Anda di halaman 1dari 187

Tentang Penulis

1. Laksda TNI Dr. Kasih Prihantoro., S.E., M.M., M.Tr.(Han)., MOS., MCE.
Penulis saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknologi Pertahanan Universitas
Pertahanan RI Lahir di Purbalingga, tanggal 6 Januari 1965. Saat ini menjabat sebagai
Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan Republik Indonesia.Jabatan sebelumnya,
diantaranya adalah Aslog Guskamla Koarmatim, Aslog Lantamal 1 Belawan Koarmabar,
Kadismatbek Koarmabar, Danpuspeknubika Kobangdikal, Dan kodikdukkum
Kobangdikal, Aslog Koarmatim, Dirbin Seskoal, Kadismatal Mabes TNI AL, Kadislitbang
Mabes TNI AL. Pendidikan Umum S1 Manajemen, S2 Magister Manajemen dan S2
Strategi dan Kampanye Militer Unhan, S3 Administrasi Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya. Pendidikan Militer, Akademi Angkatan Laut (AAL) Angkatan ke-33/1988,
Seskoal angkatan 41 tahun 2003, Dikreg Sesko TNI Angkatan 39 tahun 2012 dan Dikreg
PPRA Angkatan 56 Lemhanas RI tahun 2017. Tanda Jasa yang di miliki BT. Jalasena
Nararya, SL. Seroja, SL. Kesetiaan VIII, SL Kesetiaan XVI, SL Kesetiaan XXIV, SI.

BELA NEGARA
Dwidya Sistha, SI. Kebaktian Sosial. SL. Wira Dharma (Perbatasan). SL Wira Nusa. SL
Dharma Nusa.

2. Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho Prakoso., S.IP., M.AP., CIQaR
Penulis Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Prodi Ekonomi Pertahanan Fakultas
Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Republik Indonesia. Penulis juga
PERSPEKTIF TEKNOLOGI PERTAHANAN
sebagai Dosen Tetap di Prodi Strategi Pertahanan laut-Fakultas Strategi Pertahanan-
Universitas Pertahanan RI. Lahir di Cirebon, 9 Juli 1973, menamatkan SD dan SMP di
Ujung Pandang- Sulawesi Selatan. Menamatkan SMA di Cibinong-Bogor. Lulus dari
Akademi TNI AL (AAL) tahun 1994 dan Lulus dari Pendidikan Militer tertinggi di Seskoal
Angkatan 47 tahun 2009. Pendidikan S1 di Universitas Terbuka Jurusan Administrasi
Negara. Pendidikan S2 di Universitas Hang Tuah Jurusan Magister Administrasi Publik.
Pendidikan S3 di Universitas17 Agustus 1945 Surabaya Jurusan
Administrasi.Pengalaman Penugasan diantaranya adalah Di Satuan Kapal Eskorta
Koatmatim, Satsurvei Dishisroos, Diskomlek Mabesa TNI AL, Satgas Corvette Class KRI
DPN-365- Disadal TNI AL, Arsenal Disenlek TN AL, Akademi Angkatan Laut Surabaya,
Satgas MLM KRI Fatahila 361- Disadal TNI AL, Puslitbang Strahan-Balitbang Kemhan
RI, Pokgadik Kodiklat TNI AL, LP3M universitas Pertahanan RI. Penugasan luar negeri
diantaranya. Pengawakan peralatan Komunikasi di Nanjing China, Exocet MM40Block II,
IFF, Spare Part Exocet Bloc III di Prancis, Combat System di Belanda, Navigation System
di Jerman, Inspektor Project KFX/IFX di Inggris. Prestasi akademik diantaranya lulusan
terbaik Dikpafung II Hidroos 2002, Lulus S2 dengan predikat Cumlaude 2013. Lulus S3
dengan Predikat Cumlaude 2016. Dosen Tutor Online Terbaik Universitas Terbuka Tahun
2019. Tanda Jasa yang dimiliki Kesetiaan VIII, XVI, XXIV, serta Jalsena Nararya.

Kasih Prihantoro
Yudho Prakoso
BELA NEGARA
PERPEKTIF TEKNOLOGI
PERTAHANAN

Penulis:
Laksda TNI Dr. Kasih Prihantoro., S.E., M.M., M.Tr.(Han)., MOS., MCE
Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho Prakoso., S.IP., M.AP., CIQaR

i
BELA NEGARA
PERPEKTIF TEKNOLOGI PERTAHANAN

Penulis:
Laksda TNI Dr. Kasih Prihantoro., S.E., M.M., M.Tr.(Han). MOS., MCE
Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho Prakoso., S.IP., M.AP., CIQaR

Editor:
Rianto, S.ST.Par, M.Si.Par
Seri Depy Sugiyani, S.M., MOS
Muhammad Ikmal Setiadi, A.Ma.PKB., MOS

Desain Cover:
Nailul Muna Safitri., MOS

Desain Layout:
Devi Nur Alipah., MOS

ISBN: 978-623-6387-17-7
x hlm + 176 hlm. 17 x 25 cm

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa
Izin tertulis dari penerbit.

PENERBIT CV. AKSARA GLOBAL AKADEMIA

ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr.Wb.
Alhamdulillah, segala puji selalu Kami panjatkan kepada Allah SWT atas ridho-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan buku berjudul Bela Negara
Perspektif Teknologi Pertahanan dengan lancar tanpa kendala berarti. Buku ini
ditulis berdasarkan fakta bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
di dominasi wilayah perairan laut. Laut adalah pemersatu wilayah Indonesia
yang terdiri dari banyak pulau. Laut juga sebagai investasi dan sumber kekayaan
alam yang mengandung potensi kekayaan luar biasa untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Wilayah Laut Indonesia yang sangat luas
memerlukan pengamanan yang baik agar tidak digunakan oleh pihak-pihak yang
tidak berkepentingan yang akan menimbulkan ancaman faktual maupun
potensial. Diperlukan kebijakan yang baik agar pengamanan wilayah laut
Indonesia dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien agar dapat memberikan
kemanfatan yang maksimal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Buku ini memberikan gambaran bagaimana kebijakan Bela Negara dari
Perspektif Teknologi Pertahanan selama ini dilakssanakan, semoga dapat
memberikan manfaat untuk siapa saja yang memerlukan referensi baik untuk
kepentingan pertahanan maupun untuk kepentingan keilmuan yang terkait.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang selalu
mendukung dan memberikan do’a terbaik dalam setiap perjalanan yang penulis
lakukan. Ucapan terima kasih penulis sampai semua pihak yang turut
mendukung penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Buku ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Jika pembaca menemukan
kesalahan apapun, penulis mohon maaf setulusnya. Selalu ada kesempatan untuk
memperbaiki setiap kesalahan, karena itu, dukungan berupa kritik dan saran
akan selalu penulis terima dengan tangan terbuka.

Jakarta, 17 Agustus 2021


Penulis

iv
PROFIL PENULIS

1. Laksda TNI Dr. Kasih Prihantoro., S.E., M.M., M.Tr.(Han)., MOS., MCE.
Penulis saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas
Teknologi Pertahanan Universitas Pertahanan RI.
Lahir di Purbalingga, tanggal 6 Januari 1965. Saat ini
menjabat sebagai Dekan Fakultas Manajemen
Pertahanan Republik Indonesia. Jabatan sebelumnya,
diantaranya adalah Aslog Guskamla Koarmatim,
Aslog Lantamal 1 Belawan Koarmabar,
Kadismatbek Koarmabar, Danpuspeknubika
Kobangdikal, Dan kodikdukkum Kobangdikal, Aslog Koarmatim, Dirbin
Seskoal, Kadismatal Mabes TNI AL, Kadislitbang Mabes TNI AL. Pendidikan
Umum S1 Manajemen, S2 Magister Manajemen dan S2 Strategi dan Kampanye
Militer Unhan, S3 Administrasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Pendidikan Militer, Akademi Angkatan Laut (AAL) Angkatan ke-33/1988,
Seskoal angkatan 41 tahun 2003, Dikreg Sesko TNI Angkatan 39 tahun 2012
dan Dikreg PPRA Angkatan 56 Lemhanas RI tahun 2017. Tanda Jasa yang di
miliki BT. Jalasena Nararya, SL. Seroja, SL. Kesetiaan VIII, SL Kesetiaan XVI,
SL Kesetiaan XXIV, SI. Dwidya Sistha, SI. Kebaktian Sosial. SL. Wira Dharma
(Perbatasan). SL Wira Nusa. SL Dharma Nusa.

2. Kolonel Laut (E) Dr. Lukman Yudho Prakoso., S.IP., M.AP., CIQaR
Penulis Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Prodi
Ekonomi Pertahanan Fakultas Manajemen
Pertahanan Universitas Pertahanan Republik
Indonesia. Penulis juga sebagai Dosen Tetap di Prodi
Strategi Pertahanan laut-Fakultas Strategi
Pertahanan-Universitas Pertahanan RI. Lahir di
Cirebon, 9 Juli 1973, menamatkan SD dan SMP di
Ujung Pandang- Sulawesi Selatan. Menamatkan
SMA di Cibinong-Bogor. Lulus dari Akademi TNI AL (AAL) tahun 1994 dan
Lulus dari Pendidikan Militer tertinggi di Seskoal Angkatan 47 tahun 2009.
Pendidikan S1 di Universitas Terbuka Jurusan Administrasi Negara. Pendidikan
S2 di Universitas Hang Tuah Jurusan Magister Administrasi Publik. Pendidikan
S3 di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jurusan Administrasi. Pengalaman
Penugasan diantaranya adalah Di Satuan Kapal Eskorta Koatmatim, Satsurvei

v
Dishisroos, Diskomlek Mabesa TNI AL, Satgas Corvette Class KRI DPN-365-
Disadal TNI AL, Arsenal Disenlek TN AL, Akademi Angkatan Laut Surabaya,
Satgas MLM KRI Fatahila 361- Disadal TNI AL, Puslitbang Strahan-Balitbang
Kemhan RI, Pokgadik Kodiklat TNI AL, LP3M universitas Pertahanan RI.
Penugasan luar negeri diantaranya. Pengawakan Peralatan Komunikasi di
Nanjing China, Exocet MM40Block II, IFF, Spare Part Exocet Bloc III di
Prancis, Combat System di Belanda, Navigation System di Jerman, Inspektor
Project KFX/IFX di Inggris. Prestasi akademik diantaranya lulusan terbaik
Dikpafung II Hidroos 2002, Lulus S2 dengan predikat Cumlaude 2013. Lulus
S3 dengan Predikat Cumlaude 2016. Dosen Tutor Online Terbaik Universitas
Terbuka Tahun 2019. Tanda Jasa yang dimiliki Kesetiaan VIII, XVI, XXIV,
serta Jalsena Nararya.

vi
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iiv
PROFIL PENULIS .......................................................................................................v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................x
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
BAB 2 PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS .................................... 3
2.1 Lingkungan Strategis Global...........................................................................3
2.1.1 Senjata Pemusnah Massal, Militerisasi Politik Dunia ............................5
2.1.2 Krisis Ekonomi Dan Kemiskinan Sebagai Efek Pandemi Global ....... 10
2.1.3 Perubahan Iklim................................................................................... 17
2.1.4 Masalah Terorisme .............................................................................. 22
2.2 Lingkungan Strategis Regional .....................................................................28
2.2.1 Regional Asia ...................................................................................... 29
2.2.2 Regional Eropa .................................................................................... 33
2.2.3 Regional Amerika ................................................................................ 37
2.3 Lingkungan Strategis Nasional .....................................................................40
2.3.1 Penguatan Ideologi Pancasila .............................................................. 41
2.3.2 Pandemi dan Tantangan Ketahanan Nasional ..................................... 43
2.3.3 Keamanan dan Pertahanan Nasional ................................................... 46
BAB 3 ANCAMAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN ..................................... 51
3.1 Ancaman Militer .............................................................................................51
3.1.1 Agresi Militer ...................................................................................... 51
3.1.2 Gerakan Separatisme ........................................................................... 54
3.2 Ancaman Non-Militer ....................................................................................57
3.2.1 Ancaman Non-Militer Terhadap Keamanan Nasional di Papua.......... 58
3.2.2 Menghadapi Ancaman Non-Militer dengan Pendidikan Karakter ...... 63
3.3 Ancaman Proxy War .......................................................................................66
3.4 Ancaman Hybrid .............................................................................................71

vii
3.4.1 Kasus Hybrid Warfare: Rusia di Eropa Timur dan Islamic State........ 73
3.4.2 Solusi Penanganan dan Pencegahan .................................................... 77
BAB 4 BELA NEGARA............................................................................................. 79
4.1 Pendidikan Kewarganegaraan ......................................................................79
4.1.1 Garis Besar Pendidikan Kewarganegaraan .......................................... 79
4.1.2 Ketahanan Nasional ............................................................................. 81
4.1.3 Pancasila .............................................................................................. 83
4.1.4 Relevansi Pancasilan sebagai Landasan Ketahanan Nasional ............. 86
4.1.5 Kesadaran Bela Negara ....................................................................... 88
4.2 Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib .................................................97
4.2.1 Pro Kontra LatSarMil .......................................................................... 97
4.2.2 Ketentuan Wajib Militer di Indonesia ................................................. 99
4.2.3 Wajib Militer dalam Konteks Pengaturan Komponen Cadangan. ..... 102
4.3 Pengabdian Sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia Secara Sukarela
Atau Secara Wajib.......................................................................................106
4.4 Pengabdian Sesuai Dengan Profesi. ............................................................109
4.4.1 Ilustrasi Model Bela Negara yang bisa diterapkan di Indonesia ....... 109
4.4.2 Model Bela Negara di beberapa negara ............................................. 116
BAB 5 TEKNOLOGI PERTAHANAN .................................................................. 121
5.1 Kemajuan Teknologi dan Industri Pertahanan Global ............................121
5.2 Kondisi Sistem Pertahanan Indonesia ........................................................123
5.3 Kerjasama Pengembangan Teknologi Pertahanan dengan Negara Lain129
BAB 6 BELA NEGARA DARI PERSPEKTIF TEKNOLOGI PERTAHANAN
................................................................................................................................... 186
6.1 Kebijakan Pembinaan Industri dan Teknologi Pertahanan Nasional .....186
6.2 Kebijakan Membangun Energi Pertahanan Dengan Kearifan Lokal .....204
6.3 Penguasaan Teknologi Pertahanan Oleh Sdm Pertahanan Indonesia ....209
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 219

viii
DAFTAR TABEL
Hal

Tabel 2. 1 Kematian Akibat Gelombang Panas di Eropa pada tahun 2003 ........... 19
Tabel 2. 2 Matriks Konsep Keamanan ................................................................... 47
Tabel 2. 3 Indeks Ketahanan Nasional 2015-2019 ................................................ 50
Tabel 4. 1 Spektrum Bela Negara ........................................................................ 113
Tabel 6. 1 Perbandingan Nilai Keekonomian Produksi Biodiesel dari Mikroalga
dan Kelapa Sawit ................................................................................ 159
DAFTAR GAMBAR
Hal

Gambar 2. 1 Data Indeks Volatilitas Pasar Versi CBOE (VIX) ........................... 13


Gambar 2. 2 Kinerja Pasar Saham Global Sejak Awal Tahun 2020 ..................... 13
Gambar 2. 3 Level Posisi Surat Utang AS yang memiliki tenor 10 Tahun Imbal
Hasil (Yield) Sumber: Chart: Tirta Citradi Source: Refinitiv 2020 14
Gambar 2. 4 Harga Emas di Pasar Spot (US$/Troy Ons) ..................................... 15
Gambar 2. 5 Grafik Jumlah Kematian Akibat Terorisme pada Tahun 2000—2013
......................................................................................................... 23
Gambar 2. 6 Catatan Tindakan Terorisme di Indonesia ....................................... 24
Gambar 2. 7 Perkiraan Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan hingga Akhir
2020 ................................................................................................ 45
Gambar 3. 1 Kedatangan Pasukan Belanda NICA................................................ 52
Gambar 3. 2 Generasi dalam Peperangan Modern................................................ 69
Gambar 3. 3 Instrumen Hybrid Warfare ............................................................... 72
Gambar 3. 4 Tingkatan Ekskalasi Instrumen Militer dan Non – militer yang
digunakan oleh Rusia ...................................................................... 75
Gambar 4. 1 Landasan Konstitusional TNI, Komcad dan Komduk di Indonesia
....................................................................................................... 103
Gambar 5. 1 Sistem dan Prosedur Akuisisi Pertahanan Indonesia ..................... 134
Gambar 5. 2 Organisasi Lembaga Akuisisi Pertahanan Indonesia ..................... 135
Gambar 6. 1 Master plan Pertahanan .................................................................. 142
Gambar 6. 2 Bauran Energi dalam Kebijakan Energi Nasional.......................... 156
Gambar 6. 3 Sistem Manajemen Energi ............................................................. 158
Gambar 6. 4 Roadmap Pemanfaatan Mikroalga Pendukung Kekuatan Pertahanan
....................................................................................................... 159
Gambar 6. 5 Dimensi Manusia – Makna Hidup ................................................. 163
Gambar 6. 6 Membangun Pengetahuan SDM .................................................... 164
Gambar 6. 7 Kerangka Berpikir dalam Penyusunan Kurikulum Teknologi
Pertahanan ..................................................................................... 168

x
BAB 1
PENDAHULUAN

I ndonesia merupakan Negara kepulauan, seharusnya memiliki sistem


pertahanan yang kuat untuk melindungi seluruh wilayah teritoriya. Tantangan
kedepannya adalah bagaimana mengembangan teknologi pertahanan yang kuat
yang didukung dengan kualitas sumber daya manusia serta anggaran yang
memadai untuk mempertahankan diri dari ancaman, baik yang datangnya dari
dalam negeri maupun luar negeri. Pemanfaatan Iptek di bidang pertahanan
penting untuk memperkuat pertahanan Indonesia dengan melengkapi dan
mempercanggih sistem alutsista, disamping itu dapat dimanfaatkan untuk
industri lainnya, diantaranya alat transportasi, pertanian, komnikasi,
infrastruktur dan sebagainya, guna percepatan pembangunan nasional.
Pengembangan teknologi pertahanan kedepannya adalah untuk mendukung
sistem pertahanan melalui pemutakhiran alat-alat alutsista yang dapat digunakan
sistem pertahanan melalui pemutakhiran alat-alat alusista yang dapat digunakan
untuk operasi militer seperti pembuatan pengintai tanpa awak yang mampu
mendeteksi segala titik rawan yang dapat mengancam kedaulatan NKRI, juga
dapat digunakan sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti
penanganan bencana alam dan sebagainya.
Dalam mewujudkan kebijakan pemerintah di bidang pengembangan
industri pertahanan, maka saat ini Indonesia telah memiliki 10 industri strategis
yang mendukung untuk memproduksi alat-alat pertahanan. Untuk mendukung
industri strategis tersebut, peranan pemerintah, Perguruan Tinggi, dan lembaga-
lembaga penelitian baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta sangat
diperlukan dalam melakukan penelitian, pengembangan, maupun penerapan.
Meskipun Indonesia telah mempunyai 10 industri strategis, Indonesia masih
tertinggal dalam penguasaan teknologi pada industri pertahanan dibanding
dengan negara-negara maju. Oleh karena itu perlu strategi Pemerintah untuk
mengejar ketinggalan-ketinggalan tersebut atau setidak-tidaknya memperkecil
“gap” antara Indonesia dan negara maju dalam penguasaan teknologi dalam
menghasilkan alat-alat sistem pertahanan. (Arif, 2019). Permassalahan utama
Indonesia dalam penguasaan teknologi dan industri pertahanan terletak pada
lemahnya regulasi sistem akusisi pertahanan yang mengakomodir proses
penyerapan teknologinya. Rendahnya kualifikasi dan keahlian peneliti dan
perekayasa turut memperparah lambatnya penyerapan teknologi. Selama kedua
permassalahan mendasar tersebut tidak diselesaikan, maka perkembangan
teknologi dan industri pertahanan tidak akan membaik secara signifikan. Untuk

1
itu diperlukan solusi yang fokus untuk langsung mengatasi kedua permassalahan
tersebut. Dengan pendekatan studi kasus terhadap perkembangan teknologi dan
industri pertahanan Korea Selatan yang hanya dalam waktu tiga dekade terakhir
telah mampu menyamai perkembangan negara maju selama satu abad, buku ini
menyarankan tiga strategi untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang
ini.
Pertama adalah reformasi sistem dan prosedur akusisi pertahanan melalui
pelaksana tunggal langsung di bawah Menteri Pertahanan. Reformasi tersebut
secara organisasi diformalkan dalam Lembaga Akusisi Pertahanan yang
membawahi Badan Litbang Teknologi Pertahanan dan Badan Penjamin Mutu
Teknologi Pertahanan. Integrasi institusi litbang pertahanan di Kemhan dan
seluruh litbang angkatan kedalam Badan Litbang dan Badan Penjamin Mutu
Teknologi Pertahanan adalah strategi kedua yang ditujukan untuk optimalisasi
penyerapan teknologi serta menghasilkan produk litbang yang berkualitas dan
sinergis. Strategi terakhir adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia
Lembaga Akuisisi Pertahanan melalui proses rekrutmen yang transparan dan
akuntabel; Penempatan personel yang sesuai kualifikasi dan keahlian yang
dibutuhkan; Sistem dan lingkungan kerja yang produktif dan kondusif;
Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; Penjaminan pakta integritas setiap
personel yang terlibat; Serta pengawasan berbasis ombudsman. Kerjasama
litbang dengan institusi litbang pertahanan di luar Kemhan dan TNI serta
perguruan tinggi atau alih status personel dari lembaga tersebut kedalam
Lembaga Akuisisi Pertahanan dapat menjadi solusi taktis peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Tiga strategi tersebut diyakini mampu mempercepat
penguasaan teknologi dan industri pertahanan di Indonesia dan mengakhiri
ketergantungan Indonesia terhadap alutsista impor (Yogaswara, 2017).

2
BAB 2
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS

2.1 Lingkungan Strategis Global


Dinamika perkembangan politik global dan regional adalah sebuah
ketentuan yang harus dilaksanakan dan dampaknya secara tidak langsung akan
membawa tekanan yang dapat merugikan dan membahayakan kepentingan
nasional. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pembangunan dengan mencermati,
memperhatikan, dan mempertimbangkan kondisi geostrategi Indonesia yang
berhadapan dengan dinamika perkembangan lingkungan strategis yang ada saat
ini.
Akhir-akhir ini dinamika perkembangan politik global dan regional
masih diwarnai dengan adanya perebutan pengaruh dan kepentingan antara
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan Amerika Serikat (AS), terutama di
Asia. Sementara itu kawasan regional Asia Tenggara sedang berusaha untuk
menyatukan Negara-negara ASEAN melalui kesepakatan ASEAN Community
(Komunitas ASEAN). Dengan adanya dinamika perkembangan politik ini,
diperlukan kewaspadaan terhadap pengaruh tekanan geostrategi Indonesia,
karena jika tidak diantisipasi kemungkinan buruknya akan dapat merugikan dan
membahayakan kepentingan nasional. Hal ini mengakibatkan perlu adanya
upaya-upaya antisipasi dari pemerintah untuk mengamankan geostrategi
Indonesia dalam dinamika politik global dan regional yang dapat menjadi bahan
masukan dan pertimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar
proses perjuangan mewujudkan tujuan nasional.
Dinamika dunia Internasional saat ini diwarnai dengan pergeseran
hegemoni Amerika Serikat; khususnya di kawasan Asia-Pasifik sedikit demi
sedikit mulai tergerus oleh pesatnya pertumbuhan di Cina. Amerika Serikat
tentunya tidak menginginkan terjadi ketimpangan pengaruh; karena dengan
hilangnya hegemoni di kawasan Asia-Pasifik akan membawa dampak kerugian
sangat besar pada semua aspek kehidupan Amerika Serikat. Di sisi lain, Cina,
direncanakan atau tidak, mereka telah menjelma menjadi sebuah kekuatan besar
baru membawa dampak positif dan negatif; sehingga pertumbuhan di Cina
merupakan koin yang memiliki 2 (dua) sisi; ancaman dan peluang.
Kondisi Amerika Serikat yang sedang carut marut; menjadi semacam
anti klimaks dari peran sentral Amerika Serikat di kancah Internasional, laju
pertumbuhan Cina yang belum terlihat akan berhenti; cepat atau lambat akan
mulai mengimbangi bahkan sangat mungkin melewati kekuatan dan pengaruh

3
Amerika Serikat, hal ini sangat disadari oleh Cina dan pihak lainnya, baik yang
berseberangan maupun beraliansi. Waktu 6 tahun (2014-2020) sangatlah cukup
bagi Cina mengejar posisi Amerika Serikat setidaknya untuk mengimbangi
kekuatan dan pengaruh pada kawasan Asia Pasifik. Hal ini tentunya membuat
Amerika Serikat dalam posisi mewaspadai; dan juga negara-negara di kawasan
terutama yang bersengketa langsung dengan Cina mulai menyusun strategi
perang.
Situasi politik di global dan regional masih akan diwarnai dengan
perebutan kepentingan, uang, sumber daya, dan wilayah. Dewasa ini, Partai
Komunis Tiongkok atau PKT sedang memperkuat militernya bersiap untuk
perang dan perlombaan persenjataan militer menyaingi Amerika Serikat. RRT
sekarang dijuluki sebagai badan ekonomi kedua terbesar di dunia, dan pasukan
militernya juga diakui sebagai kekuatan ketiga terbesar dunia. Saat ini PKT
sedang berambisi menyebarkan ideologi mereka, yaitu ideologi komunis. Di sisi
lain Amerika sedang menyesuaikan kembali strategi perangnya di Asia. Di
wilayah Asia Tenggara, dengan membuka pos baru di Darwin, Australia, dan
dengan Singapura penandatanganan DCA atau Defence Cooperation Agreement,
kemudian membujuk Filipina untuk militer AS membuat pangkalan di Subic
Bay dalam rangka rebalancing power.
Massalah-massalah global kemanusiaan diantaranya adalah: (1) senjata
pemusnah massal, militerisasi politik dunia; (2) kemiskinan dan sejumlah besar
umat manusia yang lemah; (3) tantangan lingkungan, perubahan iklim; dan (4)
terorisme. Selain itu, massalah migrasi massal, xenofobia, dan intoleransi
beragama, menjadi massalah di tengah kehidupan peradaban yang berbeda satu
sama lain, tapi berjalan berdampingan. Pada (KTT) ke-27 pada tanggal 18 - 22
November 2015 yang berlangsung di Kuala Lumpur telah berhasil mengesahkan
"Kuala Lumpur Declaration on ASEAN 2025: Forging Ahead Together", yang
secara resmi mencanangkan pembentukan Masyarakat ASEAN atau ASEAN
Community. ASEAN telah membuktikan diri mampu menjaga stabilitas
keamanan kawasan serta mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat namun
tantangan kedepannya untuk ASEAN akan sangat dinamis dan rentan
terpengaruh oleh kekuatan besar, diharapkan ASEAN mampu menjaga relevansi
ASEAN bagi rakyat, kawasan dan global juga harus terus menjadi nafas utama
kerja sama ASEAN yang secara konsisten berpusat dan berorientasi pada
kepentingan rakyat.
Sehingga hal ini membuat pemerintah untuk segera mengambil langkah
sistem dalam sektor keamanan sehingga terciptanya sistem keamanan yang
komprehensif atau menyeluruh untuk melindungi kepentingan nasional.
Pemerintah menguatkan pemberdayaan penduduk, pemerataan penyebaran

4
penduduk, menjaga dan mengawasi sumber daya alam. Pemerintah juga
memperkuat program pemahaman ideologi Pancasila melalui media informasi,
turun tangan langsung kepada masyarakat melalui program-program pendidikan.
Diperluasnya lapangan pekerjaan, serta bimbingan kepada masyarakat supaya
mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran. Perlu adanya peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang harus diprioritaskan, agar dapat mengelola
sumber daya alam yang mandiri dan kompeten, dan perluasan lapangan kerja.

2.1.1 Senjata Pemusnah Massal, Militerisasi Politik Dunia


Isu tentang pengembangan senjata nuklir merupakan salah satu bagian
dari beberapa isu poltik dunia di era globalisasi dan telah melewati batas – batas
wilayah. Isu tentang perkembangan nuklir sebenarnya sudah menjadi
pembicaraan global sejak tahun 1945. Sejak saat itu isu dari perkembangan
senjata nuklir telah menjadi komoditas hubungan antara militer dan politik.
Salah satu kasus yang pernah mencuat ke permukaan internasional yaitu kasus
“krisis kuba” yang pada intinya adalah ketegangan tentang penempatan
seperangkat senjata nuklir antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Pembatasan
kepemilikan tentang senjata nuklir atau yang dikenal dengan Non-Proliferation
of Nuclear (NPT) merupakan salah satu isu terpenting dalam proliferasi nuklir.
Proliferasi nuklir sendiri adalah sebuah suatu proses atau bentuk
diplomasi antar negara (Cina, Perancis, Amerika serikat, Inggris) yang berusaha
untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir dan negara-negara tersebut
mempunyai potensi untuk melakukan pengembangan nuklir serta mempunyai
kemampuan untuk meluncurkan dan menempatkan senjata nuklir yang dapat
memicu terjadinya perang. Senjata nuklir sendiri termasuk dalam kategori
senjata pemusnah massal (weapon mass destruction).
Motivasi dan kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara yang ada di
dunia ini sudah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum perang dingin berakhir
beberapa negara berupaya untuk mengembangkan program nuklir dan memilki
senjata nuklir. Terdapat tiga buah alasan penting yang memotivasi mereka untuk
memiliki senjata pemusnah massal tersebut. Ketiga hal tersebut adalah alasan
Strategi, Politik dan Prestis. Alasan strategi karena senjata nuklir memiliki
peranan yang sangat penting dalam rangka mengamankan negara mereka dari
serangan musuh dari luar, hal tersebut sesuai dengan konsep deterrence yaitu
sebuah upaya untuk mencegah ancaman militer dari pihak lain agar tidak
melakukan tindakan agresif atau serangan militer dengan istilah lain war
prevention dan hal tersebut lebih berfokus pada pshycological war daripada
bersifat fisik. Sedangkan untuk alasan politik dan prestis negara yang memiliki

5
senjata nuklir secara sederhananya berupaya untuk meningkatkan negaranya
dalam percaturan politik internasional (Waheguru Pal Singh Sidhu, 2008)
Contoh paling nyata dari ketiga alasan tersebut adalah pengembangan
program dan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara. Motivasi Korea Utara
mengembangkan senjata nuklirnya dalam alasan strategi adalah untuk mengisi
kekosongan senjata konvensionalnya dan mencegah serangan dari agresor asing,
sedangkan alasan politik dan prestis kepemilikan nuklir Korea Utara lebih
dilandasi pada sikap Korea Utara untuk menaikan nilai tawar (bargaining
position) dalam percaturan politik internasional. Serta perimbangan kekuatan
kawasan Asia Timur (balance of region) dan Korea Utara berupaya untuk
merubah peta kekuatan yang ada di kawasan tersebut.
Salah satu dampak dari berakhirnya perang dingin pada tahun 1990-an di
bidang keamanan internasional adalah meredanya konflik bahaya penggunaan
peluru kendali dengan berhulu ledak nuklir antara Uni Sovyet dengan Amerika
Serikat. Meski demikian ancaman tentang senjata nuklir tidak seketika hilang
karena kedua negara tersebut masih menyimpan sebagian besar senjata
nuklirnya di gudang-gudang senjata militer yang dimiliki. Menurunnya bahaya
perang nuklir antara bekas dua negara adidaya tersebut ternyata memunculkan
isu maupun permassalahan baru, dewasa ini (baca: pasca perang dingin) yaitu
seputar senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction).
Permassalahan baru yang muncul adalah pengembangan (proliferation)
senjata nuklir oleh negara-negara yang dahulu tidak memiliki sama sekali untuk
mengembangkan program senjata nuklir seperti Iran dan Korea Utara. Penyebab
terkuat terjadinya hal tersebut adalah penyebaran senjata nuklir berserta
teknologinya pada masa era perang dingin masih berlangsung ke beberapa
negara serta wilayah di penjuru dunia ini yang dilakukan oleh dua kekuatan
super powers.
Terdapat dua perspektif mengenai perkembangan senjata nuklir (nuclear
proliferation) dalam agenda keamanan internasional kontemporer. Pandangan
yang pertama adalah muncul dari negara-negara yang sudah memiliki senjata
nuklir seperti Amerika Serikat dan Russia. Negara-negara tersebut berusaha
untuk mencegah upaya negara-negara lain di dunia ini untuk memperoleh senjata
nuklir yang selanjutnya pandangan dari negara-negara tersebut dikenal dengan
horizontal proliferation. Pandangan yang kedua muncul dari negara-negara
seperti India, Iran, Pakistan dan Korea Utara yang berpandangan pentingnya
membangun persenjataan nuklir sebagai alat pencegah untuk menangkal
serangan dari luar dan selanjutnya kelompok ini disebut dengan vertical
proliferation.

6
Fenomena ketegangan seputar krisis nuklir yang mencuat kepermukaan
dewasa ini seperti yang terjadi di Iran dan Semenanjung Korea sesungguhnya
merupakan krisis yang berada dalam tingkat vertical proliferation. Hal tersebut
dikarenakan kekhawatiran serta ketidakpercayaan dari negara-negara yang
masuk dalam horizontal proliferation terhadap upaya pengembangan program
senjata nuklir oleh negara-negara dalam kelompok vertical proliferation.
Mereka merasa bahwa negara-negara tersebut memiliki teknologi serta sumber
daya manusia yang rendah dalam pengembangan program nuklir sehingga
nantinya dapat membahayakan keamanan internasional. Selain hal tersebut,
adanya tekanan dari horizontal proliferation yang mempunyai kepentingan
untuk menghambat laju kepemilikan senjata nuklir dari negara-negara yang
termasuk dalam vertical proliferation. Amerika Serikat dan Russia sendiri
sebagai negara horizontal proliferation masih menyimpan senjata pemusnah
massal atau kapal selam maupun senjata land-based ballistic missile yang
mempunyai jangkauan antar benua.
Fenomena sekitar sengketa senjata pemusnah massal memang
memunculkan kekhawatiran di berbagai kalangan internasional dan perlu sebuah
upaya untuk mengatasinya. Terdapat 3 buah pendekatan yang dikemukakan oleh
Waheguru Pal Singh Sidhu untuk mengatasi permassalahan tersebut.
Pertama, Pendekatan penyelesaian krisis senjata pemusnah massal
melalui kerjasama multilateral berbasis perjanjian internasional seperti Partial
Test Ban Treaty (1963), NPT (1968) dan CTBT (1996). Dalam kerangka
penyelesaian yang berbentuk traktat dan masuk kedalam perjanjian internasional
ini, Secara norma dan prinsip hukum internasional sangat kuat, akan tetapi
bentuk ini cenderung lemah kedalam arah penegakan apabila ada pihak-pihak
yang tidak mematuhi isi dari traktat tersebut. Sehingga dibutuhkan komitmen
yang sangat tinggi bagi pihak-pihak yang masuk kedalam perjanjian tersebut.
Kedua, Penyelesaian melalui deklarasi atau resolusi (non-treaty) yang
dibentuk oleh UN Security Council (UNSC) UN General Assembly (UNGA).
Bentuk penyelesaian seperti ini memiliki dua alasan utama yaitu: mencari
kesepahaman dengan pihak-pihak non-state actors dan memberikan masukan
kepada perjanjian-perjanjian berbentuk traktat apabila di dalam isi perjanjian
dirasa masih memiliki kekurangan dan kelemahan. Penyelesaian bentuk ketiga
adalah yang diprakarsai oleh pemimpin sebuah negara atau beberapa kelompok
negara (nonconvensional approaches), seperti yang dilakukan oleh Amerika
Serikat terhadap Irak pada era George W. Bush melalui preventive war dengan
membentuk Proliferation Security Initiative (PSI) untuk mengatasi senjata kimia
dan biologi yang di jalankan oleh Irak pada tahun 2003 (Waheguru Pal Singh
Sidhu, 2008)

7
Upaya penanganan dan pembatasan seputar kepemilikan senjata
pemusnah massal maupun senjata nuklir menjadi salah satu isu terpenting dalam
masalah keamanan internasional kontemporer. Beberapa negara di dunia sangat
aktif melakukan kerjasama yang intensif mengatasi permasalahan tersebut
khususnya negara-negara yang berada dalam kawasan Asia Tenggara, Asia
bagian Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Upaya tersebut mereka wujudkan
dalam menciptakan kawasan bebas nuklir yaitu Nuclear-Weapon-Free Zone
(NWFZ). Meski demikian berbeda dengan wilayah-wilayah yang berusaha
mensterilkan dari senjata nuklir, beberapa wilayah lainnya semakin intensif
meningkatkan kemampuan senjata nuklir seperti wilayah Asia Selatan (India dan
Pakistan) dan Asia Timur bagian Utara (Korea Utara dan Cina) yang melakukan
program Nuclearization yaitu mengakuisisi persenjataan nuklir mereka serta
melakukan serangkaian uji coba rudal balistik yang memiliki kepala hulu ledak
nuklir.
Kesadaran baru yang muncul dalam isu instabilitas keamanan
internasional adalah massalah diplomasi nuklir. Perkembangan tentang program
nuklir, serta tindakan tentang pembatasan perkembangan senjata nuklir atau
yang disebut dengan Non-Proliferation of Nuclear (NPT) telah menjadi suatu
isu internasional yang tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk praktik
diplomasi. Isu tentang kepemilikan senjata nuklir tidak hanya terjadi pada
negara-negara super power seperti Amerika Serikat atau China tetapi juga telah
melibatkan banyak negara yang termasuk dalam negara yang tidak tergolong
seperti hal tersebut seperti Korea Utara atau Iran. Program tentang kepemilikan
nuklir juga menjadi sebuah perdebatan, bahwa pengembangan program nuklir
tidak hanya pada proses pembuatan senjata pemusnah lain akan tetapi program
nuklir juga merupakan sebuah proyek ekonomi yang bertujuan untuk
pengembangan energi seperti klaim Iran atas kepemilikan program nuklirnya.
Diplomasi nuklir dalam sejarahnya berawal dari tahun 1955 ketika terjadi
pembicaraan bilateral antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat tentang
pembatasan kepemilikan senjata pemusnah massal. Hal tersebut berlanjut hingga
tahun 1972 ketika kedua negara tersebut sepakat untuk duduk bersama dalam
suatu proses negosiasi atau diplomasi tentang masalah pembatasan senjata nuklir
yang kemudian menghasilkan sebuah traktat yaitu Anti-Ballistic Misille Treaty.
Pertemuan pada tahun 1972 terkenal dengan nama SALT (strategic arms
limitation talks) yang bertujuan untuk melakukan pembatasan senjata nuklir
kedua belah pihak yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Selanjutnya isu-isu tentang nuklir pada perkembangannya tidak bersifat
bilateral tetapi multilateral dan melibatkan banyak pihak internasional serta
lembaga atau institusi internasional yaitu International Atomic Energy Agency

8
(IAEA). Forum six-talks party merupakan sebuah bentuk diplomasi yang lazim
kita dengar. Forum tersebut merupakan kelanjutan dari forum three-talks party
sebagai sebuah upaya proses diplomasi penyelesaian kasus nuklir Semenajung
Korea yang terus mengalami kebuntuan hingga akhirnya Cina melakukan upaya
memperluas pembicaraan dengan melibatkan beberapa negara antara lain
Russia, Jepang dan Korea Selatan (Park, 2004)
Terdapat tiga buah tantangan terhadap masa depan nuklir dunia. Pertama,
Tantangan yang muncul dari negara-negara yang masuk kedalam Non-
Proliferation of Treaty Nuclear Weapons (NPT). Mundurnya Korea Utara dari
Non-Proliferation Treaty of Nuclear Weapons (NPT) serta disertai serangkaian
uji coba peluru kendali merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam
instabilitas keamanan internasional di masa yang akan datang. Bukan hal yang
mustahil kedepan krisis tersebut dapat memicu perang terbuka di kawasan Asia
Timur mengingat sejarah dari wilayah ini yang pernah terlibat perang saudara
pada sekitar tahun 1950- an. Apalagi kemampuan dari peluru kendali
Taepodong-2 buatan Korea Utara mampu menjangkau wilayah terjauh dari
Amerika Serikat.
Bentuk tantangan yang kedua, adalah berasal dari negara-negara yang
belum menandatangani Non-Proliferation Treaty of Nuclear Weapons (NPT)
seperti Israel, India dan Pakistan. Serta negara-negara yang belum meratifikasi
traktat tersebut seperti Amerika Serikat, Cina, Mesir dan Iran. Banyak faktor
negara-negara tersebut belum menandatangani atau meratifikasi traktat tersebut
mulai dari faktor politik dalam negeri sampai dengan faktor prestis dalam
menciptkan perimbangan kekuatan di kawasan mereka. Negara-negara yang
belum masuk kedalam rezim NPT terus saja mengembangkan program
nuklirnya yang disertai uji coba peluru kendali. Hal tersebut akan selalu
menimbulkan kecemasan dan dunia akan selalu dibayang-bayangi terjadingan
perang. Selain itu negara-negara yang masuk dalam NPT dan belum
meratifikasi, pelucutan senjata nuklir yang mereka miliki seperti Amerika
Serikat dan Russia juga tidak signifikan hanya sebagian kecil saja yang dilucuti
dan senjata nuklir lainnya mereka simpan di Gudang-gudang persenjataan
mereka. Dan tantangan ketiga yang tidak kalah pentingnya berasal dari non-state
actors, seperti kelompok-kelompok teroris terbatas yang turut serta dalam
pengembangan senjata nuklir (Waheguru Pal Singh Sidhu, 2008)
Melihat realitas mengenai dinamika seputar pengembangan dan
kepemilikan senjata nuklir yang telah dikemukan diatas. Sesungguhnya masa
depan keamanan dunia dalam kondisi yang abu-abu atau dalam kondisi yang
serba tidak pasti antara perang atau damai. Di satu perspektif kondisi ini justru
sangat menguntungkan dunia karena negara-negara yang memiliki senjata nuklir

9
tidak terlibat secara langsung dalam perang terbuka. Sebagai aktor internasional
yang rasional mereka sadar apabila senjata nuklir diluncurkan dan terjadi perang
maka kerugian yang timbul akan sangat besar. Kondisi ini mengigatkan kita
ketika terjadinya perang dingin berlangsung. Dalam perspektif lain dunia harus
bersih dari keberadaan senjata nuklir sehingga kecemasan serta suasana
ketidakpastian akan perdamaian di dunia dapat dihilangkan. Dengan kata lain
masa depan nuklir dunia dan keamanan internasional akan sangat tergantung
pada negara-negara yang memiliki senjata nuklir. Keamanan dunia akan dapat
terwujud apabila share of power seimbang di antara negara-negara di dunia ini.

2.1.2 Krisis Ekonomi Dan Kemiskinan Sebagai Efek Pandemi Global


Tahun 2007 hingga 2008 menjadi titik berat dan signifikan dalam
mengarungi perekonomian di dunia. Kita melihat terjadi krisis bahan bakar
minyak hingga krisis pangan yang saat itu melanda ekonomi dunia, kemudian
menyebabkan timbulnya krisis finansial (financial crisis) yang begitu terasa dan
kemungkinan akan terasa dampaknya hingga saat ini. Krisis finansial tersebut
datangnya dari negara bagian Amerika Serikat (AS), yang disebut sebagai
kekuatan ekonomi nomor satu didunia saat ini. Dampaknya mengakibatkan
pengaruh diberbagai aspek, serta mempengaruhi banyak negara, salah satunya
Indonesia. Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed)
mengatakan bahwa kejadian ini disebut ‘once-in-century’ krisis finansial yang
akan dan terus membawa dampak terhadap perekonomian global. Di sisi lainnya
lagi International Monetary Fund (IMF) juga mengambil kesimpulan bahwa hal
ini dapat disebut sebagai ‘largest financial shock since Great Depression’, yang
digambarkan sebagai dampak krisis yang terjadi begitu signifikan saat itu
bahkan boleh jadi terasa hingga saat ini (Hamid, 2009)
Jika merujuk kejadian krisis keuangan yang terdampak di negara
Amerika Serikat (AS), beberapa pandangan mengutarakan kesimpulan
mengenai beberapa hal yang menyebabkan kejadian krisis ini. Stiglitz, mantan
peraih Nobel Ekonomi 2001, mengutarakan sebuah pandangan yaitu krisis
keuangan yang terjadi di AS diakibatkan oleh kesalahan yang bersumber dari
pengambilan kebijakan ekonomi yang tidak tepat atau dalam bahasa arsitek
dapat disebut sebagai dalam ‘system failure’. System failure yang dimaksud
menurut Stiglitz, telah mulai bermunculan sejak pergantian Paul Volcker.
Kemudian pandangan perlunya mengambil sebuah kebijakan dalam berbagai
situasi di pasar keuangan diutarakan oleh Alan Greenspan sebagai Chief The
Fed. Adapun pengambilan keputusan pada kebijakan lain juga menjadi sebab
musabab terjadinya krisis tersebut, diantaranya dapat dilihat dari kebijakan-
kebijakan yang bermunculan di lantai Wall Street terlihat cenderung

10
memberikan perlindungan lebih kepada dunia perbankan AS dalam spekulasi
dan kegiatan yang bersifat derifatif pada produk-produk keuangan, begitupun
kebijakan dan kekacauan sebelumnya terhadap sejumlah skandal misalnya yang
telah terjadi dalam contoh kasus Enron dan Worldcom (Stiglitz, 2009)
Di kejadian krisis yang lain, yaitu di Indonesia pada kejadian krisis tahun
1997-1998 juga memperlihatkan kita kejadian besar pada kegagalan pasar yang
berakibat buruk bagi perekonomian negara kemudian menuntut keaktifan
pemerintah saat itu untuk mengatasi dampak krisis dengan cara memberikan
situmulus berupa pendanaan yang gunanya tak lain untuk memberikan efek
positif pada perekonomian nasional. Namun, apakah dana yang dikucurkan
untuk membantu pelaku-pelaku ekonomi (umumnya di fokuskan pada bank
yang terjadi kolaps) ini sudah tepat. Dari sini kita dapat melihat bahwasanya
sumber pendanaan tersebut tak lain berasal dari rakyat yang diserap melalui
penarikan pajak dan sumber pendapatan lainnya. Oleh karena itu kejadian besar
pada saat itu menunjukkan bagaimana kegagalan pasar dalam fondasi yang
disebut sebagai kapitalisme sebagai akibat dari tindakan spekulatif para spekulan
pasar harus dibayar oleh rakyat yang justru tidak pernah menikmati hasil dari
sistem ekonomi pasar tersebut (Hamid, 2009)
Dalam pemikiran ekonomi saat ini ada juga sebuah keyakinan berlebihan
yang terjadi dalam market fundamentalisme kemudian berdampak pada
hilangnya sebagian besar pelaku ekonomi, yaitu para otoritas keuanganlah yang
kerap kali berjasa dan mau tidak mau harus mengambil tindakan pada setiap
terjadinya sebuah krisis. Berkaca pada kasus AS, sejak 1980 sudah banyak
terjadi krisis pada saat itu, diantaranya krisis perbankan internasional 1982,
bangkrutnya Continental Illinois 1984, serta gagalnya Long-Term Capital
Management 1998, dan pada setiap krisis, otoritas keuanganlah yang akhirnya
mengucurkan dana untuk menstimulus perekonomian agar bisa bangkit kembali
atau setidaknya memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut (Sen, 2009)
Paradigma ekonomi yang berkembang hingga saat ini merujuk pada
pergerakan global anti-kapitalis yang kemudian menuntut adanya
pengembangan hubungan baik dalam sektor mikro di antara produsen dan
konsumen yang efeknya dapat memberikan dukungan keadilan sosial dan
kemandirian ekonomi, oleh karena itu pasar harus diarahkan pada tujuan
tersebut. Di sisi lain gerakan para anti-kapitalis menuntut adanya pengaturan
pada kapitalisme seperti halnya pasca perang dunia. Kemudian dilanjutkan
dengan gerakan sosialis anti kapitalis yang menyatakan bahwahanya satu
alternatif bagi kapitalisme untuk konsisten yaitu dengan cara melakukan

11
modernisasi, yang dapat diartikan sebagai perencanaan ekonomi yang sifatnya
lebih demokratis (democratically planned economy).
Belum selesai membahas efek negatif dan dampak ekonomi kapitalis di
tahun 2020 Indonesia bahkan di dunia dihebohkan dengan muncul virus jenis
baru yang disebut sebagai Virus Corona atau dalam sebutan ilmiahnya disebut
sebagai Covid-19. Virus corona mulai merebak disekitar wilayah Wuhan dan
kini telah menjangkiti lebih dari 100 negara. Sebanyak lebih dari 100.000 orang
di dunia dinyatakan positif terinfeksi virus ganas ini. Jumlah kasus baru yang
dilaporkan di China memang menurun. Namun lonjakan kasus justru terjadi di
Korea Selatan, Italia dan Iran. Semakin meluasnya wabah corona ke berbagai
belahan dunia menjadi ancaman serius bagi perekonomian global. Penyebaran
COVID-19 yang semakin meluas akan memperlama periode jatuhnya
perekonomian Asia Pasifik. Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea
Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret kedalam jurang resesi,
menurut S&P. Selain itu perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari
5,7% diprediksi turun menjadi 4,8%. Negara yang perekonomiannya akan sangat
terkena imbasnya adalah Hong Kong, Singapura, Thailand dan Vietnam,
mengingat sektor pariwisata menyumbang hampir 10% dari Produk Domestik
Bruto (PDB) negara tersebut. Pelancong dari China berkontribusi besar terhadap
total turis asing di negara tersebut. Masalahnya virus ini pertama kali menyerang
China yang notabene merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di
dunia dan juga sebagai negara yang menyandang status "global manufacturing
hub" (5 Ngerinya Ramalan S&P Soal Corona ke Ekonomi, RI Bisa Selamat -
Halaman 2, n.d. 2020).
Virus Corona kemudian muncul dan memberikan begitu banyak
pengaruh dalam berbagai sektor. Salah satu sektor yang terdampak dan begitu
terasa adalah sektor ekonomi. Hal ini menjadi merupakan isu terkini dan oleh
karena itu tertarik untuk membahas dampak dari virus corona terhadap krisis
ekonomi global yang terjadi saat ini. Dalam beberapa bulan terakhir di kuartal
pertama tahun 2020 terjadi beberapa fluktuasi ekonomi secara global, baik itu
dari sektor keuangan hingga nilai tukar emas yang terus melonjak tinggi. Di
samping itu, juga terjadi penetrasi di pasar versi Chicago Board Options
Exchange (CBOE). Oleh karena itu dalam pembahasan ini, melihat dampak
Corona terhadap ekonomi global mempengaruhi 3 sektor yaitu pasar saham,
surat utang, dan nilai emas. Selain itu untuk dalam negeri juga terdampak
dikarenakan sebagian besar transaksi ekspor-impor Indonesia berasal dari negara
China.

12
1. Sektor Pasar Modal (Gambar 2.1 dan 2.2)
Virus Corona yang ganas telah membuat investor lari kocar-kacir dari
pasar saham global. Pasar ekuitas global bergerak sangat ‘liar’ atau
dengan volatilitasnya yang sangat tinggi. Hal ini tercermin dari indeks
volatilitas (VIX) keluaran Chicago Board Options Exchange yang berada
di level tertingginya dalam lima tahun. Artinya penetrasi Virus Corona
terhadap pasar modal terdampak cukup serius. Selain itu mempengaruhi
tingkat keputusan investasi dari beberapa investor sehingga terlihat
begitu signifikan dampaknya. Virus Corona juga membuat kondisi
mental investor menjadi panik dan membuat pasar saham global
mendapat tekanan hebat. Kalau dihitung sejak awal tahun kinerja bursa
saham global masih mencatatkan pelemahan.

Gambar 2. 1 Data Indeks Volatilitas Pasar Versi CBOE (VIX)


Sumber Data: Tirta Citradi Source: Refinitiv 2020

Gambar 2. 2 Kinerja Pasar Saham Global Sejak Awal Tahun 2020


Sumber Data: Chart: Tirta Citradi Source: Refinitiv, CNBC Indonesia 2020

13
2. Perdagangan Surat Utang (Gambar 2.3)
Imbal hasil (yield) surat utang AS bertenor 10 tahun yang berada di level
terendahnya dalam sejarah. Yield obligasi pemerintah AS untuk tenor 10
tahun berada di level 0,7070% pada Jumat (6/3/2020). Artinya investor
dalam 3 tahun terakhir telah mengambil keputusan tiba-tiba ditengah
kondisi Virus Corona (Covid-19) dengan memutuskan untuk tidak
tertarik dengan surat utang yang dikeluarkan oleh AS. Virus Corona
dengan sigap telah melahap sektor ekonomi dinegara paman Sam dengan
cukup cepat.

Gambar 2. 3 Level Posisi Surat Utang AS yang memiliki tenor 10 Tahun Imbal Hasil (Yield)
Sumber: Chart: Tirta Citradi Source: Refinitiv 2020

3. Perdagangan Emas (Gambar 2.4)


Sementara itu harga emas kembali melambung dan mencetak rekor
tertingginya dalam tujuh tahun. Pada penutupan perdagangan pasar spot
Jumat (6/3/2020) harga emas di tutup di level US$ 1.673/troy ons.
Artinya emas perkasa dalam 3 tahun terakhir. Hingga bulan maret tahun
2020 emas telah mencapai nilai sekitar Rp. 800.000, mengingat nilai
emas di 3 bulan sebelumnya masih dikisaran harga Rp. 600.000. Emas
yang semula hanya dikategorikan sebagai save haven atau asset yang
minim resiko telah menjadi sebuah wadah investasi yang cukup diminati.
Hal ini terlihat di perdagangan emas di pasar spot yang terus mengalami
lonjakan ditengah kepungan Virus Corona.

14
Gambar 2. 4 Harga Emas di Pasar Spot (US$/Troy Ons)
Sumber: Chart: Tirta Citradi Source: Refinitiv 2020

Data dari Komisi Kesehatan Nasional Cina per Selasa, 11 Februari 2020,
menunjukkan korban virus corona di Cina daratan sudah mencapai angka 1.016.
Terdapat berbagai macam kasus baru yang terkonfirmasi sehingga saat ini terus
bertambah. Jumlah korban meninggal akibat virus corona ini lebih banyak dari
korban meninggal akibat wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
pada 2003. Sejak pertama kali muncul di provinsi Guangdong, SARS dengan
cepat menyebar ke negara-negara lain di dunia dan membunuh 800 orang. Pada
tahun 2003 Cina masih menjadi negara dengan perekonomian terbesar keenam
di dunia. Sementara saat ini, Cina adalah negara dengan perekonomian terbesar
kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pelemahan ekonomi sebesar 0,5 hingga
1% tentu akan berdampak luar biasa. Saat wabah SARS melanda, kontribusi
Cina terhadap perekonomian dunia kurang dari 2%. Saat ekonomi Cina melemah
sekitar 1% poin akibat wabah SARS, dunia tidak terlalu terguncang. IMF
memperkirakan ekonomi Cina memberikan kontribusi hingga 39,2% dari total
pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019. Kontribusi besar dari Cina itu
menjadikan Asia sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia,
dengan kontribusi lebih dari dua pertiga pertumbuhan global. Menurut perkiraan
IMF, ekonomi Cina akan tumbuh 6,1% pada tahun 2019, dan melambat menjadi
5,8% pada 2020. Proyeksi IMF itu dibuat tanpa memperhitungkan efek
pelemahan ekonomi akibat wabah virus Corona. Virus corona terbukti memukul
keras perekonomian Cina. Sejumlah perusahaan multinasional telah menyatakan
untuk menghentikan sementara proses produksinya. Pada 30 Januari, Toyota
mengumumkan untuk menghentikan sementara produksinya hingga 9 Februari
2020. Sejumlah perusahaan multinasional mulai dari Facebook, Honda, Nissan,
LG Electronics hingga Standard Chartered memutuskan untuk sementara

15
menghentikan perjalanan bisnis ke Cina. Sejumlah negara, termasuk Indonesia,
juga mengeluarkan larangan penerbangan ke Cina.
Sejumlah pinjaman agar bisnisnya bisa tetap berjalan. Reuters
melaporkan sekitar 300 perusahaan Cina mencari pinjaman sekitar 57,4 miliar
yuan. Dana itu diperlukan untuk mengatasi gangguan akibat ditutupnya sejumlah
kota, terhentinya pabrik dan gangguan suplai. Selain itu, Sejumlah perusahaan
fintech juga memberikan pinjaman lunak. MYBank, unit kredit online Ant
Financial milik Alibaba, mengumumkan akan menyediakan pinjaman lunak 12
bulan, dengan 3 bulan bebas bunga untuk para peminjam dari provinsi Hubei
yang merupakan pusat dari virus Corona
Di luar China, ekonomi Korea Selatan diperkirakan bakal jadi yang
paling terdampak meski dampak wabah terhadap ekonomi sejauh ini tampaknya
sederhana. Para ekonom memproyeksikan ekonomi Negeri Ginseng akan
tumbuh di 2,1% pada kuartal pertama, turun 0,4 poin persentase dari jajak
pendapat Reuters pada Januari. Di sisi lain, ekonomi Thailand dan Taiwan
diperkirakan akan tumbuh di angka 0,2% dan 1,3% di kuartal saat ini, yang mana
merupakan pertumbuhan terendah dalam hampir setengah decade.
Bahkan, para ekonom berpendapat bahwa apabila wabah terus
memburuk dan dan semakin membebani prospek, pertumbuhan diperkirakan
akan turun lebih lanjut sebesar 0,5 poin persentase menjadi satu poin persentase
penuh di semua negara yang disurvei. Virus Corona telah memberikan dampak
yang cukup signifikan dalam sektor perekonomian beberapa negara di dunia.
Pertama-tama di Asia kita melihat kejatuhan bursa saham tidak hanya dialami
oleh Indonesia, mungkin seluruh bursa saham di dunia jatuh karena sentimen
virus corona. Bursa saham di Australia jatuh 7% lebih. Kekhawatiran akan
dampak penyebaran virus corona ke ekonomi, dan jatuhnya harga minyak dunia
menjadi sentimen negatif kejatuhan bursa saham Australia.
Secara umum kondisi makroekonomi Indonesia pada awalnya telah
dimulai dari pelemahan akibat dari gejolak krisis AS ini. Namun secara umum
kondisi makroekonomi ini relatif jauh lebih baik dibandingkan pada masa krisis
moneter yang berimbas pada krisis ekonomi satu dasawarsa lalu. Episentrum
krisis yang tidak berada di Indonesia, ditambah belum dominannya investor
dalam negeri dalam memanfaatkan produk investasi luar negeri dan posisi devisa
yang aman untuk transaksi luar negeri setidaknya menjelaskan bagaimana
kondisi ini bisa terjadi. Di sisi lain, kebijakan pengendalian inflasi melalui
kenaikan BI Rate meskipun sedikit tetap berpengaruh positif dalam menjaga
inflasi tetap dalam kondisi yang tidak membahayakan perekonomian nasional
(Hamid, 2009)

16
Indonesia sendiri termasuk negara yang dipastikan akan terkena dampak
dari virus corona. Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melemah di bawah 5%
pada kuartal I-2020. Mari mengatakan penurunan PDB Cina hingga 1% poin
akan mengkoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3% poin.
Pelemahan ekonomi Indonesia bisa terjadi karena Cina merupakan salah satu
mitra dagang terbesar Indonesia. Cina juga merupakan salah satu penyumbang
wisatawan terbesar Indonesia. Di depan anggota parlemen Indonesia pada 28
Januari 2020 Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengingatkan dampak virus
Corona terhadap perekonomian Indonesia. Menurut Sri Mulyani, munculnya
virus corona telah memunculkan pesimisme terhadap pertumbuhan ekonomi
dunia. Melihat peran China yang begitu besar berdasarkan data BPS, impor
nonmigas Indonesia dari Cina tercatat mencapai 44,578 miliar dolar AS pada
tahun 2019 terbesar dibandingkan impor dari negara-negara lain. Sementara
ekspor Indonesia ke Cina tercatat sebesar 25,852 miliar dolar AS. Cina juga
merupakan tujuan ekspor paling besar bagi Indonesia.

2.1.3 Perubahan Iklim


Perubahan iklim global (global climate change) sedang terjadi di
berbagai belahan bumi. Perubahan iklim Global dapat dikenali dengan adanya
pemanasan global (global warming). Iklim adalah rata-rata cuaca harian dalam
jangka waktu tertentu. Sedangkan cuaca terdiri dari variabel suhu, kelembaban,
arah dan kecepatan angin (Achmadi, 2008). Perubahan iklim dan perubahan
cuaca akan membentuk pola musim. Terjadinya perubahan iklim global
menyebabkan terjadinya musim yang ekstrim, seperti musim kemarau yang
berkepanjangan serta musim hujan dengan curah hujan yang sangat tinggi.
Perubahan iklim dan pemanasan global disebabkan oleh bertambahnya
jumlah manusia. Manusia mengeksploitasi sumber daya alam dan mengolahnya
untuk keperluan dan kesejahteraan hidupnya. Manusia saling berhubungan satu
dengan lainnya untuk melakukan perdagangan antar negara dan benua hingga
muncul gerakan globalisasi. Globalisasi diperkirakan akan menimbulkan
dampak perubahan lingkungan secara global maupun lokal. Intensitas
perdagangan akan menimbulkan perubahan perilaku penduduk, pola konsumsi,
pola industri jasa maupun manufaktur. Perilaku manusia dalam menggunakan
teknologi yang kurang ramah lingkungan, penggunaan bahan bakar fosil yang
berlebihan serta terjadinya penebangan hutan secara ilegal semakin
memperparah kerusakan lingkungan
Perubahan iklim global diakibatkan oleh peningkatan emisi gas rumah
kaca (CO2, CH4, N2O, CFC, O3), IPCC memperkirakan peningkatan gas CO2

17
sebesar 31%, CH4 sebesar 151% dan N2O sebesar 17% (Bachtiar 2008).
Kontribusi aktivitas manusia dalam peningkatan gas rumah kaca adalah
penggunaan energi sebesar 49%, industri sebesar 24%, perusakan hutan sebesar
14% dan pertanian sebesar 13% (Hadi, 2008). Akumulasi gas rumah kaca hasil
emisi menyelubungi bumi, memantulkan panas atau energi di atmosfer bumi.
Pantulan tersebut berakibat pada peningkatan temperatur bumi sehingga
terjadilah fenomena global climate change dan global warming.
Perubahan iklim global dapat diketahui dengan terus meningkatnya suhu
bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan
pada abad mendatang peningkatan rata-rata suhu global antara 1,8°C hingga
5,8°C dan tinggi permukaan air laut meningkat rata-rata 9 hingga 88 centimeter
(Houghton, 2001). Perubahan iklim global yang seiring dengan pemanasan
global menyebabkan kutub utara dan kutub selatan mencair sedikit demi sedikit
sehingga terjadi peningkatan permukaan air laut. Pada awal abad 21, dunia
mengalami berbagai perubahan iklim yang sangat ekstrim yang menyebabkan
terjadinya berbagai bencana alam di beberapa belahan dunia seperti banjir,
badai, angin puting beliung dan sebagainya.
Perubahan iklim global yang diringi dengan peningkatan suhu bumi
memiliki potensi dampak terhadap perubahan lingkungan serta kesehatan
masyarakat. Dampak tersebut terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak langsung adalah dampak yang langsung dirasakan oleh manusia dengan
adanya suhu panas yang ekstrim dan suhu dingin yang ekstrim. Dampak tidak
langsung adalah dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim yang
dirasakan oleh manusia melalui berbagai peristiwa dan perantara.
Beberapa dampak langsung yang terjadi adalah gelombang panas (heat
waves) dan musim dingin yang sangat ekstrim. Gelombang panas dapat
menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk mendinginkan badan, jika
kondisi jantung terbatas dapat menimbulkan gangguan yang fatal. Suhu panas
dapat menyebabkan kematian melalui beberapa cara: utamanya dehidrasi dan
heat stroke. Kondisi lainnya adalah cardiovascular collapse, cerebrovascular,
dan respiratory distress. Pada tahun 1995 gelombang panas telah menyebabkan
kematian 700 orang di Chicago (Achmadi, 2008). Gelombang panas juga terjadi
di Perancis pada awal Agustus 2003 (Vandentorren dan Bissonnet, 2005).
Bahkan pada tahun 2003 gelombang panas juga terjadi di berbagai negara di
Eropa (lihat Tabel 2.1). Meskipun suhu hangat dapat mengurangi kematian
terutama orang jompo dimusim dingin, namun kematian akibat pemanasan
global dua kali lebih besar setiap tahunnya.
Manusia diperkirakan memilih suhu nyaman sekitar 20°C hingga 25°C.
Dampak langsung yang lain akibat suhu panas adalah terjadinya peningkatan

18
kasus asma serta kanker kulit (Achmadi, 2008). Selain suhu panas, musim dingin
yang sangat ekstrim juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa
penyakit sebagai penyebab kematian yang berhubungan dengan suhu dingin
yang ekstrim adalah ischaemic heart disease, cerebro-vascular disease dan
respiratory disease, terutama influenza (Hassi, 2005)

Tabel 2. 1 Kematian Akibat Gelombang Panas di Eropa pada tahun 2003

Country Heat Excess Time Method for Estimating Baseline


Stroke Deaths Period Mortality
Deaths (%)
England/ 1 2,054 August 4 Deaths in same period in years
Wales (16%) to 13 1998 to
2002
France n.a 14,802 August 1 Avarage of deaths in same
(60%) to 20 period in
years 2000 to 2002
Italy n.a 3,134 June 1to Deaths in same period in year
(15%) August 15 2002
Portugal 7 2,099 August 1 Deaths in same period in years
(26%) to 31 1997 to
2001
Spain 59
Sumber: Kovats, Wolf dan Menne, 2004 dalam Patz, 2005.

Dampak tidak langsung dari perubahan iklim global adalah terjadinya


penyakit yang berbasis lingkungan dan malnutrisi. Penyakit berbasis lingkungan
tersebut antara lain: penyakit karena vektor (vector borne disease), penyakit
karena rodent (rodent borne disease), dan penyakit yang menular melalui media
air (water borne disease). Penyakit karena kurang gizi (malnutrition) akibat
gagal panen dan menurunnya produksi pertanian.
1. Vector Borne Diseases
Perubahan cuaca dan iklim dapat berpengaruh terhadap penularan vector-
borne diseases termasuk temepatur, curah hujan, angin, banjir,
kekeringan yang panjang dan peningkatan permukaan air laut. Perubahan
iklim juga memperpanjang waktu transmisi berbagai penyakit yang
disebabkan oleh vektor (seperti demam berdarah dan malaria), juga
mengubah jangkauan geografisnya sehingga berpotensi menjangkit
daerah yang masyarakatnya memiliki kekebalan yang rendah terhadap
penyakit tersebut (WHO, 2008). Vektor yang dapat menjadi perantara
berbagai penyakit adalah nyamuk.

19
Mosquito borne-diseases, yaitu penyakit yang penularannya melalui nyamuk,
seperti malaria, demam berdarah, cikungunya, arbovirus, dan Japanese
encephalitis. Pemanasan global menyebabkan perubahan penyakit yang
ditularkan melalui nyamuk. Hal ini disebabkan oleh perubahan bionomik
nyamuk. Nyamuk Anopheles yang menularkan malaria hanya bisa hidup
pada suhu diatas 15°C. Pada suhu yang meningkat dengan kelembaban
tertentu, perilaku nyamuk akan semakin agresif untuk melakukan
perkawinan semakin meningkat. Sehabis melakukan perkawinan, maka
perilaku menggigit manusia atau binatang semakin meningkat. Secara
naluriah untuk memproduksi telur nyamuk, nyamuk memerlukan protein
manusia atau darah binatang. Adanya peningkatan suhu diperkirakan
nyamuk akan dapat merambah ke gunung-gunung yang tinggi serta
hidup di negara subtropik. Suhu 20°C hingga 30°C dengan kelembaban
diatas 60% merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan
apabila suhu meningkat 3°C pada tahun 2100 maka akan terjadi proses
penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat.
Diperkirakan kejadian malaria dan penyakit lain yang ditularkan melalui
nyamuk akan meningkat. Hal ini diakibatkan oleh semakin cepatnya
perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam
nyamuk, angka rata-rata gigitan nyamuk yang meningkat (biting rate),
juga kegiatan reproduksi akibat peningkatan suhu global yang semakin
panas (Achmadi, 2008).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang
penularannya melalui nyamuk Aedes aegypti. DBD merupakan penyakit
menular yang menjadi masalah di Indonesia. Bahkan sampai saat ini
dibeberapa daerah masih terjadi kejadian luar biasa (KLB) DBD. Rata-
rata replikasi virus dengue dalam nyamuk Aedes aegypti di laboratorium
bertambah seiring dengan temperature (Patz, J, 2005). Selain faktor suhu,
perilaku masyarakat dan curah hujan juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk ini. Masyarakat kita masih kurang sadar
dalam berperilaku sehat, khusunya dalam menjaga kebersihan
lingkungan, program menutup, menguras dan mengubur (3M) tidak
berjalan dengan baik.
2. Rodent-Borne Diseases
Rodent-borne diseases berpengaruh secara tidak langsung tergantung
pada faktor penentu ekologi. Kekurangan makanan berpengaruh pada
jumlah populasi rodent, banjir menyebabkan rodent berpindahan tempat
untuk berlindung dan mencari makanan (Patz, 2005). Rodent-borne
diseases adalah penyakit yang penularannya melibatkan hewan pengerat

20
seperti tikus. Beberapa penyakit yang termasuk rodent-borne diseases
adalah infeksi hantavirus, leptospirosis dan pes. Infeksi hantavirus
umumnya ditularkan oleh excreta dari rodent dan menjadi penyakit yang
sangat mematikan bagi manusia. Hantavirus pulmonary syndrome yang
baru ditemukan di Southwest Amerika Serikat pada tahun 1993, kondisi
cuaca mendorong pertumbuhan populasi rodent dan kemudian
penularannya tersebar melalui badai El Nino (Patz, J, 2005)
Kejadian luar biasa penyakit leptospirosis dapat disebabkan oleh hujan
badai dan banjir yang besar. Epidemi leptospirosis di Nicaragua
mengikuti banjir yang besar di tahun 1995. Suatu studi kasus-kontrol
menunjukkan bahwa resiko penyakit leptospirosis pada air banjir adalah
lima belas kali (Trejevo et al, 1998 dalam Patz, 2005). Leptospirosis
merupakan penyakit zoonosis penting yang tersebar luas di seluruh dunia
dan menyerang lebih dari 160 spesies mamalia. Reservoir yang
memegang peran utama bagi penyebaran leptospira adalah hewan
pengerat terutama tikus meskipun hewan peliharaan (anjing, babi, sapi,
kuda, kucing, kelinci) dan hewan lain seperti kelelawar, tupai, musang
juga dapat berperan sebagai reservoir (Bilotta, 2012)
3. Water Borne Diseases
Water borne diseases yaitu penyakit yang disebarkan atau ditularkan
melalui media air. Kaitannya dengan pemanasan global, maka air yang
dimaksud adalah air laut yang permukaannya meningkat terutama air
pasang (rob), maupun air yang disebabkan oleh banjir bandang akibat
perubahan iklim dimana komponen utamanya adalah kenaikan
temperatur bumi. Jakarta, Semarang dan Surabaya adalah kota-kota
pelabuhan yang terancam dengan kenaikan permukaan air laut ini. Air
laut naik akan menyebarkan penyakit hantavirus dan leptospirosis
(Achmadi, 2008). Pola curah hujan yang semakin beragam mengganggu
ketersediaan air bersih, serta meningkatkan resiko penyakit yang
disebabkan oleh air seperti kolera dan wabah penyakit diare (WHO,
2008). Sampai saat ini diare masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Angka morbiditas diare di Indonesia adalah 423
per 1000 penduduk. Angka ini cenderung mengalami peningkatan.
Bahkan kejadian luar biasa (KLB) diare masih sering terjadi dan
menimbulkan kematian (Achmadi, 2008).
Secara global, pemanasan dan perubahan iklim global dapat
menyebabkan kelangkaan air bersih. Padahal air bersih adalah kebutuhan
yang esensial bagi kesehatan manusia. Diperkirakan lebih dari setengah
penduduk di dunia (sekitar 3 milyar jiwa) hidup di lingkungan kumuh

21
tidak terjangkau sarana sanitasi yang baik. Satu milyar orang tidak dapat
mengakses air bersih, suatu faktor penting yang sangat besar kaitannya
dengan penyakit diare dan kematian pada anak-anak. Diperkirakan 5000
anak meninggal setiap hari karena penyakit yang berkaitan dengan air
(McMichael & Sari Kovats, 2002).
4. Malnutrisi
Produktifitas pangan dan kejadian malnutrisi, perubahan iklim global
sangat berpengaruh terhadap hasil panen dan produksi peternakan.
Kadang perubahan iklim dapat berdampak positif maupun negatif
terhadap produktifitas pangan. Produksi pangan tergantung pada
beberapa faktor kunci. Pertama, dampak langsung suhu, curah hujan,
CO2 level (misalnya berkaitan dengan dampak pemupukan karbon),
perubahan iklim yang ekstrim dan tidak menentu, serta naiknya
permukaan air laut. Adanya berbagai bencana alam diperkirakan akan
menurunkan produktifitas pangan. Selain itu kekeringan sebagai akibat
langsung dari perubahan iklim dapat berdampak tidak langsung pada
kesehatan penduduk.
Kekeringan berkepanjangan akan mengakibatkan kerawanan pangan dan
kasus keracunan makanan umumnya meningkat pada masa kemarau
panjang. Hal ini disebabkan karena penduduk memakan apa saja tanpa
memperhatikan kualitas pangan (Achmadi, 2008). Peningkatan suhu dan
variabel curah hujan mengurangi jumlah produksi tanaman pangan di
banyak daerah termiskin, sehingga meningkatkan resiko malnutrisi
(WHO, 2008). Penduduk yang hidup di lingkungan marginal akan lebih
rentan terimbas dampak perubahan lingkungan terkait dengan kerawanan
pangan dan kelaparan. Kelaparan dapat menyebabkan terjadinya
penyakit busung lapar hingga menyebabkan kematian. Diperkirakan
pada tahun 2080, jumlah orang yang kelaparan akan bertambah sekitar
80 juta jiwa (Parry et al., 2005)

2.1.4 Masalah Terorisme


Terorisme bukan istilah baru dalam dinamika hubungan antarnegara.
Revolusi Prancis merupakan titik awal sejarah terorisme. Revolusi Prancis
memunculkan teror negara yang berlangsung selama tahun 1793 dan 1794 (G.
Chaliand dan A. Blind, 2007). Namun, pada abad ke-19 terjadi perubahan yang
signifikan dalam perkembangan terorisme. Teror negara nyaris tidak pernah
terjadi, tetapi terorisme politik muncul pada tahun 1917. Sejak saat itu,
geopolitik dan geostrategi menjadi lahan persaingan utama dari setiap negara-
bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peperangan antara Kerajaan Austria

22
dan Ottoman. Selain itu, Perang Dunia I juga menjadi bagian dari perkembangan
terorisme. Perkembangan terorisme ini tidak hanya melibatkan politisi dan
militer, tetapi juga masyarakat sipil.Terorisme kontemporer muncul pada masa
Perang Dunia II. Setelah itu perkembangan terorisme terus berlangsung hingga
saat ini. Banyak gerakan kemerdekaan yang bergerak pada Perang Dunia II dan
beberapa diantaranya berkembang menjadi kelompok teroris pada tahun 1960.
Sebagian dari kelompok teroris itu masih bertahan hingga saat ini. Pergerakan
terorisme atas nama jihad sudah muncul sejak tahun 1968. Terorisme ini disebut
dengan radikalisme. Namun, isu terorisme dan radikalisme memuncak setelah
penyerangan Pentagon dan World Trade Center (WTC) pada tanggal 11
September 2001 (peristiwa 9/11) yang diklaim oleh al-Qaeda sebagai aksi
mereka.
Jika melihat pada perkembangannya, terorisme memunculkan dua
perspektif yang berbeda. Pada awal kemunculannya hingga tahun 1968,
terorisme digambarkan sebagai suatu gerakan yang mengancam keamanan
negara dan menimbulkan rasa takut kepada masyarakat. Namun, pasca-1968 dan
peristiwa 9/11, radikalisme dilihat sebagai terorisme, sehingga tidak ada
perbedaan antara keduanya. Apalagi jumlah kematian yang dicatat sebagai
akibat dari terorisme sebagian besar berada di negara-negara Islam seperti
Pakistan, Irak, Suriah, Nigeria dan Afghanistan. Jumlah kematian akibat
terorisme ini dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2. 5 Grafik Jumlah Kematian Akibat Terorisme pada Tahun 2000—2013


Sumber: Global Terrorism Index 2014, (Insitute for Economics and Peace),

Sementara itu, sebagai bagian dari interaksi internasional, Indonesia juga


memberikan perhatian yang besar terhadap isu terorisme. Indonesia juga
mempunyai persepsi yang sama dengan sebagian besar negara-negara di dunia,

23
yaitu radikalisme merupakan terorisme. Oleh karena itu, upaya utama yang
dilakukan Indonesia dalam pemberantasan gerakan terorisme adalah
deradikalisasi eks-teroris. Aksi terorisme berskala besar yang terjadi di
Indonesia memunculkan pertanyaan terkait efektivitas deradikalisasi eks-teroris.
Apalagi pergerakan sistem keamanan Indonesia tergolong lambat. Hukum yang
dibentuk untuk menanggulangi terorisme baru diterbitkan pada tanggal 18
Oktober 2002 atau tepatnya enam hari setelah Bom Bali I terjadi. Ironisnya,
hukum tersebut diubah menjadi undang-undang pada tahun 2003. Padahal dalam
pertemuan di Thailand pada awal tahun 2002, Federal Bureau of Investigation
(FBI) sudah melaporkan bahwa serangan teroris yang berikutnya ditujukan ke
objek yang lebih lemah atau softer target (B. Vaughn, et al., 2009). Hal ini
terbukti dengan catatan tindakan terorisme berskala besar, seperti yang
digambarkan pada Gambar 2.6

Gambar 2. 6 Catatan Tindakan Terorisme di Indonesia


Sumber: Diolah Penulis, 2021

Dalam upaya pemberantasan terorisme tersebut, pemerintah Indonesia


menjalin kerja sama internasional dengan pelbagai negara. Hal ini tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diubah
menjadi undang-undang melalui undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Namun, kerja sama yang dimaksud hanya dalam lingkup kepolisian dan
intelijen. Padahal Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga mempunyai tugas
dalam pemberantasan terorisme. Hal ini ditunjukkan dalam Buku Putih

24
Pertahanan Indonesia 2003 dan 2008. Dalam masyarakat Indonesia terdapat pola
pikir yang memisahkan antara keamanan (bidang yang diemban oleh polisi) dan
pertahanan (bidang yang diemban oleh TNI). Pola pikir ini memengaruhi
pembagian tugas antara dua aparat pemerintahan Indonesia yang sebelumnya
tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Selain itu,
masyarakat Indonesia juga mempunyai perspektif yang menyamakan
radikalisme dengan terorisme.
Berdasarkan hal tersebut, menjelaskan upaya penanganan terorisme pada
tahun 2002-2015 yang dilakukan oleh Indonesia. Di dalam artikel ini, terorisme
mempunyai ditinjau dari perspektif yang berbeda dengan radikalisme.
Sementara itu, analisis dilakukan dengan menggunakan teori sekuritisasi dan
konsep terorisme. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam artikel ini, yaitu
(1) pertahanan dan keamanan merupakan dua hal yang tidak dikotomis; (2)
terorisme dan radikalisme adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling berkaitan;
dan (3) gerakan teroris dan radikal merupakan ancaman yang berasal dari rakyat,
sehingga penanganannya membutuhkan partisipasi dari seluruh warga negara
Indonesia.
Penggunaan istilah ‘jihad’ kerapkali dikaitkan dengan terorisme, padahal
saat ini istilah itu digunakan untuk menjelaskan inti utama radikalisme. Secara
harfiah, terorisme dan radikalisme mempunyai definisi yang berbeda.
Radikalisme merupakan sebuah aliran atau paham yang sifatnya radikal. Aliran
ini yang menggunakan alasan jihad dalam tindakannya. Sementara itu, terorisme
merupakan tindakan yang berbentuk kekerasan dan menimbulkan rasa takut di
dalam masyarakat. Dengan kata lain, radikalisme merupakan paham yang
tertanam pada kelompok tertentu, sedangkan tindakannya yang menimbulkan
rasa takut di dalam masyarakat disebut sebagai terorisme.
Pada dasarnya teroris yang mempunyai paham radikal beralasan jihad
terhadap melawan ‘kafir’. Di dalam al-Quran, istilah jihad digunakan untuk
menggambarkan peperangan Muslim dengan kafir dalam masa penyebaran
Islam oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, istilah jihad tidak dimaknai seperti
pemahaman kelompok radikal. Kelompok radikal memaknai jihad sebagai suatu
tindakan pengusiran, pembunuhan, atau peperangan melawan pemeluk agama
lain, yang disebut sebagai kafir. Jihad yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Saw dan kaumnya dilakukan jika umat Muslim diperangi. Jika kaum kafir sudah
tidak memfitnah dan memusuhi umat Muslim, maka tidak diperkenankan adanya
peperangan, kecuali terhadap orang yang zalim. Hal ini sebagaimana yang
tertulis dalam Q.S. al-Hajj: 22 dan Q.S. al-Baqarah: 190.

25
Artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (Q.S. al-Hajj: 22)

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,


(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. al-Baqarah: 190)

Pada peristiwa 9/11, sekelompok orang yang disebut sebagai teroris oleh
George W. Bush tidak dapat diindikasi motif dan hubungan Amerika Serikat
dengan kelompok tesebut. Walaupun al-Qaeda mengklaim bahwa mereka
bertanggung jawab atas Peristiwa 9/11, motif utama penyerangannya tidak
pernah dipublikasikan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam Bom Bali I
dan II. Pelaku bom menyatakan bahwa itu adalah bagian dari jihad. Dengan
demikian, pelaku Bom Bali I dan II dapat disebut sebagai anggota kelompok
radikal yang melakukan tindakan terorisme.
Saat isu terorisme bergulir dan menjadi perhatian utama negara-negara
di dunia, pakar-pakar hubungan internasional mulai mendefinisikannya. Dalam
Factsheet No. 32, terorisme dipahami sebagai tindakan kekerasan terhadap sipil
dengan tujuan politik dan ideologi. Dalam Resolusi 1566 Tahun 2004, Dewan
Keamanan UN mendefinisikan terorisme sebagai berikut.
...criminal acts, including against civilians, committed with the
intent to cause death or serious bodily injury, or taking of hostages, with
the purpose to provoke a state of terror in the general public or in a
groupof persons or particular persons, intimidate a population or compel
a Government or an international organization to do or to abstain from
doing any act.

Sementara itu, Majelis Umum bekerja dengan berpegang pada definisi


terorisme menyebabkan tiga hal, yaitu (a) kematian atau luka tubuh yang serius
pada siapapun; (b) kerusakan serius pada sarana umum atau privat, fasilitas
pemerintah, sistem transportasi publik, infrastruktur, atau lingkungan; dan/atau
(c) kerusakan properti, tempat, fasilitas, atau sistem yang menghasilkan
penurunan ekonomi. Dengan demikian, terorisme tidak hanya dilakukan oleh

26
aktor non-negara, tetapi juga negara. Peperangan tanpa didahului dengan
pernyataan perang merupakan bagian dari terorisme. Namun, saat ini perhatian
dunia terfokus pada terorisme yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara yang
bergerak secara sporadis di pelbagai negara.
Sebagai upaya penanggulangan terorisme, UN mengeluarkan tiga
resolusi, yaitu 1368, 1373, dan 1377. Dalam tiga resolusi ini dijelaskan bahwa
suatu negara dapat melakukan self-defense. Terorisme merupakan ancaman
terhadap keamanan dan perdamaian internasional, dan setiap teroris harus
mempertanggungjawabkan tindakannya (Akashi, 1995). Namun, setiap negara
diharapkan melaksanakan resolusi 1373 yang berisi kewajiban pembekuan dana
dan aset finansial dari terorisme. Adapun upaya lain yang harus dilakukan
negara-negara di dunia dalam mengatasi terorisme, antara lain: (a) mengubah
pengamanan di perbatasan; (b) penekanan terhadap proses rekrutmen teroris; (c)
intensifikasi sistem information sharing; dan (d) penegakan hukum kerja sama
antarnegara. Sebagai tindakan nyata, UN juga membentuk Counter Terrorism
Committee (CTC). Selain itu, setiap negara juga harus membuat laporan tentang
tujuh wilayah kritis, yaitu legislasi, pengawasan aset keuangan, adat atau
kebiasaan, imigrasi, ekstradisi, penegakan hukum, dan perdagangan senjata
(Akashi, 1995).
UN juga membentuk strategi penanganan terorisme. Strategi tersebut
melibatkan lembaga regional dan subregional. Strategi ini terdiri dari empat
pilar. Berikut ini adalah keempat pilar strategi penanganan terorisme dan
elemen-elemennya.
a. Measures to address the conditions conducive to the spread of
terrorism. Pilar ini terdiri dari empat elemen, yaitu pencegahan dan
penyelesaian konflik; dukungan terhadap korban terorisme; dialog,
pemahaman, dan pembahasan terkait seruan terhadap terorisme;
dan inklusi perkembangan dan sosial.
b. Measures to prevent and combat terrorism. Adapun elemen-
elemen dari pilar ini, antara lain peningkatan instrumen legal dan
internasional; pencegahan dan tanggapan terhadap serangan
senjata penghancur (weapons of mass destruction/WMD) dan
peniadaan pedagangan gelap; penanganan massalah pendanaan
terorisme; dan peningkatan keamanan transportasi.
c. Measures to build state capacity to prevent and combat terrorism
and to strengthen the role of the UN system in this regard.
Pembangunan kapasitas negara ini dilakukan UN melalui lembaga-
lembaga yang bernaung di bawahnya dengan berpegang pada
elemen-elemen dari pilar ini. Adapun elemen-elemen tersebut,

27
antara lain: bantuan hukum; pembangunan kapasitas untuk
mencegah proliferasi dan menanggapi penggunaan WMD; bantuan
keamanan transportasi dan pengawasan perbatasan; pengamanan
target yang rentan dan merangkul sektor privat; serta peningkatan
information sharing dalam pelaksanaan Counter-terrorism
Implementation Task Force dan sumber-sumber lainnya.
d. Measures to ensure respect for human rights for all and the rule of
law as the fundamental basis of the fight against terrorism.

2.2 Lingkungan Strategis Regional


Menteri Pertahananan Prabowo Subianto mengungkapkan dinamika
perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional,
dewasa ini telah mengisyaratkan tantangan yang besar dan kompleks bagi
pertahanan negara, khususnya dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah.
Tantangan tersebut, kemudian berevolusi menjadi ancaman strategis terhadap
kedaulatan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
keselamatan bangsa dan akan semakin berkembang menjadi bersifat
multidimensional, fisik dan nonfisik, serta berasal dari luar dan dari dalam
negeri. Sebagaimana sering saya sampaikan dalam berbagai forum bahwa
fenomena potensi ancaman terhadap NKRI terbagi menjadi dimensi ancaman
utama, yang pertama adalah ancaman belum nyata, yaitu ancaman perang
terbuka antar negara.
Perkembangan politik internasional dan regional mengalami perubahan
yang besar sebagai dampak dari berakhirnya Perang Dingin. Beberapa konflik
yang belum terselesaikan di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara seperti
konflik Laut China Selatan juga mempengaruhi kedinamikaan kawasan Asia
Pasifik khususnya Asia Tenggara. Jatuhnya USSR, bangkitnya negara‐negara
seperti Cina, India, Jepang dan reorientasi kebijakan luar negeri AS karena
defisit anggaran menyebabkan AS, meskipun menjadi superpower pada saat itu,
secara bertahap harus mengurangi basis militernya di kawasan Asia Tenggara
(Philiphina), dan melahirkan persepsi tentang kekosongan kekuatan atau “power
vacuum”. Dampaknya ialah ketakutan di antara negara‐negara ASEAN terhadap
Cina yang bangkit sebagai negara yang kuat dari aspek militer dan ekonomi, dan
dilihat akan mengambil keuntungan dari “power vacuum” tersebut.
Bersamaan hal tersebut, tentunya menimbulkan ancaman terhadap
keamanan kawasan Asia Tenggara. ASEAN adalah organisasi regional yang
berada pada kawasan Asia Tenggara. ASEAN yang lahir pada 8 Agustus 1967,
lewat KTT I di Bali tahun 1976 melahirkan suatu Declaration of ASEAN
Concord (dikenal sebagai Bali Concord I) yang sepakat untuk bekerja sama di

28
bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan. Tetapi pada
perkembangannya, lingkup kerjasama yang menjadi fokus ASEAN lebih pada
hubungan ekonomi dan sosial budaya, sedangkan masalah keamanan terkesan
dikesampingkan. Barulah setelah terjadi banyak peristiwa yang berpotensi
mengganggu stabilitas keamanan, dibentuklah suatu rezim keamanan secara
khusus untuk melindungi kawasan ASEAN dari berbagai ancaman, seperti
dibentuknya ASC setelah terjadinya banyak aksi peledakan bom dikawasan Asia
Tenggara. Dan ARF yang merupakan upaya multirateralisasi ASEAN untuk
melindungi keamanan kawasannya bersama-sama dengan negara-negara Asia
Pasifik.
Sementara setelah usainya Perang Dingin, yang ditandai dengan jatuhnya
Uni Sovyet, politik internasional diwarnai oleh sebuah perubahan yang
kemudian mewarnai peta kekuatan regional di masa berikutnya: munculnya Uni
Eropa (UE). Sejak Perjanjian Maastricht ditandatangani pada tahun 1992,
negara-negara di Eropa secara bertahap mulai mentransformasikan kerjasama
mereka dalam satu format regionalisme yang lebih kompleks, dalam payung
besar “Uni Eropa”. Kerjasama tersebut semakin kompleks ketika pada tahun
1999, negara-negara anggota Uni Eropa menyepakati Common Foreign and
Security Policy (CFSP) melalui Perjanjian Amsterdam dan satu mata uang
bersama yang bersifat tunggal, yaitu Euro.
Transformasi di Eropa ini, pada perkembangannya melahirkan
perdebatan baru soal ‘kekuatan’ Uni Eropa dalam politik global. Ian Manners,
seorang ahli regionalisme Eropa, menilai bahwa Uni Eropa punya ‘kekuatan
normatif’ yang didasarkan pada distribusi norma-norma pembentukan Uni Eropa
(yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian pembentukan UE) kepada dunia
internasional (Manners, 2002). Manners berargumen, kekuatan yang dibangun
oleh Uni Eropa bergantung pada “norma” yang melekat pada dirinya dan
diperjuangkan melalui interaksinya dengan entitas-entitas lain (Manners, 2002).
Salah satu upaya Uni Eropa dalam membangun norma di kancah politik global
tersebut termanifestasi dalam keterlibatannya di wilayah pembangunan
internasional. Uni Eropa terlibat dalam asistensi proses-proses demokratisasi,
penanaman norma “Good Governance”, serta promosi Hak Asasi Manusia di
negara-negara dunia ketiga yang baru saja mengalami proses demokratisasi, tak
terkecuali Indonesia.

2.2.1 Regional Asia


Setiap negara anggota ASEAN memiliki persepsi ancaman yang berbeda
mengenai isu terorisme. Persepsi ini ada yang berkaitan dengan tragedi 9/11 ada
juga yang tidak. Indonesia misalnya, memandang gerakan-gerakan yang

29
merongrong kemerdekaan dianggap sebagai isu terorisme karena pemerintah
Indonesia harus menghadapi serangan gerilyawan yang memiliki jaringan
gerakan yang tertata rapi. Pasca tragedi 9/11, Indonesia mengalami serangkaian
bom yang disinyalir memiliki keterkaitan langsung dengan jaringan teroris
global yang berada di Afghanistan.
Pesepsi ancaman teorisme di Vietnam lebih mengarah pada terorisme
maritim serta gerakan separatisme di Thailand Selatan. Di Malaysia, jaringan
kelompok Komunis pra 9/11 dan Jamaah Islamiyah pasca 9/11 dipandang
sebagai teroris yang merongrong keamanan nasional Malaysia terlebih dengan
berlangsungnya peristiwa pembajakan pesawat Malaysia Airlines 653 (pada
1977) dan keterlibatan beberapa warga negara Malaysia yang menjadi pentolan
aksi-aksi teror di Indonesia.
Tiga peristiwa pemboman yang berlangsung di Myanmar (Ranggon,
1983; Yangon, 2005 dan 2010) mempersepsi pemerintahan Myanmar akan
eksistensi teroris di negaranya. Agen Korea Utara, United Liberations Front of
Assam dan United National Liberation Front disinyalir sebagai jaringan aktor-
aktor teroris di Myanmar. Meski tergolong aman, pemerintah Singapura tetap
waspada dengan ancaman teroris. Terlebih, pada tahun 1965, Singapura pernah
mengalami pemboman di McDonald dan pembajakan pesawat Singapore
Airlines pada tahun 1991. Pasca tragedi 9/11, pemerintah Singapura aktif dalam
serangkaian kerjasama dalam memberantas terorisme, khususnya dalam
menghadap gerakan jaringan Jamaah Islamiyah dan Moro Islamic Liberation
Front.
Filipina mengalami serangkaian serangan teroris, seperti pemberontakan
Moro National Liberation Front (2001), pembunuhan wisatawan asing di
Filipina Selatan (2001), serangan di Manila (2002), pengeboman pangkalan
militer Filipina di Zamoanga (2002), pengeboman Bandara di Davao City (2003)
serta penembakan kapal Ferry (2004). Aksi-aksi teror ini disinyalir dilakukan
oleh New People’s Army (NPA), Jamaah Islamiyah, Moro National Liberation
Front (2001), Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group
(ASG).
Ancaman teroris bagi pemerintah Kamboja berasal dari sisa-sisa
simpatisan Khmer Merah dan Cambodian Freedom Fighters (CFF). Jaringan
gerakan ini pernah melakukan pelemparan granat dan serangan terhadap
instalasi pemerintahan Kamboja di Amerika Serikat pada tahun 2000. Bagi
Negara Brunei Darussalam, meski tidak terjadi serangan-serangan teroris,
namun negara ini sangat aktif melakukan kerjasama menyangkut isu terorisme.
Sementara negara Laos dan Vietnam tergolong sebagai negara yang aman dari
isu terorisme.

30
Guna menghadapi serangkaian isu terorisme, negara-negara anggota
ASEAN telah melakukan berbagai upaya kontraterorisme yang didukung
dengan eksistensi serangkaian kebijakan formal. Artikel ini bertujuan untuk
menelaah upaya-upaya membangun keamanan regional di bawah ASEAN dalam
rangka menanggulangi ancaman terorisme di kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun 2002, lahir Instruksi Presiden No.5 tahun 2002 yang
ditujukan kepada Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) untuk penanganan
terorisme di Indonesia. Kebijakan ini diperkuat dengan Undang-undang No. 15
tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bekerjasama dengan pemerintah Amerika Serikat, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia mendirikan Terrorisme and Transnational Crime Task Force
(TTCTF). Beberapa institusi resmi dibangun untuk kontraterorisme, seperti
Detasemen C Gegana Brimob, Densus 88 (Polri), Desk Anti Terror, BNPT, TNI
(Dengultor, AD, AU, Marinir AL) ditambah Babinsa, dan BIN.
Pemerintah Thailand memiliki Supreme Command of the Royal Thai
Armed Forces yang bergerak pada tataran operasional kontra-terorisme.
Terdapat juga institusi lain, seperti Counter Terrorism Program oleh Royal Thai
Navy, the National Security Council (NSC) yang dipelopori oleh Kementerian
Luar Negeri Thailand, Thailand Maritime Enforcement Coordination Center
(THAI-MECC), Marial Law against insurgency di daerah Thailand Selatan
(Darurat militer dan jam malam di daerah Pattani, Yala dan Narathiwat tahun
2004) serta perluasan penanganan kontra terorisme di sektor finansial, TNC dan
Narkoba.
Dalam penanggulangan teroris, pemerintah Malaysia melibatkan semua
level masyarakat termasuk militer, polisi, keamanan perbatasan, pertahanan
sipil, medis dan persiapan psikologis. Pemerintah Malaysia memiliki
serangkaian kebijakan berkaitan dengan terorisme, seperti Internal Security Act
(ISA), Penal Code, dan Rejimen Gerak Khas di bawah pelatihan British 22nd
SAS. Pemerintah Myanmar meratifikasi ASEAN Convention on Counter
Terrorism pada 2012 dan melegislasi kebijakan strategic anti-money laundering
and countering the financing of terrorism (AML/CFT) deficiencies pada 2011.
Sementara pada tataran hukum nasioanl, kebijakan atau undang-undang
mengenai kontraterorisme masih sebatas pada Criminal Justice Sistem (Undang-
undang subversif).
Dalam menghadapi ancaman terorisme, Singapura memiliki seperangkat
kebijakan, seperti Internal Security Act, Singapore Armed Forces Act,
membentuk pasukan khusus Air Marshal Unit, Police MRT Unit, Singapore
Special Operations Force, Special Operations Command, Chemical, Biological,

31
Radiological and Explosive Defence Group, Undang-undang anti-money
laundering/counter terrorist financing regimes, melakukan pelatihan militer
dengan China dan Amerika Serikat, serta melakukan deradikalisasi muslim
klerik dengan pemberdayaan potensi-potensi umat muslim.
Beberapa kebijakan yang digulirkan pemerintah Filipina dalam
menghadapi terorisme, diantaranya National Plan to Address Terrorism and its
Consequences (2002), Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM),
Operation Freedom Eagle 2002 berupa pengerahan personil militer AS di
Filipina Selatan, Sokongan dana $92 juta untuk bantuan militer di Mindanao
pada 2001, Unit anti-terror campuran antara Armed Forces of Phillipines dan
Phillipines National Police, serta pembentukan Special Force Regiment untuk
menangani terorisme.
Pemerintah Kamboja melakukan kerjasama dengan PBB dengan
mendukung Resolusi DK PBB no 1368 dan 1373 tentang perang terhadap
terorisme internasional. Membentuk Royal Cambodian Army Forces (RCAF)
yang bekerjasama dengan militer AS berupa sharing informasi dan intelijen,
pengawasan transaksi keuangan, akses terhadap penggunaan pesawat AS.
Membentuk Royal Cambodian Armed Forces’ 911 yang terdiri dari para
komandan Battalion. Pemerintah Kamboja meratifikasi 4 konvensi internasional
untuk memerangi terorisme dan meresmikan pendirian Sekretariat Cambodian
National Counter Terrorism Committee (NCTC).
Pemerintah Brunei Darussalam mengeluarkan serangkaian kebijakan
terkait dengan terorisme, seperti: Financing Terrorist Acts, Prevention
Supression of Terrorist Acts, National Security, Travel and Border Safety,
Generating Awareness, Cooperation on Information Exchange, dan Biological
Attack. Sementara pemerintahan Vietnam masih mengandalkan Amandemen
Penal Code tahun 2009 guna memberantas terorisme serta penekanan pada
criminal justice response untuk memerangi ancaman terorisme.
Beberapa peristiwa teror yang berlangsung di negara-negara anggota
ASEAN menunjukkan bahwa ASEAN menghadapi complex security sebagai
tantangan untuk mencapai keamanan regional. Complex Security ini muncul dari
pengalaman yang berbeda dengan kelompok teroris yang melahirkan pendekatan
kontra terorisme yang berbeda pula. Tantangan ini sebetulnya merupakan hal
yang lumrah bagi organisasi-organisasi regional di dunia. Untuk membangun
sebuah konsensus apalagi komunitas politik keamanan ASEAN bukanlah sejenis
pakta pertahanan layaknya NATO, ASEAN harus mampu mengakomodir
persepsi ancaman masing-masing negara anggotanya yang berbeda-beda
khususnya dalam menghadapi terorisme.

32
Meskipun demikian, dalam kasus terorisme faktor security complex
relatif tidak terlalu signifikan karena sejak proses pembuatan ASEAN Joint
Declaration on Counter Terrorism tahun 2001 tidak ada suara resisten dari
negara-negara anggota ASEAN. Bahkan ketika kehadiran AS sebagai overlay
sangat terasa terutama pada saat AS membantu di tingkat operasi strategis seperti
penyediaan logistic dan persenjataan Densus 88 dan Polri di Indonesia serta
militer Singapura pun tidak ada nota protes yang disampaikan oleh salah satu
negara anggota ASEAN. Sebagai institusi, ASEAN pun tidak pernah keberatan
akan kehadiran kekuatan strategi AS untuk penanggulangan terorisme di Asia
Tenggara. Hal yang sama pun berlaku kepada masing-masing negara anggota
ASEAN sebagai negara yang berdaulat. Kebijakan kontra terorisme di negara-
negara ASEAN didasarkan kepada persepsi ancaman masing-masing negara
terhadap ancaman terorisme di negaranya yang semakin meningkat. Hal ini
terlihat dari tabel pemetaan kebijakan kontra terorisme negaranegara ASEAN di
atas di mana dalam tataran operasional-strategis tidak ada pendekatan dan
tindakan kontra terorisme yang seragam.

2.2.2 Regional Eropa


Menurut Joshep Nye, regionalisme merupakan kumpulan sejumlah
negara tertentu yang tergabung dalam hubungan geografis dan dalam level
interdependensi tertentu (Hurrell, 1995). Di sisi lain, regionalisme merupakan
sebuah unit kerja sama kawasan atau suatu wilayah tertentu. Di mana, kerja sama
regional berkaitan erat dengan kerja sama yang berbasis pada kawasan untuk
mencapai puncak, yakni integrasi dan dalam hal ini yaitu integrasi kawasan
Eropa dalam wadah Uni Eropa. Akar integrasi Eropa ditelusuri kembali pada
kombinasi faktor - faktor spesifik dan tatanan politik internasional, distribusi
kekuasaan antar negara di kawasan Eropa, dan politik dalam negeri dengan
kondisi di Perancis dan Jerman yang berlaku di Eropa barat pada awal tahun
1950an (Fort & Webber, 2005). Perubahan integrasi Eropa barat pada
pertengahan tahun 1980an adalah hasil dari sebuah aliansi antara perusahan
transnasional Eropa yang diwakili oleh perkumpulan industrialis dan komisi
Eropa.
Dengan demikian, regionalisme dapat berkembang dari sebuah bentuk
kesadaran atau komunitas (soft regionalism) kemudian mengarah pada
konsolidasi kelompok dan jaringan untuk menjadi sebuah grup yang lebih formal
antar negara (hard regionalism). Di sisi lain, regionalisme mengandung arti
policy dan project dengan jelas dapat menjalankan aktivitas pada level negara.
Bermula setelah perang dunia kedua, muncul keinginan masyarakat Eropa untuk
mengembalikan perekonomian dan menyatukan negara-negara di Eropa pasca

33
perang di kawasan tersebut, sehingga pada tanggal 18 April 1951 tebentuklah
“European Coal and Steel Community (ECSC) yang didirikan oleh enam negara
pemakrasa, enam negara tersebut diantaranya Belgia, Prancis, Italia,
Luxemburg, Belanda dan Jerman melalui penandatanganan perjanjian Treaty of
Paris pada April 1951. Hingga pada tanggal 25 Maret 1957 nama tersebut diubah
dengan European Economic Community (EEC) dengan harapan terciptanya
pasar bersama. Common market (pasar bersama) adalah tahap integrasi suatu
wilayah atau negara-negara dimana pergerakan barang dagang, jasa, modal dan
penduduk dibebaskan secara bertahap sampai tidak ada lagi hambatan, dan
sekarang dikenal dengan nama Uni Eropa. Uni Eropa merupakan organisasi
antar-pemerintahan dan supra-nasional yang beranggotakan negara-negara
Eropa. Sejak tanggal 1 Juli 2013 telah memiliki 28 negara anggota. Perjanjian
Maastricht pada tahun 1992 merupakan tonggak awal didirikannya nama Uni
Eropa.
Dalam hal ini, Inggris memiliki keputusan nasional untuk tidak
menandatangani perjanjian “The Maastrict” yang mengharuskan negara-negara
yang tergabung dalam Uni Eropa untuk menggunakan mata uang Euro. Pada
tahun 1991, Inggris mengajukan klausal-klausal yang mengemukakan bahwa
Inggris akan terus menggunakan mata uangnya sendiri yakni Poundsterling, hal
ini dilakukan Inggris karena Inggris memiliki motif politik lain yakni, Inggris
menginginkan dirinya untuk menjadi penyeimbang negara-negara di Eropa, hal
ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa mata uang Inggris pada dasarnya
telah stabil di dunia internasional. Selain itu, Inggris juga tidak mau
menandatangani perjanjian Schengen. Pejanjian Schengen merupakan perjanjian
yang dibuat oleh sejumlah negara Eropa untuk menghapuskan pengawasan
perbatasan di antara mereka.
Di awal pembentukan Uni Eropa, Inggris menolak untuk bergabung
dengan Uni Eropa. Inggris lebih tertarik untuk menjalankan hubungan bilateral
dengan sejumlah mantan koloninya yaitu Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia. Pada tahun 1960an pandangan Inggris mulai berubah, saat itu Inggris
mulai menyadari pentingnya menjalani kerjasama yang erat dengan negara-
negara tetangganya di Eropa. Hingga pada akhirnya di tahun 1973, Inggris resmi
mejadi anggota dalam Uni Eropa meskipun ada beberapa permasalahan tertentu
yang terjadi di dalam domestik Inggris sendiri.
Dengan tergabungnya Inggris ke dalam Uni Eropa, telah membawa
keuntungan bagi Inggris antara lain mendapatkan kemudahan akses ekpor dan
impor, serta pengurangan hambatan tarif bagi sistem perdagangan di kawasan
Eropa khususnya bagian barat. Seiring dengan keanggotan Inggris yang
memperlihatkan perbedaan kentara dengan negara anggota Uni Eropa yang lain,

34
maka ini memicu evaluasi dan opini publik terkait nasib Inggris di Uni Eropa.
Opini tersebut mendorong terjadinya referendum (proses pemungutan suara
sebuah keputusan) pada tanggal 23 Juni 2016.
Referendum ini adalah inisiasi dari David Cameron, pemimpin Partai
Konservatif, yang menjanjikan dilaksanakannya sebuah jajak pendapat segera
setelah ia terpilih pada pemilu 2015 lalu. Cameron menjanjikan referendum ini
untuk menenangkan kegaduhan di dalam partainya, dimana terbentuk dua faksi
dalam Partai Konservatif yang ingin meninggalkan UE dan yang ingin tetap di
UE. Krisis kapitalisme telah memecah kelas borjuasi Inggris secara garis besar
menjadi dua kubu, antara yang percaya bahwa mereka bisa menyelesaikan krisis
dengan keluar dari UE, dan yang percaya bahwa jalan terbaik adalah tetap di
dalam UE Brexit akan memberikan dampak baru pada hubungan Uni Eropa dan
Inggris, dan akan berpengaruh terhadap posisi keduanya di dunia. Uni Eropa
sedang memasuki krisis yang paling serius di dalam sejarahnya. Ini membuat
banyak orang mempertanyakan keberadaannya di masa depan.
Referendum pertama kali dikampanyekan oleh partai anti Uni Eropa
yaitu United Kingdom Independence Party sejak kemunculan pertama partai
tersebut. Setelah Partai Konservatif memenangkan suara mayoritas pada General
Election Mei 2015, Perdana Menteri David Cameroon telah melakukan beberapa
negosiasi dengan Uni Eropa sebelum akhirnya memutuskan untuk mengadakan
referendum sebelum akhir tahun 2017 dengan desakan yang mayoritas terus
datang dari politisi Partai UKIP (United Kingdom Independence Party).
Referendum Brexit kedua kali ini dilaksanakan pada 23 Juni 2016.
Dengan pertanyaan “Apakah Inggris harus melanjutkan keanggotaannya di Uni
Eropa atau tidak“. Referendum diikuti oleh 71,8 % pemilih yang terdiri dari
warga negara Inggris yang berumur18 tahun keatas termasuk orang yang
berkewarganegaraan Inggris yang terdapat di Ireland dan Commonwealth, yang
terdiri dari 53 negara termasuk Australia, Canada, India dan Afrika Selatan.
Anggota dari House of Lords juga ikut memilih.
Referendum sendiri merupakan proses jajak pendapat (pemungutan
suara) yang dilaksanakan untuk mengambil suatu keputusan terutama keputusan
politik yang mempengaruhi suatu negara secara keseluruhan. Sehingga hasil dari
referendum tersebut menjadi suatu bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan selanjutnya oleh suatu negara. Menurut data dari Electoral
Commission of EU Referendum, sebanyak 48,1% (16,141,241) suara menjawab
“tetap di Uni Eropa” untuk tetap menginginkan Inggris di Uni Eropa sedangkan
51,9% (17,410,742) menjawab “keluar dari Uni Eropa” untuk mendukung
Inggris keluar dari Uni Eropa.

35
Hasil referendum adalah Inggris akan keluar dari Uni Eropa. Hasil voting
referedum bervariasi di setiap wilayah United Kingdom. Pada wilayah pusat
kota besar seperti London, Scotland dan Northern Ireland dimenangkan oleh
Remain. Sisanya dimenangkan oleh kubu Leave. Dapat dilihat jika masyarakat
di kota-kota besar cenderung menyetujui adanya integrasi dan keuntungan
ekonomi dari Uni Eropa. Sedangkan masyarakat di kota-kota kecil cenderung
kontra terhadap Uni Eropa.
Hubungan Inggris dan Uni Eropa tidak selamanya mulus dan bahkan
sering terjadi ketimpangan antara dua kebijakan yang berbeda, seperti dalam
European Monetary Union (EMU) yang merupakan kebijakan ekonomi bersama
dan aturan bagi negara anggota untuk menggunakan mata uang tunggal (Euro)
yang dipakai oleh seluruh negara anggota. Saat ini EMU merupakan suatu hal
yang legal yang paling di kenal dan signifikan di Eropa barat (Hancock, 2009)
European Monetary Union merupakan bagian dari European Economic
and Monetary Union yang diluncurkan pada tahun 1992. Ada 2 motif utama
dalam menuju EMU, yaitu ekonomi dan politik. Kasus ekonomi berdasarkan
pada logika yang sama untuk membangun pasar bersama integrasi ekonomi
merupakan elemen yang sangat diminati karena dengan ini, dianggap bahwa
penggunaan sumber daya yang merupakan faktor produksi akan lebih efisien
ketika dialokasikan ke pasar dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Sedangkan
atas dasar politik, argumen untuk mengintensifkan integrasi ekonomi adalah
dengan memperkuat hubungan ekonomi nasional yang akan menumbuhkan
interaksi dan kerjasama yang lebih besar antar pemerintah nasional (Kruse,
1980)
Dalam konteks ini, beberapa negara anggota Uni Eropa telah menempuh
integrasi lebih lanjut dengan mengadopsi Euro sebagai mata uang negara
tersebut kecuali Inggris dan Denmark. Inggris telah memilih keluar dari
pengadopsian Euro sejak awal dengan memilih “option out”. Peristiwa Brexit
telah membawa hal yang signifikan bagi dunia dan khususnya Uni Eropa juga
Inggris. Skala dari negara – negara Eropa Barat dalam ekonomi global dianggap
terlalu kecil untuk mengejar tujuan stabilisasi keuangan otonom atau
makroekonomi dengan pengecualian dari Inggris. setiap negara harus
mentransfer kebijakan moneternya pada Bank Sentral Eropa dan tunduk pada
peraturan kerangka kerja. Kerangka tersebut membatasi pilihan fiskal dan
anggaran, yaitu kriteria Maastricht dan ketentuan yang muncul dari pertumbuhan
dan stabilitas pakta yang diperebutkan. Meski Inggris tidak berpartisipasi dalam
mata uang bersama, pola perdagangan mereka saat ini menjamin sebuah
pemantauan ketat terhadap kebijakan fiscal negara anggota Euro dan strategi
moneter bank sentral Eropa (Swenden, 2006)

36
2.2.3 Regional Amerika
Amerika Selatan mempunyai sejarah penindasan yang panjang di bawah
represi dominasi Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan gelombang berdarah
terhadap invasi, perang, kudeta, diktator, kemiskinan dan korupsi yang tidak
melampaui sejarah dunia. Pada tahun 1971, ketika mempertimbangkan
pentingnya menegakkan demokrasi pada masa pemerintahan Allende di Chili,
Dewan Keamanan Nasional Nixon menyimpulkan bahwa: jika Amerika Serikat
tidak mampu mengendalikan Amerika Selatan, maka jangan berharap untuk
mencapai tatanan yang sukses di belahan dunia lain.
Sejak saat itu, Amerika Serikat berperan aktif dalam perpolitikan dan
meletakkan panji liberalisme di negara-negara Amerika Selatan. Namun, negara-
negara Amerika Selatan mengalami kekecewaan yang mendalam terhadap
demokrasi dan liberalisasi ekonomi. Venezuela merupakan salah satu negara
yang kecewa terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Amerika
Selatan. Amerika Serikat dan Venezuela merupakan dua negara yang selalu
diwarnai ketegangan paska terpilihnya Presiden Venezuela, Hugo Chavez.
Chavez yang menganut paham sosialisme, telah berhasil menjalankan berbagai
kebijakan populis yang bertujuan untuk membangun kaum miskin. Hugo Chavez
dan ide “Revolusi Bolivarian”-nya telah menjadi inspirasi bagi kekuatan-
kekuatan kiri di Amerika Selatan. Gerakan sosilais baru di Amerika Selatan
dapat dikatakan semakin menguat dengan terpilihnya tokoh-tokoh sosialis lain
sebagai presiden, diantaranya Lula da Silva (Brazil; 2001), Nestor Krichner
(Argentina; 2003), Martin Torrijos (Panama; 2004); Tabare Vazquez (Uruguay;
2005), Evo Morales (Bolivia; 2006), Daniel Ortega (Nikaragua; 2006), Michelle
Bachelet (Chile; 2006), dan Rafael Correa (Ekuador; 2007).
Keberhasilan Hugo Chavez dalam menjalankan pemerintahan sosialis di
Venezuela, baik di dalam maupun di luar negeri. Reformasi ekonomi dan politik
yang dilakukan oleh Chavez dan usaha pemerintah negara tersebut untuk
mengentaskan kemiskinan serta mengurangi campur tangan asing dalam
perekonomian. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat karena
akan berpengaruh terhadap kepentingan nasionalnya di Venezuela. Berbagai
upaya dilakukan oleh Amerika Serikat dalam menggulingkan Chavez,
diantaranya dengan membantu gerakan kudeta yang dilakukan oleh kelompok
anti-Chavez (oposisi). Namun, Chavez berhasil lolos dari kudeta tersebut dan
menuduh Amerika Serikat berusaha menggulingkannya dan mendukung usaha-
usaha oposisi untuk memaksakan pemisahan diri negara bagian Zulia di barat
lokasi tempat cadangan minyak negara tersebut. Hal ini tentu saja menjadi
publikasi buruk bagi Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan di
Venezuela. Karena Venezeula merupakan salah satu penghasil minyak dan gas

37
terbesar di dunia. Amerika Serikat mempunyai kepentingan strategi dalam
mempertahankan kendali atas negara-negara penghasil minyak dan gas.
Hubungan kedua negara semakin memburuk, ketika pada tanggal 14
Agustus 2009, pemerintah Kolombia dan Amerika Serikat melakukan
kesepakatan kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA),
kerjasama tersebut bertujuan untuk memberantas narkotika, perdagangan senjata
ilegal dan gerakan separatis di Kolombia. Dalam kesepakatan militer tersebut
pemerintah Kolombia mengizinkan militer Amerika Serikat menempati tiga
markas militer angkatan udara di Kolombia, diantaranya Palanquero (pusat),
Apiay (utara), dan Malambo (selatan). Dalam perjanjian tersebut juga
mengizinkan menempati dua markas angkatan laut dan dua instalansi militer
serta fasilitas militer Kolombia lainnya jika ada saling kesepakatan. Selain itu
akan menempatkan 800 personel tentara dan 600 kontraktor sipil Amerika
Serikat di Kolombia. Kerjasama militer antara Amerika Serikat dan Kolombia
terjadi setelah Amerika Serikat dipaksa keluar dari markas militer di Manta,
Ekuador, setelah pemerintahan Rafael Correa menolak memperbarui perjanjian
militer di antara kedua negara.
Kerjasama militer antara Kolombia dan Amerika Serikat menimbulkan
kekhawatiran bagi sebagian negara-negara di kawasan Amerika Selatan,
terutama negara-negara yang anti terhadap kebijakan Amerika Serikat, yaitu
Argentina, Chile, Ekuador, Venezuela, Bolivia, Brazil, Nicaragua, Paraguay dan
Uruguay. Karena kehadiran militer Amerika Serikat menimbulkan ancaman
terhadap kedaulatan nasional negara-negara tersebut. Lentner menjelaskan
bahwa yang dapat dilakukan oleh sebuah negara untuk menangkal ancaman
dengan membuat kebijakan keamanan nasional yang difokuskan kepada negara
itu sendiri, sebagai upaya untuk meredam kepentingan nasional dalam negeri,
sekaligus dengan tidak melupakan kebijakan luar negeri untuk mengurangi
ancaman dari luar.
Reaksi pun bermunculan di antara negara-negara Amerika Selatan.
Negara-negara yang anti Amerika Serikat, seperti Argentina, Brazil, Bolivia,
Ekuador, Chile, Nicaragua dan Paraguay, tidak meningkatkan kekuatan militer
dalam merespon kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia. Negara-negara
tersebut mengecam kebijakan Kolombia yang menyewakan pangkalan militer
kepada Amerika Serikat dan mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan
adanya ’pasukan militer asing’ yang mengancam kedaulatan nasional mereka.
Para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara
Amerika Selatan (Union of South American Nation/UNASUR) mengadakan
KTT guna membahas mengenai kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia,
dalam pertemuan tersebut mendeklarasikan bahwa pasukan militer asing

38
seharusnya tidak menjadi ancaman kedaulatan dan integritas negara di kawasan
Amerika Selatan, dan berdampak bagi stabilitas dan perdamaian regional. Dalam
deklarasi tersebut adanya permintaan dari Brazil, Chile dan Argentina bahwa
pernyataan menjamin aset-aset militer dan personil Amerika Serikat di
Kolombia tidak digunakan untuk keperluan lain selain misi yang mereka
tetapkan, yakni memerangi para penyelundup obat bius dan pemberontak
Kolombia.
Reaksi berbeda ditunjukkan Venezuela dengan meningkatkan kekuatan
militernya dalam merespon kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia.
Presiden Hugo Chavez merasa bahwa pangkalan militer yang akan digunakan
oleh Amerika Serikat di Kolombia merupakan bagian dari strategi Amerika
Serikat untuk bertindak bebas di Amerika Selatan, dan mungkin terhadap
negaranya yang kaya minyak. Dengan adanya kehadiran militer Amerika Serikat
di Kolombia, Venezuela merasa terancam dan negara tersebut langsung
meningkatkan pembangunan militernya, serta memutuskan hubungan
diplomatik dengan Kolombia. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden
Venezuela, Hugo Chavez bahwa “Venezuela setidaknya akan meningkatkan
jumlah helikopter tempur dan pesawat tempur dua kali lipat sebagai bagian dari
upaya yang lebih luas untuk memperkuat pertahanannya dan menarik duta besar
Venezuela dari Kolombia.
Sebagai upaya untuk memperkuat pertahanannya, Venezuela telah
melakukan modernisasi militer dengan mendapatkan pinjaman senilai 2,2 milyar
dolar dari Rusia. Pinjaman tersebut dibelanjakan Main Battle Tank (MBT) T-72,
sejumlah sistem peluncur roket Smerch, sistem pertahanan udara, termasuk S-
300. Venezuela dan Rusia telah menandatangani 12 kontrak alutsista senilai 4,4
milyar dolar, terdiri dari jet tempur Sukhoi, helikopter, senapan serbu
Kalashnikov. Selain itu Venezuela membeli jet tempur latih/serang ringan K-8
Karakorum dari Beijing. Saat ini, Venezuela telah menempatkan tank dan
helikopter tempur di perbatasan dekat Kolombia.
Kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia menimbulkan
kekhawatiran bagi negara-negara Amerika Selatan yang anti Amerika Serikat.
Negara-negara tersebut berada dalam siklus ketakutan bersama. Secara normatif,
negara-negara yang bermusuhan terkunci dalam siklus ketakutan bersama.
Dalam proses ini setiap pihak sama-sama merasa terancam, kesiagaan defensif
salah satu pihak dianggap bukti motif ofensif oleh pihak lain, yang selanjutnya
mempersenjatai diri sebagai tanggapannya. Dalam situasi security dilemma
tersebut, menurut pemikiran Robert Jervis yang dianalogikan dalam stag hunt
menyatakan bahwa ..”if they cooperate to trap the stag, they will eat well. But if

39
one person defects to chase a rabbit-which he likes less than stag-none of the
others will get anything”..(Jervis, 2015)
Mengacu pada pemikiran Robert Jervis tersebut, dalam situasi security
dilemma, negara dapat mengambil langkah defensif untuk memungkin
terjadinya kerjasama dengan negara-negara lain agar dapat menaklukan musuh
secara bersama-sama dan menghindari terjadinya kerugian maksimal yaitu
perang. Namun kenyataannya, negara Venezuela yang bereaksi keras menentang
kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia dengan meningkatkan kekuatan
militernya. Sedangkan negara-negara Anti Amerika Serikat lainnya, seperti
Bolivia, Brazil, Chile, Uruguay, Argentina, dan Ekuador tidak meningkatkan
kekuatan militer dalam merespon kehadiran militer Amerika Serikat di
Kolombia. Kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia menimbulkan reaksi
yang berbeda di antara negara-negara Amerika Selatan, dikarenakan Amerika
Serikat dianggap sebagai ancaman bagi negara-negara anti-AS di kawasan
Amerika Selatan. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakstabilan
keamanan di kawasan Amerika Selatan.

2.3 Lingkungan Strategis Nasional


Penurunan kesadaran masyarakat tentang ideologi Pancasila dan bahaya
laten komunisme tampaknya telah dimanfaatkan oleh kelompok kiri, seperti
dengan memutar balikkan fakta-fakta peristiwa S/PKI, membentuk partai
politik, seperti Partai Persatuan Nasional (Papernas), ataupun menyusup menjadi
anggota Parpol lain untuk menjadi anggota DPR dan DPRD. Hal ini
dimungkinkan setelah Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 60 huruf g UU
Pemilu No. 12 tentang Eks Tapol/Napol PKI dapat menjadi calon legislative
dalam pemilu. Hal ini tentunya akan memberikan keleluasaan yang lebih luas
untuk mempengaruhi sikap politik parlemen dalam upayanya merealisasikan
tujuan politiknya.
Penurunan kesadaran tentang Pancasila juga terlihat dari digulirnya
wacana penerapan Syariat Islam dan sistem pemerintahan Islam di Indonesia.
Hal ini paling tidak dapat dilihat dengan adanya kegiatan kelompok ini yang
cukup menonjol, seperti adanya wacana calon presiden independent,
penyelenggaraan konferensi Khilafah Internasional yang dilakukan oleh Hizbuth
Tahrir Indonesia (HTI) perkembangan ini perlu terus diamati, sehingga tidak
berkembang secara luas yang pada akhirnya mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan nasional.
Dinamika perkembangan politik lokal maupun nasional berjalan sangat
kondusif, yang secara tidak langsung menunjukan bahwa tingkat kesadaran
masyarakat akan hak-hak politiknya cenderung semakin meningkat. Namun

40
demikian, dalam perkembangan lain, tuntutan pemekaran daerah, konflik antar
kelompok dalam pilkada, konflik antar daerah dalam memperebutkan wilayah,
yang kerapkali berujung pada aksi-aksi kekerasan masih mewarnai dinamika
politik lokal

2.3.1 Penguatan Ideologi Pancasila


Di zaman yang penuh dengan persaingan ini, makna dan nilai-nilai
Pancasila harus tetap diamalkan dalam kehidupan kita, agar keberadaannya tidak
hanya dijadikan sebagai simbol semata. Pancasila dalam sejarah perumusannya
melalui proses yang sangat panjang oleh para pendiri negara ini. Pengorbanan
tersebut akan sia-sia apabila kita tidak menjalankan amanat para pendiri negara
yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.
Pancasila diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi kehidupan
manusia, baik itu dalam lingkungan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sehingga dalam berprilaku dan bersosialisasi antar sesama manusia, baik dalam
kenidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus dilandasi oleh
Pancasila yang dijadikan landasan dalam berprilaku. Pancasila juga dijadikan
sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan, baik itu bidang ekonomi,
sosial, budaya dan bidang-bidang lainnya. Sehingga segala sesuatu yang
dilakukan diharapkan tidak melenceng dari aturan yang telah ditetapkan sesuai
dengan Pancasila. Dengan demikian, apa yang diharapkan dan dicita-citakan
oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
Salah satu dimensi gerakan pembudayaan, yang juga berarti
pengamalannya dalam kehidupan nyata, adalah pengembangan pemikiran
tentang nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang relevan dengan kebutuhan
perkembangan masyarakat dan tuntutan perubahan zaman, tetapi tetap berada
dalam kerangka paradigma atau 67 | Nurul Fadilah: Tantangan Dan Penguatan
Ideologi Pancasila … kandungan hakekatnya yang sesungguhnya. Sejalan
dengan itu pengembangan pemikiran itu bukanlah dimaksudkan untuk merubah
atau merevisi, apalagi menggantinya. Justru yang ingin dicapai adalah untuk
memperkuat, mempermantap dan mengembangkan penghayatan, pembudayaan
dan pengamalannya dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Melalui pengembangan pemikiran tantang Pancasila
dan UUD 1945 seperti itu diharapkan bangsa kita akan dapat melahirkan dan
mengembangkan gagasan, konsep-konsep dan bahkan teori-teori baru dalam
berbagai bidang kehidupannya yang bersumber dari ideologi dan konstitusi
bersama, serta pada waktu yang sama berhasil pula menguatkan relevansinya
dengan realita perkembangan masyarakat dan tuntutan perubahan zaman.

41
Perjalanan sejarah Pancasila sebagai Ideologi sering diterpa banyak
sekali peristiwa salah satu sejarah yang kelam terjadi dalam Gerakan 30 S tahun
1965 yang dianggap sebagai pembuktian bahwa Pancasila tidak mudah untuk
hilang di negeri Indonesia, sehingga pada tanggal 1 Oktober di peringati sebagai
hari Kesaktian Pancasila. Selain dari peristiwa itu pada masa reformasi Pancasila
dianggap sebuah alat politik yang digunakan pada masa orde baru sehingga pada
masa reformasi kata Pancasila dianggap sebagai alat kekuasaan. Tetapi lambat
laun peristiwa-peristiwa yang telah dilalui dalam catatan sejarah bangsa
Indonesia ditepis dengan mantap oleh Ideologi Pancasila dengan ditandainya
Ideologi Pancasila tetap bertahan sebagai satu-satunya ideologi yang digunakan
oleh Negara Indonesia. Ideologi Pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga
Ideologi Pancasila sangat terbuka, dinamis, serta dapat menyesuaikan
perkembangan zaman yang terjadi di dalam maupun di luar negeri, baik dari segi
perubahan sosial maupun dalam bentuk perubahan atau dikenal dengan revolusi.
Revolusi merupakan sebuah perubahan pradigma mengenai sistem
perekonomian. Revolusi pertama kali dalam catatan sejarah terjadi di tanah
Inggris yang lebih dikenal dengan revolusi industri 1.0 yang terjadi antara tahun
1800-1900, Revolusi industri 2.0 merupakan kelanjutan yang tidak terpisahkan
dari revolusi industri 1.0 yang terjadi di Inggris, revolusi ini berbasis kepada
pengertahuan dan teknologi yang terjadi disekitaran tahun 1900-1960, Revolusi
3.0 ini disebabkan munculnya teknologi informasi dan elektronik yang masuk
kedalam dunia persitiwa ini terjadi antara tahun 1960-2010. Pada saat sekarang
ini revolusi 4.0 ditandai dengan adanya konektivitas manusia, data dan mesin
dalam bentuk virtual atau yang lebih dikenal dengan cyber physical (Kusnandar,
2019)
Potensi Pancasila kehilangan eksistensi sebagai ideologi di gelombang
revolusi industri 4.0 bisa saja terjadi apabila pemerintah selaku penyelenggara
negara dan masyarakat pada umumnya tidak bekerja sama untuk saling
menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi
kehidupan bersama dimasa yang akan datang. Diharapkan kedepan, pemerintah
Indonesia dapat membuat suatu kebijakan yang mencerminkan nilai Pancasila
dan Konstitusi untuk mengatur persoalan menyangkut penemuan dan
perkembangan sains serta teknologi di Indonesia. Pada tingkat paling ekstrim
hasil kebijakan tersebut adalah bahwa segala penemuan, perkembangan dan
evolusi sains serta teknologi di era revolusi 4.0 harus sesuai dengan nilai dan
kaidah dari ideologi Pancasila.
Pentingnya Pancasila sebagai ideologi Negara adalah untuk
memperlihatkan peran ideologi sebagai penuntun moral dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sehingga ancaman-ancaman yang datang untuk negeri

42
ini dapat dicegah dengan cepat. Sebab Pancasila merupakakan Ideologi yang
terbuka bagi seluruh perkembangan zaman. Sehigga apapun yang terjadi dalam
perkembangan zaman harus sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku atas
dasar Pancasila. Syafruddin Amir, dalam penelitiannya yang berjudul Pancasila
as Integration Philosophy of Education and National Character menyatakan
bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa yang harus menjadi spirit bagi setiap
nadi kehidupan dari masyarakat dan kegiatan yang konstitusional karena
Pancasila dipandang sebagai media akulturasi dari bermacam-macam pemikiran
mengenai agama, pendidikan, budaya, politik, social dan bahkan ekonomi
Pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia berperan dan berfungsi sebagai
dasar dan sekaligus tujuan dari berbagai bidang kehidupan yang terus
berkembang itu seirama dengan perkembangan aspek masyarakat dan perubahan
zaman dari masa ke masa. Ada hubungan timbal balik atau interaksi antara
dinamika kehidupan dengan Pancasila dan ideologi. Interaksi tersebut akan
bersifat positif atau saling menguntungkan bilamana ia bersifat saling
merangsang. Pancasila merangsang dan sekaligus menjiwai dinamika kehidupan
itu sedangkan pada waktu yang sama dinamika kehidupan itu merangsang
dinamika internal yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka
untuk mengembangkan jati dirinya. Maka dari itu, Pancasila harus juga
diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan. Aktualisasi nilai-nilai
Pancasila harus muncul dan menjadi nyata dalam bidang integrasi NKRI,
kehidupan ekonomi, dalam bidang hukum, dalam bidang pendidikan (TK, SD,
SMP, SMA, sampai dengan Perguruan Tinggi), dalam bidang politik dan
pemerintahan, dalam bidang sosial-budaya, dalam bidang kehidupan beragama,
dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan, dalam bidang lingkungan dan SDA,
dalam bidang tenaga kerja dan SDM, dalam bidang gender dan perempuan,
dalam bidang politik luar negeri, dalam bidang pembangunan pertanian, buruh
dan nelayan, dalam bidang informasi dan komunikasi, dalam bidang
pembangunan industri pariwisata, dalam bidang olahraga dan sport, dalam
bidang pembangunan seni dan estetik, dalam bidang pembangunan kelautan dan
perikanan, dalam bidang pembangunan industri dan penanaman modal
(investasi), dalam bidang bisnis dan perdagangan, dalam bidang ketertiban dan
keamanan, dan begitu seterusnya.

2.3.2 Pandemi dan Tantangan Ketahanan Nasional


Pandemi Covid-19 yang dirasakan di seluruh belahan dunia
mengakibatkan banyak sektor terdampak secara ekstrim. Terlepas dari besarnya
jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari pandemi ini. Banyak sektor-sektor

43
yang runtuh dan memerlukan perubahan atau penyesuaian yang tidak mudah.
Covid-19 yang menjadi pandemi ini sesungguhnya adalah musuh lama yang
hadir di saat yang tidak terduga untuk muncul. Carl Zimmer memberikan pesan
yang tegas untuk menghadapi kemunculan virus tersebut, yakni “kita harus tetap
waspada, sehingga kita bisa melawannya”(Zimmer, 2015). Namun kewaspadaan
tersebut menjadi bentuk ideal yang secara terpaksa saat ini sulit untuk
diwujudkan oleh negara-negara di dunia. Negara-negara di dunia mengalami
tekanan yang luar biasa untuk bisa menghadapi atau melawan pandemi Covid-
19. Tekanan tersebut juga dialami oleh Pemerintah Indonesia, setidaknya
terhitung sejak tanggal 2 Maret 2020 ketika Presiden Joko Widodo
mengumumkan kasus 01 di Indonesia (Wiswayana, 2020). Hari sejak tanggal itu
hingga saat artikel ini dituliskan seluruh pembicaraan dipenuhi dengan kasus dan
eskalasi dari pandemi Covid-19 di Indonesia yang semakin tinggi. Pemerintah
Indonesia tentu bukan tanpa upaya untuk menghadapi pandemi Covid-19,
terdapat beberapa upaya strategis dalam bidang kesehatan yang dikeluarkan
salah satunya ialah Protokol Kesehatan Penanganan Covid-19 yang dikeluarkan
pada tanggal 4 Maret 2020. Sejak saat itu kebijakan-kebijakan strategis terus
bergulir baik di tingkat nasional dan juga di tingkat daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Tidak hanya di tingkat satu kementerian melainkan juga lintas
sektoral dengan kerumitan birokrasi serta ego sektoral yang masih terasa.
Food Estate, merupakan satu gagasan yang mengemuka di Indonesia
pada bulan Juli 2020 oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk
menghadapi situasi pandemi Covid-19 ini. Gagasan tersebut memiliki posisi
yang strategis dalam situasi Indonesia saat ini karena dirasa dibutuhkan secara
mendesak. Pangan, secara spesifik yakni Ketahanan Pangan disebutkan dalam
kesempatan tersebut menjadi bagian penting dalam aspek pertahanan negara
(SETKABRI, 2020). Bahkan Pemerintah Indonesia menempatkan Menteri
Pertahanan justru menjadi aktor utama dalam kebijakan food estate ini
ketimbang menempatkan Menteri Pertanian. Terdapat tiga komoditi utama yang
dikembangkan dalam kebijakan food estate di Kalimantan Tengah ini, yakni
beras, singkong dan jagung(KEMENHAN RI, 2020). Tiga komoditi tersebut
dinilai memiliki tingkat kemudahan dalam infrastruktur, memiliki potensi hasil
yang besar dan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi(KEMENHAN RI,
2020).
Salah satu pertimbangan munculnya kebijakan food estate tersebut
karena adanya prediksi Food and Agriculture Organization of the United Nations
(FAO) bahwa akan terjadi kelangkaan pangan di masa mendatang. FAO melihat
bahwa tetap hidupnya suplai produksi pangan selama masa pandemi Covid-19
perlu terus diupayakan untuk memastikan keselamatan masyarakat secara

44
keseluruhan (FAO, 2020). Prediksi tersebut kemudian menjadi perhatian serius
oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan percepatan agenda pembangunan
sektor pangan. Pemerintah Indonesia menariknya menggunakan pertimbangan
pertahanan negara sebagai dasarnya. Padahal di sisi lain situasi kondisi pangan
di Indonesia tidak ideal apabila melihat kebutuhan pangan domestik.

Sumber: Kementerian Pertanian Republik Indonesia (22 Juni 2020) via

Gambar 2.7 Perkiraan Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan hingga Akhir 2020
Sumber: Data Boks KataData

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan pangan


masyarakat Indonesia belum bisa dipenuhi sendiri secara domestik pada tahun
2020 ini saja, sisa yang tak dapat dipenuhi tersebut tentu juga membutuhkan
pasokan dari sumber impor dan atau dari sumber lainnya. Situasi pandemi ini
sesungguhnya justru menempatkan ketidakidealan pada sektor pangan tersebut
dapat menjadi permasalahan baru. Tidak hanya dari sisi problematika pangan di
Indonesia saja yang menjadi potensi masalah, melainkan juga posisi Menteri
Pertahanan tentu memiliki dinamika yang khas dalam implementasinya.
Mencoba untuk melakukan identifikasi konteks ketahanan nasional melalui
konsep Astagrata terhadap upaya Pemerintah Indonesia dalam food estate.
Astagrata sendiri merupakan sebuah konsepsi nasional yang melakukan
pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan serta keamanan kedalam Tri
Gatra (mencakup geografis, kekayaan alam dan kemampuan penduduk) dan
Panca Gatra (mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam).
Kedelapan elemen tersebut menjadi pisau analisis pendukung tercapainya
ketahanan nasional di sektor pangan di era pandemi Covid-19 ini.

45
2.3.3 Keamanan dan Pertahanan Nasional
Setelah Perang Dunia ke II, negara dianggap sebagai aktor utama dalam
menciptakan keamanan yang bertujuan untuk menjamin kesejahteraan warga
negaranya melalui pemenuhan ekonomi, layanan sosial, kesehatan, pendidikan,
hukum, ketertiban, penurunan angka pengangguran dan infrastruktur. Dengan
demikian negara dengan gigih mempertahankan peran utamanya dalam
kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk warga negaranya (Fjäder,
2014)
Keamanan atau security berasal dari bahasa latin securus yang memiliki
pengertian terbebas dari bahaya, ketakutan dan ancaman. Keamanan sendiri
ditilik dengan dua pendekatan memiliki pengertian keamanan tradisional yang
didefinisikan menjadi keamanan suatu negara yang dapat diintervensi oleh
kekuatan militer dari negara lain dan harus dilindungi oleh negara tersebut
dengan kekuatan militernya. Dalam pendekatan ini negara merupakan subyek
(Liotta, 2002). dan obyek dalam menciptakan keamanan. Selanjutnya
pendekatan kedua adalah keamanan non tradisional yang diartikan sebagai
keamanan yang difokuskan pada kebutuhan keamanan dari para pelaku bukan
negara.
Pertahanan atau defence dapat dikatakan merupakan instrumen utama
sebuah negara untuk menciptakan keamanan nasional, meskipun istilah
keamanan nasional telah berkembang sejak akhir tahun 1940 yang
mempertimbangkan wilayah, kedaulatan serta individu warga negara.
Kewajiban dan kewenangan negara untuk menciptakan keamanan nasional
menjadikan pertahanan sebagai salah satu elemen penting sektor publik.
Pendanaan untuk keamanan nasional memiliki status khusus sebab memberikan
prasyarat untuk stabilitas nasional, kemajuan ekonomi dan sosial, politik,
kesehatan dan sistem demokrasi.
Bambang Pranowo menjelaskan bahwa ketahanan nasional merupakan
kondisi dinamis suatu bangsa yang mencakup semua dimensi kehidupan
nasional yang dapat berkembang dan terpadu dalam menghadapi ancaman,
tantangan, gangguan dan hambatan (ATGH). Konsep ketahanan nasional adalah
gambaran pengejawantahan dari Pancasila dan UUD 1945, yang dalam hal ini
sila ketiga dari Pancasila diterjemahkan dalam UUD 1945 sebagai negara
kesatuan (Pranowo, 2010)

46
Tabel 2. 2 Matriks Konsep Keamanan

Sumber: Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional, 2016

Presiden Joko Widodo memberikan mandat kepada Wamenhan Sakti


Wahyu Trenggono untuk mengembangkan industri strategis pertahanan dalam
negeri dan juga memberikan dukungan kepada Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memberikan pernyataan bahwa
untuk memajukan industri alat utama sistem senjata (alutsista) pertahanan dalam
negeri, maka harus diadakan kerja sama antara perusahaan negara dan
perusahaan swasta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012
tentang Industri Pertahanan (pasal 11) yang menjelaskan bahwa Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) menjadi industri terbaik yang memproduksi industri alat
utama, dan Badan Usaha Milik Swasta dalam menunjang industri pertahanan
dengan penyediaan bahan baku.
Ancaman lain yang terkait keamanan di Indonesia antara lain intoleransi
SARA, demokrasi prosedural, ketimpangan reformasi birokrasi, masih tingginya
perilaku korupsi, belum optimalnya penegakan hukum di Indonesia. Ancaman
berupa intoleransi terhadap SARA sendiri berupa maraknya penolakan terhadap
pemimpin yang berbeda keyakinan sebesar 58,4%, kemudian terjadi politik
identitas yang dilakukan oleh beberapa calon kepala daerah pada pelaksanaan
Pemilihan Kepala Daerah. Indeks demokrasi masih terjadi kesenjangan bersifat
prosedural yang terlihat dari kesenjangan kebebasan sipil sebesar 78,75%, hak-
hak politik sebesar 72,49%, demonstrasi massa yang berakhir pada kekerasan
sebesar 29,22% pada tahun 2015-2017 (Kementerian PPN/Bappenas, 2019).
yang mempengaruhi keutuhan wilayah. Penanganan massalah keamanan tidak
hanya ranah TNI dan Polri saja namun Intelijen pun turut andil besar dalam
informasi pendeteksian dini saat terjadi ancaman.
Permasalahan perbatasan hingga kini masih belum menemukan titik
terang antara Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Filipina, Malaysia,
Singapura, Australia, Cina dan Thailand. Dampak sengketa perbatasan yang

47
terjadi mengakibatkan hilangnya pulau Ligitan dan Sipadan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia kurang menyadari perkembangan
lingkungan strategis yang berdampak pada ancaman illegal logging, illegal
fishing, illegal smuggling, illegal mining, dan human trafficking.
Kejadian separatisme yang terjadi di Papua tidaklah berbeda jauh dengan
daerah lainnya yang rawan konflik. Menurut Decky Wospakrik, Organisasi
Papua Merdeka (OPM) tidak puas dengan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia sepanjang Papua tetap bersama dengan Indonesia. Tujuan
perlawanan OPM terhadap pemerintah Indonesia adalah untuk melepaskan diri
dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Kelanjutan dari perlawanan dan
perjuangan OPM berlangsung di berbagai wilayah di Papua yang terjadi dimulai
pada tahun 1967 hingga 2001. Kemudian dilanjutkan dengan serangkaian aksi
penembakan di wilayah pegunungan yang sengaja untuk mengacaukan
keamanan di Papua, mereka dinamakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Dinamika ancaman pertahanan Indonesia kedepan ditunjukkan dengan
pertumbuhan dengan cepat persenjataan dan juga meningkatnya ancaman perang
non konvensional. Ketegangan antara Amerika Serikat, China dan negara-negara
ASEAN pun akan memicu konflik terbuka perihal konflik di Laut Cina Selatan.
Sedangkan ancaman domestik masih menangani ancaman separatisme dari
Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua serta kejadian bencana alam yang
banyak memakan korban jiwa.
Kebutuhan Alutsista pertahanan hingga saat ini masih belum mencukupi
kebutuhan antara lain pesawat tempur, roket, rudal, kapal perusak dan radar. Hal
ini disebabkan oleh masih terbatasnya penguasaan teknologi dan juga
pengintegrasian system (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Ancaman
selanjutnya adalah ancaman siber pada perkembangan teknologi digital yang
disebut sebagai the new hybrid of technology yang dapat menyebabkan
gangguan, mata-mata pemerintah, penurunan ekonomi, dan ketidakpercayaan
terhadap pemerintah. Serangan siber yang terjadi pada periode Januari-Agustus
tahun 2018 antara lain: pencurian data (network trojan) sebesar 31,71%;
serangan pengambil alih sistem (access privilege user) sebesar 22,91%;
serangan untuk melumpuhkan sistem dengan program denial of service (DoS
attempt) sebesar 13,98%; serangan pencurian informasi (information leak)
sebesar 10,79%; dan serangan upaya pencurian informasi (information leak
attempt) sebesar 12,62% (Kementerian PPN/Bappenas, 2019).
Persamaan dan perbedaan mengenai konsep keamanan dan pertahanan
dapat dilihat dari regulasi, kelembagaan dan konsep yang digunakan dalam
pelaksanaannya. Analis Pertahanan Negara Madya Sekretariat Direktorat
Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan, M. Erni Sri Murtiningsih dalam

48
wawancaranya menyampaikan persamaan konsepsi keamanan dan pertahanan
sendiri dapat dilihat dari regulasi dan konsep yang dianut. Berdasarkan regulasi,
konsepsi keamanan dan pertahanan sama-sama berdasarkan pada Pancasila
sebagai dasar negara dengan mengejawantahkan seluruh sila yang terkandung di
dalamnya. Berdasarkan konsep yang dianut keamanan dan pertahanan adalah
berdasarkan pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
Perbedaan konsepsi keamanan dan pertahanan yang diterapkan di
Indonesia adalah dengan melihat regulasi/konstitusi dan kelembagaan
organisasi. Berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia, konsep keamanan
dan pertahanan terjadi perbedaan makna oleh masing-masing institusi, atas dasar
TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR
Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2004 tentang TNI. Secara kelembagaan Polri bertanggung jawab
langsung kepada Presiden, sedangkan TNI di bawah koordinasi Kementerian
Pertahanan.
Indeks ketahanan nasional (tabel 2.3) dapat digambarkan bahwa kondisi
ketahanan nasional dalam kondisi cukup tangguh, walaupun ada 2 gatra yaitu
ketahanan ideologi (2.44) dan ketahanan sosial budaya (2.30) yang masuk dalam
kategori kurang tangguh. Menurut Dadan Umar Daihani selaku Kepala
Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional
(Labkurtannas Lemhannas), ketahanan ideologi masih belum tangguh. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kemungkinan adanya kelompok
atau oknum masyarakat yang menyimpang dari dasar ideologi negara Pancasila
dan berencana mengganti dengan ideologi lain yang diukur dengan
menggunakan 4 variabel, yaitu : dialog antar umat beragama, dinamika konflik,
dinamika konflik massa secara fisik dan toleransi. Ketahanan sosial budaya
masih rendah kemungkinan disebabkan oleh kurangnya menghormati orang lain,
tertib dan budaya disiplin masyarakat yang masih rendah di ruang publik,
maraknya berita bohong atau hoax yang diukur menggunakan variabel intensitas
konflik aparat pemerintah, narkoba, dan Pendidikan (Yopi Makdori, 2020).

49
Tabel 2. 3 Indeks Ketahanan Nasional 2015-2019

Sumber: Labkurtannas Lemhannas, 2019

Untuk mewujudkan keamanan nasional yang menyeluruh dan saling


mendukung bukan hanya menjadi tanggung jawab TNI dan Polri selaku
kekuatan utama namun juga mengikutsertakan seluruh Kementerian, Lembaga,
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah terkait dan peran serta masyarakat seperti
yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Bahwa usaha pertahanan dan
keamanan negara diimplementasikan melalui Sishankamrata yaitu rakyat
sebagai kekuatan pendukung. Keberadaan lembaga negara baik Kementerian,
Lembaga, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta Lembaga Swadaya
Masyarakat harus berpangkal pada kepentingan nasional guna mencapai tujuan
dan cita-cita negara.

50
BAB 3
ANCAMAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN

3.1 Ancaman Militer


Ancaman militer dapat berupa ancaman yang dilakukan oleh militer
suatu Negara atau ancaman bersenjata yang datangnya dari gerakan kekuatan
bersenjata, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan Negara,
keutuhan wilayah Negara dan keselamatan segenap bangsa dapat berupa: agresi,
pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, pemberontakan
bersenjata, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut atau udara, serta perang
saudara atau konflik komunal yang sewaktu-waktu dapat timbul.
Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer
menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen
cadangan dan komponen pendukung. Kekuatan pertahanan yang dimiliki
didayagunakan untuk mengatasi situasi negara yang terancam oleh suatu serang
militer dari negara lain atau gerakan kekuatan bersenjata. Sedangkan strategi
pertahanan dalam menghadapi ancaman militer disesuaikan dengan jenis
ancaman dan besarnya resiko yang dihadapi. Dengan berdasarkan jenis ancaman
dan besarnya resiko yang dihadapi, pemilihan strategi pertahanan disusun dalam
strategi pertahanan untuk menghadapi ancaman militer berupa agresi militer dari
negara lain melalui OMP serta strategi pertahanan untuk menghadapi ancaman
militer yang bentuknya bukan agresi militer melalui OMSP.
Ancaman militer hanya merupakan sebagian dari dimensi ancaman.
Belakangan muncul perspektif baru yaitu human security. Berbeda dari
perspektif sebelumnya yang cenderung melihat negara sebagai unsur yang
paling penting, "human security" yang melihat pentingnya keamanan manusia.
Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan sesuatu yang
dipandang penting. Mereka dapat menghadapi ancaman dari berbagai sumber,
bahkan termasuk dari aparatur represif negara, epidemi penyakit, kejahatan yang
meluas, sampai dengan bencana alam maupun kecelakaan. enurut Muhammad
Zainuddin dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai Pancasila
dan Ahlussunnah Wal Jama’ah (2020), ancaman militer adalah ancaman yang
menggunakan kekuatan bersenjata secara terorganisasi. Ancaman ini dapat
membahayakan keutuhan wilayah negara serta keselamatan warga negara.

3.1.1 Agresi Militer


Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
Indonesia tidak serta merta bebas dari penjajah. Belanda masih terus berupaya

51
merebut kemerdekaan Indonesia melalui sejumlah serangan, salah satunya
Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product. Agresi Militer Belanda I adalah
operasi militer yang digencarkan Belanda di Pulau Jawa dan Sumatera pada 21
Juli - 5 Agustus 1947. Berikut sebab dan kronologi serangan Agresi Militer
Belanda I
Sebab Agresi Militer Belanda I adalah kekalahan Belanda dalam
peperangan. Kekalahan itu membuat ekonomi Belanda lesu. Belanda pun ingin
membangkitkan perekonomian negaranya dengan kembali menguasai kekayaan
alam Indonesia. Sejumlah tentara Belanda pun dikirim kembali ke Indonesia.
Belanda datang dengan membonceng pasukan sekutu yang menang Perang
Dunia II. Kali ini, Belanda datang dengan bendera baru. Bukan lah VOC,
melainkan NICA (Netherlands Indies Civiele Administration) atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. NICA mendarat di Sabang, Aceh dan
sampai di Jakarta pada 15 September 1945. Tentara NICA dipimpin oleh Letnan
Gubernur Jenderal Hubertus van Mook.

Gambar 3. 1 Kedatangan Pasukan Belanda NICA


Sumber: Nationaal Museum van Wereldculturen, 1949

Van Mook datang menyampaikan pidato Ratu Wilhelmina yang


menyebutkan Indonesia dan Belanda membentuk sebuah persemakmuran.
Dengan kata lain, Indonesia berada di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Namun, masyarakat dan pemerintah Indonesia yang sudah merdeka tak
menerima pidato tersebut. Mereka bertekad memukul mundur para penjajah.
Situasi pun mulai memanas. Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan
ultimatum atau peringatan keras meminta Indonesia menarik mundur
pasukannya sejauh 10 km dari garis demarkasi atau garis gencatan senjata.
Ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah. Lima hari kemudian, pada tanggal
21 Juli, van Mook melalui siaran radio secara gamblang menyatakan bahwa

52
Belanda tidak lagi terikat pada hasil Perjanjian Linggarjati. Perundingan
Linggarjati itu salah satunya pengakuan belanda secara de facto pada Negara
Republik Indonesia.
Setelah pengumuman itu, dalam waktu kurang dari 24 jam Agresi Militer
Belanda I dimulai. Agresi Militer Belanda I memiliki tujuan menguasai sumber
daya alam Indonesia yang berada di Sumatera dan Jawa. Di pulau Jawa, Belanda
bergerak ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka hendak
menguasai perkebunan, pabrik, dan pelabuhan. Sementara di Sumatera, Belanda
bertujuan menguasai perkebunan dan pertambangan khususnya minyak dan batu
bara. Kekayaan alam ini akan menjadi modal ekonomi Kerajaan Belanda.
Belanda melancarkan serangan yang menyebabkan banyak orang meninggal
dunia. Pemerintah Indonesia melaporkan agresi militer ini kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). PBB lantas mengeluarkan resolusi pada tanggal 1
Agustus 1947. Dewan Keamanan PBB terus mendesak Belanda menghentikan
agresi militer. Belanda pun menerima resolusi itu dan menyetop pertempuran
pada 5 Agustus 1947.
Agresi Militer Belanda II adalah serangan yang dilancarkan Belanda
pada tanggal 19-20 Desember 1948. Operasi Gagak ini berawal dari serangan di
Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Indonesia.
Serangan pun meluas ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera. Tujuan Agresi
Militer Belanda II adalah untuk melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia
sehingga Belanda bisa menguasai Indonesia kembali. Belanda ingin merebut
kekayaan alam yang ada di Indonesia untuk menumbuhkan perekonomian
negaranya yang hancur setelah kalah dalam Perang Dunia II.
Dalam Agresi Militer Belanda II, pasukan militer Belanda awalnya
menyerang Pangkalan Udara Maguwo agar bisa masuk ke Yogyakarta. Belanda
menggempur pangkalan udara itu secara tiba-tiba melalui serangan udara.
Setelah Pangkalan Udara Maguwo lumpuh, Belanda dengan cepat menguasai
Yogyakarta. Pemimpin Indonesia saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditangkap. Belanda juga menangkap sejumlah tokoh
seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem dan AG Pringgodigdo.
Mereka diterbangkan ke tempat pengasingan di Pulau Sumatera dan Pulau
Bangka.
Sebelum ditangkap, Presiden Soekarno sempat membuat surat kuasa
kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membuat
pemerintahan darurat sementara. Soekarno memberikan mandat kepada
Syafruddin untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
di Bukittinggi, Sumatera Barat. Peralihan pemerintahan ini bertujuan agar
Republik Indonesia tidak berhenti dan terus menyusun strategi melawan

53
Belanda. Presiden Soekarno juga sudah membuat rencana cadangan seandainya
Pemerintahan Darurat ini gagal menjalankan tugas pemerintahan. Soekarno
membuat surat kepada Duta Besar RI di New Delhi, India, Sudarsono, Menteri
Keuangan AA Maramis dan staf Kedutaan RI LN Palar untuk membentuk Exile
Government of Republic Indonesia di New Delhi, India. Exile Government
adalah pemerintah resmi suatu negara yang karena alasan tertentu tidak dapat
menggunakan kekuatan legalnya.
Namun, rencana ini tak jadi dilakukan karena PDRI berhasil membentuk
pemerintahan sementara pada 22 Desember 1948. Sejak saat itu, tokoh-tokoh
PDRI menjadi incaran Belanda. Namun, PDRI tak gentar dan menyusun
sejumlah perlawanan dengan membentuk lima wilayah pemerintahan militer di
Sumatera yakni di Aceh, Tapanuli, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Perlawanan terhadap belanda juga dibantu berbagai laskar di Jawa. Serangan
Belanda yang terus digencarkan justru mendapat kecaman dari dunia
internasional. PBB mendesak Belanda membebaskan pemimpin Indonesia dan
kembali memenuhi Perjanjian Renville.
Belanda pun membebaskan Soekarno dan Hatta pada 6 Juli 1949.
Pemerintahan pun kembali pulih pada 13 Juli 1949. Belanda dan Indonesia juga
merundingkan perjanjian Roem Royen.

3.1.2 Gerakan Separatisme


Pemberontakan dalam pengertian umum adalah penolakan terhadap
otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari
pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang
berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Pada kasus Aceh, kecemburuan-
kecemburuan sosial yang terjadi pada awal tahun 1970-an menjadikan kondisi
Aceh menjadi beda. Ditemukannya sumber gas di Arun, lalu pembukaan
sejumlah kilang raksasa lainnya di zona industri Lhoksumawe adalah faktor lain
yang tak bisa dipisahkan dari warna konflik setempat. Jumlah pengangguran
yang membengkak seiring tumbuhnya generasi pencari kerja baru di Aceh makin
menyuburkan kondisi kecemburuan sosial itu.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki identitas kultural
yang sangat kuat, serta menjunjung adat mereka yang berdasarkan nilai-nilai
Islam. Identitas sosio-kultural yang begitu kuat inilah yang menyebabkan
masyarakat Aceh menuntut diterapkannya identitas keislaman masyarakat Aceh.
Faktor selanjutnya adalah kebijakan pemerintah Orde Baru yang ditekankan
pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik. Aset-aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks
pembangunan ini. Hubungan pusat-daerah yang tidak harmonis inilah yang

54
menjadi pusat dari dua gerakan separatis utama di Aceh. Setelah Pemberontakan
DI/ TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat
kembali terefleksikan dalam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang diproklamasikan pada 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro.
Dimulai sejak pasca kemerdekaan Indonesia, kondisi Aceh sudah
diwarnai dengan berbagai konflik. Akar permassalahan konflik di Aceh didasari
banyaknya kekecewaan-kekecewaan yang terus dialami oleh rakyat Aceh.
Dalam persoalan konflik konteks struktur dan fungsi kehidupan sosial
masyarakat yang bersangkutan harus diperhatikan karena masyarakat sebagai
suatu unit entitas akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan
kelangsungan konflik. Semasa Agresi Belanda I dan II, Aceh merupakan satu-
satunya provinsi yang tidak dikuasai Belanda. Aceh mengambil peran penting
pada saat Agresi Militer Belanda II, saat itu pemerintahan di Bukittinggi
tumbang, dan Acehlah yang mengambil peranan sebagai pemerintah pusat,
tepatnya di Kutaraja (sekarang Banda Aceh).
Ketika Soekarno datang ke Aceh menemui Daud Beureuh. Soekarno
meminta agar rakyat Aceh turut mendukung perjuangan Indonesia dalam
menghadapi Belanda guna mempertahankan kemerdekaan. Daud Beureuh pun
setuju. Rakyat Aceh turut menyumbangkan kontribusi yang cukup besar.
Soekarno berjanji akan menerapkan syariat Islam di Aceh setelah perjuangan
kemerdekaan berakhir. Namun, janji ini tidak pernah terpenuhi. Aceh tidak
diberi otonomi daerah dengan penerapan syariat Islam, justru Aceh dimasukkan
kedalam Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh yang dipimpin oleh Teungku
Daud Beureuh, seorang ulama terkenal dengan atas nama rakyat Aceh
mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh
Kartosoewirjo.
Dari sisi ekonomi, masalah eksploitasi ekonomi menjadi akar konflik
yang patut dicermati. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam.
Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya ladang gas alam Arun.
Beroperasinya kilang gas Arun tahun 1977 di Lhoksumawe, ibukota Aceh Utara,
menjadikan Aceh sebagai kawasan industri strategis. Arti strategis bertambah
dengan berdirinya pabrik pupuk Iskandar Muda dan Pabrik Pupuk Asean, serta
pabrik kertas PT. Kraft. Kekayaan alam yang terus digali dan beroperasinya
perusahaan-perusahaan nasional membuat Aceh mampu menyumbangkan
devisa negara yang tidak sedikit. Sebagai gambaran pada tahun 1993 dari 6,644
trilyun penghasilan bersih negara dari sektor migas, hanya 453,9 milyar yang
kembali ke Aceh. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah pusat tanpa
pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan sehingga
Aceh mengalami ketertinggalan dari provinsi-provinsi lain.

55
Hasan Tiro membangun markas GAM pertama kali di hutan Panton
Weng di Pidie, yang kemudian dipindahkannya ke tempat yang lebih aman di
Bukit Cokan, masih di kabupaten Pidie. Di Bukit Cokan Gle Saba, Tiro, Pidie,
pada tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan
Aceh. Tanggal ini sengaja ia pilih untuk menolak catatan sejarah versi Belanda.
Menurut catatan sejarah tersebut pada tanggal 3 Desember 1911 Belanda telah
menembak mati Tengku Cik Di Tiro, pejuang Aceh. Oleh Belanda sejarah
kematian ini diartikulasikan sebagai salah satu tanda berakhirnya perang Aceh
yang berlangsung sejak tahun 1873. Oleh karenanya Hasan Tiro memilih tanggal
4 Desember 1976 sebagai kebangkitan kembali dan kelanjutan dari eksistensi
Aceh. Dimata Hasan Tiro, Aceh tidak pernah menyerah kepada Belanda.
Pada awal kemunculannya, gerakan ini hanya mendapat dukungan kecil
Hasan Tiro, yang pada waktu itu adalah seorang pebisnis lokal dan sebelumnya
pernah menjadi wakil Darul Islam di PBB, mendirikan GAM pada Oktober
1976. Dia mengecam kekuasaan kolonial “Jawa” dan khususnya eksploitasi
sumber-sumber daya alam Aceh serta penggunaan kekuatan militer untuk
menjaga kontrol. Hanya dengan beberapa ratus pendukung, gerakan itu
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh-Sumatera pada tahun 1977, sesekali
menyebarkan propaganda dan mengibarkan bendera GAM di berbagai lokasi,
tetapi hanya sedikit melakukan tindakan militer. Kelompok ini terutama terdiri
dari para intelektual, teknokrat dan pebisnis
Sepanjang tahap konflik kedua yang bermula sejak pertengahan 1980-an,
para pemimpin GAM di Malaysia merekrut ratusan orang Aceh yang tinggal di
Aceh dan Malaysia untuk menjalani pelatihan militer di Libya. Setelah kembali
ke Aceh pada 1989, mereka meluncurkan serangkaian serangan gerilya. GAM
muncul lagi, dan dipersenjatai lebih baik dan melancarkan serangan yang lebih
gencar meski tetap relatif kecil, dengan anggota inti beberapa ratus pejuang aktif.
Tahap kedua, pemimpin yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood
(komandan GAM di Pase, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru
bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur). Namun, gerakan gerilya ini kembali
berhasil dilumpuhkan oleh militer dan Aceh pun dinyatakan sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM) pada 1992. Kebijakan operasi militer yang terus
berlanjut hingga 1998 ini berdampak pada pelanggaran HAM berat, sehingga
kebencian rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia semakin dalam.
Bentrokan terus terjadi dan kesatuan-kesatuan polisi/ militer melakukan
operasi pembersihan ke desa-desa yang dicurigai menjadi sarang GAM. ABRI
meningkatkan jumlah pasukannya mendekati 6.000, membalik kebijakan
penarikan pasukan non-organik dari daerah tersebut. Pemicu eskalasi konflik
selama masa transisi demokrasi adalah operasi militer kedua pada tahun 1999.

56
Operasi militer yang diputuskan di bawah tekanan TNI terhadap pemerintah sipil
Indonesia. TNI menyadari kekosongan operasi militer telah dimanfaatkan oleh
GAM untuk merekrut dan mereorganisasi gerakannya. Pada gilirannya, perang
pecah kembali tanpa bisa dihindari.
Kedua belah pihak pada dasarnya menggunakan coercive action atau
“contending strategy” (strategi berkelahi). Abdurrahman Wahid mendekati
GAM dan mencapai suatu kesepakatan mengenai “jeda kemanusiaan”. Di bawah
mediasi Henry Dunant Centre di Swiss, kesepakatan itu ditandatangani pada 12
Mei 2000 dalam suatu pertemuan yang dihadiri Hasan Tiro, pemimpin GAM di
pengasingan. “Jeda kemanusiaan” semula dilihat sebagai kemenangan gemilang
Abdurrahman Wahid karena dilakukan hanya tiga bulan setelah ia menjadi
presiden. Pemerintah Megawati juga mencapai kesepakatan baru dengan GAM.
Suatu kesepakatan penghentian permusuhan ditandatangani pada 9 Desember
2002.
Pada masa SBY, Pemerintah Indonesia meminta CMI (Crisis
Management Initiative) pimpinan Marthi Atiisari untuk menjadi mediator
negosiasi damai. Negosiasi meja pun mulai berjalan melalui good office CMI.
Proses negosiasi berjalan alot namun produktif. Karena masing-masing pihak
berkomitmen menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat.

3.2 Ancaman Non-Militer


Semua negara di dunia, termasuk indonesia menghadapi ancaman yang
memiliki potensi membahayakan eksistensinya. Kemungkinan terburuk dari
negara yang tidak berhasil menghadapi ancaman adalah bubarnya negara
tersebut. Di era modern kita mengenal dua negara yang awalnya besar dan kuat,
menjadi lemah kemudian bubar akibat tidak bisa menghadapi ancaman yang
dalam hal ini berwujud disintegrasi. Dua negara tersebut adalah Yugoslavia dan
Uni Sovyet. Bubarnya kedua negara tersebut harus bisa menjadi pelajaran bagi
indonesia, sebagai Negara dengan segala keunggulannya juga menghadapi
ancaman nyata berupa ancaman yang menggunakan senjata (militer) dan
ancaman yang tidak menggunakan senjata (non-militer)
Ancaman Negara non-militer adalah ancaman yang tidak menggunakan
senjata. Ancaman ini menggunakan faktor-faktor non-militer yang bersifat
abstrak, namun mampu membahayakan kedaulatan negara, kepribadian bangsa,
keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer
salah satunya disebabkan oleh pengaruh negatif dari globalisasi. Globalisasi
yang menyamarkan batas pergaulan antar bangsa secara disadari ataupun tidak
telah memberikan kesempatan masuknya budaya asing yang secara langsung
member pengaruh negatif yang kemudian menjadi ancaman bagi keutuhan

57
sebuah negara, termasuk Indonesia. Ancaman nonmiliter diantaranya dapat
berdimensi ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya.
Ancaman Negara di bidang ideologi adalah masuknya paham
komunisme dengan segala propagandanya dan liberalisme atau paham
kebebasan yang mengancam ideologi Negara Pancasila. Gejala munculnya
paham-paham tersebut bisa dilihat dari makin marakya propaganda simbol
komunisme, merebaknya pola pikir Atheisme (paham yang mengajarkan
penafikan adanya Tuhan), Sekulerisme (Paham yang mengajarkan pemisahan
urusan agama dari Negara) , Hedonisme (Paham yang mengajarkan seseorang
untuk mengejar kenikmatan duniawi tanpa mendasarkan pada nilai dan norma)
, Seks Bebas, Kapitalisme, dsb. yang merupakan akibat langsung dari pengaruh
negatif serangan ideologi asing. Ancaman di bidang politik dapat bersumber dari
dalam negeri maupun luar negeri. Dari dalam negeri adalah tindakan maker atau
kudeta, yakni penggunaan kekuatan berupa pengerahan massa untuk
menumbangkan suatu pemerintahan yang berkuasa, atau menggalang kekuatan
politik untuk melemahkan kekuasaan pemerintah. Selain itu, ancaman
disintegrasi berupa perang saudara atau separatisme merupakan bentuk lain dari
ancaman politik yang timbul di dalam negeri. Dari luar negeri, ancaman di
bidang politik dilakukan oleh suatu negara asing dengan melakukan tekanan
politik terhadap Indonesia. Intimidasi, provokasi, atau blokade politik
merupakan bentuk ancaman non-militer berdimensi politik yang seringkali
digunakan oleh pihak-pihak lain untuk menekan negara lain.
Ancaman Negara di bidang ekonomi muncul dari luar negeri dan dalam
negeri. Ancaman dari luar negeri adalah adanya dominasi barang-barang produk
asing. Selain itu juga adanya serbuan tenaga asing dan penanaman modal asing
secara bebas. Ancaman ekonomi dari dalam berupa banyaknya angka
pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar.
Ancaman-ancaman non-militer di bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial
budaya membutuhkan upaya nyata untuk menghadapinya. Upaya tersebut harus
direncakan secara baik, dilaksanakan secara berkesinambungan dan dikontrol
secara efektif melalui Pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan
yang mampu menumbuhkan karakter luhur bangsa.

3.2.1 Ancaman Non-Militer Terhadap Keamanan Nasional di Papua


Membahas masalah Papua seperti tidak ada habis-habisnya di republik
ini. Bahwa pemekaran Papua yang eksesif, bukan sebagai solusi, melainkan
menunjukkan ketidaksungguhan pemerintah menuntaskan massalah Papua.
Selain menimbulkan kebingungan, pemekaran Papua tergolong tergesa-gesa,
serta secara tidak langsung mencerminkan ketidakmampuan Jakarta berdialog

58
dengan masyarakat Papua dalam menyelesaikan massalah-massalah yang
seharusnya dimasukkan dalam bingkai NKRI. Sayangnya, pemerintah masih
memperlakukan Papua semata-mata dari sudut ancaman separatisme. Cara
pandang yang tak ubahnya dengan cara pandang di era Orde Baru dulu.
Problematika Papua dan daerah-daerah konflik lainnya semestinya
dilihat dari sudut pandang yang lebih komprehensif, seperti masalah
ketidakadilan sosial, absennya penghargaan terhadap keunikan sejarah, budaya,
ras, lokalitas, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, pemekaran wilayah bukan
sesuatu yang haram, asalkan ada rasionalitasnya, melalui proses dialog yang
jujur dan tak melanggar UU yang berlaku.
Ditinjau dari segi ras, budaya, dan sejarah, masalah Papua memang
memiliki nuansa "berbeda". Papua tak hanya berbeda dari sudut budaya dan ras
dengan Indonesia, tapi juga pengalaman historisnya di bawah penjajahan
Belanda (Maniagasi, 2001). Bung Hatta pernah mengakui keunikan Papua, saat
berdebat menentukan status Papua pada sidang persiapan kemerdekaan
Indonesia, Bung Hatta bahkan cenderung berpendapat agar rakyat Papua
menentukan sendiri nasibnya. Sementara itu, Bung Karno lebih menekankan
pada aspek strategis-politis. Jika Papua lepas ke negara lain bisa berdampak
kepada Indonesia. Lagipula, Papua juga berada di bawah kolonial Belanda dan
daerah itu (Boven-Digul) pernah menjadi tempat pembuangan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia.
Menurut Soekarno pula, dalam kitab Negarakertagama disebutkan
bahwa Papua masuk wilayah Majapahit. Pada akhirnya, melalui voting,
mayoritas pendiri negara memilih Papua untuk bergabung dengan Republik
Indonesia. Keunikan sejarah Papua lainnya adalah saat proses integrasi. Sampai
tahun 1963, wilayah itu menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda. Setelah
melalui pemerintahan sementara PBB, barulah Indonesia secara de facto
berkuasa atas Papua tahun 1963. Tahun 1969 integrasi Papua diperkuat lewat
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang secara aklamasi menyatakan
tergabung dengan NKRI. Aklamasi saat Pepera inilah yang seharusnya
menyadarkan kita bahwa masyarakat Papua memilih dengan hati mereka untuk
bergabung dengan NKRI.
Ketika masih menyelesaikan studi di Universitas Pertahanan, Prof.
Susanto Zuhdi, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, yang kebetulan
mengajar di sana, pernah berkata: “[..s]eperti layaknya perjalanan sebuah kereta
api, penumpangnya tidak harus berangkat dari stasiun awal. Ada yang baru naik
pada stasiun-stasiun berikutnya, dan akhirnya semua sampai bersama-sama ke
tujuan”. Orang Papua memang tidak dari awal kemerdekaan bergabung dengan
NKRI, tetapi seiring berjalannya waktu kesamaan tujuan dan visi bangsa mereka

59
ternyata sama dengan NKRI, sehingga akhirnya mereka pun secara aklamasi
menyatakan kesediaannya bergabung dengan kita.
Karena itu, patut disesalkan pendekatan monolitik pemerintah terhadap
Papua selama ini. Dengan latar belakang sejarah integrasi yang kontroversial,
seharusnya yang dilakukan Jakarta adalah mengambil hati masyarakat Papua.
Pendekatan keamanan seharusnya tidak lagi digunakan, sekalipun kerangka
penyelesaian massalah di Papua tetap harus dilihat dari sudut pandang ancaman
terhadap keamanan nasional. Dengan bergesernya definisi keamanan dan
ancaman militer, tulisan ini akan membahas bagaimana menyelesaikan massalah
Papua dengan terlebih dulu melihat massalah ini dari perspektif keamanan
nasional dan ancaman non-militer.
Seperti yang sudah disebutkan, definisi ancaman militer dan keamanan
sudah jauh mengalami perkembangan dewasa ini, terutama pasca runtuhnya Uni
Soviet. Perubahan lingkungan keamanan pasca perang dingin memiliki enam
dimensi. Pertama, pergeseran sumber ancaman dari lingkungan eksternal
menjadi lingkungan domestik. Kedua, perubahan sifat ancaman dari militer
menjadi non-militer. Ketiga, perubahan respon dari militer menjadi non-militer.
Keempat, perubahan tanggung jawab keamanan dari negara menuju kolektif.
Kelima, perubahan nilai inti keamanan dari negara menjadi individual, dan dari
nasional menjadi keamanan global. Dan keenam, kebijakan pembangunan
instrumen militer menuju pada kebijakan keamanan yang memfokuskan pada
pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Ancaman terhadap keamanan nasional dapat dipahami atau didefinisikan
sebagai suatu tindakan atau serangkaian peristiwa yang dapat memberikan
ancaman dalam dua dimensi sekaligus, yaitu secara langsung atau tidak langsung
membahayakan kehidupan masyarakat; dan untuk membatasi pilihan-pilihan
kebijakan pemerintah. Atas dasar itu, analisa ancaman dapat dilakukan melalui
dua metode, yaitu (1) berdasarkan ancaman (threat-based assessment),
atauanalisa mengenai kalkulasi ancaman yang dihadapi; dan (2) berdasarkan
kapabilitas (capability-based assessment), atau analisa mengenai kalkukasi
kemampuan untuk bisa melakukan suatu tindakan militer.
Bahwa untuk melihat faktor-faktor yang menjadi ancaman, resiko, dan
bencana terhadap Papua, lebih baik dipandang dari sudut pandang keamanan
nasional. Bahwa gangguan keamanan yang terjadi di Papua, yang menggunakan
kekuatan senjata, bukan merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Akan
tetapi, akan menitikberatkan kepada ancaman non-militer, di mana ditakutkan
akan menjadi permanen, serta derajat ancamannya terhadap keamanan nasional
akan meningkat di masa depan. Konflik di Papua bukan mengarah pada
terjadinya konflik bersenjata (armed conflict), akan tetapi ancaman

60
terkaitkonteks human security akan meluas, sehingga bisa memperpanjang
terjadinya konflik (prolong).
Inilah perspektif baru keamanan nasional, yakni dalam arti besar
mencakup negara bangsa (yang bukan merupakan entitas tunggal) dan
masyarakat (publik dan individu). Salah satunya adalah human security atau
biasa juga dikenal dengan terminologi keamanan insani. Seperti yang dikatakan
Vaclav Havel: “kedaulatan masyarakat, wilayah, bangsa, negara, hanya
bermakna jika berasal dari kedaulatan sejati, yaitu kedaulatan manusia”. Jadi,
keamanan nasional bukan saja harus selaras dengan prinsip-prinsip global, tetapi
juga antisipatif terhadap dinamika global. Karena itulah strategi keamanan
nasional.
Situasi di Papua tidak dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata
(armed conflict). Papua lebih dikategorikan sebagai kekacauan dan ketegangan,
atau gangguan dalam negeri (internal disturbances and tension). Dengan
menggunakan pengertian atau batasan armed conflict sebagaimana dirumuskan
dalam kasus Dusko Tadic di ICTY (International Criminal Tribunal for the
former Yugoslavia), maka situasi di Papua tidak termasuk armed conflict. Kalau
kita bicara OPM, mereka baru bisa dikatakan sebagai kelompok bersenjata yang
terorganisir jika kelompok tersebut telah mempunyai susunan organisasi yang
menunjukkan siapa yang merupakan pimpinan tertinggi sampai dengan
terendah, serta mempunyai aturan disiplin yang mengikat bagi anggotanya. Hal
ini karena sampai hari ini tidak ada korelasi yang kuat antara pihak-pihak yang
ingin merdeka di Papua dengan OPM secara organisasi. Mereka berjuang
terpisah-pisah, dengan tidak selalu membawa bendera OPM. Kondisi yang
sangat berbeda dengan Aceh, di mana perjuangannya selalu berada di bawah
komando GAM, dengan struktur organisasi yang jelas.
Ukuran terorganisirnya suatu organisasi militer dilihat dari rantai
komando dan aturan disiplin yang berlaku secara internal di dalam organisasi
militer yang bersangkutan. Meskipun pengorganisasian dan ketentuan disiplin
internal tersebut tidak harus ketat seperti suatu organisasi militer dari angkatan
bersenjata reguler, namun setidaknya menunjukkan adanya suatu rantai
komando di dalam organisasi kelompok bersenjata tersebut, yang
memungkinkan pimpinan tertinggi melakukan komando dan kontrol atau
merencanakan suatu operasi militer yang terencana. Apabila suatu kelompok
bersenjata melakukan operasi atau aksi-aksinya tanpa didasarkan kepada suatu
rencana yang dikoordinasikan oleh pimpinan tinggi, maka tindakan tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai suatu operasi militer, tetapi merupakan suatu
tindakan kekerasan menggunakan senjata yang dilakukan oleh kelompok
bersenjata.

61
Kembali ke massalah Papua, keinginan masyarakat Papua untuk merdeka
lebih disebabkan karena mereka tidak mengalami kesetaraan dalam hal
kesejahteraan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Fakta berbicara bahwa
pemerintah pusat mengalokasikan triliunan rupiah untuk dana alokasi Papua. Ini
pun belum termasuk dana tambahan yang jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan
dari gubernur. Ditambah dengan dana Otonomi Khusus (Otsus) yang setiap lima
tahun mencapai kurang lebih 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah
sangat terjamin. Akan tetapi, dana sebesar itu tidak sampai kepada yang
membutuhkan. Terlalu banyak permasalahan dari sisi birokrasi di Papua yang
menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tidak setara. Barry Buzan secara
sederhana mengatakan, bahwa untuk mengerti keamanan nasional selalu
dibutuhkan interdependence antar semua stakeholder’s agar kesemuanya merasa
aman (secure). Interdependence dibutuhkan agar alokasi sumber daya menjadi
setara. Sayangnya, hal itu tidak terlihat di bumi Papua.
Bahwa kondisi seperti inilah yang akan melahirkan kondisi instabilitas di
Papua. Jika tidak ada penanganan yang serius, kondisi ini akan berkembang
menjadi kondisi permanen, yang tentunya akan menjadi ancaman besar terhadap
keamanan nasional. Contohnya, watak kekerasan yang melekat dan
berkembang, seperti api dalam sekam yang berdimensi suku, agama, ras dan
antargolongan, pada dasarnya timbul akibat watak kekerasan yang sudah
melekat. Kondisi ini sudah barang tentu menjadi ancaman terhadap socio-
political stability, yang diwujudkan pada adanya keinginan untuk merdeka atau
secessionist movement.
Watak kekerasan itu pula yang mendorong tindakan kejahatan termasuk
perusakan lingkungan dan bencana buatan manusia. Ancaman terhadap
ecological balance, seperti ekspolitasi sumber daya alam, menjadi kepedulian
kita bersama untuk diatasi. Bersamaan dengan itu banyaknya sengketa
antarwilayah di Papua, yang melibatkan suku-suku lokal juga mengancam
territorial integrity Papua. Belum lagi ketimpangan ekonomi antara orang
Papua asli dengan pendatang, yang sering mengakibatkan konflik antar mereka.
Tentunya kondisi ini sangat berpengaruh terhadap economic sustainability
mereka.
Exploitation of natural resources, economic disparity, dan
homogenization of cultural identity and local government menjadi faktor-faktor
ancaman non-militer yang sudah dan akan terus terjadi di Papua jika kita tidak
berbuat sesuatu terhadapnya. Tiga faktor di atas yang bisa kita kategorisasikan
masuk dalam proses sekuritisasi ini mengancam stabilitas keamanan di Papua
dalam jangka panjang, karena secara tidak langsung “menyerang” urat nadi
kehidupan masyarakat di Papua. Bayangkan tanpa sumber daya alam yang

62
mencukupi, maka terjadilah ketimpangan ekonomi yang meluas, yang sulit
diatasi tanpa masyarakat yang masih mempertahankan identitas kulturalnya.
Identitas kultural orang Papua perlahan tergerus oleh individualisme personal
yang bersaing memperebutkan sumber daya.
Akhirnya, bahwa faktor-faktor tersebut berproses secara meluas, serta
menghasilkan efek domino sehingga dapat melemahkan kualitas bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Apalagi konflik berdimensi vertikal antara
pemerintah pusat dan daerah, seperti penyeragaman identitas budaya dan
pemerintahan lokal, serta pendekatan keamanan represif yang sering diterapkan
pemerintah pusat, merupakan ancaman besar terhadap cultural cohesiveness
Papua, dan tentunya external peace and harmony Indonesia secara umum. Jadi
sekali lagi, ancaman terhadap keamanan nasional di Papua sebenarnyabukanlah
konflik bersenjata (militer), tetapi memang ancaman non-militer.

3.2.2 Menghadapi Ancaman Non-Militer dengan Pendidikan Karakter


Problem lunturnya karakter bangsa kini menjadi perhatian serius dari
Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Berbagai ulasan di media
massa baik media cetak, maupun media elektronik mengemuka, membahas
tentang problem ini, tentang sebab dan akibatnya. Pemerintah bersama para
pengamat pendidikan tengah banyak berbicara mengenai persoalan karakter
bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang makin marak muncul di masyarakat seperti
korupsi, perampokan, pembunuhan, vandalisme dan kekerasan, seks bebas,
perkosaan dan kejahatan seksual lainnya, perusakan, perkelahian massa,
perilaku merusak diri, dan sebagainya menjadi problem serius bangsa yang harus
segera diupayakan solusinya.
Pentingnya perbaikan karakter bangsa adalah sebagai benteng
pertahanan dari segala ancaman yang membahayakan kedaulatan dan keutuhan
bangsa. Bangsa dengan karakter yang kuat akan kokoh berdiri dengan tegap
sesuai denga kepribadiannya akan tetap eksis dan maju serta dan tidak
terpengaruh oleh dampak negative dari budaya asing dan bahayanya.
Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh penyair dari Mesir, Syaiqi Beiq.
Beliau berkata bahwa suatu bangsa akan jaya dan abadi bila akhlaq mulia masih
ada padanya, sebaliknya bangsa itu akan musnah bila akhlaq atau budi pekerti
yang luhur telah hilang dari mereka.
Upaya perbaikan karakter bangsa, pada dasarnya bisa ditempuh melalui
dua pendekatan yang harus dilakukan secara bersamaan dan harus saling
bersinergi. Pendekatan pertama, adalah pendekatan “Top Down”, yakni
pendekatan dari atas, dalam hal ini adalah sikap dan keteladanan karakter dari

63
Pemerintah. Pendekatan “Top Down” bisa dilakukan seperti penerbitan
peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan
hukum yang lebih kuat, adil dan benar, terlaksannya Pemerintah yang
menjunjung tinggi nilai kejujuran, dan tanggung jawab dan anti-korupsi, dan
sebagainya. Dengan adanya sikap dan keteladanan karakter dari pemerintah,
maka rakyat secara langsung akan melihat, mencermati dan diharapakan bisa
meneladani karakter tersebut. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan
“Bottom Up”, yakni pendekatan dari bawah (rakyat atau masyarakat), dalam hal
ini adalah dengan cara melaksanakan Pendidikan kepada rakyat atau generasi
bangsa, yang dimulai dari keluarga, sekolah dan Masyarakat.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro adalah suatu daya upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan
jasmani anak-anak. Dalam hal ini pendidikan menjalankan perannya sebagai
upaya memperbaiki karakter bangsa. Pendidikan merupakan upaya yang bersifat
konstruktif (pembangunan) sekaligus bersifat preventif (pencegahan).
Pendidikan merupakan upaya konstruktif karena di dalamnya ada kegiatan yang
terencana untuk membangun konstruksi karakter siswa yang mulia. Di samping
itu pendidikan juga merupakan upaya preventif karena pendidikan merupakan
upaya untuk membangun generasi baru bangsa yang lebih baik, yang bisa
mencegah lahirnya generasi bangsa yang berkarakter hina. Sebagai upaya
pencegahan, pendidikan akan berusaha mengembangkan kualitas dan moralitas
generasi muda bangsa dalam berbagai Pendidikan karakter di sekolah memiliki
peran penting dalam memperbaiki karakter siswa, mengingat akhir-akhir ini
muncul berbagai macam fenomena yang menggambarkan menurunnya kualitas
karakter siswa.
Di Sekolah, siswa akan belajar mengembangkan sikap, batin, pikiran,
ilmu, pengetahuan, keterampilan dan keahliannya sehingga menjadi manusia
yang benar-benar berkarakter mulia. Pengembangan karakter ini harus
melibatkan komponen budaya sekolah, kebijakan sekolah, serta pengintegrasian
nilai-nilai karakter yang nyata dalam pembelajaran. Lebih lanjut, pengembangan
karakter ini harus dilakukan secara integratif dan berkesinambungan.
Pengembangan Budaya Sekolah berkarakter menjadi sesuatu yang harus
dilakukan agar peran sekolah sebagai pusat pembangunan karakter bisa tercapai.
Kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler harus dirancang dan diarahkan
sedemikian rupa sehingga siswa bisa terbiasa menanamkan nilai karakter di
sekolah. Pembuatan kebijakan sekolah, dan penerapan aturan sekolah juga harus
sejalan dengan nilai, norma dan hukum yang berlaku. Dalam hal ini keteladanan
dan kepemimpinan kepala sekolah sangat diperlukan.

64
Pengintegrasian nilai-nilai karakter kedalam mata pelajaran juga harus
dilakukan dalam pembelajaran. Setiap guru di sekolah memiliki tanggung jawab
yang sama untuk menjadi model pengembangan karakter bagi siswa. Sebagai
model, guru harus memberi teladan karakter yang mulia, memberi ruang
penanaman nilai karakter, dan membiasakan nilai karakter tersebut sebagai “way
of life” bagi siswa. Guru yang berkarakter merupakan pendidik karakter, yang
memliki tanggung jawab ikut mewariskan karakter-karakter luhur bangsa
kepada siswa-siswanya. Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain
bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-
undangan berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber dari
segala sumber hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila merupakan
dasar filosofis dan sebagai perilaku kehidupan. Artinya, Pancasila merupakan
falsafah negara dan pandangan/cara hidup bagi bangsa Indonesia dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk
mencapai cita-cita nasional.
Sebagai dasar negara dan sebagai pandangan hidup, Pancasila
mengandung nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan dipedomani oleh seluruh
warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi karakter
masyarakat Indonesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati diri bangsa
Indonesia. Oleh karena kedudukan dan fungsinya yang sangat fundamental bagi
negara dan bangsa Indonesia, maka dalam pembangunan karakter bangsa,
Pancasila merupakan landasan filosofis utama. Sebagai landasan, Pancasila
merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter
bangsa. Dalam konteks yang bersifat subtansial, pembangunan karakter bangsa
memiliki makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter
Pancasila. Berkarakter Pancasila berarti manusia dan bangsa Indonesia memiliki
ciri dan watak religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan
kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental ini menjadi sumber nilai luhur
yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa.
Guru harus menyadari bahwa secara fitrah, siswa adalah manusia yang
diciptakan Tuhan YME dengan bekal akal pikiran dan hati nurani, yang
berfungsi sebagai dasar mereka dalam mengetahui mana perbuatan yang baik
dan benar, serta mana perbuatan yang buruk dan salah. Artinya secara fitrah dan
kodrat siswa adalah manusia yang berkarakter baik. Adapun kenakalan yang
siswa lakukan adalah bagian dari proses imitasi dan identifikasi mereka pada
lingkungan tempat mereka hidup, sekaligus sebagai proses pembentukan
kepribadian. Guru harus menyadari bahwa peran yang harus dijalankan adalah

65
sebagai teladan dan pembimbing kehidupan siswa. Tanggung jawab Guru bukan
sekedar mengajar, melainkan juga mendidik siswa, yakni berupaya untuk
memanusiakan siswa agar menjadi manusia.
Selanjutnya, Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus
menyadari betul urgensi keberadaan PPKn dan misi yang diemban. PPKn
merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara
yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warga Negara yang baik (Good Citizenship), yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan
Kewarganegaraan (Citizenship Education) merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada “nation and character building” yakni pembentukan
karakter diri yang baik dari segi agama, sosio-kultural, dan sebagainya. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelajaran PPKn dalam rangka
“nation and character building”

3.3 Ancaman Proxy War


Sejarah perkembangan perang di dunia selalu berkaitan dengan suatu
peristiwa peperangan, penaklukan, kekuasaan, ekspansi dan invasi suatu negara
terhadap negara lain. Negara-negara yang mempunyai kekuatan akan
memungkinkan untuk menaklukan wilayah negara lain untuk kepentingan
politik, ekonomi, dan sosial. Terjadinya Perang Koalisi bukan merupakan suatu
hal yang terjadi secara tiba-tiba, namun itu merupakan akhir dari suatu proses
pengangkatan Napoleon menjadi kaisar Perancis. Perkembangan negara
Perancis yang dipimpin oleh Kaisar Napoleon membuat situasi politik di
kawasan Eropa semakin memanas dengan diwarnai ketegangan yang mendorong
terjadinya perang koalisi. Perancis bergerak di hampir seluruh kawasan Eropa
melawan negara-negara yang dianggap penting dan strategis. Hal ini diakibatkan
adanya ambisi Napoleon untuk menaklukan kawasan Eropa dan menjadikan
Perancis sebagai negara yang paling kuat di Eropa.
Melatarbelakangi sejarah perang Proxy di dunia merupakan sebuah
bentuk konflik antara dua negara, atau aktor non-negara, yang bertindak atas
nama atau dengan arahan dari pihak yang tidak terlibat secara resmi dalam
konflik tersebut. Untuk bisa dianggap sebagai proxy war, sebuah pihak yang
berkonflik harus memiliki hubungan langsung yang sifatnya jangka panjang
dengan aktor eksternal. Hubungan ini bisa berbentuk pendanaan, pelatihan
militer, penyediaan senjata, serta bentuk dukungan lainnya yang dibutuhkan
untuk membantu upaya perang. Dalam Perang Dingin, Proxy War menjadi
metode yang digunakan baik oleh Amerika Serikat maupun Uni Soviet untuk
menyebarluaskan pengaruh dan menjalankan kepentingan masing-masing tanpa

66
harus mengalami benturan secara langsung. Hal ini didasari keyakinan bahwa
konflik langsung antara Amerika dan Soviet dapat berujung pada perang nuklir.
Hakekat dari perang adalah karakter politis peperangan masa depan dan tujuan
akhir politiknya. Perang atau konflik yang terjadi sebagai Proxy War telah
berlangsung sejak zaman dahulu. Pada masa sebelum Perang Dunia I dan Perang
Dunia II secara total lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan Proxy War
yang terjadi dimasa Perang Dingin (Cold War) dan sebagian dari Proxy War
tersebut tertulis dalam buku sejarah dan politik, bahwa terdapat dua aktor
penting pelaku perang proxy. Proxy War yang dilakukan oleh suatu negara besar
kepada sekelompok individu yang bukan merupakan aktor negara (non state
actors) dan aktor negara (state actors). Semua konflik, insurjensi, perang, dan
perang sipil tersebut memiliki tendensi kepada kekuasaan (power). Proxy War
adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan
pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan
untuk mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal.
Sebenarnya sejarah perang sudah cukup lama, ternyata orang-orang Indian
sebagai penduduk asli Amerika sudah melaksanakan taktik gerilya yang
merupakan pengaplikasian/perwujudan dari peperangan jauh sebelum orang
kulit putih yang pertama kali menginjakkan kakinya di Amerika Utara. Di
wilayah Asia sendiri yang merupakan negara-negara dunia ketiga diakui bahwa
Mao Ze Dong merupakan salah satu pakar dari peperangan ini. Dengan ide-
idenya dia mencoba untuk melawan pemerintahan Chiang Kai Shek. Teori dasar
Mao tentang perang ini ternyata diadopsi atau dimodifikasi oleh beberapa pakar
insurgensi lainnya seperti Che Guevera di Cuba dan Ho Chi Min di Vietnam
namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.
Uni Soviet pada waktu itu juga sudah mencoba mengintegrasikan taktik
perang non konvensional seperti misalnya gerakan gerilya, spionase subversi
dan lain-lain kedalam taktik konvensional. Pengalaman mereka terbukti pada
saat Nikita Khruschev seorang pemimpin komunis dari Ukraine berhasil
membentuk partisan bawah tanah melawan Nazi. Inilah yang dimaksudkan
dengan "Perang Total" bagi mereka. Pasukan gerilya ini merupakan gambaran
dari si miskin atau pihak tertindas yang memiliki tujuan politis. Karakter tersebut
pada perang gerilya sebagai sarana utama peperangan masa depan yang
mengandung tujuan politik ini sangat penting bahwa tanpa tujuan politik
peperangan masa depan akan gagal. Memang hakekat dari perang gerilya adalah
karakter politis peperangan masa depan dan tujuan akhir politiknya.
Ada beberapa contoh yang bisa kita pelajari dari sejarah yang terjadi pada
perang masa lalu, khususnya yang merupakan sejarah dari bangsa kita. Bangsa
Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar yang mempunyai latar belakang

67
sejarah yang panjang. Hal ini dibuktikan dari adanya kerajaan-kerajaan di
wilayah Nusantara yang menjadi penguasa Asia Tenggara di masa lalu, sebelum
terbentuknya Republik Indonesia:
a. Pertama, Kerajaan Sriwijaya yang membentang dari Kamboja,
Thailand Selatan, Semenanjung Malaya menguasai jalur
perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa dan Selat
Karimata bahkan sampai ke Laut Cina Selatan. Lewat Wangsa
Sailendra yang berimigrasi ke Jawa, mereka mendirikan kerajaan
Medang atau Mataram sebagai satelit. Namun, bukannya saling
memperkuat, Mataram menantang dominasi Sriwijaya. Terjadi
perang saudara yang menguras energi keduanya. Hal ini dilihat
sebagai peluang oleh Rajendra Chola dari India yang tahun 1025
berekspansi dan menguasai Selat Malaka. Perlahan, Sriwijaya
kalah dan punah.
b. Kedua, kerajaan Majapahit yang mencakup Thailand, Malaysia,
Singapura, Brunei, Filipina, hingga Papua dan Timor Timur.
Belajar dari sejarah Sriwijaya, Sumpah Palapa sang Mahapatih
Gajah Mada bukanlah mengalahkan kerajaan-kerajaan Nusantara,
melainkan merangkul semua kekuatan dan keunggulan yang ada
melalui jalan diplomasi dan persekutuan/aliansi dengan kerajaan-
kerajaan lain. Namun, sejak meningggalnya raja Hayam Wuruk,
terjadi perubahan tahta antara putri Mahkota Kusumawardhani,
dengan putra Hayam Wuruk dengan selirnya yang bernama
Wirabhumi. Pecah perang saudara yang dimenangkan
Kusumawardhani. Namun, Majapahit terlanjur pecah. Kerajaan-
kerajaan Islam mulai bangkit di pantai utara Jawa, sedangkan
Kesultanan Malaka mulai memperluas kekuasaannya ke Sumatera.
Majapahit runtuh dalam 200 tahun seiring dengan lepasnya
kerajaan-kerajaan yang sebelumnya tunduk kepada Majapahit.
Namun ironisnya kedua kerajaan besar itu pada akhirnya runtuh
bukan disebabkan oleh invasi dan serbuan musuh dari luar, tetapi
akibat terjadinya konflik dalam negeri yang berkepanjangan.
c. Sejarah juga memberikan pelajaran positif. Selama dijajah
Belanda, hampir setiap wilayah di Nusantara memberi perlawanan.
Namun, lebih dari 300 tahun perlawanan itu gagal. Perjuangan
kedaerahan hanyalah perjuangan yang melelahkan, menimbulkan
penderitaan, menghabiskan energi dan pikiran serta tidak
menghasilkan kemerdekaan. Adalah Dr. Soetomo yang memberi
penyadaran tentang pentingnya satu kesatuan dalam perjuangan

68
melawan penjajah. Gagasan persatuan diwujudkan dengan
Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1908. Saat itu, para
pemuda sepakat bertekad untuk bersatu. Kebersamaan dan
perasaan senasib dan seperjuangan ini menghasilkan energi sosial
yaitu persatuan yang sangat besar yang menjadi bola salju untuk
bersatu. Tak sampai 20 tahun kemudian, lahir Sumpah Pemuda
yang dideklarasikan oleh seluruh Pemuda Indonesia untuk
meleburkan semua potensi daerah dalam tekad berbangsa satu,
berbahasa satu, dan bertanah air satu Indonesia. Sumpah Pemuda
merupakan suatu tonggak kesamaan visi untuk merdeka dan lepas
dari penjajah Belanda dengan semboyan yang merupakan energi
sosial baru, yaitu Merdeka atau Mati. Tanpa harus menunggu
terlalu lama, yaitu 17 tahun kemudian, rakyat Indonesia berhasil
merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Hal ini ditandai dengan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia mencapai
tingkat sebagai Bangsa Patriot karena meraih kemerdekaan serta
mengusir penjajah melalui perjuangan dengan pengorbanan
pikiran, tenaga, keringat, darah dan nyawa serta dilandasi percaya
kepada kemampuan diri sendiri.

Gambar 3. 2 Generasi dalam Peperangan Modern


Sumber: Materi Ajar Proxy War Universitas Pertahanan RI, 2020

69
Generasi Perang Pertama Sampai Dengan Generasi Perang Ke Empat
(Perang Modern):
a. Perang Generasi Pertama. Perang generasi pertama adalah perang
linear front to front yang mengandalkan kekuatan manusia
(Massed Manpower). Ditentukan juga keahlian pasukan dengan
ciri utama linier. Sebagai contoh pada Perang Napoleon.
b. Perang Generasi Kedua. Perang generasi kedua yang sebagian
besar mengandalkan tembakan meriam tidak langsung. Serangan
yang terkendali secara terpusat dan teratur bagi Infanteri, tank
Artileri. Artileri sebagai penakluk dan infanteri sebagai
penguasaan wilayah serta bersifat Massed Firepower. Sebagai
contoh pada perang Dunia I.
c. Perang Generasi Ketiga. Perang generasi ketiga adalah perang
dengan manuver yang didasarkan atas daya tembak dan
menghabiskan tenaga lawan. Perang ini mengutamakan kecepatan,
spontanitas mental serta fisik prajurit. Keterlibatan menentukan
hasil yang akan dicapai tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif
menjadi penting. Contoh Perang generasi ketiga adalah Perang
Dunia II.
d. Perang Generasi Keempat. Perang generasi keempat adalah perang
asimetris (Asymmetric Warfare) yang ekstrim lahir dari
ketidakpercayaan kepada negara. Loyalitas kepada negara beralih
kepada loyalitas agama, suku, kelompok etnis, kelompok dan
lainnya. Perang ini melibatkan dua aktor atau lebih yang tidak
seimbang dan mencakup spektrum yang luas. Melibatkan
organisasi jaringan transnasional dan sub nasional untuk
menyampaikan pesan kepada khalayak yang menjadi sasarannya.
Secara strategis berfokus mematahkan kehendak pembuat
keputusan dan secara taktis menghindari konfrontasi.

Dalam zaman modern dimana perkembangan teknologi persenjataan


nuklir semakin pesat, ditambah dengan permasalahan-permasalahan sebagai
akibat dari pertambahan penduduk. Dalam kaitan ini guna menjamin dukungan
yang dibutuhkan bagi daerah pertempuran perlu dipertimbangkan beberapa hal
yang penting seperti front operasi yang akan dibentuk, gerakan pasukan dan
inisiatif dari individu yang akan terlibat dalam pertempuran yang direncanakan.
Dibandingkan pada masa-masa sekitar PD-II, maka pada situasi perang nuklir,
sektor ekonomi dan politik dalam pertempuran serta subversi dan propaganda
akan semakin berperan. Namun kiranya tidak mudah untuk mengembangkan hal

70
ini, mengingat mereka sendiri juga sedang menghadapi kemungkinan
kehancuran oleh akibat dari digunakannya senjata canggih tersebut. Namun bagi
negara berkembang memang alternatif penggunaan strategi non konvensional
dengan titik berat perang gerilya atau insurjensi merupakan hal yang paling
mungkin dilaksanakan. Keterpaduan antara kekuasaan militer dan kemampuan
Sistasos dengan kemauan untuk menghadapi serangan massal diharapkan negara
akan tetap survive. Tentunya keberhasilan ini akan sangat tergantung terutama
pada faktor manusia, semangat/moril dan kemauannya untuk memenangkan
peperangan, karena ini semua akan dapat mengurangi/meniadakan kemampuan
lawan untuk berperang. Memang dalam dekade terakhir ini sudah mulai terbuka
pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan keuntungan yang bisa
didapatkan bila kita mengaplikasikan model/bentuk peperangan. Pengaplikasian
jenis peperangan yang bersifat inkonvensional ini dilingkungan matra laut
memerlukan/merupakan satu prioritas tinggi khususnya didalam proses
perencanaan walaupun tadinya tidak pernah terpikir model atau teknik perang
mana yang bisa membantu operasi-operasi laut secara efektif. Didalam
aplikasinya bisa saja untuk menghadapi lawan yang memiliki jalur pantai yang
panjang yang didukung dengan kemampuan jaringan transportasi yang baik
digunakan kegiatan gerilya laut atau taktik gerakan dengan menggunakan
kapalkapal kecil dan kesatuan-kesatuan Pasrat yang kecil dengan kemampuan
perang amfibi. Demikian juga dengan dukungan komunikasi yang lancar,
pengumpulan informasi yang aman, dukungan bantuan logistik yang memadai
serta penerapan taktik "hit and run" (pukul dan lari) akan Iebih tepat untuk
diaplikasikan sehingga perlu untuk dikembangkan. Khusus dalam menghadapi
operasi gabungan yang melibatkan unsur-unsur dari beberapa angkatan
diperlukan kesiapan bagi para personel yang ditunjuk untuk menanganinya dan
hal ini memang perlu diantisipasi.

3.4 Ancaman Hybrid


Perang hybrid (HW) pada dasarnya merupakan modifikasi konsep dari
model peperangan konvensional dengan mensinkronasi seluruh instrumen yang
dimiliki untuk digunakan secara bersamaan dengan kekuatan konvensional.
Bagaimanapun kesepakatan mengenai definisi perang hybrid masih belum
mencapai titik kesepakatan di kalangan pemikir strategis, bahkan masih menjadi
pertentangan tersendiri. Ketiadaan suatu definisi yang universal ini
menghasilkan suatu persepsi yang disepakati bahwa perang hybrid (HW)
merupakan upaya untuk mendistorsi keadaan yang menciptakan suatu situasi
antara perang dan damai (Cullen, 2011)

71
Sedangkan definisi perang hybrid (HW) bagi pihak Barat yaitu NATO
menyatakan bahwa perang hybrid merupakan refleksi atas upaya yang dilakukan
oleh Rusia di Ukraina dalam berbagai cara di luar batas-batas konvensional
untuk mencapai keunggulan negara-negara barat dalam aspek konvensional.
Muncul anggapan bahwa perang hybrid (HW) adalah redefinisi baru dari perang,
bukan merupakan pengembangan ataupun bagian dari perang konvensional yang
selama ini menjadi pertentangan ahli strategis di barat sehingga melupakan pihak
barat dari potensi munculnya perang model baru. Walaupun hal ini ditentang
oleh Rusia bahwa metode perang hybrid (HW) bukan merupakan suatu bentuk
konsep yang baru (NATO, 2015) model generasi perang sebelumnya. Jika
generasi perang sebelumnya memfokuskan pada satu atau dua instrumen tertentu
saja seperti politik dan militer, kali ini perang hybrid melibatkan seluruh
instrumen yang dimiliki oleh suatu aktor. Hal ini demikian dapat kita lihat dalam
ilustrasi di bawah.

Gambar 3. 3 Instrumen Hybrid Warfare


Sumber: MCDC, 2015

Berdasarkan dari ilustrasi gambar grafik tersebut, unsur-unsur yang dapat


diidentifikasi dalam perang hybrid (HW) meliputi diantaranya adalah instrumen
militer, politik, ekonomi, sipil dan informasi. Penggunaan metode perang hybrid
(HW) memberikan kebebasan kepada setiap aktor untuk memilih salah satu atau
beberapa instrumen tertentu secara bersamaan untuk meningkatkan ekskalasi
secara horizontal dan vertikal dari setiap instrumen tersebut. Artinya aktor bebas
untuk memilih instrumen yang sesuai dengan kapabilitasnya atau instrumen
yang menjadi ‘titik lemah’ dari target.

72
Pengguna model perang hybrid (HW) dapat diklasifikasikan menjadi dua
aktor, yaitu pengguna aktor negara maupun aktor non-negara (Cullen, 2011).
Mengingat setelah perang dingin tidak hanya negara yang memiliki kapabilitas
untuk melakukan perang, aktor non -negara juga dapat memiliki kapabilitas yang
sama untuk menjalankan perang. Tujuan atau objective dari penggunaan model
perang hybrid (HW) ini adalah untuk mencapai kepentingan dari suatu aktor
dengan situasi dan di bawah kondisi umum status pengerahan angkatan
bersenjata. Dapat dikatakan bahwa militer merupakan instrumen yang
dikategorikan bersifat suplementer (tambahan) dari strategi perang hybrid ini.

3.4.1 Kasus Hybrid Warfare: Rusia di Eropa Timur dan Islamic State
Dalam studi kasus perang hybrid (HW) kontemporer, aktivitas kegiatan
Rusia yang terjadi di kawasan Eropa Timur dan negara-negara Baltik dapat
menjadi gambaran tentang penggunaan model perang hybrid (HW) oleh aktor
negara. Penggunaan metode perang hybrid oleh Rusia dapat ditelusuri sejak
tahun 2007 silam ketika terjadi serangan cyber terhadap fasilitas dan
infrastruktur IT di Estonia. Serangan cyber dipicu oleh protes Rusia terhadap
kebijakan Pemerintah Estonia untuk memindahkan monumen penghormatan
prajurit Rusia di masa Perang Dunia II. Serangan cyber dari Rusia menyebabkan
kelumpuhan infrastruktur dan layanan internet di Estonia yang merugikan
Estonia hampir milyaran dollar atas tutupnya layanan pemerintahan, perbankan
dan bisnis karena bergantung kepada layanan internet dalam kegiatan
operasionalnya.
Metode perang hybrid (HW) dilakukan kembali oleh Rusia setahun
kemudian dalam Perang Rusia-Georgia tahun 2008 dalam persengketaan
kawasan Osetia Selatan dan Abkhazia. Upaya Rusia untuk menganeksasi
wilayah tersebut digunakan melalui instrumen yang terdapat dalam perang
hybrid (HW). Dalam tahapan pertama, Rusia menyebar orang-orang yang
berbahasa Rusia ke wilayah tersebut disertai dengan pemberian identitas Rusia.
Hal ini dilakukan agar Rusia mendapatkan justifikasi atau alasan untuk
menganeksasi wilayah tersebut menjadi teritorial Rusia dengan dalih tuntutan
dari orang-orang tersebut. Ini dapat diidentifikasi sebagai penggunaan
instrumen sosial masyarakat (sipil). Setelah ekskalasi melalui instrumen sipil,
selanjutnya mengekskalasi instrumen politik dengan pernyataan dukungan
terhadap kelompok separatis anti-Georgia. Dukungan ini didampingi dengan
bantuan militer terhadap kelompok tersebut yang kemudian ditingkatkan
menjadi instrumen militer konvensional antara angkatan bersenjata Georgia
melawan milisi bersenjata pro-Rusia.

73
Selain itu Rusia juga melakukan serangan cyber terhadap fasilitas dan
infrasruktur Georgia. Serangan cyber tersebut menargetkan server dan
infrastruktur penting milik pemerintahan Georgia. Tercatat halaman website
milik Presiden Georgia saat itu tidak dapat diakses dalam kurun waktu 24 jam
akibat dibanjiri oleh paket data yang berasal dari Rusia. Tidak hanya di Georgia,
Rusia juga menjalankan strategi serupa di Ukraina menjelang terjadinya
aneksasi Rusia terhadap Krimea pada bulan Maret 2014. Sikap dan tindakan
Rusia atas aneksasi Krimea dan konflik bersenjata di Lugansk menjadi
perbincangan yang memenuhi pemberitaan media massa. Hal ini menimbulkan
pertanyaan di berbagai kalangan bagaimana bisa Rusia dapat melakukan
aneksasi wilayah teritorial negara lain yang berdaulat tanpa melakukan konflik
bersenjata terbuka dengan Ukraina dan negara -negara NATO.
Metode yang digunakan oleh Rusia dalam konflik di Ukraina memiliki
kemiripan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rusia terhadap Georgia di
tahun 2008. Tahapannya kurang lebih masih sama, yaitu dengan memanfaatkan
instrumen perang hybrid (HW). Pertama adalah Rusia menggunakan instrumen
sipil yang diidentifikasikan sebagai etnis populasi berbahasa Rusia yang berada
di Ukraina dan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari bangsa Rusia dan
meminta bergabung dalam Federasi Rusia. Secara linear, Rusia juga
mengirimkan personel angkatan bersenjatanya yang diistilahkan sebagai ‘little
green man’ tanpa tanda pengenal identitas apapun secara diam-diam ke Krimea
dan Lugansk untuk merebut kontrol atas aset dan fasilitas penting. Orang -orang
bersenjata dari Rusia ini mendeklarasikan diri sebagai ‘self – defense forces’ atau
pasukan bela diri dengan dalih inisiatif untuk melindungi etnis Rusia di Ukraina
dari kelompok fasis Ukraina (Norberg & Westerlund, 2014)
Selain mengirimkan orang-orang ‘etnis Rusia’, Rusia juga memberikan
dukungan politik atas suara ‘orang-orang pro-Rusia’ tersebut melalui bentuk
pernyataan untuk melindungi etnis Rusia di Krimea. Melalui pernyataan tersebut
kemudian dijadikan dasar tindakan Rusia untuk menggelar referendum di
kawasan Krimea. Manipulasi yang dilakukan Rusia dalam referendum tersebut
menghasilkan suara mayoritas ‘etnis Rusia di Krimea’ setuju untuk bergabung
di bawah pemerintahan Rusia. Komunitas internasional menuduh kejadian di
Estonia, Georgia dan Ukraina adalah sebagai tindakan Rusia, tuduhan tersebut
langsung dibantah oleh Rusia sendiri. Walaupun sejumlah bukti telah mengarah
kepada Rusia sebagai pelakunya, penolakan dan penentangan bahwa Rusia
bukan pelakunya tetap disuarakan dari informasi yang disampaikan oleh Rusia
melalui media masa mereka. Kembali instrumen perang hybrid (HW) berupa
informasi digunakan Rusia sebagai upaya membela diri. Setelah melihat
beberapa contoh kasus bagaimana Rusia menjalankan perang hybrid (HW), tentu

74
telah terbaca mengenai pola Rusia dalam menjalankan perang seperti ini.
Pertama adalah menggunakan populasi etnis Rusia yang ada di negara target
untuk melakukan protes dan pembangkangan terhadap pemerintah berdaulat
mereka berada. Kedua, menggunakan upaya diplomatik untuk menekan dan
memaksa negara target agar mau memenuhi kepentingan Rusia. Upaya
diplomasi yang bersifat agresif dan menekan ini memaksa negara target untuk
memiliki pilihan yang sempit, memenuhi tuntutan Rusia atau menghadapi
kekacauan di dalam negeri. Ketiga adalah menjadi pertanyaan doktrin apa yang
mendasari Rusia dalam menjalankan perang bentuk baru seperti ini. Penjelasan
resmi mengenai doktrin perang hybrid (HW) sebagai doktrin utama militer Rusia
dipublikasikan dalam tulisan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia,
Valery Gerasimov di sebuah jurnal terbitan Akademi Militer Rusia, Military-
Industrial Courier (Connell & Evans, 2016). Tulisannya yang berjudul “The
Value of Science Prediction” berisikan mengenai pentingnya untuk mencari
strategi dan doktrin baru untuk memenangkan perang di abad ke – 21 (Connell
& Evans, 2016).

Gambar 3. 4 Tingkatan Ekskalasi Instrumen Militer dan Non – militer yang digunakan oleh
Rusia
Sumber: MCDC, 2015

Sedangkan akar atau ground theory dari doktrin Gerasimov ini berasal
dari konsep doktrin Maskirovka peninggalan Soviet yang berisi strategi dalam
penyangkalan dan tipudaya. Doktrin Maskirovka memberikan pengaruh

75
terhadap doktrin Gerasimov ini, hal yang patut untuk digaris bawahi adalah
mengenai statemen pernyataan dari Gerasimov sendiri yang memberikan
masukan untuk menjalankan perang partisan dalam versi modern. Yang
dimaksud dengan perang partisan menurut doktrin Gerasimov tersebut adalah
dengan melakukan eksploitasi pada titik-titik lemah musuh dan menghindari
konflik secara langsung (konvensional). Jika dihubungkan dengan tindakan
Rusia menggunakan model perang hybrid (HW) di Estonia, Georgia dan Ukraina
alasan yang paling masuk akal adalah untuk menandingi superioritas NATO di
Eropa atau setidaknya bisa memberikan efek ‘pukulan’ dan daya rusak serta
kombinasi ambiguitas yang membingungkan lawan yang lebih kuat. Sesuai
dengan nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam doktrin Gerasimov serta doktrin
Maskirovka.
Selain digunakan oleh aktor negara seperti Rusia, aktor non-negara
seperti kelompok teroris Islamic State juga menerapkan model perang hybrid
(HW) untuk mencapai tujuannya. Secara singkat, kelompok teroris Islamic State
(IS) muncul di Irak pada tahun 2006 sebagai bentuk rekonsolidasi setelah
kematian Zarqawi, pimpinan Al-Qaeda di Irak saat itu. Kelompok ini berhasil
mengambil alih kontrol atas kekuasaan di kota Falujjah dan mendeklarasikan
diri sebagai ISI (Islamic State in Iraq) yang kemudian dihancurkan oleh pasukan
Amerika. Setelah dihancurkan tidak menyebabkan kelompok ini menjadi hilang
begitu saja. ISI (Islamic State in Iraq) mulai kembali menyusun kekuatan ketika
penarikan mundur pasukan koalisi Amerika di Irak tahun 2011.
Selain penarikan mundur pasukan Amerika, IS juga memanfaatkan
situasi kekacauan yang terjadi di Suriah dan beberapa negara Timur Tengah
lainnya akibat Arab Spring untuk melakukan ekspansi dan menyebarkan
pengaruhnya. Muncul seseorang yang dikenal sebagai Abu Bakar Al-Baghdadi
di tahun 2011 sebagai pemimpin kelompok ini. Dengan cepat ISI (Islamic State
in Iraq) menguasai sebagian besar wilayah di Suriah dan Irak. Situasi yang
terjadi pada saat itu menjadikan ISI bertransformasi menjadi ISIL lalu ISIS
kemudian IS (Islamic State) ketika berhasil mendapatkan kontrol atas sebagian
besar wilayah di Irak dan Suriah. Dengan waktu yang cukup singkat, sepanjang
tahun 2011-2014 IS (Islamic State) berhasil mengontrol wilayah seluas
81,000km2 di Irak – Suriah pada puncak kejayaannya. Kemenangan tersebut
terjadi akibat Islamic State berhasil mengeksploitasi beberapa kelemahan musuh
melalui instrumen perang hybrid (HW). Pertama instrumen sosial (sipil) dari IS
(Islamic State) melihat adanya celah perpecahan etnis dan sektarian antara
mazhab sunni dan syiah yang berlangsung sejak lama di Irak dan Suriah.
Perpecahan ini diakibatkan dominasi kelompok syiah dalam pemerintahan Irak
yang menyebabkan orang – orang dari kelompok sunni tersingkir. Sehingga IS

76
(Islamic State) memahami kondisi ini sebagai peluang dalam menancapkan
pengaruh dan kekuasannya. Hal ini dibuktikan dalam slogan propaganda IS
(Islamic State) sebagai ‘gerakan pemurnian islam’ yang menentang kelompok
atau paham selain ideologi IS sebagai non-muslim atau dikategorikan sebagai
‘kafir’.
Kedua adalah IS (Islamic State) menggunakan instrumen informasi
dengan menyebarkan propaganda dan video kekerasan dalam mengeksekusi
tahanan melalui media afiliasinya seperti Amaq. Tidak hanya menyebarkan
video, aktivitas kelompok pro-Islamic State di dunia internet juga meliputi
kegiatan melawan hukum seperti web deface, hacking, DdoS (Distributed
Denial of Service Attack) hingga menyusup di berbagai media sosial untuk
mencari simpatisan baru. Dengan begitu kelompok IS akan tetap terus
mendapatkan dukungan baik segi moral maupun materi dari seluruh dunia dan
meningkatkan kapabilitas kelompok tersebut.
Ketiga instrumen yang digunakan oleh IS (Islamic State) adalah
kekuatan sipil yang berasal dari simpatisannya di seluruh dunia, yang bersimpati
atau terpengaruh oleh pemikiran IS (Islamic State) yang disampaikan melalui
media komunikasi seperti internet. Kekuatan sipil IS yang dikenal sebagai sel
tidur (sleeper cell) yang tersebar di seluruh dunia dapat melakukan tindakan
serangan terhadap musuh dari IS (Islamic State). Sel tidur ini akan bergerak
apabila mendapatkan perintah atau seruan dari pimpinan IS yang berada di Irak
– Suriah. Hal ini menjadikan deteksi ancaman terorisme semakin sulit, karena
pola terorisme yang dulu sebelumnya berkelompok (gaya klasik teroris Al –
Qaeda) sekarang dapat dilakukan secara individual dengan alat apapun yang bisa
diperoleh. Sehingga ada kecenderungan IS (Islamic State) melakukan proses
atomisasi teror atau mereduksi konsep terorisme agar semakin kecil dan efektif.
Sejumlah contoh kasus serangan terorisme yang terjadi di berbagai
belahan dunia seperti di Belgia, Jerman, Perancis dan Indonesia merupakan
gambaran ringkas bagaimana orang-orang simpatisan IS (Islamic State) dapat
berubah melakukan serangan atas nama IS dan mengidentifikasi dirinya sebagai
‘tentara khilafah’ yang melawan ‘musuh islam’.

3.4.2 Solusi Penanganan dan Pencegahan


Setelah melihat studi kasus mengenai model perang hybrid (HW) oleh
Rusia dan Islamic State, sangat penting untuk menyadari bahwa model
peperangan telah mengalami perubahan menjadi suatu bentuk yang ‘tidak jelas’
dalam artian yang cukup luas. Ini berarti siapapun bisa melakukan perang
dengan cara dan metode yang bermacam – macam. Ketersediaan instrumen
pendukung dan utama menjadi salah satu langkah yang menentukan bagi pihak

77
yang diserang maupun penyerang. Ketika musuh melakukan perang hybrid
(HW), persiapan pertahanan tidak dapat langsung dilakukan saat itu juga karena
menyangkut aspek-aspek lain seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, informasi,
cyber dan sebagainya. Berbagai langkah penanganan dan pencegahan bisa
dimungkinkan untuk dilakukan dalam menghadapi model perang seperti ini
dalam jangka waktu yang panjang.
Pertama semestinya dilakukan dalam mempersiapkan perang hybrid
adalah melakukan assesment terhadap situasi ekonomi, sosial, politik, budaya
yang ada di dalam suatu negara. Hal ini penting mengingat perang model hybrid
(HW) menggunakan dan mengeksploitasi kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam suatu entitas negara atau kelompok. Indonesia misalnya rentan dalam isu
konflik horizontal akibat sentimen SARA. Jika tidak dilakukan upaya untuk
memperbaiki entitas sosial- budaya, maka musuh kemungkinan akan
memanfaatkannya dengan meningkatkan ekskalasi konflik horizontal di
Indonesia. Akibatnya akan melemahkan Indonesia karena menghadapi
kekacauan di dalam negeri sementara dilain pihak tidak dapat berkonsentrasi
untuk melakukan mobilisasi militer dan menjalankan kegiatan ekonomi.
Kedua adalah institusi pemerintahan harus memiliki pemahaman yang
sama dalam menghadapi ancaman yang bersifat hybrid. Pemahaman bersama
tersebut dapat diperoleh dengan adanya pendidikan dan latihan bersama lintas
institusi pemerintahan. Dengan begitu diharapkan dapat saling memiliki satu
persepsi yang sama mengenai ancaman perang hybrid (HW) dan dapat dilakukan
antisipasi maupun pencegahan yang sesuai dengan kapasitas institusi yang
terkait.
Ketiga adalah dengan melakukan kerjasama secara menyeluruh antara
aktor negara dengan non-negara dalam bentuk kapasitas yang saling mendukung
dalam berbagai aspek instrumen yang menjadi potensi serangan secara hybrid
seperti politik, media hingga militer konvensional.

78
BAB 4
BELA NEGARA

4.1 Pendidikan Kewarganegaraan


4.1.1 Garis Besar Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Nu’man Somantri dalam dikti (2014:7), Pendidikan
Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik
yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh
positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu
diproses guna melatih para siswa untuk berfikir kritis, analitis, bersikap, dan
bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan
wajib nasional yang harus diambil. Namun demikian, pendidikan
kewarganegaraan harus disampaikan dengan metode dan pendekatan yang
bukan indoktrinasi melainkan dengan metode yang memungkinkan daya kritis
Taruna terhadap berbagai persoalan bangsa. Pendidikan kewarganegaraan
diberikan agar Taruna memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis,
berkeadaban, berdaya saing, disiplin dan berpartisipasi aktif dalam
pembangunan nasional guna mewujudkan tujuan nasional yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945.
Menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi, PKn adalah mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama,
sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang
cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
1945. Dalam hal ini, PKn berfungsi untuk mengembangkan kecerdasan warga
negara (civil intelegence), menumbuhkan partisipasi warga negara (civil
participation) dan mengembangkan tanggungjawab warganegara untuk bela
negara (civil responsibility). Warganegara yang cerdas diharapkan mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi negara dan bangsanya. Melalui
partisipasi warganegara akan membawa kemajuan negara, karena tidak ada satu
negara pun di dunia maju tanpa partisipasi aktif dari warga negaranya. Begitu
pula dengan tanggungjawab warganegara atas persoalan yang dihadapi negara
dan bangsanya akan berkontribusi untuk kemajuan negara dan bangsanya.
Dalam hal ini, tujuan yang diharapkan dalam pendidikan
kewarganegaraan adalah agar menjadi profesional yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, berkeadaban, memiliki daya saing,
berdisiplin, berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai
berdasarkan sistem nilai Pancasila. Sedangkan standar kompetensi yang wajib

79
dikuasai dan mampu berfikir rasional, bersikap dewasa dan dinamis,
berpandangan luas dan bersikap demokratis yang berkeadaban sebagai warga
negara Indonesia. Dengan berbekal kemampuan intelektual ini diharapkan
mampu melaksanakan proses belajar sepanjang hayat (long live learning),
menjadi ilmuwan profesional yang berkepribadian dan menjunjung nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan hakikat
Pendidikan Kewarganegaraan, untuk membekali dan memantapkan dengan
pengetahuan dan kemampuan dasar hubungan warga negara Indonesia yang
Pancasilais dengan negara dan sesama warga negara. Menurut UU
Nomor20/2003 tentang sistem pendidikan nasional jo. Pasal 35 UU Nomor
12/2012 tentang pendidikan tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan
agar peserta didik memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Selain itu, menurut Abdul Azis Wahab dan Sapriya (2012:311) tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang baik.
Menurut SK Dirjen Dikti Nomor43/2006, Pendidikan Kewarganegaraan
dimaksudkan untuk menjadikan peserta didik yang menjadi ilmuwan dan
profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang
berkeadaban; menjadi warganegara yang memiliki daya saing; berdisiplin; dan
berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan
sistem nilai Pancasila. Pada karya “Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-
Equilibrium Di Indonesia” membahas tentang Pancasila menghadapi berbagai
tantangan dari perkembangan global. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi maka nilai-nilai luhur bangsa dapat ditransfer dan dihancurkan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang telah menjadi ciri khas dan
identitas bangsa. Salah satunya adalah Bela Negara menunjukkan kondisi suatu
bangsa dalam memelihara jati diri bangsa dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur
budaya bangsa. Nilai-nilai luhur dan budaya bangsa Pancasila menjadi tanggung
jawab bersama semua departemen dan lembaga negara.
Generasi muda harus meningkatkan kewaspadaan nasional dan
ketahanan nasional, karena masa depan bangsa adalah tanggung jawab mereka.
Mulai dari individu atau keluarga, komunitas kecil hingga kolektif nasional,
penerapan nilai-nilai progresif harus konsisten. Jika penerapan nilai tidak sesuai
dengan aktor sosial, maka akan banyak terjadi distorsi dalam menentang
kemajuan nasional. Bisa terjadi di level personal atau keluarga, nilai kerja keras
itu sukses, tapi nilai welas asih atau welas asih rasa malu tidak bisa diabaikan
(misalnya perilaku koruptor), sehingga perlu dirumuskan rencana peningkatan
jati diri dan jati diri bangsa Indonesia untuk membentuk jati diri bangsa
Indonesia.

80
4.1.2 Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional diperlukan bukan hanya sebagai konsepsi politik saja
melainkan sebagai kebutuhan yang diperlukan dalam menunjang keberhasilan
tugas pokok pemerintahan, seperti: tegaknya hukum dan ketertiban (law and
order), terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity),
terselenggaranya pertahanan dan keamanan (defence and security), terwujudnya
keadilan hukum dan keadilan sosial (juridical justice and social justice), serta
terdapatnya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasikan diri (freedom of the
people) (Wahyono, 1996). Dalam lima tahun terakhir, posisi Indonesia dalam
kondisi kurang tangguh, hal ini berdasarkan hasil yang dirilis oleh Laboratorium
Pengukuran Ketahanan Nasional. Tantangan tersebut harus segera dicarikan
solusinya, salah satu yang harus ditingkatkan dan dioptimalkan yakni bela
negara. Dalam UndangUndang Dasar 1945, pasal 30 dan Undang-Undang No. 3
tahun 2002, sudah diamanatkan terkait dengan bela negara ini. Kondisi kekinian
yang terjadi di Indonesia, seharusnya bela negara dapat disesuaikan dalam
penerapannya dengan programprogramnya melalui nilai-nilai yang adaptif
dengan kekinian. Penyesuaian ini dilakukan supaya lebih menarik dan dapat
menumbuhkan sikap bela negara guna dicarikan solusinya dari berbagai macam
massalah di Indonesia. Bela negara dapat didefinisikan sebagai suatu tekad,
sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan
berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan
bernegara Indonesia serta keyakinan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi
negara dan kerelaan untuk berkorban guna meniadakan setiap ancaman baik
yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang membahayakan
kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan dan persatuan bangsa, keutuhan
wilayah dan yurisdiksi, serta nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 (Azhar, 2001:32).
Pendapat lainnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Wiyono dan Isworo
(2007:3) mendefinisikan bela negara sebagai suatu sikap dan perilaku warga
negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Kedua
pendapat tersebut, kemudian diperkuat lagi dengan pendapat Winarno
(2007:186), bahwa sesungguhnya bela negara tidak selalu harus berarti
memanggul senjata untuk menghadapi musuh atau bela negara yang bersifat
militeristik. Dalam konteks bela negara ini, kemudian dapat dipahami menjadi
dua klasifikasi dalam bela negara yakni ada yang fisik dan non fisik.
Untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya, setiap negara menghadapi
berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan campur tangan dari dalam maupun

81
luar yang mengancam kelangsungan hidupnya. Untuk melindungi diri dari
semua pelanggaran ini, suatu negara perlu memiliki keuletan, kekuatan, dan
ketahanan agar dapat bertahan dari berbagai turbulensi yang ditimbulkan.
Ketahanan tersebut dinamakan “Tannas. Konsep ini pada dasarnya berpijak pada
Pancasila dan UUD 1945 berdasarkan “Wasantara”, mengatur dan
melaksanakan konsep kesejahteraan dan keamanan sepanjang kehidupan
bernegara secara seimbang dan harmonis. Oleh karena itu, Tanduk mempunyai
fungsi sebagai sistem kehidupan bangsa dan model dasar pembangunan
nasional, serta berstatus sebagai syarat, doktrin, dan cara penyelesaian massalah
bangsa. Sebagai kondisi, Tannas tidak lain adalah hasil atau keluaran dari
pembangunan nasional, yakni integrasi kehidupan bangsa atau perkembangan
berbagai aspek Astargatra. Oleh karena itu, keberhasilan perbaikan Tanduk
sekaligus mencerminkan keberhasilan seluruh aspek kehidupan bangsa saat itu.
(Hikmawan & Universitas, 2020)
Di tengah semakin kaburnya wujud dan bentuk ancaman yang
berkembang dewasa ini, kerapuhan jiwa dan semangat kebangsaan
sesungguhnya merupakan potensi ancaman terbesar bagi keberlangsungan dan
keutuhan bangsa. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa pemahaman empat
pilar wawasan kebangsaan akan membangkitkan semangat dan kesadaran bela
negara seluruh warga negaranya dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman.
Empat pilar wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara merupakan unsur
soft power dalam spektrum bela negara. Lebih jauh lagi, dalam konteks sistem
pertahanan negara, pemahaman empat pilar wawasan kebangsaan merupakan
kekuatan moral pertahanan nir militer setiap warganegara dengan berbagai
profesinya untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan negara.
Bela Negara biasanya selalu dikaitkan dengan militer atau militerisme,
seolah-olah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya
terletak pada Tentara Nasional Indonesia. Padahal berdasarkan Pasal 30 UUD
1945, bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Republik
Indonesia. Bela negara adalah upaya setiap warga negara untuk
mempertahankan NKRI. Sebagai warga negara sudah sepantasnya kita turut
serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam
ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan pada NKRI atau Negara Kesatuan
Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan
dan kesatuan NKRI.
Semua potensi ancaman tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan
Ketahanan Nasional melalui berbagai cara, antara lain:

82
1. Pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat
menangkal pengaruhpengaruh budaya asing yang tidak sesuai
dengan normanorma kehidupan bangsa Indonesia
2. Upaya peningkatan perasaan cinta tanah air (patriotisme) melalui
pemahaman dan penghayatan (bukan sekedar penghafalan) sejarah
perjuangan bangsa.
3. Pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi sumber daya alam
nasional serta terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan
berwibawa (legitimate, bebas KKN dan konsisten melaksanakan
peraturan/undang-undang)
4. Kegiatan-kegiatan lain yang bersifat kecintaan terhadap tanah air
serta menanamkan semangat juang untuk membela negara, bangsa
dan tanah air serta mempertahankan Panca Sila sebagai ideologi
negara dan UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
5. Untuk menghadapi potensi agresi bersenjata dari luar, meskipun
kemungkinannya relatif sangat kecil, selain menggunakan unsur
kekuatan TNI, tentu saja dapat menggunakan unsur Rakyat Terlatih
(Ratih) sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta.
Dengan doktrin Ketahanan Nasional itu, diharapkan bangsa Indonesia
mampu mengidentifikasi berbagai massalah nasional termasuk ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan terhadap keamanan negara guna menentukan
langkah atau tindakan untuk menghadapinya.

4.1.3 Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
memiliki fungsi yang sangat mendasar. Selain sebagai lembaga peradilan resmi
yang mensyaratkan seluruh peraturan perundang-undangan harus berdasarkan
Pancasila, Pancasila sering disebut sebagai sumber dari segala hukum, dan
Pancasila Ini bersifat filosofis. (Setiawan, 2020). Pancasila sebagai landasan
falsafah bangsa dengan cara hidup dan perilaku berbangsa dan bernegara yang
berarti Pancasila merupakan falsafah dan gaya hidup bangsa Indonesia dalam
proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
untuk mencapai tujuan nasional. (LESILOLO, 2018)
Berbicara tentang Pancasila, kita harus menempatkan diri kita sebagai
sebangsa bangsa, saudara, putra tanah Indonesia. Kita harus selalu mengingat
status alam yang setara dan kesamaan sifat alami kita. Kita lahir sebagai
keturunan dari satu nenek moyang, kita punya darah yang bersatu, kita lahir di
tanah Indonesia, kita punya kesatuan tempat lahir dan tempat tinggal. Kami
memiliki sumber kehidupan yang bersatu, kami hidup bersama, kami hidup

83
bersama. Segala yang kita butuhkan dalam hidup, saling berinteraksi dan bekerja
sama, memiliki kesamaan takdir dan sejarah, setelah mendeklarasikan
kemerdekaan, kita bertekad untuk hidup bersama dalam satu negara yang
bersatu, merdeka, adil dan makmur bagi diri kita sendiri dan keturunan kita
sampai akhir zaman. (Rahmawati & Dewi, 2021)
Sebagai landasan dan pedoman hidup berbangsa, Pancasila mengandung
nila-inilai luhur, dan setiap warga negara Indonesia wajib menghayati dan
membimbing nilai luhur tersebut dalam kehidupan dan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pandangan hidup yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia berakar pada akar budaya dari kepercayaan dan nilai-nilai
agama masyarakat Indonesia, sehingga dengan pandangan hidup yang diyakini
masyarakat Indonesia dapat dan dapat dengan tepat menyelesaikan
permassalahan yang dihadapinya. (Dr. Aminuddin, 2020). Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di dunia, khususnya di Indonesia bahwa konsep
pertahanan negara saat masa damai maupun masa perang didasarkan pada
refleksi spektrum bela negara yang harus dipahami oleh semua warga negara.
Melalui hal tersebut sesungguhnya diingatkan, bahwa setiap warga negara
Indonesia maupun bangsa lainnya untuk senantiasa mempertahankan dan
memperjuangkan ruang hidup serta kepentingan nasionalnya.
Pada dasarnya national resilience harus dibina dan dikondisikan dari
berbagai aspek, akan menentukan kualitas dari pertahanan negara itu sendiri,
sehingga pertahanan negara (national defence) sangat terbalik lurus dengan
ketahanan nasional (national resilience) Indonesia. Dengan demikian, setiap
transformasi maupun pergeseran (shifting) yang terjadi pada ketahanan nasional
akan berpengaruh juga pada pertahanan negara (national defence) sampai pada
implementasinya. Saat ini klasifikasi bela negara ini tidak pada pemahaman
bahwa bela negara harus angkat senjata atau secara fisik, melainkan saat ini bela
negara kontekstualisasinya jauh lebih luas bahkan paling lunak (soft) sampai
pada bentuk yang keras (hard). Bela negara dalam bentuk lunak masuk
klasifikasi aspek psikologis dan aspek fisik. Aspek psikologis ini yang tercermin
dalam jiwa, karakter, sikap, bahkan jati diri dari setiap warga negara. Dasar
muara dari aspek psikologis ini pada prinsipnya akan dituangkan kedalam pola
melalui pikiran, karakter, maupun sikap akan mencerminkan kesadaran dalam
bela negara. Adapun aspek fisik ini sendiri perwujudannya dalam bentuk
tindakan nyata dalam berbagai keseharian negara, yang menjunjung negara
Indonesia.
Bela negara pada konteks keras (hard) merupakan bentuk hak dan
kewajiban warga negara (the rights and obligations of citizens) yang diwujudkan
secara fisik untuk menghadapi ancaman militer negara lain. Dalam konteks yang

84
lebih luas, negara sebenarnya telah menyusun suatu doktrin dan sistem
pertahanan semesta, yang mekanismenya ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan terkait dengan peran, tugas, dan tanggung jawab pada
berbagai Komponen seperti Komponen Utama, Komponen Cadangan, dan
Komponen Pendukung. Pemahaman yang sangat komprehensif terhadap
Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung, jika terselenggara dengan
baik, maka dapat memperkuat dan memperbesar dari Komponen Utama itu
sendiri. Klasifikasi bela negara dari yang lunak sampai keras tidak boleh terputus
dan harus berkelanjutan. Bahkan sangat sulit dipungkiri saat ini memberikan
pemahaman dan meningkatkan peran bela negara lebih kompleks maupun
komprehensif. pada saat masa damai menjadi kunci keberhasilan dari
terselenggaranya peran bela negara agar dapat menentukan kualitas dari
pertahanan negara (national defence) Indonesia.
Menurut pendapat Harol H. Titus. Definisi dari ideologi adalah: Aterm
used for any group of ideas concerning various political and aconomic issues
and social philosophies often applied to a systematic scheme of ideas held by
groups or classes, artinya suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok cita-
cita mengenai bebagai macam massalah politik ekonomi filsafat sosial yang
sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang suatu cita-cita
yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat.Bila kita terapkan
rumusan ini pada Pancasila dengan definisi-definisi filsafat dapat kita
simpulkan, maka Pancasila itu ialah usaha pemikiran manusia Indonesia untuk
mencari kebenaran, kemudian sampai mendekati atau menanggap sebagai suatu
kesanggupan yang digenggamnya seirama dengan ruang dan waktu. Apabila
Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam
kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan
kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya
tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala
dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi
yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.
Padahal, seharusnya, periode reformasi yang sudah berlangsung hampir 14 tahun
ini kita gunakan untuk menarik pelajaran berharga dari periode sebelumnya‖,
selain itu juga terbukti dengan bayaknya pelnggran-pelangaran HAM yang
terjadi dari zaman orde lama hingga sekarang ini. Akan tetapi di balik massalah-
massalah yang yang di hadapi pancasila dalam proses imlpemntasinya pancasila
bagi perkembangan hidup bangsa Indonesia masih memiliki suatu keyakinan
bahwa krisis multidimensional itu dapat ditangani sehingga kehidupan
masyarakat akan menjadi lebih baik.

85
4.1.4 Relevansi Pancasilan sebagai Landasan Ketahanan Nasional
Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki latar belakang sejarah,
budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistem nilai dan filsafat, baik nilai-nilai
moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai non religious (sekular,
atheisme). Tegasnya, setiap bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai
peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious
atau non-religious. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang
majemuk dan multikultur, kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara diwarnai oleh adanya keyakinan agama dan kepercayaan yang kuat.
Disisi lain aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi juga mewarnai kehidupan
ketaanegaraan suatu bangsa. Keberadaan peninggalan candi seperti candi
borobudur, prambanan, dan situs peninggalan keagamaan lainnya merupakan
bukti tentang kehidupan bangsa Indonesia yang religius sejak dulu. Hal ini
menunjukkan adanya pedoman hidup dasar bangsa Indonesia yang
berketuhanan.
Selanjutnya, prinsip yang tertuang dalam sila kedua Pancasila,
merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai budaya bangsa
indonesia yang beragam. Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa
ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan
Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang
mengagungkan manusia sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam.
Sementara itu, menyadari keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan
belajar dari pengalaman masa penjajahan, maka persatuan bangsa Indonesia
menjadi tuntunan hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Justru dengan
kemajemukan yang dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang
sangat heterogen. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan
eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri dan
identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga
keberadaannya. Sila keempat merupakan bentuk kesadaran dan
pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan pada
perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan
bangsa Indonesia sejak dulu.
Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi pilar
kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun. Menyadari
tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya persatuan bangsa,
maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk
mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan
kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang

86
berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip keadilan merupakan kristalisasi
keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil
dan makmur. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan
pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila.
Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai
hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: Negara Pancasila adalah suatu
negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga
bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing
dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan
kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan
umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa (keadilan sosial).
Konsep-konsep yang terkandung dalam ketahanan nasional berkaitan
dengan budaya yang membentuk sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
perilaku lingkungan sosial secara keseluruhan. Sebagai lingkungan sosial,
budaya juga bisa disebut sebagai alat untuk membentuk karakter kolektif.
Seperti yang dikutip dari, Otto Bauer mendefinisikan konsep “bangsa” sebagai
“bangsa adalah persamaan, karakter, dan kesatuan karakter yang dihasilkan oleh
kesatuan pengalaman.” Pendidikan Proses tersebut harus mampu menghasilkan
karakter yang berkarakter dan mampu menjadi warga negara yang berkarakter
individu bangsa (Yassa, 2018).
Ketahanan nasional menjadi prinsip dan kebutuhan berkelanjutan untuk
memberikan negara kepada setiap komponen negara. Hal ini sangat penting,
karena melalui pemahaman tentang ketahanan dan pembangunan berkelanjutan
seluruh negeri, secara khusus menyasar generasi muda intelektual. Hal tersebut
dapat memperluas wawasan dan wawasan bagi bangsa, oleh karena itu sebagai
generasi bangsa kita akan mampu memperkuat ketahanan dan ketahanan kita,
serta mengembangkan kekuatan bangsa kita untuk menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, ancaman, hambatan dan campur tangan dari sumber eksternal
dan internal.
Relevansinya Pancasila melalui nilai-nilainya mampu menerjemahkan
ketahanan nasional melalui warisan budaya daerah dan kearifan lokal adalah
bahwa keragaman budaya dan moral nusantara telah ditingkatkan dalam hal
puncak budaya dan karakter bangsa, persatuan bangsa, persatuan bangsa
(tunggal ika) dan jiwa bangsa. Di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
Pancasila. Budaya nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran bangsa dan ketahanan bangsa, serta menjadi benteng pertahanan

87
terhadap kemerosotan pandangan bangsa yang kita rasakan di era pemerintahan
dewasa ini (Sulianti, 2018).

4.1.5 Kesadaran Bela Negara


Kesadaran bela negara merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga
negara. Sesuai dengan Pasal 27 Ayat (3), Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI Tahun
1945. Mencermati Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 30 Ayat (1), mengisyaratkan
bahwa usaha pembelaan negara dalam mempertahankan negara merupakan hak
dan kewajiban bagi setiap warga negara dengan tidak ada perkecualiaannya.
Usaha pembelaan Negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun1999 tentang HAM termuat dalam Pasal 68 yang berbunyi;
setiap warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Republik
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 2 dan pasal 9 Ayat (1)
dan (2) yang pada intinya bahwa setiap warga Negara ikut serta dalam usaha
pembelaan Negara yang diselenggarakan dalam Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara (PPBN). Begitu pula dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2004 tentang TNI diatur dalam pasal 7 Ayat (1) yang pada prinsipnya
TNI mempertahankan kedaulatan Negara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945 serta melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem pendidikan Nasional, pasal 3, intinya pendidikan membentuk peradaban
bangsa dan martabat dengan pengembangan potensi peserta didik bertaqwa
kepada YME, beriman, kreatif, berahlak mulia, berilmu, cakap, mandiri,
demokratis dan bertanggung jawab. Sedangkan yang dimaksud dengan warga
Negara sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganengaraan terdapat dalam Pasal 4, yang pada intinya
bahwa warga Negara Indonesia.
Namun kenyataan saat ini, kesadaran bela negara belum mampu
dilaksanakan generasi muda. Generasi Muda melakukan kekerasan pada tahun
2013 total telah terjadi 255 kasus kekerasan yang menewaskan 20 siswa, tahun
2014 Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 2.737 kasus atau 210 setiap
bulan dan tahun 2015 angka kekerasan pelakunya antar pelajar/siswa akan
meningkat sekitar 12-18 persen (Wira Anoraga, 2016).
Pada tahun 2016 telah terjadi tawuran antar pelajar SMKN 4 Tangerang
dengan SMK PGRI 2 yang menyebabkan satu orang korban tewas (Dodi Irawan,
2016). Sehubungan kasus-kasus yang telah terjadi berarti bahwa kesadaran bela

88
negara bagi generasi muda sudah menurun, sehingga kewaspadaan generasi
muda melemah pula serta ketahanan nasional juga menjadi kurang tangguh.
Dalam lingkungan global telah terjadi perkembangan ISIS yang
mempengaruhi pelajar SMA atas nama Teuku Akbar saat bersekolah di Turki (
International Anatolian Mustafa Germirli Imam Khatib High School pada
September 2013), (Mehulika Sitepu, 2016). Generasi muda saat ini belum
memiliki sikap dan perilaku kurang patuh terhadap norma kesopanan,
kesusilaan, agama maupun norma hukum. Penyalahgunaan narkotika dan obat-
obatan terlarang (Anonim, 2016), dikalangan generasi muda dewasa ini, kian
meningkat dengan usia sasaran narkoba ini adalah kaum muda atau remaja
berkisar antara 11 tahun sampai 24 tahun.
Ancaman bagi generasi muda saat ini ialah dengan berkembangnya
paham radikalisme. Penyebaran paham ekstrim dan radikal di kalangan pelajar
yang akan menjadi target kelompok tertentu untuk dibina menjadi generasi
radikal. Idris (2016: 202) menyatakan bahwa radikalisme merupakan suatu
paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan
terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya. Radikalisme yang
berbahaya berupa perubahan besar atau ekstrem namun cenderung bertentangan
dengan kelaziman dan aturan agama atau negara. Penyebab adanya gerakan
radikalisme dikarenakan keterbelakangan pendidikan, perubahan politik,
kemiskinan, rendahnya peradaban budaya, dan sosial. Adanya radikalisme yang
berujung pada kegiatan terorisme yang mengakibatkan kerugian terhadap negara
maupun warga negara (Abdullah, 2016).
Penggunaan narkoba dikalangan pelajar telah mencapai 22 persen, pada
kelompok usia 15 sampai 20 tahun menggunakan narkotika jenis ganja dan
psikotropika seperti sedatin (Pil BK), rahypnol dan megadon. Keterlibatan para
mahasiswa penyalahgunaan narkoba pada tahun 2010 sebanyak 515 tersangka,
terus meningkat pada tahun 2011 sebanyak 607 tersangka, pada tahun 2012
sebanyak 709 tersangka, dan pada tahun 2013 sebanyak 857 tersangka.
Penelitian BNN pada tahun 2011 di 16 provinsi di tanah air, diperoleh data
peredaran dan penyalahgunaan narkoba pada pelajar dan mahasiswa ditemukan
2,6 persen siswa SLTP sederajat pernah menggunakan narkoba, 4,7 persen siswa
SMA, dan untuk Perguruan Tinggi 7,7 persen mahasiswa yang pernah mencoba
narkoba. Berbagai permassalahan yang telah terjadi dalam kondisi bela negara
saat ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama, Melemahnya Kesadaran Bela Negara bagi Generasi Muda.
Berbagai peristiwa yang terjadi diperankan oleh generasi muda kita menandakan
bahwa, telah terjadi sikap dan perilaku melemahnya nilai-nilai bela negara yang
meliputi kecintaan terhadap tanah air Indonesia, kesadaran berbangsa dan

89
bernegara Indonesia, keyakinan akan kebenaran Pancasila sebagai dasar negara,
sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, Kesadaran Bela Negara belum optimal dan membudaya dalam
kehidupan nasional. Sebelum pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, kita
yakin telah mengupayakan membina seoptimal mungkin untuk
mensosialisasikan nilai-nilai bela negara dalam kehidupan nasional yang
meliputi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya mensosialisasikan,
melakukan pendidikan dan pelatihan, ceramah, diskusi dan lain-lain, bertujuan
untuk membentuk budaya karakter bangsa yang nasionalisme dan berjiwa
patriotisme.
Ketiga, Belum optimalnya pada pelaksanaan terhadap kebijakan
aktualisasi kesadaran bela negara. Reformasi yang dilaksanakan pada tahun
1998 sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan nasional. Pengaruh
reformasi itu membuat pemerintah kehilangan arah dan kebijakan dalam
merumuskan bela negara sebagai komponen utama untuk membentuk
kekokohan karakter bangsa. Negara Indonesia dimiliki oleh seluruh warga
negara Indonesia, dengan demikian setiap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk dalam rangka untuk mengatur kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat tentunya mengikutsertakan seluruh partisipasi generasi muda
melalui penjaringan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, Kurikulum Pendidikan Nasional memuat sangat sedikit materi
Bela Negara. Kurikulum Pendidikan Nasional secara formal yang dimulai dari
Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi memuat materi Bela
Negara sangat minim, padahal pembentukan karakter bangsa dimulai sejak dini,
ketika anak-anak masih duduk dibangku Taman Kanak-Kanak (TK). Apabila
masih anak-anak dibentuk rasa nasionalisme, wawasan kebangsaan, nilai-nilai
Pancasila, maka akan tumbuh sikap bela negara yang militan.
Menyadari permasalah tersebut, terdapat sejumlah Kondisi Aktualisasi
Kesadaran Bela Negara Yang diharapkan. Generasi muda merupakan tulang
punggung negara, berpeluang besar menjadi pemimpin-pemimpin nasional baik
dimasa sekarang maupun masa depan. Kesadaran bela negara akan tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan generasi muda kesehariannya dalam lingkungan
tempat tinggal dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan umum, lingkungan
kerja dan lingkungan sekolah.
Pemahaman bela negara terbentuknya karakter bangsa dalam
menghadapi serta mengatasi setiap setiap, ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri yang
membahayakan kelangsungan pertahanan dan keamanan bangsa dan negara
Indonesia. Menurut Suryanto Suryokusumo, dkk, kekuatan rakyat adalah

90
sumber dari kekuatan negara, kekuatan pertahanan nonmiliter dibangun dari
potensi kekuatan sosial dan politik yang terkandung pada masyarakat. Dengan
suatu ketrampilan, kekuatan tersebut bisa dimanfaatkan dan digunakan tidak
hanya untuk menghancurkan penindasan atau tirani, tetapi juga untuk
menangkal dan mengalahkan agresi dengan efektif dalam rangka pertahanan non
militer.
Bela negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara.
Sebagaimana berlandaskan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 yang dalam hal ini setiap warga negara dengan penuh rasa tanggung jawab
serta mengabdi secara ikhlas dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan
bangsa. Kedisiplinan, keuletan, ketangguhan, kejujuran serta rasa tangggung
jawab harus tertanam dalam kepribadian setiap warga negara dalam
mewujudkan bela negara. Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa keikutsertaan warga
negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan
kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai
prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib dan pengabdian sesuai dengan
profesi. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh warga negara untuk berpartisipasi
dalam upaya bela negara.
Upaya penguatan sikap bela negara dapat dilakukan di sekolah. Sekolah
menjadi wahana pendidikan bagi generasi muda bangsa. Penguataan sikap bela
negara dapat digunakan untuk mengatasi ancaman globalisasi dan paham yang
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Untuk mengantisipasi hal ini, maka
dibutuhkan program yang menyeluruh dan bisa menangkal ancaman akan
bahaya radikalisme. Bela negara menjadi salah satu upaya dikalangan pelajar
untuk menangkal adanya paham radikalisme. Sehingga perlu segera diantisipasi,
agar dimasa depan tidak menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Melalui bela negara diharapkan akan terbangun generasi yang memiliki
karakter disiplin, optimisme, kerja sama, dan kepemimpinan yang sudah barang
tentu menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara kita. Penanaman nilai
cinta tanah air sejak dini, artinya kita membangun rasa nasionalisme dan
kebangsaan di generasi muda. Ini menjadi upaya konkret untuk menentukan
sikap dalam konteks mempertahankan Pancasila dan keutuhan NKRI. Berbagai
massalah yang berkaitan dengan kesadaran berbangsa dan bernegara sebaiknya
mendapat perhatian dan tanggung jawab kita semua. Sehingga amanat pada
UUD 1945 untuk menjaga dan memelihara Negara Kesatuan wilayah Republik
Indonesia serta kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan.
Hal lain yang dapat mengganggu kesadaran berbangsa dan bernegara di
tingkat pemuda yang perlu di cermati secara seksama adalah semakin tipisnya

91
kesadaran dan kepekaan sosial di tingkat pemuda, padahal banyak persoalan-
persoalan masyarakat yang membutuhkan peranan pemuda untuk membantu
memediasi masyarakat agar keluar dari himpitan massalah, baik itu massalah
sosial, ekonomi dan politik, karena dengan terbantunya masyarakat dari semua
lapisan keluar dari himpitan persoalan, maka bangsa ini tentunya menjadi bangsa
yang kuat dan tidak dapat di intervensi oleh negara apapun, karena masyarakat
itu sendiri yang harus disejahterakan dan jangan sampai mengalami penderitaan.
Di situ pemuda telah melakukan langkah konkrit dalam melakukan bela negara.
Kesadaran bela negara adalah dimana kita berupaya untuk
mempertahankan negara kita dari ancaman yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup bermasyarakat yang berdasarkan atas cinta tanah air.
Kesadaran bela negara juga dapat menumbuhkan rasa patriotisme dan
nasionalisme di dalam diri masyarakat. Upaya bela negara selain sebagai
kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang
dilaksanakan dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab dan rela
berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan kita
dalam bela negara merupakan bentuk cinta terhadap tanah air kita. Nilai-nilai
bela negara yang harus lebih dipahami penerapannya dalam kehidupan
masyarakat berbangsa dan bernegara antara lain:
a. Kecintaan kepada Tanah Air Indonesia
Kesadaran bela negara terbangun melalui cara pandang yang berhubungan
dengan sejarah kebudayaan bangsa Indonesia, serta falsafah/ideologi
Pancasila akan terbentuk wawasan nasional atau wawasan nusantara.
Dengan telah terpolakan melalui cara pandang, sejarah dan kebudayaan
bangsa, falsafah Pancasila akan terwujud pertahanan keamanan negara
Indonesia oleh kesadaran bela negara setiap warga negara atau seluruh
komponen bangsa. Bangsa dan Negara Indonesia hingga saat telah mampu
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya
manusia sehingga produksi dalam negeri meningkat bahkan telah mampu
mengeksport keluar negeri.
Pertahanan dan keamanan (HANKAM), dalam perwujudan kecintaan
kepada tanah air yang dapat dilakukan oleh generasi muda kekinian
melalui berkarya bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia, berkarya
meningkatkan diri menjadi orang profesional sesuai dengan bidang
tugasnya, meningkat diri untuk mengangkat derajat harkat dan martabat
bangsa Indonesia di dunia internasional.
Menurut Akhmad Zamroni (Akhmad Zamroni, 2015) dalam bidang
pendidikan menjadi anggota Pramuka, dan memilih satuan karya, Patroli
Keamanan Sekolah (PKS), Palang Merah Remaja (PMR), menjadi

92
anggota Resimen Mahasiswa (Menwa). Kehidupan ditengah masyarakat
menjadi anggota perlindungan masyarakat (Linmas), anggota Pertahanan
Sipil (Hansip), menjadi anggota Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa).
Tuhana Taufiq Andrianto, menyatakan Sistem pertahanan negara adalah
system pertahanan yang bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga
negara, wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman
(Andrianto, 2015). Pertahanan negara melibatkan seluruh komponen
bangsa tanpa terkecuali baik pelajar maupun komponen masyarakat
lainnya. Pemuda sebagai generasi muda bangsa dilibatkan telah berumur
18 (delapan belas) tahun atau belum berumur 18 (delapan belas) tahun
namun telah kawin. Keiukut sertaan dalam bela negara bersifat wajib dan
sekaligus hak dari pada warga negara. TB Silalahi menyebutkan mengutif
pandangan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew bahwa “ setiap
warga negara yang sudah berusia 18 tahun harus dilatih bela negara, yang
dia sebut National Service dan bertugas di Angkatan perang Singapura
selama selama 2 tahun”(TB.Silalahi, 2016). Bela negara yang diterapkan
di Negara Singapura merupakan kewajiban bagi setiap warga negara yang
telah berumur 18 tahun, sehingga warga negara Singapura menjadi disiplin
dan Singapura menjadi negara yang maju dibidang ekonomi, teknologi,
sosial budaya, komunikasi informasi, dan tangguh ketahanan nasionalnya.
b. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Indonesia
Negara Indonesia berdiri diatas keanekaragaman berbagai etnis, budaya
dan agama. Walaupun berbeda-beda dari berbagai latar belakang tetapi
kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia tetap kokoh dan utuh
berdirinya NKRI. Negara dan bangsa Indonesia selalu menjunjung tinggi
dan memberikan penghormatan terhadap kebhinekaan atas nilai persatuan
bangsa. Nilai Persatuan bangsa berada dalam sila ketiga Pancasila yaitu
Persatuan Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia dalam kebersamaan
untuk mewujudkan cita-cita nasional dan tujuan nasional.
Menghilangkan perasan fanatisme kesukuan/kedaerahan dan mencintai
setiap kebudayaan yang berkembang didaerah, dan semestinya setiap
kebudayaan daerah dapat diangkat menjadi kebudayaan nasional.
Kebudayaan daerah merupkan aset bangsa Indonesia, oleh karena itu harus
dibina secara terus menerus secara berkelanjutan dan berkesinambungan
agar tidak menjadi punah/hilang sehingga dapat diteruskan oleh generasi
muda penerus bangsa Indonesia.
Patut untuk diwaspadai adanya penetrasi nilai sosial budaya dari negara
lain kedalam negara Indonesia akibat derasnya arus globalisasi, sehingga
diperkuat bangkitnya nilai-nilai identitas budaya lokal (local culture).

93
Berawal dari pemahaman Pasal 32 Ayat (1) UUD NRI 1945, pada intinya
negara atau pemerintah memajukan kebudayaan nasional dengan
menjamin kebudayaan lokal untuk mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Secara konstitusional UUD NRI 1945, kita memberikan perlakuan
penghormatan terhadap Bendera Merah Putih (Pasal 35), Bahasa Negara
ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36), Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36 A), Lagu
Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36 B). Generasi Muda diingatkan
bahwa, bangsa Indonesia memiliki negara kesatuan sehingga
dipersonifikasilan dalam perasaan memperkokoh kesatuan dan persatuan
bangsa yang telah dimulai kesadaran berbangsa dan bernegara sejak
adanya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda
merupakan ikrar dan janji suci baik diri sendiri, bangsa dan negara
Indonesia serta terhadap Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Esa, berjanji
bertanah air dan bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu
bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
c. Keyakinan akan Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara
Pancasila telah termuat dengan jelas dalam Pembukaan UUD NRI 1945
menjadi dasar negara NKRI, maka seluruh kehidupan berbangsa dan
bernegara harus tunduk dan taat kepada Pancasila, dengan tidak
kecualinya. Pancasila menjadi pedoman dan petunjuk setiap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta segala bentuk peraturan
perundang-undangan negara. Dengan demikian Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Sri Edi Swasono menyebutkan
Pancasila sebagai nilai-nilai luhur digali dari bumi Indonesia, yang
kemudian perlu disosialisasikan, atau dengan kata lain dibudayakan, yang
berarti mengakui adanya proses enculturation dan enculturated (Sri Edi
Swasono, 2016). Pancasila merupakan khasanah kekayaan budaya bangsa
Indonesia yang adi luhur, adi luhung, yang wajib diakui oleh seluruh
bangsa serta digali dari multi etnis, multi agama dan multi budaya.
Meutia Hatta Swasono berpandangan bahwa “bangsa Indonesia adalah
pluralistic (majemuk) dan sekaligus multikulturalisti”(Meutia Hatta
Swasono, 2016). Karakter bangsa Indonesia yang bersifat kemajemukan
dan beragam budaya maka Pancasila menadi perekat dan pemersatu
bangsa Indonesia. Pancasila telah mampu untuk menjadi pelindung,
pengayom segala interaksi suku bangsa di Indonesia, sehingga Indonesia
satu-satunya negara di dunia yang mampu menjaga sikap tolenransi
beragama, unggul dalam budaya serta menjaga persatuan nasional.

94
Pancasila memiliki nilai-nilai religionitas, humanitas, nasionalitas,
kedaulatan dan sosialitas. Nilai religionitas terdapat pada sila pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai humanitas pada sila kedua Kemanusiaan
yang adil dan beradab, nasionalitas dalam sila ketiga Persatuan Indonesia,
nilai kedaulatan sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan serta nila sosialitas
dalam sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Rela berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia
Sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara, merelakan atau
mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran bahkan harta benda dan jiwa
raga untuk kepentingan bangsa. Generasi muda harus dapat meneladani
para pendiri bangsa, berjuang tanpa memerlukan imbalan, tanpa
mementingkan diri sendiri selalu mengutaman persatuan dan kesatuan
bangsa, selalu cinta kepada tanah air dan rela berkorban demi kepentingan
bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, golongan maupun
kelompok.
e. Kemampuan awal Bela Negara
Kemampuan awal kesadaran bela negara secara psikis yaitu memiliki sifat
disiplin, kejujuran, berintegritas, etos kerja keras, bertangungjawab,
percaya pada diri sendiri, mengendalikan emosional, senantiasa
memelihara jiwa dan raganya, serta meningkatkan spiritual untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan negara.Dalam kehidupan bangsa
Indonesia sehari-hari, fisik merupakan alat penggerak manusia dalam
melangkah setiap kegiatan, sehingga diperlukan fisik yang sehat untuk
mengimbangi phikis serta menjadi kekuatan yang luar biasa, bila keduanya
menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pembentukannya,maka
Negara menjadi kuat. Fisik atau jasmaniah selalu dibiasakan dibina untuk
menjaga kesehatan tubuh kita dengan gemar berolah raga, sesuai dengan
motto “Mensana in copore sana” yang artinya dalam tubuh yang sehat
terdapat jiwa yang sehat pula.

Meningkatnya kesadaran bela negara generasi muda sebagai landasan


dalam kehidupan nasional. Kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara
merupakan dinamika hidup suatu bangsa. Peningkatan kesadaran bela negara
telah mengkristal dalam jiwa bangsa Indonesia. Kehidupan dalam masyarakat
umum, melejitnya berbagai prestasi yang dimiliki baik oleh petani, pengusaha,
pengerajin dan lain-lain. Mahasiswa dan pelajar telah mampu mengukir prestasi
pada tingkat internasional melalui olimpiade sains dan teknologi serta
perlombaan-perlombaan automotif. Kesadaran bela negara, sangat penting di

95
dalam memotivasi warga negara Indonesia, mengerti hak dan kewajibannya
hidup bernegara untuk bersama-sama menjadikan negara Indonesia maju dan
berkembang menjadi negara moderen serta memiliki daya saing. Kesadaran bela
negara yang telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan
pertumbuhan ekonomi baik, serta indek pembangunan masyarakat juga
membaik.
Meningkatnya kesadaran bela negara generasi muda diwujudkan dalam
kebijakan pemerintah. Perkembangan kesadaran bela negara saat ini, untuk
meningkatkan kewaspadaan generasi muda telah menjadi perhatian yang cukup
besar, dikalangan pemerintah dan masyarakat. Partisipasi generasi muda dalam
menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai suatu keikutsertaan dalam
menentukan pemerintahan setiap proses pembuatan berbagai peraturan
perundang-undangan yang akan diterapkan bagi seluruh warga negara
Indonesia.
Kurikulum Sistem Pendidikan Nasional memuat materi Bela Negara.
Kurikulum pendidikan adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelanjaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri , dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Kesadaran bela negara bagi kewaspadaan generasi muda,
maka dalam pelaksanaan di lapangan dibutuhkan sinergitas Kementerian
Lembaga Pemerintahan maupun Lembaga Pemerintah Non Kementrian (K/L)
dengan mengadakan kerjasama secara terkoordinatif terpadu dan terencana
bidang pertahanan keamanan, peningkatan sumber daya manusia, pendidikan
diantaranya Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan RI),
Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Kemenkopolhukham RI), Kementrian Dalam Negeri Republik
Indonesia (Kemendagri RI), Kementerian Pendayagunaan Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (KemenPAN & RB RI ), Kementerian
Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemen
Dikdasmenbud RI ), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia ( Kemenristek & Dikti RI), Kementerian Agama Republik
Indonesia (Kemenag RI), Kementerian Keuangan Republik Indonesia

96
(Kemenkeu RI),Kementerian Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia
(Kemenpora RI), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes
RI),Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI), Kementerian
Negara Perencanaan Program Nasional Republik Indonesia (Kemen PPN RI),
Kementerian Negara Koperasi & UKM Republik Indonesia (Kemenkop&UKM
RI), Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI),
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia
(TNI), dan Kwartir Nasional Gerakan Pramuda (Kwarnas Gerakan Pramuka).

4.2 Pelatihan Dasar Kemiliteran Secara Wajib


4.2.1 Pro Kontra LatSarMil
Salah satu bagian Pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-Undang
Komponen Cadangan (RUU Komcad) adalah perihal tentang mewajibkan warga
negara untuk ikut wajib militer dalam hal proses implementasi bela negara.
Pandangan yang pro terhadap RUU Komcad didasarkan pada beberapa
argumentasi. Pertama, membantu kekuatan pertahanan negara dikarenakan
posisi geografis Indonesia yang strategis serta adanya pergeseran paradigma
pertahanan yang berfokus pada pertahanan maritim (J. Indrawan, 2018).
Kedua, menumbuhkan jiwa patriotisme, memperkuat rasa nasionalisme,
serta membangun karakter kedisiplinan yang kuat di masyarakat. Ketiga,
penerapan wajib militer merupakan salah satu bentuk bela negara sebagaimana
amanat UUD NRI 1945 (Marsella & Badaria, 2015). Sementara itu, pandangan
yang kontra menyatakan bahwa dalam RUU Komcad, tidak mengakomodir hak
warga negara untuk menolak wajib militer berdasarkan keyakinan
(conscientious objection), hal ini dianggap bertentangan dengan pemenuhan
nilai-nilai HAM secara konstitusional dan berpotensi melahirkan pelanggaran
HAM (Robby Simamora, 2014). Sementara itu, penerapan Komcad
membutuhkan anggaran yang sangat besar (Gunarta, 2010). Sebaiknya anggaran
tersebut digunakan untuk kesejahteraan dan hak-hak prajurit seperti gaji dan
tunjangan, fasilitas perumahan yang masih sangat memprihatinkan, dan
revitalisasi alutsista dari yang kuno menjadi alutsista yang canggih dan modern.
Keikutsertaan warga negara dalam bela negara salah satunya diwujudkan
melalui pelatihan dasar kemiliteran sebagaimana amanat UUD NRI 1945 dan
UU Pertahanan Negara. Namun, untuk dapat melaksanakan amanat tersebut,
sangat perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih khusus sehingga
keberadaan RUU Komcad menjadi urgen dilakukan.(K. W. Soepandji & Farid,
2018). Selain itu, potensi ancaman kedaulatan negara tidak lagi secara militer
melainkan nir-militer sehingga warga negara yang siap dan terlatih secara militer

97
akan mampu menyokong pertahanan negara yang kuat.(Muradi Muradi, 2013).
Pro kontra tentang RUU Komcad masih mengganjal dalam pembahasan RUU
ini. Terdapat beberapa pasal krusial yang menjadi perdebatan utama seperti Pasal
11 terkait mobilisasi yang dilakukan dalam keadaan damai, Pasal 14 terkait
kewajiban seseorang untuk menyerahkan hak miliknya untuk kepentingan
mobilisasi, hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip HAM. Pasal 8 tentang
kewajiban mengikuti mobilisasi bagi PNS, pekerja, dan buruh minimal 5 tahun,
dan terdapat beberapa pasal sanksi pidana bagi mereka yang tidak bersedia
melaksanakannya (Detik.com, 2012).
Indonesia pernah mempunyai peraturan wajib militer yang
memperhatikan conscientious objectors dan tidak memberikan sanksi pidana,
hal ini tertuang dalam Undang-Undang No 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer
(UU Wajib Militer) terdapat pasal yang membebaskan warga negara mengikuti
wajib militer berdasarkan kepercayaannya dan mengakui hak asasi manusia.
Pasal 10 UU Wajib Militer menyebut bahwa wajib militer tidak dikenakan
terhadap mereka yang dalam keadaan sedemikian, sehingga apabila mereka
dipanggil untuk wajib militer akan mengakibatkan kesukaran hidup bagi orang
lain yang menjadi tanggungannya. Selain itu, mereka yang menjabat suatu
jabatan agama atau perikemanusiaan yang ajarannya tidak membolehkan. Secara
historis, kebutuhan akan adanya suatu ketentuan wajib militer sebagai amanat
UUDS 1950 sudah dirasakan sejak tahun 1951. Pada masa itu, melahirkan
Undang-Undang No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan
Negara) sebagai landasan hak dan kewajiban warga negara dalam pertahanan
negara.

Kemudian untuk menyempurnakan konsep tersebut, pada tahun 1958


lahirlah UU Wajib Militer sebagai dasar yuridis mobilisasi dalam bentuk wajib
militer (Nakir, 2018). Konteks militer pada masa itu memang dirasakan
kekurangan sumber daya manusia. Kekurangan tersebut membutuhkan regulasi
sebagai respon akan kebutuhan dan menjadi pegangan dalam menentukan
kebijaksanaan di lapangan pertahanan. Akan tetapi konteks masa kini yang
secara kuantitas sumber daya manusia berupa jumlah personil yang cukup
memadai, analisis antara jumlah personil militer dengan potensi ancaman dalam
rentang waktu sepuluh tahun ke depan, dan kualitas peralatan alutsista modern
justru dirasa cukup sehingga urgensi pengaturan wajib militer dan relevansinya
dengan komponen cadangan menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud memberikan gambaran secara rinci
mengenai ketentuan wajib militer yang terdapat dalam UU Wajib Militer dan

98
relevansinya dengan pengaturan Komcad. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif (Burhan Asofa, 2001).

4.2.2 Ketentuan Wajib Militer di Indonesia


Dikenal dua macam bentuk wajib militer, yaitu wajib militer yang
bersifat umum dan wajib militer yang bersifat terbatas. Dalam hal pertama maka
setiap warga negara yang berada dalam batas-batas umur tertentu dengan tiada
kecualinya dikenakan wajib militer. Dalam hal yang kedua maka hanya sebagian
dari mereka tersebut dikenakan wajib militer, yaitu hanya mereka yang termasuk
golongan-golongan atau memenuhi syarat-syarat tertentu (umpamanya
pendidikan), sedangkan yang lain tidak. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Wajib
Militer mengatur bahwa, “setiap warga negara menjadi pewajib militer mulai
pada tahun ia mencapai umur 18 tahun sampai pada tahun ia mencapai umur 40
tahun”. Wajib Militer yang bersifat umum ini adalah sesuai dengan paham
demokrasi yang menghendaki agar setiap warga negara dengan tiada kecualinya
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, khususnya hak dan kewajiban bela
negara (Mukhtadi & Komala, 2018).
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Pertama,
bahwa yang dikenakan wajib militer adalah warga negara Indonesia dan
bukannya penduduk Indonesia (termasuk penduduk warga negara asing) seperti
halnya ditentukan dalam Undang-Undang Wajib Militer dibeberapa negara.
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Wajib Militer tersebut adalah sesuai
dengan bunyi pasal 24 UUDS yang menyatakan bahwa, “setiap warga negara
berhak dan berkewajiban turut serta dengan sungguh dalam pertahanan negara”.
Indonesia mempunyai cukup tenaga manusia sehingga tidak perlu mewajibkan
warga negara asing turut serta dalam wajib militer. Soal kedua yang perlu
diperhatikan ialah paham persamaan hak dan kewajiban antara kaum lakilaki dan
kaum wanita. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi bahwa,
“Mengikutsertakan kaum wanita dalam dinas wajib militer harus disesuaikan
dengan kodrat dan sifat kewanitaannya dan dengan taraf emansipasi wanita
Indonesia atas dasar sukarela yang diatur dengan Peraturan Pemerintan”.
Dasar sukarela tersebut berdasarkan atas adanya suatu kenyataan bahwa
emansipasi wanita di Indonesia ini sedang bertumbuh secara evolusioner dan
tingkatan perkembangan tidaklah sama di seluruh Indonesia. Apabila dasar
sukarela itu dirubah menjadi suatu keharusan, maka dikhawatirkan akan banyak
merugikan kaum wanita dari golongan-golongan tertentu yang sedang berada
pada tingkat permulaan pertumbuhan emansipasi. Dalam hal persamaan hak
antara laki-laki dan wanita dalam rangka wajib militer ini, Indonesia tergolong
negara yang maju, karena ternyata dikebanyakan negara lain, wajib militer hanya

99
berlaku bagi kaum laki laki saja (umpamanya di Amerika Serikat dan Belanda)
pada masa itu. Berkaitan dengan syarat kejasmanian dan kerohanian, baik dalam
stelsel wajib militer umum maupun terbatas dapat diadakan ketentuan bahwa
semua yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan syarat-syarat lain diharuskan
masuk dalam dinas aktif dan mengikuti Pendidikan atau latihan, atau hanya
sebagian dari mereka tersebut di atas diharuskan masuk dinas aktif dan
mengikuti Pendidikan atau latihan, sedangkan yang lain hanya dipanggil untuk
berdinas aktif dalam hal negara menghadapi bahaya (keadaan darurat atau
darurat perang).
Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 25 ayat (1). Jelas bahwa tidak semua yang memenuhi syarat-syarat
kejasmanian dan kerohanian akan dipanggil masuk dinas wajib militer untuk
mengikuti pendidikan dan latihan. Di antara mereka itu dipilih yang terbaik
menurut nilai kejasmanian dan kerohaniannya sebanyak jumlah yang dibutuhkan
tiap-tiap tahun. Mereka tidak diangkat menjadi militer wajib, tetapi
dikembalikan lagi ke masyarakat. Menurut Pasal 21 ayat (3) UU Wajib Militer,
mereka itu dimasukkan dalam golongan “Militer Wajib Cadangan”, sedangkan
terdapat istilah lain dalam penjelasan resmi Pasal 22 UU Wajib Militer, yakni
istilah “Pewajib Militer Cadangan”. Kedua istilah ini mempunyai arti yang sama,
tetapi cadangan ini dapat dipanggil untuk dimasukkan dalam dinas aktif
(diangkat menjadi Militer Wajib) jika diperlukan untuk menggantikan Pewajib
Militer yang terpilih dan dipanggil untuk dinas wajib militer, namun karena
sesuatu hal tidak dapat memenuhi kewajibannya atau dalam keadaan darurat atau
keadaan perang. Apabila jumlah Militer Wajib yang ada belum mencukupi
kebutuhan tenaga, dalam hal mana mereka itu dipakai sebagai tenaga cadangan
darurat.
Timbul pertanyaan, mengapa tidak semuanya dimasukkan dalam dinas
wajib militer? Hal ini didasarkan atas faktor-faktor, yakni faktor tenaga yang
tersedia, faktor kebutuhan tenaga, dan faktor biaya-biaya untuk penyelenggaraan
wajib militer. Pewajib militer yang berdasarkan alasan-alasan tertentu tidak
dipanggil dalam dinas aktif adalah mereka yang masuk kedalam golongan yaitu
ditolak, dibebaskan atau ditangguhkan.
Pertama, golongan yang ditolak mengandung sifat yang “tidak terhormat” bagi
yang bersangkutan dan didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU Pertahanan
Negara yang menyatakan, “Turut serta dalam pertahanan negara yang berarti
membela kemerdekaan negara dan daerahnya adalah suatu kehormatan bagi
setiap warga negara”. Penolakan ini diadakan demi untuk menjamin kepetingan
negara.

100
Mereka yang ditolak dianggap telah ternoda dan oleh karenanya
kehilangan haknya untuk turut serta dalam pembelaan negara menjadi Militer
Wajib sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (1) UU Wajib Militer, yaitu:
“Dipidana karena suatu kejahatan terhadap keamanan negara, mendapat
pidana penjara yang lamanya lebih dari 1 tahun, berdasarkan keputusan
hakim luar negeri yang tidak dapat ditarik kembali, mendapat pidana
penjara yang lamanya lebih dari 1 tahun karena melakukan perbuatan
yang menurut Undang-Undang Republik Indonesia dipandang sebagai
kejahatan, pernah diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai
negeri baik pegawai negeri sipil maupun militer”

Pengecualian terhadap Pasal 10 ayat (1) dapat dilakukan jika dipandang


perlu, misalnya karena seorang sangat dibutuhkan tenaganya berhubung dengan
keahliannya. Kedua, golongan yang mendapat pembebasan didasari pada alasan-
alasan “terhormat”, tidak seperti halnya dengan penolakan. Pembebasan ini pada
azasnya diberikan untuk kepentingan umum dinas tentara, golongan-golongan
tertentu (agama) atau untuk kepentingan orang lain, dan tidak semata-mata untuk
kepentingan diri pribadi Pewajib Militer. Pewajib Militer dibebaskan dari wajib
militer dalam hal apabila mereka dipanggil untuk wajib militer akan
mengakibatkan kesulitan hidup bagi orang lain yang menjadi tanggungannya,
menjabat suatu jabatan agama atau perikemanusiaan yang ajarannya tidak
membolehkan, sedang melakukan tugas penting untuk negara berdasarkan
pertimbangan daya guna.
Ketiga, golongan yang mendapat penangguhan didasari pada
alasanalasan yang sama dengan pembebasan, tetapi dengan beberapa perbedaan.
Jika pada pembebasan titik-berat alasannya lebih diletakkan pada kepentingan
dinas, umum dan orang lain dan tidak pada kepentingan pribadi, maka dalam hal
penangguhan justru terjadi sebaliknya. Titik beratnya adalah kepentingan
Pewajib Militer yang bersangkutan, bahkan di beberapa negara pemberian
penangguhan ini umumnya dianggap sebagai suatu “kebaikan budi” pemerintah
terhadap Pewajib Militer. Namun, adakalanya dapat dicabut kembali apabila
yang bersangkutan menjalankan hal-hal yang tidak layak. Di samping itu
penangguhan ini sifatnya adalah sementara untuk waktu yang sebelumnya dapat
ditentukan lebih dulu, yaitu untuk selama-lamanya 3 (tiga) tahun, waktu mana
dapat diperpanjang.
Alasan-alasan untuk mendapatkan penangguhan tercantum dalam pasal
12 UU Wajib Militer misalnya karena kesehatannya yang mempengaruhi
pelaksanaan dinas wajib militer, belum mencapai kebijakan wajib belajar pada
sekolah umum menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah, apabila ia

101
melakukan dinas militer akan menimbulkan hambatan bagi perusahaan vital
yang membutuhkan tenaganya, dan kepentingan-kepentingan lainnya.

4.2.3 Wajib Militer dalam Konteks Pengaturan Komponen Cadangan.


Pembahasan mengenai sumber daya manusia pertahanan yang
diperlukan untuk membangun kekuatan pertahanan meliputi militer aktif, wajib
militer, komponen cadangan (Komcad) dan komponen pendukung (Komduk).
Militer aktif dan wajib militer dalam kaitannya dengan kedinasan hampir sama,
hanya saja untuk wajib militer dibatasi masa baktinya sesuai dengan aturan dari
negara. Dalam memperhitungkan sumber daya manusia pertahanan, tidak hanya
militer aktif dan wajib militer, tetapi termasuk Komcad dan Komduk (Purnomo
Yusgiantoro, 2014).
Secara umum, militer aktif adalah warga negara yang bekerja penuh
dalam organisasi militer resmi suatu negara yang independen dengan ruang
lingkup bidang pertahanan dan keamanan. Anggota militer aktif bertugas
mempertahankan keutuhan negara dari ancaman militer negara lain atau
ancaman yang datang dari kelompok bersenjata. Tentunya tanggung jawab besar
yang dipegang kuat sehingga anggota militer aktif bersiap mengorbankan jiwa
dan raganya demi kepentingan pertahanan dan keamanan negara (Berantas,
2018).
Wajib militer adalah warga negara usia muda yang diwajibkan masuk
dinas militer dalam kurun waktu tertentu. Tujuan wajib militer ini karena negara
membutuhkan tambahan sumber daya pertahanan negara di garis kedua
disamping militer aktif untuk tujuan tertentu. Militer cadangan atau cadangan
militer (Cadmil) sebagai bagian dari Komcad adalah warga negara yang berasal
dari kalangan sipil berupa pegawai negeri sipil, pekerja, buruh, atau sukarelawan
lainnya serta dari kalangan mantan anggota militer yang dipanggil untuk menjadi
anggota Komcad dengan melakukan pendidikan dan pelatihan militer. Proses
pendidikan dan pelatihan yang disiapkan dibangun semaksimal mungkin untuk
dapat melakukan perlawanan ketika negara memerlukan Cadmil. Cadmil
mendapatkan perlakuan sama dengan militer selama aktif dalam bertugas.
Cadmil dalam statusnya dibagi dua yaitu sedang dalam dinas aktif dan sedang
tidak dalam dinas aktif. Dalam dinas aktif, Cadmil melakukan tugas negara
dalam membantu pertahanan dan keamanan negara dan dapat disamakan sebagai
wajib militer selama masa tugas. Apabila Cadmil tidak dalam dinas aktif, maka
anggota akan kembali melaksanakan tugas yang telah dijalani sesuai dengan
profesi sebelumnya di luar dinas sebagai Komcad (R. M. J. Indrawan & Efriza,
2018).

102
Dengan demikian, karakteristik Cadmil dalam fungsi dirinya adalah
fungsi mobilisasi dan fungsi demobilisasi, sehingga Cadmil tidak dianggap
sebagai bagian dari suatu kelembagaan yang tetap, melainkan bergantung pada
perkembangan strategik, potensi konflik yang akan terjadi, adanya ancaman dari
negara lain, dan kebutuhan lainnya demi kepentingan nasional (Subagyo, n.d.).
Salah satu cara untuk mengurangi anggaran militer adalah dengan
mengaktifkan Cadmil. Cadmil dapat dipakai pada waktu dibutuhkan dalam masa
damai untuk mobilisasi kegiatan nonmiliter yang bermanfaat bagi negara
maupun kebutuhan pada masa perang. Dengan demikian pembangunan kekuatan
pertahanan dengan mengembangkan militer aktif Bersama dengan Cadmil
merupakan optimalisasi pembelanjaan terutama belanja pegawai. Mengenai
urgensi kehadiran Cadmil selaku bagian dari Komcad dapat dilihat bahwa
Komcad merupakan amanat konstitusi, sehingga dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

Gambar 4. 1 Landasan Konstitusional TNI, Komcad dan Komduk di Indonesia


Sumber: Yusgiantoro, 2014, diolah kembali oleh penulis

Gambar di atas memberi gambaran terhadap landasan konstitusional


untuk TNI, Komcad dan Komduk di Indonesia. Untuk TNI, di Indonesia. Di
samping merupakan amanat dari UU Pertahanan Negara dan UU TNI, juga
merupakan salah satu hasil dari reformasi TNI yang dimulai sejak Era
Reformasi. Reformasi TNI merupakan koreksi dengan melakukan redefinisi,
reposisi dan reaktualisasi terhadap tugas pokok dan fungsi TNI sebelumnya.
Komcad terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta
sarana dan prasarana nasional yang tidak termasuk sebagai komponen utama
(Sahabuddin & Ramdani, 2020).

103
Dalam keadaan tertib sipil, Komcad dapat diberdayagunakan untuk
kepentingan operasi militer selain perang khususnya operasi kemanusiaan.
Seperti halnya TNI sebagai militer aktif Indonesia, penyelenggaraan dan
keberadaan Komcad memerlukan dasar peraturan perundang-undangan secara
khusus sebagaimana amanat UU Pertahanan Negara. Pembentukan Komcad
dilakukan melalui pemanggilan warga negara peminat yang memenuhi syarat
untuk kemudian diseleksi lebih lanjut. Untuk sumber daya nasional dan sarana
prasarana, termasuk awak dan/ atau yang mengawaki, yang telah memenuhi
persyaratan, pemiliknya wajib menyerahkan pemakaiannya untuk digunakan
sebagai Komcad pada saat negara membutuhkannya.
Calon anggota Komcad yang telah lulus seleksi dan dipanggil untuk
melaksanakan latihan dasar kemiliteran diwajibkan mengikuti latihan sesuai
dengan waktu dan standar kemampuannya dan kemudian yang telah selesai
mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar kemiliteran, diangkat dan ditetapkan
sebagai anggota Komcad. Komcad hanya digunakan pada saat latihan dan
mobilisasi seperti disebutkan sedangkan ketika negara dalam kondisi keadan
damai, Komcad dibina dan disiapkan sebagai potensi pertahanan.
Jika dikaitkan dengan wajib militer sebagaimana UU Wajib Militer,
bahwa wajib militer menyasar pada setiap warga negara mulai dari usia 18
(delapan belas) tahun sampai dengan 40 (empat puluh) tahun tanpa melihat latar
belakang tertentu. Artinya wajib militer berlaku kepada setiap warga negara
Indonesia sepanjang tidak masuk kategori penolakan, pembebasan, atau
penangguhan. Sementara itu, konsepsi Komcad menurut Pasal 8 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) RUU Komcad hanya mewajibkan pelatihan dasar kemiliteran
kepada pegawai negeri sipil, pekerja dan atau buruh yang telah memenuhi
persyaratan wajib menjadi anggota komcad.
Terkait dengan mantan prajurit TNI yang telah memenuhi persyaratan
dan dipanggil, mantan prajurit tersebut wajib menjadi anggota Komcad.
Sementara itu, bagi warga negara selain kriteria-kriteria tersebut di atas, dapat
secara sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota Komcad sesuai dengan
persyaratan dan kebutuhan. Komcad dalam konteks pembentukan regulasi,
bersandar pada Pasal 8 UU Pertahanan Negara yang mengamanatkan pengaturan
Komcad harus diatur kedalam undang-undang secara khsusus, hal ini yang
menjadi dasar yuridis urgensi RUU Komcad. Namun, sejak masuk Prolegnas
DPR pada tahun 2010 dengan berbagai polemik yang mengikutinya, keberadaan
RUU Komcad kini telah ditarik dari Prolegnas DPR dan sejak tahun 2019, DPR
telah mengundangkan aturan yang pada dasarnya tidak secara spesifik mengatur
Komcad, akan tetapi karena kebutuhan yang urgensial bagi pertahanan dan
keamanan negara, kedudukan Komcad diatur kedalam Undang-Undang No. 23

104
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan
Negara (UU PSDN).
Menurut Pasal 13 ayat (1) UU PSDN, pelatihan dasar kemiliteran hanya
dapat dilaksanakan kepada calon anggota Komcad. Sementara itu, terdapat
perubahan mendasar mengenai kriteria-kriteria yang diwajibkan menjadi
anggota Komcad. Jika pada RUU Komcad memberikan beberapa kriteria
sebagaimana di dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka dalam Pasal
28 ayat (2) UU PSDN, kriteria tersebut tidak diakomodir dan ditujukan kepada
setiap warga negara secara sukarela. Artinya siapapun warga negara Indonesia
dapat bergabung menjadi anggota Komcad tanpa adanya kriteria-kriteria tertentu
dan sifatnya sukarela sepanjang memenuhi persyaratan calon anggota.
Persyaratan tersebut diatur di dalam Pasal 33 ayat (2) UU PSDN antara lain,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada NKRI,
Pancasila dan UUD NRI 1945, usia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 35
(tiga puluh lima) tahun, sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki catatan
kriminalitas yang dikeluarkan oleh Kepolisian. Jika calon anggota yang
mendaftar telah sesuai dengan persyaratan tersebut, maka sesuai Pasal 34 UU
PSDN para calon anggota mengikuti seleksi administrasi dan seleksi
kompetensi. Jika calon anggota telah lulus dalam kedua seleksi tersebut, maka
sesuai Pasal 35 UU PSDN barulah calon anggota tersebut dibebani wajib militer.
Dari sini dapat ditelaah bahwa UU PSDN menjawab polemik RUU
Komcad yang dianggap bertentangan dengan HAM. UU PSDN justru
menempatkan kebutuhan Komcad secara proporsional dengan pendekatan HAM
dan demokratis karena merekrut Komcad secara sukarela dengan proses seleksi
yang kredibel. Konsep wajib militer pun diubah menjadi pelatihan dasar
kemiliteran sehingga paradigma wajib militer telah bergeser pada konsep yang
lebih demokratis dan humanis. Mengenai sanksi pidana, hanya diterapkan bagi
anggota Komcad yang menolak dimobilisasi atau melakukan tipu muslihat agar
dirinya tidak dimobilisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU PSDN. Dalam
hal ini konteks kewajiban pelatihan dasar kemiliteran menjadikan posisi
Komcad sebagai posisi yang siap dengan kewajiban pertahanan dan keamanan.
Artinya, kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut dalam konteks kepentingan
nasional seyogiayanya harus dikenakan sanksi pidana. Sementara itu, negara
juga memberikan perlindungan terhadap anggota Komcad yang berlatar
belakang memiliki profesi tertentu baik aparatur sipil negara, pekerja, buruh,
pelajar dan profesi lainnya. Perlindungan tersebut dilakukan agar status anggota
Komcad yang melaksanakan dinas aktif untuk tidak mendapatkan pemutusan
hubungan kerja. Pasal 78 bahkan memberikan sanksi pidana kepada perusahaan,

105
lembaga pendidikan yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau
pemutusan hubungan pendidikan.
Konteks wajib militer di Indonesia mengalami pergeseran paradigma.
Jika pada UU Wajib Militer, Wajib Militer dibebankan kepada setiap warga
negara tanpa memandang kriteria-kriteria tertentu dimulai pada usia 18 (delapan
belas) tahun sampai dengan 40 (empat puluh) tahun. Paradigma tersebut
bergesar pada masuknya RUU Komcad sebagai amanat Pasal 8 UU Pertahanan
Negara. Komcad tidak menggunakan istilah wajib militer melainkan pelatihan
dasar kemiliteran. Menurut RUU Komcad, pelatihan dasar kemiliteran hanya
diberlakukan pada Komcad dengan kriteria pegawai negeri sipil, pekerja, atau
buruh, mantan prajurit TNI yang persyaratannya sesuai dan dipanggil kembali
menjadi anggota Komcad dan sukarelawan yang telah memenuhi persyaratan
untuk bergabung menjadi anggota Komcad.
Polemik yang sangat panjang mengikuti proses legislasi RUU Komcad
sejak tahun 2010 di DPR, pada akhirnya merubah konsepsinya secara lebih
demokratis kedalam UU PSDN dengan menghilangkan kriteria-kriteria di dalam
RUU Komcad dan mengaturnya dengan pendekatan HAM dan paradigma yang
demokratis. Pelatihan dasar kemiliteran menurut UU PSDN baru dilaksanakan
terhadap warga negara yang secara sukarela mendaftar menjadi calon anggota
Komcad sepanjang telah memenuhi persyaratan dan telah lulus dalam tahapan
seleksi administrasi dan seleksi kompetensi.
Oleh karena itu, Komcad bukanlah wajib militer. Karena meski dilatih secara
militer, Komcad hanya sebatas pelatihan dasar kemiliteran kepada warga negara
yang telah lulus seleksi administrasi dan seleksi kompetensi untuk selanjutnya
diorganisir dalam rangka menjaga kesiap-siagaan bila sewaktu-waktu
dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan negara Indonesia.

4.3 Pengabdian Sebagai Prajurit Tentara Nasional Indonesia


Secara Sukarela Atau Secara Wajib
Tentara Nasional Indonesia sebagai salah satu Modal Dasar
Pembangunan Nasional perlu senantiasa ditingkatkan profesionalismenya
melalui pemantapan disiplin, yang merupakan syarat mutlak dalam tata
kehidupan Tentara Nasional Indonesia Indonesia agar terwujud prajurit yang
profesional, efektif, efisien, dan modern sehingga mampu berperan lebih besar
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai stabilisator
dan dinamisator Pembangunan Nasional. Dalam penulisan ini istilah yang
dimaksud dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam berdasarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/2000 disebut dengan Tentara Nasional Republik Indonesia.

106
Keberadaannya yang menjalankan fungsi pertahanan keamanan masyarakat
serta kekuatan dalam wadah kesatuan Republik Indonesia. Untuk menciptakan
kestabilan negara tersebut diperlukan angkatan bersenjata yang penuh kesetiaan
dan ketaatan pada Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, bersikap ramah
tamah terhadap rakyat, bersikap sopan santun terhadap rakyat, menjunjung
tinggi kehormatan wanita, menjaga kehormatan diri di muka umum, senantiasa
menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaanya, tidak sekali-kali merugikan
rakyat, tidak sekali menakuti dan menyakiti hati rakyat, menjadi contoh dan
mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1997 Tentang
Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Repubik Indonesia sebagai dasar
pendisiplinan prajurit yang baik dan benar. Pendisiplinan ini sangat tergantung
pada masing-masing individu prajurit dan mutu keorganisasian aparat militer itu
sendiri. Hal ini sangat penting dan menentukan berhasil tidaknya misi
pemerintah tergantung dari aparatur negara itu sendiri, khususnya aparat hankam
seperti TNI. Angkatan Perang Republik Indonesia yang ber-Sapta Marga dan
berSumpah Prajurit sebagai Bhayangkari negara dan bangsa, dalam bidang
pertahanan keamanan negara adalah penindak dan penyanggah awal, pengaman,
pengawal, penyelamat bangsa dan negara, serta sebagai kader dan pelopor dan
pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan negara dalam
menghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan dari manapun datangnya.
Dengan menghayati dan meresapi nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit,
setiap Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia memiliki sendi-sendi yang
kukuh, kode etik dalam pergaulan, kode kehormatan dalam perjuangan, kode
moral dalam perilaku dan pengamalan, serta sistem nilai dalam tata kehidupan
yang mantap. Disiplin prajurit pada hakikatnya merupakan:
1. Suatu ketaatan yang dilandasi oleh kesadaran lahir dan batin atas
pengabdian pada nusa dan bangsa serta merupakan perwujudan
pengendalian diri untuk tidak melanggar perintah kedinasan dan tata
kehidupan prajurit.
2. Sikap mental prajurit yang bermuara pada terjaminnya kesatuan pola
pikir, pola sikap, dan pola tindak sebagai perwujudan nilai-nilai Sapta
Marga dan sumpah prajurit. Oleh karena itu disiplin prajurit menjadi
syarat mutlak dalam kehidupan prajurit Angkatan Perang Republik
Indonesia dan diwujudkan dalam penyerahan seluruh jiwa raga dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta kesadaran pengabdian bagi nusa dan
bangsa.

107
3. Ciri khas Prajurit Angkatan Perang Republik Indonesia dalam
melakukan tugasnya, karena itu disiplin prajurit harus menyatu dalam
diri setiap prajurit dan diwujudkan pada setiap tindakan nyata (Moch.
Faisal Salam, 2006).

Pencapaian tujuan nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh dinamika


geopolitik serta Wawasan Nusantara atau cara pandang bangsa Indonesia
tentang diri dan lingkungan keberadaannya. Untuk mampu mengantisipasi
dinamika geopolitik dalam rangka mencapai tujuan nasional diperlukan suatu
ketangguhan atau keuletan yang bertolak dari Wawasan Nusantara. Pada konteks
ini, bangsa Indonesia membutuhkan suatu ketangguhan atas Ketahanan
Nasional, yaitu kondisi dinamis bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek
kehidupan nasional yang terintegrasi serta berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan,
baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas,
integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai
tujuan nasionalnya.
Ketahanan Nasional sangat bergantung pada kemampuan mengoptimasi
fungsi aspek atau gatra alamiah sebagai modal dasar untuk menciptakan aspek
dinamis yang merupakan kekuatan dalam penyelenggaraan kehidupan nasional.
Aspek alamiah terdiri dari tiga gatra (tri gatra), yaitu gatra geografi, gatra
demografi, dan gatra sumber kekayaan alam (SKA). Sedangkan aspek dinamis
terdiri dari lima gatra (panca gatra) yang mencakup gatra ideologi, gatra politik,
gatra ekonomi, gatra sosial budaya dan gatra pertahanan dan keamanan.
Gabungan tri gatra dan panca gatra disebut sebagai asta gatra atau delapan aspek
Ketahanan Nasional. Untuk mencapai tujuan nasional, asta gatra yang menyusun
Ketahanan Nasional memerlukan suatu sistem pelaksanaan terintegrasi yang
mengacu pada dinamika geopolitik. Sistem terintegrasi itu dapat dituangkan
dalam suatu sistem bela negara yang sudah memiliki pijakan hukum kuat pada
UUD NRI 1945, serta Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (UU No.3/2002). Pasal 9 UU No.3/2002 menyebutkan:
(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela
negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan
negara;
(2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;

108
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia
secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.

Walaupun sudah memiliki landasan hukum yang solid, hingga kini


Indonesia belum memiliki sistem pelaksanaan bela negara yang komprehensif,
ini merupakan kertas kerja konseptual atau concept paper yang akan fokus
membahas suatu model sistem bela negara melalui formulasi pendidikan bela
negara komprehensif kepada generasi muda. Pendidikan bela negara ini
diintegrasikan secara berjenjang ke sistem pendidikan nasional yang ada, mulai
dari level pendidikan sekunder (sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas) hingga level pendidikan tersier (perguruan tinggi). Pada tataran
tertentu, model ini mengingatkan pada program Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang pernah diberikan ke jenjang
pendidikan sekunder dan tersier.
Akan tetapi, berbeda dengan Penataran P4 yang lebih menekankan pada
tataran teori dan hanya berlangsung selama satu minggu, model pendidikan bela
negara yang perlu diformulasikan secara mendalam dan kokoh perlu mencakup
implementasi pada tataran praksis dengan waktu pelaksanaan program yang
lebih lama dan berjenjang serta memiliki dampak yang nyata terhadap aspek-
aspek kehidupan di masyarakat. Adapun komponen pendidikan yang diberikan
akan terdiri dari delapan aspek atau asta gatra Ketahanan Nasional agar generasi
muda lebih memiliki kesadaran dan kesiapan dalam memahami dinamika
geopolitik, sekaligus memiliki kesiapan dalam meningkatkan ketangguhan
Ketahanan Nasional.
Ini juga menjelaskan pentingnya konsep integrasi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dalam menyusun muatan lokal yang diperlukan,
serta menentukan skema pendanaan yang dibutuhkan sehubungan dengan
muatan lokal yang akan diberikan. Selain itu, ini juga berpendapat bahwa perlu
peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif untuk mendukung
kegiatan bela negara tersebut (K. W. Soepandji & Farid, 2018).

4.4 Pengabdian Sesuai Dengan Profesi.


4.4.1 Ilustrasi Model Bela Negara yang bisa diterapkan di Indonesia
Dalam menjelaskan bagaimana pendidikan bela negara akan
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat di Indonesia, maka kita harus
melihat bagaimana kenyataan tantangan serta kemampuan yang telah dimiliki
oleh negara. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara memiliki posisi geografis
yang strategis dan kaya namun rentan terhadap bencana alam, salah satu yang

109
kita ketahui bersama adalah Indonesia saat ini adalah satu-satunya entitas politik
(negara) di dunia yang memiliki aktivitas vulkanik tertinggi di dunia. Banyaknya
gunung berapi disebabkan karena Indonesia berada di titik tektonis dan vulkanis
yang paling aktif di dunia, sebagai bagian dari Ring of Fire.(Simon Winchester,
2004). Ini selanjutnya akan menyampaikan suatu ilustrasi atau gambaran
program bela negara yang mungkin untuk diterapkan di Indonesia, meskipun
pada akhirnya desain program bela negara yang baik perlu diformulasikan secara
lebih matang oleh para ahli ketahanan, pertahanan dan pendidikan untuk
kemudian mendapatkan masukan dari berbagai stakeholders kunci. Program ini
sesungguhnya hanya benar-benar bisa diterapkan apabila telah melalui suatu
proses keputusan politik negara tingkat tinggi. Oleh karena keselamatan bangsa
Indonesia adalah kepentingan tertinggi dalam pembukaan konstitusi Indonesia,
maka keputusan politik negara tingkat tinggi di Indonesia sangat perlu
mempertimbangkan untuk menggunakan konsep bela negara. Dengan
menghadapi kenyataan ini, maka dalam tataran tingkat pendidikan menengah
atau sekunder perlu dibentuk suatu pendidikan bela negara yang terintegrasi
dengan pendidikan kewarganegaraan dan kegiatan kepanduan (pramuka/
boyscout). Adapun ciri pendidikan tersebut haruslah pendidikan yang berbasis
pada disiplin dan tindakan nyata seperti pelatihan baris berbaris, pelatihan
menghadapi bencana alam, praktek membantu dalam program penyuluhan
kesehatan pemerintah dan praktek membantu kegiatankegiatan dalam instalasi-
instalasi sosial, panti jompo dsb. Namun sebelum mereka turun ke lapangan dan
belajar berinteraksi guna membangun kepekaan sosialnya, para peserta didik di
pendidikan tingkat sekunder tersebut perlu dibekali melalui pendidikan
kewarganegaraan berupa pengetahuan yang kokoh mengenai arti dan manfaat
kegiatan tersebut terutama sekali dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila yang
pada hakekatnya berisi nilai-nilai geopolitik yang vital bagi eksistensi dan
keselamatan bangsa. Hal lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah perlunya
komunikasi pihak sekolah dengan para orang tua murid mengenai pentingnya
kegiatan tersebut. Tentunya cara membungkus kegiatan tersebut perlu
disesuaikan dengan metode pendidikan yang dianggap terbaik oleh para ahli di
bidang pendidikan dan psikologi.
Model pendidikan bela negara yang terintegrasi dengan pendidikan
kewarganegaraan serta kegiatan kepanduan tersebut tentunya bertujuannya
untuk membentuk generasi muda yang peka terhadap lingkungan sekitarnya,
dalam hal ini membangun benih kewaspadaan nasional serta ikut membangun
suatu kesetiakawanan sosial. Kesetiakawanan sosial yang baik akan ikut
bermanfaat untuk mengurasi potensi tawuran, perkelahian antar kelompok
pemuda dan konflik sosial lainnya yang bisa menjadi benih-benih perpecahan

110
bangsa Indonesia. Formulasi pendidikan bela negara tersebut, akan memperkuat
gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan pada
cara pandang generasi muda yang tercermin dalam pola sikap dan pola tindak
mereka nantinya. Dalam hal ideologi, kegiatan tersebut mengenalkan generasi
muda terhadap nilai-nilai utama Pancasila yaitu gotong royong, sehingga cara
pandang generasi muda akan lebih sulit untuk dipecah dan diadu domba. Dalam
hal politik, mereka menjadi belajar bahwa, untuk mencari kebenaran mereka
tidak bisa bergantung pada sosial-media yang kerap menjadi ajang penyebaran
berita palsu atau hoax, namun hanya bisa dilihat dari kenyataan kehidupan
masyarakat di lapangan, hal ini akan membekali mereka dengan kemampuan
moral judgment yang sangat penting dalam menjaga ketentraman di masyarakat,
karena tanpa pendidikan yang membawa pada realita di masyarakat, generasi
muda ke depan akan mudah menjadi mangsa empuk dari hoax yang bertujuan
memecah persatuan nasional. Dalam hal ekonomi, dengan pendidikan bela
negara tersebut, peserta didik akan belajar bahwa, kesenjangan sosial dapat
menjadi massalah besar bagi bangsa Indonesia, dan hanya bisa diselesaikan
dengan mengadakan kegiatan ekonomi yang saling-menolong serta memiliki
manfaat bagi masyarakat luas, selain itu mereka juga akan menyadari bahwa
suatu perekonomian mustahil dibangun tanpa berpikir dan bekerja secara
disiplin. Dalam hal sosial-budaya, dengan bersentuhan dengan masyarakat,
peserta didik akan membentuk dirinya menjadi karakter yang mudah mengenali
dinamika sosial dan budaya disekitarnya, mereka akan belajar
mengartikulasikan suatu informasi suatu kemampuan yang sangat diperlukan
disaat era digital ini, karena saat masyarakat menjadi sangat kaya atas informasi,
cara mengartikulasikan serta menyampaikannya informasi menjadi suatu kunci
dalam berkomunikasi. Ketidakmampuan dalam mengartikulasikan serta
menyampaikan informasi pada dasarnya kerap menjadi awal pertengkaran yang
tidak perlu. Dalam pertahanan-keamanan, para peserta didik akan bisa
merasakan bahwa, kedisiplinan, pemahanan akan masyarakat serta bagaimana
membangun jaringan komunikasi antar masyarakat yang beragam adalah kunci
dari pertahanan-keamanan negara itu sendiri, sebagaimana yang pernah
diungkapkan oleh Prof. Juwono Sudarsono dalam suatu diskusi terbatas,
"pertahanan-keamanan yang terbaik adalah tumbuh dari keadilan sosial."
Keadilan sosial meskipun suatu konsep yang abstrak dan sulit dijelaskan, namun
akan mudah dipahami untuk kemudian hidup di tengah-tengah generasi muda
apabila dituangkan dalam interaksi yang nyata mulai dari pembentukan
konstruksi berpikir secara konsep hingga diwujudkan dalam perbuatan di dalam
masyarakat itu sendiri. Setelah generasi muda melewati jenjang pendidikan
sekundernya maka diperlukan suatu wadah pendidikan khusus sebelum mereka

111
memasuki jenjang pendidikan tinggi tingkat vokasi maupun universitas atau
bekerja, karena jenjang pendidikan tinggi atau bekerja di tengah masyarakat
membutuhkan tingkat kemandirian yang dapat diterima serta dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.
Beberapa negara di dunia menerapkan wajib militer sebagai jawaban
dalam menjawab tantangan geopolitiknya, seperti di Singapura, Israel, Korea
Selatan dan Taipei. Namun demikian mengingat tantangan geopolitik Indonesia
cukup berbeda maka, pendidikan dasar kemiliteran diperlukan secara terbatas,
bagi pembentukan disiplin generasi muda Indonesia, artinya pendidikan bela
negara yang perlu diformulasikan adalah dalam bentuk National Service yang
memiliki berbagai bentuk pengabdian sesuai kebutuhan masyarakat luas.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 27 ayat (3), bahwa
setiap warga negara berhak serta wajib untuk ikut serta dalam upaya pembelaan
negara serta Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal
9 ayat (1), bahwa setiap warga negara berhak dan berkewajiban ikut serta dalam
upaya bela negara, yang dijelaskan kemudian oleh ayat (2) bahwa salah satu
bentuk penyelenggaraan keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara
adalah melalui pelatihan dasar kemiliteran secara wajib.
Penjelasan ini melihat bahwa amanat undang-undang tentang pelatihan
dasar kemiliteran secara wajib perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih khusus, seperti rancangan undang-undang
komponen cadangan, komponen pendukung dan bela negara. Ini juga
berpendapat bahwa payung hukum bagi pendidikan bela negara ini adalah
rancangan undang-undang bela negara perlu diformulasikan menjadi
undangundang. Dalam formulasi pendidikan bela negara yang mempersiapkan
generasi muda dalam menghadapi pendidikan di tingkat tersier maupun
lingkungan pekerjaan keberadaan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib
adalah pilihan yang tepat karena dalam usia yang dianggap secara hukum dan
biologis telah matang, generasi muda perlu melewati proses pembentukan
karakter yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan loyalitas pada bangsa dan
negara, dalam konsep Kissinger, para generasi muda diajarkan bahwa konsep
order dalam masyarakat sangatlah penting. Namun demikian pelatihan dasar
kemiliteran yang wajib tersebut haruslah dilaksanakan secara terbatas, sehingga
setelah pelatihan tersebut mereka dapat menerima suatu iklim freedom yang
memberikan kesempatan untuk membangun kreativitas dan inovasi.

112
Tabel 4. 1 Spektrum Bela Negara

Sumber: Ditjen Pothan Kemhan RI sebagaimana tertuang dalam buku, Bangga Indonesia:
Menjadi Komponen Cadangan Tanah Air. (B. S. Soepandji, 2012)

Sebagai contoh, apabila pendidikan bela negara diselenggarakan selama


satu tahun, maka pelatihan tersebut cukup dilaksanakan selama tiga bulan
mengingat tidak semua individu memiliki kecocokan dengan kehidupan militer
serta keterbatasan sumber daya negara. Apabila dalam tiga bulan tersebut ada
generasi muda yang memiliki kecocokan dengan dunia militer baik dari segi
kesukarelaannya maupun persyaratan seleksi militer, maka mereka dapat
dimasukan kedalam formasi untuk mengisi komponen cadangan atau bahkan
komponen utama baik dari pendidikan tamtama, bintara maupun perwira. Pada
masa pelatihan dasar kemiliteran secara wajib tersebut, secara bersamaan
mereka akan dibekali dengan pengetahuan dasar geopolitik menyangkut dalam
koridor wawasan nusatara. Porsi peserta pendidikan bela negara yang besar
tersebut kemudian akan ditransformasikan dalam program sembilan bulan di
bidang-bidang yang dibutuhkan oleh negara dengan tetap memertimbangkan
pilihan masing-masing peserta didik itu sendiri. Contoh pendidikan bela negara
yang perlu diterapkan dalam program sembilan bulan tersebut adalah civil
defence, yang dilatih dengan kemampuan khusus seperti pertolongan pertama,

113
membentuk dapur umum, berkomunikasi dengan masyarakat luas dalam kondisi
darurat, sehingga siap menangani kondisi darurat seperti bencana alam,
kebakaran dan merebaknya penyakit.
Persepsi terhadap civil defence di Indonesia sebagai pertahanan sipil atau
hansip pada era Orde Baru perlu diubah, karena pada masa itu hansip dibentuk
sebagai paramiliter yang berfungsi mendukung politik orde baru, sedangkan civil
defence yang dimaksudkan adalah suatu kelompok masyarakat terlatih yang siap
menangangi permassalah-permassalahan darurat di masyarakat, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya. Selain civil defence mereka juga dapat memilih
kelompok-kelompok tugas yang memiliki peran vital di masyarakat seperti
asisten perawat di rumah sakit, petugas palang merah Indonesia, penyuluh
kesehatan masyarakat, penyuluh bahaya narkoba dsb. Dalam pelaksanaannya
program sembilan bulan tersebut, selain peserta pendidikan diberikan keilmuan
yang sesuai dengan masing-masing kelompok tugas tersebut, juga diberikan
ilmu berkaitan dengan cara menghadapi perkembangan masyarakat di era
digital, seperti kemampuan mengidentifikasi hoax dan menetralisirnya,
kemampuan membuat laporan keuangan untuk kepentingan pribadi sehingga
memahami cara memelihara pemasukan dan pengeluaran secara terukur agar
tidak terjebak pada hutang-piutang yang berbasis pada bahaya konsumerisme,
kemampuan hidup sehat, kemampuan untuk peka terhadap kebersihan,
kesehatan dan lingkungan hidup serta kemampuan untuk menetralsir usaha
perekrutan kejahatan terorganisir yang beroperasi secara transnasional. Dari hal
tersebut generasi muda mampu membangun kemandiriannya, yaitu kemandirian
yang bermakna memiliki sumbangsih yang positif dibutuhkan masyarakat serta
mampu bekerjasama secara gotong-royong. Adapun manfaat dalam pendidikan
bela negara di tingkat persiapan untuk dunia pendidikan tersier dan dunia kerja
tersebut, selain dari yang telah tertanam dalam pendidikan sekunder
sebagaimana telah diuraikan di atas, maka para peserta pendidikan akan mampu
menjadi sumber daya manusia Indonesia yang sadar akan keberadaannya dalam
kancah pergaulan internasional serta mampu membangun kekuatan nasional
dalam menghadapi dinamika baik di tingkat domestik maupun internasional.
Kesadaran inilah yang nantinya menjadi imunitas yang kuat dalam menghadapi
ancaman terhadap diri mereka sendiri maupun masyarakat. Kemampuan berpikir
lebih panjang dan luas serta kesadaran diri dalam masyarakat akan membentuk
generasi muda yang lebih bertanggung jawab serta tidak mudah terpengaruh
dengan tawaran kesenangan-kesenangan jangka pendek seperti misalnya melalui
narkoba, bisnis menebar hoax, perampokan berbasis geng pemuda/i dsb. Dengan
demikian maka disitulah lahir pribadi yang sadar akan kepentingan geopolitik
nasionalnya, yaitu generasi baru Indonesia yang tidak kehilangan identitas saat

114
menghadapi derasnya globalisasi. Saat ini di dunia mengingat tantangan terjadi
di segala bidang, tidak ada negara yang benar-benar bisa dijadikan role model
dalam formulasi kebijakan yang berkaitan dengan pembentukan karakter
nasionalnya namun ada beberapa kebijakan negara lain yang tetap bisa dijadikan
bahan perbandingan bagi Indonesia. Pelaksanaan pendidikan bela negara yang
secara nasional mustahil berhasil apabila dilaksanakan hanya bertumpu pada
sumber daya di bidang pertahanan saja, namun perlu diintegrasikan dalam
program kebijakan lintas kementerian dan lembaha yang kemudian diterapkan
dengan melibatkan peran aktif pemerintah daerah di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
Dalam memformulasikan kebijakan yang lintas stakeholders tersebut hal
yang sangat diperlukan adalah peran aktif kepemimpinan nasional yang benar-
benar memiliki perhatian khusus terhadap kelangsungan eksistensi bangsa
Indonesia, sehingga pemahaman akan pentingnya pendidikan bela negara
tersebut juga dirasakan seiring berjalan dengan kepentingan pemerintah daerah
di tingkat provinsi dan kota/ kabupaten. Tujuannya adalah agar pelaksanaan
pendidikan bela negara tersebut memiliki dukungan politik dan sumber daya
yang luas dari masyarakat, meskipun para tataran kebijakan, kementerian
pertahanan tetap memegang peranan yang sentral. Selain melibatkan lembaga-
lembaga eksekutif baik di tingkat nasional dan daerah, maka lembaga legislatif
juga sangat perlu untuk diajak berkomunikasi dan mendukung program ini,
mengingat program pendidikan bela negara adalah lahir berdasarkan perintah
undang-undang yang pernah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta
kenyataan situasi geopolitik kekinian. Begitupun yudikatif perlu mendapatkan
informasi yang memadai mengenai peran strategis untuk menjaga eksistensi
Republik Indonesia, karena sebagaimana dijelaskan oleh Sen, bahwa keadilan
bisa berdiri dengan tegak apabila ada faktor yang memayunginya, dalam hal ini
adalah negara Republik Indonesia, karena apabila terjadi penolakan di
masyarakat yang meminta keadilan kepada sistem peradilan nasional, maka para
hakim yang merupakan bagian dari sistem tersebut telah dengan bijaksana
mempertimbangkan dalam putusannya unsur penting untuk menjaga eksistensi
negara Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang gagal
menjaga eksistensi secara utuh seperti Yugoslavia, Uni Soviet, Suriah, Libya,
Iraq dan Vietnam Selatan, mustahil untuk menerapkan keadilan, karena saat
eksistensi negara tersebut terancam maka yang hadir adalah kekacauan.
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan bela negara adalah keberhasilan
bangsa Indonesia membangun fondasi yang kokoh bagi eksistensinya. Hal
tersebut hanya dapat terlaksana dengan baik apabila kepemimpinan nasional
yang mengambil kebijakan tersebut mampu membangun narasai kebijakan yang

115
mendorong kesepahaman antara lembaga-lembaga kunci serta masyarakat luas.
Apabila dilaksanakan secara rutin dan konsisten, pendidikan bela negara dapat
menjadi suatu formasi kultural yang baru bagi bangsa Indonesia, karena secara
perlahan akan membuka sekat-sekat sosial, membangun rasa kebersamaan yang
meluas serta mentransformasi kehidupan generasi muda untuk secara mandiri
dan bergotong royong siap menghadapi perubahan di sekelilingnya. Selain itu
secara nasional bangsa Indonesia secara tangguh akan siap menghadapi
dinamika geopolitiknya baik, dalam saat damai seperti bencana alam, kejahatan
lintas negara yang terorganisir, merebaknya penyakit, maupun saat perang baik
di tingkat yang tertbatas maupun yang meluas. Ketangguhan bangsa Indonesia
dalam menghadapi dinamika geopolitik baik di tingkat domestik maupun global
adalah tercermin dari kemampuan generasi muda bangsa Indonesia untuk tidak
hanya menjadi korban dari aktivitas global extraordinary networks dalam proses
construction of meaning dalam pikiran generasi muda Indonesia. Karena apabila
construction of meaning bangsa Indonesia dapat dikuasai, maka dengan mudah
bangsa ini akan terpecah oleh usaha-usaha adu domba untuk kemudian
menguasai tanah ibu pertiwi. Kenyataan geopolitik menunjukkan bahwa
keberlangsungan hidup bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya
dalam menghadapi global extraordinary networks. Global extraordinary
networks memiliki kekuasaan yang besar pada prakteknya tidak pernah benar-
benar lepas dari pengaruh negara tertentu yang terkadang memiliki kepentingan
berbeda dengan kepentingan nasional Indonesia, oleh karenanya bangsa
Indonesia harus mempersiapkan diri untuk tetap setia pada kepentingan nasional
di hati dan pikirannya. Sebagaimana diingatkan oleh Castells bahwa pertarungan
atas suatu kekuasaan pada hakekatnya adalah pertarungan untuk membangun
konstruksi makna dalam alam pikir masyarakat yang menjadi sasarannya, maka
program bela negara pada hakekatnya adalah pembangunan konstruksi berpikir
generasi muda bangsa Indonesia yang merupakan benteng terdepan dan
terpenting dalam menjaga keutuhan negara kita tercinta di masa kini dan masa
yang akan datang.

4.4.2 Model Bela Negara di beberapa negara


Konsep bela negara sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh Indonesia.
Negara-negara lain menerapkan bela negara dalam berbagai bentuk, antara lain
berupa wajib militer, pelayanan sipil, maupun paduan antara wajib militer
dengan pelayanan sipil. Negara terdekat dari Indonesia yang memiliki program
serupa dengan bela negara adalah Singapura. Dikenal dengan nama National
Service (NS), program bela negara di Singapura selama dua tahun merupakan
kewajiban bagi setiap laki-laki berkewarganegaraan Singapura, maupun

116
penyandang status sebagai penduduk tetap (permanent resident atau PR)
generasi kedua (mendapat status PR dari orangtuanya) yang telah berusia 18
tahun. Akan tetapi, para wajib NS sudah harus sudah mendaftar keikutsertaan
mereka sejak mulai memasuki usia 16 tahun 6 bulan (Singapure Enlistment,
2001).
NS menjadi program wajib bagi warga negara maupun penduduk tetap
(PR) Singapura melalui sebuah undang-undang, yaitu National Service
Amendment Act pada tanggal 14 Maret 1967, setelah negeri itu berdiri sendiri
pada Agustus 1965. NS sebenarnya sudah mulai diberlakukan di Singapura pada
tahun 1954 saat negeri itu masih di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Akan
tetapi, pada saat itu NS mendapat resistensi dari penduduk lokal, terutama
sebagiannketurunan Tionghoa yang meyakini bahwa profesi tentara bukanlah
suatu hal yang bergengsi. Perjalanan sejarah Singapura pada tahun 1960-an
kemudian memperkuat argumen tentang pentingnya NS, yaitu peristiwa
pemboman pada saat Konfrontasi, serta kerusuhan rasial pada tahun 1964. Selain
itu, Singapura juga harus membangun pertahanannya sendiri, mengingat Inggris
akan menarik seluruh kekuatannya dari negara pulau itu pada tahun 1971.
Menteri Pertahanan Singapura pada saat itu Dr. Goh Keng Swee meyakinkan
parlemen untuk memberlakukan kewajiban NS dengan mengatakan bahwa tidak
ada cara yang lebih cepat dan komprehensif untuk membangun loyalitas dan
kesadaran nasional selain keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara, serta
menjadi anggota angkatan bersenjata. Saat ini, program NS meliputi kewajiban
mengabdi di militer (SAF atau Singapore Armed Force), kepolisian, atau
kekuatan sipil (SDF atau Singapore Civil Defence Force) (Cheong, 2017).
Dengan kata lain, kewajiban mengikuti NS bagi warga negara atau penduduk
tetap merupakan upaya untuk menciptakan kohesi sosial di antara penduduk
Singapura yang terdiri dari berbagai latar belakang dan etnis. Upaya itu
ditempuh melalui penciptaan suatu rasa keterikatan di antara sesama peserta
selama mengikuti NS melalui serangkaian pendidikan, pelatihan, serta
pembangunan karakter dan kepemimpinan. (Contact Singapire, n.d.). Program
semacam bela negara juga terdapat di sejumlah negara Eropa, salahsatunya
Swiss atau Switzerland. Di negara yang terletak di Pegunungan Alpen ini,
program bela negara diterapkan dalam bentuk wajib militer. Program ini
didesain sebagai bentuk pertahanan yang bertolak dari prinsip bahwa Swiss
adalah negara netral dalam pengertian tidak berpihak dalam konflik bersifat
eksternal, tetapi berperan aktif dalam aksi kemanusiaan, serta bersiap dalam
menghadapi ancaman eksternal. Prinsip netralitas ini berangkat dari kenyataan
sejarah bahwa pada abad ke-16, Swiss yang plural dalam hal budaya, agama, dan
bahasa mengalami gejolak dalam negeri yang diakibatkan kebijakan luar negeri

117
aktif. Selain itu, keberpihakan Swiss pada Jerman atau Perancis pada sejumlah
konflik militer pada abad ke-19 juga menyebabkan kesulitan kepada Swiss.
Bertolak dari pengalaman itu, Swiss mengambil posisi netral melalui Perjanjian
Paris atau Treaty of Paris yang ditandatangani pada tahun 1815. Dengan
demikian, Swiss memilki prinsip bahwa tanpa netralitas terhadap faktor internal,
tidak mungkin tercapai kohesi sosial di dalam negeri.(Neutrality Swiss, 1998).
Konstitusi Swiss menyebutkan bahwa wajib militer dikenakan bagi setiap laki-
laki warga negara Swiss, dan bersifat suka rela bagi perempuan. Dalam hal ini,
pria yang berusia 19 hingga 25 tahun bertanggjungjawab untuk mengikuti
pelatihan militer selama 18 minggu hingga 21 minggu. Dari pelatihan itu, para
peserta akan dibagi menjadi dua golongan, yaitu komponen cadangan dan
mereka yang menjadi bagian dari departemen pertahanan (officers). Komponen
cadangan akan melaksanakan tugas mereka hingga usia 34 tahun dengan total
kewajiban bertugas selama 260 hari. Sedangkan mereka yang menjadi officers
memiliki kewajiban tugas hingga usia 50 tahun dengan total kewajiban bertugas
selama 600 hari. Dengan postur seperti ini, Swiss tidak memiliki unit tentara
reguler seperti yang dikenal di negara lain, dan hanya memiliki sejumlah staf di
markas. Akan tetapi, pada pria yang telah mengikuti wajib militer dapat
dimobilisasi penuh dalam waktu 72 jam. Hukum Swiss juga mengatur bahwa
mereka yang tidak dapat mengikuti wajib militer diharuskan membayar pajak
(Switzerland, n.d.).
Kewajiban membayar pajak bahkan juga dikenakan bagi mereka yang
mengikuti program kewajiban sipil (civil defence) disebabkan termasuk dalam
kategori tidak dapat berpartisipasi dalam wajib militer (The Swiss authorities
online, 2012). Negara lain yang menerapkan bela negara dalam bentuk wajib
militer adalah Israel yang terletak di Timur Tengah. Berdiri pada tahun 1948,
Israel yang terletak di Timur Tengah menyadari keberadaannya sebagai negara
Yahudi di tengah-tengah bangsa dan negara Arab. Negara ini pun terbentuk
hanya tiga tahun setelah Perang Dunia II yang menyebabkan korban jiwa jutaan
orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi yang didirikan oleh Nazi Jerman,
maupun diakibatkan oleh sebab-sebab lain. Menurut undang-undang pertahanan
di Israel, wajib militer merupakan kewajiban bagi warga negara, dengan
pengecualian warga Arab (Meir Elran dan Gabi Sheffer (ed.), 2016).
Kaum Yahudi ortodoks sebenarnya juga dikecualikan dari wajib militer;
akan tetapi Israel berencana mengubah aturan itu dengan juga mewajibkan
keikutsertaan Yahudi ortodoks dengan azas persamaan hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Selama ini, kaum Yahudi ortodoks tidak diharuskan
mengikuti wajib militer karena mereka dianggap berkontribusi terhadap negara
dengan mendedikasikan hidupnya dengan mendalami bidang keagamaan.(Elana

118
Ringler, 2018). Menurut Dov Tamari, pada awal-awal terbentuknya negara
Israel di dekade 1950-an, 1960-an, hingga Perang Enam Hari (1967), wajib
militer yang merupakan bagian dari IDF (Israel Defence Force) lebih
diasosiasikan kepada mobilisasi umum untuk perang. Ketika itu, perang
dianggap sebagai sesuatu yang harus ditempuh guna melindungi keamanan
personal atau umum. (Tamari, n.d.). Menurut Dov Tamari, hingga Perang Enam
Hari, IDF dengan wajib militer mampu menunjukkan kemampuannya untuk
duduk sebagai “tentara rakyat” dan menciptakan integrasi masyarakat. Akan
tetapi seiring dengan perkembangan debat publik, seperti halnya perlu atau
tidaknya kaum Yahudi ortodoks dalam wajib militer menunjukkan bahwa saat
ini Israel perlu mempertimbangkan untuk lebih menonjolkan peran sosial IDF di
tengah masyarakat.(Yigal Allon, n.d.). Yigal Allon seorang Jenderal di IDF,
menuliskan dalam bukunya bahwa meskipun Israel secara geografis terjepit dan
secara sumber daya mengalami tekanan yang hebat namun keberhasilannya
dalam mempertahankan diri dalam konflik yang cukup panjang adalah dimensi
sosial negaranya yang kokoh. (Elran dan Sheffer, n.d.) Dimensi sosial yang
menyatu dalam satu kesadaran nasional untuk memertahankan diri tidak
mungkin lepas dari kebijakan negaranya dalam menerapkan bela negara yang
sesuai dengan kebutuhannya yaitu, wajib militer. Di Eropa, beberapa negara,
misalnya Swedia kembali memberlakukan wajib militer setelah melihat
perkembangan sosial dan politik yang ada. Pada Maret 2107, Swedia kembali
menghidupkan wajib militer yang sudah dihentikan pada 2010, dengan alasan
melihat perkembangan politik yang terjadi di wilayah Baltik, antara lain upaya
Rusia menganeksasi Krimea pada tahun 2014, konflik di Ukraina, dan latihan
militer Rusia di kawasan itu. (Sweden Brings Back Military Conscription Amid
Baltic Tensions, 2017).
Negara lain di Eropa, yaitu Perancis juga ingin menghidupkan kembali
pengabdian nasional (National Service) dengan tujuan agar generasi muda
Perancis lebih aktif dalam kehidupan berbangsa dan mendukung kohesi sosial.
Rencanya, program pengabdian sosial ini akan mencakup pengabdian di bidang-
bidang sipil seperti menjadi guru suka rela, ikut serta dalam kegiatan amal,
hingga pengabdian sebagai personil militer, polisi dan pemadam
kebakaran.(Williamson, 2018).

119
120
BAB 5
TEKNOLOGI PERTAHANAN

5.1 Kemajuan Teknologi dan Industri Pertahanan Global


Teknologi dan industri pertahanan berkembang dengan sangat pesat pada
masa Perang Dingin. Kondisi ini terkait dengan terjadinya perlombaan senjata
di antara dua negara adidaya pada masa tersebut. Seiring dengan berakhirnya
Perang Dingin, beberapa pihak berasumsi bahwa perlombaan senjata akan
berhenti dan teknologi serta industri pertahanan tidak akan berkembang sepesat
seperti masa Perang Dingin. Hal ini mengacu pada tesis Francis Fukuyama yang
menyatakan bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin dunia akan menjadi lebih
damai dan persenjataan tidak lagi akan menjadi hirauan utama negara-negara.
Namun, hal tersebut pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Sekalipun
dunia sudah tidak berada dalam rivalitas antara dua negara adidaya,
perkembangan dari teknologi dan industri pertahanan tetap menempati posisi
penting dalam kebijakan pertahanan sebuah negara, khususnya bagi Amerika
Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara adidaya saat ini.
Kemajuan teknologi dan industri pertahanan semakin berkembang pasca
Perang Dingin terkait dengan semakin kompetitifnya pasar yang membuat
industri-industri pertahanan berusaha untuk mendapatkan konsumenbagi produk
mereka. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari dua hal. Pertama, liberalisasi
yang dilakukan terhadap industri pertahanan, khususnya di negara-negara Barat.
Kedua, munculnya perubahan besar dalam ruang lingkup peperangan yang
membawa pengaplikasian dari penemuan teknologi yang dikombinasikan
dengan perubahan secara mendasar dalam doktrin, operasional dan konsep
organisasi militer, yang secara mendasar terkait dengan karakter dan cara
melakukan operasi militer. Perubahan ini secara umum dikenal dengan
Revolution in Military Affairs (RMA) (Sloan, 2008). Oleh karena itu, negara-
negara besar berupaya untuk mengembangkan persenjataan sebagai produk
industri pertahanan mereka dengan mengedepankan aplikasi teknologi canggih.
Dua kondisi diatas membuat munculnya berbagai persenjataan canggih
yang diproduksi dan digunakan oleh berbagai negara, khususnya negara-negara
maju. Berbagai teknologi canggih diaplikasikan untuk memenuhi tuntutan
konsumen yang menginginkan persenjataan yang dapat mengatasi munculnya
ancaman-ancaman baru terhadap negara mereka. Saat ini, teknologi persenjataan
dengan kemampuan siluman (stealth) dan persenjataan tanpa awak seperti
Unmaned Aerial Vehicle (UAV) menjadi produk-produk andalan industri
pertahanannegara-negara maju. Keamanan nasional yang terkait erat dengan

121
kemampuan teknologi dan industri pertahanan menjadi subjek dari kontrol
politik yang berpengaruh terhadap hubungan dengan pihak asing serta ekspor
dan transfer teknologi (Hayward, 2001), yang dalam hal ini berhubungan dengan
persenjataan untuk kepentingan pertahanan.
Perkembangan teknologi dan industri militer global sebagai respon untuk
mengatasi berbagai ancaman baru yang muncul membawa konsekuensi terhadap
transformasi dalam jalannya peperangan. Perang telah melibatkan berbagai
keunggulan persenjataan yang dimiliki oleh suatu negara, yang didukung oleh
akuisisi maupun kepemilikan teknologi serta industri pertahanan. Kondisi ini
akan sangat menentukan keunggulan salah satu pihak dalam peperangan
tersebut. Transformasi perang tidak dapat dilepaskan dari perubahan tipe dan
jumlah aktor yang terlibat, instrumen yang digunakan, medan peperangan,
bagaimana perang tersebut berlangsung, serta tujuan atau kemenangan yang
dicapai dalam peperangan. Sepanjang sejarah, manusia telah menyaksikan
betapa perkembangan teknologi dan industri pertahanan telah membawa
perubahan dalam jalannya peperangan. Perubahan tersebut membuat munculnya
karakteristik tersendiri di luar apa yang disampaikan oleh William Lind.
Menurut Lind, karakteristik perkembangan dari perang dapat dibedakan menjadi
first generation, second generation, third generation, fourth generation dan fifth
generation war (Lind et al., 1989). Merujuk pada realitas yang dicapai dalam
bidang teknologi dan produk industri pertahanan secara global, bahwa saat ini
umat manusia sedang berada dalam transisi dari fourth generation war menuju
fifth generation war. Karakteristik dari transisi menuju perang generasi kelima
ini melibatkan penggunaan teknologi persenjataan yang canggih dan perubahan
dalam konteks perang tersebut digelar.
Perang yang didukung oleh kecanggihan persenjataan yang dimiliki tidak
menjadikan pengusaan wilayah musuh sebagai sebuah tujuan atau kemenangan.
Perang lebih berfokus kepada dampak psikologis terhadap pihak lawan, baik
pemerintah maupun rakyatnya. Oleh karena itu, mobilisasi pasukan secara besar-
besaran tidak lagi menjadi strategi utama. Perang dewasa ini lebih menekankan
pada sekelompok kecil pasukan (pasukan khusus) dengan kemampuan yang
setara dengan pasukan dalam jumlah besar. Selain itu, peperangan dilakukan
pada ranah dunia maya (cyberspace), dengan tetap akan berdampak fisik,
khususnya terhadap sarana dan prasarana musuh. Kondisi ini yang kemudian
membuat sebuah negara perlu untuk mempersiapkan sistem dan alutsistaserta
kesiapan personil dalam menghadapi transformasi karakteristik perang tersebut.
Indonesia, sebagai bagian dari sistem internasional, perlu untuk merespon
perkembangan teknologi pertahanan global. Terlebih, dalam era globalisasi saat
ini ancaman yang muncul terhadap keamanan dan pertahanan negara tidak lagi

122
mengenal batas ruang dan waktu. Lingkungan strategis baik dalam tataran global
maupun regional saat ini telah mengadopsi berbagai teknologi terbaru bagi
kepentingan militer yang ditujukan untuk mempertahankan diri dan kepentingan
nasional dari berbagai ancaman yang muncul baik dari berbagai aktor
internasional.

5.2 Kondisi Sistem Pertahanan Indonesia


Pada dekade 1990-an, kekuatan pertahanan Indonesia mendapatkan
sebuah ujian dimana AS sebagai penyedia alutsista menerapkan embargo
persenjataan. Kondisi ini membuat Indonesia kesulitan untuk melakukan
modernisasi alutsista, bahkan untuk mengoperasikan alutsista yang telah ada pun
menjadi sesuatu yang sangat sulit. Sudah diketahui luas bahwa kondisi alutsista
yang menjadi pendukung utama sistem pertahanan Indonesia cukup
mengkhawatirkan. Alutsista yang dioperasikan TNI tersebut sebagian besar
berusia antara 25-40 tahun; mereka terus saja dirawat dan diperbaiki agar siap
dioperasikan (Bakrie, 2007). Realitas ini menunjukan bahwa postur kekuatan
yang dimiliki oleh TNI masih jauh dari standar dan belum memenuhi kebutuhan
pertahanan Indonesia. Bila dilihat dari kondisi saat ini, TNI-AU menjadi matra
pertahanan yang mengalami dampak paling signifikan dari perubahan yang
terjadi akibat perkembangan teknologi persenjataan. Hal ini terkait dengan mulai
diterapkannya berbagai teknologi canggih seperti kemampuan stealth serta
penggunaan UAV oleh angkatan bersenjata negara lain yang dapat dengan
mudah masuk dan melanggar kedaulatan wilayah Indonesia. TNI-AU saat ini
mengalami kesulitan dalam hal ketersediaan dan kemampuan radar maupun
pesawat tempur sebagai ujung tombakupaya mengatasi ancaman-ancaman
tersebut. TNI AU hanya bertumpu kepada pesawat tempur F-16 A/B yang
didatangkan dari AS pada periode tahun 1990-an, yang baru dapat kembali
sepenuhnya beroperasi pada tahun 2006 setelah AS mencabut embargo
persenjataan terhadap Indonesia. Meskipun saat ini TNI telah mendatangkan
pesawat tempur Sukhoi Su-27 dan Su-30 dari Rusia, secara kuantitas
kemampuan persenjataan yang dimiliki belum mampu mencakup seluruh
wilayah Indonesia.
TNI-AL mengalami hal yang serupa. Saat ini TNI-AL tidak memiliki
cukup armada untuk mengamankan wilayah perairan Indonesia. Alusista TNI-
AL masih memberi tempat kepada kapal-kapal perang produksi lamaeks Jerman
Timur dan Belanda. Bahkan untuk negara maritim seperti Indonesia, TNI-AL
hanya memiliki dua unit kapal selam yang tentu saja belum memadai untuk
membentengi wilayah laut Indonesia. Kondisi ini jelas membuat wilayah laut
Indonesia sangat rentan akan penyusup baik yang bermotif ekonomi seperti

123
pencurian ikan dan perompakan maupun yang terkait dengan misi intelejen
asing. Angkatan laut negara-negara tetangga maupun negara lain telah memiliki
alutsista yang memadai untuk mempertahankan wilayah lautan mereka. Saat ini
tren yang muncul adalah perlombaan negara-negara untuk membangun angkatan
laut dengan kategori blue waters navy.
Kondisi alutsista yang dimiliki oleh TNI-AD saat ini pada umumnya
merupakan pengadaan lama yang dibuat antara tahun 1940 hingga 1986.
Sebagian besar alutsista ini suku cadangnya tidak tersedia, bahkan pabrik yang
membuatnya sudah tidak memproduksi lagi (Subekti, 2012). Meskipun
kemudian TNI-AD berfokus pada kemampuan anggota atau sumber daya
manusia, namun keberadaan alutsista yang memadai menjadi kebutuhan
mendesak seiring dengan perkembangan teknologi pertahanan dalam ranah
global. Bagi TNI-AD, kebutuhan mendesak itu meliputi kendaraan angkut
personil baik kendaraan darat maupun pesawat serta artileri medan dan artileri
pertahanan udara. Di samping itu, tuntutan akan modernisasi senjata perorangan
juga menjadi fokus karena sebelum menggunakan senjata SS-1 buatan PT.
Pindad sebagai standar, TNI-AD menggunakan senapan serbu M16 dengan
teknologi yang digunakan pada era perang Vietnam. Untuk dukungan
operasional, TNI-AD masih mengandalkan Tank Scorpion yang tergolong dalam
kelas Light Tank (tank ringan), padahal TNI-AD sekarang memerlukan Main
Battle Tank (MBT), dukungan dari helikopter serbu, serta pesawat
counterinsurgency.
Kondisi ketiga matra TNI terkait dengan alutsista yang dimiliki dan
dioperasikan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami
keterbatasan dalam pemenuhan alutsista untuk menopang sistem pertahanan
negara. Massalah ini sangat penting untuk diselesaikan mengingat pada era
modern keberadaan alutsista menjadi salah satu prasyarat utama dalam
pemenuhan kebutuhan sistem pertahanan negara. Realitas yang diperlihatkan
oleh alutsista milik TNI baik Angkatan Darat, Angkatan Laut dan khususnya
Angkatan Udara membuat sistem pertahanan Indonesia sangat ironis ditengah
perkembangan teknologi persenjataan yang semakin hari semakin pesat. Bila hal
ini tidak segera diperhatikan, maka sistem pertahanan Indonesia akan dengan
mudah dilumpuhkan oleh pihak asing maupun ancaman dari dalam negeri yang
ingin merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Industri pertahanan dalam negeri menjadi salah satu ujung tombak upaya
sebuah negara dalam mengembangkan sistem pertahanan secara mandiri. Hal ini
terkait dengan terpenuhinya kebutuhan baik dalam konteks penyediaan kualitas
maupun kuantitas alutsista yang sesuai dengan karakteristik kewilayahan serta
menghilangkan ketergantungan secara politis terhadap negara lain. Pembinaan

124
industri pertahanan domestik telah terbukti dapat menjadi tulang punggung bagi
pembangunan sistem pertahanan dan modernisasi alutsista China dan India yang
saat ini tumbuh menjadi kekuatan militer besar di Asia. Berkaca kepada hal
tersebut, Indonesia yang saat ini tengah mengakselerasi program untuk
memenuhi kebutuhan minimum kekuatan militernya mengeluarkan dasar hukum
bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri melalui Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Pembinaan terhadap industri pertahanan dalam negeri memiliki
signifikansi utama dalam hubungannya dengan amanat yang ada dalam UU
Nomor 16 Tahun 2012 tersebut. Amanat-amanat itu adalah: mewujudkan
industri pertahanan yang profesional, efektif, efisien, terintegrasi, dan inovatif;
mewujudkan kemandirian pemenuhan alat peralatan tahanan dan keamanan; dan
meningkatkan kemampuan memproduksi alat peralatan pertahanan dan
keamanan, serta jasa pemeliharaan yang akan digunakan dalam rangka
membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal (UU No.16 Tahun
2012 Pasal 3). Keberadaan UU tersebut menunjukkan komitmen pemerintah
yang menyadari pentingnya industri pertahanan dalam negeri.
Indonesia saat ini telah memiliki beberapa industri strategis yang
bergerak dalam bidang pertahanan, yakni PT. Pindad, PT. PAL dan PT.
Dirgantara Indonesia. Ketiga perusahaan ini telah memiliki sejarah panjang
dalam produksi sistem pertahanan, namun belum berfungsi optimal dalam
memenuhi kebutuhan pertahanan Indonesia. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan
dari kurangnya perhatian serta kepercayaan dari pemerintah Indonesia sendiri
terhadap kemampuan dari industri-industri tersebut. Embargo persenjataan yang
diterapkan oleh AS pada awal tahun 1990-an telah membuka mata pemerintah
Indonesia akan pentingnya keberadaan berbagai industri strategis tersebut bagi
sistem pertahanan. Padahal, sejak lama produk industri pertahanan Indonesia
telah diakui kehandalannya oleh negara lain, seperti contohnya PT DI yang telah
memproduksi pesawat intai maritim bagi beberapa negara. Kehandalan produk
industri pertahanan dalam negeri mulai diakui dengan penggunaan varian
senapan SS yang diproduksi oleh PT. Pindad sebagai senapan organik di
lingkungan TNI dan Polri. Sejak kesadaran akan pentingnya industri pertahanan
domestik muncul, PT. Pindad telah banyak menghasilkan beberapa inovasi.
Salah satunya adalah keberhasilan memproduksi kendaraan tempur berupa
panser yang diberi nama Anoa. Hal ini menjadi salah satu titik awal
perkembangan PT. Pindad dimasa yang akan datang untuk mampu memproduksi
alutsista yang dibutuhkan oleh TNI seperti tank maupun teknologi persenjataan
lainnya. Saat ini PT. Pindad terus melakukan inovasi dalam mengembangkan
senapan SS kedalam beberapa tipe untuk kepentingan-kepentingan TNI. Panser

125
Anoa dan senapan SS buatan PT. Pindad telah mencuri perhatian dari beberapa
negara yang kemudian memberikan kontrak untuk pengadaan panser serta
senapan dari perusahaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan angkatan
bersenjata mereka.
PT. PAL pun tidak kalah dengan keberhasilan memproduksi beberapa
kapal patroli yang digunakan oleh jajaran TNI-AL. Beberapa waktu yang lalu
PT. PAL juga berhasil mengembangkan kapal perang dengan teknologi stealth
kelas Sigma yang diberi nama KRI Klewang. Meskipun pada sesi uji coba kapal
buatan PT. PAL ini terbakar dan masih terdapat beberapa item yang masih harus
didatangkan dari luar negeri, namun ini tidak menyurutkan pengembangan kapal
baru tersebut yang kelak akan memperkuat jajaran TNI-AL. Ini menunjukan
bahwa kemampuan PT. PAL untuk memproduksi dan mengembangkan
persenjataan, khususnya bagi matra laut, tidak dapat dipandang sebelah mata.
Saat ini Indonesia masih mendatangkan sejumlah kapal perang untuk memenuhi
kebutuhan TNI-AL yang merupakan kapal perang bekas negara lain yang
tentunya sudah tertinggal dari segi teknologi maupun penurunan kemampuan
tempurnya. Ini tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan anggaran sehingga
Indonesia hanya mampu membeli kapal perang bekas dari negara lain untuk
sekedar memenuhi kuantitas tanpa menghiraukan kualitas dari kapal perang
tersebut. Namun, keberadaan PT. PAL membuat anggaran yang dikeluarkan
akan jauh lebih rendah, dengan harapan tersedianya teknologi persenjataan dan
kemampuan tempur yang tinggi dalam pengadaan alutsista bagi TNI-AL.
Sebagai negara yang baru memulai upaya untuk mengembangankan
industri pertahanan domestik, Indonesia perlu melakukan kerjasama di bidang
tersebut, khususnya dengan negara-negara maju. Salah satu bentuk kegiatan
industri pertahanan adalah pengembangan bersama (co-development) yang
merupakan program kerjasama antara pemerintah dan perusahaan multinasional
yang melakukan pengembangan dan produksi suatu sistem persenjataan,
termasuk evaluasi, biaya bersama, dan pembagian keuntungan melalui penjualan
dari produksi persenjataan itu. Dalam transfer teknologi terdapat beberapa
komponen yang harus diperhatikan yakni hardware, software, brainware dan
supporting network. Hardware berhubungan dengan peralatan yang bersifat
fisik dan struktur komponen serta layoutnya. Software adalah mengenai apa
yang disebut dengan “know-how” atau bagaimana cara untuk menyelesaikan
sebuah tugas atau perintah dalam operasionalnya. Brainware lebih pada kaitan
dengan pengetahuan tentang seluk beluk dan pemahaman mengenai aplikasi dan
pengunaan dari hardware dan software yang ditransferkan tersebut dan
supporting net adalah jaringan yang diperlukan untuk mendukung penggunaan
secara efektif dalam manajerial dari teknologi tersebut (Saad, 2000). Proses

126
globalisasi dewasa ini membawa dampak kepada interdependensi antarnegara
dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang industri pertahanan. Negara
maju dapat memberikan mekanisme transfer teknologi kepada negara
berkembang dalam tataran teknis, yakni untuk melakukan efisiensi produksi,
maupun dalam tataran politis, yaitu untuk mempererat hubungan dengan negara
tersebut. Transfer teknologi pun dapat dilakukan di antara negara berkembang
dengan tujuan untuk saling mengisi kekurangan dari teknologi yang
dikembangkan. Bagi Indonesia, mekanisme transfer teknologi ini dapat menjadi
peluang tersendiri, khususnya dalam rangka membangun sistem pertahanan
ditengah pesatnya perkembangan teknologi pertahanan saat ini vis-à-vis kondisi
alutsista yang dimiliki TNI.
Dalam rangka mengembangkan kerjasama pertahanan dengan negara
lain, pemerintah Indonesia senantiasa berupaya untuk mengikutsertakan klausul
transfer teknologi didalamnya sebagai upaya mengembangkan alutsista.
Transfer teknologi ini mensyaratkan bahwa industri pertahanan dalam negeri
mampu untuk menerapkan dan memproduksi persenjataan berdasarkan standar
yang telah diberikan. Bagi Indonesia hal ini tampaknya tidak akan menjadi
kendala mengingat saat ini industri pertahanan domestik yang dimiliki telah
menunjukan perkembangan yang menjanjikan. PT. Pindad sebagai salah satu
perusahaan strategis dalam industri pertahanan dalam negeri telah melakukan
kerjasama dengan Fabrique Nationale (FN) Herstal Belgia. Kerjasama ini
menghasilkan senapan serbu SS-1 yang didasarkan kepada platform senapan
serbu FNC buatan perusahaan Belgia tersebut. PT. Pindad juga telah berhasil
mengembangkan teknologi pembuatan senapan tersebut dengan memproduksi
berbagai varian dari senapan SS-1. Hasil produksi dari PT. Pindad ini kemudian
bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan alutsista dalam negeri, tetapi juga
diekspor ke berbagai negara. Kesiapan PT. Pindad sebagai penerima alih
teknologi pertahanan dari negara lain dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi
No. Skep/3/P/BD/X/2005 mengenai Kebijakan Alih Teknologi sebagai
komitmen dari PT. Pindad sebagai salah satu perusahaan terdepan dalam
menyediakan dan mengembangkan produk-produk persenjataan bagi TNI.
Kemampuan PT. Pindad dalam menerima dan mengimplementasikan
alih teknologi menjadi peluang besar ditengah banyaknya kerjasama pertahanan
yang tengah dijalin oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain. Dengan
masih banyaknya alutsistaTNI yang berasal dari luar negeri, PT. Pindad dituntut
untuk mampu memproduksi amunisi maupun suku cadang bagi berbagai
alutsista tersebut. Hal ini seiring dengan tuntutan alih teknologi yang disertakan
oleh pemerintah Indonesia dalam setiap pembelian persenjataan dalam beberapa
waktu belakangan ini. Pembelian tank Leopard oleh pemerintah Indonesia

127
membuka jalan untuk melakukan alih teknologi, setidaknya dalam memproduksi
suku cadang maupun amunisi didalam negeri. Bahkan Memorandum of
Understanding (MoU) antara PT. Pindad dengan Rheinmettal sebagai produsen
tank Leopard sedang disiapkan yang difasilitasi oleh pemerintah Indonesia dan
Jerman.
Demikian pula dengan kemampuan PT. DI dalam memproduksi berbagai
pesawat terbang yang sejatinya merupakan hasil alih teknologi. Sejak berdiri,
PT. DI atau yang dulu bernama IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara)
telah memproduksi pesawat terbang yang didasarkan kepada rancangan dari
Cassa Spanyol. Setelah berhasil menerapkan desain dan produksi, PT. DI
mengembangkan rancangan tersebut secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan
pasar dengan merk CN pada setiap varian pesawat yang diproduksinya, baik
untuk kepentingan penerbangan sipil maupun militer. Kerjasama pertahanan
yang dibuka antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan telah mendorong
upaya pengembangan sistem persenjataan mandiri, yakni dengan
dikembangkannya produksi bersama pesawat tempur dengan label KFX oleh
kedua negara, dimana pemerintah Indonesia menunjuk PT. DI sebagai pelaksana
teknisnya. Melalui produksi bersama tersebut PT. DI akan memperoleh
kesempatan untuk mempelajari berbagai teknologi pembuatan pesawat tempur,
yang kelak akan membuat ia mampu untuk memproduksi pesawat tempur secara
mandiri.
Kerjasama pertahanan dengan Korea Selatan juga meliputi produksi
bersama kapal selam. Ini cukup menggembirakan karena Indonesia memang
membutuhkan setidaknya 12 kapal selam, saat ini Indonesia baru memiliki 2-
unit kapal selam. Dalam hal ini PT. PAL menjadi mitra bagi perusahaan Korea
Selatan untuk melakukan produksi bersama kapal selam tersebut untuk
memenuhi kebutuhan TNI-AL. Teknologi pembuatan kapal selam merupakan
sebuah teknologi yang dibutuhkan oleh PT. PAL yang selama ini masih
berfokuspada kapal-kapal permukaan serta pendukungnya. Bagi Indonesia
sebagai negara maritim, keberadaan kapal selam menjadi elemen penting dalam
pengamanan wilayah laut. Sayangnya, pengadaan kapal selamseringkali
terganjal oleh keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah. Dengan produksi
secara mandiri dikemudian hari, kebutuhan akan kapal selam maupun kapal
perang dimasa yang akan datang diharapkan dapat dengan mudah dipenuhi tanpa
terlalu membebani anggaran negara.

128
5.3 Kerjasama Pengembangan Teknologi Pertahanan dengan
Negara Lain
Perkembangan teknologi pertahanan Korea Selatan tidak kalah cepat
dengan perkembangan teknologi yang lainnya. Dengan prinsip dan pendekatan
yang sama, teknologi pertahanan Korea Selatan semakin maju dengan
dimulainya program ofset pada tahun 1983. Melalui program ofset ini, Korea
Selatan mampu melaksanakan ekspor produknya ke luar negeri, mendukung
produksi teknologi pertahanan domestik, pelaksanaan pemeliharaan dan
perbaikan mandiri, serta memfasilitasi transfer teknologi dari negara lain.
Pemerintah Korea Selatan sangat mendukung proyek kerjasama internasional
yang berfokus pada pengembangan teknologi dari negara maju berupa
kolaborasi riset internasional, kerjasama teknologi dengan negara maju, dan
kerjasama lainnya.Korea Selatan bekerjasama dengan 16 negara maju, dimana
Amerika, Inggris, Jerman, Perancis dan Italia adalah lima besar negara yang
terkait dengan program ofset (Lee, et al., 2013).
Pelaksanaan program ofset pertahanan Korea Selatan terdiri atas dua
kategori, yaitu skema ekspor dan transfer teknologi. Skema ekspor sangat
menguntungkan Korea Selatan dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan
dan membangun basis industri pertahanan. Sedangkan melalui skema transfer
teknologi, Korea Selatan mendapatkan paket data teknologi, bantuan dan
dukungan teknis, pendidikan dan pelatihan, technology know-how, dan lain
sebagainya. Teknologi yang didapatkan melalui skema ini umumnya diserap
melalui sektor tenaga manusia dan diaplikasikan melalui program riset, proses
manufaktur, serta operasi dan pemeliharaan materiil pertahanan.Akhir-akhir ini
Korea Selatan menitikberatkan program ofset pertahanannya pada skema
transfer teknologi (Han & Park, 2004).
Sejak tahun 1990-an Korea Selatan fokus pada pengembangan senjata
mutakhir berteknologi tinggi yang menjadi state of the art. Untuk efektifitas
penyerapan muatan teknologi tersebut, Korea Selatan mendirikan Agency for
Defense Development (ADD) sebagai pemain kunci yang diprioritaskan sebagai
penerima transfer teknologi dan pelatihan. Sedangkan industri pertahanan
menduduki posisi kedua sebagai penerima transfer teknologi. Teknologi pesawat
dan peluru kendali merupakan grup industri terbesar yang mencapai 60% dari
total pencapaian program ofset pertahanan. Grup industri terbesar selanjutnya
adalah komunikasi dan elektronik sebesar 11% dan kapal laut sebesar 10%.
Sedangkan senjata kaliber kecil dan artileri, amunisi dan bahan peledak, serta
kendaraan militer merupakan grup industri terkecil masing-masing kurang dari
5% (Han & Park, 2004).

129
Seluruh prestasi dan penguasaan teknologi pertahanan yang dicapai
Korea Selatan tidak terlepas dari regulasi yang dinamis mengikuti
perkembangan jaman. Untuk mereformasi kegiatan akuisisi pertahanan yang
transparan dan terhindar dari korupsi, pada tanggal 1 Januari 2006, Korea
Selatan mendirikan lembaga Defense Acquisition Program Administration
(DAPA). Lembaga negara khusus yang berada di bawah Ministry of National
Defense (MND) ini bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan
pertahanan, pengadaan kebutuhan materiil militer, dan promosi industri
pertahanan (ROK Act Number 13593, 2016, Article33). Seluruh proses akuisisi
pertahanan dari mulai materiil terbaru berbobot teknologi tinggi hingga
penyediaan perlengkapan personel lapangan dilaksanakan oleh DAPA. Selain
itu, DAPA juga bertugas untuk mengelola proyek peningkatan kemampuan
pertahanan, menerbitkan regulasi industri pertahanan, regulasi ekspor-impor
materiil pertahanan, formulasi anggaran, serta pelaksanaan riset, analisa,
pengujian, dan evaluasi teknologi pertahanan untuk matra darat, laut, dan udara.
Untuk menjalankan fungsinya ini, lembaga litbang pertahanan ADD
diintegrasikan kedalam DAPA. Lembaga penjamin mutu Defense Agency for
Technology and Quality (DTaQ)dibentuk dan berada sejajar dengan ADD di
bawah DAPA.
Proses akuisisi pertahanan untuk Angkatan Bersenjata di Korea Selatan
yang meliputi Republic of Korea (ROK) Army, Navy, Air Force; seluruhnya
dikelola terpusat oleh DAPA. Prosedur akuisisi diawali dengan pengusulan
kebutuhan materiil pertahanan yang diajukan oleh masing-masing kepala staf
angkatan. Selanjutnya para kepala staf yang tergabung dalam Joint Chiefs of
Staff (JCS) dan MND melakukan analisa bersama untuk finalisasi kebutuhan
tersebut dengan mempertimbangkan tujuan strategis dalam operasi gabungan
maupun efisiensi. Keterlibatan organisasi militer dalam akuisisi pertahanan
hanya sampai pada tahap ini, karena selanjutnya kebutuhan materiil pertahanan
tersebut dikelola oleh DAPA. Setelah DAPA berhasil mengadakan, materiil
tersebut diserahkan kepada Angkatan Bersenjata untuk penggunaan,
pemeliharaan, hingga penghapusan.
DAPA melaksanakan analisa awal untuk perencanaan akuisisi, termasuk
rencana anggaran untuk usulan kebutuhan yang diterimanya. Dari hasil analisa
tersebut, DAPA dapat menentukan alternatif untuk usulan yang diterimanya
pada dua solusi, yaitu pembelian atau litbang. Pembelian itu sendiri dapat berupa
pengadaan lokal dari industri nasional, impor dari luar negeri, atau sewa.
Sedangkan litbangdilaksanakan dengan semangat kemandirian yang didukung
oleh personel dan lembaga yang kredibel hingga dihasilkan prototipe sebagai
produk awal. Keterlibatan penuh DAPA hanya sampai pada tes dan evaluasi

130
yang dilaksanakan ADD berdasarkan persyaratan teknis yang disusun DTaQ
terhadap prototipe hasil litbang maupun materiil hasil pembelian. Setelah itu,
DAPA berfungsi memberikan asistensi dalam alur produksi massal, pembelian
massal, pengiriman pada pengguna, penggunaan operasional, pemeliharaan,
hingga penghapusan material tersebut (ROK Act Number 14610, 2017; DAPA,
2017).
Untuk mempertahankan DAPA sebagai lembaga yang kredibel, efisien,
dan profesional, beberapa regulasi diberlakukan terhadap personel yang
mengawaki lembaga ini. Setiap posisi di DAPA memiliki persyaratan kualifikasi
dan keahlian tertentu untuk mendukung fungsinya dalam melaksanakan
perencanaan, penelitian, rekayasa, analisa, tes, evaluasi, dan lain sebagainya
(ROK Act Number 14610, 2017, Article7). Kualifikasi dan keahlian tersebut
utamanya dinyatakan melalui persyaratan pendidikan formal pascasarjana,
kursus, publikasi ilmiah, riwayat pekerjaan dan persyaratan tambahan lainnya
untuk menduduki posisi yang sesuai tingkatannya. DAPA dipimpin oleh pejabat
sipil dan diawaki oleh personel sipil maupun militer yang sesuai dengan
persyaratan di atas. Untuk meningkatkan performa personel, MND dan DAPA
dapat memberikan hibah dan hadiah kepada personelnya yang berhasil meneliti
dan mengembangkan material pertahanan yang unggul atau teknologi inti yang
terhubung terhadap materiil tersebut (ROK Act Number 14610, 2017,
Article40). Namun pada sisi lain, untuk meningkatkan transparansi serta
mengantisipasi korupsi dan penyimpangan, MND dan DAPA mewajibkan setiap
orang yang terlibat dalam kegiatan program akuisisi pertahanan untuk
menyatakan pakta integritas. Pakta integritas tersebut berisi larangan untuk
meminta, menjanjikan, memberi, dan menerima segala jenis yang bernilai dari
orang yang terlibat dalam akuisisi. Personel DAPA dan yang terlibat dengan
proyeknya juga dilarang untuk menyampaikan informasi terkait program
akuisisi pertahanan kepada yang tidak berhak. Selain itu, DAPA juga
mengoperasikan sistem ombudsman internal untuk melaksanakan investigasi
jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai untuk selanjutnya dikoreksi atau dilanjutkan
penindakan (ROK Act Number 14610, 2017, Article6).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menyerap teknologi
pertahanan secara efektif dan efisien, Korea Selatan memfokuskan transfer
teknologi pada ADD dan industri pertahanan. ADD merupakan satu-satunya
lembaga riset pertahanan di Korea Selatan dan telah menjelma menjadi lembaga
riset pertahanan kelas dunia. ADD berkontribusi untuk menguatkan dan
mencapai kemandirian pertahanan nasional dengan cara melaksanakan survey,
penelitian, pengembangan, dan pengujian terhadap senjata, peralatan, dan
perbekalan yang dibutuhkan untuk pertahanan nasional termasuk aspek sains

131
dan teknologi yang terkandung di dalam materiil pertahanan tersebut (ROK Act
Number 13238, 2015, Article1).
Proses litbang terhadap materiil pertahanan dilaksanakan dan dipimpin
oleh ADD setelah disetujui dan disahkan oleh DAPA. Untuk melaksanakan
fungsi litbang pertahanan, ADD dilengkapi dengan pusat litbang sistem senjata
darat, sistem senjata maritim dan bawah air, sistem senjata udara dan peluru
kendali, peperangan elektronik dan informasi, serta divisi litbang teknologi inti
(core technology) yaitu teknologi mutakhir yang lazim digunakan pada
mayoritas sistem senjata.Sedangkan untuk tes dan evaluasi material hasil litbang
maupun uji penerimaan material hasil pembelian, ADD memiliki fasilitas uji
yang komprehensifdan akunTabel untuk seluruh matra serta materi uji dan
evaluasi materiil pertahanan (ADD, 2012a).
Sejajar dengan ADD, DTaQ melaksanakan perencanaan teknologi
pertahanan, manajemen kualitas pertahanan, sertifikasi materiil pertahanan,
intelijen teknologi pertahanan, serta promosi teknologi pertahanan (ROK Act
Number 13238, 2015, Article32; DTaQ, 2015). Dengan fungsinya tersebut,
DTaQ dan ADD berkoordinasi untuk menghasilkan material litbang yang sesuai
dengan perencanaan dan spesifikasi teknis dari DTaQ. Adapun dengan Angkatan
Bersenjata, ADD berkoordinasi dalam konfirmasi persyaratan yang diusulkan
satuan terkait. Pada kondisi tertentu, ADD berhak untuk menggunakan fasilitas
dan perbekalan di satuan Angkatan Bersenjata apabila diperlukan untuk
melaksanakan tugasnya (ROK Act Number 13238, 2015, Article21). ADD juga
dapat melaksanakan proyek litbang bersama-sama dengan industri, perguruan
tinggi, maupun lembaga litbang lainnya. Industri dapat terlibat dalam
manufaktur prototipe maupun produksi massal. Sedangan perguruan tinggi dan
lembaga litbang dapat terlibat dalam litbang dasar maupun aplikasi teknologi inti
(ADD, 2012b). Dalam kaitannya kerjasama litbang, ADD tetap berdiri sebagai
pimpinan proyek. Adapun kepemilikan hak kekayaan intelektual (HAKI) dari
hasil litbang harus dimiliki oleh negara dan ADD, atau dimiliki bersama dengan
lembaga terkait melalui perjanjian. DAPA dan ADD dapat memberikan lisensi
HAKI yang dimilikinya kepada lembaga riset untuk dikembangkan ataukepada
industri pertahanan untuk produksi massal (ROK Act Number 14610, 2017,
Article31-2).
Ditinjau dari payung hukum, Pemerintah c.q. Kementerian Pertahanan
RI (Kemhan) merupakan lembaga yang bertanggung jawab dalam pembinaan
teknologi dan industri pertahanan (UUNo. 3 Tahun 2002, Pasal 16 (6), Pasal 20
(2), Pasal 23; UUNo. 34 Tahun 2004, Penjelasan Pasal 3(2); UUNo. 16 Tahun
2012). Regulasi penguasaan teknologi dan industri pertahanan melalui transfer
teknologi dan ofset telah diatur pula secara umum melalui Kebijakan Umum

132
Pertahanan Negara Tahun 2015-2019 (PerpresNo. 97 Tahun 2015). Dengan
landasan tersebut dan dihubungkan dengan perkembangan teknologi dan industri
pertahanan saat ini, Kemhan memiliki posisi kuat untuk memberikan solusiyang
fokus terhadap permassalahan yang ada. Secara umum, solusi yang diperlukan
adalah memperkuat sistem akuisisi pertahanan dan meningatkan kemampuan
litbang pertahanan. Berkaca dari studi kasus Korea Selatan, karya tulis ini
menyarankan tiga strategi untuk mengejar ketertinggalanIndonesia dalam
penguasaan teknologi dan industri pertahanan.
Strategi pertama adalah reformasi sistem dan prosedur akusisi
pertahananmelaluipelaksana tunggal pengadaan materiil pertahanan langsung
dibawah Menteri Pertahanan. Pelaksana tunggal berupa Lembaga Akuisisi
Pertahanan (LAP) inidapat mensinergikan seluruh sumberdaya secara optimal,
efektif dan efisien dalam proses pengadaan alutsista untuk mendukung rencana
strategis Kemhan dan TNI. Ide besar dalam strategi ini adalah memposisikan
TNI sebagai tentara yang profesional dengan cara mengurangi keterlibatan TNI
dalam proses pengadaan alutsista sehingga dapat fokus untuk berlatih dan
mengembangkan kemampuan operasionalnya. Sebagaimana diilustrasikan pada
Gambar 5.1, melalui sistem dan prosedur yang baru, keterlibatan TNI dalam
proses akuisisi berada pada tahap pengusulan kebutuhan setiap matra melalui
masingmasing Kepala Staf Angkatan. Selanjutnya Menteri Pertahanan,
Panglima TNI, dan Kepala Staf Angkatan mengevaluasi dan memutuskan
kebutuhan alutsista dengan mengacu pada analisa kebutuhan dan rencana
strategis pertahanan. Proses pengadaan selanjutnya dilaksanakan oleh LAP
melalui program pembelian maupun litbang. Program pembelian dilaksanakan
berbasis industri domestik maupun impor dengan skema transfer teknologi,
dimana keduanya sama-sama berperan dalam menyerap teknologi baru. Adapun
program litbang dilaksanakan LAP hingga menghasilkan prototipe yang sesuai
dengan persyaratan teknis yang telah dirumuskan dalam perencanaan akuisisi.
Produksi massal dapat dilaksanakan oleh industri yang terlibat dalam program
litbang atau melalui tender terbuka. Selanjutnya materiil pertahanan yang telah
lulus uji dan evaluasi oleh LAP akan diserahterimakan kepada satuan TNI yang
mengusulkannya. Strategi ini merupakan bagian yang paling menantang karena
selain membutuhkan koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan,
namun juga secara teknis berhubungan langsung dengan perubahan regulasi
pelaksanaan pengadaan alutsista bersama regulasi turunannya (Permenhan No.
17 Tahun 2014). Hambatan non teknis dalam mempertahankan status quo sistem
akuisisi tidak kalah menantang, sehingga diperlukan kemauan politik yang kuat
dari Kemhan sebagai regulator, para pemangku kepentingan, dan pihak terkait
lainnya

133
Gambar 5. 1 Sistem dan Prosedur Akuisisi Pertahanan Indonesia
Sumber: Jurnal Industri Pertahanan Kemhan, 2019

Integrasi badan litbang pertahanan merupakan strategi kedua yang tidak


kalah penting dan menantang untuk direalisasikan. Terpisahnya institusi litbang
pertahanan di Kemhan dan tiap angkatan menyebabkan lemahnya proses
penyerapan teknologi baru, tidak terkoordinasinya program litbang, hingga
bermuara pada pemborosan anggaran dan sumberdaya. Integrasi seluruh institusi
litbang pertahanan menjadi Badan Litbang Teknologi Pertahanan (Balitbang
Tekhan) di bawah LAP menjadi organisasi seperti Gambar 5.2, adalah satu-
satunya solusi untuk optimalisasi penyerapan teknologi serta menghasilkan
produk litbang yang berkualitas dan sinergis. Balitbang Tekhan ini adalah
pelaksana LAP dalam program litbang, transfer teknologi, hingga pendampingan
teknis. Kelengkapan Balitbang Tekhan terdiri dari Pusat Litbang Teknologi Inti,
Teknologi Matra Darat, Teknologi Matra Laut, Teknologi Matra Udara, serta
Pusat Uji dan Evaluasi. Selain Balitbang, diperlukan juga distribusi sumberdaya
dari institusi litbang lama ke Badan Penjamin Mutu Teknologi Pertahanan (BPM
Tekhan) untuk fungsi perencanaan teknologi dan analisa kebutuhan berbasis
rekayasa sistem, manajemen kualitas, sertifikasi materiil pertahanan, serta
koordinasi litbang lintas institusi. Secara organisasi, struktur eselon dapat
diterapkan sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang setiap jabatan pada
lembaga tersebut.

134
Gambar 5. 2 Organisasi Lembaga Akuisisi Pertahanan Indonesia
Sumber: Jurnal Industri Pertahanan Kemhan, 2019

Harus diakui bahwa rendahnya kualifikasi dan keahlian peneliti di setiap


institusi litbang saat ini memperparah ketertinggalan teknologi dan industri
pertahanan Indonesia. Untuk itu, strategi ketiga berkaitan dengan peningkatan
kualitas sumberdaya manusia yang mengawaki LAP, khususnya fungsi peneliti,
perekayasa, analis, dan penjamin mutu. Untuk mendapatkan personel yang
sesuai dengan fungsi bidang tugasnya, diperlukan regulasi yang jelas dalam
rekrutmen melalui persyaratan kualifikasi dan keahlian yang sesuai. Sebagai
contoh, kualifikasi peneliti secara formal didapatkan melalui pendidikan
doktoral dari perguruan tinggi yang diakui secara resmi oleh pemerintah (UU
No. 12 Tahun 2012, Pasal 20). Persyaratan kualifikasi dan keahlian lainnya dapat
disesuaikan dengan fungsi bidang tugasnya. Sedangkan untuk meningkatkan
produktivitas, perlu dibuat regulasi dimana personel LAP dapat fokus
melaksanakan fungsi peneliti, perekayasa, analis, penjamin mutu, dan fungsi
teknis lainnya, tanpa beban pertanggungjawaban administrasi yang berlebihan.
Pada sisi lain, untuk meningkatkan akuntabilitas dan antisipasi penyalahgunaan
wewenang, setiap personel LAP diwajibkan mengisi dan menandatangani pakta
integritas. Selain itu, sistem pelaporan berbasis ombudsman dapat diterapkan
untuk pengawasan prosedur yang lebih ketat.

135
Solusi taktis pengawakan LAP yang berkualitas adalah dengan
melaksanakan kerjasama program litbang dengan beberapa lembaga pemerintah
di luar Kemhan dan TNI yang terkait dengan teknologi pertahanan maupun alih
status personel dari lembaga tersebut kedalam LAP. Lembaga yang dimaksud
tersebut diantaranya adalah Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTIPK BPPT, 2017); Pusat
Teknologi Pertahanan dan Keamanan, Institut Teknologi Bandung
(Pustekhankam ITB, 2017); serta Fakultas Teknologi Pertahanan, Universitas
Pertahanan (Unhan, 2016). Adapun pengawakan personel sipil dan militer di
LAP dapat disesuaikan dengan kebutuhan berbasis program, kualifikasi, dan
keahlian yang dibutuhkan. Selanjutnya, pendidikan dan pelatihan yang terkait
dengan fungsi dan tugas pokoknya dilaksanakan secara bertahap dan
berkelanjutan.

136
BAB 6
BELA NEGARA DARI PERSPEKTIF TEKNOLOGI
PERTAHANAN

6.1 Kebijakan Pembinaan Industri dan Teknologi Pertahanan


Nasional
Membangun sebuah sistem pertahanan nasional yang kuat, paling tidak
membutuhkan pertimbangan pada empat hal berikut: faktor geografis negara
yang bersangkutan, sumber daya nasional sebuah negara, analisis terhadap
kemungkinan ancaman yang akan muncul, dan perkembangan teknologi
informasi (J. Indrawan, 2018).
Kerjasama pertahanan tidak bisa terelakkankarenasituasi lingkungan
strategis yang tidak menentu dankesamaan kepentingan strategis (Sukadis,
2018). Dalam konteks global saat ini ancaman terhadap kedaulatan negara telah
berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi.Teknologi pertahanan
selalu dianggap mewakili kekinian karena senantiasa didorong oleh kemampuan
penangkalan untuk dapat menjawabtuntutan danmerespon ancaman yang
selaluberubah.Oleh karena itu, produk pertahanan selalu menjadi state of the
art.Dalam konteks tersebut, suatu negara yang memiliki industri pertahanan
yang mapan dianggap memiliki sebuah keuntungan strategis dalam tatanan
global .
MEF (Minimum Essential Force) merupakan standar penting dan
minimum dari kekuatan yang harus ditetapkan sebagai prasyarat mendasar agar
TNI (Tentara Nasional Indonesia) dapat menjalankan misinya secara efektif
dalam menghadapi ancaman yang sebenarnya. Salah satu sarana untuk
mewujudkan MEF adalah melalui pengembangan industri militer dalam negeri.
Optimalisasipengembanganindustri pertahanan nasional baru diberlakukan sejak
2010 melalui Kebijakan Umum Pertahanan Negara(JakumHanneg) 2010-2014,
dan akan berlanjut selama dua periode lima-tahun lagi (sampai 2024) (Djarwono,
2017).
Industri pertahanan dalam negeri menjadi salah satu ujung tombak upaya
sebuah negara dalam mengembangkan sistem pertahanan secara mandiri. Hal ini
terkait dengan terpenuhinya kebutuhan baik dalam konteks penyediaan kualitas
maupun kuantitas alutsistayang sesuai dengan karakteristik kewilayahan serta
menghilangkan ketergantungan secara politis terhadap negara lain. Pembinaan
industri pertahanan domestik telah terbukti dapat menjadi tulang punggung bagi

137
pembangunan sistem pertahanan dan modernisasi alutsista China dan India yang
saat ini tumbuh menjadi kekuatan militer besar di Asia. Berkaca kepada hal
tersebut,Indonesia yang saat ini tengah mengakselerasi program untuk
memenuhi kebutuhan minimum kekuatan militernya mengeluarkan dasar hukum
bagi pengembangan industri pertahanan dalam negeri melalui Undang-
UndangNomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Rachmat, 2014).
Industri pertahanan nasional harus mampu mengambil manfaat dari
program pengadaan sarana pertahanan di Kemhan. Perlu ada konsensus nasional
yang berpihak kepada pengembangan kapasitas industri pertahanan nasional
agar dapat memiliki kompetensi inti yang kompetitif di level regional dan global.
Konsensus ini diwujudkan dalam optimalisasi kerjasama antar lembaga terkait
langsung dengan pengadaan alutsista, khususnya Kementerian Pertahanan, TNI,
dan pihak-pihak produsen di dalam negeri dalam rangka membangun sarana
pertahanan berbasis industri pertahanan dalam negeri (Montratama, 2018).
Pengelolaan industri strategis dan industri pertahanan di banyak negara
hampir selalu dihadapkan pada tiga permassalahan utama, yakni: Pertama,
pengembangan teknologi pertahanan yang bergantung pada dua skema, yakni
skema penguatan penelitan dan pengembangan industri pertahanannya, dan
melalui skema offsetdan transfer teknologi. Kedua, pendanaan industri
pertahanan dengan berbagai model pendanaan, dan yang ketiga permassalahan
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) industri pertahanan.
Ketiganya berkaitan satu dengan yang lain dalam menyokong kebutuhan Alat
Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) dalam negerinya atau tengah beranjak
menjadi pengekspor persenjataan dan alat perang (Muradi, 2018).
Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983 tentang Pembentukan Dewan
Pembina dan Pengelola Industri-Industri Strategis dan Industri pertahanan
Keamanan menjadi tonggak pembentukan industry pertahanan di Tanah Air.
Bernaung di dalamnya suatu wadah yang disebut badan usaha milik negara
industry strategis (BUMNIS), yng mandiri dan secara politis padanya termaktub
kepentingan pertahanan. Beleid ini menetapkan industry pertahanan bidang
kedirgantaraan ditangani PT Dirgantara Indonesia (dulu PT IPTN), bidang
kemaritiman ditangani PT PAL, bidang persenjataan dan amunisi ditangani PT
PIndad, dan bidang bahan peledak ditangai PT Dahana. Keempat industry
strategis terssebut merupakan bagian dri sepuluh industry strategsi, yang juga
meliputi PT Inka (Industri Kereta Api), PT Inti di bidang telekomunikasi, PT
Kraktau Steel (baja), PT Boma Bisma Indra (container dan peralatan ekspor), PT
Barata (mesin disesel), dan PT LEN (elektronik) (Karim, 2014).
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
dijelaskan bahwa industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan

138
mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang
dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang
bangun dan perekayasaan industri. Rancang bangun industri adalah kegiatan
industri yang berhubungan dengan perencanaan pendirian industri / pabrik
secara keseluruhan atau bagian-bagian. Perekayasaan industri adalah kegiatan
industri yang berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan
pabrik dan peralatan industri lainnya. Istilah industri sering diidentikkan dengan
semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan
baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah
industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing).
Padahal, pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua
kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial.
Karena merupakan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam
industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin
maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin
banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan
usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-
beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria
yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis
teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman
industri negara tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat
yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam jenis industrinya.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2002 pada
tanggal 23 September 2002, maka PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS)
Persero, secara resmi dibubarkan yang sebelumnya pada tahun 1998 dengan PP
35 Tahun 1998 diresmikan. PT BPIS merupakan holding company pertama
dilingkungan Kementerian BUMN yang khusus menangangi Industri Strategis
yang terdiri dari:
• PT Dirgantara Indonesia (Industri Pesawat Terbang/Dirgantara)
• PT PAL Indonesia (Industri Kapal)
• PT Pindad (Industri Senjata/Pertahanan)
• PT Dahana (Industri Bahan Peledak)
• PT Krakatau Steel (Industri Baja)
• PT Barata Indonesia (Industri Alat Berat)
• PT Boma Bisma Indra (Industri Permesinan/Diesel)
• PT Industri Kereta Api (Industri Kereta Api)
• PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Industri Telekomunikasi)
• PT LEN Industri (Industri Elektronika dan Komponen)

139
Sebelumnya pada tahun 1989 dengan Keputusan Presiden No. 59 tahun
1989 telah dibentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Badan
Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang ditugaskan untuk membina, mengelola
dan mengembangkan sepuluh Industri Strategis diatas. Pembentukan BPIS
LPND ini merupakan kelanjutan dari dikeluarkannya Keputusan Presiden No.
56 Tahun 1989 tentang Pembentukan Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS)
yang merupakan lembaga pembina BPIS. Akan tetapi kemudian pada tahun
1999 seiring dengan dikeluarkannya PP No 35 Tahun 1998, maka diterbitkan
Keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Dewan Pembinan Industri
Strategis (DPIS) pada tanggal 17 Mei 1999. Keppres no. 40 tahun 1999 hingga
saat ini belum dicabut, sehingga dengan demikian DPIS masih ada hanya hingga
saat ini belum pernah melakukan rapat dan pertemuan, bahkan sekretariat DPIS
yang seharusnya berada dikantor Menneg Ristrk/BPPT belum pernah dibuat.
Sejak dikembalikannya pembinaan BUMN Industri Strategis dari BPIS ke
Kementrian Negara BUMN pada tahun 2002, maka pembinaanya menjadi
wewenang Deputi Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi
(PISAT) dan Menteri Negara BUMN. Kementrian negara BUMN didirikan
berdasarkan UU no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU no. 19
tentang BUMN yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No 41 tahun 2003, PP
No 35 tahun 2005, PP No 43, No.44, No. 45 tahun 2005.
Sebelum BPIS LPND berdiri pada tahun 1989, Pembinaan dan
pengelolaan BUMN Industri Strategis berada pada Departemen Terkait sehingga
pembinaan dan pengelolannya belum terintegrasi denganbaik, kemudian pada
tahun 1988 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 44 tahun 1988
tentang Industri Strategis maka sepuluh industri diatas dinamakan BUMN
Industri Strategis dengan tujuan pemerintah ingin membangun dan
mengembangkan industri pertahanan dan kemandirian HANKAM. Sejak tahun
1989 hingga 1998 (BPIS LPND dibubarkan), telah banyak dilakukan
perencanaan program dan pembuatan road map pengembangan industri strategis
sebagai ujung tombak industri pertahanan menuju kemandirian hankam dengan
dua target atau sasaran utama yaitu menjadi Industri Maritim dan Industri
Dirgantara terkemuka pada tahun 2015. Untuk menunjang hal ini maka
kesepuluh industri strategis dikembangkan menjadi Pusat Unggulan Teknologi
sesuai dengan jenis industrinya yaitu:
• PT Dirgantara Indonesia Pusat Unggulan Industri Pesawat
Terbang/Dirgantara
• PT PAL Indonesia Pusat Unggulan Industri Maritim Penujang
Industri

140
• PT Pindad Pusat Unggulan Industri Senjata/Pertahanan
• PT Dahana Pusat Unggulan Industri Munisi
• PT Krakatau Steel Pusat Unggulan Industri Baja
• PT Barata Indonesia Pusat Unggulan Industri Alat Berat
• PT Boma Bisma Indra Pusat Unggulan Industri
Permesinan/Diesel
• PT Industri Kereta Api Pusat Unggulan Industri Kereta Api
• PT Industri Telekomunikasi Indonesia Pusat Unggulan Industri
Telekomunikasi
• PT LEN Industri Pusat Unggulan ndustri Elektronika dan
Komponen

Konsep pengembangan industri unggulan dengan sasaran Pusat


Unggulan Industri Maritim dan Industri Dirgantara menjadi terhenti sejak
reformasi berjalan pada tahun 1998, yang kemudian diikuti pembubaran BPIS
LPND. Walaupun kemudian mencoba bangkit kembali dengan pendirian PT
Pakarya Industri/PT BPIS Persero pada tahun 1998 yang kemudian dilikuidasi
pada tahun 2002, tidak banyak lagi program pengembangan teknologi menuju
kemandirian hankam dilakukan, karena dalam waktu yang cukup pendek (1998-
2002) PT BPIS lebih banyak berkonsentrasi pada pembenahan massalah
keuangan dan pendanaan yang dihadapi BUMN Industri Strategis. Pembinaan
dan arah pengelolaan BUMN Industri Strategis sejak 2002 hingga sekarang
menjadi tidak fokus pada pengembangan industri hankam (maritim dan
dirgantara) akan tetapi lebih banyak pada pengelolaan perusaaan BUMN persero
yang menghasilkan keuntungan. Hal ini juga yang mengakibatkan banyak
kegiatan pengembangan teknologi di BUMN Industri Strategis terhenti karena
kurangnya pendanaan bantuan pemerintah dan tidak adanya road map
pengembangan yang sinergi.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia
adalah adanya peningkatan biaya energi, tingginya biaya ekonomi, serta belum
memadainya layanan birokrasi. Tantangan lain yang dihadapi industri nasional
adalah kelemahan struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya
keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara
industri besar dengan industri kecil dan menengah, belum terbangunnya struktur
klaster (industrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan
berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan
industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah,
serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditas tertentu. Di samping itu
proses industrialisasi bisa dilakukan kalau ada jaminan pasokan bahan baku

141
dengan jenis/varitas, jumlah produksi dan harga yang stabil dan secara ekonomi
layak. Oleh karena itu perlu adanya mobilisasi di tingkat petani/nelayan agar
dapat menjamin kelangsungan produksi di sektor industri.
Pertahanan negara harus mampu menjadi pilar utama bagi penangkalan
(deterrence) maupun jaminan (assurance) atas kedaulatan itu. Kekuatan
pertahanan harus ditempatkan dalam konteks gelar kekuatan pertahanan negara.
Ukuran kuantitatif penting, namun harus mencerminkan realitas, apalagi jika
ukuran itu sekedar bersifat statis seperti jumlah pasukan per penduduk, jumlah
pesawat/kawasan dan lain-lain, sekalipun ukuran itu tentu mencerminkan
sesuatu dan dapat mejadi salah satu ukuran kekuatan tempur. Peringkat
Indonesia, seperti antara lain disinyalir oleh Global Fire Power seperti dikutip
di atas, boleh jadi memang sudah cukup meyakinkan pada tataran komparatif
tetapi tidak mencerminkan kebutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan,
khususnya ketika force-to-area rasio memang jauh lebih kompleks dibanding
negara-negara kontinen/daratan.

Gambar 6. 1 Master plan Pertahanan


Sumber: Jurnal Pertahanan, 2020

Sesuai gambar tersebut, maka untuk mencapai postur yang ideal perlu
kemandirian dan kemampuan berkolaborasi secara internasional serta harus
berperan aktif untuk membentuk sinergi dengan berbagai pihak. Salah satu
bentuk sinergi yaitu mengembangkan sistem kebijakan pita pengaman nasional
(national security belt) yang menghubungkan titik-titik pulau NKRI terdepan.
Saat ini, terdapat 92 pulau yang merupakan pulau-pulau terdepan (terluar).
Dalam konteks politik, pertahanan, dan ekonomi titik-titik pulau tersebut
diharapkan dapat dihubungkan dengan satu kebijakan yang namanya national
security belt. Pada tiap-tiap titik pulau itu harus didesain ada sentra kegiatan

142
guna mendukung pembangunan pertahanan negara. Potensi ekonomi, sosial,
politik, budaya, demografi dan sumber daya alam yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia perlu diintegrasikan menjadi sebuah peta kekuatan
pertahanan dari Sabang sampai Merauke.
Sementara Kekuatan Pokok Miminum atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Minimum Essential Forces (MEF) merupakan proses memodernisasi
alutsista Indonesia yang telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007.
Program ini tidak hanya mengembangkan alutsista melalui pengadaan, tetapi
juga melalui pemberdayaan industri pertahanan untuk membangun kemandirian.
Saat ini, MEF telah memasuki penghujung renstra II pembangunan kekuatan
postur minimum alutsista. Indonesia menerapkan konsep capability-based
defense dalam perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan sebagaimana
diimplentasikan dalam program MEF. Capability-based defense merupakan
pengembangan kekuatan militer, termasuk pengadaan alutsista berdasarkan
identifikasi ancaman berbasis kemampuan anggaran (Stojkovic, Dejan,
2013:552). Data di atas menunjukkan pencapaian pembangunan alutsista TNI
dalam program MEF dari renstra I hingga renstra II untuk kekuatan tiga matra
pertahanan, yang juga menunjukan kondisi kekuatan alutsista Indonesia.
Pada matra darat pemenuhan target MEF renstra-II mencapai 74,2%,
pemenuhan senjata ringan dan meriam/roket/rudal pada dasarnya telah
memenuhi target dan mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan
renstra-I, namun tidak untuk ranpur dan pesawat terbang. Pada matra laut,
pemenuhan KRI, kapal selam dan pesawat udara hampir memenuhi target
capaian, walaupun pemenuhan ranpur marinir belum mencapai target yang
ditetapkan. Matra laut sendiri mencapai 68,72% dari target MEF. Untuk matra
udara di renstra-II mencapai 44,40% target MEF. Capaian pemenuhan alutsista
pada renstra II masih sangat jauh dari target yang ditentukan, pengadaan radar,
rudal dan Penangkis Serangan Udara (PSU) belum terpenuhi pada periode
renstra ini. Kondisi alutsita ketiga matra TNI saat ini menunjukkan bahwa
Indonesia masih mengalami keterbatasan dalam pemenuhan alutsista untuk
menopang sistem pertahanan negara.
Negara yang memiliki industri pertahanan yang mapan dianggap
memiliki sebuah keuntungan strategis dalam tatanan global. Kemampuan
teknologi dan industri pertahanan menjadi subjek dari kontrol politik yang
berpengaruh terhadap hubungan dengan pihak asing melalui ekspor dan transfer
teknologi persenjataan untuk kepentingan pertahanan (Hayward, 2001). Oleh
karena itu, Industri pertahanan menjadi salah satu ujung tombak untuk
mengembangan sistem pertahanan secara mandiri, untuk memenuhi kualitas dan
kuantitas alutsista yang sesuai dengan karakteristik kewilayahan dan potensi

143
ancaman yang dihadapi, juga untuk mebangun detterence effect terhadap negara
lain.
Saat ini Indonesia memiliki beberapa industri strategis bidang
pertahanan, yang telah mampu merakit dan memproduksi beberapa alutsista
untuk TNI. Alutsista produksi industri pertahanan nasional tersebut diantaranya;
Medium Tank (Joint venture PT PINDAD dan FNSS Turki), CN235-220 MPA
Maritime Patrol Aircraft (PT Dirgantara Indonesia) dan Kapal Cepat Rudal 60
m (PT PAL) (Diskusi publik CSIS, 2018). Meski demikian masih ditemui
beberapa tantangan dalam pemberdayaan industri pertahanan nasional, yang
pada dasarnya bukan permassalahan baru. Setidaknya terdapat tiga
permassalahan utama dalam pengembangan industri pertahanan dalam
menunjang kebutuhan pertahanan Indonesia. Pertama, kurangnya pendanaan
untuk penelitian dan pengembangan sehingga sulit bagi Indonesia untuk
mengembangkan teknologi yang mampu menghasilkan produk-produk prototipe
alutsista berteknologi tinggi yang bernilai strategis. Konsekuensinya, produksi
alutsista masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri sehingga hasil yang
dicapai merupakan alutsista berbiaya tinggi. Kedua, permasalahan kerjasama
pengadaan dengan negara lain. Dalam upaya memenuhi kebutuhan alutsista
TNI, pemerintah melakukan kerja sama pertahanan dengan berbagai negara.
Secara ideal, merujuk pada Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/ Jasa, pengadaan luar negeri perlu diiringi dengan kerja sama dalam
bentuk alih teknologi (offset). Defence offset (offset) merupakan kesepakatan
antara pemerintah dan penyedia alat pertahanan asing untuk mengembalikan
sebagian keuntungan nilai kepada negara pembeli sebagai prasyarat jual-beli
(gatra.com, 20 November 2019). Namun, pada prakteknya, kerja sama tersebut
tidak selalu membawa keuntungan. Misalnya pada proyek kerja sama
pembangunan pesawat tempur KFX/ IFX dengan Korea Selatan yang sempat
terhenti karena permasalahan lisensi penggunaan teknologi dari Amerika
Serikat. Selain itu, terdapat permasalahan lain terkait perjanjian antara Indonesia
dan Rusia mengenai pengiriman 11 jet tempur Sukhoi-35 yang seharusnya sudah
tiba di awal tahun 2019. Namun hingga saat ini belum terdapat kejelasan akibat
penerapan undang-undang AS (Countering America's Adversaries Through
Sanctions Act (CATSAA)) yang menerapkan sanksi terhadap negara-negara
yang membeli senjata Rusia, Korea Utara dan Iran (sindonews.com, 18
November 2019). Ketiga, permasalahan transparansi dalam pengadaan alutsista
yang menjadi salah satu tantangan di tengah anggaran pertahanan yang terbatas.
Sektor pertahanan telah lama menjadi sektor yang rawan korupsi ditandai
dengan maraknya kasus korupsi dalam pengadaan alutsista di Indonesia.
Misalnya pada pengadaan helikopter Agusta Westland untuk TNI AU pada

144
tahun 2017 (kompas.com, 12 Juli 2017), dan tertangkapnya direktur utama PT
PAL atas korupsi penjualan kapal Strategic Seality Vessel kepada Filipina
(tempo. co, 14 Agustus 2017). Hal tersebut terjadi karena tertutupnya ruang KPK
untuk mengusut kasus korupsi, khususnya yang melibatkan oknum TNI.
Kemudian, keterlibatan pihak ketiga dalam pengadaan alutsista dan lemahnya
transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan alutsista juga
berkontribusi atas terjadinya korupsi pada sektor ini.
Secara keseluruhan, upaya pemerintah untuk mendorong pemberdayaan
industri pertahanan nasional dalam memenuhi kebutuhan pertahanan, khususnya
dalam pemenuhan target MEF alutsista TNI masih belum maksimal. Industri
pertahanan sendiri masih memiliki keterbatasan kapasitas produksi dan
penguasaan teknologi militer. Untuk mencapai target pemenuhan MEF dengan
memberdayakan industri strategis nasional, diperlukan komitmen yang kuat
serta perencanaan yang sistematis dalam menguatkan sinergitas antar
kementerian dan lembaga. Berdasarkan hal tersebut diatas maka komitmen DPR
RI dalam mendorong tercapainya target MEF melalui pemberdayaan industri
pertahanan perlu dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan keberpihakan dan
membangun political will pemerintah dalam memaksimalkan penggunaan
produksi alutsista dalam negeri. Komitmen ini juga perlu dijadikan peluang
untuk menguatkan posisi Indonesia dalam berbagai kerja sama pertahanan
dengan negara lain. Dalam hal ini Komisi I DPR RI menilai, secara keseluruhan
produksi alutsita industry pertahanan nasional baik untuk pasar dalam dan luar
negeri sudah cukup baik. Oleh sebab itu Komisi I DPR RI perlu untuk terus
mendorong pemerintah agar optimal dalam menggunakan produk dalam negeri
sehingga produksi anak bangsa harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri
(dpr.go.id, 15 November 2019).
Perkembangan teknologi pertahanan negara maju pada abad ke-21 ini
menunjukkan percepatan yang sangat tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan
perlombaan senjata rudal dan anti-rudal yang sedang dikembangkan.
Didalamnya, teknologi elektronika menjadi sangat dominan untuk sistem
kendali, maupun komunikasi. Menurut Mayjen TNI (Purn) Poerwadi, untuk
mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan terhadap teknologi modern, masih ada
beberapa hambatan di TNI yang mempengaruhinya, mulai dari tahap penelitian
dan pengembangan (litbang) sampai dengan pengadaan. Bicara litbang, lahirnya
suatu teknologi modern harus diawali dengan penelitian dan pengembangan
untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah dikaji secara mendalam
dan terencana. Keberadaan litbang selayaknya mendapat perhatian khusus untuk
mengejar ketertinggalan kita pada teknologi militer yang begitu pesat
perkembangannya. Peran litbang menghadapi beberapa permassalahan untuk

145
meningkatkan kemampuan meraih teknologi pertahanan, antara lain persoalan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) (Poerwadi, 2001).
Harus diakui bahwa SDM yang kita miliki saat ini masih terbatas, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. SDM merupakan komponen utama dalam
menentukan keberhasilan kerja litbang. Keterbatasan kualitas dan kuantitas
pakar teknologi hanya akan membelenggu fungsi litbang. Litbang merupakan
suatu jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
kepentingan manusia. Oleh karena itu, badan litbang harus didukung pakar-
pakar teknologi yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup. Harus dilakukan
segala daya dan upaya untuk memperbanyak tenaga alih teknologi (termasuk
Transfer of Technology/ToT) yang bersifat umum, atau militer, sesuai dengan
tuntutan disiplin ilmu yang dibutuhkan. Selain itu, sarana dan prasarana litbang
juga elemen penting dalam pengembangan teknologi pertahanan. Sarana dan
prasarana litbang merupakan perangkat keras yang harus disediakan untuk
mencapai sasaran litbang yang diharapkan. Kondisi peralatan laboratorium yang
ada saat ini bisa dibilang kurang memenuhi syarat. Hampir semua prasarana
laboratorium merupakan produk lama dan kualitas hasil ujinya rendah. Padahal,
hasil produk litbang dengan standar militer memerlukan ketepatan dan ketelitian
yang sangat tinggi. Hal ini merupakan tantangan bagi litbang untuk melengkapi
dan memperbaharui sarana dan prasarana litbang yang memadai.
Lebih lanjut, hasil-hasil litbang sendiri pun belum dilanjutkan sampai
pada tahap produksi. Di negara-negara maju, hasil temuan litbang dalam soal
teknologi militer sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan rencana
strategis pertahanan negara yang akan datang. Hasil temuan tersebut dilanjutkan
sampai pada tahap produksi dan digunakan pihak militer negara tersebut.
Selanjutnya, hasil litbang tersebut dipromosikan ke negara lain untuk
diperdagangkan. Hal ini akan menambah devisa negara dan menghidupi industri
pertahanannya. Di Indonesia, hasil temuan litbang tidak ditindaklanjuti sampai
pada tahap produksi, meskipun hasil temuan tersebut sangat bermanfaat bagi
perkembangan teknologi militer kita agar dapat mandiri dalam memenuhi
kebutuhan pertahanannya. Memang dilematis, ketika fabrikasi hasil temuan
litbang TNI memerlukan dana yang sangat besar, dan sisi lain dengan membeli
dari negara lain, relatif menjadi lebih murah. Perlu diingat, bahwa jika kita
membeli alutsista dari asing, kita akan mengalami ketergantungan. Apalagi,
negara pengimpor pasti memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri yang
berseberangan dengan kepentingan bangsa Indonesia. Atas dasar itulah,
Indonesia harus mulai melakukan langkah-langkah konkrit untuk memenuhi
sendiri kebutuhan industri pertahanannya, seperti yang sudah dilakukan oleh
negara-negara maju.

146
Selain bicara bidang litbang, bidang pengadaan juga penting menjadi
perhatian kita karena cukup banyak massalah terjadi di bidang ini. Hampir
semua alutsista impor yang dimiliki TNI sarat dengan teknologi tinggi. Karena
itu, dikaitkan dengan peralatan militer yang digunakan TNI terhadap spesifikasi
dan teknologi yang menyertainya, masih terdapat dua massalah yang sering
dijumpai ketika peralatan tersebut dioperasikan. Masalah pertama, adalah
alutsista belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan pengguna. Perbedaan
kondisi dan letak geografis antara negara pembuat dan negara pengguna
mengakibatkan perbedaan-perbedaan persyaratan teknis operasional yang
ditetapkan negara pengguna. Di samping itu, juga ada perbedaan doktrin perang
yang sering berpengaruh terhadap pemilihan peralatan militer yang tepat.
Massalah kedua, alutsista belum sepenuhnya menggunakan syarat-syarat yang
telah ditetapkan TNI, antara lain Syarat-Syarat Tipe (SST). SST lebih dikenal
sebagai Operational & Technical Requirement, merupakan syarat yang harus
dipenuhi sesuai ketentuan operasional di lapangan yang telah ditetapkan sebagai
persyaratan standar bagi setiap jenis peralatan yang digunakan TNI. Selain itu,
juga ada Syarat-Syarat Penerimaan (SSP), yang disebut juga sebagai “uji
terima”, merupakan syarat yang diberlakukan bagi setiap barang yang masuk ke
Indonesia, apakah memenuhi persyaratan standar yang diberlakukan atau tidak
(Poerwadi, 2001)
Standardisasi material TNI juga merupakan syarat yang ditetapkan TNI.
Standardisasi terhadap tiap barang yang digunakan untuk kebutuhan TNI
dilaksanakan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) angkatan sesuai
dengan kepentingan masing-masing matra. Saat ini, proses penyusunan
standardisasi untuk masing-masing jenis material TNI berupa Military Standard
& Military Specification belum dilaksanakan secara optimal. Selanjutnya, biaya
pemeliharaan (maintenance) yang tinggi. Peralatan sistem senjata yang sarat
dengan teknologi tinggi selalu diikuti dengan biaya perawatan yang tinggi,
prosedur perawatan yang rumit, pengadaan suku cadang yang membutuhkan
waktu lama untuk mendapatkannya, dan bergantung pada negara produsen.
Dari berbagai kendala tersebut, pemeliharaan merupakan aspek
tersendiri yang harus menjadi kajian mendalam jika kita selalu mengimpor
alutsista. Terakhir, massalah ketiga adalah lemahnya usaha-usaha konkret dalam
alih teknologi. Perlu disadari bahwa alih teknologi yang dicanangkan tidak
berjalan lancar sehingga kita masih tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap
negara penjual. Disamping itu, produksi dalam negeri yang memungkinkan dan
sudah memenuhi syarat kepentingan TNI belum dapat dimanfaatkan secara
optimal. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri alutsista berteknologi tinggi secara
mandiri, harus ada upaya-upaya nyata dari para petinggi militer, pakar industri,

147
dan pakar teknologi pertahanan. Mereka semua harus bekerja sama untuk
memenuhi tuntutan tersebut.
Ditinjau dari sisi kebutuhan teknologi menuju kemandirian pertahanan
Indonesia, maka pembangunan dan pengembangan teknologi pertahanan
menjadi hal yang sangat krusial. Akan tetapi, sebelum kita mampu
mengembangkan dan membangun teknologi pertahanan Indonesia, segala
kecanggihan teknologi yang dibutuhkan harus sesuai dengan konsep pertahanan
dan keamanan Indonesia itu sendiri. Dulu, penyelenggaraan upaya pertahanan
Indonesia dilaksanakan berdasarkan konsepsi perang rakyat semesta. Istilah
komando Teritorial (Koter) muncul dari doktrin pertahanan kita yang disebut
Sishanta (Sistem Pertahanan Semesta) sesuai dengan Undang-Undang No. 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang berasal dari konsepsi perang rakyat
semesta tadi. Sishanta pada era revolusi kemerdekaan lebih dikenal dengan
istilah Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta). Sishanta
adalah sebuah konsep pertahanan negara yang berdasarkan pada strategi Perang
Semesta (Total War) di dalam wilayah sendiri. Dalam konteks ini, berdasarkan
aturan pertahanan yang ada di Indonesia, strategi pertahanan yang ideal adalah
strategi territorial (Sukadis, 2018). Konsepsi seperti ini dinilai tepat pada
masanya, mengingat di masa itu pemaksaan kehendak suatu negara terhadap
negara lain umumnya dilakukan melalui pengerahan kekuatan militer dalam
jumlah besar. Namun itu dulu, di era globalisasi seperti sekarang ini ancaman
yang muncul tidak hanya ancaman militer. Dewasa ini, isu-isu non-militer dapat
menjadi isu-isu yang sangat terkait keamanan (militer), dengan demikian dapat
dikategorikan dengan status “keamanan nasional”. Isu-isu non militer yang
terkait keamanan ini disebut sekuritisasi (securitized) Isu-isu ini dapat
melibatkan pihak militer dalam upaya penanganannya, seperti memerangi
kejahatan narkoba, atau membantu operasi-operasi kemanusiaan. Militer pun
bisa terkena efek dari isu sekuritisasi ini, seperti wabah penyakit, narkoba,
perdagangan manusia, kerusakan lingkungan, sampai terorisme, yang terjadi
baik di dalam negeri, maupun di luar negeri. Kondisi ini mengakibatkan
destabilisasi pemerintahan domestik, maupun keamanan regional, serta dapat
mengakibatkan konflik dalam skala besar (J. Indrawan, 2018).
Berdasarkan bentuk ancaman yang mungkin dihadapi di masa depan,
Indonesia perlu menentukan konsep pertahanan, serta jenis kekuatan dan
kualitas kemampuan pertahanan yang mampu menangkal dan mengatasi
ancaman tersebut secara tepat. Konsep pertahanan yang diperlukan adalah
konsep yang memungkinkan dibangunnya kemampuan untuk mengawasi dan
menjaga perbatasan negara dari kemungkinan pelanggaran wilayah dan
infiltrasi. Selain itu, untuk mencegah dilakukannya tekanan militer, serta

148
melindungi pusat-pusat kekuatan nasional dari kemungkinan serangan pihak-
pihak tertentu (Ambadar, 2001).
Untuk mengejawantahkan konsep pertahanan itu dibutuhkan penguasaan
teknologi pengamatan laut, teknologi pengamatan udara, dan teknologi
pertahanan udara, serta suatu tingkat kemampuan kekuatan yang setidaknya
seimbang dengan pihak-pihak yang dipandang dapat menjadi potensi ancaman
bagi Indonesia. Disamping pembangunan kekuatan yang semata-mata untuk
kepentingan bertahan, kekuatan yang dibangun berdasarkan konsep pertahanan
tersebut dapat berfungsi secara efektif sebagai kekuatan tangkal. Untuk itu, perlu
dimiliki kemampuan dan kekuatan yang memadai dalam melakukan tindakan
balas terhadap pihak-pihak yang potensial sebagai ancaman. Kemudian,
mengingat luasnya wilayah, tersebarnya pusat-pusat kekuatan, dan mahalnya
teknologi modern, perlu dievaluasi secara cermat tingkat kemampuan yang perlu
dimiliki atas dasar potensi ancaman yang paling mungkin dihadapi.
Frank Kitson menjelaskan bahwa peran militer adalah untuk menghadapi
subversi dan insurgensi. Kitson juga menjelaskan tentang konfrontasi antara
Indonesia-Malaysia tahun 50 sampai 60-an, dimana saat itu gerakan operasi
militer dan polisi menjadi mudah dimengerti jika diintegrasikan, bahkan di
Indonesia saat itu keduanya (ABRI-Polri) diintegrasikan secara struktural
(Kitson, 1992). Tuntutan keadaan pun berubah ketika era Perang Dingin selesai
di tahun 90-an awal. Peter Katzenstein menulis bahwa peran militer adalah untuk
menjaga ketertiban dan keadilan internasional (Cohen & Katzenstein, 1997).
Militer semakin terlibat pada kondisi-kondisi non-militer (sekuritisasi) karena
level ancaman memang sudah sangat jauh berubah. Lebih lanjut, seperti yang
sudah disebutkan di awal, industri pertahanan dan teknologi pertahanan sangat
terkait erat. Kemandirian industri pertahanan suatu bangsa akan mumpuni jika
didukung oleh teknologi yang canggih. Dalam rangka mendorong kemandirian
pertahanan Indonesia, maka industri teknologi pertahanan kita harus mampu
bergerak lebih jauh, jauh daripada posisi kita saat ini.
Untuk itulah, demi mewujudkan terciptanya kemandirian pertahanan
Indonesia, dibutuhkan skema dan rencana strategis yang matang agar industri
teknologi pertahanan kita berkembang pesat. Strategi pengembangan industri
pertahanan untuk kemajuan, kekuatan, dan kemandirian pertahanan Indonesia,
perumusannya harus didasarkan pada teknologi pertahanan. Teknologi
pertahanan secara logis dapat digunakan untuk merumuskan kemandirian sarana
pertahanan dalam upaya penanggulangan ancaman baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Dalam rencana pengembangan postur alutsista dan industri
teknologi pertahanan, pemerintah mengaitkan rencana pengembangan postur
alutsista dengan program pencapaian kemandirian industri pertahanan. Selama

149
tahun 2010-2014, tahapan stabilisasi dan optimalisasi industri pertahanan,
penyiapan regulasi industri pertahanan, serta penyiapan alutsista baru di masa
depan sengaja diarahkan untuk mendukung postur sesuai dengan MEF.
Sedangkan dalam fase kedua 2015-2019, pengembangan industri pertahanan
sengaja diarahkan untuk memiliki kemampuan kerja sama produksi dan
pengembangan produk baru, seperti medium tank, roket, dan kapal selam, guna
mendukung pencapaian MEF dan meraih postur kekuatan pertahanan yang ideal.
Terakhir, fase 2020-2024, untuk mendukung postur militer yang ideal, industri
harus mampu secara signifikan dan mampu memproduksi alutsista berteknologi
canggih lewat kerja sama internasional (Karim, 2014)
Pada ujungnya, pemerintah menyadari bahwa postur kekuatan
pertahanan yang ideal, yang diharapkan tercapai pada rentang waktu 2025-2029,
tidak akan tercapai tanpa industri pertahanan yang mandiri, memiliki
kemampuan teknologi untuk berkolaborasi secara internasional, serta
mempunyai kemampuan pengembangan produksi yang berkelanjutan
(sustainable). Selain itu, tujuan akhir pengembangan industri pertahanan tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri, tapijuga menerobos
pasar ekspor untuk bersaing secara internasional, dan menjadikan sektor
industrial pertahanan sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan
ekonomi. Selain itu, aktivitas litbang untuk mengembangkan teknologi
pertahanan menjadi basis upaya menegakkan kemandirian industri pertahanan,
bukan hanya menjamin kedaulatan, melainkan juga menjadikan negara mampu
mengembangkan ekonomi berbasis teknologi tinggi. Contohnya, komputer yang
kita kenal sekarang sebenarnya berasal dari proyek yang dirintis AS sejak 1945.
Proyek virtual network yang dikembangkan Defense Advanced Research
Projects Agency (DARPA) pada 1974 menjadi dasar bagi pengembangan
internet saat ini. Produk lain, seperti GPS, semikonduktor, mesin jet, reaktor
nuklir, satelit cuaca, sistem navigasi, dan lain-lain sesungguhnya lahir dari
Research and Development (R&D) untuk kepentingan militer
Karena itu, upaya pengembangan teknologi pertahanan berdaya saing
tinggi dengan dukungan R&D yang mapan sangat penting. Bukan saja untuk
menghadapi ancaman keamanan, tapi juga membuat Indonesia relevan dalam
persaingan sengit di era globalisasi ekonomi di depan. Caranya dengan
membangun ketangguhan daya saing lewat basis industri manufaktur
berteknologi tinggi. Strateginya sudah jelas, yaitu mengoptimalkan nilai tambah
dari industri pertahanan. Untuk itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah
mendorong substitusi impor untuk industri pertahanan dan mengupayakan
komersialisasi (spin off) dari efek lanjutan (spillover effect) atau efek pengganda
(multiplier effect) industri pertahanan, berupa produk yang bisa digunakan untuk

150
kepentingan sipil. Pengembangan industri teknologi pertahanan memang
membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah. Komitmen ini tentunya terkait
dengan pengembangan industri pertahanan sebagai payung pembangunan dan
pengembangan teknologi pertahanan. Sebenarnya, pemerintah melalui Komite
Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) telah merancang pembangunan tujuh
alutsista secara mandiri. Komite ini yang mewakili pemerintah untuk
mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan,
pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan.
KKIP menyusun tujuh program nasional untuk kemandirian alutsista.
Salah satunya adalah kapal selam. Saat ini pembangunan industri kapal selam di
Indonesia sudah berjalan. Selain itu, Komite telah menjalin kerja sama dengan
negara lain untuk mengembangkan industri pertahanan berupa rudal dan roket,
termasuk juga unmanned combat air vehicle (UCAV) atau yang lebih dikenal
sebagai drone. KKIP juga berencana mengembangkan teknologi medium tank
yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah Tanah Air. Di luar empat alutsista
di atas, KKIP juga melakukan pengembangan program jet KFX/IFX yang
bekerja sama dengan Korea Selatan, program pembangunan industri propelan,
dan pengembangan radar nasional. KKIP pun terus melakukan perannya dengan
melakukan pembinaan industri pertahanan secara bertahap dan berlanjut, untuk
meningkatkan kemampuan industri pertahanan dalam memproduksi alutsista
yang dibutuhkan. Upaya peningkatan kemampuan industri pertahanan tersebut,
diantaranya melalui joint research and development maupun joint production
dan strategi kerjasama khusus dengan pihak luar salah satu bentuknya dengan
Transfer of Technology (ToT), yang adalah bagian integral dariteknologi
pertahanan.
Keberlangsungan industri pertahanan masih menjadi perhatian dibanyak
negara untuk memenuhi kebutuhan alutsista nasional dan internasional. Menurut
laporan dari Pricewaterhouse Coopers perdagangan peralatan pertahanan
merupakan komponen yang vital bagi kebijakan keamanan nasional karena
memungkinkan pemerintah untuk mengadopsi respon yang lebih fleksibel dalam
menghadapi trade off antara keamanan dan pengeluaran. Produk impor off-the-
shelf dinilai lebih murah dibandingkan program yang dibuat dalam negeri. Biaya
akuisisi dapat di-ofset-kan dengan menyimpan barang yang terkait atau paket
pekerjaan tidak terkait, dengan menggantikannya dari barang impor untuk
kebutuhan domestik. Oleh karena itu, pasca Perang Dingin, ofset menjadi
elemen yang penting dalam perdagangan internasional pada jenis peralatan
pertahanan.
Industri pertahanan Indonesia dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan
alutsista sesuai dengan perkembangan teknologi alutsista dunia. Industri

151
pertahanan Indonesia menghadapi kompetisi global yang ketat, sebagian besar
produsen alutsista di dunia adalah negara-negara Barat. Industri pertahanan
negara-negara maju saat ini difokuskan pada daya saing (competitiveness) dan
pengembangan maupun penemuan teknologi melalui penelitian. Karena itulah,
kemandirian industri pertahanan di Indonesia dapat dimulai dari kebijakan ofset.
Ofset merupakan salah satu bagian dari countertrade. Pengertian ofset
pada dasarnya mengacu pada pembelian atau investasi timbal balik yang
disepakati oleh pemasok senjata sebagai imbalan dari kesepakatan yang
dilakukan (Andi Widjajanto, 2007). Sedangkan pengertian ofset dalam Undang-
Undang No. 16 tahun 2012 pasal 43 ayat 6 tentang industri pertahanan adalah
pengaturan antara pemerintah dan pemasok senjata dari luar negeri untuk
mengembalikan sebagian nilai kontrak kepada negara pembeli, dalam hal ini
Indonesia, sebagai salah satu persyaratan jual beli. Kita dapat membuat definisi
sederhana, bahwa mekanisme ofset pertahanan adalah sebuah kondisi kapasitas
produksi dari negara produsen persenjataan yang berlebih, sehingga pola yang
dibangun untuk menjual produksinya adalah adanya transfer teknologi dalam
bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara negara atau perusahaan
produsen persenjataan dengan negara konsumen persenjataan.
Banyak negara di dunia melihat kebijakan ofset ini sebagai alat untuk
meningkatkan kemampuan negara dalam membangun industri pertahanannya
yang kuat dan mandiri. Industri pertahanan yang mandiri dan tentunya juga kuat
akan membantu meningkatkan profile negara dalam kontestasi politik
internasional. Kebijakan ofset dapat membantu kemandirian pertahanan negara
itu karena ofset mensyaratkan adanya T0T dan timbal balik, sampai joint
production dengan produsen-produsen besar alat peralatan pertahanan keamanan
(alpalhankam) dunia. Bayangkan saja jika Indonesia mampu mengambil dan
mempelajari semua teknologi pertahanan dari produsen-produsen besar dunia
tadi, untuk kemudian diaplikasikan di dalam industri pertahanan dalam negeri,
maka kemandirian pertahanan tentunya dapat terwujud. Dalam waktu 5-10 tahun
ini memang kita masih harus membeli alpalhankam dari produsen-produsen
besar dunia, tetapi dengan diimplementasikannya kebijakan ofset maka perlahan
kita dapat mempelajari sendiri teknologi dari alpahankam yang kita beli tadi.
Nantinya, pengetahuan dari produksi teknologi-teknologi tersebut akan
diterapkan sebagai modal awal kemandirian industri pertahanan secara khusus
dan kemandirian pertahanan Indonesia secara umum. Hal ini yang mendasari
kebijakan ofset dapat menjadi batu pijakan pertama dari usaha Indonesia
mewujudkan kemandirian pertahanannya. Kemandirian pertahanan, memang
harus dimulai dari kemandirian industri pertahanannya terlebih dulu agar bangsa
kita tidak didikte terus oleh bangsa asing. Selain itu, ofset juga dianggap

152
memiliki dampak yang beragam terhadap perkembangan industri pertahanan
sebuah negara. Hal ini termasuk perkembangan teknologi, tenaga kerja,
peningkatan keterampilan (skill), pengembangan rantai permintaan dan
penawaran, mekanisme subkontrak, dan pemasaran. Banyak negara juga
menggunakan ofset untuk meningkatkan kemampuannya mendesain,
mengembangkan, membuat, mengintegrasikan, dan memelihara alpalhankam.
Tindakan ini hanya bisa dilakukan jika negara tersebut memiliki modal, sumber
daya manusia, dan bahan-bahan yang cukup untuk diproduksi di dalam negeri.
Faktor-faktor lain juga berpengaruh, seperti tersedianya pasar yang kompetitif,
dukungan infrastruktur, iklim politik yang stabil, dan insentif ekonomi yang
tinggi.
Ofset terbagi menjadi ofset langsung dan tidak langsung. Ofset langsung
terkait erat dengan akuisisi peralatan ataupun jasa pertahanan yang langsung
berhubungan dengan traksaksi pembeliansedangkan ofset tidak langsung tidak
berkaitan langsung dengan produk atau jasa pertahanan (Ianakiev & Mladenov,
2009) Ofset tidak langsung sering juga disebut ofset komersial, bentuknya
biasanya buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah
diproduksi oleh negara berkembang tersebut, produksi lisensi, transfer
teknologi, sampai pertukaran ofset, bahkan imbal beli.
Ofset langsung bertujuan untuk mencapai lebih dari economic return
yang singkat. Selain itu, ofset langsung didorong oleh objektif dari kemandirian
strategis di mana dibutuhkan penyokong kemandirian dan kapabilitas untuk
meningkatkan alutsista. Oleh karena itu, ofset langsung melibatkan industri dari
negara pembeli. Ofset langsung ini terdiri dari tiga jenis yakni: Pertama,
pembelian lisensi produksi (licensed production), yang berarti penjual
persenjataan setuju untuk mentransfer tekhnologi yang dimilikinya kepada
negara pembeli, sehingga keseluruhan atau sebagian barang yang dipesannya
dapat diproduksi di negara pembeli.
Kedua, produksi bersama (co-production), pengertian dari produksi
bersama ini adalah bahwa pembeli dan penjual tidak hanya mengupayakan
pengadaan barang-barang militer saja, melainkan juga penjual bersama-sama
pembeli berupaya membuat barang-barang dan jasa peralatan militer, dan
memasarkannya bersama-sama dengan memperhatikan berbagai kesepakatan
dari perjanjian tersebut. Dengan bahasa lain, negara pembeli merupakan mitra
dari negara penjual, dan dalam hal ini tidak ada keharusan dari negara penjual
untuk melakukan transfer tekhnologi kepada negara penjual (Andi Widjajanto,
2007).
Ketiga, pengembangan bersama (co-development). Dalam
pengembangan bersama, negara produsen peralatan persenjataan dengan negara

153
pembeli berupaya mengembangkan berbagai peralatan pertahanan yang telah
diproduksi oleh negara penjual, dengan harapan akan didapat produk yang lebih
baik dari produk terdahulu. Keuntungan dari co-development adalah negara
pembeli secara aktif mengadopsi serta mentransfer berbagai teknologi
persenjataan secara langsung maupun tidak langsung, sehingga secara bertahap
peningkatan kemampuan SDM di negara pembeli dapat terukur dengan baik
(Muradi, 2018)
Ofset tidak langsung diartikan sebagai barang dan jasa yang tidak secara
langsung terkait dengan pembelian-pembelian produk militer, namun dilekatkan
sebagai kesepakatan dalam proses jual beli peralatan militer dan pertahanan.
Setidaknya ada empat jenis ofset tidak langsung, yakni:
1) Barter, yakni suatu proses jual-beli yang dilakukan dua negara atau
produsen dan konsumen persenjataan, yang diiringi dengan
perjanjian bahwa penjual peralatan pertahanan tersebut bersedia
dibayar dengan produk non-militer negara pembeli dengan nominal
setara dengan harga peralatan pertahanan.
2) Imbal beli (counter-purchase), yakni pemasok persenjataan setuju
membeli produk non-militer atau menemukan pembeli produk non-
militer tersebut dengan nominal yang disepakati dari harga
persenjataan yang dipasok.
3) Imbal investasi (counter-investment), yakni pemasok persenjataan
setuju untuk terlibat atau menemukan pihak ketiga yang mau
menanamkan modal langsung di negara pembeli dengan nilai tertentu
dari proses jual-beli tersebut. Bentuk imbal investasi dapat berbentuk
pendirian pabrik, transfer teknologi non-militer, dan lain sebagainya.
4) Imbal beli (buy back), yakni prosesnya agak mirip dengan imbal
investasi, hanya yang membedakan pada pemasok persenjataan
setuju membeli kembali atau menemukan pihak ketiga untuk
membeli produk militer yang jualnya dengan jangka waktu tertentu.

Bagi negara-negara yang belum memiliki teknologi pertahanan yang


tinggi, maka kebijakan ofset dinilai tepat untuk digunakan. Seperti kita ketahui,
investasi dalam bidang teknologi pertahanan tidaklah murah. Banyak negara-
negara yang belum memiliki kekuatan ekonomi mumpuni takut untuk
berinvestasi pada sektor ini karena memiliki resiko kegagalan yang cukup tinggi.
Dalam kasus ini, ofset dapat menghindari kegagalan teknologi dalam sebuah
produk pertahanan karena sebuah negara tidak perlu melakukan penelitian dan
pengembangan dari nol. Selain itu, ofset juga dapat membuka lapangan
pekerjaan di bidang manufaktur dan perakitan, sehingga investasi yang diberikan

154
negara tidak gagal di tengah jalan. Terkait ekspor alutsista, ofset pastinya juga
dapat meminimalisir impor dari negara lain.
Praktik ofset di Indonesia sendiri belum dapat memenuhi kebutuhan
persenjataan pertahanan secara integral. Hal ini disebabkan oleh berbagai
kendala yang melingkupi yakni: kesiapan SDM, kemampuan anggaran, dan
sumber daya lainnya, seperti bahan dasar pembuatan persenjataan seperti besi
baja dan lain sebagainya. Akan tetapi, mekanisme ofset belum cukup mampu
menopang kebutuhan alat pertahanan di Indonesia, disebabkan karena jenis
persenjataan dan alat pertahanan yang memanfaatkan mekanisme ofset tidak
secara spesifik pada kebutuhan mendesak, seperti pesawat tempur, kapal frigat,
tank, dan lain sebagainya. Praktik ofset baru terbatas pada pendukung
kebutuhan, belum sampai pada penopang kebutuhan pengadaan peralatan
pertahanan.
Bicara aturan, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan, mensyaratkan bahwa besaran ofset dan atau kandungan lokal sudah
ditetapkan sebesar minimal 35 persen. Kita ambil contoh pada APBN 2015 saja,
jika jumlah pengadaan alutsista dialokasikan Rp 30 triliun, maka sebenarnya
industri dalam negeri bisa mendapatkan sales yang lumayan besar tanpa
membebani APBN. Namun, pelaksanaan ofset harus terstruktur dan mempunyai
arah dan fokus yang jelas dalam bentuk program nasional. Pengadaan alutsista
khususnya yang berteknologi tinggi jangan dihalangi dengan program joint
production yang tidak realistis, tapi harus disertai perjanjian atau kontrak ofset
yang jelas dan dibuat sebelum proses pengadaan.
Terakhir, ofset dinilai dapat memberikan peluang bisnis yang lebih baik
di masa depan. Keberhasilan ofset yang dilakukan industri pertahanan dalam
negeri menjadi daya tarik industri luar negeri untuk bekerjasama di masa yang
akan datang. Yang Indonesia perlukan adalah komitmen pemerintah untuk
menambah dana demi pengembangan industri pertahanan. Dengan mekanisme
ofset dan pengembangan teknologi pertahanan, maka industri pertahanan kita
akan mandiri. Kemandirian industri pertahanan dengan sendirinya berarti
kemandirian pertahanan Indonesia, seperti yang sudah diungkapkan
sebelumnya.

6.2 Kebijakan Membangun Energi Pertahanan Dengan Kearifan


Lokal
Energi merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat setiap negara
di era globalisasi saat ini. Kondisi pemenuhan kebutuhan energi Indonesia masih
didominasi energi fosil, khususnya minyak bumi dalam bauran energi di
Indonesia. Sementara itu, pemanfaatan Energi Terbarukan (ET) seperti energi

155
panas bumi, laut, matahari, angin, hidro (air) maupun sumber tanaman energi
lainnya masih cukup rendah sebagai bagian kekayaan Sumber Daya Alam
(SDA) Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam berupa sumber
energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mendukung
kekuatan pertahanan.
Setiap sumber energi memiliki sifat dan karakteristik masing-masing,
dan tidak dapat saling menggantikan. ET tidak memiliki karakteristik (sifat
fisika, kimia, komposisi, fungsi, kegunaan, dan lainlain) yang sama dengan fosil
dan begitu pun sebaliknya, serta masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, dan dari jenis yang berbeda. ET dikembangkan untuk berperan
sebagai diversifikasi energi, agar konsumen tidak menggantungkan kebutuhan
energi hanya pada satu jenis sumber energi atau hanya pada energi primer.
Bukan sebagai pengganti bakar yang dibutuhkan oleh plant PLTU tersebut.
Apalagi jika diganti bahan bakar dengan jenis bahan bakar lainnya yang
dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan bagi kebutuhan dalam negeri.
Hal ini tentu akan mendukung target bauran energi pada 2030 dimana
penggunaan EBT mencapai 25% dan pada 2050 EBT mencapai 31%energi fosil,
namun perlu diikuti oleh teknologi untuk pemanfaatannya. Contoh: sesama
bahan bakar fosil, jenis batubara, namun jika batubara yang tersedia berbeda
nilai kalor (heat value) dengan yang dibutuhkan oleh suatu plant PLTU, maka
batubara tersebut tidak dapat dijadikan bahan bakar PLTU pada plant tersebut.
Karena tidak sesuai dengan spek bahan

Gambar 6. 2 Bauran Energi dalam Kebijakan Energi Nasional


Sumber: Dewan Energi Nasional (DEN), 2015

Manajemen pengelolaan energi dengan kearifan lokal dapat dimulai


dengan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sebagai komponen SDM dalam
mengelola SDA berupa potensi energi yang dimiliki oleh wilayah setempat
secara terorganisasi dan menggunakan prinsip-prinsip manajemen energi.
Tahapan manajemen energi sebagai berikut:

156
1. Perencanaan Energi (Plan), meliputi:
a. Pemilihan atau penetapan target tujuan perencanaan energi
b. Penentuan strategi untuk rencana tujuan:
1) Identifikasi situasi penggunaan energi.
2) Konsistensi dan komitmen perencanaan energi.
3) Dana yang diperlukan.
4) Peralatan yang diperlukan.
5) Organisasi yang diperlukan.
2. Implementasi (Do) meliputi:
a. Penyusunan Program yang terdiri atas:
1) Target program yang akan dilaksanakan.
2) Strategi yang ingin digunakan.
3) Struktur organisasi dan personel yang diperlukan.
b. Pelaksanaan Program, terdiri dari:
1) Meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan sesuai
potensi kearifan lokal wilayah setempat.
2) Melakukan pelatihan dan pengelolaan secara
partisipasi masyarakat untuk tenaga pelaksana yang
secara langsung akan turut berperan dalam pelaksanaan
program.
3) Melakukan uji coba pelaksanaan program yang sudah
ditetapkan.
4) Melakukan pengarahan, pengawasan dan monitoring
uji coba berkerjasama dengan instansi terkait
(kementerian desa tertinggal dan transmigrasi,
kementerian ESDM, Kementerian Pertahanan).
5) Menyiapkan peralatan dan melakukan modifikasi
peralatan penunjang infrastruktur EBT.
3. Monitoring dan Evaluasi (Check), meliputi kegiatan:
a. Pengelolaan energi yang efektif dan efisien.
b. Menumbuhkan budaya partisipasi masyarakat dalam
pemeliharaan dan pengelolaan energi terbarukan bagi
seluruh lapisan masyarakat.
4. Perbaikan dan Penyesuaian (Action), terdiri atas:
a. Grade prioritas dari hasil monitoring dan perlakuan.
b. Fokus monitoring dan analisis energi pada peluang
penghematan energi mulai dari yang terbesar.

157
Gambar 6. 3 Sistem Manajemen Energi
Sumber: PT. Energy Management Indonesia, 2011

Pengelolaan energi berbasis kearifan lokal masyarakat Indonesia dapat


dilihat dari geografis wilayah yang membentuk pola kehidupan masyarakatnya,
seperti: (1) suku laut Bajo yang hidup di sebagian pesisir laut pulau Sulawesi
dan Lamarela di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memanfaatkan tanaman laut
mikroalga sebagai bahan bakar (biofuel); (2) masyarakat dusun III Kawerewere,
Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah yang
memanfaatkan SDA air sebagai energi; (3) masyarakat Bangli dengan
kehidupannya di Provinsi Bali membangun Pembangkit digester Biogas dengan
memanfaatkan limbah ternak sebagai bahan bakunya; (4) Masyarakat Desa
Bangun Sari, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran Provinsi
Lampung juga memanfaatkan limbah tapioka menjadi biogas.
Suku Bajo memahami laut sebagai budaya, gaya hidup dan mata
pencahariannya. Ketika Suku Bajo memutuskan hidup dan bertempat tinggal di
rumah perahu maka mereka memunculkan dan membentuk kemampuan dan
keterampilan adaptasi dengan laut. Kontak dan komunikasi yang terbangun di
antara mereka membentuk bahasa lokal. Selanjutnya, laut akan menghadirkan
budaya yang menjadi ciri khas dan tentu ini akan mengarahkan kepada gaya
hidup Suku Bajo. Sehingga faktor geografis yang meliputi kondisi dan struktur
tanah (lingkungan) akan membentuk mata pencaharian.
Iklim atau cuaca akan menghadirkan suatu gaya hidup sebagai bagian
dari kehidupan sosial, termasuk dalam pemanfaatan biodiesel sebagai pengganti
solar dari potensi energi laut berupa sumber hayati mikroalga. Begitu juga
dengan masyarakat Lamarela di Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat
Lamarela merupakan nelayan yang dikenal sebagai pemburu paus dan ikan pari.
Mata pencaharian masyarakatnya juga sebagai nelayan (Kawaroe et.al, 2010).

158
Gambar 6. 4 Roadmap Pemanfaatan Mikroalga Pendukung Kekuatan Pertahanan
Sumber: Kawaroe et.al, 2018

Gotong royong dalam pembudayaan mikroalga sebagai bahan baku


pembuatan biodiesel pengganti solar yang akan digunakan sebagai bahan bakar
perahu nelayan oleh masyarakat sekitar dapat membantu perekonomian
masyarakat pesisir untuk menjadi sentra bahan baku produksi biodiesel yang
terintegrasi. Sehingga nantinya dapat diikuti oleh daerah lain di berbagai wilayah
di Indonesia dan memberi dampak social yang positif bagi kekuatan pertahanan.
Secara keekonomian, biaya produksi mikroalga lebih ekonomis dibandingkan
dengan sumber biomassa lainnya seperti kelapa sawit

Tabel 6. 1 Perbandingan Nilai Keekonomian Produksi Biodiesel dari Mikroalga dan Kelapa
Sawit

Sumber: Kawaroe et.al, 2018

159
Biaya eksternalitas produksi biodiesel dari mikroalga lebih kecil yakni
sekitar 5% dibanding kelapa sawit yang sekitar 14%. Informasi ini dapat menjadi
pertimbangan bagi pihak-pihak penentu kebijakan energi di Indonesia. Bila CPO
dipilih menjadi bahan biodiesel, maka konsekuensinya adalah setiap liter yang
diproduksi membebani lingkungan berupa pencemaran sebesar 14%. Pada
produksi biodiesel dari mikroalgabanyak digunakan bahan kimia, yakni metanol
untuk proses esterifikasi-trans esterifikasi, bahan kimia untuk sterilisasi dan
beberapa pupuk anorganik. Penggunaan bahan kimia ini perlu diwaspadai karena
berpotensi mencemari lingkungan, sehingga diperlukan upaya untuk
menetralisir bahan-bahan tersebut sebelum dibuang ke lingkungan atau
digunakan lagi dalam siklus produksi.

6.3 Penguasaan Teknologi Pertahanan Oleh Sdm Pertahanan


Indonesia
Teknologi pertahanan adalah penerapan teknologi untuk digunakan
dalam pertahanan. Teknologi ini berisi bermacam jenis teknologi yang bersifat
militer dan bukan digunakan oleh kalangan sipil, biasanya dikarenakan tidak
diperkenankan untuk dipergunakan oleh pihak sipil, atau karena tingkat
bahayanya jika digunakan tanpa latihan militer yang memadai. Teknologi
pertahanan ini sering diteliti dan dikembangkan oleh para ilmuwan dan para
insinyur secara khusus untuk digunakan dalam pertempuran oleh angkatan
bersenjata. Banyak teknologi baru muncul sebagai hasil dari penyediaan dana
oleh pihak pertahanan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Penguasaan teknologi pertahanan memerlukan kerjasama yang erat dari
banyak pihak. Di Amerika Serikat, diterapkan metode yang disebut Technology
Domain Awareness (TDA). Metode ini mencakup penciptaan hubungan baru
dan meluas dalam kerjasama yang berkaitan dengan pertahanan untuk komunitas
komersial, dan akademisi Litbang. Melalui pertukaran informasi dan pelayanan,
pendekatan TDA meningkatkan transaksi yang diperlukan untuk (i) penelitian
teknologi maju; dan (ii) pengembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk
memelihara keunggulan teknologi pertahanan. Ada tiga prinsip yang terkandung
dalam TDA. Pertama, inovasi teknologi memerlukan bangunan dasar yang
menghubungkan orang, kebutuhan, teknologi, aplikasi, modal, dan bermacam
dukungan. Alat yang ada dapat memfasilitasi hubungan dari semua pemangku
kepentingan di Kemhan dan mitra kerja di akademik dan industri. Kedua,
diperlukan pertukaran informasi antara kegiatan perancangan peralatan,
keperluannya, proses pengadaan, dan proses penganggarannya. Ketiga, kita
belajar dari melakukan. Juga, membangun adalah hal yang mendahului inovasi.

160
Pembuatan prototype diperlukan sebagai jembatan antara teknologi dan aplikasi
militer (Warontherocks et al., 2014)
Sementara itu, Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia, dalam Buku
Putihnya untuk tahun 2005-2025 mencantumkan antara lain arah penguasaan
teknologi pertahanan. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa arah
penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan dapat dikelompokkan dalam
kelompok daya gerak; daya tempur; Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer
dan Informasi (K4I); perlengkapan/bekal prajurit; dan perlengkapan khusus
(special tasks equipment). Pengelompokan tersebut dirinci sesuai dengan
kebutuhan peralatan pertahanan; rencana agenda pengembangan; serta teknologi
terkait langsung yang belum dikuasai. Rencana agenda pengembangan meliputi
penguasaan rancang bangun dan rekayasa pada kelompoknya masing-masing.
Beberapa identifikasi teknologi yang perlu dikuasai antara lain: Teknologi
Material, Teknologi Aerodinamika, Teknologi Hidrodinamika, Teknologi
Instrumen, Teknologi Kontrol, Teknologi Informatika, Teknologi Propulsi dan
Biologi Molekuler.
Pengembangan lebih lanjut dari beberapa jenis teknologi tertentu
diperkirakan akan berpotensi untuk merevolusi dunia 30 tahun mendatang.
Teknologi-teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi informasi dan
komunikasi, teknologi kedirgantaraan, bioteknologi, teknologi propulsi dan
pembangkit energi, material cerdas dan nanoteknologi. Teknologi tersebut akan
berpengaruh besar pada kemajuan teknologi pertahanan. Karena itu, sudah
selayaknya negara kita memberi perhatian terus-menerus pada kemajuan
teknologi tersebut, sehingga dapat mengambil kebijakan yang sesuai untuk
mengatasinya. Pada dasarnya, kemajuan tersebut dapat sekaligus menjadi
peluang dan ancaman bagi sistem pertahanan nasional kita. Lebih lanjut
disampaikan bahwa penguasaan teknologi militer memerlukan kerjasama yang
erat di antara institusi pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia yang
handal, lembaga penelitian dan pengembangan dalam meningkatkan penguasaan
teknologi, dan industri nasional yang menghasilkan peralatan yang dibutuhkan.
Pemberdayaan penelitian dan pengembangan dilakukan dengan tiga metode
penguasaan teknologi. Pertama, alih teknologi, yang dilakukan melalui lisensi
atau pelatihan yang dilakukan dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan
Alutsista dari luar negeri. Kedua, forward engineering, yang dilakukan dengan
meningkatkan kemampuan dan ketersediaan SDM dalam memahami berbagai
ilmu dasar dan ilmu terapan bagi penguasaan teknologi melalui tahapan “Idea-
Design-Manufacturing-Testing”. Ketiga, reverse engineering, yang dilakukan
dengan membongkar sistem senjata (produk) yang dimiliki untuk dipelajari dan

161
dikembangkan menjadi produk baru sesuai kebutuhan (Kementerian Negara
Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006)
Kekuatan nasional diartikan sebagai jumlah dari sumber daya yang
tersedia dari suatu negara dalam mencapai sasaran-sasaran nasionalnya. Ada
beberapa elemen kekuatan nasional dari suatu negara, namun dalam konteks
bahasan ini, ada salah satu komponen kekuatan nasional yang sangat penting,
yaitu massalah manusia serta hubungannya dengan komponen-komponen
lainnya. Sumber daya manusia mempunyai tempat yang sangat vital dari setiap
organisasi manapun. Dalam konteks nasional suatu negara, Hans J. Morgenthau
menekankan pentingnya faktor manusia ini, baik penduduk suatu negara secara
keseluruhan, ataupun mereka yang terlibat dalam satuan militer negara tersebut,
serta mereka yang terlibat dalam industri. Dalam konteks peperangan tentu saja
mereka yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung menjadi aset
nasional yang harus terus menerus ditingkatkan kualitasnya.
Dalam hal kekuatan nasional yang bersumber dari komponen militer, ada
penekanan khusus tentang teknologi peperangan, sehingga mereka yang unggul
adalah mereka yang memiliki persenjataan dengan teknologi yang lebih unggul
dari lawannya. Kunci utama dari keunggulan ini adalah inovasi yang terus
menerus dengan tujuan agar keunggulan teknologi tersebut tetap berada di atas
lawan-lawannya. Dalam hal penduduk, ada penekanan khusus tentang karakter
manusia dari negara yang bersangkutan yang harus mempunyai moral dan moril
yang tinggi, serta sikap politik mereka yang mendukung upaya-upaya politik
pemerintahnya, antara lain dengan bergabung dengan organisasi militer, atau
mendukung upaya pertahanan negaranya melalui profesi mereka masing-
masing. Dalam hal industri, ada penekanan khusus tentang kapasitas industri,
dan khusus dalam hal industri peralatan militer terdapat penekanan khusus
tentang swasembada dalam melakukan inovasi dan produksi. Yang
membedakan negara yang kuat dan lemah adalah kemampuan mereka dalam
memproduksi senjata-senjata modern dengan kemandirian penuh (Morgenthau,
2010)
Dalam pembinaan manusia, ada hal-hal yang harus diperhatikan dengan
seksama. Pertama, manusia harus dipandang secara keseluruhan hidupnya, di
mana keberadaannya berada di dalam kehidupan riil dengan kebudayaannya.
Gambar 6.5 menjelaskan tentang hubungan antara manusia, kehidupan riil, dan
kebudayaan. Kedua, manusia harus dilihat sebagai makhluk alamiah, ia
merupakan bagian dari alam; memiliki sifat-sifat seperti alam, serta satu
kesatuan dengan alam. Ketiga, sebagai mahluk alamiah, manusia membutuhkan
makan, minum, dan atap untuk berlindung. Ia juga membutuhkan hiburan agar
hidupnya tidak membosankan, dan membutuhkan pendidikan untuk

162
mengembangkan kemampuannya. Keempat, perlu diupayakan agar manusia
kembali ke inti kehidupannya yang baik dan otentik. Kehidupan dan pengalaman
yang asli itu adalah kerja. Tanpa kerja, manusia akan kehilangan sifat
manusiawinya (Susan, 1997).

Gambar 6. 5 Dimensi Manusia – Makna Hidup


Sumber: Darsono dan Tjatjuk Siswandono, Manajemen Sumber Daya Manusia Abad 21, 2011

Pengetahuan merupakan faktor penting dalam pembinaan sumber daya


manusia. Seperti kita pahami bersama bahwa pengetahuan berasal dari praktek,
baik praktek langsung maupun tidak langsung. Praktek melahirkan pengalaman,
selanjutnya pengalaman melahirkan pengetahuan. Manusia melalui praktek alam
dan sosialnya akan menghasilkan karya ide dan karya nyata. Karya ide berupa
teori, ilmu, teknologi, metodologi, adat-istiadat, religi, norma, dan nilai.
Sedangkan karya nyata berupa alat kerja, alat kesehatan, alat pertahanan,
bangunan, dan sebagainya, yang lazim disebut artefak. Sebagai subyek budaya,
manusia memiliki kecerdasan dari hasil interaksinya dengan lingkungan
hidupnya. Walaupun manusia mempunyai kecerdasan, tetapi mereka tetap
sebagai mahluk yang terbatas, karena kondisi obyektif alam dan sosial itu sangat
luas, sehingga tidak seluruhnya bisa dijangkau oleh indera dan otak manusia.
Oleh sebab itu manusia harus menyatukan pengalaman dan pengetahuannya
dengan manusia lain dari generasi ke generasi berikutnya untuk dijadikan
pengalaman dan pengetahuan kolektif sebagai pedoman berpikir dan bertindak.
Dalam membangun pengatahuan dari sumber daya pertahanan, maka disarankan
untuk menggunakan model yang disampaikan dalam Gambar 6.6, di mana

163
praktek kerja merupakan basis atau kondisi obyektif untuk membangun
pengetahuan SDM.
Dalam praktek kerja tersebut, mereka diberikan kesempatan untuk
mengelola input yang terdiri material, metode kerja, alat kerja, modal kerja, dan
informasi untuk menghasilkan output. Mereka harus diberikan pengetahuan
yang cukup tentang input tersebut agar mereka dapat bekerja efektif dan efisien
dalam mencipta output. Institusi yang terlibat dalam pembangunan pengetahuan
SDM harus menyelenggarakan pendidikan secara terstruktur, berjenjang dan
berlanjut. Setiap ada perkembangan ilmu pengetahuan, maka SDM harus
diberikan pengetahuan yang baru tersebut. Pengetahuan bagi mereka harus terus
dikembangkan, agar tingkat pengetahuan mereka semakin tinggi.

Gambar 6. 6 Membangun Pengetahuan SDM


Sumber: Darsono dan Tjatjuk Siswandono, Manajemen Sumber Daya Manusia Abad 21, 2011

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh sumber daya manusia maupun


organisasi seyogyanya dianggap sebagai modal intelektual. Aset intelektual
tersebut dapat berupa informasi, intellectual property, loyalitas pelanggan,
paten, trademark, brand equity, database, dan sebagainya. Modal manusia
(human capital) merupakan unsur yang sangat penting dari modal intelektual.
Modal manusia ini merupakan refleksi dari pendidikan, pengalaman,
pengetahuan, intuisi, dan keahlian. Modal manusia menjadi faktor kunci
kesuksesan bagi sebuah organisasi karena menyediakan kemampuan bersaing
terhadap organisasi di masa depan. Modal manusia merupakan darah kehidupan
bagi modal intelektual, ia juga merupakan generator dari seluruh nilai yang lahir
dalam potensi inovasi organisasi, ia juga merupakan kekuatan di balik modal
intelektual dan inovasi organisasi. Apabila suatu organisasi ingin melahirkan
kekayaan dari modal intelektualnya, maka peran modal manusia seyogyanya
dipandang sebagai sumber daya stratejik, karena hanya manusia yang dapat
menciptakan pengetahuan. Organisasi seyogyanya memberikan perhatian
terhadap dimensi pengetahuan maupun perbedaan aktivitas value creation dalam
kaitannya dengan modal manusia sebagai sumber energi keunggulan bagi

164
organisasi. Organisasi seyogyanya mampu membentuk lingkungan fisik
organisasi yang dapat mendorong kreativitas serta budaya organisasi yang
memiliki nilai-nilai bersama dan keterbukaan. Dengan fokus yang demikian itu,
organisasi harus mampu menyusun program-program yang lebih signifikan,
yang dapat mendorong inovasi (Sangkala, 2006).
Peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam penguasaan
teknologi pertahanan sudah dilakukan dengan merumuskan langkah-langkah
yang perlu diambil oleh pemangku kepentingan di bidang pertahanan. Kemristek
menyatakan bahwa penguasaan teknologi tidak terlepas dari peran institusi
pendidikan formal dan non formal dalam menghasilkan sumber daya manusia.
Institusi pendidikan perlu dikembangkan untuk menghasilkan SDM
yangmemiliki keahlian dalam bidang-bidang khusus yang berkaitan dengan
teknologi pertahanan. Kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam
membuat produk teknologi, termasuk penguasaan teknologi dirgantara,
umumnya masih terbatas pada tahap model dan prototipe. Kemampuan membuat
platform produk teknologi pertahanan dan keamanan yang tidak berbasis kendali
elektronika sebagian besar sudah teruji dan laik operasi.
Pada dasarnya, SDM yang ada telah mempunyai keahlian
dalampengoperasian dan perawatan peralatan yang telah dimiliki. Di samping
itu, SDM lembaga Litbang dan industri telah mempunyai kemampuan dalam
perancangan, pembuatan prototipe dan pengujian beberapa peralatan. Salah satu
faktor yang menghambat pengembangan kemampuan mereka terutama
disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada mereka. Lebih lanjut
disebutkan bahwa pembinaan SDM tersebut diharapkan dapat menghasilkan
SDM yang kompeten, kreatif, dan inovatif dalam mengantisipasi, mengadopsi,
menerapkan serta mengembangkan teknologi pertahanan untuk menjawab
tantangan pembangunan. Selanjutnya kegiatan pokok program pengembangan
SDM yaitu dengan peningkatan SDM dalam bidang desain dan rekayasa,
meliputi keahlian dan kemampuan mengembangkan dan pembuatan pesawat
angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli cepat, kapal perang, kendaraan
tempur, sistem senjata, sistem jaringan komunikasi, pusat komando dan
pengendalian, dan sistem informasi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Republik Indonesia, 2006).
Peningkatan kualitas SDM pertahanan juga menjadi perhatian yang
serius dari Kementerian Pertahanan. Salah satu unit organisasi dari Kemhan
yaitu Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan telah merumuskan bagaimana
meningkatkan penguasaan teknologi pertahanan ini. Untuk menyiapkan sumber
daya manusia yang handal dalam penguasaan dan penerapan Iptek bidang
pertahanan diperlukan kerjasama sinergis antara pengguna teknologi, lembaga

165
penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan industri. Kerjasama
tersebut akan mendorong percepatan menuju kemandirian nasional dalam
bidang penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan, karena selama ini
pemenuhan alutsista dan sarana pertahanan negara lainnya sangat tergantung
dari pengadaan luar negeri. Hal ini disebabkan potensi kemampuan industri
nasional masih belum diberdayakan secara maksimal. Lebih lanjut disebutkan
bahwa sebagai pengguna, maka pemerintah dalam hal ini Kemhan, seyogyanya
memperhatikan perkembangan industri pertahanan dan industri nasional untuk
mendukung pemenuhan kebutuhan alutsista dan alat pertahanan lainnya dengan
memfasilitasi pertumbuhan industri pertahanan dan industri nasional yang
berkaitan dengan bidang pertahanan. Hal ini merupakan implementasi dari pasal
20, ayat (2), UU Pertahanan Negara, menyatakan segala sumber daya nasional
yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai,
teknologi dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan
pertahanan negara. Pihak kedua dalam hal ini lembaga penelitian dan
pengembangan memiliki peran sangat penting dalam mendukung penguasaan
teknologi. Pada saat ini, peran sebagian besar lembaga penelitian dan
pengembangan nasional masih belum menjadi kekuatan utama dalam
pencapaian keunggulan teknologi. Untuk itu, lembaga Litbang harus
diberdayakan untuk dapat menghasilkan Alutsista yang dapat digunakan bagi
pembangunan pertahanan negara. Pemberdayaan Litbang ini dapat dilakukan
dengan metode penguasaan teknologi yaitu Alih Teknologi, Forward
Engineering, dan Reverse Engineering. Pihak selanjutnya adalah industri
pertahanan dan industri nasional. Pengembangan Iptek dalam industri
pertahanan bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan Alutsista dan mewujudkan
kemandirian industri pertahanan. Industri pertahanan merupakan bagian dari
industri nasional yang pengembangannya harus dilakukan secara komprehensif,
agar terjadi sinergi dan efisiensi secara nasional. Untuk mendapatkan efisiensi
dan efektivitas, pengembangan industri sipil diarahkan juga untuk mendukung
kebutuhan industri pertahanan. Sebagian industri nasional telah dapat
terintegrasi dan berperan ganda, yaitu sebagai industri penghasil peralatan
pertahanan dan keamanan, sekaligus industri penghasil peralatan sipil. Pihak
selanjutnya adalah perguruan tinggi. Dalam rangka menuju kemandirian
teknologi pertahanan diperlukan penguasaan teknologi dan aktivitas penelitian
dan pengembangan yang didukung oleh sumber daya manusia dengan kualitas
dan kuantitas yang memadai. Sedangkan untuk mencetak SDM yang memiliki
keahlian dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan teknologi pertahanan tidak
terlepas dari peran lembaga pendidikan formal dan non formal. Perguruan Tinggi
sebagai salah satu lembaga pendidikan formal sangat berperan dalam

166
pembentukan SDM yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan perguruan tinggi dan
sarana pendidikan yang dapat mewujudkan SDM yang memiliki kompetensi
dalam Iptek Pertahanan.
Universitas Pertahanan yang sudah berdiri sejak tahun 2009, secara
parsial juga sudah menyentuh penguasaan teknologi pertahanan. Namun secara
komprehensif baru akan dimulai dalam waktu dekat dengan akan dibukanya
Program Studi Industri Pertahanan, dan selanjutnya direncanakan akan dibuka
Fakultas Teknologi Pertahanan. Hal ini merupakan langkah maju yang sangat
penting, mengingat keberhasilan pelaksanaan peperangan sangat dipengaruhi
oleh tingkat teknologi yang diaplikasikan dalam peperangan tersebut. Dalam
merintis pembangunan kurikulum bagi Prodi maupun Fakultas yang
berhubungan dengan teknologi pertahanan, maka beberapa hal yang harus
diperhatikan. Pertama, pembahasan tentang teknologi harus didahului dengan
pembahasan untuk apa teknologi tersebut akan digunakan, musuh macam apa
yang akan dihadapi, serta kondisi medan seperti apa peperangan tersebut akan
mengambil tempat. Kedua, perlu studi yang mendalam tentang kemajuan-
kemajuan teknologi pertahanan yang ada dan sedang dibangun di kalangan
pertahanan negara-negara di dunia. Dari kedua hal tersebut, maka kita dapat
rumuskan jenis dan model dari Alutsista yang diperlukan bagi pertahanan kita,
yang sesuai dengan medan dan antropometri dari para prajurit kita. Gambar 6.7
menjelaskan tentang kerangka berpikir dalam menyusun Kurikulum Teknologi
Pertahanan. Selanjutnya yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan berpikir
yang kreatif dan inovatif dari para mahasiswa, antara lain dengan menyiapkan
fasilitas yang memadai dan suasana yang dapat membangun kemampuan
tersebut. Diharapkan Unhan dapat menciptakan tenaga-tenaga terdidik yang
mampu melakukan rancang bangun peralatan, dalam rangka mengurangi
ketergantungan terhadap kemajuan teknologi dari negara-negara lain. Sebagai
universitas yang berorientasi kepada penelitian, maka Unhan juga perlu
menekankan pada penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa dan para
dosen dalam hal teknologi pertahanan. Untuk itu diperlukan suatu kurikulum
yang memberikan penekanan secara penuh terhadap upaya-upaya penelitian ini.
Mata kuliah yang bersangkutan dengan rancang bangun perlu mendapat porsi
yang lebih besar. Juga tidak kalah pentingnya adalah forum-forum diskusi ilmiah
lebih digalakkan, agar hasil didik dapat berpikir lebih kreatif dan komprehensif.

167
Gambar 6. 7 Kerangka Berpikir dalam Penyusunan Kurikulum Teknologi Pertahanan
Sumber: Syaiful Anwar, Focul Group Discussion, Maret 2015

Penguasaan teknologi pertahanan tersebut merupakan tugas yang cukup


menantang sekaligus rumit. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan para
pemangku kepentingan lainnya, agar didapatkan sinergi antar institusi tersebut,
dengan saling memanfaatkan kemampuan dari masing-masing institusi baik
institusi pemerintah, lembaga pendidikan lainnya, maupun pihak industri
pertahanan. Seperti telah dibahas di bagian sebelumnya, penguasaan teknologi
yang lebih efektif perlu dilakukan dengan praktek kerja. Dengan melakukan
praktek kerja yang cukup, maka ada peningkatan pengetahuan yang siginfikan
terhadap teknologi yang dipelajari, selanjutnya akan muncul inovasi-inovasi
baru dalam meningkatkan fungsi dari peralatan tersebut. Para mahasiswa perlu
diberikan kesempatan praktek kerja yang cukup dari fasilitas-fasilitas yang
dimiliki Unhan maupun fasilitas yang dimiliki oleh kalangan industri
pertahanan.

168
169
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme Dalam Islam: Perpsektif Historis. Jurnal


ADDIN, 10(1), 1–28.
Achmadi, U. . (2008). Bumi Makin Panas. Apa yang Harus Kita Lakukan? Makalah
pada Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Kesehatan Masyarakat.
Akashi, Y. (1995). The Role of the United Nations in the Balkans. Boundary and
Security Bulletin, 3(2), 43–45.
http://www.dur.ac.uk/ibru/publications/view/?id=70
Akhmad Zamroni. (2015). Partisipasi dalam upaya Bela Negara. Yama Widya,
Bandung.
Ambadar, Z. (2001). Teknologi yang Dibutuhkan dan Dikuasai dalam Rangka
Pengembangan Wawasan Hankamneg, Penegakan Hukum, dan Sinergi TNI-Polri
dalam Membina Persatuan dan Kesatuan RI”, dalam Indria Samego (ed), Sistem
Pertahanan–Keamanan Negara: Analisis Potensi & Problem, ( (The Habibi).
Andi Widjajanto. (2007). Reformasi Militer, Ekonomi Pertahanan, dan Bisnis Militer
di Indonesia”, dalam Jaleswari Pramodhawardani, dkk (ed), Bisnis Serdadu:
Ekonomi Bayangan. The Indonesian Institute.
Andrianto, T. T. (2015). Paradigma Baru Bela Negara : Implementasi dan
Pengembangannya di Era Globalisas. Global Pustaka Umum, Yogyakarta.
Anonim. (2016). Bahaya Narkoba bagi generasi muda dan uapaya pencegahan. : :
Https://1d.Id.Facebook.Com/Notes/Subahoon/Bahaya-Narkoba_bagi-
Generasimuda-Upaya-Pencegahannya/1515.
Arif. (2019). Kerangka Acuan Diskusi Kelompok – Kebijakan Pengembangan Iptek
Industri Pertahanan Untuk Pembangunan Nasional.
B. Vaughn, et al. (2009). Terrorism in the Southeast Asia.
Bakrie, C. R. (2007). Pertahanan Negara dan Postur TNI ideal. In Yayasan Obor
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Berantas, S. (2018). Percepatan Pembangunan Pertahanan Dalam Upaya Mewujudkan
Negara Maritim Indonesia Yang Kuat: Suatu Tinjauan Peraturan Perundang-
Undangan. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 5(2), 149–174.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.362
Bilotta, K. (2012). Kapita Selekta Penyakit. UMM Press.
Burhan Asofa. (2001). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Cheong, D. (2017). As NS turns 50, what is its future? The Straits Times.
https://www.straitstimes.com/singapore/as-ns-turns-50-what-is-its-future
Cohen, E. A., & Katzenstein, P. J. (1997). Cultural Norms and National Security: Police
and Military in Postwar Japan. In Foreign Affairs (Vol. 76, Issue 4). Cornell
University Press. https://doi.org/10.2307/20048141
Connell, M. E., & Evans, R. (2016). Russia’s Ambiguous Warfare and Implications for
the U.S. Marine Corps. MCU Journal, 7(1), 30–45.
https://doi.org/10.21140/mcuj.2016070102

170
Contact Singapire. (n.d.). National Service.
Cullen, E. R.-K. and P. (2011). Policy Brief : What is Hybrid Warfare Norwegia.
Institute of International Affairs, 1.
Detik.com. (2012). Inilah Gambaran RUU Komponen Cadangan yang Atur Wajib
Militer. Detik.Com. https://news.detik.com/berita/d-1997016/inilah-gambaran-
ruu-komponen-cadangan-yang-atur-wajib-militer
Djarwono, L. F. (2017). Pembangunan Industri Pertahanan Indonesia: Menuju
Pemenuhan Target Mef Atau Sekedar Menuju Arm Candy? Defendonesia, 2(2),
25–34.
Dodi Irawan. (2016). Siswa SMKN 4 Tangerang tewas ditusuk saat tawuran. Http:
//Metro. Sindonews.Com/Read/1132748/170/Siswa-Smkn-4- Tangerang-Tewas-
Ditusuk-Saat-Tawuran-1471711112.
Dr. Aminuddin, S. S. (2020). “Pancasila Dalam Bingkai Pemikiran Soekarno (Fondasi
Moral Dan Karakter Bangsa),.” Jurnal Al-Harakah, 21(1), 1–9.
Elana Ringler. (2018). Israelis divided over military drafting of ultra-Orthodox Jews _
Reuters.
Elran dan Sheffer. (n.d.). Ibid. 8.
Fjäder, C. (2014). The nation-state, national security and resilience in the age of
globalisation. Resilience, 2(2), 114–129.
https://doi.org/10.1080/21693293.2014.914771
Fort, B., & Webber, D. (2005). Regional integration in East Asia and Europe:
Convergence or divergence? In Regional Integration in East Asia and Europe:
Convergence or Divergence? Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203020029
G. Chaliand dan A. Blind. (2007). History of Terrorism: From Antiquity to al-Qaeda.
California: University of California Press.
Gunarta. (2010). Haruskah Komponen Cadangan Sumber Daya Manusia Berimplikasi
Pada Wajib Militer? Perencanaan Pembangunan, 67–73.
Hamid, E. S. (2009). Akar Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Indonesia.
La_Riba, 3(1), 1–11. https://doi.org/10.20885/lariba.vol3.iss2.art1
Han, N. S., & Park, J. S. (2004). The Defense Offset Policy in South Korea. The Korea
Institute for Defense Analyses Papers, 4(August).
Hancock, K. J. (2009). Regional Integration: Choosing Plutocracy. Palgrave
Macmillan.
Hassi, J. (2005). Cold Extremes and Impact on Health, Editors Kirch et al : Extreme
Weather Events and Public Health Responses. World Health Organization
Regional Office for Europe by Springer-Verlag.
Hayward, K. (2001). The globalisation of defence industries. Survival, 43(2), 115–132.
https://doi.org/10.1093/survival/43.2.115
Hikmawan, R., & Universitas. (2020). Redefinisi Ketahanan Nasional Guna
Mewujudkan Ketahanan Regional Di Asia Tenggara. Lino Jurnal Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Sulawesi Barat, 01(01), 74.
Hurrell, A. (1995). Regionalism in Theoretical Perspective in L. Fawcett and A. Hurrell
(eds.) Regionalism in World Politics: Regional Organization and International

171
Order. Oxford University Press.
Ianakiev, G., & Mladenov, N. (2009). Offset Policies in Defence Procurement: Lessons
for the European Defence Equipment Market. 13th Annual International
Conference on Economics and Security, City College.
http://aspheramedia.com/v2/wp-content/uploads/2011/02/Ianakiev1.pdf
Indrawan, J. (2018). Perubahan Paradigma Pertahanan Indonesia Dari Pertahanan
Teritorial Menjadi Pertahanan Maritim: Sebuah Usulan. Jurnal Pertahanan &
Bela Negara, 5(2), 93–114. https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.359
Indrawan, R. M. J., & Efriza, E. (2018). Membangun Komponen Cadangan Berbasis
Kemampuan Bela Negara Sebagai Kekuatan Pertahanan Indonesia Menghadapi
Ancaman Nir-Militer. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 8(2), 21–40.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v8i2.395
Jervis, R. (2015). Cooperation under the security dilemma. Conflict After the Cold War:
Arguments on Causes of War and Peace, 30(2), 425–441.
https://doi.org/10.2307/2009958
Karim, S. (2014). Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia.
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Kawaroe et.al. (2010). Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio
Bahan Bakar,. IPB Press.
KEMENHAN RI. (2020). Wamenhan: Kekuatan Ketahanan Pangan Tak Kalah
Penting dengan Kekuatan Senjata. https://www.kemhan.go.id/2020/06/23/
wamenhan-kekuatan-ketahanan%02pangan-tak-kalah-penting-
dengan%02kekuatan-senjata.html
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. (2006). Buku Putih
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Bidang Teknologi dan Manajemen Transportasi 2005 - 2025. Kementerian Negara
Riset dan Teknologi RI.
http://www.batan.go.id/ref_utama/buku_putih_transportasi.pdf
Kementerian PPN/Bappenas. (2019). Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024
Indonesia Berpenghasilan Menengah-Tinggi yang Sejahtera, Adil, dan
Berkesinambungan. Kementerian PPN/Bappenas.
Kitson, F. (1992). Low Intensity Operations, Subversions, Insurgency & Peace Keeping.
Faber and Faber Limited.
Kruse, D. C. (1980). Monetary Integration in Western Europe. In Monetary Integration
in Western Europe. Butterworths. https://doi.org/10.1016/c2013-0-06284-6
Kusnandar. (2019). Revolusi 1.0 hingga 4.0.
Lee, H., & Lee, J. (2013). Korean Offset Trade Model in Defense Industry. Advanced
Science and Technology Letters, 58–61. https://doi.org/10.14257/astl.2013.34.14
LESILOLO, H. J. (2018). Kajian Filsafat Pancasila Dalam Pendidikan Mltikultural Di
Indonesia. KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi, 4(1), 74–88.
https://doi.org/10.37196/kenosis.v1i1.22
Lind, W. S., Nightengale, K., Schmitt, J. F., Sutton, J. W., & Wilson, G. I. (1989). The
Changing Face of War: Into the Fourth Generation. Marine Corps Gazette,

172
October(10), 22–26.
Liotta, P. H. (2002). Boomerang effect: The convergence of national and human
security. Security Dialogue, 33(4), 473–488.
https://doi.org/10.1177/0967010602033004007
Maniagasi, F. (2001). Cahaya Bintang Kejora :Papua Barat dalam kajian sejarah
budaya. Elsam.
Manners, I. (2002). Normative power Europe: A contradiction in terms? Journal of
Common Market Studies, 40(2), 235–258. https://doi.org/10.1111/1468-
5965.00353
Marsella, R., & Badaria, P. H. (2015). Penerapan Wajib Militer di Indonesia. SALAM:
Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 2(2), 1–13.
https://doi.org/10.15408/sjsbs.v2i2.2390
McMichael, A., & Sari Kovats, R. (2002). Global Environmental Changes and Health.
In R. . Hester R.E and Harrison (Ed.), Managing for Healthy Ecosystems. Global
Environmental Change, Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House,
Science Park. https://doi.org/10.1201/9781420032130.ch9
Mehulika Sitepu. (2016). Tangisan Ibu Membuat Remaja A ceh urung bergabung ISIS
di Suriah. : : Http://Www.Bbc.Com/Indonesia/
Berita_indonesia/2016/07/160725_indonesia_isis_returnee.
Meir Elran dan Gabi Sheffer (ed.). (2016). Military Service in Israel: Challenges and
Ramifications, (The Institute for National Security Studies, Memorandum 159,
September 2016).
Meutia Hatta Swasono. (2016). Kemajemukan, Kohesi Nasional Dan Masa Depan
Indonesia. Lemhannas RI.
Moch. Faisal Salam. (2006). Hukum Pidana Militer di Indonesia. Mandar Maju,
Bandung.
Montratama, I. (2018). Strategi Optimalisasi Pengadaan Sarana Pertahanan Bagi
Industri Pertahanan Indonesia. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 4(3), 79.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v4i3.342
Morgenthau, H. J. (2010). Politik Antar Bangsa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mukhtadi, & Komala, R. M. (2018). Membangun Kesadaran Bela Negara bagi Generasi
Milenial Dalam Sistem Pertahanan Negara. Manajemen Pertahanan, 4(2), 65–83.
Muradi, M. (2018). Model Pendanaan Industri Pertahanan Dan Peningkatan Sumber
Daya Manusia. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 5(2), 213.
https://doi.org/10.33172/jpbh.v5i2.365
Muradi Muradi. (2013). “Organisasi Komponen Cadangan Matra Darat,.” Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, 9(1), 15–22.
Nakir, M. (2018). Politik Hukum Bela Negara Dalam Perspektif Pertahanan Negara.
Legal Spirit, 1(2), 35–52. http://www.cnnindonesia.
NATO. (2015). Hybrid Modern Future Warfare Russia Ukraine.
Neutrality Swiss. (1998). The Federal Department of Defence, Civil Protection and
Sports (DDPS) dan the Federal Department of Foreign Affairs (DFA).
Norberg, J., & Westerlund, F. (2014). Russia and Ukraine : Military-strategic options ,

173
and possible risks , for Moscow (Issue 22). Paul D. Williams, Routledge.
Park, K. A. (2004). North Korea in 2003: Pendulum swing between crisis and
diplomacy. Asian Survey, 44(1), 139–146.
https://doi.org/10.1525/as.2004.44.1.139
Parry, M., Rosenzweig, C., & Livermore, M. (2005). Climate change, global food
supply and risk of hunger. In R. . Hester R.E and Harrison (Ed.), Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences (Vol. 360, Issue 1463).
Global Environmental Change, Royal Society of Chemistry, Thomas Graham
House, Science Par. https://doi.org/10.1098/rstb.2005.1751
Patz, J, A. (2005). Climate Change, Editors Frumkin W : Environmental Health From
Global to Local. Jossey-Bass.
Poerwadi. (2001). Teknologi yang Dibutuhkan dan Dikuasai dalam Rangka
Mengemban Tugas-Tugas TNI 5-10 Tahun Mendatang”, dalam Indria Samego
(ed), Sistem Pertahanan–Keamanan Negara: Analisis Potensi dan Problem. In The
Habibie Center. The Habibie Center.
Pranowo, M. B. (2010). Multidimensi ketahanan nasional. Pustaka Alvabet.
https://books.google.com/books/about/Multidimensi_Ketahanan_Nasional.html?
hl=id&id=ZGxdUk1AgPQC
Purnomo Yusgiantoro. (2014). Ekonomi Pertahanan: Teori Dan Praktik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Rachmat, A. N. (2014). Tantangan dan Peluang Perkembangan Teknologi Pertahanan
Global Bagi Pembangunan Kekuatan Pertahanan Indonesia. Jurnal Transformasi
Global, 1(2), 199–212.
Rahmawati, L. C., & Dewi, D. A. (2021). Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif
Pancasila Sebagai Landasan Ketahanan Nasional. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 9(2), 259–267.
Robby Simamora. (2014). Hak Menolak Wajib Militer: Catatan Atas RUU Komponen
Cadangan Pertahanan Negara. Jurnal Konstitusi, 11(1), 130–148.
Saad, M. (2000). Development through Technology Transfer - Creating new cultural
and organisational understanding. Intellect.
Sahabuddin, Z. A., & Ramdani, E. A. (2020). Sistem Pertahanan Rakyat Semesta Pasca
Berlakunya UU PSDN Untuk Pertahanan Negara. JPAP: Jurnal Penelitian
Administrasi Publik, 6(1), 13–24.
Sangkala. (2006). Intellectual Capital Manajemen Strategi Baru Membangun Daya
Saing. Yapensi.
Sen, A. (2009). Capitalism beyond the crisis. In New York Review of Books (Vol. 56,
Issue 5). New York Review of Books.
Setiawan, K. U. (2020). Upaya menerapkan nilai-nilai luhur pancasila selama dan
sesudah pandemi Covid-19. Jiligentia: Journal of Theology and Cristian
Education, 2(3), 78–89.
SETKABRI. (2020). Bukan Hanya Alutsista, Presiden: Ketahanan Pangan Bagian dari
Pertahanan.
Simon Winchester. (2004). The Day The World Explode 27 August 1883. In London:

174
Penguin.
Singapure Enlistment. (2001). Singapore Enlistment Act.
https://sso.agc.gov.sg/Act/EA1970 (Diakses pada tanggal 20 Januari 2021)
Sloan, E. (2008). Military transformation and modern warfare: a reference handbook.
In Choice Reviews Online (Vol. 46, Issue 01). https://doi.org/10.5860/choice.46-
0057
Soepandji, B. S. (2012). BANGGA INDONESIA: Menjadi Komponen Cadangan Tanah
Air.
Soepandji, K. W., & Farid, M. (2018). Konsep Bela Negara Dalam Perspektif
Ketahanan Nasional. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 436.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol48.no3.1741
Sri Edi Swasono. (2016). Pancasila Azas Bersama: Pancasila Eksistensialisme Bangsa
Indonesia. In Makalah untuk PPRA.
Stiglitz, J. E. (2009). Capitalist fools. Current, 51(512), 9–12.
Subagyo. (n.d.). Syarat-Syarat Kesiapan Penyelenggaraan Program Bela Negara.
Subekti. (2012). Modernisasi Alutsista TNI AD untuk Mencapai Pembangunan
Kekuatan Pokok Minimum. Tni Ad, 32(1), 21. https://tniad.mil.id/modernisasi-
alutsista-tni-ad-untuk-mencapai-pembangunan-kekuatan-pokok-minimum/
Sukadis, B. (2018). Peran Diplomasi Pertahanan Indonesia Dalam Kerjasama
Pertahanan Indonesia Dan Amerika Serikat. Jurnal Mandala : Jurnal Ilmu
Hubungan Internasional, 1(1), 92. https://doi.org/10.33822/jm.v1i1.285
Sulianti, A. (2018). Revitalisasi Pendidikan Pancasila dalam pembentukan life skill.
Citizenship Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, 6(2), 111.
https://doi.org/10.25273/citizenship.v6i2.3156
Susan, R. dan. (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia menghadapi Abad 21.
Nusantara Consulting.
Sweden Brings Back Military Conscription Amid Baltic Tensions. (2017). Reuters.
Swenden, W. (2006). Federalism and regionalism in Western Europe: A comparative
and thematic analysis. In Federalism and Regionalism in Western Europe: A
Comparative and Thematic Analysis. Palgrave Macmillan.
https://doi.org/10.1057/9780230624979
Switzerland. (n.d.). <https://www.wri-irg.org/sites/default/files/public_files/Rrtk-
update_2009-Switzerland.pdf>.
Tamari, D. (n.d.). The People’s Army, Put the Test.
TB.Silalahi. (2016). Bela Negara Untuk Aparatus Sipil Negara (PNS). Artikel Rakyat
Merdeka SEnin.
The Swiss authorities online. (2012). Performing compulsory service. The Swiss
Authorities Online. https://www.ch.ch/en/performing-compulsory-service/
Waheguru Pal Singh Sidhu. (2008). "Nuclear Proliferation”, in “Security Studies An
Introduction". Paul D. Williams, Routledge.
Warontherocks, H., Author, C. O. M., Adam, H., Harrison, J. A. Y., & Zember, C.
(2014). Innovation Warfare : Technology Domain Awareness and America ’ S
Military Edge. http://warontherocks.com/2014

175
WHO. (2008). Hari Kesehatan Sedunia; Melindungi Kesehatan dari Perubahan Iklim.
WHO Country Office for Indonesia.
Williamson, L. (2018). France’s Macron brings back national service. Bbc.
https://www.bbc.com/news/world-europe-44625625
Wira Anoraga. (2016). Pendidikan Loyo. Pendidikan Loyo Bersumber Dari
Http://Indonesianreview.Com/Wira-Anoraga/Pendidikan-Kian-Loyo.
Yassa, S. (2018). Pendidikan Pancasila ditinjau dari perspektif filsafat (aksiologi).
Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 1(1), 1. https://doi.org/10.12928/citizenship.v1i1.10442
Yigal Allon. (n.d.). The Making of Israel’s Army, (New York: Bantam Books, 1971).
Yogaswara. (2017). Strategi Percepatan Penguasaan Teknologi dan Industri Pertahanan:
Studi Korea Selatan. Defendonesia, 3(1), 1–9.
Yopi Makdori. (2020). Lemhannas: Indeks Ketahanan Nasional Indonesia Cukup
Tangguh. Liputan 6.
https://www.liputan6.com/news/read/3948215/%0Alemhannas-indeks-
ketahanan-nasional-indonesia%02cukup-tangguh
Zimmer, C. (2015). A Planet of Viruses. In A Planet of Viruses.
https://doi.org/https://doi.org/10.7208/chicago/978022 6320267.001.000

176

Anda mungkin juga menyukai