Penulis:
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Muhammad Rifqi, S.Hum., M.Si
Penulis:
Dr. Ernalem Bangun, M.A., CIQaR
Dr. Ir. Pujo Widodo, S.E., S.H., S.T., M.A., M.Si., M.D.S., M.Si (Han)
Muhammad Rifqi, S.Hum., M.Si
Office: Intan Regency Blok W No 13, Jln. Otto Iskandardinata, Tarogong Kidul –
Garut, Jawa Barat. Kode Pos: 44151. Telp / Wa Bisnis: +6281-2222-3230
Email: aksaraglobalpublications@gmail.com - aksaraglobal.info@aksaraglobal.info
Link Bio: https://campsite.bio/aksaraglobalakademia
Website: https://www.aksaraglobal.co.id - www.aksaraglobal.com
ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.
iii
Kata Pengantar
S
egala puji ke hadirat Allah yang Maha Bijak. Kalimat syukur kami
panjatkan kepada-Nya, yang telah memberikan nikmat
kesempatan dan kesehatan, sehingga penulisan buku mengenai
implementasi kebijakan menghadapi pandemi Covid-19 pada industri
pertambangan ini dapat berjalan lancar.
Buku ini merupakan buah dari kolaborasi dan kerja sama berbagai
pihak. Oleh karenanya, sudah sepatutnya kami menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang turut andil,
sesederhana apa pun kontribusinya, terutama kepada Vice President
Perusahaan Pertambangan, Ketua DPP FPE KSBSI, Sekretaris Jenderal
DPP FPE KSBSI, Legal Perusahaan Pertambangan, jajaran DPC FPE dan
PK FPE Perusahaan Pertambangan, serta seluruh informan yang
terlibat dalam penelitian ini, baik dari kalangan manajemen
Perusahaan Pertambangan, serikat pekerja/buruh, maupun karyawan
Perusahaan Pertambangan dan perusahaan-perusahaan
subkontraktornya (SC).
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Namun,
ketidaksempurnaan justru peluang akan adanya perbaikan dan
peningkatan mutu. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kami
membuka diri atas kritik, saran, dan masukan baik dari para pemangku
kepentingan maupun pembaca pada umumnya, sebagai bahan evaluasi
dan perbaikan di kemudian hari.
Demikian buku ini kami susun dengan sebaik-baiknya. Semoga
buku ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, dan
sebagaimana tujuan awalnya ia ditulis, dapat pula menjadi bahan
masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang bekerja
keras dan terlibat langsung dalam penanganan pandemi Covid-19.
iv
Sinopsis
B
uku ini membahas mengenai dampak pandemi Covid-19 yang
merupakan kejadian luar biasa yang tidak ada presedennya. Oleh
karena itu, InterofficeMemorandum-nya, manajemen Perusahaan
Pertambangan memahami bahwa “Tidak ada suatu jalan yang jelas
untuk mitigasi COVID-19”. Upaya mitigasi penyebaran virus ini
melibatkan isu-isu medis dan ekonomi yang sangat kompleks, yang
membutuhkan berbagai strategi untuk mengurangi dampak virus. Pada
industri pertambangan, pandemi telah menciptakan tingkat
ketidakpastian yang tinggi di pasar komoditas logam, sehingga harga
tembaga mengalami penurunan yang signifikan. Bagi Perusahaan
Pertambangan sendiri, hal ini terjadi pada saat yang sulit karena
Perusahaan Pertambangan tengah berada dalam periode produksi
yang rendah dan sedang berinvestasi besar-besaran untuk operasi
tambang bawah tanah yang penting bagi masa depan Perusahaan
Pertambangan.
Merespons kondisi global tersebut, Perusahaan Pertambangan
kemudian mengumumkan rencana operasi yang telah direvisi, dalam
mana dilakukan pengurangan pengeluaran modal, tingkat produksi
yang lebih rendah, serta biaya operasi, administrasi, dan eksplorasi
yang lebih rendah untuk menjaga kekuatan finansial perusahaan. Di
tengah situasi tidak menentu dan ketidakpastian di atas, suatu
kebijakan tetap saja tidak boleh dirumuskan dan diimplementasikan
secara membabi buta, tanpa kejelasan langkah dan arah. Oleh karena
itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama masa pandemi,
khususnya dalam rangka pencegahan penularan dan penyebaran
Covid-19, diorientasikan pada sebuah objektif yang telah diputuskan:
bahwa Perusahaan Pertambangan harus tetap beroperasi dengan
memperhatikan kesehatan, keamanan, dan keselamatan semua
karyawannya. Dalam buku ini secara umum menjelaskan tentang
kebijakan Perusahaan Pertambangan dalam pencegahan penularan
dan penyebaran Covid-19 mengikuti kebijakan yang telah dikeluarkan
v
oleh pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga aturan
pelaksanaannya di tingkat Kabupaten, lokasi di mana Perusahaan
Pertambangan beroperasi. Di antara kebijakan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Melaksanakan protokol pencegahan penularan dan penyebaran
Covid19, yakni “menjaga jarak fisik, mempraktikkan kebersihan
pribadi, mengenakan masker di tempat umum, dan melapor ke
dokter jika mengalami gejala”.
2. Di area kerja (jobsite), Perusahaan Pertambangan “menerapkan
pembatasan perjalanan, persyaratan penjagaan jarak fisik, dan
pengujian/testing untuk membantu menentukan siapa yang
membutuhkan karantina dan isolasi diri”.
3. Menganjurkan kepada karyawan yang yakin atau diberi tahu
oleh staf medis bahwa dirinya memiliki kondisi berisiko tinggi,
untuk kembali ke daerah asalnya dan melakukan isolasi diri.
“Para karyawan Perusahaan Pertambangan akan terus
menerima gaji dan tunjangan, tetapi pada tingkat yang lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang tetap bekerja”.
4. Memperluas kemampuan perawatan medis di Rumah Sakit dan
mengubah Klinik menjadi fasilitas rawat inap. International SOS
menyediakan staf medis tambahan dan peralatan pendukung
untuk membantu memastikan perawatan medis tersedia sesuai
kebutuhan.
vii
Daftar Isi
URAIAN HAL
HALAMAN COVER i
HALAMAN COPYRIGHT ii
KATA PENGANTAR iv
SINOPSIS v
DAFTAR ISI viii
BAB I 1
Pembatasan Sosial
Bab Il 21
Perumusan Kebijakan
BAB III 55
Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19
BAB IV 89
Kebijakan Perusahaan
BAB V 95
Konsep Pelaksanaan Kebijakan
BAB VI 107
Peran Serikat Pekerja/Buruh
BAB VII 135
Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan
Penanganan Pandemi Covid-19
DAFTAR PUSTAKA 165
TENTANG PENULIS 169
viii
Kebijakan Pandemi Covid-19| 1
BAB I
PEMBATASAN SOSIAL
2 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB I
PEMBATASAN SOSIAL
1.1 PENDAHULUAN
Terjadinya pandemi Covid-19 sejak awal 2020 hingga saat ini tentu
saja berpengaruh terhadap hampir semua aspek kehidupan, khususnya
dua yang paling kerap disorot, yakni aspek kesehatan dan sosial-
ekonomi. Situasi pandemi merupakan situasi rumit, di mana kebijakan
dan langkah-langkah penanganan yang diambil dan dilaksanakan juga
mengakibatkan dampak-dampak yang tidak dapat diabaikan, termasuk
di bidang ketenagakerjaan.
Kondisi saat ini virus corona bukanlah suatu wabah yang bisa
diabaikan begitu saja tanpa memperhatikan diri untuk menjaga
kesehatan. Jika dilihat dari gejalanya, orang yang tanpa pengetahuan
lebih akan mengiranya hanya sebatas influenza biasa atau penyakit
ringan saja, tetapi bagi analisis kedokteran virus ini cukup berbahaya
dan mematikan. Di tahun 2020, perkembangan permulaan virus ini
cukup signifikan karena penyebarannya sudah mendunia dan seluruh
negara merasakan dampaknya termasuk negara kita sendiri, Indonesia.
Pemerintah menerapkan pembatasan sosial demi memutus mata
rantai penyebaran virus corona. Meskipun banyak fasilitas umum yang
ditutup, namun beberapa sektor vital seperti fasilitas kesehatan, pasar
atau minimarket tetap buka selama masa pembatasan sosial.
Masyarakat pun mendukung opsi tersebut karena dianggap mampu
mencegah penularan penyakit namun tetap menjaga daya beli
masyarakat.
Langkah pembatasan sosial adalah strategi yang efektif untuk
memutuskan mata rantai penyebaran virus corona. Tentu saja hal ini
harus didasari oleh kesadaran masyarakat untuk tidak berkumpul dan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 3
Selain itu, syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk
mendapatkan ketetapan PSBB juga dipertegas dalam Permenkes
Nomor 9 Tahun 2020 yang terdapat pada Pasal 2: Untuk dapat
ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah
provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat
dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau
negara lain.
Secara mekanisme syaratnya dapat dijabarkan bahwa beberapa
kriteria yang telah disebutkan harus diajukan oleh kepala daerah, baik
gubernur/ bupati maupun wali kota dengan mengajukan data adanya
peningkatan jumlah kasus, adanya peningkatan jumlah penyebaran
menurut waktu, serta adanya kejadian transmisi lokal. Data tersebut
kemudian harus disertai dengan adanya kurva epidemiologi yang
menyatakan telah terjadinya penularan di wilayah tersebut. Selain itu,
dalam mengajukan permohonan PSBB, kepala daerah perlu
menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek
ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana prasarana
kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan
aspek keamanan.
Setelah permohonan tersebut diajukan, Menteri Kesehatan akan
membentuk tim khusus yang bekerja sama dengan Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Virus Corona untuk melakukan kajian
epidemiologis, dengan mempertimbangkan aspek kesiapan daerah
yang bersangkutan. Nantinya, tim khusus ini memberikan rekomendasi
kepada Menteri Kesehatan untuk memberlakukan PSBB. Namun,
10 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
menjadi lebih lamban atau kurang sigap karena salah satunya adalah
harus melalui mekanisme yang terlalu panjang (Ristyawati, 2020).
RINGKASAN
Pandemi Covid-19 telah mendatangkan dampak yang luar biasa
besar di bidang sosial-ekonomi. Selama tahun 2020 perekonomian
dunia mengalami kelesuan, dengan pertumbuhan ekonomi yang
melambat. Bahkan di beberapa negara, termasuk Indonesia,
pemerintah secara resmi mengumumkan terjadinya resesi. Kendati
demikian, dampak ini sebenarnya tidak berasal dari penyakit Covid-19
itu sendiri. Dampak ini justru merupakan harga yang harus dibayar dari
penerapan kebijakan penanganan pandemi yang bertumpu pada
pembatasan sosial.
Dalam penanganan pandemi Covid-19 pada tanggal 31 Maret 2020
pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu
diantaranya adalah:
1. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
BAB II
PERUMUSAN KEBIJAKAN
22 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB II
PERUMUSAN KEBIJAKAN
2.1 PENDAHULUAN
Perkembangan studi kebijakan publik semakin kuat sebagai akibat
terjadinya perubahan lingkungan birokrasi publik. Meningkatnya
rasionalitas masyarakat sebagai akibat dari keberhasilan
pembangunan sosial ekonomi, telah memunculkan berbagai tantangan
baru bagi birokrasi publik. Salah satunya adalah semakin besarnya
tuntutan akan kualitas kebijakan yang lebih baik. Ini mendorong
munculnya minat untuk mempelajari studi kebijakan publik. Keinginan
untuk mewujudkan otonomi daerah yang kuat juga mendorong
perlunya perubahan orientasi pejabat birokrasi di daerah dan
peningkatan kemampuan mereka dalam perumusan dan perencanaan
kebijakan dan program pembangunan.
Keluhan dan kritik masyarakat itu tentunya tidak bisa diabaikan
oleh pemerintah, kalau pemerintah tidak ingin kehilangan simpati dan
pengaruh terhadap masyarakat. Tuntutan akan kualitas kebijakan
pemerintah yang semakin baik, yang dapat memaksimalkan manfaat
untuk sebagian besar masyarakat, telah menyadarkan pemerintah akan
perlunya mereka meningkatkan kemampuan aparat mereka dalam
perumusan dan perencanaan kebijakan. Hal ini ditandai dengan
banyaknya aparat pemerintah yang kuliah lagi untuk mempelajari
teori-teori administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di
Indonesia. Ini tentunya memiliki kontribusi positif terhadap
perkembangan studi kebijakan publik di Indonesia.
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus menerus,
karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan. Siklus kebijakan
meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Parsons,
Kebijakan Pandemi Covid-19| 23
voice), seperti dijelaskan oleh Parson (1997). Hal ini disebabkan oleh
proses pembuatan kebijakan pada esensinya tidak pernah bebas nilai
(value free) sehingga berbagai kepentingan akan selalu mempengaruhi
proses pembuatan kebijakan.
Mengikuti pendapat Anderson, Bintoro Tjokroamidjojo (1976),
Bapak Administrasi Pembangunan Indonesia, mengemukakan bahwa
“Policy Fomulation sama dengan Policy Making, dan ini berbeda dengan
decision making (pengambilan keputusan)”. Policy making memiliki
konteks pengertian yang lebih luas dari decision making. Sedangkan
William R. Dhall (1972) mendefinisikan decision making sebagai
pemilihan atas pelbagai macam alternatif. Sementara Nigro dan Nigro
(1980) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan mutlak yang dapat
dibuat antara pengambilan keputusan decision making dengan
pembuatan kebijakan (policy making), karena itu, setiap pembuatan
kebijakan adalah suatu pembuatan keputusan. Akan tetapi,
pengambilan kebijakan membentuk rangkaian-rangkaian tindakan
yang mengarah ke banyak macam keputusan yang dibuat dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Selanjutnya, Tjokroamidjojo (1976) menegaskan bahwa “apabila
pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai, maka maka
kegiatan tersebut disebut pengambilan keputusan; sebaliknya bila
pemilihan alternatif itu terus-menerus dilakukan dan tidak pernah
selesai, maka kegiatan tersebut dinamakan perumusan kebijakan.
Dengan demikian, pengertian perumusan kebijakan menyangkut
suatu proses yang terdiri dari sejumlah langkah-langkah. Ripley (1985)
menjelaskan beberapa langkah dalam kebijakan publik, yaitu:
1. Agenda setting
2. Formulation dan legitimination
3. Program Implementations
4. Evaluation of implementation, performance, and impacts
5. Decisions about the future of the policy and program
Kebijakan Pandemi Covid-19| 25
d) Media massa;
e) Opini publik;
f) Kelompok sasaran kebijakan (beneficiaries);
g) Lembaga-lembaga donor.
1. Model Sistem-politik
Model ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton. Model
ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (inputs, withinputs,
outputs dan feedback) dan memandang kebijakan sebagai respon suatu
sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (dalam hal ini
yaitu sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya)
yang ada di sekitarnya.
Konsep “sistem” itu sendiri menunjuk pada seperangkat lembaga
dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat sehingga model ini
memandang kebijakan sebagai hasil (output) dari sistem politik yang
berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-
dukungan (supports), dan sumber-sumber (resources), menjadikan ini
semua adalah masukan–masukan (inputs), di mana masukan atau
inputs ini menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang
otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Konsep “sistem”
ini juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen
yang membangun sistem politik serta mempu-nyai kemampuan
menanggapi kekuatan dalam lingkungannya. Inputs yang sudah
diterima oleh sistem politik dijadikan dalam bentuk tuntutan dan
dukungan (Islamy, 2004: 45).
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh
Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan
kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para
pembuat kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model ini
mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan terdiri dari
interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat kebijakan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 37
3. Model Inkrementalis
Model ini merupakan model penambahan (inkrementalis). Model ini
lahir berdasarkan kritik dan perbaikan terhadap model rasional-
komprehensif dengan mengubah (memodifikasi) sedikit-sedikit
kebijakan yang sudah dibuat oleh model rasional komprehensif
(Islamy,2004: 59). Dijelaskan bahwa para pembuat kebijakan
dalammodel rasional komprehensif tidak pernah melakukan proses
Kebijakan Pandemi Covid-19| 41
RINGKASAN
BAB III
KEBIJAKAN PENANGANAN
PANDEMI COVID-19
56 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB III
KEBIJAKAN PENANGANAN PANDEMI COVID-19
3.1 PENDAHULUAN
Sejak munculnya dua kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia
pada 2 Maret 2020, hingga laporan ini dibuat sudah lebih dari satu
tahun penyakit tersebut merebak di Indonesia. Berdasarkan data
terakhir per 19 April 2021 yang dipublikasikan dalam situs resmi
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pemerintah RI, jumlah kasus
terkonfirmasi positif di seluruh Indonesia mencapai 1.604.348 kasus,
di mana 1.455.065 (90,7%) di antaranya telah dinyatakan sembuh dan
43.424 (2,7%) meninggal dunia. Dengan demikian, pada saat laporan
ini ditulis terdapat 105.859 (6,6%) kasus aktif (Covid19.go.id, 2021).
Selama periode kurang lebih sebelas bulan, pembatasan sosial,
pelaksanaan protokol kesehatan, dan penerapan Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) menjadi strategi utama, bahkan dapat dikatakan strategi
satu-satunya, untuk menghadapi ancaman penularan dan penyebaran
virus corona. Hal ini dikarenakan sebagai sebuah penyakit baru, belum
ditemukan vaksin untuk Covid-19. Baru pada akhir 2020 berbagai riset
untuk menemukan vaksin tersebut di beberapa negara, termasuk
Indonesia, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Selanjutnya,
pada Januari 2021 vaksinasi Covid-19 di Indonesia dapat dimulai.
Untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity) demi
menghentikan penularan dan penyebaran virus corona, diperlukan
setidaknya 70% (182 juta orang) persen penduduk Indonesia
menerima vaksinasi. Untuk itu, pemerintah merencanakan program
vaksinasi secara bertahap, di mana tahap pertama diprioritaskan untuk
Kebijakan Pandemi Covid-19| 57
(2) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) berupa sembako dengan model
transfer ke rekening KPM dengan indeks bantuan sebesar Rp
200,000 per KPM dengan harapan bahwa uang tersebut kemudian
dapat digunakan untuk belanja sembako ke toko atau warung yang
sudah bekerja sama dengan pihak perbankan. Bantuan ini diberikan
setiap bulan dengan tujuan untuk:
a. Mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan
sebagian kebutuhan pangan.
b. Memberikan gizi yang lebih seimbang kepada KPM.
c. Meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, jumlah, harga, kualitas,
administrasi; dan memberikan pilihan dan kendali kepada KPM
dalam memenuhi kebutuhan pangan (Febriana, 2020).
kebijakan yang ada saat ini sudah “sangat baik”, sementara seperempat
(25%) dari jumlah keseluruhan pekerja menilai “baik”. Dari
keseluruhan jumlah pekerja, hanya 4% saja yang menilai kebijakan
yang ada saat ini “buruk”. Dengan demikian, mayoritas pekerja (76%)
memiliki penilaian yang positif terhadap kebijakan penanganan
pandemi Covid-19. Lebih rinci, persepsi para pekerja tersebut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
4%
RINGKASAN
Selama periode kurang lebih sebelas bulan, pembatasan sosial,
pelaksanaan protokol kesehatan, dan penerapan Pola Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) menjadi strategi utama, bahkan dapat dikatakan strategi
satu-satunya, untuk menghadapi ancaman penularan dan penyebaran
virus corona. Hal ini dikarenakan sebagai sebuah penyakit baru, belum
ditemukan vaksin untuk Covid-19. Baru pada akhir 2020 berbagai riset
untuk menemukan vaksin tersebut di beberapa negara, termasuk
Indonesia, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Selanjutnya,
pada Januari 2021 vaksinasi Covid-19 di Indonesia dapat dimulai.
Kebijakan (policy) adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan
instrumen pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya
menyangkut aparatur Negara, tetapi juga governance yang menyentuh
pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya
alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik (Suharto, 2008).
Merespons masifnya penyebaran Covid-19, pemerintah RI
melakukan pembatasan mobilisasi dan interaksi antar manusia melalui
kebijakan-kebijakan untuk memutus rantai penularan. Lima protokol
utama berkaitan dengan Covid-19 juga diberlakukan, yaitu Protokol
Kesehatan, Protokol Komunikasi, Protokol Pengawasan Perbatasan,
Protokol Area Institusi Pendidikan, serta Protokol Area Publik dan
Transportasi (Infeksi Emerging, 2020). Kebijakan lain yang juga
dikeluarkan oleh pemerintah yaitu berupa Keputusan Presiden (oleh
Presiden Joko Widodo) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19. Selain kebijakan-kebijakan tersebut,
pemerintah RI memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sejak April 2020 yang memberikan dampak besar pada
kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama pada sektor
88 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB IV
KEBIJAKAN PERUSAHAAN
90 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB IV
KEBIJAKAN PERUSAHAAN
4.1 PENDAHULUAN
Bukan hanya pemerintah pusat dan daerah, perusahaan-
perusahaan di Indonesia – dalam hal ini khususnya perusahaan
multinasional – memiliki kebijakan tersendiri yang ditujukan kepada
para karyawan/pekerja/buruh dalam menjalankan aktivitas di tengah
pandemi Covid-19. Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwa para
pelaku usaha merasa terancam oleh adanya pandemi dan
diberlakukannya kebijakan WFH (Work from Home) oleh pemerintah
karena berimbas pada ruang gerak perusahaan serta menyangkut
kelangsungan hidup para pekerjanya. Hal ini terjadi karena perusahaan
tersebut tidak mendapat pemasukan yang disebabkan oleh terhentinya
produksi sehingga menimbulkan PHK, upah yang tidak terbayar, dan
sengketa lain antara perusahaan dan pekerja (Info Hukum, 2020). Oleh
karena itu, perusahaan kemudian mengambil keputusan-keputusan
dalam merespon terjadinya pandemi Covid-19, namun memberikan
perhatian pula pada para pekerjanya.
RINGKASAN
Perusahaan-perusahaan di Indonesia – dalam hal ini khususnya
perusahaan multinasional – memiliki kebijakan tersendiri yang
ditujukan kepada para karyawan/pekerja/buruh dalam menjalankan
aktivitas di tengah pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan dibuat oleh
perusahaan baik menurut aturan dari pemerintah maupun inisiatif
perusahaan itu sendiri untuk memutus penularan Covid-19. Adapun
kebijakan yang berasal dari inisiatif perusahaan itu sendiri salah
satunya adalah mengadakan kerja sama antara Federasi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia, APINDO, API and APRISINDO
untuk melindungi keselamatan dan kesehatan, kelangsungan usaha dan
kesejahteraan pekerja/buruh di sektor garmen/alas kaki Indonesia.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 95
BAB V
KONSEP PELAKSANAAN
KEBIJAKAN
96 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB V
KONSEP PELAKSANAAN KEBIJAKAN
5.1 PENDAHULUAN
RINGKASAN
Pelaksanaan kebijakan secara sederhana adalah pelaksanaan atau
penerapan suatu kebijakan. Pelaksanaan kebijakan bermuara pada
aktivitas, aksi, tindakan, atau mekanisme yang dibingkai pada suatu
sistem tertentu. Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan
terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan
norma tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu
(Warjio Afandi.2015)
Pelaksanaan kebijakan merupakan sebuah proses yang bertahap
yang dilakukan setelah kebijakan dilahirkan dan sebelum diketahui
dampak yang dihasilkan. Pelaksanaan kebijakan publik dipengaruhi
oleh beberapa aspek yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Aspek tersebut antara lain:
(1) Struktur Birokrasi/Kewenangan
(2) Komunikasi
(3) Sumber Daya
(4) Disposisi atau Sikap dari Pelaksana
106 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Kebijakan Pandemi Covid-19| 107
BAB VI
PERAN SERIKAT
PEKERJA/BURUH
108 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB VI
PERAN SERIKAT PEKERJA/BURUH
6.1 PENDAHULUAN
Industri atau perusahaan adalah kombinasi dari modal, manajemen
dan pekerja. Mereka adalah suatu kesatuan yang terpisah dan
mempunyai motivasi yang berbeda pula. Pemodal adalah yang
menanamkan modal perhatian utama mereka adalah untuk mendapat
keuntungan semaksimal mungkin. Manajemen selalu berada di sana
untuk melindungi kepentingan dari para pemodal. Pada prosesnya,
pekerja selalu menjadi korban eksploitasi mereka. Sebagai partner dari
industri, pekerja menginginkan keadilan dan mendapatkan
“kembalian-hak” sebagai hasil pelaksana industri.
Tentunya pekerja mempunyai kekuatan untuk menghilangkan
permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi
pelayanan kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya. Tetapi secara
individual pekerja tidak mampu untuk berjuang atas hak-haknya
melawan hebatnya kombinasi antara pemodal dan manajemen di mana
mereka mempunyai kekuasaan, uang dan pengaruh.
Pekerja harus mengetahui dan memahami bahwa sebagai
perseorangan dan pekerja tidak akan banyak yang bisa dicapai. Hanya
melalui usaha mengorganisir dirinya dan kegiatan kolektif mereka
dapat secara efektif menjunjung tinggi martabatnya sebagai individu
dan pekerja, menghormati perintah dari pengusaha - berusaha keras
untuk memperbaiki dan memelihara mata pencaharian, meningkatkan
pengupahan, status sosial ekonomi, kesejahteraan yang lebih baik dan
upah – upah lainnya.
Organisasi yang dibutuhkan pekerja adalah serikat pekerja, tetapi
kenyataannya banyak pekerja tidak menyadari bahwa Serikat Pekerja
Kebijakan Pandemi Covid-19| 109
adalah hak yang melekat bagi pekerja (Worker Rights is Human Rights)
seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Pasal 23: ayat (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak bebas
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan akan pengangguran;
ayat (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang
sama untuk pekerjaan yang sama; ayat (3) Setiap orang yang bekerja
berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang
memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik dirinya sendiri
maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan
sosial lainnya; ayat (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki
serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi juga
dituangkan dalam Konvensi ILO No. 87 Tahun 1956 (Freedom Of
Association and Protection Of The Right to Organise) di mana
pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui Keppres No. 83
tahun 1998; pasal (2) Para Pekerja dan Pengusaha, tanpa perbedaan
apa pun, berhak untuk mendirikan dan, menurut aturan organisasi
masing-masing, bergabung dengan organisasi – organisasi lain atas
pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain; pasal (4) Organisasi
pekerja dan pengusaha tidak boleh dibubarkan atau dilarang
kegiatannya oleh penguasa administratif (Budiarti, 2008).
16%
11%
Terlibat
Tidak
89%
menjalankan rapid test pada waktu day off dan kembali bekerja. Selain
itu, mereka juga menyampaikan banyaknya keluhan terkait
pelaksanaan karantina/isolasi bagi para pekerja/buruh yang berstatus
suspek. Melihat betapa dinamisnya pelaksanaan kebijakan penanganan
Covid-19, seorang pekerja mengungkapkan, “Dengan berjalannya
waktu selalu ada review sesama Tim Covid-19 Perusahaan
Pertambangan. Dan banyak terjadi diskusi hal-hal yang belum berjalan
dengan baik”. Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan serikat
pekerja/buruh dalam memberikan umpan balik, serta ketepatan
perusahaan dalam meresponsnya, merupakan hal yang krusial untuk
selalu memperbaiki dan mengoptimalkan kebijakan yang ada dari
waktu ke waktu.
Umpan balik lain yang disampaikan serikat pekerja/buruh kepada
manajemen perusahaan adalah menyoal bentuk-bentuk dukungan
yang dapat diberikan agar pekerja/buruh dapat berkontribusi dalam
pencegahan penularan dan penyebaran virus corona secara efektif. Hal
ini dilatarbelakangi adanya keluhan terkait menu makan yang tidak
mencukupi dari segi keseimbangan gizi untuk meningkatkan imunitas
tubuh, serta meningkatnya kebutuhan akan multivitamin.
Terakhir, serikat pekerja/buruh meminta perusahaan untuk tidak
membuat kebijakan perusahaan yang meresahkan atau mengecewakan
pekerja/buruh, sementara motivasi kerja sedang dalam kondisi yang
tidak normal akibat terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Setiap
kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan syarat kerja serta hak
dan kewajiban karyawan selama masa pandemi seharusnya disusun
dengan melibatkan pihak serikat pekerja/buruh, salah satunya dengan
menyelenggarakan diskusi formal untuk melakukan review terhadap
kebijakan yang diambil.
Secara umum, berbagai umpan balik yang disampaikan oleh serikat
pekerja/buruh selalu direspons dengan baik oleh perusahaan. Tindak
lanjut terhadap berbagai umpan balik tersebut selalu dituangkan dalam
IOM yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan. Tidak jarang pula
120 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Sangat efektif
21%
42% Efektif
Cukup
34% Kurang efektif
Keluarga 3.9
Serikat Pekerja/Buruh di perusahaan tempat bekerja 3.9
Tokoh masyarakat/pemuka agama 3.7
Manajemen perusahaan tempat bekerja 3.6
Pemerintah Provinsi 3.5
Pemerintah Pusat 3.5
Media massa elektronik (radio, televisi, portal… 3.4
Kolega/rekan pekerja/buruh di satu perusahaan 3.4
Pemerintah Kabupaten/Kota 3.4
Tokoh masyarakat/tokoh adat 3.4
Media massa cetak (koran, tabloid, majalah, dll.) 3.3
Teman (bukan sesama pekerja/buruh di satu… 2.9
Media sosial (email, Facebook, Twitter, Instagram,… 2.9
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
RINGKASAN
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya. Serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh
para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan.
Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat
pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang
tidak bekerja di perusahaan. Federasi serikat pekerja/serikat buruh
adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. Konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat
pekerja/serikat buruh (Hamdi, 2001).
Pihak serikat pekerja/buruh memiliki peran yang relatif kecil dalam
tahap perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di tingkat
pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang menunjukkan
bahwa mayoritas pekerja (53%) menilai serikat pekerja/buruh tidak
memiliki peran langsung dalam perumusan kebijakan. Hal berbeda
terjadi pada tingkat perusahaan, di mana mayoritas pekerja (84%)
menilai bahwa serikat pekerja/buruh memiliki keterlibatan langsung
dalam perumusan kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
Secara umum, berbagai umpan balik yang disampaikan oleh serikat
pekerja/buruh selalu direspons dengan baik oleh perusahaan. Tindak
lanjut terhadap berbagai umpan balik tersebut selalu dituangkan dalam
IOM yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan. Tidak jarang pula
manajemen perusahaan melakukan revisi terhadap kebijakan-
kebijakan yang ada dalam rangka peningkatan efektivitas penanganan
Covid-19 dan penjaminan atas hak-hak karyawan.
134 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
Kebijakan Pandemi Covid-19| 135
BAB VII
EVALUASI DAMPAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENANGANAN PANDEMI
COVID-19
136 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
BAB VII
EVALUASI DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENANGANAN PANDEMI COVID-19
7.1 PENDAHULUAN
Sampai awal tahun 1970-an, implementasi dianggap sebagai hal
yang tidak problematis dalam pengertian kebijakan, karena
diasumsikan bahwa setelah diambil suatu kebijakan, maka selanjutnya
perlu dilaksanakan begitu saja. Pandangan ini mulai berubah sejak
dipublikasikannya hasil penelitian dari Pressman dan Wildavsky yang
berjudul Implementation pada tahun 1973. Mereka meneliti program-
program pemerintah federal untuk para penduduk inner-city dari
Oakland, California, yang menganggur, hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa program-program penciptaan lapangan kerja
ternyata tidak dilaksanakan dengan cara seperti yang diantisipasi oleh
para pengambil kebijakan. Penelitian-penelitian lainnya juga
mengkonfirmasi bahwa program-program Great Society yang
dilaksanakan oleh pemerintahan Johson (1963-1968) di Amerika
Serikat, tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan dan bahwa
masalahnya adalah dalam cara pelaksanaan program tersebut.
Penelitian-penelitian di negara lain juga, seperti di Inggris pada awal
tahun 1970-an ditemukan bukti yang sama, bahwa pemerintah
ternyata tidak berhasil dalam mewujudkan kebijakan yang bermaksud
untuk menimbulkan reformasi sosial.
Sebagian di antara studi ini telah menghasilkan analisis dan
preskripsi bahwa implementasi kebijakan harus merupakan suatu
proses “top-down” dalam kaitannya dengan apa yang dilakukan oleh
para implementor agar pelaksanaan kebijakan mereka dapat
Kebijakan Pandemi Covid-19| 137
“implere” dimaksudkan “to fill up”; “to fill in”, yang artinya mengisi
penuh; melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to fill”, yaitu
mengisi.
Selanjutnya kata “to implement” dimaksudkan sebagai : “(1) to carry
into effect; to fulfill; accomplish. (2) to provide with the means for
carrying out into effect or fulfilling; to give practical effect to. (3) to
provide or equip with implements” (Webster's Dictionary, 1979 : 914).
Pertama, to implement dimaksudkan “membawa ke suatu hasil
(akibat); melengkapi dan menyelesaikan”. Kedua, to implement
dimaksudkan “menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan
sesuatu; memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesuatu”.
Ketiga, to implement dimaksudkan menyediakan atau melengkapi
dengan alat”.
Sehubungan dengan kata implementasi di atas, Pressman dan
Wildavsky (1978 : xxi) mengemukakan bahwa, “implementation as to
carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Maksudnya :
membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi.
Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai
suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan
dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan
kebijakan, maka kata implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai
aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan yang telah
ditetapkan/ disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Dengan demikian, implementasi kebijakan merupakan tahapan
yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang
dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Anderson
(1978 : 25) mengemukakan bahwa : “Policy implementation is the
application af the policy by the government's administrative machinery
to the problem”. Kemudian Edwards III (1980 : 1) mengemukakan
bahwa : “Policy implementation, ... is the stage of policy making between
the establishment of a policy ... and the consequences of the policy for the
people whom it affects”. Sedangkan Grindle (1980 : 6) mengemukakan
Kebijakan Pandemi Covid-19| 139
14%
Berpengaruh
Tidak berpengaruh
86%
4% 4%
Ekonomi
3%
3%3% Kesehatan
4%
Sosial
40% 42%
29% 20% Pola hidup
Pangan
Kualitas hidup
Keluarga
27%
Produksi
21%
Keterangan:
Lingkaran luar berdasarkan perspektif pengurus serikat pekerja/buruh,
sementara lingkaran dalam berdasarkan perspektif karyawan
2
Pendapatan normal
6 9%
27%
Ada insentif
8
37% Pendapatan berkurang
RINGKASAN
Secara rasional, implementasi kebijakan penanganan pandemi
Covid-19, terutama dalam bentuk penerapan protokol kesehatan dan
pembatasan sosial demi tetap dapat beroperasinya kegiatan
perusahaan, tentu saya memiliki dampak terhadap kehidupan
pekerja/buruh. Kendati demikian, untuk mengonfirmasi asumsi ini,
kami merasa perlu untuk mengategorikan persepsi pekerja antara
mereka yang percaya implementasi kebijakan tersebut berpengaruh
secara signifikan terhadap kehidupan pekerja/buruh mereka yang
percaya sebaliknya. Hasilnya, mayoritas pekerja (86%) berpandangan
bahwa implementasi kebijakan tersebut secara signifikan
memengaruhi kehidupan pekerja/buruh.
Dalam bidang sosial, dampak dari implementasi kebijakan
penanganan Covid-19 terlihat pada beberapa hal. Pembatasan sosial
menyebabkan interaksi dan sosialisasi di antara para karyawan
berkurang, terutama karena mereka tidak bisa berkumpul untuk
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di lingkungan pergaulan atau
pertemanan. Pengurangan perjalanan karyawan dari Dataran Tinggi ke
Dataran Rendah dan sebaliknya juga berpengaruh terhadap
menurunnya kuantitas dan kualitas waktu yang dihabiskan oleh para
karyawan bersama keluarga. Hal ini menimbulkan beban psikologis
tersendiri bagi mereka. Sebagian pekerja juga mengeluhkan kejenuhan
yang umumnya dirasakan oleh para karyawan karena adanya
keharusan melakukan tes swab antigen setiap kali hendak keluar dan
masuk ke Dataran Tinggi. Kendati demikian, mereka tetap menyadari
dan memahami pentingnya tes tersebut baik untuk memantau kondisi
kesehatan mereka, melindungi kesehatan keluarganya, maupun
menjaga agar tidak terjadi penularan lokal (local transmission) yang
tidak terkendali di area kerja. Dengan kata lain, kesediaan untuk selalu
melakukan tes swab antigen setiap kali hendak masuk dan keluar ke
Dataran Tinggi merupakan ‘bentuk pengorbanan’ yang harus mereka
kerjakan.
Kebijakan Pandemi Covid-19| 163
DAFTAR PUSTAKA
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/tawassuth/article/view/771
3/4795
Muadi, S., MH, I., & Sofwani, A. (2016). Konsep dan Kajian Teori
Perumusan Kebijakan Publik. Jurnal Review Politik, 06(02).
http://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/JRP/article/download/1
078/1012
Nasruddin, R., & Haq, I. (2020). Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. SALAM: Jurnal
Sosial Dan Budaya Syar-i, 7(7).
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i7.15569
PKMK-LAN. (2012). Pengembangan Pola Partisipasi Masyarakat dalam
Proses Kebijakan Publik.
https://perpus.menpan.go.id/uploaded_files/temporary/DigitalC
ollection/NzMyODcwNTJlMzA2NThhNDYxMjA5YjdmOGQzZjE5Z
Dk0MWNiMDczNg==.pdf
Ramdhani, A., & Ramdhani, M. A. (2017). Konsep Umum Pelaksanaan
Kebijakan Publik. Jurnal Publik, 11(01), 1–12.
www.jurnal.uniga.ac.id
Ristyawati, A. (2020). Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Masa Pandemi Corona Virus 2019 oleh Pemerintah
Sesuai Amanat UUD NRI Tahun 1945. Online Administrative Law &
Governance Journal, 3(2).
https://core.ac.uk/download/pdf/327118089.pdf
Subarsono. (2011). Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan
Aplikasi. Pustaka Pelajar.
Thorik, S. H. (2020). Efektivitas Pembatasan Sosial Berskala Besar Di
Indonesia Dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19. ADALAH:
Buletin Hukum & Keadilan, 4(1).
https://doi.org/10.15408/adalah.v4i1.15506
Utaminingsih, F., & Purnaweni, H. (n.d.). Fenomena-Fenomena yang
terkait Implementasi Kebijakan Retribusi Pasar dalam Menunjang
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Pemalang terkait Peraturan
166 | Implementasi pada Industri Pertambangan Indonesia
TENTANG PENULIS
TENTANG PENULIS