Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PIDANA POKOK DAN PIDANA TAMBAHAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Penitensier (F)
Dosen Pengampu: Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Dhiwa Arya Purbadi (E0020148)


Monica Fitriyani Purba (E0020293)
Nur Azizah (E0020336)

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan
sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada
seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Para ahli
hukum di Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana. Istilah hukuman
adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah
hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana
diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan
sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Tujuan
dari pemidanaan diatur dalam buku-1 RUU KUHP. Pasal 51 buku-1 RUU KUHP
tahun 2005 menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
b) Memasyarakatatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna.
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam memasyarakatkan.
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
e) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia.
Masalah pemidanaan atau penjatuhan pidana dalam arti umum itu
membentuk undang-undang. Sesuai dengan asas legalitas “Nullum delictum nulla
poena sine preavia lege poenali”. Asas ini pertama kali diperkenalkan oleh Anselm
von Feurbach. Dalam masa ini terkadang arti bahwa suatu perbuatan hanya dapat
dipidana berdasarkan kepada kekuatan perundang-undangam yang ada
sebelumnya. Jadi untuk mengenalkan pidana diperlukan undang-undang pidana
(KUHP) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undang yang menetapkan peraturan-

2
peraturan tentang pidana, tidak hanya mengenal perbuatan apa yang dinyatakan
atau dirumuskan sebagai suatu tindak pidana untuk suatu tindak pidana.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana tidak dapat dipisahan dari tujuan
politik kriminal dalam arti keseluruhan yaitu “perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan” maka tahapan pidana justru harus merupakan tahapan
perencanaan yang matang mengenai tindakan-tindakan apa yang seharusnya
diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum.
Dengan perkataan lain tahapan ini harus merupakan tahap perencanaan strategis di
bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberikan arah kepada tahap-tahap
berikutnya yaitu tahap perencanaan dan pelaksanaan pidana dalam arti konkrit.
Menurut ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan yang
dijelaskan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana pokok yang terdiri dari pidana mati,
penjara, kurungan, denda dan tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Namun, seiring berkembanganya zaman dan juga
pengetahuan muncul upaya untung memperbarui peraturan perundang-undangan
yakni Rancangan Undamg-Undanga Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang
didalamnya mengatur mengenai perubahan sanksi pidana pokok dan pidana
tambahan. Hal tersbut perlu dikaji lebih lanjut mengani penjelasan secara lebih rinci
dan detail pada KUHP yang masih berlaku saat ini, serta pada RKUHP yang akan
segera disahkan.

B. Rumusan Masalah
Sebagai konsekuensi lebih lanjut, muncul beberapa masalah hukum
sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:

1. Bagaimanakah penjelasan dan pengaturan terkait pidana pokok menurut


KUHP dan RKUHP?
2. Bagaimanakah penjelasan dan pengaturan terkait pidana tambahan menurut
KUHP dan RKUHP?

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pidana Pokok
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pidana pokok adalah
pidana yang dapat dijatuhkan tersendiri oleh hakim. Pidana Pokok terdiri dari:
1. Pidana Mati
Pidana mati merupakan sebuah hukuman pidana atas tindak pidana kategori
berat yang mengharuskan seorang terpidana mengalami hukuman mati yang
berbentuk hukuman gantung, tembak, dan lain sebagainya sebagaimana diatur
dalam tatanan KUHP Indonesia kiranya telah tertulis dan telah di undangkan
sebagai salah satu hukuman pidana. Dalam hal ini Adami Chazawi (2002: 31)
berpendapat bahwa Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati
hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang
jumlahnya juga sangat terbatas, seperti:
a) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (104,111 ayat 2,
124 ayat 3 jo 129);
b) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau
dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 104 (3), 340;
c) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat
memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2);
d) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (444).
Di luar ketentuan KUHP, pidana mati diancamkan pula dalam beberapa pasal di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang-undang
Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika serta Undang-undang Nomor 22 tahun
1997 tentang Narkotika. Dasar pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu menurut
Penetapan Presiden (PENPRES) tanggal 27 April 1964 LN Tahun 1964 bahwa
eksekusi pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati.
Dalam RUU KUHP konsep pidana mati masih akan tetap dipertahankan, namun
dalam konsepnya menjadi pidana khusus/diancamkan secara alternatif/sarana
paling akhir. Dalam artian RKUHP sebisa mungkin “menjauhkan diri” dari pidana
mati, para ahli memandang bahwa keberadaan pidana mati masih perlu dilakukan

4
dalam sistem hukum pidana dan pemidanaan di Indonesia. Dalam RKUHP, pidana
mati bukan lagi menjadi bagian dari pidana pokok, melainkan dalam kategori lain
yang baru yaitu Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang
ditentukan dalam Undang-Undang (Pasal 67 RKUHP).

2. Pidana Penjara
Menurut A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah menegaskan bahwa “Pidana
penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”.
Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk
pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan. Dalam pasal 12 KUHP, R. Soesilo
(1981: 32) diatur mengenai lamanya ancaman atau penjatuhan pidana penjara,
yaitu:
a) Hukaman penjara itu lamanya seumur hidup atau untuk sementara.
b) Hukuman penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-
lamanya lima belas tahun berturut-turut.
c) Hukuman penjara sementara boleh dihukum mati, penjara seumur hidup,
dan penjara sementara, dan dalam hal lima belas tahun itu dilampaui, sebab
hukuman ditambah, karna ada gabungan kejahatan atau karna aturan pasal
52.
d) Lamanya hukuman sementara itu sekali-kali tidak boleh lebij dari dua puluh
tahun.

Pidana perjara ini memiliki tujuan lain sebagai bentuk pembinaan dan
pembimbingan terpidana sebagai alasan agar setelah dinyatakan bebas
menjalani hukuman penjara, ia menjadi masyarakat yang baik dan berguna bagi
siapa saja. Hukuman penjara sementara boleh bagi terpidana yang akan
dihukum mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara. Kemudian,
lamanya hukuman sementara itu tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
Berdasarkan Pasal 58 RKUHP September 2019, jenis pidana penjara diatur
untuk seumur hidup maupun selama waktu tertentu. Adapun bunyi Pasal
tersebut adalah sebagai berikut:

5
1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas)
tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan
minimum khusus.
3) Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur
hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi
pidana penjara 15 (lima belas) tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu
dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.
4) Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20
(dua puluh) tahun.

3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan ini merupakan pidana yang lebih ringan daripada pidana
penjara dalam hal bagi pelaku perbuatan pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang sebagaimana telah diatur dalam Buku III KUHP serta bagi mereka yang
melakukan kejahatan-kejahatan yang tidak disengaja sebagaimana yang telah diatur
dalam Buku II KUHP. Khusus pidana kurungan ini, berdasarkan Pasal 18 KUHP,
dapat dilakukan minimal satu hari dan maksimal satu tahun dan dapat diperpanjang
menjadi satu tahun empat bulan jika terdapat atau terjadi gabungan perbuatan
pidana/delik, berulang kali melakukan perbuatan pidana/delik dan terkena rumusan
ketentuan Pasal 52 KUHP. Adapun perbedaan-perbedaan pidana penjara dan
pidana kurungan menurut Hamzah (Ahmad Fery Nindra, 2002: 12), adalah:

1) Pidana kurungan dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan culpa, pidana penjara


dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan dolus dan culpa.
2) Pidana kurungan ada dua macam yaitu kurungan principal dan subsidair
(pengganti denda), pada pidana penjara tidak mengenal hal ini.
3) Pidana bersyarat tidak terdapat dalam pidana kurungan.
4) Perbedaan berat ringan pemidanaan.
5) Perbedaan berat ringannya pekerjaan yang dilakukan terpidana.

6
6) Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak memperbaiki
keadaannya dalam lembaga pemasyarakatan atas biaya sendiri yang pada
pidana penjara ini tidak ada.

Dalam penyelesaian suatu kasus pidana, pemberian pidana kurungan ini


jarang digunakan. minimnya fasilitas untuk melaksanakan pidana kurungan
sehingga pada prakteknya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, bersama
dengan terpidana penjara. Hal tersebut yang menjadi salah satu dihapuskannya
pidana kurungan dihapuskan di RKUHP di masa mendatang. Alternatif lain untuk
menggantikan pidana denda menurut RKUHP termuat dalam Pasal 619 yang
berbunyi:

1) Penggantian pidana kurungan (setelah RKUHP ini berlaku) menjadi pidana


denda dengan ketentuan:
a. Pidana kurungan kurang dari 6 (enam) bulan diganti dengan pidana
denda paling banyak kategori I; dan
b. Pidana kurungan 6 (enam) bulan atau lebih diganti dengan pidana
denda paling banyak kategori II.
2) Dalam hal pidana denda yang diancamkan secara alternatif dengan pidana
kurungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi kategori II, tetap
berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

4. Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana
penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah pidana yang
berupa harta benda yang jumlah ancaman pidananya pada umumnya relatif ringan
yang mana dirumuskan sebagai pokok pidana alternatif dari pidana penjara dan
denda. Menurut P.A.F. Lamintang bahwa Pidana denda dapat dijumpai di dalam
Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan
maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik
baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara
saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.

7
Terpidana yang diancam dengan pidana denda sedikit sekali, seperti dalam
Buku II KUHP hanya terdapat satu delik yaitu pasal 403 KUHP sedangkan dalam
pelanggaran pada Buku III hanya terdapat 40 pasal dari pasal-pasal tentang
pelanggaran. Menurut pasal 30 ayat 2 KUHP apabila denda tidak dibayar harus
diganti dengan pidana kurungan, yang menurut ayat (3) lamanya adalah minimal
satu hari dan maksimal enam bulan, menurut pasal 30 ayat (4) KUHP, pengganti
denda itu diperhitungkan sebagai berikut

a) Putusan denda setengan rupiah atau kurang lamanya ditetapkan satu hari.
b) Putusan denda yang lebih dari setengah rupiah ditetapkan kurungan bagi
tiap-tiap setengah rupiah dan kelebihannya tidak lebih dari satu hari
lamanya.

Selanjutnya pasal 30 ayat (5) menyatakan bahwa maksimal pidana kurungan


yang enam bulan diperberat menjadi maksimal delapan bulan jika terdapat
gabungan tindak pidana, gabungan tindak pidana atau terkena pasal 52 KUHP,
Menurut Pasal 31 KUHP, terpidana dapat menjalani pidana kurungan sebagai
pengganti denda utamanya jika ia sadar bahwa ia tidak mampu membayar denda.
Sifat yang ditujukan kepada pribadi terpidana menjadi kabur karna KUHP tidak
menentukan secara eksplisit siapa yang harus membayar denda. Hal ini
memberikan kemungkinan kepada orang lain untuk membayar denda tersebut.
Berdasarkan Pasal 71 ayat (3) RKUHP September 2019, pidana denda dapat
dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pidana denda paling banyak menurut kategori V dan pidana denda paling sedikit
menurut kategori III. Kategori jumlah denda sendiri dimulai dari kategori I hingga
kategori VIII (Rp besaran maksimal 1.000.000,00 hingga RP. 50.000.000.000,00)
serta tidak diatur minimum khusus maka ditentukan paling sedikit Rp. 50.000,00.

5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan adalah merupakan jenis pidana yang baru dimasukkan dalam
KUHP berada urutan kelima pada jenis-jenis pidana pokok seperti yang dinyatakan

8
Pasal 10 huruf a KUHP. Mengenai pidana tutupan (Adami Chazawai, 2002: 43),
menyatakan bahwa dalam mengenai sejarah pelaksanaan pidana tutupan ini, hampir
tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang
sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim
menjatuhkan pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada
tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal
dengan sebutan “Peristiwa 3 Juli 1946”. Pidana tutupan yang dikenal di luar KUHP
sebagai jenis sanksi pidana pokok yang dianggap sebagai pidana pokok dengan
urutan kelima, sedangkan pengaturan pidana tutupan di dalam RKUHP September
2019 diatur sebagai pidana pokok dengan urutan kedua.
Berdasarkan Pasal 620 RKUHP September 2019, penggunaan pidana
tutupan di masa mendatang masih menggunakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1946 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 hingga diatur dalam aturan
yang baru, sehingga multitafsir akan pidana tutupan ini masih tetap ada di masa
mendatang. Pengaturan mengenai pidana tutupan ini termuat dalam Pasal 74
RKUHP yang berbunyi:

a) Orang yang melakukan tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara
karena keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
b) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati.
c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku jika cara
melakukan atau akibat dari Tindak Pidana tersebut sedemikian rupa
sehingga Terdakwa lebih cepat dijatuhi pidana.

6. Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial dalam RUU KUHP


a. Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana yang dapat dikenakan dengan mengingat
keadaan pribadi dan perbuatan terdakwa dengan syarat-syarat khusus. Pidana
pengawasan ini dalam penjelasan RKHUP dinyatakan sebagai pidana yang pada

9
umumnya dijatuhkan pada orang yang pertama kali melakukan kejahatan (first
offender). Pidana pengawasan bersifat alternatif pidana perampasan kemerdekaan
bersyarat yang dimana dalam kuhp pidana pengawasan hanyalah sebagai pidana
tambahan dengan artian pidana bersyarat. di dalam RUU KUHP Pasal 65 terdapat
pembaharuan yang dinamakan pidana pengawasan dan dimasukan kedalam pidana
pokok.
b. Pidana Kerja Sosial
Jenis pidana ini dapat diterapkan jika pidana penjara yang akan dijatuhkan
tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I,
maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja
sosial. Penjatuhan pidana denda dengan mempertimbangakan hal-hal tertentu dan
pidana kerja sosial ini tidak boleh dikomersialkan. Dalam penjelasan RUU KUHP
Pasal 86 ditegaskan bahwa salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam
penjatuhan pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa. Pidana kerja
sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan
masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana
dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jenis pidana kerja sosial ini merupakan
pidana yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam hukum positif Indonesia, baik
dalam KUHP maupun ketentuan pidana di luar KUHP.
Pidana kerja sosial merupakan pidana yang sifatnya rehabilitasi kepada
narapidana atau pendidikan kembali. Adanya penentuan sifat alternatif dari
berberapa jenis pidana dalam RKUHP sekilas merupakan kemajuan karena adanya
alternatif ini menghindarkan dari sistem pemidanaan yang menyamaratakan dan
imperatif (memaksa). Sifat pidana yang bersifat menyamaratakan
(indiscriminately) dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan
menjadi pengancam utama (prime treatener).

10
Terdapat perbedaan antara Pengaturan Pokok dalam KUHP dan juga dalam RUU
KUHP, yaitu:

JENIS KUHP RKUHP Keterangan Perubahan dalam RKUHP


PIDANA

PIDANA Pidana Pidana Pidana penjara sedapat mungkin dihindari


POKOK Mati Penjara

Pidana Pidana Pidana yang dijatuhkan karena maksud


Penjara Tutupan yang patut dihormati merupakan
pelaksanaan pidana penjara yang bersifat
istimewa.

Pidana Pidana Pidana Baru


Kurungan Pengawasan

Pidana Pidana Denda Dalam RKUHP terdapat 6 kategori denda.


Denda

Pidana Pidana Kerja Pidana Baru


Tutupan Sosial

Pidana Mati Pidana pokok yang bersifat khusus dan


diancamkan secara alternatif. Sementara
pidana mati dalam KUHP menempati
urutan pertama.

11
B. Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang
dijatuhkan. Pada umumnya Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping
pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana
satu-satunya oleh karena sifat dari pidana tambahan tersebut hanyalah merupakan
tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Hukuman tambahan gunanya untuk
menambah hukuman pokok sehingga dapat dikatakan bahwa pidana tambahan itu
bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah menjadi suatu kewajiban.
Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian.
Pengecualian atas prinsip tersebut dapat dilihat dalam beberapa aturan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Contohnya dalam Pasal 38 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
mengatakan bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan
perampasan barang-barang yang telah disita. Hal ini menunjukkan bahwa pidana
tambahan yang dijatuhkan berdiri sendiri tanpa adanya pidana pokok yang
dijatuhkan sebelumnya.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 10 dikatakan


bahwa pidana tambahan meliputi:

a. Pencabutan hak-hak tertentu


b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim

Ketiga cakupan tersebut telah diatur dalam KUHP pasal 35 hingga pada pasal 43.
Berikut uraian mengenai jenis-jenis pidana tambahan yang dikenal di dalam sistem
pemidanaan di Indonesia yaitu:

12
a) Pencabutan Hak-Hak Tertentu

Tentang pencabuatan hak-hak tertentu, sebetulnya tidak semua hak


dapat dicabut. Hak-hak pidana yang dapat dicabut dengan keputusan hakim
adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 35 KUHP ayat (1), yaitu:

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;


2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas
orang yang bukan anak sendiri;
5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri;
6) Hak menjalankan mata pencarian tertentu.

b) Perampasan Barang-Barang Tertentu

Tentang perampasan barang-barang tertentu, perampasan harus mengenai


barang-barang tertentu, sehingga tidak mungkin merampas terhadap seluruh
kekayaan yang dimiliki. Perampasan itu ditujukan sebagai pidana. Dalam Pasal 39
KUHP menentukan dalam hal-hal apakah dapat diadakan perampasan terhadap
barang-barang yang dapat dikarenakan kejahatan dan barang-barang yang dengan
sengaja digunakan melakukan kejahatan, dapat dirampas, dengan syarat bahwa
barang-barang haruslah kepunyaan terpidana kecuali bila undang-undang
menentukan lain.

c) Pengumuman Putusan Hakim

Seyogyanya tiap-tiap keputusan hakim diumumkan dengan pintu terbuka


dan secara umum, tetapi kadang-kadang pembentukan undang-undang merasa perlu
supaya putusan itu sampai luas diketahui oleh umum,

13
Pengaturan mengenai pidana tambahan juga terdapat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan lainnya. Dapat dikatakan bahwa pengaturan
mengenai jenis-jenis pidana tambahan juga terdapat diluar KUHP. Dalam Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(“UU 31/1999”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur adanya jenis-jenis lain dari
pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, seperti:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang besarnya sama dengan harta benda yang
dikorupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun; dan
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh Pemerintah kepada terpidana.

Perbedaan Pidana tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP), Yaitu:

KUHP RUU KUHP


Pasal 10 KUHP: Pasal 66 ayat (1):
a) Pencabutan hak-Hak Tertentu; a) Pencabutan hak tertentu;
b) Perampasan barang-barang b) Perampasan Barang tertentu
Tertentu; dan/atau tagihan;
c) Pengumuman putusan hakim; c) Pengumuman putusan hakim;
d) Pembayaran ganti rugi;

14
e) Pencabutan izin tertentu; dan
f) Pemenuhan kewajiban adat
setempat.
Pasal 35 ayat (1) mengenai pencabutan Pasal 86 mengenai pencabutan hak-hak
hak-hak tertentu tertentu
a) Hak memegang jabatan pada a) Hak memegang jabatan publik
umumnya atau jabatan yang pada umumnya atau jabatan
tertentu; tertentu;
b) Hak untuk memasuki angkatan b) Hak menjadi anggota Tentara
bersenjata; Nasional Indonesia dan Kepolisian
c) Hak memilih dan dipilih dalam Negara Republik Indonesia;
pemilihan yang diadakan c) Hak memilih dan dipilih dalam
berdasarkan aturan-aturan umum; pemilihan yang diadakan sesuai
d) Hak menjadi penasehat hukum dengan ketentuan peraturan
atau pengurus atas penetapan perundang-undangan;
pengadilan, hak menjadi wali, d) Hak menjadi wali, wali pengawas,
wali pengawas, pengampu atau pengampu, atau pengampu
pengampu pengawas, atas orang pengawas atas orang yang bukan
yang bukan anak sendiri; Anaknya sendiri;
e) Hak menjalankan kekuasaan e) Hak menjalankan kekuasaan
bapak, menjalankan perwalian bapak, menjalankan perwalian,
atau pengampuan atas anak atau mengampu atas Anaknya
sendiri; sendiri;
f) Hak menjalankan mata pencarian f) Hak menjalankan profesi tertentu;
tertentu. dan/atau
g) Hak memperoleh pembebasan
bersyarat.
Pasal 39 mengenai Pidana tambahan Pasal 91 Pidana tambahan berupa
berupa perampasan Barang tertentu perampasan Barang tertentu dan/atau
(1) Barang-barang kepunyaan tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
terpidanan yang diperoleh dari 66 ayat (1) huruf b yang dapat dirampas
kejahatan atau yang sengaja yang meliputi Barang tertentu dan/atau tagihan:

15
dipergunakan untuk melakukan a. Yang dipergunakan untuk
kejahatan, dapat dirampas. mewujudkan atau mempersiapkan
(2) Dalam hal pemidanaan karena Tindak Pidana;
kejahatan yang tidak dilakukan b. Yang khusus dibuat atau
dengan sengaja atau karena diperuntukkan mewujudkan
pelanggaran, dapat juga Tindak Pidana;
dijatuhkan putusan perampasan c. Yang berhubungan dengan
berdasarkan hal-hal yang terwujudnya Tindak Pidana;
ditentukan dalam undang- d. Milik terpidana atau orang lain
undang. yang diperoleh dari Tindak Pidana;
(3) Perampasan dapat dilakukan e. Dari keuntungan ekonomi yang
terhadap orang yang bersalah diperoleh, baik secara langsung
yang diserahkan kepada maupun tidak langsung dari Tindak
pemerintah, tetapi hanya atas Pidana; dan/atau;
barang-barang yang telah disita. f. Yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Pasal 43 Pasal 93
Apabila hakim memerintahkan supaya (1) Jika dalam putusan pengadilan
putusan diumumkan berdasarkan kitab diperintahkan supaya putusan
undang-undang ini atau aturan-aturan diumumkan, harus ditetapkan cara
umum lainnya, maka ia harus menetapkan melaksanakan pengumuman
pula bagaimana cara melaksanakan tersebut dengan biaya yang
perintah itu atas biaya terpidana. ditanggung oleh terpidana.
(2) Jika biaya pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dibayar oleh terpidana,
diberlakukan ketentuan pidana
pengganti untuk pidana denda.
Pasal 94
(1) Dalam putusan pengadilan dapat
ditetapkan kewajiban terpidana

16
untuk melaksanakan pembayaran
ganti rugi kepada Korban atau ahli
waris sebagai pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (1) huruf d.
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilaksanakan,
diberlakukan ketentuan tentang
pelaksanaan pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 81 sampai dengan Pasal 83
secara mutatis mutandis.
Pasal 95
(1) Pidana tambahan berupa
pencabutan izin dikenakan kepada
pelaku dan pembantu Tindak
Pidana yang melakukan Tindak
Pidana yang berkaitan dengan izin
yang dimiliki.
(2) Pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. keadaan yang menyertai Tindak
Pidana yang dilakukan;
b. keadaan yang menyertai pelaku
dan pembantu Tindak Pidana; dan
c. keterkaitan kepemilikan izin
dengan usaha atau kegiatan yang
dilakukan.

(3) Dalam hal dijatuhi pidana penjara,


pidana tutupan, atau pidana

17
pengawasan untuk waktu tertentu,
pencabutan izin dilakukan paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun lebih lama dari
pidana pokok yang dijatuhkan.
(4) Dalam hal dijatuhi pidana denda,
pencabutan izin berlaku paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun.
(5) Pidana pencabutan izin mulai
berlaku pada tanggal putusan
pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 96
(1) Pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat
setempat diutamakan, jika Tindak
Pidana yang dilakukan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 2 ayat (2):


Hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan
sepanjang tidak diatur dalam Undang-
Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas
hukum umum yang diakui masyarakat
beradab.

18
Analisis Kasus Penegakkan Pidana Pokok dan Pidana Tambahan
Posisi kasus pada perkara tindak pidana korupsi ini, bermula terjadi pada
tanggal 12 Juni 2014 perbuatan rasuah pada perkara nomor: 2233 K/Pid.Sus/2017,
ketika Annas Maamun yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Riau, mengirim
Rancangan Kerja Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) tahun 2015 kepada Ketua DPRD Provinsi Riau dan
telah dilakukan rapat konsultasi antara pemimpin, ketua-ketua fraksi dan komisi
DPRD Provinsi Riau dengan Annas Ma’mun bersama Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD). Saat itu Annas Ma’mun juga menyampaikan keinginannya agar
RAPBD-P TA 2014 dan RAPBD TA 2015 dibahas dan disahkan oleh anggota
DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014.
Johan Firdaus dan Suparman bersama-sama dengan H. Ahmad Kirjuhari
dan Hazmi Setiadi selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi Riau periode tahun 2009 sampai dengan 2014, bertempat di DPRD
Provinsi Riau di Pekanbaru dan Komplek Pemda Arengka Pekanbaru, telah
menerima uang dari saudara Annas Maamun sebesar Rp 155.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan Johar Firdaus maupun Suparman menerima janji dari
Annas Maamun berupa fasilitas pinjam pakai kendaraan yang nantinya untuk
dimiliki bagi Anggota DPRD Provinsi Riau periode tahun 2009-2014 serta
menerima janji berupa sejumlah uang, karena jabatan para terdakwa selaku
anggota DPRD Provinsi Riau tahun 2009 sampai dengan 2014, yang mempunyai
kekuasaan dan kewenangan untuk memproses dan mengesahkan Rancangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Pengganti Tahun Anggaran 2014 (RAPBD-
P TA 2014) menjadi APBD-TA 2014 dan rancangan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 (RAPBD TA 2015) menjadi APBD TA
2015, yang menurut Annas Maamun pemberian hadiah atau janji tersebut ada
hubungannya dengan jabatan para terdakwa selaku Anggota DPRD Provinsi Riau
periode Tahun 2009 sampai dengan 2014. Pemberian hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar dilakukannya dengan segera proses dari
pengesahan tersebut.

19
Perbuatan mereka itu telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12 huruf a
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dengan demikian, mereka divonis majlis hakim 6 (enam) thaun pidana penjara
dan denda masing-masing sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
menjatuhkan pidana tambahan yang berwujud pencabutan hak untuk dipilih dalam
jabatan publik selama 5 (lima) tahun terhitung sejak para terdakwa selesai
menjalani pidana pokoknya tersebut.

20
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas pidana pokok yang berupa
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan
serta pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Pada pidana pokok yang
dimaksud dengan pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan
pidana tutupan yaitu, pidana mati merupakan sebuah hukuman pidana atas tindak
pidana kategori berat yang mengharuskan seorang terpidana mengalami hukuman
mati yang berbentuk hukuman gantung, tembak, dan lain sebagainya sebagaimana
diatur dalam tatanan KUHP. Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan. Pidana kurungan merupakan pidana yang lebih ringan
daripada pidana penjara dalam hal bagi pelaku perbuatan pidana terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang sebagaimana telah diatur dalam Buku III KUHP
serta bagi mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan yang tidak disengaja
sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II KUHP. Pidana denda adalah pidana
yang berupa harta benda yang jumlah ancaman pidananya pada umumnya relatif
ringan yang mana dirumuskan sebagai pokok pidana alternatif dari pidana penjara
dan denda. Dan yang terakhir adalah Pidana tutupan yang merupakan jenis pidana
yang baru dimasukkan dalam KUHP.

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang
dijatuhkan. pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya
oleh karena sifat dari pidana tambahan tersebut hanyalah merupakan tambahan dari
sesuatu hal yang pokok. Akan tetapi dalam beberapa hal atas prinsip tersebut
terdapat pengecualian. Pengecualian atas prinsip tersebut dapat dilihat dalam
beberapa aturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan pidana
tambahan tindak hanya diatur dalam KUHP namun juga diluar KUHP dan telah
dimasukkan dalam RUU KUHP. Pada pidana tambahan yang diatur dalam pasal 10
KUHP yang dimaksud dengan pencabutan hak-hak tertentu dikatakan bahwa tidak

21
semua hak dapat dicabut. Hak-hak pidana yang dapat dicabut dengan keputusan
hakim adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 35 KUHP ayat (1).
Mengenai tentang perampasan barang-barang tertentu, perampasan harus mengenai
barang-barang tertentu, sehingga tidak mungkin merampas terhadap seluruh
kekayaan yang dimiliki. Juga mengenai Pengumuman Putusan Hakim harus
diumumkan dengan pintu terbuka dan secara umum.

22
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bakhri, Syaiful. 2009. Perkembangan Stelse Pidana Di Indonesia. Yogyakarta:


Total Media.
Hamzah. 1985. Pidana Mati di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,cetakan ke 2
Lamintang, P. A. F., & Lamintang, T. 2010. Hukum Penitensier: Edisi Kedua.
Sinar Grafika, Jakarta.
Tolib Setiady. 2010. Hukum Penistensier, Jakarta: Alfabeta

Jurnal dan Artikel:

I, Fernando Kansil. 2014. Sanksi Pidana Dalam Sistem Pemidanaan Menurut


Kuhp Dan Di Luar Kuhp. Jurnal Lex Crimen Vol. III No. 3.

Widayati, Lidya Suryani. 2016. Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah Diatur
Sebagai Pidana Yang Bersifat Khusus? Jurnal Negara Hukum. Vol. 7 No.
2.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Rancangan Undang-Undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi.

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Kelompok 3
    Kelompok 3
    Dokumen12 halaman
    Kelompok 3
    Fahdel Muhammad Nasir
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Dokumen10 halaman
    Kelompok 4
    Fahdel Muhammad Nasir
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 2
    Kelompok 2
    Dokumen8 halaman
    Kelompok 2
    Fahdel Muhammad Nasir
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Dokumen9 halaman
    Kelompok 1
    Fahdel Muhammad Nasir
    Belum ada peringkat
  • Eter Dan Epoksida
    Eter Dan Epoksida
    Dokumen31 halaman
    Eter Dan Epoksida
    Fahdel Muhammad Nasir
    Belum ada peringkat