0,1 0,8 0,8 8,1
Nagan Raya 0,1 0,5 1,0 4,9
Aceh Jaya 1,0 1,9 2,0 6,8
Bener Meriah 0,3 2,0 1,2 9,8
Pidie Jaya 0,5 2,6 0,9 12,7
Kota Banda Aceh 0,2 1,0 0,4 4,7
Kota Sabang 2,4 0,4 3,4
Kota Langsa 0,1 0,4 1,2 5,2
Kota Lhokseumawe 0,1 1,7 0,6 9,2
Kota Subulussalam 2,2 5,5 4,9 15,7
Aceh 0,3 2,4 1,2 9,3

Tabel 6.14 menunjukkan bahwa prevalensi malaria pada usia 35-44 tahun relatif lebih tinggi
dibanding kelompok umur yang lain. Prevalensi malaria pada kelompok pekerjaan
petani/nelayan/buruh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya (9,5%), sedangkan
berdasarkan tempat tinggal lebih banyak terjadi di perdesaan (10,1%). Semakin rendah kuintil
indeks kepemilikan semakin tinggi prevalensi malaria.
Tabel 6.14
Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Insiden Malaria Prevalensi Malaria


D DG D DG
Kelompok umur (tahun)
<1 0,3 0,8 14,3
1-4 0,0 2,4 0,3 16,9
5-14 0,2 2,0 0,6 8,7
15-24 0,2 2,4 1,2 7,7
25-34 0,5 2,5 1,5 7,7
35-44 0,7 3,3 2,0 8,8
45-54 0,6 2,8 1,7 9,1
55-64 0,4 2,8 2,0 10,3
65-74 0,2 1,5 1,0 9,0
≥75 1,0 3,4 1,3 12,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,5 2,8 1,7 9,5
Perempuan 0,2 2,0 0,8 9,2
Pendidikan
Tidak sekolah 0,4 2,4 1,1 9,9
Tidak tamat SD 0,3 2,2 0,9 9,0
Tamat SD 0,6 3,5 2,0 9,3
Tamat SMP 0,4 2,8 1,3 8,4
Tamat SMA 0,3 1,9 1,4 7,5
Tamat D1/D2/D3/PT 0,3 1,1 0,5 6,1
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,2 2,1 0,9 8,3
Pegawai 0,3 1,2 1,4 6,1
Wiraswasta 0,6 3,0 1,3 8,6
Petani/Nelayan/Buruh 0,9 3,9 2,9 9,5
Lainnya 0,4 1,8 1,2 7,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,2 1,2 0,8 7,3
Pedesaan 0,4 2,9 1,4 10,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 3,3 1,5 11,4
Menengah Bawah 0,5 3,3 1,7 10,3
Menengah 0,3 2,6 1,2 9,9
Menengah Atas 0,3 1,4 0,9 7,6
Teratas 0,1 1,3 0,8 6,8
Tabel 6.15
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita
malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Pengobatan penyakit malaria

Mendapatkan Mendapatkan Minum obat Mengobati


Kabupaten/Kota
obat ACT obat dalam 24 selama 3 Sendiri
program jam pertama hari
Simeulue 40,4 78,8 0,3
Aceh Singkil 39,2 87,3 44,0 1,4
Aceh Selatan 20,1 30,9 69,4 1,0
Aceh Tenggara 0,2
Aceh Timur 36,5 53,5 51,3 1,5
Aceh Tengah 44,0 29,8 30,1 0,5
Aceh Barat 32,7 61,8 100,0 1,5
Aceh Besar 61,5 29,0 84,6 0,3
Pidie 37,4 48,0 84,2 0,9
Bireuen 19,6 71,9 100,0 1,2
Aceh Utara 23,8 0,2
Aceh Barat Daya 27,5 0,4 52,9 0,6
Gayo Lues 99,0 84,0 100,0 0,1
Aceh Tamiang 28,2 13,8 79,1 0,4
Nagan Raya 21,5 100,0 100,0 0,0
Aceh Jaya 87,4 61,1 91,1 0,3
Bener Meriah 2,0 100,0 100,0 0,6
Pidie Jaya 6,1 39,5 39,5 0,6
Kota Banda Aceh 69,6 31,7 68,3 0,4
Kota Sabang 8,0
Kota Langsa 51,4 84,9 0,5
Kota Lhokseumawe 25,1 27,1 60,0 0,6
Kota Subulussalam 14,6 70,9 51,9 2,0
Aceh 32,8 41,4 70,0 0,7
*Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat diminum habis
dalam 3 hari. Dari kolom pemberian 24 jam sudah tidak ada kabupaten aceh tenggara dan kota sabang

Proporsi pengobatan dengan obat malaria program cenderung lebih baik pada usia dewasa
dibandingkan dengan anak, hal ini merupakan kebalikan dari data nasional (Tabel 6.16).
Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada
dewasa sudah cukup baik. Pengobatan dengan obat malaria program relatif lebih baik di daerah
perkotaan, pada jenis kelamin perempuan, kelompok lainnya, dan kelompok dengan kuintil
indeks kepemilikan teratas (Tabel 6.16).
Tabel 6.16
Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita
malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Pengobatan penyakit malaria
Karakteristik Mendapatkan obat Mendapatkan obat Minum obat Mengobati Sendiri
ACT program dalam 24 jam pertama selama 3 hari
Kelompok umur (tahun)
<1 100,0 0,4
1-4 9,4 54,1 9,3 0,9
5-14 32,7 65,6 28,2 0,7
15-24 54,4 50,0 29,3 0,6
25-34 60,9 89,9 53,1 0,5
35-44 31,6 74,6 31,6 1,0
45-54 46,9 96,9 43,8 1,2
55-64 36,5 8,8 0,5
65-74 100,0 1,4
≥75 100,0 0,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 43,1 74,5 33,9 0,9
Perempuan 37,5 59,2 29,7 0,6
Pendidikan
Tidak sekolah 47,6 92,3 39,9 0,7
Tidak tamat SD 43,5 57,5 32,2 1,0
Tamat SD 46,4 83,2 42,1 0,7
Tamat SMP 41,9 63,3 31,4 0,7
Tamat SMA 36,4 60,3 23,2 0,6
Tamat D1/D2/D3/PT 8,7 30,9 8,7 0,5
Pekerjaan
Tidak bekerja 39,2 62,4 31,3 0,7
Pegawai 45,8 47,1 15,3 0,3
Wiraswasta 72,1 79,0 60,7 0,4
Petani/Nelayan/Buruh 39,0 75,2 32,4 1,1
Lainnya 20,5 93,5 20,5 0,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 21,5 76,0 12,5 0,6
Perdesaan 45,3 68,8 36,6 0,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 30,5 54,9 16,7 47,4
Menengah Bawah 42,4 72,1 41,1 44,1
Menengah 53,8 82,0 40,5 42,1
Menengah Atas 54,1 68,6 38,6 43,0
Daftar Pustaka
Bhisma Murti. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press 1997: 152-
79
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007
Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian TB edisi 2 Tahun 2012
Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. 2012
Direktorat PPBB Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. 2011.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. 2012.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 2012
Kenneth J. Rothman. Epidemiologi Modern. Yayasan Pustaka Nusatama 1995: 33-49
BAB 7. PENYAKIT TIDAK MENULAR

Endi Ridwan, Aprildah Sapardin dan Marice Sihombing


Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang.
PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis
PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke),
kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), adan diabetes.
Tujuan Riskesdas 2013 dalam bidang PTM adalah untuk memperoleh gambaran penduduk
dengan penyakit tidak menular. Data penyakit tidak menular didapat melalui
pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2)
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) DM, (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7)
jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal kronis, (11) batu ginjal, (12)
penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan,
besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. Hasil lebih rinci dari blok
Penyakit Tidak Menular dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Dalam Angka,
pada halaman 127 sampai dengan 138 Tabel 7.1 sampai Tabel 7.8
Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga
medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal
kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit
asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru
obstruksi kronis umur > 30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid,
hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal,
penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur ≥ 15 tahun. Riwayat penyakit
ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan
pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami
gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi
wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh tenaga kesehatan, dan kondisi
sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancara. Untuk hipertensi berdasarkan hasil
pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter
digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda
≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data
pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil
ukur tensi.
Terdapat beberapa perbedaan pertanyaan dalam kuesioner Riskesdas (RKD) 2013
dibandingkan RKD 2007. Untuk kasus asma pada RKD 2007 ditanyakan apakah pernah
didiagnosis asma oleh tenaga kesehatan, kemudian untuk yang menjawab tidak, dilanjutkan
dengan pertanyaan apakah ada mengalami gejala asma seperti sesak dengan disertai mengi,
dada rasa tertekan di pagi hari atau waktu lainnya? Pada RKD 2013 pertanyaan asma
berdasarkan pertanyaan yang lebih komplit, seperti sesak yang timbul bila terpapar udara
dingin/rokok/debu/ infeksi/kelelahan/alergi obat/makanan, ada gejala mengi/sesak lebih berat
malam hari atau menjelang pagi/ gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. PPOK hanya ada
pada RKD 2013. Pertanyaan PPOK berdasarkan gejala meliputi sesak, batuk berdahak, dan
merokok dengan Indek Brinkman ≥ 200, sesak bertambah ketika beraktifitas dan bertambah
dengan meningkatnya usia. Pertanyaan kanker pada RKD 2007, apakah pernah didiagnosis
tumor/kanker oleh tenaga kesehatan? Hasilnya dinilai agak bias karena pertanyaan
tumor/kanker meliputi tumor jinak dan ganas. RKD 2013 menanyakan apakah pernah
didiagnosis kanker oleh dokter. Jadi lebih memfokuskan pada tumor ganas/kanker. Pertanyaan
tentang hipertiroid tidak ada dalam RKD 2007 namun pada RKD 2013 ditanyakan apakah
Orang Indonesia umumnya menggunakan lengan kanan yang lebih banyak gerak dari pada
lengan kiri dan telah diketahui hasil pengukuran lengan kanan sedikit lebih tinggi dari lengan kiri.
Pada RKD 2007 pertanyaan penyakit jantung digabung (kongenital/jantung koroner/ gagal
jantung/jantung reumatik, dll) yaitu apakah pernah didiagnosis penyakit jantung oleh tenaga
kesehatan? Pada RKD 2013 pertanyaan berupa apakah pernah didiagnosis menderita penyakit
jantung koroner oleh dokter? Bagi yang belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan
gejala sesuai kriteria ―Rose Quesionnaire”. Untuk penyakit gagal jantung pertanyaan yang
diajukan adalah apakah pernah didiagnosis penyakit gagal jantung oleh dokter? Bagi yang
belum terdiagnosis dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait gagal jantung. Pada RKD 2013
juga terdapat pertanyaan apakah pernah didiagnosis penyakit gagal ginjal kronis dan batu ginjal
oleh dokter? Pertanyaan untuk stroke dan rematik sama dengan tahun 2007 yaitu apakah
pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan pertanyaan gejala terkait
penyakit.
Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4)
DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal
kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik disajikan dalam bentuk tabel. Tabel
menunjukkan prevalensi nasional dan provinsi, serta karakteristik sosio demografi. Istilah D
dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan, D/G adalah hasil diagnosis ditambah
gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi
inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi
berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau
minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U.

7.1. Asma
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan
(sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa
tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap
rokok), sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan.
Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah
satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres
dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan
dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau
menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa
pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi
dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan
terbanyak).

7.2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara
khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk),
disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar
ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang
dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang
bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk
berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks
Brinkman ≥200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama
merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat
melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada
keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak.
berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh
dokter.
Tabel 7.1 mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Provinsi Aceh masing-
masing 4,0 persen, 4,3 persen dan 1,4 permil. Sedangkan di Indonesia masing-masing 4,5
persen, 3,6 persen, dan 1,4 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Aceh Timur (7,7%),
diikuti Kota Lhokseumawe (6,2%), Bireuen (6,0%), dan Aceh Utara (5,9%).
Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Aceh Timur (8,6%), diikuti Kota Subulussalam (7,4%),
Kota Lhokseumawe (7,2%), dan Aceh Barat Daya (6,4 %). Prevalensi PPOK lebih rendah dari
kejadian sebenarnya, karena manifestasi klinis baru terlihat ketika fungsi paru sudah menurun.
Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Aceh Barat sebesar 3,1 per mil diikuti Aceh Tengah 3,0
per mil, dan kota Subulussalam 2,4 per mil.

Tabel 7.1
Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker (‰)***
Simeulue 1,1 4,8 1,3
Aceh Singkil 4,8 5,5 1,0
Aceh Selatan 3,9 6,4 0,0
Aceh Tenggara 1,0 1,7 0,0
Aceh Timur 7,7 8,6 2,0
Aceh Tengah 3,3 1,8 3,0
Aceh Barat 4,0 6,4 3,1
Aceh Besar 1,7 0,6 0,2
Pidie 3,3 3,4 0,2
Bireuen 6,0 6,1 2,3
Aceh Utara 5,9 5,0 1,4
Aceh Barat Daya 5,3 6,9 1,0
Gayo Lues 3,1 3,2 1,0
Aceh Tamiang 1,8 3,6 2,0
Nagan Raya 0,9 1,8 0,2
Aceh Jaya 2,7 3,9 2,0
Bener Meriah 4,0 3,4 2,0
Pidie Jaya 3,9 4,2
Kota Banda Aceh 3,2 0,2 1,0
Kota Sabang 1,2 2,7
Kota Langsa 2,3 1,9 1,0
Kota Lhokseumawe 6,2 7,2 1,1
Kota Subulussalam 4,1 7,4 2,4
ACEH 4,0 4,3 1,4
*Wawancara semua umur berdasarkangejala
**Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter

Pada tabel 7.2 terlihat bahwa prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur ≥ 45 tahun mulai menurun.
Prevalensi kanker agak meningkat pada umur 75 tahun (5‰). Prevalensi asma dan kanker pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan. Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan, PPOK lebih tinggi
di perdesaan dari perkotaan, hal ini perlu dianalisis lebih lanjut mengenai faktor risiko PPOK
Tabel 7.2
Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Asma* PPOK** Kanker(‰)***
Kelompok umur (tahun)
<1 0,1
1- 4 2,9
5-14 3,8
15-24 4,8 1,0
25-34 4,6 1,5 2,0
35-44 4,6 2,5 4,0
45-54 3,0 4,5 3,0
55-64 4,2 7,5 1,3
65-74 3,4 11,2 1,1
75+ 2,9 12,9 5,0

Jenis kelamin
Laki-Laki 3,6 4,9 0,4
Perempuan 4,4 3,6 2,3

Pendidikan
Tidak sekolah 4,1 9,8 1,4
Tidak Tamat SD/MI 4,3 6,5 1,1
Tamat SD/MI 4,7 5,6 2,1
Tamat SMP/MTS 5,1 2,9 1,0
Tamat SMA/MA 3,7 2,3 2,0
Tamat D1-D3/PT 2,4 0,2 2,5

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 4,8 5,0 2,0
Pegawai 2,4 0,8 1,2
Wiraswasta 3,2 2,8 1,2
Petani/nelayan/buruh 4,4 5,3 2,0
Lainnya 3,9 3,1

Tempat tinggal
Perkotaan 3,6 2,9 2,0
Perdesaan 4,2 4,8 1,3

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 5,3 7,9 2,0
Menengah bawah 4,0 4,5 1,2
Menengah 3,8 3,4 2,0
Menengah atas 3,8 3,2 1,0
Teratas 3,0 1,8 2,0
*Wawancara semua umur berdasarkangejala
**Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala
***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter
diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes
yang didapat setelah dewasa.
Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri)
terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat,
keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi,
luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu
sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah
didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita
kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan
sering haus dan sering buang air kecil & jumlah banyak dan berat badan turun.
7.5. Penyakit hipertiroid
Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi
berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang
mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebar-
debar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin,
dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter.
7.6. Hipertensi/Tekanan darah tinggi
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara
kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu
fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan
sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi
oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita
hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi
(minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada
kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur ≥ 18 tahun,
maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada
penduduk umur ≥ 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk
umur ≥ 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur 15-17 tahun sesuai kriteria JNC VII
2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi.
Dari tabel 7.3 terlihat bahwa prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Aceh berdasarkan
wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,8 persen dan 0,3 persen. DM terdiagnosis dokter
dan gejala sebesar 2,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat
di Kota Lhokseumawe (4,6%), Kota Banda Aceh (3,8%), Kota Langsa (3,4%) dan Bireuen
(2,8%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi terdapat di kota
Lhokseumawe sebesar 5,3 persen, diikuti Nagan Raya 5,2 persen, Langsa dan Bireuen,
masing-masing 3,8 persen. Prevalensi hipertiroid tertinggi di Kota Lhokseumawe (0,7%), Kota
Sabang (0,6%), Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh masing-masing 0,5 persen. Prevalensi
hipertensi di Aceh yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 21,5 persen,
tertinggi di Gayo Lues (28,8%), diikuti Aceh Singkil (28,7%), Nagan Raya (26,7%) dan Pidie
(26,4%). Prevalensi hipertensi rata-rata di Provinsi Aceh yang didapat melalui kuesioner
terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,7 persen, yang didiagnosis tenaga kesehatan dan
minum obat sebesar 9,8 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Untuk penyakit
hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah, lebih seperlima penduduk Aceh menderita
hipertensi, bahkan hampir 30 persen di Aceh Singkil dan Gayo Lues. Namun bagi penduduk
diwilayah Aceh Barat didapati sekitar 85 persen mempunyai tekanan darah normal.
Tabel 7.3
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Hipertensi
Diabetes Hipertiroid
Kabupaten/Kota
Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Simeulue 1,4 1,6 0,3 10,3 10,5 18,7
Aceh Singkil 2,1 2,9 1,0 15,4 15,4 28,7
Aceh Selatan 1,2 1,7 0,1 10,2 10,4 20,5
Aceh Tenggara 0,5 0,5 0,0 5,5 5,5 16,7
Aceh Timur 1,4 3,1 0,3 11,9 12,2 17,9
Aceh Tengah 0,8 1,1 0,2 11,1 11,5 24,4
Aceh Barat 1,1 1,8 0,3 9,4 9,4 15,3
Aceh Besar 1,5 1,7 0,2 6,1 6,4 18,5
Pidie 1,9 2,8 0,5 9,6 9,8 26,4
Bireuen 2,8 3,8 0,2 10,8 10,9 21,2
Aceh Utara 1,1 1,2 0,3 11,3 11,3 23,7
Aceh Barat Daya 2,5 3,2 0,2 9,7 9,9 22,1
Gayo Lues 1,1 1,6 0,1 8,8 8,8 28,8
Aceh Tamiang 1,9 2,0 0,3 9,7 9,9 17,3
Nagan Raya 0,5 5,2 0,3 4,3 4,4 26,7
Aceh Jaya 1,2 2,0 0,3 10,2 10,2 18,2
Bener Meriah 2,1 4,3 0,4 12,0 12,0 35,4
Pidie Jaya 1,4 2,3 0,5 8,6 8,6 17,4
Kota Banda Aceh 3,8 3,8 0,5 8,1 8,1 18,5
Kota Sabang 2,3 2,3 0,6 18,3 18,3 19,8
Kota Langsa 3,4 3,8 0,4 9,0 9,2 21,4
Kota Lhokseumawe 4,6 5,3 0,7 8,2 8,6 21,5
Kota Subulussalam 1,3 2,4 0,5 14,8 14,9 26,3
Aceh 1,8 2,6 0,3 9,7 9,8 21,5

Tabel 7.4 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus berdasar diagnosis dokter dan gejala
meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung
menurun, mungkin pada kelompok ini banyak yang telah meninggal. Prevalensi hipertiroid
cenderung meningkat seiring bertambahnya umur, namun akan cenderung turun pada umur ≥ 75
tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat
meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada
perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi
di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi
pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan dengan status ekonomi dengan kuintil
persen), dan perdesaan (5,6%) lebih tinggi dari perkotaan (5,1%). Juga memperlihatkan bahwa
prevalensi hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia.
Tabel 7.4
Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur ≥15 tahun dan hipertensi pada umur ≥18 tahun
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Hipertensi**
Diabetes * Hipertiroid*
Karakteristik Wawancara Pengukuran
D D/G D D D/O U
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,5 0,2 0,8 0,9 8,3
25-34 0,4 1,0 0,3 3,5 3,6 12,6
35-44 1,7 2,7 0,5 9,0 9,2 21,9
45-54 4,6 5,6 0,4 16,5 16,8 32,4
55-64 6,5 7,3 0,4 23,9 24,1 38,5
65-74 4,6 6,0 0,7 34,0 34,4 56,1
75+ 2,7 3,6 0,2 35,1 35,6 55,0
Jenis Kelamin
Laki-Laki 1,7 2,7 0,2 6,8 7,0 18,5
Perempuan 1,9 2,5 0,4 12,5 12,6 24,4
Pendidikan
Tidak Sekolah 3,1 3,7 1,0 20,9 21,0 36,6
Tidak Tamat SD 1,9 3,1 0,3 16,0 16,1 28,9
Tamat SD 1,9 2,9 0,3 13,4 13,6 26,4
Tamat SMP 1,5 2,3 0,3 8,0 8,2 18,8
Tamat SMA 1,7 2,2 0,3 5,3 5,4 15,8
Tamat PT 2,6 3,0 0,4 6,6 6,7 18,8
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 1,7 2,3 0,4 11,1 11,3 21,4
Pegawai 3,1 3,5 0,4 8,0 8,1 20,6
Wiraswasta 2,6 3,4 0,2 7,7 7,8 19,9
Petani/Nelayan/Buruh 1,3 2,4 0,2 9,6 9,7 22,5
Lainnya 1,6 2,6 0,3 6,7 6,8 21,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 3,2 3,6 0,4 9,6 9,8 22,3
Perdesaan 1,3 2,2 0,3 9,7 9,9 21,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,8 1,8 0,3 9,8 10,1 21,1
Menengah bawah 0,9 1,9 0,3 9,4 9,4 21,5
7.7. Penyakit Jantung
Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan
gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit
jantung saja. Cara membedakannya dengan menanyakan gejala yang dialami responden.
7.7.1 Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah
karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada
atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja
berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh.
Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau
infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah
mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan
nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan
kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa
dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat.
7.7.2 Penyakit gagal jantung
Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah) adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat
beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.
Didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit
gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas
saat tidur terlentang tanpa bantal dan kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai
bawah bengkak.

7.8. Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global,
munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan
gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas
(pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan
sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes
tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau
kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut
menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan
atau tidak mengerti pembicaraan.
Tabel 7.5 menunjukkan bahwa prevalensi jantung koroner berdasar wawancara terdiagnosis
dokter di Aceh sebesar 0,7 persen, dan berdasar terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 2,3
persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Aceh Timur (1,8%)
diikuti Aceh Singkil (1,5%), Kota Sabang (1,3%) dan Kota Lhokseumawe (1,2%). Sementara
prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Aceh Timur (9,6%), diikuti
Kota Subulussalam (4,6%), Kota Lhokseumawe (3,9%), dan Bireuen (2,7%).
Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Aceh sebesar 0,1
persen, dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung
berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Sabang (0,4%), disusul Kota Lhokseumawe dan
Bener Meriah masing-masing 0,3 persen serta Bireuen (0,2%). Prevalensi gagal jantung
berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kota Subulussalam (1,6%), diikuti Aceh Selatan
11 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di
Kota Sabang (29,8‰), diikuti Lhokseumawe (19,2‰) dan Bireun sebanyak 18,2 permil.
Tabel 7.5
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Kabupaten/Kota Jantung Koroner Gagal Jantung Stroke (‰)


D* D/G D* D/G D** D/G
Simeulue 0,4 0,8 0,2 0,3 5,2 14,5
Aceh Singkil 1,5 2,6 0,4 3,6 13,3
Aceh Selatan 0,5 2,5 0,2 1,0 6,5 11,2
Aceh Tenggara 0,3 0,3 0,1 2,8 3,2
Aceh Timur 1,8 9,6 0,8 4,8 13,4
Aceh Tengah 0,5 1,1 0,1 0,1 4,5 9,1
Aceh Barat 0,6 2,4 0,0 0,6 4,6 9,9
Aceh Besar 0,8 1,0 0,1 0,1 3,0 6,2
Pidie 0,4 0,9 0,2 2,8 7,2
Bireuen 0,7 2,7 0,2 0,4 13,0 18,2
Aceh Utara 0,7 2,4 0,1 0,1 11,9 13,2
Aceh Barat Daya 0,3 0,8 0,2 0,8 9,0 13,2
Gayo Lues 0,3 0,7 0,2 0,2 3,0 4,3
Aceh Tamiang 0,5 1,2 0,0 5,4 7,6
Nagan Raya 0,2 0,4 0,0 0,1 0,6
Aceh Jaya 0,9 2,6 0,1 0,3 3,8 9,9
Bener Meriah 0,6 2,1 0,3 0,4 3,3 13,7
Pidie Jaya 0,3 1,7 0,2 0,5 5,2 7,6
Kota Banda Aceh 0,7 0,9 0,1 0,1 6,7 6,8
Kota Sabang 1,3 2,4 0,4 0,4 26,2 29,8
Kota Langsa 1,1 1,3 0,2 7,8 8,7
Kota Lhokseumawe 1,2 3,9 0,3 0,6 9,0 19,2
Kota Subulussalam 0,5 4,6 0,2 1,6 1,1 6,1
Aceh 0,7 2,3 0,1 0,3 6,6 10,5
*) D* = berdasarkan diagnosis dokter
*) D** = berdasarkan diagnosis nakes
*) D/G = berdasarkan diagnosis dokter/nakes atau gejala

Tabel 7.6 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter serta yang didiagnosis dokter & gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3,4 persen dan 7,1
persen, menurun pada kelompok umur ≥75 tahun. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter
maupun berdasarkan diagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada perempuan (0,9% dan 2,6%).
Prevalensi PJK lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah dan tidak bekerja. Berdasar PJK
terdiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi diperkotaan, namun berdasarkan terdiagnosis dokter
dan gejala lebih tinggi diperdesaan dan pada status ekonomi terbawah.
Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
umur kelompok 65 – 74 tahun (0,4%), untuk yang terdiagnosis dokter menurun sedikit pada
umur ≥ 75 tahun (0.3%), tetapi untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi pada
kelompokumur ≥ 75 tahun (1,8%). Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi sama
antaraperempuandan laki-laki (0,1%), berdasar didiagnosis dokter dan gejala prevalensi lebih
banyak perempuan (0,4%) dibanding dengan laki-laki (0,3%). Prevalensi yang didiagnosis
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes serta yang didiagnosis nakes
dan gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65-74
(44,3‰ dan 58,5‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes pada laki-laki lebih tinggi
(6,8‰) dibandingkan wanita (6,4‰), demikian juga pada prevalensi stroke yang didiagnosis
nakes dan gejala.
Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis nakes (19,3‰) maupun diagnosis nakes dan gejala (28,0‰). Prevalensi stroke di
kota lebih tinggi dari di desa, dengan diagnosis nakes (8,5‰ vs 11,0‰). Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat yang tidak bekerja untuk stroke dengan diagnosis nakes (6,8‰) sedangkan
yang didiagnosis nakes dan gejala lebih tinggi yang bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh
(12,5‰). Prevalensi stroke yang didiagnosis dan gejala lebih tinggi pada kuintil indeks
kepemilikan terbawah 12,1 permil .
Tabel 7.6
Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur ≥15 tahun menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Jantung Koroner Gagal Jantung Stroke (‰)


D D/G D D/G D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,8 0,0 0,1 1,0 3,2
25-34 0,3 1,4 0,1 0,1 1,3 3,7
35-44 0,5 2,1 0,0 0,3 3,0 7,1
45-54 1,3 3,8 0,3 0,6 11,0 15,1
55-64 2,1 5,2 0,2 0,8 20,8 28,2
65-74 3,4 7,1 0,4 1,5 44,3 58,5
75+ 1,8 5,2 0,3 1,8 35,0 47,9

Jenis kelamin
Laki-Laki 0,5 2,0 0,1 0,3 6,8 11,1
Perempuan 0,9 2,6 0,1 0,4 6,4 9,9

Pendidikan
Tidak sekolah 1,6 7,2 0,0 1,1 19,3 28,0
Tidak Tamat SD/MI 1,5 4,1 0,1 0,6 7,6 18,7
Tamat SD/MI 0,8 2,8 0,1 0,5 10,0 15,6
Tamat SMP/MTS 0,5 2,2 0,1 0,3 4,2 5,8
Tamat SMA/MA 0,5 1,3 0,1 0,2 4,1 5,7
Tamat D1-D3/PT 0,4 0,6 0,0 0,1 5,1 8,3

Status Pekerjaan
Tidak bekerja 0,9 2,3 0,1 0,4 6,8 1,0
Pegawai 0,5 0,9 0,1 0,2 8,5 9,6
Wiraswasta 0,6 1,9 0,0 0,3 5,4 8,8
Petani/nelayan/buruh 0,6 3,1 0,1 0,4 6,8 12,5
Lainnya 0,4 1,3 0,0 0,1 3,3 5,2

Tempat tinggal
Perkotaan 0,8 1,7 0,1 0,2 8,5 11,0
Perdesaan 0,7 2,5 0,1 0,4 5,8 10,3

Kuintil indeks kepemilikan


7.9. Penyakit ginjal

Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor,
misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain.
Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang
berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain.
Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk,
pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau
transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia,
penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu
ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal
ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai
penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter.

7.10. Penyakit Sendi/Rematik/Encok


Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi
tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai
kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan
berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai
penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok
oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah
menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang
timbul bukan karena kecelakaan.
Tabel 7.7 menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasar didiagnosis dokter di Aceh
sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Bireuen sebesar 1,1 persen, diikuti Kota
Subulussalam (0,8%), Pidie (0,7%),Gayo Lues (0,6%) dan Simeulue (0,5%).
Prevalensi penderita batu ginjal berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar
0,9 persen. Prevalensi tertinggi di Bireuen dan Kota Lhokseumawe(1,9%), diikuti Kota Langsa
dan Aceh Utara (1,1%), kemudian Pidie dan Simeulue (1,0%).
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes di Provinsi Aceh 18,3 persen dan
berdasarkan diagnosis dan gejala 25,3 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi
di Kota Subulussalam (43,5%), diikuti Pidie (26,0%), Simeulue (23,3%),dan Aceh Barat Daya
(23,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Kota
Subulussalam (43,5%) diikuti oleh Aceh Timur (35,8%), Aceh Singkil (33,1%), dan Bireuen
(32,7%).
Tabel 7.7
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Kabupaten/Kota Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi


D D D D/G
Simeulue 0,5 1,0 23,3 29,1
Aceh Singkil 0,4 0,5 21,8 33,1
Aceh Selatan 0,2 0,5 19,2 25,0
Aceh Tenggara 0,1 0,2 12,1 15,3
Aceh Timur 0,4 2,2 22,5 35,8
Aceh Tengah 0,1 0,4 15,1 19,2
Aceh Barat 0,2 0,4 21,7 26,3
Aceh Besar 0,4 0,5 13,9 17,0
Pidie 0,7 1,0 21,8 26,9
Bireuen 1,1 1,9 26,0 32,7
Aceh Utara 0,4 1,1 21,3 31,5
Aceh Barat Daya 0,3 0,7 23,0 27,7
Gayo Lues 0,6 0,5 11,7 22,2
Aceh Tamiang 0,1 0,4 16,2 21,9
Nagan Raya 0,1 0,2 15,5 26,5
Aceh Jaya 0,1 0,6 13,3 19,5
Bener Meriah 0,3 0,6 9,2 28,0
Pidie Jaya 0,1 0,5 18,5 26,2
Kota Banda Aceh 0,0 0,6 6,3 9,2
Kota Sabang 0,3 0,6 17,2 27,6
Kota Langsa 0,4 1,1 10,7 12,8
Kota Lhokseumawe 0,4 1,9 17,2 23,8
Kota Subulussalam 0,8 0,9 34,5 43,5
Aceh 0,4 0,9 18,3 25,3

Tabel 7.8 menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang
didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada
kelompok umur 55-64 tahun (1,0%), diikuti umur 45-54 tahun (0,8%), dan umur 65-74 tahun
(0,7%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,5%) lebih
tinggi dari perempuan (0,3%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,4%), tamat
SD (0,7%), petani/nelayan/buruh (0,6%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
atas masing-masing 0,5 persen.
Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun sebanyak 2,2 persen, kemudian
diikuti kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 2,0 persen, lalu kelompok umur 45-54 tahun dan
umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih
tinggi pada perempuan demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Semakin rendah
tingkat pendidikan dan semakin rendah status ekonomi masyarakat semakin meningkat
prevalensinya penyakit.
Tabel 7.8
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur ≥ 15 tahun
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi*
Karakteristik
D D D D/G
Kelompok umur (tahun)
15-24 0,1 0,2 2,0 5,4
25-34 0,3 0,4 9,0 15,0
35-44 0,4 1,4 21,6 30,3
45-54 0,8 1,7 34,9 44,1
55-64 1,0 2,0 43,9 55,3
65-74 0,7 1,7 50,3 61,9
75+ 1,4 2,2 58,4 68,3
Jenis Kelamin
Laki-Laki 0,5 1,1 14,7 20,9
Perempuan 0,3 0,8 21,8 29,6
Pendidikan
Tidak Sekolah 0,6 2,0 42,7 52,4
Tidak Tamat SD 0,5 1,6 32,1 42,9
Tamat SD 0,7 1,3 26,8 35,9
Tamat SMP 0,3 0,7 13,8 20,6
Tamat SMA 0,2 0,6 10,2 14,9
Tamat PT 0,1 0,4 8,1 11,9
Status Pekerjaan
Tidak Bekerja 0,3 0,7 16,3 22,7
Pegawai 0,2 0,6 11,0 15,7
Wiraswasta 0,3 1,1 15,6 23,2
Petani/Nelayan/Buruh 0,7 1,4 25,1 33,7
Lainnya 0,1 0,6 15,0 20,5
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,3 0,9 14,1 19,1
Perdesaan 0,4 0,9 20,0 27,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,5 0,8 22,8 31,8
Daftar Pustaka
Eguchi K, Yacoub M, Jhalani J et al. Consistency of blood pressure differences between the left
and right arms. Arch Intern Med 2007;167 (4): 388 – 93.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group. KDIGO 2012 Clinical
Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney inter.,
Suppl. 2013; 3: 1—150.
Laporan Riskesdas 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes
R.I.
National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institute of Health, US. 2004. The seventh
report of the Joint Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure. NIH Publication No. 04-5230, August 2004. (cited 2007 Nov 2). Available from:
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/jnc7full.pdf.
Report of WHO. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycaemia.
Geneva: WHO; 2006. P.9—43.
WHO, Media Centre. Nocommunicable diseases. Updated March 2013. Access 18 November
2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/
BAB 8. CEDERA

Endi Ridwan, Aprildah Sapardin dan Marice Sihombing


Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang
tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera
diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami
responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah
kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari
terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera
yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden.

8.1. Prevalensi Cedera dan penyebabnya


Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab
yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan
(undeterminated intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri,
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak,
penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak
disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian,
digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja,
terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi,
terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undeterminated intent) yaitu
penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja
atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang
tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut kabupaten/kota disajikan
pada tabel 8.1.
Prevalensi cedera secara provinsi adalah 7,3 persen, prevalensi cedera tertinggi ditemukan di
Kabupaten Bener Meriah (19,4%), terendah di Nagan Raya (2,2%).
Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (48,6%) dan jatuh (30,2%). Adapun
penyebab cedera yang lain meliputi terkena benda tajam/tumpul (7,7%), transportasi darat lain
(8,1%) dan kejatuhan (3,7%), sedangkan untuk penyebab lainnya sebesar 0,8 persen.
Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan pada Kabupaten Aceh Utara
(65,3%) dan terendah di Kabupaten Simeulue (23,9%). Adapun untuk transportasi darat lain
proporsi tertinggi terdapat di Aceh Barat (16,0%) dan terendah ditemukan di Aceh Tenggara
(1,2%). Proporsi jatuh tertinggi di kabupaten Aceh Tenggara (48,7%) dan terendah di kabupaten
Nagan Raya (9,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terdapat di kabupten Pidie
(18,8%) dan terendah di Gayo Lues (2,2%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan
proporsi tertinggi di Aceh Timur (3,0%) dan terendah (tanpa kasus) terdapat di 9 kabupaten/kota
yaitu di Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh
Tamiang, Nagan Raya, Sabang dan Kota Subulussalam.
Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di kabupaten Aceh Jaya (6,4%) dan terendah di
kabupaten Simeulue (1,1%), Gayo Lues (1,0%), Kota Banda Aceh (0,8%) dan Aceh Besar
(0%).Proporsi cedera karena keracunan tidak ditemukan kasusnya, proporsi yang tercatat
terdapat di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 0,1 persen.
Tabel 8.1
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Penyebab cedera

Prevalensi Benda
Kabupaten/Kota Sepeda Trans. Gigitan
Cedera Jatuh tajam/ Terbakar Kejatuhan Keracunan Lainnya
motor darat lain hewan
tumpul
Simeulue 4,5 23,9 5,5 46,6 18,7 1,0 3,3 1,1
Aceh Singkil 8,2 43,5 4,6 41,9 4,7 1,2 2,7 1,6
Aceh Selatan 9,1 49,0 11,3 31,5 5,2 2,2 0,8
Aceh Tenggara 3,8 42,9 1,2 48,7 5,8 1,4
Aceh Timur 6,3 47,3 6,6 28,6 7,5 3,0 5,8 1,1
Aceh Tengah 9,7 51,7 3,5 30,3 8,6 1,0 2,8 2,0
Aceh Barat 7,0 59,2 16,0 13,2 4,4 1,7 0,4 5,1
Aceh Besar 4,2 58,9 13,0 21,1 5,2 1,6 0,2
Pidie 8,9 31,8 12,4 32,0 18,8 0,4 3,6 1,1
Bireuen 11,2 46,2 10,6 26,5 8,3 0,6 6,6 1,2
Aceh Utara 4,1 65,3 9,4 13,1 7,5 4,7 0,1
Aceh Barat
5,6 48,9 8,5 34,2 1,4 3,7 3,3
Daya
Gayo Lues 6,5 59,9 8,4 26,0 2,2 1,6 1,0 0,9
Aceh Tamiang 12,8 52,1 6,4 31,7 7,7 2,1
Nagan Raya 2,2 82,4 1,9 9,0 4,5 2,2
Aceh Jaya 8,1 58,6 4,5 27,2 2,6 0,7 6,4
Bener Meriah 19,4 36,4 4,2 48,2 6,5 0,1 0,4 3,4 0,8
Pidie Jaya 6,0 34,1 5,7 38,0 9,8 4,1 2,1 4,8 1,5
Kota Banda
7,0 48,9 4,4 43,0 2,4 0,4 0,8
Aceh
Kota Sabang 5,4 46,9 3,0 35,2 10,2 4,8
Kota Langsa 3,8 56,3 5,4 20,9 9,5 0,7 1,7 5,2 0,2
Kota
6,6 56,5 7,4 25,4 3,0 0,6 5,9 1,3
Lhokseumawe
Kota
11,3 59,9 5,4 28,2 4,5 1,8
Subulussalam
Aceh 7,3 48,6 8,1 30,2 7,7 0,7 0,2 3,7 0,0 0,8

Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden (Tabel 8.2) yaitu pada kelompok
umur 15-24 tahun (10,9%), laki-laki (9,2%), pendidikan tamat SMP/MTS (8,6%), yang bekerja
sebagai petani/nelayan/buruh (8,2%), serta bertempat tinggal di perdesaan (7,5%).
Ditinjau dari penyebab cedera langsung, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh pada
kelompok umur < 1 tahun(83,0%), perempuan (37,3%), tidak sekolah (45,1%), tidak bekerja
(27,8%) dan tinggal di perkotaan (30,5%).
Selain itu penyebab cedera langsung karena kecelakaan sepeda motor menempati peringkat
pertama yaitu, pada kelompok umur 15-24 tahun (70,3%), laki-laki (51,6%), tingkat pendidikan
tamat SMA/MA (68,5%), bekerja sebagai wiraswasta (71,6%) dan tinggal di perkotaan (54,1%).
Tabel 8.2
Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Penyebab Cedera
Prevalensi Trans Benda Ke- Ke-
Karakteristik Cedera Sepeda Gigitan Lain-
darat Jatuh tajam/ Terbakar jatuh racun
motor Hewan nya
lain tumpul an an
Kelompok umur (thn)
<1 0,6 12,5 83,0 4,6
1–4 5,0 11,2 8,3 69,6 3,6 4,6 0,8 1,6 0,4
5 – 14 7,6 26,6 18,4 39,9 7,6 1,2 0,2 4,9 1,2
15 – 24 10,9 70,3 4,4 18,3 5,6 0,3 0,1 1,1 0,0
25 – 34 7,0 64,4 4,1 16,2 9,5 0,4 0,2 3,7 1,5
35 – 44 5,8 50,6 2,8 26,7 12,4 0,3 7,1
45 – 54 6,8 49,4 5,2 30,6 9,2 0,4 3,4 1,8
55 – 64 6,8 35,5 8,7 39,7 8,6 0,4 0,5 5,7 0,1 0,8
65 – 74 6,9 29,7 8,1 53,5 2,4 6,2
75+ 4,4 9,6 6,9 72,0 2,1 9,4

Jenis Kelamin
Laki-laki 9,2 51,6 8,3 26,0 8,5 0,9 0,2 3,8 0,0 0,6
Perempuan 5,5 43,5 7,7 37,3 6,3 0,5 0,2 3,5 1,0

Pendidikan
Tidak sekolah 5,3 24,9 8,2 45,1 9,3 2,9 8,4 1,1
Tidak tamat SD/MI 7,6 27,8 19,1 37,5 7,5 0,3 0,5 6,1 0,0 1,1
Tamat SD/MI 7,1 46,6 6,2 31,6 9,9 0,1 4,3 1,4
Tamat SMP/MTS 8,6 63,1 4,4 19,3 9,8 0,8 0,1 2,2 0,3
Tamat SMA/MA 8,2 68,5 4,4 19,2 5,1 0,0 0,2 2,2 0,5
Tamat Diploma/PT 5,4 64,2 7,6 21,7 2,7 0,5 3,2 0,2

Status pekerjaan
Tidak bekerja 7,8 53,1 8,5 27,8 6,0 0,4 0,2 3,3 0,8
Pegawai 6,3 63,4 6,0 21,4 5,2 2,8 1,2
Wiraswasta 7,5 71,6 3,6 14,9 7,1 0,2 1,5 1,0
Petani/nelayan/buruh 8,2 49,8 4,3 27,1 12,4 0,3 0,3 5,4 0,0 0,5
Lainnya 8,5 62,4 2,6 20,5 10,9 0,7 2,4 0,5

Tempat tinggal
Perkotaan 7,1 54,1 7,4 30,5 3,8 0,6 0,1 2,8 0,7
Perdesaan 7,5 46,5 8,3 30,1 9,2 0,8 0,3 4,0 0,0 0,8

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 6,9 39,8 7,2 35,0 12,8 0,9 0,1 3,3 0,9
Menengah bawah 8,0 51,4 10,1 24,5 7,4 0,7 0,4 4,8 0,0 0,7
Menengah 7,1 49,4 6,5 34,9 5,5 0,1 0,1 2,6 0,8
Menengah atas 7,9 49,4 8,8 28,3 6,7 0,9 0,4 4,8 0,6
Teratas 6,7 53,7 7,2 29,1 5,7 1,1 2,5 0,9
darat lainnya), jatuh dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera akibat
transportasi darat tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 37,5 persen menjadi 56,7 persen.

Gambar 8.1
Kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya, Provinsi Aceh 2007 dan 2013

8.2. Jenis cedera


Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat
menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang yang cedera bisa mengalami
minimal 1 jenis (multiple injuries).
Persentase jenis cedera di Provinsi Aceh di dominasi oleh luka lecet/memar sebesar 66,7
persen, terbanyak terdapat di Kabupaten Nagan Raya (83,5%) dan yang terendah di Aceh
Tenggara (17,7%). Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Provinsi Aceh 38,9
persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Aceh Tenggara (67,9%). Luka robek menduduki urutan
ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Aceh Barat 39,7 persen, jauh
di atas rerata Provinsi Aceh yaitu 27,8 persen dan terendah di Aceh Tenggara 13,4 persen. Jenis
cedera lainnya persentasenya kecil, patah tulang 7,4 persen, anggota tubuh terputus, cedera
mata dan geger otak masing-masing persentasenya di Aceh 0,1, 0,9 dan 0,6 persen. Seperti
terlihat pada tabel 8.3.
Tabel 8.3
Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Cedera
Kabupaten/Kota Anggota
Lecet/ Luka Patah Cedera Gegar
Terkilir Tubuh Lainnya
Memar robek Tulang Mata otak
terputus
Simeulue 81,2 39,1 6,0 40,4 1,0
Aceh Singkil 69,0 27,9 4,6 36,6 0,4 1,4 2,6 1,2
Aceh Selatan 65,9 31,8 9,4 44,5 1,4 0,8 0,7
Aceh Tenggara 17,7 13,4 11,2 67,9 0,6
Aceh Timur 58,2 31,8 8,9 28,4 4,5
Aceh Tengah 62,6 23,7 4,4 54,9 1,1 0,9 1,5
Aceh Barat 73,9 39,7 6,5 25,8 0,0 2,4 0,9 2,0
Aceh Besar 74,4 31,1 9,8 23,7 0,7 0,9
Pidie 57,0 34,1 11,1 37,2 1,3 0,7
Bireuen 62,5 28,1 8,6 43,5 0,8 0,5 1,4
Aceh Utara 82,6 31,2 9,8 33,8 1,8 1,6 0,4
Aceh Barat Daya 63,5 15,0 9,1 36,7 2,1 1,3
Gayo Lues 59,7 30,2 3,4 41,5 0,7 0,2
Aceh Tamiang 81,6 27,5 2,4 27,5 0,6
Nagan Raya 83,5 34,7 15,3 41,2 3,1
Aceh Jaya 68,5 22,3 4,9 54,6 0,7 2,9 1,9
Bener Meriah 61,9 15,6 5,6 55,7 0,1 1,8 0,4 1,3
Pidie Jaya 68,7 25,3 6,9 39,3 1,2 2,0 2,4
Kota Banda Aceh 74,0 15,3 2,5 32,0 0,6 1,8 2,7
Kota Sabang 57,1 24,2 8,1 42,9 2,8
Kota Langsa 60,8 30,6 9,5 38,8 0,7
Kota
68,4 32,8 9,7 46,3 1,5 1,9
Lhokseumawe
Kota Subulussalam 72,6 30,8 4,0 26,7 3,3
Aceh 66,7 27,8 7,4 38,9 0,1 0,9 0,6 1,5

Tabel 8.4 memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden.
Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar,
terkilir dan luka robek.
Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan
cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 proporsinya
rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi
yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proposinya tinggi ditunjukkan
pada jenis cedera patah tulang dan terkilir.
Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi didapat pada umur 15-24 tahun untuk jenis
cedera lecet/memar (74,0%), dan luka robek (31,0%), patah tulang (30,3%), dan terkilir (60,5%)
pada umur 75 tahun keatas, anggota tubuh terputus pada usia produktif (25-54 tahun) sekitar 0,1
persen, cedera mata pada umur 35 – 54 tahun sekitar 3,8 persen, gegar otak pada umur 65-74
tahun 0,9 persen dan jenis cedera lainnya pada umur 65 tahun keatas 1,2 persen.
Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi
Adapun jika berdasarkan pada pendidikan sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan
pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi
jenis cedera meingkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi. Sedangkan menurut
status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu.
Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada
perbedaan antara perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar lebih tinggi di
perkotaan sedangkan luka robek dan patah tulang lebih tinggi proporsinya di perdesaan.
Menurut tingkat pengeluaran perkapita per bulan tampak bahwa yang menunjukkan pola yang
jelas hanya pada jenis cedera yang proporsinya menunjukkan 3 angka besar dibandingkan
dengan jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek dan terkilir. Luka lecet menunjukkan
pola positif dengan semakin tinggi status ekonomi semakin besar proporsi luka lecetnya,
sedangkan untuk luka robek dan terkirlir sebaliknya dengan semakin tinggi status ekonominya
tampak jenis lukanya semakin menurun proporsinya.
Tabel 8.4
Proporsi jenis cedera menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Cedera
Karakteristik Anggota
Lecet/ Luka Patah Cedera Gegar
Terkilir Tubuh Lainnya
Memar robek Tulang Mata otak
terputus
Kelompok umur (thn)
<1 57,5 55,0
1–4 66,0 16,2 3,3 30,1 2,9
5 – 14 65,1 25,5 5,8 30,9 0,5 0,3 1,9
15 – 24 74,0 31,6 6,7 39,9 0,2 0,6 0,8 1,1
25 – 34 67,4 31,0 7,7 40,4 0,1 1,5 0,7 1,1
35 – 44 61,2 28,0 8,2 44,4 0,4 1,4 0,5
45 – 54 68,5 29,4 9,7 45,4 0,1 3,4 0,6 2,7
55 – 64 50,2 28,1 11,9 43,8 0,0 0,1 1,2
65 – 74 59,6 15,1 11,6 52,0 0,9 1,2
75+ 34,9 5,0 30,3 60,5

Jenis Kelamin
Laki-laki 66,8 32,8 8,2 37,3 0,1 1,2 0,7 1,7
Perempuan 66,7 19,6 6,0 41,5 0,0 0,3 0,4 1,0

Pendidikan
Tidak sekolah 52,5 27,9 9,1 31,6 0,9 1,0 6,2
Tidak tamat SD/MI 65,9 24,8 6,8 34,3 0,0 1,4 0,6 1,6
Tamat SD/MI 63,4 32,1 6,9 36,9 0,0 0,7 0,7 1,2
Tamat SMP/MTS 68,7 32,9 7,5 43,6 0,2 1,1 1,1 0,5
Tamat SMA/MA 72,1 26,1 8,1 42,3 0,1 0,6 0,2 1,0
Tamat Diploma/PT 70,5 21,8 10,1 54,7 1,8 0,7 0,7
Status pekerjaan
Tidak bekerja 66,7 27,0 7,0 40,3 0,1 0,7 0,4 1,7
Pegawai 69,6 23,8 5,7 50,3 0,2 1,5
Wiraswasta 68,8 35,3 7,4 40,2 0,1 2,1 1,5 0,5
Petani/nelayan/ buruh 66,5 30,8 9,8 39,7 0,0 0,9 0,9 0,8
Lainnya 71,4 37,4 8,7 39,5 2,2 1,6
Tempat tinggal
Perkotaan 70,1 26,4 5,1 40,9 0,1 0,4 0,7 1,0
Perdesaan 65,5 28,4 8,3 38,2 0,0 1,1 0,6 1,6

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 55,9 32,8 8,7 39,3 1,8 0,5 2,7
Menengah bawah 71,3 28,3 7,7 34,0 0,1 0,8 0,9 1,5
Menengah 69,0 26,3 8,3 41,7 0,0 1,2 0,5 1,4
Menengah atas 69,0 27,7 6,1 37,5 0,2 0,4 0,1 0,7
Teratas 67,9 22,8 5,9 43,9 0,1 0,2 1,1 0,9
*Responden biasanya mempunyai lebih dari 1 jenis cedera (multiple injury)
8.3. Tempat Terjadinya Cedera
Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang
mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai
keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi
tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan
outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya.

Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi disajikan pada Tabel 8.5. Secara
umum di Aceh, cedera yang terjadi paling banyak terjadi di jalan raya yaitu 47,3 persen.
selanjutnya di rumah (30,7%), area pertanian (9,9%) dan sekolah (4,9%). Kabupaten /kota yang
memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah Kabupaten Pidie
Jaya (43,3%) dan terendah di Aceh Utara (16,2%). Adapun untuk porporsi tempat cedera di
sekolah tertinggi di Aceh Barat Daya (11,2%) dan terendah di Gayo Lues (0,2%). Tempat
kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat
yang lain. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan yang yang
melebihi angka provinsi sebanyak 13 kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian di jalan raya
terbanyak di Kabupaten Nagan Raya (79,0%) dan terendah di Simeulue (25,4%). Adapun untuk
tempat kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil
dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi
yang sangat melebihi angka provinsi (9,9%) di Kabupaten Simeulue (25,6%) dan terendah di
Kota Lhokseumawe (0,7%).
Tabel 8.5
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Area Tempat terjadinya cedera
Kabupaten/Kota Olah Jalan Tempat
Rumah Sekolah Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Simeulue 33,9 3,1 5,7 25,4 25,6 6,3
Aceh Singkil 22,1 6,6 3,8 38,3 2,9 5,4 18,2 2,9
Aceh Selatan 31,2 5,6 1,4 49,6 2,9 7,9 1,4
Aceh Tenggara 30,3 5,3 6,4 44,4 1,8 9,5 2,3
Aceh Timur 25,5 1,4 2,6 40,1 3,2 24,7 2,4
Aceh Tengah 24,0 2,3 3,6 46,3 1,0 0,7 22,0
Aceh Barat 32,9 5,7 48,0 8,0 5,3
Aceh Besar 35,4 7,2 50,6 1,2 5,7
Pidie 37,1 3,8 6,6 39,8 0,8 1,4 10,1 0,3
Bireuen 35,2 6,8 3,3 42,3 2,8 0,6 8,7 0,2
Aceh Utara 16,2 3,4 3,1 64,1 2,0 1,5 9,7
Aceh Barat Daya 29,9 11,2 4,8 47,8 2,4 3,8
Gayo Lues 28,7 0,2 0,9 56,3 1,4 9,2 3,4
Aceh Tamiang 36,4 5,2 2,6 48,7 0,8 5,6 0,7
Nagan Raya 18,6 79,0 2,4
Aceh Jaya 28,2 2,2 6,4 56,9 0,8 1,9 1,5 2,0
Bener Meriah 32,6 5,2 7,0 38,5 1,0 15,2 0,5
Pidie Jaya 43,3 7,8 3,0 36,4 7,8 1,6
Kota Banda Aceh 31,5 5,7 4,1 56,1 0,9 1,7
Kota Sabang 34,6 1,8 13,1 45,5 1,5 2,4 1,1
Kota Langsa 24,0 4,6 3,3 56,6 2,2 5,1 2,0 2,1
Kota Lhokseumawe 23,1 5,9 5,7 60,9 3,7 0,7
Kota Subulussalam 25,6 3,8 0,7 53,6 3,7 0,5 10,9 1,2
Aceh 30,7 4,9 3,6 47,3 2,0 0,8 9,9 0,8

Tabel 8.6 menggambarkan proporsi tempat kejadian cedera berdasarkan karakterikstik


responden. Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan proporsi tinggi terjadi
pada kelompok umur Balita dan lansia (Lanjut usia). Adapun tempat kejadian cedera di sekolah
kebanyakan terjadi pada kelompok umur anak, remaja sampai dewasa muda (5 – 24 tahun)
demikian juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya merupakan
tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus
pada umur 15-24 yaitu 7,2 persen. Tempat umum, industri dan area pertanian menunjukkan pola
yang sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian
proporsi tertinggi pada umur 55 – 64 tahun yaitu 21,1 persen.
Menurut jenis kelamin, proporsi termpat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang
menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah
terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan
semakin tinggi proporsi semakin tinggi ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di area
olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada
sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan industri memperlihatkan
Menurut status ekonomi (tingkat pengeluaran perkapita per bulan) tampak bahwa mayoritas
kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat
kejadian di rumah dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi
tingkat ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah.

Tabel 8.6
Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Area Tempat terjadinya cedera
Karakteristik Olah Jalan Tempat
Rumah Sekolah Industri Pertanian Lainnya
raga raya umum
Kelompok umur (thn)
<1 95,4 4,6
1–4 86,3 4,2 6,2 0,4 2,8 0,2
5 – 14 47,4 11,7 3,9 28,7 1,4 0,1 6,2 0,5
15 – 24 16,0 3,8 7,2 64,8 1,8 0,1 5,9 0,4
25 – 34 19,2 1,8 2,6 62,3 1,5 1,9 9,8 0,9
35 – 44 22,0 1,8 1,9 50,0 4,1 1,2 18,2 0,9
45 – 54 22,2 3,0 0,7 50,6 3,5 1,3 17,1 1,6
55 – 64 29,7 1,4 1,5 40,4 1,3 3,3 21,1 1,4
65 – 74 43,4 2,1 29,0 4,2 19,9 1,3
75+ 50,8 16,5 22,4 10,3
Jenis Kelamin
Laki-laki 24,5 4,8 5,1 50,7 2,1 1,2 10,6 1,0
Perempuan 41,2 5,1 1,2 41,6 1,8 8,7 0,5
Pendidikan
Tidak sekolah 50,5 5,5 2,3 28,6 1,2 12,0
Tidak tamat SD/MI 41,4 9,6 2,4 30,5 1,6 0,5 12,5 1,4
Tamat SD/MI 28,4 4,5 3,3 45,8 2,4 0,5 13,6 1,5
Tamat SMP/MTS 17,7 3,9 3,7 59,4 2,3 1,9 10,9 0,3
Tamat SMA/MA 17,7 3,0 4,8 65,5 1,4 0,7 6,2 0,6
Tamat Diploma/PT 12,6 2,5 10,0 64,8 6,3 0,9 2,9
Status pekerjaan
Tidak bekerja 29,1 6,2 5,7 50,8 1,3 0,3 6,1 0,5
Pegawai 13,6 2,5 1,2 67,0 4,8 3,4 7,3 0,3
Wiraswasta 14,9 2,8 1,8 66,2 4,2 2,8 7,0 0,3
Petani/nelayan/ buruh 16,7 1,3 2,1 50,3 2,4 1,1 24,6 1,5
Lainnya 23,0 0,8 5,3 62,5 3,7 2,8 1,9
Tempat tinggal
Perkotaan 29,0 5,4 5,3 53,4 3,2 1,2 1,9 0,7
Perdesaan 31,4 4,7 3,0 45,0 1,5 0,6 12,9 0,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 31,1 3,5 3,8 40,6 1,2 0,2 17,8 1,9
Menengah bawah 29,8 4,2 1,9 48,5 2,1 1,2 11,9 0,5
Menengah 32,2 4,3 4,0 48,6 2,2 1,3 7,2 0,1
Menengah atas 32,2 6,8 2,8 48,2 1,1 0,6 7,8 0,6
Teratas 27,9 5,9 6,7 51,3 3,9 0,5 3,0 0,9
Daftar Pustaka
International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems. Vol 1. Tenth
Revision (ICD-10). World Health Organization. Geneva, 1992. vol 1, p: 891 – 1010.

Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Desember 2008, hal: 160 – 169.

Pedoman Pengisian Kuesioner. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2007, hal: 59 – 60.

Riyadina, W,. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis lanjut data
Riskesdas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 2008.

Sethi D et. al., Guidelines for conducting community surveys on injuries and violence. World
Health Organization. Geneva. 2004.

Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindakan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
BAB 9. KESEHATAN GIGI DAN MULUT

Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin


Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan
Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik
dilaksanakan melalui survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, SKRT 2001, SKRT 2004,
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas 2013.
Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator
status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan
data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel
keseluruhan 40.951 responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur.
Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur ≥10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut
dilakukan pada kelompok umur ≥12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007
sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan
mulut penduduk Provinsi Aceh. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga
kelompok umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada
umur ≥12 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua {permanen},
umur 15 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan usia 18
tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian
dalam dentogram ini untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur 35-54 tahun,
diharapkan 20 gigi berfungsi, serta umur ≥65 tahun. (hasil lengkap di Buku Riskesdas Provinsi
Aceh 2013 Dalam Angka, halaman 159 sampai dengan 175 tabel 9.1 sampai tabel 9.16)

9.1. Effective Medical Demand


Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah
dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir x persentase penduduk yang menerima
perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis.

14%

EMD

Gambar 9.1
Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan,
dan EMD, Provinsi Aceh 2013
Gambar 9.1 menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima
perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/kota. Proporsi
penduduk yang menyatakan mempunyai masalah gigi dan mulut di Provinsi Aceh sebesar 30,5
Tabel 9.1
Prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai effective
medical demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Penduduk menyatakan Menerima perawatan/pengobatan Effective Medical


Kabupaten/Kota bermasalah gilut dari tenaga medis gigi Demand
(%) (%) (%)

Simeulue 24,7 25,0 6,1


Aceh Singkil 33,8 29,8 10,1
Aceh Selatan 33,9 33,2 11,3
Aceh Tenggara 16,1 47,2 7,6
Aceh Timur 39,6 45,4 18,0
Aceh Tengah 36,8 45,3 16,7
Aceh Barat 23,5 34,0 8,0
Aceh Besar 18,7 56,9 10,7
Pidie 24,4 58,0 14,2
Bireuen 37,4 52,5 19,6
Aceh Utara 37,1 49,5 18,4
Aceh Barat Daya 28,2 45,9 12,9
Gayo Lues 39,6 33,6 13,3
Aceh Tamiang 31,1 37,7 11,7
Nagan Raya 17,1 42,6 7,3
Aceh Jaya 29,9 74,1 22,1
Bener Meriah 46,6 40,2 18,7
Pidie Jaya 20,6 57,8 11,9
Kota Banda Aceh 35,0 40,0 14,0
Kota Sabang 20,6 64,1 13,2
Kota Langsa 22,7 37,5 8,5
Kota Lhokseumawe 30,5 53,1 16,2
Kota Subulussalam 37,3 32,0 11,9
Aceh 30,5 45,9 14,0

Tabel 9.1 menunjukkan bahwa kabupaten/kota bener meriah mempunyai masalah gigi dan mulut
yang paling tinggi (46,6%), dan yang terendah adalah Aceh Tenggara (16,1%) dengan masing–
masing EMD 18,7 persen, dan 7,6 persen.

Tabel 9.2 menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand)
menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia 45 – 54 tahun sebesar 40,4 persen. Demikian
pula dengan proporsi EMD sebesar 21,1 persen. Proporsi EMD pada perempuan (15,6%) lebih
tinggi dibanding laki-laki (12,4%). Proporsi EMD pada jenis pendidikan tertinggi adalah kelompok
penduduk tidak tamat SD (16,1%) dan terendah pada kelompok penduduk tamat PT (11,9%)
Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok petani/nelayan/buruh mempunyai EMD terbesar (16,8%)
dan EMD tertinggi berdasarkan indeks kuintil kepemilikan adalah pada kelompok berpenghasilan
menengah bawah (14,8%).
Tabel 9.2
Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai
effective medical demand menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

bermasalah menerima perawatan Effective Medical


Karakteristik
gigi dan mulut dari tenaga medis gigi Demand

Kelompok Umur
<1 0,4 53,1 0,2
1-4 8,5 32,2 2,7
5-9 34,1 50,4 17,2
10-14 28,7 41,6 11,9
15-24 27,9 39,1 10,9
25-34 33,1 50,3 16,6
35-44 39,1 48,8 19,0
45-54 40,4 52,3 21,1
55-64 36,5 40,8 14,9
≥ 65 25,9 32,5 8,4
Indeks Umur (WHO)
12 28,0 43,1 12,0
15 27,4 30,0 8,2
18 28,6 33,3 9,5
35-44 39,1 48,8 19,1
45-54 40,4 52,3 21,1
55-64 36,5 40,8 14,9
≥ 65 25,9 32,5 8,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 29,5 42,2 12,4
Perempuan 31,5 49,5 15,6
Pendidikan
Tidak Sekolah 34,0 43,3 14,7
Tidak Tamat SD 36,0 44,8 16,1
Tamat SD 35,0 45,3 15,8
Tamat SLTP 32,8 47,2 15,5
Tamat SLTA 32,2 47,4 15,3
Tamat PT 22,8 52,3 11,9
Pekerjaan
Tidak Bekerja 31,2 45,5 14,2
Pegawai 27,7 50,8 14,1
Wiraswasta 34,1 48,0 16,3
Petani/Nelayan/Buruh 38,0 44,4 16,8
Lainnya 33,9 43,3 14,6
Tempat Tinggal
Perkotaan 29,3 43,7 12,8
Perdesaan 31,0 46,8 14,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 32,3 40,3 12,9
Menengah bawah 33,0 44,7 14,8
Pada tabel 9.3 terlihat bahwa di Provinsi Aceh, penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis
sebanyak 3,3 persen, yang berobat ke dokter gigi 25,4 persen, dan ke perawat gigi 35,0 persen.
Penduduk yang berobat gigi ke dokter spesialis terbanyak berada di Kota Banda Aceh sebesar
12,8 persen dan kabupaten Aceh Singkil 5,8 persen. Pada umumnya responden datang ke
dokter gigi yang banyak berada di kota besar, seperti di Kota Banda Aceh sebanyak 51,1
persen, diikuti oleh Lhokseumawe sebesar 43,4 persen. Perawatan dokter gigi terendah berada
di Kabupaten Simeulue sebesar 9,9 persen. Penduduk yang berobat ke perawat gigi yang
terbanyak di Kota Sabang sebesar 69 persen dan terendah di Kabupaten Gayo Lues sebanyak
7,4 persen.
Tabel 9.3
Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Dokter gigi Paramedik
Kabupaten/Kota Dokter Gigi Perawat Gigi Tukang gigi Lainnya
Spesialis lainnya
Simeulue 1,6 9,9 51,2 26,7 0,5 19,6
Aceh Singkil 5,8 17,8 17,2 53,2 0,6 6,4
Aceh Selatan 4,1 22,8 60,1 11,0 2,0 6,3
Aceh Tenggara 12,1 64,0 21,6 0,1 2,3
Aceh Timur 3,3 28,5 26,3 52,5 1,8 2,6
Aceh Tengah 2,3 33,2 13,7 40,6 2,2 16,0
Aceh Barat 4,4 22,3 22,1 45,6 1,0 13,2
Aceh Besar 4,2 23,1 56,7 12,7 1,0 15,4
Pidie 1,2 18,3 27,4 58,3 0,5 3,0
Bireuen 1,6 16,6 37,8 46,7 1,5 7,2
Aceh Utara 2,4 15,0 43,5 42,4 1,5 8,6
Aceh Barat Daya 3,9 13,1 62,7 26,8 9,5 1,6
Gayo Lues 1,0 27,6 7,4 68,2 1,6 1,1
Aceh Tamiang 3,6 42,3 16,4 31,1 5,1 9,7
Nagan Raya 4,1 13,4 42,1 42,6 4,0
Aceh Jaya 0,4 28,6 39,5 40,1 2,5 16,7
Bener Meriah 1,3 37,0 21,3 25,9 1,3 20,7
Pidie Jaya 4,7 23,3 36,8 52,1 0,4 5,8
Kota Banda Aceh 12,8 51,1 20,8 15,5 2,5
Kota Sabang 3,5 27,4 69,0 14,1 0,9
Kota Langsa 1,7 30,4 26,2 15,6 0,7 31,0
Kota Lhokseumawe 2,3 43,4 26,1 22,6 1,5 22,8
Kota Subulussalam 2,0 27,4 17,4 50,3 1,4 4,0
Aceh 3.1 25.0 34,4 38,2 1,7 8,9

Berdasarkan karakteristik penduduk yang menerima perawatan/pengobatan ke dokter gigi


mempunyai proporsi yang hampir sama pada kelompok umur antara 10- 44 tahun, dengan jenis
Tabel 9.4
Proporsi penduduk berobat gigi sesuai jenis nakes menurut
Karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Dokter gigi Paramedik
Karakteristik Dokter Gigi Perawat Gigi Tukang gigi Lainnya
Spesialis lainnya
Kelompok Umur
<1
1-4 1,8 13,8 32,7 37,7 0,9 15,6
5-9 1,7 19,5 32,0 44,2 0,8 10,3
10-14 1,7 23,9 35,7 36,4 1,3 11,8
15-24 4,3 26,5 31,3 38,9 1,5 8,0
25-34 3,5 25,7 35,4 37,3 2,0 9,1
35-44 3,0 24,2 34,7 39,1 1,8 8,0
45-54 3,7 27,9 37,1 34,7 1,3 7,8
55-64 3,0 29,3 34,0 38,3 4,7 5,2
≥ 65 3,7 32,2 38,8 28,4 2,5 6,8
Indeks Umur (WHO)
12 1,6 23,7 45,6 26,8 3,7 10,4
15 6,5 34,2 32,9 46,4 0,2 3,5
18 9,0 22,8 36,3 37,2 1,2 7,1
35-44 3,0 24,2 34,7 39,1 1,8 8,0
45-54 3,7 27,9 37,1 34,7 1,3 7,8
55-64 3,0 29,3 34,0 38,3 4,7 5,2
≥ 65 3,7 32,2 38,8 28,4 2,5 6,8
Jenis Kelamin
Laki-laki 3,0 23,1 33,3 40,1 2,0 8,9
Perempuan 3,1 26,4 35,2 36,8 1,5 8,8
Pendidikan
Tidak Sekolah 2,0 23,0 37,5 37,9 1,5 10,4
Tidak Tamat SD 1,7 17,4 31,0 47,1 0,7 9,4
Tamat SD 2,1 24,4 33,6 41,5 2,4 8,5
Tamat SLTP 3,4 23,7 39,5 37,8 2,3 8,6
Tamat SLTA 4,4 30,2 35,1 30,6 1,6 8,8
Tamat PT 9,1 49,2 26,9 20,3 1,9 4,1
Pekerjaan
Tidak Bekerja 3,2 26,6 35,8 35,9 1,6 9,1
Pegawai 6,9 41,5 35,5 20,8 1,0 7,0
Wiraswasta 5,9 27,1 32,2 33,2 3,2 9,0
Petani/Nelayan/Buruh 1,7 21,7 34,1 44,9 1,9 7,4
Lainnya 2,7 21,0 34,8 40,2 1,8 9,7
Tempat Tinggal
Perkotaan 5,4 36,3 32,2 24,3 1,3 9,6
Perdesaan 2,2 21,0 35,2 43,1 1,8 8,6
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,8 14,5 37,3 48,4 2,8 4,7
9.2. Perilaku menyikat gigi penduduk umur ≥ 10 tahun
Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi dengan benar
untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam
Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui apakah responden mempunyai kebiasaan menyikat
gigi setiap hari dan kapan saja waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat
gigi dalam Riskesdas 2013, adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari, sesudah makan pagi
dan sebelum tidur malam. Perilaku menyikat gigi dengan benar berkaitan dengan karakteristik
penduduk, jenis kelamin, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 9.5 menunjukkan sebagian besar yaitu, 89,9 persen, penduduk Aceh umur 10 tahun
keatas mempunyai kebiasaan menyikat gigi setiap hari. Kota dengan persentase tertinggi adalah
Banda Aceh dan Aceh kabupaten Tamiang masing-masing 97,5 persen, sedangkan yang
terendah adalah Aceh Selatan 82,5 persen.
Sebagian besar penduduk di Provinsi Aceh (91,9%) menyikat gigi pada saat mandi pagi, dengan
urutan tertinggi adalah Simeulue sebesar 99,7 persen. Sebagian besar penduduk juga menyikat
gigi pada saat mandi sore, yaitu sebesar (75,1%) dengan urutan tertinggi di Kabupaten Aceh
Jaya sebesar 94,3 persen, dan yang terendah di Aceh Tengah sebesar 28,2 persen. Sebagian
besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang
keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur.
Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk di Provinsi Aceh hanya 2,4 persen, sebagian besar
menyikat gigi dengan cara yang tidak benar (97,6% ). Kabupaten/kota tertinggi untuk perilaku
menyikat gigi dengan benar adalah kabupaten Nagan Raya yaitu 8,9 persen, kemudian diikuti
Aceh Tengah 5,6 persen, sedangkan yang terendah ada di Aceh Tenggara 0,0 persen. Perilaku
penduduk menyikat gigi menurut karakteristik dapat dilihat dalam laporan Riskesdas 2013 dalam
Angka.
Tabel 9.5
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Waktu menyikat gigi
Sikat gigi Menyikat gigi
Kabupaten/Kota Mandi Mandi Sesudah Sesudah Sebelum tidur Sesudah Mandi pagi
setiap hari dengan benar
pagi sore makan pagi bangun pagi malam makan siang dan sore
Simeulue 92,5 17,4 99,7 82,9 6,6 10,8 27,2 2,8 3,7
Aceh Singkil 87,2 17,6 97,0 84,0 1,4 3,1 18,4 6,8 0,4
Aceh Selatan 82,5 22,6 96,9 80,0 4,9 6,2 16,7 5,8 2,6
Aceh Tenggara 96,8 12,8 99,5 87,5 0,2 0,5 8,1 0,6 0,0
Aceh Timur 86,4 31,6 89,1 74,6 4,4 14,4 24,9 11,2 1,9
Aceh Tengah 92,2 85,0 34,5 28,2 8,8 57,0 53,6 5,2 5,6
Aceh Barat 91,4 22,9 93,1 81,5 4,0 8,8 21,2 6,2 1,1
Aceh Besar 93,8 23,0 97,6 77,8 2,4 7,1 44,5 2,5 1,4
Pidie 85,0 44,0 96,5 57,8 3,0 2,9 28,6 6,0 1,3
Bireuen 89,1 17,7 98,0 83,2 5,3 8,7 23,9 7,1 3,0
Aceh Utara 88,0 38,2 84,6 69,5 2,1 16,0 28,3 8,2 0,8
Aceh Barat Daya 83,8 20,1 97,5 81,4 3,1 10,7 20,2 2,8 1,0
Gayo Lues 91,1 27,5 85,6 82,0 1,7 13,9 16,0 5,2 0,9
Aceh Tamiang 97,5 11,9 98,6 89,0 2,3 5,5 17,8 1,8 1,6
Nagan Raya 80,4 29,3 95,7 74,0 12,3 6,9 28,7 4,4 8,9
Aceh Jaya 93,6 6,7 97,9 94,3 7,6 4,9 23,7 5,4 4,9
Bener Meriah 86,9 49,9 76,3 60,8 9,6 18,2 26,8 6,4 3,0
Pidie Jaya 87,6 16,8 98,5 83,9 2,2 1,9 28,5 5,7 1,3
Kota Banda Aceh 97,5 27,4 95,4 73,6 6,0 4,8 64,3 7,4 4,7
Kota Sabang 90,8 10,8 98,3 89,8 2,3 2,7 30,4 2,6 1,9
Kota Langsa 95,9 18,1 96,2 84,4 2,5 1,4 28,8 4,7 1,2
Kota Lhokseumawe 93,9 30,6 97,1 70,9 6,2 8,0 51,8 7,0 3,0
Kota Subulussalam 88,7 16,3 95,8 87,2 3,4 10,4 11,6 3,6 1,2
Aceh 89,9 91,9 75,1 4,1 10,1 29,7 5,8 71,7 2,2

99
Tabel 9.6
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun berdasarkan waktu dan menyikat gigi dengan benar menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Waktu menyikat gigi
Sikat gigi Menyikat gigi
Karakteristik Sesudah makan Sesudah bangun Sebelum tidur Sesudah makan Mandi pagi dan
setiap hari Mandi pagi Mandi sore dengan benar
pagi pagi malam siang sore
Kelompok umur (tahun)
10-14 92,3 27,6 94,2 74,4 3,4 7,8 23,1 5,0 1,6
15-24 96,4 24,1 92,9 78,9 5,0 10,2 35,3 7,0 2,8
25-34 96,5 27,1 90,8 77,0 4,6 11,5 35,1 6,1 2,7
35-44 93,7 29,2 90,1 75,1 3,7 11,3 27,3 5,3 2,0
45-54 86,4 32,0 91,9 71,7 3,3 9,7 25,1 5,0 1,6
55-64 69,4 37,7 91,3 65,3 3,9 8,3 22,0 4,5 1,6
>=65 41,7 46,2 91,6 56,4 2,5 6,2 18,3 2,7 1,3
Kelompok Umur 12 Th (WHO)
12 93,0 30,0 95,2 71,5 3,4 8,3 24,6 5,5 1,4
15 96,0 20,1 95,5 82,3 4,0 8,2 27,1 5,9 1,7
18 97,1 23,4 92,6 80,7 4,4 12,2 36,6 8,3 2,4
35-44 93,7 29,2 90,1 75,1 3,7 11,3 27,3 5,3 2,0
45-64 86,4 32,0 91,9 71,7 3,3 9,7 25,1 5,0 1,6
55-64 69,4 37,7 91,3 65,3 3,9 8,3 22,0 4,5 1,6
≥65 41,7 46,2 91,6 56,4 2,5 6,2 18,3 2,7 1,3
Jenis Kelamin
Laki – laki 88,8 28,2 92,9 74,8 4,0 8,1 24,8 4,3 1,7
Perempuan 91,0 28,4 91,0 75,4 4,3 12,0 34,5 7,1 2,7
Pendidikan
Tidak sekolah 60,3 67,0 92,0 71,4 4,7 7,4 16,9 5,9 2,1
Tidak tamat SD/MI 81,3 70,1 92,9 73,5 3,2 8,1 17,2 5,0 1,3
Tamat SD/MI 86,7 68,7 89,4 74,2 3,1 12,0 22,1 5,3 1,4
Tamat SLTP 94,4 72,9 92,1 76,1 4,4 9,6 28,2 6,0 2,1
Tamat SLTA 96,5 74,7 93,2 76,6 4,6 9,5 38,1 6,1 2,9
Tamat D1-D3/PT 98,0 71,9 93,4 73,5 6,3 11,4 56,6 6,7 4,8
Pekerjaan
Tidak kerja 90,6 73,3 93,2 76,3 4,0 9,5 30,7 6,2 2,2
Pegawai 97,2 74,4 93,2 76,2 6,2 9,6 49,2 5,7 4,6
Wiraswasta 94,0 70,0 91,3 72,8 4,8 10,6 33,9 5,6 2,8
Petani/nelayan/buruh 84,3 67,3 88,2 72,7 3,2 11,9 18,2 4,5 1,0
Lainnya 93,0 75,8 95,5 77,1 5,1 6,7 37,0 7,2 3,6
Tempat tinggal
Perkotaan 94,2 73,0 94,1 74,7 4,3 8,1 43,5 5,6 2,8
Pedesaan 88,2 71,1 90,9 75,3 4,1 11,0 23,9 5,8 2,0
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 80,4 69,3 90,4 75,2 3,7 9,9 14,7 5,2 1,4
Menengah bawah 89,3 73,4 92,2 77,0 3,4 9,2 22,3 6,3 1,7
Menengah 91,2 70,1 91,7 73,3 4,1 11,3 28,5 6,2 2,1
Menengah atas 94,5 72,3 92,1 75,0 3,8 9,7 37,8 5,3 2,0
Teratas 95,8 73,4 93,2 75,0 5,8 10,5 46,6 5,8 4,0

100
Tabel 9.6 menggambarkan proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang menyikat gigi setiap hari dan
berperilaku benar menurut karakteristik responden. Menurut Kelompok umur, pada kelompok usia 15-24
tahun sampai dengan 45-54 tahun perilaku menyikat gigi dengan benar semakin meningkat. Laki-laki
yang berperilaku menyikat gigi dengan benar (1,7%) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,7%).
Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar
dibandingkan perdesaan. Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka
semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai lebih
banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. (Pokok-Pokok Riskesdas Indonesia, 2013)

9.3. Indeks DMF-T dan Komponen D-T,M-T,F-T

Jumlah sampel untuk usia ≥ 12 tahun, berjumlah 789.771 orang responden. Huruf X adalah rata-rata dari
D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF . Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T,
M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa
Decay/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal),
Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filling/F adalah jumlah
gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat
keparahan kerusakan gigi permanen.

Tabel 9.7 menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik responden, indeks DMF-T meningkat seiring
dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,12 pada kelompok umur 12 tahun 1,22 pada umur 15 tahun,
1,32 pada umur 18 tahun, 6,11 pada umur 35-44 tahun, dan selanjutnya 19,5 pada umur 65 tahun
keatas, yang berarti kerusakan rata-rata 19 gigi per orang. Pada indeks kepemilikan, nilai DMF-T
cenderung meningkat pada kuintil pemilikan yang lebih rendah, terlihat pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah nilai DMF-T nya 4,7 sedang pada status ekonomi teratas nilai DMF-T lebih rendah yaitu 3,2.
Indeks DMF-T Provinsi Aceh sebesar 4,0 dengan nilai masing-masing: D-T= 1,4; M-T= 2,6; F-T= 0,08;
yang berarti kerusakan gigi penduduk Aceh rata-rata 8 gigi per orang. (Laporan Riskesdas 2013
Nasional)
Tabel 9.7
Komponen D, M, F, dan indeks DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

D-T M-T F-T DF-T Index DMF-T


Karakteristik responden
(%) (%) (%) (%) (%)
Indeks Umur (WHO)
12 0,86 0,25 0,01 0,00 1,12
15 0,85 0,31 0,12 0,06 1,22
18 0,85 0,37 0,06 0,05 1,32
35-44 0,85 3,90 0,14 0,05 6,11
45-54 0,85 6,43 0,16 0,03 8,40
55-64 0,85 10,71 0,09 0,00 13,76
65+ 0,85 17,97 0,06 0,03 19,55
Kelompok Umur
12-14 0,82 0,25 0,02 0,00 1,08
15-24 0,93 0,46 0,08 0,02 1,44
25-34 1,56 2,09 0,09 0,02 3,72
35-44 2,12 3,90 0,14 0,05 6,10
45-54 1,85 6,43 0,16 0,03 8,40
55-64 2,97 10,71 0,09 0,00 13,76
65+ 1,55 17,97 0,06 0,03 19,54
Jenis Kelamin
Laki-laki 1,44 2,26 0,07 0,01 3,76
Perempuan 1,35 2,87 0,09 0,03 4,28
Pendidikan
Tidak sekolah 2,24 7,92 0,07 0,02 10,21
Tidak tamat SD 1,68 3,74 0,03 0,00 5,44
Tamat SD 1,44 2,76 0,04 0,02 4,22
Tamat SLTP 1,22 1,84 0,07 0,02 3,11
Tamat SLTA 1,37 2,14 0,14 0,04 3,61
Tamat PT 0,83 2,00 0,35 0,02 3,15
Status Pekerjaan"
Tidak kerja 1,07 1,59 0,07 0,03 2,70
Pegawai 1,06 2,89 0,37 0,02 4,30
Wiraswasta 1,80 3,29 0,09 0,02 5,15
Petani/nelayan/buruh 2,34 4,99 0,06 0,02 7,35
Lainnya 1,28 4,58 0,10 0,05 5,92
Tempat Tinggal
Perkotaan 1,10 2,10 0,18 0,05 3,33
Perdesaan 1,51 2,77 0,05 0,02 4,30
Status ekonomi
Terbawah 1,81 2,91 0,04 0,02 4,74
Menengah bawah 1,36 2,85 0,04 0,01 4,23
Menengah 1,37 2,79 0,08 0,02 4,22
Daftar Pustaka
Depkes RI. Badan Penelitian & pengembangan 1997. Statistik Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995.
Seri Survei Kesehatan Rumah tangga no 13.

Depkes RI. Badan Penelitian & pengembangan 1997. Status Kesehatan Gigi 1995. Seri SKRT 1995. Seri
Survei Kesehatan Rumah Tangga no 7.

Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2002. Status Kesehatan Gigi dan Mulut di
Indonesia 2001. Analisis Data Survei kesehatan Rumah Tangga . Jakarta 2001.
Depkes RI. Hasil Riskesdas Indonesia 2007. Jakarta 2008.

Depkes RI. Profil Kesehatan Gigi dan mulut. Jakarta 1999

Kristanti Ch M Dkk. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di indonesia. Jakarta 2012.

Kristanti, Ch M, Budiarso, Ratna. Persepsi dan Motivasi Masyarakat Untuk berobat Gigi, Survei
Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta , Prosiding Seminar SKRT 1986.

WHO, 1995. Oral Health Care, Needs of the Community. A. Public Health Report.
BAB 10. STATUS DISABILITAS

Aprildah Sapardin, Marice Sihombing, dan Endi Ridwan

Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup


penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Apakah seseorang
dapat bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan untuk memenuhi perannya di
rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain. Apa yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan
melakukan aktivitas rutin. Informasi disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas, mengukur
dampak dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja sistem kesehatan
Informasi diperoleh menggunakan adaptasi WHODAS 2, instrumen yang dikembangkan tim WHO
sebagai operasionalisasi dari konsep International classification of functioning (ICF). Ditanyakan 12
pertanyaan pada responden berusia 15 tahun mengenai adanya kesulitan yang dialami terkait kondisi
kesehatan dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban responden, yaitu
1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan, 3) cukup mengalami kesulitan, 4) kesulitan berat dan 5) tidak
mampu melakukan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban berkode 2, 3, 4 atau 5 ditanyakan lama
hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan
jumlah hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal.

Tabel 10.1 menunjukkan kesulitan berjalan jauh dialami oleh 15 dari 100 penduduk A termasuk 8 persen
dengan level sedang hingga berat, diikuti oleh kesulitan berdiri selama 30 menit. Kesulitan membersihkan
diri dialami oleh hampir 8,5 persen penduduk, termasuk 2.4 persen dengan level sedang hingga tidak
mampu membersihkan diri/mandi tanpa dibantu.

Tabel 10.1
Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Aceh 2013
Komponen Disabilitas Tidak ada ringan sedang Berat Sangat berat
1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30
84,6 7,5 3,8 3,3 0,7
menit?
2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga
86,4 7,5 3,6 2,1 0,5
yang menjadi tanggung jawabnya
3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru,
seperti untuk menemukan tempat/alamat 87,4 6,8 3,3 2,0 0,5
baru, mempelajarai permainan, resep baru
4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan
kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan 88,6 7,0 2,5 1,5 0,5
keagamaan, sosial)
5. Seberapa besar masalah kesehatan yang
87,3 7,7 3,1 1,5 0,3
dialami mempengaruhi keadaan emosi?
6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam
87,8 7,4 2,8 1,6 0,4
melakukan sesuatu selama 10 menit?
Tabel 10.2 menunjukkan beberapa indikator disabilitas. Prevalensi yang diperoleh dari jawaban 3, 4, 5
pada salah satu dari 12 komponen disabilitas menunjukkan 12,7 persen penduduk mengalami kesulitan.
Kota Sabang merupakan kabupaten/kota dengan prevalensi tertinggi, sedangkan Kota Langsa terendah.
Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari tidak dapat berfungsi optimal karena disabilitas. Rata-
rata penduduk Aceh tidak dapat berfungsi optimal selama 6.02 hari karena disabilitas. Tertinggi di
Lhokseumawe dan terendah di Aceh Singkil.

Tabel 10.2
Indikator disabilitas menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Rerata hari produktif hilang
Kabupaten/Kota Prevalensi
Total Tidak mampu Masih mampu
Simeulue 21,8 8,25 0,95 7,31
Aceh Singkil 31,2 3,14 1,02 2,12
Aceh Selatan 9,3 7,62 3,92 3,70
Aceh Tenggara 5,3 3,39 1,86 1,53
Aceh Timur 15,8 7,27 3,48 3,79
Aceh Tengah 19,4 5,38 1,19 4,20
Aceh Barat 10,2 5,83 3,66 2,16
Aceh Besar 4,6 6,21 3,12 3,09
Pidie 14,1 5,31 3,06 2,25
Bireuen 18,1 6,19 2,80 3,39
Aceh Utara 12,5 7,06 1,40 5,67
Aceh Barat Daya 6,2 10,41 2,86 7,56
Gayo Lues 6,1 5,78 2,48 3,30
Aceh Tamiang 17,6 5,38 1,15 4,23
Nagan Raya 13,0 4,18 1,28 2,89
Aceh Jaya 11,6 5,15 2,82 2,33
Bener Meriah 22,3 4,06 0,72 3,34
Pidie Jaya 12,5 7,90 2,56 5,35
Kota Banda Aceh 5,6 6,30 2,36 3,94
Kota Sabang 37,6 3,91 1,47 2,44
Kota Langsa 4,2 7,52 2,64 4,88
Kota Lhokseumawe 9,2 11,24 3,22 8,02
Kota Subulussalam 13,6 3,66 2,18 1,48
Aceh 12,7 6,02 2,27 3,75

Berdasarkan tempat tinggal, dibandingkan wilayah perdesaan, penduduk di wilayah perkotaan memiliki
prevalensi atau masalah disabilitas lebih rendah. Perempuan mengungguli laki-laki pada indikator
masalah disabilitas. Makin tinggi kelompok umur makin tinggi masalah disabilitas, dan kelompok usia 75
tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Sedangkan pada
karakteristik tingkat pendidikan semakin rendah pendidikan maka semakintinggi juga masalah disabilitas
(Tabel 10.3)
Tabel 10.3
Indikator disabilitas menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Tidak ada masalah Masalah
Umur
15-24 tahun 95,1 4,9
25-34 tahun 92,4 7,6
35-44 tahun 89,4 10,6
45-54 tahun 83,8 16,2
55-64 tahun 71,8 28,2
65-74 tahun 50,9 49,1
75+ tahun 36,6 63,4

Jenis Kelamin
Laki-laki 89,7 10,3
Perempuan 84,9 15,1

Pendidikan KK
Tidak sekolah 62,4 37,6
Tidak tamat SD 75,5 24,5
Tamat SD 83,9 16,1
Tamat SMP 90,7 9,3
Tamat SMA 92,7 7,3
Tamat PT 93,1 6,9

Pekerjaan KK
Tidak Bekerja 85,9 14,1
Pegawai 92,2 7,8
Wiraswasta 90,7 9,3
Petani/nelayan/buruh 86,4 13,6
Lainnya 89,1 10,9

Tempat Tinggal
Perkotaan 89,5 10,5
Perdesaan 86,4 13,6

Kuintil Indeks Kepemilikan


Terbawah 83,9 16,1
Menengah bawah 85,8 14,2
Menengah 86,6 13,4
Menengah atas 90,2 9,8
Teratas 90,7 9,3
BAB 11. KESEHATAN JIWA

Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin


Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan
mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang
ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang
menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan
berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal
dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena
produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan
keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang
besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa
berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan
Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan
yang melanggar hak asasi manusia.
Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional
pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas 2007. Gangguan mental emosional adalah istilah yang
sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang
mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia,
gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu,
tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius
apabila tidak berhasil ditanggulangi.
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6
persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi
gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama.
Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang
mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan
kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.
Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga
kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan. Hasil lebih rinci dapat dilihat pada Buku
Riskesdas dalam Angka pada halaman 179 sampai dengan 184, tabel 11.1 sampai 11.6.

11.1. Gangguan Jiwa Berat


Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara
(enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti
pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami
gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang
diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga
masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan
kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata.
Berdasarkan Tabel 11.1, terlihat bahwa psikosis terbanyak terdapat di Kabupaten/Kota Bireun dan Banda
Aceh. Kabupaten/Kota Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Nagan Raya memiliki angka yang terendah,
sedangkan menurut propinsi prevalensi adalah 2,7 per mil dan termasuk kedalam provinsi terbanyak
jumlah psikosis secara nasional. Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil
indeks kepemilikan dipaparkan pada laporan Riskesdas 2013 dalam Angka.
Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 per mil sampai dengan 1,4
persen (Lewis et al.,2001). Beberapa kepustakaan menyebutkan secara umum prevalensi skizofrenia
sebesar 1 persen penduduk. Selanjutnya dipaparkan proporsi RT yang pernah melakukan pemasungan
terhadap ART dengan gangguan jiwa berat.

Tabel 11.1
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Kabupaten/Kota Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil


Simeulue 1,5
Aceh Singkil 0,1
Aceh Selatan 2,6
Aceh Tenggara 0,0
Aceh Timur 3,3
Aceh Tengah 2,3
Aceh Barat 4,1
Aceh Besar 1,3
Pidie 3,4
Bireuen 5,2
Aceh Utara 1,5
Aceh Barat Daya 4,7
Gayo Lues 1,5
Aceh Tamiang 2,9
Nagan Raya 0,5
Aceh Jaya 1,0
Bener Meriah 3,8
Pidie Jaya 0,7
Kota Banda Aceh 5,4
Kota Sabang 4,3
Kota Langsa 2,4
Kota Lhoksuemawe 3,0
Kota subulussalam 3,3
Aceh 2,7
Tabel 11.2
Prevalensi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) per mil


Tempat tinggal
Perkotaan 2,2
Perdesaan 2,9
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 5,8
Menengah bawah 3,4
Menengah 2,3
Menengah atas 0,9
Teratas 0,5

11.2. Gangguan Mental Emosional


Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaaan mengenai gangguan mental emosional terdapat pada
kuesioner individu F01 –F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire
(SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota
rumah tangga (ART) yang berusia ≥ 15 tahun. Ke-20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban
―ya‖ dan ―tidak‖. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6 yang berarti apabila
responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban ―ya‖, maka responden tersebut diindikasikan
mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang
pernah dilakukan (Hartono, Badan Litbangkes, 1995).
SRQ memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional individu sesaat (± 30 hari) dan
tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa secara spesifik. Dalam Riskesdas 2013 pertanyaan
dibacakan petugas wawancara kepada seluruh responden.
ART yang dianalisis untuk gangguan mental emosional adalah ART yang berumur ≥ 15 tahun. ART
tersebut merupakan responden yang menjawab langsung atas pertanyaan yang dibacakan petugas
wawancara. Jawaban yang diberikan oleh ART yang diwakili atau didampingi oleh keluarganya tidak
dianalisis pada laporan ini. Alasan ART terpaksa diwakili atau didampingi oleh keluarganya oleh karena
menderita gangguan jiwa berat dengan kemampuan komunikasi sangat buruk, menderita penyakit fisik
berat atau disabilitas lainnya yang menyebabkan ketidakmampuan menjawab pertanyaan yang diberikan.
Prevalensi orang yang mengalami gangguan mental emosional di Provinsi Aceh sebesar 6,6 persen.
Tujuh Kabupaten/kota yang tertinggi dalam jumlah orang yang mengalami gangguan mental emosional
adalah Bener Meriah, Aceh Timur,Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tengah dan Kota Lhokseumawe,
Sedangkan Kabupaten/Kota dengan gangguan mental emosional terendah adalah Aceh Tenggara,
Banda Aceh dan Gayo Lues. (Tabel 11.3)
Tabel 11.3
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur≥ 15 tahun
(berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Gangguan mental emosional (%)
Simeulue 2,7
Aceh Singkil 17,7
Aceh Selatan 4,1
Aceh Tenggara 0,7
Aceh Timur 18,5
Aceh Tengah 10,0
Aceh Barat 4,1
Aceh Besar 1,8
Pidie 6,0
Bireuen 8,4
Aceh Utara 6,8
Aceh Barat Daya 2,3
Gayo Lues 1,7
Aceh Tamiang 1,8
Nagan Raya 2,5
Aceh Jaya 4,9
Bener Meriah 20,0
Pidie Jaya 4,4
Kota Banda Aceh 1,5
Kota Sabang 7,0
Kota Langsa 2,2
Kota Lhoksuemawe 10,0
Kota Subulussalam 17,1
Aceh 6,6
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6

Gangguan mental emosional terbanyak pada populasi dengan karakteristik usia tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di kota, pendidikan rendah, mempunyai pekerjaan sebagai nelayan dan kuintil indeks
kepemilikan terendah. Terdapat peningkatan angka gangguan mental emosional yang sejalan dengan
pertambahan usia. Sedangkan untuk karakteristik pendidikan didapati bahwa semakin rendah tingkat
pendidikan, semakin tinggi gangguan mental emosional. (Tabel 11.4)
Tabel 11.4
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 15 tahun
(berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Karakteristik Gangguan mental emosional (%)
Kelompok umur (tahun)
15 – 24 4,2
25 – 34 4,5
35 – 44 7,0
45 – 54 8,6
55 – 64 11,0
65 – 74 13,5
75+ 21,5

Jenis kelamin
Laki-laki 4,3
Perempuan 8,8

Pendidikan
Tidak sekolah 16,7
Tidak Tamat SD/MI 12,2
Tamat SD/MI 8,1
Tamat SMP/MTS 5,5
Tamat SMA/MA 4,5
Tamat D1-D3/PT 2,2

Pekerjaan
Tidak bekerja 7,8
Pegawai 2,7
Wiraswasta 4,3
Petani/nelayan/buruh 6,9
Lainnya 5,7

Tempat tinggal
Perkotaan 5,0
Perdesaan 7,3

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 8,6
Menengah bawah 7,4
Menengah 6,7
Menengah atas 5,4
Teratas 4,4
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
11.3 Cakupan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan

Cakupan pengobatan yang ditanyakan kepada responden adalah cakupan terhadap pelayanan
kesehatan dan tenaga kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi strata 1, 2 dan
3. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan sesuai PP No 36 Pasal 2. Tahun 1996
tentang tenaga kesehatan.
Secara nasional, cakupan pengobatan RT yang mempunyai ART yang mengalami ganguan jiwa di
Provinsi Aceh sebesar 54,0 persen, yang berarti lebih dari 50 RT pernah membawa ART yang
mengalami gangguan jiwa untuk mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan.
Tabel 11.5 memperlihatkan cakupan pengobatan gangguan mental emosional. Subjek yang dianalisis
yaitu subjek yang diidentifikasi mengalami gangguan mental emosional saat diwawancara. Subjek
ditanyakan mengenai pengobatan yang pernah dilakukan dan pengobatan dalam 2 minggu terakhir.
Individu yang mengalami gangguan mental emosional sekitar 35,5 persen pernah melakukan pengobatan
dan sekitar 18,5 persen melakukan pengobatan dalam waktu 2 minggu terakhir. Kabupaten Aceh Besar
merupakan kabupaten yang memiliki cakupan tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya di Aceh untuk
pengobatan gangguan mental emosional baik yang pernah (62,1%) maupun yang melakukan
pengobatan 2 minggu terakhir (42,4%). Sedangkan Kota Subulussalam merupakan yang terendah dalam
hal cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional baik yang pernah (16,2%) maupun yang
melakukan pengobatan 2 minggu terakhir (2,2%).
Tabel 11.5
Proporsi cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Cakupan pengobatan gangguan mental emosional


Kabupaten/Kota
Pernah 2 minggu
Simeulue 21,4 9,8
Aceh Singkil 32,8 19,4
Aceh Selatan 32,0 14,0
Aceh Tenggara 63,4 28,1
Aceh Timur 52,9 30,0
Aceh Tengah 29,1 14,6
Aceh Barat 36,7 22,5
Aceh Besar 62,1 42,4
Pidie 31,3 19,6
Bireuen 24,1 10,7
Aceh Utara 27,3 10,3
Aceh Barat Daya 28,1 20,5
Gayo Lues 38,9 16,1
Aceh Tamiang 69,4 35,9
Nagan Raya 43,3 28,5
Aceh Jaya 64,6 22,9
Bener Meriah 24,0 11,4
Pidie Jaya 39,8 30,6
Kota Banda Aceh 41,7 13,9
Kota Sabang 50,8 46,9
Kota Langsa 37,1 11,1
Kota Lhokseumawe 21,2 6,4
Kota Subulussalam 16,6 2,2
Aceh 35,5 18,5

memperlihatkan bahwa persentase cakupan pengobatan seumur hidup menurut umur semakin tua
semakin meningkat begitu pula semakin rendah tingkat pendidikan semakin meningkat. Sedangkan
dalam 2 minggu terakhir, persentase paling tinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 tahun dan
pendidikan tamat SD. Perempuan, tempat tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan ekonomi
menengah bawah memiliki presentase cakupan pengobatan lebih banyak baik pada pengobatan seumur
hidup maupun 2 minggu terakhir.
Tabel 11.6
Persentase cakupan pengobatan penderita gangguan mental emosional menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Cakupan pengobatan gangguan mental emosional
Karakteristik
Seumur hidup 2 minggu
Kelompok Umur (tahun)
15 – 24 1,2 11,2
25 – 34 1,9 18,9
35 – 44 2,6 19,4
45 – 54 3,5 24,0
55 – 64 4,6 20,5
65 – 74 4,6 18,1
75+ 7,0 14,5
Jenis kelamin
Laki-laki 33,7 16,6
Perempuan 36,4 19,4
Pendidikan
Tidak Sekolah 39,1 16,4
Tidak Tamat SD 39,2 19,8
Tamat SD 37,2 21,1
Tamat SLTP 30,0 16,5
Tamat SLTA 32,8 16,5
Tamat D1-D3/PT 37,7 15,5
Pekerjaan
Tidak Bekerja 2,2 1,1
Pegawai 1,3 0,8
Wiraswasta 1,5 0,6
Petani/Nelayan/Buruh 2,5 1,3
Lainnya 1,7 0,9
Tempat Tinggal
Perkotaan 33,9 15,9
Perdesaan 35,6 19,2
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 34,2 16,9
Menengah Bawah 36,4 18,8
Menengah 30,6 17,1
Menengah Atas 37,8 17,9
Teratas 42,6 24,9
Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner
serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi nasional serta beberapa prevalensi
berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar 11.1.

Gambar 11.1
Prevalensi gangguan mental emosional menurut karakteristik, Provinsi Aceh,
Riskesdas 2007 dan 2013

Gambar 11.1 memperlihatkan bahwa pola prevalensi gangguan mental emosional menurut
kelompok umur, jenis kelamin ART senada. Semakin lanjut usia semakin tinggi gangguan
mental emosional baik pada tahun 2007 tetapi tidak pada tahun 2013. Berdasarkan tingkat
pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, angka kejadian gangguan mental emosional
makin kecil terlihat pada tahun 2013. Menurut tempat tinggal pada Riskesdas 2007 dan 2013
prevalensi gangguan mental emosional di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.

Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007.

Hartono, I. G. 1995. Psychiatric morbidity among patients attending the Bangetayu community
health centre in Indonesia. Thesis, University of Western Australia.

Lewis, G. H., Thomas, H. V., Cannon, M. & Jones, P. B. 2001. Epidemiological methods. In:
Thornicroft, G. & Szmukler, G. (eds.) Textbook of community psychiatry. New York: Oxford
University Press.
BAB 12. PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU

Marice Sihombing, Endi Ridwan dan Aprildah Sapardin

Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau
lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik,
perilaku konsumsi buah, sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin,
makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap,
kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung
terigu. Hasil lebih rinci untuk blok pengetahuan, sikap dan perilaku dapat dilihat pada Buku
Riskesdas dalam Angka pada halaman 185 sampai dengan 240 tabel 12.1 sampai 12.55.

12.1 Perilaku Higienis


Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan
perilaku mencuci tangan. Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk
melakukannya di jamban. Mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan
dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiapkali tangan kotor (antara lain memegang
uang, binatang,berkebun),setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak,setelah
menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes,2011)

Tabel 12.1, menunjukkan bahwa rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi
Aceh menunjukan 33,6 persen dan lima kabupaten/kota terendah adalah Pidie (11,4%), Pidie
Jaya (16,1%), kota Subulussalam (20,3%), Aceh Selatan (20,4%), dan Aceh Singkil (20,8%).
Rerata provinsi perilaku BAB di jamban adalah 73,1 persen. Lima kabupaten/kota terendah
adalah Gayo Lues(44,2%), Aceh Timur (51,5%), Aceh Tenggara (57,4%), Pidie (57,6%) dan
Aceh Barat Daya (58,8%).
Tabel 12.1
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun yang berperilaku benardalam buang air besar dan cuci
tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Berperilaku BAB Perilaku cuci tangan
Kabupaten/Kota
benar benar
Simeulue 62,7 33,3
Aceh Singkil 70,7 20,8
Aceh Selatan 63,9 20,4
Aceh Tenggara 57,4 35,2
Aceh Timur 51,5 28,4
Aceh Tengah 82,3 37,7
Aceh Barat 71,4 33,0
Aceh Besar 96,9 54,2
Pidie 57,6 11,4
Bireuen 80,1 28,4
Aceh Utara 62,4 41,0
Aceh Barat Daya 58,8 39,9
Gayo Lues 44,2 37,7
Aceh Tamiang 80,8 37,6
Nagan Raya 65,7 38,8
Aceh Jaya 85,1 35,3
Bener Meriah 90,3 35,1
Pidie Jaya 76,1 16,1
Kota Banda Aceh 99,1 50,4
Kota Sabang 88,0 22,4
Kota Langsa 93,7 29,6
Kota Lhokseumawe 91,4 40,7
Kota Subulussalam 66,0 20,3
Aceh 73,1 33,6

Berdasarkan analisis kecenderungan Gambar 12.1 terlihat bahwa rerata nasional proporsi
penduduk umur ≥10 tahun berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat tahun 2007 (16,0%)
menjadi 33,6 persen pada tahun 2013.
Kecenderungan penduduk yang berperilaku BAB dengan benar terlihat pada Gambar 12.2, yaitu
adanya peningkatan proporsi perilaku penduduk Indonesia umur ≥10 tahun yang semula 71,1
persen (2007) menjadi 82,6 persen (2013).

Gambar 12.2
Kecenderungan proporsi penduduk Umur ≥10 tahun berperilaku BAB dengan benar menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013

12.2. Penggunaan Tembakau

Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua
kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan
mengunyah, karena efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan
metode kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan
sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri.

Berdasarkan tabel 12.2 rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Aceh adalah 29,3 persen,
terdiri dari perokok setiap hari (25%) dan kadang-kadang merokok (4,3%). Proporsi perokok saat
ini terbanyak di Aceh Jaya dengan perokok setiap hari 32,0 persen dan kadang-kadang
merokok 4,0 persen.
Tabel 12.2
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Perokok saat ini Tidak merokok
Kabupaten/Kota Perokok Perokok kadang- Mantan Bukan
setiap hari kadang perokok perokok
Simeulue 23,9 2,4 4,3 69,4
Aceh Singkil 23,3 3,6 4,5 68,5
Aceh Selatan 29,4 1,5 1,1 68,0
Aceh Tenggara 25,5 3,7 0,9 69,9
Aceh Timur 28,3 4,3 4,2 63,1
Aceh Tengah 29,9 3,6 1,9 64,6
Aceh Barat 27,7 3,7 1,7 66,8
Aceh Besar 17,9 6,9 3,0 72,2
Pidie 23,3 4,0 2,9 69,8
Bireuen 26,9 4,8 2,4 65,9
Aceh Utara 23,0 4,9 1,5 70,6
Aceh Barat Daya 29,5 3,5 1,6 65,4
Gayo Lues 30,8 2,4 1,7 65,1
Aceh Tamiang 25,4 3,5 2,9 68,2
Nagan Raya 17,3 4,4 1,3 77,0
Aceh Jaya 32,0 4,0 1,2 62,8
Bener Meriah 32,7 2,7 2,9 61,7
Pidie Jaya 21,9 6,4 3,4 68,3
Kota Banda Aceh 23,1 5,2 3,7 68,1
Kota Sabang 25,4 5,1 3,5 65,9
Kota Langsa 23,9 2,9 3,0 70,2
Kota Lhokseumawe 21,9 5,2 2,8 70,1
Kota Subulussalam 27,1 4,1 3,4 65,4
Aceh 25,0 4,3 2,5 68,2

Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari sudah mulai pada kelompok umur 10-14 tahun
sebesar 0,3 persen dan tertinggi pada umur 30-34 tahun sebesar 36,3 persen, proporsi perokok
setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (500 berbanding 4).
Berdasarkan jenis pekerjaan, wiraswasta adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai
proporsi terbesar (49,3%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap
hari tampak cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. (Tabel 12.3)
Tabel 12.3.
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun menurut kebiasaan merokok
dan karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Perokok saat ini
Karakteristik
Perokok setiap hari Perokok kadang kadang
Umur
10-14 0,3 1,1
15-19 10,1 8,7
20-24 29,6 7,5
25-29 28,3 4,4
30-34 36,3 3,3
35-39 35,1 3,6
40-44 35,8 3,6
45-49 32,3 3,4
50-54 35,5 3,1
55-59 35,8 2,7
60-64 28,2 4,6
65+ 21,8 3,5
Jenis kelamin
Laki-laki 50,0 8,4
Perempuan 0,4 0,3
Pendidikan
Tidak sekolah 18,3 2,2
Tidak tamat SD 17,6 2,1
Tamat SD 24,3 3,2
Tamat SMP 25,6 5,4
Tamat SMA 32,1 6,0
Tamat PT 18,5 4,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 7,7 3,6
Pegawai 32,3 4,2
Wiraswasta 49,3 6,9
Petani/nelayan/buruh 47,6 4,8
Lain-lain 36,8 3,3
Tempat tinggal
Perkotaan 23,4 4,9
Perdesaan 25,6 4,1
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 26,7 4,5
Menengah bawah 25,8 3,9
Menengah 25,3 4,1
Menengah atas 24,3 4,4
Teratas 22,1 4,6
Tabel 12.4.
Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kabupaten/Kota Perokok
Simeulue 19,0
Aceh Singkil 18,4
Aceh Selatan 18,6
Aceh Tenggara 17,1
Aceh Timur 16,9
Aceh Tengah 15,4
Aceh Barat 16,8
Aceh Besar 11,2
Pidie 13,7
Bireuen 14,7
Aceh Utara 14,4
Aceh Barat Daya 16,6
Gayo Lues 13,3
Aceh Tamiang 14,6
Nagan Raya 19,1
Aceh Jaya 14,5
Bener Meriah 15,0
Pidie Jaya 13,8
Kota Banda Aceh 14,4
Kota Sabang 16,6
Kota Langsa 14,5
Kota Lhokseumawe 15,1
Kota Subulussalam 17,1
Aceh 15,3

Tabel 12.5 menunjukkan proporsi kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari
di Aceh sebesar 4 persen, mengunyah tembakau kadang-kadang sebesar 7,3 persen dan
mantan pengunyah tembakau 2 persen. Lima kabupaten dengan proporsi mengunyah tembakau
setiap hari diatas proporsi provinsi adalah Kabupaten Aceh Tenggara (7,4%), Aceh Barat
(6,6%), Aceh Selatan (6,2%), Gayo Lues (6,2%) dan Aceh Barat Daya (6,1%).
Tabel 12.5
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Pengunyah tembakau saat ini Tidak mengunyah tembakau
Kabupaten/Kota
Setiap hari Kadang-kadang Mantan Tidak pernah
Simeulue 3,3 3,2 4,5 89,0
Aceh Singkil 4,4 4,4 1,6 89,6
Aceh Selatan 6,2 7,9 1,5 84,4
Aceh Tenggara 7,4 5,8 1,8 85,0
Aceh Timur 4,7 13,6 1,7 80,0
Aceh Tengah 2,2 2,5 0,4 95,0
Aceh Barat 6,6 17,0 1,6 74,8
Aceh Besar 2,9 3,9 1,7 91,5
Pidie 3,7 7,6 1,6 87,0
Bireuen 5,0 14,2 5,0 75,9
Aceh Utara 3,4 6,0 2,0 88,6
Aceh Barat Daya 6,1 7,9 2,6 83,4
Gayo Lues 6,2 10,1 6,5 77,2
Aceh Tamiang 1,9 0,9 0,8 96,4
Nagan Raya 4,0 6,8 1,1 88,1
Aceh Jaya 1,4 3,0 4,2 91,4
Bener Meriah 3,2 7,3 1,8 87,7
Pidie Jaya 3,3 2,5 1,3 92,9
Kota Banda Aceh 1,9 4,7 1,4 92,1
Kota Sabang 2,8 3,8 1,4 92,0
Kota Langsa 3,4 2,0 0,1 94,5
Kota Lhokseumawe 3,8 9,0 0,5 86,7
Kota Subulussalam 5,1 10,8 6,3 77,8
Aceh 4,0 7,3 2,0 86,7

Tabel 12.6 mengungkapkan proporsi mengunyah tembakau setiap hari berdasarkan karakteristik
responden menunjukkan bahwa menurut kelompok umur semakin bertambah umur proporsi
mengunyah tembakau semakin besar. Menurut jenis kelamin, perempuan (5,2,%) lebih banyak
mengunyah tembakau dibandingkan laki-laki (2,7%). Prevalesi pengunyah tembakau setiap hari
di perdesaan lebih banyak daripada di perkotaan. Pekerjaan sebagai pegawai dengan proporsi
terendah (2,5%) dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya. Ada kecenderungan semakin
tinggi kuintil indeks kepemilikan proporsi pengunyah tembakau semakin rendah.
Tabel 12.6
Proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menurut kebiasaan mengunyah tembakau dan karateristik,
Provinsi Aceh 2013
Pengunyah tembakau saat ini Tidak mengunyah tembakau
Karakteristik
Setiap hari Kadang-kadang Mantan Tidak pernah
Kelompok umur (tahun)
10-14 1,5 1,5 1,0 96,0
15-19 2,2 3,9 1,1 92,8
20-24 2,5 5,8 0,9 90,8
25-29 2,3 6,2 1,6 89,9
30-34 2,3 8,1 1,5 88,2
35-39 4,0 9,1 2,0 85,0
40-44 3,8 11,7 2,1 82,3
45-49 4,5 12,3 2,6 80,5
50-54 8,7 12,4 4,0 74,9
55-59 8,5 10,1 4,6 76,8
60-64 10,9 12,7 3,1 73,3
65+ 14,2 9,5 7,1 69,1

Jenis kelamin
Laki-laki 2,7 8,4 2,2 86,6
Perempuan 5,2 6,2 1,8 86,8

Pendidikan
Tidak sekolah 10,2 11,4 3,5 74,9
Tidak Tamat SD/MI 5,6 7,2 2,6 84,5
Tamat SD/MI 4,7 7,6 2,3 85,4
Tamat SMP/MTS 2,9 6,8 1,8 88,5
Tamat SMA/MA 2,7 7,3 1,6 88,5
Tamat D1-D3/PT 2,4 5,8 1,3 90,4

Pekerjaan
Tidak bekerja 3,7 4,9 1,7 89,7
Pegawai 2,5 8,3 1,7 87,5
Wiraswasta 3,6 9,7 2,1 84,6
Petani/nelayan/buruh 5,1 10,8 2,7 81,3
Lain-lain 3,9 8,9 2,5 84,7

Tempat tinggal
Perkotaan 3,0 6,7 1,6 88,7
Perdesaan 4,4 7,6 2,2 85,9

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 6,2 8,8 2,6 82,4
Menengah bawah 4,4 7,4 2,0 86,2
Menengah 3,4 7,0 2,0 87,7
12.3 Perilaku Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem
jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu
terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus
menerus melakukan aktivitas fisik yang membawa beban lebih dari 10 Kg secara terus menerus
selama miminum 10 menit sampai maksimum 6 jam selama sehari. Kegiatan aktivitas fisik
dikategorikan ‗cukup‘ apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam
satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu.
Selain frekuensi, dilakukan pula pengumpulan data intensitas, yaitu jumlah hari melakukan
aktivitas ‘berat‘, ‘sedang‘ dan ‘berjalan‘. Perhitungan jumlah menit aktivitas fisik dalam seminggu
mempertimbangkan pula jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas diberi pembobotan,
masing-masing untuk aktivitas ‗berat‘ empat kali, aktivitas ‗sedang‘ dua kali terhadap aktivitas
‗ringan‘ atau jalan santai.

Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring dan lain sebagainya
dalam sehari-hari baik di tempat kerja, di rumah, di perjalanan (transportasi), termasuk waktu
berbincang–bincang, transportasi dengan kendaraan bis, kereta, membaca, main games, atau
nonton televisi tetapi tidak termasuk waktu tidur. Berikut proporsi aktifitas fisik ―cukup‖ dan
―kurang pada tabel di bawah ini. Perilaku sedentary yang merupakan salah satu perilaku duduk-
duduk dan berbaring namun tidak tidur merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit
penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup.
Dikatakan oleh seorang peneliti dari Harvard yang meneliti perilaku sedentary dengan nilai cut of
point<3 jam, 3-5,99 jam, > 6jam. Mereka yang melakukan perilaku sedentary setiap hari >3 jam
dapat megurangi umur harapan hidup 22 menit.

Dalam RISKESDAS 2013 ini kriteria aktifitas fisik "aktif" adalah individu yang melakukan aktifitas
fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan kriteria 'kurang aktif' adalah individu yang
tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. Berikut proporsi penduduk melakukan
aktifitas fisik ―aktif‖ dan ―kurang aktif‖ pada Tabel 12.7.
Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 37,2 persen. Ada 23
kabupaten/kota dengan penduduk aktivitas fisik tergolong kurang aktif berada diatas rata-rata
Provinsi Aceh, Lima tertinggi adalah, penduduk Kota Banda Aceh (88,1%), Langsa (85,0%),
Nagan Raya (83,0%), Aceh Besar (81,4%) dan Kota Sabang (80,9%).
Tabel 12.7
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Aktifitas fisik
Kabupaten/Kota
Aktif Kurang aktif
Simeulue 36,6 63,4
Aceh Singkil 19,7 80,3
Aceh Selatan 23,7 76,3
Aceh Tenggara 38,7 61,3
Aceh Timur 28,8 71,2
Aceh Tengah 28,5 71,5
Aceh Barat 28,2 71,8
Aceh Besar 18,6 81,4
Pidie 20,2 79,8
Bireuen 28,9 71,1
Aceh Utara 33,2 66,8
Aceh Barat Daya 22,7 77,3
Gayo Lues 24,5 75,5
Aceh Tamiang 24,4 75,6
Nagan Raya 17,0 83,0
Aceh Jaya 30,8 69,2
Bener Meriah 32,1 67,9
Pidie Jaya 35,1 64,9
Kota Banda Aceh 11,9 88,1
Kota Sabang 19,1 80,9
Kota Langsa 15,0 85,0
Kota Lhokseumawe 21,9 78,1
Kota Subulussalam 25,3 74,7
Aceh 62,8 37
*) Kurang aktivitas adalah kegiatan kumulatif kurang dari 150 menit dalam seminggu

Berdasarkan tabel 12.8 proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan perilaku sedentari 3-5,9 jam
sebanyak 36,6 persen. Lima kabupaten/kota di atas angka provinsi adalah, Kota Banda Aceh
(56,3%), Simeulue (56,0%), Subulussalam (51,8%), Aceh Besar (49,3%) dan Pidie Jaya
(48,1%).
Tabel 12.8
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Aktifitas sedentari
Kabupaten/Kota
<3 jam 3- 5.9 jam ≥ 6 jam
Simeulue 36,4 56,0 7,6
Aceh Singkil 69,2 30,4 0,4
Aceh Selatan 78,2 20,8 1,1
Aceh Tenggara 65,6 30,1 4,3
Aceh Timur 66,0 29,1 4,9
Aceh Tengah 63,5 32,6 3,9
Aceh Barat 16,8 49,3 33,9
Aceh Besar 73,3 25,9 0,9
Pidie 33,2 41,6 25,2
Bireuen 50,1 43,0 6,9
Aceh Utara 50,6 38,3 11,1
Aceh Barat Daya 71,7 26,1 2,2
Gayo Lues 52,8 40,4 6,8
Aceh Tamiang 67,0 20,7 12,3
Nagan Raya 65,3 29,8 4,9
Aceh Jaya 40,3 39,0 20,7
Bener Meriah 49,7 44,9 5,5
Pidie Jaya 46,6 48,1 5,3
Kota Banda Aceh 29,8 56,3 13,9
Kota Sabang 50,3 43,3 6,4
Kota Langsa 43,8 41,5 14,7
Kota Lhokseumawe 21,7 34,0 44,2
Kota Subulussalam 34,7 51,8 13,5
Aceh 52,3 36,6 11,2

Tabel 12.9 Menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik kelompok umur
ada kecenderungan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam sehari menurun dengan semakin
bertambahnya umur, Proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam di daerah perkotaan (40,0%) lebih
besar dibandingkan perdesaan (35,2%), dan wanita lebih banyak daripada laki-laki. Perilaku
sedentari merupakan perilaku yang terkait dengan duduk-duduk, kemungkinan masyarakat
diperkotaan lebih banyak santai, kurang aktifitas dan menikmati TV, ngobrol. Relatif tidak
tampak perbedaan proporsi perilaku sedentari 3-5,9 jam menurut jenis pekerjaan dan tingkat
kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 12.9
Proporsi penduduk ≥10 tahun berdasarkan aktivitas sedentari
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Aktivitas sedentari
Karakteristik
<3 jam 3- 5.9 jam ≥ 6 jam
Kelompok umur (tahun)
10-14 44,5 41,5 14,1
15-19 46,6 41,6 11,8
20-24 51,8 38,7 9,5
25-29 52,6 36,7 10,7
30-34 56,4 34,4 9,1
35-39 58,2 32,3 9,4
40-44 59,5 31,0 9,5
45-49 57,1 33,4 9,4
50-54 57,8 32,2 10,0
55-59 57,2 32,6 10,2
60-64 50,7 37,2 12,1
65+ 41,4 37,7 20,9
Jenis kelamin
Laki-laki 54,6 35,2 10,2
Perempuan 50,0 37,9 12,1
Pendidikan
Tidak sekolah 47,9 36,0 16,1
Tidak tamat SD 49,3 37,0 13,7
Tamat SD 55,9 34,4 9,7
Tamat SLTP 52,5 36,9 10,6
Tamat SLTA 51,4 37,9 10,7
Tamat D1-D3/PT 49,2 38,5 12,2
Pekerjaan
Tidak bekerja 47,5 38,8 13,7
Pegawai 49,8 38,9 11,3
Wiraswasta 55,0 34,0 11,0
Petani/buruh/nelayan 61,3 32,3 6,4
Lainnya 56,1 35,9 8,0
Tempat tinggal
Perkotaan 44,5 40,0 15,5
Perdesaan 55,4 35,2 9,4
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 52,5 35,9 11,6
Menengah bawah 55,1 34,1 10,8
Menengah 52,9 38,4 8,7
Menengah atas 50,9 36,7 12,4
Teratas 49,3 37,9 12,8
12.4 Perilaku konsumsi sayur dan buah
Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari
konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan
‗cukup‘ konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per
hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan ‘kurang‘ apabila konsumsi sayur dan/atau
buah kurang dari ketentuan di atas. Riskesdas 2007 dan 2013 mengumpulkan hal yang sama
sehingga dapat dilakukan analisis kecenderungan proporsi penduduk umur >10 tahun yang
mengonsumsi kurang sayur dan buah.
Pada gambar 12.3 terlihat bahwa secara nasional tidak terjadi perubahan yang berarti antara
data 2007 dan 2013. Perubahan yang menonjol seperti terjadi di Aceh Selatan, dengan proporsi
kurang konsumsi sayur dan buah semakin meningkat, dari 91,4 persen menjadi 99,4 persen.
Sedangkan di Langsa semakin menurun yaitu dari 98,8 persen menjadi 80,8 persen.

Gambar 12.3
Kecenderungan proporsi penduduk ≥10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh, Riskesdas 2007 dan 2013

12.5 Pola konsumsi makanan tertentu


Perilaku mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan,
berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi
makanan tertentu dikelompokkan sering apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu
kali atau lebih setiap hari.
Tabel 12.10 menunjukkan bahwa proporsi penduduk Provinsi Aceh dengan konsumsi
makanan/minuman manis ≥1 kali dalam sehari 52,3 persen. Lima kabupaten/kota tertinggi
dilaporkan di Kota Sabang (81,9%), Langsa (74,8%), Kabupaten Pidie (69,5%), Simeulue
(67,4%) dan Aceh Tamiang (67,3%).
Tabel 12.10
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Perilaku konsumsi berisiko≥1 kali per hari
Kafein
Kabupaten/Kota Hewani
Manis Asin Berlemak Dibakar Penyedap Kopi selain
berpengawet
kopi
Simeulue 67,4 5,3 34,5 2,4 10,6 81,4 51,7 4,8
Aceh Singkil 43,5 7,8 20,7 2,7 1,8 64,1 25,3 7,6
Aceh Selatan 24,7 13,5 13,9 2,7 1,4 65,0 42,7 3,1
Aceh Tenggara 46,0 4,8 10,7 1,4 1,2 24,7 16,8 0,7
Aceh Timur 54,0 14,5 28,1 3,9 1,6 39,6 27,1 5,0
Aceh Tengah 46,9 5,8 19,4 2,5 1,4 50,3 38,2 8,3
Aceh Barat 42,3 24,7 56,8 6,2 5,1 28,9 46,2 7,4
Aceh Besar 66,0 10,8 23,9 2,7 17,8 54,7 50,1 29,8
Pidie 69,5 11,3 24,1 5,3 1,8 36,7 40,4 10,1
Bireuen 32,8 9,5 13,7 3,7 1,8 9,8 30,9 11,0
Aceh Utara 55,0 14,1 21,8 4,4 2,7 20,4 35,9 13,1
Aceh Barat Daya 56,3 28,1 17,4 1,6 5,2 52,7 52,8 12,1
Gayo Lues 20,3 9,9 20,4 0,6 0,1 20,2 34,7 1,0
Aceh Tamiang 67,3 6,9 6,0 1,1 1,9 61,5 14,1 4,5
Nagan Raya 37,4 26,2 18,0 6,2 9,2 27,6 31,0 14,5
Aceh Jaya 31,5 11,7 12,8 4,5 2,3 47,1 42,6 11,5
Bener Meriah 32,0 8,3 12,9 3,5 1,6 55,7 41,3 2,7
Pidie Jaya 63,7 19,8 21,1 4,3 9,9 35,3 43,3 4,1
Kota Banda Aceh 58,4 5,4 19,5 4,1 2,1 19,5 26,4 4,4
Kota Sabang 81,9 29,7 23,4 3,0 1,1 57,6 23,8 5,9
Kota Langsa 74,8 4,6 15,1 1,9 4,0 47,3 18,3 2,4
Kota Lhokseumawe 56,7 6,7 29,5 5,1 1,3 20,3 24,7 6,4
Kota Subulussalam 54,2 34,4 35,6 5,5 3,3 72,9 29,1 10,0
Aceh 52,3 12,3 21,2 3,6 4,0 37,9 34,3 9,3

Hampir 40 persen penduduk Aceh mengonsumsi penyedap ≥1 kali dalam sehari sebanyak 37,9
persen (Gambar 12.4), tertinggi di Kabupaten Simulue (81,4%) terendah di Bireun (9,8%) (Tabel
12.10). Untuk mengetahui karakteristik penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan
tertentu dapat dilihat pada buku II: Riskesdas 2013 dalam Angka
Gambar 12.4
Proporsi (%) penduduk ≥10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu >1 kali sehari,
Provinsi Aceh 2013

12.6 Konsumsi makanan dari olahan tepung

Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung juga dikumpulkan pada Riskesdas
2013. Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mi instan, mi basah, roti dan biskuit.
Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar 12.5
Tabel 12.11 menunjukkan rerata penduduk Provinsi Aceh berperilaku mengonsumsi mie instant,
1 dari 10 penduduk mengonsumsi mie instan ≥1 kali per hari. Tujuh kabupaten/kota tertinggi
yang mengonsumsi mie instant ≥1 kali per hari diatas rerata provinsi adalah, Subulussalam
(23,2%), Aceh Besar (19,4%), Pidie (15,2%), Aceh Selatan (13,1%), Lhokseumawe (12,7%),
Pidie Jaya (11,5%) dan Nagan Raya (11,2%). Penduduk yang mengonsumsi mie basah ≥1
kaliper hari hanya 6,7 %, sedangkan 17,1% penduduk mengonsumsi roti ≥1 kaliper hari.
Lima belas persen penduduk Aceh mengonsumsi biskut ≥1 kaliper hari. Proporsi tertinggi di
atas rerata provinsi yaitu Kabupaten Aceh Besar (38,3%), Kota Lhokseumawe (27,6%), Aceh
Jaya (25,8%) dan Aceh Utara (19,2%).

Tabel 12.11
Proporsi penduduk umur ≥10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Makanan Olahan Tepung ≥1 kali per hari
Kabupaten/Kota
Mi Instant Mi Basah Roti Biskuit
Simeulue 8,8 2,3 17,3 16,2
Aceh Singkil 4,3 1,6 15,1 13,3
Aceh Selatan 13,1 6,6 10,5 9,7
Aceh Tenggara 1,6 1,4 10,7 10,2
Aceh Timur 9,1 5,9 13,9 15,0
Aceh Tengah 6,0 4,8 11,8 17,0
Aceh Barat 8,4 5,6 14,4 12,5
Aceh Besar 19,4 10,1 42,3 38,3
Pidie 15,2 15,1 13,7 13,4
Bireuen 9,9 9,4 9,5 8,1
Aceh Utara 6,3 4,6 18,1 19,2
Aceh Barat Daya 7,4 4,2 4,4 3,4
Gayo Lues 2,4 2,0 6,5 6,3
Aceh Tamiang 4,0 0,9 7,4 3,9
Nagan Raya 11,2 9,8 18,3 18,1
Aceh Jaya 14,7 7,3 28,3 26,8
Bener Meriah 7,4 4,2 14,8 13,9
Pidie Jaya 11,5 9,6 11,8 11,6
Kota Banda Aceh 6,2 2,8 28,3 17,4
Kota Sabang 7,1 3,9 15,4 14,5
Kota Langsa 5,9 4,3 21,0 18,6
Kota Lhokseumawe 12,7 12,1 26,4 27,6
Kota Subulussalam 23,2 11,7 19,7 16,1
Aceh 9,6 6,7 17,1 15,9
12.7 Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)2 terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup
perilaku individu dan gambaran rumah tangga, Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada
indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun 2004. Pada Indikator individu meliputi pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/
ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup
beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah, Indikator Rumah Tangga
meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas
lantai dengan jumlah penghuni (≥8m2/ orang), dan rumah tangga dengan lantai rumah bukan
tanah. Pada PHBS tahun 2007 untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator,
sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8
indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8), PHBS diklasifikasikan ―kurang‖ apabila
mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang
dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita,

Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator
PHBS ditetapkan sebelumnya, Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat
Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI
ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6)
memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8) makan buah dan sayur setiap hari; 9)
melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013
untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10;
sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi
adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan
penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik
adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah
tangga yang punya balita dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai
balita.

Dalam RISKESDAS 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria
PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator
individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok
dalam rumah, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga
(sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan
dalam PHBS RISKESDAS 2013 ini adalah sebagai berikut:
1. Persalinan oleh tenaga kesehatan,
Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga
kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun
waktu tahun 2010 sampai tahun 2013)
2. Melakukan penimbangan bayi dan balita,
Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan yang mempunyai
riwayat pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang
dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab pemantauan pertumbuhan menyajikan data
frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan
terakhir, walaupun hanya 1 kali ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada sub-bab
pemantauan pertumbuhan menyajikan data frekuensi penimbangan bayi/balita terpisah
antara > 4 kali dan 1-3 kali dalam 6 bulan terakhir,
3. Memberikan ASI eksklusif,
Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara
individu baduta usia 0 – 23 bulan, Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisa ini
adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir
saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan
berumur enam bulan atau lebih. Pada sub-bab pola pemberian ASI, data pemberian ASI
disajikan pada responden 0-6 bulan. Pada sub bab pola pemberian ASI, data pemberian
ASI disajikan pada responden 0-6 bulan,
4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan air bersih dan sabun
saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar,
setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan
sebelum menyusui bayi (bilasedang menyusui),
5. Memakai jamban sehat,
Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang besar menggunakan
jamban saja,
6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari,
Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau
sedang dalam tujuh hari seminggu. Pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan
individu, pada sub bab perilaku aktivitas fisik diperhitungkan individu,
7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari,
Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi
buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu,
8. Tidak merokok dalam rumah,
Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai
kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya serta
memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang
merokok,
9. Penggunaan air bersih,
Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumahtangga yang menggunakan
sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga.
10. Memberantas jentik nyamuk,
Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah
rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu atau yang
tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai,

Beberapa indikator yang digunakan dalam RISKESDAS 2013 ini berbeda dengan indikator yang
digunakan dalam RISKESDAS 2007 sehingga tidak bisa menggambarkan kecenderungan
kenaikan atau penurunan proporsi rumah tangga ber-PHBS.
Gambar 12.6 menunjukkan bahwa proporsi RT yang memenuhi kriteria PHBS baik, menurut
kabupaten/kota di Provinsi Aceh sebesar 19,6 persen. Kabupaten/kota dengan PHBS baik
tertinggi terdapat di Kota Banda Aceh (46,1%), diikuti Lhokseumawe (40,4%), Langsa (34,7%)
dan Kabupaten Aceh Jaya (23,5%). Rumah tangga dengan kriteria PHBS baik terendah terdapat
di Kabupaten Aceh Selatan (6,8%), Gayo Lues (9,0%), Aceh Timur (11,0%) dan Kota
Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= enam indikator untuk rumahtangga dengan balita
dan >=5 indikator untuk rumahtangga tidak punya balita,

Gambar 12.6
Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 12.7 menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan
(33,0%) dibandingkan di perdesaan (14,2%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik
meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 4,2%, teratas 32,2%).

Gambar 12.7
Daftar Pustaka

Katzmarzyk PT, Lee I-M. Sedentari behaviour and life expectancy in the USA: a cause-deleted
life table analysis. BMJ Open 2012;2: e000828. doi:10.1136/ bmjopen-2012-000828.

Kementrian Kesehatan. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Pusat promosi Kesehatan, departemen Kesehatan RI, 2009.Rumah Tangga berperilaku hidup
bersih dan sehat

World Health Organization, Regional Office for South East Asia 2012.Global Adult Tobacco
Survey:Indonesia Report 2011

World Heatlh Organization. 2012. Global Physical Activity Questionnaire (GPAC) Analysis
Guide. Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases and
Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps

World Heatlh Organization. 2012. WHO STEPS Instrument Question-by Question Guide (core
and expanded). Surveillance and Population-based Prevention. Department of Chronic Diseases
and Health Promotion,Geneva. www.who.int/chp/steps.
BAB 13. PEMBIAYAAN KESEHATAN

Marice Sihombing , Aprildah Sapardin dan Endi Ridwan


Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status),
ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness
of financing). (WHO, 2000) Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan
penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber
pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang
dikeluarkannya.
Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Jaminan kesehatan adalah jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan
perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang
yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres no 12 tahun 2013)
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 130 bahwa pembiayaan kesehatan
bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya
guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber
pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain.
Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang
memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin
agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
optimal (UU No. 36, 2009).
Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan
jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap
berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi biaya sendiri, Asuransi
Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan
Sosial Tenaga Kerja), Asuransi kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan,
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun
yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan
(PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian
Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI
dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran
jaminan tersebut. Hasil lebih rinci dari blok Pembiayaan Kesehatan dapat dilihat pada buku
Riskesdas 2013 dalam angka halaman 241 sampai dengan 255 tabel 13.1 sampai 13.14
13.1 Kepemilikan jaminan kesehatan
Hasil analisis memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun
yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan
(PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian
Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI
dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran
jaminan tersebut.
Tabel 13.1
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Jaminan Kesehatan
Kabupaten/Kota Askes/ Askes Tidak
Jamsostek Perusahaan Jamkesmas Jamkesda
Asabri Swasta punya
Simeulue 12,6 0,0 0,0 0,1 67,9 17,9 1,7
Aceh Singkil 4,8 15,0 0,2 0,9 59,7 8,4 12,5
Aceh Selatan 6,7 0,1 0,0 0,1 77,3 11,4 4,7
Aceh Tenggara 12,7 64,1 22,3 1,6
Aceh Timur 2,9 0,4 0,1 58,4 37,5 1,5
Aceh Tengah 8,0 0,5 0,4 39,1 34,5 17,6
Aceh Barat 9,1 0,5 0,1 0,4 61,2 27,8 1,5
Aceh Besar 7,0 1,0 0,0 61,4 31,5 0,7
Pidie 7,5 0,3 0,1 0,0 75,4 16,5 0,7
Bireuen 8,5 0,4 0,1 51,7 39,2 0,4
Aceh Utara 3,8 2,2 0,2 67,2 24,5 2,7
Aceh Barat Daya 10,2 0,9 0,1 71,7 8,1 9,7
Gayo Lues 10,7 0,1 0,2 49,3 49,6 6,5
Aceh Tamiang 4,8 2,3 0,9 0,0 42,0 50,5 2,4
Nagan Raya 9,5 0,1 0,3 0,0 52,1 37,8 0,4
Aceh Jaya 9,0 0,0 0,0 39,3 88,0 0,6
Bener Meriah 6,5 0,1 0,1 49,3 43,5 0,9
Pidie Jaya 6,2 0,1 0,1 67,7 26,0 0,5
Kota Banda Aceh 28,8 2,1 4,5 0,6 19,0 42,2 6,2
Kota Sabang 26,4 1,4 0,3 24,3 57,6 2,7
Kota Langsa 17,9 7,7 0,9 2,6 39,9 32,2 2,8
Kota Lhokseumawe 14,7 5,1 1,4 8,9 42,9 27,4 1,5
Kota Subulussalam 6,7 0,2 0,2 0,3 64,4 17,9 25,0
ACEH 8,8 1,5 0,4 0,5 56,7 30,8 3,4

Tabel 13.1 menunjukkan 3,4 persen penduduk Provinsi Aceh belum memiliki jaminan kesehatan.
Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 8,8 persen penduduk, Jamsostek 1,5 persen, asuransi
kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 0,4 dan 0,5
persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (56,7%) dan Jamkesda (17,7%). Dari
data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk
kesehatan yang paling rendah dengan 25 persen penduduk tidak punya jaminan dan dibawah
rata-rata provinsi.

Tabel 13.2
Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Jenis Jaminan Kesehatan
Karakteristik Askes/ Askes Tidak
Jamsostek Perusahaan Jamkesmas Jamkesda
Asabri Swasta punya
Kelompok umur (tahun)
0-4 6,6 1,7 0,4 0,6 40,4 43,7 8,4
5 -14 6,3 1,3 0,4 0,5 60,2 29,5 3,3
15-24 7,9 1,3 0,3 0,5 59,4 29,6 2,9
25-34 8,4 2,4 0,4 0,5 55,0 32,5 3,4
35-44 11,0 2,1 0,6 0,7 58,2 28,0 2,3
45-54 14,3 1,1 0,4 0,8 57,1 26,6 1,6
55-64 10,9 0,5 0,4 0,4 60,8 27,6 1,9
65-74 10,7 0,3 0,5 0,3 63,4 24,8 1,6
75+ 10,9 0,3 0,0 55,7 31,7 2,8
Pekerjaan
Tidak bekerja 8,0 1,3 0,4 0,6 60,0 28,9 2,6
Pegawai 53,1 8,3 1,6 2,2 18,4 18,5 2,9
Wiraswasta 6,5 1,1 0,9 0,3 50,7 40,0 3,2
Petani/nelayan/buruh 1,2 0,3 0,0 0,1 71,1 26,9 2,5
Lainnya 8,2 1,6 0,4 0,6 54,3 35,1 2,2
Tempat tinggal
Perkotaan 17,4 3,6 1,3 1,7 37,2 37,0 4,6
Perdesaan 5,4 0,7 0,1 0,1 64,4 28,3 2,9
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,6 0,2 0 0 75,4 23,1 2,2
Menengah bawah 1,7 1,1 0 0,1 70 25,8 2,6
Menengah 4,7 1,5 0,1 0,2 60,8 30,7 3,5
Menengah atas 13,2 2,7 0,3 0,5 45,1 36,7 4,3
Teratas 27,3 2,3 1,8 2,3 25,7 39,7 4,4

Tabel 13.2 menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi


kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan.
Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan
Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang
tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (3,2%), sedangkan yang terendah adalah
kelompok lainnya (2,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran,
sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak
2,5 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan
apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau
Jamkesda. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja hanya 2,6 persen diantaranya belum
memiliki jaminan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah,
menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 75 persen, 70 persen dan 60,8
persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas sebesar 45,1
persen. dan teratas (25,7%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda tidak terlalu
bervariasi untuk masing-masing kelompok penduduk berdasarkan kuintil indeks kepemilikan.
Pada jenis jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan
jaminan kesehatan lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas.

13.2 Mengobati sendiri


Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan
rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan
mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di
apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan
hasil analisis merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir dengan menggunakan
median.
Tabel 13.3 menggambarkan bahwa penduduk daerah perkotaan maupun perdesaan yang
mengobati sendiri dengan cara membeli obat ditoko obat atau diwarung hampir sama yaitu
(22,6%) dibanding (24,0%). Dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan sama banyak antara
di perkotaan dan di perdesaan yaitu sebesar Rp.15.000,00
Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang tertinggi untuk
mengobati sendiri (24,0%) dan dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya
yaitu Rp. 20.000,00
Tabel 13.4
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Mengobati diri sendiri
Karakteristik
% Median (Rp)
Tempat tinggal
Perkotaan 22,6 15,000.00
Perdesaan 24,0 15,000.00
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 22,5 15,000.00
Menengah bawah 24,1 15,000.00
Menengah 24,3 15,000.00
Gambar 13.1 memperlihatkan proporsi penduduk Provinsi Aceh yang mengobati diri sendiri
dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter
adalah 23,6 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp 15.000,00. Kabupaten Bener Meriah
merupakan kabupaten/kota tertinggi (41,7%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.10.000.00
Sebaliknya, kabupaten Simeulue dan Nagan Raya merupakan kabupaten/kota dengan proporsi
terendah (masing-masing 13,3%) namun dengan rerata pengeluaran sebesar Rp.15.000,00
untuk Simeulue dan Rp 10.000,00 untuk Nagan Raya.

Mengobati sendiri (%) Median biaya

Gambar 13.1
Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biaya menurut
13.3 Rawat Jalan
Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau
utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya.
Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besaran biaya
merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan
median.
Gambar 13.2 memperlihatkan 14 persen penduduk Provinsi Aceh dalam satu bulan terakhir
melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 28.000,00. Penduduk
Aceh Jaya merupakan kabupaten tertinggi yang melakukan rawat jalan (26,3%) dengan median
biaya sebesar Rp. 30.000,00 dalam satu bulan terakhir. Penduduk Kabupaten Simeulue
merupakan yang terendah dalam memanfaatkan fasilitas rawat jalan (3,2%) dengan
pengeluaran rerata sebesar Rp. 50.000,00

Pemanfaatan rawat jalan Median biaya


Tabel 13.5 menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam satu
bulan terakhir. Sebanyak 19,3 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan
kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp.
20.000,00 sebaliknya penduduk umur 15-24 tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah
umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dan median biayanya pun
cenderung semakin besar. Penduduk umur 55 – 64 tahun adalah kelompok dengan median
pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp. 40.000) dan proporsi sebanyak 20,4%.
Pemanfaatan rawat jalan di perkotaan dan perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk biaya
yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan sebesar Rp.
40.000,00 sedangkan di perdesaan sebesar Rp. 25.000,00. Menurut kuintil indeks kepemilikan,
median pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas (Rp.
50.000,00) dengan proporsi pemanfaatan terendah (11,5%). Pemanfaatan tertinggi rawat jalan
terdapat pada kuintil terbawah dengan median pengeluaran sebesar Rp. 20.000,00.
Tabel 13.5
Proporsi pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Rawat Jalan
Karakteristik
% Rp
Kel umur (tahun)
0-4 19,3 20.000
5 -14 12,4 20.000
15-24 8,3 25.000
25-34 13,3 30.000
35-44 15,0 30.000
45-54 18,0 35.000
55-64 18,5 30.000
65-74 20,4 40.000
75+ 20,2 46.783
Tempat tinggal
Perkotaan 10,8 40.000
Perdesaan 15,2 25.000
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 10,8 20.000
Menengah bawah 15,2 30.000
Menengah 10,8 25.000
Menengah atas 15,2 30.000
Teratas 10,8 50.000

13.4 Rawat Inap


Rawat Inap menurut Azwar Azrul (1996:73) suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran
intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun
Gambar 13.3 menunjukkan dalam satu tahun terakhir 2,4 persen penduduk Provinsi Aceh
melakukan rawat inap dengan median, biaya sebesar Rp.700.000,00. Penduduk Kota
Lhokseumawe ternyata tertinggi dalam pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 5,3 persen
dengan median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp. 1.500.000,00 disusul Kabupaten
Aceh Tengah (3,9%) dengan median biaya sebesar Rp. 500.000,00. Sementara penduduk
Kabupaten Aceh Tenggara (0,4%), Simeulue (0,8%), Nagan Raya (0,9%) dan Kota
Subulussalam (0,9%) merupakan kabupaten/kota terendah untuk pemanfaatan rawat inap
dengan median biaya antara Rp 300.000,00 dan Rp 500.000,00

Pemanfaatan rawat inap Median biaya

Gambar 13.3
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Tabel 13.6 menggambarkan sebesar 1,5 persen balita memanfaatkan rawat inap. Kelompok
usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga
Tabel 13.6
Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta median biaya yang dikeluarkan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Rawat Inap
Karakteristik
% Rp
Kel umur (tahun)
0-4 1,5 200.000
5 -14 1,0 500.000
15-24 2,1 300.000
25-34 2,6 1.000.000
35-44 2,8 800.000
45-54 3,3 600.000
55-64 4,7 700.000
65-74 5,9 1.000.000
75+ 6,2 1.000.000
Tempat tinggal
Perkotaan 2,7 1.400.000
Perdesaan 2,2 500.000
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 1,7 1.400.000
Menengah bawah 2,5 500.000
Menengah 2,2 1.400.000
Menengah atas 2,3 500.000
Teratas 3,2 1.400.000

13.5 Sumber pembiayaan


Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas
2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang
memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun
terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS,
veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian
Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari
perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda.
Pada Riskesdas 2013, penduduk diminta menyebutkan total biaya yang dikeluarkan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan (satu bulan terakhir) dan rawat inap (satu tahun
terakhir). Hasil analisis besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir
(rawat jalan) atau satu tahun terakhir (rawat inap) dengan menggunakan median.
Gambar 13.4 menggambarkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk
Provinsi Aceh masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh Jamkesmas/jamkesda sebanyak
49,4 persen, kemudian disusul oleh pembiayaan dari pasien sendiri atau keluarga (out of
pocket) (44,5%), Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI (3,1%), dan Jamsostek 0,9%.
Penduduk yang memanfaatkan sumber biaya rawat jalan dari jamkesmas/da tertinggi adalah
kabupaten Simeulue (77,1%), Aceh Selatan (69,6%) dan kota Sabang (68,4%)
Gambar 13.4
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Aceh 2013

Tabel 13.7 menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik umur, tertinggi pada kelompok umur
<1 tahun menggunakan biaya sendiri (59,5%), jenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai
wiraswasta, tinggal di perdesaan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sedangkan
pemanfaatan jamkesmas/jamkesda tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun tertinggi (56,5%),
jenis kelamin perempuan, bekerja sebagai petani/nelayan/buruh tinggal di perdesaan dengan
kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Tabel 13.7
Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Sumber Biaya Rawat Jalan
Karakteristik Biaya Askes/ Asuransi Jamkesma/ Sumber Lebih dr 1
Jamsostek Perusahaan
Sendiri Asabri Swasta Jamkesda Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 42,3 7,4 2,1 0,5 43,9 1,9 1,1 0,7
Perdesaan 45,1 1,9 0,6 0,1 51,0 0,1 0,4 0,8
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 38,9 0,2 0,6 58,6 0,6 1,1
Menengah bawah 43,9 1,0 0,5 53,4 0,1 0,2 0,9
Menengah 43,6 2,2 0,7 0,1 51,8 0,2 0,8 0,6
Menengah atas 46,2 6,1 1,8 0,4 43,1 1,2 0,4 0,8
Teratas 53,9 9,2 1,3 0,7 32,1 1,4 1,1 0,4
Gambar 13.5
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Aceh 2013
Tabel 13.8 memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal sumber biaya rawat inap pada jenis
fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan Askes, dan Jamkesmas/jamkesda lebih
banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari biaya sendiri lebih
banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan.
Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan
Jamkesmas/Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber
biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri merata
pada semua kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 13.8
Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Sumber Biaya Rawat inap
Karakteristik
Biaya Askes/ Asuransi Jamkesmas/ Sumber Lebih dr 1
Jamsostek Perusahaan
Sendiri Asabri Swasta Jamkesda Lainnya Sumber
Tempat tinggal
Perkotaan 0,2 0,3 0,0 1,1 0,0 0,0 0,0
Perdesaan 0,3 0,0 0,0 0,0 1,0 0,0 0,0 0,1
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,3 0,0 0,7 0,0 0,0
Menengah bawah 0,3 0,0 0,0 1,2 0,1
Menengah 0,2 0,1 0,0 1,1 0,0 0,0
Menengah atas 0,2 0,1 0,0 0,0 0,9 0,0 0,0 0,0
Teratas 0,3 0,5 0,1 1,1 0,0 0,0 0,1

Daftar Pustaka
Azwar Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa Aksara. 1996
Gottret, Pablo and Schieber, George. Health Financing Revisited: A Practioner’s Guide. The
World Bank. Washington DC, 2006
Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional
Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
The World Health Report 2000: Health systems: Improving Performance. World Health
Organization, Geneva, 2000
The World Health report 2010: Health Systems Financing The Path To Universal Coverage.
World Health Organization, Geneva, 2010
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
BAB 14. KESEHATAN REPRODUKSI

Aprildah Sapardin, Endi Ridwan dan Marice Sihombing

Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi tentang KB, riwayat kehamilan, persalinan dan masa
nifas dalam Blok Kesehatan Reproduksi.
Tujuan kesehatan reproduksi adalah mendapatkan informasi terkait dengan MDGs ke lima yang
berkaitan dengan upaya meningkatkan status kesehatan ibu dan isu kesehatan reproduksi,
antara lain;
1. Penggunaan KB
2. Riwayat kesehatan reproduksi seumur hidup; umur kawin pertama, umur melakukan
hubungan seksual pertama, umur saat hamil pertama, riwayat kehamilan seumur hidup
3. Cakupan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan masa nifas pada periode 1
Januari 2010 sampai saat wawancara.
4. Status kesehatan ibu hamil
Kesehatan reproduksi ditanyakan khusus pada perempuan usia 10 – 54 tahun.

14.1 Kehamilan saat ini


Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Indonesia yang sedang
hamil (Gambar 14.1). Proporsi kehamilan umur 10-54 tahun di Indonesia adalah 2,56 persen, di
perkotaan (2,6%) lebih tinggi dibanding perdesaan (2,5%) (lihat buku Riskesdas 2013 dalam
Angka). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Proporsi
kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 0,73 persen, perdesaan (1%) lebih tinggi
dibanding perkotaan (0,5%).
14.2 Pelayanan Program Keluarga Berencana
Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan Program Keluarga Berencana
Nasional. Salah satu indikator program KB adalah penggunaan KB saat ini dan CPR.
CPR yaitu persentase penggunaan cara/alat KB oleh pasangan usia subur (PUS) dalam hal ini
adalah WUS kawin/hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010).
Analisis penggunaan KB ini dilakukan pada kelompok WUS berstatus kawin dan hidup bersama.
Pada saat analisis, penetapan jenis alat/cara KB merujuk pada efektivitas alat/cara KB yang
digunakan. Apabila responden menggunakan lebih dari 1 alat/cara KB maka yang dipilih adalah
yang paling efektif.
Indikator penggunaan KB dan CPR KB modern ini memungkinkan untuk memberikan gambaran
sampai tingkat provinsi dan Kab/Kota yang disajikan dalam Laporan Riskesdas Provinsi. Khusus
untuk tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB, analisis dilakukan dari penduduk yang
menggunakan KB modern.
a. Pola Penggunaan KB saat ini
Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan
menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional.
Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDG kelima dengan target peningkatan
CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011).

Gambar 14.2
Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.2 menunjukkan proporsi penggunaan KB saat ini di Provinsi Aceh secara umum,
adalah 45,9 persen yang terdiri dari 48,9 persen pengguna KB modern dan 0,6 persen
pengguna KB tradisional. Adapun penggunaan KB menurut kelompok umur terbanyak pada
kelompok umur 30-34 tahun (56,8%), sedangkan pada kelompok umur berisiko yaitu 45-49
tahun (24,2%) dan kelompok umur 15-19 tahun (44,8%) masih rendah.
b. Penggunaan KB menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas
Pengelompokan jenis alat KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang) adalah susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/IUD,
sedangkan non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom.

Gambar 14.3
Proporsi WUS Kawin yang menggunakan KB menurut jenis alat KB yang digunakan,
Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.3 di atas menunjukkan dominasi penggunaan jenis suntikan KB. Dari data jenis KB
tersebut selanjutnya dikelompokkan menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas.

Gambar 14.4
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok
kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Gambar 14.4 menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan
hormonal menurut provinsi. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Aceh Tenggara
(62,8%) dan paling rendah di Nagan Raya (30,8%). Sementara untuk proporsi alat KB non
hormonal paling tinggi di Banda Aceh (11,5%) dan paling rendah di Aceh Barat Daya (0,7%).
Tingginya penggunaan KB hormonal dipengaruhi oleh jenis KB suntikan yang besar.

Gambar 14.5
Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka
waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 14.5 menunjukkan variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu
efektivitas (MKJP dan Non MKJP). Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Gayo Lues
(59,7%) dan paling rendah di Nagan Raya (29,8%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP
paling tinggi di Banda Aceh (10,3%) sedangkan paling kecil adalah Pidie Jaya (1,2%).

c. Tempat dan tenaga untuk pelayanan KB modern


Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi
pelaksanaan program pelayanan KB.
Gambar 14.6 memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB.
Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak berperan dalam pelayanan KB. Proporsi
tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan
(49,2%) dan paling sedikit adalah tim KB keliling (0,6%), juga menunjukkan tenaga kesehatan
yang memberi pelayanan KB. Tenaga yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan
(83,5%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya
Gambar 14.6
Proporsi pemanfaatan tempat dan tenaga kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB,
Provinsi Aceh 2013

14.3 Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas


Setiap kehamilan memiliki risiko untuk menghadapi kematian ibu. Pemantauan dan perawatan
kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk
kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu,
Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di
masyarakat.
Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan 10-54 tahun yang pernah melahirkan.
Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1
Januari 2010 sampai dengan wawancara ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat
pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas.
Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu.
1. Cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali
2. Proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

a. Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil dan Indikator Cakupan ANC


Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDG (K1 dan ANC minimal 4 kali)
maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti
cakupan K1 ideal dan K4.
Definisi operasional indikator ANC
K1 atau ANC minimal 1 kali adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan
kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan.
K1 ideal adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama
kali pada trimester 1.
K4 adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali
dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2
dan minimal 2 kali pada trimester 3.
ANC minimal 4 kali adalah proporsi pada kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu
hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan

Gambar 14.7
Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 14.7 menunjukkan bahwa 95,4 persen dari kelahiran yang mendapat ANC (K1).
Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode
trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang
antara 82,5 persen (Nagan Raya) dan 100 persen (Langsa dan Aceh Jaya). Untuk cakupan ANC
minimal 4 kali, Aceh Jaya (99,9%) sedangkan Langsa (84,9%). Selisih antara K1 dan ANC 4 kali
Gambar 14.8
Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 14.8 menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator
untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan
kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC
(Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010).
Indikator K1 ideal dan K4 yang merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan
ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu
hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu
hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator
ANC K4. Cakupan K1 ideal secara provinsi adalah 65,4 persen dengan cakupan terendah di
Nagan Raya (15,3%) dan tertinggi di Sabang (91,7%). Cakupan K4 secara provinsi adalah 70,4
persen dengan cakupan terendah adalah Maluku (41,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta
(86,0%). Berdasarkan penjelasan di atas, selisih dari cakupan K1 ideal dan K4 secara nasional
memperlihatkan bahwa terdapat 12 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan
ANC sesuai standar minimal (K4).
b. Tenaga dan tempat pemeriksaan kehamilan
Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil
adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu.
Gambar 14.9
Proporsi pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC,
Indonesia 2013

Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut provinsi
dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Masyarakat dengan
karakteristik tinggal di perdesaan, pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan
terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan.
Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan,
pendidikan tinggi dan kuintil indeks kepemilikan teratas.
Proporsi tempat mendapat layanan ANC menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

c. Konsumsi zat besi


Konsumsi zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia pada
ibu hamil dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan
menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya
(Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 menanyakan berapa hari mengkonsumsi zat besi
selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa
kehamilannya termasuk yang di jual bebas maupun multi vitamin yang mengandung zat besi.
Gambar 14.11 menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil
di Provinsi Aceh sebesar 83,8 persen. Di antara yang mengonsumsi zat besi tersebut, terdapat
19,1 persen mengonsumsi minimal 90 hari selama kehamilannya.
Gambar 14.10
Proporsi konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah hari mengonsumsi, Provinsi Aceh 2013

d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K

Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi
dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat
kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA.
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program
terobosan Kementerian Kesehatan bidang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan
tingkat kematian ibu. P4K adalah suatu kegiatan yang difasilitasi bidan di desa dalam rangka
meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam merencanakan persalinan
yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan
penggunaan KB pasca persalinan, menggunakan media stiker (Factsheet Direktorat Bina
Kesehatan Ibu). Selain pada stiker, komponen P4K juga dituliskan di buku KIA yaitu pada
lembar ―Amanat Persalinan‖ yang merupakan kependekan dari ―Menyambut Persalinan Agar
Aman dan Selamat‖ (Kementerian Kesehatan, 1997). Terdapat 5 komponen utama yang
dituliskan terkait perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB
yaitu :
1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin).
2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya
persalinan).
3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju
tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan).
4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan
5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus
Gambar 14.11
Proporsi kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar
amanat persalinan dari yang dapat menunjukkan buku KIA, Provinsi Aceh 2013

Hasil analisis menunjukkan bahwa 75,1 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa
menunjukkan hanya 30,9 persen. 213
Gambar 14.12 juga menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K dalam
lembar amanat persalinan menunjukkan isian penolong persalinan 23,0 persen, dana persalinan
12,2 persen, kendaraan/ambulans desa 11,1 persen, metode KB pasca salin 12,8 persen dan
9,9 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar
8,5 persen dan 76,4 persen tidak ada isian.

e. Cara persalinan
Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya
faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan
medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak.
Di Indonesia, bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan
dengan komplikasi (Depkes, 2001). Riskesdas Aceh 2013 menanyakan proses persalinan yang
dialami. Gambar 14.12 menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut
kabupaten/kota dan Gambar 14.13 menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan
10
15
20
25
30

5
0
Nagan Raya
Aceh Tengah
Pidie Jaya
Aceh Selatan
Gayo Lues
Bener Meriah
Aceh Utara
Aceh Tamiang
Aceh Jaya
Bireuen
Aceh Timur
Kota Subulussalam
Aceh Besar
Aceh Tenggara
Gambar 14.12

Aceh Singkil
ACEH
9,3

Pidie
Aceh Barat Daya
Simeulue
Kota Sabang
Aceh Barat
Kota Langsa
Proporsi persalinan sesar menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Kota Banda Aceh


Kota Lhokseumawe
f. Penolong Persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator
MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes)
menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan.
Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai
target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan.
Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan
kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi
apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi. Penolong persalinan dengan
kualifikasi terendah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang
paling rendah.
Gambar 14.12 menunjukkan bahwa pada persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah,
sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (74,6% dan 75,0%). Sehingga penolong linakes
(dokter atau bidan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 90,5 persen dan kualifikasi terendah
adalah 88,4 persen.

Gambar 14.12
Proporsi penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Aceh 2013

g. Tempat Persalinan

Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan
penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di
fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya
jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka
tidak dapat segera ditangani.
Gambar 14.13 menunjukkan 57,6 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat
Gambar 14.13
Proporsi tempat bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 14.14 menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek
nakes, puskesmas/pustu) dan polindes/poskesdes serta di rumah menurut karakteristik. Pada
kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas)
lebih banyak melahirkan di rumah yang mencapai 45,0 persen. Sedangkan ibu dengan tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan teratas, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di
perkotaan paling banyak melahirkan di fasilitas kesehatan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan
rendah, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah memilih
melahirkan dirumah.
h. Pelayanan Kesehatan Masa Nifas
Masa nifas merupakan masa kritis bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi
Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010, sebagai besar kematian ibu terjadi pada masa nifas
sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu. Pelayanan Masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu
selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan
program pelayanan atau Kontak Ibu Nifas yang dinyatakan dalam indikator :
1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah bersalin
2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan
3) KF3, kontak ibu nifas pada periode 29-42 hari setelah melahirkan.

Gambar 14.15
Proporsi pelayanan pemeriksaan masa nifas menurut kontak ibu nifas,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 14.18 memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan
periode waktu setelah bersalin proporsi semakin menurun. Sekitar 85,5 persen ibu nifas terjadi
kontak dengan tenaga kesehatan pada dalam periode 3 hari setelah melahirkan. Kontak ibu
nifas dengan tenaga kesehatan berikutnya pada periode 7-28 hari setelah melahirkan menurun
menjadi 44,6 persen, sedangkan yang mendapat pelayanan ibu nifas pada periode 29-42 hari
setelah melahirkan turun menjadi 25,1 persen. Adapun ibu nifas yang mendapat pelayanan
kesehatan masa nifas secara lengkap yang meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 21,4 persen.
Periode masa nifas yang berisiko terhadap komplikasi pasca persalinan terutama terjadi pada
periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3
hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut provinsi (Gambar 14.16) yaitu tertinggi di
Pidie Jaya (99,5%) dan terendah di Nagan Raya (66,2%)
Gambar 14.16
Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Cakupan KF1 menurut karakteristik pada Gambar 14.17 memperlihatkan bahwa semakin
tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan cakupan makin besar, proporsi di perkotaan
lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur
saat bersalin dan pekerjaan.
Rincian data cakupan pelayanan KF menurut provinsi dan karakteristik dapat dilihat pada
buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
i. Pelayanan KB Pasca Salin
Salah satu program terobosan Kementerian Kesehatan dalam upaya melakukan percepatan
penurunan angka kematian ibu adalah peningkatan KB pasca persalinan. KB pasca salin adalah
penggunaan metode kontrasepsi pada masa nifas sampai dengan 42 hari setelah melahirkan
sebagai langkah untuk mencegah kehilangan kesempatan ber-KB. Dalam Riskesdas 2013
menanyakan tentang pelayanan KB yang diterima pada periode masa nifas sampai 42 hari
setelah melahirkan.
Gambar 14.18 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan KB pasca salin di Indonesia sebesar
59,6 persen dan bervariasi menurut provinsi, dengan rentang 26,0 persen (Papua) dan 73,2
persen (Bangka Belitung).

Gambar 14.18
Proporsi pelayanan KB pasca salin menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010,
Jakarta
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Pelayanan KB Pasca Salin,
www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.php?id=56
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Factsheet Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi, Jakarta, diunduh dari www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-
content/.../download.php?id=59
Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.
Kemenkes RI, 2011. ―Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan‖, Jakarta.
Kementerian Kesehatan, 1997, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta, cetakan tahun 2012.
BAB 15. KESEHATAN ANAK

Aprildah Sapardin, Endi Ridwan dan Marice Sihombing


Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak
yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan anak
meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan
kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita.
Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku
perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte
kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin
A, pemberian ASI dan MP ASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian
makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan.
Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal,
kepemilikan akte kelahiran anak balita,cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian
kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas 2013
dalam Angka

15.1 Berat dan panjang badan lahir


Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki
oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya
Persentase anak balita yang mempunyai catatan berat badan lahir dan panjang bayi lahir di
Provinsi Aceh masing-masing sebesar 42,0 persen dan 29,5 persen.
Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 2500 gram (BBLR), 2500-3999
gram, dan ≥ 4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota tahun 2013 di Provinsi Aceh disajikan pada Gambar 15.1. Persentase BBLR di
Provinsi Aceh tahun 2013 (8,6%) lebih rendah dari tahun 2010 (11,0%). Persentase BBLR
tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya (26,2%) dan terendah di Aceh Besar (1,0%).
Tabel 15.1 menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik.
Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut
kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas.
Persentase BBLR pada perempuan (9,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (7,7%),
namunpersentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki (9,3%) lebih tinggi dibandingkan
perempuan (7,2%).
Menurut tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevalensi
BBLR. Berdasarkan jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala
rumah tangga tidak bekerja (11,4%), sedangkan persentase terendah pada pada kelompok
pekerjaan pegawai (5,0%). Persentase BBLR di perdesaan (9,9%) lebih tinggi darpada di
perkotaan (5,7%).
Tabel 15.1
Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Berat badan lahir
Karakteristik
<2500 gr 2500 - 3999 gr ≥4000 gr
Kelompok Umur
0 – 5 bulan 10,8 79,7 9,5
6 – 11 bulan 6,0 87,2 6,8
12 – 23 bulan 10,4 82,4 7,2
24 – 35 bulan 4,9 86,7 8,3
36 – 47 bulan 10,4 78,8 10,8
48 – 59 bulan 8,3 84,6 7,1
Jenis Kelamin
Laki-laki 7,7 82,9 9,3
Perempuan 9,5 83,3 7,2
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 16,7 65,1 18,2
Tidak tamat SD 13,3 83,0 3,6
Tamat SD 7,9 80,4 11,7
Tamat SMP 12,9 77,1 10,0
Tamat SMA 5,4 88,5 6,1
Tamat D1/D2/D3/PT 7,2 85,5 7,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 11,4 81,5 7,1
Pegawai 5,0 88,7 6,3
Wiraswasta 9,9 78,9 11,2
Petani/Nelayan/Buruh 10,0 82,2 7,9
Lainnya 1,3 94,1 4,7
Tempat Tinggal
Perkotaan 5,7 88,2 6,1
Perdesaan 9,9 80,8 9,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 10,1 82,1 7,8
Menengah bawah 10,8 78,0 11,2
Menengah 8,5 83,5 8,0
Menengah Atas 8,3 85,4 6,3
Teratas 5,8 85,8 8,4
Tabel 15.2 menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut
kabupaten/kota. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 48 cm, 48-52
cm, dan > 52 cm. Persentase panjang badan lahir < 48 cm diProvinsi Aceh sebesar 13,7 persen,
panjang badan lahir 48-52 cm sebesar 82,2 persen dan >52 cm sebesar 4,1 persen. Persentase
panjang badan lahir <48 cm tertinggi di Kabupaten Aceh Selatan (58,5%) dan terendah di Kota
Subulussalam (3,1%).

Tabel 15.2
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Panjang badan lahir
Kabupaten/Kota
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Simeulue 14,0 82,7 3,3
Aceh Singkil 8,8 85,5 5,7
Aceh Selatan 58,5 41,5
Aceh Tenggara 12,2 84,6 3,2
Aceh Timur 15,6 84,4
Aceh Tengah 33,6 66,4
Aceh Barat 4,1 92,8 3,0
Aceh Besar 4,0 92,9 3,2
Pidie 16,9 80,2 2,9
Bireuen 86,6 13,4
Aceh Utara 9,6 82,5 7,8
Aceh Barat Daya 8,1 91,9
Gayo Lues 16,4 82,3 1,3
Aceh Tamiang 44,0 46,7 9,3
Nagan Raya 36,3 63,7
Aceh Jaya 24,4 73,2 2,4
Bener Meriah 7,4 88,7 3,9
Pidie Jaya 19,7 57,1 23,2
Kota Banda Aceh 4,2 94,2 1,6
Kota Sabang 100,0
Kota Langsa 31,3 68,7
Kota Lhokseumawe 10,6 89,4
Kota Subulussalam 3,1 87,9 9,1
Aceh 13,7 82,2 4,1

Persentase panjang badan lahir anak usia 0-59 bulan menurut karakteristik anak, pendidikan
KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel 15.3.
Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas.
Persentase bayi lahir pendek pada anak laki-laki relatif lebih tinggi (14,0%) daripada anak
perempuan (13,3%).
Berdasarkan pendidikan terlihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan, semakin
rendah persentase anak lahir pendek. Namun, tidak demikian dengan kuintil kepemilikan. Bayi
lahir pendek pada kuintil kepemilikan teratas (15,2%) lebih tinggi bla dibandingkan anak lahir
Tabel 15.3
Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Ada catatan
Karakteristik
<48 cm 48 - 52 cm >52 cm
Kelompok umur (bulan)
0–5 15,8 80,1 4,1
6 – 11 14,2 83,6 2,2
12 – 23 14,3 81,0 4,7
24 – 35 14,2 81,7 4,2
36 – 47 11,4 82,1 6,4
48 – 59 13,1 84,9 2,0

Jenis kelamin
Laki-laki 14,0 80,9 5,2
Perempuan 13,3 83,7 2,9

Pendidikan
Tidak pernah sekolah 26,4 72,3 1,3
Tidak Tamat SD/MI 16,4 72,5 11,1
Tamat SD/MI 10,7 87,5 1,7
Tamat SMP/MTS 14,8 82,6 2,6
Tamat SMA/MA 14,1 79,6 6,3
Tamat D1-D3/PT 12,3 86,0 1,7

Pekerjaan
Tidak bekerja 19,2 69,2 11,6
Pegawai 13,7 79,7 6,6
Wiraswasta 15,5 81,1 3,4
Petani/nelayan/buruh 11,1 86,0 2,8
Lainnya 20,2 75,9 3,9

Tempat tinggal
Perkotaan 13,4 82,3 4,3
Perdesaan 13,8 82,2 4,0

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 12,3 81,6 6,1
Menengah bawah 17,8 80,7 1,5
Menengah 12,0 83,3 4,7
Menengah atas 10,9 84,9 4,2
Teratas 15,2 80,5 4,3
Gambar 15.2 menyajikan persentase berat badan lahir < 2500 gram (BBLR) dan panjang badan
lahir < 48 cm (lahir pendek) pada bayi umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Persentase
balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR sebesar 1,5 persen, tertinggi di Kabupaten
Pidie Jaya (5,2%) dan terendah di Aceh Jaya (0,8%). Namun ada tujuh kabupaten/kota yang
tidak ada catatan mengenai data tersebut.

6
5
4
3
2 1,5

1
0

Pidie Jaya
Aceh Jaya

Aceh Tamiang
Aceh Timur

Pidie
Kota Lhokseumawe

Aceh Tengah
Bener Meriah
Aceh Tenggara
Simeulue

Kota Subulussalam

Gayo Lues
ACEH

Nagan Raya
Kota Langsa

Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Gambar 15.2
Persentase umur 0-59 bulan dengan berat badan lahir < 2500 gram dan panjang badan lahir
<48 cm menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 15.3 memperlihatkan persentase balita yang memiliki riwayat pendek dan BBLR
menurut karakteristik. Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR pada
kelompok umur 48-59 bulan lebih tinggi dibanding kelompok umur lainnya. Sedang balita umur
0-5 bulan persentasenya hanya berkisar satu persen. Informasi ini menunjukkan persentase
balita dengan riwayat lahir pendek dan BBLR ada penurunan. Persentase balita yang memiliki
riwayat lahir pendek dan BBLR pada laki-laki dan perempuan relatif sama yaitu lebih dari satu
persen.
6 5,4 5,4
5
4
3 2,7
2,3 2,3
2 1,5 1,6
1
1 0,7
0,3 0,4
0

Lainnya
Pegawai

Perkotaan
Tidak pernah sekolah
Tidak Tamat SD/MI

Menengah
Tamat SMA/MA

Petani/nelayan/buruh
12 – 23 bln
24 – 35 bln
36 – 47 bln
48 – 59 bln
0 – 5 bln

Tidak bekerja

Wiraswasta

Perdesaan

Menengah atas
Teratas
6 – 11 bln

Tamat D1-D3/PT
Perempuan
Laki-laki

Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS

Terbawah
Menengah bawah
Gambar 15.3
Persentase anak dengan berat badan < 2500 gram dan panjang badan lahir < 48 cm menurut
karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR cenderung menurun seiring
dengan meningkatnya pendidikan kepala rumah tangga. Menurut pekerjaan, diperoleh
persentase balita yang memiliki riwayat lahir pendek dan BBLR lebih tinggi pada kelompok
kepala rumah tangga yang tidak bekerja dan petani/nelayan/buruh dibandingkan kepala rumah
tangga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri. Menurut tempat tinggal, balita yang tinggal tinggal
di perdesaan (1,6%) relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (1,2%). Berdasarkan kelompok
kuintil indeks kepemilikan, diketahui persentase yang relatif tinggi ada pada kelompok kuintil
indeks kepemilikan menengah bawah dan terbawah.
15.2 Kecacatan
Riskesdas 2013 menyajikan informasi prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami
kecacatan. Kecacatan yang dimaksud adalah semua kecacatan yang dapat diobservasi
termasuk karena penyakit atau trauma/kecelakaan. Anak yang mempunyai kecacatan termasuk
anak berkebutuhan khusus, seperti di bawah ini:
a. Tuna netra (penglihatan/buta) adalah anak yang memiliki lemah penglihatan atau
akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan (Kaufman & Hallahan).
b. Tuna wicara (berbicara/bisu) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan
dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tuna wicara. Gangguan berbicara pada
anak balita (<5 tahun) bisanya terjadi karena anak mengalami hambatan pendengaran,
baik permanen maupun tidak permanen yang berakibat anak mengalami hambatan
berbicara. Jadi anak mengalami gangguan pendengaran dan berbicara (tuli bisu).
c. Down syndrom adalah kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin
(pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi dari gejala minimal
sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang
dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian
crease). Ciri-ciri anak down syndrome adalah muka rata, hidung tipis (pesek), jarak
antara kedua mata tampak lebih dekat, jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih
lebar, garis tangan melengkung tidak terputus.
d. Tuna daksa (tubuh/cacat anggota badan) adalah anak yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular (syaraf otot) dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan termasuk polio dan lumpuh.
e. Bibir sumbing adalah kelainan pada bibir, langit-langit atas mulut atau kedua-duanya.
f. Tuna rungu (pendengaran/tuli) adalah anak yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Tabel 15.4 menunjukkan persentase kecacatan pada anak umur 24-59 bulan. Persentase jenis
kecacatan yang tertinggi adalah minimal satu jenis cacat sebesar 0,5 persen. Tidak ada anak
yang mengalami tuna rungu dan tuna daksa 0,0. Sementara tuna netra, tuna wicara dan bibir
sumbing mempunyai persentase yang sama (0,1 persen)
Tabel 15.4
Persentase kelainan/cacat pada anak umur 24–59 bulan,
Provinsi Aceh 2013

Jenis Kelainan/Cacat Persentase

Tuna netra 0,1


Tuna rungu 0,0
Tuna wicara 0,1
Tuna daksa 0,0
Bibir sumbing 0,1
Down syndrome 0,3
Minimal satu jenis cacat 0,5
15.3 Status Imunisasi
Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1956. Kementerian Kesehatan
melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan
kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri,
pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali
HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu
kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan;
imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling
cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan
dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan.
Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai
balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi,
yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam
KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah
satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan
bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.
Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan
campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis.Analisis dilakukan pada anak
umur 12-23 bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar.
Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan karena beberapa alasan, yaitu:
(1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan ―valid immunization‖; (2) survei-survei lain juga
menggunakan kelompok umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat
dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data
lebih rendah dibanding kelompok umur di atasnya. Namun, karena ada keterbatasan sampel
maka untuk menggambarkan angka kabupaten/kota, analisis dilakukan dari data usia 12-59
bulan.
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa
alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah
diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA
tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu.
Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall
bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan.
Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi
terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas 2013.
Gambar 15.4 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan, yang
merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT_HB, empat kali
polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan Imunisas lengkap cenderung meningkat dari
tahun 2007 (32,9%), 2010 (37,0%), dan 2013 (38,3) di Provinsi Aceh.
60
53,2
50
42 41,9
40 37 38,3
32,9
30
21 19,8
20
13,9

10

0
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi

2007 2010 2013

Gambar 15.4
Imunisasi lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun
2007, 2010, dan 2013

Tabel 15.5 menunjukkan cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali (polio
4). DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut kabupaten/kota. Berdasarkan
jenis imunisasi, persentase tertinggi adalah BCG (72,9%) dan terendah adalah DPT-HB 3
(52,9%). Kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis
imunisasi ada di Nagan Raya yaitu Polio 4 (12,2%), campak (22,2%), BCG (33,0%) dan HB-0
(34,5%). Sedang kabupaten/kota yang memiliki cakupan imunisasi tertinggi ada di Aceh Jaya
yaitu HB-0 (95,8%), BCG (92,6%), DPT-HB 3 (92,3%), Polio 4 (92,4%), dan campak (92,3%).
Tabel 15.5
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Jenis imunisasi dasar
Kabupaten/Kota
HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak
Simeulue 89,8 98,5 80,1 89,7 98,3
Aceh Singkil 74,3 72,0 57,8 57,0 66,2
Aceh Selatan 29,6 39,7 11,2 13,2 34,7
Aceh Tenggara 73,2 84,6 63,1 72,9 84,6
Aceh Timur 39,6 60,9 38,5 51,9 47,7
Aceh Tengah 79,7 97,5 94,7 94,7 94,8
Aceh Barat 73,9 67,6 58,0 54,1 77,2
Aceh Besar 77,5 76,1 60,1 66,2 68,0
Pidie 75,2 69,3 40,7 50,9 58,7
Bireuen 75,1 83,0 57,4 70,5 66,0
Aceh Utara 47,6 56,6 17,6 21,0 28,2
Aceh Barat Daya 38,1 38,1 21,0 38,1 54,6
Gayo Lues 95,7 95,7 85,9 91,8 88,4
Aceh Tamiang 68,9 89,1 85,7 85,7 84,8
Nagan Raya 34,5 33,0 12,2 22,2
Aceh Jaya 95,8 92,6 92,3 92,4 92,3
Bener Meriah 68,0 92,7 70,8 82,7 79,1
Pidie Jaya 52,9 69,1 63,2 43,6 71,9
Kota Banda Aceh 82,8 82,8 69,6 74,2 70,8
Kota Sabang 65,5 71,1 63,4 63,4 68,4
Kota Langsa 70,0 92,7 78,2 79,3 72,8
Kota Lhokseumawe 46,4 59,9 27,8 33,6 32,1
Kota Subulussalam 40,4 33,8 5,2 30,9 39,2
Aceh 64,8 72,9 52,9 58,3 62,4

Tabel 15.6 menunjukkan cakupan jenis imunisasi dasar menurut karakteristik. Cakupan
imunisasi relatif lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. Persentase semua
jenis imunisasi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Terlihat
kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan,
semakin tinggi cakupan jenis imunisasi. Berdasarkan pekerjaan diperoleh kepala rumah tangga
yang bekerja sebagai pegawai, cakupan jenis imunisasi lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok pekerjaan lainnya.
Tabel 15.6
Persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Persentase imunisasi dasar
Karakteristik
HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak
Jenis kelamin
Laki-laki 65,2 73,7 54,6 57,9 63,3
Perempuan 64,4 72,1 51,1 58,7 61,5

Pendidikan
Tidak pernah sekolah 69,9 77,5 37,6 39,7 66,8
Tidak Tamat SD/MI 61,3 67,5 43,9 45,3 56,7
Tamat SD/MI 47,8 58,0 40,2 43,3 42,5
Tamat SMP/MTS 69,6 78,2 56,8 54,1 66,1
Tamat SMA/MA 69,4 77,3 56,3 69,1 69,9
Tamat D1-D3/PT 81,3 85,6 71,6 78,5 78,3

Pekerjaan
Tidak bekerja 65,4 80,1 51,0 54,8 61,5
Pegawai 78,2 86,8 68,4 78,9 81,8
Wiraswasta 70,9 70,0 49,1 53,3 58,4
Petani/nelayan/buruh 56,8 69,3 49,6 54,1 57,8
Lainnya 64,2 73,9 58,3 64,9 67,6

Tempat tinggal
Perkotaan 71,9 77,9 59,8 67,5 65,6
Perdesaan 61,8 70,8 50,0 54,4 61,1

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 31,5 48,0 31,0 38,9 40,2
Menengah bawah 68,7 75,0 55,0 57,0 66,6
Menengah 67,8 75,7 47,2 50,1 56,2
Menengah atas 77,4 84,2 67,6 71,7 74,4
Teratas 79,1 82,3 63,8 74,9 75,3

Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel 15.7. Cakupan
imunisasi dasar lengkap bevariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Aceh Jaya (92,4%)
dan terendah di Subulussalam dan Aceh Selatan (4,8%). Di Provinsi Aceh terdapat 19,7 persen
anak umur 12-59 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi
di kabupaten/kota Nagan Raya (64,8%) dan terendah di Simeulue (1,5%).
Tabel 15.7
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Kelengkapan imunisasi dasar
Kabupaten/Kota
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Simeulue 74,6 23,9 1,5
Aceh Singkil 47,5 38,6 13,9
Aceh Selatan 4,8 42,6 52,6
Aceh Tenggara 57,1 27,5 15,4
Aceh Timur 16,3 64,7 19,0
Aceh Tengah 75,4 22,1 2,5
Aceh Barat 29,3 55,3 15,5
Aceh Besar 52,2 29,3 18,5
Pidie 32,4 51,0 16,7
Bireuen 39,0 44,1 17,0
Aceh Utara 14,0 49,9 36,1
Aceh Barat Daya 15,4 39,1 45,5
Gayo Lues 85,9 12,0 2,1
Aceh Tamiang 57,5 34,4 8,1
Nagan Raya 35,2 64,8
Aceh Jaya 92,4 3,4 4,2
Bener Meriah 49,3 46,6 4,1
Pidie Jaya 21,8 63,1 15,2
Kota Banda Aceh 63,4 22,4 14,2
Kota Sabang 53,7 26,6 19,7
Kota Langsa 43,6 53,1 3,2
Kota Lhokseumawe 14,6 46,8 38,5
Kota Subulussalam 4,8 44,8 50,4
Aceh 38,3 41,9 19,8

Tabel 15.8 menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase
imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (42,8%) daripada di perdesaan (36,5%), dan
terdapat 20,2 persen anak umur 12-59 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama
sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks
kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkap.
Berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak
umur 12-59 bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (61,7%) dan terendah pada
kelompok tamat SD/MI (26,7%). Kuintil indeks kepemilikan menengah atas memiliki cakupan
imunisasi dasar lengkap yang lebih tinggi (52,6%) dibandingkan dengan yang lainnya.
Berdasarkan pekerjaan, terlihat bahwa cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59 bulan
cenderung tinggi pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai.
Tabel 15.8
Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Kelengkapan imunisasi dasar
Karakteristik
Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi
Jenis kelamin
Laki-laki 39,4 40,0 20,6
Perempuan 37,3 43,9 18,8

Pendidikan
Tidak pernah sekolah 35,7 53,8 10,5
Tidak Tamat SD/MI 31,4 45,9 22,7
Tamat SD/MI 26,7 41,6 31,7
Tamat SMP/MTS 37,0 49,2 13,8
Tamat SMA/MA 42,2 41,1 16,8
Tamat D1-D3/PT 61,7 25,1 13,3

Pekerjaan
Tidak bekerja 33,6 49,4 17,0
Pegawai 57,8 30,5 11,7
Wiraswasta 31,9 49,1 19,0
Petani/nelayan/buruh 35,2 41,7 23,2
Lainnya 51,5 29,2 19,3

Tempat tinggal
Perkotaan 42,8 38,6 18,6
Perdesaan 36,5 43,3 20,2

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 21,7 36,9 41,4
Menengah bawah 35,6 48,6 15,8
Menengah 32,7 52,6 14,7
Menengah atas 52,6 34,8 12,6
Teratas 50,6 35,5 13,9

Pada Tabel 15.9 diketahui persentase tertinggi alasan utama tidak diimunisasi adalah karena
keluarga tidak mengijinkan (43,0%), takut anak menjadi panas (32,0%) dan sibuk/repot (15,0%).
Tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD) memiliki persentase tinggi anak tidak pernah di
imunisasi karena alasan keluarga tidak mengijinkan. Berdasarkan tempat tinggal diketahui
persentase keluarga tidak mengijinkan anak di imunisasi lebih tinggi di perdesaan (45%)
daripada di perkotaan (37,7%).
Pada balita yang tidak diimunisasi karena alas an takut anak menjadi panas, terlihat bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, persentase anak yang tidak di imunisasi
semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi karena alasan takut anak
Tabel 15.9
Persentase alasan tidak pernah imunisasi pada anak umur 12-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Alasan tidak pernah imunisasi
Karakteristik Takut anak Anak Tidak tahu Tempat
Keluarga tidak Sibuk/
menjadi sering tempat imunisasi
mengijinkan repot
panas sakit imunisasi jauh
Jenis kelamin
Laki-laki 47,5 32,6 11,6 2,9 4,6 12,8
Perempuan 37,5 31,3 4,3 1,2 7,8 17,8

Pendidikan
Tidak pernah sekolah 73,6 26,4
Tidak Tamat SD/MI 72,1 7,2 6,4 14,3
Tamat SD/MI 36,9 32,5 7,0 3,9 8,9 11,3
Tamat SMP/MTS 63,2 16,4 6,1 6,1 20,4
Tamat SMA/MA 31,9 50,5 12,3 1,9 0,6 18,1
Tamat D1-D3/PT 49,9 16,1 34,0

Pekerjaan
Tidak bekerja 34,5 10,3 49,9 5,3
Pegawai 42,5 30,4 6,0 33,0
Wiraswasta 43,7 50,5 5,3 5,5 4,3 11,3
Petani/nelayan/buruh 44,1 25,4 8,4 0,3 8,8 13,4
Lainnya 34,8 34,2 31,0

Tempat tinggal
Perkotaan 37,7 34,0 10,1 0,6 3,4 25,5
Perdesaan 45,0 31,2 7,6 2,7 7,1 11,0

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 39,4 35,7 7,0 1,6 10,8 12,8
Menengah bawah 42,6 20,7 17,5 4,0 16,2
Menengah 50,3 34,6 8,2 5,3 0,0 10,1
Menengah atas 52,9 27,9 7,2 8,4 17,9
Teratas 38,2 36,9 24,9
Gambar 15.5 menunjukkan bahwa dari 80,2 persen yang pernah diimunisasi (imunisasi lengkap
dan tidak lengkap), terdapat 41,7 persen yang pernah mengalami KIPI. Keluhan yang sering
terjadi adalah bengkak, kemerahan dan bernanah, sedangkan keluhan demam tinggi dialami
anak sebesar 9,5 persen.

90
80,2
80

70

60

50 47,1

40 35,3

30 26,1

20
10,1 9,5
10

0
Pernah Pernah KIPI bengkak KIPI kemerahan KIPI bernanah KIPI demam
imunisasi mengalami KIPI tinggi
Gambar 15.5
Persentase keluhan kejadian pasca imunisasi (KIPI) pada anak umur 12-59 bulan,
Provinsi Aceh 2013

15.4 Kunjungan neonatal


Pada Riskesdas dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada
saat bayi berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar 15.6
memperlihatkan hampir tidak ada perbedaan persentase KN1, Persentase KN1 pada anak balita
menurut kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.6.
80 73,2 72,3
69,6
70 65,6

60
50
40 35,4
32,5
28,8
30 25,8 23,2
17,9
20
10
0
KN1 (6 – 48 KN2 (3 – 7 hari) KN3 (8 – 28 KN lengkap Tidak KN
jam) hari)

2010 2013

Gambar 15.6
Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap, Provinsi Aceh 2010 dan 2013

Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 72,3 persen pada Riskesdas 2013 untuk
Provinsi Aceh dan relatif lebih rendah dengan hasil Riskesdas Provinsi Aceh 2010. Pada tahun
2013, kabupaten/kota dengan persentase KN1 tertinggi ada di Simeulue (95,7%) dan terendah
di Aceh Selatan (51,2%).

120
100
72,3 73,2
80
60
40
20
0
Kota Langsa
Kota Subulussalam

Bener Meriah
ACEH 2013

ACEH 2010

Aceh Besar

Simeulue
Nagan Raya

Kota Sabang
Kota Lhokseumawe

Gayo Lues

Aceh Tenggara
Pidie Jaya
Aceh Tengah

Aceh Timur

Aceh Tamiang

Pidie

Aceh Singkil

Aceh Barat Daya


Aceh Selatan

Bireuen
Kota Banda Aceh

Aceh Utara
Aceh Barat

Aceh Jaya

ACEH 2013 ACEH 2010

Gambar 15.7
Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel 15.10. Dari tabel
tersebut, persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin
menurun seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut
jenis kelamin anak relatif tidak berbeda sedangkan menurut tempat tinggal, persentase
kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula kunjungan
neonatal pada bayi berumur 6-48 jam namun tidak pada pada bayi berumur 3-7 hari dan 8-28
hari. Berdasarkan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal pada umur 6-48
jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok wiraswasta yaitu 77,6 persen pada KN1,
68,0 persen pada KN2, dan 38,0 persen pada KN3.
Tabel 15.10
Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Kunjungan Neonatal
Karakteristik
KN1 (6- 48 jam) KN2 (3–7 hari) KN3 (8–28 hari)
Kelompok Umur (bulan)
0–5 76.6 69.0 43.0
6 – 11 77.2 70.0 34.2
12 – 23 76.0 66.3 34.6
24 – 35 74.2 65.2 33.7
36 – 47 74.1 64.5 36.1
48 – 59 71.6 62.1 32.1
Jenis Kelamin
Laki-laki 75.0 65.9 36.0
Perempuan 74.0 64.9 33.8
Pendidikan
Tidak pernah sekolah 62.3 67.2 35.7
Tidak tamat SD 74.9 61.8 29.5
Tamat SD 68.3 61.6 32.0
Tamat SMP 77.2 67.4 35.2
Tamat SMA 78.3 68.2 36.8
Tamat D1/D2/D3/PT 74.1 63.7 40.1
Pekerjaan
Tidak bekerja 71.7 57.8 35.4
Pegawai 77.0 67.1 35.6
Wiraswasta 77.6 68.0 38.0
Petani/Nelayan/Buruh 72.3 64.4 33.9
Lainnya 70.9 60.6 24.9
Tempat Tinggal
Perkotaan 78.1 64.5 28.5
Perdesaan 73.0 65.8 37.5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 62.7 55.9 24.2
Menengah bawah 76.9 68.3 36.0
Menengah 76.7 66.7 38.7
Menengah Atas 75.1 66.9 37.2
Teratas 80.6 68.8 38.0
Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi
berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali
yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan
kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut
kabupaten/kota ditampilkan pada Gambar 15.8.
Gambar 15.8 menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap
ada sebesar 32,5 persen pada Provinsi Aceh tahun 2013, lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 2010 (25,8%). Persentase kunjungan neonatal lengkap tahun 2013 di Provinsi Aceh
tertinggi di Aceh Jaya (70,2%) dan terendah di Sabang (10,2%).

80
70
60
50
40 32,5
25,8
30
20
10
0
Kota Subulussalam
Kota Langsa
Kota Sabang

Bener Meriah
Nagan Raya

Aceh Besar
Simeulue
Gayo Lues
ACEH 2010

ACEH 2013

Pidie Jaya
Aceh Tenggara

Kota Lhokseumawe
Aceh Timur

Aceh Tamiang
Aceh Tengah

Aceh Barat Daya


Pidie
Aceh Singkil

Aceh Selatan
Bireuen
Kota Banda Aceh
Aceh Utara

Aceh Barat

Aceh Jaya
ACEH 2010 ACEH 2013

Gambar 15.8
Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota,
Riskesdas 2010 dan 2013

Tabel 15.11 menunjukkan bahwa persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak laki-laki
lebih tinggi dibanding anak perempuan. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal
lengkap di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis
pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan
wiraswasta kemudian diikuti oleh jenis pekerjaan pegawai.
Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring
dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis
pekerjaan tidak bekerja (27,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (20,3%).
Tabel 15.11
Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013
Kunjungan neonatal
Karakteristik
Tidak pernah KN KN tidak lengkap KN lengkap
Kelompok umur (bulan)
0–5 17,4 44,2 38,5
6 – 11 19,8 48,9 31,3
12 – 23 21,9 46,2 31,9
24 – 35 24,2 43,6 32,2
36 – 47 23,9 42,3 33,8
48 – 59 27,1 42,7 30,1

Jenis kelamin
Laki-laki 22,5 44,1 33,3
Perempuan 24,0 44,4 31,6

Pendidikan
Tidak pernah sekolah 30,0 39,9 30,1
Tidak Tamat SD/MI 23,9 48,6 27,5
Tamat SD/MI 27,8 43,6 28,6
Tamat SMP/MTS 21,0 46,3 32,6
Tamat SMA/MA 20,8 43,9 35,4
Tamat D1-D3/PT 22,7 39,7 37,5

Pekerjaan
Tidak bekerja 27,2 40,1 32,7
Pegawai 20,3 46,3 33,5
Wiraswasta 20,5 43,5 36,0
Petani/nelayan/buruh 25,1 43,9 31,0
Lainnya 27,7 48,9 23,4

Tempat tinggal
Perkotaan 20,2 53,2 26,6
Perdesaan 24,5 40,7 34,9

Kuintil indeks kepemilikan


Terbawah 34,0 44,9 21,1
Menengah bawah 20,2 46,7 33,1
Menengah 21,2 42,5 36,3
Menengah atas 22,5 42,6 34,9
Teratas 18,7 44,6 36,7
15.5 Perawatan Tali Pusar
Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut
standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi
apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik
lainnya.
Tabel 15.12 menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan
menurut kabupaten/kota. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali
pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 25,7 persen, diberi
betadine/alkohol sebesar 66,9 persen, diberi obat tabur sebesar 1,3 persen dan diberi ramuan
tradisional 6,1 persen. Persentase perawatan tali pusar dengan tidak diberi apa-apa meningkat
dari 15,5 persen (2010) menjadi 25,7 persen (2013). Sebaliknya, perawatan tali pusat dengan
pemberian betadin/alkohol menurun dari 73,1 persen (2010) menjadi 66,9 persen (2013).
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa
tertinggi di Kota Banda Aceh (67,54%) dan terendah di Kabupaten Aceh Tamiang (2,3%).
Tabel 15.12
Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Cara Perawatan Tali Pusar
Kabupaten/Kota Tidak diberi apa- Diberi betadine/ Diberi ramuan/ obat
Diberi obat tabur
apa alkohol tradisional
Simeulue 25,2 70,2 2,4 2,3
Aceh Singkil 6,1 85,0 0,5 8,3
Aceh Selatan 9,3 73,2 3,6 13,8
Aceh Tenggara 4,2 90,7 0,5 4,6
Aceh Timur 9,4 77,6 0,6 12,4
Aceh Tengah 13,2 86,8
Aceh Barat 35,9 47,8 1,6 14,6
Aceh Besar 60,4 37,0 2,6
Pidie 21,0 76,1 2,1 0,8
Bireuen 46,1 43,6 3,8 6,4
Aceh Utara 12,6 76,1 11,4
Aceh Barat Daya 5,0 72,2 22,8
Gayo Lues 27,9 56,1 16,0
Aceh Tamiang 2,3 97,0 0,7
Nagan Raya 48,2 38,2 11,4 2,2
Aceh Jaya 58,7 36,7 2,7 1,9
Bener Meriah 29,6 61,7 1,4 7,3
Pidie Jaya 28,1 65,6 2,5 3,8
Kota Banda Aceh 67,5 30,4 0,9 1,3
Kota Sabang 22,6 77,4
15.6 Pola pemberian ASI
Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan yang meliputi: proses mulai
menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal,
menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan
menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi
ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan dan minuman selain ASI.
Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi,
menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan
kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu,
menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan
merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa menorhoe
lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif
selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anakberumur minimal 2 tahun.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk
menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya.
Gambar 15.9 menunjukkan kecenderungan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada
tahun 2010 dan 2013. Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa menyusu kurang dari satu jam
(inisiasi menyusu dini) meningkat menjadi 61,4 persen (2013) dari 25,8 persen (2010).

70
61,4
60
50,3
50

40

30 25,8 26,4

20
7,9 9,3
10 5 6,6 5,5
1,7
0
< 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam

2010 2013

Gambar 15.9
Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan,
Provinsi Aceh 2010 dan 2013
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota
disajikan pada Tabel 15.13. Persentase propinsi proses mulai menyusu kurang dari satu jam
(IMD) setelah bayi lahir adalah 61,4 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Sabang
(87,5%) dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya (39,4%).

Tabel 15.13
Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Proses Mulai Menyusu


Kabupaten/Kota
< 1 Jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam 24-47 jam ≥ 48 jam
Simeulue 46.1 39.7 1.3 5.3 7.7
Aceh Singkil 53.0 17.7 7.0 22.3
Aceh Selatan 44.3 31.9 4.8 19.0
Aceh Tenggara 49.5 32.9 2.4 15.2 0.0
Aceh Timur 65.5 16.7 2.7 3.6 11.5
Aceh Tengah 67.6 24.2 3.0 5.2
Aceh Barat 61.8 22.1 2.6 3.4 10.0
Aceh Besar 58.8 33.0 5.5 2.8
Pidie 53.2 43.3 0.4 1.6 1.5
Bireuen 73.4 20.7 1.5 4.4
Aceh Utara 61.5 22.9 4.9 10.8
Aceh Barat Daya 80.3 19.7
Gayo Lues 42.4 46.2 2.7 5.1 3.6
Aceh Tamiang 65.6 23.7 3.4 7.3
Nagan Raya 76.4 19.5 2.8 1.3
Aceh Jaya 39.4 31.9 6.4 6.3 16.1
Bener Meriah 47.2 22.1 5.6 10.0 15.1
Pidie Jaya 75.9 20.4 3.7
Kota Banda Aceh 75.4 18.6 1.8 4.2
Kota Sabang 87.5 6.4 0.5 5.6
Kota Langsa 54.0 30.4 9.1 6.5
Kota Lhokseumawe 68.0 19.5 12.5
Kota Subulussalam 40.6 37.1 7.8 5.3 9.2
Aceh 61.4 26.4 1.7 5.0 5.5

Gambar 15.10 menampilkan persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan < 1 jam
(IMD) menurut karakterisitik. Proses mulai menyusui <1 jam menurut kelompok umur tidak
70
60
50
40
30
20
10
0
6 – 11 bln

Tidak tamat SD

Wiraswasta
Pegawai
12 – 23 bln

Menengah Atas
Teratas
Laki-laki

Tamat D1/D2/D3/PT

Tidak bekerja

Perkotaan

Menengah
Tamat SD

Perdesaan

Menengah bawah
0 – 5 bl

Perempuan

Tamat SMP
Tidak pernah sekolah

Tamat SMA

Lainnya

Terbawah
Petani/Nelayan/Buruh
Gambar 15.10
Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan <1 jam (IMD) menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013

15.7 Cakupan kapsul vitamin A

Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan
kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.
Gambar 15.11menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada 6-59
bulan menurut kabupaten/kota pada tahun 2007 dan 2013. Cakupan pemberian vitamin A
menurun dari 74,9 persen (2007) menjadi 73,8 persen (2013). Persentase anak umur 6-59
bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir di Provinsi Aceh sebesar
73,8 persen, tertinggi di Kota Sabang (90,9%) dan terendah di Kabupaten Aceh Barat Daya
(49,4%).
120
100
73,8 74,9
80
60
40
20
0
Kota Subulussalam

Kota Sabang
Kota Langsa

Simeulue
Bener Meriah
Nagan Raya

Aceh Besar
ACEH

Gayo Lues

ACEH
Kota Lhokseumawe

Aceh Tenggara

Pidie Jaya

Aceh Tamiang
Aceh Barat Daya

Aceh Selatan

Pidie
Aceh Timur
Aceh Singkil

Bireuen
Aceh Tengah
Aceh Utara

Kota Banda Aceh

Aceh Jaya
Aceh Barat
2017 2013

Gambar 15.11
Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan,
Provinsi Aceh 2007 dan 2013

15.8 Pemantauan Pertumbuhan


Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut,
penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di
berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan
yang lain.
Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari
frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam
enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali.
Gambar 15.12 menunjukkan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-
59 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013 di Provinsi Aceh. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan ≥ 4 kali menurun pada tahun 2013 (32,0%)
dibanding tahun 2007 (47,3%). Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam
bulan terakhir meningkat dari 17 persen (2007) menjadi 40,2 persen (2013).
50 47,3

40,2
40 35,6
32
30 27,8

20 17

10

0
≥ 4 kali 1 – 3 kali Tidak Pernah

2007 2013

Gambar 15.12
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan
terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013

Gambar 15.13 menyajikan kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita ≥ 4 kali


dalam enam bulan terakhir menurut kabupaten/kota pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan
terakhir sebanyak ≥ 4 kali sebesar 32,0 persen, 1-3 kali sebesar 27,8 persen, dan tidak pernah
ditimbang sebesar 40,2 persen. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan
selama enam bulan terakhir sebanyak ≥ 4 kali tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya (79,9%).
Sedangkan yang tidak pernah ditimbang tertinggi di Kabupaten Nagan Raya (85,7%).

100

80

60 47,3
40
20 32

0
Pidie Jaya

Kota Sabang
Aceh Tamiang
Aceh Barat

Kota Lhokseumawe

Aceh Timur

Pidie

Aceh Jaya
Aceh Tengah

Aceh Utara
Bireuen

Aceh Singkil
Aceh Tenggara

Kota Subulussalam

Aceh Besar
Simeulue

Bener Meriah
ACEH
Aceh Barat Daya
Nagan Raya

Gayo Lues
Aceh Selatan
Kota Langsa

Kota Banda Aceh

2007 2013
15.9 Sunat Perempuan
Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun berupa presentase pernah disunat dan presentase kategori umur
ketika disunat. Selain itu juga disajikan data tentang persentase orang yang menyarankan untuk
melakukan sunat dan persentase yang melakukan sunat anak perempuan, keduanya disajikan
lengkap dalam buku Riskesdas 2013 dalam Angka.
Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut kabupaten/kota
ditampilkan pada Gambar 15.14. Provinsi Aceh persentase pernah disunat pada anak
perempuan umur 0-11 tahun sebesar 67,1 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika
umur 1-4 tahun (66,9%). Menurut kabupaten/kota (Gambar 15.15), persentase tertinggi di
Kabupaten Gayo Lues (90,3%) dan terendah di Kota Subulussalam (30,4%).

Gambar 15.14
Persentase anak perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat dan umur ketika di sunat,
Provinsi Aceh 2013

100 90,3

80 67,1

60

40

20

0
Kota Langsa
Kota Subulussalam

ACEH
Simeulue

Bener Meriah

Aceh Besar
Nagan Raya

Kota Sabang

Gayo Lues
ota Lhokseumawe

Pidie Jaya

Aceh Tenggara
Aceh Barat Daya

Aceh Tengah
Aceh Singkil

Aceh Timur

Pidie

Aceh Tamiang
Bireuen
Aceh Selatan

Aceh Utara

Aceh Jaya

Kota Banda Aceh


Aceh Barat
Gambar 15.17 menampilkan persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun
menurut karakteristik. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga mulai dari tingkat
pendidikan rendah sampai tinggi persentase anak yang pernah disunat relatif tidak berbeda.
Sedang menurut pekerjaan kepala rumah tangga, persentasenya bervariasi. Persentase pernah
disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun di perkotaan sebesar 72,6 persen, lebih tinggi
daripada di perdesaan (65,1%). Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, persentasenya
bervariasi yang pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun.

100
74,8 72,6 75,1
80 67,7
65,6 63,8 60,4
60

40

20

0
Tamat SMP
Tamat SMA

Lainnya
Tidak pernah sekolah

Pegawai
Tidak tamat SD
Tamat SD

Perkotaan

Menengah
Menengah Atas
Wiraswasta

Teratas
Tamat D1/D2/D3/PT

Tidak bekerja

Petani/Nelayan/Buruh

Perdesaan

Terbawah
Menengah bawah
Gambar 15.16
Persentase ana perempuan umur 0-11 tahun yang pernah disunat menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ICF International 2013. Survei Demografi
dan Keshatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi. Jakarta. 2005

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1626/MENKES/SK/XII/2005 tentang pedoman pemantauan dan penanggulangan
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Jakarta. 2005

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu
ekslusif. Jakarta. 2012

United Nations Children‘s Fund World Health Organization, Low Birthweight: Country, regional
and global estimates. UNICEF, New York, 2004

World Health Organization. Indicators for assessing infant and young child feeding practices part
2: measurement. Geneva. 2010
BAB 16. STATUS GIZI

Djoko Kartono, Endi Ridwan, Marice Sihombing dan Aprildah Sapardin

Pada Riskesdas 2013, status gizi penduduk disajikan dalam 5 (lima) bagian yang terdiri dari 1)
Status Gizi Balita, 2) Status Gizi anak umur 5 – 18 tahun, 3) Status gizi penduduk dewasa, 4)
Risiko Kurang Energi Kronis dan 5) Wanita Hamil Risti Jumlah responden yang dianalisis terdiri
dari 5.485 anak balita (indikator BB/U, BB/TB dan TB/U), 11.960 anak umur anak umur 5 – 12
tahun, 4.856 anak umur 13 – 15 tahun, 4.225 anak umur 16 – 18 tahun, 58.225 orang dewasa
untuk data obesitas sentral, dan 21.796 Wanita Usia Subur (WUS), dan 593 ibu hamil.
16.1. Status gizi anal balita
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan
anak ditimbang dengan menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang
dan tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel
BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan
BB/TB.
1. Cara Penilaian Status Gizi Balita
Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita
dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku
antropometri balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score dari masing-masing
indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :

a. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator BB/U :

Gizi Buruk : Zscore < -3,0


Gizi Kurang : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0
Gizi Baik : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0
Gizi Lebih : Zscore > 2,0

b. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator TB/U:

Sangat Pendek : Zscore < -3,0


Pendek : : Zscore >=- 3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore >= -2,0

c. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator BB/TB:

Sangat Kurus : Zscore < -3,0


Kurus : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <= 2,0
Gemuk : Zscore > 2,0

d. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB:


Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator BB/U:

Prevalensi gizi buruk : (S Balita gizi buruk/S Balita) x 100%


Prevalensi gizi kurang : (S Balita gizi kurang/S Balita) x 100%
Prevalensi gizi baik : (S Balita gizi baik/S Balita) x 100%
Prevalensi gizi lebih : (S Balita gizi lebih/S Balita) x 100%

Berdasarkan indikator TB/U


Prevalensi sangat pendek : (S Balita sangat pendek/S Balita) x 100%
Prevalensi pendek : (S Balita pendek/S Balita) x 100%
Prevalensi normal : (S Balita normal/S Balita) x 100%

Berdasarkan indikator BB/TB:

Prevalensi sangat kurus : (S Balita sangat kurus/S Balita) x 100%


Prevalensi kurus : (S Balita kurus/S Balita) x 100%
Prevalensi normal : (S Balita normal/S Balita) x 100%
Prevalensi gemuk : (S Balita gemuk/S Balita) x 100%

Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Prevalensi pendek-kurus : (S Balita pendek- kurus/ S Balita)x100%


Prevalensi pendek-normal : (S Balita pendek-normal/S Balita)x100%
Prevalensi pendek-gemuk : (S Balita pendek-gemuk/S Balita)x100%
Prevalensi TB normal-kurus : (S Balita normal-kurus/S Balita)x100%
Prevalensi TB normal-normal : (S Balita normal-normal/S Balita)x100%
Prevalensi TB normal-gemuk : (S Balita normal-gemuk/S Balita)x100%

Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu:

Berat Kurang : Istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)
Pendek : Istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (Stunting)
Kurus : Istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (Wasting)

2. Sifat-sifat indikator gizi

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum.
Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut
karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Dengan kata lain, berat
badan yang rendah dapat disebabkan karena pendek (kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (akut).

Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku
kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat jdigunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah
kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif
pada saat dewasa (Teori Barker).

Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis.
Sebagai contoh adalah anak kurus dan pendek.

3. Status gizi balita menurut Indikator BB/U

Gambar 16.1 menyajikan prevalensi berat kurang (underweight) menurut kabupaten/kota dan
provinsi. Dapat dilihat bahwa secara propinsi, prevalensi berat kurang pada tahun 2013 adalah
26,3 persen, terdiri dari 7,9 persen gizi buruk dan 18,4 persen gizi kurang. Jika dibandingkan
dengan angka prevalensi Provinsi Aceh tahun 2007 (26,5%) relatif tidak berbeda namun, bila
dibandingkan dengan tahun 2010 (23.7%) terlihat ada peningkatan prevalensi berat kurang.
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 10,7 persen pada tahun 2007, 7,1
persen pada tahun 2010, dan 8,3 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang ada
peningkatan dimana pada tahun 2007sebesar 15,8 persen menjadi 18,4 persen pada tahun
2013
Diantara 23 kabupaten/kota di Aceh, 11 kabupaten/kota memiliki prevalensi gizi berat kurang di
atas angka prevalensi provinsi yaitu berkisar antara 27,7 persen sampai dengan 35,5 persen.
Urutan ke 11 Kabupaten/Kota tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Aceh
Timur (2) Simeulue, (3) Pidie, (4) Aceh Utara, (5) Aceh Barat, (6) Subulussalam, (7) Pidie Jaya,
(8) Aceh Barat Daya, (9) Aceh Selatan, (10) Bireun dan (11) Nagan Raya. Menurut WHO 20103
masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/U berat kurang pada
prevalensi antara 20 persen - 29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila prevalensi
berat kurang lebih besar atau sama dengan 30 persen.
30 26,5 26,3
23,7
25

20

15

10

0
2007 2010 2013

Gambar 16.1
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut Provinsi Aceh tahun 2007, 2010 dan
2013

4. Status gizi balita berdasarkan indikator TB/U

Gambar 16.2 menyajikan prevalensi pendek (stunting) menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh
2013 sebesar 41,5 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (39,0%).
Namun bila dibanding dengan tahun 2007 (44,6%) relatif ada penurunan. Prevalensi pendek
sebesar 41,5 persen terdiri dari 20,1 persen sangat pendek dan 21,4 persen pendek. Pada
tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 26,9 persen tahun 2007
dan 24,2 persen tahun 2010. Prevalensi pendek menurun dari 23,5 persen pada tahun 2007
menjadi 21,4 persen tahun 2013.
Terdapat 10 kabupaten/kota yang mempunyai angka prevalensi diatas angka Provinsi Aceh
dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Aceh Tengah, (2) Pidie, (3) Aceh
Barat Daya, (4) Simeulue, (5) Aceh Timur, (6) Subulussalam, (7) Bener Meriah, (8) Aceh
Tamiang, (9) Aceh Utara dan, (10) Aceh Selatan.
Menurut WHO 20101, masalah kesehatan masyarakat dianggap prevalensi tinggi bila prevalensi
kependekan sebesar 30 – 39 persen dan prevalensi sangat tinggi bila diatas atau sama dengan
40 persen. Sebanyak 8 kabupaten/kota termasuk kategori prevalensi tinggi, yaitu (1) Pidie Jaya
(2) Bireun, (3) Aceh Timur, (4) Kota Sabang, (5) Aceh Besar, (6) Aceh Jaya, (7) Nagan Raya
dan (8) Banda Aceh
60
44,6
41,5
50 39

40

30

20

10

0
2007 2010 2013

Gambar 16.2
Kecenderungan prevalensi status gizi TB/U <- 2SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan 2013

5. Status gizi balita berdasarkan indikator BB/TB

Gambar 16.3 menyajikan prevalensi kekurusan menurut kabupaten/kota. Salah satu indikator
untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan
sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD. Prevalensi sangat kurus tingkat Provinsi
Aceh tahun 2013 sebesar 6,1 persen relatif tidak berbeda dengan tahun 2010 (6,3%) dan
menurun bila dibandigkan tahun 2007 (9,2%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus di
Provinsi Aceh pada tahun 2013 sebesar 9,6 persen, meningkat dari 7,9 persen tahun 2010, dan
relatif sama dengan tahun 2007 yaitu 9,1 persen.

Prevalensi sangat kurus diatas prevalensi provinsi terdapat di 12 kabupaten/kota, dengan 3


urutan dari prevalensi tertinggi adalah: (1) Aceh Barat (2) Nagan Raya dan (3) Aceh Utara.
Pada tahun 2013 prevalensi kegemukan di tingkat provinsi adalah 9,8 persen. Terdapat 9
kabupaten/kota yang memiliki masalah kegemukan di atas angka provinsi dengan urutan
prevalensi tertinggi sampai terendah yaitu: (1) Kota Banda Aceh, (2) Aceh Tamiang, (3) Kota
Sabang, (4) Nagan Raya, (5) Pidie, (6) Aceh Selatan, (7) Pidie Jaya, (8) Aceh Tengah, dan (9)
Simeulue
Menurut WHO 20101 masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi
BB/TB Kurus antara 10,0 persen - 14,0 persen, dan dianggap kritis bila diatas atau sama
dengan 15,0 persen. Pada tahun 2013, secara propinsi prevalensi BB/TB kurus pada balita
masih 15,7 persen. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di provinsi masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 23 kabupaten/kota terdapat 12
kabupaten/kota yang masuk kategori kritis yaitu, (1) kabupaten Aceh Barat (2) Nagan Raya (3)
30

18,3

20 14,2 15,7

10

0
2007 2010 2013

Gambar 16.3
Kecenderungan prevalensi status gizi BB/TB <- 2 SD Provinsi Aceh tahun 2007, 2010, dan
2013

6. Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun 2007 – 2013


Gambar 16.4 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita balita menurut ketiga
indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari
tahun 2007 sampai tahun 2013.

30 26,9
24,2
21,4
20,1
20 16,6 18,4 17,7
16,2
15,8 14,8 15,2
10,7 9,8
9,2 9,1 9,6
10 7,1 7,9 7,9
6,3 6,1

0
gizi buruk gizi kurang sangat pendek sangat kurus kurus gemuk
pendek
BB/U TB/U BB/TB BB/TB

2007 2010 2013


7. Status gizi balita berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB

Tabel 16.1 di bawah ini menyajikan gabungan prevalensi balita menurut ke tiga indikator status
gizi yang digunakan yaitu BB/U (Gizi Buruk dan Kurang), TB/U (kependekan), BB/TB
(kekurusan). Indikator TB/U memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya kronis dan BB/TB
memberikan gambaran masalah gizi yang sifatnya akut.
Dua belas kabupaten/kota masih menghadapi permasalahan gizi kronis dan 4 kabupaten/kota
menghadapi permasalahan gizi akut dan kronis.

Tabel 16.1
Prevalensi balita menurut tiga indikator status gizi dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
BB/U* TB/U BB/TB
Kabupaten/Kota (Buruk+Kurang) ( Sangat pendek+ (Sangat kurus+ Akut* Kronis**
Pendek) Kurus)
Simeulue 33,6 49,9 11,6 “ “”
Aceh Singkil 26 40,4 8,1 “”
Aceh Selatan 28,6 41,7 6,6 “”
Aceh Tenggara 18,4 29,3 3,5
Aceh Timur 35,5 39,3 2,4 “”
Aceh Tengah 16,5 59,3 3,6 “”
Aceh Barat 33 40,9 15,1 “ “”
Aceh Besar 22,1 36,5 5,3
Pidie 33,4 57,5 10,3 “ “”
Bireuen 28,4 39,4 7,0 “”
Aceh Utara 33,3 43,5 8,0 “”
Aceh Barat Daya 29,8 50,2 2,0 “”
Gayo Lues 25 49,7 2,9 “”
Aceh Tamiang 23 45 1,4 “”
Nagan Raya 27,7 33,3 19,7 “
Aceh Jaya 22,6 34,7 1,9
Bener Meriah 15,9 46,9 0,3 “”
Pidie Jaya 30,6 39,9 12,9 “ “”
Kota Banda Aceh 8,1 30,7 2,4
Kota Sabang 14,5 38,3 3,6 “”
Kota Langsa 18,1 29,3 5,6
Kota Lhokseumawe 20,7 27,5 4,9
Kota Subulussalam 31,7 48,5 6,0 “”
Aceh 26,3 41,5 6,1 “”
Memperhatikan jumlah sampel balita yang bisa dianalisis sampai tingkat kabupaten/kota, uraian
berikut ini mengkaji urutan (rangking) dari yang terbaik sampai yang terburuk terhadap seluruh
kabupaten/kota.

 Berdasarkan BB/U: underweight (gabungan gizi buruk + gizi kurang berdasarkan BB/U),
 Berdasarkan TB/U: stunting (gabungan antara sangat pendek dan pendek)
 Berdasarkan BB/TB: wasting (gabungan antara sangat kurus dan kurus)

Sebagai gambaran, setelah dilakukan rangking antar kabupaten/kota, kemudian diambil 3


kabupaten/kota yang terbaik dan terburuk sebagai berikut:
Berdasarkan BB/U, daftar 3 kabupaten/kota dengan underweight paling banyak dan paling
sedikit adalah:

Terbaik Terburuk
1. Kota Banda Aceh 8,1% 1. Aceh Timur 35,57%.
2. Kota Sabang 14,5% 2. Simeulue 33,6%
3. Bener Meriah 15,9% 3. Pidie 33,4%
Berdasarkan TB/U (gabungan sangat pendek + pendek), gambarannya adalah sebagai berikut

Terbaik Terburuk
1. Kota Lhokseumawe 27,5% 1. Blora 59,3%
2. Kota Langsa 29,3% 2. Aceh Tengah 57,5%
3. Aceh Tenggara 29,3% 3. Aceh Baratdaya 50,2 %
Berdasarkan BB/TB (gabungan sangat kurus dan kurus) gambaran terbaik dan terburuk adalah
sebagai berikut:

Terbaik Terburuk
1. Kota Sabang 4,8% 1. Aceh Barat 29,7%
2. Aceh Tengah 5,6% 2. Nagan Raya 29,0%
3. Bener Meriah 6,8% 3. Aceh Utara 24,6%

16.2 Status Gizi Anak Usia 5 – 18 tahun


Status Gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun,
13-15 tahun dan 16-18 tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini
didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang
disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut
umur (IMT/U).

Berdasarkan baku antropometri anak 5-19 tahun WHO 2007 dihitung nilai Z_scoreTB/U dan
IMT/U masing-masing anak. Selanjutnya berdasarkan nilai Z_score ini status gizi anak
dikategorikan sebagai berikut:

Berdasarkan indikator TB/U:


Berdasarkan indikator IMT/U:

Sangat kurus : Z_score < -3,0


Kurus : Z_score > = -3,0 s/d < -2,0
Normal : Z_score > =-2,0 s/d <= 1,0
Gemuk : Z_score > 1,0 s/d <= 2,0
Obesitas : Z_score > 2,0

1. Status Gizi Anak Usia 5 -12 Tahun

Gambar 16.5 menunjukkan bahwa secara provinsi prevalensi pendek pada anak umur 5-12
tahun adalah 34.3 persen 12,9% sangat pendek dan 21,4% pendek). Prevalensi sangat pendek
terendah di Lhoksemawe ( 6,7%) dan tertinggi di Sabang (26,1%).

60

50

40
21,4
30

20

10 12,9

Kota Subulussalam
Bener Meriah

Kota Langsa
Simeulue

Aceh Besar

Kota Sabang
Aceh Tenggara

Gayo Lues

Nagan Raya

Pidie Jaya

ACEH
Kota Lhokseumawe
Aceh Singkil

Aceh Timur
Aceh Tengah

Pidie

Aceh Tamiang
Aceh Barat Daya
Bireuen
Aceh Selatan

Aceh Utara

Kota Banda Aceh


Aceh Barat

Aceh Jaya

Sangat pendek Pendek

Gambar 16.5
Prevalensi pendek anak umur 5–12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Sebanyak 9 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat pendek di atas prevalensi provinsi yaitu
dari Sabang, Pidie, Nagan Raya, Simeuleu, Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh
Besar dan Pidie Jaya.
Gambar 16.6 memperlihatkan bahwa secara provinsi prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada
anak umur 5-12 tahun adalah 12,5 persen, terdiri dari 3,9 persen sangat kurus dan 8,6 persen
kurus. Prevalensi sangat kurus paling rendah di Kota Banda Aceh (1,1%) dan paling tinggi di
25
20
15 8,6
10
5 3,9
0

Kota Subulussalam
Bener Meriah
Simeulue

Aceh Besar
Aceh Tenggara

Gayo Lues

Nagan Raya

Kota Sabang
Pidie Jaya

Kota Lhokseumawe
Aceh Singkil

Aceh Timur
Aceh Tengah

Aceh Barat Daya


Pidie
Bireuen

Aceh Tamiang
Aceh Selatan

Aceh Utara

Aceh Jaya

Kota Banda Aceh


Aceh Barat

Kota Langsa

ACEH
Sangat kurus Kurus

Gambar 16.6
Prevalensi kurus IMT/U anak umur 5 – 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Secara provinsi masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 14,8 yang terdiri
dari gemuk 8,9 persen dan sangat gemuk (obesitas) 5,9 persen. Prevalensi gemuk terendah di
Aceh Timur (3%) dan tertinggi di Kota Sabang (40,1%). Sebanyak 13 kabupaten/kota dengan
prevalensi sangat gemuk di atas angka provinsi, yaitu Bireuen, Aceh Besar, Aceh Barat Daya,
Aceh Tengah, Aceh Selatan, Kota Langsa, Aceh Barat, Pidie, Aceh Tenggara, Nagan Raya,
Aceh Tamiang, Banda Aceh, dan Sabang.

50
40
30
20 5,9
10
8,9
0
Aceh Tamiang
Aceh Timur

Pidie Jaya

Kota Sabang
Aceh Singkil

Pidie

Aceh Jaya
Aceh Barat

Aceh Utara

Kota Lhokseumawe
Aceh Tengah
Aceh Tenggara

Aceh Besar

Kota Subulussalam
Simeulue

Bireuen

Bener Meriah
Gayo Lues

Nagan Raya
Aceh Selatan

Kota Banda Aceh


Aceh Barat Daya

ACEH
Kota Langsa

Gemuk Sangat gemuk

Gambar 16.7
2. Status gizi remaja umur 13–15 tahun
Sama halnya dengan anak umur 5-12 tahun, untuk kelompok umur 13-15 tahun penilaian status
gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar 16.8 menyajikan prevalensi pendek pada remaja
umur 13-15 tahun. Secara provinsi, prevalensi pendek pada remaja adalah 40,4 persen (17,5%
sangat pendek dan 22,9% pendek. Prevalensi sangat pendek terendah di Banda Aceh (5,0 %)
dan tertinggi di Simeuleu (38,1%). Sebanyak 10 kabupaten/kota dengan prevalensi sangat
pendek diatas prevalensi provinsi yaitu Simeuleu, Sabang, Pidie, Aceh Utara, Nagan Raya,
Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Barat.

60
50 22,9
40
30
20
17,5
10
0

Kota Subulussalam
Bener Meriah
Simeulue

Aceh Besar

Nagan Raya
Aceh Tenggara

Gayo Lues

Pidie Jaya

Kota Sabang

Kota Lhokseumawe
Aceh Tengah

Aceh Barat Daya


Aceh Singkil

Aceh Timur

Aceh Tamiang
Pidie
Bireuen
Aceh Selatan

Aceh Utara
Aceh Barat

Aceh Jaya

Kota Banda Aceh

Kota Langsa

ACEH
Sangat pendek Pendek

Gambar 16.8
Prevalensi pendek remaja umur 13–15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 16.9 menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur 13-15 tahun sebesar 12,9
persen terdiri dari 3,5 persen sangat kurus dan 9,4 persen kurus. Prevalensi sangat kurus
terlihat paling rendah di Aceh Tengah (2,0%) dan paling tinggi di Aceh Utara (25,6%). Sebanyak
8 kabupaten/kota yang angka prevalensi sangat kurus (IMT/U) di atas prevalensi provinsi yaitu
Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Timur, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya dan
Lhokseumawe.
Prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Provinsi Aceh sebesar 9,8 persen, terdiri
dari 8,2 persen gemuk dan 1,6 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak 13 kabupaten/kota
dengan prevalensi gemuk di atas angka provinsi, yaitu Aceh Selatan, Aceh Tengah, Bener
Meriah, Aceh Singkil, Bireuen, Aceh Jaya, Gayo Lues, Simeulue, Nagan Raya, Lhokseumawe,
Subulussalam, Sabang, dan Langsa.
10
15
20
25

5
0
10
15
20
25
30

0
5
Simeulue
Simeulue
Aceh Singkil
Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Selatan
Aceh Tenggara
Aceh Tenggara
Aceh Timur
Aceh Timur
Aceh Tengah
Aceh Tengah
Aceh Barat
Aceh Barat
Aceh Besar
Aceh Besar
Pidie Pidie
Bireuen Bireuen

Gemuk
Aceh Utara Aceh Utara
Aceh Barat Daya Aceh Barat Daya
Sangat kurus

Gayo Lues Gayo Lues


Aceh Tamiang
Gambar 16.9

Aceh Tamiang

Gambar 16.10
Nagan Raya Nagan Raya
Provinsi Aceh 2013
Kurus

sangat gemuk
Aceh Jaya Aceh Jaya
Bener Meriah Bener Meriah

kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013


Pidie Jaya Pidie Jaya
Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh
Kota Sabang Kota Sabang
Kota Langsa Kota Langsa
Kota Lhokseumawe Kota Lhokseumawe

Kota Subulussalam Kota Subulussalam


ACEH
9,4

ACEH
1,6
3,5

Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 13 – 15 tahun menurut kabupaten/kota,

8,2

Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur 13 – 15 tahun menurut
3. Status gizi remaja umur 16 -18 tahun
Gambar 16.11 menyajikan status gizi remaja umur 16–18 tahun. Secara provinsi prevalensi
pendek adalah 35,7 persen (8,6% sangat pendek dan 27,1% pendek). Sebanyak 12
kabupaten/kota dengan prevalensi pendek diatas prevalensi provinsi, yaitu Sabang, Aceh
Tenggara, Aceh Barat Daya, Pidie Jaya, Bener Meriah, Aceh Jaya, Simeulue, Nagan Raya,
Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Aceh Barat.

50

40
27,1
30

20

10
8,6
0

Kota Subulussalam

Aceh Besar

Simeulue
Bener Meriah

ACEH
Gayo Lues

Kota Sabang

Pidie Jaya
Nagan Raya
Kota Lhokseumawe

Aceh Timur

Aceh Tenggara

Aceh Tamiang
Pidie

Bireuen

Aceh Tengah

Aceh Barat Daya


Aceh Selatan

Aceh Singkil
Kota Banda Aceh

Aceh Utara
Aceh Jaya

Aceh Barat
Kota Langsa

Sangat pendek Pendek

Gambar 16.11
Prevalensi pendek TB/U remaja umur 16–18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 16.12 menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur 16-18 tahun secara provinsi
sebesar 8,5 persen (2,0% sangat kurus dan 6,5% kurus). Sebanyak 7 kabupaten/kota dengan
prevalensi kekurusan diatas provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Barat
Daya, Aceh jaya, Kota Sabang dan Kota Lhokseumawe.
25

20

15
11,1
10

0 2

Simeulue

Kota Subulussalam
Bener Meriah
Aceh Besar

Gayo Lues

Kota Sabang
ACEH
Aceh Tenggara

Nagan Raya
Kota Lhokseumawe

Pidie Jaya
Aceh Tamiang
Pidie

Aceh Barat Daya


Bireuen

Aceh Tengah
Aceh Timur

Aceh Singkil
Aceh Selatan
Aceh Utara

Kota Banda Aceh

Aceh Jaya
Aceh Barat
Kota Langsa
Sangat kurus Kurus

Gambar 16.12
Prevalensi kurus IMT/U remaja umur 16 – 18 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Prevalensi gemuk pada remaja (IMT/U) umur 16–18 tahun sebanyak 6,9 persen terdiri dari 5,8
persen gemuk dan 1,1 persen obesitas. Kabupaten dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah
Kabupaten Aceh Tengah 12,5 persen dan terendah Aceh Tamiang (3,8%). Dua belas
kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk diatas prevalensi provinsi yaitu, Aceh Singkil, Aceh
Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya,
Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe dan Subulussalam (Gambar 16.13).

14
12
10
8 5,8
6
4
2
1,1
0
Kota Subulussalam

Simeulue

Aceh Besar
Nagan Raya

Bener Meriah
Pidie Jaya

Gayo Lues
Kota Sabang
Kota Lhokseumawe

Aceh Tenggara
Pidie
Aceh Tamiang

Aceh Timur

Aceh Tengah
Aceh Singkil
Aceh Barat Daya

Bireuen
Aceh Utara
Kota Banda Aceh

Aceh Selatan
Aceh Barat

Aceh Jaya
Kota Langsa
ACEH
4. Kecenderungan status gizi IMT/U remaja umur 16-18 tahun tahun 2010 dan 2013

Pada gambar 16.14 menyajikan kecenderungan prevalensi remaja kurus relatif sama tahun
2010 dan 2013, dan prevalensi sangat kurus naik dari 5,8 persen (tahun 2010) menjadi 6,5
persen (tahun 2013. Begitu juga prevalensi gemuk meningkat tajam dari 1,0 persen (2010)
menjadi 5,8 persen (2013).

7 6,5
5,8 5,8
6

4
2,8
3
2
2
1
1

0
Sangat kurus Kurus Gemuk

2010 2013

Gambar 16.14
Kecenderungan status gizi IMT/U umur 16-18 tahun, Provinsi Aceh 2010 dan 2013

16.3. Status gizi dewasa


Status gizi dewasa penduduk berumur > 18 tahun terdiri dari 1). Satus gizi menurut Indeks
Massa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposisi TB dan IMT/U; 2). Status gizi menurut lingkar
perut (LP); 3). Risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur, wanita hamil dan tidak
hamil; 4). Wanita hamil risiko tinggi (TB < 150 cm).

1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks massa tubuh (IMT)
Status gizi menurut IMT dinilai dari rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT = Berat Badan(kg) ÷ Tinggi Badan (m)²
Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai
berikut:
Kategori kurus IMT < 18,5
Kategori normal IMT >=18,5 - <24,9
Kategori BB lebih IMT >=25,0 - <27,0
Kategori obese IMT >=27,0
Sembilan kabupaten/kota dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas prevalensi provinsi,
yaitu Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Sabang,
Lhokseumawe, dan Subulussalam. Prevalensi penduduk obesitas terendah di Kabupaten Pidie
(0,0%) dan tertinggi di Pidie Jaya (4,1%). Sepuluh kabupaten/kota dengan prevalensi diatas
provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie
Jaya, Kota Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam.

25

20

15 1,1

10 5,8
5
6,5
0

Kota Subulussalam
Simeulue

Bener Meriah

Aceh Besar
Gayo Lues

Kota Sabang
Pidie Jaya

Nagan Raya
Aceh Tengah
Aceh Tamiang

Aceh Tenggara

Kota Lhokseumawe
Aceh Timur

Pidie

Aceh Barat Daya


Aceh Singkil

Bireuen

Aceh Selatan
Kota Banda Aceh

Aceh Utara

Aceh Jaya

Aceh Barat
Kota Langsa
Kurus Gemuk ACEH
Obesitas

Gambar 16.15
Prevalensi status gizi kurus, gemuk, dan obesitas penduduk dewas (>18 tahun) menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Tabel 16.2 menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa menurut status IMT di masing-masing
kabupaten. Secara provinsi dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun
adalah: 11,1 persen kurus, dan 27,9 persen kegemukan yang terdiri dari BB lebih 11,6 persen
dan 16,6 persen obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan
untuk kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk kegemukan adalah di Kota Sabang (39,1
%), dan terendah di Kabupaten Nagan Raya (15,8 %).
Tabel 16.2
Persentase status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013
Status gizi menurut IMT
Kabupaten/Kota Kurus Normal BB Lebih Obese
(%) (%) (%) (%)
Simeulue 9,4 72,0 10,3 8,2
Aceh Singkil 10,0 57,4 14,6 18,0
Aceh Selatan 15,3 61,4 9,8 13,5
Aceh Tenggara 4,6 64,5 13,4 17,5
Aceh Timur 13,4 58,4 11,2 17,1
Aceh Tengah 5,9 60,5 12,8 20,7
Aceh Barat 12,6 63,0 10,6 13,7
Aceh Besar 11,5 59,3 12,1 17,1
Pidie 12,0 58,6 12,6 16,9
Bireuen 13,2 57,1 11,7 18,0
Aceh Utara 12,8 64,5 9,9 12,7
Aceh Barat Daya 12,9 60,1 10,1 16,9
Gayo Lues 11,6 62,3 11,8 14,3
Aceh Tamiang 10,6 64,8 10,9 13,7
Nagan Raya 8,4 75,8 7,8 8,0
Aceh Jaya 14,1 59,4 10,5 15,9
Bener Meriah 9,8 58,8 12,8 18,7
Pidie Jaya 9,9 63,4 12,8 14,0
Kota Banda Aceh 6,4 60,5 13,8 19,2
Kota Sabang 4,4 56,5 13,1 26,0
Kota Langsa 10,1 57,3 12,6 20,1
Kota Lhokseumawe 11,3 53,3 12,9 22,5
Kota Subulussalam 8,3 61,8 9,8 20,1
Aceh 11,1 61,1 11,6 16,3

Tabel 16.3 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa kurus menurun seiring dengan
bertambahnya umur , namun kembali meningkat ketika berumur > 55 tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi penduduk laki-laki dewasa kurus lebih tinggi (12,1%) daripada perempuan
(10,1%). Prevalensi obesitas pada laki-laki lebih rendah (9,5 %) dibanding perempuan (23,0%).
Cenderung lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi obesitas cenderung lebih
tinggi pada kelompok penduduk dewasa yang berpendidikan lebih tinggi, dan berpenghasilan
tetap (pegawai). Semakin tinggi kuintil Indeks Kepemilikan rumah tangga prevalensi obesitas
Tabel 16.3
Prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kategori IMT dan karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Status gizi menurut IMT
Karakteristik Kurus Normal BB Lebih Obese
(%) (%) (%) (%)
Kelompok umur
19 19,6 72,0 5,9 2,5
20 – 24 17,3 70,9 4,8 7,0
25 – 29 9,7 66,6 10,3 13,4
30 – 34 7,3 62,0 13,4 17,3
35 – 39 5,6 57,8 14,2 22,5
40 – 44 6,3 54,5 15,5 23,7
45 – 49 8,6 54,6 14,9 22,0
50 – 54 8,2 53,8 15,3 22,7
55 – 59 13,1 57,9 10,8 18,2
60 – 64 15,2 57,5 13,9 13,4
65 + 25,9 56,1 8,5 9,5
Jenis kelamin
Laki-laki 12,1 68,3 10,1 9,5
Perempuan 10,1 54,0 13,0 23,0
Pendidikan
Tidak sekolah 22,5 58,8 8,4 10,3
Tidak tamat SD/MI 15,6 60,6 9,6 14,1
Tamat SD/MI 10,9 62,3 12,0 14,8
Tamat SMP/MTs 9,4 60,5 11,5 18,5
Tamat SMA/MA 10,8 62,5 11,1 15,6
Tamat Diploma/PT 5,7 55,4 15,8 23,1
Status pekerjaan
Tidak bekerja 12,7 57,6 11,0 18,7
Pegawai 4,5 56,1 17,8 21,5
Wiraswasta 7,5 61,6 12,9 17,9
Petani/nelayan/buruh 12,6 66,3 10,0 11,0
Lainnya 9,8 61,3 11,2 17,8
Tempat tinggal
Perkotaan 9,0 57,0 13,5 20,5
Perdesaan 11,9 62,8 10,8 14,5
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 16,4 66,0 8,4 9,2
Menengah bawah 12,1 65,3 9,3 13,2
Gambar 16.16 menggambarkan prevalensi obesitas pada penduduk dewasa usia > 18 tahun di
kabupaten/kota, Provinsi Aceh tahun 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas
sebesar 9,5 persen dan perempuan 23,0 persen. Prevalensi penduduk dewasa laki-laki yang
obes terendah ada di Kabupaten Aceh Selatan (3,4%) dan tertinggi di Banda Aceh (16,0%).
Prevalensi penduduk dewas perempuan yang obes terendah ada di Simeulue (10,0%) dan
teringgi di Sabang (37%).

50

40
37,1
30
23
20
16
10 10 9,5
3,4
0
Simeulue

Aceh Besar

Kota Subulussalam
Bener Meriah
Gayo Lues

Nagan Raya

Kota Sabang
Pidie Jaya

ACEH
Aceh Tenggara

Aceh Tengah

Aceh Tamiang

Kota Lhokseumawe
Aceh Timur

Pidie

Aceh Barat Daya


Aceh Singkil

Bireuen
Aceh Selatan

Kota Banda Aceh


Aceh Barat

Aceh Utara

Aceh Jaya

Kota Langsa
Laki-laki Perempuan

Gambar 16.16
Kecenderungan prevalensi obesitas (IMT >25) pada laki-laki dan perempuan umur >18 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

2. Status gizi dewasa berdasarkan Indikator lingkar perut (LP)


Gambar 16.16 menyajikan informasi prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥ 15 tahun
menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh. Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang
berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP datas 90
cm atau perempuan dengan LP di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitassentral (WHO Asia-
Pasifik, 2005).
Berdasarkan provinsi, prevalensi obesitas sentral untuk tingkat provinsi adalah 22,7 persen lebih
tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (11,9%). Prevalensi obesitas sentral terendah di
Simeulue (15,1%) dan teringgi di Subulussalam (31,0%). Sebanyak 13 kabupaten/kota memiliki
prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi provinsi, yaitu Aceh Singkil, Aceh Tenggara,
Aceh Tengah, Aceh Besar, Aceh Utara, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Banda Aceh,
Sabang, Langsa, Lhokseumawe dan Subulussalam.
40

30
22,7
20
11,9
10

0
Simeulue

Kota Subulussalam
Bener Meriah
Gayo Lues
ACEH

Kota Sabang
Nagan Raya

Aceh Besar
Pidie Jaya
Aceh Tamiang

Aceh Tenggara
Kota Lhokseumawe
Aceh Barat Daya

Pidie
Bireuen

Aceh Timur

Aceh Tengah
Aceh Selatan

Aceh Singkil
Aceh Jaya

Aceh Utara

Kota Banda Aceh


Aceh Barat

Kota Langsa
2013 2007

Gambar 16.17
Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2007 dan 2013

3. Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) 15 – 49
tahun

Gambar 16.17 dan Gambar 16.18 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK)
pada wanita usia subur (WUS) dan wanita hamil yang berumur 15-49 tahun, berdasarkan
indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam
kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas
nilai rerata LILA <23,5 cm.
Tabel 16.3 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional
sebanyak 20,3 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Aceh Tamiang (5,1%) dan tertinggi di
Aceh Selatan (66,0%). Sebanyak 14 kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK diatas angka
provinsi, yaitu Sabang, Lhokseumawe, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Singkil, Gayo
Lues, Banda Aceh, Simeulue, Aceh Jaya, Aceh Barat, Langsa, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Selatan.
70
60
50
40
30
20,3
20
10
0 Aceh Tamiang

Kota Sabang

Aceh Timur
Kota Lhokseumawe

Aceh Utara
Aceh Singkil

Aceh Jaya
Aceh Tengah

Aceh Barat
Aceh Tenggara
ACEH
Bener Meriah

Bireuen

Gayo Lues

Simeulue
Kota Banda Aceh

Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Kota Langsa
Gambar 16.18
Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Gambar 16.19 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Secara
provinsi prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil sebanyak 23,6 persen. Prevalensi terendah
WUS tidak hamil ada di Nagan Raya (7,4%) dan prevalensi tertinggi di Bireuen (33,3%). Sebelas
kabupaten/kota dengan prevalensi risiko KEK WUS tidak hamil diatas provinsi, yaitu Simeulue,
Lhokseumawe, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Tengah, Langsa, Aceh Singkil, Aceh Selatan,
Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Bireuen.

40
35
30
23,6
25
20
15
10
5
0
Kota Subulussalam
Kota Sabang

Bener Meriah
Aceh Besar

Gayo Lues

ACEH
Simeulue
Nagan Raya

Aceh Tenggara

Aceh Tamiang

Kota Lhokseumawe
Pidie Jaya
Pidie
Aceh Timur

Aceh Tengah

Aceh Barat Daya


Aceh Singkil

Bireuen
Aceh Selatan
Kota Banda Aceh

Aceh Utara

Aceh Jaya
Aceh Barat

Kota Langsa
4. Wanita hamil berisiko tinggi
Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan <150 cm. Gambar 16.18 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar
32,7 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Banda Aceh (4,8%) dan tertinggi
di Aceh Selatan (87,3%). Dua belas kabupaten/kota dengan prevalensi diatas angka provinsi,
yaitu Aceh Barat, Bireuen, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie,
Aceh Singkil, Simeulue, Gayo Lues, dan Aceh Selatan.

100

80

60

40 32,7

20

Gambar 16.20
Prevalensi wanita hamil risiko tinggi (tinggi badan <150 cm) menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Data pada Tabel 16.4 menunjukkan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 32,7 persen.
Tabel 16.4
Prevalensi wanita hamil risiko tinggi menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Berisiko Tinggi
Kabupaten/Kota
(Tinggi Badan < 150cm)
Simeulue 54.2
Aceh Singkil 51.0
Aceh Selatan 87.3
Aceh Tenggara 10.2
Aceh Timur 38.5
Aceh Tengah 25.5
Aceh Barat 33.8
Aceh Besar 24.9
Pidie 48.7
Bireuen 35.8
Aceh Utara 41.7
Aceh Barat Daya 22.7
Gayo Lues 64.8
Aceh Tamiang 21.9
Nagan Raya
Aceh Jaya 42.6
Bener Meriah 44.9
Pidie Jaya 15.4
Kota Banda Aceh 4.8
Kota Sabang 13.8
Kota Langsa 40.8
Kota Lhokseumawe 18.3
Kota Subulussalam 21.6
Aceh 32.7
Daftar Pustaka
Bappenas 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2011.
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas)
Departemen Kesehatan 1994, Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Pedoman penggunaan
alat ukur lingkaran lengan atas (LILA) pada wanita usia subur. Jakarta: Depkes,
Departemen Kesehatan 1996. Pedoman Penanggulangan Ibu Hamil Kurang Energi Kronis.
Jakarta Dep.Kes RI
Departemen Kesehatan 2001. Pedoman Praktis memantau status gizi orang dewasa. Jakarta
Departemen Kesehatan.
WHO 2000. The Asia-Pacific Perspective Redefining Obesity and Its Tratment. February. WHO-
Western Pacific Region
WHO 2005. WHO Child Gold Standards. WHO. Geneva
WHO 2007. WHO Reference 2007 for Child and Adolescent. WHO. Geneva
WHO 2010. Interpretation Guide Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile
Indicators.
BAB 17. KESEHATAN INDERA

Endi Ridwan , Marice Sihombing dan Aprildah Sapardin


Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia
untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual
ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera
pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa
ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera
peraba). Sekitar 90% informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui
indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara
objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran
(tajam pendengaran).
Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan
pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat
ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih
mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh
organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai
kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran
masyarakat tidak dikumpulkan.
Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa
dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan
organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI)
dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Indonesia (Perhati) juga
melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua
data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat
reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis
komunitas.

17.1. Kesehatan Mata


Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013
meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E (dengan dan tanpa pin-
hole) pada responden usia 6 tahun keatasserta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap
responden semua umur. Prevalensi xeroftalmia dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan/
observasi nakes terhadap responden balita (6-59 bulan). Pemeriksaan visus dan observasi
morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi
pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan
visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E disesuaikan setinggi
posisi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan
untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula
responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator.
Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan
pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (6/6 atau 20/20) dilanjutkan
dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007. Keterbatasan pengumpulan data
prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data
(surveyor) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu
pen-light, sehingga prevalensi tersebut cenderung kurang valid.

a. Prevalensi Kebutaan

Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter,
satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil
untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk
kategori visus, yaitu:
1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)
2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)
3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)
4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)
5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m
6. TIDAK DIPERIKSA
Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode
2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision
(visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai
3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6
tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti
responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.

Gambar 17.1
Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut
Gambar 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih
rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6
tahun keatas tertinggi ditemukan di Aceh Selatan (1,0%) diikuti Bireuen (0,9%), Subulussalam
(0,8%), dan Aceh Timur (0,6%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan
di Aceh Timur (1%) diikuti Gayo Lues (1,3%) dan Aceh Selatan (1,1%). Prevalensi kebutaan
terendah ditemukan di Aceh Singkil, Banda Aceh (masing-masing 0,0%) diikuti Aceh Tengah
dan Gayo Lues (masing-masing 0,1%)

Gambar 17.2
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
kelompok umur, Provinsi Aceh 2013

Gambar 17.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi


penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur,
prevalensi tertinggi pada kelompok umur 75+ tahun (10,5%). Prevalensi severe low vision pada
usia produktif (15-54 tahun) sebesar 0,03 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0 persen.
Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 65-
74 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10
tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk
kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia.
Gambar 17.3 dan 17.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat
pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi
penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut
dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar
sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari
mereka. Diasumsikan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks
kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti menjadi
Gambar 17.3
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut
pendidikan, Provinsi Aceh 2013

Gambar 17.4
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil
indeks kepemilikan, Provinsi Aceh 2013

Gambar 17.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di
perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi
Gambar 17.5
Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat
tinggal, Provinsi Aceh 2013

b. Kelainan Permukaan Mata dan Lensa


Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan
kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh surveyor
adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan.
Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden.
Gambar 17.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 9,3 persen
dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bireuen (18,0%). Aceh Tenggara mempunyai
prevalensi pterygium terendah yaitu 3,0 persen. Prevalensi kekeruhan kornea di Provinsi Aceh
adalah 6,9 persen dengan prevalensi tertinggi juga ditemukan di Sabang (14,8%), diikuti oleh
Aceh Utara (12,6%) dan Aceh Timur (10,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan
di Gayo Lues (2,4%).
Tabel 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat
dengan bertambahnya umur. Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata)
pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada
dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea.Tidak lazim pterygium terjadi pada
anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini
dinilai kurang valid.
Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan
biasanya tidak terkait dengan faktor pertambahan usia. Prevalensi kekeruhan kornea yang
meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian
enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang
dikumpulkan cenderung kurang valid.
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling
tinggi (9,2 persen untuk pterygium dan 12,6 persen, untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada
kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium
dan kekeruhan kornea tertinggi (10,6 % untuk pterygium dan 10,6 % untuk kekeruhan kornea)
dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan
tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar
ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian
pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/
buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata,
mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.
Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea
yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan
kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.
Tabel 17.1
Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik,
Provinsi Aceh 2013
Morbiditas Permukaan Mata
Karakteristik Pterygium Kekeruhan Kornea
Unilateral Bilateral Unilateral Bilateral
Kelompok umur (tahun)
0-4 0,9 0,1 0,8 0,0
5-14 0,6 0,0 0,8 0,4
15-24 1,6 0,8 1,0 1,0
25-34 3,6 3,0 1,5 2,0
35-44 6,5 7,9 2,5 5,0
45-54 10,6 14,4 3,7 12,1
55-64 10,6 21,3 5,6 24,0
65-74 11,8 28,0 5,8 34,1
75+ 11,6 34,5 5,6 46,8
Jenis kelamin
Laki-laki 3,8 5,1 1,9 5,0
Perempuan 4,2 5,4 1,9 5,1
Pendidikan
Tidak sekolah 85,1 9,2 2,3 12,6
Tidak tamat SD 91,1 5,4 3,7 5,3
Tamat SD 85,5 8,9 0,6 8,6
Tamat SMP 91,4 4,5 1,9 3,9
Tamat SMA 91,4 4,6 2,5 3,6
Tamat D1-D3/PT 92,2 3,8 1,8 2,6
Pekerjaan
Tidak bekerja 3,4 4,6 1,7 4,6
Pegawai 4,6 5,8 2,1 5,8
Wiraswasta 4,7 8,4 1,8 8,4
Petani/nelayan/buruh 8,0 10,6 3,2 10,6
Lainnya 5,3 7,5 1,9 7,5
Tempat tinggal
Perkotaan 91,7 4,7 1,6 3,7
Perdesaan 90,3 5,5 2,0 5,5
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 4,2 6,6 3,8 6.9
Menengah bawah 4,0 5,6 2,0 5.1
Menengah 4,0 5,2 2,1 4.9
Menengah atas 3,9 4,5 2,1 4.2
Teratas 3,7 4,4 1,6 3.7

Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena
faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka
tidaktahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi. Alasan kedua terbanyak penderita
katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya. (Gambar 17.7)
Gambar 17.7
Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota,
Provinsi Aceh 2013

Pada tabel 17.2 terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Aceh adalah 2,7 persen tertinggi
di Kota Lhokseumawe (6,4%) diikuti oleh Pidie Jaya (4,6%) dan Bireun (3,9%). Prevalensi
katarak terendah ditemukan di Kabupaten Gayo Lues (0,7%) diikuti Kota banda Aceh (1,0%)
dan Aceh Jaya (1,2%). Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani
operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang
dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi (27,0%).
Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena takut operasi (14,6%).
Tabel 17.2
Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk
semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013
Alasan belum operasi
Kabupaten/Kota Katarak Tidak tahu kalau Tidak mampu
Takut operasi
katarak membiayai
Simeulue 3,6 2,3 3,8 3,0
Aceh Singkil 1,9 69,4 16,6 4,9
Aceh Selatan 3,0 12,9 12,7 32,3
Aceh Tenggara 2,2 8,8 15,1 0,8
Aceh Timur 1,0 22,8 18,0 8,8
Aceh Tengah 1,3 14,5 8,0 5,8
Aceh Barat 2,0 30,3 16,2 13,1
Aceh Besar 2,7 34,3 1,7 10,6
Pidie 3,3 14,1 5,8 10,3
Bireuen 3,9 32,9 20,0 14,9
Aceh Utara 2,3 35,6 6,8 31,2
Aceh Barat Daya 0,5 16,8 10,6 1,9
Gayo Lues 0,7 54,8 19,0 2,4
Aceh Tamiang 2,3 19,2 15,8 27,7
Nagan Raya 2,6 19,2 4,6 2,2
Aceh Jaya 1,2 4,6 21,6 28,8
Bener Meriah 1,3 80,9 0,8 4,7
Pidie Jaya 4,6 30,9 12,9 11,8
Kota Banda Aceh 1,0 13,0 26,1
Kota Sabang 1,4 22,2 11,7 41,5
Kota Langsa 2,9 20,5 3,0 22,8
Kota Lhokseumawe 6,4 50,8 7,6 10,1
Kota Subulussalam 1,4 32,5 33,9 5,3
Aceh 2,8 27,7 11,0 14,6

17.2. Kesehatan telinga


Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada
telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi
pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada
responden berusia 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi
responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara.
Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang
sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk
pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga
hanya dilakukan uji/tes konversasi.
a. Prevalensi Ketulian
Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut:
Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “0”. Jika
responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika
responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “1” 
pendengaran NORMAL.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu
kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya
dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah “2”
gangguan pendengaran ringan.
Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu
kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta
mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “3  gangguan pendengaran sedang.
Jika responden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden
adalah “4”  ketulian.
Dalam Riskesdas 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok
umur 75 tahun ke atas (38,9%), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun (18,3%). Angka
prevalensi terkecil berada pada kelompok umur 5-14 tahun dan 25-34 tahun (masing-masing
0,7%)
Tabel 16.3 Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur yang sama dengan
gangguan pendengaran, yaitu umur 75 tahun ke atas (1,3%), begitu pula dengan prevalensi
terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun dan 25-34 tahun (masing-masing 0,02%).
Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung sedikit lebih
tinggi daripada laki-laki, namun prevalensi ketulian prevalensi perempuan dan laki-laki sama
yaitu 0,1 persen.
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat
pendidikan tidak sekolah (5,7 % gangguan pendengaran dan 0,5% ketulian). Gangguan
pendengaran pada kelompok responden petani/nelayan/buruh memiliki angka prevalensi
tertinggi, yaitu 3,6 persen disusul oleh tidak bekerja sebesar 2,4 persen. Prevalensi gangguan
pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai 1,5%. Prevalensi ketulian tertinggi
ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja yatu 0,1% dan terendah pada pegawai dan
wiraswasta.
Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat
tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 2,0 persen dan
prevalensi ketulian 0,1 persen. Prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotan yaitu sebesar 2,6 persen berbanding 2
persen, di perdesaan prevalensi ketulian lebih rendah yaitu sebesar 0,05 persen.
Tabel 17.3
Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun sesuai tes konversasi
menurut karakteristik, Provinsi Aceh 2013

Karakteristik Gangguan pendengaran Ketulian


Kelompok umur (tahun)
5-14 1,1 0,1
15-24 1,1 0,02
25-34 1,4 0,02
35-44 2,1 0,02
45-54 2,7 0,01
55-64 6,4 0,02
65-74 14,3 0,4
75+ 25,6 1,3
Jenis kelamin
Laki-laki 2,4 0,0
Perempuan 2,5 0,1
Pendidikan
Tidak sekolah 5,7 0,5
Tidak tamat SD 3,0 0,03
Tamat SD 3,1 0,06
Tamat SMP 1,7 0,02
Tamat SMA 1,5
Tamat D1-D3/PT 1,3 0,06
Status pekerjaan
Tidak bekerja 2,4 0,1
Pegawai 1,5
Wiraswasta 2,0 0,05
Petani/nelayan/buruh 3,6 0,04
Lainnya 3,0 0,01
Tempat tinggal
Perkotaan 2,0 0,1
Perdesaan 2,6 0,05
Kuintil indeks kepemilikan
Terbawah 3,1 0,05
Menengah bawah 3,0 0,05
Menengah 2,1 0,10
Menengah atas 2,1 0,05
Teratas 1,7 0,05

Gambar 17.8 mengungkapkan bahwa berdasarkan uji Tes Konversasi terhadap gangguan
pendengaran dan ketulian penduduk umur ≥5 tahun, ternyata rataan prevalensi gangguan
pendengaran di Provinsi Aceh sebesar 2,4 persen, tertinggi terdapat di Aceh Selatan sebanyak
5,0 persen dan terendah di Kota Banda Aceh sebesar 0,9 persen.
Prevalensi ketulian penduduk berumur ≥5 tahun di Provinsi Aceh sebesar 0,06 persen, tertinggi
Gambar 17.8
Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur ≥5 tahun sesuai Tes Konversasi menurut
kabupaten/kota, Provinsi Aceh 2013

Gambar 17.9
b. Morbiditas Telinga Lainnya
Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran
dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun keatas.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel
retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun
sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis,
tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat
menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung.
Kelompok umur ≥75 tahun mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen,
sekret dalam liang telinga, dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 29,4 persen; 3,9
persen; dan 2,2 persen. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur
15-24 tahun, yaitu untuk prevalensi serumen (9,4%), 25-34 tahun untuk sekret (1,0%), dan 15-
24 tahun untuk abses/fistel retroaurikular (0,1%). Berdasarkan kabupaten/kota prevalensi
penduduk dengan serumen tertinggi terdapat di Aceh Timur (42,1%) dan terendah di Banda
Aceh (0,2%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan
provinsi disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Daftar Pustaka
Bashiruddin J, Soetirto I. 2010. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing
Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 49-52.
Dandona R, Dandona L. Sosioeconomic status and blindness. Br J Ophthalmol 2001;95:1494-9.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas). 2007
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1996: Survei Nasional Kesehatan
Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995.
Foster A. Cataract and ―Vision 2020-the right to sight‖ initiative. Br J Ophthalmol 2001;95:635-7.
Limburg H. 2001. Manual for rapid assessment of cataract surgical services. Switzerland: WHO
Prevention of blindness and deafness.
Putri Herman NW. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran Pada Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Diakses
dari: http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/NING% 20WIDYA%20PUTRI%20HERMAN.pdf
Rundjan L, Amir I, Suwento R, Mangunatmadja I. Skrining Gangguan Pendengaran pada
Neonatal Risiko Tinggi. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 4, Maret 2005: 149-54.
Soetjipto, Damayanti. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian.
2010. Diakses dari: http://ketulian.com/vi/web/ index.php?to=home.
Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1993-1995.
WHO Fact Sheet No. 282. http://www.who.int/about/regions/en /index.html.
World Health Organization. Global data on visual impairment 2010.
World Health Organization: International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems. 10th revision. Current version. Version for 2003. Chapter VII. H54. Blindness and low
vision. Diakses di: http://www.who.int/classifications/icd/en.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aceh Dalam Angka 2013. Kerjasama Bappeda Aceh dengan Badan Pusat Statistik Provinsi
Aceh. Katalog BPS 1102001.11
2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Singkat Pencapaian Millenium Development
Goals Indonesia 2009.
3. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2002-2003. ORC Macro 2002-2003.
4. Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan 2007. ORC Macro 2007.
5. Brown, Judith E. Et al., "Nutrition Through the Life Cycle, 2002. New York.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (Riskesdas). 2007
7. Departemen Kesehatan RI. SKRT 1995. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 1997
8. Departemen Kesehatan, Direktorat Epim-Kesma. Program Imunisasi di Indonesia, Bagian I,
Jakarta, Depkes, 2003.
9. Departemen Kesehatan. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Direktorat Bina Gizi
Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
10. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta. 2001.
11. Departemen Kesehatan. Survei Kesehatan Nasional. Laporan. Depkes RI Jakarta 2004.
12. Depkes RI, 2003, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-
KIA), Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga,
Jakarta.
13. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
2009.
14. Djaja, S. et al. Statistik Penyakit Penyebab Kematian, SKRT 1995
15. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian
Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut
Pertanian Bogor. Penerbit Wirasari. Jakarta.
16. Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat
Makanan. Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan Pangan dan Gizi
di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta 17-19 Mei 2004.
17. Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intakes for Energy, Carbohydrate,Fiber, Fatty
Acids. National Academy Press.
18. Kramer, M.S. and Kakuma, R. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding. A
21. Lembaga Demografi UI, 2013, Dasar-Dasar Demografi, Salemba Empat, Jakarta.
22. Papua Province Health Office. Case finding and treatment malaria patients 2006. Jayapura,
Ministry of Health 2007.
23. Petunjuk Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI., 2004
24. Policy Paper for Directorate General of Public Health, June 2002
25. Price RN, Nosten F, Luxemburger C ter Kuile FO, Paiphun L, Chongsuphajaisiddhi T. and
White NJ. Effects of artemisinin derivatives on malaria transmissibility.Lancet
1996;347:1654-1658.
26. Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009, Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
2005
27. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul
Data. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013
28. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan penimbangan balita di Indonesia. Makalah
disajikan pada Simposium Nasional Litbang Kesehatan.Jakarta, 7-8 Desember 2005.
29. Sandjaja, Titiek Setyowati, Sudikno. Cakupan viramin A untuk bayi dan balita di Indonesia.
Prosiding temu Ilmiah dan Kongres XIII Persagi, Denpasar, 20-22 November 2005.
30. Seri Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI, ISSN: 0854-7971, No. 15 Th. 1999
31. Sikka District Health Office. Malaria cases in Sikka District, 2000-2006. Maumere, Ministry of
Health 2007.
32. UNICEF. Breast Crawl. Initiation of Breastfeeding by Breast Crawl. 2007.
33. WHO. Report of the Expert Consultation on the Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding.
Geneva, Switzerland. 28-30 March 2013.
34. World Health Organization. Antimalarial drug combination therapy. Report of WHO Technical
Consultation. WHO/CDS/RBM/2001.35. Geneva., WHO 2001.
35. World Health Organization. World Malaria Report 2008. WHO/HTM/GMP/2008.1. Geneva,
WHO 2008.
LAMPIRAN

1) SK Menkes untuk Riskesdas 2013


2) SK Korwil
3) Kuesioner Rumah Tangga (RKD10.RT)
4) Kuesioner Individu (RKD10.IND)
5) Persetujuan Etik
6) Informed consent
7) Rekomendasi Penelitian

i
UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 (sekretariat negara)
ii
Sistem Kesehatan Nasional (Peraturan pemerintah no. 72 tahun 2012)
iii
Laporan Riskesdas Tahun 2007
iv
Buku IPKM Tahun 2010, Balitbangkes
v
Permenkes 027 tahun 2012 tentang PDBK
vi
WHO 2002. www.WHO.int/healthinfo/survey/en

Anda mungkin juga menyukai