Anda di halaman 1dari 21

 Praktek kerjasama terjadi dibelahan dunia

 Pengalaman kerjasama antar daerah ini


dikemukakan untuk dapat memberikan
inspirasi dalam pengembangan kerjasama
regional di Indonesia
 Paradigma penyelenggaraan Pemerintahan
Nasional sangat berpengaruh pada karakter
kerjasama antar daerah
 SALGA di Afrika Selatan
 SOUND TRANSIT di Washington
 LAA di Korea Selatan
 LCP di Filipina
 CoR di Uni Eropa
 Regionalisasi dengan pendekatan keruangan
 Regionalisasi dengan pendekatan ekonomi
 Regionalisasi dengan pendekatan pelayanan
publik
 Barlingmascakeb – Banjarnegara, Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, Kebumen
 Purwomanggung – Purworejo, Wonosobo,
Magelang, Temanggung
 Subokowonosraten – Surakarta, Boyolali,
Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen,
Klaten
 Banglor – Rembang , Blora
 Kedungsepur – Kendal, Demak, Ungaran
Semarang, Purwodadi
 Tangkalangka – batang, Pekalongan, Pemalang,
Kajen
 Bergas – Brebes, Tegal dan Slawi
 Mamminasata
 KAPET Pare Pare
 Teluk Bone
 Regionalisasi di Jawa Tengah bernuansa
sentralistis ( Warsono 2015, p 123)
 Tidak adanya penjabaran lagi dari
pemerintah provinsi (p.125)
 Dari 8 regional tersebut hanya 3 saja yang
menjalin komunikasi lebih lanjut :
Barlingmascakeb,
Subosukawanasraten,
Kedungsepur
 BARLINGMASCAKEB adalah akronim dari nama 5
Kabupaten yang melakukan kerjasama (Kab.
Banjarnegara, Kab. Purbalingga, Kab. Banyumas,
Kab. Cilacap, dan Kab. Kebumen)
 Kerjasama Regional Management yang
diorientasikan pada Regional Marketing di
wilayah Barat Daya Jawa Tengah.
 Berdasarkan Keputusan bersama Bupati
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap,
dan Kebumen Nomor 130, A tahun 2003, nomor 4
tahun 2003, nomor 36 tahun 2003, nomor 48
tahun 2003, nomor 16 tahun 2003, telah
dibentuk Lembaga Kerjasama Daerah Regional
Management BARLINGMASCAKEB yang
berorientasi pada Regional Marketing
 Semua potensi yang di miliki
Barlingmascakeb ini sampai saat ini belum
mampu mengangkat perekonomiannya
menjadi lebih baik.
 Dilihat dari pendapatan perkapitanya yang
masih rendah
 Subosukawonosraten adalah sebuah
singkatan dari gabungan nama daerah, yakni
 Surakarta,
 Boyolali,
 Sukoharjo,
 Karanganyar,
 Wonogiri,
 Sragen, dan
 Klaten
 belum mampu menggali potensi PAD yang dimiliki ini terlihat dari
rendahnya DDF yang dimiliki sehingga Analisis Kemandirian
Daerah di Subosikawonosraten menyebabkan daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN harus mencari sumber pemasukan lain
yang lebih besar dari PAD yang sudah didapat
 mempunyai tingkat kemandirian yang masih rendah sehingga
mempunyai pola hubungan yang instruktif. Artinya peranan
pemerintah pusat lebih dominan datipada pemerintah daerah.
 mempunyai rasio belanja rutin terhadap total pengeluaran lebih
besar dari pada rasio belanja pembangunan terhadap total
pengeluaran sehingga sebagian besar anggaran terserap untuk
alokasi belanja rutin
 dengan pendapatan asli yang ada belum mampu untuk membiayai
pembangunan sehingga perlu dicari upaya untuk
meningkatkannya.
 pertumbuhan PDRB terhadap PAD belum mampu berjalan sinergis
karena idealnya meningkatnya PDRB berarti meningkatnya PAD
 dalam menyiapkan otonomi daerah masih terlihat setengah hati.
Ini ditunjukkan dengan kecilnya proporsi IKOD tiap instrumen alat
analisis
 Kedungsepur adalah istilah umum yang
merupakan singkatan dari beberapa nama
wilayah otonom di eks-karesidenan
Semarang, yang terdiri dari Kendal, Demak,
Ungaran, Kota Salatiga, Kota Semarang, dan
Purwodadi dengan Kota Semarang sebagai
kota intinya.
 Dampaknya adalah Semarang sebagai inti
akan menjadi pusat bagi kegiatan daerah-
daerah hinterlandnya sehingga justru
ketimpangan yang terjadi
 Merebaknya budaya urbanisme
 Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar
di Sulawesi Selatan
 a. seluruh wilayah Kota Makassar yang
mencakup 14 (empat belas) wilayah
kecamatan,
 b. seluruh wilayah Kabupaten Takalar yang
mencakup 9 (sembilan) wilayah kecamatan,
 c. sebagian wilayah Kabupaten Gowa yang
mencakup 11 (sebelas) wilayah kecamatan,
 d. sebagian wilayah Kabupaten Maros yang
mencakup 12 (dua belas) wilayah kecamatan,
 KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-
batas tertentu yang memiliki potensi untuk
cepat tumbuh dan mempunyai sektor unggulan
yang dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi
wilayah dan sekitarnya dan memerlukan dana
investasi yang besar bagi pengembangannya
 Sampai saat ini sudah didapatkan 13 (tiga belas)
Kapet sebagai berikut : Biak (Irian Jaya), Seram
(Maluku), Mbay (NTT), Bima (NTB), Pare-pare
(Sulsel), Batui (Sulteng), Bukari (Sultra), Manado
Bitung (Sulut), Sasamba(Kaltim), Batulicin
(Kalsel), Das Kakab (Kalteng), Khatulistiwa
(Kalbar), Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh
 Belum ada secara fisik maupun non fisik
kinerja dari Kapet ini," katanya.
 Kapet BELUM bisa memberikan kontribusi
besar pada daerah terkhusus pengembangan
perekonomian.
 Seperti lahan yang ada di Kipas (Kawasan
Insdustri Parepare), seharusnya Kapet sudah
mempromosikan dan berkodinasi dengan
pemkot
 Kabupaten dan Kota yang masuk dalam
Kawasan Teluk Bone di Prov. Sulsel antara
Lain:
 Kabupaten Selayar
 Kabupaten Bulukumba
 Kabupaten Sinjai
 Kabupaten Bone
 Kabupaten Wajo
 Kabupaten Luwu
 Kabupaten Palopo
 Kabupaten Luwu utara
 Kabupaten Luwu Timur
 Penurunan Daya Dukung dan Kerusakan
Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
 Belum Optimalnya Fungsi Pusat-pusat Kegiatan
(Kota-kota) pada Kawasan Teluk Bone
 Belum Optimalnya Peran Sektor Kelautan dan
Perikanan dalam Pemulihan Kesempatan Kerja
dan Perbaikan Iklim Usaha
 Rendahnya Kesejahteraan Masyarakat Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
 Belum Memadainya Daya Dukung Infrastruktur
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
 Perencanaan dan kebijakan makro yang
belum terpadu/partial
 Pemanfaatan sumber daya yang belum
optimal (masih tradisional)
 Pola penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan
 Kualitas SDM dan iptek yang al.disebabkan
ketiadaan sekolah khusus keterampilan (D3)
Bidang Kelautan
 Sarana prasarana pembangunan yang kurang
 Lokasi pasar dan sentra pemasaran yang jauh
 Kebijakan nasional
 Fasilitas pemerintah provinsi
 Dukungan pemerintah lokal
 Profesionalitas lembaga kerjasama regional
 Inkonsistensi
aturan administrasi keuangan
 Belum adanya pedomana operasioanl
 Kurangnya pemahaman konsep manajemen
regional
 Belum adanya kesepakatan indikator kinerja
manajer regional
 Ego daerah
 Lemahnya jejaring
 Paradigma penyelenggaraan Pemerintahan
Nasional sangat berpengaruh pada karakter
kerjasama antar daerah
 Proses regionalisasi awalnya dilakukan
dengan pendekatan tata ruang yang
sentralitas
 Regionalisasi ternyata hanya berhenti pada
perwilayahan saja, bukan kerjasama.

Anda mungkin juga menyukai