Anda di halaman 1dari 179

i

ILMU PERTAHANAN
TEORI & PRAKTIK

SUHIRWAN

CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA


2023
ii
ILMU PERTAHANAN : TEORI & PRAKTIK
Penulis:

Dr. Ir. Suhirwan, S.T., M.MT., M.Tr.Opsla., CIQaR., CIQnR.,


CIMMR., IPU., ASEAN Eng., ACPE.

Editor:

dr. Farah Shabrina Amazida Yuniawan

ISBN: 978-623-8049-39-4 (PDF)


15.5 x 23 cm, x + 169 hal
Cover & Layout: Mia Aksara & Erina

Penerbit: CV. Aksara Global Akademia


Office:
CV. Aksara Global Akademia
Intan Regency Blok W-13, Jl. Otto Iskandardinata, Tarogong, Garut, Jawa Barat Kode Pos:
44151
Telp: 081-2222-3230 – 0895-1961-0629
E-mail: aksaraglobal.info@aksaraglobal.info
Website: www.aksaraglobal.com – www.aksaraglobal.co.id
INDONESIA
Anggota IKAPI Nomor: 418/JBA/2021
Hak Cipta, @Maret 2023

iii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.

Selain itu, beberapa sanksi lainnya adalah:

(1 Menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta dipidana dengan dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan/atau denda
maksimal Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(2 Memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

iv
KATA PENGANTAR

P
uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat, Karunia, dan Hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku Ilmu Pertahanan : Teori dan
Praktik

Ilmu Pertahanan memiliki peran yang sangat penting


dalam memastikan keamanan dan pertahanan suatu negara.
Ilmu Pertahanan tidak hanya terkait dengan aspek militer,
tetapi juga meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dalam era globalisasi dan dinamika hubungan internasional
yang kompleks, pemahaman tentang ilmu pertahanan menjadi
semakin penting untuk menjaga kedaulatan dan keamanan
negara serta menghadapi berbagai ancaman dan tantangan yang
muncul. Ilmu Pertahanan juga menjadi kunci dalam membangun
ketahanan nasional secara menyeluruh, termasuk dalam
mengatasi masalah terorisme, konflik regional, dan konflik
global. Oleh karena itu, pengembangan dan penerapan ilmu
pertahanan yang efektif dan efisien menjadi sangat penting bagi
keberlangsungan keamanan dan kedaulatan suatu negara. Salah
satu konflik yang menyita perhatian publik yaitu, Konflik Laut
Cina Selatan di mana konflik klaim wilayah tumpang tindih
antara beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok dan Taiwan,
yang telah menghasilkan kompetisi antar bangsa dan
persaingan untuk perebutan pengaruh. Negara ASEAN sulit
menyatukan suara meskipun solidaritas ASEAN selalu
didengungkan. Indonesia sendiri tidak mengklaim wilayah di
Laut Cina Selatan, tetapi kepulauan Natuna berdekatan dengan
lokasi konflik yang tidak masuk klaim Tiongkok, yang
merupakan potensi ancaman nyata bagi Indonesia. Meskipun
laut adalah sumber kesejahteraan bagi Indonesia,
v
mensinergikan keamanan dan kesejahteraan menjadi sebuah
keharusan.

Analisis menggunakan teori implementasi Suhirwan


(2016), diharapkan bisa membantu rencana pembangunan
Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) di Bengkulu dengan harapan
adanya komitmen pemimpin yang kuat dan dukungan dari
stakeholder yang terlibat, serta terdapat tujuan yang jelas dalam
kebijakan TNI AL. Komunikasi antar stakeholder juga akan
terjalin dengan baik dan terdapat dukungan anggaran yang
cukup. Dalam lingkup sosial dan ekonomi, pembangunan
Lanudal Bengkulu diharapkan dapat memberikan dampak
positif bagi pergerakan perekonomian masyarakat dan operasi
dukungan SAR serta dukungan logistik bencana. Oleh karena itu,
implementasi rencana pembangunan Lanudal Bengkulu
diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan memberikan
manfaat yang signifikan bagi pertahanan laut dan kesejahteraan
masyarakat setempat.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa


berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pertahanan.

Bogor, 08 Februari 2023

Dr. Ir. Suhirwan, S.T., M.MT., M.Tr.Opsla., CIQaR., CIQnR.,


CIMMR., IPU., ASEAN Eng., ACPE.

vi
SINOPSIS

B
uku "Ilmu Pertahanan: Teori dan Praktik" adalah sebuah
panduan komprehensif tentang ilmu pertahanan yang
ditujukan untuk membantu para mahasiswa, pegawai negeri, dan
profesional di bidang keamanan dalam memahami konsep, teori,
dan praktik ilmu pertahanan.

Buku ini terdiri dari lima bab yang membahas topik-topik


penting dalam ilmu pertahanan, termasuk Manajemen Pertahanan,
dan Pertahanan Negara. Buku ini dilengkapi dengan studi kasus
dan contoh praktis yang membantu pembaca memahami konsep-
konsep yang dijelaskan.

Selain itu, buku ini juga memberikan pemahaman tentang


cara mengembangkan strategi dan rencana tindakan pertahanan
untuk melindungi negara dan masyarakat dari ancaman keamanan
yang ada saat ini dan yang mungkin muncul di masa depan.

Ditulis oleh seorang ahli di bidang ilmu pertahanan, buku ini


juga mengulas tentang kebijakan pertahanan nasional, kebijakan
pertahanan internasional, dan kerjasama pertahanan antar negara.
Selain itu, buku ini juga membahas tentang konsep-konsep
pertahanan siber, perang asimetris, dan ancaman terorisme.

Secara keseluruhan, buku "Ilmu Pertahanan: Teori dan


Praktik" adalah sebuah panduan lengkap yang sangat bermanfaat
bagi mahasiswa, pegawai negeri, dan profesional di bidang
keamanan yang ingin memahami konsep-konsep dan praktik ilmu
pertahanan secara komprehensif.

vii
DAFTAR ISI
URAIAN HAL

KATA PENGANTAR v
SINOPSIS vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I : Pendahuluan 1-8
1.1 Pendahuluan
1.2 Konflik Laut Cina Selatan

BAB II : Manajemen Pertahanan 9-40


2.1. Teori Ilmu Pertahanan
2.2. Teori Strategi Pertahanan
2.3. Teori Manajemen
2.4. Teori Ancaman
2.5. Teori Negara
2.6. Keamanan Nasional

Bab III : Pertahanan Negara 41-92


3.1. Implementasi Kebijakan
3.2. Kebijakan Pertahanan Negara
3.3. Kebijakan Ekonomi dalam Strategi Pertahanan Laut
3.4. Persepsi Ancaman
3.5. Kohanudnas
3.6. Sishanudnas
3.7. Pelanggaran yang Terjadi di Wilayah Udara Indonesia
3.8. Peran TNI AU dalam Pertahanan Udara Nasional
3.9. Peran TNI AU melalui Defence in Depth (Pertahanan
Berlapis)
3.10. Peran TNI AU Melalui Gelar Satuan Radar
3.11. Teori Hubungan Sipil-Militer
3.12. Model Pertahanan
3.12.1. Model Total Defence
viii
URAIAN HAL

3.12.2. Model Hubungan Sipil-Militer


3.12.3.
BAB IV : Studi Kasus (Peran TNI AL dalam Pertahanan 93-156
Negara)
BAB V: Kesimpulan 157-160
DAFTAR PUSTAKA 160-165
TENTANG PENULIS 166-169

ix
DAFTAR GAMBAR
URAIAN HAL

Gambar 2.1 Lykke’s Original Depiction of Strategy with 21


Ends, Ways, and Means added. Graphic courtesy of
Arthur F. Lykke Jr., “Toward an Understanding of
Military Strategy,” in US Army War College Guide to
Strategy

Gambar 3.1 Skema Teori Implementasi Suhirwan 57

Gambar 4.1 Wawancara dengan Danlanal Bengkulu 118


Beserta Staf.

x
I l m u P e r t a h a n a n |1

I
PENDAHULUAN
2|Teori dan Praktik

PENDAHULUAN

1.1 PENDAHULUAN

K
onflik antara negara dapat memicu masalah yang lebih luas di
tingkat global. Konflik antara negara dapat memperburuk
hubungan internasional dan memicu perselisihan di antara negara-
negara yang terlibat. Selain itu, konflik antara negara dapat
berdampak pada perdagangan internasional, investasi, dan
keamanan, yang dapat berdampak pada ekonomi dan stabilitas
global secara keseluruhan. Misalnya, konflik Laut China Selatan
antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN yang terlibat dapat
memicu ketegangan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dapat
mempengaruhi perdagangan, investasi, dan keamanan di kawasan
tersebut. Selain itu, konflik ini juga dapat memicu persaingan
geopolitik antara Amerika dan China, yang dapat berdampak pada
hubungan internasional secara global.
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara untuk mengatasi
konflik dengan cara damai dan melalui dialog dan negosiasi yang
konstruktif. Selain itu, upaya untuk memperkuat kerja sama
regional dan internasional juga menjadi penting untuk mengatasi
masalah yang diakibatkan oleh konflik antara negara.

1.2 KONFLIK LAUT CHINA SELATAN


I l m u P e r t a h a n a n |3

Konflik Laut China Selatan melibatkan klaim wilayah yang tumpang


tindih antara beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok dan
Taiwan terkait kepulauan Paracell dan Spratly. Klaim kepemilikan
Tiongkok atas kepulauan Paracell dan Spratly menimbulkan
ketegangan dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang
mengklaim Paracell dan sekitarnya, serta Brunei, Filipina, dan
Malaysia yang mengklaim wilayah di sekitar kepulauan Spratly.
Masalah ini semakin rumit karena negara ASEAN yang terlibat
dalam konflik sulit untuk menyatukan suara dan kekuatan dalam
menangani klaim wilayah di Laut China Selatan. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan pandangan dan
kepentingan nasional, serta kurangnya mekanisme kerja sama dan
koordinasi di antara negara-negara ASEAN.
Solidaritas ASEAN menjadi penting dalam menangani konflik
Laut China Selatan. ASEAN telah melakukan berbagai upaya untuk
memperkuat kerja sama dan koordinasi di antara negara-negara
anggotanya dalam menangani masalah ini, termasuk melalui
pembentukan Code of Conduct (COC) yang bertujuan untuk
mengatur perilaku di Laut China Selatan dan meminimalkan risiko
terjadinya ketegangan dan konflik. Namun, implementasi COC
masih menjadi tantangan, dan perlu adanya upaya yang lebih besar
untuk mencapai kesepakatan bersama dan mengatasi konflik Laut
China Selatan secara efektif.
Klaim wilayah yang tumpang tindih antara negara ASEAN dan
Tiongkok di Laut China Selatan telah memunculkan persaingan dan
rivalitas antara negara-negara tersebut. Hal ini dapat
memperburuk situasi yang seharusnya dapat diatasi dengan damai
melalui dialog dan negosiasi. Di sisi lain, adanya rivalitas antara
Amerika dan China dalam hal pengaruh di kawasan Asia Pasifik
juga turut memperumit masalah ini.
Indonesia jauh dari wilayah yang diklaim. Tetapi di
sekitar kepulauan Natuna milik Indonesia berdekatan dengan
lokasi konflik yang tak masuk klaim Tiongkok. Ini masih
diperdebatkan karena Tiongkok belum jelas mengklaim tentang
4|Teori dan Praktik

laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sekitar kepulauan


Natuna. Apapun itu jelas merupakan sebuah potensi ancaman
nyata bagi Indonesia. Cepat atau lambat, mau tidak mau, Indonesia
akan terkena dampak konflik Laut Cina Selatan baik langsung
maupun tidak langsung. Sementara laut yang merupakan dua
pertiga wilayah Indonesia ke depan diproyeksikan sebagai sumber
kesejahteraan masyarakat, yang selama ini belum digarap
maksimal. Sehingga mensinergikan keamanan dan kesejahteraan
sebuah keharusan.
Untuk mengatasi konflik Laut China Selatan, diperlukan
upaya yang kuat dari semua pihak, baik Tiongkok maupun negara-
negara ASEAN yang terlibat. Penting untuk terus mendorong dialog
dan negosiasi untuk mencari solusi yang dapat diterima bersama,
serta memperkuat mekanisme kerja sama regional dalam hal
keamanan dan stabilitas. Solidaritas ASEAN juga menjadi kunci
penting dalam menangani masalah ini, sehingga negara-negara
ASEAN dapat menyatukan suara dan kekuatan untuk
memperjuangkan kepentingan bersama di kawasan tersebut.
Berbagai bentuk ancaman yang harus dihadapi semakin
beragam. Dinamika lingkungan strategis pada tingkat global,
regional, maupun domestik menghadirkan spektrum ancaman
yang sangat luas; mulai dari ancaman terhadap keamanan
lingkungan dan sumber daya, keamanan pelayaran, keamanan
manusia di laut, sampai dengan ancaman terhadap kedaulatan
negara. Terlebih lagi, di laut yang saling terhubung, bentuk-bentuk
ancaman selalu bersifat dinamis dan sulit diprediksi. Karena itu,
tanggung jawab untuk menjamin stabilitas dan keamanan di
perairan Indonesia yang menjadi salah satu tugas TNI Angkatan
Laut membawa tantangan yang kompleks. TNI AL mengemban
tugas yang pada saat ini semakin mengemuka, seiring dengan
kebijakan pemerintah untuk menjadikan sektor maritim sebagai
prioritas dalam pembangunan nasional, atau lebih dikenal sebagai
visi membangun Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.
I l m u P e r t a h a n a n |5

Keamanan dan keselamatan pelayaran merupakan tanggung


jawab negara Republik Indonesia yang dalam penugasannya
dilaksanakan oleh TNI AL. Keberhasilan TNI AL dalam
mewujudkan keamanan maritim di Indonesia, menjadi salah satu
prakondisi untuk keberhasilan pencapaian visi tersebut khususnya
pada perairan sisi barat Pulau Sumatera yaitu: Samudera Hindia
dan Selat Sunda. Kedua area ini merupakan salah satu chock point
untuk masuk ke perairan Indonesia yang merupakan pintu masuk
ALKI I.
TNI Angkatan Laut sebagai salah satu komponen pertahanan
negara merupakan penjaga dan penjamin keamanan di
perairan Indonesia, agar tetap aman dalam perspektif hukum
dan kedaulatan sesuai dengan tugas pokok yang diemban oleh TNI
AL. Berkaitan dengan pelaksanaan penegakan kedaulatan dan
hukum di laut bahwa konsepsi keamanan di laut disusun untuk
mengatasi setiap kejadian pelanggaran kedaulatan dan hukum di
laut yang memiliki legalitas hukum baik nasional maupun
internasional. TNI AL harus mampu melaksanakan pendeteksian
dini terhadap pelanggaran dengan menyelenggarakan patroli
keamanan laut dengan unsur-unsur Sistem Senjata Armada
Terpadu (SSAT).
Pola operasi yang dilaksanakan oleh TNI AL saat ini
mempunyai banyak tantangan, antara lain: perencanaan operasi
yang kurang baik dan membutuhkan anggaran operasionalnya
cukup besar, keterbatasan jumlah Kapal Perang Republik
Indonesia (KRI) dan anggaran yang tersedia, kecepatan gerak
menuju sasaran (time response) menjadi kendala dalam
memberikan service level terhadap suatu demands yaitu
pengamanan sektor operasi.
Disamping keterbatasan dalam sumber daya untuk
melaksanakan gelar operasi di wilayah perairan Samudera Hindia
sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point Selat Sunda,
faktor alam juga merupakan salah satu kendala bagi unsur-unsur
Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) untuk beroperasi.
6|Teori dan Praktik

Samudera Hindia dengan karakteristik ombaknya yang besar


menjadi faktor penghambat lainnya dalam gelar operasi laut, KRI
mengalami keterbatasan olah geraknya, TNI AL tidak memiliki KRI
yang besar.
Dengan demikian diperlukan suatu pemikiran tentang cara
penggunaan sumber daya yang ada semaksimal mungkin, sehingga
pencapaian hasil operasi dapat optimal. Pusat Penerbangan TNI AL
(Puspenerbal) memiliki pesawat udara Patroli Maritim yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Pengamatan yang luas dan
cepat merupakan keuntungan pengawasan menggunakan pesawat.
KRI yang berpatroli pada sektor tersebut bisa menghemat bahan
bakarnya dengan menunggu informasi dari pantauan udara oleh
pesawat patroli.
Oleh karena itu perlu suatu pemikiran dan perencanaan
untuk penugasan pesawat udara Patroli Maritim guna mendukung
operasi penegakan kedaulatan dan hukum di laut wilayah
Samudera Hindia di sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock
point Selat Sunda agar optimal. Dalam penulisan buku ini penulis
mencoba untuk melakukan analisis terhadap rencana
pembangunan Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) di Bengkulu,
faktor-faktor pendukung dan penghambat pembangunan Lanudal
Bengkulu dan analisa dampak strategi keberadaan Lanudal
Bengkulu dalam Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN),
selanjutnya dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun
strategi proyeksi kekuatan TNI AL.
Sangatlah penting untuk meningkatkan pertahanan-
keamanan di wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau
Sumatera sampai dengan chokepoint Selat Sunda, mengingat
potensi ancaman yang ada dari kapal-kapal perang negara tetangga,
kapal-kapal niaga, dan kapal-kapal penangkap ikan asing yang
menggunakan Selat Sunda sebagai akses pelayaran dari Samudera
Hindia ke Laut China Selatan atau sebaliknya, terutama potensi
ancaman keamanan nontradisional.
I l m u P e r t a h a n a n |7

Pembangunan Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) di Bengkulu


dapat menjadi langkah yang tepat dalam menghadapi potensi
ancaman tersebut. Dalam merencanakan pembangunan Lanudal,
TNI AL harus memperhatikan dampaknya terhadap Strategi
Pertahanan Laut Nusantara, khususnya dalam hal peningkatan
kemampuan pemantauan dan pengawasan wilayah perairan yang
lebih luas.
Dengan adanya Lanudal di Bengkulu, TNI AL akan memiliki
kemampuan untuk melakukan patroli udara di wilayah perairan
Samudera Hindia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan
chokepoint Selat Sunda dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu,
Lanudal juga dapat berfungsi sebagai basis untuk mendukung
operasi-operasi laut TNI AL di wilayah tersebut.
Namun, pembangunan Lanudal juga harus memperhatikan
aspek-aspek lingkungan dan sosial, serta memastikan
keberlanjutan dari program pembangunan tersebut. Dalam hal ini,
TNI AL harus bekerja sama dengan pemerintah daerah dan
masyarakat setempat untuk memastikan bahwa pembangunan
tersebut memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi wilayah
dan masyarakat sekitar, dan tidak menimbulkan dampak yang
merugikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Secara keseluruhan, pembangunan Lanudal di Bengkulu dapat
menjadi langkah penting dalam meningkatkan pertahanan-
keamanan di wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau
Sumatera sampai dengan chokepoint Selat Sunda, dan harus
dilakukan dengan memperhatikan dampaknya terhadap Strategi
Pertahanan Laut Nusantara, serta aspek lingkungan dan sosial yang
relevan.
Buku ini bertujuan untuk menunjukkan betapa pentingnya
ilmu pertahanan dalam menentukan eksistensi, kedaulatan, dan
integritas teritorial suatu negara, termasuk dalam melaksanakan
pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
8|Teori dan Praktik

Buku ini dikaitkan dengan rencana pembangunan Pangkalan


Udara TNI AL (Lanudal) di Bengkulu dalam konteks strategi
pertahanan laut. Oleh karena itu, kerangka analisis tersebut
bertujuan untuk menganalisis implementasi pembangunan
Lanudal, mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan
penghambatnya, serta upaya percepatan pembangunan. Selain itu,
kerangka analisis ini juga bertujuan untuk menganalisis dampak
dari pembangunan Lanudal terhadap strategi pertahanan laut.
Buku ini memiliki tujuan yang sangat penting dalam memastikan
bahwa pembangunan Lanudal dilaksanakan secara efektif dan
efisien, dan dapat berkontribusi positif dalam memperkuat strategi
pertahanan laut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
I l m u P e r t a h a n a n |9

II
MANAJEMEN
PERTAHANAN
10 | T e o r i d a n P r a k t i k

MANAJEMEN
PERTAHANAN

2.1 TEORI ILMU PERTAHANAN

I
lmu pertahanan pada masa modern sekarang ini bukan
lagi menjadi domain militer semata. Begitu banyak
keterlibatan ilmu pengetahuan lain yang menjadi bagian dari ilmu
pertahanan tersebut. Kelompok masyarakat di luar militer tentu
saja masih kesulitan dalam memahami bagaimana relasi konsep
pertahanan sebagai ilmu yang terikat dan terkait dengan seluruh
ilmu pengetahuan yang ada pada saat ini.
Untuk memahami ilmu pertahanan, kita harus melihatnya
dari sisi epistemologis terlebih dahulu. Ilmu pertahanan sebagai
ilmu pengetahuan lahir dari berbagai peristiwa yang telah dialami
pada masa lalu, yang kemudian melahirkan asal usul dan
berkembang menjadi strategi, seni perang, dan akhirnya menjadi
ilmu pertahanan yang lebih kompleks dan multidisiplin.
Ilmu pertahanan memiliki hubungan yang erat dengan ilmu-
ilmu lainnya, seperti ilmu politik, ilmu sosial, ilmu hukum, ilmu
teknik, dan ilmu ekonomi. Dalam konteks hubungan internasional,
ilmu pertahanan juga memiliki kaitan dengan ilmu hubungan
internasional, di mana strategi pertahanan suatu negara sangat
dipengaruhi oleh hubungan politik, ekonomi, dan keamanan
internasional yang terjalin.
I l m u P e r t a h a n a n | 11

Dalam perkembangannya, ilmu pertahanan juga tidak


terlepas dari perkembangan teknologi, yang memungkinkan
pengembangan alat dan strategi pertahanan yang lebih canggih dan
efektif. Perkembangan teknologi juga memungkinkan terciptanya
sistem pertahanan yang lebih terintegrasi dan kompleks.
Dalam hal ini, ilmu pertahanan juga memiliki peran penting
dalam mempengaruhi kebijakan pertahanan suatu negara, baik
dalam hal pengembangan strategi pertahanan, pengadaan dan
pengembangan alat pertahanan, maupun dalam hal pelaksanaan
operasi militer dan penanganan konflik.
Secara keseluruhan, ilmu pertahanan merupakan ilmu yang
kompleks dan multidisiplin, yang memiliki kaitan erat dengan ilmu-
ilmu lainnya dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
dan hubungan internasional. Oleh karena itu, pemahaman yang
komprehensif tentang ilmu pertahanan sangat penting dalam upaya
meningkatkan keamanan dan pertahanan suatu negara.Ilmu
pertahanan berbicara dalam ruang lingkup dan materi yang
menjadi bagian dari ilmu pertahanan itu sendiri. Sebut saja
manajamen pertahanan, kebijakan pertahanan, kerja sama
pertahanan, strategi pertahanan, diplomasi pertahanan,
pertahanan dalam negeri, ekonomi pertahanan, strategi
pertahanan, intelijen pertahanan, geografi pertahanan, nilai-nilai
pertahanan dan tentang geopolitik, yang keseluruhannya berkaitan
erat dengan pertahanan.
Sangat menarik ketika kita membuka discourse
bagaimana mengkaji berbagai hal tentang pertahanan. Sedikit demi
sedikit akan terbuka pemahaman kita bahwa ternyata pertahanan
itu tidak sekedar bicara tentang sebuah ancaman yang
mengganggu kedaulatan bangsa dan negara. Akan tetapi
pertahanan ternyata merupakan ilmu pengetahuan yang
memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi stabilitas
keamanan dunia yang pada akhirnya menjadi manfaat bagi
kemanusiaan dan kesejahteraan.
12 | T e o r i d a n P r a k t i k

Tidak bisa dipungkiri, bahwa sampai hari ini selalu saja ada
ancaman antar negara dengan negara, maupun antara negara
dengan kelompok bukan negara (non-state actor). Oleh karena itu,
sebuah negara mutlak memerlukan sistem pertahanan yang
melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki oleh negara
tersebut.
Bagi Indonesia sendiri, kemampuan dalam mengelola
berbagai sumber daya yang ada menjadi sangat penting. Mengapa
tidak, kekayaan alam kita menjadi alasan bagi pihak lain untuk
datang ke Indonesia. Fakta sejarah sudah cukup membuktikan,
bagaimana Portugis dan Belanda menjajah bangsa ini hanya karena
urusan rempah rempah.
Dalam menganalisa ancaman yang pasti dan akan dihadapi
negara kita, baik dari dalam maupun dari luar negeri, mesti kita
sikapi dengan menggunakan kerangka analisis ilmu pertahanan
bersama dengan aspek ekonomi dan diplomasi.
Berikut adalah beberapa teori dan pengertian ilmu
pertahanan menurut ahli yang terdapat pada buku dan artikel:
a) Teori Pertahanan Absolut (Absolute Defense) oleh
Richard B. Smoke pada buku "National Security and the
Nuclear Dilemma: An Introduction to the American
Experience in the Cold War" (1975). Teori ini menyatakan
bahwa negara harus mempersiapkan pertahanan secara
maksimal tanpa menghiraukan biaya atau akibatnya.
b) Teori Pertahanan Total (Total Defense) oleh Roger
Hilsman pada buku "The Politics of Policy Making in Defense
and Foreign Affairs: Conceptual Models and Bureaucratic
Politics" (1967). Teori ini mengemukakan bahwa
pertahanan nasional harus melibatkan seluruh warga
negara dan sumber daya nasional untuk memperkuat
pertahanan.
c) Teori Pertahanan Terpadu (Integrated Defense) oleh
James A. Nathan pada artikel "The Integrated Defense: An
Alternative Conceptual Framework for Security Policy"
I l m u P e r t a h a n a n | 13

(1983). Teori ini menyatakan bahwa pertahanan nasional


harus mengintegrasikan berbagai aspek pertahanan,
termasuk militer, ekonomi, politik, dan sosial, untuk
menciptakan pertahanan yang lebih kuat dan efektif.
d) Teori Pertahanan Kooperatif (Cooperative Defense)
oleh Michael Clarke pada artikel "Towards a Theory of
Cooperative Security" (1999). Teori ini mengemukakan
bahwa pertahanan nasional harus melibatkan kerja sama
dan kolaborasi dengan negara-negara lain untuk
memperkuat keamanan dan stabilitas di tingkat regional
maupun global.
e) Teori Pertahanan Diri (Self Defense) oleh Eric A. Posner
dan Adrian Vermeule pada buku "Terror in the Balance:
Security, Liberty, and the Courts" (2007). Teori ini
menyatakan bahwa pertahanan nasional harus
memperbolehkan penggunaan tindakan kekerasan untuk
melindungi diri dari ancaman eksternal yang mengancam
keamanan dan integritas nasional.

Secara keseluruhan, terdapat berbagai teori dan pandangan


mengenai ilmu pertahanan yang dikemukakan oleh ahli dalam
berbagai buku dan artikel. Setiap teori memiliki pendekatan yang
berbeda dalam melihat konsep pertahanan nasional dan strategi
pertahanan yang dapat dilakukan oleh suatu negara.

2.2 TEORI STRATEGI PERTAHANAN

P
ertahanan strategis adalah jenis doktrin perencanaan militer
dan pertahanan yang ditetapkan untuk menghalangi, melawan,
dan menangkis serangan strategis. Serangan strategis tersebut
dapat berupa serangan pada wilayah atau wilayah udara, invasi,
atau serangan, serta serangan dalam bentuk dunia maya dalam
perang cyber. Selain itu, pertahanan strategis juga dapat melibatkan
ofensif angkatan laut untuk mengganggu lalu lintas jalur pelayaran
sebagai bentuk perang ekonomi.
14 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pertahanan strategis memiliki peran yang sangat penting


dalam menghadapi ancaman dan konflik militer yang mungkin
terjadi. Melalui doktrin perencanaan militer dan pertahanan yang
tepat, pertahanan strategis dapat memastikan bahwa negara
memiliki kemampuan untuk melindungi wilayah dan kepentingan
nasional dari serangan yang datang dari berbagai arah, termasuk
serangan strategis yang dilakukan melalui dunia maya dan
serangan ekonomi. Dalam mengembangkan pertahanan strategis,
perlu dilakukan analisis yang cermat terhadap situasi dan kondisi
yang ada, serta mengidentifikasi berbagai potensi ancaman yang
mungkin terjadi. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan
kemampuan dan sumber daya yang diperlukan untuk melindungi
kepentingan nasional dari serangan yang mungkin terjadi. Dengan
demikian, pertahanan strategis merupakan konsep penting dalam
mempersiapkan strategi pertahanan nasional yang efektif dan
efisien.
Pertahanan strategis tidak selalu bersifat pasif. Bahkan, itu
sering melibatkan penipuan militer, propaganda dan perang
psikologis, serta strategi preemptive. Semua bentuk pertahanan
militer dimasukkan dalam perencanaan, dan seringkali organisasi
pertahanan sipil juga dimasukkan.
Dalam teori militer, pemikiran pertahanan strategis berusaha
untuk memahami dan menghargai latar belakang teoritis dan
historis dari setiap skenario perang atau konflik yang dihadapi para
pembuat keputusan di tingkat tertinggi. Oleh karena itu, untuk
sepenuhnya memahami kegiatan pertahanan strategis, analis perlu
memiliki pemahaman terperinci tentang tantangan geopolitik dan
sosial-ekonomi serta isu-isu yang dihadapi negara bangsa atau
organisasi besar yang sedang dipelajari.
Beberapa masalah yang lebih umum ditemui oleh perencana
pertahanan strategis meliputi:
1. Masalah keamanan dan pembangunan kepercayaan
dalam hubungan antar negara di lingkungan strategis,
2. Kebijakan pertahanan nasional,
I l m u P e r t a h a n a n | 15

3. Proliferasi senjata dan kontrol senjata di wilayah strategis


langsung, atau dalam jangkauan sistem senjata yang dimaksud,
4. Saran kebijakan untuk tingkat yang lebih tinggi dari
organisasi pertahanan nasional,
5. Implikasi strategis dari perkembangan di wilayah geografis
Negara dan Meninjau agenda keamanan dan merumuskan
yang baru jika perlu.

Pertahanan strategis juga merupakan sikap dominan masa


damai dari sebagian besar negara-bangsa di dunia pada waktu
tertentu. Meskipun dinas intelijen militer nasional selalu
melakukan operasi untuk menemukan ancaman ofensif terhadap
keamanan untuk memastikan peringatan yang memadai diberikan
untuk membawa pasukan pertahanan ke keadaan siap tempur.
Berdasarkan teori para ahli dalam hal skala pertempuran,
pertahanan strategis dianggap sebagai perang yang dapat
berlangsung dari hari ke generasi (Dupuy, 1986) atau kampanye
militer sebagai fase perang, yang melibatkan serangkaian operasi
yang dibatasi oleh waktu dan ruang dan dengan tujuan spesifik
utama yang dapat dicapai, dialokasikan ke bagian tertentu dari
angkatan bersenjata yang tersedia. Sebagai sebuah kampanye,
pertahanan strategis dapat terdiri dari beberapa pertempuran,
(Dupuy, 1986) beberapa di antaranya mungkin bersifat ofensif,
atau dapat mengakibatkan dilakukannya penarikan ke posisi baru
pengepungan, atau pengepungan oleh bek atau penyerang sebagai
sarana mengamankan inisiatif strategis. Sasaran strategis,
pertahanan strategis mungkin memerlukan pelaksanaan operasi
ofensif yang jauh dari wilayah nasional utama, seperti halnya
dengan kampanye perang Falklands 1982, yang menjadikan
logistik berbeda sebagai pertimbangan dominan dalam pertahanan
strategis sebagai doktrin (Thompson, 1991).
Pendapat para ahli mengacu pada teori strategi pertahanan
yang menekankan pentingnya perencanaan dan pelaksanaan
pertahanan strategis yang dibatasi oleh waktu dan ruang, dengan
16 | T e o r i d a n P r a k t i k

tujuan spesifik untuk melindungi kepentingan nasional dari


serangan musuh. Dalam pertahanan strategis, kampanye militer
dianggap sebagai fase perang yang dibatasi oleh waktu dan ruang,
dan terdiri dari serangkaian operasi yang terkoordinasi dan
diarahkan pada sasaran strategis yang spesifik.
Pertahanan strategis tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga
dapat memerlukan pelaksanaan operasi ofensif untuk
mengamankan inisiatif strategis. Pentingnya logistik dalam
pertahanan strategis juga ditekankan sebagai doktrin yang
dominan dalam memastikan keberhasilan kampanye militer. Oleh
karena itu, dalam perencanaan dan pelaksanaan pertahanan
strategis, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor
seperti sumber daya manusia, peralatan, teknologi, dan dukungan
logistik yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis yang
diinginkan.
Bisa dikatakan bahwa pertahanan strategis merupakan sikap
dominan masa damai dari sebagian besar negara-bangsa di dunia
pada waktu tertentu. Meskipun dinas intelijen militer nasional
selalu melakukan operasi untuk menemukan ancaman ofensif
terhadap keamanan untuk memastikan peringatan yang memadai
diberikan untuk membawa pasukan pertahanan ke keadaan siap
tempur. Dalam hal skala pertempuran, pertahanan strategis
dianggap sebagai perang yang dapat berlangsung dari hari ke
generasi atau kampanye militer sebagai fase perang, yang
melibatkan serangkaian operasi yang dibatasi oleh waktu dan
ruang, dengan tujuan spesifik utama yang dapat dicapai,
dialokasikan ke bagian tertentu dari angkatan bersenjata yang
tersedia. Sebagai sebuah kampanye, pertahanan strategis dapat
terdiri dari beberapa pertempuran, beberapa di antaranya
mungkin bersifat ofensif, atau dapat mengakibatkan dilakukannya
penarikan ke posisi baru pengepungan, atau pengepungan oleh bek
atau penyerang sebagai sarana mengamankan inisiatif strategis.
Sasaran strategis dalam pertahanan strategis mungkin
memerlukan pelaksanaan operasi ofensif yang jauh dari wilayah
I l m u P e r t a h a n a n | 17

nasional utama, seperti halnya dengan kampanye perang Falklands


1982, yang menjadikan logistik berbeda sebagai pertimbangan
dominan dalam pertahanan strategis sebagai doktrin. Dengan
demikian, pertahanan strategis merupakan konsep penting dalam
mempersiapkan strategi pertahanan nasional untuk menghadapi
ancaman dan konflik militer yang mungkin terjadi.
Penulisan buku ini akan menganalisis sejauh mana
pembangunan ini berdampak terhadap strategi pertahanan laut
Indonesia khususnya Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN).
1) Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN)
Strategi pertahanan negara di laut Indonesia atau Strategi
Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) adalah strategi
pertahanan yang disusun berdasarkan konsep geostrategi
sebagai negara kepulauan, sesuai dengan Undang-undang RI
nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, bahwa
pertahanan negara disusun dengan mempertimbangkan
kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. SPLN
dirancang berdasarkan pada tiga pilar yang saling terkait
untuk mencegah niat dari pihak pengganggu,
tertanggulanginya berbagai macam ancaman, dan terciptanya
kondisi yuridiksi laut yang terkendali. Ketiga pilar tersebut
akan dicapai oleh SPLN yang mengandung tiga strategi utama
yaitu strategi penangkalan (deterrence strategy), pertahanan
berlapis (layer defence strategy), dan pengendalian laut (sea
control strategy) (Markas Besar TNI AL, 2004).
Konsep pertahanan berlapis yaitu konsep pertahanan yang
bertumpu pada keterpaduan antara lapis pertahanan militer
dan lapis pertahanan nirmiliter. Konsep pertahanan
negara yang bersifat pertahanan berlapis memiliki tujuan
untuk penangkalan, mengatasi dan menanggulangi ancaman
militer atau nonmiliter dan untuk tujuan menghadapi perang
berlarut.
a. Damai dan Krisis atau Perang
18 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pokok-pokok penyelenggaraan SPLN dirancang dalam


dua kondisi yaitu damai dan krisis atau perang. Pada
kondisi damai, tujuan (ends) yang ingin dicapai oleh SPLN
meliputi dua hal, yaitu menimbulkan dampak penangkalan
dan menciptakan kondisi perairan yuridiksi nasional yang
terkendali. Tujuan tersebut dicapai penataan gelar operasi
laut yang berkaitan dengan strategi penangkalan dan
pengendalian laut baik melalui diplomasi AL, kehadiran
di laut, operasi siaga tempur, dan operasi laut sehari-hari
(ways). Secara keseluruhan berbagai macam cara dalam
strategi tersebut dipenuhi dengan penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya (means) dari dalam TNI yang
mencakup Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), Kapal
Angkatan Laut (KAL), pesawat udara TNI AL, marinir,
dan pangkalan TNI AL.
b. Kondisi Krisis atau Perang
Pada kondisi krisis atau perang, tujuan (ends) yang ingin
dicapai oleh SPLN adalah menghancurkan kekuatan lawan
yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.
Untuk mencapai tujuan tersebut, akan dicapai dengan cara
(ways) yang menggunakan pendekatan strategi
pertahanan berlapis dan pengendalian laut. Strategi
pertahanan berlapis akan melibatkan daerah yang
dijadikan medan penyanggah, medan pertahanan utama,
dan daerah perlawanan. Pendekatan strategi tersebut
akan melibatkan sistem kesenjataan yang berbeda satu
dengan lainnya. Pada medan penyanggah, sistema
kesenjatan meliputi kekuatan permukaan, bawah
permukaan, kekuatan udara, pasukan khusus, dan
dukungan dari TNI AU. Pada medan pertahanan utama
hampir sama dengan medan penyanggah kecuali pasukan
khusus. Jika medan penyanggah dan pertahanan utama
sudah ditembus pihak lawan maka medan terakhir disebut
daerah perlawanan dimana akan melibatkan keseluruhan
I l m u P e r t a h a n a n | 19

sistema kesenjataan TNI dan kekuatan nasional. Sumber


daya (means) yang diperlukan demi terlaksananya
berbagai pendekatan strategi di atas mencakup
keseluruhan kekuatan TNI AL dan Non-TNI AL.
2) Sea Control (Pengendalian Laut)
Menurut Vego (2016, p.54), dalam bukunya menjelaskan,
sebagai berikut bahwa: “Obtaining or securing sea control is
the first and most critical step in the struggle for sea control. This
phase ends with accomplishing a given operational or strategic
objective”.
Mendapatkan atau mengamankan pengendalian laut adalah
langkah pertama dan paling penting dalam perjuangan
pengendalian laut. Fase ini diakhiri dengan pencapaian tujuan
strategis operasional. Tujuan Strategi pertahanan negara di
laut adalah untuk mengendalikan laut, mengontrol laut,
penguasaan laut, serta kedaulatan di laut.
Strategi dilaksanakan pada masa damai, dan merupakan
integrasi usaha pertahanan yang mencakup aspek politik,
ekonomi, psikologi, dan teknologi serta aspek militer. Konsep
strategi pertahanan negara di laut dalam mewujudkan Strategi
Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), meliputi kegiatan-
kegiatan, sebagai berikut: bentuk, respon, prepare.
a. Bentuk (Shape) strategi pertahanan negara di laut
ditransformasikan dalam bentuk sistem pertahanan yang
didukung postur unsur TNI AL.
b. Respon (Respond) postur unsur TNI AL untuk
menjawab dalam menghadapi musuh yang mengancam
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan
segenap bangsa.
c. Mempersiapkan (Prepare) unsur TNI AL dengan
menentukan program jangka pendek, program
menengah dan program jangka panjang.
20 | T e o r i d a n P r a k t i k

3) The Strategic Framework (Teori Strategi Model Arthur F.


Lykke Jr., 1989)
Arthur F. Lykke Jr. mengembangkan kerangka strategis dengan
tiga esensi dasar yaitu means, ways dan ends. Bagi Lykke,
strategi adalah ekspresi koheren dari suatu proses yang
mengidentifikasi tujuan, cara, dan sarana yang dirancang
untuk mencapai tujuan tertentu.
a. Tujuan (Ends), adalah tujuan atau hasil yang
diinginkan dari strategi tertentu. Istilah Ends identik
dengan tujuan akhir atau tujuan dari tujuan strategi.
b. Sumber daya (Means), digunakan dalam
mempertahankan dan mencapai tujuan dan sasaran.
Bagaimana menggunakan sumber daya untuk mencapai
tujuan atau sasaran yang dipertahankan, yaitu dengan
merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan
suatu sistem pertahanan negara yang tangguh dan
berdaya tangkal tinggi sesuai dengan paham.
c. Konsepsi (Ways), adalah tindakan mereka dengan metode
dan proses yang dijalankan untuk mencapai tujuan. Jika
disederhanakan, menjawab pertanyaan, Bagaimana Anda
akan mencapai kondisi akhir?.

Secara matematis The Strategic Framework (Teori Strategi


Model Arthur F. Lykke Jr.), dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Strategi = End + Ways + Means”

Lykke mengutip kebutuhan untuk menyeimbangkan tujuan,


cara, dan sarana, yang ia gambarkan dengan “Tiga Kaki Bangku”
(bangku itu sendiri mewakili strategi). Sebuah strategi akan
seimbang dan akan terdapat sedikit risiko, jika cara (metode) yang
dipilih mampu dan memiliki sarana (sumber daya) yang cukup
untuk mencapai tujuan yang diinginkan (objektif). Namun, jika cara
atau sarana kaki terlalu pendek (karena kekurangan), atau kaki
I l m u P e r t a h a n a n | 21

akhir terlalu panjang (tujuannya tidak realistis), strateginya


tidak seimbang, dan risikonya tinggi.

Gambar 2.1 Lykke’s Original Depiction of Strategy with Ends, Ways, and Means
added. Graphic courtesy of Arthur F. Lykke Jr., “Toward an Understanding of
Military Strategy,” in US Army War College Guide to Strategy.

Untuk mengembalikan keseimbangan strategi, perlu


dilakukan penyesuaian antara tujuan yang diinginkan dengan
sarana yang tersedia. Jika sarana tidak memadai, maka perlu
dipertimbangkan cara-cara alternatif. Seluruh pilihan ini
merupakan keputusan strategis, yang merupakan jantung dari seni
strategis.
Balancing act atau penyeimbangan strategis menjadi penting
dalam mengembangkan strategi, karena perlu mempertimbangkan
keseimbangan antara tujuan dan sarana yang tersedia. Kerangka
kerja ini juga dapat digunakan untuk menganalisis rencana dan
tindakan kawan dan musuh untuk menentukan kekuatan, risiko,
dan pusat gravitasi.
Dalam seni strategis, penyeimbangan strategis atau balancing
act menjadi sangat penting untuk mengembangkan strategi yang
efektif. Dengan melakukan penyesuaian antara tujuan dan sarana
22 | T e o r i d a n P r a k t i k

yang tersedia, maka strategi dapat diarahkan untuk mencapai hasil


yang diinginkan. Hal ini penting terutama dalam menghadapi
situasi yang berubah-ubah, di mana strategi yang digunakan harus
dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi yang ada.

2.3 TEORI MANAJEMEN

I
stilah manajemen berasal dari kata Bahasa Inggris "to
manage" yang berarti menangani, mengendalikan, atau
mengelola. Dengan demikian, manajemen dapat diartikan sebagai
pengelolaan pekerjaan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Pengelolaan pekerjaan dalam manajemen melibatkan berbagai
unsur, seperti sumber daya manusia, deskripsi pekerjaan yang
harus dilakukan, dan unsur-unsur pendukung lainnya. Dalam hal
ini, manajemen bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan
sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Manajemen sangat penting dalam menjalankan bisnis atau
organisasi, karena dapat membantu memastikan bahwa sumber
daya yang dimiliki digunakan secara efektif dan efisien. Dalam
manajemen, terdapat berbagai prinsip, teknik, dan metode yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, manajemen merupakan hal yang sangat penting
dalam dunia bisnis dan organisasi modern.
Menurut Drucker, terdapat dua prinsip dalam manajemen
yang harus dipenuhi, yaitu efektif dan efisien. Salah satu konsep
utama yang dikemukakan Drucker sebagai salah satu tokoh besar
manajemen, adalah Management by Objectives (MBO). MBO ini
adalah suatu sistem yang menekankan efektivitas dan
pengendalian mutu, tanpa mengesampingkan kreativitas untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektif adalah mengerjakan
pekerjaan yang benar, sedangkan efisien mengerjakan pekerjaan
dengan benar (Drucker, 1985). Agar manajemen dapat dilakukan
dengan efektif dan efisien, maka manajemen perlu dijelaskan
berdasarkan fungsinya.
I l m u P e r t a h a n a n | 23

Terdapat konsep Plan, Do, Check and Act (PDCA), konsep ini
dikemukakan oleh Drucker, yaitu:
a. Rencanakan. Temukan asal masalah, dan kemudian
rencanakan perubahan atau pengujian yang difokuskan
membaik.
b. Lakukan. Lakukan perubahan atau pengujian, sebaiknya dalam
skala percontohan atau kecil.
c. Periksa. Periksa apakah hasil yang diinginkan telah tercapai,
jika ada kesalahan, dan apa yang telah dipelajari.
d. Bertindak. Merangkul perubahan jika hasil yang diinginkan
telah tercapai. Jika hasilnya belum sesuai diharapkan, ulangi
siklus tersebut dengan menggunakan pengetahuan yang
diperoleh dari siklus sebelumnya.

Sementara, menurut Fayol, secara garis besar, ilmu dasar


manajemen dapat dijabarkan melalui Planning, Organizing,
Command, Coordinating, dan Controlling (Fayol, 1969). Manajemen
pertahanan juga dirumuskan dengan menggunakan fungsi
manajemen milik Fayol (McCoville dan Cleary, 2006). Hal ini
dikarenakan Fayol (1969) mengembangkan fungsi manajemen
atas dasar pengalamannya sebagai industriawan Perancis yang kini
dikenal sebagai bapak manajemen operasional. Sebelumnya, dasar-
dasar manajemen yang pada awalnya hanya diterapkan oleh pihak
swasta, terutama kaum pengusaha (business people), ternyata
menarik minat pemerintah untuk turut mengaplikasikannya ke
dalam kementerian/departemen pertahanan agar mampu
meningkatkan kekuatan pertahanan negaranya (Praditya, 2014).
a. Planning berarti menentukan tujuan organisasi, mengamati
lingkungan, memprediksi perubahan, mengembangkan
kebijakan, prosedur dan rencana untuk membantu mencapai
tujuan dikarenakan lingkungan yang dinamis (Baridam, 1995).
Perencanaan merupakan proses diskusi dan perspektif masa
depan. Berdasarkan sektor pertahanan, perencanaan haruslah
berisi analisis lingkungan strategis yang jujur, objektif dan
24 | T e o r i d a n P r a k t i k

menyeluruh, baik secara internal maupun eksternal


(Valackiene, 2010). Analisis lingkungan dilaksanakan dengan
tujuan utama untuk mengidentifikasi peluang yang perlu
mendapatkan perhatian serius serta ancaman yang perlu
diantisipasi (Priyono, 2007).
b. Organizing secara umum berarti mengubah rencana menjadi
kenyataan melalui penyebaran sumber daya dalam kerangka
pengambilan keputusan yang biasa dikenal struktur organisasi
(Benowitz, 2001). Pengorganisasian diidentifikasi sebagai
masalah paling mendesak untuk manajemen pertahanan
karena struktur organisasi pertahanan dinilai terlalu kaku.
c. Command atau pengarahan untuk memberikan berbagai
macam arahan kepada sumber daya manusia sebagai
pelaksana dalam menyelesaikan tugasnya dengan sebaik
mungkin (Fayol, 1969). Pengarahan dalam kepemimpinan
sektor pertahanan lebih menekankan kepada perintah yang
kini mengalami perubahan. Arah kepemimpinan kini datang
dari politisi yang dalam masyarakat demokrasi akan bertindak
sesuai dengan kepentingan nasional dan kewenangannya
berada pada persetujuan rakyat.
d. Coordinating menjelaskan bahwa komponen koordinasi
merupakan konsep analitik untuk menganalisis tindakan yang
sama dengan cara berbeda untuk mencapai tujuan.
Menurutnya, koordinasi sendiri tetap dapat dilakukan bahkan
jika setiap aktor memiliki tujuan yang berbeda (Malone, 1988).
Sehingga komponen dari koordinasi terdiri atas: pertama,
seperangkat (dua atau lebih) aktor yang terlibat, kedua,
seperangkat aktor tersebut melaksanakan tugas, dan ketiga,
pelaksanaan tugas tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan
(Baligh dan Burton, 1984). Dalam sektor pertahanan perlu
melakukan koordinasi, kerja sama dan kompromi lintas
spektrum politik. Baik antara personel sipil dan militer
maupun pada tingkat regional dan internasional.
I l m u P e r t a h a n a n | 25

e. Control digambarkan sebagai proses navigasi menuju tujuan


yang telah ditetapkan. Saat ini banyak organisasi mencapai
tujuan dengan berbagai macam ancaman dan lingkungan
strategis yang dinamis karena menerapkan fungsi
pengendalian (Perovic et al., 2011). Pengawasan merupakan
salah satu tantangan terbesar dalam meningkatkan tata kelola
dan manajemen pertahanan. Sehingga fungsi ini dibutuhkan
untuk memastikan bahwa tidak ada satu orang pun yang
memiliki kekuasaan yang cukup untuk memerintah atau
memimpin tanpa persetujuan orang lain.
Selain itu, terdapat lima fungsi manajemen, yaitu:
➢ Pertama, menetapkan tujuan, kebijakan, dan strategi
menyeimbangkan alokasi sumber daya yang terbatas.
➢ Kedua, mengidentifikasi masalah serta mengatur SDM
(staf/karyawan) di bawah pengawasan/kontrol yang baik.
➢ Ketiga, mendapatkan informasi dan kerja sama
dari/dengan/dan bersama orang lain.
➢ Keempat, memotivasi, mengendalikan, menilai kinerja,
dan melakukan penanganan konflik.
➢ Kelima, mendapat hasil/output yang optimal dari hasil
kerja sama banyak orang.

Dari perkembangan teori yang ada, maka manajemen juga


memberikan gambaran terkait dengan pendekatan manajemen itu
sendiri (management approach), yaitu hard management dan soft
management. Pada soft management berbicara mengenai people
centric yang berperan memotivasi dan mengembangkan SDM
sebagai peran manajemen sentral, sementara hard management
berbicara mengenai investment appraisal atau penilaian investasi
yang melihat hasil performa dari output yang dihasilkan (Kotler,
2005). Lingkup konsep manajemen juga turut mengalami
penambahan-penambahan mengikuti perkembangan yang ada,
terutama apabila dikaitkan dengan tantangan untuk melakukan
26 | T e o r i d a n P r a k t i k

managing resource. Pada fase managing resource fokus pada 4


aspek, yang terlihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2 Management Resource Aspect


Sumber: Kotler (2005)

Teori manajemen secara umum pada penulisan buku ini akan


digunakan dalam perumusan kerja sama antara sipil militer dalam
organisasi terutama dalam bidang pengelolaan Jakumhanneg.

2.4 TEORI ANCAMAN

A
ncaman merupakan faktor utama yang menjadi dasar
dalam penyusunan desain sistem pertahanan negara, baik
yang bersifat aktual maupun potensial (Kemhan, 2015).
Berdasarkan analisis strategis dan identifikasi terhadap hakikat
ancaman yang sangat dinamis, sehingga memungkinkan terjadinya
penggabungan berbagai jenis ancaman. Ancaman dapat
digolongkan menjadi tiga jenis yaitu ancaman militer baik
bersenjata maupun tidak bersenjata, ancaman non militer, dan
ancaman hibrida. Walt (1990) dalam teorinya tentang balance of
threat berpendapat bahwa terdapat empat faktor dalam
membentuk persepsi ancaman yaitu kekuatan agregat (lawan),
kedekatan geografi (proximity), kemampuan ofensif, dan intensi
I l m u P e r t a h a n a n | 27

ofensif atau keinginan untuk menyerang. Tidak semua faktor


tersebut memiliki bobot yang sama terhadap suatu ancaman.
Namun salah satu faktor dapat lebih dominan dari faktor yang lain.
Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, ancaman adalah setiap usaha
dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang
dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman terhadap
kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan
saat ini berkembang menjadi multidimensi (fisik dan nonfisik)
yang disebabkan oleh adanya perkembangan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi. Ancaman yang
bersifat multidimensi bersumber dari permasalahan ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan
yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme,
imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak
laut, dan perusakan lingkungan.
Penjelasan Undang-Undang Pertahanan Negara
menyebutkan yang dimaksud ancaman militer yakni ancaman yang
menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai
mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Bentuk-bentuk ancaman militer antara lain yaitu agresi,
pelanggaran wilayah oleh negara lain, spionase, sabotase instalasi
militer dan objek vital, aksi teror bersenjata, pemberontakan
bersenjata, dan perang saudara antar kelompok masyarakat
bersenjata.

2.5 TEORI NEGARA

K
eberadaan masyarakat sipil dan militer tidak terlepas dari
eksistensi negara. Masyarakat sipil dan angkatan
bersenjatanya merupakan bagian penting dari negara yang
berdaulat. Tanpa adanya sebuah negara, maka penyelenggaraan
28 | T e o r i d a n P r a k t i k

kerja sama sipil-militer pun juga tidak memungkinkan untuk


terlaksana.
Jean Bodin menyatakan bahwa: “kedaulatan adalah sumber
utama untuk menetapkan hukum”. Kedaulatan merupakan sumber
otoritas yang berada pada asas tertinggi dalam hierarki hukum
(legal hierarchy). Kedaulatan juga merupakan kekuasaan absolut
atas suatu wilayah tertentu. Kekuasaan absolut atas wilayah
tersebut menjadi dasar bagi pembentukan negara (Riyanto, 2012).
Dengan demikian, kedaulatan negara dari sudut pandang filasafat
dimakanai sebagai hal mutlak yang dimiliki oleh negara untuk
mengatur seluruh hal yang berkaitan dengan pemerintahannya.
Tak hanya itu, kedaulatan juga berkaitan erat dengan
hubungan antara kekuasaan politik dan bentuk-bentuk otoritas
lainnya. Untuk memahami hubungan tersebut, pertama-tama kita
perlu mengetahui bahwa kekuasaan politik berbeda dengan
kerangka organisasi atau otoritas lain di dalam kehidupan
masyaraka, misalnya organisasi religius, kekeluargaan dan
ekonomi.
Yang kedua, kedaulatan juga menegaskan bahwa otoritas
publik semacam ini bersifat otonom dan sangat luas (autonomous
and preeminent). Apa artinya? Itu berarti, otoritas ini lebih tinggi
(superior) dari institusi yang ada dalam masyarakat yang
bersangkutan dan independen atau bebas dari pihak luar (Riyanto,
2012).
Dari sudut pandang hukum internasional, kedaulatan negara
(state sovereignity) dan kesederajatan (equality) antar negara
merupakan konsep yang diakui dan menjadi dasar bekerjanya
sistem hukum internasional itu.
Secara tradisional, hukum internasional mengakui bahwa
negara sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat tidaklah
tunduk pada otoritas lain (Marcos, 2003). Konsep kedaulatan
negara menurut hukum internasional juga merujuk pada adanya
pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan dan kewenangan
I l m u P e r t a h a n a n | 29

penuh dari negara untuk melaksanakan urusan pemerintahannya


secara mandiri (Luthfah, 2015).
Mengutip Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB, disebutkan bahwa “the
organization is based on principle of the sovereign equality of all its
member”. Pernyataan dalam Piagam PBB tersebut memiliki makna
bahwa setiap negara (yang menjadi anggota PBB) harus mengakui
kedaulatan dari negara-negara lainnya secara adil. Dampak dari
pengakuan persamaan kedaulatan tersebut adalah setiap negara
berhak menjalankan kekuasaan hukumnya masing-masing dan
negara lain wajib menghormati dan tidak campur tangan terhadap
hal tersebut (Situngkir, 2018).

2.6 KEAMANAN NASIONAL

D
alam penyelenggaraan kehidupan bernegara, keamanan
nasional menjadi sebuah tujuan yang mutlak. Secara
tradisional, keamanan nasional dimaknai sebagai upaya untuk
melindungi dan mengamankan kelangsungan hidup secara fisik
yang bisa datang dari dalam dan luar negara baik ancaman militer
maupun non militer. Keamanan tidak dapat dipahami sebagai
hanya sebatas ancaman militer yang menyebabkan perang, tetapi
juga keamanan adalah kondisi bebas dari rasa takut dan berbagai
ancaman.
Arnold Wolfers (1952) mengatakan bahwa: “ancaman
didefinisikan tidak hanya berhubungan dengan militer namun lebih
luas ke kesehatan, teknologi, dan lingkungan”. Lebih jauh, Wolfers
berpendapat bahwa: “masing-masing negara sebenarnya memiliki
pemahaman yang berbeda mengenai keamanan nasional merujuk
pada kepentingan tiap-tiap negara”.
Bahkan Wolfers (1952) berpendapat bahwa: “beberapa
negara mungkin tidak puas dengan status quo sedemikian rupa
sehingga mereka akan lebih tertarik untuk memperoleh nilai-nilai
baru daripada mengamankan nilai-nilai yang sudah mereka miliki”.
Wolfers percaya bahwa negara akan cenderung mempersepsikan
secara berbeda apa yang disebut nilai yang didapat dan tingkat
30 | T e o r i d a n P r a k t i k

bahaya yang mungkin mereka hadapi; sejauh mana mereka akan


berusaha untuk melindungi nilai-nilai “inti” dan atau “marjinal”
dan sarana dengannya mereka akan menjamin keamanan dan tidak
akan bisa lepas dari aliansi.
Keamanan nasional juga dapat dimaknai sebagai kondisi
maupun fungsi. Sebagai fungsi, keamanan nasional akan
memproduksi dan menciptakan rasa aman dalam pengertian luas.
Di dalam keamanan nasional terdapat rasa damai, nyaman, tertib,
dan tentram. Sedangkan sebagai sebuah kondisi, keamanan
nasional merupakan kebutuhan dasar umat manusia, selain
kebutuhan kesejahteraan (Darmono, 2010)
Menurut Darmono (2010), keamanan nasional merupakan
sebuah idealisme dalam bentuk upaya untuk dapat melindungi
seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
yang mencakup:
a. Perlindungan terhadap warga negara Indonesia secara
universal (human security).
b. Perlindungan terhadap masyarakat.
c. Perlindungan terhadap negara.

Maka itu, berbicara keamanan nasional tidak lagi cuma


berbicara soal militer. Keamanan nasional tidak hanya membahas
angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Keamanan
nasional juga berarti mengikutsertakan kesejahteraan masyarakat.
Keamanan nasional di masa kini tidak lagi hanya mencakup
berbagai elemen yang terkait dengan kekuatan militer, namun
mencakup seluruh aspek dalam kehidupan nasional seperti
kehidupan ekonomi yang lebih merata dan adil, kebebasan
individu, dan pengakuan atas hak asasi manusia dari negara dan
bangsa. Karenanya, pendekatan tradisional dalam Studi Keamanan
Nasional Pasca Perang Dunia II yang memfokuskan diri pada
dimensi dan isu-isu kemiliteran saja dianggap tidak memadai lagi.
Perubahan dunia yang cepat dan dinamika yang kompleks
dalam isu keamanan membuat konseptualisasi Keamanan Nasional
I l m u P e r t a h a n a n | 31

(National Security) mengalami pergeseran dari state center security


menjadi people centered security. Konsekuensinya, isu keamanan
menjadi Keamanan Komprehensif dan Manajemen Keamanan
membutuhkan kerjasama antar aktor dan lembaga yang terkait
dengan isu keamanan yang inklusif tersebut.
Pandangan ini tertuang dalam tulisan Barry Buzan (1983)
dari Copenhagen School of Security Studies. Dalam tulisannya yang
berjudul “People, States & Fear”, ia menyebutkan bahwa keamanan
dipengaruhi oleh lima bidang utama, yaitu militer, politik, ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
“Security is affected by factors in five major sectors: military,
political, economic, societal, and environment. A nation can be said
to have assured its own security when it is militarily, economically
and technologically developed, politically stable and socio-culturally
cohesive”.
Berbeda dengan penjelasan tradisional, Barry Buzan (1991)
mendefinisikan bahwa: “keamanan nasional tidak hanya berkaitan
dengan urusan militer belaka”. Untuk menciptakan keamanan
nasional, langkah-langkah kebijakan oleh pemerintah menjadi
sebuah hal yang dibutuhkan.
Secara akademik, istilah human security mulai dipakai secara
umum setelah The United Nations Development Programme (UNDP)
pada 1994 menggunakan istilah Human Security pada Human
Development Report 1994 yang tertera pada halaman 230-234.
Dalam laporan tersebut, gagasan mengenai human security
mencakup 7 nilai-nilai pokok keamanan;
1) Economic security.
2) Food security.
3) Health security.
4) Environmental security.
5) Personal security.
6) Freedom from fear of violence, crime and drugs.
7) Community security.
- Freedom to participate in family life and cultural activities.
32 | T e o r i d a n P r a k t i k

- Political security.
- Freedom to exercise one‟s basic human rights.

Dalam laporan tersebut, Human Security diartikan sebagai


upaya untuk melindungi dari berbagai ancaman untuk memberi
rasa aman, kesehatan, dan jaminan untuk hidup dan kelangsungan
hidup bagi setiap individu. Keamanan menurut konsep ini
mengembangkan gagasan mengenai keamanan nasional pada
traditional security concept. Human Security merupakan suatu
konsep yang dikembangkan untuk lebih fokus dalam keamanan
individu daripada keamanan negara dari batas-batas teritori yang
biasanya lebih fokus pada keamanan negara.
“The concept of security must change – from an exclusive stress
on national security to a much greater stress on people security, from
security through armament to security through human development,
from teritorial to food, employment and environmental security”.
Keamanan seseorang berbeda-beda, sehingga human security
memiliki definisi yang kompleks. Namun, esensi utama dari human
security adalah keamanan dari negara kepada individu.
Maka itu, keamanan suatu bangsa dapat dikatakan terjamin
apabila militer, ekonomi, dan teknologi telah terbangun, kondisi
politik stabil dan kehidupan sosial budaya berjalan dengan kohesif
atau terpadu. Konsepsi keamanan nasional komprehensif juga
meletakkan warga negara atau masyarakat sebagai posisi
sentralnya.
Karenanya, Keamanan Nasional dimaknai sebagai kebutuhan
dasar untuk melindungi dan menjaga Kepentingan Nasional suatu
bangsa dengan menggunakan Kekuatan Politik, Militer, Ekonomi,
Sosial, dan lain-lain, untuk menghadapi ancaman yang datang dari
dalam maupun luar negeri.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa keamanan tidak hanya
menyangkut tentang alat-alat perang atau militer semata, namun
juga berkaitan erat dengan keamanan serta pengembangan
manusia (human development). Keamanan juga tidak hanya
I l m u P e r t a h a n a n | 33

menyangkut keamanan terhadap wilayah teritorial negara


(wilayah kedaulatan) saja, tetapi turut meliputi masalah keamanan
sosial ekonomi (seperti pangan dan ketenagakerjaan) serta
lingkungan.
Menurut Juwono Sudarsono (2007) Sistem Keamanan
Nasional Komprehensif bertumpu pada 4 fungsi ideal
pemerintahan yaitu:
1. Pertahanan Negara: menghadapi ancaman dari luar negeri
dalam rangka nenegakan kedaulatan bangsa, keselamatan,
kehormatan dan keutuhan NKRI.
2. Keamanan Negara: menghadapi ancaman dalam negeri.
3. Keamanan Publik: memelihara dan memulihkan keselamatan,
keamanan, dan ketertiban masyarakat melalui penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
masyarakat.
4. Keamanan Insani: menegakkan hak-hak dasar warga Negara.

Lebih lanjut, konsepsi keamanan nasional komprehensif juga


harus mengakomodasi terpenuhinya kebutuhan dasar warga
negara. Gagasan ini misalnya dikemukakan oleh Patrick Garrity. Ia
menekankan bahwa keamanan tidak semata-mata berupa
perlindungan terhadap bahaya dan kejahatan, tetapi juga kepada
hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidup seperti akses untuk
memperoleh air bersih, makanan, tempat tinggal, pekerjaan, dan
segala kebutuhan dasar setiap manusia.
Pada intinya keamanan menampung keinginan masyarakat
untuk dapat hidup dengan selamat dan berkualitas. Inilah konsepsi
keamanan nasional komprehensif yang ditonjolkan oleh Patrick
Garrity. Selanjutnya ia menyatakan:
“...applies most at the level of the citizen. It amounts to human
well being; not only protection form harm and injury but from access
to water, food, shelter, health, employment, and other basic requisites
that are the due to every person on earth. It is collective of the citizen
34 | T e o r i d a n P r a k t i k

needs – overall safety and quality life – that should figure


prominently in the nation’s view of security.”
Dari berbagai literatur yang dikemukakan di atas, kita dapat
melihat bahwa ancaman militer hanyalah satu bagian dari berbagai
dimensi ancaman yang ada. Keamanan nasional yang kontemporer
memberikan definisi keamanan secara fleksibel dan longgar,
dengan memasukkan unsur dan perspektif yang tidak terdapat
dalam diskursus tradisional.
Keamanan tidak lagi hanya berkaitan dengan perhubungan
antara militer dan dimensi eksternal, tetapi juga menyangkut
dimensi-dimensi lain, termasuk juga sipil. Keamanan juga tak lagi
hanya terbatas pada dimensi militer, seperti yang sering
diasumsikan oleh banyak orang dalam diskusi tentang konsep
keamanan, namun kini merujuk pada seluruh dimensi yang
menentukan eksistensi negara.
Merujuk kepada pendapat Klaus Norr dan K.J. Holsti,
perkembangan elemen kekuatan modern terdiri dari informasi
(informational), kemampuan diplomasi (diplomatic), daya tahan
ekonomi (economic), dan kekuatan militer (military), sehingga
keamanan nasional tidak lagi merujuk pada pemahaman lama yang
bersifat keamanan fisik, melainkan lebih luas dari itu, yang tidak
lain adalah keamanan manusia atau human security.
Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan
sesuatu yang dipandang penting. Mereka dapat menghadapi
ancaman dari pelbagai sumber, bahkan termasuk dari aparatur
represif negara, epidemi penyakit, kejahatan yang meluas, sampai
dengan bencana alam maupun kecelakaan. Hasnan Habib
mengatakan bahwa: “keamanan nasional merupakan perpaduan
atau gabungan antara keamanan teritorial (pertahanan) dan
keamanan manusia”.
Keamanan Teritorial meliputi ancaman terhadap Keamanan
Negara atau Keamanan Teritorial, termasuk ancaman terhadap
kedaulatan, integritas wilayah nasional dan Iuar atau external
I l m u P e r t a h a n a n | 35

threat. Keamanan territorial termasuk ke dalam dimensi MiIiter,


serta sarana utama penanggulangannya berasal dari Kekuatan
Militer (senjata) yang dikerahkan di medan perang (front militer).
Sedangkan keamanan manusia terkait erat dengan adanya
ancaman-ancaman langsung terhadap kehidupan manusia, baik itu
individu, masyarakat, maupun bangsa. Contoh dari jenis ancaman
tersebut meliputi: kelaparan, kemiskinan, kebodohan, penyakit
menular (AIDS), pengangguran, power abuse, pencemaran
lingkungan kejahatan (terutama organized crime), konflik SARA,
terorisme, kekerasan politik, perilaku hukum rimba, dan
diskriminasi.
Keamanan manusia masuk ke dalam dimensi non-militer
yang meliputi: sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan hidup,
kemanusiaan. Sarana penanggulangan bagi ancaman tersebut
diarahkan kepada kekuatan sosial, budaya, politik, HAM dan
lingkungan hidup.
Dengan penggabungan dua jenis keamanan tersebut, maka
keamanan nasional merupakan keamanan yang bersifat
komprehensif. Keamanan nasional yang bersifat komprehensif
memberi implikasi bahwa keamanan tidak lagi bisa ditangani
secara sendiri-sendiri, karena hal tersebut telah berkembang
menjadi keamanan bersama
Atas dasar tersebut, lantas perlu dilakukan pembinaan kerja
sama keamanan (cooperative security) yang melibatkan semua
komponen keamanan nasional, baik militer maupun non-militer.
Pendapat lain datang dari Ingo Wandlet, yang mengatakan bahwa:
“keamanan komprehensif tidak lagi hanya bisa dijamin dengan
peranan aktor-aktor profesional seperti militer, polisi, dan intelijen.
Perluasan skala ancaman mengakibatkan membesarnya kebutuhan
akan jumlah aktor penjamin keamanan secara institusional”.
Mengenai perkembangan keamanan yang komprehensif,
Rizal Sukma memaparkan bahwa konsepsi mengenai “keamanan”
tidak lagi didominasi oleh pengertian yang bersifat militer yang
menekankan aspek konflik antar negara, khususnya yang berkaitan
36 | T e o r i d a n P r a k t i k

dengan aspek ancaman terhadap integritas wilayah nasional.


Dengan berakhirnya Perang Dingin, pemahaman konsep keamanan
telah diperkuat dari sudut pandang menyeluruh, yakni lewat
konsep keamanan komprehensif atau comprehensive security.
Dengan ruang lingkup keamanan yang tidak lagi terbatas
pada dimensi militer, muncul berbagai istilah baru terkait
keamanan seperti human security, keamanan lingkungan
(environmental security), keamanan pangan (food security),
keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi
(economic security).
Sumber ancaman (source of threat) terhadap apa yang selama
ini dikenal sebagai “keamanan nasional” pun jadi makin luas.
Ancaman bukan hanya berasal dari dalam (internal threat)
dan/atau luar (external threat), tetapi sudah bersifat global tanpa
bisa dikategorikan sebagai ancaman dari luar atau dalam negeri.
Di saat yang bersamaan, terdapat juga dimensi ancaman yang
berkaitan dengan human security. Dimensi ancaman ini meliputi
aspek ancaman politik yang berkaitan dengan perang antar negara,
konflik dalam negara, hilangnya rasa aman dan meningkatnya
kejahatan kriminal, pemerintahan yang represif, dan adanya
serangan teroris.
Kemudian, ancaman di bidang ekonomi yang meliputi
ketidakstabilan ekonomi seperti adanya resesi dan inflasi, serta
meningkatnya jumlah pengangguran dan bertambahnya angka
kemiskinan. Ancaman sosial juga menjadi dimensi ancaman yang
berkaitan dengan human security. Ancaman ini meliputi infeksi
penyakit yang serius, menularnya wabah, kecelakaan yang tak
diperhitungkan dan bersifat massal, berkurangnya rasa aman, dan
terjadinya degradasi kualitas lingkungan, serta terjadinya
kekerasan dan pelanggaran HAM yang serius.
Keempat, yaitu ancaman alam berkaitan dengan bencana
alam yang mengancam keamanan manusia, seperti topan, badai,
erupsi merapi, banjir, dan tsunami. Apa yang selama ini dikenal
sebagai “keamanan dalam negeri” atau internal security kini bisa
I l m u P e r t a h a n a n | 37

dihadapkan dengan berbagai jenis ancaman yang lebih luas, mulai


dari kemiskinan, epidemi, bencana alam, kerusuhan sosial,
pertikaian antar golongan, kejahatan, pemberontakan bersenjata
sampai dengan gerakan separatis bersenjata.
Gangguan-gangguan yang timbul karena kesenjangan sosial,
pertikaian antar golongan maupun gerakan
separatis/pemberontakan bersenjata merupakan ancaman yang
secara langsung dapat mengganggu stabilitas keamanan dalam
negeri. Sementara itu dari pelbagai sumber di negara maju,
berkembang wacana untuk mengembangkan fungsi Keamanan
Nasional (national security) meliputi fungsi Pertahanan (defence),
Keamanan Negara (home land security), Keamanan Ketertiban
Masyarakat (public security), Keselamatan Masyarakat (public
safety) dan Keamanan Insani (human security). Mengacu kepada
pembahasan di atas maka sistem keamanan nasional mutlak
memasukkan fungsi-fungsi tersebut sebagai konsep
operasionalisasi teknis pelaksanaannya.
Sifat ancaman di masa kini juga bergeser menjadi
multidimensional, tidak lagi mengarah kepada kekuatan militer
semata, tetapi merasuki berbagai lingkungan, baik ke gatra budaya,
ekonomi, politik maupun pertahanan dan keamanan. Keamanan
nasional adalah keamanan yang sifatnya komprehensif, sehingga
keamanan nasional menjadi kebutuhan dasar untuk melindungi
dan menjaga kepentingan nasional suatu bangsa. Hal ini
dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan politik, militer dan
ekonomi untuk menghadapi ancaman, baik yang datang dari dalam
maupun luar negeri. Keamanan nasional pada negara demokrasi
umumnya mencakup kemanan negara (state security), keamanan
masyarakat (public security), dan keamanan manusia (human
security) (Mukhtar, 2011).
Keamanan manusia merupakan kondisi dinamis yang
menjamin terpenuhinya hak-hak dasar setiap individu warga
negara untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai ancaman
dalam domain keamanan nasional. Lalu, keamanan publik adalah
38 | T e o r i d a n P r a k t i k

kondisi dinamis yang menjamin terwujudnya keamanan dan


ketertiban masyarakat, terselenggaranya pelayanan dan
pengayoman masyarakat, serta penegakan hukum dalam
menciptakan keamanan nasional.
Sedangkan keamanan negara dibagi menjadi dua, yaitu
keamanan ke dalam dan keamanan ke luar. Keamanan ke dalam
adalah kondisi dinamis yang menjamin tetap tegaknya kedaulatan,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dan Negara
dari ancaman dalam negeri dalam menciptakan keamanan
nasional.
Sementara itu, keamanan ke luar adalah kondisi dinamis yang
menjamin tetap tegaknya kedaulatan, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari ancaman yang datang dari luar
negeri dalam rangka terwujudnya keamanan nasional Indonesia.
Secara umum, konsep keamanan nasional juga tidak bisa
dilepaskan dari bagaimana pemerintahan dari suatu negara
memandang ancaman dan memperjuangkan kepentingannya.
Maka itu, keamanan nasional dari aspek politik dapat dilihat
dari empat pendekatan yang terdiri dari:
1) Pendekatan Realisme.
2) Teori Kritis.
3) Teori konstruktivisme.
4) Pendekatan Integratif.

Realism Approach atau pendekatan realisme menilai bahwa


masalah keamanan nasional tidak ingin terganggu oleh negara lain
sehingga negara memiliki otorisasi mandiri untuk mengatur
negaranya. Hal ini bisa dilihat dari kasus Korea Utara dan Amerika
Serikat. Pada kasus ini, Korea Utara berpandangan bahwa satu-
satunya jalan untuk menjaga keamanan nasional negaranya adalah
dengan menguatkan kekuatan persenjataan. Inti pemikiran ini
adalah memicu konflik atau perang akibat kecenderungan negara
yang menganggap bahwa akan ada ancaman terhadap negaranya,
sehingga berpikir untuk membangun kekuatan militer pertahanan.
I l m u P e r t a h a n a n | 39

Kemudian, Teori Kritis lebih berfokus pada bagaimana cara


suatu negara dalam menganalisa ancaman dari luar negeri.
Penilaian terhadap suatu ancaman biasanya akan mempengaruhi
keputusan politik yang akan diambil oleh suatu negara baik
berkaitan denga kebijakan dalam negeri maupun kebijakan luar
negeri.
Sementara itu dalam Teori Konstruktivisme, keamanan dan
ancaman adalah konstruksi sosial. Konsep ini seharusnya bisa
dikembangkan karena keamanan bisa diatur berdasarkan sejarah.
Manusia yang sepakat jika ingin damai tidak seharusnya percaya
pada pemikiran bahwa negara adalah anarkis karena setiap warga
negara memiliki keinginan untuk damai. Keamanan lahir dari
identitas dan keamanan itu sendiri.
Yang keempat, yaitu Pendekatan Integratif merupakan
pendekatan yang mengombinasikan cara pandang terhadap
persoalan internal dan eksternal dalam urusan kemanan nasional
secara komprehensif.
Saat ini, juga terdapat sebuah konsep baru yang tengah
gencar diaplikasikan di berbagai negara di dunia, khususnya
negara-negara yang sedang mengalami transisi dari konflik atau
sistem politik otoriter kea rah perdamaian dan sistem politik
demokratis. Konsep tersebut dinamai sebagai Security Sector
Reform/SSR, atau Reformasi Sektor Keamanan/RSK.
Istilah SSR pertama kali diperkenalkan secara resmi lewat
pidato yang disampaikan oleh Claire Short, Menteri Luar Negeri
Inggris untuk Pembangunan Internasional dan melalui laporan
kebijakan United Kingdom Department for International
Development pada akhir tahun 1990an. (Lihat, Hänggi, 2009).
Kelahiran RSK sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya
transformasi besar dalam cara pandang masyarakat dunia pasca
Perang Dingin. Ketika perhatian masyarakat dunia beralih dari
rezim bipolar yang mengusung perspektif keamanan tradisional
(traditional security) ke rezim multilateral yang berspektif
keamanan manusia (human security) pasca Perang Dingin, RSK
40 | T e o r i d a n P r a k t i k

lahir untuk mengisi kekosongan antara isu keamanan dan


pembangunan.
Seiring dengan perkembangannya, RSK kemudian mencakup
beragam aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan keamanan di
sebuah negara. Aktor-aktor tersebut meliputi militer, polisi dan
intelijen, dan juga institusi politik yang demokratis, seperti
kementerian dan parlemen (Hänggi, 2009).
Dalam beberapa kasus, RSK juga melibatkan peranan aktor-
aktor non-negara seperti organisasi masyarakat sipil, milisi,
perusahaan keamanan swasta dan juga sektor peradilan seperti
pengadilan, penjara dan kejaksaan (OECD, 2007).
Timothy (2001) menyebut bahwa peranan keamanan dan
aktor-aktor sektor keamanan dalam reformasi politik dan ekonomi
ini menjadi hal yang kompleks dan krusial. Apalagi bagi banyak
negara berkembang, RSK menjadi sebuah tantangan besar
terhadap transisi politik dalam konteks proses demokratisasi.
RSK telah memainkan peran penting dalam
mendemokratisasikan sistem politik di negara-negara yang
dulunya menerapkan sistem otoriter, terutama untuk menjamin
keberlangsungan good governance, meningkatkan pembangunan
ekonomi berkelanjutan, serta pencegahan konflik. (Banyu Perwita,
2005)
Lebih lanjut, upaya ini dapat ditempuh melalui
pengembangan institusi yang bertanggung jawab terhadap
perlindungan masyarakat, pengembangan akuntabilitas kepada
individu maupun masyarakat, serta menjadikan lembaga lembaga
tersebut lebih responsif terhadap kebutuhan keamanan
masyarakat, sambil menjamin bahwa penyediaan keamanan
masyarakat akan menjadi lebih efektif dan efisien.
I l m u P e r t a h a n a n | 41

III
PERTAHANAN NEGARA
42 | T e o r i d a n P r a k t i k

PERTAHANAN
NEGARA

3.1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

P
endekatan yang digunakan dalam menganalisis
implementasi kebijakan pertahanan tentang
implementasi pengawasan Samudera Hindia dan Selat Sunda di
daerah kewenangan Lantamal II Padang dan Lantamal III Jakarta
ini khususnya pembangunan Lanudal Bengkulu adalah teori yang
dikemukakan oleh teori implementasi Suhirwan (2016) yang
merupakan pengembangan teori implementasi Van Metter dan Van
Horn (1974). Di mana implementasi dapat berhasil dengan adanya
8 (delapan) variabel dalam kebijakan publik yaitu komitmen,
standar dan tujuan kebijakan, sistem Informasi, sumber-sumber
daya, karakteristik pelaksana, komunikasi antar organisasi, sikap
para pelaksana, dan Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Kedelapan faktor di atas harus dilaksanakan secara
simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki
hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan
pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan
pengertian dengan cara mem-breakdown (diturunkan) melalui
eksplanasi implementasi ke dalam komponen prinsip.
Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana
meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor
mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya
terhadap implementasi.
I l m u P e r t a h a n a n | 43

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi


kebijakan menurut Suhirwan (2016), sebagai berikut:
1) Komitmen Pimpinan.
Komitmen adalah niat atau tekad untuk melaksanakan
sesuatu yang menjadi daya dorong yang sangat kuat untuk
mencapai tujuan. Niat dan tekad ini, dapat dilaksanakan
terlihat dari sikap dan tindakan yang dilaksanakan. Ketiadaan
komitmen dari segala lini dalam organisasi, khususnya para
Pemimpin, maka pelaksanaan implementasi suatu kebijakan
tidak akan tercapai. Pemimpin sangat berperan kuat dalam
mempengaruhi pelaksanaannya untuk mencapai tujuan
organisasi agar dapat meningkatkan kinerja dari para pegawai
sehingga tercapai prestasi kerja sesuai yang diharapkan.
Tanpa Komitmen Pemimpin semua hal yang sudah
dirancang dan direncanakan tidak akan ada gunanya dan
tidak akan berjalan dengan baik. Komitmen tidak hanya
sekedar diucapkan atau dituangkan dalam bentuk kebijakan
tertulis dan berupa instruksi, tetapi harus diwujudkan secara
nyata dalam tindakan dan sikap sehari-hari.
Bentuk Komitmen Pimpinan dalam mewujudkan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, sebagai berikut:
a. Komitmen dalam mencapai visi, misi, dan tujuan
organisasi.
b. Komitmen dalam melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan prosedur kerja standar organisasi;
c. Komitmen meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
d. Komitmen dalam mengembangkan kebersamaan tim
kerja secara efektif dan efisien; dan
e. Komitmen berdedikasi pada organisasi secara
kritis/rasional.

Komitmen merupakan salah satu faktor yang sangat


mempengaruhi prestasi kerja, di mana seseorang yang
memiliki komitmen terhadap organisasi maka dia akan
44 | T e o r i d a n P r a k t i k

bersedia untuk bekerja dengan baik demi perusahaan dan


bersedia terlibat dalam kegiatan perusahaan. Selain Komitmen
Pemimpin untuk melaksanakan kebijakan yang sudah
ditetapkan, terdapat juga Komitmen Organisasi, di mana
individu di dalam organisasi untuk tetap bekerja, mempunyai
kewajiban untuk tetap berada di dalam organisasi dan
mempunyai keterikatan secara psikologis dalam memajukan
organisasinya.
Menurut Meyer dan Allan (2009: 1-18) bentuk Komitmen
Organisasi yang keseluruhannya mempunyai implikasi
terhadap kelanjutan partisipasi individu dalam organisasi,
yaitu Affective Commitmen, Normative Commitment, dan
Continuance Commitment:
a) Affective Commitment
Merupakan kuatnya hasrat seseorang untuk tetap
bekerja pada sebuah organisasi karena ia merasa cocok
dan mau melakukannya. Affective Commitment terhadap
organisasi merupakan variable keterikatan emosional
terhadap organisasi, yang meliputi penerimaan nilai -
nilai organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal
bersama organisasi.
Affective Commitment dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
sebagai berikut:
➢ Daya tarik pekerjaan.
➢ Kejelasan peran.
➢ Kejelasan tujuan.
➢ Kesulitan tujuan.
➢ Penerimaan terhadap gagasan karyawan.
➢ Ikatan antar karyawan .

b) Normative Commitment
Normative Commitment adalah perasaan wajib yang ada
pada karyawan untuk tetap berada di dalam organisasi
karena ia merasa berkewajiban untuk tetap tinggal di sana.
I l m u P e r t a h a n a n | 45

Wainer mendefinisikan sebagai tekanan normative yang


terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku
tertentu sehingga memenuhi tujuan dan keinginan
organisasi.
Normative Commitment dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu sebagai berikut:
➢ Perasaan dibutuhkan,
➢ Perlakuan adil, dan
➢ Perasaan dipentingkan.

c) Continuance Commitment
Continuance Commitment adalah komitmen yang
didasarkan pada biaya yang ditanggung karyawan bila
keluar dari organisasi. Dapat dikatakan komitmen
terhadap organisasi dengan menunjukkan keterikatan
psikologis terhadap suatu organisasi yang berhubungan
dengan persepsi nilai yang telah ditanamkan dalam studi
organisasi dan efeknya pada kesempatan keluar dari
organisasi. Continuance commitment merupakan
komitmen yang rasional. Karyawan bertahan karena
membutuhkan, dia tidak bisa memilih identitas sosial lain
karena ancaman, kerugian. Karyawan di sini
memperhitungkan untung-rugi. Jadi Continuance
commitment adalah kuatnya hasrat seseorang untuk tetap
bekerja pada sebuah organisasi karena ia membutuhkan
dan tidak mampu berbuat lain.
Continuance commitment dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu sebagai berikut:
➢ Transfer keterampilan dari organisasi
➢ Pendidikan formal
➢ Kesempatan untuk pindah tempat, jika keluar dari
organisasi yang bersangkutan.
➢ Pensiun yang hilang jika keluar dari organisasi yang
bersangkutan.
46 | T e o r i d a n P r a k t i k

➢ Kesempatan mendapatkan organisasi lain yang lebih


baik.

Pada penulisan buku ini, peneliti hanya memperhatikan


bagaimana komitmen seorang pemimpin untuk melaksanakan
suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Komitmen Pemimpin
sangat diperlukan mengingat rotasi perputaran masa jabatan
Pemimpin akan terjadi setiap waktu. Ketiadaan Komitmen
Pemimpin dalam kelangsungan pelaksanaan suatu kebijakan
akan menyebabkan munculnya kebijakan baru yang bukan
lagi merupakan untuk kelangsungan organisasi, tetapi ada
kalanya memiliki kepentingan pribadi atau golongannya.

2) Standar dan Tujuan Kebijakan


Implementasi kebijakan harus memiliki standar dan sasaran
yang jelas serta terarah sehingga dapat direalisasikan. Suatu
kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu
yang harus dilaksanakan oleh para implementor. Kinerja
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Karena dijadikan
sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran
dirumuskan secara spesifik dan kongkret. Apabila suatu
kebijakan tidak memiliki standar dan sasaran yang jelas maka
akan dapat menimbulkan interpretasi dan mudah memicu
terjadinya kesalahpahaman dan konflik antara para
implementor di lapangan.
3) Sistem Informasi
Sistem informasi yaitu suatu sistem yang menyediakan
informasi untuk manajemen dalam mengambil keputusan dan
juga untuk menjalankan operasional organisasi atau
perusahaan, di mana sistem tersebut merupakan kombinasi
dari orang-orang, teknologi informasi dan prosedur-prosedur
yang terorganisasi. Biasanya suatu organisasi atau perusahaan
(badan usaha) menyediakan semacam informasi yang berguna
bagi manajemen untuk mengambil suatu keputusan.
I l m u P e r t a h a n a n | 47

Tujuan dari sistem informasi adalah untuk menghasilkan


informasi. Sistem informasi merupakan data yang diolah
menjadi bentuk yang berguna bagi para penggunanya. Data
yang diolah saja pun tidak cukup apabila dikatakan sebagai
suatu informasi. Untuk dapat berguna, maka ada tiga pilar
sebagai berikut:
a. Relevance : Tepat kepada orangnya.
b. Timeliness : Tepat waktu.
c. Accurate: Akurat atau tepat nilainya.

Apabila tiga hal tersebut tidak terpenuhi, maka informasi tidak


dapat dikatakan berguna, melainkan sampah (garbage).
Berikut ciri-ciri dari sistem informasi:
a. Baru: Informasi yang di dapat adalah baru, dan segar bagi
para penerima informasi.
b. Tambahan: Informasi dapat diperbaharui atau memberi
tambahan terhadap informasi yang sebelumnya telah
hadir.
c. Kolektif: Informasi yang dapat menjadi suatu koreksi dari
informasi yang salah sebelumnya.
d. Penegas: Informasi yang dapat mempertegas informasi
yang sebelumnya telah ada.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan lebih efektif


apabila adanya suatu sistem informasi, yang menjadi suatu
sarana prasarana bagi implementor untuk melaksanakan
implementasi kebijakan. Wujud sistem informasi guna
membantu keberhasilan implementasi kebijakan tersebut
dengan memperhatikan jenis-jenis sistem informasi yang
disampaikan oleh Indrajit (1987), antara lain berupa:
a. Transaksional Sistem Informasi, yaitu merupakan
sistem informasi di mana proses di dalamnya berupa
transaksi data berupa Create, Read, Update and Delete
(CRUD) secara berulang-ulang ke dalam database, level ini
dilakukan oleh staff EDP (Electronik Data Processing);
48 | T e o r i d a n P r a k t i k

b. Managerial Sistem Informasi, yaitu pada level ini dalam


sistem informasi sudah ada fitur untuk melihat
rekapitulasi data berupa pelaporan, informasi yang
dihasilkan. Sistim Informasi pada sistem ini dimanfaatkan
oleh staf pada level manager;
c. Ekskutif Sistem Informasi, yaitu: pada level ini, sistem
informasi sudah bisa menjadi acuan dalam mengambil
keputusan (Decision Support System), fitur sistim
Informasi ini dimanfaatkan oleh level ekskutif (Direktur
Utama/ Pimpinan).

Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan


kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai
bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi
pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepatuhan
kepada peraturan pemerintah dan undang- undang. Kenyataan
di lapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang
diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan
informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan
memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak
bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja
sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan
membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap
peraturan pemerintah yang ada. Implementasi kebijakan ini
jika dilengkapi dengan sistem informasi yang memadai dapat
membantu para implementor mengambil suatu keputusan
yang strategis.
4) Sumber Daya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Manusia merupakan sumber daya terpenting dalam
menentukan keberhasilan atau implementasi kebijakan. Setiap
tahap implementasi menuntut adanya sumber daya yang
I l m u P e r t a h a n a n | 49

berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh


kebijakan yang telah ditetapkan secara politik.
Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu
menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan
implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Derthicks (dalam Van Meter dan Van Horn, 1974) bahwa :
“New toun suggest that the limited supply of federal incentives
was a major contributor to the failure of the program “.
Van Meter dan Van Horn dikutib dalam Widodo (2007),
menegaskan bahwa : “Sumber daya kebijakan (policy resources)
tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya
kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk
memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan.
Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang
dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu
kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain
dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan
besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan “.
Suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya
baik sumberdaya manusia (human resources), maupun sumber
daya non- manusia (non-human resorce) seperti sumber daya
matrial (matrial resources) dan sumber daya metoda (method
resources).
5) Karakteristik Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi
formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam
pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja
implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri
yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini
berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan
pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang
ketat dan disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen
pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan
50 | T e o r i d a n P r a k t i k

atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam


menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut George Edward III (1980), 2 (buah) karakteristik
utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja
standar (SOP: Standard Operating Procedures) dan
fragmentasi.
a. Standard Operating Procedures (SOP).
SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap
keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan
keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya
organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas.
SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di
masa lalu mungkin menghambat perubahan dalam
kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program
baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi
kebijakan- kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara
kerja baru atau tipe- tipe personil baru untuk
mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang
rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP
menghambat implementasi (Edward III, 1980).
b. Fragmentasi
Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di
luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif,
kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat
eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang
mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi
adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu
wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi.
“fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy
area among several organizational units.” (Edward III,
1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang
terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin
saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin
I l m u P e r t a h a n a n | 51

kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward


menyatakan bahwa: “secara umum, semakin koordinasi
dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan,
semakin kecil peluang untuk berhasil” (Edward III, 1980).
Karakteristik Pelaksana meliputi birokrasi, norma-norma,
dan pola-pola hubungan yang potensial maupun aktual
yang terjadi dalam birokrasi sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan implementasi. Lebih jelasnya karakteristik
berhubungan dengan kemampuan dan kriteria staf tingkat
pengawas hirarkis terhadap keputusan-keputusan sub
unit dalam proses implementasi. Sumberdaya pelaksana,
validitas organisasi, tingkat komunikasi terbuka, yaitu
jaringan komunikasi vertikal dan horizontal dalam
organisasi hubungan formal dan informal antara
pelaksana dengan pembuat kebijakan.
Organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus
diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu sebagai
berikut:
➢ Kompetensi dan jumlah staf,
➢ Rentang dan derajat pengendalian,
➢ Dukungan politik yang dimiliki,
➢ Kekuatan organisasi,
➢ Derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi,
dan
➢ Keterkaitan dengan pembuat kebijakan.

6) Komunikasi Antar Organisasi


Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif,
menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa
yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para
individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar
dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada
52 | T e o r i d a n P r a k t i k

para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan


tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and
uniformity) dari berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman
terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang
menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai.
Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang
harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,
pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan
proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita
kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke
organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami
gangguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika
sumber komunikasi berbeda memberikan interpretasi yang
tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan,
atau sumber informasi sama memberikan interpretasi yang
penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu
saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian
yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara
intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang
efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para
pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy
and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo
1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang
ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik
koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat
dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin
kecil, demikian sebaliknya.
Dalam implementasi suatu kebijakan perlu adanya dukungan
dengan instansi lain seperti dukungan komunikasi dan
koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerja sama
antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut.
I l m u P e r t a h a n a n | 53

Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi


dari suatu program-programnya tersebut dapat direalisasikan
dengan tujuan serta sasarannya. Komunikasi antar organisasi
merupakan hal yang kompleks. Penyampaian informasi ke
bawah pada suatu organisasi atau organisasi yang satu ke
organisasi yang lain, mau atau tidak komunikator baik secara
sengaja atau tidak.
7) Sikap Para Pelaksana
Sikap para Pelaksana menurut pendapat Van Metter dan Van
Horn dalam Agustinus (2006), sebagai berikut:
”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana
kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi
karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi
warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan
persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para
pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu
menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang
harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu
terhadap kepentingan- kepentingan organisasinya dan
kepentingan- kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van
Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa:
“Implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih
dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam
batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam
elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan
kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara
lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman
dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap
kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral
54 | T e o r i d a n P r a k t i k

atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga,


intensitas terhadap kebijakan”.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan
tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga
implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal
(frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya
menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah
disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan
tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana
(implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga
merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi
gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka
menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater
dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam
terhadap standar dan tujuan kebijakan di antara mereka yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut,
adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van
Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi
para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi
pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan
gagalnya implementasi kebijakan.
Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi
implementor ini dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:
a. Respons implementor terhadap kebijakan, yang dikaitkan
dengan kemauan implementor untuk melaksanakan
kebijakan publik;
b. Kondisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah
ditetapkan; dan
c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai
yang dimiliki tersebut. Wujud respons individu pelaksana
menjadi penyebab keberhasilan ataupun kegagalan
I l m u P e r t a h a n a n | 55

implementasi, di mana apabila pelaksana tidak


memahami tujuan kebijakan, terlebih apabila sistem nilai
yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai
pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif.

8) Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik


Menurut pendapat Webster, mengatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan keputusan
kebijakan (biasanya dalam bentuk undang–undang, peraturan
pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau
dekrit presiden). Pada sisi lain, Van Mater dan Van Horn
(1974), menyatakan adalah bahwa: “Implementasi kebijakan
adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-
individu dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang
diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi
prioritas dalam keputusan kebijakan”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi
kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara
pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.
Implementasi kebijakan juga merupakan suatu sistem
pengendalian untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan
dari tujuan kebijakan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan pada prinsipnya tidak hanya terbatas
pada proses pelaksanaan suatu kebijakan namun juga
melingkupi tindakan-tindakan atau perilaku individu-individu,
kelompok pemerintah dan swasta, serta badan-badan
administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan program dalam mencapai tujuan, akan
tetapi juga mencermati berbagai kekuatan politik, sosial,
ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap sasaran yang
ingin dicapai. Dengan demikian, implementasi kebijakan
dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu
56 | T e o r i d a n P r a k t i k

program dirumuskan, serta apa dampak yang timbul dari


program kebijakan itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka lingkup Kebijakan yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi dari suatu
kebijakan, adalah sebagai berikut :
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat
kemajuan teknologi.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat menyangkut akan hal
keadaan suatu masyarakat secara umum, mulai dari
pendidikan, keadaan ekonomi, dan kondisi socialnya yang
secara sederhana dapat dikatakan kepada masyarakat
yang sudah terbuka dan modern dengan masyarakat yang
tertutup dan tradisional. Masyarakat yang sudah terbuka
akan lebih mudah menerima program-program
pembaharuan daripada masyarakat yang masih tertutup
dan tradisional. Sementara itu, teknologi sendiri adalah
sebagai pembantu untuk mempermudah
pengimplementasian sebuah program. Teknologi yang
semakin modern tentu akan semakin mempermudah.
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
Dukungan publik akan cenderung besar ketika
kebijakan yang dikeluarkan memberikan insentif ataupun
kemudahan, seperti pembuatan KTP gratis, dan lain-lain.
Sebaliknya, dukungan akan semakin sedikit ketika
kebijakan tersebut malah bersifat dis-insentif seperti
kenaikan BBM.
c. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat
dan implementors
Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan
tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah
variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana
harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas
tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan
tersebut.
I l m u P e r t a h a n a n | 57

Kondisi sosial ekonomi dan politik mencakup sumberdaya


ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi
kebijakan. Sebagaimana dapat diambil inferensi logis dari bagan
sistem kebijakan didepan, kondisi sosial, ekonomi dan politik juga
berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Hal
terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan
eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Upaya implementasi kebijakan
mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.
Skema Teori Implementasi Suhirwan (2016) dengan
memodifikasi teori Implementasi Van Meter dan Van (1974),
sesuai pada gambar 3.1 dibawah ini.

Gambar 3.1 Skema Teori Implementasi Suhirwan


Sumber: Suhirwan (2016)

Fokus implementasi kebijakan adalah pada masalah-


masalah pencapaian tujuan formal kebijakan yang telah
58 | T e o r i d a n P r a k t i k

ditetapkan sebagai keputusan politik. Oleh karenanya, dalam


implementasi kebijakan akan berkaitan dengan konsistensi
pejabat pelaksana dengan keputusan kebijakan, pencapaian
tujuan kebijakan, faktor-faktor yang mempengaruhi
keluar/output dan dampak kebijakan serta melakukan formulasi
kembali sesuai pengalaman lapangan. Atas dasar itu, kemudian
dinamika implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh
berbagai variabel yang saling berkait satu dengan yang lainnya.
Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi pelaksana
merupakan salah satu faktor penting karena pada dasarnya
merujuk pada sistem birokrasi pemerintah. Kedudukan
birokrasi memang sangat strategis dalam proses implementasi
kebijakan publik. Setelah kebijakan publik dirumuskan dan
ditetapkan, maka dibutuhkan adanya suatu sistem untuk
mengimplementasikannya, yaitu birokrasi. Melalui birokrasi
dapat diselenggarakan berbagai variasi tindakan yang luas,
membicarakan dan menyelenggarakan petunjuk,
menyelenggarakan pendanaan, menjabarkan informasi,
menganalisis masalah, membantu dan mempermudah personil,
membuat unit-unit operasional, dan lain-lain.

3.2 KEBIJAKAN PERTAHANAN NEGARA

G
una terwujudnya tujuan dan sasaran strategis pertahanan,
maka dirumuskan kebijakan pertahanan negara sebagai
acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem
pertahanan negara yang meliputi segala upaya untuk membangun,
memelihara, serta mengembangkan secara terpadu dan terarah
segenap komponen pertahanan negara. Dalam penyelenggaraanya,
kebijakan pertahanan ini ditetapkan sebagai pedoman bagi
Kementerian Pertahanan dan TNI untuk mewujudkan pertahanan
negara yang memiliki kemampuan daya tangkal dalam
menghadapi dan menanggulangi setiap ancaman. Adapun pokok-
pokok kebijakannya meliputi:
I l m u P e r t a h a n a n | 59

a. Kebijakan Pembangunan Pertahanan Negara, untuk


membangun kekuatan pertahanan tangguh yang memiliki
kemampuan penangkalan sebagai negara kepulauan dan
negara maritim dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI serta keselamatan segenap bangsa Indonesia,
terdiri dari:
1) Pembangunan Postur Pertahanan Negara dengan prinsip
defensif aktif dalam rangka menjamin kepentingan
nasional baik pertahanan militer, meliputi pembangunan
kekuatan, pembinaan kemampuan, gelar kekuatan,
pembangunan MEF TNI, pengelolaan sumber daya
nasional untuk pertahanan negara, maupun pertahanan
nirmiliter, dengan membantu meningkatkan peran K/L
dan Pemda dalam menghadapi ancaman nonmiliter, dan
mengelola sumber daya dan sarana prasarana nasional,
serta dalam membina kemampuan pertahanan nirmiliter
dalam rangka menjamin kepentingan nasional.
2) Pembangunan Sistem Pertahanan Negara, melalui
pengintegrasian sistem pertahanan militer dan
pertahanan nirmiliter dalam menghadapi ancaman militer,
non militer, dan hibrida.
3) Pembangunan Kelembagaan, penguatan pengelolaan
pertahanan negara secara sinergi dan terintegrasi dalam
mengantisipasi ancaman, terdiri atas: pembentukan
instansi vertikal Kementerian Pertahanan; optimalisasi
fungsi Atase Pertahanan pada Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri yang mampu menjalankan
diplomasi pertahanan negara secara luas dan
terkoordinasi; pembangunan sistem pertahanan negara
yang terintegrasi dengan sistem keamanan nasional;
peningkatan kapasitas intelijen dan kontra intelijen; dan
pembentukan lembaga lainnya.
4) Pembangunan Wilayah Pertahanan, untuk memperkuat
sistem pertahanan negara yang mampu menghadapi
60 | T e o r i d a n P r a k t i k

ancaman, dan menunjang keamanan kawasan perbatasan


negara, wilayah maritim, wilayah daratan, dan wilayah
dirgantara termasuk mitigasi bencana meliputi wilayah
daratan, maritim, dan dirgantara.
5) Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil
Terluar/Terdepan (PPKT), melalui pendekatan aspek
pertahanan dan keamanan, aspek kesejahteraan, dan
aspek lingkungan hidup dilaksanakan dengan: menyusun
konsep sabuk pengaman; mendorong penetapan daerah
prioritas pertahanan; meningkatkan pengawasan,
penjagaan, penegakan hukum, pemberdayaan kawasan,
peningkatan operasi pengamanan, dan pemberdayaan
kawasan perbatasan dan PPKT; membangun sarana dan
prasarana termasuk wahana monitoring dan
penginderaan jarak jauh (pesawat terbang tanpa
awak/drone) berbasis satelit; meningkatkan peran TNI
melalui TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD); mendorong
peningkatan fungsi dan kewenangan Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Tim Koordinasi
Pengelolaan PPKT; mendorong K/L terkait dalam
peningkatan perundingan-perundingan perbatasan dan
diplomasi mengenai batas wilayah negara.
6) Pembangunan Teknologi serta Informasi dan Komunikasi
Bidang Pertahanan, guna mengikuti perkembangan
teknologi serta informasi dan komunikasi dilaksanakan
dengan: mengintegrasikan sistem informasi pertahanan
negara dengan menggunakan satelit; mengoptimalkan
pertahanan siber sesuai dengan pedoman pertahanan
siber; mendorong K/L terkait dalam penguasaan teknologi
pertahanan dalam memproduksi peralatan pertahanan
(Alpalhan); mendorong K/L terkait dalam pengembangan
SDM dan pembangunan infrastruktur.
7) Pembangunan di Bidang Kerja sama Internasional
dilaksanakan dengan: bekerja sama dengan K/L terkait
I l m u P e r t a h a n a n | 61

dalam penguatan kerja sama internasional, dan akselerasi


perwujudan komunitas politik dan keamanan ASEAN
(ASEAN Politic and Security Community); diplomasi
melalui dialog pertahanan strategis, dialog keamanan, dan
kemitraan strategis; dan keikutsertaan pemeliharaan
perdamaian dunia di berbagai kawasan.
8) Pembangunan Industri Pertahanan, untuk membangun
industri yang kuat, mandiri, dan berdaya saing agar
mampu mendukung pemenuhan kebutuhan Alpalhan dan
dukungan komponen dan peralatan pendukungnya
termasuk perbaikan dan pemeliharaannya serta
diversifikasi industri pertahanan yang dilaksanakan
dengan: mendorong pembangunan struktur industri
pertahanan dan kerjasama dengan industri pertahanan
luar negeri; meningkatkan kemampuan teknologi dan
kapabilitas industri pertahanan; dan pembinaan industri
pertahanan secara terintegrasi dengan memperhatikan
pengamanan teknologi melalui program K/L dalam
lingkup Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
9) Pembangunan Karakter Bangsa, diselenggarakan melalui
pembinaan kesadaran dan kemampuan bela negara bagi
setiap warga negara Indonesia di lingkungan pemukiman,
lingkungan pendidikan, dan lingkungan pekerjaan yang
berpedoman pada disain induk PKBN dengan membentuk
pusat pendidikan dan latihan bela negara; membentuk
kader bela negara; membantu K/L terkait dalam
pengembangan pendidikan kewarganegaraan; mendorong
K/L terkait dalam proses nation and character building.

b. Kebijakan Pemberdayaan Pertahanan Negara, diarahkan


untuk memelihara dan mengembangkan seluruh kekuatan dan
potensi pertahanan negara, meliputi:
1) Pemberdayaan Pertahanan Militer, bertumpu pada TNI
dalam tugas Operasi Militer untuk Perang dan Operasi
62 | T e o r i d a n P r a k t i k

Militer Selain Perang dengan pola Trimatra Terpadu


didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung, melalui penyusunan kebijakan-kebijakan
strategis, pembinaan kemampuan dan kekuatan TNI,
penataan gelar TNI, dan pembinaan sumber daya nasional
untuk pertahanan militer.
2) Pemberdayaan Pertahanan Nirmiliter, membantu K/L
dalam peningkatan kapasitas, sinergi, dan peran sebagai
unsur utama maupun unsur-unsur lain termasuk di
dalamnya TNI, melalui penyusunan kebijakan-kebijakan
strategis, pembinaan terhadap kemampuan pertahanan
nirmiliter, peningkatan peran serta K/L dan Pemda dalam
upaya penyelenggaraan pertahanan negara, penataan
gelar kekuatan pertahanan nirmiliter, sinergisitas
penyelenggaraan pertahanan militer dan pertahanan
nirmiliter.
3) Pemberdayaan Potensi Pertahanan, menyinergikan fungsi
K/L dan Pemda dalam pembinaan SDM melalui pendidikan
dan pelatihan, pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan SDB
serta sarana dan prasarana nasional, penerapan nilai-nilai
yang dimiliki bangsa Indonesia maupun yang bersifat
universal, penguasaan teknologi melalui program
penulisan buku dan pengembangan dengan perguruan
tinggi, industri nasional/industri pertahanan dan
pengguna, peningkatan efektivitas dan efisiensi
penggunaan anggaran, penataan ruang wilayah nasional,
provinsi, Kabupaten/Kota yang terintegrasi dengan
penataan ruang wilayah pertahanan.
4) Pemberdayaan di bidang kerja sama internasional, bagi
terwujudnya kawasan yang damai dan stabil, yang
diarahkan pada: kerja sama operasi dan latihan bersama,
pertukaran kunjungan, pendidikan dan pelatihan, transfer
teknologi; kerja sama dengan negara-negara tetangga yang
berbatasan langsung dalam penyelesaian persoalan
I l m u P e r t a h a n a n | 63

perbatasan; dialog strategis dalam forum-forum kerja


sama pertahanan; diplomasi pertahanan; pengiriman
pasukan pemeliharaan perdamaian dunia dan bantuan
kemanusiaan.
5) Pemberdayaan industri pertahanan, guna pengembangan
industri nasional menjadi industri pertahanan yang
diarahkan pada: pemenuhan kebutuhan Alpalhan,
mendorong dalam memproduksi produk-produk untuk
kepentingan pertahanan dan non pertahanan, kerja sama
dengan industri pertahanan luar negeri baik kerja sama
produksi dan kerja sama pengembangan.
6) Pemberdayaan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah, membantu dalam hal peningkatan kesadaran bela
negara, baik terhadap unsur utama maupun unsur lain
kekuatan bangsa melalui revitalisasi dalam program
peningkatan nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang
bekerjasama dengan TNI.

c. Kebijakan Pengerahan Kekuatan Pertahanan Negara,


berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara,
dilaksanakan secara terpadu sejak masa damai (tertib sipil),
darurat sipil, darurat militer, dan perang sesuai dengan
mekanisme pengendalian, wewenang dan tanggung jawab,
yang diarahkan untuk menghadapi ancaman militer agresi dan
bukan agresi, ancaman nonmiliter, ancaman hibrida, tugas misi
pemeliharaan perdamaian dunia, dan menghadapi kondisi
tertentu.
d. Kebijakan Regulasi Bidang Pertahanan, untuk pembentukan
peraturan perundang-undangan dalam rangka pengelolaan
pertahanan negara yang disesuaikan dengan ketentuan hukum
nasional maupun hukum internasional yang berdasarkan
prinsip demokrasi dan hak asasi manusia meliputi: pengkajian
dan evaluasi, penyusunan Rancangan Undang
-Undang (RUU), penyusunan Rancangan Peraturan
64 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pemerintah dan Peraturan Presiden, memberikan masukan


kepada K/L terkait dalam penyusunan/perumusan peraturan
perundang-undangan memperhatikan aspek pertahanan
negara.
e. Kebijakan Anggaran Pertahanan, untuk penyelenggaraan
pertahanan negara dengan mempedomani prioritas dan
sasaran bidang pertahanan, serta tugas-tugas sesuai dengan
rencana strategis pertahanan negara yang diarahkan pada:
anggaran belanja pegawai mengacu pada kebijakan right
sizing, percepatan perwujudan MEF, kegiatan
penyelenggaraan pertahanan negara, dan peningkatan
kesejahteraan prajurit dan pegawai negeri sipil Kementerian
Pertahanan dan TNI, koordinasi dan sinkronisasi anggaran
untuk pertahanan nirmiliter dengan K/L terkait dan Pemda,
serta ketersediaan anggaran dalam penanganan kondisi
tertentu yang bersifat darurat untuk bantuan kemanusiaan.
f. Kebijakan Pengawasan, sebagai fungsi manajemen
disinergikan antara fungsi pengawasan internal dan eksternal
yang sudah melembaga sesuai peraturan perundang-
undangan yang diarahkan pada: pengawasan terhadap
penyelenggaraan pertahanan negara dalam rangka mencegah
terjadinya penyalahgunaan anggaran dan menjamin
akuntabilitas pengelolaan anggaran.

3.3 KEBIJAKAN EKONOMI DALAM STRATEGI


PERTAHANAN LAUT

T
ujuan dari kebijakan ekonomi kelautan adalah untuk
menjadikan lautan sebagai basis dari pembangunan
ekonomi nasional. Potensi dari ekonomi kelautan Indonesia tidak
hanya berada di wilayah Perairan Nasional, tetapi juga mencakup
wilayah Perairan Yurisdiksi serta Perairan Internasional yang
dapat dikelola sesuai dengan hukum internasional. Adapun tujuan
dari pembangunan ekonomi yang berbasis pada sumber daya
I l m u P e r t a h a n a n | 65

kelautan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan


menggerakkan sumber daya nasional melalui formulasi desain
program kelautan nasional disertai berbagai kelengkapan
instrumen fiskal, moneter, keuangan, serta mobilisasi lintas
sektor untuk mendukung pembangunan bidang kelautan
(Alhusain, Mauleny, dkk., 2019).
Beberapa program utama dalam implementasi strategi
kebijakan ekonomi kelautan menurut Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman, 2017 yaitu:
1. Menyusun dan mengembangkan basis data serta informasi
mengenai ekonomi kelautan,
2. Menciptakan iklim investasi usaha yang kondusif dan efisien,
3. Mengembangkan usaha di bidang kelautan nasional yang
berdaya saing internasional;
4. Membangun kawasan ekonomi kelautan secara terpadu
dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi biru (blue
economy) di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, pulau-pulau
terluar, serta perairan laut di wilayah Indonesia secara
realistis;
5. Mengoptimalisasi penyediaan fasilitas infrastruktur yang
dibutuhkan oleh dunia usaha dan pelaku usaha di bidang
kelautan, terutama bagi para nelayan;
6. Melakukan intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, serta
memperkuat mutu produk perikanan mulai dari proses
praproduksi hingga pada proses pemasaran;
7. Melakukan pengembangan kemitraan usaha di bidang
kelautan yang akan saling memberikan keuntungan bagi usaha
kecil dan menengah dengan usaha besar; serta
8. Melakukan pengembangan kerja sama ekonomi
berkelanjutan dengan negara mitra strategis dalam bidang
kelautan (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman,
2017).
66 | T e o r i d a n P r a k t i k

Selain itu, berdasarkan aspek politik, posisi geopolitik dan


geostrategis, posisi Indonesia sebagai negara terbesar yang ada di
Kawasan Asia Tenggara, dengan empat choke points dari sembilan
choke points strategis yang ada secara global, serta tiga ALKI yang
mengintegrasikan kawasan Samudera Hindia dengan Samudera
Pasifik dan Asia Timur dengan Australia. Menyebabkan Indonesia
memiliki peran strategis dalam menentukan stabilitas
keamanan di Kawasan (Hermawan, Prakoso, & Sianturi, 2020).

3.4 PERSEPSI ANCAMAN

P
ada aspek kebijakan dan strategi pertahanan, perlu
dicermati bagaimana kebijakan pertahanan menyinggung
tentang persepsi ancaman. Mengacu pada hirarki dalam bidang
pertahanan di Indonesia. Kebijakan umum pertahanan negara
adalah acuan dalam pembangunan kekuatan pertahanan dalam
suatu kerangka waktu. Peraturan Presiden No.41 Tahun 2010
tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2010-2014
secara garis besar telah menyinggung tentang persepsi ancaman.
Mengacu pada Peraturan Presiden itu, saat ini terdapat dua
ancaman yang tengah dihadapi oleh Indonesia, yaitu ancaman
aktual dan ancaman potensial. Bertolak dari Peraturan Presiden
No.41 Tahun 2010, secara spesifik tidak disebutkan mengenai isu
Laut Cina Selatan. Akan tetapi di sisi lain, Peraturan Presiden itu
menegaskan bahwa salah satu ancaman faktual yang tengah
dihadapi oleh Indonesia adalah konflik di wilayah perbatasan.
Dari sisi praktisi, menurut Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro, dewasa ini terjadi pergeseran paradigma di dunia
dalam penyelesaian konflik, yaitu dari hard power ke soft power.
Oleh karena itu, Indonesia mengedepankan diplomasi dalam
mencari solusi atas sengketa Laut Cina Selatan. Menurut Menteri
Pertahanan, Indonesia meyakini bahwa sengketa tersebut dapat
diselesaikan secara diplomatik. Dengan kata lain, Menteri
Pertahanan berpendapat bahwa sengketa Laut Cina Selatan tidak
akan mengalami spill over ke wilayah Indonesia, khususnya Laut
I l m u P e r t a h a n a n | 67

Natuna. Oleh karena itu, pembangunan kekuatan pertahanan


melalui MEF tidak difokuskan pada kawasan Laut Natuna,
melainkan di kawasan Laut Sulawesi.
Pandang yang berbeda muncul dari kalangan akademisi
Indonesia yang diwakili oleh Eddy Prasetyono dan Hasjim Djalal.
Menurut mereka, Laut Cina Selatan dipandang sebagai ancaman
terhadap kepentingan Indonesia. Sebab aktor-aktor yang terlibat
dalam sengketa atau memiliki kepentingan terhadap Laut Cina
Selatan adalah aktor-aktor utama kawasan, seperti Cina dan
Amerika Serikat, sehingga dampaknya akan cukup signifikan
terhadap Indonesia. Pendapat Hasjim Djalal sejalan dengan
pandangan Edy Prasetyono yang melihat sengketa Laut Cina
Selatan memiliki kadar ancaman yang lebih tinggi terhadap
Indonesia daripada sengketa Indonesia Malaysia di Laut Sulawesi.
( Yusuf, 2010)
Dari pandangan peneliti sendiri, sengketa Laut Cina Selatan
lebih berpotensi untuk mengancam kepentingan nasional
Indonesia dibandingkan dengan sengketa di Laut Sulawesi.
Pandangan ini didasarkan pada alasan bahwa negara-negara yang
bersengketa atas wilayah Laut Cina Selatan dan negara-negara
yang berkepentingan atas perairan itu adalah negara-negara besar
di kawasan Asia Pasifik dan negara-negara yang memiliki aliansi
pertahanan dengan negara-negara besar di kawasan ini. Sebagai
contoh adalah Malaysia sebagai salah negara pengklaim di Laut
Cina Selatan mempunyai aliansi pertahanan dalam Five Power
Defence Arrangement (FPDA) bersama dengan Inggris, Australia,
Selandia Baru dan Singapura. Sementara Filipina terikat fakta
pertahanan dengan Amerika Serikat. Bahkan tanpa keterikatan
pakta pertahanan dengan Filipina sekalipun, Amerika Serikat dapat
dipastikan akan turut campur dalam sengketa Laut Cina Selatan
atas nama kebebasan bernavigasi bagi angkatan lautnya,
khususnya dalam penyebaran kekuatan dari kawasan Asia Pasifik
ke kawasan Samudera India dan sebaliknya.
68 | T e o r i d a n P r a k t i k

Dinamika keamanan sengketa Laut Cina Selatan sejak 2009


sampai saat ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam sengketa tidak berupaya untuk mempertahankan status
quo. Sebaliknya, beberapa negara berupaya untuk mengancam
status quo dengan aksi-aksi provokatif di lapangan, misalnya
melakukan penyebaran kapal nelayan dan kapal perang ke wilayah
yang diklaim oleh negara pengklaim lainnya, sehingga
memunculkan stand off yang diikuti oleh ketegangan diplomatik.
Walaupun ASEAN berupaya untuk mendorong Cina guna
menyepakati CoC, terdapat kesan bahwa Cina hanya menginginkan
CoC yang mengakomodasikan kepentingannya sendiri tanpa mau
mengakomodasikan kepentingan Negara-negara ASEAN yang juga
berstatus sebagai pengklaim. Gejala unilateralisme Cina itu tidak
akan berkontribusi positif bagi stabilitas kawasan, sebaliknya
sangat berpotensi mendorong terjadinya eskalasi konflik pada
tahun-tahun mendatang.
Berangkat dari konteks tersebut, Indonesia sebagai negara
jangkar ASEAN sekaligus memiliki posisi strategis di kawasan Asia
Pasifik dipastikan akan terkena implikasi dari sengketa Laut Cina
Selatan, walaupun Indonesia tidak tercatat sebagai salah satu
negara pengklaim. Kompleksitas sengketa Laut Cina Selatan yang
melibatkan banyak aktor dipastikan akan mengancam kepentingan
nasional Indonesia, baik dari aspek politik yaitu stabilitas kawasan
maupun dari aspek ekonomi yaitu keamanan energi Indonesia
yang bersumber dari ladang gas di ZEE Laut Cina Selatan. Di sinilah
alasan peneliti mengapa sengketa Laut Cina Selatan dipandang
lebih berpotensi mengancam kepentingan nasional Indonesia
dibandingkan sengketa di Laut Sulawesi yang hanya melibatkan
dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Terlebih dalam
prakteknya, kedua negara berupaya mempertahankan status quo
seraya terus merundingkan sengketa itu lewat jalur diplomatik
yang hingga saat ini masih terus berlangsung.
I l m u P e r t a h a n a n | 69

3.5 KOHANUDNAS

K
omando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas)
merupakan komando utama terpenting dalam kekuatan
TNI Angkatan udara. Kohanudnas berfungsi sebagai mata dan
telinga pertahanan Indonesia di Udara yang mengawasi berbagai
pergerakan pesawat udara maupun objek yang menggunakan
instrument Air Power sebagai media yang melintasi wilayah
Indonesia. Kohanudnas didirikan pada tangga 9 Februari 1962.
Sebagai pengawal keamanan wilayah udara Indonesia, dalam
melaksanakan tugasnya Kohanudnas didukung oleh Satuan Radar
TNI-AU yang ditempatkan di berbagai daerah. Selain itu
Kohanudnas juga telah mengintegrasikan data dari radar-radar
sipil di seluruh Indonesia.
Kohanudnas merupakan salah satu Kotama Tempur TNI
Angkatan Udara yaitu Koopsau, Kohanudnas, dan Korpaskhas.
Kohanudnas bertugas menyelenggarakan upaya pertahanan
keamanan atas wilayah udara nasional secara mandiri ataupun
bekerja sama dengan Komando Utama Operasional lainnya
(seperti Angkatan Darat maupaun Angkatan Laut) dalam rangka
mewujudkan kedaulatan dan keutuhan serta kepentingan lain dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya matra udara.
Selain beberapa tugas tersebut, Kohanudnas juga
menyelenggarakan pembinaan administrasi dan kesiapan operasi
unsur-unsur Hanud TNI AU dan melaksanakan siaga operasi untuk
unsur-unsur Hanud dalam jajarannya dalam rangka mendukung
tugas pokok TNI.

3.6 SISHANUDNAS

S
istem Pertahanan Udara Nasional (Sishanudnas) adalah
suatu tatanan dalam kerangka Pertahanan Keamanan
Negara dengan melibatkan seluruh unsur berkemampuan Hanud
yang diwujudkan dalam suatu upaya dan tindakan terpadu
70 | T e o r i d a n P r a k t i k

secara terus menerus baik operasional maupun pembinaan untuk


menanggulangi setiap bentuk ancaman udara.
Dalam melaksanakan operasi pertahanan udara menganut
pola gelar Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) ialah Pertahanan
Udara Area, Pertahanan Udara Terminal dan Pertahanan Udara
Titik. Dengan menganut pola gelar dalam Sishanud, maka
kedalaman pertahanan udara dapat dilaksanakan secara berdaya
guna dan berhasil guna dalam rangka melindungi obyek- obyek
vital.
Pada dasarnya Sistim Pertahanan Udara Nasional merupakan
rangkaian unsur Hanud yang secara terpadu melaksanakan
pertahanan wilayah udara nasional terhadap ancaman musuh yang
datang melalui media udara atas wilayahnya, dengan cara gelar
dan giat deteksi, identifikasi, penindakan dan penanggulangan
yang melibatkan potensi nasional berkemampuan hanud. dan
tindakan terpadu dalam menanggulangi ancaman.
Sishanudnas adalah konsep pertahanan dalam kerangka
pertahanan keamanan negara melibatkan seluruh unsur nasional
berkemampuan hanud secara terus-menerus. "Untuk
pelaksanaannya Kohanudnas mempunyai fasilitas, sarana dan
prasarana serta dukungan unsur-unsur terkait meliputi pesawat
tempur sergap, pangkalan udara, rudal jarang sedang, meriam
hanud, rudal taktis TNI AD, KRI Berkemampuan hanud, komunikasi
dan peperangan elektronika, unsur-unsur penerbangan sipil dan
hanud pasif yang digelar secara berlapis dan saling mendukung".
Salah satu unsur berkemampuan Hanud yang dimaksud
dalam Sishanudnas adalah Rudal Darat Udara jarak sedang dan
jarak pendek yang sangat berperan dalam melaksanakan operasi
pertahanan Udara yaitu Rudal Darat Udara jarak sedang untuk
Pertahanan Udara Terminal dan Rudal Darat Udara jarak pendek
untuk Pertahanan Udara Titik. Oleh karena itu Rudal Darat Udara
sebagai salah satu unsur pertahanan udara mutlak diperlukan guna
kemantapan pola gelar Alutsista yang sedang dianut.
I l m u P e r t a h a n a n | 71

3.7 PELANGGARAN YANG TERJADI DI WILAYAH


UDARA INDONESIA

K
emampuan yang dimiliki TNI AU saat ini tidak sebanding
dengan wilayah udara Indonesia yang sangat luas sehingga
hanya sebagian potensi pelanggaran wilayah udara yang dapat
dideteksi dan ditindak. Dokumen pembangunan Kekuatan Pokok
Minimum (Minimum Essential Force) Kementerian Pertahanan
menyebutkan bahwa untuk dapat menangkal berbagai ancaman
aktual dan selaras dengan keterbatasan sumber daya, hingga
tahun 2024 kekuatan udara minimal TNI AU harus sudah
didukung oleh 32 satuan radar dan 11 skuadron tempur.
Insiden pelanggaran wilayah udara yang terjadi beberapa
waktu lalu mengingatkan pemerintah akan rentannya wilayah
udara Indonesia. Sebagai contoh, sebuah pesawat sipil jenis
Gulfstream IV terdeteksi telah memasuki wilayah udara
Indonesia tanpa izin. Pesawat dengan NomorHZ-103 itu berangkat
dari Singapura menuju Darwin, Australia, sebelum menuju tujuan
akhir di Brisbane.
TNI AU mengirimkan dua pesawat tempur Sukhoi milik
TNI AU dari Skuadron udara 11 Makasar untuk melakukan
penyergapan dan pendaratan paksa. Menyadari berada dalam
pengejaran, pesawat asing tersebut malah meningkatkan
kecepatan, bukan memberi informasi kepada pesawat TNI AU
yang mendekatinya. Melakukan pengejaran hingga melewati El
Tari, Kupang, kedua pesawat Sukhoi TNIAU berhasil memaksa
pesawat asing tersebut untuk mendarat di Lanud El Tari.
Sikap pesawat asing tersebut mencerminkan rendahnya
penghormatan mereka terhadap kedaulatan wilayah udara
Indonesia. Keterbatasan radar militer mengakibatkan
pelanggaran semacam itu sering sekali terjadi ditandai dengan
seringnya pesawat-pesawat asing melintasi wilayah udara
Indonesia tanpa dokumen dan izin lengkap. Dalam tahun 2014
saja, TNI AU telah beberapa kali melakukan pengejaran terhadap
72 | T e o r i d a n P r a k t i k

pesawat asing yang melintasi wilayah udara Indonesia tanpa izin,


antara lain terhadap pesawat latih jenis Beechcraft asal
Singapura pada bulan Oktober.
Dua pesawat Sukhoi dari Lanud Batam melakukan
pengejaran yang akhirnya memaksa pesawat asing tersebut
mendarat di Lanud Supadio, Pontianak. Sepekan sebelumnya,
Sukhoi TNI AU juga mengejar pesawat latih asing dengan rute
Australia- Filipina. Sebelum berhasil dipaksa untuk mendarat di
Bandara Sam Ratulangi, Manado, pilot Sukhoi sempat mengunci
sasaran pesawat tersebut karena mereka menolak untuk mendarat
Pada awal tahun 2014 TNI AU juga mendeteksi sebuah
pesawat asing jenis Swearingen SX 300 yang memasuki wilayah
udara Indonesia tanpa izin. Pelanggaran tersebut direspon TNI AU
dengan menerbangkan dua pesawat tempur F-16 dan mencegat
pesawat asing tersebut di sebelah barat Meulaboh, Aceh, yang
kemudian mendaratkan paksa mereka di Lanud Soewondo, Medan
Pelanggaran wilayah udara bukan hanya terjadi pada tahun 2014
saja, tetapi juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagai
contoh, pada Mei 2013 TNI AU Sultan Iskandara Muda menahan
sementara pesawat jenis Dornier 328 milik militer AS di Bandara
Sultan Iskandar Muda karena tidak memiliki izin terbang dalam
wilayah Indonesia. Pada awal tahun 2012, dua pesawat Sukhoi TNI
AU juga memaksa mendarat sebuah pesawat Cessna 208 milik AS.
Radar Komando Pertahanan Udara Nasional
(Kohanudnas) juga mendeteksi keberadaan pesawat angkut
C17 Globemaster milik AU Amerika Serikat yang masuk melanggar
wilayah udara Indonesia lewat Pekanbaru, Riau pada November
2011. Melalui jalur diplomasi dengan pihak AS, akhirnya TNI AU
sepakat untuk menuntun Globemaster keluar dari wilayah udara
sampai Morotai. Pemerintah Indonesia kemudian mengirimkan
nota protes diplomatik terkait insiden tersebut
Uraian di atas mengenai pelanggaran-pelanggaran oleh
pesawat asing terhadap wilayah udara Indonesia mempertegas
bahwa persoalan ini bukan merupakan hal yang baru, dan bukan
I l m u P e r t a h a n a n | 73

tidak mungkin jika ada lebih banyak lagi pelanggaran yang tidak
terdeteksi. Akibat terbatasnya fasilitas radar TNI AU, diakui bahwa
terdapat sejumlah wilayah udara Indonesia yang rawan
pelanggaran. Sebagai wujud penjagaan dan pengelolaan
kedaulatan Indonesia atas wilayah udara nasional, TNI AU telah
beberapa kali memaksa pesawat asing yang melanggar wilayah
udara Indonesia untuk mendarat dan pihak pelanggar pun
dikenakan sejumlah denda, namun pada kenyataannya
pelanggaran masih saja terus terjadi.

3.8 PERAN TNI AU DALAM PERTAHANAN UDARA


NASIONAL

K
ekuatan udara suatu negara memiliki peran penting
dalam suatu pertahanan. Penguasaan ruang udara dan
pemanfaatannya bagi TNI AU sangat berguna dan menjadi salah
satu faktor kunci keberhasilan suatu misi operasi baik berupa
operasi militer perang (OMP) ataupun operasi militer selain perang
(OMSP). Keunggulan kekuatan udara yang merupakan ciri khas
Angkatan Udara adalah pergerakan yang cepat, daya capai di
seluruh titik dan di seluruh wilayah negara dengan fleksibilitas
yang tinggi. Keunggulan tersebut sangat menunjang pelaksanaan
tugas-tugas operasi udara.
Ditinjau berdasarkan regulasi yang digunakan TNI AU
sebagai landasan hukum dalam kebijakan pertahanan udara,
regulasi yang digunakan di antaranya adalah UU RI No 3 tahun
2002 tentang Pertahanan Negara. UU RI No 34 tahun 2OO4 tentang
Tentara Nasional Indonesia, Keputusan Panglima TNI No
KEP/258/IV/2013 tentang Doktrin operasi gabungan TNI,
Perkasau No Perkasau/79/XII/2007 tanggal 13 DES 2007 tentang
Bujuklak Operasi, di mana di dalam beberapa regulasi tersebut
disebutkan bahwa Fungsi TNI AU dalam penyelenggaraan
pertahanan negara adalah sebagai Penangkal, Penindak & Pemulih
dari ancaman yang dapat mengganggu NKRI melalui tindakan OMP
74 | T e o r i d a n P r a k t i k

(Operasi militer perang) maupun OMSP (Operasi militer selain


perang) guna penguasaan wilayah Udara Nasional.
Pasal 9 Undang – Undang No. 34Tahun 2004 tentang TNI
mencantumkan bahwa pihak yang berwenang untuk menindak
pelanggaran wilayah yurisdiksi nasional adalah TNI AU. Bentuk
upaya yangdilakukan oleh TNI AU untuk menegakkan hukum dan
mempertahankan keamanan wilayah udara Indonesia yaitu
dengan cara melaksanakan Operasi Pertahanan Udara dalam tahap
mendeteksi, mengidentifikasi, menindak, dan menetralisir atau
mengurangi dampak dari ancaman udara.
Peran TNI AU sangat penting dan krusial sebagai penjaga
wilayah udara nasional agar terbebas dari ancaman keamanan dan
gangguan terhadap kedaulatan nasional. Untuk mewujudkan peran
tersebut tentu saja membutuhkan infrastruktur yang memadai.
TNI AU saat ini didukung oleh 20 radar militer yang mencakup
sebagian besar wilayah udara Indonesia serta memiliki tujuh
skadron udara tempur dijajaran Koopsau I dan Koopsau II.
Ketersediaan Pesawat tempur yang terbatas dan belum
adanya skadron udara yang langsung di bawah komando
Kohanudnas merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan
tugas Kohanudnas saat ini, di mana kebutuhan pesawat sergap
untuk menjalankan misi pertahanan udara berlapis di wilayah
pertahanan Area, seperti yang dijelaskan pada gambar 4.2, masih
dijalankan oleh skadron udara tempur dari jajaran Koopsau.
Peran TNI AU dalam pertahanan udara akan menjadi lebih
optimal apabila memiliki satuan skadron udara yang terpisah
antara skadron udara tempur (tempur sergap) sebagai unsur
Hanud yang berada langsung di bawah kendali Pangkohanudnas
dan skaron udara tempur serang (terpur serbu) yang berada di
bawah jajaran Koopsau. Masih banyak pelanggaran wilayah udara
yang terjadi dan banyaknya kasus yang tidak dapat ditangani
dengan baik merupakan akibat dari Alat Utama Sistem Pertahanan
(Alutsista) yang terbatas dan tidak memadai di mana alutsista
merupakan semua hal yang berhubungan dengan sistem senjata,
I l m u P e r t a h a n a n | 75

kendaraan, dan perlengkapan militer lainnya yang menjadi faktor


pendukung untuk pengamanan wilayah yurisdiksi nasional.
Adanya penerbangan gelap yang tak mampu terdeteksi oleh
radar Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) dan
pelanggaran udara yang tidak mampu diintersep oleh pesawat TNI
AU dapat menjadi tolak ukur kelemahan pengamanan wilayah
udara nasional. Kondisi ini ditunjukkan dari masih banyaknya
kasus pelanggaran wilayah udara nasional yang terjadi karena
kekuatan alutsista yang sudah ada tidak sebanding dengan luas
wilayah yang harus dijaga sehingga faktor tersebut menjadi
penghambat pengawasan wilayah udara Indonesia yang belum
dapat dilakukan secara optimal.
Hal tersebut dapat menimbulkan dampak pada kedaulatan
nasional dalam hal pencegahan ancaman dan gangguan dari luar.
Perhatian yang lebih serius akan hal ini sangat diperlukan
karena menyangkut dengan keamanan suatu negara terkhususnya
pada bidang udara yang di mana untuk menjaga keamanan wilayah
udara merupakan kewajiban TNI AU, namun apabila kebutuhan
Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) tidak terpenuhi, patut
dipertanyakan kemampuan kesiapan TNI AU dalam hal menjaga
seluruh komponen bangsa Indonesia.
Peran TNI AU Melalui Operasi Pertahanan Udara
Operasi Pertahanan Udara dilaksanakan dalam kondisi negara
terancam ataupun kondisi aman. Dalam kondisi negara aman,
maka Operasi Hanud lebih dititik beratkan pada pengamatan
udara, baik oleh radar Hanud militer maupun radar penerbangan
sipil. Pelaksanaan Operasi Hanud oleh sistem senjata Hanud
lainnya lebih bersifat latihan untuk meningkatkan dan menjaga
tingkat profesionalisme operator, awak serta teknisi sista hanud.
Namun, dalam situasi di mana negara mendapatkan ancaman,
termasuk mendapat ancaman lewat udara maka Operasi Hanud
dilaksanakan berdasarkan beberapa tingkat ancaman yang dibagi
atas tingkat waspada, tingkat siaga dan siap tempur.
76 | T e o r i d a n P r a k t i k

3.9 PERAN TNI AU MELALUI DEFENCE IN DEPTH


(PERTAHANAN BERLAPIS)

S
trategi Operasi Pertahanan Udara adalah dengan
mencegah, menangkal dan menanggulangi berbagai bentuk
ancaman melalui udara sedini mungkin. Untuk itu Kohanudnas
menyelenggarakan apa yang disebut Defence In Depth yaitu
menyelenggarakan pertahanan udara secara berlapis dari jarak
yang terjauh sampai dengan setiap titik vital dari pusat
pertahanan udara. Dalam rangka pelaksanaan operasi pertahanan
udara, wilayah udara dibagi dalam beberapa sektor pertahanan
udara atas dasar kemampuan pengendalian dan kondisi geografi.
Dalam rangka penyelengaraan bersifat Defence In Depth maka
wilayah udara dibagi dalam beberapa sektor pertahanan udara
atas dasar kemampuan pengendalian dan kondisi geografi.
Tujuannya adalah agar tercipta efisiensi dan efektivitas operasi.
Wilayah operasi pertahanan udara di bagi ke dalam beberapa lapis
yaitu Pertahanan Udara Area, Pertahanan Udara Terminal dan
Pertahanan Udara Titik.

3.10 PERAN TNI AU MELALUI GELAR SATUAN


RADAR

A
gar operasi pertahanan udara yang dilaksanakan oleh
Kohanudnas dapat terlaksana dengan baik maka perlu
adanya upaya optimalisasi berupa penataan kembali alutsista
radar yang sesuai dengan kondisi saat ini agar penggelaran dan
operasional radar dapat secara efektif mampu menjangkau
seluruh wilayah udara nasional. Upaya yang dilakukan adalah
penataan kembali gelar radar sesuai dengan kondisi geografi dan
teknologi radar saat ini, meningkatkan atau mengembalikan
kemampuan dan kesiapan radar seperti kondisi awal dengan
meningkatkan kemampuan jarak jangkau deteksi radar, dan
terpenuhinya gelar radar sesuai titik gelar terbaik yang dapat
menjangkau seluruh wilayah udara nasional.
I l m u P e r t a h a n a n | 77

Penggelaran radar yang direncanakan dalam proses


perencanaan tidak dapat dengan serta merta dapat
diimplementasikan di lapangan karena faktor geografi. Titik gelar
yang direncanakan dan di survei kadang kala merupakan remote
area yang belum memiliki infrastruktur untuk memenuhi
kebutuhan logistik guna mendukung operasional radar sehingga
titik gelar digeser pada wilayah yang memiliki infrastruktur yang
memadai seperti pada daerah yang memiliki demografi yang baik
seperti pada Kabupaten maupun pada Kecamatan, agar dukungan
logistik dan personil dapat terpenuhi. Namun sebagai
konsekuensinya faktor operasional menjadi kurang optimal seperti
adanya rintangan (obstacle) yang mengakibatkan coverageradar
tidak optimal dan mengakibatkan adanya blank area.

3.11TEORI HUBUNGAN SIPIL-MILITER

K
erangka teoritis mengenai teori hubungan sipil militer
yang akan digunakan adalah teori dari Huntington, S. P.
Menurut Huntington, hubungan sipil-militer dapat dilihat dari dua
model, yaitu subjective civilian control dan objective civilian control.
Subjective civilian control, yakni hubungan sipil militer yang
memaksimalkan kekuasaan sipil dan meminimalkan kekuasaan
militer. Objective civilian control, yakni hubungan sipil militer yang
memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan adanya
pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan
kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku profesional.
Hubungan sipil militer menjadi subjektif ketika salah satu dari
sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil
mengontrol militer dan menggunakannya untuk tujuan dan
kepentingan politik. Sementara, hubungan yang objektif
mengandung adanya profesionalisme militer yang tinggi sesuai
bidangnya sehingga meminimalkan intervensi militer dalam politik
dan intervensi politik dalam militer ( Huntington, 1957).
Terkait profesionalisme militer, Amos Perlmutter membagi
profesionalisme militer menjadi dua, yakni profesionalisme
78 | T e o r i d a n P r a k t i k

personel dan profesionalisme korps (Britton, 1996).


Profesionalisme personel meliputi keahlian, tanggung jawab dan
kesatuan korps, yang didukung adanya sifat ulet, tekun, tegar,
patuh, tulus, disiplin, dan menyenangi profesinya. Sedangkan
profesionalisme korps meliputi adanya spesialisasi peran, yang
didukung satu sumber otoritas kekuasaan. Antara keduanya
memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Lebih lanjut,
profesionalisme militer memiliki tiga ciri. Pertama yakni expertise
(keahlian), yaitu adanya pengetahuan dan keahlian dalam bidang
perang. Kedua adalah responsibility (tanggung jawab), yang
dimaksud loyalitas militer hanya kepada negara tanpa preferensi
kepada siapa pun. Ketiga, corporateness (karakter korporasi), yaitu
memiliki semangat kesatuan dan sejalan dengan doktrin institusi
militer. Apabila militer terlibat dalam politik, maka ia disebut tidak
profesional.
Lebih lanjut, keterlibatan militer dalam politik ini disebut
dengan istilah praetorianism, yakni situasi militer tampil sebagai
aktor politik utama yang dominan dan secara langsung
menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan
kekuasaan mereka. Secara sederhana, praetorianisme merupakan
campur tangan atau keterlibatan militer dalam politik.

3.12 MODEL PERTAHANAN


3.12.1 Model Total Defence
Pertahanan Negara bersifat semesta merupakan sistem
pertahanan yang tidak hanya dianut oleh Indonesia tetapi juga oleh
banyak negara, seperti Norwegia, Singapura, Malaysia dan lain
sebagainya. Pertahanan negara bersifat semesta ini juga yang
dikenal dengan istilah Total Defence. Meski pendekatan setiap
negara memiliki perbedaan. Namun, terdapat kesamaan tujuan
yang ingin dicapai yaitu mengerahkan segenap sumber daya dan
kekuatan negara baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
psikologis dan pertahanan sipil untuk memperkuat sistem
pertahanan militer dan negara.
I l m u P e r t a h a n a n | 79

Norwegia dalam dokumen Support and Cooperation (2018)


merupakan salah satu negara yang melaksanakan konsep
pertahanan semesta (total defence). Konsep ini berkaitan erat
dengan kebijakan atau undang-undang perlindungan sipil dan
kesiapsiagaan darurat yang didasari oleh gagasan untuk
memanfaatkan sumber daya masyarakat yang terbatas dengan
efektif, terutama di tingkat konflik bersenjata. Perkembangan
konsep pertahanan total di Norwegia dapat dilihat dalam konteks
kebutuhan keamanan yang dinamis, persepsi mengenai
perlindungan sipil dan kesiapsiagaan. Dari ketiga alasan tersebut
maka muncullah fokus utama pada konsep total defence yaitu
keamanan nasional serta peningkatan pada perlindungan sipil.
Rancangan kesiapsiagaan didasarkan pada gagasan bahwa konsep
keamanan meliputi keamanan nasional, keamanan publik,
perlindungan sipil dan keamanan individu.
Tujuan utama dari kebijakan keamanan itu sendiri adalah
untuk menjaga keamanan nasional. Jika keamanan nasional
terancam maka negara membutuhkan sumber daya yang tersedia
namun sumber daya tersebut sangat terbatas. Konsep total defence
tradisional, memandang keamanan nasional di Norwegia masih
sebatas pertahanan teritorial dari invasi negara asing. Saat ini
muncul tantangan keamanan baru yang menimbulkan bahaya yang
baru. Konsekuensi atas hal tersebut, sehingga diperlukan
peningkatan dan penekanan pada perlindungan sipil.
Norwegia memiliki The National Total Defence Forum, yaitu
forum tingkat lembaga yang mewakili pertahanan total. Forum
tersebut merupakan perwakilan dari institusi sipil maupun militer
yang saling bekerja sama, berkolaborasi, berkoordinasi mengenai
semua masalah berkaitan dengan pertahanan total serta hal lain
yang berkaitan dengan kerja sama sipil militer untuk melindungi
masyarakat.
Singapura merupakan negara yang mengadopsi konsep total
defence seperti yang tertuang dalam dokumen About Total Defence
dalam (MDEF, 2015). Singapura memiliki basis populasi relatif
80 | T e o r i d a n P r a k t i k

kecil, tidak memiliki sumber daya alam, dan masyarakatnya terdiri


atas multiras dan multiagama. Faktor tersebut menyebabkan
Singapura tidak hanya rentan terhadap serangan militer tetapi juga
terhadap eksploitasi aspek sosial politik dan psikologis, untuk itu
Singapura mengadaptasi pertahanan total yang melibatkan
Singapore Armed Forces (SAF) beserta seluruh penduduk sipil.
Adapun 5 (lima) konsep pertahanan total yang dianut oleh
Singapura, yaitu:
a. Psychological Defence, mengacu pada komitmen warga
negara terhadap bangsa dan keyakinan, serta memiliki
kebanggaan, semangat dan patriotisme negara. Tujuan dalam
psychological defence ialah untuk melindungi hak asasi
manusia, menciptakan rasa damai dan sejahtera, serta
menjaga kemandirian negara.
b. Social Defence, warga negara Singapura terdiri dari berbagai
rasa dan agama yang diharapkan dapat hidup dan bekerja
bersama dalam kerukunan. Dalam rangka membangun social
defence, diperlukan toleransi atas ras dan agama, serta
memiliki hak yang sama tanpa memandang ras, bahasa
maupun agama. Social defence ini pun mengacu pada setiap
warga negara yang mempunyai kemampuan dan pendidikan
agar memiliki kesadaran sosial untuk berkontribusi kepada
masyarakat dan negara.
c. Economic Defence, difokuskan pada sektor pemerintah, bisnis
dan industri yang diharapkan dapat mengatur sektor
ekonomi dengan baik, sehingga tidak akan hancur saat terjadi
perang atau di bawah ancaman perang.
d. Civil Defence, menyediakan keamanan dan kebutuhan dasar
setiap warga agar kehidupan dapat berjalan senormal
mungkin selama keadaan darurat. Civil Defence memiliki
tujuan untuk menghasilkan warga sipil yang akrab dengan
prosedur untuk bertahan hidup dan perlindungan dengan
pengaturan layanan bantuan dan pasokan barang seperti
darah, air dan makanan saat keadaan darurat.
I l m u P e r t a h a n a n | 81

e. Military Defence, yaitu dengan memiliki SAF sebagai institusi


yang dapat menangkal ancaman agresi. Dimana SAF harus
memiliki kemampuan untuk bertindak secara efektif dan
tegas jika pencegahan dan diplomasi pertahanan gagal untuk
dilakukan.

Malaysia memiliki konsep total defence dengan istilah


Pertahanan Menyeluruh (Hanruh). Konsep ini berkaitan erat
dengan upaya integrasi yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga
nonpemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum dalam bela
negara (Ridzuan et al., 2020). Menurut Rahman (1998), menjaga
integritas dan kedaulatan Malaysia membutuhkan komitmen dari
semua lapisan masyarakat, tidak hanya dari angkatan bersenjata.
Strategi Hanruh merupakan strategi yang melibatkan tanggung
jawab militer dan nonmiliter dalam mempertahankan keamanan
dan kedaulatan nasional (Rahman, 1998). Konsep Hanruh
mencakup berbagai aspek penting yaitu (Razak, 2009):
a. Aspek pertahanan angkatan bersenjata, tanggung jawab lini
pertama pertahanan melibatkan Angkatan Tentera Malaysia
(ATM). Sehingga diperlukan pengembangan yang besar
untuk ATM serta pasukan cadangan, polisi dan paramiliter.
Selain memiliki tenaga keamanan yang terlatih, kredibilitas,
terampil, termotivasi tetapi juga siap menghadapi ancaman
apapun.
b. Aspek pertahanan ekonomi, merupakan faktor yang
menjamin keutuhan dan kedaulatan negara. Pemerintah dan
pihak swasta perlu bekerja sama dan bersatu untuk
memastikan kekuatan dan kemampuan ekonomi untuk terus
bergerak saat damai guna membantu memenuhi kebutuhan
saat menghadapi krisis atau perang.
c. Aspek pertahanan sosial, melibatkan masyarakat untuk
menjaga stabilitas dan persatuan untuk melindungi
keamanan nasional. Masyarakat perlu memiliki jiwa
patriotisme dan kesadaran akan pentingnya keamanan.
82 | T e o r i d a n P r a k t i k

Selain itu, persatuan dan kesatuan masyarakat pun


diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan ras dan agama.
d. Aspek pertahanan sipil, instansi pemerintah, sektor swasta
perlu bertanggung jawab dan membuat berbagai kebijakan
untuk memastikan bahwa menjaga keamanan dan
pertahanan merupakan tanggung jawab bersama.
e. Aspek pertahanan psikologis, memiliki arti bahwa masyarakat
memiliki ketahanan, kepercayaan diri, semangat dan kekuatan
mental yang tinggi dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kemudian, semangat nasionalisme perlu dipupuk untuk bisa
menghadapi situasi apa pun termasuk saat terjadi perang.

Strategi pertahanan negara Indonesia sebagaimana


dituangkan dalam Produk Strategis Kemhan Renstra Pertama
tahun 2010 – 2014, Renstra Kedua tahun 2015 – 2019, Renstra
Ketiga tahun 2020 – 2024, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan Keputusan
Menteri Pertahanan Nomor KEP/104/M/I/2020 tentang
Kebijakan Pertahanan Negara, dikembangkan berdasarkan
kekhasan dan kondisi geografis sebagai sebuah negara kepulauan
terbesar di dunia dan bercirikan Nusantara.
Sebelumnya, perang dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga
militer menjadi kekuatan utama dan penentu. Kini lingkup perang
sudah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga perang bisa
berbentuk dalam berbagai macam hal. Itulah yang disebut dengan
ancaman nonmiliter.
Batasan antara perang militer dan nonmiliter memudar
karena bisa saling berkaitan. Terdapat perbedaan yang cukup jelas,
perang militer pada umumnya menggunakan aksi kekerasan untuk
menghancurkan dan membunuh musuh. Lain halnya pada perang
nonmiliter digunakan aksi tanpa kekerasan untuk menaklukan
lawan supaya bersedia memenuhi kepentingan musuh dan bahkan
dapat dimanfaatkan secara optimal oleh musuh. Dampaknya
I l m u P e r t a h a n a n | 83

perang nonmiliter dianggap jauh lebih kompleks dan rumit,


mengingat dimensinya yang tidak terbatas dan mencakup berbagai
dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga muncul konsep pertahanan bersifat semesta atau
total defence untuk mengatasi ancaman nonmiliter. Dimana total
defence juga mendalami konsep pertahanan nirmiliter. Pertahanan
nirmiliter merupakan pertahanan yang dilakukan oleh masyarakat
sipil tanpa menggunakan cara militer untuk menghadapi segala
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Artinya, pertahanan
nirmiliter harus dilakukan secara sistematis melalui proses
persiapan, perencanaan kontingensi, serta pelatihan
implementasinya. Sebanyak 6 (enam) sumber kekuatan nonmiliter
yang bisa menjadi objek pemberdayaan (Suryokusumo, 2016).
Keenam sumber kekuatan nonmiliter ini, jika diakumulasikan
melalui sistem perencanaan dan sistem penggunaan yang tepat
akan memberikan kapasitas kekuatan untuk penangkalan dan
pertahanan menghadapi ancaman, antara lain:
a. Sumber daya manusia, berbeda dengan negara sebelumnya,
Indonesia memiliki jumlah yang banyak. Hal tersebut bisa
menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang begitu sangat
plural. Sehingga kunci dari kekuatan massal ini ialah
persatuan dan kesatuan. Tidak hanya mengembangkan
sumber daya tetapi juga mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi aktif menjadi kekuatan pertahanan untuk
menghadapi ancaman nonmiliter.
b. Sumber kewenangan (otoritas) yaitu ada di tangan sipil.
Sehingga diperlukan juga kerja sama yang baik dengan pihak
militer untuk menghadapi ancaman hibrida.
c. Pengetahuan dan keterampilan, tidak hanya kuantitas
diperlukan juga kualitas pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh masyarakat. Hingga tahun 2019, Indonesia
menduduki peringkat 111 dari 189 negara di Indeks
84 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pembangunan Manusia dalam World Bank's Human Capital


Index 2019.
d. Aset tidak kasat mata (intangible), yaitu faktor psikologi,
ideologi, emosi dan keyakinan. Jika aset tidak kasat mata ini
lemah maka ketersediaan sumber kekuatan lainnya pun akan
menjadi lebih bermasalah.
e. Sumber daya materiil, berfokus pada pengelolaan,
pemeliharaan dan pengembangan properti, sumber daya
alam, sumber finansial, sistem ekonomi, sarana komunikasi,
dan transportasi.
f. Kemampuan penegakan hukum, diperlukan agar seluruh
pemangku kepentingan patuh dan kooperatif dalam menjaga
keamanan dan pertahanan negara baik yang berasal dari
ancaman dari dalam maupun luar negeri.

Teori Model pertahanan digunakan untuk menilai dan


mengkomparasi model pertahanan negara Indonesia dengan
negara lain. Komparasi ini berguna untuk melihat dan memberi
wawasan baru terkait model pertahanan yang dirasa cocok untuk
Indonesia di masa depan.
3.12.2 Model Hubungan Sipil-Militer
Konsep pertahanan sipil (Civil Defense) sudah lahir sejak
terjadinya peperangan. Disusul dengan lahirnya konsep Civil-
Military Relations, dengan adanya Civilian Control di dalam tubuh
militer. Hubungan Civil-Military lebih menekankan pada civilian
control (Bruneau dan Croissant, 2019). Maksudnya, terdapat
distribusi kekuasaan antara pembuatan keputusan politik dan
pembuat keputusan militer. Kewenangan dalam pengambilan
keputusan politik berada di tangan pimpinan sipil. Sementara
untuk keputusan lainnya dapat didelegasikan kepada pihak militer,
meskipun militer sendiri tidak memiliki kekuasaan atau pun
wewenang untuk mengambil keputusan di luar wilayah sektor
militer. Sebaliknya, pemerintah (sipil) masih memiliki hak untuk
I l m u P e r t a h a n a n | 85

ikut campur tangan ketika terjadi krisis meski terjadi di bawah


pengawasan militer (Croissant et al., 2010).
Berdasarkan penjelasan diatas, Bruneau dan Croissant
(2019) membedakan lima bidang pengambilan keputusan dalam
hubungan sipil militer berupa elite recruitment, public policy,
internal security, national defense, and military organization.
Pemilahan area pengambilan keputusan ini memungkinkan
dilakukan penilaian yang berbeda dan spesifik, serta dapat
dilakukan evaluasi yang komprehensif dari seluruh pola civilian
control (Bruneau dan Croissant, 2019). Pada prinsipnya civilian
control memiliki kekuasan di 5 (lima) wilayah, yakni:
a. Elite recruitment, mendefinisikan aturan, kriteria, dan proses
rekrutmen, pemilihan, dan legitimasi pejabat politik.
b. Public policy, terdiri dari aturan dan prosedur proses
pembuatan kebijakan (penetapan agenda, perumusan
kebijakan, adopsi kebijakan) dan pelaksanaan kebijakan
mengenai semua kebijakan nasional kecuali aspek mikro dari
kebijakan pertahanan dan keamanan dalam negeri yang
hanya dipahami oleh sektor pertahanan.
c. Internal security, memerlukan keputusan dan tindakan
konkret terkait dengan pelestarian dan pemulihan hukum
dan ketertiban dalam negeri, termasuk operasi kontra
pemberontakan, kontra terorisme, pelaksanaan intelijen
dalam negeri, penegakan hukum dan pengawasan
perbatasan.
d. National defense, mencakup semua aspek kebijakan
pertahanan, mulai dari pengembangan doktrin keamanan
hingga pengerahan pasukan ke luar negeri dan pelaksanaan
perang.
e. Military organization, terdiri dari keputusan-keputusan
mengenai semua aspek organisasi dari institusi militer antara
lain, sumber daya kelembagaan, keuangan, dan teknologi
militer. Selain itu juga keputusan tentang doktrin militer,
pendidikan, dan pemilihan personel.
86 | T e o r i d a n P r a k t i k

Dalam rangka mencapai dan mempertahankan civilian


control maka diperlukan institusi sipil (politik) sebagai prosedur
formal atau informal, rutinitas, norma, dan konvensi yang tertanam
dalam struktur organisasi pemerintah (Hall dan Taylor, 1996).
Artinya, tingkat civilian control atas militer di masing-masing dari
lima wilayah ini bergantung pada keberadaan institusi yang
memungkinkan warga sipil untuk menggunakan kekuasaan nyata
untuk mengatur, mengontrol, dan memantau militer.
Dalam teori lain, hubungan antara sipil dan militer berangkat
dari berbagai aspek, misalnya politik. Machiavelli menyebutkan
bahwa masyarakat dalam negara bebas (free state/ vivere libero)
yakni: “the possibility of enjoying what one has, freely and without
incurring suspicion…, the assurance that one’s wife and children will
be respected, [and] the absence of fear for oneself.”
Machiavelli memfokuskan pada sang pemimpin atau otoritas
tertinggi dalam suatu negara. Machiavelli mengakui bahwa hukum
yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu
tatatan sistem politik yang baik. Dengan kata lain, hukum secara
keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa.
Otoritas tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan karena memiliki
sifat memaksa (Machiavelli, 2008).
Machiavelli (2008) menyimpulkan bahwa: “ketakutan selalu
tepat dipergunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif
dapat mengontrol legalitas”. Seseorang akan patuh hanya karena
takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau
kepemilikan. Argumentasi Machiavelli menunjukkan bahwa politik
secara keseluruhan dapat dirumuskan sebagai supremasi
kekuasaan memaksa.
Menurut Pion-Berlin (2003), upaya demokratisasi dalam
hubungan sipil militer melalui penyusunan institusi yang
menempatkan otoritas sipil pada kedudukan yang lebih tinggi
daripada militer dapat mengacu pada empat prinsip penting, yaitu:
I l m u P e r t a h a n a n | 87

➢ Prinsip pertama, memperkuat kehadiran kalangan sipil


dalam mengatur persoalan pertahanan negara. Ini meliputi
apa yang disebut oleh Pion-Berlin sebagai civilianization pada
sektor pertahanan dengan mengangkat sejumlah besar
kalangan sipil untuk ditempatkan mulai dari posisi menteri
pertahanan, staf pendukungnya, hingga penasihatnya.
➢ Prinsip kedua, memperkuat Kemhan sebagai institusi negara
yang merepresentasikan otoritas sipil dalam urusan
pertahanan dan keamanan.
➢ Prinsip ketiga, menurunkan otoritas militer secara vertikal.
Otoritas militer berada di bawah Presiden dan dipisahkan
melalui organisasi pertahanan yang dikendalikan kalangan
sipil.
➢ Prinsip keempat dalam upaya demokratisasi relasi sipil
militer menurut Pion-Berlin adalah menjaga tetap
terpisahnya kekuasaan militer.

Unifikasi dan sentralisasi kekuasaan militer berdasarkan


prinsip ini harus dihindarkan. Secara sedehana konsep ini
menempatkan posisi sipil sebagai posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan militer dan sama seperti abdi negara lainnya,
militer berada di bawah presiden dan mengabdi kepada bangsa
dan negara. Di satu sisi, sistem pemerintahan yang lain seperti
komunis di Tiongkok mentransformasikan politik dan militer
berada di tubuh People’s Liberation Army (PLA). Ji (2019)
menjelaskan bahwa: “kepatuhan PLA kepada Partai Komunis
merupakan inti dari civilian control di Tiongkok, tetapi partai
tersebut mendukung profesionalisme dan modernisasi yang
mendalam dari PLA karena militer yang kuat melayani kepentingan
partai dalam meningkatkan legitimasinya, mempromosikan negara
patriotisme, dan mengangkat profil China sebagai negara adidaya
global”. Hal tersebut menjadi dasar aliansi antara Partai Komunis
China dan PLA.
88 | T e o r i d a n P r a k t i k

Model hubungan sipil militer Tiongkok terbagi menjadi tiga


kategori berbeda. Pada tahun 1989 hingga 1995, muncul model
Factional, Symbiosis, Professionalism, dan Party Control yang kini
disebut sebagai “model tradisional”. Namun dinamika politik yang
berkembang di Tiongkok pada tahun 1995 hingga 1997 membuat
banyak ahli berpendapat bahwa model tradisional tersebut tidak
dapat berjalan sendiri-sendiri namun harus saling melengkapi,
sehingga muncul konsep "model kombinasi". Namun konsep ini
hanya bertahan sebentar, karena kombinasi dari model tradisional
dianggap kurang memberikan dampak prediktif dalam
menghadapi dinamika politik. Sehingga muncul dua model baru
yaitu model Conditional Compliance dan model State Control pada
periode 1997 - 2003. Keduanya menggabungkan unsur model
tradisional untuk menghadapi implikasi dari dinamika politik dan
militer baru di Tiongkok. Berikut, model-model hubungan sipil
militer yang telah dirangkum (Kiselycznyk dan Saunders, 2010):
a. Factional, model ini berfokus pada faksi politik di antara elit
RRT dan bagaimana pemimpin dan anggota faksi tersebut
berinteraksi dan bersaing.
b. Symbiosis, didefinisikan sebagai sirkulasi hubungan normal
antara elit militer dan nonmiliter. Hal ini terjadi karena tidak
lepas dari sistem pemerintahannya yang komunis sehingga
perlu memadukan fungsi politik dan militer. Seiring
berjalannya waktu, partai komunis (sipil) dan militer dapat
bekerja secara terpisah dan menjadi institusi yang berbeda.
Hubungan simbiosis ini cenderung berkembang menjadi
hubungan koalisi.
c. Professionalism, fokus pada model ini ialah meningkatkan
keahlian profesional. Hal tersebut terbukti dalam upaya PLA
untuk meningkatkan keterampilan militer dan teknis dalam
mengoperasikan peralatan yang lebih canggih dan
melakukan operasi yang lebih rumit. Ilmu dan teknologi lebih
ditekankan di akademi militer Tiongkok, ditambah dengan
upaya untuk merekrut dan mempertahankan lulusan dengan
I l m u P e r t a h a n a n | 89

keterampilan teknis khusus dari universitas sipil.


Peningkatan kualitas personel militer ini pun diikuti dengan
penyebaran materi doktrin dan pelatihan yang harus dikuasai
oleh perwira militer (Kamphausen et al., 2007). Sehingga PLA
telah mempelajari dengan cermat doktrin, pengalaman
operasional militer, dan mengadaptasi banyak praktik, agar
sesuai dengan konteks Tiongkok.
d. Party Control, menekankan pada sistem kerja politik. Dalam
skenario ini, generasi baru pemimpin partai yang tidak
memiliki legitimasi revolusioner dan pengalaman militer
akan lebih mengandalkan kontrol langsung partai untuk
memastikan kepatuhan PLA. Model pengendalian partai
secara akurat memprediksi upaya partai untuk
mengintensifkan kampanye politik dan menegaskan kembali
kendali atas PLA (Li, 1993).
e. Combination Model, menggabungkan 4 (empat) model
sebelumnya. Dimana banyak ahli berpikir bahwa dengan
berkembangnya dinamika politik. Empat model tersebut
tidak bisa digunakan secara terpisah.
f. Conditional Compliance, model ini mengemukakan tawar-
menawar dan keseimbangan yang implisit antara institusi
sipil dan militer yang terpisah (Mulvenon, 2002). Elit sipil
mencari kesetiaan dan kepatuhan PLA, terutama jika muncul
tantangan terhadap aturan partai. Sebagai gantinya, PLA
mengharapkan partai untuk menjamin kepentingan
profesionalnya termasuk otonomi kelembagaan dalam
urusan militer murni, anggaran dan sumber daya yang
diperlukan untuk modernisasi, dan peran dalam bidang
kebijakan luar negeri tertentu yang melibatkan kepentingan
PLA secara langsung (seperti penjualan senjata dan
hubungan militer AS-China).
g. State Control, model ini mempertimbangkan percabangan elit
sipil dan militer, profesionalitas PLA dan penurunan peran
politik PLA (Shambaugh, 2002). Model ini juga menekankan
90 | T e o r i d a n P r a k t i k

perubahan kelembagaan dan hukum yang meningkatkan


peran formal dan otoritas negara atas PLA.

Berdasarkan pembahasan di atas, sistem pemerintahan yang


berbeda akan melahirkan model hubungan sipil militer yang juga
berbeda. Meski pada akhirnya, keduanya memiliki persamaan
bahwa diperlukan kebijakan dan hukum yang tepat. Dimana
pembuatan kebijakan tersebut harus melibatkan aktor sipil militer.
Di sisi lain, militer masih memiliki hak untuk menentukan
keputusan sendiri mengenai semua aspek organisasinya, walaupun
sipil memiliki wewenang untuk mengatur, mengontrol, dan
memantau militer (Tjokropranolo, 1992).
Berkaitan dengan negara Indonesia, menurut Kardi (2014)
hubungan sipil militer tergambarkan pada hubungan antara
Kemhan dan TNI. Kemhan mencerminkan institusi sipil, sedangkan
TNI mempresentasikan diri sebagai institusi militer. Keduanya
memiliki kewenangan yang berbeda, singkatnya Kemhan memiliki
kewenangan dalam merumuskan kebijakan sektor pertahanan
(Kardi, 2014). Maka, TNI memiliki kewenangan dalam
melaksanakan kebijakan dalam bidang pertahanan.
Dalam perspektif ini, demokratisasi hubungan sipil-militer di
Indonesia bisa dibangun dengan tiga cara, yaitu:
a. Pertama, penghapusan Dwifungsi TNI dalam bentuk:
penarikan unsur militer dari jajaran birokrasi, penghapusan
fungsi centeng dalam sektor ekonomi, dan reformasi doktrin
militer seperti Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
b. Kedua, mereformasi doktrin TNI. Loyalitas TNI sejatinya
bukanlah kepada pemerintah, tetapi kepada negara dan
bangsa secara keseluruhan.
c. Ketiga, perlu adanya pembaruan kurikulum pendidikan
militer agar sesuai dengan paradigma sistem pertahanan
sekarang yang tidak lagi berorientasi pada pertahanan secara
fisik saja.
I l m u P e r t a h a n a n | 91

Pada saat ini hubungan sipil militer di Indonesia telah diatur


dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang tentang
Tentara Nasional Indonesia dimana dijelaskan bahwa dalam
bidang pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI
berkedudukan di bawah Presiden, sedangkan dalam kebijakan dan
strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah
koordinasi Kemhan.
Kerja sama sipil dan militer merupakan satu hal yang sangat
penting bagi satu bangsa, karena pada hakekatnya pertahanan
negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan
negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala bentuk ancaman.
92 | T e o r i d a n P r a k t i k
Daftar Pustaka| 93

IV
STUDI KASUS
94 | T e o r i d a n P r a k t i k

STUDI KASUS
(Peran TNI AL dalam Pertahanan Negara)

4.1 GAMBAR UMUM PROVINSI BENGKULU

Gambar 4.1. Provinsi Bengkulu


Sumber: Perkim, id, 2020

Provinsi Bengkulu merupakan salah satu Provinsi di


Sumatera yang terletak pada koordinat 2°16’ LS sampai 3°31’ LS
dan antara 101°01’ sampai 103°41’ BT dengan luas area sebesar
19.919.33 km2 yang berbatasan dengan:
Daftar Pustaka| 95

➢ Utara : Sumatera Barat.


➢ Selatan : Lampung.
➢ Barat : Samudra Hindia.
➢ Timur : Jambi dan Sumatera Selatan.

Wilayah Provinsi Bengkulu yang keseluruhannya bagian


barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, yang
langsung berhadapan dengan laut lepas dengan karakteristiknya
yang memiliki ombaknya yang besar. Kondisi berhadapan
langsung dengan laut lepas maka akan memiliki potensi
ancaman besar masuknya ancaman bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Posisi Provinsi Bengkulu dengan
bentangan pantai sepanjang 525 km sangat memungkinkan untuk
menjadi lokasi Lanudal Bengkulu dimana keberadaannya dapat
melakukan fungsi dan tugas patroli maritim di wilayah Samudera
Hindia sampai dengan chock point Selat Sunda.
Samudera Hindia adalah alternatif jalur pelayaran bagi kapal-
kapal besar untuk melintas dalam tujuannya ke negara-negara di
wilayah Asia Timur yaitu China, Jepang, Korea. Pilihan jalur ini
dikarenakan alur pelayaran di Selat Malaka sudah semakin
ramai dan padat, sehingga kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal
tanker dengan bobot yang besar dalam pelayarannya ke Asia Timur
melalui Laut China Selatan akan melintasi Samudera Hindia atau
sebaliknya, Selat Sunda dan Alur Laut Kepulauan Indonesia I (ALKI
I) ini. Situasi dan kondisi demikian mengharuskan negara
Indonesia untuk menjaga keselamatan dan keamanannya.
Sesuai dengan konsesus dalam Unclos 1982, maka
keselamatan navigasi dan keamanan alur pelayaran (ALKI) ini
menjadi kewajiban negara yang dilintasi untuk melaksanakan
pengamanannya, jika tidak maka negara lain akan melakukannya,
kondisi demikian yang tidak diharapkan oleh Indonesia. Ancaman
yang diprediksi akan muncul adalah adanya illegal fishing,
penyelundupan, melintasnya kapal-kapal perang negara lain baik
kapal permukaan maupun kapal selam dan lain-lainnya. Ancaman
96 | T e o r i d a n P r a k t i k

lain adalah kapal-kapal tersebut masuk atau menyusup ke Selat


Sunda yang keberadaannya merupakan salah satu chock point
untuk masuk ke perairan Indonesia.
Posisi Provinsi Bengkulu terhadap keberadaannya dengan
Samudera Hindia dan Selat Sunda sebagai chock point masuk
wilayah perairan Indonesia adalah dalam posisi sentral. Dalam
posisi ini pesawat TNI AL yang ditempatkan di Lanudal Bengkulu
sangat efektif untuk melaksanakan patroli maritim di sepanjang
Samudera Hindia sampai dengan chock point Selat Sunda sisi barat
Pulau Sumatera. Keberadaannya juga dapat melaksanakan
patroli maritim hingga Selat Sunda.
Provinsi Bengkulu juga merupakan salah satu daerah yang
rawan bencana gempa, seperti halnya Propinsi Sumatera Barat dan
Aceh yang berada pada Pulau Sumatera. Dengan situasi ini maka
keberadaan Lanudal Bengkulu dipandang sangat diperlukan tidak
hanya sebagai pangkalan pendukung logistik pesawat-pesawat
patroli maritim TNI AL juga untuk jalur SAR dan logistik bencana
termasuk dampaknya bagi pergerakan ekonomi masyarakat di
daerah Bengkulu.
Provinsi Bengkulu juga sudah memiliki Bandara Udara
yaitu Bandara Fatmawati-Soekarno. Bandara ini saat ini digunakan
untuk penerbangan sipil saja, pengelolaan berada oleh PT. Angkasa
Pura II. Bandara ini dapat digunakan secara bersama oleh TNI AL
dan PT. Angkasa Pura II nantinya, sehingga TNI AL hanya
mendirikan fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan saja yaitu sarana
prasarana pendukung Lanudal saja.
Wilayah perairan Samudera Hindia dan Selat Sunda dalam
sistem operasi TNI AL berada pada Satuan Komando Armada I
(Koarmada I). Koarmada I ini membawahi lima Pangkalan Utama
Angkatan Laut (Lantamal) yang meliputi:
1. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I (Lantamal I) di Medan.
2. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut II (Lantamal II) di
Padang.
Daftar Pustaka| 97

3. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut III (Lantamal III) di


Jakarta.
4. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IV (Lantamal IV) di
Tanjung Pinang.
5. Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut XII (Lantamal
XII) di Pontianak.

Keberadaan dan dibentuknya Lantamal II yang bermarkas di


Padang, seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan akan
perlunya peningkatan sistem keamanan khususnya wilayah
perairan nasional dan untuk mendukung strategi pertahanan laut
nasional. Tujuan dibentuknya Lantamal II ini bertujuan dalam
rangka pengendalian laut di kawasan strategis Samudera Hindia di
sisi barat Pulau Sumatera dan untuk meningkatkan kemampuan
Pangkalan TNI AL dalam mendukung satuan operasional di
kawasan ini.
Di dalam melaksanakan tugasnya Lantamal II di dukung
satuan tugas di bawahnya yaitu Lanal Sibolga, Lanal Nias dan Lanal
Bengkulu. Lantamal II Padang belum memiliki Pangkalan Udara
TNI AL yang dibutuhkan dalam mendukung operasional pesawat-
pesawat udara TNI AL untuk patroli maritim, oleh sebab itu Pusat
Penerbang TNI AL (Pusnerbal) berkedudukan di Surabaya
memiliki rencana pembangunan Lanudal di Provinsi Bengkulu di
bawah satuan tugas Lantamal II Padang,
Pusat Penerbangan TNI AL (Puspenerbal) yang kini telah
ditingkatkan statusnya dari Dinas Penerbangan TNI Angkatan
Laut (Dispenerbal) ini adalah salah satu bagian Badan Pelaksana
Pusat TNI Angkatan Laut yang dipimpin oleh seorang Komandan
(Danpuspenerbal) berpangkat Laksamana Pertama. Puspenerbal
selaku Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) Mabesal, merupakan
pusat pembinaan terhadap satuan- satuan Penerbangan TNI
Angkatan Laut di bidang personel maupun kesiapan unsur-
unsur udara. bukan hanya sebagai satuan tempur, namun juga
berpartisipasi berbagai tugas operasi yang dilakukan Korps
98 | T e o r i d a n P r a k t i k

Marinir serta menyediakan fasilitas angkutan taktis logistik dan


personil bagi sistem pangkalan laut dan udara. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Puspenerbal mengemban fungsi
penerbangan yang meliputi: Pengintaian Udara Taktis, Anti Kapal
Atas Permukaan Air, Anti Kapal Selam, Pendaratan Pasukan
Pendarat (Pasrat) Lintas Helikopter, dukungan Logistik Cepat,
Patroli Maritim, Operasi Tempur Laut, serta penyelenggaraan
fungsi pembinaan materiil Penerbangan Angkatan Laut.
Satuan ini bertugas mendukung operasi TNI AL, baik untuk
operasi tempur, operasi SAR maupun operasi bantuan
kemanusiaan. Pengamanan laut untuk memantau pergerakan
kapal-kapal asing khususnya di jalur alur laut kepulauan
Indonesia (ALKI), pengamanan lingkungan dari pencemaran
bahan berbahaya, pencegahan penyelundupan dan pencurian
kekayaan laut juga menjadi misi penting yang diemban
Puspenerbal, bekerja sama dengan unsur kekuatan udara lain
seperti TNI-AU dan Polri. Salah satu aksi pesawat-pesawat TNI-AL
yang paling dikenal belum lama ini adalah ketika mereka terlibat
dalam upaya evakuasi korban gempa bumi di wilayah Jogjakarta.
Pesawat yang terlihat adalah jenis helikopter seperti NBO-105 dan
NBell-412.
Guna meningkatkan kehadirannya dalam memperkuat
pertahanan negara dan pelaksanaan fungsi dan tugasnya dalam
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan wilayah Samudera
Hindia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point Selat
Sunda, TNI Angkatan Laut (AL) berencana membangun Pangkalan
Udara TNI AL (Lanudal) di Bengkulu, di mana pemilihan lokasinya
berada di Provinsi Bengkulu karena keberadaan Lanudal ini
nantinya dapat meng-cover wilayah perairan tersebut. Rencana
tersebut diungkapkan Direktur Perencanaan dan Pengembangan
Pusat Penerbangan TNI AL, Kol. Laut (P) Kicky Salvachdie, usai
bertemu Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah di Bengkulu
pada tanggal 31 Januari 2020. Ia mengatakan, beberapa
Daftar Pustaka| 99

pertimbangan TNI AL membangun Lanudal Bengkulu di antaranya


(Bengkulu Kominfo, Bengkuluprov, 2020):
1. Menangkal bahaya musuh yang datangnya di sisi barat
perairan Pulau Sumatera hingga chock point Selat sunda,
2. Memberikan dukungan logistik kepada unsur-unsur
Angkatan Laut, khususnya Pesawat Udara (Pesud) TNI
Angkatan Laut,
3. Mendukung peningkatan keamanan pengamanan di
kawasan bandara,
4. Memberikan rasa aman bagi masyarakat yang berada di
wilayah sisi barat Pulau Sumatera, khususnya di Bengkulu
sehingga akan membantu meningkatnya perekonomian
masyarakat.
5. Bertujuan untuk membantu penanggulangan terjadinya
bencana alam mempercepat penyaluran bantuan logistik dan
evakuasi medis kepada para korban bencana alam.

Dengan demikian, keberadaan Pangkalan Udara milik TNI


AL di daerah ini nantinya sangat mendukung dalam hal
pengamanan wilayah perairan Samudera Hindia di sisi Barat
Pulau Sumatera dan chock point Selat Sunda dari ancaman luar.
Ancaman tersebut merupakan potensi ancaman awal dari
masuknya lawan ke perairan Indonesia. Oleh sebab itu
keberadaan Lanudal Bengkulu ini harus didukung sepenuhnya
dari stakeholder terkait.
Implementasi rencana pembangunan pangkalan saat ini
masih stagnan belum menunjukkan perkembangan yang
signifikan. Proses masih dalam tahap perencanaan dan koordinasi.
Pembangunan ini memerlukan sinergisitas yang tinggi agar
terwujudnya perencanaan ini. Salah satu hambatan dalam
pembangunan ini adalah TNI AL tidak memiliki lahan yang akan
digunakan dalam pembangunan fasilitas dan sarana prasarana di
atas nya. TNI AL memerlukan lahan seluas 6 (enam) hektar,
sangat sulit bagi TNI AL untuk mencari lahan seluas tersebut,
100 | T e o r i d a n P r a k t i k

demikian juga Pemerintah Provinsi Bengkulu tidak memiliki lahan


yang dapat dihibahkan.
Bandara udara Fatmawati-Soekarno yang ada sekarang saat
ini pengelolaannya sudah dilakukan kerja sama dengan PT Angkasa
Pura II dengan adanya Penandatanganan MoU yang sudah
dilakukan Presiden Direktur Angkasa Pura II Muhammad
Awaluddin dan Plt Dirjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan, M. Praminto Hadi (Heri H. Winarno, 2018).
Bandara udara ini dengan panjang landasan pacu 2.470 m x
150 m dengan permukaan aspal merupakan bandara udara kelas
I. Jenis pesawat terbesar yang bisa beroperasi di bandara udara ini
adalah Airbus A320 dan Boeing 737/400 (Kompas.com, 2018).
Dengan karakteristik tersebut sangat memungkinkan untuk
beroperasinya pesawat udara patroli maritim TNI AL.
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan: “Bengkulu
merupakan daerah strategis di sisi barat Samudera Hindia sehingga
pengembangan dan peningkatan bandara menjadi sangat penting”
(Antara, 2019). Ini searah dengan rencana TNI AL membangun
Pangkalan Udara di Bengkulu.
Rohidin juga mengatakan, bahwa: “Percepatan pengoperasian
bandara secara otomatis akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi regional sekaligus akan berdampak dalam pengendalian
inflasi khususnya di Provinsi Bengkulu”. Dia juga mengungkapkan,
bahwa: “Bandara harus segera dikembangkan dan dioperasikan
oleh PT Angkasa Pura II (Persero) agar Bandara Fatmawati
Soekarno berkembang dengan baik, sehingga bandara dapat
memberikan kontribusi yang besar pada perkembangan
perekonomian Bengkulu” (Antara, 2019).
Sekitar tahun 2014 lalu, Bandara Fatmawati Soekarno sempat
direncanakan dilakukan pengembangan. Alternatif pertama,
Usulan perpanjangan runway ke Kementerian Perhubungan RI
menuai jalan buntu. Selain terkendala teknis juga terkendala
sharing dana yang cukup besar. APBD Bengkulu yang sangat
terbatas tidak memungkinkan bagi Bengkulu sharing dana hingga
Daftar Pustaka| 101

ratusan milyar. Alternatif kedua, direncanakan relokasi bandara


dari Kota Bengkulu ke Kabupaten Seluma, tepatnya di lahan
PTPN VII, namun langkah ini juga tidak berhasil, relokasi gagal
dilakukan.
APBD Bengkulu yang sangat terbatas, bagi Rohidin tidak
memungkinkan ikut menganggarkan pengembangan bandara.
Maka solusi terbaiknya adalah dikelola PT Angkasa Pura II. Di
bawah pengelolaan PT Angkasa Pura II (persero), runway bisa
dikembangkan, akses ke kota-kota besar juga bisa terus dibuka,
bahkan rute luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan rute-rute
internasional lainnya sangat memungkinkan dilakukan. Langkah-
langkah cepat dan strategis yang dilakukan Gubernur Rohidin, agar
Bandara Fatmawati dikelola PT. Angkasa Pura II (Persero),
diyakininya dapat mempercepat Bandara Fatmawati-Soekarno
menjadi Bandara bertaraf Internasional.
Upaya mewujudkan proses pembangunan dan
pengembangan bandar udara yang representatif dengan pelayanan
yang lebih memadai, telah dilakukan Gubernur Rohidin sejak
dirinya menjabat Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu. Pada
September 2017, Gubernur Rohidin temui beberapa menteri,
salah satunya Menteri Pariwisata, Menteri Perhubungan dan
Menteri BUMN. Rohidin meminta dukungan berbagai pihak, agar
Bandara Fatmawati-Soekarno ditingkatkan dan dikelola PT
Angkasa Pura II (Persero). Bulan November 2017, sinyal
persetujuan kerja sama dengan PT Angkasa Pura II kian
menguat. Melihat respon positif dari para steakholder, Gubernur
Rohidin kian optimis mewujudkan pengalihan status Bandara, agar
dapat berkembang dan menjadi Bandara Internasional.
Desember 2018, Gubernur Rohidin temui Wakil Presiden RI
Jusuf Kalla, di Sekretariat Wakil Presiden. Ia memaparkan
pengembangan dan pengelolaan Bandara Fatmawati oleh PT
Angkasa Pura II (Persero). Mendengar paparan Rohidin yang
meyakinkan, JK mendukung program yang telah dicanangkan
pemerintah Provinsi Bengkulu tersebut. Rohidin komitmen akan
102 | T e o r i d a n P r a k t i k

kembali berkoordinasi dengan beberapa kementerian, agar


program tersebut segera direalisasikan. Bulan Maret 2019,
gebrakan Gubernur Rohidin membuahkan hasil. Bertempat di Balai
Raya Semarak Bengkulu, Gubernur Rohidin Mersyah bersama
Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad
Awaluddin, melakukan Tindak lanjut MoU antara Kementerian
Perhubungan (Kemenhub) RI dengan PT Angkasa Pura II
(Persero). Tindak lanjut ini, terkait percepatan serah terima
pengoperasian Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu, dari Unit
Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Kemenhub, kepada PT
Angkasa Pura II (Persero).
Belajar dari proses pengalihan dan rencana pengembangan
seperti diuraikan di atas, untuk mewujudkan rencana
pembangunan ini diperlukan koordinasi dan sinergisitas
masing-masing stakeholder. Karena itu, Pemprov Bengkulu,
menyambut baik rencana TNI AL membangun Lanudal di
Bengkulu. Perencanaan pengembangan Bandara Fatmawati-
Soekarno belum memasukkan perencanaan penempatan
Lanudal, sehingga sangat cocok jika pengembangan Bandara ini
dilaksanakan secara terintegrasi dengan memasukkan rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu tersebut ke dalam rencana
pengembangan besar yang akan dilakukan.
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, sebagaimana dikutip
peneliti mengatakan: ”Untuk mewujudkan rencana TNI AL
membangun Pangkalan Udara di Bengkulu, Pemprov Bengkulu akan
mengkoordinasikan hal tersebut dengan PT Angkasa Pura II”. Hal ini
terkait dengan rencana PT Angkasa Pura II melakukan
pengembangan Bandara-Fatmawati Soekarno. Guna
merealisasikan pembangunan Pangkalan Udara milik TNI AL di
Bengkulu, diperlukan lahan seluas 6 (enam) hektar, yang lokasinya
berdekatan dengan Bandara Fatmawati Soekarno. ”Masalah lahan
ini akan kita koordinasikan dengan Kementerian Perhubungan RI”,
katanya lebih lanjut (Bengkuluprov,2020).
Daftar Pustaka| 103

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan: ”Pemprov


menyambut baik rencana TNI AL untuk mendirikan pangkalan
udara di Bengkulu, sehingga selain dapat menggerakkan ekonomi
masyarakat pembangunan tersebut juga dapat meningkatkan
keamanan di daerah Bengkulu”. Rohidin menambahkan, ”Bengkulu
memiliki garis pantai sepanjang 525 km membentang dari batas
Sumbar ke batas Lampung, dan memiliki pulau terluar Pulau
Enggano yang berhadapan langsung dengan laut lepas Samudera
Hindia, yang keberadaannya perlu untuk dijaga dan diamankan”
(Bengkuluprov,2020).

4.2 IMPLEMENTASI RENCANA PEMBANGUNAN


LANUDAL DI BENGKULU

P
enulis melaksanakan pengumpulan data menggunakan
sub-sub variabel dari variabel-variabel teori implementasi
Suhirwan (2016) sesuai dengan kaidah metode Suhirwan Quasy
Qualitative (2020), yang mengatakan bahwa sebuah kebijakan
dapat diimplementasikan dengan baik jika memenuhi faktor-
faktor, sebagai berikut:
➢ Komitmen Pemimpin.
➢ Standard dan tujuan kebijakan.
➢ Sistem Informasi.
➢ Sumber daya.
➢ Karakteristik pelaksana.
➢ Komunikasi antar organisasi.
➢ Sikap para pelaksana.
➢ Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.

Hasil data-data penulisan buku yang diperoleh peneliti adalah


sebagai berikut:
1) Komitmen Pemimpin
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2020),
komitmen adalah tindakan untuk melakukan sesuatu. Dengan
kata lain, komitmen merupakan bentuk dedikasi atau
104 | T e o r i d a n P r a k t i k

kewajiban yang mengikat kepada orang lain, hal tertentu,


atau tindakan tertentu. Komitmen pimpinan dapat dilihat
dari beberapa aspek antara lain keterlibatan pimpinan,
adanya kebijakan atau peraturan secara tertulis, serta
kebijakan yang disosialisasikan kepada seluruh pegawai.
Dengan demikian komitmen pemimpin adalah pimpinan
akan memberikan dorongan motivasi kepada pegawainya
untuk melaksanakan program dengan memperhatikan
peraturan yang berlaku (Noviandini dkk, 2015).
Peneliti melakukan pengumpulan data, khususnya data
primer di Bengkulu dengan melakukan wawancara di
antaranya kepada pihak Pemprov yaitu dengan Gubernur
Bengkulu dan Sekda Bengkulu. Adapun hasil wawancara
terhadap Sekda Bengkulu adalah sebagai berikut:
“Pemprov Bengkulu sangat menyambut baik dengan adanya
rencana pembangunan Lanudal Bengkulu. Kalau bisa agar
disegerakan, mengingat wilayah Bengkulu sangat rawan
terhadap bencana gempa. Selain itu Bengkulu juga memiliki
wilayah Pulau- pulau seperti Pulau Enggano dan lain-lain.
Pada musim tertentu ketika cuaca buruk tidak ada kapal yang
bisa ke Pulau-pulau tersebut karena sangat berbahaya,
seringkali berhari-hari wilayah pulau-pulau tersebut tidak
dapat pasokan logistik. Bengkulu juga seringkali terjadi
bencana gempa bumi, karena wilayah ini berada pada ring of
fires atau berada pada wilayah daerah seringnya terjadi
gempa bumi. Beberapa kali Provinsi Bengkulu mendapat
musibah gempa yang besar sehingga jika hal tersebut terjadi,
daerah ini sangat membutuhkan evakuasi cepat dan
bantuan logistik cepat untuk masyarakat dan hal tersebut
dapat dilaksanakan dengan adanya Lanudal Bengkulu”
(Wawancara tanggal 9 September 2020).
Peneliti juga melakukan wawancara terhadap pengelola
Bandara Fatmawati-Soekarno yaitu Direktur Angkasa Pura II
Daftar Pustaka| 105

Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu, adapun informasi


yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
“Alhamdulillah saya sangat memahami kepentingan
pertahanan negara dengan rencana dibangunnya Lanudal
Bengkulu, karena saya juga anak tentara, prinsipnya secara
pribadi dan sebagai Direktur Angkasa Pura Bengkulu sangat
setuju dan mendukung keberadaan Lanudal Bengkulu
nantinya. Namun mohon dipahami bahwa PT. Angkasa Pura
hanya sebagai operator bandara, terkait lahan keputusan ada
di pihak Kementerian Perhubungan RI. Kami sudah
melaksanakan perencanaan jika nantinya Lanudal disetujui
oleh Kemenhub untuk dibangun di Bengkulu. Kami sudah
alokasikan dua sektor yang sekiranya disiapkan untuk Lanudal
nantinya. Tentunya dari pihak Kemenhub harus kembali
merevisi kembali blue print pengembangan Bandara Bengkulu.
Tetapi pada prinsipnya dari PT. Angkasa Pura mendukung
penuh apa yang dibutuhkan nantinya oleh Lanudal Bengkulu”
(Wawancara, tanggal 8 September 2020).
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan
Pemerintah Provinsi Bengkulu menyambut baik rencana TNI
AL untuk mendirikan Pangkalan Udara di Bengkulu,
sebagaimana pernyataannya:
"Kita menyambut baik dan mendukung rencana TNI AL akan
membangun Pangkalan Udara bagi TNI AL di Bengkulu,
sehingga selain dapat menggerakkan ekonomi masyarakat
pembangunan tersebut juga dapat meningkatkan keamanan
di daerah ini,"
Guna merealisasikan rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu, diperlukan lahan seluas 6 (enam) hektar, yang
lokasinya berdekatan dengan Bandara Fatmawati Soekarno,
Pemprov Bengkulu akan ikut mengkoordinasikan dengan
PT. Angkasa Pura II, sebagaimana penjelasan Rohidin
sebagai berikut:
106 | T e o r i d a n P r a k t i k

“Untuk mewujudkan rencana TNI AL membangun pangkalan


udara di Bengkulu, pemprov akan mengkoordinasikan hal
tersebut dengan PT Angkasa Pura II. Hal ini terkait dengan
rencana PT Angkasa Pura II melakukan pengembangan
Bandara Fatmawati Soekarno”.
Temuan penulis di lokasi penulisan buku terkait faktor
komitmen, bahwa TNI AL memiliki komitmen kuat dalam
mendukung Visi Presiden RI dalam mewujudkan Poros
Maritim Dunia, salah satunya dengan gelar kekuatan TNI AL
dengan merencanakan pembangunan Lanudal Bengkulu.
Karena memang saat ini wilayah pantai sisi Barat Pulau
Sumatra belum ada Lanudal. Komitmen ini juga
diperlihatkan oleh Pemprov Bengkulu dengan sambutan
yang sangat baik untuk ikut melaksanakan komunikasi
kepada PT Angkasa Pura II untuk pelepasan lahan bagi
pembangunan Lanudal tersebut.
Karena ada kemanfaatannya terhadap masyarakat yang
dirasakan untuk segera harus diwujudkan. Pihak pengelola
Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu dalam hal ini pihak
PT. Angkasa Pura II juga merespon dengan baik dengan
langsung menyiapkan dua sektor yang sekiranya layak untuk
digunakan Lanudal Bengkulu. Ini adalah faktor komitmen
yang kuat yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan
Lanudal Bengkulu.

2) Standar dan Sasaran Kebijakan/Ukuran dan Tujuan


Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat
keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang
bersifat realistis dengan sosio-kultural yang ada di level
pelaksana kebijakan. “Ketika ukuran dan sasaran kebijakan
terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan”
(Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman,
1998) mengemukakan “untuk mengukur kinerja implementasi
Daftar Pustaka| 107

kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu


yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dan sasaran tersebut”.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan
tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan
yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para
pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap
standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan
kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para
pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana
(implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga
merupakan hal yang “crucial”. “Implementors mungkin bisa
jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan
mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi
tujuan suatu kebijakan” (Van Mater dan Van Horn, 1974).
Kondisi saat ini yang ditemukan terkait faktor ini adalah
bahwa perencanaan untuk membangun Lanudal Bengkulu
terkendala dengan kepemilikan lahan dalam hal ini
Kementerian Perhubungan RI seperti yang disampaikan
oleh Informan dari Pusnerbal yang mengatakan bahwa:
“Lanudal Bengkulu saat ini masih terkendala dengan
permasalahan lahan yang akan digunakan, kepemilikan
ini terkait dengan anggaran yang akan digunakan bahwa
Kementrian Keuangan mensyaratkan untuk pembangunan
sarpras terkait kepemilikan lahan. Bukan hanya Lanudal
Bengkulu, tetapi hampir semua Lanudal yang ada saat ini
juga memiliki hal yang sama dengan apa yang terjadi di
Lanudal Bengkulu”. (Wawancara, tanggal 22 September
2020).
Peneliti menemukan kendala yang sama ketika wawancara
dilaksanakan dengan Gubernur Bengkulu, Sekda Bengkulu
dan Danlanal Bengkulu. Menurut Danlanal Bengkulu
permasalahan kepemilikan lahan yang merupakan BMN dari
108 | T e o r i d a n P r a k t i k

Kementrian Perhubungan yang menjadi kendala saat ini


terkait perencanaan pembangunan Lanudal Bengkulu.
Adapun Informasi yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:

“Selama ini kami membantu Pusnerbal dalam melaksanakan


perencanaan pembangunan Lanudal di Bengkulu. Kendala
kepemilikan lahan masih belum ada solusinya, hal tersebut
juga terjadi pada masalah lahan yang sekiranya akan
digunakan oleh dermaga Lanudal Bengkulu. Dermaga Lanal
Bengkulu yang ada saat ini, sudah tidak dapat digunakan
untuk kapal-kapal dengan draft yang cukup dalam, sehingga
kami mengajukan ke Pemprov untuk lokasi Dermaga Lanal
Bengkulu yang baru, namun kendalanya bahwa lahan
tersebut tetap menjadi BMN dari Pemprov, tentunya hal ini
tidak bisa dilakukan mengingat regulasi Kementrian
Keuangan” (Wawancara, tanggal 9 September 2010).
Pembangunan Lanudal Bengkulu bukan untuk menggantikan
keberadaan Lanal Bengkulu, tetapi memiliki fungsi
pendukung lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi Lanudal,
sebagaimana hasil wawancara dengan Asops Pusnerbal,
sebagai berikut:
“TNI AL telah melakukan perencanaan untuk membangun
Lanudal Bengkulu, untuk dapat melakukan pengamanan
wilayah laut melalui patroli udara wilayah bagian sisi Barat
Pulau Sumatra, terutama untuk melakukan pengamanan
chock point Selat Sunda. Patroli melalui udara, diharapkan
dapat mengoptimalkan tugas pertahanan di Wilayah sisi Barat
Laut Pulau Sumatra” (Wawancara, tanggal 22 September
2020).
Pentingnya pembangunan Lanudal Bengkulu ini,
dikarenakan ketiadaan entitas penegak hukum di laut,
dikarenakan Samudera Hindia mempunyai karakteristik
Daftar Pustaka| 109

ombak yang besar, sebagaimana hasil wawancara kepada


Komandan Lanal Bengkulu sebagai berikut:
“Latar belakang dari penulisan buku ini bahwa di perairan
sebelah selatan pulau Sumatra adalah wilayah laut Indonesia
yang memiliki karakter laut Samudra yang memiliki
tantangan alam berupa ombak yang besar. Keterbatasan
entitas penegak hukum di laut termasuk TNI AL melakukan
patroli bisa menjadi potensi ancaman pengamanan wilayah
laut.” (Wawancara, tanggal 7 September 2020).
Keberadaan Lanudal juga sangat penting dalam pengawasan
pulau terluar, Provinsi Bengkulu memiliki satu pulau
terluar yaitu Pulau Enggano, sebagai hasil wawancara
kepada Asisten III Administrasi Umum Setda Provinsi
Bengkulu Gotri Suyanto, sebagai berikut:
“Bengkulu juga memiliki Pulau Enggano yang merupakan
salah satu pulau terluar yang harus diprioritaskan,
terutama dalam hal pertahanan, karena keberadaannya
sangat penting bagi Indonesia” (Wawancara, tanggal 7
September 2020).
Temuan penulisan buku pada Standar dan sasaran
kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan bahwa
perencanaan pembangunan Lanudal Bengkulu masih belum
dapat dilaksanakan karena masih adanya permasalahan
kepemilikan lahan yang menjadi persyaratan dari
Kementerian Perhubungan RI dalam dal pembiayaan.
Pemilihan penempatan Lanudal di Bengkulu memiliki
strategi yang baik, mengingat posisi Bandara nantinya
dapat mengcover patroli maritim di sepanjang pantai sisi
barat Pulau Sumatera dan chock point Selat Sunda serta
dapat mengawasi salah satu pulau terluar yaitu Pulau
Enggano. Permasalahan lainnya adalah dukungan anggaran
dari Kemenkeu terkait regulasi dukungan anggaran untuk
pembangunan fasilitas di atas lahan tersebut yang BMN nya
masih dimiliki oleh Kementerian Perhubungan RI.
110 | T e o r i d a n P r a k t i k

3) Sistem Informasi
Tingkat kebutuhan informasi akan meningkat jika informasi
memberikan sesuatu yang bermanfaat pada pencarinya,
seperti menyelesaikan masalah atau memecahkan persoalan,
memberikan ide-ide baru untuk sebuah program baru,
kebutuhan pada pengetahuan, atau melakukan pengawasan
pada sesuatu yang sedang berjalan. Kemampuan
penyelenggara pemerintahan dalam menyiapkan
ketersediaan informasi dengan berbagai infrastruktur dan
konten yang memadai, disertai dengan sikap keterbukaan
dan mekanisme serta prosedur yang memadai, akan
memudahkan masyarakat memberikan konstribusi atau
partisipasi secara positif. “Masyarakat tidak akan mudah
terpancing isu atau informasi yang simpang siur seandainya
mereka mudah mendapatkan informasi yang memadai” (Agus
Setiaman, 2013).
Penulis mewancarai narasumber yang ahli terkait lahan yang
digunakan entitas pemerintah yang telah banyak
menangani permasalahan lahan, adapun hasil wawancara
tersebut adalah:
“Memang betul bahwa ada peraturan dari Kementrian
Keuangan RI bahwa pembangunan sarpras yang dilaksanakan
mensyaratkan kepemilikan lahan, namun sebenarnya hal
tersebut ada solusi dan jalan keluarnya. Pihak TNI AL harus
berkoordinasi sesuai sistem yang berlaku ke Mabes TNI dan
Kemhan RI, pihak Kemhan RI akan berkoordinasi dengan
pihak Kementerian Perhubungan RI. Jika Kementerian
Perhubungan menyetujui, surat persetujuan tersebut bisa
diberikan kepada Kementerian Keuangan. Surat persetujuan
tersebut juga bisa dijadikan dasar beralihnya kepemilikan”
(Wawancara, tanggal 31 Oktober 2020).
Temuan peneliti pada faktor sumber informasi terkait
rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini, bisa menjadi
temuan yang signifikan dalam mencari solusi terhadap
Daftar Pustaka| 111

permasalahan yang terjadi saat ini masalah kepemilikan


lahan dalam rangka pembangunan Lanudal Bengkulu
harus di koordinasikan secara intensif dan erat kepada
stakeholder terkait.
4) Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari


kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam
menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya
manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara
politik. “Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial
dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan
implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Derthicks” (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa:
”New town study suggest that the limited supply of
federal incentives was a major contributor to the failure of the
program”. Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974)
juga menegaskan bahwa:
”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah
pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini
harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar
administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini
terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar
pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi
kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap
gagalnya implementasi kebijakan.”
Temuan penulisan buku pada faktor sumber daya
kebijakan pada rencana pembangunan Lanudal Bengkulu
tidak menemukan kendala yang berarti, karena kebijakan
TNI AL membangun Lanudal Bengkulu telah didukung oleh
112 | T e o r i d a n P r a k t i k

perencanaan yang kuat dalam rangka mewujudkan Poros


Maritim dunia dalam bidang pertahanan. Kemudian
permasalahan yang umum ditemukan adalah resistansi dari
pemerintah daerah setempat tidak ditemukan dalam rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu, justru mendapat respon
yang sangat positif karena Pemerintah Provinsi Bengkulu
merasa sangat bermanfaat untuk masyarakat Bengkulu,
seperti hasil wawancara dengan Gubernur Bengkulu, sebagai
berikut:
“Kami masyarakat Bengkulu mengharapkan agar Lanudal
ini segera di bangun. Mengingat bahwa Bengkulu daerah
rawan gempa, kami juga memiliki masyarakat yang tinggal di
beberapa Pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Pemprov
Bengkulu. Sejak awal adanya rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu, kami sudah respon cepat, dulu Bandara
Bengkulu masih dalam kewenangan Pemprov, namun
dinamikanya saat ini diambil oleh pusat yaitu Kemenhub RI,
Tapi apapun perkembangannya Pemprov siap mendukung
termasuk, kami akan kirim surat sesuai jalur kami ke
Kemendagri untuk mendorong dan membantu agar Lanudal
ini segera dibangun. Laut selatan Bengkulu ini terkenal
dengan kondisi ombak yang besar walaupun bukan musim
barat, kami berharap jika ada Lanudal Bengkulu di sini dapat
membantu masyarakat kami yang bekerja di laut seperti
nelayan, jika suatu saat ada keadaan darurat” (Wawancara,
tanggal 10 September 2020).
Kebutuhan anggaran dalam pembangunan Lanudal Bengkulu
akan didukung oleh TNI AL dari pembiayaan APBN, hal ini
sesuai dengan hasil wawancara kepada Dirrenbang
Pusnerbal, sebagai berikut:
”Anggaran yang dibutuhkan dalam pembangunan Pangkalan
Udara TNI AL di Bengkulu merupakan anggaran murni dari
TNI AL yang diajukan dalam APBN. Anggaran tersebut
digunakan untuk membangun fasilitas pangkalan dan sarana
Daftar Pustaka| 113

prasarana pendukungnya” (Wawancara, tanggal 7 Oktober


2020).
Kebutuhan lahan dalam membangun Lanudal Bengkulu,
sebagaimana penjelasan dari Komandan Lanal Bengkulu,
sebagai berikut:
”Dalam pembangunan Lanudal ini TNI AL memerlukan lahan
seluas enam hektar, lahan seluas ini diharapkan adalah hibah
dari Pemerintah Provinsi Bengkulu, dalam kaitannya
penataan ruang pertahanan di daerah” (Wawancara, tanggal
7 September 2020).
Terkait lahan yang dibutuhkan tersebut Pemerintah Provinsi
Bengkulu menyampaikan bahwa ketidaktersediaanya lahan
tersebut, tetapi masih ada lahan yang saat ini dimiliki oleh
Kementerian Perhubungan RI, sebagaimana hasil wawancara
dengan Asisten III Administrasi Umum Setda Provinsi
Bengkulu Gotri Suyanto, sebagai berikut:
”…… lahan yang dibutuhkan untuk lokasi pembangunan
pangkalan udara tersebut, diperkirakan sekitar enam hektare
tersebut, sudah dikoordinasi Pemprov Bengkulu dengan PT
Angkasa Pura II, dan pihak terkait lainya” (Wawancara,
tanggal 7 September 2020).
Dengan keberadaan Bandara Fatmawati-Soekarno di
Bengkulu, sangat menguntungkan bagi TNI AL. Format kerja
sama untuk pemakaian landasan dapat digunakan, sehingga
TNI AL tidak perlu mengeluarkan anggaran yang besar untuk
pembangunan landasan sendiri dan hanya membangun
fasilitas dan sarana prasarananya saja.
Temuan penulisan buku ada faktor sumber daya kebijakan
dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal yang
signifikan, bahwa pembangunan Lanudal Bengkulu, tidak saja
strategis dalam hal kepentingan pertahanan tetapi juga
memberikan kemanfaatan pada kepentingan masyarakat
Bengkulu yang memang sangat berharap Lanudal Bengkulu
dapat segera terealisasikan. Pembangunan Lanudal Bengkulu
114 | T e o r i d a n P r a k t i k

akan menggunakan anggaran APBN TNI AL dalam kaitan


untuk pembangunan fasilitas dan sarana prasarananya,
sedang kebutuhan lahan seluas enam hektar akan
dikomunikasikan kepada Kementerian Perhubungan RI.
Keberadaan Bandara Fatmawati-Soekarno ini merupakan
keuntungan sendiri bagi TNI AL, karena TNI AL nantinya
tidak perlu lagi membangun landasan sendiri, tetapi dapat
memanfaatkan secara bersama, baik untuk kepentingan
penerbangan sipil maupun untuk penerbangan militer
khususnya pesawat- pesawat udara patroli maritim TNI AL
dalam fungsi dan tugasnya melaksanakan patroli maritim.
5) Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi
formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam
pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena
kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh
ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya.
Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan
dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana
kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks lain
diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.
Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan
penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut George Edward III (1980), “2 (buah) karakteristik
utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja
standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan
fragmentasi”. SOP dikembangkan sebagai respon internal
terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari
pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam
bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan
tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk
situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat
perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan
situasi atau program baru. SOP sangat mungkin
Daftar Pustaka| 115

menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang


membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil
baru untuk mengimplementasikan kebijakan. “Semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang
rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP
menghambat implementasi” (George Edward III, 1980).
Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif,
kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif,
konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran
tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara
beberapa unit organisasi. “Fragmentation is the dispersion of
responsibility for a policy area among several
organizational units.” (George Edward III, 1980). Semakin
banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam
suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan
keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan
keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa
“secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang
untuk berhasil” (George Edward III, 1980).
Penulis melakukan wawancara dengan Direnbang Pusnerbal
untuk menggali informasi terkait karakteristik organisasi
yang terkait juga dengan fragmentasi organisasi, dan SOP,
berikut adalah hasil wawancara:
“Permasalahan rencana pembangunan Lanudal Bengkulu juga
terjadi dengan beberapa Lanudal yang ada diseluruh
Indonesia, sama halnya yang terjadi dengan Lanudal Juanda
Surabaya. Terkait lahan melibatkan Disfaslanal, terkait
anggaran koordinasi dengan Srena Mabesal, dan untuk
operasional terkait dengan Sop Mabesal. Besar harapan kami
Kemhan dapat membantu kami dalam menyelesaikan
116 | T e o r i d a n P r a k t i k

masalah yang berlarut-larut ini” (Wawancara, 24 September


2020).
Pemanfaatan lahan seluas 6 (enam) hektar yang dibutuhkan
sangat tergantung dengan hasil komunikasi dengan
Kementerian Perhubungan RI yang memiliki lahan tersebut,
seperti yang disampaikan pada saat wawancara oleh Asisten
III Administrasi Umum Setda Provinsi Bengkulu Gotri
Suyanto, sebagai berikut:
”…… lahan yang dibutuhkan untuk lokasi pembangunan
pangkalan udara tersebut, diperkirakan sekitar enam hektare
tersebut, sudah dikoordinasi Pemprov Bengkulu dengan PT
Angkasa Pura II, dan pihak terkait lainya” (Wawancara,
tanggal 7 September 2020).
Penulis melihat dalam faktor karakteristik organisasi
pelaksana dalam rencana pembangunan Lanudal Bengkulu
ini cukup menjadi persoalan yang berkonstribusi terhadap
panjangnya rentang kendali dalam mengambil keputusan.
Fragmentasi organisasi di TNI AL, kemudian dilanjutkan
ke tingkat Mabes TNI, selanjutnya sampai ke level
Kementerian Pertahanan RI dan terkait dengan lahan ke
Kementerian Perhubungan RI. Memerlukan jalan panjang
birokrasi tentunya lengkap dengan SOP ditiap level pelaksana
organisasi.
6) Sikap para pelaksana
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif,
menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) “apa
yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para
individu (implementors)”. Yang bertanggung jawab atas
pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar
dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana.
Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada
para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan
tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and
uniformity) dari berbagai sumber informasi.
Daftar Pustaka| 117

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman


terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang
menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa
dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat
mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang
harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik,
pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan
proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita
kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke
organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami
gangguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika
sumber komunikasi berbeda memberikan interpretasi yang
tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan,
atau sumber informasi sama memberikan interpretasi yang
penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu
saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian
yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara
intensif.
Dengan demikian, ”prospek implementasi kebijakan yang
efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para
pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy
and consistency)” (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo
1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme
yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik
koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat
dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan
semakin kecil, demikian sebaliknya.
Penulis melakukan wawancara dengan Danlanal Bengkulu
terkait sikap pelaksana khususnya di daerah dimana
Lanudal Bengkulu akan di bangun. Adapun hasil
wawancara kepada Danlanal Bengkulu adalah sebagai
berikut:
“Muspida di Provinsi Bengkulu prinsipnya mendukung semua
terhadap rencana pembangunan Lanudal Bengkulu, kami
118 | T e o r i d a n P r a k t i k

juga selalu dilibatkan selama Pusnerbal Melakukan


kegiatan di Bengkulu. Hubungan yang harmonis salah satu
wujudnya adalah kami membangun secara mandiri Puskodal
Bersama Muspida di Bengkulu, kami menyiapkan tempat,
peralatan lainnya didukung dari berbagai entitas. Prinsipnya
di Bengkulu tidak ada kendala dukungan dari segenap
Muspida” (Wawancara, 7 September 2020).

Gambar 4.1. Wawancara dengan Danlanal Bengkulu Beserta Staf.


Sumber: Lanal Bengkulu, 2020

Rencana ini juga disambut baik Pemerintah Provinsi


Bengkulu seperti yang disampaikan Asisten III Administrasi
Umum Setda Provinsi Bengkulu Gotri Suyanto dalam
pertemuannya dengan Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho
Prakoso, S.IP, M.A.P beserta rombongan dari Universitas
Pertahanan (Unhan) Republik Indonesia, sebagai berikut:
“Kami sangat menyambut baik rencana ini dan mudah-
mudahan akan terealisasi dalam waktu dekat. Karena
seperti kita ketahui keberadaan pangkalan udara TNI AL ini
Daftar Pustaka| 119

meningkatkan daya dorong terhadap pembangunan di


Bengkulu. Selain memperkuat pertahanan pangkalan udara
itu juga akan membantu evakuasi dan membantu
pengangkutan logistik terutama saat terjadi bencana”
(Wawancara, 7 September 2020).
Temuan dari faktor sikap pelaksana di daerah Bengkulu
menjadi konstribusi positif terhadap rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu. Forkompida Provinsi Bengkulu sangat
mendukung dengan rencana pembangunan Pangkalan Udara
TNI AL ini. Permasalahan kepemilikan lahan yang akan
dibangun menjadi urusan level pusat yang harus diselesaikan
pada tingkat kementerian.
7) Komunikasi antar organisasi
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam
Agustinus (2006):
”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana
kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi
karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi
warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan
persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik
biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para
pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu
menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang
harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu
terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan
kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van
Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa:
“ Implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered)
lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors)
dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga
macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan
120 | T e o r i d a n P r a k t i k

dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara


lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition),
pemahaman dan pendalaman (comprehension and
understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon
mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,
neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap
kebijakan”.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan
tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga
implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal
(frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors)
terhadap standar dan tujuan kebijakan. ”Arah disposisi para
pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan
kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors
mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan,
dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu
kebijakan” (Van Mater dan Van Horn, 1974).
”Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam
terhadap standar dan tujuan kebijakan di antara mereka yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut,
adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan” (Kaufman dalam Van
Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intensitas
disposisi para pelaksana (implementors) dapat
mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan.
Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa
menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.
Terkait dengan Faktor komunikasi, penulis mewancarai
salah seorang ahli dari Mabes TNI AL yang memiliki banyak
pengalaman dan pengetahuan terkait lahan, seperti yang
dihadapi pada rencana pembangunan Lanudal Bengkulu.
Adapun hasil wawancara tersebut adalah:
Daftar Pustaka| 121

“Permasalahan lahan yang akan digunakan untuk Lanal


Bengkulu sebenarnya ada mekanismenya untuk perpindahan
kepemilikan, prinsipnya Kementrian Perhubungan setuju.
Namun terkait lahan ini adalah sebagian kecil dari
permasalahan Tata Ruang Wilayah Nasional yang
hubungannya dengan masalah agrarian. Komunikasi antara
entitas terkait menjadi rumit misalnya saja di bawah
kementrian pertahanan ada Mabes TNI dan Matra AD, AL dan
AU, untuk menyamakan persepsi ini menjadi kesulitan
tersendiri, belum lagi kalau sudah sampai ditingkat
kementrian. Dengan adanya berbagai dinamika, perubahan-
perubahan aturan, PP 68 tahun 2014 tentang Penataan
Wilayah Pertahanan kelihatannya harus disesuaikan dengan
adanya Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan”
(Wawancara, tanggal 31Oktober 2020).
Demikian juga hasil wawancara dengan Pemerintah
Provinsi Bengkulu dalam hal ini yang disampaikan Asisten
III Administrasi Umum Setda Provinsi Bengkulu Gotri
Suyanto mengenai kebutuhan lahan untuk pembangunan
Lanudal di Bengkulu, sebagai berikut:
”Luas lahan yang dibutuhkan untuk pangkalan udara tersebut
diperkirakan sekitar enam hektar, untuk itu Pemprov
Bengkulu akan berkoordinasi lebih lanjut dengan PT.
Angkasa Pura II dan pihak lain yang terlibat” (Wawancara,
tanggal 7 September 2020).
Temuan pada faktor komunikasi ini menjadi signifikan,
karena terkait lahan rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu, merupakan masalah agrarian, yang ada
hubungannya dengan Tata Ruang Wilayah nasional yang di
dalamnya juga ada kaitannya dengan Wilayah Tata Ruang
Pertahanan yang diatur pada PP No. 68 tahun 2014.
Fragmentasi dan SOP pada masing-masing entitas terkait
berkonstribusi kepada rumitnya komunikasi antara pihak
yang berkepentingan. Komunikasi antara TNI AL dengan
122 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pemprov Bengkulu dan PT. Angkasa Pura II sudah berjalan


dengan lancar, menunjukkan dukungan atas rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu. Komunikasi lanjutan
untuk dilakukan TNI AL dengan didukung oleh Pemprov
Bengkulu kepada Kementerian Perhubungan RI terkait untuk
koordinasi pelepasan lahan seluar 6 (enam) hektar guna
pembangunan fasilitas dan sarana prasarana Lanudal
tersebut.
8) Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan
eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi
kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang
kondusif.
Pada faktor ini penulis melakukan wawancara dengan
berbagai pihak, hampir semua pihak yang diwawancarai
memberikan keterangan yang sama, bahwa secara teknis
lingkungan ekonomi, sosial dan politik di Bengkulu
mendukung sepenuhnya rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu, Berikut keterangan yang diberikan oleh Sekda
Bengkulu:
“Kami sangat menyambut baik rencana ini dan mudah-
mudahan akan terealisasi dalam waktu dekat. Karena seperti
kita tahu keberadaan pangkalan udara TNI AL ini
meningkatkan daya dorong terhadap pembangunan di
Bengkulu. Selain memperkuat pertahanan pangkalan udara
itu juga akan membantu evakuasi dan membantu
pengangkutan logistik terutama saat terjadi bencana Luas
lahan yang dibutuhkan untuk pangkalan udara tersebut
diperkirakan sekitar enam hektar, untuk itu Pemprov
Bengkulu akan berkoordinasi lebih lanjut dengan PT.
Daftar Pustaka| 123

Angkasa Pura II dan pihak lain yang terlibat. Bengkulu


memiliki Pulau Enggano yang merupakan salah satu pulau
terluar yang harus diprioritaskan, terutama dalam hal
pertahanan (Wawancara tanggal 10 September 2020).

Keberadaan Lanudal Bengkulu nantinya akan berdampak


kepada berkembangnya ekonomi masyarakat Bengkulu,
sebagaimana pernyataan Gubernur Bengkulu, sebagai
berikut:
"Kita menyambut baik dan mendukung rencana TNI AL akan
membangun Pangkalan Udara bagi TNI AL di Bengkulu,
sehingga selain dapat menggerakkan ekonomi masyarakat
pembangunan tersebut juga dapat meningkatkan keamanan
di daerah ini".
Disamping itu keberadaan Lanudal Bengkulu juga sangat
bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat Bengkulu yang
kerap dilanda bencana gempa karena Provinsi Bengkulu
merupakan salah satu daerah rawan gempa, sebagai
penjelasan lanjut dari Rohidin sebagai berikut:
“Selain itu juga untuk meningkatkan pengamanan di
Kawasan bandara, untuk memberikan rasa aman bagi
masyarakat yang berada di wilayah Sumatera bagian barat,
khususnya Provinsi Bengkulu, serta bertujuan untuk
mempercepat penyaluran bantuan logistik bencana dan
evakuasi medis kepada para korban bencana alam”.
Temuan pada faktor ini sangat signifikan terhadap rencana
pembangunan Lanal Bengkulu. Sehingga permasalahan
terealisasinya pembangunan Lanudal Bengkulu tinggal
difokuskan kepada koordinasi ke pihak Kementerian
Perhubungan RI untuk dapatnya menyetujui pengalihan
kepemilikan lahan. Dibangunnya pangkalan udara TNI AL di
Bengkulu sangat strategis bagi keamanan dalam menghadapi
perkiraan ancaman yang akan timbul, untuk pergerakan
perekonomian rakyat dan bertujuan untuk mempercepat
124 | T e o r i d a n P r a k t i k

penyaluran bantuan logistik dan evakuasi medis kepada para


korban bencana alam.

4.3 FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT

D
ari hasil penulisan buku pada implementasi rencana
pembangunan Lanudal di Bengkulu terdapat beberapa
faktor-faktor pendukung dan penghambat adalah sebagai berikut:
1. Faktor Pendukung
a. Komitmen Pemimpin
Komitmen Pemimpin TNI AL dalam mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan poros
maritim dunia yang menjadi Visi Pemerintah
menjadikan Keberadaan Lanudal Bengkulu merupakan
prioritas yang harus segera dibangun. Komitmen
Pemerintah Provinsi Bengkulu juga sangat kuat karena
keberadaan Lanudal ini nantinya sangat dibutuhkan
masyarakat luas di Bengkulu dalam pergerakan ekonomi
daerah.
b. Standar dan Sasaran Kebijakan/Ukuran dan
Tujuan Kebijakan.
Sudah sangat jelas kemanfaatannya untuk kepentingan
pertahanan sangat mendesak karena saat ini belum ada
Lanudal yang berada di sepanjang sisi Barat Pulau
Sumatra. Kepentingan pertahanan ini juga sekaligus
untuk mengamankan Ibu Kota Negara DKI Jakarta dari
potensi ancaman dari selatan. Kemanfaatan lainnya
adalah dibutuhkannya Lanudal Bengkulu untuk
kepentingan masyarakat dalam kondisi darurat bencana
yaitu SAR dan dukungan logistik bencana, karena
Provinsi Bengkulu adalah termasuk salah satu Provinsi
rawan bencana gempa.
c. Sumber Informasi
Keberadaan entitas pertahanan dan pemerintah daerah
menjadi sumber informasi kebijakan yang cukup kuat
Daftar Pustaka| 125

untuk merealisasikan pembangunan Lanudal Bengkulu.


Adapun masalah Kementerian Perhubungan RI yang
belum menyetujui pengalihan lahan, akan dilaksanakan
koordinasi secara intensif dan bersinergi. Adanya
dukungan komunikasi antara TNI AL, Pemprov Bengkulu
dan PT. Angkasa Pura II adalah wujud dukungan
stakeholder terhadap rencana pembangunan Lanudal
tersebut.
d. Sumber Daya
Sumber daya terutama terkait dengan anggaran, sudah
merupakan rencana Mabes TNI AL dalam
pengembangan kekuatan dan gelar kekuatan didukung
penuh oleh APBN. Masalah yang tersisa hanya pada
kepemilikan lahan yang masih belum disetujui oleh
Kementerian Perhubungan RI. Disamping dukungan
anggaran, sarana dan prasarana yang dapat
mempercepat pembangunan Lanudal Bengkulu adalah
dengan tersedianya Bandara Fatmawati-Soekarno.
Keberadaan Bandara ini dapat dimanfaat bersama
tidak hanya untuk kepentingan penerbangan sipil,
tetapi juga dapat dimanfaat untuk kepentingan
pertahanan.
e. Karakteristik Organisasi Pelaksana
Memperhatikan organisasi yang dihadapi dalam
mewujudkan rencana pembangunan ini,
keseluruhannya adalah organisasi dalam sistem
pemerintahan, yang memiliki karakteristik berbeda
sesuai dengan fungsi tugas masing-masing. Organisasi ini
tentunya untuk mendukung program-program
pemerintah yang akan dilaksanakan. Kekuatannya
adalah keberadaan instansi sangat menguntungkan bagi
rencana pembangunan Lanudal ini, sehingga realisasinya
akan tercapai.
f. Sikap Para Pelaksana.
126 | T e o r i d a n P r a k t i k

Para pelaksana yang terkait dalam rencana


pembangunan Pangkalan Udara TNI AL di Bengkulu,
sangat mendukung untuk terwujudnya dan
terlaksananya program pembangunan Lanudal Bengkulu
tersebut oleh sebab itu diperlukan sinergisitas antar
instansi untuk mewujudkannya. Adanya dukungan
stakeholder di Provinsi Bengkulu menjadikan kekuatan
dalam mewujudkan implementasi tersebut.
g. Komunikasi Antar Organisasi
Komunikasi yang dilakukan untuk merealisasikan
pembangunan Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal) di
Bengkulu ini sangat baik, terlihat terjalinnya komunikasi
di antara TNI AL khususnya Pusnerbal dengan
Pemerintah Provinsi Bengkulu serta PT. Angkasa Pura II.
h. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik
Kondisi masyarakat dan Forkompinda Bengkulu sangat
mendukung dan sangat mengharapkan Lanudal
Bengkulu segera dibangun. Keberadaan Lanudal
Bengkulu akan berdampak kepada tumbuhnya
pergerakan perekonomian masyarakat. Dalam bidang
sosial akan sangat membantu dalam penyaluran
logistik bencana dan dukungan SAR jika terjadi
bencana, memperhatikan bahwa Provinsi Bengkulu
adalah salah daerah rawan gempa di pesisir barat
Pulau Sumatera.

2. Faktor Penghambat
a. Sumber Daya
Kepemilikan lahan yang dibutuhkan TNI AL dalam
membangun Lanudal Bengkulu, merupakan salah satu
penghambat, karena sampai saat ini TNI AL belum
memiliki lahan yang dibutuhkan seluas 6 (enam) hektar.
Lahan yang ada dan strategis untuk pembangunan
tersebut masih dalam kepemilikan Kementerian
Daftar Pustaka| 127

Perhubungan RI, yang membutuhkan koordinasi dan


pembicaraan lebih lanjut. Pemerintah Provinsi Bengkulu
juga tidak memiliki anggaran dan lahan untuk
dihibahkan pada rencana pembangunan ini. Disamping
itu keberadaan Lanudal di Bengkulu akan mengalami
gangguan mengingat kondisi geografis Bengkulu yang
rawan bencana, sehingga dalam pembangunan fasilitas
dan sarana prasarananya harus mempertimbangkan
kondisi ini.
b. Karakteristik Organisasi Pelaksana.
Panjangnya rentang kendali dan banyaknya entitas
terkait dari tingkat bawah sampai ke tingkat
kementerian akan berdampak kepada waktu
penyelesaian permasalahan, yang membutuhkan waktu
cukup lama. Ego sectoral dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya masing-masing instansi akan menjadi
penghambat, sehingga rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu ini nanti tidak dapat direalisasikan.
c. Komunikasi antar Organisasi
Dampak dari karakteristik organisasi yang memiliki
banyak fragmentasi dan SOP, berpengaruh kepada
proses komunikasi yang panjang dan membutuhkan
waktu yang lama dalam mengambil suatu keputusan.

4.4 PEMBAHASAN PENULISAN


4.4.1 Implementasi Rencana Pembangunan Lanudal Bengkulu
Penulis melakukan pembahasan berdasarkan informasi
terkait dengan implementasi kebijakan rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu dengan memperhatikan dua hal yang terkait
yaitu faktor-faktor pendukung dan penghambat, kemudian
selanjutnya menganalisa perencanaan pembangunan Lanudal
Bengkulu ini dalam mendukung strategi pertahanan laut
nusantara (SPLN) agar dapat terlaksana sesuai yang diharapkan.
128 | T e o r i d a n P r a k t i k

Pembahasan dilakukan dengan melaksanakan konfirmasi


hasil penulisan buku dengan teori yang digunakan sebagai pena
analisis atau apply theory. Pada penulisan buku ini teori
implementasi yang digunakan sebagai teori konfirmasi adalah
Teori Implementasi Suhirwan (2016) yang merupakan
penyempurnaan dari teori Implementasi Van Metter dan Van Horn
(1974), sebagai berikut:
1. Komitmen Pemimpin
Komitmen adalah niat atau tekad untuk melaksanakan
sesuatu yang menjadi daya dorong yang sangat kuat untuk
mencapai tujuan. Niat dan tekad ini, dapat dilaksanakan
terlihat dari sikap dan tindakan yang dilaksanakan. Ketiadaan
komitmen dari segala lini dalam organisasi, khususnya para
Pemimpin, maka pelaksanaan implementasi suatu kebijakan
tidak akan tercapai. Pemimpin sangat berperan kuat dalam
mempengaruhi pelaksanaannya untuk mencapai tujuan
organisasi agar dapat meningkatkan kinerja dari para
pegawai sehingga tercapai prestasi kerja sesuai yang
diharapkan. Tanpa Komitmen Pemimpin semua hal yang
sudah dirancang dan direncanakan tidak akan ada
gunanya dan tidak akan berjalan dengan baik. Komitmen
tidak hanya sekedar diucapkan atau dituangkan dalam
bentuk kebijakan tertulis dan berupa instruksi, tetapi harus
diwujudkan secara nyata dalam tindakan dan sikap sehari-
hari.
Temuan penulis di lokasi penulisan buku terkait faktor
Komitmen Pemimpin, bahwa Pimpinan TNI AL memiliki
komitmen kuat dalam mendukung Visi Presiden RI dalam
mewujudkan Poros Maritim Dunia, salah satunya dengan
gelar kekuatan TNI AL dengan merencanakan pembangunan
Lanudal Bengkulu. Pada saat ini wilayah perairan
Samudera Hindia sisi barat Pulau Sumatra belum ada Lanudal
yang dapat mendukung operasi patroli maritim TNI AL baik
dukungan logistik maupun dukungan fasilitas pangkalan.
Daftar Pustaka| 129

Komitmen Pemimpin juga diperlihat oleh Gubernur Bengkulu


dengan sambutan yang sangat baik untuk ikut melaksanakan
komunikasi kepada PT Angkasa Pura II dalam usaha
pelepasan lahan bagi pembangunan Lanudal tersebut.
Pembangunan Lanudal ini diharapkan ada kemanfaatannya
terhadap masyarakat untuk segera diwujudkan. Pihak
pengelola Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu dalam hal
ini pihak PT. Angkasa Pura II juga merespon dengan baik dan
segera langsung menyiapkan dua sektor yang sekiranya layak
untuk digunakan Lanudal Bengkulu. Ini adalah faktor
Komitmen Pemimpin yang kuat yang dapat dimanfaatkan
dalam pembangunan Lanudal Bengkulu.
Komitmen Pemimpin TNI AL dalam mendukung pertahanan
negara dalam rangka mewujudkan poros maritim dunia yang
menjadi Visi Pemerintah menjadikan keberadaan Lanudal
Bengkulu merupakan prioritas yang harus segera dibangun.
Komitmen Pemerintah Provinsi Bengkulu juga sangat kuat
karena keberadaan Pangkalan Udara TNI AL ini nanti
sangat dibutuhkan masyarakat luas di Bengkulu dalam
pergerakan ekonomi daerah.
Komitmen Pemimpin merupakan faktor penting dalam
mengimplementasi suatu kebijakan. Seiring seringnya
pergantian pejabat, dapat juga suatu program yang sedang
berjalan atau yang sedang direncanakan akan terhenti
juga. Oleh sebab itu walaupun pejabatnya sering berganti
hendaknya program-program tetap dilanjutkan, dan
dikembangkan karena program tersebut bukan milik pejabat
tetapi untuk kemajuan organisasi khususnya TNI AL.
2. Standard dan Tujuan Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur
sehingga dapat direalisasi. Apabila standar dan sasaran
kebijakan kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan
mudah menimbulkan konflik di antara para agen
implementasi.
130 | T e o r i d a n P r a k t i k

Temuan penulisan buku pada standar dan sasaran


kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan bahwa
perencanaan pembangunan Lanudal Bengkulu masih belum
dapat dilaksanakan karena masih adanya permasalahan
kepemilikan lahan yang menjadi persyaratan dari
Kementerian Perhubungan RI dalam hal pembiayaan.
Pemilihan penempatan Lanudal ini di Bengkulu memiliki nilai
strategis yang tinggi, mengingat posisi bandara ini nantinya
dapat meng-cover patroli maritim di sepanjang pantai sisi
barat Pulau Sumatera dan chock point Selat Sunda serta dapat
mengawasi salah satu pulau terluar Indonesia yaitu Pulau
Enggano.
Sudah sangat jelas kemanfaatannya untuk kepentingan
pertahanan negara, sehingga sangat mendesak untuk
dibangun karena sampai saat ini belum ada Lanudal yang
berada di sisi Barat Pulau Sumatra. Kepentingan pertahanan
ini juga sekaligus untuk mengamankan Ibu Kota Negara DKI
Jakarta dari potensi ancaman dari selatan. Kemanfaatan
lainnya adalah dibutuhkannya Lanudal Bengkulu untuk
kepentingan masyarakat dalam kondisi darurat bencana,
karena Bengkulu adalah Provinsi rawan bencana gempa.
Permasalahan lainnya adalah dukungan anggaran dari
Kemenkeu terkait regulasi dukungan anggaran untuk
pembangunan fasilitas di atas lahan tersebut yang BMN nya
masih dimiliki oleh Kementerian Perhubungan RI.
Memperhatikan uraian di atas dalam implementasi kebijakan
terkait standar dan tujuan kebijakan, bahwa pembangunan
Lanudal Bengkulu merupakan arah kebijakan TNI AL dalam
mendukung program Presiden Joko Widodo yaitu Poros
Maritim dunia. TNI AL mengimplementasikannya dengan
pengembangan Pangkalan Udara TNI AL di Bengkulu, upaya
ini dilakukan untuk menjaga kedaulatan dan penegakan
hukum di wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau
Sumatera, chock point Selat Sunda serta ALKI I.
Daftar Pustaka| 131

Pembangunan Lanudal Bengkulu dalam tataran kebijakan


sudah sangat jelas untuk tujuannya, tidak ada konflik
kepentingan didalam rencana pembangunan ini.
Pembangunan ini sangat membantu untuk perkembangan
kekuatan TNI AL, pergerakan ekonomi wilayah Bengkulu,
dukungan SAR dan logistik bencana.
3. Sistem Informasi
Sistem informasi yaitu suatu sistem yang menyediakan
informasi untuk manajemen dalam mengambil keputusan
dan juga untuk menjalankan operasional organisasi atau
perusahaan, di mana sistem tersebut merupakan kombinasi
dari orang-orang, teknologi informasi dan prosedur-
prosedur yang terorganisasi. Biasanya suatu organisasi atau
perusahaan (badan usaha) menyediakan semacam informasi
yang berguna bagi manajemen.
Tujuan dari sistem informasi adalah untuk menghasilkan
informasi. Sistem informasi merupakan data yang diolah
menjadi bentuk yang berguna bagi para penggunanya. Data
yang diolah saja pun tidak cukup apabila dikatakan sebagai
suatu informasi.
Temuan penulisan buku pada faktor sumber informasi
terkait rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini, bisa
menjadi temuan yang signifikan dalam mencari solusi
terhadap permasalahan yang terjadi saat ini masalah
kepemilikan lahan dalam rangka pembangunan Lanudal
Bengkulu harus dikoordinasikan secara intensif dan erat.
Keberadaan entitas pertahanan dan pemerintah daerah
menjadi sumber informasi kebijakan yang cukup kuat untuk
merealisasikan pembangunan Lanudal Bengkulu. Adapun
masalah Kementerian Perhubungan RI yang belum
menyetujui pengalihan lahan, akan dilaksanakan koordinasi
secara intensif dan bersinergi.
Pentingnya pembangunan Lanudal Bengkulu seharusnya
juga dikoordinasikan dan disampaikan kepada Lembaga
132 | T e o r i d a n P r a k t i k

yudikatif dalam hal ini DPRD Provinsi Bengkulu.


Penyampaian program ini kepada DPRD Provinsi Bengkulu
dimaksudkan untuk memperoleh dukungannya, tidak hanya
dari Lembaga eksekutif saja. DPRD Provinsi Bengkulu dapat
menyuarakan rencana pembangunan Lanudal ini dan ikut
mendorong agar Kementerian Perhubungan RI dapat
nantinya melepas lahan seluas 6 (enam) hektar tersebut
untuk pembangunan Lanudal Bengkulu tersebut.
Sistem informasi dengan melaksanakan komunikasi antara
kelembagaan dalam fungsi eksekutif dan yudikatif
merupakan bentuk sinergisitas dalam fungsi ketatanegaraan.
Dengan disuarakannya rencanakan pembangunan ini
didukung dari semua pihak masyarakat, Lembaga eksekutif
dan yudikatif maka pembangunan Lanudal ini mempunyai
arti penting tidak hanya untuk kepentingan pertahanan tetapi
bermanfaat juga untuk kepentingan sosial kemasyarakatan.
Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan
kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu
a. Informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan
kebijakan/program, penulisan buku ini sudah
memperoleh beberapa metode untuk penyelesaian
pembangunan Lanudal ini yaitu meliputi: informasi
kepemilikan lahan seluas 6 (enam) hektar yaitu dalam
penguasaan Kementerian Perhubungan RI.
Penyelesaian untuk pelepasan lahan harus adanya
komunikasi dan koordinasi semua pihak yaitu Pimpinan
TNI AL, DPRD Provinsi Bengkulu, Gubernur Bengkulu
dan Kementerian Perhubungan RI. Koordinasi ini
diperlukan bagaimana status kepemilikan lahan
selanjutnya, dukungan anggaran untuk pembangunan
fasilitas dan sarana prasarannya serta pencatatan dalam
BMN, serta kemanfaatannya bagi masyarakat Bengkulu.
b. Pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan informasi tentang data pendukung
Daftar Pustaka| 133

kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-


undang. Proses pengalihan dan pembangunan Lanudal
Bengkulu mengikuti peraturan dan perundang undangan
yang berlaku, yaitu dari pengajukan pengalihan lahan,
pembangunan fasilitas dan saran prasarananya serta
pengajuan anggaran sesuai dengan mekanisme yang
berlaku. Seluruh kegiatan ini diharapkan tertib
administrasi, transfaransi dan akuntabel, sehingga
pembangunan Lanudal Bengkulu dapat berjalan dengan
lancar dan tertib.

4. Sumber Daya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Manusia merupakan sumber daya terpenting dalam
menentukan keberhasilan atau implementasi kebijakan.
Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya
yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan
oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu
menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan
implementasi kebijakan.
Temuan penulisan buku ada faktor sumber daya kebijakan
dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal yang
signifikan, bahwa pembangunan Lanudal Bengkulu, tidak saja
strategis dalam hal kepentingan pertahanan tetapi juga
memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat
Bengkulu yang memang sangat berharap Lanudal Bengkulu
dapat segera terealisasikan. Pembangunan Lanudal akan
menggunakan anggaran APBN TNI AL dalam kaitan untuk
pembangunan fasilitas dan sarana prasarananya, sedang
kebutuhan lahan seluas 6 (enam) hektar akan
dikomunikasikan kepada Kementerian Perhubungan RI.
134 | T e o r i d a n P r a k t i k

Keberadaan Bandara Fatmawati-Soekarno, merupakan


keuntungan sendiri bagi TNI AL, karena TNI AL tidak perlu
membangun landasan sendiri, tetapi dapat memanfaatkan
secara Bersama landasan tersebut, baik untuk kepentingan
penerbangan sipil maupun untuk penerbangan militer
khususnya pesawat TNI AL dalam melaksanakan patroli
maritimnya. Format kerja sama untuk pemakaian landasan
dapat diajukan bersama, sehingga TNI AL tidak perlu
mengeluarkan anggaran yang besar untuk pembangunan
landasan sendiri dan hanya membangun fasilitas dan sarana
prasarananya saja.
Sumber daya terutama terkait dengan dukungan anggaran,
sudah merupakan rencana Mabes TNI AL dalam
pengembangan kekuatan dan gelar kekuatan didukung
penuh oleh APBN. Masalah yang tersisa hanya pada
kepemilikan lahan yang masih belum disetujui oleh
Kementerian Perhubungan RI. Disamping dukungan
anggaran, sarana dan prasarana yang dapat mempercepat
pembangunan Lanudal Bengkulu adalah dengan
tersedianya Bandara Fatmawati-Soekarno. Keberadaan
Bandara ini dapat dimanfaat bersama tidak hanya untuk
kepentingan penerbangan sipil, tetapi juga dapat dimanfaat
untuk kepentingan pertahanan.
Kepemilikan lahan yang dibutuhkan TNI AL dalam
membangun Lanudal Bengkulu, merupakan salah satu
penghambat, karena sampai saat ini TNI AL belum memiliki
lahan yang dibutuhkan seluas 6 (enam) hektar. Lahan yang
ada dan cocok untuk pembangunan tersebut dalam
kepemilikan Kementerian Perhubungan RI, yang
membutuhkan koordinasi dan pembicaraan lebih lanjut.
Disamping itu keberadaan Lanudal di Bengkulu akan
mengalami gangguan mengingat kondisi geografis Bengkulu
yang rawan bencana, sehingga dalam pembangunan
Daftar Pustaka| 135

fasilitas dan sarana prasarananya harus mempertimbangkan


kondisi ini.
5. Karakteristik Pelaksana
Yang dimaksud karakteristik pelaksana adalah mencakup
struktur birokrasi, norma-norma, dan hubungan yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu program kebijakan yang sudah
direncanakan.
Penulis melihat dalam faktor karakteristik organisasi
pelaksana dalam rencana pembangunan Lanudal Bengkulu
ini cukup menjadi persoalan yang berkonstribusi terhadap
panjangnya rentang kendali dalam mengambil keputusan.
Fragmentasi organisasi di TNI AL, kemudian dilanjutkan
ke tingkat Mabes TNI, selanjutnya sampai ke tingkat
Kementerian Pertahanan RI dan terkait dengan lahan ke
Kementerian Perhubungan RI. Memerlukan jalan panjang
birokrasi tentunya lengkap dengan SOP di tiap tingkat
pelaksana organisasi.
Memperhatikan organisasi yang dihadapi dalam
mewujudkan rencana pembangunan ini, keseluruhannya
adalah organisasi dalam sistem pemerintahan, yang
memiliki karakteristik berbeda sesuai dengan fungsi tugas
masing-masing. Organisasi ini tentunya untuk mendukung
program-program pemerintah yang akan dilaksanakan.
Panjangnya rentang kendali dan banyaknya entitas terkait
dari tingkat bawah sampai ketingkat Kementerian
berdampak kepada waktu penyelesaian permasalahan yang
membutuhkan waktu cukup lama. Dampak dari karakteristik
organisasi yang memiliki banyak fragmentasi dan SOP,
berpengaruh kepada proses komunikasi yang panjang dan
membutuhkan waktu yang lama dalam mengambil suatu
keputusan.
6. Komunikasi antar Organisasi;
136 | T e o r i d a n P r a k t i k

Temuan dari faktor sikap pelaksana di daerah Bengkulu


menjadi konstribusi positif terhadap rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu. Forkompida Provinsi Bengkulu sangat
mendukung dengan rencana pembangunan Pangkalan Udara
TNI AL ini. Permasalahan kepemilikan lahan yang akan
dibangun menjadi urusan tingkat pusat yang harus
diselesaikan pada tingkat kementerian
Para pelaksana yang terkait dalam rencana pembangunan
Lanudal di Bengkulu, sangat mendukung untuk
terwujudnya dan terlaksananya program tersebut oleh
sebab itu diperlukan sinergisitas antar instansi. Komunikasi
yang dilakukan dalam merealisasikan pembangunan Lanudal
di Bengkulu ini sangat baik, terlihat adanya jalinan
komunikasi di antara Mabes TNI AL khususnya Pusnerbal
dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu serta PT. Angkasa
Pura II. Komunikasi dan koordinasi selanjutnya akan
dilaksanakan kepada Kementerian Perhubungan RI dengan
tujuan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan dan
pengalihan lahan tersebut untuk kepentingan pembangunan
Lanudal Bengkulu.
7. Sikap para Pelaksana; dan
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting
yakni: a) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan
mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;
b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan c)
intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang
dimiliki oleh implementor.
Temuan pada faktor komunikasi ini menjadi signifikan,
karena terkait lahan rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu, merupakan masalah agraria, yang ada
hubungannya dengan Tata Ruang Wilayah nasional yang di
dalamnya juga ada kaitannya dengan Wilayah Tata Ruang
Pertahanan yang diatur pada PP No. 68 tahun 2014.
Fragmentasi dan SOP pada masing-masing entitas terkait
Daftar Pustaka| 137

berkonstribusi kepada rumitnya komunikasi antara pihak


yang berkepentingan. Komunikasi antara TNI AL dengan
Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Angkasa Pura II
sudah berjalan dengan lancar, menunjukkan dukungan
atas rencana pembangunan Lanudal Bengkulu. Komunikasi
lanjutan untuk dilakukan TNI AL dengan didukung oleh
Pemerintah Provinsi Bengkulu kepada Kementerian
Perhubungan RI terkait untuk koordinasi pelepasan lahan
seluar 6 (enam) hektar guna pembangunan fasilitas dan
sarana prasarana Lanudal tersebut.
Komunikasi yang dilakukan dalam merealisasikan
pembangunan Lanudal di Bengkulu ini sangat baik, terlihat
terjalinnya komunikasi di antara TNI AL khususnya
Pusnerbal dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu serta PT.
Angkasa Pura II. Wujud respons individu pelaksana dalam
rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini akan menjadi
penyebab keberhasilan implementasi, di mana pelaksana
telah memahami tujuan kebijakan dari rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu ini. Komunikasi ini sangat
dibutuhkan dalam rangka komunikasi lebih lanjut kepada
Kementerian Perhubungan RI guna pemanfaatan lahan seluas
6 (enam) hektar tersebut.
8. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan
yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan; sejauh mana kelompok- kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau
menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan; dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
Temuan pada faktor ini sangat signifikan terhadap rencana
pembangunan Lanal Bengkulu. Sehingga permasalahan
terealisasinya pembangunan Lanudal Bengkulu tinggal
138 | T e o r i d a n P r a k t i k

difokuskan kepada koordinasi ke pihak Kementerian


Perhubungan RI untuk dapatnya menyetujui pengalihan
kepemilikan lahan. Dibangunnya pangkalan udara TNI AL di
Bengkulu sangat strategis bagi keamanan dalam
menghadapi perkiraan ancaman yang akan timbul, untuk
pergerakan perekonomian rakyat dan bertujuan untuk
mempercepat penyaluran bantuan logistik dan evakuasi
medis kepada para korban bencana alam.
Kondisi masyarakat dan Forkompinda Bengkulu sangat
mendukung dan sangat mengharapkan Lanudal Bengkulu
segera dibangun. Keberadaan Lanudal Bengkulu akan
berdampak kepada pergerakan ekonomi masyarakat. Dalam
bidang sosial akan sangat membantu dalam penyaluran
logistik dan SAR jika terjadi bencana, memperhatikan bahwa
Provinsi Bengkulu adalah salah satu daerah rawan gempa di
pesisir sisi barat Pulau Sumatera.
Dampak dari karakteristik organisasi yang memiliki banyak
fragmentasi dan SOP, berpengaruh kepada proses
komunikasi yang panjang dan membutuhkan waktu yang
lama dalam mengambil suatu keputusan. Komunikasi yang
dilakukan dalam merealisasikan pembangunan Lanudal di
Bengkulu ini telah sangat baik dilakukan, terlihat adanya
jalinan komunikasi di antara TNI AL khususnya Pusnerbal
dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu serta PT. Angkasa
Pura II.

4.5 ANALISA STRATEGIS DAMPAK RENCANA


PEMBANGUNAN PANGKALAN UDARA TNI AL
BENGKULU DALAM STRATEGI PERTAHANAN
LAUT NUSANTARA (SPLN)

R
encana pembangunan Lanudal Bengkulu ini diharapkan
memiliki arti penting bagi Strategi Pertahanan Laut, arti
Daftar Pustaka| 139

penting bagi strategi ini dibahas dengan menggunakan teori


strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN). Tujuan Strategi
Pertahanan Laut bertujuan untuk menjamin kedaulatan negara
dan kedaulatan hukum di seluruh wilayah perairan nasional
Republik Indonesia. Sasaran kemampuan adalah untuk
mengendalikan corong-corong strategis yang merupakan jalur
pendekat untuk melalui perairan Indonesia.
SPLN tidak lepas dari kekuatan laut Indonesia di mana agar
kita dapat kembali berjaya di laut, maka pembangunan Lanudal
Bengkulu harus mampu menjawab tiga hal mendasar yaitu
sasaran/tujuan apa yang ingin diwujudkan (ends), dengan sarana
prasarana apa untuk mewujudkan tujuan (means), bagaimana
cara untuk mewujudkan tujuan tersebut (ways).
Penulisan buku ini menganalisis sejauh mana pembangunan
Lanudal Bengkulu berdampak terhadap strategi pertahanan laut
Indonesia khususnya Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN).
1. Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN)
Strategi pertahanan negara di laut Indonesia atau Strategi
Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) adalah strategi
pertahanan yang disusun berdasarkan konsep geostrategi
sebagai negara kepulauan, sesuai dengan Undang- undang RI
nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, bahwa
pertahanan negara disusun dengan mempertimbangkan
kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. SPLN
dirancang berdasarkan pada tiga pilar yang saling terkait
untuk mencegah niat dari pihak pengganggu,
tertanggulanginya berbagai macam ancaman, dan
terciptanya kondisi yuridiksi laut yang terkendali. Ketiga
pilar tersebut akan dicapai oleh SPLN yang mengandung
tiga strategi utama yaitu strategi penangkalan (deterrence
strategy), pertahanan berlapis (layer defence strategy) dan
pengendalian laut (sea control strategy).
Konsep pertahanan berlapis yaitu konsep pertahanan yang
bertumpu pada keterpaduan antara lapis pertahanan militer
140 | T e o r i d a n P r a k t i k

dan lapis pertahanan nirmiliter. Konsep pertahanan negara


yang bersifat pertahanan berlapis memiliki tujuan untuk
penangkalan, mengatasi dan menanggulangi ancaman militer
atau nonmiliter dan untuk tujuan menghadapi perang
berlarut.
Pokok-pokok penyelenggaraan pembangunan Lanudal
Bengkulu bagi SPLN dirancang dalam dua kondisi yaitu
damai dan krisis atau perang.
a. Damai
• Tujuan (ends), yang ingin dicapai dengan
pembangunan Lanudal Bengkulu dalam mendukung
SPLN meliputi dua hal, yaitu menimbulkan dampak
penangkalan dan menciptakan kondisi perairan
yuridiksi nasional di sisi barat Pulau Sumatera dan
chock point Selat Sunda yang terkendali.
• Cara (Ways), melalui gelar operasi laut yang
berkaitan dengan strategi penangkalan dan
pengendalian laut baik melalui diplomasi AL,
kehadiran di laut, operasi siaga tempur, dan operasi
laut sehari-hari. Kegiatan ini dengan menghadirkan
pesawat-pesawat udara patroli maritim TNI AL
yang berada di Lanudal Bengkulu untuk
melaksanakan operasi di wilayah perairan Samudera
Hindia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan
chock point Selat Sunda
• Sumber daya (Means), strategi dalam melaksanakan
gelar operasi laut tersebut dipenuhi dengan
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
khususnya pesawat-pesawat udara TNI AL yang
berada di Lanudal Bengkulu serta dukungan
Pangkalan TNI AL Bengkulu yang sudah tergelar.

b. Kondisi Krisis atau Perang


Daftar Pustaka| 141

Pada kondisi krisis atau perang, keberadaan


Lanudal Bengkulu dimanfaatkan untuk, sebagai berikut:
• Tujuan (ends), yang ingin dicapai dari Lanudal
Bengkulu dalam SPLN adalah menghancurkan
kekuatan lawan yang mengancam kedaulatan dan
keutuhan wilayah NKRI, khususnya yang masih
berada di daerah wilayah perairan Samudera Hindia
sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point
Selat Sunda.
• Cara (Ways), guna mencapai tujuan tersebut, akan
dicapai dengan menggunakan pendekatan strategi
pertahanan berlapis dan pengendalian laut. Strategi
pertahanan berlapis akan melibatkan daerah yang
dijadikan medan penyanggah, medan pertahanan
utama, dan daerah perlawanan. Pendekatan strategi
yang digunakan adalah penggunaan kekuatan udara
patroli maritim TNI AL dalam melaksanakan
pengintaian strategis untuk mendapatkan informasi
penting bagi pergerakan kekuatan lawan yang
berada di wilayah perairan Samudera Hindia sisi
barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point
Selat Sunda.
• Sumber daya (means), yang diperlukan untuk
terlaksananya berbagai pendekatan strategi di atas,
maka akan melibatkan seluruh kekuatan yang
dimiliki oleh TNI AL khususnya unsur-unsur
kekuatan udara patrol maritim yang berada di
Lanudal Bengkulu serta dukungan Lanal dan Lanudal
secara optimal.

c. Sea Control (Pengendalian Laut)


Mendapatkan atau mengamankan pengendalian laut
adalah langkah pertama dan paling penting dalam
perjuangan pengendalian laut. Fase ini diakhiri dengan
142 | T e o r i d a n P r a k t i k

pencapaian tujuan strategis operasional. Tujuan Strategi


pertahanan negara di laut adalah untuk mengendalikan
laut, mengontrol laut, penguasaan laut, serta kedaulatan
di laut. Rencana pembangunan Lanudal Bengkulu
merupakan implementasi suatu konsep strategi
pertahanan negara di laut dengan sasaran
pengendalian laut (sea control), dilaksanakan dengan:
1) Bentuk (Shape)
Strategi Pertahanan Laut Nusantara berupa
transformasi dalam bentuk sistem pertahanan laut
yang didukung postur unsur pesawat-pesawat udara
TNI AL, yang digunakan untuk menjaga kedaulatan
dan penegakan hukum di perairan wilayah laut
Indonesia khususnya di Samudera Hindia sisi
barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point
Selat Sunda. Untuk efektifitas penggunaan unsur
pesawat udara patroli maritim TNI AL ini, maka
penempatan home base Lanudal di Bengkulu
merupakan keputusan yang strategis. Keputusan ini
diambil dengan pertimbangan efektifitas waktu
terbang pesawat dalam melaksanakan patroli
maritim yang dapat menjangkau daerah operasi
meliputi wilayah perairan Samudera Hindia di sisi
barat Pulau Sumatera sampai dengan daerah chock
point Selat Sunda. Penggunaan unsur pesawat
udara patroli maritim TNI AL ini dengan
pertimbangan kondisi geografis ombak yang besar di
Samudera Hindia yang tidak memungkinkan unsur-
unsur kapal perang Republik Indonesia
melaksanakan patroli secara optimal, alasan lain
adalah tidak cukup tersedianya KRI berukuran besar
untuk melaksanakan patroli maritim tersebut.
Penggunaan pesawat tersebut juga dengan maksud
efisiensi dalam penggunaan bahan bakar
Daftar Pustaka| 143

2) Respon (Respond)
Penggunaan unsur-unsur pesawat patroli maritim
dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya
merupakan jawaban yang strategis bagi sistem
pertahanan laut Indonesia dalam menghadapi
musuh yang mengancam kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, serta keselamatan segenap
bangsa Indonesia. Penggunaan unsur- unsur udara
patroli maritim bagi TNI AL merupakan strategi yang
tepat mengingat keterbatasan unsur-unsur kapal
perang Republik Indonesia jika melaksanakan
patroli di Samudera Hindia. Penggunaan unsur-
unsur udara patroli maritim TNU AL juga sebagai
unsur pendeteksi dini bagi sistem pertahanan,
sebagai data awal bagi strategi pertahanan
selanjutnya.
3) Mempersiapkan (Prepare)
Dalam menghadapi situasi ancaman di wilayah
perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau Sumatera
sampai dengan chock point Selat Sunda, merupakan
tujuan pembangunan Lanudal Bengkulu.
Pembangunan ini merupakan konsep strategi
pertahanan laut dalam rangka gelar pangkalan
dan gelar unsur pesawat udara dengan tujuan
untuk melaksanakan fungsi dan tugas TNI AL dalam
pengendalian laut, yaitu pengendalian wilayah
perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau
Sumatera sampai dengan chock point Selat Sunda.

Dengan menggunakan pembahasan model teori


implementasi Suhirwan (2016) dengan delapan faktor yang
mempengaruhinya, adalah sebagai berikut:
1. Komitmen Pemimpin
144 | T e o r i d a n P r a k t i k

Komitmen Pemimpin dalam rencana pembangunan Lanudal


Bengkulu sangat tinggi, terbukti dengan adanya komunikasi
antara stakeholder di Bengkulu antara TNI AL dalam hal
ini Pusnerbal, Gubernur Bengkulu dan PT. Angkasa Pura II,
di mana PT. Angkasa Pura II telah mengalokasikan lahan
seluas 6 (enam) hektar di dalam kawasan Bandara
Fatmawati-Soekarno. Gubernur Bengkulu mendukung
sepenuhnya untuk membantu mengkomunikasikan tentang
alih status kepemilikan lahan tersebut kepada Kementerian
Perhubungan RI.
2. Standard dan tujuan kebijakan,
Temuan penulisan buku pada Standar dan sasaran
kebijakan/ ukuran dan tujuan kebijakan tentang
perencanaan pembangunan Lanudal Bengkulu, sebagai
berikut:
a. Pembangunan masih belum dapat dilaksanakan
karena masih adanya permasalahan kepemilikan lahan
yang menjadi persyaratan guna membangun fasilitas dan
sarana prasarananya dari Kementerian Perhubungan RI.
b. Pemilihan penempatan Lanudal di Bengkulu memiliki
nilai strategis yang baik, mengingat posisi Bandara
nantinya dapat meng-cover patroli maritim di
sepanjang pantai sisi barat Pulau Sumatera sampai
dengan chock point Selat Sunda serta dapat mengawasi
salah satu pulau terluar NKRI yaitu Pulau Enggano.

3. Sistem Informasi
Temuan dalam bidang ini, bahwa terhadap informasi
pengenai kepemilikan lahan yang dibutuhkan guna
membangun fasilitas dan saran prasarana Lanudal Bengkulu
dan adanya dukungan dari Gubernur sebagai pemimpin
daerah Bengkulu untuk menyetujui pembangunan Lanudal
Bengkulu tersebut.
4. Sumber Daya
Daftar Pustaka| 145

Dari data hasil penulisan buku dan pembahasan di atas,


temuan pada bidang Sumber Daya, sebagai berikut:
a. Adanya perencanaan dukungan anggaran yang akan
dialokasi dalam APBN,
b. Terdapat bandara Bandara Fatmawati-Soekarno yang
dapat digunakan secara bersamaan dalam pengoperasian
baik untuk dukungan penerbangan sipil maupun
penerbangan militer khususnya pesawat udara patroli
maritim TNI AL,
c. TNI AL memerlukan lahan seluas 6 (enam) hektar
untuk pembangunan fasilitas dan sarana prasarananya,
d. Dengan dukungan bandara yang sudah ada, sehingga
TNI AL tidak perlu membangun fasilitas landasan.
Pembangunan ini dapat menghemat anggaran
pembangunan. Disisi lain personil TNI AL khususnya
Lanudal Bengkulu diperlukan juga untuk memperkuat
pengamanan bandara.

5. Karakteristik Pelaksana,
Temuan pada bidang karakteristik pelaksana, bahwa seluruh
instansi yang akan terlibat dalam pembangunan ini adalah
instansi pemerintah, yang diyakini akan mendukung
perencanaan program pemerintah yang ditetapkan untuk
kepentingan bangsa dan negara. Dengan karakteristik ini
diharapkan pembangunan dapat diwujudkan tentunya
dengan sinergisitas dan komunikasi yang terus menerus.
Komunikasi dan rentang kendali akan panjang jika masing-
masing instansi menampilkan ego sektoralnya dengan
fragmentasi dan SOP yang dimilikinya.
Memperhatikan instansi yang dihadapi dalam mewujudkan
rencana pembangunan ini, bahwa keseluruhannya adalah
organisasi dalam sistem pemerintahan, yang memiliki
karakteristik berbeda sesuai dengan fungsi tugas masing-
masing. Instansi ini tentunya untuk mendukung program-
146 | T e o r i d a n P r a k t i k

program pemerintah yang akan dilaksanakan. Panjangnya


rentang kendali dan banyaknya entitas terkait dari tingkat
bawah sampai ketingkat Kementerian berdampak kepada
waktu penyelesaian permasalahan yang membutuhkan
waktu cukup lama. Dampak dari karakteristik organisasi
yang memiliki banyak fragmentasi dan SOP, berpengaruh
kepada proses komunikasi yang panjang dan
membutuhkan waktu lama dalam mengambil suatu
keputusan.

6. Komunikasi antar Organisasi,


Para pelaksana yang terkait dalam rencana pembangunan
Lanudal di Bengkulu, sangat mendukung untuk
terwujudnya dan terlaksananya program tersebut oleh
sebab itu diperlukan sinergisitas antar instansi. Komunikasi
yang dilakukan dalam merealisasikan pembangunan Lanudal
di Bengkulu ini sangat baik, terlihat adanya jalinan
komunikasi di antara Mabes TNI AL khususnya Pusnerbal
dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu serta PT. Angkasa
Pura II. Komunikasi dan koordinasi selanjutnya akan
dilaksanakan kepada Kementerian Perhubungan RI dengan
tujuan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan dan
pengalihan lahan tersebut untuk kepentingan pembangunan
Lanudal Bengkulu.

7. Sikap para Pelaksana, dan


Adanya kesepahaman pada stakeholder di Provinsi Bengkulu,
bahwa pentingnya keberadaan Lanudal Bengkulu ini. Wujud
dari kesepahaman tersebut dilakukannya komunikasi yang
sangat baik dalam merealisasikan pembangunan Lanudal
Bengkulu ini. Terjalinnya komunikasi di antara TNI AL
khususnya Pusnerbal dengan Pemerintah Provinsi
Bengkulu serta PT. Angkasa Pura II, merupakan sikap
memahami tujuan kebijakan dari rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu ini, tidak hanya untuk kepentingan
Daftar Pustaka| 147

penegakan kedaulatan dan hukum diperairan wilayah


Samudera Hindia sampai dengan chock point Selat Sunda.
Pembangunan Lanudal di Bengkulu akan berdampak pula
pada pergerakan perekonomian masyarakat di Provinsi
Bengkulu serta untuk dukungan SAR dan logistik bencana
mengingat daerah Bengkulu termasuk dalam salah satu
daerah rawan bencana gempa di Pulau Sumatera.

8. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.


Kondisi sosial ekonomi dan politik mencakup sumber daya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang
ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung
implementasi kebijakan.
Sebagaimana dapat diambil referensi logis dari sistem
kebijakan, bahwa: kondisi sosial, ekonomi dan politik juga
berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan
eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi
kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang
kondusif.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan
eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif
dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk
keberhasilan implementasi kebijakan dengan mensyaratkan
kondisi lingkungan eksternal harus kondusif.
148 | T e o r i d a n P r a k t i k

Temuan dalam bidang Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan


Politik, berdasarkan uraian pembahasan di atas, yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu, adalah sebagai berikut:
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Kondisi ekonomi masyarakat Bengkulu sangat
mendukung dalam rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu. Masyarakat Bengkulu berharap dengan
pembangunan Lanudal ini bermanfaat bagi pergerakan
ekonomi masyarakat. Demikian juga kemanfaatan bidang
sosial, bahwa Lanudal Bengkulu dapat digunakan untuk
kepentingan SAR dan jalur bantuan dukungan logistik
bencana, sebagaimana diketahui Provinsi Bengkulu
termasuk salah satu daerah rawan gempa.
b. Dukungan publik terhadap rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu.
Dukungan masyarakat terhadap rencana ini sangat besar,
tidak ada penolakan, sebagaimana prinsip implementasi
bahwa implementasi akan berhasil jika adanya dukungan
publik.
c. Dukungan politik,
Dukungan dalam bidang politik, terdapat dukungan yang
kuat dari Gubernur Bengkulu sebagai kepada
pemerintahan Provinsi Bengkulu dengan Komitmen yang
tinggi untuk membantu berkomunikasi dengan
Kementerian Perhubungan RI dalam hal pengalihan
lahan seluas 6 (enam) hektar untuk membangun
fasilitas dan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh
Lanudal Bengkulu nantinya.

4.6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


IMPLEMENTASI RENCANA PEMBANGUNAN
LANUDAL BENGKULU
Daftar Pustaka| 149

M
empelajari hasil pembahasan data-data penulisan buku
di atas, ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
dalam keberhasilan implementasi rencana pembangunan Lanudal
Bengkulu, sebagai berikut:
1. Komitmen Pemimpin, para Pemimpin di daerah Provinsi
Bengkulu memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan
rencana pembangunan Lanudal ini, terlihat adanya jalinan
komunikasi yang kuat. Faktor Komitmen Pemimpin ini
merupakan salah satu pendukung dalam keberhasilan
implementasi suatu kebijakan.
2. Standard dan Tujuan Kebijakan, adanya rencana
pembangunan Lanudal di Bengkulu oleh TNI AL merupakan
bentuk suatu penetapan tujuan kebijakan yang ingin dicapai.
Kebijakan ini untuk mendukung fungsi dan tugasnya dalam
melaksanakan penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah
perairan sisi barat Pulau Sumatera dalam hal ini Samudera
Hindia sampai dengan chock point Selat Sunda.
3. Sistem Komunikasi, faktor pendukung lainnya adalah
terdapatnya jalinan komunikasi di antara stakeholder yaitu
antara TNI AL dalam hal ini Pusnerbal, Gubernur Bengkulu
dan PT. Angkasa Pura II, yang akan mewujudkan rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu dengan berkomunikasi
kepada Kementerian Perhubungan RI terkait pelepasan
lahan seluas 6 (enam) hektar yang akan digunakan untuk
membangun fasilitas dan sarana prasarana yang dibutuhkan.
4. Sumber Daya, faktor pendukung adanya keberadaan Bandara
Fatmawati-Soekarno sangat diperlukan oleh Lanudal,
disamping tidak perlunya lagi membangun landasan, tetapi
solusi penggunaan bersama. Sumber daya lainnya yang
disediakan oleh TNI AL adalah dengan memasukkan
kebutuhan anggaran dalam program APBN yang akan
digunakan untuk pembangunan fasilitas dan sarana
prasarananya. Faktor penghambat utama dalam
mewujudkan rencana pembangunan ini adalah TNI AL tidak
150 | T e o r i d a n P r a k t i k

memiliki lahan seluas 6 (enam) hektar yang diperlukan


tersebut.
5. Karakteristik Pelaksana, seluruh instansi yang akan terlibat
dalam rencana pembangunan Lanudal ini adalah seluruhnya
organisasi pemerintah. Dalam teori bahwa keberadaan
organisasi di bawah pemerintah tentunya memiliki visi yang
sama dalam mewujudkan keberhasilan program yang telah
ditetapkan. Faktor penghambat nantinya adalah adanya ego
sektoral dengan adanya fragmentasi dan SOP pada masing-
masing instansi yang harus diikuti dan dilaksanakan.
6. Komunikasi antar Organisasi, adanya jalinan komunikasi
antara instansi dengan baik untuk mewujudkan rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu. Komunikasi selanjutnya
adalah kepada Kementerian Perhubungan RI, dengan tujuan
untuk memperoleh ijin atau alih status lahan bagi
pembangunan fasilitas dan sarana prasarana yang
diperlukan. Kejelasan status lahan merupakan faktor penting
untuk nantinya Kemenkeu RI dalam memberikan dukungan
anggaran.
7. Sikap Para Pelaksana, para stakeholder di Provinsi
Bengkulu memiliki kesepahaman yang sama dalam
menanggapi rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini.
Keberadaan Lanudal Bengkulu tidak hanya untuk
melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam penegakan
kedaulatan dan hukum di wilayah perairan Samudera Hindia
sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point Selat
Sunda, tetapi dapat juga untuk pergerakan kemajuan
perekonomian masyarakat Bengkulu, fungsi dukungan SAR
dan dukungan sistem logistik bencana.
8. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik; tidak adanya faktor
penghambat dalam bidang politik, keberadaan Lanudal
Bengkulu ini dalam bidang ekonomi akan mengakibatkan
kemajuan pergerakan ekonomi rakyat, dalam bidang sosial
akan bermanfaat untuk dukungan SAR dan logistik bencana
Daftar Pustaka| 151

mengingat Provinsi Bengkulu salah daerah rawan bencana


Gempa.

4.7 ANALISA STRATEGIS DAMPAK RENCANA


PEMBANGUNAN LANUDAL BENGKULU DALAM
STRATEGI PERTAHANAN LAUT NUSANTARA
(SPLN)

T
emuan pada analisa strategis pentingnya keberadaan
Lanudal Bengkulu dalam mendukung SPLN dilihat fungsi
dan tugasnya pada masa damai, krisis atau perang serta
pengendalian laut, adalah sebagai berikut:
1. Masa Damai
Pada kondisi masa damai, keberadaan Lanudal Bengkulu
dimanfaatkan untuk, sebagai berikut:
a. Tujuan (ends), menimbulkan dampak penangkalan dan
menciptakan kondisi perairan yuridiksi nasional
Samudera Hindia di sisi barat Pulau Sumatera dan chock
point Selat Sunda yang terkendali.
b. Cara (Ways), kegiatan operasi laut dengan
menghadirkan pesawat-pesawat udara patroli maritim
TNI AL yang berada di Lanudal Bengkulu untuk
melaksanakan operasi di wilayah perairan Samudera
Hindia di sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan
chock point Selat Sunda.
c. Sumber daya (Means), strategi dalam melaksanakan
gelar operasi laut tersebut dipenuhi dengan
penggunaan dan pemanfaatan segala sumber daya
yang dimiliki khususnya pesawat-pesawat udara
patroli maritim TNI AL yang berada di Lanudal
Bengkulu serta dukungan Pangkalan TNI AL maupun
Lanudal yang nantinya sudah tergelar sesuai dengan
fungsi dan tugasnya. Dukungan pangkalan ini sangat
152 | T e o r i d a n P r a k t i k

penting bagi satuan operasi, khususnya dukungan


logistik operasi sebagai bekal ulang.

2. Masa Krisis atau Perang


Pada kondisi krisis atau perang, keberadaan Lanudal
Bengkulu dimanfaatkan untuk, sebagai berikut:
a. Tujuan (ends), menghancurkan kekuatan lawan yang
mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI,
khususnya yang masih berada di daerah wilayah
perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau Sumatera
sampai dengan chock point Selat Sunda dengan
melaksanakan pengintaian strategis atau deteksi dini.
b. Cara (Ways), penggunaan kekuatan udara pesawat
patroli maritim TNI AL dalam melaksanakan tugas
pengintaian strategis untuk mendapatkan informasi
awal bagi pergerakan kekuatan lawan yang berada di
daerah wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat
Pulau Sumatera sampai dengan chock point Selat Sunda.
c. Sumber daya (means), melibatkan seluruh kekuatan
yang dimilki TNI AL khususnya unsur kekuatan udara
patroli maritim yang berada di Lanudal Bengkulu serta
dukungan Lanal dan Lanudal secara optimal.

3. Sea Control (Pengendalian Laut)


Mendapatkan atau mengamankan pengendalian laut
adalah langkah pertama dan paling penting dalam
perjuangan pengendalian laut. Fase ini diakhiri dengan
pencapaian tujuan strategis operasional. Tujuan Strategi
pertahanan negara di laut adalah untuk mengendalikan laut,
mengontrol laut, penguasaan laut, serta kedaulatan di laut.
Rencana pembangunan Lanudal Bengkulu merupakan
implementasi suatu konsep strategi pertahanan negara
di laut dengan sasaran dan tujuan untuk pengendalian laut
(sea control), dalam melaksanakan langkah-langkah sebagai
berikut:
Daftar Pustaka| 153

a. Bentuk (Shape)
Strategi Pertahanan Laut Nusantara berupa transformasi
dalam bentuk sistem pertahanan laut yang didukung
postur unsur pesawat-pesawat udara TNI AL, yang
digunakan untuk menjaga kedaulatan dan penegakan
hukum di wilayah perairan laut Indonesia khususnya
Samudera Hindia di sisi Barat Pulau Sumatera
sampai dengan chock point Selat Sunda. Untuk
efektifitas penggunaan unsur-unsur udara patroli
maritim TNI AL ini, maka penempatan home base Lanudal
di Bengkulu merupakan keputusan yang strategis.
Keputusan ini diambil dengan pertimbangan efektifitas
waktu terbang pesawat dalam melaksanakan patroli
maritim yang dapat menjangkau daerah operasi meliputi
daerah wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat
Pulau Sumatera sampai dengan daerah chock point Selat
Sunda. Penggunaan unsur-unsur pesawat udara patroli
maritim TNI AL dengan pertimbangan kondisi geografis
ombak yang besar di Samudera Hindia yang tidak
memungkinkan kapal perang Republik Indonesia
melaksanakan patroli secara optimal. Penggunaan postur
pesawat udara dalam melaksanakan patrol maritim
merupakan jawaban yang strategis bagi sistem
pertahanan laut Indonesia, penggunaan pesawat udara
bagi TNI AL merupakan strategi yang tepat mengingat
keterbatasan unsur- unsur kapal perang Republik
Indonesia jika melaksanakan patroli di Samudera Hindia.
Penggunaan unsur udara juga sebagai unsur pendeteksi
dini bagi sistem pertahanan, sebagai data awal bagi
strategi pertahanan yang dikembangkan berikutnya.
b. Mempersiapkan (Prepare),
Tujuan pembangunan Lanudal Bengkulu merupakan
strategi pertahanan laut dalam rangka gelar pangkalan
dan gelar unsur pesawat udara dalam rangka untuk
154 | T e o r i d a n P r a k t i k

melaksanakan fungsi dan tugas TNI AL dalam


pengendalian laut, yaitu pengendalian wilayah perairan
Indonesia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock
point Selat Sunda.

4.8 FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN


PENGHAMBAT IMPLEMENTASI RENCANA
PEMBANGUNAN PANGKALAN UDARA TNI AL
(LANUDAL) DI BENGKULU
1. Faktor-faktor Pendukung
Pada penulisan buku ini diperoleh faktor-faktor pendukung
yang akan menentukan terwujudnya rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu ini, sebagai berikut:
a. Komitmen Pemimpin; terdapat Komitmen Pemimpin
yang kuat antara stakeholder TNI AL, Gubernur
Bengkulu dan PT. Angkasa Pura II.
b. Standar dan Tujuan Kebijakan; adanya tujuan yang
jelas oleh TNI AL untuk membangun Pangkalan Udara
TNI AL di Bengkulu dengan tujuan untuk gelar
Pangkalan dan unsur-unsur udara dalam melaksanakan
tugasnya dalam patroli maritim guna penegakan
kedaulatan dan hukum di wilayah perairan Samudera
Hindia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock
point Selat Sunda.
c. Sistem Informasi; terdapat jalinan komunikasi yang
baik antara stakeholder di Bengkulu.
d. Sumber daya; adanya Bandara Udara Fatmawati-
Soekarno untuk digunakan bersama; adanya lahan
dalam kepemilikan Kementerian Perhubungan RI untuk
membangun fasilitas dan sarana prasarana Lanudal
Bengkulu; adanya perencanaan dukungan anggaran
APBN yang akan masuk dalam RKA-KL TNI AL.
Daftar Pustaka| 155

e. Karakteristik Pelaksana; instansi yang terlibat


semuanya adalah instansi pemerintah, sehingga
diharapkan memiliki visi yang sama untuk
mewujudkan program tersebut.
f. Komunikasi antar Organisasi; adanya komunikasi yang
terus menerus antara stakeholder di Bengkulu.
g. Sikap para pelaksana; mendukung adanya
pembangunan Lanudal Bengkulu.
h. Lingkungan sosial, Ekonomi dan Politik; adanya
dukungan Muspida Bengkulu; pembangunan akan
berdampak kepada pergerakan perekonomian
masyarakat Bengkulu; akan berdampak pada dukungan
tugas SAR dan dukungan logistik bencana.

2. Faktor-faktor Penghambat
Dari data hasil penulisan buku, faktor-faktor penghambat
yang akan menjadi penghambat realisasi pembangunan
Lanudal Bengkulu ini, adalah sebagai berikut:
a. Sumber Daya; tidak adanya dukungan lahan seluas
6 (enam) hektar yang dibutuhkan TNI AL untuk
membangun fasilitas dan sarana prasarana Lanudal;
terhambatnya dukungan anggaran dari persetujuan
Kemenkeu RI.
b. Karakteristik Pelaksana; adanya ego sectoral pada
masing- masing instansi dengan fragmentasi dan SOP
sesuai dengan instansi masing-masing.
c. Komunikasi antar Organisasi; akan menjadi penghalang
jika dalam berkomunikasi masing-masing instansi hanya
mementingkan ego sectoral nya saja dibandingkan untuk
kepentingan negara dan bangsa.
156 | T e o r i d a n P r a k t i k

4.9 ANALISA STRATEGIS DAMPAK RENCANA


PEMBANGUNAN PANGKALAN UDARA TNI AL DI
BENGKULU STRATEGI PERTAHANAN LAUT
NUSANTARA (SPLN)

1. Masa Damai
Pada Masa Damai, keberadaan Lanudal Bengkulu dapat
menjadi penangkal dan menciptakan kondisi wilayah
perairan yuridiksi nasional Indonesia di Samudera Hindia
di sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan chock point
Selat Sunda yang terkendali, dengan melaksanakan operasi
laut menghadirkan unsur-unsur udara pesawat patroli
maritim TNI AL yang berada di Lanudal Bengkulu, serta
adanya dukungan logistik operasi dari Lanal Bengkulu dan
Lanudal Bengkulu sebagai wujud dukungan fungsi pangkalan.
2. Masa Krisis dan Perang
Pada Masa Krisis atau Perang, keberadaan Lanudal Bengkulu
dimanfaatkan untuk, menghancurkan kekuatan lawan yang
mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI,
khususnya yang masih berada di daerah wilayah perairan
Samudera Hindia sisi barat Pulau Sumatera sampai dengan
chock point Selat Sunda dengan melaksanakan pengintaian
strategis untuk mendapatkan informasi awal bagi pergerakan
kekuatan lawan serta melibatkan seluruh kekuatan yang
dimiliki TNI AL khususnya unsur kekuatan udara yang
berada di Lanudal Bengkulu serta dukungan Lanal dan
Lanudal secara optimal.
Daftar Pustaka| 157

V
KESIMPULAN
158 | T e o r i d a n P r a k t i k

KESIMPULAN

Dengan menggunakan teori implementasi Suhirwan (2016),


maka bisa disimpulkan bahwa:
1. Komitmen Pemimpin; bahwa rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu adanya dukungan Komitmen Pemimpin
yang kuat, antara Pimpinan TNI AL dalam hal ini Pusnerbal,
Gubernur Bengkulu dan Eksekutif Manager PT. XYZ. Adanya
sinergisitas kelembagaan untuk mewujudkan rencana
pembangunan Lanudal Bengkulu.
2. Standard dan Tujuan Kebijakan; adanya tujuan yang jelas dari
TNI AL untuk membangun Lanudal di Bengkulu. Keberadaan
Lanudal Bengkulu dengan tujuan: sebagai pangkalan aju guna
mendukung operasi laut untuk menghadirkan unsur-unsur
pesawat udara TNI AL dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum di
wilayah perairan Samudera Hindia sisi barat Pulau
Sumatera sampai dengan chock point Selat Sunda. Terdapat
juga dampak penting bagi pergerakan perekonomian
masyarakat, tugas SAR dan dukungan logistik bencana.
3. Sistem Informasi; adanya jalinan komunikasi yang baik antara
stakeholder guna merealisasikan rencana pembangunan
Lanudal Bengkulu.
4. Sumber Daya; adanya dukungan anggaran yang akan
dimasukkan dalam ajuan APBN TNI AL; terdapat Bandara
Fatmawati-Soekarno yang dapat digunakan bersama antara
penerbang sipil dan penerbangan militer; TNI AL tidak
memiliki lahan seluas 6 (enam) hektar untuk membangun
Daftar Pustaka| 159

fasilitas dan sarana prasarana uang dibutuhkan, lahan tersebut


ada tetapi dalam penguasaan Kementerian Perhubungan RI
yang perlu dikomunikasikan lebih lanjut.
5. Karakteristik Pelaksana; instansi yang terlibat dalam
mewujudkan rencana ini adalah organisasi pemerintah, oleh
sebab itu keuntungan tersendiri yang seharusnya akan
mendukung rencana ini jika tidak melibatkan ego sektoral
masing-masing instansi.
6. Komunikasi antar Organisasi; terjalinnya komunikasi yang
baik antara stakeholder yang saling memahami guna
mewujudkan rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini.
7. Sikap para Pelaksana; terdapat dukungan dari para
pelaksana, tetapi masih harus dikomunikasikan yaitu perihal
penggunaan lahan yang masih di bawah kepemilikan
Kementerian Perhubungan RI.
8. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik; tidak ada penolakan
atas rencana pembangunan Lanudal Bengkulu ini, terlihat
adanya dukungan dari Muspida Bengkulu, Gubernur Bengkulu,
PT. XYZ; dampak sosial dari pembangunan ini akan adanya
pergerakan perekonomian rakyat; bidang sosial dapat
mendukung operasi dukungan SAR dan dukungan Logistik
bencana.
160 | T e o r i d a n P r a k t i k

DAFTAR PUSTAKA

Agustino. (2006). Dasar –Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV.


Alfabeta.
Agustinus, leo. (2006). Politik dan Kebijakan publik. Bandung:
AIPI.
Ahmadi, Iwan Vanany, Heri Koerniawan. (2015). Optimasi
Penugasan Pesawat Patroli Maritim Guna Mendukung
Opskamla Koarmatim Dengan Metode Goal Programming
Dan Fuzzy Inference System. Surabaya: Jurnal Analisis
Sistem & Riset Operasi-STTAL.
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/123108
9.
Allen, N.J. and Meyer J.P. (2009). The Measurement and
Antecendents of Affective, Continuance and Normative
Commitment to The Organization, Journal of Occupational
Psychology. Vol.63. No.1. pp. 1-18.
Antara, (2019). AP II Siapkan Rp434 Miliar untuk
Pengembangan Bandara Fatmawati. Bisnis.com 24
Maret 2019 | 22:57 WIB.
https://sumatra.bisnis.com/read/20190324/534/90379
7/ap- ii-siapkan-rp434-miliar-untuk-pengembangan-
bandara-fatmawati.
Anto Dajan. (1986). Pengantar Metode Statistik II, P e n e r b i t
LP3ES, Jakarta.
Arikunto, S. (2006). Metode Penulisan buku Kualitatif. Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2016). Prosedur P e n u l i s a n buku: Suatu
P e n d e k a t a n Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Association for the Prevention of Torture (APT). (2011)
Briefing Paper No.1 Making Effective Recommendations.
Jakarta.
Bengkulu.prov. (2020). Gubernur Rohidin Sambut Baik Rencana
Daftar Pustaka| 161

Blackwill, Robert & Harris, Jennifer. (2016). War by Other Means:


Geoeconomics and Statecraft. Harvard University Press.
Bungin, Burhan. (2008). Analisa Data P e n u l i s a n buku
K u a l i t a t i f . Jakarta: Prenada Media Group.
Dupuy, Richard Ernest (1986). The Encyclopedia of Military
History from 3500 B.C. to the Present. Harper & Row. ISBN
978-0-06-181235-4.
Edward III, George C. (1980). Implementing Public Policy.
Washington DC: Congressional Quarterly Press.
Edward III, George C. (1980). Implementing Public Policy.
Washington DC: Congressional Quarterly Press.
Estu.E. (2013). Kebijakan dan Strategi Pertahanan Indonesia
(Studi Kasus Konflik di Laut Cina Selatan), dari:
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?artic
le=368810&val=7132&title=KEBIJAKAN%20DAN%20STRA
TEGI%20PERTAHANAN%20INDONESIA%20Studi%20Kas
us%20Konfl%20ik%20Di%20Laut%20Cina%20Selatan
Faisal, Sanapiah. (2007). Format-Format Penulisan buku Sosial.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fravel, M. Taylor. (2021). Defense Strategy and Capability
Planning: Lessons from the Indo-Pacific. Princeton
University Press.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2020).
https://kbbi.web.id/objek.
Keputusan Menteri Pertahanan. (2016). Kebijakan Pertahanan
Negara. Jakarta. Dari: https://www.kemhan.go.id/wp-
content/uploads/2017/03/JAK-HANNEG-2017.pdf
Levina Yustitianingtyas. (2019). Pengaturan Lintas Penerbangan
Nasional Bagi Pesawat Udara Asing di Atas Alur Laut
Kepulauan Indonesia. Vol. 5 No. 2, Agustus 2019. Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan
Ganesha.
162 | T e o r i d a n P r a k t i k

Lykke, Arthur F, (1997). “Defining Military Strategy”. Military


Review No 77 Vol. 1.
Mamahit, Desi Albert. (2014). Konflik Laut China Selatan
berdampak ke Indonesia.
https://nasional.kontan.co.id/news/konflik-laut-china-
selatan-berdampak-ke-indonesia
Markas B e s a r T N I A L . (2004). Strategi P e r t a h a n a n L a u t
Nusantara (SPLN). Mabes TNI AL, Jakarta.
Marsetio. (2013). Strategi TNI Angkatan Laut Dalam Pengamanan
Batas Maritim NKRI: Kajian Historis-Strategis. Jurnal
Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVII, No. 1 Februari
2013:1-18.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/vi
ew/6873
Mayang, dkk. Kebijakan Strategi Pertahanan Laut Indoneisa dalam
Perspektif Ekonomi Indonesia Sea Defence Strategy Policy In
An Economc Perspective.
Miles, M.B, Huberman, A.M, & Saldana, J. (2014). Qualitative Data
Analysis. A Methods Sourcebook, Edition 3. USA: Sage
Publications.
Moleong, j, Lexy. (2006.) Metodologi Penulisan buku Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. (2017). Metode Penulisan buku Kualitatif,
cetakan ke-36, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Nazir. (1998). Metode Penulisan buku. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Noviandini, Shabrina; dkk. (2015). Analisis Komitmen Pimpinan
terhadap Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Pembangunan Lanudal Bengkulu. Published by
kominfo news on 29 Januari 2020.
https://bengkuluprov.go.id/gubernur-rohidin-sambut-
baik-rencana-pembangunan-lanudal-bengkulu/
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam
Daftar Pustaka| 163

Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur


Laut Kepulauan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun
2014 Tentang Penataan Wilayah Pertahanan Negara.
Perkim.id. (2020). Letak Provinsi Bengkulu.
https://perkim.id/pofil- pkp/profil-provinsi/profil-
perkembangan-kawasan-permukiman-provinsi-
bengkulu/
Prastowo, Andi. (2012). Metode Penulisan buku Kualitatif
Dalam Perspektif Rancangan Penulisan buku. Jogjakarta:
Ar-ruzzmedia.
Pratama, Akhdi Martin. (2018). Menhub Soroti Kondisi
Landasan Pacu dan Terminal Penumpang di
Bandara Fatmawati.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/04/21282
1026/menhub- soroti-kondisi-landasan-pacu-dan-
terminal-penumpang-di-bandara.
Record, Jeffrey. (2019). The Evolution of Military Power in the
West and Asia: Security Policy in the Post-Cold War Era.
Georgetown University Press.
Sandler, Todd & Hartley, Keith. (2018). Handbook of Defense
Economics, Volume 2: Defense in a Globalized World.
Elsevier.
Seminar Nasional Penulisan buku Kualitatif 2020: Inovasi
Peneliti Kualitatif Indonesia 2021 Tanggal 29 Oktober
2020.
Setiaman, Agus; Dadang Sugiana, Jimi Narotama M. (2013).
Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik.
Jurnal Kajian Komunikasi. 1 (2), Desember 2013, hal. 196-
205.
https://media.neliti.com/media/publications/137191-
ID-implementasi-kebijakan-keterbukaan-infor.pdf
164 | T e o r i d a n P r a k t i k

Setyobudi, Wahyu T. (2010). Teknik Moderasi Focus Group


Discussion (FGD). Diakses pada tanggal 31 Desember
2021, dari: http://inspirewhy.com/teknik-moderasi-
focus-group-discussion-fgd
Setyosari, Punaji. (2010). Metode Penulisan buku Penulisan
buku dan Pengembangan. Jakarta: Kencana.
Sudirin, dkk. (2022). Peran TNI AU dalam Manajemen Pertahanan
Udara. Bandung. ISBN: 2829-1794, Vol 1 No.1
Sugiyono. (2017). Metode Penulisan buku Kuantitatif,
K u a l i t a t i f , dan R&D. Bandung: Alfabeta, CV.
Suhirwan. (2016). Kebijakan Pembangunan Pendidikan (Suatu
Studi Tentang Pendidikan Tinggi Pada Akademi
Angkatan Laut (AAL) Surabaya). Untag Surabaya,
Disertasi.
Suhirwan. (2020). “Suhirwan Quasy Kualitatif”. Materi Paparan
Sulaeman, Affan. (1998). Public Policy-Kebijakan Pemerintah,
Bandung: BKU Ilmu Pemerintahan Program Magister
Ilmu-ilmu Sosial pada Institut Ilmu Pemerintahan
Kerjasama UNPAD-IIP.
Supranto, J . (2000). Teknik Sampling untuk Su rvei dan
Eksperimen. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.
Supriyanto, Makmur. (2014). “Tentang Ilmu Pertahanan”.
Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Tellis, Ashley J., Szalwinski, Alison, & Wills, Michael. (2021).
Strategic Asia 2021: U.S.-China Competition for Global
Influence. National Bureau of Asian Research.
Thompson Ronald, Christoper A and Howell Jane. (1991).
Personal Computing: Toward a Conceptual Model of
Utilization. MIS Quarterly. March 1991.
Undang- undang RI nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara. United Nations Convention on The Law of the sea
(UNCLOS) 1982.
Daftar Pustaka| 165

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985


Tentang Pengesahan United Nations Convention on The
Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut).
Van Meter, D.S. and Van Horn, C.E. (1974). The Policy
Implementation Process: A Conceptual framework.”
Administration And Society. February.
Vego, Milan. (2016). Maritime Strategy and Sea Control:
Theory and Practice. New York, Routledge.
Widodo. (1974). Pengukuran Kerja. Yogyakarta: Balai
Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada.
Widodo. (2007). Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Bayu Media.
Winarno, Heri H. (2018). Top, AP II Kelola 3 Bandara Baru Yang
Punya Potensi Wisata. Merdeka.com, Senin, 3 September
2018 08:03. https://www.merdeka.com/peristiwa/top-
ap-ii-kelola-3-bandara-baru-yang-punya-potensi-
wisata.html
Wiratha, I Made. (2006). Metode Penulisan buku Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Andi.
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Laksamana Muda TNI Dr. Ir. Suhirwan,


S.T., M.MT., M.Tr.Opsla., CIQaR.,
CIQnR., CIMMR., IPU., ASEAN Eng.,
ACPE yang lahir di kota sejuk Curup,
Kabupaten Rejang Lebong adalah putra
daerah asli dari suku Rejang Propinsi
Bengkulu. Menghabiskan masa kecil dan
remaja di kota kelahirannya. Karier militer
dimulai pada saat masuk Akademi TNI
AL (AAL) Surabaya pada tahun 1983, dan
dilantik sebagai Perwira Muda TNI AL
dengan Pangkat Letnan Dua (E) pada
tahun 1987 yang dikenal dengan Angkatan ’87 atau “LAJU”. Berbagai
Pendidikan Militer dan Pendidikan Tinggi Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Umum) pernah dilaksanakan, dengan berbekal pengetahuan
militer dan umum ini sudah banyak penugasan yang dijalankan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagai “LULUSAN TERBAIK”
STTAL XVII Jurusan Elektronika tahun 1999 dengan Penghargaan
“DHARMA VIDYA ADHIGUNA”, Lulus pendidikan S2 di
Manajemen Industri ITS tahun 2007 dan menyelesaikan pendidikan S3
dalam bidang Ilmu Administrasi di Universitas 17 Agustus Surabaya
tahun 2016. Pada bulan Desember 2020-September 2022, Perwira
Tinggi TNI AL ini diberikan amanah untuk menjabat sebagai Wakil
Rektor III Bidang Kerjasama Kelembagaan Universitas Pertahanan
Republik Indonesia (Unhan RI) di Sentul Bogor-Jawa Barat. Saat ini
sebagai dosen tetap Prodi Peperangan Asismetris Fak. Strategi
Pertahanan Unhan RI. ***
167
RIWAYAT HIDUP EDITOR

dr. Farah Shabrina Amazida


Yuniawan yang lahir di kota pahlawan
Surabaya, Jawa Timur, merupakan putri
persilangan suku Rejang dari Propinsi
Bengkulu dan suku Banjar dari Propinsi
Kalimantan Selatan. Menghabiskan masa
kecil dan remaja di kota kelahirannya.
Merupakan lulusan pendidikan
kedokteran di Universitas Airlangga
Surabaya pada tahun 2019.
Sudah banyak melaksanakan dan
mengikuti seminar dan workshop baik
sebagai peserta maupun sebagai pelaksana. Pernah mengikuti program
home stay di Inggris dalam program peningkatan Bahasa Inggris pada
Oxford University-London serta Program kerjasama pendidikan di kota
Senzen – China.
Memiliki pengalaman dalam program magang di bagian administrasi
medical checkup di RS Siloam Surabaya November 2019 – Maret 2020.
Mengikuti internsip dokter Indonesia di RS Bhayangkara Pusdik
Brimob, Puskesmas Ngempit, Puskesmas Sumberpitu Kabupaten
Pasuruan Jawa Timur Februari – November 2021.
Memiliki sertifikasi HIPERKES oleh PT. Bina Okupasi Indonesia 17 –
22 Januari 2022, ACLS oleh PERKI Surabaya November 2021 –
November 2024, dan ATLS oleh Kolegium Bedah Indonesia April
2022 – April 2026.

168
Saat ini berkarier sebagai Dokter umum di Klinik Global Sejahtera
Abada 3 Lakarsantri Surabaya Februari 2022 – sekarang, serta
Vaksinator vaksin dirumah.id by klinik_dr.mahe Maret 2022 –
sekarang.***

169
170

Anda mungkin juga menyukai