Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah penyakit pembesaran prostat yang
mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M & Batticaca, 2011).
Pembesaran prostat disebabkan oleh dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan
hormon estrogen dan endrogen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga
obstruksi saluran kemih dapat terjadi (Eugene, Terrence, & Andre, 2011). Adanya
obstruksi akan menyebabkan respon nyeri pada saat buang air kecil pada klien dan
menyebabkan masalah nyeri akut ( Eugene, et all, 2011). Penderita umunya
mengalami gejala saluran kemih bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)
seperti memulai fase buang air kecil yang lama dan kadang disertai mengedan,
terputus-putusnya aliran urine, menetesnya aliran urine pada akhir buang air kecil,
pancaran yang lemah, dan rasa tidak puas saat buang air kecil (Budaya & Daryanto,
2019). Gangguan- gangguan sistem lain seperti saluran kemih yang terinfeksi karena
kuman patogen berkembang dalam kandung kemih hal ini disebabkan karena
kembalinya urine dari kandung kemih ke ginjal oleh karena terjadi pembengkakan
pada kalenjer prostat ( Eugene, et all, 2011). Tahap akhir fase dekompensasi
berakibat pada vesika urinaria yang tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi
retensi urine total yaitu penderita tidak dapat berkemih sama sekali (Barbara, 2010).
Bila ketidakmampuan mengenal tanda dan gejala BPH maka tidak dapat dilakukan
tindakan pencegahan mengakibatkan keparahan yang bersifat permanen yang dapat
memperberat mordibilitas penderita yang bersangkutan (Purnomo, 2017).
Insiden Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun, kemudian meningkat
70% pada usia 60 tahun, dan akan mencapai 90% pada usia 80 tahun (Purnomo,
2017). Menurut WHO (2015) penderita BPH di dunia mencapai 70 juta jiwa,
sedangkan di benua Asia mencapai 746.000 jiwa dengan insiden di negara maju
sebanyak 19 % sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus. Di Indonesia
kasus BPH merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih, dan
diperkirakan hampir 50% pria dengan usia 50-65 tahun menderita penyakit BPH
(Riskesdas, 2017). Prevalensi Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) di Kabupaten Sikka
pada tahun 2021 sebanyak 143 pasien (0,06%), data di RSUD T.C Hillers Maumere
tahun 2021-2022 sebanyak 93 kasus (Rekam Medis RSUD dr. T. C. Hillers)
Penyebab terjadinya kasus BPH sampai saat ini belum diketahui pasti, namun
beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH berkaitan dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan) (Purnomo, 2003). Pembesaran
prostat mengakibatkan ransangan pada kandung kemih atau vesika, maka dari itu
vesika sering berkontraksi walaupun belum penuh. Meskipun vesika menjadi
dekompensasi akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir dari miksi akan
ditemukan sisa urine didalam kandung kemih. Karena sering terdapat sisa urine
akibatnya terbentuk batu endapan didalam kandung kemih atau vesicolithhiasis
(Sjamsuhidrajat, R & Jong, 2004). Jika sumbatan urine parah, maka akan dilakukan
pembedahan salah satunya adalah open prostactetomy yaitu pengangkatan kelenjar
melalui insisi abdomen (Purnomo, 2011). Open prostactetomy dilakukan pada pasien
BPH dengan indikasi retensi urine akut, infeksi saluran kemih berulang, hematuria
makroskopik, sistoliasis, penurunan fungsi ginjal, gagal berkemih setelah melepaskan
kateter, perubahan patologis pada urinaria, keluhan telah memberat, tidak adanya
perbaikan setelah terapi konservatif dan medikamentosa, serta pasien menolak terapi
lain selain pembedahan (Sutanto, R, 2021). Pembedahan terbaru dengan
Transurethrar Reseksi Prostatektomi (TURP) (Corwin, 2019). Transurethrar Reseksi
Prostatektomi (TURP) merupakan prosedur yang paling umum dan dapat dilakukan
melalui endoskopi (Price, A. Syilvia, 2005). Transurethrar Reseksi Prostatektomi
(TURP) merupakan suatu pembedahan yang dilakukan pada BPH dan mempunyai
tingkat keberhasilan 80-90 % (Susanto, vol.8, no.3, 2021).
Gangguan eliminasi urine dan Nyeri merupakan masalah utama keperawatan
pada pasien dengan BPH begitu juga masalah utama pada Tn. P. C. yang dirawat di
ruang Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere dengan diagnosa medis Post Open
Prostactetomy. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Medis Post Open
Prostactetomy sesuai Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar
Luaran Keperawatan Indoenesia (SLKI) dan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI). Berdasarkan masalah diatas maka kelompok mengambil kasus ini
sebagai bahan seminar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada Tn. P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada Tn. P.C dengan Post Open Prostactetomy di
rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere
2. Tujuan Kusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien Tn P. C dengan Post Open Prostactetomy
di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere.
b. Meenentukan massalah keperawatan pada pasien Tn P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere berdasarkan
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
c. Menentukan tujuan dan kriteria hasil pada pasien Tn P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere berdasarkan
Standar Luaran Keperawatan Indoenesia (SLKI)
d. Menentukan rencana keperawatan pada pasien Tn P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere berdasarkan
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
e. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien Tn P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere
f. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien Tn P. C dengan Post Open
Prostactetomy di rungan Dahlia RSUD dr. T. C. Hillers Maumere

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan tambahan literatur dan tambahan
pengetahuan bagi pengembangan ilmu keperawatan serta ilmu pengetahuan
tentang asuhan keperawatan khususnya pada pasien post Open Prostactetomy
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi institusi
Memberikan tambahan sumber kepustakaan dan pengetahuan di bidang
keperawatan khususnya masalah yang terjadi pada post operasi prostactetomy
b. Manfaat bagi keluarga pasien
Memberikan pengetahuan dan bimbingan serta deteksi dini terhadap
kegawatan tentang perawatan pada post operasi prostactetomy saat di rumah
c. Bagi penulis
Mendapatkan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan
dalam perkuliahan pada pasien dengan post operasi prostactetomy
d. Bagi perawat
Studi kasus ini diharapkan menjadi panduan dan dapat diterapkan dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi
prostactetomy

Anda mungkin juga menyukai