Anda di halaman 1dari 178

KEBIJAKAN PANDEMI COVID-19

IMPLEMENTASI PADA INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA

Penulis:
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Muhammad Rifqi, S.Hum., M.Si

PENERBIT CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA


i
KEBIJAKAN PANDEMI COVID-19
IMPLEMENTASI PADA INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA

Penulis:
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Muhammad Rifqi, S.Hum., M.Si

ISBN BUKU FISIK: 978-623-8049-07-3


ISBN BUKU DIGITAL: 978-623-8049-21-9 (PDF)
viii + 167 hlm, 15.5 x 23 cm

Desain Cover & Layout: Tim Aksara Publications

Penerbit: CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA


No Anggota IKAPI: 418/JBA/2021

Office: Intan Regency Blok W No 13, Jln. Otto Iskandardinata, Tarogong Kidul –
Garut, Jawa Barat. Kode Pos: 44151. Telp / Wa Bisnis: +6281-2222-3230
Email: aksaraglobalpublications@gmail.com - aksaraglobal.info@aksaraglobal.info
Link Bio: https://campsite.bio/aksaraglobalakademia
Website: https://www.aksaraglobal.co.id - www.aksaraglobal.com

Terbitan ISBN & Cetakan Pertama: @Desember 2022

Terbitan E-ISBN @Januari 2023

@Hak cipta dilindungi undang-undang

ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.

iii
Kata Pengantar

S
egala puji ke hadirat Allah yang Maha Bijak. Kalimat syukur kami
panjatkan kepada-Nya, yang telah memberikan nikmat
kesempatan dan kesehatan, sehingga penulisan buku mengenai
implementasi kebijakan menghadapi pandemi Covid-19 pada industri
pertambangan ini dapat berjalan lancar.
Buku ini merupakan buah dari kolaborasi dan kerja sama berbagai
pihak. Oleh karenanya, sudah sepatutnya kami menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang turut andil,
sesederhana apa pun kontribusinya, terutama kepada Vice President
Perusahaan Pertambangan, Ketua DPP FPE KSBSI, Sekretaris Jenderal
DPP FPE KSBSI, Legal Perusahaan Pertambangan, jajaran DPC FPE dan
PK FPE Perusahaan Pertambangan, serta seluruh informan yang
terlibat dalam penelitian ini, baik dari kalangan manajemen
Perusahaan Pertambangan, serikat pekerja/buruh, maupun karyawan
Perusahaan Pertambangan dan perusahaan-perusahaan
subkontraktornya (SC).
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Namun,
ketidaksempurnaan justru peluang akan adanya perbaikan dan
peningkatan mutu. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kami
membuka diri atas kritik, saran, dan masukan baik dari para pemangku
kepentingan maupun pembaca pada umumnya, sebagai bahan evaluasi
dan perbaikan di kemudian hari.
Demikian buku ini kami susun dengan sebaik-baiknya. Semoga
buku ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, dan
sebagaimana tujuan awalnya ia ditulis, dapat pula menjadi bahan
masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang bekerja
keras dan terlibat langsung dalam penanganan pandemi Covid-19.

Bogor, Desember 2022


Penulis

iv
Sinopsis

B
uku ini membahas mengenai dampak pandemi Covid-19 yang
merupakan kejadian luar biasa yang tidak ada presedennya. Oleh
karena itu, InterofficeMemorandum-nya, manajemen Perusahaan
Pertambangan memahami bahwa “Tidak ada suatu jalan yang jelas
untuk mitigasi COVID-19”. Upaya mitigasi penyebaran virus ini
melibatkan isu-isu medis dan ekonomi yang sangat kompleks, yang
membutuhkan berbagai strategi untuk mengurangi dampak virus. Pada
industri pertambangan, pandemi telah menciptakan tingkat
ketidakpastian yang tinggi di pasar komoditas logam, sehingga harga
tembaga mengalami penurunan yang signifikan. Bagi Perusahaan
Pertambangan sendiri, hal ini terjadi pada saat yang sulit karena
Perusahaan Pertambangan tengah berada dalam periode produksi
yang rendah dan sedang berinvestasi besar-besaran untuk operasi
tambang bawah tanah yang penting bagi masa depan Perusahaan
Pertambangan.
Merespons kondisi global tersebut, Perusahaan Pertambangan
kemudian mengumumkan rencana operasi yang telah direvisi, dalam
mana dilakukan pengurangan pengeluaran modal, tingkat produksi
yang lebih rendah, serta biaya operasi, administrasi, dan eksplorasi
yang lebih rendah untuk menjaga kekuatan finansial perusahaan. Di
tengah situasi tidak menentu dan ketidakpastian di atas, suatu
kebijakan tetap saja tidak boleh dirumuskan dan diimplementasikan
secara membabi buta, tanpa kejelasan langkah dan arah. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama masa pandemi,
khususnya dalam rangka pencegahan penularan dan penyebaran
Covid-19, diorientasikan pada sebuah objektif yang telah diputuskan:
bahwa Perusahaan Pertambangan harus tetap beroperasi dengan
memperhatikan kesehatan, keamanan, dan keselamatan semua
karyawannya. Dalam buku ini secara umum menjelaskan tentang
kebijakan Perusahaan Pertambangan dalam pencegahan penularan
dan penyebaran Covid-19 mengikuti kebijakan yang telah dikeluarkan
v
oleh pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga aturan
pelaksanaannya di tingkat Kabupaten, lokasi di mana Perusahaan
Pertambangan beroperasi. Di antara kebijakan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Melaksanakan protokol pencegahan penularan dan penyebaran
Covid19, yakni “menjaga jarak fisik, mempraktikkan kebersihan
pribadi, mengenakan masker di tempat umum, dan melapor ke
dokter jika mengalami gejala”.
2. Di area kerja (jobsite), Perusahaan Pertambangan “menerapkan
pembatasan perjalanan, persyaratan penjagaan jarak fisik, dan
pengujian/testing untuk membantu menentukan siapa yang
membutuhkan karantina dan isolasi diri”.
3. Menganjurkan kepada karyawan yang yakin atau diberi tahu
oleh staf medis bahwa dirinya memiliki kondisi berisiko tinggi,
untuk kembali ke daerah asalnya dan melakukan isolasi diri.
“Para karyawan Perusahaan Pertambangan akan terus
menerima gaji dan tunjangan, tetapi pada tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang tetap bekerja”.
4. Memperluas kemampuan perawatan medis di Rumah Sakit dan
mengubah Klinik menjadi fasilitas rawat inap. International SOS
menyediakan staf medis tambahan dan peralatan pendukung
untuk membantu memastikan perawatan medis tersedia sesuai
kebutuhan.

Dinamika dan perkembangan situasi senantiasa terjadi. Oleh


karena itu, Perusahaan Pertambangan mengeluarkan Interoffice-
Memorandum (IOM) yang ditujukan kepada seluruh karyawan untuk
memberikan respons setepat dan secepat mungkin terhadap dinamika
yang ada. Setiap kebijakan perusahaan menyangkut penanganan Covid-
19 dan isu-isu yang terkait langsung dengannya dituangkan di dalam
IOM ini. Hingga kini, sudah lebih dari 80 IOM dikeluarkan oleh
manajemen Perusahaan Pertambangan. Buku ini menarik untuk anda
miliki untuk memberikan referensi dalam pengambilan keputusan
maupun kebijakan di era pandemik saat ini. Anda pun bisa mengetahui
vi
lebih jauh mengenai kebijakan yang sudah diimplementasikan oleh
perusahaan sehingga anda bisa melakukan penyesuaian dengan
lingkungan kerja zaman ini.

vii
Daftar Isi
URAIAN HAL

HALAMAN COVER i
HALAMAN COPYRIGHT ii
KATA PENGANTAR iv
SINOPSIS v
DAFTAR ISI viii
BAB I 1
Pembatasan Sosial
Bab Il 21
Perumusan Kebijakan
BAB III 55
Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19
BAB IV 89
Kebijakan Perusahaan
BAB V 95
Konsep Pelaksanaan Kebijakan
BAB VI 107
Peran Serikat Pekerja/Buruh
BAB VII 135
Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan
Penanganan Pandemi Covid-19
DAFTAR PUSTAKA 165
TENTANG PENULIS 169

viii
Kebijakan Pandemi Covid-19| 1

BAB I
PEMBATASAN SOSIAL
2 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB I
PEMBATASAN SOSIAL

1.1 PENDAHULUAN
Terjadinya pandemi Covid-19 sejak awal 2020 hingga saat ini tentu
saja berpengaruh terhadap hampir semua aspek kehidupan, khususnya
dua yang paling kerap disorot, yakni aspek kesehatan dan sosial-
ekonomi. Situasi pandemi merupakan situasi rumit, di mana kebijakan
dan langkah-langkah penanganan yang diambil dan dilaksanakan juga
mengakibatkan dampak-dampak yang tidak dapat diabaikan, termasuk
di bidang ketenagakerjaan.
Kondisi saat ini virus corona bukanlah suatu wabah yang bisa
diabaikan begitu saja tanpa memperhatikan diri untuk menjaga
kesehatan. Jika dilihat dari gejalanya, orang yang tanpa pengetahuan
lebih akan mengiranya hanya sebatas influenza biasa atau penyakit
ringan saja, tetapi bagi analisis kedokteran virus ini cukup berbahaya
dan mematikan. Di tahun 2020, perkembangan permulaan virus ini
cukup signifikan karena penyebarannya sudah mendunia dan seluruh
negara merasakan dampaknya termasuk negara kita sendiri, Indonesia.
Pemerintah menerapkan pembatasan sosial demi memutus mata
rantai penyebaran virus corona. Meskipun banyak fasilitas umum yang
ditutup, namun beberapa sektor vital seperti fasilitas kesehatan, pasar
atau minimarket tetap buka selama masa pembatasan sosial.
Masyarakat pun mendukung opsi tersebut karena dianggap mampu
mencegah penularan penyakit namun tetap menjaga daya beli
masyarakat.
Langkah pembatasan sosial adalah strategi yang efektif untuk
memutuskan mata rantai penyebaran virus corona. Tentu saja hal ini
harus didasari oleh kesadaran masyarakat untuk tidak berkumpul dan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 3

tetap mematuhi protokol yang ada ketika berada diluar rumah.


Langkah pembatasan sosial lebih tepat jika dibandingkan dengan
lockdwon, karena masyarakat sama sekali tidak diperbolehkan untuk
keluar rumah, segala transportasi mulai dari mobil, motor, kereta api,
hingga pesawat pun tidak dapat beroperasi, dan bahkan aktivitas
perkantoran bisa dihentikan semuanya jika terjadi lockdown, maka dari
itu langkah pembatasan sosial jauh lebih baik diterapkan (Nasruddin &
Haq, 2020).

1.2 KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA MASA PANDEMI


COVID-19
Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 pada tanggal 31
Maret 2020 telah mengeluarkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu
diantaranya adalah Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease
2019 (Covid-19), Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Paradigma hukum di Indonesia terkait aturan social distancing
maupun lockdown memiliki landasan hukum berupa UU No. 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan Kesehatan
menurut UU No. 6 Tahun 2018 merupakan upaya mencegah dan
menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko
kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
4 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Pemberlakuan social distancing maupun lockdown sebenarnya


merupakan upaya dari adanya Kedaruratan Kesehatan. Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang
bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular
dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran
biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang
menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas
wilayah atau lintas negara.
Dalam UU No. 6 Tahun 2018 respon dari keadaan darurat kesehatan
diantaranya Karantina rumah, Karantina rumah sakit, Karantina
Wilayah dan yang kini digagas oleh Presiden adalah Pembatasan sosial
berskala besar. Dalam Bab VII menjelaskan tentang penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan di wilayah. Pasal 49 yaitu: (1) Dalam rangka
melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah,
Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial
Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan. (2) Karantina
Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan
Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman,
efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan
ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Penjelasan lanjutan tentang
Karantina Wilayah, yaitu dalam Pasal 53:
1) Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu
wilayah apabila dari hasil konlirmasi laboratorium sudah
terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di
wilayah tersebut.

Wilayah DKI Jakarta selama ini, dianggap sebagai titik pusat


penyebaran Covid-19 di Indonesia. Status PSBB ditetapkan setelah
usulan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disetujui oleh Menteri
Kebijakan Pandemi Covid-19| 5

Kesehatan Terawan Agus Putranto. Kementerian Kesehatan telah


merilis aturan turunan untuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.
Aturan pelaksanaan dari PP tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2020, yang dimaksud PSBB
adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah
yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah penyebarannya. PSBB
dilakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari. Jika masih
terdapat bukti penyebaran berupa adanya kasus baru, dapat
diperpanjang dalam masa 14 hari sejak ditemukannya kasus terakhir.
Berdasarkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020, pelaksanaan PSBB
meliputi: Peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan
keagamaan, pembatasan dilakukan dalam bentuk kegiatan keagamaan
yang dilakukan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan
menjaga jarak setiap orang. Semua tempat ibadah harus ditutup untuk
umum. Pengecualian dilakukan dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan dan fatwa atau pandangan lembaga keagamaan
resmi yang diakui pemerintah. Pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum Pembatasan dilakukan dalam bentuk pembatasan
jumlah orang dan pengaturan jarak orang. Pembatasan kegiatan sosial
dan budaya Pembatasan moda transportasi Pembatasan ini
dikecualikan untuk moda transportasi penumpang baik umum atau
pribadi dengan memperhatikan jumlah penumpang dan menjaga jarak
antar penumpang. Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek
pertahanan dan keamanan Pembatasan ini dikecualikan untuk kegiatan
aspek pertahanan dan keamanan dalam rangka menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan
melindungi bangsa dari ancaman gangguan, serta mewujudkan
6 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

keamanan dan ketertiban masyarakat Dasar hukum sanksi bagi


pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berupa Pergub No.
41 tahun 2020 terlalu lemah untuk bisa memberikan sanksi berupa
denda dan pidana. Untuk itu, Ombudsman Jakarta Raya mendorong
Pemprov DKI Jakarta membentuk peraturan daerah (perda). Perda
dinilai lebih kuat dibandingkan pergub karena juga termuat sebagai
salah satu hierarki peraturan sesuai Undang-undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan
yang memuat sanksi hanya Undang-Undang atau Perpu dan Perda.
Dengan membuat aturan sanksi dalam bentuk perda, Pemprov DKI
memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengenakan sanksi hukum
berupa denda (Kartono, 2020).

1.3 PEMBATASAN SOSIAL SEBAGAI STRATEGI UTAMA


MENGHADAPI PANDEMI
Sebuah situasi pandemi dapat menjadi ancaman serius bagi
kehidupan suatu masyarakat, pertama-tama bukan karena penyakit
yang menjangkiti sebagian populasi sangat mematikan atau memiliki
tingkat kematian (mortality rate) yang tinggi. Pandemi menjadi
ancaman serius karena kemampuan penularan penyakit tersebut
sangat tinggi, sehingga menyebabkan sejumlah besar orang mengalami
sakit dan membutuhkan perawatan medis di saat yang bersamaan.
Dalam kondisi semacam ini, meledaknya jumlah pasien yang harus
dirawat dalam waktu yang singkat akan mengakibatkan beban yang
berlebihan pada sistem kesehatan (healthcare system) yang ada.
Bahkan sistem kesehatan sampai dapat mengalami kolaps; selain
karena banyaknya pasien tidak dapat lagi diimbangi oleh ketersediaan
sumber daya yang ada, para tenaga kesehatan yang bekerja di berbagai
fasilitas kesehatan sebagiannya juga turut terjangkit oleh penyakit yang
sedang merebak. Dengan demikian, ketika jumlah pasien meningkat
drastis, berbagai sumber daya yang ada justru mengalami penyusutan:
alat peralatan kesehatan dan obat-obatan menurun ketersediaannya
karena digunakan secara besar-besaran, jumlah tenaga kesehatan pun
Kebijakan Pandemi Covid-19| 7

berkurang karena sebagian dari mereka terjangkit penyakit, sebagian


lainnya harus menjalani jam kerja yang berlebih (overwork).
Berangkat dari situasi di atas, adalah sangat krusial untuk
memperlambat laju penularan dan penyebaran penyakit. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara vaksinasi untuk menghasilkan kekebalan
kelompok (herd immunity). Akan tetapi, permasalahan, pandemi kerap
kali terjadi karena munculnya penyakit jenis baru yang sangat menular.
Ini berarti, hampir pasti tidak ada ketersediaan vaksin—bahkan
vaksinnya itu sendiri belum ditemukan—yang dapat digunakan pada
masa-masa awal suatu pandemi, sehingga kekebalan kelompok tidak
dapat diwujudkan. Adapun kekebalan kelompok yang dicapai secara
alamiah, yakni ketika suatu penyakit dengan sendirinya menjangkiti
sebagian besar populasi dan sebagian besar dari mereka yang terpapar
pulih dengan sendirinya sehingga memiliki kekebalan alamiah,
bukanlah sesuatu yang dapat diharapkan. Oleh karena prosedur
semacam ini hampir tidak mungkin dikendalikan, sehingga berpotensi
menyebabkan banyaknya jatuh korban yang sebenarnya dapat
dihindarkan.
Pada titik inilah pembatasan sosial (social distancing) menjadi
pilihan strategi yang paling rasional dan manusiawi. Setelah WHO
mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi pada Maret 2020,
pembatasan sosial menjadi semacam norma yang diberlakukan oleh
berbagai negara di dunia, terlepas dari adanya variasi pada tiap-tiap
negara dalam implementasinya. Sebagian negara
mengimplementasikan pembatasan sosial dalam bentuk karantina
wilayah yang ketat, sebagian lain sekadar memberikan himbauan
kepada warganya untuk senantiasa menjaga jarak, menghindari
tempat-tempat umum dan berkumpulnya orang banyak, serta
senantiasa mencuci tangan dengan menggunakan sabun.
Pembatasan sosial berguna untuk memperlambat penyebaran virus
corona, dan dengan demikian, memberikan waktu tambahan bagi
sistem kesehatan untuk bekerja mengurus orang-orang yang telah
8 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

terpapar virus tersebut dan membutuhkan pertolongan medis.


Tambahan waktu ini juga sangat penting bagi kegiatan penelitian dan
pengembangan untuk menemukan dan memproduksi vaksin bagi
Covid-19 (Ernalem et al., 2022).

1.4 PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR (PSBB)


Kebijakan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di
Indonesia untuk yang pertama kali diterapkan pada tanggal 10 April
2020 di Jakarta kemudian diikuti oleh beberapa daerah lainnya di
Indonesia. Ada beberapa regulasi yang berkaitan dengan penerapan
PSBB tersebut. Antara lain adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan
juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor
1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus disease
2019 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan.
Pada kenyataannya, penerapan PSBB di masing-masing daerah
yang ada di Indonesia tentu berbeda-beda dan hal tersebut dapat
ditinjau dari beberapa sisi. Dari sisi mekanisme syarat penerapan PSBB,
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pada
Pasal 2 yaitu :
(1) Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat
melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan
terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau
kabupaten/ kota tertentu.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 9

(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis,
besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis
operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan.

Selain itu, syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk
mendapatkan ketetapan PSBB juga dipertegas dalam Permenkes
Nomor 9 Tahun 2020 yang terdapat pada Pasal 2: Untuk dapat
ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah
provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat
dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau
negara lain.
Secara mekanisme syaratnya dapat dijabarkan bahwa beberapa
kriteria yang telah disebutkan harus diajukan oleh kepala daerah, baik
gubernur/ bupati maupun wali kota dengan mengajukan data adanya
peningkatan jumlah kasus, adanya peningkatan jumlah penyebaran
menurut waktu, serta adanya kejadian transmisi lokal. Data tersebut
kemudian harus disertai dengan adanya kurva epidemiologi yang
menyatakan telah terjadinya penularan di wilayah tersebut. Selain itu,
dalam mengajukan permohonan PSBB, kepala daerah perlu
menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek
ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana prasarana
kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan
aspek keamanan.
Setelah permohonan tersebut diajukan, Menteri Kesehatan akan
membentuk tim khusus yang bekerja sama dengan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Virus Corona untuk melakukan kajian
epidemiologis, dengan mempertimbangkan aspek kesiapan daerah
yang bersangkutan. Nantinya, tim khusus ini memberikan rekomendasi
kepada Menteri Kesehatan untuk memberlakukan PSBB. Namun,
10 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Menteri Kesehatan berhak untuk menolak rekomendasi tersebut


ataupun menerima rekomendasi tersebut. Dengan adanya beberapa
mekanisme syarat penerapan PSBB yang terlalu panjang tersebut jelas
bahwa sangatlah tidak efektif, karena banyaknya persyaratan tersebut
akan menghambat proses penanganan Covid-19.
Ditinjau dari kejelasan klausul yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 :
(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Bunyi pasal tersebut sama seperti yang ada dalam Undang-Undang


Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 59
ayat (3) yaitu :
(3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Bahwa bunyi Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21


Tahun 2020 dan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2018 sama persis. Padahal hakikatnya Peraturan Pemerintah memiliki
peran untuk menjelaskan pelaksanaan atas aturan undang-undang
yang mendelegasikannya. Namun di dalam Peraturan Pemerintah
tersebut tidak disebutkan secara jelas terutama mengenai penjelasan
adanya peliburan dalam rangka mengantisipasi penularan Covid-19
yang pada kenyataannya sekolah maupun tempat kerja tidak
diliburkan, melainkan belajar jarak jauh untuk sekolah dan bekerja dari
rumah / Work From Home (WFH), hal tersebut membuat kejelasan
dalam klausul dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 belum tercapai.
Ditinjau dari ketentuan operasional PSBB, antara Permenkes
Nomor 9 tahun 2020 maupun dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 belum
mencakup perihal tersebut. Kemudian Kebijakan mengenai adanya
Kebijakan Pandemi Covid-19| 11

bantuan langsung tunai oleh pemerintah kepada pelaku UMKM dan


Ojek Online. Realisasi kebijakan terkait hal tersebut belum merata dan
tepat sasaran, karena berdasarkan salah satu bukti wawancara kepada
salah satu pelaku Ojek Online belum menerima bantuan sama sekali
dari pemerintah.
Apabila dilihat dari beberapa tinjauan kebijakan PSBB yang dipilih
oleh Pemerintah dalam menyikapi kasus Covid-19 yang ada saat ini,
memang masih dalam proses pelaksanaan, namun memang di
beberapa daerah di Indonesia juga ada yang mengalami perkembangan
dengan kebijakan yang ada. Tetapi, jika dikaitkan dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
kebijakan PSBB banyak yang kurang efektif karena pasti masyarakat
merasa bahwa belum mendapatkan perlindungan hukum dalam hal ini
yaitu kebijakan yang ada yang dibuat oleh pemerintah saat ini.
Terutama berkaitan dengan tanggung jawab negara terhadap
kesehatan masyarakat dan tenaga medis khususnya yang ada pada
Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) yang menjelaskan bahwa
pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang yang menjadi tanggung
jawab negara atas penyediaannya. Setiap orang berhak dan wajib
mendapat kesehatan dalam derajat optimal, tidak hanya menyangkut
masalah individu tetapi meliputi semua faktor yang berkontribusi
terhadap hidup yang sehat dan juga hak atas kesehatan serta hak atas
pelayanan medis. Banyaknya kebijakan terkait PSBB yang tumpang
tindih antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah yang
disebabkan karena kurangnya koordinasi. Di satu sisi, Pemerintah
Daerah lebih mengetahui kebutuhan dan karakteristik daerahnya
karena Pemerintah Daerah merupakan pejabat publik yang sifatnya
paling dekat dan lebih memahami betul masyarakat di wilayahnya. Di
sisi lain, Pemerintah Pusat memiliki wewenang untuk mengeluarkan
suatu kebijakan kedaruratan kesehatan yang mana mengakibatkan
penerapan kebijakan PSBB dalam menyikapi adanya COVID-19
12 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

menjadi lebih lamban atau kurang sigap karena salah satunya adalah
harus melalui mekanisme yang terlalu panjang (Ristyawati, 2020).

1.5 EFEKTIVITAS PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA


BESAR (PSBB)
Penerapan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
diyakini merupakan cara paling ampuh untuk menekan laju penularan
pandemi Corona Virus atau Covid 19. Hal ini dapat kita lihat dalam
berbagai langkah yang diambil pemerintah baik di tingkat pusat
maupun daerah yaitu dengan menganjurkan atau menghimbau kepada
masyarakat untuk melakukan pembatasan-pembatasan kegiatan pada
sektor-sektor tertentu termasuk juga menekankan kepada masyarakat
untuk menunda terlebih dahulu kegiatan-kegiatan yang sifatnya
mengumpulkan banyak orang hingga dalam aksi nyata berbagai sektor
mulai memberlakukannya sehingga himbauan Presiden untuk bekerja
di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah telah mulai gencar
dilakukan.
Di sisi lain, kondisi ini hampir menghentikan aspek kehidupan
sehari-hari, perdagangan dan aktivitas ekonomi lainnya. Bahkan
negara harus mengucurkan dana untuk menunjang kebutuhan hidup
bagi rakyatnya yang dirumahkan atau untuk mengkonstruksi fasilitas
medis baru. Menurut analisis International Monetary Fund (IMF),
ekonomi global bakal susut setidaknya 3% tahun ini gara-gara
pandemi. Sedangkan di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani
memprediksi ekonomi Indonesia minus 0,4% tahun ini. Sejak kasus
pertama COVID-19 diumumkan awal Maret 2020 lalu, data
Kementerian Ketenagakerjaan mendapati bahwa sudah ada 1,5 juta
orang yang kehilangan pekerjaan di Indonesia.
Lebih buruk lagi adalah tingkat kesadaran masyarakat yang masih
rendah pada aturan PSBB. Menurut penelusuran peneliti CSIS Noory
Oktariza untuk The Jakarta Post, pergerakan keluar-masuk Jakarta
sejak 3 April 2020 tetap tinggi. Tak sedikit yang bergerak dalam radius
ratusan kilometer dari ibu kota, memperkuat dugaan bahwa jutaan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 13

penduduk ibu kota mudik duluan karena khawatir terhadap pandemi


atau kehilangan pekerjaan (Thorik, 2020).

1.6 DAMPAK DARI KEBIJAKAN PEMBATASAN SOSIAL


TERHADAP KONDISI SOSIAL-EKONOMI
Pandemi Covid-19 telah mendatangkan dampak yang luar biasa
besar di bidang sosial-ekonomi. Selama tahun 2020 perekonomian
dunia mengalami kelesuan, dengan pertumbuhan ekonomi yang
melambat. Bahkan di beberapa negara, termasuk Indonesia,
pemerintah secara resmi mengumumkan terjadinya resesi. Kendati
demikian, dampak ini sebenarnya tidak berasal dari penyakit Covid-19
itu sendiri. Dampak ini justru merupakan harga yang harus dibayar dari
penerapan kebijakan penanganan pandemi yang bertumpu pada
pembatasan sosial.
Berbagai kegiatan ekonomi yang bersandar pada berkumpulnya
banyak orang merupakan sektor-sektor yang terdampak paling parah,
seperti tempat-tempat hiburan dan pariwisata, serta pusat-pusat
perbelanjaan. Selain itu, berbagai kegiatan manufaktur yang
menggunakan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk menjalankan
kegiatan produksinya (padat karya) juga mengalami dampak yang
serius. Pembatasan sosial memaksa pabrik-pabrik untuk
mendayagunakan sebagian kecil saja dari jumlah sumber daya dan
tenaga kerja yang dimilikinya, sehingga pemanfaatan kapasitas
produksi mengalami pengurangan secara signifikan, dan produktivitas
pun mengalami penurunan drastis. Berbeda dengan para pegawai
perkantoran yang masih dapat menjalankan pekerjaannya dari rumah
(work from home), para pekerja di sektor-sektor ini lebih banyak yang
kemudian dirumahkan, bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja
(PHK).
Sektor ekonomi berikutnya yang juga terdampak secara signifikan
oleh kebijakan pembatasan sosial adalah sektor-sektor jasa di bidang
transportasi. Dengan adanya himbauan agar tidak bepergian—bahkan
14 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

di beberapa negara, larangan bepergian—sebagian besar masyarakat


tidak lagi melakukan perjalanan, baik untuk berwisata dan rekreasi,
mengunjungi kawan dan kerabat, maupun untuk keperluan dinas.
Jumlah perjalanan orang, baik melalui darat, laut, maupun udara,
dengan demikian, merosot tajam.
Banyak pakar dari berbagai negara yang telah menyoroti kondisi
ekonomi yang mengalami pelambatan, stagnasi, bahkan pertumbuhan
negatif akibat pandemi Covid-19. Tidak sedikit pula dari para pakar
tersebut yang menggarisbawahi berbagai argumentasi mengapa resesi
ekonomi kali ini lebih serius daripada beberapa resesi ekonomi
sebelumnya, seperti yang terjadi pada 2008, bahkan ada juga yang
berpendapat bahwa situasinya lebih buruk daripada Depresi Besar (the
Great Depression) pada tahun 1930-an. Salah satu yang membedakan
resesi kali ini dengan yang terjadi sebelum-sebelumnya, adalah fakta
bahwa resesi tersebut diakibatkan oleh penyebab yang disengaja,
bahkan terprogram, yakni pembatasan sosial untuk memperlambat
meluasnya pandemi. Kegiatan perekonomian seolah-olah dihentikan
secara sengaja.
Di saat yang bersamaan, upaya mendukung sistem kesehatan yang
ada agar tetap dapat bertahan merupakan upaya yang sangat mahal.
Sebagian besar sumber daya yang dimiliki oleh negara mau tidak mau
dire-alokasikan ke sektor kesehatan, baik untuk mendukung
perawatan orang sakit, khususnya para pasien Covid-19, maupun
untuk menjalankan riset guna menghasilkan vaksin yang dapat
digunakan untuk melawan wabah yang tengah merajalela.
Kendati demikian, bukan berarti seluruh sektor perekonomian
mengalami kelumpuhan. Bahkan sektor-sektor tertentu mengalami
pertumbuhan di tengah-tengah menggawatnya situasi pandemi.
Ekonomi digital merupakan salah satu sektor yang mendapatkan
momentum untuk berkembang pesat.
Perjalanan orang-orang yang berkurang secara drastis, berarti akan
berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan jual–beli secara
daring, dan dengan demikian, juga meningkatnya pengiriman barang.
Selanjutnya, aktivitas belajar–mengajar di sektor pendidikan, mulai
Kebijakan Pandemi Covid-19| 15

dari tingkat kelompok bermain dan taman kanak-kanak, pendidikan


dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi di berbagai institut,
akademi, dan universitas, harus dilakukan secara daring. Hal ini
menjadi peluang kemunculan dan perkembangan berbagai perusahaan
digital, termasuk perusahaan-perusahaan start up, yang menyediakan
aplikasi-aplikasi untuk memfasilitasi pembelajaran jarak jauh.
Demikian halnya dengan diberlakukannya sistem bekerja dari rumah;
kebutuhan akan fasilitasi teknologi juga meningkat, baik untuk
keperluan koordinasi seperti layanan pesan singkat (Whatsapp,
Telegram, dll.) dan konferensi video (Zoom, Webex, Google Meet,
Microsoft Team, dll.), maupun pengiriman dokumen-dokumen (pos
elektronik/posel).

1.7 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN PERTAMBANGAN


Untuk mengetahui bagaimana kebijakan penanganan Covid-19
diimplementasikan di lingkungan kerja Perusahaan Pertambangan,
serta bagaimana dampak dari implementasi kebijakan tersebut, perlu
kiranya untuk mengetahui terlebih dahulu gambaran umum mengenai
Perusahaan Pertambangan. Gambaran umum tersebut menyangkut
kegiatan yang dilakukan oleh Perusahaan Pertambangan di
industrinya, sumber daya yang dimiliki terutama sumber daya manusia
(pekerja/buruh), serta perusahaan-perusahaan lain yang berada di
dalam jaringan supply chain (SC) Perusahaan Pertambangan. Informasi
yang disajikan di dalam subbab ini terutama bersumber dari situs resmi
Perusahaan Pertambangan, ditambah informasi dari hasil wawancara
dan berbagai sumber sekunder lain, khususnya situs resmi
perusahaan-perusahaan SC yang terkait.
Perusahaan Pertambangan merupakan sebuah perusahaan
tambang mineral yang menambang dan memproses bijih untuk
menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Perusahaan Pertambangan mengoperasikan pertambangan di
kawasan mineral yang terletak di sebuah Dataran Tinggi terpencil di
16 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

bagian timur Indonesia. Kawasan mineral ini merupakan salah satu


deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. Pertambangan terbuka
yang dilakukan saat ini telah memasuki fase akhir, sehingga
Perusahaan Pertambangan juga mengembangkan beberapa tambang
bawah tanah berskala besar yang memiliki kadar tinggi dan umur
panjang. Namun demikian, secara keseluruhan area operasi
Perusahaan Pertambangan terbentang dari Dataran Tinggi, Dataran
Rendah, hingga Pelabuhan yang terletak di pesisir.
Penambangan terbuka (open pit) meliputi beberapa kegiatan, yakni
kegiatan menambang yang dilakukan melalui tahapan-tahapan
pengeboran, peledakan, pemilahan, pengangkutan, dan penggerusan
batuan bijih; menjaga stabilitas lereng; serta reklamasi, yakni
melakukan penanaman kembali tanaman asli pada daerah yang sudah
tidak ditambang. Alat utama yang digunakan pada metode
penambangan ini berupa shovel untuk mengeruk bijih. Adapun
penambangan bawah tanah dilakukan dengan metode block caving,
yakni memotong blok-blok besar bijih yang terdapat di dalam bumi dari
bawah tanah agar deposit bijih di atasnya runtuh akibat gaya beratnya
sendiri. Setelah runtuh, bijih tersebut kemudian ditarik dari tempatnya
(draw point) dan diangkut menuju alat penghancur. Dengan
menggunakan cara ini, penambangan bawah tanah harus dilakukan
terus-menerus agar draw point yang telah ada tidak sampai tertimbun
dan tertutup kembali. Hal ini nantinya berpengaruh terhadap
keputusan Perusahaan Pertambangan untuk tetap beroperasi selama
masa pandemi. Kami akan kembali ke persoalan ini dan
menguraikannya di bab Hasil dan Pembahasan.
Selain melakukan kegiatan penambangan, Perusahaan
Pertambangan juga mengoperasikan pabrik pengolahan bijih (mill)
yang memiliki empat daerah konsentrator, yakni Konsentrator Utara,
Konsentrator Selatan, Konsentrator #3, dan Konsentrator #4.
Konsentrator Utara mulai difungsikan pada tahun 1972, sementara
Konsentrator Selatan pada tahun 1991. Adapun Konsentrator #3 dan
#4 masing-masing selesai dibangun pada tahun 1995 dan 1998 sebagai
bagian dari proyek peningkatan besar. Kapasitas rancang pengolahan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 17

(nameplate) total keempat konsentrator tersebut mencapai 235.000


ton metric per hari. Namun demikian, dalam praktiknya tingkat
kapasitas pabrik pengolahan dapat bervariasi, tergantung kekerasan
dan ukuran umpan bijih, serta pertimbangan ekonomis lain yang
mungkin mengharuskan pengoperasian pada tingkat yang lebih
rendah.
Di pabrik pengolahan bijih, konsentrat tembaga dan emas
dihasilkan melalui proses pemisahan mineral berharga dari pengotor
yang menutupinya. Kegiatan ini meliputi tahapan-tahapan
penghancuran, penggilingan, pengapungan, dan pengeringan.
Penghancuran dan penggilingan mengubah bentuk bijih menjadi
ukuran pasir halus untuk membebaskan butiran yang mengandung
tembaga dan emas. Pengapungan (flotasi) merupakan proses
pemisahan untuk menghasilkan konsentrat tembaga-emas. Konsentrat
yang telah dihasilkan kemudian dipompa ke Pelabuhan melalui empat
jaringan pipa sepanjang 115 km. Di Pelabuhan, konsentrat ini akan
dikeringkan sampai kandungan airnya hanya 9%, sebelum akhirnya
dikapalkan untuk dijual. Sementara itu, limbah berupa pasir yang tak
bernilai (tailing) disalurkan menuju suatu sistem pembuangan alami
yang mengalir dari pabrik pengolahan ke daerah pengendapan yang
dimodifikasi.
Dalam menjalankan operasinya, Perusahaan Pertambangan
didukung oleh perusahaan-perusahaan subkontraktor dan privatisasi
yang ada dalam jaringan supply chain-nya (SC). Menurut data daftar
privatisasi dan kontraktor di Perusahaan Pertambangan tahun 2018,
secara keseluruhan terdapat 351 organisasi di dalam jaringan SC
tersebut, dengan jumlah keseluruhan sumber daya manusia yang
terlibat mencapai 14.777 orang.
18 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

RINGKASAN
Pandemi Covid-19 telah mendatangkan dampak yang luar biasa
besar di bidang sosial-ekonomi. Selama tahun 2020 perekonomian
dunia mengalami kelesuan, dengan pertumbuhan ekonomi yang
melambat. Bahkan di beberapa negara, termasuk Indonesia,
pemerintah secara resmi mengumumkan terjadinya resesi. Kendati
demikian, dampak ini sebenarnya tidak berasal dari penyakit Covid-19
itu sendiri. Dampak ini justru merupakan harga yang harus dibayar dari
penerapan kebijakan penanganan pandemi yang bertumpu pada
pembatasan sosial.
Dalam penanganan pandemi Covid-19 pada tanggal 31 Maret 2020
pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu
diantaranya adalah:
1. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perusahaan Pertambangan merupakan sebuah perusahaan


tambang mineral yang menambang dan memproses bijih untuk
menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Perusahaan Pertambangan mengoperasikan pertambangan di
kawasan mineral yang terletak di sebuah Dataran Tinggi terpencil di
bagian timur Indonesia. Kawasan mineral ini merupakan salah satu
deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. Pertambangan terbuka
Kebijakan Pandemi Covid-19| 19

yang dilakukan saat ini telah memasuki fase akhir, sehingga


Perusahaan Pertambangan juga mengembangkan beberapa tambang
bawah tanah berskala besar yang memiliki kadar tinggi dan umur
panjang. Namun demikian, secara keseluruhan area operasi
Perusahaan Pertambangan terbentang dari Dataran Tinggi, Dataran
Rendah, hingga Pelabuhan yang terletak di pesisir.
20 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Kebijakan Pandemi Covid-19| 21

BAB II
PERUMUSAN KEBIJAKAN
22 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB II
PERUMUSAN KEBIJAKAN

2.1 PENDAHULUAN
Perkembangan studi kebijakan publik semakin kuat sebagai akibat
terjadinya perubahan lingkungan birokrasi publik. Meningkatnya
rasionalitas masyarakat sebagai akibat dari keberhasilan
pembangunan sosial ekonomi, telah memunculkan berbagai tantangan
baru bagi birokrasi publik. Salah satunya adalah semakin besarnya
tuntutan akan kualitas kebijakan yang lebih baik. Ini mendorong
munculnya minat untuk mempelajari studi kebijakan publik. Keinginan
untuk mewujudkan otonomi daerah yang kuat juga mendorong
perlunya perubahan orientasi pejabat birokrasi di daerah dan
peningkatan kemampuan mereka dalam perumusan dan perencanaan
kebijakan dan program pembangunan.
Keluhan dan kritik masyarakat itu tentunya tidak bisa diabaikan
oleh pemerintah, kalau pemerintah tidak ingin kehilangan simpati dan
pengaruh terhadap masyarakat. Tuntutan akan kualitas kebijakan
pemerintah yang semakin baik, yang dapat memaksimalkan manfaat
untuk sebagian besar masyarakat, telah menyadarkan pemerintah akan
perlunya mereka meningkatkan kemampuan aparat mereka dalam
perumusan dan perencanaan kebijakan. Hal ini ditandai dengan
banyaknya aparat pemerintah yang kuliah lagi untuk mempelajari
teori-teori administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di
Indonesia. Ini tentunya memiliki kontribusi positif terhadap
perkembangan studi kebijakan publik di Indonesia.
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus,
karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan
meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons,
Kebijakan Pandemi Covid-19| 23

1997). Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan


bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat
dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam
pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Sering kali ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh
pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan
dilaksanakan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang
diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Dalam proses kebijakan
publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan yang cukup
panjang. Thomas R. Dye (2001) menguraikan proses kebijakan publik
dalam beberapa tahapan, di antaranya (Parson, 2005: 154):
1. Identifikasi masalah kebijakan.
2. Penyusunan agenda.
3. Perumusan kebijakan.
4. Pengesahan kebijakan.
5. Implementasi kebijakan.
6. Evaluasi kebijakan.

2.2 PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK


Perumusan kebijakan adalah langkah yang paling awal dalam
proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu apa yang
terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya
kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Perlu
diingat pula bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah
perumusan yang berorientasi pada implemantasi dan evaluasi, sebab
sering kali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa perumusan
kebijakan publik yang baik adalah sebuah konseptual yang sarat
dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi (Putra,
2001).
Dalam tataran konseptual perumusan kebijakan tidak hanya berisi
cetusan pikiran atau pendapat para pemimpin yang mewakili anggota,
tetapi juga berisi opini publik (public opinion) dan suara publik (public
24 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

voice), seperti dijelaskan oleh Parson (1997). Hal ini disebabkan oleh
proses pembuatan kebijakan pada esensinya tidak pernah bebas nilai
(value free) sehingga berbagai kepentingan akan selalu mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan.
Mengikuti pendapat Anderson, Bintoro Tjokroamidjojo (1976),
Bapak Administrasi Pembangunan Indonesia, mengemukakan bahwa
“Policy Fomulation sama dengan Policy Making, dan ini berbeda dengan
decision making (pengambilan keputusan)”. Policy making memiliki
konteks pengertian yang lebih luas dari decision making. Sedangkan
William R. Dhall (1972) mendefinisikan decision making sebagai
pemilihan atas pelbagai macam alternatif. Sementara Nigro dan Nigro
(1980) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan mutlak yang dapat
dibuat antara pengambilan keputusan decision making dengan
pembuatan kebijakan (policy making), karena itu, setiap pembuatan
kebijakan adalah suatu pembuatan keputusan. Akan tetapi,
pengambilan kebijakan membentuk rangkaian-rangkaian tindakan
yang mengarah ke banyak macam keputusan yang dibuat dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Selanjutnya, Tjokroamidjojo (1976) menegaskan bahwa “apabila
pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai, maka maka
kegiatan tersebut disebut pengambilan keputusan; sebaliknya bila
pemilihan alternatif itu terus-menerus dilakukan dan tidak pernah
selesai, maka kegiatan tersebut dinamakan perumusan kebijakan.
Dengan demikian, pengertian perumusan kebijakan menyangkut
suatu proses yang terdiri dari sejumlah langkah-langkah. Ripley (1985)
menjelaskan beberapa langkah dalam kebijakan publik, yaitu:
1. Agenda setting
2. Formulation dan legitimination
3. Program Implementations
4. Evaluation of implementation, performance, and impacts
5. Decisions about the future of the policy and program
Kebijakan Pandemi Covid-19| 25

Rincian dari setiap langkah tersebut dapat dilihat dalam Gambar


berikut.

Gambar 2.1. Langkah-langkah Pengambilan Kebijakan


(Sumber : Randall B. Ripley. 1985)

Dengan demikian, berdasarkan pendapat Ripley tersebut,


ruang lingkup Formulasi Kebijakan Publik lebih menekankan pada
tahapan: Agenda Setting, Agenda Pemerintah, Formulasi dan legitimasi,
serta pengambilan dan pengumuman kebijakan untuk mencapai
sasaran seperti apa yang telah dijelaskan di atas.
Beberapa pakar menjelaskan bahwa proses perumusan kebijakan
publik selalu dan harus memperhatikan beberapa karakteristik penting
agar dapat mencapai sasaran kebijakan yang dituangkan dalam
tahapan implementasi kebijakan. Misalnya, dijelaskan oleh O’Jones
(1996) bahwa ada empat varian kelompok kepentingan bila dilihat atas
interest dan akses serta kebutuhan masyarakat pada perumusan
kebijakan publik, yaitu:
a. Kelompok kepentingan yang terorganisasi dengan baik dengan
akses yang mapan.
26 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

b. Kelompok kepentingan yang terorganisasi dengan baik tanpa akses


yang mapan.
c. Kelompok kepentingan yang tidak terorganisasi dengan baik tetapi
memiliki akses yang mapan.
d. Kelompok kepentingan yang tidak terorganisasi sekaligus juga
tidak memiliki akses yang mapan.

Berbagai peraturan dirumuskan oleh pimpinan maupun eksekutif


yang ditindaklanjuti oleh birokrasi terkait bekerja-sama dengan
masyarakat (stakeholders). Konsepsi itu membe-rikan petunjuk bahwa
kegagalan implementasi kebijakan merupakan bagian dari tugas dan
tanggung jawab jajaran birokrasi.
Untuk kepentingan proses implementasi kebijakan publik yang
selalu direspon oleh masyarakat secara positif, para perumus kebijakan
harus senantiasa melakukan negosiasi secara langsung dengan
masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan (Islamy, 2001).
Pandangan itu mengingatkan atas konsep “policy environment” yang
diungkapkan oleh Dye (dalam Dunn, 2000), sehingga perlu hati-hati
dalam implementasinya karena antara perumusan kebijakan dan
implementasinya tidak dapat dipisahkan. Di samping itu setiap
perumusan kebijakan yang baik harus terkandung nuansa
implementasi dan tolok ukur keberhasilannya, sehingga kebijakan yang
telah dirumuskan dan diwujudkan dalam bentuk program harus selalu
bertujuan dapat diimplmentasikan (Islamy, 2000).
Berbagai penjelasan konseptual di atas terkait dengan perumusan
kebijakan, konsep perumusan terkait dengan perso-alan implementasi
kebijakan, dimana ketergantungan imple-mentasi yang baik akan
sangat ditentukan oleh proses dan penentuan kebijakan yang
dilakukan. Di samping itu, perumu-san dan implementasi kebijakan
merupakan dua eleman yang tidak dapat dipisahkan sekalipun secara
konseptual berbeda Dunn (2000). Sebuah kebijakan tidak mempunyai
arti apapun jika tidak dapat diimplementasikan. Oleh karena itu perlu
dirumuskan secara tepat melalui proses penentuan kebijakan yang
relevan dengan rencana implementasinya.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 27

Aspek lain yang terkandung dalam memahami dinamika penetapan


dan implementasi kebijakan yang seirama tersebut. Dalam prosesnya
perlu memperhatikan konteks pelibatan masyarakat seperti
diungkapkan oleh Islamy (2002), Dunn (2000) dan Thoha (2002). Hal
ini berarti bahwa antara konsep penetapan dan implementasi
kebijakan disamping harus selaras, juga harus dilihat sebagai bagian
kehidupan masyarakat di dalam lingkungan.
Selanjutnya, banyak orang percaya masalah kebijakan adalah
merupakan kondisi obyektif yang keberadaannya secara sederhana
dapat ditentukan dari “fakta” apa yang ada dibalik suatu kasus.
Pandangan yang naïf mengenai sifat masalah kebijakan ini akan gagal
untuk memahami bahwa fakta-fakta yang sama, misalnya, statistik
pemerintah yang menunjukkan bahwa kriminalitas polusi dan inflasi
meningkat–cenderung diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap
pelaku kebijakan. Karenanya, informasi yang sama dapat dan selalu
menghasilkan konflik definisi dan penjelasan terhadap suatu
“masalah“. Hal ini bukan karena fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak
konsisten, tetapi karena analis kebijakan, pengambil keputusan, dan
pelaku-pelaku kebijakan lainnya berpegang pada asumsi-asumsi yang
berbeda mengenai sifat manusia, pemerintah, dan kesempatan
melakukan perubahan sosial melalui tindakan publik. Dengan kata lain
masalah kebijakan terletak di mata para pelakunya (Darwin, 1999).
Dunn (2000) menambahkan bahwa masalah kebijakan adalah nilai,
kebutuhan dan kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi yang dapat
diidentifikasikan dan dicapai melakukan tindakan publik. Informasi
mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannaya, seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, dihasilkan melalui penerapan
prosedur analisa kebijakan perumusan masalah. Perumusan masalah,
sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian di mana analis
meraba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi
problematis, tak disangkal merupakan aspek yang paling rumit tatapi
paling sedikit dipahami dalam analisa kebijakan. Proses perumusan
28 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

masalah kebijakan tidak mengikuti aturan-aturan yang definitif, karena


masalah kebijakan itu sendiri sedemikian kompleks. Karena itu,
masalah kebijakan merupakan tahap paling kritis dalam analisa
kebijakan, karena analis lebih sering memecahkan masalah yang salah
dari pada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang benar.
Kesalahan fatal dalam analisa kebijakan adalah memecahkan rumusan
masalah yang salah karena analis dituntut untuk memecahkannya
secara benar.
Kemampuan untuk mengenali perbedaan antara situasi
problematis, masalah kebijakan dan isu kebijakan sangat penting guna
memahami pelbagai cara bagaimana pengalaman sehari-hari
diterjemahkan kedalam ketidak sepakatan mengenai arah tindakan
pemerintah baik yang aktual maupun poten-sial. Rumusan masalah
sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dari pelbagai pelaku
kebijakan–anggota parlemen, administrator, pemimpin bisnis dan
kelompok-kelompok konsumen–sebagai alat dalam memahami situasi
problematis. Sebaliknya, setiap rumusan (formulasi) masalah
menentukan cara bagaimana isu kebijakan didefinisikan.
Abdul Wahab (1997) dan Dunn (2000) mengatakan bahwa tingkat
kompleksitas isu kebijakan paling mudah digambarkan dengan melihat
tingkat organisasi yang merumuskan dan memecahkan masalah. Isu
kebijakan diklasifikasikan menurut tipe penjejangan: utama, sekunder,
fungsional, dan minor. Isu utama (major issues) ditemukan di tingkat
organisasi tertinggi baik nasional maupun propinsi. Isu kebijakan
biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai misi organisasi.
Yaitu, pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan sifat dan
tujuan organisasi pemerintah. Isu tentang bagaimana departemen-
departemen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Mengatasi masalah-masalah kemiskinan merupakan pertanyaan dari
organisasi-organisasi tingkat ini. Isu sekunder (secondary isssues)
berada di tingkat program dari badan-badan di tingkat nasional dan
lokal. Isu sekunder dapat berupa satuan prioritas program dan definisi
kelompok target. Isu bagaimana mendefinisikan keluarga miskin
adalah isu sekunder. Isu fungsional (functional issues), berkebalikan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 29

dengan sebelumnya, terdapat baik di tingkat program ataupun proyek


dan meliputi pertanyaan tentang budgeting, keuangan, dan perbekalan.
Akhirnya, Isu minor (minor issues) paling banyak di tingkat proyek-
proyek khusus. Isu minor meliputi personalia. Staffing, upah, waktu
libur, dan prosedur serta peraturan pelaksanaan standar
Semakin tinggi tipe isu kebijakan, masalah (problem) yang
dirumuskan analis menjadi semakin kompleks dalam arti, masalah
menjadi semakin saling bergantung, subyektif, buatan dan dinamis.
Meskipun isu-isu tersebut saling bergantung, beberapa isu bersifat
strategis, sementara lainnya bersifat operasional. Isu strategis
(strategic issues) adalah suatu isu yang keputusannya relatif tidak dapat
diubah. Beberapa isu seperti apakah aparat keamanan harus
membasmi secara fisik para pelaku tindak kriminal merupakan
masalah strategis karena akibat atau hasil tindakan tidak dapat dibalik
dalam beberapa tahun. Sebaliknya, isu operasional yaitu isu dimana
akibat atau hasil keputusan relative dapat dibalik–tidak mengandung
resiko dan ketidak pastian seperti yang terdapat pada tingkat-tingkat
yang lebih tinggi. Karena semua tipe isu itu bersifat saling bergantung
misalnya, realisasi misi organisasi sebagian besar bergantung pada
kecukupan praktis personelnya penting sekali dipahami bahwa
kompleksitas dan ketidakmampuan untuk diubah dari keputusan-
keputusan kebijakan meningkat sejalan dengan jenjang tipe isu
kebijakan (Darwin, 1999).
Syarat yang dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah yang
susunannya tidak jelas, tidak sama dengan yang dibutuhkan untuk
masalah yang tersusun dengan baik. Jika pada masalah yang tersusun
dengan baik analis dapat menggunakan metode-metode konvensional
untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dengan jelas atau
terbukti sendiri, maka pada masalah yang susunannya tidak jelas
terdapat tuntutan agar analis mengambil langkah pertama dengan
mendefinisikan masalah itu sendiri.
30 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Dalam mendefinisikan sifat masalah, analis tidak hanya meletakkan


dirinya dalam situasi problematik, tetapi juga harus menguji pemikiran
dan wawasannya secara kreatif. Ini berarti bahwa kebanyakan analisa
kebijakan tercurah pada perumusan masalah dan setelah itu baru pada
pemecahan masalah. Pada kenyataannya, pemecahan masalah hanya
merupakan sebagian kecil dari kerja analisa kebijakan (Rein and White,
1977).

2.3 AKTOR FORMULASI KEBIJAKAN


Kajian terhadap aktor perumus kebijakan merupakan hal yang
penting. Para aktor merupakan penentu isi kebijakan dan pemberi
warna dinamika tahapan-tahapan proses kebijakan. Sesuai dengan
pendapat Winarno (2005), jika tipe kebijakan berpengaruh terhadap
tingkat kesulitan yang dapat terjadi dalam proses formulasi kebijakan,
maka aktor-aktor pelaksana dan hubungan antar aktor berpengaruh
langsung terhadap keberhasilan proses formulasi kebijakan. Para aktor
tersebut masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan
kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan.
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai
aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara
atau yang disebut oleh Anderson dalam Abdul Wahab (2005) sebagai
pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non
pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan
resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat
dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut terdiri atas
legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif
merujuk kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh
para staffnya. Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran
kabinetnya. Sementara itu, badan administratif menurut merujuk
kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Di pihak lain,
Pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam
perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview
kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 31

Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi


dan bentuk dari sebuah kebijakan publik.
Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang
terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok
kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi;
serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut sebagai peserta non
pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau
dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi
mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan
yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan
informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi.
Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka
siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan ditentukan oleh
institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui proses
informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide
terhadap proses perumusan kebijakan tetap atau sangat diperlukan.
Lembaga/instansi pemerintah banyak terlibat dalam perumusan
ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait dengan
pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh
pemerintah mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga
itu sebagai aparat pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan
menjadi semakin terbuka. Dengan pemahaman tersebut, maka
lembaga/instansi pemerintah telah menjadi pelaku penting datam
proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi pemerintah
juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan
dalam sistem politik. Lembaga/instansi tersebut secara khas tidak
hanya menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi
dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang
berbeda dengan evaluasi rancangan kebijakan. Aktor-aktor dalam
formulasi adalah individu atau kelompok yang memiliki kepentingan
32 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dengan kebijakan yang dibuat dan berasal dari berbagai kalangan.


Dalam formulasi, stakeholders bisa berasal dari legislatif, eksekutif
maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam kepentingan
yang sama dalam pengambilan keputusan sedangkan dalam evaluasi
rancangan kebijakan, aktor-aktor yang terlibat dalam eksekutif tetapi
berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda.
Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers), vertikal
(levels), maupun antar lembaga (locus-loci). Secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers, levels, loci) yang
terlibat dalam formulasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit
pula kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor
yang terlibat, maka akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang
dibutuhkan, semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk
didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggung jawab
antar aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu.
Secara umum aktor-aktor atau yang terlibat dalam proses formulasi
kebijakan dibagi dalam dua kategori besar yakni (Jones, 2007):
1. Aktor Inside Government, pada umumnya meliputi:
a) Eksekutif (Presiden; Staf Penasihat Presiden; para Menteri, para
Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan politis;
b) Anggota-anggota dari badan perwakilan rakyat (Lem-baga
Legislatif);
c) Badan dan orang-orang Yudikatif secara parsial;
d) Birokrasi.

2. Aktor Outside Government, pada umumnya meliputi:


a) Kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa
berwujud LSM (NGO). Kelompok/ikatan profesional, kelompok
bisnis, perserikatan buruh, bahkan organisasi atau lembaga
keagamaan;
b) Akademisi, peneliti dan konsultan, pihak swasta (perusahaan)
memberikan layanan sesuai permintaan pemerin-tah);
c) Politisi;
Kebijakan Pandemi Covid-19| 33

d) Media massa;
e) Opini publik;
f) Kelompok sasaran kebijakan (beneficiaries);
g) Lembaga-lembaga donor.

Orang-orang yang terlibat dalam formulasi kebijakan publik


tersebut sebagai aktor formulasi kebijakan publik. Sebutan lain bagi
aktor adalah partisipan, peserta perumusan kebijakan publik. Oleh
karena kebijakan publik mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional,
umum, khusus, dan teknis), maka para aktor formulasi kebijakan di
setiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda.
Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan
adalah kemauan pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor
di luar pemerintah, yaitu aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah
sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai
”lawan politik” tetapi sudah saatnya pemerintah menjadikan aktor-
aktor itu sebagai ”sahabat” dalam membicarakan produk-produk
kebijakan publik di daerah.

2.4 PENETAPAN PERUMUSAN KEBIJAKAN


Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah
proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif
kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan
pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama
tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan
mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai
kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap perumusan kebijakan
melibatkan aktifitas identifikasi dan atau merajut seperangkat
alternatif kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan serta
mempersempit seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam
penentuan kebijakan akhir (Sidney, 2007: 79).
34 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999),


menurut Sidney perumusan kebijakan mencoba menjawab sejumlah
pertanyaan, yaitu:
a. Apa rencana untuk menyelesaikan masalah?
b. Apa yang menjadi tujuan dan prioritas?
c. Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut?
d. Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan?
e. Eksternalitas apa, baik positif maupun negatif yang terkait dengan
setiap alternatif? (Sidney, 2007: 79)

Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses


identifikasi terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan
masalah; serta kemudian mengidentifikasi dan mendesain seperangkat
perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan
(Sidney, 2007: 79). Tahap perumusan juga melibatkan proses
penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif yang isinya
mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta
mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut
akan berlaku dan memiliki dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga
didukung oleh pernyataan Jann dan Wegrich serta Anderson. Menurut
Jann dan Wegrich, di dalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan
kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan masyarakat
ditransformasikan ke dalam sejumlah program pemerintah.
Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi
sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta
pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang
berbeda (Jann dan Wegrich, 2007: 48).
Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan
akan tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan
alternatif, proposal, atau pilihan) untuk menangani permasalahan
publik. Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya akan
berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan
perundang-undangan (Anderson, 2006: 103-109). Namun, pada
umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan untuk
Kebijakan Pandemi Covid-19| 35

membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini.


Terkait permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria yang membantu
dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk
dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan
secara politis, biaya, manfaat, dan lain sebagai-nya (Sidney, 2007: 79).
Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat
kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat
ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan (Jann,
2007: 51).
Perumus kebijakan perlu mempertimbangkan sejumlah hal yang
dapat meningkatkan peluang berhasilnya proposal kebijakan yang
dirumuskannya. Sejumlah hal tersebut adalah, model-model
perumusan kebijakan, model sistem-politik, model rasional
komprehensif, model ingkrementalis dan model penyelidikan
campuran, (Anderson, 2006: 104).

2.5 MODEL-MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN


Membuat atau merumuskan kebijakan bukanlah suatu proses yang
sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor atau kekuatan-
kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan
tersebut. Suatu kebijakan dibuat bukan semata-mata untuk
kepentingan politis tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup anggota masyarakat secara keseluruhan. Perumusan kebijakan
akan lebih mudah dimengerti apabila menggunakan suatu model atau
pendekatan tertentu. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan
model-model perumusan kebijakan untuk mengkaji proses perumusan
kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan
model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih
menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung
secara rumit tersebut.
36 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Ada cukup banyak model perumusan kebijakan yang dipaparkan


oleh beberapa ahli. Sebelum dibahas lebih lanjut identifikasi beberapa
model perumusan kebijakan, perlu diperhatikan bahwa tidak ada
satupun dari beberapa model yang dibahas dianggap “paling baik”,
karena masing-masing model memberikan fokus perhatiannya pada
aspek yang berbeda, sehingga akan membuat kita mampu mempelajari
kebijakan dari berbagai sudut pandang.

1. Model Sistem-politik
Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton. Model
ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (inputs, withinputs,
outputs dan feedback) dan memandang kebijakan sebagai respon suatu
sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (dalam hal ini
yaitu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya)
yang ada di sekitarnya.
Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga
dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat sehingga model ini
memandang kebijakan sebagai hasil (output) dari sistem politik yang
berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-
dukungan (supports), dan sumber-sumber (resources), menjadikan ini
semua adalah masukan–masukan (inputs), di mana masukan atau
inputs ini menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang
otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep “sistem”
ini juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen
yang membangun sistem politik serta mempu-nyai kemampuan
menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Inputs yang sudah
diterima oleh sistem politik dijadikan dalam bentuk tuntutan dan
dukungan (Islamy, 2004: 45).
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh
Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan
kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para
pembuat kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model ini
mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari
interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 37

dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran


dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh
organisasi pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan
seterusnya akan berinteraksi dengan organisasi.
Tuntutan-tuntutan (demands) timbul bila individu-individu atau
kelompok setelah memperoleh respons dari peristiwa dan keadaan-
keadaan yang ada di lingkungannya serta berupaya mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan. Konsep “sistem” ini akan menyerap
berbagai tuntutan yang ada. Sedangkan dukungan (supports)
diperlukan untuk menunjang tuntutan-tuntutan yang telah dibuat tadi.
Jika sistem politik telah berhasil membuat keputusan ataupun
kebijakan yang sesuai dengan tuntutan tadi maka implementasi
keputusannya akan semakin mudah dilakukan. Menerima dan
mematuhi hasil keputusan kebijakan, mematuhi undang-undang,
membayar pajak dan sebagainya adalah merupakan perwujudan dari
pemberian dukungan dan sumber-sumber.
Suatu sistem menyerap bermacam-macam tuntutan yang kadang
kala bertentangan antara satu dengan yang lain. Untuk mengubah
tuntutan-tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan (kebijakan-kebijakan
publik), suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian-
penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan.
Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen
yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi
antara berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya
melalui tiga hal, yakni:
1) Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan.
2) Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem
itu sendiri.
3) Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan
(penggunaan otoritas).
38 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Dengan penjelasan yang demikian, maka model ini memberikan


manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap
pembentukan kebijakan. Secara singkat bisa dipahami, perumusan
kebijakan dengan menggunakan model sistem ini mengandaikan
bahwa kebijakan merupakan hasil dari output dari sistem. Seperti yang
dipelajari dalam ilmu politik yang dikemukakan David Easton, yang
terdiri atas input, throughput¸dan output dimana model ini merupakan
model yang paling sederhana namun cukup komprehensif (Nugroho,
2006: 96).

2. Model Rasional Komprehensif


Model ini merupakan model yang paling dikenal dan juga paling
luas diterima parakalangan pengkaji kebijakan. Model teori ini
mengedepankan gagasan bahwa kebijakan sebagai maximum social
gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus
memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi
masyarakat.
Model ini mengatakan bahwa proses penyusunan kebijakan harus
didasarkan pada kebutuhan yang sudah diperhitungkan
rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara
pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, model ini lebih
menekankan pada aspek efisiensi dan aspek ekonomis.
Cara–cara memformulasikan atau merumuskan kebijakan-nya
sesuai urutan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
b. Menemukan pilihan-pilihan
c. Menilai konsekuensi masing- masing pilihan
d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien

Apabila dirunut, model ini merupakan model ideal dalam


merumuskan kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan
efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memfokuskan
pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan (Nugroho, 2006: 82).
Kebijakan Pandemi Covid-19| 39

Unsur- unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai


berikut:
1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang
dapat dibedakan dari masalah–masalah lain atau setidaknya dinilai
sebagai masalah–masalah yang dapat diperbandingkan satu sama
lain.
2) Tujuan-tujuan, nilai–nilai, atau saran yang memedomani pembuat
keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai
dengan urutan kepentingannya.
3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti
secara seksama
4) Teliti juga akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh
setiap alternatif yang dipilih
5) Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya
dapat diperbandingkan dengan alternatif lain yang ada
6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat- akibatnya,
yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai atau sasaran
yang telah digariskan (Abdul Wahab,2005: 19).

Namun, model ini juga memiliki kelemahan dan kelebihannya.


Beberapa ahli yangmemuji model ini di antaranya:
1) Lutrin dan Settle, yang berpendapat bahwa “Model rasional
komprehensif dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal yang
akan banyak diinginkan dalam berbagai keadaan”
2) Nicholas Henry, yang berpendapat bahwa “Model rasional
komprehensif menjelaskan tentang bagaimana kebijakan nega-ra
itu seharusnya dibuat di lembaga pemerintahan secara opti-mal.
Hal inilah yang menjadikan model rasional komprehensif begitu
berharga bagi administrasi negara karena model ini berhubungan
dengan bagaimana kebijakan itu dibuat secara lebih baik”
3) Ira Sharkansky, yang berpendapat bahwa “Model ini adalah
menggunakan rasionalitas, dimana rasionalitas adalah suatu nilai
yang telah diterima secara luas pada kebudayaan kita”.
40 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

4) James E. Anderson, yang berpendapat bahwa “model pembuatan


keputusan yang banyak dikenal dan juga mungkin yang
banyak/secara luas diterima adalah model rasional komprehensif
(Islamy, 2004: 52-53).

Selain pendapat-pendapat di atas, masih banyak lagi pendapat lain


yang memuji kehebatan model rasional komprehensif, tetapi secara
kontroversial mereka juga mengakui akan banyaknya kelemahan-
kelemahan model ini. Seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles
Lindblom menyatakan bahwa para perumus kebijakan itu sebetulnya
tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan
terumuskan dengan jelas. Sebaliknya, mereka pertama-tama harus
mengidentifikasikan dan merumuskan masalah-masalah itu dan dari
sinilah mereka kemudian memutuskan untuk merumuskan kebijakan.
Merumuskan masalah lah yang seringkali justru merupakan kesulitan
terbesar bagi banyak pembuat kebijakan (Abdul Wahab, 2005: 19).
Kelemahan model ini yang kedua adalah pada praktiknya perumus
kebijakan acapkali tidak mempunyai cukup kecakapan untuk
melakukan syarat-syarat dari model ini, mulai dari analisis, penyajian
alternatif, memperbandingkan alternatif, hingga penggunaan teknik-
teknik analisis komputer yang paling maju untuk menghitung rasio
untung dan ruginya. Selain itu hal ini menunjukan bahwa rasionalitas
itu sendiri mempunyai keterbatasan dan bisa jadi berubah menjadi
irasionalitas. Hal ini lah menunjukkan bahwa teori “rasional” tidak
cukup untuk memahami pembuatan keputusan kebijakan negara
(Nugroho, 2006: 88).

3. Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini
lahir berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional-
komprehensif dengan mengubah (memodifikasi) sedikit-sedikit
kebijakan yang sudah dibuat oleh model rasional komprehensif
(Islamy,2004: 59). Dijelaskan bahwa para pembuat kebijakan
dalammodel rasional komprehensif tidak pernah melakukan proses
Kebijakan Pandemi Covid-19| 41

seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional dikarenakan para


pembuat kebijakan tidak memiliki cukup waktu, intelektual dan biaya.
Ada muncul kekhawatiran dari dampak yang tidak diinginkan akibat
kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, ada hasil–hasil dari
kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan dan menghindari
konflik (Nugroho, 2006: 89).
Model ini melihat bahwa kebijakan merupakan variasi atau
kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan
sebagai model pragmatis/praktis. Pendekatan model ini diambil ketika
pembuat kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu,
ketersediaan informasi, dan kecukupan dana untuk melakukan
evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pembuat
kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul di
sekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu
dengan beberapa modifikasi seperlunya. Pilihan ini biasanya dilakukan
oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang
pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru
yang dapat memuaskan seluruh warga.
Dengan kata lain, model ini memberikan kebijakan tambahan yang
baru dengan sedikit memodifikasi kebijakan di masa lalu hanya saja
kebijakan penambahan (inkremental) ini tidak mendapatkan dukungan
yang memadai. Model inkrementalis berusaha mempertahankan
komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yang
telah dicapai.
Model kebijakan inkrementalis tidak saja terjadi karena
keterbatasan sumber daya, melainkan juga karena keberha-silan di
masa lalu yang menciptakan rasa puas diri yang berke-panjangan
(Nugroho, 2006: 89-91).
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat keputusan
dalam menunaikan tugasnya berada di bawah kea-daan yang tidak
pasti yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi dari
tindakan mereka di masa depan, maka keputusan-keputusan
42 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

inkremental dapat mengurangi resiko atau biaya ketidakpastian itu.


Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis karena didasari
kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan
dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis
yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-
masalah yang ada.
Disamping itu, pada hakikatnya orang ingin bertindak secara
pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam
menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme
menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan
dan diterima.
Model inkremental ini juga memiliki kekurangan dan kelebihannya.
Hal ini bisa kita lihat dari beberapa pendapat dari beberapa ahli.
(Islamy, 2004: 65) Seperti komentar James Anderson yang mengatakan
bahwa,
“Inkrementalis adalah suatu model yang tepat dalam merumuskan
kebijakan karena ia akan lebih mudah mencapai kesepakatan bila
masalah-masalah yang dipertentangkan di antara beberapa kelom-pok
hanyalah sekedar memodifikasi atas kebijakan-kebijakan yang sudah
ada. Karena para pembuat kebijakan selalu bekerja dalam kondisi yang
tidak menentu, sehingga dalam memepertimbangkan konsekuensi
tindakannya di masa mendatang dapat mengurangi resiko biaya-biaya
atas ketidakpastian tersebut. Inkrementalisme juga realistik karena
mengakui bahwa para pembuat kebijakan memiliki kekurangan waktu,
keahlian dan sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan
analisisnya. Lagipula, manusia pada hakikatnya adalah pragmatis, tidak
selalu mencari satu cara yang terbaik untuk mengatasi masalahnya
tetapi secara lebih sederhana mencari sesuatu yang cukup baik untuk
mengatasi masalahnya. Jadi secara singkat inkrementalisme
menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat
dilaksanakandan dapat diterima”.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 43

Di balik kelebihannya, tetap saja ada yang mengkritisi model


inkremental ini. Seperti yang diungkapkan oleh Terry W. Hartle. Hartle
mengungkapkan bahwa inkrementalisme cen-derung mengabaikan
pembaruan karena hanya memusatkan perhatiannya pada tujuan
jangka pendek dan hanya mencapai beberapa variasi darikebijakan
yang sudah digunakan/lampau (Islamy, 2004: 69).
Model yang diperkenalkan oleh Charles E.Lindblom ini juga dikenal
dengan sebutan “muddling through” dimana secara sederhana bisa kita
pahami bagaimana kebijakan itu dibuat berdasarkan kebijakan yang
lama dipakai sebagai dasar atau pedoman untuk membuat kebijakan
yang baru.

4. Model Penyelidikan Campuran


Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional
dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi
yang bernama Amitai Etzioni pada tahun 1967. Ia memperkenalkan
model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-
keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses
formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan
petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan
keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan
itu tercapai.
Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera: kamera
dengan wide angle untuk melihat keseluruhan, dan kamera dengan
zoom untuk melihat detailnya (Nugroho, 2006: 98). Artinya, jika
memakai dua model sebelumnya yaitu model rasional dan inkremental,
maka bisa digambarkan bahwa pendekatan rasionalitas sebagai wide
angle (sudut lebih luas) yaitu memiliki sudut yang lebar tetapi tidak
detail atau rinci. Pendekatan rasionalitas menghasilkan sebuah
pengamatan yang membutuhkan biaya yang besar dan cenderung
melampaui kemampuan. Hal ini akan memberikan banyak hasil
pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk
44 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

menganalisisnya dan kemungkinan membebani kemampuan-


kemampuan untuk mengambil tindakan. Sedangkan inkremen-talisme
dengan zoom nya akan memusatkan perhatian hanya pada daerah-
daerah serta pola-pola yang telah diamati yang memerlukan
pengamatan yang lebih mendalam.
Model ini menyodorkan konsepsi mixed scanning (pengamatan
terpadu) sebagai suatu pendekatan untuk mengambil keputusan yang
bersifat fundamental maupun yang inkremental. Model ini belajar dari
kelebihan dan kekurangan model-model sebelumnya. Model mixed
scanning ini memanfaatkan dua macam model sebelumnya secara
fleksibel dan sangat ter-gantung dengan masalah dan situasinya. Model
mixed scanning memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat
keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya serta semakin efektif
guna mengimplementasikan keputusan–keputusan mereka. Lebih
mudah dipahami bahwa model ini adalah model yang amat
menyederhanakan masalah. Model ini disukai karena pada hakikatnya
model inimerupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan
pemanfaatan model rasional komprehensif dan model
inkrementalisme dalam proses pengambilan keputusan (Abdul Wahab,
2005: 26).
Dari beberapa model atau pendekatan dalam pembuatan kebijakan
yang sudah dipaparkan sebelumnya, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dalam hal ini, tidak ada pernyataan yang
mana yang paling baik dan sesuai di antara beberapa model tersebut.
Yang pastinya, untuk menentukan model mana yang akan dipakai
untuk merumuskan kebijakan, haruslah yang paling baik dan
berlandaskan pada kriteria-kriteria tertentu yang sesuai dengan
kebutuhan (Muadi et al., 2016).

2.6 FORMULASI RANCANGAN KEBIJAKAN


Dalam perumusan atau formulasi rancangan kebijakan terdapat
sebuah proses dimana berbagai informasi dan pengetahuan serta
masukan mengenai suatu kebijakan publik dapat dipaparkan, serta
Kebijakan Pandemi Covid-19| 45

beragam analisa akan diungkapkan guna mendapat banyak alternatif


kebijakan hingga dipilih satu alternatif yang paling cocok dan tepat.
Proses ini seharusnya mampu diakses oleh beragam lapisan
masyarakat agar masyarakat mampu mengetahui beragam informasi
secara utuh dalam melakukan kontrol hingga proses implementasinya,
karena tanpa informasi dan pengetahuan, masyarakat tidak memiliki
media/informasi untuk melakukan kontrol dan memberikan opini,
masukan atau kritikan terhadap rancangan kebijakan secara efektif.
Dalam tahapan ini, masyarakat bukan lagi sebagai objek, melainkan
sudah bergeser menjadi subjek atau pelaku dalam rancangan formulasi
kebijakan dimana mereka mampu mempengaruhi, berkontribusi
secara langsung, mengumpulkan informasi mengenai rancangan
kebijakan secara utuh, menganalisa berbagai altematif kebijakan yang
coba ditawarkan, berinteraksi dan berdiskusi dengan para ahli
kebijakan sehingga masyarakat memiliki pemahaman secara utuh dan
mampu mengontrol sebuah formulasi kebijakan (Zakaria dan Setyoko:
2012).
Setelah proses pendefinisian dan perumusan
isu/kebutuhan/masalah yang menghasilkan tujuan dan sasaran serta
pemecahan/solusi telah ditetapkan, maka tahapan pengembangan
altematif kebijakan yang relevan dan terkait langsung dengan upaya
memecahkan masalah telah dimulai. Proses ini merupakan proses awal
dalam pengembangan dalam menentukan altematif dan pilihan
kebijakan sesuai dengan permasalahan yang ada. Proses
pengembangan pilihan kebijakan tersebut akan menghasilkan berbagai
macam altematif pemecahan permasalahan masyarakat ke dalam
agenda perumusan kebijakan. Altematif kebijakan yang telah dipilih
nantinya akan. dikembangkan, ditelaah, dan dirumuskan menjadi suatu
kebijakan berdasarkan pilihan pemecahan kebijakan yang paling
solutif, tepat sasaran, efektif dan efisien.
Dalam mengembangkan dan menentukan altematif pilihan
kebijakan dibutuhkan penguasaan teori yang relevan dengan
46 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

materi/substansi permasalahan yang akan dikembangkan dan


kemampuan analisis dalam menentukan skala prioritas terbaik dari
altematif pilihan kebijakan yang akan dikembangkan. Tingkat
penguasaan substantif dari orang/lembaga yang mewakili masyarakat
sangat penting untuk dimiliki mengingat adanya beberapa
karakteristik dalam pengembangan alternatif pilihan kebijakan (LAN:
2010) antara lain:
1) Mempunyai pandangan yang berbeda mengenai penyebab dan
solusi permasalahan tersebut meskipun para stakeholder sepakat
dengan masalah yang akan ditentukan dalam tahapan identifikasi
kebutuhan;
2) Perlu melibatkan lebih dari satu pihak-pihak yang terkait untuk
mengakomodasi berbagai alternatif pilihan yang tersedia karena
bisa saja perumus kebijakan yang terlibat dalam tahap ini tidak
mengetahui secara jelas masalah yang dihadapi dan bahkan tidak
dipengaruhi oleh masalah tersebut;
3) Tahap formulasi dan reformulasi mungkin membutuhkan waktu
yang cukup lama jika tidak ada suatu kepastian dukungan terhadap
altematif kebijakan yang dipilih;

Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dan penguasaan akan


substansi kebijakan sangat penting dengan tujuan agar aspirasi dan
masukan dari masyarakat yang berkepentingan dalam rangka
menindaklanjuti berbagai permasalahan hingga perumusan kebijakan
yang baik.
Menurut Sad Dian Utomo (2003), manfaat partisipasi masyarakat
dalam perumusan atau formulasi suatu kebijakan publik adalah
mampu memberikan landasan pikir yang lebih baik dalam
merumuskan suatu kebijakan publik; lmplementasi yang efektif karena
masyarakat mengetahui dan terlibat langsung dalam perumusan
kebijakan publik; dan meningkatkan rasa kepercayaan (trust)
masyarakat kepada institusi pembuat kebijakan.
Bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan dalam tahapan
ini bisa berupa penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar, pengajuan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 47

usul inisiatif; serta perancangan. Secara ringkas berbagai bentuk


partisipasi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan Jufrina
(2003) adalah:
a. Penelitian
Partisipasi masyarakat dalam bentuk ini dapat dilakukan
ketika melihat adanya suatu persoalan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu diteliti
dan dikaji secara mendalam dan memerlukan penyelesaian
pengaturan dalam suatu kebijakan. Penelitian ini dapat
dilakukan secara mandiri maupun kerjasama dengan suatu
instansi pemerintahan yang menangani permasalahan
tersebut. Hasil dari penelitian tersebut dituangkan dalam
format laporan penelitian sehingga dapat dipakai sebagai
dasar dalam proses lebih lanjut pada formulasi kebijakan.
b. Diskusi, Lokakarya dan Seminar
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan
seminar pada tahap ini dapat dilakukan sebagai tindak lanjut
dari hasil penelitian terhadap suatu obyek yang akan diatur
dalam suatu kebijakan. Masyarakat dapat memberikan
masukan yang cukup signifikan dalam pengkajian terhadap
persoalan materi muatan suatu rancangan kebijakan karena
dilakukan oleh para akademisi, pengamat, dan pakar di
bidangnya. Oleh karena itu sumbangsih yang dihasilkan dari
cara ini akan lebih utuh dan komprehensif dalam melihat suatu
persoalan yang akan dimuat dalam rancangan kebijakan.
Sehingga akan memperluas cakrawala terhadap materi yang
akan dituangkan dalam rancangan kebijakan dan sangat
membantu dalam proses penuangan dalam naskah akademik
maupunrancangan kebijakannya.
c. Pengajuan Usul Inisiatif
Pengajuan usul inisiatif untuk dibuatnya suatu kebijakan dapat
dilakukan masyarakat dengan atau tanpa melalui cara-cara
48 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

yang telah disebutkan di atas terlebih dahulu. Akan tetapi,


pengajuan usul inisiatif ini tentu akan lebih kuat jika didahului
dengan mempertimbangkan usulan dan aspirasi masyarakat
melalui cara-cara tersebut diatas terhadap suatu masalah yang
akan diatur dalam. suatu kebijakan. Pengajuan usul inisiatif
dari masyarakat dapat diajukan melalui tiga jalur pilihan yaitu:
Presiden, DPR dan DPD (untuk RUU tertentu). Agar usul
inisiatif ini dapat dipertimbangkan dan menjadi bahan dasar
pembuatan suatu kebijakan, maka usul inisiatif masyarakat
harus disesuaikan dengan program Jegislatif nasional yang
telah ditentukan oleh badan Jegislasi di DPR.
d. Perancangan terhadap suatu Rancangan Kebijakan
Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap
suatu kebijakan dapat dilakukan masyarakat sebagai wujud
partisipasi masyarakat sehingga setelah melakukan
pengelolaan berbagai masukan dan aspirasi dari masyarakat,
bahan pertimbangan tersebut dapat dituangkan dalam suatu
rancangan kebijakan. Di dalam rancangan ini, sebaiknya
didahului dengan uraian naskah akademik dibuatnya suatu
rancangan kebijakan. Selanjutnya dari berbagai pokok pikiran
dalam naskah akademik kemudian dituangkan dalam
rancangan kebijakan menurut format yang telah ditentukan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(PKMK-LAN, 2012).

2.7 PERUMUSAN KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19


Awal tahun 2020, masyarakat dunia dikejutkan oleh wabah COVID-
19 yang menewaskan banyak orang di Kota Wuhan, Provinsi Hubei,
China. Beberapa negara langsung merespons penyebaran virus yang
mematikan itu dengan pelbagai caranya masing-masing. Ada yang
menutup jalur migrasi manusia dari dan ke China, melakukan karantina
pada orang-orang yang baru kembali bepergian dari China, hingga
Kebijakan Pandemi Covid-19| 49

melakukan rapid-test sebagai bentuk antisipasi penyebaran.


Malangnya, Pemerintah Indonesia kurang tanggap atas masifnya
penyebaran COVID-19 yang menggandakan diri dengan menginfeksi
sebanyak mungkin orang. Meski virus ini tidak seganas dan
semematikan sindrom pernapasan akut parah (Severe Acute
Respiratory Syndrome, SARS), tetapi COVID-19 menyerang lebih banyak
orang dengan total kematian beratus kali lipat.
Ketika masyarakat dunia sedang sibuk mengantisipasi penyebaran
wabah virus korona, pemerintah Indonesia justru tidak menyiapkan
apa-apa untuk menghadapi dan mengendalikan penyebaran COVID-19.
Pemerintah cenderung menganggap remeh hal tersebut. Ini misalnya
tampak dari narasi yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada
pertengahan Januari yang menyatakan, “Masyarakat tidak perlu panik
soal penyebaran virus korona, enjoy saja” (Satria 2020). Sementara itu,
beberapa hari kemudian, pada awal Februari, Menteri Koordinator
bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) mengklaim
bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara besar di Asia yang
belum memiliki kasus positif virus korona (cnnindonesia, 2020).
Narasi-narasi tersebut menunjukkan ketidaktanggapan Pemerintah
Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19 yang pada saat itu
sudah menyebar ke banyak negara. Sekaligus juga menggambarkan
lemahnya daya antisipatif dan adaptif struktur birokrasi Pemerintah
Indonesia dalam menghadapi masalah kesehatan. Ketidakmampuan
birokrasi untuk menanggapi perubahan yang begitu cepat dalam hal
kesehatan mendorong kebingungan para elite politik yang sekaligus
juga perumus kebijakan untuk menetapkan kebijakan yang sesuai
dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Akibatnya, justru narasi-narasi
negatif yang muncul dibanding narasi bersifat positif dan
implementatif dalam hal pandemik COVID-19.
Nahasnya lagi memang, sampai pertengahan Februari, tidak ada
satu pun kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk
menghadapi COVID-19. Bahkan pada saat seorang profesor
50 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

epidemiologi dari Harvard T.H. Chan School of Public Health (Harvard


University), Profesor Marc Lipsitch, menyatakan bahwa sangat
mungkin virus korona telah tersebar di Indonesia, tidak ada satu pun
yang menganggapnya serius. Lebih lanjut, menurut Profesor Lipsitch,
Pemerintah Indonesia telah gagal untuk mendeteksi kehadiran COVID-
19 di Indonesia (Aida, 2020b: 1). Penjelasannya tersebut didasarkan
atas penelitiannya terkait jumlah rerata penumpang dari China seluruh
dunia yang tidak sedikit, termasuk ke Indonesia. Namun, pernyataan
Profesor Lipsitch ditentang oleh Menteri Kesehatan, bahkan ia
menantang asumsi Profesor Lipsitch untuk membuktikan langsung
hasil riset yang memprediksi virus korona semestinya sudah masuk ke
Indonesia.
Narasi-narasi negatif juga disampaikan oleh Menteri Koordinator
Perekonomian (Menko Perekonomian) meski dalam konteks
berkelakar yang menyatakan, “Karena perizinan di Indonesia berbelit-
belit, maka virus korona pun tak bisa masuk (Penulis: ke Indonesia)”
(Garjito & Aditya, 2020). Menteri Perhubungan menyampaikan
kelakarnya yang lain di tempat berbeda, dengan menyatakan bahwa
bangsa Indonesia kebal virus korona karena doyan nasi kucing
(Saubani, 2020). Ini semua menunjukkan perilaku elite pemerintah
yang antisains, padahal beberapa waktu sebelumnya World Health
Organization (WHO) telah mendeklarasikan COVID-19 sebagai epidemi
dunia. Untuk mengantisipasi hal tersebut World Health Organization
(2020) menerbitkan panduan strategis dalam menghadapi infeksi virus
tersebut dengan tajuk “2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV): Strategic
Preparedness and Reponse Plan”. Atas kesadaran inilah banyak negara
menyikapi secara serius untuk meminimalkan dan sedapat mungkin
menghentikan penyebaran virus yang mematikan tersebut. Malangnya,
tidak dengan Indonesia, terutama di awal-awalnya.
Perilaku antisains tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah
Indonesia belum memahami context COVID-19 sebagai epidemi yang
mematikan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 51

Dampaknya, narasi dan komunikasi antisains lebih sering muncul


berbanding narasi yang mengarah pada formulasi kebijakan yang
sesuai untuk menyelesaikan masalah virus korona. Hal ini juga tampak
pada pernyataan Wakil Presiden Indonesia yang menyatakan salah satu
penyebab kenapa virus korona tidak masuk ke Indonesia adalah berkat
doa ulama yang selalu membaca doa Qunut (Maranda, 2020). Narasi
wakil presiden dan narasi-narasi “wakil pemerintah” menunjukkan
nihilnya sense of crisis dari para pimpinan bangsa sehingga
memperlambat perumusan kebijakan yang bersifat strategis.
Ketidaktanggapan Pemerintah Indonesia juga ditunjukkan dengan
rencana mengucurkan dana untuk media dan influencer dalam rangka
promosi wisata. Insentif untuk wisatawan mancanegara yang
dianggarkan oleh Pemerintah Indonesia sebesar Rp298,5 Miliar,
dengan perincian: subsidi diskon tiket pesawat Rp98,5 Miliar, anggaran
promosi Rp103 Miliar, kegiatan kepariwisataan sebesar Rp25 Miliar,
dan jasa influencer sebesar Rp72 Miliar (Sani, 2020: 1). Anggaran
sebesar Rp72 Miliar ini diarahkan untuk menangkal ketakutan
masyarakat terhadap COVID-19 dalam dunia maya. Di sisi lain, insentif
pemerintah tersebut ditujukan untuk menarik wisatawan
mancanegara yang tidak dapat berwisata ke negara-negara yang telah
melakukan lockdown sehingga Pemerintah Indonesia menganggapnya
sebagai peluang dalam meningkatkan kunjungan wisata ke Indonesia.
Langkah ini tentu menjadi bumerang bagi pemerintah karena bukan
hanya mendapat kritik luas, tetapi juga menunjukkan ketiadaan
prioritas pemerintah dalam menangkal penyebaran COVID-19.
Manakala Pemerintah Indonesia mengonfirmasi kasus pertama
COVID-19 pada 2 Maret 2020, barulah beberapa strategi dan kebijakan
diambil. Namun, hal tersebut sudah terlambat. Beberapa kebijakan
tersebut meliputi melarang semua penerbangan dari dan ke China;
menghentikan pemberian visa bagi warga negara China untuk
melakukan perjalanan ke Indonesia; membatasi perjalanan dari dan ke
beberapa negara seperti Korea Selatan, Italia, dan Iran; meliburkan
52 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

sekolah, kampus, termasuk beberapa kantor pemerintahan dan


perusahaan swasta; hingga menutup pusat-pusat hiburan.
Mereplikasi kebijakan dari negara-negara yang berhasil “meratakan
kurva” dilakukan oleh Pemerintah Indonesia guna mengendalikan
luasan penyebaran COVID-19. Upaya replikasi kebijakan ini diambil
oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk sensitifitas pemerintah
pada kebijakan-kebijakan yang sudah diformulasi dan
diimplementasikan dan dianggap berhasil oleh negara-negara lain.
Sementara itu, di sisi kesehatan, Pemerintah Indonesia menyediakan
alat pelindung diri (APD), masker, obat-obatan, mengalihfungsikan
beberapa hotel dan gedung pertemuan menjadi rumah sakit khusus
penanganan COVID-19. Pemerintah Indonesia juga mengoptimalkan
tes COVID-19, baik melalui rapid test maupun melalui PCR. Tujuannya
agar sebaran virus korona dapat dilokalisasi agar pemerintah memiliki
peta sebaran COVID-19 melalui hasil tes tersebut. Namun, memang
angka tes COVID-19 di Indonesia terlalu sedikit jika dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya (lihat Gambar 1).
Kebijakan-kebijakan tersebut diambil karena Pemerintah Indonesia
sadar bahwa wabah COVID-19 merupakan bencana berskala nasional
yang harus diselesaikan dengan cara yang luar biasa (extra-ordinary).
Oleh sebab itu, tidak heran apabila Presiden Indonesia menerbitkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang
Penetapan Bencana Non-Alam Penyebab Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional pada 13 April 2020, meskipun
dalam waktu yang amat terlambat karena jumlah orang yang terinfeksi
sudah mencapai 6.760 orang serta 590 orang lainnya meninggal dunia
(Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020). Kegagalan
menanggulangi penyebaran COVID-19 terlihat sangat jelas ketika
Presiden Joko Widodo menunjukkan “kemarahannya” pada para
menterinya di Sidang Kabinet Paripurna Perdana yang berlangsung
pada tanggal 18 Juni 2020 lalu. Hal ini menjelaskan begitu lambannya
respons pemerintah dan negatifnya narasi (komunikasi publik) yang
disampaikan oleh elite politik sehingga menciptakan gelombang
“tsunami” COVID-19 di Indonesia. Sebab, ketika negara-negara lain
Kebijakan Pandemi Covid-19| 53

berhasil melandaikan kurva penyebaran virus korona, di Indonesia


justru terjadi peningkatan infeksi virus korona yang sangat tinggi.
Hingga 1 Juli 2020 saja (ketika tulisan ini tengah diperbaiki), individu
yang terinfeksi atau positif terpapar COVID-19 mencapai 56.385 jiwa
(Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020) (Agustino,
2020).
54 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

RINGKASAN

Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus,


karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan
meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons,
1997). Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat
dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam
pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Sering kali ada anggapan setelah kebijakan disahkan oleh
pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan
dilaksanakan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang
diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Dalam proses kebijakan
publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan yang cukup
panjang. Thomas R. Dye (2001) menguraikan proses kebijakan publik
dalam beberapa tahapan, di antaranya (Parson, 2005: 154):
a) Identifikasi masalah kebijakan.
b) Penyusunan agenda.
c) Perumusan kebijakan.
d) Pengesahan kebijakan.
e) Implementasi kebijakan.
f) Evaluasi kebijakan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 55

BAB III
KEBIJAKAN PENANGANAN
PANDEMI COVID-19
56 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB III
KEBIJAKAN PENANGANAN PANDEMI COVID-19

3.1 PENDAHULUAN
Sejak munculnya dua kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia
pada 2 Maret 2020, hingga laporan ini dibuat sudah lebih dari satu
tahun penyakit tersebut merebak di Indonesia. Berdasarkan data
terakhir per 19 April 2021 yang dipublikasikan dalam situs resmi
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pemerintah RI, jumlah kasus
terkonfirmasi positif di seluruh Indonesia mencapai 1.604.348 kasus,
di mana 1.455.065 (90,7%) di antaranya telah dinyatakan sembuh dan
43.424 (2,7%) meninggal dunia. Dengan demikian, pada saat laporan
ini ditulis terdapat 105.859 (6,6%) kasus aktif (Covid19.go.id, 2021).
Selama periode kurang lebih sebelas bulan, pembatasan sosial,
pelaksanaan protokol kesehatan, dan penerapan Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) menjadi strategi utama, bahkan dapat dikatakan strategi
satu-satunya, untuk menghadapi ancaman penularan dan penyebaran
virus corona. Hal ini dikarenakan sebagai sebuah penyakit baru, belum
ditemukan vaksin untuk Covid-19. Baru pada akhir 2020 berbagai riset
untuk menemukan vaksin tersebut di beberapa negara, termasuk
Indonesia, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Selanjutnya,
pada Januari 2021 vaksinasi Covid-19 di Indonesia dapat dimulai.
Untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity) demi
menghentikan penularan dan penyebaran virus corona, diperlukan
setidaknya 70% (182 juta orang) persen penduduk Indonesia
menerima vaksinasi. Untuk itu, pemerintah merencanakan program
vaksinasi secara bertahap, di mana tahap pertama diprioritaskan untuk
Kebijakan Pandemi Covid-19| 57

1,6 juta orang tenaga kesehatan di seluruh Indonesia, dan ditargetkan


selesai pada Februari 2021. Tahapan berikutnya akan diperuntukkan
bagi 17,4 juta orang tenaga layanan publik dan 21,5 juta orang lanjut
usia (Kompas.com, 2021).

3.2 PENGERTIAN KEBIJAKAN


Kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan
instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya
menyangkut aparatur Negara, tetapi juga governance yang menyentuh
pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya
alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik (Suharto, 2008).
keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu
tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik (good impact)
bagi warga negaranya. Berdasar pada pengertian tersebut,
implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai suatu proses
melaksanakan keputusan kebijakan. Selain itu, implementasi kebijakan
dapat dipahami sebagai suatu tindakan ataupun pelaksanaan dari suatu
rencana kebijakan yang telah dirumuskan/disusun, dan merupakan
pelaksanaan dari apa yang telah di buat dan harus dilaksanakan
(Richard Djiko, 2018, hal. 103-104).
Perencanaan atau sebuah program kebijakan yang baik akan
berperan menentukan hasil yang baik. Apabila dilihat dari nilai
presentasinya maka kontribusi konsep mencapai 60% dari
keberhasilan, khususnya di zaman sekarang di mana data dan
informasi tentang masa depan sudah bisa diakses. Jika kita sudah
mempunyai konsep yang baik, 60% keberhasilan sudah ditangan.
Namun, yang 60% itu pun akan hangus jika 40% implementasinya tidak
konsisten dengan konsep. Jadi dapat dilihat, implementasi kebijakan itu
memang krusial. Tiga myopia implementasi kebijakan adalah (i)
58 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

sebagian besar risorsis dihabiskan untuk membuat perencanaan,


namun tidak cukup untuk bagaimana melaksanakannya; (ii) selama ini
banyak anggapan bahwa apabila suatu kebijakan telah diputuskan,
diundangkan, maka dianggap rakyat sudah mengetahuinya, kalau
melanggar kebijakan yang telah ditetapkan maka akan dihukum; (iii)
selama ini anggapan banyak policy maker bahwa apabila kebijakan
sudah dibuat, maka implementasi akan jalan dengan sendirinya.
Menurut Noeng Muhadjir kebijakan merupakan upaya
memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan dalam kebijakan
setidaknya harus memenuhi empat hal penting yakni;
1. Tingkat hidup masyarakat meningkat.
2. Terjadi keadilan: By the law, social justice, dan peluang prestasi dan
kreasi individual.
3. Diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas
masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi).
4. Terjaminnya pengembangan berkelanjutan.

Kemudian Monahan dan Hengst seperti yang dikutip oleh


Syafaruddin bahawa kebijakan (policy) secara etimologi diturunkan
dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Pendapat ini
menjelaskan kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian
pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam
hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi
dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah atau
lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa kebijakan
merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari
tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku
dan pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan dalam
sebuah organisasi serta mengambil keputusan atas perencanaan yang
telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan
menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 59

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam


proses kebijakan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Untuk
memahami implementasi kebijakan ada beberapa literatur terbaik
yang menyajikan pembahasan teoritik atau konseptual, seperti
misalnya Berman, 1978, dalam “The Study of Macro and Micro
Implemnation” Chase, 1979. ”Implementing A Human Services Program:
How Hard Will It Be? “ Elmore, 1978. “Organizational Models of Social
Program Implementation”, Hardgrove, 1975. “The Missing Link: The
Study of the Implementatio of social policy” Montjoy dan O’Toole, 1979.
“Toward a Theory of Policy Implementation: An Organizational
Perspective” Pressman dan Wildavsky, 1979, “Implementation” van
Meter dan van Horn, 1975. “The Policy implementation Process: A
Conceptual Framework” dan Edwards, 1980 “Implementating Public
Policy”.

3.3 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TERKAIT PANDEMI


COVID-19
Berbagai kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah guna merespon penyebaran Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Darmin Tuwu melakukan penelitian mengenai penerapan kebijakan
tersebut pada Mei 2020 dengan fokus kajian terdapat pada kebijakan
yang berkaitan dengan sektor sosial kemasyarakatan yang ditujukan
secara khusus untuk golongan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial
(PPKS), seperti pembatasan untuk beraktivitas di luar rumah, bantuan
sosial, hingga perlindungan sosial kepada PPKS tersebut. Berlandaskan
pada konsep dan pengertian dari Kebijakan dari Edi Suharto (2008),
peneliti menyatakan bahwa setiap output dari suatu kebijakan adalah
bagaimana implementasi kebijakan tersebut diterapkan (Tuwu, 2020,
hal. 270). Penerapan kebijakan ini kemudian menjadi suatu hal yang
sulit untuk diterapkan karena mengandung proses yang rumit, seperti
adanya perbedaan kepentingan dari berbagai pihak yang berpengaruh
60 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

langsung pada perkembangan dari tujuan, target, hingga strategi


implementasi kebijakan tersebut. Berkaitan dengan Pandemi Covid-19,
tidak dapat dipungkiri bahwa bantuan sosial (social assistance) dan
perlindungan sosial (social protection) dari pemerintah sangat
diperlukan untuk saat ini, terutama untuk para PPKS, seperti buruh
bangunan, buruh pabrik, buruh tani, pekerja kontrak, dan sebagainya
(Tuwu, 2020, hal. 273).
Melalui observasi dan survey kualitatif (qualitative method) yang
dilakukan oleh peneliti, ditemukan bahwa Program Jaring Pengaman
Sosial yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo mengalami kendala
di lapangan karena pengelolaan data yang buruk, sehingga penyaluran
bantuan tidak tepat sasaran. Selain itu, didapatkan pula bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam merespon penyebaran
Pandemi Covid-19 ini tidak akan berjalan efektif jika tidak adanya
informasi yang tepat mengenai Covid-19, baik penyebaran maupun
penanganannya, di mana hal ini berakibat pada kebingungan
masyarakat dalam menyikapi Pandemi Covid-19 (Tuwu, 2020, hal.
276). Dengan kata lain, hal ini berhubungan dengan komunikasi dan
sosialisasi dari pemangku kebijakan kepada masyarakat.
Selain penelitian yang dilakukan oleh Darmin Tuwu, terdapat pula
penelitian mengenai implementasi kebijakan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah Indonesia dalam merespon Pandemi Covid-19, yaitu
penelitian oleh Leo Agustino pada Agustus 2020 yang memberikan
fokus pembahasan pada strategi penanganan dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan masyarakat secara umum.
Menggunakan qualitative method dengan studi kepustakaan, peneliti
menemukan bahwa penerapan kebijakan pemerintah mengenai
Pandemi Covid-19 ini dikatakan belum berhasil. Mengombinasikan
pendekatan dari Marsh & Smith serta model implementasi kebijakan
dari George Edward III, penulis memberikan formulasi bahwa analisis
dalam penelitian ini mengarah pada: 1) narasi negatif dan lambannya
respon pemerintah – berkaitan dengan struktur, agensi, dan konteks;
2) lemahnya koordinasi antar-stakeholders berkaitan dengan
komunikasi dan jejaring; serta 3) ketidakacuhan warga – berkaitan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 61

dengan konteks (Agustino, 2020, hal. 258). Implementasi kebijakan


penanganan Pandemi Covid-19 tidak maksimal karena
ketidaktanggapan pemerintah yang dibuktikan dari narasi-narasi yang
jauh dari sense of crisis pada awal mula adanya virus corona. Selain itu,
pemerintah dianggap lamban dalam merespon penyebaran Covid-19
hingga terkonfirmasi kasus pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Lemahnya koordinasi antar-stakeholder dianggap menjadi salah
satu penyebab tidak efektifnya implementasi kebijakan yang
ditetapkan oleh para pemangku kebijakan. Koordinasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai “kewenangan”
kemudian menjadi perdebatan. Hal ini diperparah dengan lemahnya
komunikasi dan ketidaksinkronan koordinasi antara pemerintah pusat
dan daerah (network yang tidak terkelola secara baik). Pemerintah
pusat lamban memberikan instruksi terbaik dalam menangani dan
mengendalikan penyebaran virus korona (berhubungan dengan
disposisi), sedangkan di sisi lain, pemerintah daerah (yang tidak
memiliki wewenang) mengambil langkah sendiri guna menghalau
masuk penyebaran virus ini di daerah mereka masing-masing
(Agustino, 2020, hal. 261-263). Faktor terakhir penyebab belum
berhasilnya implementasi kebijakan Covid-19 adalah ketidakpedulian
masyarakat karena: 1) ketidaktahuan warga akan bahaya yang sangat
mematikan dari COVID-19 sebab lemahnya sosialisasi dari pemerintah;
2) adanya kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga
masyarakat kemudian abai terhadap perintah physical atau social
distancing; serta 3) tidak adanya sanksi yang tegas mengenai mobilitas
manusia, sehingga kebijakan physical atau social distancing kurang
berdampak (Agustino, 2020, hal. 264-266).
Penelitian lain tentang implementasi kebijakan pada masa Pandemi
Covid-19 dilakukan oleh Imas Novita Juaningsih yang secara khusus
menganalisis kebijakan PHK yang ditujukan kepada para pekerja,
dengan menyajikan dan memaparkan isi dari UU terkait serta
melakukan kritik terhadap pengimplementasiannya (Juaningsih,
62 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

2020). Selain itu, penelitian mengenai implementasi kebijakan juga


dilakukan oleh Siska Widianti Motip dkk. yang memberikan fokus pada
kebijakan upah minimum kabupaten/kota dengan studi kasus pada
perusahaan di Kabupaten Karawang. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa implementasi kebijakan UMK pada perusahaan di
Kabupaten Karawang berjalan dengan baik, namun terdapat beberapa
kekurangan seperti cacat hukum yang terjadi pada saat musyawarah
penetapan UMK Karawang 2020 karena tidak ada kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja/buruh, di mana faktor penghambat
implementasi kebijakan ini adalah pengurangan agen pelaksana
kebijakan (pengusaha atau perusahaan) yang disebabkan oleh pandemi
Covid-19 (Siska Widianti Motip, 2020).
Berdasar pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai fenomena
implementasi kebijakan di beberapa wilayah serta implementasi
kebijakan tentang Pandemi Covid-19, dapat diamati bahwa model
implementasi kebijakan dari George Edward III kemudian banyak
digunakan oleh para penulis dalam melakukan analisis. Selain itu,
meskipun model analisis yang digunakan adalah model yang sama,
namun ternyata hasil dari penelitian tentang implementasi kebijakan
ini berbeda-beda, baik kebijakan tersebut kemudian berhasil
diterapkan ataupun tidak berhasil/tidak efektif diterapkan dalam
merespon/mengatasi suatu isu (Widodo & Bangun, n.d.).

3.4 TINJAUAN KEBIJAKAN PENANGANAN PANDEMI


COVID-19
Sejak terkonfirmasinya dua kasus pertama Covid-19 di Depok, Jawa
Barat, pada 2 Maret 2020, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk menangani merebaknya penularan virus corona.
Hingga saat itu, WHO belum mengumumkan Covid-19 sebagai sebuah
pandemi. Baru pada Maret 2021 organisasi kesehatan dunia tersebut
secara resmi mengumumkan Covid-19 sebagai sebuah pandemi.
Kendatipun demikian, pemerintah dituntut untuk mengambil langkah
sesegara mungkin. Terhimpit dalam dilema antara kepentingan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 63

kesehatan publik dan kepentingan ekonomi, pemerintah sempat dinilai


lamban oleh berbagai kritik dan kalangan.
Di satu sisi, langkah cepat harus diambil untuk memastikan
merebaknya virus tersebut dapat dikontrol. Hal ini telah dilakukan di
berbagai negara lain dengan sesegera mungkin melakukan pembatasan
sosial (social distancing), bahkan pada beberapa kasus hingga
penerapan karantina wilayah (lockdown). Langkah tersebut dinilai
pilihan terbaik untuk mencegah penularan virus secara masif, sekaligus
memberikan waktu tambahan bagi fasilitas-fasilitas kesehatan untuk
menangani kasus-kasus suspek dan positif yang telah muncul. Namun,
di sisi lain, pembatasan sosial, apalagi karantina wilayah, hampir dapat
dipastikan berakibat pada terganggunya berbagai aktivitas ekonomi,
bahkan hampir selalu pertumbuhan ekonomi pun mengalami
pelambatan.
Selanjutnya, pandemi Covid-19 merupakan kejadian luar biasa yang
hampir tidak ada presedennya. Kejadian serupa yang paling dekat dari
segi waktu adalah wabah flu Spanyol (Spanish flu), lebih dari 100 tahun
yang lalu. Akibat dari kondisi tersebut, setiap langkah dan kebijakan
yang diambil di berbagai negara untuk mengatasi pandemi Covid-19
bersifat ‘percobaan,’ bahkan ‘spekulasi,’ di mana keputusan politik
menjadi faktor utama yang menentukan diambil–tidaknya suatu
pilihan kebijakan. Di saat yang bersamaan, komunitas ilmuwan dan
peneliti dari berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu terkait
penyakit menular dan kesehatan masyarakat, terus-menerus
melakukan penyelidikan dalam rangka menyediakan data dan basis
ilmiah untuk pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan
demikian, kebijakan yang diambil pun mengalami dinamika yang
sangat pesat. Di satu pihak, kebijakan tersebut harus selalu dievaluasi
berdasarkan temuan-temuan ilmiah terbaru mengenai SARS-CoV-2 dan
penyakit Covid-19 yang diakibatkannya. Di pihak lain, kebijakan
tersebut juga senantiasa dipantau dan dievaluasi berdasarkan dampak
dan konsekuensi yang muncul akibat pemberlakuannya. Tidak
64 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

mengherankan jika kebijakan-kebijakan penanganan pandemi Covid-


19 kemudian cenderung bersifat sementara dan cepat mengalami
revisi.

3.5 KEBIJAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Merespons masifnya penyebaran Covid-19, pemerintah RI
melakukan pembatasan mobilisasi dan interaksi antar manusia melalui
kebijakan-kebijakan untuk memutus rantai penularan. Lima protokol
utama berkaitan dengan Covid-19 juga diberlakukan, yaitu Protokol
Kesehatan, Protokol Komunikasi, Protokol Pengawasan Perbatasan,
Protokol Area Institusi Pendidikan, serta Protokol Area Publik dan
Transportasi (Infeksi Emerging, 2020). Kebijakan lain yang juga
dikeluarkan oleh pemerintah yaitu berupa Keputusan Presiden (oleh
Presiden Joko Widodo) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19. Selain kebijakan-kebijakan tersebut,
pemerintah RI memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sejak April 2020 yang memberikan dampak besar pada
kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama pada sektor
ekonomi. PSBB ini ternyata menjadikan beberapa perusahaan
mengalami kerugian. Untuk itu, beberapa perusahaan mengambil
kebijakan untuk melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kepada
karyawannya.
Menanggapi PHK yang mencapai angka hingga ratusan ribu
karyawan, Presiden RI berjanji untuk melindungi para buruh agar tetap
bekerja dan berpenghasilan saat pandemi Covid-19 melalui berbagai
kebijakan pemerintah. Terdapat beberapa skema kebijakan dari
presiden tersebut antara lain (Redaksi Republika, 2020):
(1) Mencegah meluasnya PHK dan memastikan program stimulus
ekonomi.
(2) Untuk pekerja di sektor formal, dipastikan skema program yang
meringankan beban mereka termasuk insentif pajak dan relaksasi
iuran BPJS.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 65

(3) Pekerja di sektor informal, dimasukkan dalam program jaring


pengaman sosial.
(4) Pekerja yang dirumahkan atau korban PHK, diprioritaskan untuk
mendapat Kartu Prakerja.
(5) Kementerian/lembaga memperbanyak program padat karya tunai,
sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
(6) Diberikan perlindungan kepada para pekerja migran, baik yang
sudah kembali ke tanah air maupun yang masih berada di luar
negeri.

Selain skema-skema kebijakan yang diberikan oleh Presiden Jokowi


tersebut di atas, kemudian terdapat kebijakan-kebijakan yang
direalisasikan oleh pemerintah, antara lain:
(1) Kartu Prakerja – diprioritaskan kepada masyarakat yang berstatus
pengangguran, korban PHK, dan sedang tidak mengikuti
pendidikan formal. Diberi dana pelatihan sebesar Rp 1 juta per
periode pelatihan kepada peserta, yang nantinya juga diberikan
bantuan tambahan senilai Rp 600,000 per bulan selama 4 bulan, dan
insentif mengisi survei sebesar Rp 50,000 per bulan selama tiga
bulan (Redaksi CNN, 2020). Pelatihan ini bertujuan untuk
memberikan keterampilan kepada peserta agar dapat digunakan
dalam kebutuhan-kebutuhan industri ataupun berwirausaha;
(2) Insentif Korban PHK – diberikan melalui BP Jamsostek (BPJS
Ketenagakerjaan), korban PHK mendapatkan total insentif sebesar
Rp 5 juta, di mana korban PHK akan mendapatkan bantuan berupa
santunan sekaligus pelatihan;
(3) Padat Karya Tunai (PKT) – ditujukan untuk mempertahankan daya
beli masyarakat desa yang terdampak Covid-19 dengan sasaran
masyarakat berpenghasilan rendah, menganggur, atau setengah
menganggur. Salah satu dana dari pemerintah dalam program PKT
adalah berupa pemberian uang tunai kepada Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang baru pulang dari luar negeri agar mereka
66 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

tetap memiliki penghasilan di dalam negeri (Redaksi CNN, 2020);


dan
(4) Penerbitan Surat Utang – hal ini ditujukan khusus untuk
memberikan pembiayaan kepada pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil
Menengah) sebagai salah satu sektor yang paling terdampak karena
pandemi Covid-19. Melalui kebijakan ini, diharapkan bahwa para
pengusaha tetap dapat memberikan gaji kepada karyawannya dan
tidak terjadi PHK.

3.6 KEBIJAKAN KEMENTERIAN SOSIAL


Aktivitas masyarakat pada masa pandemi dilihat mengalami
hambatan. Masyarakat yang semestinya dapat bekerja di tempat kerja
masing-masing kemudian terpaksa untuk menunda pekerjaannya yang
salah satunya karena terdapat anjuran berupa kebijakan PSBB dari
pemerintah. Selain itu, aktivitas perekonomian yang biasa dilakukan di
luar rumah harus diganti dengan aktivitas berdiam di rumah untuk
menghindari penyebaran dampak Covid-19. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dipahami bahwa masalah dasar yang kemudian dihadapi oleh
masyarakat—terutama para pekerja—adalah mengenai kesejahteraan
sosial. Untuk menjawab masalah tersebut, pemerintah Indonesia
melalui Kemensos RI kemudian menerbitkan kebijakan berupa
Program Jaring Pengaman Sosial bagi keluarga miskin dan rentan
terdampak Covid-19 (Wiyono, 2020) berupa bantuan sosial yang
terdiri dari:
(1) Program Keluarga Harapan (PKH), di mana program ini telah ada
sebelum adanya pandemi Covid-19. Pada masa pandemi ini,
pemerintah melakukan perubahan aturan mengenai penyaluran
bantuan sosial tunai yang sebelumnya hanya diberikan setiap tiga
bulan sekali kemudian menjadi sebulan sekali sejak bulan April
hingga Desember 2020. PKH ini pada dasarnya bertujuan untuk
membantu meningkatkan ketahanan kebutuhan pokok dari
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang merupakan keluarga
miskin dan rentan yang terkena dampak Covid-19 dengan harapan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 67

bahwa masyarakat mampu bertahan pada masa pandemi


(Nurachman, 2020).

Tabel 2.1. Rincian Pemberian Bansos Tunai (Wiyono, 2020)

No. Kategori Nominal (Rp)/bulan


1 Ibu hamil dan anak (0-6 tahun) 250,000
2 Anak SD 125,000
3 Anak SMP 125,000
4 Anak SMA 166,000
5 Disabilitas dan lansia (>70 tahun) 200,000

(2) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) berupa sembako dengan model
transfer ke rekening KPM dengan indeks bantuan sebesar Rp
200,000 per KPM dengan harapan bahwa uang tersebut kemudian
dapat digunakan untuk belanja sembako ke toko atau warung yang
sudah bekerja sama dengan pihak perbankan. Bantuan ini diberikan
setiap bulan dengan tujuan untuk:
a. Mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan
sebagian kebutuhan pangan.
b. Memberikan gizi yang lebih seimbang kepada KPM.
c. Meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, jumlah, harga, kualitas,
administrasi; dan memberikan pilihan dan kendali kepada KPM
dalam memenuhi kebutuhan pangan (Febriana, 2020).

(3) Bantuan Santunan Kematian yang khusus diberikan kepada


keluarga ahli waris yang meninggal karena Covid-19 dengan
besaran Rp 15,000,000 per jiwa. Tujuan dari program ini sendiri
adalah untuk meringankan beban keluarga yang sudah ditimpa
musibah melalui dukungan moral kepada keluarga.
(4) Bantuan Sosial Tunai (BST) yang secara khusus diberikan kepada 9
juta KK (Kepala Keluarga) di luar Jabodetabek dengan masing-
masing KK mendapat Rp 600,000 per bulan. Bantuan ini diberikan
68 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

kepada KPM yang belum terdata/terbantu pada program PKH dan


BPNT, sehingga bansos dapat merata kepada semua elemen
masyarakat.
(5) Bantuan Sembako DKI Jakarta untuk 1.3 juta KK dengan besaran Rp
600,000 per bulan. Selain itu, Kemensos juga memberikan bantuan
berupa sembako dan makanan siap saji sebanyak 300,000 paket
dengan besaran bantuan sebanyak Rp 200,000 per paket. Melalui
hal ini, diharapkan kepada masyarakat untuk tetap dapat
menjalankan kehidupan tanpa dibebani situasi karena adanya
pandemi serta dapat meringankan beban masyarakat yang rentan
terdampak Covid-19.

3.7 KEBIJAKAN KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN RI


Selain kebijakan-kebijakan yang telah dijelaskan sebelum,
kebijakan yang kemudian penting pula untuk diamati adalah kebijakan
yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI melalui Surat Edaran (SE) yang
ditujukan kepada para Gubernur di seluruh Indonesia. SE Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia tersebut bernomor
M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan
Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan
dan Penanggulangan Covid-19. Dalam SE yang ditandatangani pada 1
Maret 2020 ini dituliskan bahwa Gubernur diminta untuk melakukan
perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi Covid-
19 serta mengupayakan pencegahan, penyebaran, dan penanganan
kasus terkait Covid-19 d lingkungan kerja (Biro Humas Kemnaker,
2020).
Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan
RI setidaknya memuat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh
para Gubernur. Dalam hal ini, para Gubernur diminta untuk 1)
mengupayakan pencegahan penyebaran dan penanganan kasus Covid-
19 di lingkungan kerja dan 2) melaksanakan perlindungan pengupahan
bagi pekerja/buruh terkait pandemi Covid-19 (Menaker RI, 2020).
Berkaitan dengan penulisan penelitian ini, penulis kemudian lebih
Kebijakan Pandemi Covid-19| 69

memberikan sorotan pada poin kedua sebagai referensi untuk


memperdalam latar belakang karena dihubungkan dengan kebijakan
pemerintah terutama dalam bentuk yang lebih personal kepada
masyarakat terutama para pekerja yang rentan terdampak pandemi
Covid-19. Adapun himbauan dari Menaker mengenai perlindungan
pengupahan bagi pekerja/buruh ini antara lain (Menaker RI, 2020):
(1) Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam
Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan
dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 (empat
belas) hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan maka
upahnya dibayarkan secara penuh;
(2) Bagi pekerja buruh yang dikategorikan kasus suspek Covid-19 dan
dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya
dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi;
(3) Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit Covid-19
dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayar
sesuai peraturan perundang-undangan;
(4) Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha
akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna
pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan
sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan
mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran
maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai
dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

3.8 KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN


Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten dituangkan dalam
Instruksi Bupati Tahun 2020 tentang Pencegahan, Pengendalian dan
Penanggulangan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) di Kabupaten.
Secara umum, untuk mencegah penularan dan penyebaran virus
corona, Pemerintah Daerah Kabupaten memberlakukan:
70 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

(1) Pembatasan Sosial Diperluas dan Diperketat (PSDD) dengan


melakukan kegiatan dan pergerakan orang dibatasi hingga
pukul 14.00 WIT, anak sekolah dan pegawai kantor belajar
dan bekerja di rumah, pembatasan kegiatan di tempat dan
fasilitas umum, pembatasan kegiatan keagamaan di rumah
ibadah (ibadah di rumah), pembatasan kegiatan sosial dan
budaya;
(2) SATGAS COVID-19 bekerja sama dengan TNI/POLRI
melakukan penindakan dan penegakan hukum;
(3) Identifikasi kasus dengan melalui kontak tracing dan
pengawasan serta test massif minimal sampai dengan 50%
dari jumlah penduduk di Distrik, Kelurahan dan Kampung;
(4) Semua hasil positif dianjurkan dengan PCR;
(5) Orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dengan gejala
ringan dikarantina pada fasilitas yang disiapkan oleh
Pemerintah Kabupaten;
(6) Pasien konfirmasi positif dengan gejala sedang s/d berat
dirujuk ke RSUD Kabupaten;
(7) Edukasi massif kepada masyarakat tentang pentingnya
social distancing (pembatasan sosial), Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS), dan karantina;
(8) Memantau ODP, PDP, OTG, dan COVID-19 selama karantina;
(9) Setiap orang wajib menggunakan masker dan melakukan
physical distancing (pembatasan fisik) minimal 1 (satu)
meter;
(10) Pemerintah Kabupaten dalam melakukan penanganan
COVID-19 bekerja sama dengan Perusahaan Pertambangan.

Selain itu, mengingat dampak besar situasi pandemi terhadap


kondisi sosial ekonomi masyarakat, selama pemberlakuan PSDD
Pemerintah Kabupaten juga berkewajiban memberikan bantuan sosial
dan jarring pengaman sosial kepada penduduk yang terdampak
langsung. Oleh karena pemberlakuan pembatasan sosial dan fisik
belum berjalan secara maksimal hingga Mei 2020, maka mulai 21 Mei
Kebijakan Pandemi Covid-19| 71

hingga 4 Juni 2020 pemerintah daerah secara efektif memberlakukan


PSDD sebagaimana diatur dalam Instruksi Bupati.

3.9 KEBIJAKAN TINGKAT PERUSAHAAN PERTAMBANGAN


Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, pandemi Covid-19
merupakan kejadian luar biasa yang tidak ada presedennya. Oleh
karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam salah satu Interoffice-
Memorandum-nya, manajemen Perusahaan Pertambangan memahami
bahwa “Tidak ada suatu jalan yang jelas untuk mitigasi COVID-19”.
Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak negatif terhadap kondisi
kesehatan masyarakat, namun juga terhadap perekonomian dunia.
Oleh karena itu, “upaya mitigasi penyebaran virus ini melibatkan isu-
isu medis dan ekonomi yang sangat kompleks, yang membutuhkan
berbagai strategi untuk mengurangi dampaknya”. Dalam kaitannya
dengan industri pertambangan, pandemi ini telah menciptakan tingkat
ketidakpastian yang tinggi di pasar komoditas logam, sehingga harga
tembaga mengalami penurunan yang signifikan. Bagi Perusahaan
Pertambangan sendiri, hal ini terjadi pada saat yang sulit karena
Perusahaan Pertambangan tengah berada dalam periode produksi
yang rendah dan sedang berinvestasi besar-besaran untuk operasi
tambang bawah tanah yang penting bagi masa depan Perusahaan
Pertambangan. Merespons kondisi global tersebut, Perusahaan
Pertambangan kemudian mengumumkan rencana operasi yang telah
direvisi, dalam mana dilakukan pengurangan pengeluaran modal,
tingkat produksi yang lebih rendah, serta biaya operasi, administrasi,
dan eksplorasi yang lebih rendah untuk menjaga kekuatan finansial
perusahaan.
Di tengah situasi tidak menentu dan ketidakpastian di atas, suatu
kebijakan tetap saja tidak boleh dirumuskan dan diimplementasikan
secara membabi buta, tanpa kejelasan langkah dan arah. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama masa pandemi,
khususnya dalam rangka pencegahan penularan dan penyebaran
72 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Covid-19, diorientasikan pada sebuah objektif yang telah diputuskan:


bahwa Perusahaan Pertambangan harus tetap beroperasi dengan
memperhatikan kesehatan, keamanan, dan keselamatan semua
karyawannya.
Menurut pekerja, objektif ini ditetapkan dengan beberapa
pertimbangan utama. Pertama, pertimbangan strategis akan kontribusi
besar operasi Perusahaan Pertambangan terhadap perekonomian
Kabupaten secara umum. Jika operasi Perusahaan Pertambangan
dihentikan, hampir pasti dampaknya akan berpengaruh secara
signifikan terhadap kondisi perekonomian daerah tersebut, dan
dengan demikian, juga akan memengaruhi kestabilan sosial-ekonomi
masyarakat. Kedua, pertimbangan operasional, mengingat saat ini
Perusahaan Pertambangan mengoperasikan pertambangan bawah
tanah dengan metode block caving. Pada bentuk penambangan ini,
blok-blok bijih yang terdapat di dalam bumi dipotong dari bawah tanah
agar deposit bijih di atasnya runtuh dengan sendirinya. Selama
peruntuhan ini terjadi, maka bijih tersebut harus selalu ditarik dan
diangkut keluar. Jika operasinya dihentikan, dikhawatirkan tambang
bawah tanah tersebut akan tertimbun dan tertutup oleh runtuhan yang
terjadi. Oleh karena itu, operasi penambangan harus tetap dijalankan.
Berpijak pada objektif di atas, maka setiap kebijakan di tingkat
perusahaan yang dikeluarkan sebagai peraturan teknis untuk
mengimplementasikan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, coba disesuaikan dengan situasi riil
di lapangan untuk menjamin tetap berjalannya operasi, sekaligus tetap
terjaganya para pekerja/buruh dari ancaman penularan virus corona.
Secara umum, kebijakan Perusahaan Pertambangan dalam pencegahan
penularan dan penyebaran Covid-19 mengikuti kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga aturan
pelaksanaannya di tingkat Kabupaten, lokasi di mana Perusahaan
Pertambangan beroperasi. Di antara kebijakan tersebut adalah sebagai
berikut:1
Kebijakan Pandemi Covid-19| 73

(1) Melaksanakan protokol pencegahan penularan dan penyebaran


Covid-19, yakni “menjaga jarak fisik, mempraktikkan kebersihan
pribadi, mengenakan masker di tempat umum, dan melapor ke
dokter jika mengalami gejala”.
(2) Di area kerja (jobsite), Perusahaan Pertambangan “menerapkan
pembatasan perjalanan, persyaratan penjagaan jarak fisik, dan
pengujian/testing untuk membantu menentukan siapa yang
membutuhkan karantina dan isolasi diri”.
(3) Menganjurkan kepada karyawan yang yakin atau diberi tahu oleh
staf medis bahwa dirinya memiliki kondisi berisiko tinggi, untuk
kembali ke daerah asalnya dan melakukan isolasi diri. “Para
karyawan Perusahaan Pertambangan akan terus menerima gaji dan
tunjangan, tetapi pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan
dengan mereka yang tetap bekerja”.
(4) Memperluas kemampuan perawatan medis di Rumah Sakit dan
mengubah Klinik menjadi fasilitas rawat inap. International SOS
menyediakan staf medis tambahan dan peralatan pendukung untuk
membantu memastikan perawatan medis tersedia sesuai
kebutuhan.

Dalam pelaksanaannya, dinamika dan perkembangan situasi


senantiasa terjadi. Oleh karena itu, Perusahaan Pertambangan
mengeluarkan Interoffice-Memorandum (IOM) yang ditujukan kepada
seluruh karyawan untuk memberikan respons setepat dan secepat
mungkin terhadap dinamika yang ada. Setiap kebijakan perusahaan
menyangkut penanganan Covid-19 dan isu-isu yang terkait langsung
dengannya dituangkan di dalam IOM ini. Hingga kini, sudah lebih dari
80 IOM dikeluarkan oleh manajemen Perusahaan Pertambangan.
Namun, dalam bagian ini hanya sebagian saja dari IOM tersebut yang
akan diangkat/didiskusikan, berdasarkan pertimbangan relevansinya
dengan fokus dan masalah penelitian. Kami juga mengidentifikasi,
berdasarkan peninjauan atas dokumen-dokumen IOM yang telah
dikeluarkan oleh perusahaan, bahwa kebijakan perusahaan dapat
74 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dikategorikan menjadi dua, yakni kebijakan-kebijakan yang terutama


berkenaan dengan aspek medis dan kesehatan masyarakat (public
health) dari permasalahan pandemi yang tengah dihadapi, serta
kebijakan-kebijakan yang terutama berkenaan dengan aspek sosial
maupun psikososial di kalangan karyawan dan komunitas. Berikut
akan kami diskusikan kedua kategori kebijakan tersebut.

TABEL 2.2. BEBERAPA KEBIJAKAN TERKAIT KESEHATAN PUBLIK


DAN KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL KARYAWAN
Kebijakan Dokumen kebijakan
Kebijakan terkait kesehatan
publik
Karantina bagi karyawan yang IOM tertanggal 2 April 2020
melakukan perjalanan ke luar perihal “Para Karyawan yang
negeri atau ke daerah-daerah Menyelesaikan Karantina
yang berisiko tinggi akan Mandiri Kembali Bekerja”
penularan dan penyebaran
virus corona
Isolasi wilayah di sebagian area IOM tertanggal 10 April 2020
kerja Perusahaan perihal “Program Isolasi
Pertambangan, baik di Dataran Wilayah Dataran Rendah”
Rendah maupun Dataran Tinggi
(dilakukan pada masa awal
pandemi)
Hanya mempertahankan IOM tertanggal 10 April 2020
skeleton crew di area kerja perihal “Program Isolasi
selama masa isolasi wilayah Wilayah Dataran Rendah”
Pemberlakuan protokol IOM tertanggal 10 April 2020
kesehatan perihal “Laporkan Segera
Gejala-Gejala/Riwayat
Perjalanan terkait COVID-19”
Pengujian dan pemeriksaan IOM tertanggal 22 April 2020
Covid-19 terhadap para perihal “Kapabilitas Rapid
karyawan. Untuk keperluan ini,
Kebijakan Pandemi Covid-19| 75

Kebijakan Dokumen kebijakan


Perusahaan Pertambangan Test Massal COVID-19 di
melakukan pengadaan alat tes Jobsite”
RDT dan PCR
Kebijakan terkait kebutuhan
psikososial karyawan
Membangun kontrol sosial atas IOM tertanggal 23 April 2020
berita-berita bohong, tidak perihal “Penyebaran
benar, dan/atau menyesatkan Informasi Hoaks Mengenai
(hoax) Virus Corona”
Menumbuhkan pemahaman IOM tertanggal 5 Mei 2020
bersama antara manajemen perihal “COVID-19 Stand
dan karyawan tentang langkah- Down untuk Pemahaman
langkah yang diambil Bersama”
perusahaan dan bagaimana
para karyawan dapat
berkontribusi mendukung
langkah-langkah tersebut
Mengoperasikan bus SDO untuk IOM tertanggal 28 Agustus
memfasilitasi perjalanan 2020 perihal “Proses Bis Shift
karyawan dari Dataran Tinggi Day Off”
ke Dataran Rendah dan
sebaliknya, sehingga karyawan
dapat tetap berjumpa dengan
keluarga mereka secara aman

Pertama, kebijakan yang terutama berkenaan dengan aspek


kesehatan masyarakat di kalangan para karyawan dan komunitas.
Segera setelah kasus pertama positif Covid-19 dilaporkan di Indonesia,
Perusahaan Pertambangan mengambil kebijakan agar para
karyawannya yang melakukan perjalanan ke luar negeri atau ke
daerah-daerah yang berisiko tinggi akan penyebaran virus corona,
76 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

untuk melakukan karantina selama kurun waktu yang telah ditentukan


dalam protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada
akhir Maret 2020, menurut IOM tertanggal 2 April 2020 perihal “Para
Karyawan yang Menyelesaikan Karantina Mandiri Kembali Bekerja”,
lebih dari 200 karyawan telah selesai menjalani proses karantina
mandiri di Jobsite dan akan kembali bekerja. Sebelum mengizinkan
para pekerja/buruh tersebut kembali ke Jobsite, pihak International
SOS telah melakukan pemantauan terhadap mereka dalam masa
karantina yang diwajibkan sesuai ketetapan pemerintah, meneliti
catatan perjalanan dan kondisi medis mereka.
Pada masa-masa awal pandemi, manajemen Perusahaan
Pertambangan segera mengambil langkah pencegahan dengan
melakukan isolasi wilayah di sebagian daerah operasinya. Berdasarkan
IOM tertanggal 10 April 2020 perihal ‘Program Isolasi Wilayah Dataran
Rendah,’ mulai Sabtu, 11 April 2020, dilakukan pengontrolan ketat
terhadap akses ke Cargo Dock dan Portsite. Hal ini merupakan bagian
dari program isolasi wilayah Dataran Rendah. Tujuannya untuk
memastikan bahwa perusahaan dapat mempertahankan jumlah tenaga
kerja minimum yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi
pendukung utama untuk semua operasi di Dataran Rendah.
Skeleton crew (kelompok kerja minimum yang diperlukan) telah
dipilih dan akan diminta untuk tetap berada di barak dan akomodasi di
Portsite selama delapan minggu. Peninjauan kembali akan dilakukan
secara berkala untuk melihat kelanjutan perkembangan keadaan. Para
manajer telah memilih anggota kru awal dan akan
mengomunikasikannya secara langsung kepada setiap individu. Para
pekerja/buruh yang tidak terpilih akan diminta untuk tetap tinggal di
rumah bersama keluarga mereka di Dataran Rendah.
Semua pekerja/buruh yang ditempatkan di fasilitas akomodasi
Portsite akan disaring terlebih dahulu melalui protokol pengujian
medis dan program pemantauan berkelanjutan oleh International SOS.
Mulai Senin, 13 April 2020, sampai pemberitahuan selanjutnya,
layanan bus dari Terminal Bus Gorong-Gorong ke Cargo Dock akan
ditangguhkan karena tim yang tersisa di Portsite tidak akan melakukan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 77

perjalanan pula ke ibu kota kabupaten setiap hari. Semua permintaan


untuk perjalanan bus harus diajukan kepada Vice President (VP) untuk
mendapatkan persetujuan akhir dari Executive Vice President-Technical
Services.
Untuk menjamin keefektifan penerapan protokol kesehatan,
kebijakan yang ada juga mendorong terbangunnya mekanisme kontrol
sosial di kalangan pekerja/buruh. Setiap orang diminta untuk
senantiasa peka dan memantau kesehatannya masing-masing, di
samping juga memperhatikan kondisi kesehatan lingkungan kerjanya.
Hal ini tertuang dalam IOM tertanggal 10 April 2020 perihal “Laporkan
Segera Gejala-Gejala/Riwayat Perjalanan terkait COVID-19”.
Berdasarkan IOM di atas, setiap orang dihimbau untuk senantiasa
mengikuti protokol kesehatan dan segera melaporkan gejala Covid-10
dan/atau catatan perjalanan kepada pihak yang berwenang atau
atasannya. Para atasan langsung diminta untuk berperan aktif dengan
memantau kesehatan karyawan di bawah pengawasan mereka, dan
segera bertindak dengan cara mengisolasi/memisahkan orang yang
berpotensi sakit. Bagi para karyawan yang mengkhawatirkan
kesehatan rekan kerjanya, dihimbau untuk segera menyampaikan
kekhawatiran tersebut kepada atasan mereka atau meminta rekan
kerja yang bersangkutan untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas
kesehatan terdekat.
Selanjutnya, pengujian dan pemeriksaan (testing) untuk
mendeteksi kemungkinan paparan dan penyebaran virus corona di
kalangan pekerja/buruh merupakan langkah krusial yang diperlukan
dalam upaya mendeteksi sudah sejauh mana penularan virus tersebut,
termasuk mendeteksi tingkat transmisi lokal yang mungkin sudah
terjadi di tengah-tengah komunitas. Untuk itu, sebagaimana tertuang
dalam IOM tertanggal 22 April 2020 perihal “Kapabilitas Rapid Test
Massal COVID-19 di Jobsite”, manajemen Perusahaan Pertambangan
telah memfokuskan upaya mitigasi risiko untuk mencegah dan
mengurangi penyebaran COVID-19 di dalam operasi dan komunitas
78 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

melalui pembatasan perjalanan dan inisiatif-inisiatif terkait penjagaan


jarak secara fisik (physical distancing). Pada April 2020 Perusahaan
Pertambangan juga telah menambah kapabilitas tes massal
menggunakan alat pengujian diagnostik cepat (rapid diagnostic
test/RDT) untuk memastikan kesehatan para karyawan Perusahaan
Pertambangan dan kontraktor yang bekerja di Dataran Tinggi maupun
Dataran Rendah, serta dan membantu mendeteksi potensi kasus-kasus
positif virus corona di dalam komunitas.
Penggunaan RDT diprioritaskan untuk memeriksa orang-orang
yang dipilih berdasarkan protokol penelusuran kontak. Proses
screening untuk kelompok kerja minimum di Portsite telah dilakukan
dengan sukses dan akan dilanjutkan ke kalangan karyawan yang ada di
Dataran Tinggi.
Semua orang yang hasil tes antibodinya positif akan diminta untuk
menjalani karantina sementara. Pada saat yang bersamaan,
departemen kesehatan masyarakat akan melakukan penelusuran
kontak tambahan dan bagi mereka yang memiliki potensi kontak
dengan orang-orang yang telah dinyatakan positif, akan diminta untuk
turut menjalani tes. Orang-orang yang berada di karantina atau isolasi
akan dites kembali sekitar 7–10 hari kemudian dan jika tidak
ditemukan antibodi, karyawan yang bersangkutan dapat kembali
bekerja dengan tetap menjaga jarak fisik dan kebersihan pribadi.
Untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan pengujian dan
diagnostik, perusahaan juga berinvestasi dalam pengadaan peralatan
pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR), yang merupakan standar
diagnostik untuk pengujian virus corona.
Menurut IOM tertanggal 22 April 2020 perihal “Kapabilitas Rapid
Test Massal COVID-19 di Jobsite”, investasi dalam pengadaan berbagai
perangkat pengujian di atas, baik RDT maupun PCR, mencerminkan
komitmen perusahaan atas aspek kesehatan seluruh karyawan.
Terlebih, investasi ini pada saat perekonomian dunia terdampak oleh
pandemi COVID-19 dan harga komoditas tambang mengalami
penurunan yang signifikan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 79

Kedua, kebijakan yang terutama berkenaan dengan aspek psikososial


di kalangan para karyawan dan komunitas. Salah satu persoalan yang
merebak di tengah situasi pandemi Covid-19, adalah tersebarnya
berita-berita dan informasi-informasi yang bersifat bohong atau
menyesatkan, yang dikenal sebagai “hoaks” (hoax). Berdasarkan IOM
tertanggal 23 April 2020 perihal ‘Penyebaran Informasi Hoaks
Mengenai Virus Corona,’ pihak manajemen telah menerima adanya
laporan tentang karyawan yang menyebarkan informasi yang tidak
benar tentang virus corona dan bagaimana penanganannya di Jobsite.
Sebagai respons atas laporan-laporan yang diterima, Perusahaan
Pertambangan mengingatkan kembali kepada para karyawan melalui
IOM tersebut bahwa menurut pasal 30.50 Pedoman Hubungan
Industrial, karyawan yang melakukan tindakan yang bertentangan
dengan UU ITE dapat menerima sanksi dari Peringatan Tertulis I
sampai dengan Pemutusan Hubungan Kerja. Oleh karena itu, “Sangat
penting bahwa kita semua bekerja bersama untuk memastikan
informasi yang disebarluaskan tentang COVID-19 benar dan tidak
menyesatkan atau bohong”.
Upaya mengatasi beredarnya hoaks, sekaligus mengefektifkan
penerapan kebijakan harus dimulai dari pengetahuan yang memadai
dan pemahaman yang baik di kalangan pekerja/buruh akan Covid-19,
penanganannya, serta langkah-langkah yang dilakukan perusahaan
untuk melawan penyebaran virus corona. Oleh karena itu, berdasarkan
IOM tertanggal 5 Mei 2020 perihal “COVID-19 Stand Down untuk
Pemahaman Bersama”, Perusahaan Pertambangan memfokuskan
pemanfaatan waktu selama tiga hari sejak dikeluarkannya IOM untuk
membangun “pemahaman bersama” di antara pihak manajemen dan
pekerja/buruh. Hal ini dilakukan melalui stand down meeting yang
biasa dilakukan ‘ketika sebuah kejadian serius terkait keselamatan
kerja terjadi. Stand down meeting diselenggarakan untuk memberikan
waktu khusus kepada para pimpinan, manajer, dan penyelia untuk
memfasilitasi dialog langsung dengan karyawan mereka tentang situasi
80 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

yang tengah dihadapi, langkah-langkah perusahaan, dan apa yang


harus dilakukan karyawan untuk melindungi diri dan orang-orang di
sekitar mereka. Sebagaimana disebutkan di dalam IOM, bahwa:
“… Kita dapat mengatasi ini dengan bekerja bersama, tetapi
pertama-tama kita semua harus memahami apa yang sedang dilakukan
perusahaan dan apa peran Anda dalam membantu kami mengalahkan
penyebaran COVID-19.”
Selanjutnya, salah satu kebutuhan karyawan yang tidak dapat
diabaikan adalah kesempatan berkumpul bersama keluarga, sekaligus
beristirahat dari pekerjaan dan suasana di lingkungan kerja. Oleh
karena itu, pada tanggal 28 Agustus 2020, pihak manajemen
mengeluarkan IOM perihal “Proses Bis Shift Day Off”. Kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh tuntutan para karyawan yang berada di Dataran
Tinggi dalam waktu lama karena adanya pembatasan perjalanan ke
Dataran Rendah pada masa-masa awal pandemi. Menurut IOM
tersebut, Perusahaan Pertambangan berencana memperluas layanan
bus Shift Day Off (SDO) dan mengatur pengoperasiannya dengan tetap
mempertahankan protokol COVID-19 yang berlaku di wilayah kerja
komunitas Perusahaan Pertambangan. Bagi para karyawan yang
memilih untuk tetap tinggal di Dataran Tinggi dan Portsite selama
jadwal SDO-nya, perusahaan akan memberikan tunjangan tunai
tambahan sebesar Rp 750.000 sebelum dipotong pajak untuk setiap
perjalanan yang tidak dilakukan. Perjalanan bus SDO terdiri atas dua
macam, yakni perjalanan dari Dataran Tinggi ke Dataran Rendah
(outbond) dan perjalanan dari Dataran Rendah ke Dataran Tinggi
(inbound).
Terkait perjalanan dari Dataran Tinggi ke Dataran Rendah
(outbound), ditetapkan beberapa ketentuan sebagai berikut:
(1) Perusahaan akan menyediakan kapasitas tempat duduk bus
maksimal 600 kursi. Kapasitas ini akan tersedia untuk semua
karyawan yang berdomisili di Dataran Rendah (pemegang KTP
setempat) yang bekerja dengan jadwal shift 5/2-5/3 atau 5/2-5/2.
(2) Protokol sanitasi di bus akan diikuti, pemeriksaan suhu tubuh akan
dilakukan sebelum naik, dan semua penumpang akan diminta untuk
Kebijakan Pandemi Covid-19| 81

memakai masker saat berasa di bus. Jarak fisik dianjurkan untuk


diterapkan secara praktis.
(3) Prioritas untuk mendapatkan kursi akan didasarkan pada kriteria
yang dipilih, dimulai dengan mereka yang belum dijadwalkan untuk
cuti/rotasi dan telah bekerja di Dataran Tinggi untuk jangka waktu
terlama, diikuti dengan tanggal perekrutan (yaitu lamanya masa
kerja).
(4) Karyawan dapat mengajukan permintaan kursi perjalanan
outbound setiap dua minggu sekali.

Adapun untuk perjalanan dari Dataran Rendah ke Dataran Tinggi


(inbound), ditetapkan beberapa ketentuan sebagai berikut:
Pengujian/tes COVID-19 akan diperlukan bagi mereka yang
kembali ke Dataran Tinggi. Guna melindungi keselamatan semua orang,
mereka yang memperoleh hasil tes reaktif atau positif akan
dikarantina.
Kapasitas tes dan persyaratan jaga jarak fisik akan mengakibatkan
pembatasan kapasitas masuk menjadi sekitar 250 orang per hari.
Kapasitas yang berkurang pada perjalanan inbound dapat
mengakibatkan daftar tunggu untuk masuk ke Dataran Tinggi.
Perusahaan akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengakomodasi pemesanan perjalanan inbound. Jika kapasitas
perjalanan inbound tidak mencukupi, karyawan akan menerima gaji
pokok selama hari-hari tunggu. Kontraktor tunduk pada persyaratan
perjanjian kerja mereka.

3.10 PERSEPSI TERHADAP KEBIJAKAN PENANGANAN


PANDEMI COVID-19
Persepsi pekeeja/buruh terhadap kebijakan penanganan pandemi
Covid-19 yang telah diberlakukan hingga saat ini, baik terkait
perumusan kebijakan tersebut maupun penerapannya. Lebih dari
separuh (51%) dari jumlah keseluruhan pekerja menilai bahwa
82 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

kebijakan yang ada saat ini sudah “sangat baik”, sementara seperempat
(25%) dari jumlah keseluruhan pekerja menilai “baik”. Dari
keseluruhan jumlah pekerja, hanya 4% saja yang menilai kebijakan
yang ada saat ini “buruk”. Dengan demikian, mayoritas pekerja (76%)
memiliki penilaian yang positif terhadap kebijakan penanganan
pandemi Covid-19. Lebih rinci, persepsi para pekerja tersebut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
4%

25% Sangat baik


20%
Baik
Cukup
Buruk
51%

Gambar 1. Persepsi pekerja terhadap kebijakan penanganan pandemi Covid-19

Dalam kegiatan wawancara, kami kemudian melakukan


pendalaman terhadap persepsi awal di atas dengan meminta para
pekerja untuk menerangkan, bagian manakah dari kebijakan
penanganan Covid-19 di lingkungan Perusahaan Pertambangan yang
mereka nilai positif, dan bagian mana yang negatif. Di antara bagian
dari kebijakan yang dipersepsi positif oleh para pekerja, baik dari
kalangan manajemen, serikat pekerja/buruh, maupun pekerja/buruh,
adalah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan:
(1) Mitigasi Covid-19,
(2) Pelayanan kesehatan,
(3) Bantuan sosial bagi karyawan,
(4) Jaminan kelangsungan kerja,
(5) Pengoperasian bus SDO,
(6) Respons positif perusahaan atas umpan balik dan saran serikat
pekerja/buruh,
(7) Upaya vaksinasi mandiri.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 83

Terkait mitigasi Covid-19, Perusahaan Pertambangan melakukan


berbagai langkah strategis, salah satunya pengadaan alat tes Covid-19
dan pengaturan tes antigen gratis setiap kali kembali ke area Dataran
Tinggi maupun Dataran Rendah. Hal ini untuk memastikan
keselamatan dan kesehatan pekerja/buruh dari ancaman penularan
virus corona. Namun demikian, sebagian pekerja mengeluhkan bahwa
tes bagi tanggungan mereka, seperti istri dan anak, tetap dikenai biaya.
Selain itu, dilaksanakan pula sosialisasi informasi-informasi kesehatan
untuk mendukung pelaksanaan protokol kesehatan dan kebijakan lain
terkait penanganan Covid-19, pembagian masker dan handsanitizer,
serta pengaturan jumlah personel yang bekerja di kantor dengan
sistem shift.
Pelayanan kesehatan gratis untuk para pekerja/buruh merupakan
kebijakan lain yang juga dipersepsi positif oleh para pekerja. Untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, pada awal Mei 2020
Perusahaan Pertambangan juga telah memperluas kemampuan
perawatan medis di RS dan meningkatkan infrastruktur pada klinik
agar dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas rawat inap. Untuk memenuhi
kebutuhan akan sumber daya medis, International SOS telah pula
menyediakan tambahan staf medis dan peralatan pendukung yang
diperlukan.
Bantuan sosial diberikan kepada karyawan sebagai kompensasi
atas komitmen dan dedikasi mereka untuk mempertahankan produksi
yang optimal. Termasuk dalam hal ini adalah pemberian insentif
kepada pekerja yang tidak melakukan perjalanan keluar area kerja
pada saat day off, serta insentif keringanan pajak penghasilan.
Beberapa kebijakan berdampak positif pada kebutuhan psikososial
karyawan. Di antara kebijakan tersebut adalah tidak adanya
pengurangan karyawan Perusahaan Pertambangan, sehingga para
pekerja/buruh mendapatkan jaminan tetap bekerja dalam situasi
ekonomi global dan nasional yang sedang dilanda masa sulit. Selain itu,
pengoperasian bus SDO yang memfasilitasi perjalanan para karyawan
84 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dari Dataran Tinggi ke Dataran Rendah untuk berjumpa dengan


keluarga mereka, dan kembali ke Dataran Tinggi untuk bekerja.
Serikat pekerja/buruh mengapresiasi respons perusahaan
terhadap beberapa umpan balik dan masukan penting selama masa
pelaksanaan kebijakan penanganan Covid-19, seperti penyediaan
masker standar untuk karyawan, penyemprotan desinfektan pada
peralatan/fasilitas yang digunakan oleh karyawan secara bergantian
sesuai shift kerja maupun fasilitas publik yang diakses oleh karyawan
seperti mes, barak, mesin ATM, kantor, bus, dll.
Selanjutnya, Perusahaan Pertambangan mengupayakan
komunikasi dan koordinasi dengan beberapa BUMN terkait penyediaan
vaksin yang berkualitas baik dan aman bagi karyawan sesuai kebijakan
pemerintah bahwa badan usaha dapat melakukan vaksinasi mandiri.
Hal ini pun dipersepsi positif oleh para pekerja.
Adapun di antara bagian dari kebijakan yang dipersepsi negatif oleh
para pekerja, baik dari kalangan manajemen, serikat pekerja/buruh,
maupun pekerj/buruh, adalah isu-isu yang berkaitan dengan:
(1) Kelambanan pemerintah dalam mengambil langkah signifikan pada
masa-masa awal pandemi.
(2) Inkonsistensi pelaksanaan kebijakan.
(3) Pembatasan waktu day off.
(4) berkurangnya penghasilan.
(5) Kebijakan merumahkan karyawan, bahkan PHK.
(6) Ketidakadilan dalam memutuskan karyawan mana yang tetap
bekerja, mana yang tidak.

Sebagian pekerja mengungkapkan bahwa situasi sulit dan dampak


negatif akibat pandemi Covid-19 yang saat ini dialami oleh dunia usaha,
termasuk Perusahaan Pertambangan, tidak dapat dilepaskan dari
kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan dan langkah-
langkah signifikan untuk mencegah penularan dan penyebaran virus
corona pada masa-masa awal pandemi. Dalam hal ini, pekerja
mengungkapkan, pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 85

pembatasan sosial lebih awal, sehingga penyebaran Covid-19 dapat


dicegah dan tidak berdampak terhadap dunia usaha.
Pada kebijakan yang ada, dalam pelaksanaannya juga dinilai
terdapat inkonsistensi, di mana Surat Edaran Menaker No.
M/3/HK.04/III/2020 belum terlaksana secara penuh. Menurut SE
Menaker tersebut, seorang pekerja menjelaskan, “Bagi pekerja/buruh
yang dikategorikan kasus suspek Covid-19 dan dikarantina/diisolasi
menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh
selama menjalani masa karantina/isolasi”. Pada kenyataannya,
pekerja/buruh yang bersangkutan, sekalipun hanya suspek, kehilangan
bonus karena karantina/isolasi.
Para pekerja/buruh menyadari bahwa pelaksanaan tes antigen bagi
mereka yang hendak melakukan perjalanan dari Dataran Tinggi ke
Dataran Rendah dan sebaliknya merupakan langkah yang penting guna
mencegah terjadinya penularan dan penyebaran virus corona. Namun
demikian, tidak dipungkiri bahwa kewajiban menyertakan hasil tes
antigen ketika melakukan perjalanan menyebabkan karyawan
mengalami kejenuhan sehingga motivasi kerja menurun. Selain itu,
menurunnya motivasi kerja ini juga diakibatkan oleh pembatasan
waktu day off bersama keluarga.
Selanjutnya, para pekerja mengeluhkan berkurangnya penghasilan
para pekerja/buruh. Penyebabnya ada beberapa. Pertama,
berkurangnya lembur dan terbatasnya lingkup kerja. Kedua, tidak
diberikannya sebagian hak karyawan. Selama masa karantina,
khususnya bagi pekerja/buruh yang harus diisolasi untuk
mendapatkan penanganan medis, gaji berkurang (karena
berkurangnya jam kerja dan yang dibayarkan hanya pokoknya saja)
dan bonus dihilangkan. Seorang pekerja menjelaskan:
“Perusahaan menganggap dampak tersebut merupakan
konsekuensi yang ditanggung pekerja/buruh yang bersangkutan
karena tidak wajib atau disiplin terapkan prokes (protokol kesehatan)
86 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

pencegahan penyebaran Covid-19. Beberapa karyawan kecewa dan


demotivasi dalam bekerja”.
Pekerja/buruh yang dikarantina/diisolasi karena reaktif atau
positif Covid-19 tidak menerima upah secara penuh karena pihak
perusahaan menganggap pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
bekerja. Padahal, kebijakan Menteri dalam Surat Edaran Menaker No.
M/3/HK.04/III/2020 mengharuskan pembayaran gaji secara normal
atau penuh. Selain itu, pengurangan benefit tambahan (bonus dll.) juga
dialami oleh karyawan yang melakukan kerja dari rumah. Pada masa-
masa awal pandemi, sebagian pekerja/buruh berstatus “stranded”
karena tertahan di luar area kerja akibat lockdown, sehingga
pembayaran upah mereka tidak sama dengan di masa normal.
Hal berikutnya yang dipersepsi negatif oleh para pekerja adalah
kebijakan perusahaan untuk mengistirahatkan pekerja/buruh tanpa
melibatkan serikat pekerja/buruh. Bahkan serikat pekerja/buruh baru
mengetahui perihal kebijakan tersebut setelah keluar IOM dari
perusahaan. Kendatipun Perusahaan Pertambangan tidak melakukan
pengurangan karyawan (PHK), sebagian pekerja mengungkapkan
bahwa banyak pekerja/buruh yang dirumahkan untuk sementara
waktu karena kondisi pandemi. Bahkan di beberapa perusahaan
subkontraktor, terjadi PHK.
Terakhir, pekerja mengungkapkan bahwa sebagian karyawan
menilai penerapan masuk kerja “tebang pilih”, di mana perusahaan
secara sepihak menentukan pekerja/buruh mana yang penting, mana
yang tidak penting. Hal ini berdampak panjang pada pendapatan
pekerja/buruh.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 87

RINGKASAN
Selama periode kurang lebih sebelas bulan, pembatasan sosial,
pelaksanaan protokol kesehatan, dan penerapan Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) menjadi strategi utama, bahkan dapat dikatakan strategi
satu-satunya, untuk menghadapi ancaman penularan dan penyebaran
virus corona. Hal ini dikarenakan sebagai sebuah penyakit baru, belum
ditemukan vaksin untuk Covid-19. Baru pada akhir 2020 berbagai riset
untuk menemukan vaksin tersebut di beberapa negara, termasuk
Indonesia, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Selanjutnya,
pada Januari 2021 vaksinasi Covid-19 di Indonesia dapat dimulai.
Kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan
instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya
menyangkut aparatur Negara, tetapi juga governance yang menyentuh
pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya
alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik (Suharto, 2008).
Merespons masifnya penyebaran Covid-19, pemerintah RI
melakukan pembatasan mobilisasi dan interaksi antar manusia melalui
kebijakan-kebijakan untuk memutus rantai penularan. Lima protokol
utama berkaitan dengan Covid-19 juga diberlakukan, yaitu Protokol
Kesehatan, Protokol Komunikasi, Protokol Pengawasan Perbatasan,
Protokol Area Institusi Pendidikan, serta Protokol Area Publik dan
Transportasi (Infeksi Emerging, 2020). Kebijakan lain yang juga
dikeluarkan oleh pemerintah yaitu berupa Keputusan Presiden (oleh
Presiden Joko Widodo) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19. Selain kebijakan-kebijakan tersebut,
pemerintah RI memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sejak April 2020 yang memberikan dampak besar pada
kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama pada sektor
88 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

ekonomi. PSBB ini ternyata menjadikan beberapa perusahaan


mengalami kerugian. Untuk itu, beberapa perusahaan mengambil
kebijakan untuk melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kepada
karyawannya.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 89

BAB IV
KEBIJAKAN PERUSAHAAN
90 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB IV
KEBIJAKAN PERUSAHAAN

4.1 PENDAHULUAN
Bukan hanya pemerintah pusat dan daerah, perusahaan-
perusahaan di Indonesia – dalam hal ini khususnya perusahaan
multinasional – memiliki kebijakan tersendiri yang ditujukan kepada
para karyawan/pekerja/buruh dalam menjalankan aktivitas di tengah
pandemi Covid-19. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwa para
pelaku usaha merasa terancam oleh adanya pandemi dan
diberlakukannya kebijakan WFH (Work from Home) oleh pemerintah
karena berimbas pada ruang gerak perusahaan serta menyangkut
kelangsungan hidup para pekerjanya. Hal ini terjadi karena perusahaan
tersebut tidak mendapat pemasukan yang disebabkan oleh terhentinya
produksi sehingga menimbulkan PHK, upah yang tidak terbayar, dan
sengketa lain antara perusahaan dan pekerja (Info Hukum, 2020). Oleh
karena itu, perusahaan kemudian mengambil keputusan-keputusan
dalam merespon terjadinya pandemi Covid-19, namun memberikan
perhatian pula pada para pekerjanya.

4.2 LANDASAN KEBIJAKAN PERUSAHAAN


Kebijakan dari beberapa perusahaan multinasional di Indonesia
penting disajikan mengingat eratnya kaitan antara buruh dan
tempatnya bekerja. Secara umum, kebijakan-kebijakan perusahaan
guna menangani Covid-19 di tempat kerja berlandaskan pada aturan-
aturan, antara lain:
Kebijakan Pandemi Covid-19| 91

a. Kepmenkes No. HK.01/Menkes/328/2020 tentang Panduan


Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 di Tempat Kerja
Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan
Usaha pada Situasi Pandemi.
b. Kepmenaker No. 318 Tahun 2020 tentang Satgas Pencegahan dan
Pengendalian Covid 19 Kemnaker.
c. Kepmenaker No. 312/2020 tentang Pedoman Penyusunan
Perencanaan Keberlangsungan Usaha dalam Menghadapi Pandemi
Penyakit.
d. SE Menaker No.M/1/HK.4/1/2021 tentang Pelayanan Penggunaan
TKA dalam Upaya Pencegahan Masuknya Covid 19.
e. SE Menaker No.M/15/HK.04/XII/2020 tentang Pelayanan
Penggunaan TKA dalam Upaya Pencegahan Masuknya Covid 19.
f. SE Menaker M/8/HK.04/X/2020 tentang Perlindungan
Pekerja/Buruh dalam Program JKK pada Kasus Penyakit Akibat
Kerja Karena Covid 19.
g. SE Menaker No.M/7/AS.02.02/V/2020 tentang Rencana
Keberlangsungan Usaha dalam Menghadapi Pandemi Covid 19 dan
Protokol Pencegahan Covid 19 di Perusahaan.
h. SE Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan
Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan
dan Penanggulangan Covid 19.
i. SE Dirjen No.5/334/AS. 02.02/IX/2020 tentang Antisipasi
Meningkatnya Kasus Konfirmasi Covid 19 di Tempat Kerja.
j. Kepdirjen No.5/151/AS.02/XI/2020 tentang Pedoman K3
Pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja pada Masa
Pandemi Covid 19.
k. SE Dirjen No.5/193/A5.02.02/III/2020 tentang Kesiapsiagaan
dalam Menghadapi Penyebaran Covid 19 di Tempat Kerja.
l. Kepdirjen Binasnaker No. 5/36/HM.01/IV/2020 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan Keberlangsungan Usaha dalam
Menghadapi Pandemi Covid 19.
92 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

4.3 ALTERNATIF KEBIJAKAN PERUSAHAAN


Terdapat beberapa kebijakan perusahaan yang muncul dari
inisiatif di luar pemerintah, yaitu :
a. Komitmen bersama untuk melindungi kesehatan, keberlanjutan
usaha dan kesejahteraan pekerja di masa Pandemi Covid-19;
b. MoU antara KPN Group dengan FSB Kamiparho, mengenai
kesepakatan pengusaha sawit dan serikat buruh untuk
mengimplementasikan dialok social;
c. Kesepakatan 6 serikat buruh garmen untuk membentuk aliansi
ABGATI;
d. Kerja sama antara Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di
Indonesia, APINDO, API and APRISINDO untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan, kelangsungan usaha dan kesejahteraan
pekerja/buruh di sektor garmen/alas kaki Indonesia, dengan:
1) Mempromosikan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan
dan kesehatan kerja;
2) Mendorong kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan terkait termasuk panduan yang diterbitkan oleh
Pemerintah Indonesia untuk menangani dampak pandemi
Covid-19 di semua pabrik pemasok (supplier) dan
mempromosikan kepatuhan di industri secara keseluruhan;
3) Serikat pekerja/serikat buruh dan asosiasi pengusaha
berkomitmen untuk menangani masalah-masalah yang menjadi
perhatian bersama pada struktur dialog tripartit yang ada.

e. Komitmen federasi serikat pekerja/serikat buruh yang mendukung


pernyataan tersebut (dalam huruf d) untuk mempromosikan tempat
kerja yang aman dan sehat berdasarkan peraturan dan pedoman
terkait Covid-19 yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dan untuk
menangani dampak pandemi pada usaha dan ketenagakerjaan;
f. Asosiasi Pengusaha berkomitmen untuk mempromosikan tempat kerja
yang aman dan sehat berdasarkan peraturan dan pedoman terkait
Kebijakan Pandemi Covid-19| 93

Covid-19 yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dan untuk


mengatasi dampak pandemi pada bisnis dan ketenagakerjaan.
94 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

RINGKASAN
Perusahaan-perusahaan di Indonesia – dalam hal ini khususnya
perusahaan multinasional – memiliki kebijakan tersendiri yang
ditujukan kepada para karyawan/pekerja/buruh dalam menjalankan
aktivitas di tengah pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan dibuat oleh
perusahaan baik menurut aturan dari pemerintah maupun inisiatif
perusahaan itu sendiri untuk memutus penularan Covid-19. Adapun
kebijakan yang berasal dari inisiatif perusahaan itu sendiri salah
satunya adalah mengadakan kerja sama antara Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia, APINDO, API and APRISINDO
untuk melindungi keselamatan dan kesehatan, kelangsungan usaha dan
kesejahteraan pekerja/buruh di sektor garmen/alas kaki Indonesia.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 95

BAB V
KONSEP PELAKSANAAN
KEBIJAKAN
96 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB V
KONSEP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

5.1 PENDAHULUAN

Terbitnya kebijakan publik dilandasi kebutuhan untuk


penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat. Kebijakan publik
ditetapkan oleh para pihak (stakeholders), terutama pemerintah yang
diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Makna dari pelaksanaan kebijakan publik merupakan
suatu hubungan yang memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan atau
sasaran sebagai hasil akhir dari kegiatan yang dilakukan pemerintah.
Kekurangan atau kesalahan kebijakan publik akan dapat diketahui
setelah kebijakan publik tersebut dilaksanakan, keberhasilan
pelaksanaan kebijakan publik dapat dilihat dari dampak yang
ditimbulkan sebagai hasil evaluasi atas pelaksanaan suatu kebijakan
(Andayaningsih Hernaman, 2018).
Pelaksanaan kebijakan secara sederhana adalah pelaksanaan atau
penerapan suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan bermuara pada
aktivitas, aksi, tindakan, atau mekanisme yang dibingkai pada suatu
sistem tertentu. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan
terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan
norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu
(Warjio Afandi.2015)
Pelaksanaan kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku lembaga
administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program,
melainkan menyangkut pula pada partisipasi masyarakat, kekuatan
politik, ekonomi dan sosial dengan berbagai pihak. Pelaksanaan
kebijakan yang dilaksanakan secara tepat sasaran dan berdaya guna
Kebijakan Pandemi Covid-19| 97

akan mampu memecahkan suatu permasalahan secara baik, semakin


kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis
yang digunakan, semakin diperlukan teori dan modal yang mampu
menjelaskan ketepatan pelaksanaan kebijakan tersebut
(Andayaningsih Hernaman, 2018). Analisa kebijakan perlu dilakukan,
terutama berkenaan dengan dampak yang dihasilkannya. Kajian
pelaksanaan kebijakan bertujuan agar suatu kebijakan tidak
bertentangan dan merugikan kepentingan masyarakat (Mansur, 2021).

5.2 ASPEK YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN


KEBIJAKAN
Pelaksanaan kebijakan merupakan sebuah proses yang bertahap
yang dilakukan setelah kebijakan dilahirkan dan sebelum diketahui
dampak yang dihasilkan. Pelaksanaan kebijakan publik dipengaruhi
oleh beberapa aspek yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Aspek tersebut antara lain:
a. Struktur Birokrasi/ kewenangan
Kewenangan diartikan sebagai otoritas maupun legitimasi bagi
pihak yang melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
Kewenangan ini berhubungan dengan posisi individu maupun lembaga
dalam proses pelaksanaan kebijakan (Suryono, 2014). Kewenangan ini
dituangkan dalam fragmentasi organisasi maupun prosedur kerja
seperti SOP.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan bentuk kegiatan yang dapat membuat
individu untuk menginterpretasikan gagasan dan ide melalui sebuah
sistem yang dapat berupa signal, simbol, lisan maupun perilaku.
Komunikasi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan
publik (Ruhimat, 2010; Subekti et al, 2017; Syani et al, 2018).
Komunikasi dapat memberikan dampak yang baik dan buruk
terhadap pelaksanaan kebijakan. Apabila sebuah informasi
disampaikan secara jelas kepada masyarakat maka akan mengurangi
98 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

risiko resistensi di dalam masyarakat dan justru sebaliknya apabila


informasi yang disampaikan tidak jelas maka memungkinkan
terjadinya gejolak dalam kelompok masyarakat tersebut.
c. Sumber daya
Sumber daya sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
kebijakan seperti manusia, materi dan metode pelaksanaan (Kartini,
2017; Fahri, 2017). Proses pelaksanaan kebijakan harus dilakukan
dengan cermat dan terarah, apabila dalam pelaksanaan kebijakan
kekurangan sumber daya maka kegiatan tersebut tidak akan terlaksana
secara maksimal.
d. Disposisi atau sikap dari pelaksana
Disposisi merupakan watak atau tabiat dari pelaksana kebijakan.
Watak tersebut dapat berupa kejuruan, disiplin, kecerdasan dan
komitmen. Apabila pelaksanaan kebijakan memiliki disposisi yang baik
maka proses pelaksanaan kebijakan akan cenderung optimal dan
apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi yang tidak baik maka
pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan secara optimal.

Dari penjabaran tersebut dapat diartikan bahwa terdapat 4 aspek


yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yaitu kewenangan,
komunikasi, sumber daya dan disposisi yang antar komponen saling
berkaitan dan mempengaruhi. Selanjutnya dalam proses pelaksanaan
kebijakan terdapat dimensi kebijakan publik yang harus diketahui
(Desrinelti et al., 2021).

5.3 DIMENSI PELAKSANAAN KEBIJAKAN


Berdasarkan beberapa konsep dan sifat tindakan yang berkenaan
dengan pelaksanaan Good Governance, menurut pemahaman penulis
maka pelaksanaan kebijakan dapat diukur/dievaluasi berdasarkan
dimensi-dimensi: konsistensi, transparansi, akuntabilitas, keadilan,
efektivitas, dan efisiensi.
a. Konsistensi
Pelaksanaan kebijakan berlangsung dengan baik apabila
pelaksanaan kebijakan dilakukan secara konsisten dengan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 99

berpegang teguh pada prosedur dan norma yang berlaku


(Mutiasari, Yamin, & Alam, 2016).
b. Transparansi
Transparansi merupakan kebebasan akses atas informasi yang
patut diketahui oleh publik dan/atau pihak-pihak yang
berkepentingan (Coryanata, 2012). Informasi yang berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan bersifat
terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang
memerlukan, dan disediakan secara memadai, serta mudah
dimengerti (Rohman, 2016).
c. Akuntabilitas
Setiap aktivitas pelaksanaan kebijakan publik harus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun
substantif, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Rohman, 2016).
d. Keadilan
Keadilan secara umum dapat dipahami sebagai kebaikan,
kebajikan, dan kebenaran, yang mengikat antara anggota
masyarakat dalam mewujudkan keserasian antara
penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban (Nasution, 2016).
Keadilan dalam kebijakan publik diwujudkan pada aktivitas
pelayanan yang tidak diskriminatif. Pelaksanaan kebijakan
publik tidak membedakan kualitas pelayanan pada kelompok
sasaran berdasarkan pertimbangan suku, ras, agama,
golongan, status sosial, dan lain-lain (Rohman, 2016).
e. Partisipatif
Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan. Partisipasi
masyarakat di samping menopang percepatan pelaksanaan
kebijakan, pada sisi lain akan berdampak pada proses
evaluasi/ kontrol atas kinerja pemerintah dan dapat mampu
meminimalisir penyalahgunaan wewenang. Partisipasi
100 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

masyarakat merupakan kunci sukses dari pelaksanaan


kebijakan publik karena dalam partisipasi menyangkut aspek
pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud di sini
termasuk pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak
legislatif (Coryanata, 2012). Berdasarkan uraian tersebut,
pelaksanaan kebijakan sebaiknya bersifat partisipatif, yaitu
pelaksanaan kebijakan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
kepentingan, dan harapan masyarakat (Rohman, 2016).
f. Efektivitas
Efektivitas berkenaan dengan pencapaian hasil yang telah
ditetapkan, atau pencapaian tujuan dari dilaksanakannya
tindakan, yang berhubungan dengan aspek rasionalitas teknis,
dan selalu diukur dari unit produk atau layanan (Dunn, 2003).
Dalam pelaksanaan kebijakan publik, efektivitas diukur dari
keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan pada kebijakan publik.
g. Efisiensi
Efisiensi berkenaan dengan jumlah penggunaan sumber daya
yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat efektivitas
tertentu. Efisiensi merupakan hubungan antara efektivitas dan
penggunaan sumber daya (Dunn, 2003). Indikator ukuran yang
dapat digunakan pada dimensi efisiensi adalah penggunaan
sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan, yang bisa diukur dengan tingkat penggunaan
waktu, biaya, manusia, peralatan, dan sumber daya lainnya.

5.4 EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN


Keberhasilan implementasi kebijakan membutuhkan keterlibatan
stakeholders secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan
pembuat kebijakan harus terus menerus terlibat dalam dialog untuk
menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh
karena itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk
Kebijakan Pandemi Covid-19| 101

melihat akuntabilitas dan peningkatan kinerja suatu kebijakan publik.


Model Helmut Wollman menguraikan evaluasi pelaksanaan kebijakan
pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante evaluation, on-going evaluation, dan
ex-post evaluation (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).
a. Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante)
Evaluasi ex-ante adalah evaluasi kebijakan yang dilakukan
sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan dengan
tujuan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari
berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan
yang telah dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara
hipotetik, tipe evaluasi ex-ante ditujukan untuk
mengantisipasi dan memberikan penilaian awal atas
perkiraan pengaruh, dampak, atau konsekuensi dari
kebijakan yang direncanakan atau yang telah ditetapkan.
Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan
dengan kebijakan atau dengan proses pembuatan kebijakan
yang sedang berjalan. Tipe evaluasi ex-ante juga memberikan
analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan (Lintjewas,
Tulusan, & Egetan, 2016).
b. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going)
Evaluasi on-going yaitu evaluasi dilakukan pada saat
pelaksanaan kebijakan untuk menentukan tingkat kemajuan
pelaksanaan kebijakan dibandingkan dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya (Diansari, 2016). Evaluasi on-
going secara umum dimaksudkan untuk menjamin agar
tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan,
bukan dimaksudkan untuk evaluasi penilaian akhir capaian
kinerja pelaksanaan kebijakan. Dengan dilakukan evaluasi
on-going, jika terjadi penyimpangan, diharapkan akan dapat
dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin melalui
sejumlah rancangan/rekomendasi, sehingga hasil akhir
pelaksanaan kebijakan akan sesuai dengan rencana yang
102 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, & Sutadji, 2016).


Esensi dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan
informasi yang relevan yang dapat dipergunakan untuk
memperbaiki proses pelaksanaan kebijakan ke arah yang
ingin dicapai (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).
c. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post)
Ex-post evaluation merupakan model evaluasi klasik dari
evaluasi pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post
dimaksudkan untuk memberikan penilaian terhadap tingkat
pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan yang telah
dilaksanakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi
ex-post adalah evaluasi yang dilaksanakan setelah
pelaksanaan kebijakan berakhir, yang ditujukan untuk
menganalisa tingkat pencapaian (keluaran/ hasil/ dampak)
pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post digunakan untuk
menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan),
efektivitas (pencapaian tujuan dan sasaran), ataupun
manfaat (dampak pelaksanaan kebijakan terhadap
penyelesaian masalah) (Diansari, 2016) (Ramdhani & Ramdhani,
2017).

Ketiga tahapan evaluasi ini harus dilaksanakan pada proses


pelaksanaan kebijakan agar dapat menilai sejauh mana pelaksanaan
kebijakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah disepakati. Proses
penilaian kebijakan yang dilakukan di Indonesia menggunakan
gabungan dari ketiga bentuk penilaian. Hal ini dikarenakan objek
kebijakan yang luas dan sumber daya yang variatif harus dapat
memastikan bahwa kebijakan tersebut harus tepat sasaran dalam
memecahkan permasalahan.

5.5 DISKRESI PELAKSANAAN KEBIJAKAN


Diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil
keputusan dari pelaksana kebijakan publik (para pejabat administrasi
negara yang berwenang dan berwajib) menurut pendapat sendiri
Kebijakan Pandemi Covid-19| 103

(Mustafa, Purnama, & Syahbandir, 2016). Diskresi merupakan


pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh penilaian pribadi, yang
tidak terikat dengan hukum yang berlaku. Diskresi adalah kebebasan
yang diberikan kepada pelaksana kebijakan publik dalam rangka
penyelenggaraan kebijakan publik, sesuai dengan meningkatnya
tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan negara kepada
masyarakat yang semakin kompleks (Pradana, 2016).
Namun demikian, diskresi hanya dapat dilakukan apabila
memenuhi indikator-indikator yang ditetapkan oleh undang-undang
yaitu: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi
kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi
stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum. Ruang lingkup diskresi meliputi adanya kekuasaan
pelaksana kebijakan (pejabat publik) untuk bertindak menurut
keputusan dan hati nurani sendiri, karena adanya pilihan keputusan
atau tindakan, peraturan tidak mengatur, peraturan tidak lengkap,
ataupun karena adanya stagnasi pemerintahan. Tindakan tersebut
dilakukan atas dasar kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada
dirinya selaku pengambil keputusan (Mustafa, Purnama, & Syahbandir,
2016).
Keputusan diskresi biasanya digunakan dalam peningkatan
pelayanan masyarakat. Umumnya, pelaksana kebijakan dituntut harus
dapat memahami dinamika kemasyarakatan secara personal, terlebih
lagi pelaksana kebijakan yang harus mengatasi akibat dari keputusan
yang mereka berikan dalam pelayanan masyarakat. Adanya derajat
kebebasan ini, dapat menyebabkan tidak seragamnya pelayanan yang
diperoleh masyarakat pelaksana kebijakan (Pradana, 2016).
Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan
budaya lokal, penggunaan sumber daya lokal, atau penggunaan bahasa
daerah sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya
pemanfaatan budaya lokal, penggunaan sumber daya lokal, atau
104 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

penggunaan bahasa daerah pada kelompok masyarakat tertentu


sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Beberapa diskresi yang diduga diperkenankan pada pelaksanaan
kebijakan pembangunan misalnya dengan pemilihan prioritas pada
pembangunan yang berwawasan lingkungan, mengingat setiap
pembangunan harus memperhatikan aspek keberlanjutan (Farida &
Ramdhani, 2014). Pada bidang pertanian, dengan melihat efektivitas,
efisiensi, dan kesehatan konsumsi komoditi pertanian dapat digunakan
model pertanian organik (Santosa & Ramdhani, 2005; Santosa &
Ramdhani, 2005; Ramdhani & Santosa, 2005). Pada pengembangan
industri kecil diprioritaskan pada pengembangan produk yang
memiliki proses produksi yang memperhatikan kesehatan lingkungan
(Ramdhani, Santosa, & Amin, 2005), yang bisa dilakukan dengan
memanfaatkan rekayasa proses biologi (Hernaman, Rochana,
Andayaningsih, Suryani, & Ramdhani, 2015). Diskresi pada program
peningkatan pelayanan publik dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sistem informasi, penggunaan sistem informasi
diyakini akan meringankan pekerjaan yang kompleks menjadi lebih
sederhana serta mampu memberikan pelayanan lebih cepat dan tepat
(Ramdhani, Suryadi, & Susantosa, 2006; Tsabit, Ramdhani, & Cahyana,
2012), dan bahkan dapat menggunakan Sistem Informasi Geografis
(SIG) sebagai pengendalian program pembangunan berdasarkan
pemetaan lokasi untuk memberikan pembangunan yang lebih adil dan
merata (Bustomi, Ramdhani, & Cahyana, 2012).
Kebijakan Pandemi Covid-19| 105

RINGKASAN
Pelaksanaan kebijakan secara sederhana adalah pelaksanaan atau
penerapan suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan bermuara pada
aktivitas, aksi, tindakan, atau mekanisme yang dibingkai pada suatu
sistem tertentu. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan
terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan
norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu
(Warjio Afandi.2015)
Pelaksanaan kebijakan merupakan sebuah proses yang bertahap
yang dilakukan setelah kebijakan dilahirkan dan sebelum diketahui
dampak yang dihasilkan. Pelaksanaan kebijakan publik dipengaruhi
oleh beberapa aspek yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Aspek tersebut antara lain:
(1) Struktur Birokrasi/Kewenangan
(2) Komunikasi
(3) Sumber Daya
(4) Disposisi atau Sikap dari Pelaksana
106 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Kebijakan Pandemi Covid-19| 107

BAB VI
PERAN SERIKAT
PEKERJA/BURUH
108 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB VI
PERAN SERIKAT PEKERJA/BURUH

6.1 PENDAHULUAN
Industri atau perusahaan adalah kombinasi dari modal, manajemen
dan pekerja. Mereka adalah suatu kesatuan yang terpisah dan
mempunyai motivasi yang berbeda pula. Pemodal adalah yang
menanamkan modal perhatian utama mereka adalah untuk mendapat
keuntungan semaksimal mungkin. Manajemen selalu berada di sana
untuk melindungi kepentingan dari para pemodal. Pada prosesnya,
pekerja selalu menjadi korban eksploitasi mereka. Sebagai partner dari
industri, pekerja menginginkan keadilan dan mendapatkan
“kembalian-hak” sebagai hasil pelaksana industri.
Tentunya pekerja mempunyai kekuatan untuk menghilangkan
permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi
pelayanan kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya. Tetapi secara
individual pekerja tidak mampu untuk berjuang atas hak-haknya
melawan hebatnya kombinasi antara pemodal dan manajemen di mana
mereka mempunyai kekuasaan, uang dan pengaruh.
Pekerja harus mengetahui dan memahami bahwa sebagai
perseorangan dan pekerja tidak akan banyak yang bisa dicapai. Hanya
melalui usaha mengorganisir dirinya dan kegiatan kolektif mereka
dapat secara efektif menjunjung tinggi martabatnya sebagai individu
dan pekerja, menghormati perintah dari pengusaha - berusaha keras
untuk memperbaiki dan memelihara mata pencaharian, meningkatkan
pengupahan, status sosial ekonomi, kesejahteraan yang lebih baik dan
upah – upah lainnya.
Organisasi yang dibutuhkan pekerja adalah serikat pekerja, tetapi
kenyataannya banyak pekerja tidak menyadari bahwa Serikat Pekerja
Kebijakan Pandemi Covid-19| 109

adalah hak yang melekat bagi pekerja (Worker Rights is Human Rights)
seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Pasal 23: ayat (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak bebas
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan akan pengangguran;
ayat (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang
sama untuk pekerjaan yang sama; ayat (3) Setiap orang yang bekerja
berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang
memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik dirinya sendiri
maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan
sosial lainnya; ayat (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki
serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi juga
dituangkan dalam Konvensi ILO No. 87 Tahun 1956 (Freedom Of
Association and Protection Of The Right to Organise) di mana
pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui Keppres No. 83
tahun 1998; pasal (2) Para Pekerja dan Pengusaha, tanpa perbedaan
apa pun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi
masing-masing, bergabung dengan organisasi – organisasi lain atas
pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain; pasal (4) Organisasi
pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang
kegiatannya oleh penguasa administratif (Budiarti, 2008).

6.2 SERIKAT PEKERJA


Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh
para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
110 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat


pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang
tidak bekerja di perusahaan. Federasi serikat pekerja/serikat buruh
adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. Konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh (Hamdi, 2001).
Serikat pekerja adalah organisasi demokratis yang
berkesinambungan dan permanen dibentuk secara sukarela dari, oleh
dan untuk pekerja sebagai maksud untuk:

▪ Melindungi dan membela hak dan kepentingan pekerja.


Sebagai individu pekerja tidak akan mampu melindungi dan
memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya; kebebasan berserikat
dan berorganisasi, perlindungan akan pengangguran, perlindungan
akan diskriminasi, mendapatkan kesamaan kesepakatan akan
pendidikan dan pelatihan, promosi dan penghargaan, peningkatan
kondisi – kondisi dan syarat-syarat kerja, dan sebagainya. Hanya
dengan melalui serikat pekerja mereka bisa mencapainya, karena
serikat pekerja memiliki kewenangan penuh untuk menyuarakan
kepentingan dan hak-hak anggotanya (pekerja), dan mewakili
pandangan, pendapat dan kemauan mereka.

▪ Memperbaiki kondisi – kondisi dan syarat - syarat kerja


melalui perjanjian kerja bersama dengan
manajemen/pengusaha.
Seperti disebut di atas bahwa pekerja harus mengetahui dan
memahami bahwa sebagai perseorangan dan pekerja tidak akan
banyak yang bisa dicapai. Hanya melalui usaha mengorganisir
dirinya dan kegiatan kolektif mereka dapat secara efektif
menjunjung tinggi martabatnya sebagai individu dan pekerja,
menghormati perintah dari pengusaha - berusaha keras untuk
memperbaiki dan memelihara mata pencaharian, meningkatkan
pengupahan, status sosial ekonomi, kesejahteraan yang lebih
baik dan upah-upah lainnya. Perjanjian kerja bersama hanya
Kebijakan Pandemi Covid-19| 111

bisa dilakukan hanya oleh pengusaha/organisasi


pengusaha/kelompok pengusaha di satu pihak dan pihak
lainnya oleh perwakilan organisasi pekerja atau perwakilan dari
pekerja dalam rangka perundingan kondisi dan syarat-syarat
kerja (ILO Recommendation No. 91 Paragraf 2, Konvensi ILO No.
98 Pasal 4).

▪ Melindungi dan membela pekerja beserta keluarganya


akan keadaan sosial di mana mereka mengalami kondisi
sakit, kehilangan dan tanpa kerja (PHK).
Berpikir tentang pekerja kita tidak hanya berpikir tentang diri
mereka sendiri tetapi juga keluarga yang dimilikinya. Kondisi
sulit yang dialami pekerja; sakit, kehilangan promosi atau
jabatan, skorsing ataupun PHK akan juga dirasakan oleh
keluarganya. Di samping sebagai lembaga perundingan
(bargaining institution) serikat pekerja adalah juga lembaga
sosial (Social Institution).

▪ Mengupayakan agar manajemen/pengusaha


mendengarkan dan mempertimbangkan suara atau
pendapat serikat pekerja sebelum membuat keputusan.
Setiap keputusan yang diambil oleh manajemen/pengusaha
akan selalu berdampak kepada pekerja. Serikat pekerja
mempunyai hak untuk mengetahui rancangan 3 keputusan yang
akan diambil dengan memberikan masukan ataupun menekan
dan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil bila itu
berdampak buruk bagi pekerja.

6.3 PERAN SERIKAT PEKERJA/BURUH DALAM


KEBIJAKAN PENANGANAN PANDEMI COVID-19
Peran serikat pekerja/buruh dalam kebijakan ini dilihat dari dua
tahapan utama siklus kebijakan, yakni perumusan kebijakan dan
112 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

implementasi atau pelaksanaan kebijakan. Peran tersebut dapat terkait


dengan kebijakan di tingkat pemerintah, khususnya pemerintah
daerah, maupun di tingkat perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara,
peran serikat buruh nampaknya lebih kuat di tingkat perusahaan
daripada di tingkat pemerintahan. Distribusi jawaban dari para pekerja
mengenai hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:

16%

47% Terlibat Terlibat


53% Tidak Tidak
84%

Kebijakan oleh pemerintah Kebijakan oleh perusahaan

Gambar 2.1 Keterlibatan langsung serikat pekerja/buruh dalam


perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19

Pihak serikat pekerja/buruh memiliki peran yang relatif kecil dalam


tahap perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di tingkat
pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan
bahwa mayoritas pekerja (53%) menilai serikat pekerja/buruh tidak
memiliki peran langsung dalam perumusan kebijakan. Hal berbeda
terjadi pada tingkat perusahaan, di mana mayoritas pekerja (84%)
menilai bahwa serikat pekerja/buruh memiliki keterlibatan langsung
dalam perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
Keterlibatan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan, di mana
yang utama adalah:
(1) mengirimkan perwakilan untuk menjadi anggota Tim Gugus
Tugas Covid-19 yang dibentuk oleh manajemen perusahaan,
serta
Kebijakan Pandemi Covid-19| 113

(2) memberikan berbagai saran dan masukan berdasarkan


kepentingan pekerja/buruh maupun aspirasi dan keluhan
mereka.

Untuk menjamin bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh


perusahaan sesuai dengan kondisi pekerja/buruh di lapangan, serta
tidak merugikan kepentingan mereka, serikat pekerja/buruh secara
aktif memberikan saran dan masukan kepada pihak manajemen terkait
kebijakan-kebijakan yang perlu dikeluarkan. Berbagai saran dan
masukan ini didasarkan pada aspirasi maupun keluhan yang dijaring
dari para pekerja/buruh. Untuk memastikan aspirasi dan keluhan
mereka sampai kepada pihak manajemen, serikat pekerja/buruh
senantiasa terlibat aktif dalam undangan berbagai rapat menyangkut
penanganan pandemi dengan pihak manajemen perusahaan. Sejauh ini,
serikat pekerja/buruh telah menyarankan kepada perusahaan untuk
tetap menjalankan protokol kesehatan dengan menyediakan masker,
menjaga jarak fisik di tempat makan, membatasi jumlah penumpang
dalam kendaraan, menjadwalkan day off karena berhubungan langsung
dengan kepadatan penumpang bus ke Dataran Rendah, serta
mengawasi kerja dan peran tim medis di area kerja. Kendati demikian,
pengambilan keputusan pada dasarnya tetap dilakukan sepenuhnya
oleh pihak perusahaan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa serikat
pekerja/buruh cenderung memiliki persepsi positif terhadap
manajemen perusahaan karena dinilai terbuka terhadap saran-saran
dan berbagai masukan yang disampaikan, serta menindaklanjutinya
dengan sungguh-sungguh.
Adapun dalam perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan
daerah, keterlibatan serikat pekerja/buruh kerap kali sebatas pada
penyampaian saran dan masukan terkait kebijakan yang sudah
diterapkan dan disosialisasikan. Dengan kata lain, sebenarnya hampir
tidak ada peran serikat pekerja/buruh pada tahap perumusan
kebijakan tersebut. Ketika dilakukan pertemuan dengan perwakilan
serikat pekerja/buruh, umumnya kebijakan yang hendak diterapkan
114 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

sudah selesai dirumuskan. Dengan kata lain, karakteristik dari


pertemuan antara pemerintah daerah, perusahaan, dan serikat
pekerja/buruh pada dasarnya adalah sosialisasi kebijakan semata;
bukan partisipasi langsung dalam perumusannya. Hal ini kiranya dapat
dimaklumi dan dipahami, mengingat natur dari situasi pandemi yang
tengah dihadapi membutuhkan pengambilan keputusan yang tepat
(berdasarkan informasi terkini dari para pakar serta hasil riset terbaru
menyangkut Covid-19) dan sesegera mungkin (berdasarkan itikad baik
serta keputusan politik kepala pemerintahan). Oleh karena itu,
pengambilan keputusan yang sifatnya dari atas (top down), tidak
dimungkiri, menjadi prosedur yang lebih efisien.
Keterlibatan serikat pekerja/buruh dalam siklus kebijakan
penanganan pandemi Covid-19, sebagai representasi dari para
pekerja/buruh, lebih banyak terjadi pada tahap pelaksanaan kebijakan.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan para pekerja menyoal
peran dan keterlibatan langsung serikat pekerja/buruh dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut.

11%

Terlibat
Tidak

89%

Gambar 3.2. Keterlibatan langsung serikat pekerja/buruh dalam


implementasi/pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19

Sebagaimana terlihat pada gambar di atas, mayoritas pekerja (89%)


dari kalangan pengurus serikat pekerja/buruh menilai bahwa serikat
pekerja/buruh dilibatkan secara langsung dalam
implementasi/pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
Keterlibatan ini diwujudkan dalam berbagai hal, di antaranya:
1. Menjadi bagian dari Tim Gugus Tugas.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 115

2. Mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan.


3. Menginformasikan dan menyosialisasikan kebijakan perusahaan
kepada karyawan.
4. Memberikan umpan balik dan masukan ke perusahaan terkait
kebijakan yang telah dikeluarkan.
5. Mengupayakan bantuan sosial dan membantu penyelesaian
masalah-masalah terkait berbagai benefit untuk para
pekerja/buruh.

Segera setelah Tim Gugus Tugas (Tim Penanganan, Pengendalian


dan Pencegahan Penyebaran Covid-19 Perusahaan Pertambangan)
dibentuk oleh manajemen perusahaan, serikat pekerja/buruh
mengirimkan perwakilan mereka untuk bergabung dengan tim
tersebut. PK FPE KSBSI Perusahaan Pertambangan sendiri
mengirimkan empat orang perwakilan untuk bergabung. Sebagai
bagian dari Tim Gugus Tugas, serikat pekerja/buruh dapat turut
memantau kegiatan pemeriksaan Covid-19 di setiap klinik yang
disediakan oleh perusahaan agar berjalan aman dan lancar. Dengan
demikian, jika ada keluhan atau masalah pekerja/buruh, dapat dengan
cepat diatasi.
Pihak serikat pekerja/buruh dalam praktiknya berperan
mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan oleh pekerja/buruh,
khususnya di berbagai tempat publik seperti terminal, tempat kerja,
tempat makan, dll. Mereka memastikan pelaksanaan protokol
kesehatan oleh para pekerja/buruh, seperti mengenakan APD dengan
benar, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan
menghindari berkumpul dengan banyak orang.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa serikat pekerja/buruh
merupakan saluran efektif yang menghubungkan perusahaan dengan
para karyawan. Di satu sisi, mereka menginformasikan dan
menyosialisasikan kebijakan perusahaan ke karyawan, di samping juga
mengawal, mengawasi, dan menindaklanjuti pelaksanaannya. Dengan
demikian, serikat pekerja/buruh memberikan edukasi kepada para
116 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

karyawan terkait kebijakan-kebijakan yang diambil perusahaan guna


mencegah penyebaran Covid-19. Di sisi lain, mereka memberikan
umpan balik, saran, dan masukan kepada manajemen perusahaan
untuk setiap peraturan baru yang dikeluarkan sebagai respons
terhadap perkembangan situasi pandemi. Untuk itu, pihak serikat
pekerja/buruh senantiasa menghadiri pertemuan rutin yang difasilitasi
oleh pihak perusahaan. Apa yang mereka sampaikan ini didasarkan
pada keluhan dan aspirasi pekerja/buruh.
Selanjutnya, beberapa pekerja juga mengungkapkan peran serikat
pekerja/buruh dalam meringankan beban yang menghimpit para
pekerja/buruh selama masa pandemi. Seorang pekerja yang berasal
dari salah satu perusahaan subkontraktor Perusahaan Pertambangan
mengungkapkan, ketika pekerja/buruh dirumahkan, serikat
pekerja/buruh mengusahakan bantuan sembako. Mereka juga
membantu upaya penyelesaian jika ada masalah-masalah terkait
berbagai benefit untuk karyawan.
Selain berperan dalam implementasi/pelaksanaan kebijakan
penanganan pandemi, serikat pekerja/buruh juga berperan dalam
proses pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan yang
tengah berjalan. Dalam hal ini, serikat pekerja/buruh secara aktif
menyampaikan umpan balik kepada para pembuat kebijakan, baik di
tingkat pemerintah daerah maupun perusahaan. Kendati demikian,
hasil wawancara menunjukkan bahwa umpan balik dari serikat
pekerja/buruh lebih sering disampaikan kepada pihak perusahaan
daripada kepada pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 117

11% 10% Umpan balik ke 11%


pemerintah
Umpan balik
ditindaklanjuti
Umpan balik ke
perusahaan
Umpan balik
89% tidak
79% Tidak ditindaklanjuti
memberikan
umpan balik

Penyampaian umpan balik Tindak lanjut atas umpan


balik yang disampaikan

Gambar 3.3. Umpan balik dari serikat pekerja/buruh terkait


pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan tindak
lanjutnya oleh pemerintah dan/atau perusahaan

Sebagaimana terlihat pada gambar di atas, mayoritas pekerja (89%)


menyatakan bahwa serikat pekerja/buruh memberikan umpan balik
ke pembuat kebijakan terkait pelaksanaan kebijakan penanganan
Covid-19. Umpan balik ini nampaknya lebih sering disampaikan kepada
pihak perusahaan daripada kepada pemerintah, khususnya pemerintah
daerah. Dari 17 orang pekerja yang menyatakan bahwa serikat
pekerja/buruh memberikan umpan balik, 15 (79%) di antaranya
menjelaskan bahwa umpan balik tersebut disampaikan kepada pihak
perusahaan, dan hanya 2 orang (10%) yang menjelaskan bahwa umpan
balik disampaikan kepada pemerintah daerah. Umpan balik yang
disampaikan ke perusahaan meliputi berbagai isu atau persoalan,
diantaranya:
1. Kesigapan perusahaan dalam merespons keluhan dan aspirasi
pekerja/buruh.
2. Pelaksanaan kebijakan di lapangan.
3. Bentuk-bentuk dukungan bagi pekerja/buruh selama masa sulit
akibat pandemi.
118 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Wawancara dengan seorang pekerja mengungkapkan, serikat


pekerja/buruh telah menyampaikan kepada manajemen agar keluhan
dan aspirasi pekerja/buruh, khususnya yang bersifat penting,
mendesak, dan menyangkut beban psikologis kolektif, sebaiknya
segera direspons oleh perusahaan dengan baik sehingga tidak
mengganggu aktivitas operasional perusahaan. Ia menceritakan,
terkait persoalan ini, bahwa pada masa-masa awal pandemi, tepatnya
antara bulan April sampai dengan Agustus 2020, para pekerja/buruh
yang bekerja di daerah Dataran Tinggi tidak dapat ke Dataran Rendah
karena adanya kebijakan pembatasan perjalanan orang oleh
pemerintah kemudian ditindaklanjuti oleh perusahaan. Para
pekerja/buruh yang tinggal di Dataran Tinggi selama kurun waktu
tersebut telah meminta kepada perusahaan dan pemerintah untuk
membuka layanan bus SDO bagi mereka agar mereka dapat ke Dataran
Rendah untuk sementara waktu dan berjumpa dengan keluarganya.
Oleh karena pihak manajemen perusahaan lambat merespons
permintaan ini, banyak pekerja/buruh yang kemudian melakukan
demonstrasi/aksi damai, yakni dengan melakukan mogok kerja dan
pemblokiran jalan. Insiden ini mengakibatkan terganggunya kegiatan
operasi perusahaan selama empat hari, dan baru berakhir setelah
perusahaan berkoordinasi dengan Kepala Disnaker dan Ketua DPRD
Kabupaten untuk menjawab permintaan pekerja/buruh dengan
menyediakan layanan bus SDO. Kebijakan tersebut dituangkan dalam
IOM tertanggal 28 Agustus 2020 perihal “Proses Bus Shift Day Off”.
Umpan balik juga disampaikan terkait pelaksanaan kebijakan,
termasuk kendala-kendala teknis yang dihadapi di lapangan. Salah satu
di antaranya, masih banyak pekerja/buruh yang tidak disiplin dalam
menjalankan protokol kesehatan. Berkenaan dengan implementasi
kebijakan, serikat pekerja/buruh telah menyampaikan berbagai saran
dan masukan untuk mengoptimalkan pelaksanaannya di lapangan,
seperti penyediaan APD (masker) dan handsanitizer gratis bagi
pekerja/buruh, penyemprotan desinfektan di area kerja, pemasangan
tempat-tempat cuci tangan, pembuatan posko penanganan Covid-19,
penyeimbangan shift kerja, dan penertiban pekerja/buruh dalam
Kebijakan Pandemi Covid-19| 119

menjalankan rapid test pada waktu day off dan kembali bekerja. Selain
itu, mereka juga menyampaikan banyaknya keluhan terkait
pelaksanaan karantina/isolasi bagi para pekerja/buruh yang berstatus
suspek. Melihat betapa dinamisnya pelaksanaan kebijakan penanganan
Covid-19, seorang pekerja mengungkapkan, “Dengan berjalannya
waktu selalu ada review sesama Tim Covid-19 Perusahaan
Pertambangan. Dan banyak terjadi diskusi hal-hal yang belum berjalan
dengan baik”. Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan serikat
pekerja/buruh dalam memberikan umpan balik, serta ketepatan
perusahaan dalam meresponsnya, merupakan hal yang krusial untuk
selalu memperbaiki dan mengoptimalkan kebijakan yang ada dari
waktu ke waktu.
Umpan balik lain yang disampaikan serikat pekerja/buruh kepada
manajemen perusahaan adalah menyoal bentuk-bentuk dukungan
yang dapat diberikan agar pekerja/buruh dapat berkontribusi dalam
pencegahan penularan dan penyebaran virus corona secara efektif. Hal
ini dilatarbelakangi adanya keluhan terkait menu makan yang tidak
mencukupi dari segi keseimbangan gizi untuk meningkatkan imunitas
tubuh, serta meningkatnya kebutuhan akan multivitamin.
Terakhir, serikat pekerja/buruh meminta perusahaan untuk tidak
membuat kebijakan perusahaan yang meresahkan atau mengecewakan
pekerja/buruh, sementara motivasi kerja sedang dalam kondisi yang
tidak normal akibat terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Setiap
kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan syarat kerja serta hak
dan kewajiban karyawan selama masa pandemi seharusnya disusun
dengan melibatkan pihak serikat pekerja/buruh, salah satunya dengan
menyelenggarakan diskusi formal untuk melakukan review terhadap
kebijakan yang diambil.
Secara umum, berbagai umpan balik yang disampaikan oleh serikat
pekerja/buruh selalu direspons dengan baik oleh perusahaan. Tindak
lanjut terhadap berbagai umpan balik tersebut selalu dituangkan dalam
IOM yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan. Tidak jarang pula
120 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

manajemen perusahaan melakukan revisi terhadap kebijakan-


kebijakan yang ada dalam rangka peningkatan efektivitas penanganan
Covid-19 dan penjaminan atas hak-hak karyawan. “Perusahaan bisa
melakukan penyesuaian mengacu pada masukan yang diberikan oleh
serikat pekerja/buruh”.
Salah satu tindak lanjut perusahaan terlihat dari kasus tuntutan
karyawan akan penyediaan layanan bus SDO (Shift Day Off) dari
Dataran Tinggi ke Dataran Rendah. Setelah berkonsultasi dengan
pemerintah daerah pada akhir Agustus 2020, perusahaan melakukan
revisi kebijakan terkait naik–turun bus; pelayanan bus untuk
pekerja/buruh yang melakukan perjalanan saat SDO dari Dataran
Tinggi ke Dataran Rendah dan sebaliknya diselenggarakan dengan
tetap mematuhi protokol kesehatan. Untuk mengimplementasikan
kebijakan ini, Perusahaan Pertambangan menyediakan sejumlah bus
dan sopirnya. Kebijakan tersebut juga dilengkapi dengan jadwal
layanan tes Covid-19 bagi karyawan yang terlibat dalam operasional
layanan bus SDO. Jadwal transportasinya disesuaikan dengan jadwal
day off karyawan sesuai dengan roster kerja di setiap departemen.
Implementasi kebijakan ini, tentu saja menuntut pengalokasian dan
mobilisasi sejumlah sumber daya, seperti bus, sopir, dan biaya
operasional layanan.
Selanjutnya, berdasarkan umpan balik dari serikat pekerja/buruh
pula, perusahaan melakukan pengalokasian SDM dan pembagian
peralatan penanganan Covid-19, penyediaan barak khusus untuk
karantina, pengadaan untuk melengkapi semua kebutuhan pencegahan
penularan Covid-19 di area perusahaan, pemasangan tempat-tempat
cuci tangan, dan pemberian handsanitizer kepada setiap pekerja. Dalam
rangka pembatasan sosial dan pelaksanaan protokol kesehatan,
sebagian karyawan Perusahaan Pertambangan melaksanakan bekerja
dari rumah (work from home/WfH). Kalangan pekerja/buruh berharap
bahwa hal ini tidak lantas menghilangkan benefit atau mengurangi
pendapatan mereka, karena WfH dilaksanakan bukan atas keinginan
karyawan sendiri, melainkan atas kebijakan yang telah disepakati
bersama guna memutus rantai penyebaran Covid-19.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 121

6.4 PERAN SERIKAT BURUH/PEKERJA


Adapun peran dan fungsi serikat buruh/pekerja adalah sebagai berikut.
a. Perlindungan
Menjadi anggota, pekerja terlindungi dari tercabutnya hak
hidupnya, di mana menyediakan perlindungan akan pekerjaan
(job security). Serikat pekerja menjamin bahwa pekerja tidak
menjadi korban, dipermainkan, dilecehkan atau diberhentikan
dari pekerjaannya tanpa alasan yang jelas.
b. Peningkatan akan kondisi dan syarat kerja
Sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan mengacu pada
kebutuhan akan perkembangan teknologi yang modern dan
modern-nya kondisi kerja, serikat pekerja berusaha keras
untuk meningkatkan kondisi dan syarat-syarat kerja dan hidup
anggotanya.
c. Perjanjian Kerja Bersama
Salah satu peran dan fungsi utama serikat pekerja adalah
menjamin kepentingan anggotanya melalui perjanjian tawar
menawar kolektif. Melalui perjanjian tawar menawar kolektif
serikat pekerja berjuang untuk kondisi pengupahan yang lebih
baik, kondisi dan syarat kerja yang lebih baik, dan kehidupan
yang lebih baik bagi anggota dan keluarganya. Dan melalui
perjanjian tawar menawar kolektif akan banyak pekerja
menjadi anggota karena mereka melihat dan merasakan hal
yang baik serta bermanfaat menjadi anggota.
d. Menangani keluh kesah anggota
Serikat pekerja mewakili anggotanya yang mempunyai keluh
kesah dengan membantu mereka dalam mencari dan
menangani secara wajar dan adil akan permasalahan dan
persoalan yang dimilikinya.
e. Menyelesaikan perselisihan
122 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Serikat pekerja harus mempunyai pengetahuan, kemampuan


dan sumber-sumber untuk melakukan negosiasi dan
menyelesaikan perselisihan atas nama pekerja.
f. Menyediakan manfaat lainnya (untuk kesejahteraan
anggota)
Di samping menjamin manfaat yang didapat pekerja dari
pengusaha, serikat pekerja juga menyediakan manfaat lainnya
seperti kesehatan, beasiswa, penginapan, rekreasi, asuransi
dan sebagainya, bilamana itu memungkinkan
g. Sebagai suara pekerja
Serikat pekerja adalah wakil pekerja dalam menyuarakan dan
menyampaikan pandangan dan permasalahan pekerja serta
kondisi sosial saat ini. Karena serikat pekerja adalah tanpa
disadari berusaha untuk mengembalikan nilai-nilai yang telah
hilang; keamanan (security), keadilan (justice), kebebasan
(freedom) dan keyakinan (faith). Nilai-nilai tersebut secara
tegas dan melekat pada manusia di mana mereka menemukan
martabatnya sebagai manusia (human dignity) seperti yang
dikatakan oleh Frank Tannenbourn dalam “Philosophy of
Labour”.
h. Menyediakan sarana komunikasi
Komunikasi adalah sarana yang paling efektif dalam
menyampaikan suatu pengetahuan atau informasi.
Komunikasi harus selalu dipupuk dan dikembangkan dalam
serikat pekerja sebagai saran mengadakan hubungan dengan
anggotanya, hal itu bisa dilakukan melalui; pertemuan, jurnal
atau bulletin, surat kabar, brosur, fasilitas pendidikan dan
personal kontak antara pengurus dengan anggota.
i. Melakukan kerja sama dan menjalin solidaritas dengan
pekerja atau serikat pekerja lainnya baik secara nasional
ataupun internasional
Kerja sama dan solidaritas antar sesama pekerja baik secara
nasional dan internasional adalah suatu hal yang sangat
penting untuk meningkatkan pengaruh yang lebih luas, hal ini
Kebijakan Pandemi Covid-19| 123

memungkinkan pekerja menjadi lebih terwakili dan


mempertinggi kekuatan yang efektif dalam menghadapi
tekanan.
Kerja sama dan solidaritas serikat pekerja adalah kesempatan
untuk pekerja dalam perwakilan kepentingan secara kolektif
menjadi satu, satu suara bulat, berbasis pada keyakinan akan
“divided we fall, united we stand”. Serikat pekerja bisa
bergabung dengan organisasi nasional ataupun internasional,
bergabung atau bekerja sama dengan organisasi internasional
seperti PSI - Public Services International atau federasi serikat
global lainnya (Global Union Federations) ataupun dengan ITUC
– International Trade Unions Confederation. Melalui mereka
kita akan bergabung bersama dengan jutaan pekerja di seluruh
dunia yang berjuang bagi kepentingan dan hak pekerja. Melalui
bergabung dengan organisasi lain akan mendapatkan manfaat
seperti program pendidikan, konferensi, seminar, workshop
ataupun kegiatan lainnya yang diselenggarakan oleh
organisasi nasional ataupun internasional.
j. Meningkatakan pelaksanaan hubungan industrial untuk
menciptakan keharmonisan hubungan antara
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/manajemen
Hubungan industrial yang harmonis antara pekerja/serikat
pekerja dengan manajemen/pengusaha bukan hanya suatu
slogan atau usaha dari satu pihak saja untuk mempertahankan
tetapi kedua belah pihak. Kita mengingat bahwa
pekerja/serikat pekerja-pengusaha/manajemen adalah
hubungan jangka panjang (long-term relationships).

Berdasar pada pengumpulan data dengan memberikan pertanyaan-


pertanyaan singkat, 68.1% dari 52 pekerja menyatakan bahwa
terdapat peran dari serikat buruh dalam menentukan kebijakan di
dalam lingkungan kerja, terutama dalam menghadapi pandemi Covid-
19, sedangkan dari pihak serikat buruh/pekerja sendiri 66.7%
124 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

menyatakan ada peran dan 33.3% menyatakan bahwa serikat buruh


tidak memiliki peran langsung dalam penanganan pandemi Covid-19.

Gambar 7.2. Peran Serikat Buruh dalam Penetapan Kebijakan untuk


Karyawan Perusahaan

Dalam diagram di atas dapat dipahami bahwa mayoritas peran dari


serikat buruh terdapat pada aspek keselamatan dan keamanan kerja
pada masa Pandemi Covid-19, yaitu sebesar 68.1 % karyawan yang
menyatakan hal tersebut. Adapun inisiatif-inisiatif yang diberikan
serikat buruh antara lain melakukan sosialisasi mengenai Covid-19
secara umum dan pencegahan penyebarannya di tingkat perusahaan,
melakukan negosiasi dengan perusahaan agar perusahaan tidak
melakukan pengurangan pada jumlah karyawan, dan mempertegas
penerapan protokol kesehatan di tingkat perusahaan. Hal tersebut
berasal dari data kuesioner yang ditujukan kepada para karyawan
perusahaan.
Sesuai dengan wawancara mendalam pada pihak serikat
buruh/pekerja, didapatkan bahwa serikat pekerja terlibat langsung
dalam perumusan kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19
serta pengadvokasian jika terjadi pelanggaran hak-hak yang
didapatkan oleh pekerja. Hal yang kemudian menjadi salah satu isu
adalah ketika terdapat pekerja yang terkonfirmasi positif Covid-19
namun tidak mendapatkan hak-haknya dari perusahaan sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, maka serikat buruh
Kebijakan Pandemi Covid-19| 125

kemudian memberikan fasilitas kepada perusahaan ataupun


manajemen untuk melakukan komunikasi dan melakukan advokasi.

6.5 PERSEPSI TERHADAP PERAN SERIKAT PEKERJA/


BURUH DALAM KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19
Para pekerja di wawancara mengenai bagaimana persepsi mereka
terhadap peran serikat pekerja/buruh dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Hasilnya,
sebagian besar pekerja memersepsi efektivitas peran serikat
pekerja/buruh secara positif. Secara rinci, hal ini dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
3%

Sangat efektif
21%
42% Efektif
Cukup
34% Kurang efektif

Gambar 3. Persepsi pekerja terhadap peran serikat pekerja/buruh dalam


kebijakan penanganan pandemi Covid-19

Sebagaimana tersaji pada gambar di atas, mayoritas pekerja (76%)


menilai bahwa peran serikat pekerja/buruh dalam penanganan Covid-
19 sudah efektif dan sangat efektif. Sementara itu, 21% pekerja menilai
cukup, dan hanya 3% pekerja yang menilai kurang efektif.
Temuan di atas sejalan dengan temuan lain terkait tingkat
kepercayaan para pekerja terhadap berbagai kategori aktor sebagai
sumber informasi mengenai Covid-19. Dalam hal ini, kami meminta
para pekerja untuk memberikan skor kepada beberapa kategori aktor
untuk menggambarkan seberapa dapat dipercaya tiap-tiap kategori
aktor tersebut sebagai sumber informasi. Berdasarkan hasil penilaian
126 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

38 orang pekerja dari kalangan pengurus serikat pekerja/buruh dan


karyawan, diperoleh hasil bahwa serikat pekerja/buruh merupakan
aktor yang paling dapat mereka percayai sebagai sumber informasi
terkait Covid-19; disusul oleh kategori keluarga di posisi kedua,
kemudian berturut-turut pemuka agama, manajemen perusahaan, dan
tokoh adat. Kelima kategori ini mendapatkan skor sama dengan atau
lebih besar dari skor rata-rata 3,7 (dalam skala 1–5). Adapun Kategori-
kategori aktor lainnya, yakni pemerintah kabupaten, pemerintah
provinsi, pemerintah pusat, kolega sesama karyawan di satu
perusahaan, media massa elektronik, media massa cetak, media sosial,
dan teman bergaul (bukan sesama karyawan), mendapatkan skor di
bawah rata-rata. Secara rinci, tingkat kepercayaan para pekerja
terhadap berbagai kategori aktor tersebut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

Serikat Pekerja/Buruh di perusahaan tempat… 4.2


Keluarga 4.1
Tokoh masyarakat/pemuka agama 3.9
Manajemen perusahaan tempat bekerja 3.8
Tokoh masyarakat/tokoh adat 3.7
Pemerintah Kabupaten/Kota 3.6
Pemerintah Provinsi 3.6
Pemerintah Pusat 3.6
Kolega/rekan pekerja/buruh di satu perusahaan 3.6
Media massa elektronik (radio, televisi, portal… 3.5
Media massa cetak (koran, tabloid, majalah, dll.) 3.4
Media sosial (email, Facebook, Twitter,… 3.2
Teman (bukan sesama pekerja/buruh di satu… 3.2

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Gambar 4. Tingkat kepercayaan pengurus serikat pekerja/buruh dan


karyawan terhadap berbagai kategori aktor sebagai sumber informasi terkait
pandemi Covid-19.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 127

Data di atas diperoleh dari keseluruhan pekerja yang berasal dari


kalangan pengurus serikat pekerja/buruh dan karyawan. Jika data
tersebut dikelompokkan lebih rinci berdasarkan pembagian kategori
pekerja, maka akan terlihat adanya perbedaan persepsi antara para
pekerja dari kategori pengurus serikat pekerja/buruh dan karyawan.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

Serikat Pekerja/Buruh di perusahaan tempat bekerja 4.5


Keluarga 4.3
Manajemen perusahaan tempat bekerja 4.1
Tokoh masyarakat/pemuka agama 4.1
Tokoh masyarakat/tokoh adat 4.0
Pemerintah Kabupaten/Kota 3.9
Kolega/rekan pekerja/buruh di satu perusahaan 3.8
Pemerintah Provinsi 3.8
Pemerintah Pusat 3.8
Media massa cetak (koran, tabloid, majalah, dll.) 3.6
Media massa elektronik (radio, televisi, portal berita
internet) 3.6
Media sosial (email, Facebook, Twitter, Instagram,
Whatsapp, Telegram, dll.) 3.5
Teman (bukan sesama pekerja/buruh di satu
perusahaan) 3.4

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0

Tingkat kepercayaan pengurus serikat pekerja/buruh terhadap berbagai kategori


aktor
128 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Keluarga 3.9
Serikat Pekerja/Buruh di perusahaan tempat bekerja 3.9
Tokoh masyarakat/pemuka agama 3.7
Manajemen perusahaan tempat bekerja 3.6
Pemerintah Provinsi 3.5
Pemerintah Pusat 3.5
Media massa elektronik (radio, televisi, portal… 3.4
Kolega/rekan pekerja/buruh di satu perusahaan 3.4
Pemerintah Kabupaten/Kota 3.4
Tokoh masyarakat/tokoh adat 3.4
Media massa cetak (koran, tabloid, majalah, dll.) 3.3
Teman (bukan sesama pekerja/buruh di satu… 2.9
Media sosial (email, Facebook, Twitter, Instagram,… 2.9

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5

Tingkat kepercayaan karyawan terhadap berbagai kategori aktor

Gambar 5. Perbandingan tingkat kepercayaan pengurus serikat


pekerja/buruh dan karyawan terhadap berbagai kategori aktor sebagai
sumber informasi terkait pandemi Covid-19.

Sebagaimana terlihat dari gambar di atas, urutan lima besar


kategori aktor yang paling dapat dipercayai menurut para pekerja
pengurus serikat pekerja/buruh, secara berturut-turut adalah serikat
pekerja/buruh, keluarga, manajemen perusahaan dan pemuka agama
(keduanya memiliki skor yang sama, 4,1), tokoh adat, dan pemerintah
kabupaten. Tidaklah mengherankan jika bagi para pekerja ini serikat
pekerja/buruh memiliki skor tertinggi (4,5), bahkan lebih tinggi
daripada keluarga (4,3). Hal ini barangkali dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yakni faktor pengetahuan dan kepentingan. Serikat
pekerja/buruh, sebagai sebuah institusi yang mewadahi dan
menyuarakan kepentingan pekerja/buruh, tentu saja mendapatkan
akses langsung yang lebih besar kepada berbagai informasi terkini
Kebijakan Pandemi Covid-19| 129

seputar perkembangan situasi pandemi dan penanganannya. Di


samping itu, serikat pekerja/buruh dipandang memiliki kepentingan
yang sama dengan pekerja/buruh, sehingga sudah sepatutnya
mendapatkan kepercayaan yang tinggi.
Selanjutnya, menurut para pekerja dari kategori karyawan, lima
besar kategori aktor yang paling dapat dipercayai sebagai sumber
informasi terkait Covid-19, berturut-turut adalah keluarga dan serikat
pekerja/buruh (keduanya memiliki skor yang sama, 3,9), pemuka
agama, manajemen perusahaan, serta pemerintah provinsi dan
pemerintah pusat (keduanya memiliki skor yang sama, 3,5). Hasil
penilaian ini, secara umum menunjukkan bahwa serikat pekerja/buruh
mendapatkan kepercayaan yang tinggi, baik dari kalangan
pengurusnya sendiri maupun kalangan karyawan pada umumnya.
Yang menarik untuk dicermati, manajemen perusahaan juga
mendapatkan penilaian yang positif (ditunjukkan oleh skor yang cukup
tinggi) baik dari pengurus serikat pekerja/buruh maupun dari
karyawan. Hal ini mengindikasikan adanya sinergi dan
kesalingpercayaan yang cukup baik antara karyawan, serikat
pekerja/buruh, dan manajemen perusahaan dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Adanya kritikan-
kritikan maupun keluhan-keluhan dari kalangan karyawan dan serikat
pekerja/buruh yang mewakili mereka terhadap pihak perusahaan
dalam memutuskan dan melaksanakan kebijakan penanganan Covid-
19 tidak lantas menurunkan tingkat kepercayaan mereka terhadap
pihak perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai
pekerja, dapat diduga kuat bahwa salah satu faktor yang memengaruhi
penilaian positif ini adalah kesediaan pihak perusahaan untuk
mengakomodasi dan menindaklanjuti sebagian besar aspirasi
karyawan. Meskipun pada kasus-kasus tertentu, langkah yang diambil
perusahaan dinilai terlalu lamban.
Melihat cukup tingginya tingkat kepercayaan para pekerja kepada
kategori aktor pemuka agama, maka para pemuka agama dapat pula
130 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dipertimbangkan untuk lebih banyak dilibatkan dalam implementasi


kebijakan penanganan pandemi Covid-19, khususnya dalam
menyosialisasikan berbagai informasi seputar Covid-19 dan protokol
kesehatan yang harus selalu dipatuhi oleh para karyawan.
Para pekerja berpandangan, terdapat beberapa faktor yang
mendorong efektivitas peran serikat pekerja/buruh dalam kebijakan
penanganan pandemi Covid-19, sebagaimana tergambar pada temuan-
temuan penelitian di atas. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Adanya kerja sama dan kolaborasi dari berbagai pihak.
2. Pelibatan langsung serikat pekerja/buruh dalam berbagai kegiatan.
3. Adanya komunikasi dan koordinasi yang baik melalui pertemuan-
pertemuan rutin dan intens.
4. Efektivitas fungsi serikat pekerja/buruh sebagai jembatan antara
karyawan dan manajemen.
5. Dukungan penuh dari karyawan.

Terkait faktor pertama, Tim Gugus Tugas memang dibentuk dengan


melibatkan berbagai pihak, terutama manajemen dan serikat
pekerja/buruh, bekerja sama dengan pihak pemerintah daerah.
Perwakilan serikat pekerja/buruh yang tergabung dalam Tim Gugus
Tugas memungkinkan adanya kolaborasi yang produktif antara serikat
pekerja/buruh dan manajemen perusahaan untuk menangani pandemi
Covid-19. Kolaborasi tersebut diperkuat melalui kerja sama yang baik
dengan tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam menangani kasus-
kasus dan penularan Covid-19.
Terkait faktor kedua, serikat pekerja/buruh dilibatkan langsung
dalam membantu perusahaan mengawal dan mengawasi pelaksanaan
kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Di lapangan, mereka
berperan menertibkan karyawan agar mematuhi protokol kesehatan,
sehingga produksi dapat tetap berjalan. Serikat pekerja/buruh juga
diberi kepercayaan oleh perusahaan untuk secara aktif
menyosialisasikan pencegahan penularan dan penanganan Covid-19
melalui pelaksanaan protokol kesehatan kepada para karyawan. Selain
itu, dengan senantiasa memberikan umpan balik dan masukan secara
Kebijakan Pandemi Covid-19| 131

aktif kepada pihak manajemen terkait pelaksanaan kebijakan


penanganan Covid-19, serikat pekerja/buruh juga berperan membantu
perusahaan dalam membuat peraturan baru yang tidak merugikan
karyawan.
Terkait faktor ketiga, pertemuan-pertemuan yang intens dan rutin,
yakni setiap hari Kamis pukul 15.00–16.00 WIT, memungkinkan
terbangunnya komunikasi dan koordinasi yang baik antara pihak
perusahaan dengan serikat pekerja/buruh. Melalui pertemuan-
pertemuan ini pula, pihak manajemen dapat menanggapi dan
mengakomodasi masukan dan saran yang disampaikan oleh serikat
pekerja/buruh berdasarkan keluhan dan aspirasi karyawan di
lapangan. Mengingat pentingnya pertemuan semacam ini, serikat
pekerja/buruh selalu menghadiri rapat dengan Tim Gugus Tugas dari
pihak manajemen perusahaan maupun Tim Gugus Tugas Pemerintah
Daerah.
Terkait faktor keempat, serikat pekerja/buruh senantiasa
menerima masukan dari pekerja/buruh, terutama menyangkut hal-hal
yang masih perlu dibenahi. Serikat pekerja/buruh mengakomodasi
pertanyaan-pertanyaan dan soalan-soalan yang diajukan oleh
karyawan terkait sistem yang tengah diberlakukan oleh perusahaan
dalam menangani pandemi Covid-19, termasuk dinamikanya. Serikat
pekerja/buruh juga senantiasa mendampingi anggota dalam
menjalankan protokol kesehatan. Seorang pekerja mengungkapkan, “Di
mana manajemen belum terjangkau, di situlah peran [serikat
pekerja/buruh untuk melengkapi”. Dengan kata lain, serikat
pekerja/buruh berperan menjadi jembatan yang menyalurkan aspirasi
karyawan ke pihak manajemen perusahaan, maupun sebaliknya,
menyosialisasikan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh manajemen
kepada para karyawan.
Faktor terakhir namun sangat signifikan, adalah dukungan para
pekerja/buruh di lapangan, serta semua pengurus serikat
pekerja/buruh dalam melaksanakan protokol kesehatan. Dukungan
132 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dan kerja sama yang baik antara serikat pekerja/buruh dengan


karyawan ini memungkinkan kebijakan penanganan Covid-19 dapat
dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh semua pihak.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 133

RINGKASAN
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh
para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat
pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang
tidak bekerja di perusahaan. Federasi serikat pekerja/serikat buruh
adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. Konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh (Hamdi, 2001).
Pihak serikat pekerja/buruh memiliki peran yang relatif kecil dalam
tahap perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di tingkat
pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan
bahwa mayoritas pekerja (53%) menilai serikat pekerja/buruh tidak
memiliki peran langsung dalam perumusan kebijakan. Hal berbeda
terjadi pada tingkat perusahaan, di mana mayoritas pekerja (84%)
menilai bahwa serikat pekerja/buruh memiliki keterlibatan langsung
dalam perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
Secara umum, berbagai umpan balik yang disampaikan oleh serikat
pekerja/buruh selalu direspons dengan baik oleh perusahaan. Tindak
lanjut terhadap berbagai umpan balik tersebut selalu dituangkan dalam
IOM yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan. Tidak jarang pula
manajemen perusahaan melakukan revisi terhadap kebijakan-
kebijakan yang ada dalam rangka peningkatan efektivitas penanganan
Covid-19 dan penjaminan atas hak-hak karyawan.
134 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Kebijakan Pandemi Covid-19| 135

BAB VII
EVALUASI DAMPAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENANGANAN PANDEMI
COVID-19
136 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

BAB VII
EVALUASI DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENANGANAN PANDEMI COVID-19

7.1 PENDAHULUAN
Sampai awal tahun 1970-an, implementasi dianggap sebagai hal
yang tidak problematis dalam pengertian kebijakan, karena
diasumsikan bahwa setelah diambil suatu kebijakan, maka selanjutnya
perlu dilaksanakan begitu saja. Pandangan ini mulai berubah sejak
dipublikasikannya hasil penelitian dari Pressman dan Wildavsky yang
berjudul Implementation pada tahun 1973. Mereka meneliti program-
program pemerintah federal untuk para penduduk inner-city dari
Oakland, California, yang menganggur, hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa program-program penciptaan lapangan kerja
ternyata tidak dilaksanakan dengan cara seperti yang diantisipasi oleh
para pengambil kebijakan. Penelitian-penelitian lainnya juga
mengkonfirmasi bahwa program-program Great Society yang
dilaksanakan oleh pemerintahan Johson (1963-1968) di Amerika
Serikat, tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan dan bahwa
masalahnya adalah dalam cara pelaksanaan program tersebut.
Penelitian-penelitian di negara lain juga, seperti di Inggris pada awal
tahun 1970-an ditemukan bukti yang sama, bahwa pemerintah
ternyata tidak berhasil dalam mewujudkan kebijakan yang bermaksud
untuk menimbulkan reformasi sosial.
Sebagian di antara studi ini telah menghasilkan analisis dan
preskripsi bahwa implementasi kebijakan harus merupakan suatu
proses “top-down” dalam kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh
para implementor agar pelaksanaan kebijakan mereka dapat
Kebijakan Pandemi Covid-19| 137

berlangsung secara lebih efektif. Akan tetapi, pendekatan ini ditentang


oleh pihak yang mendukung pendekatan “bottom-up”, yang
memulainya dari perspektif pihak-pihak yang terpengaruh oleh dan
yang terlibat di dalam pelaksanaan suatu kebijakan. Selanjutnya
muncul pendekatan yang ketiga yang bukan mengkaji hanya
pertimbangan-pertimbangan administratif dalam pelaksanaan suatu
program, melainkan memandang pelaksanaan tersebut sebagai suatu
proses di mana dipergunakan berbagai alat pemerintahan dalam
mendesain kebijakan. Karena kontur umum dari instrumen-instrumen
yang ada telah dipahami secara cukup baik, maka penelitian-penelitian
dalam pola seperti ini cenderung memusatkan perhatian pada
pemikiran-pemikiran atau landasan pemikiran yang dipergunakan oleh
pemerintah dalam memilih alat tertentu dan pada potensi penggunaan
alat-alat tersebut, dalam situasi-situasi yang akan datang.
Mengubah program-program menjadi praktik adalah tidak
sesederhana sebagaimana tampaknya. Hal ini karena berbagai alasan
yang berkaitan dengan sifat dari permasalahan, situasi sekelilingnya,
atau organisasi sebagai mesin administratif yang bertugas
melaksanakannya, maka program-program mungkin tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana yang dimaksudkan. Ini adalah merupakan
realita dalam implementasi, yang menyimpang dari tujuan-tujuan yang
ditetapkan dan prosedur-prosedur yang telah ditentukan untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hal ini sangat penting bagi kita untuk
menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan, dan mendorong kepada
kita agar dapat memahami mengenai bagaimana proses kebijakan (Dr.
H. Tachjan, n.d.).

7.2 KONSEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata
“implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut
Webster's Dictionary (1979 : 914), kata to implement berasal dari
bahasa Latin “implementum” dari asal kata “impere” dan “plere”. Kata
138 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

“implere” dimaksudkan “to fill up”; “to fill in”, yang artinya mengisi
penuh; melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to fill”, yaitu
mengisi.
Selanjutnya kata “to implement” dimaksudkan sebagai : “(1) to carry
into effect; to fulfill; accomplish. (2) to provide with the means for
carrying out into effect or fulfilling; to give practical effect to. (3) to
provide or equip with implements” (Webster's Dictionary, 1979 : 914).
Pertama, to implement dimaksudkan “membawa ke suatu hasil
(akibat); melengkapi dan menyelesaikan”. Kedua, to implement
dimaksudkan “menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan
sesuatu; memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesuatu”.
Ketiga, to implement dimaksudkan menyediakan atau melengkapi
dengan alat”.
Sehubungan dengan kata implementasi di atas, Pressman dan
Wildavsky (1978 : xxi) mengemukakan bahwa, “implementation as to
carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Maksudnya :
membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi.
Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai
suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan
dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan
kebijakan, maka kata implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai
aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan yang telah
ditetapkan/ disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Dengan demikian, implementasi kebijakan merupakan tahapan
yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang
dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Anderson
(1978 : 25) mengemukakan bahwa : “Policy implementation is the
application af the policy by the government's administrative machinery
to the problem”. Kemudian Edwards III (1980 : 1) mengemukakan
bahwa : “Policy implementation, ... is the stage of policy making between
the establishment of a policy ... and the consequences of the policy for the
people whom it affects”. Sedangkan Grindle (1980 : 6) mengemukakan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 139

bahwa : “implementation - a general process of administrative action


that can be investigated at specific program level”.
Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa, implementasi
kebijakan merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan
setelah kebijakan ditetapkan/ disetujui. Kegiatan ini terletak di antara
perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan
mengandung logika yang top-down, maksudnya menurunkan/
menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro
menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan
formulasi kebijakan mengandung logika bottom-up, dalam arti proses
ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian
tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian dan pemilihan
alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan.
Proses administratif yang dilakukan oleh unit-unit administratif
pada setiap level pemerintahan disejalankan dengan tipe-tipe
kebijakan yang telah ditetapkan. Tipe-tipe kebijakan tersebut dapat
bersifat : distributive, regulatory, selfregulatory, re-distributive”
(Anderson, 1978 : 127; Ripley, 1987 : 71).
Proses kegiatan ini disertai dengan tindakan-tindakan yang bersifat
alokatif, yaitu tindakan yang menggunakan masukan sumber daya yang
berupa uang, waktu, personil, dan alat.
Selanjutnya tindakan implementasi kebijakan dapat pula dibedakan
ke dalam “Policy inputs and policy process” (Dunn, 1994 : 338). Policy
inputs berupa masukan sumber daya, sedangkan policy process
bertalian dengan kegiatan administratif, organisasional, yang
membentuk transformasi masukan kebijakan ke dalam hasil-hasil
(outputs) dan dampak (impact) kebijakan. Dengan bertitik tolak dari
uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa fungsi dan tujuan
implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang
memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan
dapat diwujudkan sebagai “outcome” (hasil akhir) dari kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah. Implementasi dapat disebut sebagai “policy
140 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

delivery system”. Maksudnya, sebagai suatu sistem penyampaian/


penerusan kebijakan. Sebagai suatu sistem, implementasi terdiri dari
unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan yang terarah menuju tercapainya
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Deskripsi sederhana tentang konsep implementasi dikemukakan
oleh Lane bahwa implementasi sebagai konsep dapat dibagi ke dalam
dua bagian yakni implementasi merupakan persamaan fungsi dari
maksud, output dan outcome. Berdasarkan deskripsi tersebut, formula
implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan,
hasil sebagai produk, dan hasil dari akibat. Selanjutnya, implementasi
merupakan persamaan fungsi dari kebijakan, formator, implementor,
inisiator, dan waktu (Sabatier, 1986: 21-48). Penekanan utama kedua
fungsi ini adalah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang
dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu
tertentu.
Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan
dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Ini sesuai dengan
pandangan Van Meter dan van Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan
kebijakan direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang
melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.
Studi implementasi kebijakan dibagi ke dalam tiga generasi dengan
fokus kajian dan para penganjurnya. Generasi pertama diwakili oleh
studi Pressman dan Wildavsky yang terfokus pada bagaimana
keputusan otoritas tunggal dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Hasilnya memberi pengakuan sifat atau hakikat implementasi yang
kompleks. Generasi kedua terfokus pada determinan keberhasilan
implementasi kebijakan. Model konseptual model proses implementasi
dikembangkan dan diuji pada berbagai area yang berbeda. Dua
pendekatan yang mendominasi adalah pendekatan top-down dan
pendekatan top-down. Studi yang representatif pada masa ini dibuat
oleh Carl Van Horn dan Donald Van Meter serta Daniel Mazmanian dan
Paul Sabatier.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 141

Generasi ketiga terfokus pada sintesis dan pengembangan


pendekatan implementasi kebijakan dengan lokus (secara multilevel)
dan fokus yang lebih kompleks sebagai proses dinamis. (Ann O’M
Bowman dalam Rabin, 2005) (Akib, 2010).
Implementasi kebijakan banyak memerlukan tenaga kerja, uang,
dan kemampuan organisasional dari apa yang telah ada. Berdasarkan
keadaan ini, implementasi kebijakan adalah sebuah proses dalam
mendapatkan sumber daya tambahan sehingga dapat mengukur apa-
apa yang telah dikerjakan. Implementasi kebijakan bersifat interaktif
dengan kegiatan-kegiatan kebijakan yang mendahuluinya.
Implementasi mungkin dapat dipandang sebuah proses interaksi
antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu meraihnya,
dengan demikian implementasi menjadi suatu jaringan yang tak
tampak, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan-
hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang
menghubungkan tindakan dengan tujuan. Masalah yang penting dalam
implementasi kebijakan adalah memindahkan suatu keputusan ke
dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu. Dan cara
tersebut adalah, bahwa apa yang dilakukan memiliki kemiripan nalar
dengan keputusan tersebut, serta berfungsi dengan baik di dalam
lingkup lembaganya (Hj. Kasmad, 2018).
Kusumanegara (2010) berpendapat bahwa implementasi dapat
didefinisikan sebagai proses administrasi dari hukum yang di
dalamnya mencakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi,
prosedur, dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah
ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan.
Matland (dalam Hamdi, 2014:98) mengemukakan mengenai
implementasi kebijakan terbagi menjadi dua kelompok, yakni
kelompok dengan pendekatan dari atas (top-down) dan kelompok
dengan pendekatan dari bawah (bottom-up). Kelompok dengan
pendekatan top-down melihat perancang kebijakan sebagai aktor
sentral dalam administrasi kebijakan. Kelompok top-down
142 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

memusatkan perhatiannya faktor-faktor yang dapat dimanipulasi pada


tingkat sentral atau pada variabel yang bersifat makro. Kelompok
dengan pendekatan bottom-up menekankan pada dua hal, yakni
kelompok-kelompok sasaran dan penyedia layanan. Pemberian
tekanan kepada dua hal tersebut menurut kelompok bottom-up
didasarkan pada pemikiran bahwa kebijakan senyatanya dibuat pada
tingkat lokal. Kelompok bottom-up berfokus pada variabel yang bersifat
mikro.
Jadi, implementasi kebijakan merupakan proses administrasi
hukum yang melibatkan aktor, organisasi untuk menetapkan sebuah
kebijakan dan dilaksanakan (Utaminingsih & Purnaweni, n.d.).
Edward III dalam Subarsono (2011, pp. 90–92) berpandangan
bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel antara
lain komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan
mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan. Sumber daya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan
sumber daya untuk melaksanakan, maka efektivitas implementasi
menjadi terkendala. Disposisi, watak dan karakteristik yang dimiliki
oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka tujuan
kebijakan dapat tercapai. Struktur birokrasi, bertugas
mengimplementasikan kebijakan disposisi terdiri dari aspek pada
struktur organisasi yakni Standard Operating Procedure (SOP) dan
fragmentasi.

7.3 PENTINGNYA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Implementasi atau pelaksanaan kebijakan merupakan rangkaian
kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu
implementasi, suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia saja.
Oleh karena itu, implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang
penting.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 143

Dengan mengutip Grindle (1980), Solichin Abdul Wahab (2002: 59)


mengemukakan bahwa implementasi kebijakan bukanlah sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran-penjabaran
keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi kebijakan
menyangkut masalah konflik, keputusan dan menyangkut siapa yang
memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu, implementasi
kebijakan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada perumusan
kebijakan. Kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana
yang bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan (Chief Udoji, dalam Wahab, 2002: 59).
Perhatian terhadap implementasi kebijakan – khususnya ilmu
politik dan Ilmu Administrasi Negara baru dimulai 1960-an (Amerika
Serikat) dan 1970-an (Inggris). Hal ini terutama setelah ditemukan
bukti-bukti yang meyakinkan bahwa pemerintah tidak efektif
melaksanakan/mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Antara
lain bidang landreform, kesempatan kerja penuh, pengendalian
pencemaran lingkungan, restrukturisasi industri, dan lain-lain. Bukti-
bukti ketidakmampuan pemerintah untuk mengimplementasikan
kebijakan yang lama dirumuskan dan ditetapkan, mendorong para ahli
untuk fokus pada implementasi kebijakan. Hal ini bukan hanya terjadi
di negara-negara Barat, akan tetapi di sebagian besar pemerintah di
dunia ini baru mampu untuk mengesahkan kebijakan, tetapi belum
mampu menjamin bahwa kebijakan yang telah disahkan itu benar-
benar akan menimbulkan dampak dan perubahan-perubahan yang
berarti bagi kepentingan umum.
Gejala di atas disebut implementation gap, suatu istilah yang
dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan bahwa dalam proses
kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan
antara apa yang diharapkan (direncanakan) dengan apa yang
seharusnya dicapai. Semakin banyaknya perbedaan antara harapan
144 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

dan kenyataan sangat tergantung pada implementation capacity dari


organisasi dan aktor atau birokrasi untuk melaksanakan kebijakan
tersebut.
Jadi yang dimaksud implementation capacity adalah kemampuan
suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan kebijakan/keputusan,
sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan
dalam dokumen formal kebijakan tercapai.
Dalam hubungan ini Huntington, dalam Said Zamal Abidin (2004:
189) mengemukakan pandangannya, bahwa perbedaan yang paling
penting antara suatu negara dengan negara lain tidak terletak pada
bentuk atau ideologinya, tetapi pada tingkat kemampuan
melaksanakan pemerintahan. Tegasnya tingkat kemampuan dapat
dilihat pada kemampuan melaksanakan setiap keputusan atau
kebijakan yang dibuat negara/pemerintah yang bersangkutan.
Walaupun demikian, faktor sistem politik/pemerintahan negara yang
bersangkutan cukup berpengaruh terhadap efektivitas implementasi
kebijakannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan
adalah:
1. Faktor utama internal, yang terdiri dari kebijakan yang akan
dilaksanakan dan faktor-faktor pendukung;
2. Faktor utama eksternal adalah kondisi lingkungan (environment)
dan pihak-pihak terkait (stakeholders) (Abidin, 2004: 191).

Selanjutnya Sayid Zainal Abidin (2004: 192-193) menegaskan


bahwa kondisi kebijakan adalah faktor yang paling menentukan dalam
proses pelaksanaan/ implementasi kebijakan, karena yang
dilaksanakan justru kebijakan itu sendiri. Tanpa ada kebijakan tidak
ada yang dilaksanakan. Pada awalnya berhasil atau tidaknya
pelaksanaan kebijakan ditentukan oleh dua hal, yaitu: pertama, kualitas
kebijakan; kedua, ketepatan strategi pelaksanaan. Kebijakan yang tidak
berkualitas tidak akan bermanfaat untuk dilaksanakan, sedangkan
strategi pelaksanaan yang tidak tepat sering kali tidak mampu
memperoleh dukungan dari publik.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 145

Ada pun yang menentukan kualitas kebijakan sehingga layak untuk


dilaksanakan jika mengandung beberapa elemen (Hesel, 2004):
1. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan-alasan yang dipakai untuk
mengadakan kebijakan itu. Tujuan atau alasan baik jika tujuan
alasan itu:
a. Rasional, dapat diterima akal sehat, sesuai dengan faktor-faktor
pendukung yang tersedia.
b. Diinginkan (desireable), tujuan dari kebijakan menyangkut
kepentingan umum, sehingga mendapat dukungan dari berbagai
pihak.
2. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realitas
dan valid.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan akurat, kebijakan
tidak tepat jika didasarkan pada informasi yang tidak benar sudah
out of date.

Ketepatan suatu strategi pelaksanaan kebijakan ditentukan oleh


kemampuan menjabarkan aspek-aspek positif dari kebijakan dan
cukup advokatif dalam hal perbedaan pandangan dan antisipatif dalam
hal tantangan dinamika di lapangan.
Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya
menyangkut perilaku badan administrative yang bertanggung jawab
dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran/publik,
melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik,
ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan
kebijakan, baik yang bersifat negatif maupun positif. Oleh karena itu
tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan
adalah:
1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan
makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan
dapat dijalankan.
146 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

2. Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan


program ke dalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan, yang berhubungan dengan perlengkapan rutin untuk
pelayanan, gaji/upah (Hesel, 2002: 18).

Akhirnya dapat dikemukakan bahwa pengertian implementasi


kebijakan itu adalah tindakan-tindakan tang dilakukan baik oleh
individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok
pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam perumusan kebijakan (Van Meter
dan Van Horn, 1975; dalam Solichin Abdul Wahab, 2002: 65) (Abdoellah
& Rusfiana, 2016).

7.4 PERSEPSI SERIKAT PEKERJA/BURUH AKAN


SIGNIFIKANSI IMPELEMENTASI KEBIJAKAN COVID-19
Secara rasional, implementasi kebijakan penanganan pandemi
Covid-19, terutama dalam bentuk penerapan protokol kesehatan dan
pembatasan sosial demi tetap dapat beroperasinya kegiatan
perusahaan, tentu saya memiliki dampak terhadap kehidupan
pekerja/buruh. Kendati demikian, untuk mengonfirmasi asumsi ini,
kami merasa perlu untuk mengategorikan persepsi pekerja antara
mereka yang percaya implementasi kebijakan tersebut berpengaruh
secara signifikan terhadap kehidupan pekerja/buruh mereka yang
percaya sebaliknya. Hasilnya, mayoritas pekerja (86%) berpandangan
bahwa implementasi kebijakan tersebut secara signifikan
memengaruhi kehidupan pekerja/buruh. Hasil kuantifikasi atas
persepsi pekerja ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Kebijakan Pandemi Covid-19| 147

14%

Berpengaruh
Tidak berpengaruh

86%

Gambar 4.1. Persepsi pekerja terkait signifikansi implementasi kebijakan


penanganan pandemi Covid-19 terhadap kehidupan pekerja/buruh

Berdasarkan hasil wawancara, kami mengidentifikasi pula bidang-


bidang kehidupan yang dirasa paling terdampak oleh implementasi
kebijakan penanganan Covid-19. Bidang-bidang tersebut antara lain
ekonomi, kesehatan, sosial, pola hidup, pangan, kualitas hidup,
keluarga, dan produksi. Dari semua bidang kehidupan ini, ekonomi,
kesehatan, dan sosial merupakan tiga bidang yang dirasa paling
terdampak oleh implementasi kebijakan yang ada.
Secara rinci, persepsi pekerja akan bidang-bidang yang terdampak
implementasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dapat dilihat
pada gambar di bawah 4.1. Pada gambar tersebut, disajikan diagram
yang memperbandingkan persepsi serikat pekerja/buruh dan
karyawan dalam memandang bidang-bidang yang paling terdampak
implementasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Hasilnya,
kedua kategori pekerja ini memiliki persepsi yang serupa, bahwa
dampak dari implementasi kebijakan paling besar dirasakan pada
bidang ekonomi, kesehatan, dan sosial.
148 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

4% 4%
Ekonomi
3%
3%3% Kesehatan
4%
Sosial
40% 42%
29% 20% Pola hidup
Pangan
Kualitas hidup
Keluarga
27%
Produksi
21%

Keterangan:
Lingkaran luar berdasarkan perspektif pengurus serikat pekerja/buruh,
sementara lingkaran dalam berdasarkan perspektif karyawan

Gambar 4.1. Bidang-bidang kehidupan yang secara signifikan terpengaruh


oleh implementasi kebijakan penanganan pandemi Covid-19.

Dalam bidang ekonomi, berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan


oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja) maupun
perusahaan, memang tidak ada pemotongan gaji—karyawan tetap
memperoleh besaran gaji secara penuh. Namun demikian, pengaturan
ulang mekanisme dan pola kerja tetap berpengaruh terhadap
penghasilan yang diterimakan karyawan.
Hal ini dikarenakan berkurangnya beberapa macam benefit dan
bonus yang diberikan kepada karyawan. Terkait kondisi
perekonomian, di level rumah tangga pekerja/buruh, dirasakan adanya
dampak positif berupa pola hidup hemat yang didorong oleh adanya
larangan atau pembatasan kegiatan di luar rumah dan di tempat
keramaian. Namun demikian, dalam konteks yang lebih luas, hal ini
justru menjadikan kegiatan ekonomi mengalami kelesuan karena
sebagian besar masyarakat tidak melakukan konsumsi melalui
kegiatan belanja, rekreasi, wisata, dan semacamnya.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 149

Dalam bidang kesehatan, sudah barang tentu implementasi


kebijakan penanganan Covid-19 berpengaruh terhadap kehidupan
karyawan. Dengan adanya kebijakan tersebut, khususnya terkait
dengan pembatasan sosial dan protokol kesehatan, para karyawan
dapat cukup terjaga dari penularan Covid-19. Dalam hal ini, kebijakan
yang ada cenderung berdampak positif. Namun demikian, pembatasan
sosial untuk mencegah penularan juga memunculkan efek yang tidak
dikehendaki terkait kesehatan psikis karyawan. Hasil wawancara
dengan beberapa orang pekerja menunjukkan bahwa berkurangnya
kontak dan waktu berkumpul bersama keluarga berimplikasi pada
meningkatkan tingkat stres karyawan.
Dalam bidang sosial, dampak dari implementasi kebijakan
penanganan Covid-19 terlihat pada beberapa hal. Pembatasan sosial
menyebabkan interaksi dan sosialisasi di antara para karyawan
berkurang, terutama karena mereka tidak bisa berkumpul untuk
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di lingkungan pergaulan atau
pertemanan. Pengurangan perjalanan karyawan dari Dataran Tinggi ke
Dataran Rendah dan sebaliknya juga berpengaruh terhadap
menurunnya kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan oleh para
karyawan bersama keluarga. Hal ini menimbulkan beban psikologis
tersendiri bagi mereka. Sebagian pekerja juga mengeluhkan kejenuhan
yang umumnya dirasakan oleh para karyawan karena adanya
keharusan melakukan tes swab antigen setiap kali hendak keluar dan
masuk ke Dataran Tinggi. Kendati demikian, mereka tetap menyadari
dan memahami pentingnya tes tersebut baik untuk memantau kondisi
kesehatan mereka, melindungi kesehatan keluarganya, maupun
menjaga agar tidak terjadi penularan lokal (local transmission) yang
tidak terkendali di area kerja. Dengan kata lain, kesediaan untuk selalu
melakukan tes swab antigen setiap kali hendak masuk dan keluar ke
Dataran Tinggi merupakan ‘bentuk pengorbanan’ yang harus mereka
kerjakan.
150 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

7.5 DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19
Berdasarkan wawancara dengan para pekerja, kami mencoba
mengidentifikasi dampak positif dan negatif dari implementasi
kebijakan penanganan Covid-19 terhadap berbagai isu
ketenagakerjaan, meliputi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3),
penghasilan, perlindungan sosial (asuransi), kontrak kerja, dan
pesangon. Berikut penjelasan mengenai tiap-tiap isu tersebut.

a. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Berdasarkan wawancara dengan para pekerja, kami
mengidentifikasi beberapa dampak positif dari penerapan kebijakan
penanganan Covid-19 terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3). Dampak-dampak positif tersebut di antaranya:
1. Teredukasinya pekerja/buruh sehingga kesadaran mereka akan
K3 meningkat.
2. Terjaganya pekerja/buruh dari ancaman penularan virus
corona.
3. Berkurangnya kakhawatiran pekerja/buruh untuk pergi ke area
kerja karena pada umumnya setiap orang sudah menyadari
protokol kesehatan yang harus dipatuhi.
4. Meningkatnya kebersihan di lingkungan kerja.

Selain dampak positif di atas, kami juga mengidentifikasi beberapa


dampak negatif yang diungkapkan oleh para pekerja. Dampak-dampak
negatif tersebut antara lain:
1. Meningkatnya rasa wawas dan saling curiga di antara para
pekerja/buruh, karena setiap orang dapat saja menjadi
pembawa dan menularkan virus corona.
2. Keharusan untuk bekerja secara perorangan dan tidak dapat
bekerja secara berkelompok dapat mengurangi efektivitas dan
kinerja.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 151

3. Banyaknya terjadi kelelahan (fatigue) di tempat kerja, baik


secara fisik maupun psikis, karena pengurangan kru/personel
yang bekerja di saat yang bersamaan.
4. Terhambatnya pekerjaan-pekerjaan tertentu karena harus
selalu melaksanakan protokol kesehatan.
5. Menurunnya capaian target kinerja K3 yang telah ditetapkan
oleh perusahaan.

Pada salah satu wawancara dengan seorang pekerja, dijumpai pula


adanya keterkaitan antara K3 baik dengan produktivitas perusahaan
maupun penghasilan yang diperoleh oleh pekerja/buruh. Ia
menjelaskan, bahwa implementasi kebijakan penanganan Covid-19
dapat membantu pemenuhan ketersediaan sumber daya manusia
(manpower) yang dibutuhkan. Dengan banyaknya jumlah karyawan
yang sehat dan selamat, maka akan semakin terjamin terpenuhinya
jumlah sumber daya manusia yang bekerja sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan. Ketersediaan sumber daya manusia ini sangat diperlukan
dalam semua kegiatan operasional perusahaan agar tetap dapat
berjalan lancar dan mencapai target produksi bulanan maupun
tahunan. Bagi pekerja/buruh sendiri, kualitas K3 yang baik secara
langsung akan berpengaruh terhadap besaran penghasilan yang
diterimakan, khususnya dari bonus-bonus produksi, karena kinerja K3
merupakan salah satu indikator atau syarat penting dalam perhitungan
bonus yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian, pada konteks
yang lebih luas, penerapan kebijakan penanganan Covid-19 untuk
menjamin kualitas K3 berkontribusi pula dalam membangun hubungan
industrial yang saling menguntungkan selama masa pandemi.
Masih terdapat pula permasalahan dalam mengimplementasikan
kebijakan terkait K3, seperti kendala teknis, khususnya ketersediaan
masker yang kurang sehingga sebagian pekerja/buruh mengenakan
masker yang tidak memenuhi standar, pelanggaran keselamatan kerja
dan kelalaian dalam menggunakan masker akibat kurangnya informasi
dan kesadaran, masih adanya karyawan yang kurang peduli dengan
152 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

protokol kesehatan, masih adanya karyawan yang kurang disiplin di


lingkungan pekerjaan (seperti merokok di ruang kerja), menurunnya
fokus dan konsentrasi pekerja/buruh karena adanya rasa cemas. Di sisi
lain, terdapat pula faktor-faktor yang mempermudah penerapan
kebijakan penanganan Covid-19, salah satunya kebiasaan
pekerja/buruh yang sudah cukup terbangun dalam mematuhi kaidah-
kaidah K3.
Untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan, pihak manajemen
perusahaan senantiasa menggandeng serikat pekerja/buruh untuk
melakukan komunikasi dan koordinasi (dialog sosial), serta monitoring
dan evaluasi (monev) secara rutin untuk meminimalkan dampak
negatif implementasi kebijakan penanganan Covid-19, baik terhadap
kondisi pekerja/buruh dan keluarganya, maupun aktivitas operasional
dan produksi perusahaan.
b. Penghasilan
Hasil wawancara dengan para pekerja juga membantu kami dalam
mengidentifikasi beberapa dampak positif dan negatif dari penerapan
kebijakan penanganan Covid-19 terhadap penghasilan pekerja/buruh.
Dampak-dampak positif yang berhasil diidentifikasi antara lain:
1. Tetap terjaganya penghasilan pekerja/buruh karena adanya
pemberian insentif, terutama bagi mereka yang melakukan
pekerjaan di Dataran Tinggi.
2. Munculnya pola hidup yang semakin hemat karena adanya
larangan/pembatasan untuk melakukan aktivitas di luar rumah
dan di tempat-tempat publik.

Adapun dampak-dampak negatif yang berhasil diidentifikasi antara


lain:
1. Berkurangnya sebagian hak karyawan, khususnya berupa
bonus, sehingga pendapatan mereka pun berkurang.
2. Adanya diskriminasi dalam pemberian insentif.
3. Berkurangnya benefit yang diterima oleh karyawan jika mereka
terkonfirmasi positif Covid-19 atau dikarantina.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 153

Hasil wawancara dengan sebagian pekerja menunjukkan bahwa


dampak penerapan kebijakan penanganan Covid-19 terhadap
penghasilan karyawan, apakah akan positif atau negatif, sangat
ditentukan oleh kondisi kesehatan karyawan. Apabila karyawan dalam
kondisi sehat, maka penghasilannya cenderung akan tetap baik; namun
apabila sakit, maka penghasilannya akan berkurang. Hal ini
dikarenakan pembayaran gaji dan berbagai bentuk benefit tetap
diperhitungkan berdasarkan produktivitas karyawan. Akibatnya,
karyawan yang sakit atau terpapar Covid-19, mengalami penurunan
penghasilan karena harus menjalani karantina/isolasi dan tidak dapat
bekerja. Hal ini kerap pula dikeluhkan oleh karyawan. Menurut serikat
pekerja/buruh, Surat Edaran dari Menaker sebenarnya telah mengatur
bahwa bagi karyawan yang tidak dapat bekerja karena harus menjalani
karantina/isolasi seharusnya tetap mendapatkan gaji secara penuh.
Namun, pada kenyataannya kebijakan ini belum dilaksanakan
sepenuhnya oleh perusahaan dengan alasan kinerja dan produktivitas.
Jika dicermati, persoalan di atas sebenarnya tidak dengan
sendirinya berakar dari implementasi kebijakan penanganan pandemi
Covid-19, melainkan pada ketentuan yang memang sudah
diberlakukan oleh perusahaan di masa normal. Dalam hal ini, salah satu
bentuk bonus yang diterima karyawan adalah bonus safety (bonus yang
didasarkan pada kinerja dalam menjalankan K3)—jika kinerja safety
karyawan bagus, maka bonus yang diterimanya pun bagus, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, seorang pekerja menjelaskan, ketika terjadi
kecelakaan kerja di suatu divisi tertentu, misalnya, maka divisi yang
bersangkutan akan mengalami pengurangan bonus safety, dan
demikian, secara luas bonus produksi tahunan karyawan juga akan
terdampak. Berdasarkan jalan berpikir ini, maka karyawan yang
terjangkit Covid-19 dianggap mengalami penurunan kinerja K3
sehingga mengalami pengurangan bonus, terlebih jika hal tersebut
terjadi lantaran kelalaian dalam menjalankan protokol kesehatan.
154 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Mempertimbangkan kondisi di atas, di mana muncul keluhan


karyawan terkait menurunnya penghasilan di satu pihak, dan di pihak
lain, perhitungan bonus oleh perusahaan yang tetap didasarkan pada
ketentuan kinerja K3 pada situasi normal, maka perlu adanya dialog
antara karyawan yang diwakili oleh serikat pekerja/buruh dengan
perusahaan untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi.
Terkait dampak penerapan kebijakan terhadap penghasilan ini,
terdapat satu temuan menarik yang perlu untuk disoroti secara khusus.
Dalam wawancara-wawancara yang kami lakukan dengan para pekerja
dari kalangan pekerja/buruh maupun serikat pekerja/buruh, kami
mendapati adanya sebagian pekerja yang menyatakan bahwa dampak
positifnya lebih terasa karena ada insentif dan bonus tambahan yang
diberikan oleh perusahaan. Namun di saat yang bersamaan, sebagian
pekerja justru mengungkapkan sebaliknya, bahwa penghasilan mereka
berkurang. Sekilas, terdapat kontradiksi pada jawaban dan keterangan
di antara para pekerja tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik terkait ‘kontradiksi’ ini, kami mencoba memetakan
keterangan-keterangan para pekerja tersebut.
Dari 38 orang pekerja karyawan dan pengurus serikat
pekerja/buruh, kami memilih hanya mereka yang bekerja di
Perusahaan Pertambangan, yakni sebanyak 31 orang. Asumsinya,
persoalan penggajian, insentif, dan bonus ditentukan di tingkat
perusahaan, sehingga permasalahan ini harus dilihat pada satu
perusahaan yang sama. Dari jumlah tersebut, kami kemudian
mengidentifikasi adanya 22 orang pekerja yang memberikan
keterangan langsung dan jelas terkait persoalan di atas. Distribusi
jawaban dari ke-22 orang pekerja ini dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Kebijakan Pandemi Covid-19| 155

2
Pendapatan normal
6 9%
27%
Ada insentif
8
37% Pendapatan berkurang

6 Ada insentif &


27% Pendapatan berkurang

Gambar 6. Distribusi jawaban pekerja terkait pendapatan: apakah meningkat


atau berkurang?

Sebagaimana terlihat pada gambar di atas, sebanyak 2 (9%) orang


pekerja mengatakan bahwa pendapatan karyawan tetap normal.
Sebanyak 8 (37%) orang pekerja mengatakan bahwa karyawan
mendapatkan insentif selama masa pandemi, sehingga pendapatannya
cenderung tetap atau bahkan mengalami kenaikan. Di saat yang
bersamaan, sebanyak 6 (27%) orang pekerja justru mengatakan bahwa
pendapatan karyawan berkurang. Sementara itu, 6 (27%) orang
pekerja lainnya menjelaskan tentang adanya insentif, namun sekaligus
sebagian karyawan pendapatannya berkurang.
Berkurangnya pendapatan, berdasarkan hasil wawancara,
disebabkan terutama oleh tidak adanya bonus yang biasa mereka
dapatkan pada situasi normal. Selain itu, alasan yang lebih krusial
adalah tidak dapat bekerjanya sebagian karyawan karena harus
menjalani karantina/isolasi, entah karena telah didiagnosis positif
Covid-19, menjadi suspek, atau karena menjalin kontak fisik dengan
pasien positif Covid-19. Adapun bagi mereka yang menyatakan ada
insentif, insentif tersebut umumnya ‘bersyarat;’ insentif diberikan
hanya bagi karyawan yang tetap dapat bekerja secara produktif,
maupun bagi mereka yang bekerja di area-area tertentu, misalnya
156 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Dataran Tinggi. Dengan demikian, dalam hal ini Covid-19 pada


dasarnya tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan
pekerja/buruh; namun penyebarannya memang meningkatkan secara
drastis risiko pekerja/buruh untuk mengalami sakit dan kehilangan
sebagian insentif atau bonus yang seharusnya dapat mereka peroleh.
Situasi di atas kemudian menimbulkan masalah baru berupa
kecemburuan sosial di antara sesama pekerja/buruh. Muncul persepsi
di kalangan sebagian pekerja/buruh bahwa telah terjadi diskriminasi
karena tidak meratanya pemberian insentif. Hal ini juga diperparah
oleh munculnya persepsi bahwa tidak ada kejelasan dalam penentuan
kriteria karyawan, mana yang penting (dan tetap dipekerjakan secara
normal) dengan mana yang kurang penting (sehingga bekerja dari
rumah atau bahkan dirumahkan). Persepsi senada diungkapkan oleh
pekerja lain yang memandang adanya tebang pilih dalam penerapan
aturan masuk kerja.
Dalam kondisi pandemi, terdapat pula beberapa faktor eksternal
yang berpengaruh terhadap kondisi perekonomian keluarga. Kebijakan
pemerintah seperti pemotongan/diskon pembayaran listrik PLN bagi
konsumen daya 900 W yang sudah berjalan selama satu tahun,
misalnya, meringankan beban yang dirasakan oleh rumah tangga
pekerja/buruh. Akan tetapi, beberapa faktor eksternal lain justru
menambah berat beban yang mereka rasakan, seperti naiknya harga
berbagai kebutuhan pokok dan biaya transportasi.
c. Perlindungan Sosial (Asuransi)
Secara umum, berdasarkan hasil wawancara dengan para pekerja,
kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan implementasinya tidak
berdampak apa-apa terhadap program perlindungan sosial/asuransi
yang diikuti oleh para pekerja/buruh. Hanya saja, terdapat beberapa
hal yang menjadi perhatian pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh.
Pertama, apabila pekerja/buruh tetap sehat dan terus bekerja,
maka saving plan-nya dapat tetap berjalan sehingga nilainya
meningkat; subsidi dari pemerintah sangat membantu hal ini.
Sebaliknya, jika pekerja/buruh terpapar Covid-19 dan tidak dapat
bekerja untuk berhari-hari selama masa karantina/isolasi, maka saving
Kebijakan Pandemi Covid-19| 157

plan-nya juga dapat terganggu. Dengan kata lain, perlindungan sosial


yang seharusnya menghilangkan atau setidaknya mengurangi
kekhawatiran para pekerja/buruh selama masa pandemi, khususnya
ketika terpapar virus corona dan harus menjalani karantina maupun
perawatan, justru menjadi salah satu sumber kecemasan karena
adanya kemungkinan pekerja/buruh tidak dapat mempertahankan
nilai saving plan mereka akibat sakit.
Kurangnya sosialisasi menyangkut asuransi juga menjadi masalah,
karena menyebabkan masih banyaknya karyawan yang belum
mengetahui dengan baik seluk-beluk asuransi yang mereka ikuti.
Dalam situasi seperti ini, sebagian pekerja/buruh terdorong untuk
memersepsi adanya ketidakadilan dalam hal asuransi, sehingga secara
umum kualitas penyelenggaraan program asuransi dianggap jelek.
d. Kontrak Kerja
Secara umum, kebijakan penanganan Covid-19 tidak berpengaruh
secara langsung terhadap kontrak kerja, karena tidak ada perubahan
terhadap kontrak kerja ataupun pasal-pasal yang ada di dalam
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) akibat implementasi kebijakan
penanganan Covid-19. Namun demikian, selama masa pandemi
tersebut perusahaan tidak menyelenggarakan kegiatan penerimaan
karyawan baru. Di satu sisi, dari sudut pandang karyawan, hal ini dapat
dipandang sebagai sebuah dampak positif karena berarti kontrak kerja
mereka akan bisa diperpanjang; namun di sisi lain, dari sudut pandang
orang-orang yang berharap dapat bekerja di Perusahaan
Pertambangan, hal ini sekaligus dapat dipandang sebagai sebuah
dampak negatif karena sangat kecilnya kemungkinan untuk melamar
pekerjaan.
Sejauh ini, di Perusahaan Pertambangan sendiri tidak sampai
terjadi PHK akibat dampak pandemi Covid-19. Namun demikian,
beberapa pekerja mengungkapkan adanya banyak karyawan yang
dirumahkan, bahkan terkena PHK, di beberapa perusahaan
subkontraktor yang termasuk ke dalam supply chain (SC) Perusahaan
158 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Pertambangan. Beberapa perusahaan subkontraktor juga tidak


memperpanjang kontrak sebagian pekerja/buruh mereka karena para
pekerja/buruh tersebut tidak dianggap sebagai unit yang ‘esensial’
selama masa pandemi. Dalam situasi seperti ini, tidak mengherankan
jika muncul kecemasan yang cukup meluas di kalangan pekerja/buruh,
baik di Perusahaan Pertambangan sendiri maupun di berbagai
perusahaan subkontraktornya, akan kemungkinan dirumahkan atau
bahkan PHK.
e. Pesangon
Secara umum, juga tidak ada dampak apa pun yang diakibatkan oleh
penerapan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 terhadap
pesangon. Hal ini dikarenakan Perusahaan Pertambangan sejauh ini
tidak mengambil kebijakan untuk melakukan PHK terhadap
karyawannya. Namun demikian, sebagian pekerja mengungkapkan
bahwa besaran pesangon pada kenyataannya menurun, sehingga
dinilai tidak adil bagi karyawan yang diberhentikan. Hanya saja, tidak
diperoleh informasi yang pasti apakah hal ini terjadi pada sebagian
karyawan Perusahaan Pertambangan, atau pada karyawan yang
bekerja di perusahaan-perusahaan subkontraktor yang berada dalam
jaringan supply chain Perusahaan Pertambangan. Jika benar bahwa
Perusahaan Pertambangan tidak melakukan PHK terhadap karyawan
selama masa pandemi, maka kemungkinan besar apa yang
diungkapkan oleh para pekerja tersebut terjadi pada perusahaan-
perusahaan subkontraktor Perusahaan Pertambangan.

7.6 PEMBELAJARAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


PENANGANAN COVID-19
Adapun pembelajaran dari implementasi kebijakan penanganan
Pandemi Covid-19 saat ini adalah sebagai berikut.
1. Penetapan objektif yang hendak dicapai dalam masa
pandemi merupakan hal yang krusial dalam merumuskan
dan menerapkan kebijakan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 159

Dalam hal ini, sejak awal pandemi Perusahaan Pertambangan


telah menetapkan objektif yang tegas dan jelas, bahwa
kegiatan operasi perusahaan haru tetap berjalan untuk
memenuhi target produksi tahunan. Kejelasan objektif ini
memberikan orientasi bagi perusahaan dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan yang diperlukan, di mana setiap kebijakan
yang dikeluarkan diarahkan untuk mendukung tetap
beroperasinya perusahaan dengan tetap menjaga kesehatan
dan keselamatan para karyawan.

2. Perumusan kebijakan yang jelas dan dapat dilaksanakan


sesuai dengan situasi riil di lapangan merupakan sebuah
keniscayaan bagi efektivitas implementasinya.
Dalam hal ini, setiap kebijakan penanganan Covid-19,
khususnya pembuatan berbagai macam protokol, harus
memperhatikan dan bersesuaian dengan kondisi di lapangan.
Kebijakan tingkat nasional yang sifatnya lintas sektor,
misalnya, harus diterjemahkan dan diturunkan ke dalam
bentuk-bentuk kebijakan di berbagai tingkat yang lebih
rendah, mulai dari kebijakan tingkat regional provinsi, regional
kabupaten/kota, hingga tingkat perusahaan. Untuk lingkungan
kerja di sektor pertambangan, misalnya, tentu saja
membutuhkan protokol yang berbeda dengan lingkungan
kerja di sektor pendidikan, industri manufaktur, perdagangan,
dan lain sebagainya, sekalipun didasarkan pada satu kaidah
dasar yang sama, yakni pembatasan sosial untuk mencegah
penularan dan penyebaran penyakit.

3. Kebijakan yang dikomunikasikan dengan baik akan


menumbuhkan sikap (disposisi) dan pemahaman yang
seragam di setiap tingkatan pelaksanaan kebijakan.
Kebijakan tersebut juga harus dapat dipahami dengan baik dan
secara mudah oleh orang-orang yang menjadi subjeknya.
160 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Dalam hal ini, bukan hanya norma-norma yang diaturnya


harus dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang mudah
dimengerti, namun lebih dari itu, tujuan dari penerapan
kebijakan tersebut juga harus jelas dan tidak multitafsir. Dalam
kasus Perusahaan Pertambangan, objektif yang sudah
ditetapkan di awal—bahwa operasi perusahaan harus dapat
tetap dilanjutkan dengan memperhatikan kesehatan dan
keselamatan para pekerja/buruh—membantu perumusan
tujuan kebijakan secara terang dan tegas. Hal ini dapat
diterapkan pada kasus-kasus lain di berbagai sektor
perekonomian. Kebijakan yang tidak dapat atau sulit untuk
dipahami, tentu saja tidak dapat diharapkan implementasinya,
sekalipun telah dilakukan sosialisasi secara masif dan intensif.
Sebaliknya, kebijakan yang jelas dan mudah dipahami, bukan
hanya membutuhkan sosialisasi secukupnya saja untuk dapat
diterima dengan baik oleh subjek kebijakan tersebut, tetapi
juga akan terinternalisasi dan akhirnya dilaksanakan dengan
kesungguhan dan kesukarelaan.

4. Efektivitas implementasi sebuah kebijakan harus


didukung dengan alokasi dan mobilisasi sumber daya
yang tepat.
Pemanfaatan sumber daya akan mengalami pemborosan dan
tidak tepat sasaran jika kebijakannya sendiri tidak dirumuskan
dengan baik dan dipandu dengan objektif yang jelas dan tegas.
Dari studi kasus atas Perusahaan Pertambangan, kita belajar
bahwa sekalinya objektif untuk tetap beroperasi telah
ditetapkan, maka alokasi sumber daya yang ada dikerahkan
untuk menyediakan berbagai sumber daya yang dibutuhkan
untuk mendukung tercapainya objektif tersebut.

5. Sekalipun suatu kebijakan harus dilaksanakan secara


konsisten, namun kebijakan tersebut juga harus memiliki
fleksibilitas.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 161

Dalam artian, kebijakan tersebut terbuka untuk mengalami


peninjauan kembali dan revisi berdasarkan masukan dan
umpan balik yang diperoleh baik melalui kegiatan monitoring
dan evaluasi rutin, maupun dari keluhan, saran, dan aspirasi
orang-orang yang menjadi subjek kebijakan. Terlebih
kebijakan-kebijakan yang diambil dalam masa pandemi Covid-
19, yang notabene tidak memiliki preseden dan didasarkan
oleh telaahan maupun studi-studi yang masih terus berjalan
dan belum final.
162 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

RINGKASAN
Secara rasional, implementasi kebijakan penanganan pandemi
Covid-19, terutama dalam bentuk penerapan protokol kesehatan dan
pembatasan sosial demi tetap dapat beroperasinya kegiatan
perusahaan, tentu saya memiliki dampak terhadap kehidupan
pekerja/buruh. Kendati demikian, untuk mengonfirmasi asumsi ini,
kami merasa perlu untuk mengategorikan persepsi pekerja antara
mereka yang percaya implementasi kebijakan tersebut berpengaruh
secara signifikan terhadap kehidupan pekerja/buruh mereka yang
percaya sebaliknya. Hasilnya, mayoritas pekerja (86%) berpandangan
bahwa implementasi kebijakan tersebut secara signifikan
memengaruhi kehidupan pekerja/buruh.
Dalam bidang sosial, dampak dari implementasi kebijakan
penanganan Covid-19 terlihat pada beberapa hal. Pembatasan sosial
menyebabkan interaksi dan sosialisasi di antara para karyawan
berkurang, terutama karena mereka tidak bisa berkumpul untuk
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di lingkungan pergaulan atau
pertemanan. Pengurangan perjalanan karyawan dari Dataran Tinggi ke
Dataran Rendah dan sebaliknya juga berpengaruh terhadap
menurunnya kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan oleh para
karyawan bersama keluarga. Hal ini menimbulkan beban psikologis
tersendiri bagi mereka. Sebagian pekerja juga mengeluhkan kejenuhan
yang umumnya dirasakan oleh para karyawan karena adanya
keharusan melakukan tes swab antigen setiap kali hendak keluar dan
masuk ke Dataran Tinggi. Kendati demikian, mereka tetap menyadari
dan memahami pentingnya tes tersebut baik untuk memantau kondisi
kesehatan mereka, melindungi kesehatan keluarganya, maupun
menjaga agar tidak terjadi penularan lokal (local transmission) yang
tidak terkendali di area kerja. Dengan kata lain, kesediaan untuk selalu
melakukan tes swab antigen setiap kali hendak masuk dan keluar ke
Dataran Tinggi merupakan ‘bentuk pengorbanan’ yang harus mereka
kerjakan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 163

Terdapat keterkaitan antara K3 baik dengan produktivitas


perusahaan maupun penghasilan yang diperoleh oleh pekerja/buruh.
Ia menjelaskan, bahwa implementasi kebijakan penanganan Covid-19
dapat membantu pemenuhan ketersediaan sumber daya manusia
(manpower) yang dibutuhkan. Dengan banyaknya jumlah karyawan
yang sehat dan selamat, maka akan semakin terjamin terpenuhinya
jumlah sumber daya manusia yang bekerja sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan. Ketersediaan sumber daya manusia ini sangat diperlukan
dalam semua kegiatan operasional perusahaan agar tetap dapat
berjalan lancar dan mencapai target produksi bulanan maupun
tahunan. Bagi pekerja/buruh sendiri, kualitas K3 yang baik secara
langsung akan berpengaruh terhadap besaran penghasilan yang
diterimakan, khususnya dari bonus-bonus produksi, karena kinerja K3
merupakan salah satu indikator atau syarat penting dalam perhitungan
bonus yang diberikan oleh perusahaan. Dengan demikian, pada konteks
yang lebih luas, penerapan kebijakan penanganan Covid-19 untuk
menjamin kualitas K3 berkontribusi pula dalam membangun hubungan
industrial yang saling menguntungkan selama masa pandemi.
164 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, A. Y., & Rusfiana, Y. (2016). Teori dan Analisis Kebijakan


Publik. http://eprints.ipdn.ac.id/2476/1/BUKU%20-
%20TEORI%20DAN%20ANALISIS%20KEBIJAKAN%20PUBLIK.p
df
Agustino, L. (2020). Analisis Kebijakan Penanganan Wabah Covid-19:
Pengalaman Indonesia. Jurnal Borneo Administrator, 16(2), 253–
270. https://doi.org/10.24258/jba.v16i2.685
Akib, H. (2010). Implementasi Kebijakan: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana. In Haedar Akib/ Jurnal Administrasi Publik (Vol. 1,
Issue 1). https://media.neliti.com/media/publications/97794-ID-
implementasi-kebijakan-apa-mengapa-dan-b.pdf
Budiarti, I. (2008). Serikat Pekerja.
Desrinelti, D., Afifah, M., & Gistituati, N. (2021). Kebijakan Publik:
Konsep Pelaksanaan. JRTI (Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 6(1),
83. https://doi.org/10.29210/3003906000
Dr. H. Tachjan, M. S. (2006). Implementasi Kebijakan Publik.
https://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/02/implementasi_kebijakan_publik_t.pdf
Ernalem, P. :, Pujo, B., & Rifqi, W. M. (2022). Kebijakan Pandemi Covid-
19 Studi Kasus Implementasi pada Industri Pertambangan di
Indonesia.
Hamdi, A. (2001). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Hj. Kasmad, R. (2018). Implementasi Kebijakan Publik.
https://www.researchgate.net/publication/327762798
Kartono. (2020). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dan Pidana
Denda Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Pandemi
Coronavirus Disease (Covid)-19. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar-i, 7(8), 687–694. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i8.16550
Mansur, J. (2021). Implementasi Konsep Pelaksanaan Kebijakan dalam
Publik. AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, VI(II), 324–334.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 165

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/tawassuth/article/view/771
3/4795
Muadi, S., MH, I., & Sofwani, A. (2016). Konsep dan Kajian Teori
Perumusan Kebijakan Publik. Jurnal Review Politik, 06(02).
http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/JRP/article/download/1
078/1012
Nasruddin, R., & Haq, I. (2020). Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. SALAM: Jurnal
Sosial Dan Budaya Syar-i, 7(7).
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i7.15569
PKMK-LAN. (2012). Pengembangan Pola Partisipasi Masyarakat dalam
Proses Kebijakan Publik.
https://perpus.menpan.go.id/uploaded_files/temporary/DigitalC
ollection/NzMyODcwNTJlMzA2NThhNDYxMjA5YjdmOGQzZjE5Z
Dk0MWNiMDczNg==.pdf
Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep Umum Pelaksanaan
Kebijakan Publik. Jurnal Publik, 11(01), 1–12.
www.jurnal.uniga.ac.id
Ristyawati, A. (2020). Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Masa Pandemi Corona Virus 2019 oleh Pemerintah
Sesuai Amanat UUD NRI Tahun 1945. Online Administrative Law &
Governance Journal, 3(2).
https://core.ac.uk/download/pdf/327118089.pdf
Subarsono. (2011). Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan
Aplikasi. Pustaka Pelajar.
Thorik, S. H. (2020). Efektivitas Pembatasan Sosial Berskala Besar Di
Indonesia Dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19. ADALAH:
Buletin Hukum & Keadilan, 4(1).
https://doi.org/10.15408/adalah.v4i1.15506
Utaminingsih, F., & Purnaweni, H. (n.d.). Fenomena-Fenomena yang
terkait Implementasi Kebijakan Retribusi Pasar dalam Menunjang
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Pemalang terkait Peraturan
166 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia

Daerah Kabupaten Pemalang No. 3 Tahun 2012 tentang Retribusi


Jasa Umum. Retrieved November 21, 2022, from
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/downloa
d/22026/20271
Widodo, P., & Bangun, E. (n.d.). Kebijakan Pandemi Covid 19Bagi
Buruh/Pekerja Perusahaan di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-
19.
Tentang Penulis | 169

TENTANG PENULIS

1. Dr. Ernalem Bangun, M.A, CIQaR, adalah


Dosen Tetap Universitas Pertahanan RI,
Lulusan Doktoral Antropologi FISIP
Universitas Indonesia Jakarta. dengan
Disertasi berjudul Politik Identitas Etnis
Cina. Penulis aktif dalam kegiatan publikasi,
menulis dan melakukan pengabdian kepada
masyarakat, diantaranya sebagai Perwira
Kordinator Warga Kristiani Kemhan 2008 –
2015, Anggoa LSF, Ketua Bidang Publikasi
KORPRI Kemhan, Pengawas Koperasi
Balitbang Kemhan, dan lain sebagainya.
Penugasan ke luar negeri seperti Jerman, Korea Selatan, China, dan
Philipina sudah penulis tempuh dalam karirnya.

2, Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A.,


M.Si. Saat ini penulis berprofesi sebagai Dekan
Fakultas Keamanan Nasional, Universitas
Pertahanan RI. disamping perannya sebagai
Mayor Jendral TNI. Tugas sebagai militer ke
berbagai negara menjadikan penulis
menguasai berbagai bahasa asing secara aktif,
selain bahasa Inggris, seperti bahasa Jerman,
Jepang dan Spanyol dan bahasa lainnya. Beliau
aktif menulis dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di Universitas Pertahanan RI
dengan berbagai mata kuliah yang diampunya.
Berbagai penghargaan dan setya lencana sudah banyak diperoleh
penulis seperti Satyalancana Kesetiaan VIII dan Satyalancana Seroja
Ulangan II.
170 | Tentang Penulis

TENTANG PENULIS

3. Muhammad Rifqi, S.Hum., M.Si, adalah


seorang dosen di Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Ia telah
memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun dalam
penelitian ilmu sosial dan telah berkolaborasi
dengan para penulis dan peneliti dari berbagai
disiplin ilmu untuk menghasilkan publikasi
dan penelitian dalam berbagai subjek, mulai
dari catatan antropologis tentang kehidupan
sosial masyarakat tradisional di pulau-pulau
terpencil di Indonesia hingga isu-isu
lingkungan di seluruh nusantara Indonesia.
Minat akademis utamanya, yang mendasari sebagian besar karyanya,
adalah penyelidikan ontologis kehidupan sosial manusia dan non-
manusia.
Tentang Penulis | 171

Anda mungkin juga menyukai