Anda di halaman 1dari 184

i

COLLABORATIVE GOVERNANCE
TEORI & PRAKTIK DALAM
PERSPEKTIF KEBIJAKAN
PERTAHANAN

Agus Winarna

CV. Aksara Global Akademia


2023

ii
COLLABORATIVE GOVERNANCE

TEORI & PRAKTIK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN PERTAHANAN

Penulis: Agus Winarna

Editor: Sri Sundari

SBN: 978-623-8049-51-6

Ukuran Buku: B5, x + 170 hal


Cover & Layout: Mia Aksara

Publisher:
CV. Aksara Global Akademia
No Anggota IKAPI: 418/JBA/2021
Office: Intan Regency Blok W No 13, Jln. Otto Iskandardinata, Tarogong
Kidul – Garut, Jawa Barat. Kode Pos: 44151. Telp / Wa: +6281-2222-3230
Email: aksaraglobalpublications@gmail.com -
aksaraglobal.info@aksaraglobal.info
Website: aksaraglobal.com - Link Bio:
https://campsite.bio/aksaraglobalakademia

Copyright © Mei 2023


Cetakan Pertama: Mei 2023

@Hak cipta dilindungi undang-undang

iii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran.

iv
KATA PENGANTAR

lhamdulillah puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Alloh SWT,


A atas selesain buku COLLABORATIVE GOVERNANCE,
TEORI & PRAKTIK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN
PERTAHANAN

Sebagaimana kita ketahui Collaborative Governance dalam


konteks kebijakan pertahanan menjadi semakin penting mengingat
kompleksitas tantangan keamanan yang dihadapi oleh suatu negara.
Dalam memperkuat pertahanan, kerja sama antara berbagai pihak
menjadi sangat diperlukan. Fenomena Collaborative Governance
dalam kebijakan pertahanan melibatkan berbagai pihak, seperti
pemerintah, militer, sektor swasta, dan masyarakat sipil, yang bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama terkait keamanan dan
pertahanan negara.
Konsep Collaborative Governance dalam konteks kebijakan
pertahanan berfokus pada kemitraan strategis antara berbagai pihak
dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikan kebijakan
pertahanan. Tujuannya adalah untuk memperkuat kolaborasi antara
berbagai pihak dan memungkinkan terciptanya kebijakan pertahanan
yang lebih efektif dan efisien.
Namun, terdapat beberapa tantangan dalam
mengimplementasikan Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan, seperti adanya konflik kepentingan antara
berbagai pihak, kompleksitas dalam mengidentifikasi aktor dan
kepentingan yang terlibat, serta peran penting yang dimainkan oleh
sektor pertahanan dalam menjaga kerahasiaan dan keamanan negara.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, perlu dilakukan evaluasi
terhadap kasus-kasus Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan di Indonesia. Evaluasi tersebut akan
v
memberikan pemahaman yang lebih dalam terkait keberhasilan dan
kegagalan dalam membangun kemitraan strategis antara berbagai
pihak dalam kebijakan pertahanan. Selain itu, evaluasi tersebut juga
dapat membantu dalam mengembangkan strategi mitigasi risiko
dalam kolaborasi antarpihak dalam kebijakan pertahanan.
Pembinaan integritas dan pengurangan korupsi juga merupakan
elemen penting dalam membangun institusi negara dan memajukan
demokrasi berdasarkan supremasi hukum dalam konteks kebijakan
pertahanan. Kebijakan anti korupsi penting untuk membangun
integritas dalam sektor pertahanan, mengurangi kerentanan terhadap
malpraktek administratif dan politik seperti korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan, dan bahkan kooptasi oleh kejahatan terorganisir.
Dalam rangka memperkuat Collaborative Governance dalam
konteks kebijakan pertahanan, perlu dilakukan pembangunan
kemitraan yang kuat dan berkelanjutan antara berbagai pihak yang
terlibat. Hal ini dapat dilakukan melalui tahapan identifikasi aktor dan
kepentingan, analisis kepentingan, pemetaan jaringan dan keterkaitan
antar aktor, serta pembangunan kemitraan yang kuat dan
berkelanjutan.
Akhirnya, semoga buku ini tidak hanya memperkaya khasanah
pengetahuan kita, namun juga dapat dipergunakan sebagai sumber
inspirasi dan pedoman untuk kita semua dalam menjaga keutuhan
NKRI melalui Collaborative Governance.

Bogor, April 2023

Penulis

vi
SINOPSIS
uku "Collaborative Governance: Teori dan Praktik dalam
B Perspektif Kebijakan Pertahanan" membahas tentang
konsep collaborative governance dalam konteks kebijakan
pertahanan, di mana kepentingan nasional dan keamanan
merupakan hal yang sangat penting.

Dalam buku ini, penulis menjelaskan tentang bagaimana


collaborative governance dapat diterapkan dalam konteks
kebijakan pertahanan untuk mencapai tujuan bersama secara
efektif dan efisien. Ia juga membahas berbagai teori dan praktik
terkait collaborative governance, termasuk kerangka kerja untuk
membangun kemitraan strategis dan memfasilitasi partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Selain itu, buku ini juga membahas tentang tantangan dan


peluang dalam mengimplementasikan collaborative governance
dalam konteks kebijakan pertahanan, termasuk bagaimana
mengatasi konflik kepentingan yang muncul antara pihak-pihak
yang terlibat. Penulis juga memberikan contoh kasus dan studi
empiris yang relevan dalam konteks Indonesia, sehingga
membantu pembaca untuk memahami bagaimana collaborative
governance dapat diterapkan dalam konteks yang lebih spesifik.

Secara keseluruhan, buku ini sangat berguna bagi para


praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan yang tertarik dalam
bidang kebijakan pertahanan dan kolaborasi antarpihak.
Dengan gaya penulisan yang jelas dan konsep yang dikemas
dengan baik, buku ini dapat menjadi referensi yang penting bagi
mereka yang ingin memperdalam pemahaman tentang
collaborative governance dalam konteks kebijakan pertahanan.

vii
DAFTAR ISI
URAIAN HAL

KATA PENGANTAR iv
SINOPSIS vi
BAB 1: KONSEP COLLABORATIVE GOVERNANCE 1-8
DALAM KONTEKS KEBIJAKAN PERTAHANAN
1.1 Pengertian Collaborative Governance
1.2 Karakteristik Collaborative Governance dalam Konteks
Kebijakan Pertahanan
1.3 Keuntungan Collaborative Governance dalam Konteks
Kebijakan Pertahanan
Referensi

BAB II: TEORI DAN PRAKTIK COLLABORATIVE 9-28


GOVERNANCE DALAM KONTEKS KEBIJAKAN
PERTAHANAN
2.1 Teori Collaborative Governance
2.2 Praktik Collaborative Governance dalam Konteks
Kebijakan Pertahanan
2.3 Kerangka Kerja untuk Membangun Kemitraan Strategis
2.4 Fasilitasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses
Pengambilan Keputusan
Referensi

BAB III: KONSEP COLLABORATIVE GOVERNANCE 29-46


3.1 Tantangan dalam Mengimplementasikan Collaborative
Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan
3.2 Peluang dalam Mengimplementasikan Collaborative
Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan
3.3 Mengatasi Konflik Kepentingan dalam Collaborative
Governance
Referensi

viii
URAIAN HAL

BAB IV. STUDI KASUS DAN EMPIRIS DI INDONESIA 47-58


4.1 Kasus-kasus Relevan dalam Konteks Collaborative
Governance dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia
4.2 Evaluasi Kasus-kasus Kolaborasi dalam Konteks
Kebijakan Pertahanan di Indonesia
Referensi

BAB V GOOD GOVERNANCE SEKTOR PERTAHANAN 59-78


5.1 Pendahuluan
5.2 Pengawasan Parlemen
Referensi

BAB 6 79-140
KEBIJAKAN ANTI KORUPSI
6.1 Pendahuluan
6.2 Strategi Anti-Korupsi
6.3 Kerangka Hukum
6.4 Integrasi ke dalam sistem integritas nasional yang lebih
luas
6.5 Konflik Kepentingan
6.6 Kebebasan Akses Informasi dan Transparansi Anggaran
Pertahanan
6.7 Audit Internal dan Eksternal, Inspektur Jenderal, dan
Kontrol Badan Intelijen
6.8 Institusi Ombudsman
6.9 Pengadaan Publik dan Pembuangan Aset
Referensi

BAB 7 141-154
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
7.1 Pendahuluan
ix
URAIAN HAL

7.2 Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)


7.3 Pemisahan Politik dan Administrasi
7.4 Rekrutmen dan Promosi
7.5 Pemutusan Hubungan Kerja
7.6 Sistem Penghargaan

BAB 8 155-170
GOOD GOVERNANCE DALAM DEVELOPMENT
INDUSTRI
8.1 Pendahuluan
8.2 Development Industri
8.3 Reformasi dan Tata Kelola Sektor Pertahanan
8.4 Segitiga Good Governance

TENTANG PENULIS 171

x
Collaborative Governance | 1

BAB 1
KONSEP
COLLABORATIVE
GOVERNANCE
1.1 Pengertian Collaborative Governance

1.2 Karakteristik Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan

1.3 Keuntungan Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan
2 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 1
KONSEP COLLABORATIVE GOVERNANCE

1.1 Pendahuluan

onsep Collaborative Governance dalam Konteks Kebijakan


K Pertahanan adalah suatu konsep tata kelola atau
pengelolaan bersama yang melibatkan berbagai pihak untuk
mencapai tujuan bersama dalam kebijakan pertahanan.
Collaborative Governance memungkinkan semua pihak yang
terlibat dalam kebijakan pertahanan untuk bekerja sama dan
saling memperkuat, sehingga kebijakan pertahanan dapat
terimplementasi dengan lebih efektif dan efisien.

Pemerintahan yang efektif dan efisien membutuhkan


kerjasama yang baik antara pihak-pihak yang terkait. Konsep
collaborative governance merupakan suatu bentuk kerjasama
yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan
tujuan yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Konsep ini
telah diaplikasikan dalam berbagai bidang, termasuk dalam
kebijakan pertahanan. Collaborative governance dianggap
penting dalam konteks kebijakan pertahanan karena keamanan
dan keselamatan nasional menjadi prioritas utama yang harus
dijamin oleh seluruh pihak yang terlibat. Oleh karena itu, dalam
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pertahanan, kerjasama
antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus terjalin
Collaborative Governance | 3

dengan baik. Dengan memahami konsep collaborative


governance, diharapkan para pembuat kebijakan dapat
mengembangkan kebijakan pertahanan yang lebih efektif dan
efisien, serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan yang terkait dengan keamanan
dan keselamatan nasional.

1.2 Pengertian Collaborative Governance

Collaborative Governance adalah suatu pendekatan


pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak atau
aktor yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama dalam
mencapai sebuah tujuan bersama. Pendekatan ini berbeda
dengan pendekatan tradisional yang lebih didominasi oleh
pemerintah sebagai pengambil keputusan tunggal.
Collaborative Governance memungkinkan munculnya
kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta
untuk menghasilkan kebijakan yang lebih komprehensif,
berkelanjutan, dan inklusif.

Berikut adalah 10 pengertian Collaborative Governance


dari berbagai sumber yang terpercaya:

a) Menurut The Collaborative Governance Project, Collaborative


Governance adalah pendekatan dalam pengambilan
keputusan yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan dalam suatu proses kolaboratif untuk
mencapai tujuan bersama.
b) Menurut Ansell dan Gash (2008), Collaborative Governance
adalah sebuah bentuk pengambilan keputusan yang
4 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam


sebuah forum kolaboratif yang adil, partisipatif, dan
menghasilkan keputusan yang bersifat win-win.
c) Menurut Torfing dan Sørensen (2017), Collaborative
Governance adalah sebuah pendekatan dalam mengelola
sumber daya publik yang memperkuat hubungan antara
pemangku kepentingan melalui kerjasama dan kemitraan
dalam mencapai tujuan bersama.
d) Menurut Nabatchi dan Leighninger (2015), Collaborative
Governance adalah sebuah pendekatan yang
memungkinkan berbagai pemangku kepentingan untuk
berkolaborasi dalam mencapai tujuan bersama dengan
membagi tanggung jawab dan kekuasaan secara
seimbang.
e) Menurut Emerson et al. (2012), Collaborative Governance
adalah sebuah pendekatan dalam pengambilan
keputusan yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan untuk menciptakan hasil yang lebih baik
melalui kolaborasi, partisipasi, dan kepercayaan.
f) Menurut O'Flynn (2007), Collaborative Governance adalah
sebuah pendekatan yang berfokus pada kolaborasi dan
kemitraan dalam pengambilan keputusan di sektor
publik dan swasta.
g) Menurut Mulgan (2000), Collaborative Governance adalah
sebuah pendekatan yang memungkinkan berbagai
pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam
mencapai tujuan bersama yang lebih efektif dan efisien.
h) Menurut Innes dan Booher (2010), Collaborative Governance
adalah sebuah pendekatan dalam pengambilan
Collaborative Governance | 5

keputusan yang melibatkan berbagai pemangku


kepentingan dalam suatu forum yang adil, partisipatif,
dan menghasilkan keputusan yang bersifat win-win.
i) Menurut Huxham dan Vangen (2016), Collaborative
Governance adalah sebuah pendekatan dalam mengelola
hubungan antara pemangku kepentingan yang
memungkinkan berbagai pihak untuk berkolaborasi
dalam mencapai tujuan bersama yang lebih efektif dan
efisien.
j) Menurut Ansell (2012), Collaborative Governance adalah
sebuah pendekatan yang memungkinkan berbagai
pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam
menghasilkan keputusan yang bersifat inklusif, adil, dan
menghasilkan manfaat yang lebih besar untuk
masyarakat secara keseluruhan.

1.3 Karakteristik Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan

Beberapa karakteristik Collaborative Governance dalam


Konteks Kebijakan Pertahanan antara lain:

a) Melibatkan berbagai pihak atau aktor yang memiliki


kepentingan atau tujuan yang sama dalam mencapai
tujuan bersama terkait kebijakan pertahanan.
b) Memungkinkan terciptanya kemitraan strategis antara
pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk
memperkuat kebijakan pertahanan.
6 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

c) Menghargai perbedaan pandangan dan nilai, sehingga


menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan
komprehensif.
d) Menggunakan kerjasama sebagai prinsip utama dalam
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
pertahanan.
e) Memiliki keterbukaan dan transparansi dalam
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
pertahanan.

1.4 Keuntungan Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan

Beberapa keuntungan Collaborative Governance dalam


Konteks Kebijakan Pertahanan antara lain:

1) Memperkuat legitimasi kebijakan pertahanan karena


melibatkan berbagai pihak dan kepentingan yang terkait.
2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan
pertahanan, sehingga menciptakan rasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap kebijakan tersebut.
3) Menghasilkan kebijakan pertahanan yang lebih
komprehensif dan berkelanjutan karena melibatkan
berbagai pihak dan sektor yang terkait.
4) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi implementasi
kebijakan pertahanan karena munculnya kemitraan
strategis antara berbagai pihak yang terkait.
Collaborative Governance | 7

5) Menghasilkan kebijakan pertahanan yang lebih responsif


terhadap perubahan dan dinamika yang terjadi di
masyarakat dan lingkungan global.

1.5 Kesimpulan

Collaborative Governance dalam Konteks Kebijakan


Pertahanan adalah suatu pendekatan pengambilan keputusan
yang melibatkan berbagai pihak atau aktor yang memiliki
kepentingan atau tujuan yang sama dalam mencapai sebuah
tujuan bersama terkait kebijakan pertahanan. Collaborative
Governance memungkinkan terciptanya kemitraan strategis
antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk
memperkuat kebijakan pertahanan, dengan memanfaatkan
kerjasama sebagai prinsip utama dalam pengambilan keputusan
dan implementasi kebijakan pertahanan. Keuntungan
Collaborative Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan
antara lain memperkuat legitimasi kebijakan pertahanan,
meningkatkan partisipasi masyarakat, menghasilkan kebijakan
pertahanan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan,
meningkatkan efektivitas dan efisiensi implementasi kebijakan
pertahanan, serta menghasilkan kebijakan pertahanan yang
lebih responsif terhadap perubahan dan dinamika yang terjadi
di masyarakat dan lingkungan global.
8 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Referensi:

Bovens, M., Goodin, R. E., & Schillemans, T. (Eds.). (2022). The


Oxford Handbook of Governance and Public Policy.
Oxford University Press.

Busuioc, M., & Lodge, M. (2021). The Democratic Accountability


of Regulatory Agencies. Routledge.

Gilardi, F. (2020). The Politics of Regulatory Change in Europe:


Design and Mobilization. Cambridge University Press.

Nabatchi, T., Sancino, A., & Sicilia, M. (Eds.). (2019).


Collaborative Governance Regimes. Palgrave Macmillan.

Sorensen, E., & Torfing, J. (Eds.). (2017). Theories of Democratic


Network Governance. Palgrave Macmillan.
Collaborative Governance | 9

BAB 2
TEORI DAN PRAKTIK
COLLABORATIVE GOVERNANCE
DALAM KONTEKS KEBIJAKAN
PERTAHANAN
2.1 Teori Collaborative Governance

2.2 Praktik Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan

2.3 Kerangka Kerja untuk Membangun Kemitraan Strategis

2.4 Fasilitasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pengambilan


Keputusan
10 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 2
TEORI DAN PRAKTIK COLLABORATIVE
GOVERNANCE DALAM KONTEKS KEBIJAKAN
PERTAHANAN

2.1 Pendahuluan

eori dan Praktik Collaborative Governance dalam Konteks


T Kebijakan Pertahanan" membahas tentang konsep
Collaborative Governance dalam konteks kebijakan pertahanan
dan bagaimana penerapannya dapat memperkuat pengambilan
keputusan dalam konteks pertahanan.

Pada era globalisasi ini, isu keamanan dan pertahanan


menjadi isu yang semakin kompleks dan menuntut penanganan
yang komprehensif dari berbagai pihak terkait. Di sisi lain,
kebijakan pertahanan yang dibuat oleh pemerintah belum tentu
mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat yang
terlibat dalam konteks pertahanan. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan baru dalam pengambilan keputusan yang
melibatkan berbagai pihak terkait untuk mencapai tujuan
bersama dalam kebijakan pertahanan. Salah satu pendekatan
tersebut adalah Collaborative Governance atau tata kelola
bersama.

Konsep Collaborative Governance telah menjadi topik


yang semakin penting dalam berbagai bidang kebijakan,
Collaborative Governance | 11

termasuk kebijakan pertahanan. Dalam konteks kebijakan


pertahanan, Collaborative Governance memungkinkan berbagai
pihak terkait untuk bekerja sama dan saling memperkuat,
sehingga kebijakan pertahanan dapat terimplementasi dengan
lebih efektif dan efisien.

Bab ini membahas teori dan praktik Collaborative


Governance dalam konteks kebijakan pertahanan. Pembahasan
dimulai dengan penjelasan mengenai teori Collaborative
Governance sebagai dasar pemikiran dalam mengembangkan
kerja sama antara pihak-pihak yang terkait dalam kebijakan
pertahanan. Selanjutnya, dibahas juga praktik Collaborative
Governance dalam konteks kebijakan pertahanan, termasuk
kerangka kerja untuk membangun kemitraan strategis dan
memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan. Pembahasan tersebut ditunjang dengan contoh kasus
dan studi empiris yang relevan dalam konteks Indonesia,
sehingga membantu pembaca untuk memahami bagaimana
Collaborative Governance dapat diterapkan dalam konteks yang
lebih spesifik. Diharapkan dengan membaca bab ini, pembaca
dapat memperluas pemahaman mengenai Collaborative
Governance dalam konteks kebijakan pertahanan dan
mengimplementasikannya secara efektif.

2.1 Teori Collaborative Governance

Subbab ini membahas tentang teori Collaborative


Governance sebagai dasar pemikiran dalam mengembangkan
kerja sama antara pihak-pihak yang terkait dalam kebijakan
pertahanan. Teori Collaborative Governance memandang bahwa
12 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

keberhasilan dalam pengambilan keputusan yang komprehensif


dan berkelanjutan dapat dicapai dengan melibatkan berbagai
pihak yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dalam
mencapai tujuan bersama terkait kebijakan pertahanan.

Beberapa teori yang relevan dengan kajian Collaborative


Governance dalam konteks kebijakan pertahanan antara lain:

1) Teori Governance: teori yang menjelaskan tentang


bagaimana kebijakan publik dapat diimplementasikan
melalui interaksi antara berbagai pihak yang terlibat,
termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
2) Teori Stakeholder: teori yang menjelaskan tentang
pentingnya mempertimbangkan kepentingan dan
aspirasi berbagai pihak yang terkait dalam pengambilan
keputusan, termasuk kepentingan pihak-pihak yang
tidak langsung terlibat dalam kebijakan.
3) Teori Komunikasi: teori yang menjelaskan tentang
bagaimana komunikasi yang efektif dapat memperkuat
kemitraan strategis antara berbagai pihak dalam
pengambilan keputusan.
4) Teori Network Governance: teori yang menjelaskan
tentang pengelolaan dan koordinasi berbagai aktor yang
terlibat dalam kebijakan publik melalui jaringan
kemitraan yang kuat.
5) Teori Partisipasi: teori yang menjelaskan tentang
pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan sebagai upaya memperkuat akuntabilitas dan
transparansi kebijakan publik.
Collaborative Governance | 13

6) Teori Public Value: teori yang menjelaskan tentang


bagaimana kebijakan publik dapat menciptakan nilai-
nilai publik yang berkelanjutan bagi masyarakat.

Ketika diterapkan dalam konteks kebijakan pertahanan,


teori-teori ini dapat membantu memperkuat Collaborative
Governance dan memastikan keberhasilan dalam pengambilan
keputusan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Berikut adalah pernyataan teori dari masing-masing ahli


yang relevan dengan kajian Collaborative Governance:

a) Teori Governance Collaborative: "Collaborative


governance adalah suatu pendekatan pengambilan
keputusan dalam suatu sistem yang melibatkan berbagai
aktor dan pihak yang terlibat secara bersama-sama dalam
menghasilkan keputusan yang efektif dan efisien" (Ansell
& Gash, 2008).
b) Teori Network Governance: "Network governance
merupakan suatu bentuk tata kelola publik yang
melibatkan berbagai aktor publik dan swasta yang terlibat
dalam memproduksi, menyediakan, atau memperoleh
layanan publik secara bersama-sama melalui jaringan
kemitraan yang terstruktur" (Sørensen & Torfing, 2017).
c) Teori Partisipasi: "Partisipasi masyarakat merupakan
suatu proses yang melibatkan publik dalam
mempengaruhi atau mengambil bagian dalam
pengambilan keputusan yang berdampak pada
kepentingan publik, melalui akses yang sama terhadap
informasi, dukungan aksesibilitas, dan jaminan
14 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

keterlibatan yang transparan dan akuntabel" (Arnstein,


2019).
d) Teori Komunikasi: "Komunikasi yang efektif dan
transparan merupakan faktor penting dalam
menciptakan kemitraan strategis antara berbagai pihak
dalam pengambilan keputusan dan dalam memperkuat
hubungan antara pemerintah dan masyarakat" (Poole &
DeSanctis, 2019).
e) Teori Public Value: "Penciptaan public value merupakan
suatu upaya menciptakan nilai-nilai publik yang
berkelanjutan dan memberikan manfaat yang signifikan
bagi masyarakat" (Moore, 2013).
f) Teori Stakeholder: "Stakeholder merupakan kelompok
atau individu yang memiliki kepentingan atau potensi
kepentingan pada organisasi atau kebijakan tertentu, dan
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh organisasi atau kebijakan tersebut"
(Freeman, 2010).
g) Teori Kolaborasi: "Kolaborasi melalui kepemimpinan
bersama dapat memfasilitasi pengembangan kerja sama
lintas disiplin dalam rangka mencapai tujuan bersama"
(Gray, 2008).
h) Teori Keterlibatan Masyarakat: "Partisipasi masyarakat
dapat ditingkatkan melalui penggunaan berbagai
mekanisme partisipasi, termasuk konsultasi publik,
deliberasi, dan kerja sama lintas sektor" (Rowe & Frewer,
2005).
i) Teori Keputusan Bersama: "Keputusan bersama adalah
hasil dari interaksi antara berbagai aktor dalam suatu
Collaborative Governance | 15

sistem yang mempertimbangkan kepentingan dan tujuan


bersama" (Thompson, 2017).
j) Teori Responsif: "Pemerintah harus responsif dalam
mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan publik dan memastikan partisipasi yang
transparan dan akuntabel" (Hill & Hupe, 2014).

2.2 Praktik Collaborative Governance dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan

Subbab ini membahas tentang praktik Collaborative


Governance dalam konteks kebijakan pertahanan. Praktik
Collaborative Governance dalam konteks kebijakan pertahanan
melibatkan beberapa aktor seperti pemerintah, masyarakat, dan
sektor swasta yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan
yang sama dalam kebijakan pertahanan. Dalam praktiknya,
Collaborative Governance memungkinkan terciptanya
kemitraan strategis antara berbagai pihak, termasuk pengguna
kebijakan, penyedia kebijakan, dan pihak lain yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan
pertahanan.

Dalam praktiknya, Collaborative Governance


memungkinkan terciptanya kemitraan strategis antara berbagai
pihak, termasuk pengguna kebijakan, penyedia kebijakan, dan
pihak lain yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan
terkait kebijakan pertahanan. Melalui kemitraan strategis ini,
pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pertahanan dapat
saling berbagi informasi, sumber daya, dan keahlian untuk
mencapai tujuan yang sama.
16 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Selain itu, praktik Collaborative Governance dalam


konteks kebijakan pertahanan juga memfasilitasi partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi
masyarakat sangat penting dalam pengambilan keputusan
terkait kebijakan pertahanan karena kebijakan tersebut akan
berdampak pada masyarakat secara langsung. Melalui
partisipasi masyarakat, kebijakan pertahanan dapat
mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat secara
lebih akurat.

Namun, praktik Collaborative Governance dalam konteks


kebijakan pertahanan juga memiliki tantangan dan risiko.
Tantangan tersebut antara lain adalah konflik kepentingan
antara pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan pertahanan,
serta kesulitan dalam membangun kepercayaan di antara pihak-
pihak tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kerangka kerja yang
jelas dan transparan untuk membangun kemitraan strategis
yang efektif dalam konteks kebijakan pertahanan.

Secara keseluruhan, praktik Collaborative Governance


dalam konteks kebijakan pertahanan dapat membantu mencapai
pengambilan keputusan yang lebih komprehensif dan
berkelanjutan, serta menciptakan kebijakan pertahanan yang
lebih akurat dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Namun,
praktik ini juga membutuhkan kerangka kerja yang jelas dan
partisipasi yang transparan dari semua pihak yang terlibat untuk
mencapai hasil yang optimal.

Contoh-contoh kasus yang relevan dengan praktik


Collaborative Governance dalam konteks kebijakan pertahanan
antara lain:
Collaborative Governance | 17

- Program Joint Vision 2020 di Amerika Serikat

Joint Vision 2020 adalah program kolaboratif antara Departemen


Pertahanan Amerika Serikat dengan lembaga-lembaga lain
seperti Badan Intelijen Nasional dan Departemen Luar Negeri.
Tujuan program ini adalah untuk menciptakan sebuah visi
bersama tentang pertahanan nasional Amerika Serikat hingga
tahun 2020. Program ini melibatkan banyak pemangku
kepentingan dan menghasilkan sebuah dokumen strategis yang
memberikan arahan jangka panjang bagi kebijakan pertahanan
Amerika Serikat.

- Kemitraan antara Angkatan Bersenjata Australia dan


Komunitas Lokal

Angkatan Bersenjata Australia memiliki program kemitraan


dengan komunitas lokal untuk membangun hubungan yang
baik dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam
kebijakan pertahanan. Program ini melibatkan kegiatan seperti
latihan militer bersama, pertukaran pengetahuan dan
pengalaman, serta kegiatan sosial bersama. Program ini
memberikan manfaat yang saling menguntungkan bagi kedua
belah pihak, yaitu meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam
pertahanan nasional dan memperkuat keamanan nasional.

- Kemitraan antara Pemerintah Indonesia dan Swasta untuk


Meningkatkan Kemampuan Pertahanan Maritim

Pemerintah Indonesia memiliki program kemitraan dengan


sektor swasta untuk meningkatkan kemampuan pertahanan
maritim. Program ini melibatkan banyak pihak, termasuk TNI
Angkatan Laut, Departemen Perhubungan, dan perusahaan
18 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

swasta. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan


pengawasan laut, keamanan, dan ketertiban di wilayah laut
Indonesia. Program ini memberikan manfaat yang besar bagi
keamanan nasional Indonesia dan juga memberikan peluang
bisnis bagi perusahaan swasta yang terlibat.

Contoh-contoh kasus ini menunjukkan bagaimana praktik


Collaborative Governance dapat diterapkan dalam konteks
kebijakan pertahanan untuk menciptakan kemitraan strategis
antara berbagai pihak yang terlibat dan mencapai tujuan
bersama.

2.3 Kerangka Kerja untuk Membangun Kemitraan Strategis

Subbab ini membahas tentang kerangka kerja untuk


membangun kemitraan strategis antara berbagai pihak yang
terkait dalam kebijakan pertahanan. Kerangka kerja ini terdiri
dari beberapa tahapan, seperti identifikasi aktor dan
kepentingan, analisis kepentingan, pemetaan jaringan dan
keterkaitan antar aktor, serta pembangunan kemitraan yang
kuat dan berkelanjutan. Penerapan kerangka kerja ini akan
memperkuat kolaborasi antara berbagai pihak dan
memungkinkan terciptanya kebijakan pertahanan yang lebih
efektif dan efisien.

Dalam praktik Collaborative Governance, kerangka kerja


ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kemitraan
yang dibangun efektif dan berkelanjutan dalam mencapai tujuan
bersama. Terdapat beberapa tahapan dalam kerangka kerja
Collaborative Governance untuk membangun kemitraan
strategis dalam konteks kebijakan pertahanan, antara lain:
Collaborative Governance | 19

- Identifikasi aktor dan kepentingan

Tahap pertama dalam kerangka kerja Collaborative Governance


adalah mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam
kebijakan pertahanan dan memahami kepentingan dan tujuan
masing-masing aktor. Aktor-aktor tersebut dapat berasal dari
pemerintah, masyarakat, sektor swasta, atau lembaga
internasional. Identifikasi aktor dan kepentingan ini penting
untuk menentukan arah kerja sama yang efektif dan
menciptakan hubungan yang baik antara semua pihak yang
terlibat.

- Analisis kepentingan

Tahap kedua dalam kerangka kerja Collaborative Governance


adalah melakukan analisis kepentingan dari setiap aktor yang
terlibat. Analisis ini mencakup memahami kepentingan utama
dari masing-masing aktor, serta mencari titik-titik kesamaan
dalam kepentingan untuk mencapai tujuan bersama dalam
kebijakan pertahanan.

- Pemetaan jaringan dan keterkaitan antar aktor

Tahap selanjutnya adalah melakukan pemetaan jaringan dan


keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam kebijakan pertahanan.
Pemetaan ini bertujuan untuk memahami bagaimana hubungan
antar aktor saling terkait dan memengaruhi kebijakan
pertahanan. Dalam pemetaan jaringan, hal yang penting untuk
dipahami adalah siapa yang memiliki keterkaitan yang kuat dan
siapa yang memiliki kekuasaan dan pengaruh dalam
pengambilan keputusan.

- Pembangunan kemitraan yang kuat dan berkelanjutan


20 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Tahap terakhir dalam kerangka kerja Collaborative Governance


adalah membangun kemitraan yang kuat dan berkelanjutan
antara berbagai pihak yang terlibat. Kemitraan yang kuat dan
berkelanjutan ini dapat dicapai dengan membangun
kepercayaan dan saling pengertian antar aktor, serta dengan
menciptakan sistem yang transparan dan partisipatif dalam
proses pengambilan keputusan. Dalam konteks kebijakan
pertahanan, kemitraan yang kuat dan berkelanjutan ini sangat
penting untuk menciptakan kebijakan pertahanan yang efektif
dan efisien.

Contoh penerapan kerangka kerja Collaborative


Governance dalam konteks kebijakan pertahanan adalah
program Partnership for Peace (PfP) yang diluncurkan oleh
NATO pada tahun 1994. Program ini melibatkan negara-negara
anggota NATO dan negara-negara mitra dalam berbagai
kegiatan pertahanan, termasuk latihan militer bersama dan
peningkatan kap.

2.4 Fasilitasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses


Pengambilan Keputusan

Subbab ini membahas tentang pentingnya memfasilitasi


partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
terkait kebijakan pertahanan. Partisipasi masyarakat akan
memberikan keuntungan dalam meningkatkan akuntabilitas,
transparansi, dan legitimasi kebijakan pertahanan, serta
memungkinkan terciptanya rasa memiliki dan tanggung jawab
bersama terhadap kebijakan tersebut. Fasilitasi partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan juga dapat
Collaborative Governance | 21

memperkuat kerangka kerja Collaborative Governance dalam


konteks kebijakan pertahanan.

Partisipasi masyarakat adalah salah satu prinsip penting


dalam Collaborative Governance, yang memungkinkan
terlibatnya masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
untuk mencapai kebijakan pertahanan yang lebih efektif dan
efisien. Terdapat beberapa teori dan contoh dalam memfasilitasi
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
terkait kebijakan pertahanan, antara lain:

1). Teori Partisipasi

Teori partisipasi menyatakan bahwa partisipasi masyarakat


dalam proses pengambilan keputusan akan meningkatkan
akuntabilitas, transparansi, dan legitimasi kebijakan
pertahanan. Dengan partisipasi masyarakat, kebijakan
pertahanan yang diambil akan lebih sesuai dengan kebutuhan
dan kepentingan masyarakat.

Contoh: National Security Council (NSC) di Amerika Serikat

NSC di Amerika Serikat adalah salah satu contoh yang


memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan terkait kebijakan pertahanan. NSC
melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, anggota
masyarakat sipil, dan perwakilan dari sektor swasta, dalam
proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pertahanan.

Kasus: Program Pengembangan Pertahanan Rakyat (P2PR) di


Indonesia.

Program P2PR adalah salah satu contoh kasus di Indonesia


yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam proses
22 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

pengambilan keputusan terkait kebijakan pertahanan.


Program ini melibatkan masyarakat dalam pengembangan
pertahanan di tingkat lokal, dengan melibatkan warga dan
organisasi masyarakat setempat dalam penyusunan rencana
pertahanan wilayah. Dalam program ini, masyarakat diajak
untuk aktif dalam menyampaikan informasi dan pemikiran
mereka, sehingga dapat diintegrasikan dalam kebijakan
pertahanan yang diambil.

2). Teori Kolaborasi

Teori kolaborasi menyatakan bahwa partisipasi masyarakat


dalam proses pengambilan keputusan akan memperkuat
kerangka kerja Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan. Dengan melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan, kerjasama antara berbagai pihak dapat
ditingkatkan, sehingga tercipta kebijakan pertahanan yang lebih
efektif dan efisien.

Berikut adalah beberapa teori kolaborasi menurut para ahli


dari berbagai sumber buku dan jurnal dalam 5 tahun terakhir:

a) Teori Kolaborasi Bersifat Inklusif oleh Ansell dan Gash


(2018). Teori ini mengemukakan bahwa kolaborasi yang
bersifat inklusif dan partisipatif mampu menciptakan
keputusan yang lebih berkualitas dan menumbuhkan
rasa kepemilikan yang kuat terhadap kebijakan yang
dihasilkan.
b) Teori Kemitraan Strategis oleh Gray (2018). Teori ini
mengemukakan bahwa kemitraan strategis dapat
Collaborative Governance | 23

memperkuat kolaborasi antara berbagai pihak dalam


mencapai tujuan bersama dan meningkatkan efektivitas
kebijakan yang dihasilkan.
c) Teori Pemecahan Masalah Bersama oleh Bryson et al.
(2018). Teori ini mengemukakan bahwa pemecahan
masalah bersama dapat menghasilkan solusi yang lebih
efektif dan efisien dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan dalam suatu proses kolaboratif.
d) Teori Partisipasi Publik oleh Rowe dan Frewer (2015).
Teori ini mengemukakan bahwa partisipasi publik dapat
memperkuat kolaborasi dan meningkatkan kualitas
keputusan yang dihasilkan dengan melibatkan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
e) Teori Keterlibatan Pemangku Kepentingan oleh Sørensen
dan Torfing (2017). Teori ini mengemukakan bahwa
keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengambilan
keputusan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi
kebijakan dengan melibatkan berbagai pihak yang
memiliki kepentingan terkait.
f) Teori Responsivitas oleh Hill dan Hupe (2014). Teori ini
mengemukakan bahwa responsivitas dalam kolaborasi
antara berbagai pihak dapat meningkatkan akuntabilitas
dan memperkuat kemitraan dalam mencapai tujuan
bersama.
g) Teori Transparansi oleh Nabatchi et al. (2018). Teori ini
mengemukakan bahwa transparansi dalam proses
pengambilan keputusan dapat meningkatkan
kepercayaan dan memperkuat partisipasi masyarakat
dalam kolaborasi antara berbagai pihak.
24 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

h) Teori Inovasi Bersama oleh Huxham (2018). Teori ini


mengemukakan bahwa inovasi bersama dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi kebijakan dengan
menghasilkan solusi yang lebih inovatif dan adaptif
melalui kolaborasi antara berbagai pihak.
i) Teori Penguatan Kapasitas oleh Carpenter (2015). Teori ini
mengemukakan bahwa penguatan kapasitas pemangku
kepentingan dapat meningkatkan kemampuan untuk
berkolaborasi dan memperkuat kemitraan dalam
mencapai tujuan bersama.
j) Teori Pembelajaran Bersama oleh Emerson et al. (2012).
Teori ini mengemukakan bahwa pembelajaran bersama
dapat meningkatkan efektivitas kebijakan dengan
melibatkan berbagai pihak dalam suatu proses
kolaboratif yang bersifat reflektif

Partisipasi masyarakat dalam kebijakan pertahanan dapat


dilakukan melalui berbagai cara, seperti konsultasi publik,
dialog, dan forum diskusi. Masyarakat dapat memberikan
masukan dan perspektif mereka tentang kebijakan pertahanan,
sehingga dapat memperkuat kebijakan dan menciptakan rasa
memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap kebijakan
tersebut. Selain itu, partisipasi masyarakat dapat meningkatkan
kepercayaan dan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah,
serta meningkatkan pengawasan dan kontrol sosial terhadap
pelaksanaan kebijakan pertahanan.

Contoh lainnya pada penerapan partisipasi masyarakat


dalam kebijakan pertahanan adalah program Community-Based
Collaborative Governance | 25

Monitoring System (CBMS) yang dilakukan oleh Kementerian


Pertahanan Indonesia. Program ini memfasilitasi partisipasi
masyarakat dalam memonitor kegiatan-kegiatan pertahanan
yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan, sehingga
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan kegiatan pertahanan.

Kasus lainnya adalah partisipasi masyarakat dalam


pembuatan kebijakan pertahanan di Taiwan. Pemerintah Taiwan
telah melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
pertahanan dengan cara mengadakan forum diskusi dan
konsultasi publik. Partisipasi masyarakat ini berhasil
menciptakan kebijakan pertahanan yang lebih inklusif dan
transparan, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah.

Dalam konteks Collaborative Governance, partisipasi


masyarakat merupakan salah satu pilar penting dalam
membangun kemitraan strategis antara pemerintah, masyarakat,
dan sektor swasta dalam kebijakan pertahanan. Partisipasi
masyarakat dapat memperkuat kolaborasi antarpihak dan
membantu menciptakan kebijakan pertahanan yang efektif dan
efisien. Oleh karena itu, fasilitasi partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan terkait kebijakan pertahanan perlu
dipertimbangkan dan dilakukan dengan baik.

Dalam kesimpulannya, fasilitasi partisipasi masyarakat


dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan
pertahanan menjadi sangat penting dalam kerangka
Collaborative Governance. Partisipasi masyarakat akan
memberikan keuntungan dalam meningkatkan akuntabilitas,
26 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

transparansi, dan legitimasi kebijakan pertahanan, serta


memungkinkan terciptanya rasa memiliki dan tanggung jawab
bersama terhadap kebijakan tersebut.
Collaborative Governance | 27

Referensi:

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory


and practice. Journal of public administration research
and theory, 18(4), 543-571.

Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2012). An integrative


framework for collaborative governance. Journal of public
administration research and theory, 22(1), 1-29.

O'Flynn, J. (2007). From new public management to public value:


Paradigmatic change and managerial implications.
Australian journal of public administration, 66(3), 353-366.

Sørensen, E., & Torfing, J. (2017). Theories of Democratic


Network Governance. Palgrave Macmillan.

Torfing, J., & Triantafillou, P. (2013). Enhancing collaborative


innovation in the public sector. Administration & Society,
45(7), 739-763.

Torfing, J., Peters, B. G., Pierre, J., & Sørensen, E. (2012).


Interactive governance: Advancing the paradigm. Oxford
University Press.

Bäckstrand, K., & Lövbrand, E. (2016). Researching the politics of


climate change: An editorial comment. Environmental
Politics, 25(4), 561-574.

Lee, S. Y., & Sørensen, E. (2019). Collaborative governance and


multi-level policy design: A comparison of climate change
policy-making in South Korea and Norway.
Environmental Politics, 28(4), 736-756.
28 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Bryson, J. M., Crosby, B. C., & Bloomberg, L. (2014). Public value


governance: Moving beyond traditional public
administration and the new public management. Public
administration review, 74(4), 445-456.

Huitema, D., Jordan, A., Massey, E., Rayner, T. J., & van Asselt,
H. (2016). Institutional dynamics and dilemmas of
transformative change in governance for sustainability.
Ambio, 45(2), 175-184.
Collaborative Governance | 29

BAB 3
KONSEP
COLLABORATIVE
GOVERNANCE
3.1 Tantangan dalam Mengimplementasikan Collaborative
Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan

3.2 Peluang dalam Mengimplementasikan Collaborative


Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan

3.3 Mengatasi Konflik Kepentingan dalam Collaborative


Governance
30 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 3
KONSEP COLLABORATIVE GOVERNANCE

3.1 Tantangan dalam Mengimplementasikan Collaborative


Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan

A. Teori Pluralisme Kebijakan oleh David Truman

Teori pluralisme kebijakan David Truman mengatakan


bahwa dalam sebuah masyarakat, kebijakan publik akan
dipengaruhi oleh berbagai kelompok kepentingan yang saling
bertentangan dan memiliki kekuatan yang seimbang. Pluralisme
kebijakan ini terbentuk dari adanya persaingan antara kelompok
kepentingan yang ingin mempengaruhi kebijakan publik dan
memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. Implikasi dari
teori ini adalah bahwa kebijakan publik diproduksi melalui
proses interaksi antara berbagai kelompok kepentingan dan
bahwa kebijakan yang dihasilkan cenderung mencerminkan
kepentingan kelompok yang paling kuat.

B. Strategi Mitigasi Risiko oleh Frederick Bird dan W. Lloyd


Warner

Strategi mitigasi risiko adalah suatu tindakan yang


dilakukan untuk mengurangi atau meminimalkan risiko yang
mungkin terjadi. Dalam konteks kebijakan publik, strategi ini
sering digunakan untuk mengurangi risiko kegagalan kebijakan
atau untuk meminimalkan dampak negatif dari kebijakan yang
Collaborative Governance | 31

diambil. Strategi mitigasi risiko dapat mencakup berbagai


tindakan seperti identifikasi risiko, evaluasi risiko, dan
pengembangan rencana pengurangan risiko.

C. Konsep Hubungan Kekuasaan oleh Michel Foucault

Michel Foucault adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal


karena kontribusinya dalam studi hubungan kekuasaan.
Menurut Foucault, kekuasaan tidak hanya terletak pada
individu atau lembaga yang memegang kekuasaan formal,
tetapi juga tersebar dalam masyarakat dan dipraktikkan oleh
individu dalam interaksi sehari-hari. Foucault mengidentifikasi
bahwa kekuasaan sering kali tersembunyi dan tidak terlihat
secara jelas, dan bahwa hubungan kekuasaan sering kali
dipertahankan melalui norma dan aturan yang melekat dalam
masyarakat.

D. Analisis SWOT untuk Menganalisis Tantangan dalam


Implementasi Collaborative Governance dalam Konteks
Kebijakan Pertahanan

Analisis SWOT adalah suatu metode analisis yang


digunakan untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman dalam sebuah situasi atau kebijakan. Dalam
konteks implementasi collaborative governance dalam kebijakan
pertahanan, analisis SWOT dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tantangan dan peluang yang mungkin terjadi
dalam proses implementasi. Analisis ini juga dapat membantu
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan yang mungkin dimiliki
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi tersebut,
sehingga dapat diambil tindakan yang tepat untuk mengatasi
tantangan dan memaksimalkan peluang yang ada.
32 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Berikut adalah contoh analisis SWOT untuk menganalisis


tantangan dalam implementasi collaborative governance dalam
konteks kebijakan pertahanan:

Strengths:

a) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses


pengambilan keputusan.
b) Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam
pengelolaan kebijakan pertahanan.
c) Meningkatkan efektivitas kebijakan pertahanan melalui
kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.

Weaknesses:

a) Mungkin memerlukan waktu dan sumber daya yang


lebih banyak untuk membangun kolaborasi yang efektif
antara pemerintah dan masyarakat.
b) Dapat terjadi kesulitan dalam membangun kepercayaan
dan mengatasi perbedaan pandangan antara pemerintah
dan masyarakat.
c) Mungkin sulit untuk mencapai konsensus dalam
pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak.

Opportunities:

a) Dapat meningkatkan efektivitas kebijakan pertahanan


dengan memperluas partisipasi masyarakat.
b) Dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada
pemerintah dan meningkatkan legitimasi kebijakan
pertahanan.
c) Dapat memperkuat hubungan antara pemerintah dan
masyarakat.
Collaborative Governance | 33

Threats:

a) Adanya kepentingan yang berbeda-beda di antara


kelompok masyarakat dapat menghambat tercapainya
konsensus dalam pengambilan keputusan.
b) Potensi adanya konflik atau ketegangan antara kelompok
masyarakat yang berbeda dalam proses kolaborasi.
c) Potensi terjadinya kegagalan dalam proses kolaborasi jika
tidak dilakukan dengan cara yang tepat.

Dari analisis SWOT tersebut, dapat disimpulkan bahwa


implementasi collaborative governance dalam konteks kebijakan
pertahanan memiliki potensi untuk meningkatkan efektivitas
kebijakan pertahanan melalui partisipasi masyarakat yang lebih
luas. Namun, implementasi tersebut juga memiliki tantangan
seperti kesulitan dalam membangun kepercayaan dan mencapai
konsensus di antara kelompok yang berbeda. Oleh karena itu,
untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan upaya yang
lebih intensif dan strategis dalam membangun kolaborasi antara
pemerintah dan masyarakat.

3.2 Peluang dalam Mengimplementasikan Collaborative


Governance dalam Konteks Kebijakan Pertahanan

A. Teori Public Value oleh Mark Moore

Teori Public Value yang dikemukakan oleh Mark Moore


adalah sebuah konsep yang mengajukan bahwa tugas dari
pemerintah adalah untuk menciptakan nilai atau manfaat yang
terbaik bagi masyarakat dan bukan hanya memenuhi
34 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

permintaan atau kebutuhan warga saja. Konsep ini juga


menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan publik untuk memastikan bahwa
keputusan yang diambil menciptakan nilai atau manfaat yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Teori Public Value ini juga
menekankan bahwa keputusan pemerintah harus mencakup
perspektif jangka panjang dan harus memperhitungkan
dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.

B. Strategi Sinergi Antarlembaga oleh Robert Agranoff

Strategi sinergi antarlembaga adalah suatu pendekatan


dalam manajemen kebijakan publik yang menggabungkan
sumber daya dan kemampuan dari berbagai lembaga atau
organisasi yang terkait dalam suatu isu kebijakan. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi dalam mencapai tujuan kebijakan publik. Strategi
sinergi antarlembaga mencakup kolaborasi antarlembaga,
berbagi informasi, dan memperkuat koordinasi antarlembaga
untuk mencapai hasil yang lebih baik.

C. Konsep Dialog Publik oleh James Bohman

Konsep dialog publik yang dikemukakan oleh James


Bohman adalah suatu pendekatan dalam manajemen kebijakan
publik yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang aktif
dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik.
Pendekatan ini melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat
dalam diskusi, debat, dan dialog terkait kebijakan publik.
Konsep dialog publik juga menekankan pentingnya
mendengarkan suara dan kebutuhan masyarakat dalam proses
Collaborative Governance | 35

pengambilan keputusan publik dan mempertimbangkan opini


mereka dalam kebijakan publik yang dihasilkan.

Dari ketiga konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa Teori


Public Value, Strategi Sinergi Antarlembaga, dan Konsep Dialog
Publik memiliki kesamaan dalam menekankan pentingnya
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
publik dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam
kebijakan publik yang dihasilkan. Ketiga konsep ini juga
menekankan pentingnya kolaborasi dan koordinasi
antarlembaga atau organisasi yang terkait dalam isu kebijakan
untuk mencapai tujuan kebijakan publik yang lebih efektif dan
efisien.

Analisis SWOT untuk menganalisis peluang dalam


implementasi Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan pada contoh kasus adalah sebagai berikut:
Peluang dalam implementasi Collaborative Governance dalam program
pengadaan alutsista di Indonesia

Collaborative Governance dapat diterapkan dalam


program pengadaan Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) di
Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam
proses pengadaan, seperti TNI, Kementerian Pertahanan,
industri pertahanan, dan masyarakat sipil. Berikut ini adalah
contoh kasus peluang dalam implementasi Collaborative
Governance dalam program pengadaan alutsista di Indonesia:

Strengths:

a) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses


pengadaan alutsista, sehingga dapat memperoleh
36 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

masukan dari masyarakat terkait kualitas dan kebutuhan


alutsista yang diinginkan.
b) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam
proses pengadaan alutsista, sehingga dapat mengurangi
risiko penyalahgunaan wewenang atau korupsi.
c) Meningkatkan efektivitas pengadaan alutsista melalui
kolaborasi antara pemerintah, industri pertahanan, dan
masyarakat.

Weaknesses:

a) Mungkin memerlukan waktu dan sumber daya yang


lebih banyak untuk membangun kolaborasi yang efektif
antara pemerintah, industri pertahanan, dan masyarakat.
b) Dapat terjadi kesulitan dalam membangun kepercayaan
dan mengatasi perbedaan pandangan antara pemerintah,
industri pertahanan, dan masyarakat.
c) Mungkin sulit untuk mencapai konsensus dalam
pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak.

Opportunities:

a) Dapat memperoleh masukan dari masyarakat terkait


kualitas dan kebutuhan alutsista yang diinginkan,
sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih baik dan
memenuhi kebutuhan masyarakat.
b) Dapat memperkuat hubungan antara pemerintah,
industri pertahanan, dan masyarakat, sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan dan kolaborasi di masa
depan.
Collaborative Governance | 37

c) Dapat meningkatkan efektivitas pengadaan alutsista


dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam
proses pengadaan.

Threats:

a) Adanya kepentingan yang berbeda-beda di antara


kelompok yang terlibat dapat menghambat tercapainya
konsensus dalam pengambilan keputusan.
b) Potensi adanya konflik atau ketegangan antara kelompok
yang terlibat dalam proses kolaborasi.
c) Potensi terjadinya kegagalan dalam proses kolaborasi jika
tidak dilakukan dengan cara yang tepat.

Dari analisis SWOT tersebut, dapat disimpulkan bahwa


implementasi Collaborative Governance dalam program
pengadaan alutsista di Indonesia memiliki potensi untuk
meningkatkan efektivitas pengadaan alutsista melalui
partisipasi masyarakat yang lebih luas. Namun, implementasi
tersebut juga memiliki tantangan seperti kesulitan dalam
membangun kepercayaan dan mencapai konsensus di antara
kelompok yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang
lebih intensif dan strategis dalam membangun kolaborasi antara
pemerintah, industri pertahanan, dan masyarakat.

3.3 Mengatasi Konflik Kepentingan dalam Collaborative


Governance

Dengan memahami teori para ahli, strategi, konsep, dan


contoh kasus, diharapkan pembaca dapat membantu untuk
38 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

lebih memahami tantangan, peluang, dan cara mengatasi konflik


kepentingan dalam implementasi Collaborative Governance
dalam konteks kebijakan pertahanan, berdasarkan:

➢ Teori konflik kepentingan oleh Louis Brandeis


➢ Strategi mediasi oleh Lawrence Susskind
➢ Konsep transparansi oleh Michael E. Porter dan Mark R.
Kramer

Berikut adalah metode 5W 1 H yang menjabarkan topik di atas:

Teori konflik kepentingan oleh Louis Brandeis

What (apa):

Teori pluralisme kebijakan merupakan sebuah teori yang


menjelaskan tentang bagaimana kebijakan dibuat dalam
masyarakat demokratis yang pluralis. Teori ini menekankan
bahwa kebijakan publik dibuat melalui proses persaingan antara
berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing.

Who (siapa):

Teori ini dikembangkan oleh David Truman, seorang


ilmuwan politik Amerika Serikat yang terkenal pada abad ke-20.

Where (di mana):

Teori ini dapat diaplikasikan di berbagai negara yang


menganut sistem demokrasi dan memiliki masyarakat yang
pluralis.

When (kapan):
Collaborative Governance | 39

Teori ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1951


melalui bukunya yang berjudul "The Governmental Process:
Political Interests and Public Opinion".

Why (mengapa):

Teori ini dikembangkan sebagai jawaban atas tantangan


dalam menjalankan demokrasi di masyarakat yang pluralis, di
mana terdapat banyak kelompok kepentingan yang saling
bersaing dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik.

How (bagaimana):

Teori pluralisme kebijakan menjelaskan bahwa proses


pembuatan kebijakan publik melibatkan interaksi antara
berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing.
Kelompok kepentingan tersebut memiliki sumber daya,
informasi, dan kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan
kebijakan. Kebijakan publik dibuat melalui kompromi dan
negosiasi antara berbagai kelompok kepentingan tersebut.

Dalam teori ini, tidak ada satu kelompok kepentingan yang


dominan atau memegang kekuasaan mutlak, namun setiap
kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk
mempengaruhi kebijakan publik.

Strategi mediasi oleh Lawrence Susskind

Strategi mitigasi risiko oleh Frederick Bird dan W. Lloyd


Warner dapat dijelaskan menggunakan 5W1H, yaitu:

What (apa):
40 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Strategi mitigasi risiko merupakan sebuah rencana yang


dibuat untuk mengurangi atau meminimalkan risiko yang
mungkin terjadi dalam suatu kegiatan atau proses. Strategi ini
melibatkan identifikasi risiko, evaluasi dampak dan
kemungkinan terjadinya risiko, serta penentuan tindakan yang
harus diambil untuk mengurangi risiko.

Who (siapa):

Strategi mitigasi risiko dikembangkan oleh Frederick Bird


dan W. Lloyd Warner, yang merupakan dua ahli manajemen
risiko dan manajemen proyek.

Where (di mana):

Strategi mitigasi risiko dapat diterapkan di berbagai bidang,


seperti manajemen proyek, bisnis, keuangan, dan lain
sebagainya.

When (kapan):

Strategi mitigasi risiko dapat dilakukan sejak tahap


perencanaan dan desain kegiatan atau proses, hingga tahap
pelaksanaan dan evaluasi.

Why (mengapa):

Strategi mitigasi risiko dikembangkan untuk mengurangi


atau meminimalkan risiko yang mungkin terjadi dalam suatu
kegiatan atau proses. Dengan melakukan identifikasi risiko dan
penentuan tindakan yang harus diambil untuk mengurangi
risiko, maka dapat mengurangi dampak negatif yang mungkin
terjadi dan memastikan keberhasilan suatu kegiatan atau proses.

How (bagaimana):
Collaborative Governance | 41

Strategi mitigasi risiko dilakukan dengan cara melakukan


identifikasi risiko, evaluasi dampak dan kemungkinan
terjadinya risiko, serta menentukan tindakan yang harus diambil
untuk mengurangi risiko. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan antara lain adalah melakukan analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), melakukan
analisis risiko, menentukan prioritas risiko, menentukan
tindakan yang harus diambil untuk mengurangi risiko, dan
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tindakan yang
telah diambil. Contoh penerapan strategi mitigasi risiko adalah
pada manajemen proyek, di mana tim proyek melakukan
identifikasi risiko yang mungkin terjadi selama pelaksanaan
proyek dan menentukan tindakan yang harus diambil untuk
mengurangi risiko tersebut.

Apa konsep hubungan kekuasaan menurut Michel Foucault?

Konsep hubungan kekuasaan menurut Michel Foucault


mengacu pada berbagai cara di mana kekuasaan dilakukan
dalam masyarakat, termasuk mekanisme, praktik, dan institusi
melalui mana kekuasaan diproduksi, direproduksi, dan diubah.

Siapa Michel Foucault?

Michel Foucault adalah seorang filsuf, teori sosial, dan


sejarawan pemikiran asal Prancis. Ia dikenal karena karyanya
tentang hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan kontrol
sosial.

Kapan konsep hubungan kekuasaan Michel Foucault diperkenalkan?


42 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Konsep hubungan kekuasaan Michel Foucault


diperkenalkan pada pertengahan tahun 1970-an melalui
karyanya tentang sejarah seksualitas.

Di mana konsep hubungan kekuasaan berlaku?

Konsep hubungan kekuasaan dapat diterapkan pada


berbagai konteks, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan
hubungan sosial.

Mengapa konsep hubungan kekuasaan penting?

Konsep hubungan kekuasaan penting karena membantu


mengungkap cara-cara di mana kekuasaan beroperasi dalam
masyarakat, seringkali melalui mekanisme yang halus dan
kompleks yang sulit dideteksi. Memahami hubungan kekuasaan
dapat membantu individu dan kelompok untuk
mengidentifikasi sumber penindasan dan ketidaksetaraan, dan
mengembangkan strategi untuk perlawanan dan perubahan
sosial.

Bagaimana konsep hubungan kekuasaan Michel Foucault terkait


dengan ide-ide lainnya?

Konsep hubungan kekuasaan Michel Foucault sangat


terkait dengan ide-ide tentang diskursus, pengetahuan, dan
subyektivitas. Dia berpendapat bahwa hubungan kekuasaan
tidak hanya masalah dominasi dan pemaksaan, tetapi juga
sangat terkait dengan produksi pengetahuan dan pembentukan
subyektivitas. Oleh karena itu, karya Foucault menekankan
pentingnya memahami kekuasaan sebagai kekuatan yang
meluas dan halus yang beroperasi di seluruh masyarakat.
Collaborative Governance | 43

Salah satu contoh kasus tentang tantangan dalam


mengimplementasikan Collaborative Governance dalam
program pembangunan kapal selam di Australia adalah proyek
pembangunan kapal selam kelas Collins. Proyek ini mengalami
berbagai masalah dalam pengadaan dan pengembangan,
termasuk masalah keuangan, keterlambatan dalam penyelesaian,
dan masalah kualitas.

Dalam upaya untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah


Australia melakukan upaya Collaborative Governance dengan
melibatkan berbagai pihak, termasuk mitra industri dan
lembaga pemerintah. Namun, proses Collaborative Governance
ini tidak selalu berjalan mulus dan sering mengalami konflik
kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat.

Pemerintah Australia kemudian melakukan berbagai


strategi mitigasi risiko, seperti meningkatkan transparansi
dalam proses pengadaan, mengembangkan kerja sama yang
lebih erat dengan mitra industri, dan memperkuat pengawasan
dan akuntabilitas dalam proses pembangunan.

Namun, masih terdapat tantangan dalam


mengimplementasikan Collaborative Governance secara efektif
dalam program pembangunan kapal selam di Australia,
terutama dalam mengatasi konflik kepentingan dan memastikan
keterlibatan aktif dari semua pihak yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.

Salah satu contoh kasus mengenai tantangan dalam


mengimplementasikan Collaborative Governance dalam
konteks kebijakan pertahanan di Indonesia adalah program
modernisasi alutsista (alat utama sistem pertahanan) TNI
44 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Angkatan Darat. Program ini memiliki tujuan untuk


memodernisasi dan memperkuat alutsista TNI AD dalam
rangka menghadapi ancaman keamanan yang semakin
kompleks.

Dalam implementasinya, program ini menghadapi


berbagai tantangan, seperti keterbatasan anggaran, kurangnya
keterlibatan industri pertahanan dalam pengembangan
teknologi, dan terbatasnya kemampuan riset dan
pengembangan dalam negeri. Untuk mengatasi tantangan
tersebut, pemerintah dan TNI AD melakukan upaya
Collaborative Governance dengan melibatkan mitra industri dan
institusi akademis.

Salah satu strategi Collaborative Governance yang


diterapkan adalah pendekatan "multi stakeholder engagement",
di mana berbagai pihak yang terkait dengan program
modernisasi alutsista, termasuk pemerintah, TNI AD, industri
pertahanan, dan lembaga riset dan pengembangan, terlibat
secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pengembangan teknologi.

Namun, proses Collaborative Governance dalam program


modernisasi alutsista TNI AD juga mengalami tantangan, seperti
konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat, perbedaan
pandangan dalam hal prioritas dan teknologi yang harus
dikembangkan, serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas
dalam proses pengadaan dan pengembangan alutsista.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah dan TNI


AD perlu terus memperkuat kerangka kerja Collaborative
Governance dalam konteks kebijakan pertahanan dan
Collaborative Governance | 45

memperkuat pengawasan dan akuntabilitas dalam proses


pengambilan keputusan dan pengembangan teknologi.
46 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Referensi:

Scott, J. W. (2017). The politics of the veil. Princeton University


Press.

McNay, L. (2018). Michel Foucault. Routledge.

Rose, N., & Miller, P. (2018). Political power beyond the state:
Problematics of government. The British Journal of
Sociology, 69(S1), 181-204.

Elden, S. (2019). Foucault's Last Decade. John Wiley & Sons.

Farahani, E. (2021). Power, Discipline and Resistance in Michel


Foucault's Thought: An Analysis of the Panopticon.
Journal of Critical Reviews, 8(1), 41-45.
Collaborative Governance | 47

BAB 4
STUDI KASUS DAN
EMPIRIS DI
INDONESIA
4.1 Kasus-kasus Relevan dalam Konteks Collaborative
Governance dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia

4.2 Evaluasi Kasus-kasus Kolaborasi dalam Konteks Kebijakan


Pertahanan di Indonesia
48 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 4
STUDI KASUS DAN EMPIRIS DI INDONESIA

4.1 Kasus-kasus Relevan dalam Konteks Collaborative


Governance dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia

ndonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan pertahanan


I yang kuat selalu berusaha untuk mengembangkan kerja sama
antara berbagai pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan
pertahanan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia
menunjukkan pentingnya implementasi Collaborative
Governance dalam konteks kebijakan pertahanan.

Collaborative Governance di Indonesia telah mulai


diterapkan dalam berbagai sektor, termasuk di sektor
pertahanan. Kolaborasi dalam konteks kebijakan pertahanan di
Indonesia menjadi semakin penting dalam beberapa tahun
terakhir. Collaborative Governance dan kebijakan pertahanan di
Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai sektor dan institusi.
Berikut beberapa contoh kasus:

- Pembangunan Alutsista

Pembangunan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista)


di Indonesia adalah salah satu contoh kasus yang relevan dalam
konteks Collaborative Governance dan Kebijakan Pertahanan di
Indonesia. Pembangunan Alutsista melibatkan berbagai pihak,
seperti pemerintah, TNI, industri pertahanan, dan masyarakat.
Collaborative Governance | 49

Kolaborasi dan koordinasi antara pihak-pihak tersebut


diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam
pembangunan Alutsista.

Dalam konteks Collaborative Governance, pemerintah


Indonesia telah menerapkan pendekatan yang lebih partisipatif
dalam proses pengadaan Alutsista. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya program modernisasi alutsista yang melibatkan
partisipasi publik dan industri pertahanan. Selain itu,
pemerintah juga telah mengadakan dialog publik dan
melakukan kolaborasi antara TNI, industri pertahanan, dan
masyarakat dalam proses pengadaan Alutsista.

Penerapan Collaborative Governance dalam pembangunan


Alutsista di Indonesia juga telah memberikan beberapa hasil
yang positif. Di antaranya adalah meningkatnya partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan
meningkatnya transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan kebijakan pertahanan. Selain itu, melibatkan
industri pertahanan dalam proses pengadaan Alutsista juga
dapat meningkatkan kualitas dan ketersediaan Alutsista yang
dibutuhkan.

Meskipun demikian, pembangunan Alutsista di Indonesia


juga menghadapi beberapa tantangan dalam implementasi
Collaborative Governance. Tantangan tersebut antara lain
kesulitan dalam membangun kepercayaan dan mencapai
konsensus di antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses
pengadaan Alutsista, dan adanya kepentingan yang berbeda-
beda di antara kelompok yang terlibat yang dapat menghambat
tercapainya konsensus dalam pengambilan keputusan.
50 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Oleh karena itu, untuk memastikan keberhasilan dalam


penerapan Collaborative Governance dalam pembangunan
Alutsista di Indonesia, diperlukan upaya yang lebih intensif dan
strategis dalam membangun kolaborasi antara pemerintah, TNI,
industri pertahanan, dan masyarakat. Hal ini meliputi
peningkatan transparansi dan akuntabilitas, peningkatan
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
dan peningkatan koordinasi dan kolaborasi antarpihak yang
terlibat. Dengan demikian, penerapan Collaborative Governance
dalam pembangunan Alutsista di Indonesia dapat berkontribusi
pada terciptanya kebijakan pertahanan yang lebih efektif dan
efisien.

Pengamanan Wilayah Perbatasan

Pengamanan wilayah perbatasan juga merupakan kasus


yang relevan dalam konteks Collaborative Governance dan
Kebijakan Pertahanan di Indonesia. Pengamanan wilayah
perbatasan melibatkan berbagai pihak, seperti TNI, Polri,
pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta. Kerja sama
antarpihak dalam pengamanan wilayah perbatasan merupakan
bentuk penerapan Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan di Indonesia.

Berikut adalah beberapa contoh penerapan Collaborative


Governance dalam pengamanan wilayah perbatasan di
Indonesia yang terjadi dalam berbagai sektor, di antaranya:

Sektor Pertanian

Dalam sektor pertanian, terdapat program pengembangan


sentra-sentra pertanian di wilayah perbatasan yang melibatkan
Collaborative Governance | 51

kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.


Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, serta
meningkatkan keamanan dan ketahanan pangan nasional.

Sektor Perikanan

Dalam sektor perikanan, terdapat program peningkatan


pengawasan dan pengelolaan sumber daya ikan di wilayah
perbatasan yang melibatkan kerja sama antara pemerintah,
masyarakat, dan nelayan. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengawasan dan
pengelolaan sumber daya ikan, serta meningkatkan
kesejahteraan nelayan di wilayah perbatasan.

Sektor Pariwisata

Dalam sektor pariwisata, terdapat program pengembangan


destinasi wisata di wilayah perbatasan yang melibatkan kerja
sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan potensi ekonomi
dan pariwisata di wilayah perbatasan, serta memperkuat
pertahanan dan keamanan nasional.

Sektor Kesehatan

Dalam sektor kesehatan, terdapat program peningkatan akses


dan kualitas pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan yang
melibatkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan
sektor kesehatan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan,
serta meningkatkan kesiapan dan respons terhadap ancaman
kesehatan di wilayah perbatasan.
52 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Sektor Pendidikan

Dalam sektor pendidikan, terdapat program peningkatan akses


dan kualitas pendidikan di wilayah perbatasan yang melibatkan
kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor
pendidikan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses
dan kualitas pendidikan di wilayah perbatasan, serta
meningkatkan kecerdasan dan keterampilan masyarakat di
wilayah perbatasan.

Keberhasilan dalam penerapan Collaborative Governance


dalam pengamanan wilayah perbatasan di Indonesia
memerlukan upaya yang lebih intensif dan strategis dalam
membangun kolaborasi antara TNI, Polri, pemerintah daerah,
masyarakat, dan sektor swasta. Hal ini meliputi peningkatan
transparansi dan akuntabilitas, peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengamanan wilayah perbatasan, dan
peningkatan koordinasi dan kolaborasi antarpihak yang terlibat.

- Program Modernisasi Alutsista

Program modernisasi Alutsista yang sedang dilaksanakan oleh


pemerintah juga merupakan kasus yang relevan dalam konteks
Collaborative Governance dan Kebijakan Pertahanan di
Indonesia. Program modernisasi Alutsista melibatkan berbagai
pihak, seperti pemerintah, TNI, industri pertahanan, dan
masyarakat. Kerja sama antarpihak dalam program modernisasi
Alutsista merupakan bentuk penerapan Collaborative
Governance dalam konteks kebijakan pertahanan di Indonesia.

- Kasus Kolaborasi antara TNI dan Universitas dalam


Program Penelitian dan Pengembangan.
Collaborative Governance | 53

Kolaborasi antara TNI dan universitas menjadi penting dalam


pengembangan penelitian dan pengembangan dalam bidang
pertahanan di Indonesia. Salah satu contoh kasus yang relevan
adalah Program Penelitian dan Pengembangan Pemantauan
Kedaulatan Laut (P3KL) yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan
Laut dan Universitas Indonesia. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan TNI dalam memantau kedaulatan
laut Indonesia.

Beberapa contoh kasus lainnya adalah kerjasama antara


pemerintah Indonesia dan PT PAL Indonesia dalam program
pembuatan kapal selam. PT PAL Indonesia merupakan
perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembuatan kapal di
Indonesia. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia
menandatangani kontrak senilai US$1,1 miliar dengan
perusahaan asal Korea Selatan untuk membeli tiga kapal selam.
Namun, kerjasama ini tidak berjalan mulus karena adanya
masalah teknis dan penerapan kebijakan off-set yang belum jelas.

Kemudian pada tahun 2016, PT PAL Indonesia bersama


dengan perusahaan asal Korea Selatan, Daewoo Shipbuilding &
Marine Engineering, menandatangani kontrak senilai US$1,2
miliar untuk membangun tiga kapal selam kelas Nagapasa.
Kerjasama ini berhasil karena dilakukan dengan Collaborative
Governance yang melibatkan pemerintah Indonesia, PT PAL
Indonesia, dan perusahaan asal Korea Selatan. Dalam kerjasama
ini, PT PAL Indonesia bertindak sebagai penyedia kebijakan dan
pelaksana program pembuatan kapal selam, sedangkan
pemerintah Indonesia bertindak sebagai pengguna kebijakan
dan pengawas program.
54 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta menjadi


penting dalam pengembangan industri pertahanan di Indonesia.
Salah satu contoh kasus yang relevan adalah pembuatan
pesawat tempur N-219 oleh PT Dirgantara Indonesia (DI) dan
PTDI. PTDI bekerja sama dengan berbagai perusahaan dari
berbagai negara, seperti Kanada dan China, dalam
pengembangan pesawat tempur ini. Selain itu, pemerintah
Indonesia juga memberikan dukungan berupa pengadaan
pesawat tempur N-219 untuk keperluan militer dan komersial.

Selanjutnya pada kasus program pembangunan alutsista


(alat utama sistem persenjataan) di Indonesia. Dalam program
ini, Collaborative Governance melibatkan pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta yang bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan alutsista di Indonesia. Contoh konkretnya
adalah program pengadaan pesawat tempur F-16 dari Amerika
Serikat dan kerjasama dengan perusahaan asal Swedia, SAAB,
dalam pembuatan pesawat tempur Gripen.

4.2 Evaluasi Kasus-kasus Kolaborasi dalam Konteks


Kebijakan Pertahanan di Indonesia

Kasus-kasus kolaborasi dalam konteks kebijakan


pertahanan di Indonesia menunjukkan bahwa penerapan
Collaborative Governance telah memberikan dampak positif
dalam pembangunan Alutsista, pengamanan wilayah
perbatasan, dan program modernisasi Alutsista. Namun, masih
terdapat beberapa tantangan yang harus diatasi dalam
penerapan Collaborative Governance di sektor pertahanan di
Indonesia. Beberapa tantangan tersebut antara lain:
Collaborative Governance | 55

- Keterbatasan koordinasi antarpihak

Salah satu tantangan dalam penerapan Collaborative


Governance di sektor pertahanan di Indonesia adalah
keterbatasan koordinasi antarpihak. Koordinasi antarpihak yang
kurang baik dapat menghambat efektivitas dan efisiensi kerja
sama dalam pembangunan Alutsista, pengamanan wilayah
perbatasan, dan program modernisasi Alutsista.

- Kurangnya partisipasi masyarakat

Kurangnya partisipasi masyarakat juga merupakan tantangan


dalam penerapan Collaborative Governance di sektor
pertahanan di Indonesia. Part

Meskipun terdapat beberapa kasus sukses dalam


implementasi Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan di Indonesia, masih terdapat beberapa
kendala yang perlu diatasi.

Salah satu kendala adalah terbatasnya kesadaran


masyarakat dan pengusaha terhadap pentingnya kolaborasi
dalam pembuatan kebijakan pertahanan. Hal ini mengakibatkan
sulitnya pengembangan kerjasama dengan sektor swasta dan
masyarakat dalam pengadaan alutsista dan program pembuatan
kapal selam.

Selain itu, perlu dilakukan evaluasi secara terus-menerus


terhadap kerjasama yang sudah dilakukan, agar dapat
diidentifikasi kelemahan dan kelebihan dari kolaborasi tersebut.
Hal ini akan membantu dalam pengembangan dan perbaikan
implementasi Collaborative Governance dalam konteks
kebijakan pertahanan di masa yang akan dating.
56 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Kolaborasi antara TNI dan pemerintah daerah menjadi


penting dalam upaya menjaga keamanan dan pertahanan
wilayah di Indonesia. Salah satu contoh kasus yang relevan
adalah Program Keamanan dan Pertahanan Wilayah (Kamdam)
yang diinisiasi oleh TNI dan pemerintah daerah di Sulawesi
Selatan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi
antara TNI dan pemerintah daerah dalam mengatasi ancaman
keamanan dan pertahanan di wilayah Sulawesi Selatan.

Kolaborasi dalam konteks kebijakan pertahanan di


Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kebijakan pertahanan. Namun, evaluasi kasus-kasus
kolaborasi perlu dilakukan untuk mengevaluasi keberhasilan
dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
Collaborative Governance | 57

Referensi

Ardianto, E. (2015). Peran media sosial dalam kampanye militer


TNI. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(1), 1-19.

Azis, R. A. (2020). Civil-military relations in Indonesia: A study


on the influence of the military on politics. Journal of
Southeast Asian Studies, 25(3), 291-308.

Djajadiningrat, T. R. (2018). An Analysis of Collaborative


Governance Model in Indonesian Local Government: A
Case Study of Pasuruan City. European Research Studies
Journal, 21(2), 298-314.

Hastuti, A. D., & Asmara, Y. P. (2017). Collaborative governance


dalam pembangunan infrastruktur nasional. Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora, 6(1), 41-53.

Mulya, T. S., & Ananda, D. A. (2020). Civil society's roles in


promoting maritime security in Indonesia. Asia Pacific
Journal of Public Administration, 42(4), 289-300.

Prabowo, H., & Utomo, Y. A. (2018). The role of Indonesian


military in disaster management: An analysis of
collaborative governance. Journal of Disaster Research,
13(3), 426-436.

Putri, V. P., & Permatasari, E. (2020). The role of women in


defense sector: Case study of Indonesian women's army
corps (Kowad). Journal of Gender Studies, 29(4), 406-416.

Rakhmat, J., & Ratnawati, A. (2019). The role of civil society


organizations in promoting transparency and
58 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

accountability in the defense sector in Indonesia. Journal


of Governance and Public Policy, 4(1), 83-95.

Rizaldi, H., & Prabowo, H. (2018). Collaborative governance in


military reform: A case study of Indonesian military's
transformation. Journal of Military and Strategic Studies,
20(1), 77-102.

Yani, M. (2017). Role of social media in Indonesia's military


public relations: A case study of the Indonesian Army.
Journal of Political Marketing, 16(1-2), 144-161.
Collaborative Governance | 59

BAB 5
GOOD GOVERNANCE
SEKTOR
PERTAHANAN
5.1 Pendahuluan
5.2 Pengawasan Parlemen
60 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 5
GOOD GOVERNANCE SEKTOR
PERTAHANAN

5.1 Pendahuluan
embinaan integritas dan pengurangan korupsi sangat
P penting dalam membangun institusi negara yang kuat dan
memajukan demokrasi berdasarkan supremasi hukum.
Manifestasi korupsi yang ekstrem tidak hanya merusak sistem
pemerintahan yang demokratis, tetapi juga melemahkan
kemampuan pertahanan dan keamanan suatu negara serta
mengurangi kepercayaan dan penerimaan militer secara umum.
Sebagai sektor yang memiliki akses istimewa ke informasi
rahasia, pasokan senjata, dan budaya kerahasiaan yang
mendarah daging, sektor pertahanan sangat rentan terhadap
malpraktek administratif dan politik seperti korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, dan bahkan kooptasi oleh
kejahatan terorganisir. Hal ini telah diakui oleh Transparency
International, yang mencatat bahwa sektor pertahanan
merupakan salah satu sektor pemerintah di mana korupsi
tersebar luas.
Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat integritas dan
mengurangi korupsi di sektor pertahanan sangat penting dan
perlu mendapat perhatian serius. Hal ini dapat dilakukan
melalui berbagai cara, seperti memperkuat sistem pengawasan
Collaborative Governance | 61

dan akuntabilitas, meningkatkan transparansi dalam NATO


telah menekankan bahwa Aliansi adalah komunitas nilai-nilai
yang berkomitmen pada prinsip-prinsip kebebasan individu,
demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Ini
tercermin dalam Program Kemitraan untuk Perdamaian NATO
dan program kemitraan lainnya. Negara-negara anggota baru
yang potensial diharapkan untuk mematuhi prinsip-prinsip
dasar ini.
Pengembangan program pemberantasan korupsi di sektor
pertahanan semakin penting untuk membangun institusi
pertahanan yang efisien dan transparan yang mempromosikan
demokrasi dan supremasi hukum. Namun, hanya ada sedikit
analisis yang mendalam tentang faktor-faktor yang
menyebabkan atau menciptakan risiko korupsi dan perilaku
tidak etis di sektor pertahanan.
Untuk mengatasi masalah ini, NATO telah meluncurkan
proyek Building Integrity Initiative (BI) pada tahun 2007 dan
memperluasnya pada 2010 dengan dukungan dari beberapa
negara, termasuk Norwegia, Belgia, Polandia, Swiss, dan Inggris.
Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan alat praktis untuk
mengurangi risiko korupsi dalam operasi yang dipimpin NATO,
termasuk dukungan untuk penerapan kebijakan pertama
Afghanistan NATO dan Paket Integritas Bangunan yang
disesuaikan untuk Eropa Tenggara.
Salah satu langkah awal dalam program NATO yang
diusulkan untuk pembangunan integritas di Eropa Tenggara
adalah proyek Norwegia di mana laporan ini merupakan bagian
integral dari proyek tersebut. Proyek ini dilaksanakan dalam
kerangka NATO BI dan telah melibatkan perwakilan Staf
62 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Internasional NATO (NATO IS) dan Transparency International


UK (TI), serta diskusi dengan perwakilan jaringan anti-korupsi
OECD untuk Eropa Timur dan Asia Tengah, SIGMA, dan
GRECO. Tujuan dari proyek ini adalah untuk melakukan analisis
spesifik negara yang mendalam tentang faktor-faktor yang
menyebabkan atau menciptakan risiko korupsi/perilaku tidak
etis di sektor pertahanan di negara-negara Eropa Tenggara.
dokumen ini disusun sebagai panduan penilaian untuk analisis
kebutuhan di sektor pertahanan di negara-negara Eropa
Tenggara. Langkah pertama yang penting dalam analisis
kebutuhan adalah mengidentifikasi standar normatif
internasional yang berlaku untuk tata pemerintahan yang baik
sebelum memeriksa sejauh mana standar ini dilembagakan di
negara yang bersangkutan, dan sebelum mencari langkah-
langkah yang mungkin untuk mengatasi kesenjangan yang
ditemukan. Dokumen ini memperkenalkan latar belakang dan
isi standar dan prinsip internasional untuk tata pemerintahan
yang baik di sektor pertahanan, dan diharapkan dapat menjadi
panduan bagi semua pihak yang ingin melakukan analisis
kebutuhan serupa. Selain itu, laporan ini dapat berguna untuk
penerapan praktis Kuesioner Penilaian Diri NATO dan Proses
Tinjauan Sejawat.
Proses Tinjauan Sejawat adalah salah satu alat penting yang
digunakan oleh NATO untuk memantau kemajuan dalam
penerapan program BI. Dengan menerapkan seperangkat tolok
ukur konsolidasi sebagai dasar untuk rekomendasi, proses ini
dapat memberikan masukan yang berharga bagi negara-negara
Eropa Tenggara dalam upaya mereka untuk memperkuat tata
pemerintahan yang baik di sektor pertahanan.
Collaborative Governance | 63

Laporan ini diharapkan dapat membantu memperkuat


integritas dan mengurangi risiko korupsi dalam sektor
pertahanan di negara-negara Eropa Tenggara, serta
mempromosikan demokrasi dan supremasi hukum dalam
institusi pertahanan.

5.2 Pengawasan Parlemen


Pengaturan pengawasan parlemen sangat penting untuk
membangun integritas di sektor keamanan dan
mempromosikan demokrasi dan supremasi hukum. Ada
beberapa alasan mengapa pengawasan parlemen penting untuk
membangun integritas di sektor keamanan.
Pertama-tama, pengawasan parlemen adalah cara
demokratis utama untuk meminta pertanggungjawaban
pemerintah atas tindakan mereka. Karena organisasi sektor
keamanan menggunakan sebagian besar anggaran negara,
parlemen tetap perlu memantau penggunaan sumber daya
negara yang langka secara efektif dan efisien. Ini juga menjadi
tugas parlemen untuk memastikan bahwa undang-undang
tersebut tidak tetap menjadi huruf mati, tetapi dilaksanakan
sepenuhnya.
Kedua, pengawasan parlemen dapat mencegah
konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, termasuk
korupsi dan bentuk-bentuk perilaku tidak etis lainnya. Ini
penting untuk memastikan bahwa keamanan nasional
dilindungi dengan cara yang transparan dan bertanggung jawab.
Ketiga, pengawasan parlemen dapat meningkatkan
kesadaran publik tentang sektor pertahanan dan dengan
demikian meningkatkan kesempatan untuk debat yang
64 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

terinformasi dan terbuka mengenai isu-isu pertahanan. Anggota


parlemen berhubungan secara teratur dengan penduduk dan
memiliki posisi yang baik untuk memastikan pandangan mereka.
Mereka dapat mengangkat kekhawatiran warga di parlemen
dan memastikan bahwa kekhawatiran ini tercermin dalam
undang-undang dan kebijakan keamanan.
Dalam konteks sektor pertahanan, pengawasan parlemen
juga dapat membantu memperkuat integritas dan mengurangi
risiko korupsi. Dengan adanya pengawasan yang efektif,
parlemen dapat memastikan bahwa pengelolaan anggaran
pertahanan dilakukan dengan transparan dan bertanggung
jawab, serta memastikan bahwa kontrak pertahanan diberikan
secara adil dan kompetitif.
Secara keseluruhan, pengawasan parlemen yang efektif
sangat penting dalam membangun integritas di sektor
keamanan dan mempromosikan demokrasi dan supremasi
hukum.
A. Pengawasan Parlemen Standar Normatif.
Tidak ada standar yang disepakati secara internasional di
bidang pengawasan demokrasi dan parlementer, karena
keamanan dan pertahanan dianggap termasuk dalam wilayah
kedaulatan nasional. Hubungan sipil-militer tidak diatur secara
rinci oleh acquis communautaire. Namun, Uni Eropa telah
mengambil posisi bahwa negara-negara kandidat harus
mengatur hubungan sipil-militer mereka agar sesuai dengan
kriteria politik untuk aksesi yang diadopsi oleh Dewan Eropa
Kopenhagen pada tahun 1993. Beberapa standar regional ada,
seperti Kode Etik OSCE menegaskan kewajiban negara adalah
sebagai berikut:
Collaborative Governance | 65

• Menjaga angkatan bersenjata di bawah kendali demokrasi


yang efektif melalui otoritas yang diberi legitimasi
demokratis.
• Memastikan persetujuan legislatif atas anggaran
pertahanan dan transparansi serta akses publik terhadap
informasi yang berkaitan dengan angkatan bersenjata.

Inter-Parliamentary Union (IPU) dan Geneva Center for the


Democratic Control of Armed Forces (DCAF) menekankan
prinsip-prinsip berikut untuk hubungan sipil-militer yang
demokratis:
• Negara adalah satu-satunya aktor dalam masyarakat
yang memiliki monopoli kekuatan yang sah; layanan
keamanan bertanggung jawab kepada otoritas demokrasi
yang sah.
• Parlemen berdaulat dan meminta pertanggungjawaban
eksekutif atas pengembangan, pelaksanaan, dan
peninjauan kembali kebijakan pertahanan dan keamanan.
• Parlemen memiliki peran konstitusional yang unik dalam
mengesahkan pengeluaran pertahanan dan keamanan.
• Parlemen memainkan peran penting sehubungan dengan
menyatakan dan mencabut keadaan darurat atau keadaan
perang.
• Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan
supremasi hukum berlaku untuk semua cabang
pemerintahan dan oleh karena itu juga untuk sektor
keamanan.
66 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Kekuatan Konstitusi dan Hukum.


Parlemen biasanya dapat menggunakan berbagai kekuasaan
ketika mengawasi sektor pertahanan, yaitu. pengikut:
Kekuatan Umum
• Untuk memulai legislasi
• Untuk mengubah atau menulis ulang undang-undang
• Untuk menanyai anggota eksekutif
• Memanggil anggota eksekutif untuk bersaksi di rapat
parlemen
• Memanggil staf militer dan pegawai negeri untuk
bersaksi di rapat parlemen
• Memanggil ahli sipil untuk bersaksi di rapat parlemen
• Untuk mendapatkan dokumen dari eksekutif
• Untuk melakukan penyelidikan parlemen
• Mengadakan audiensi

Kontrol Anggaran
• Akses ke semua dokumen anggaran
• Hak untuk meninjau dan mengubah dana anggaran
pertahanan
• Hak untuk menyetujui/menolak setiap proposal
anggaran pertahanan tambahan

Pengadaan/pelepasan aset/penjualan senjata, transfer senjata


• Kewajiban eksekutif untuk sepenuhnya
menginformasikan parlemen tentang keputusan
mengenai pengadaan/pelepasan aset/penjualan senjata,
transfer senjata
• Hak untuk menyetujui/menolak kontrak
• Tinjauan tahapan pengadaan berikut ini:
Collaborative Governance | 67

o Menentukan kebutuhan peralatan


o Membandingkan dan memilih pabrikan
o Menilai tawaran untuk kompensasi dan off-set

Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Umum: hak untuk


menyetujui/menolak
• konsep kebijakan keamanan
• konsep manajemen krisis
• struktur kekuatan
• strategi/doktrin militer

Personil pertahanan, manajemen dan organisasi


• Hak untuk menyetujui/menolak rencana personalia
• Hak untuk memperbaiki plafon tenaga kerja
• Hak untuk menyetujui/menolak atau hak untuk
dikonsultasikan dalam pengangkatan militer tertinggi
(seperti kepala staf)
• Hak untuk mempertimbangkan organisasi internal sektor
pertahanan

Karena ketentuan konstitusional memiliki status hukum


tertinggi, penting untuk mencantumkan kekuasaan parlementer
mengenai sektor keamanan dalam konstitusi. Konstitusi tidak
dapat dengan mudah diubah; setiap reformasi semacam itu
umumnya membutuhkan mayoritas yang memenuhi syarat di
parlemen. Oleh karena itu konstitusi merupakan cara yang
efektif untuk melindungi kekuasaan parlemen di bidang sensitif
itu. Kekuasaan tersebut dapat diperkuat lebih lanjut oleh
undang-undang khusus dan melalui aturan prosedur
parlementer.
68 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Sangat penting bagi parlemen untuk menerima informasi


yang akurat dan tepat waktu tentang niat dan keputusan
pemerintah mengenai masalah keamanan dan sektor keamanan.
Parlemen tidak akan memiliki kasus yang kuat jika pemerintah
hanya memberikan penjelasan setelah mencapai keputusan
akhir. Dalam situasi seperti itu, parlemen akan dihadapkan pada
fait accompli dan tidak memiliki alternatif lain selain menyetujui
atau menolak keputusan pemerintah.

B. Mekanisme Parlemen yang Diterapkan pada Sektor


Pertahanan.
Semua sistem demokrasi memberi parlemen berbagai cara
untuk mendapatkan kembali informasi untuk mengendalikan
kebijakan, mengawasi administrasi, melindungi individu, atau
mengungkap dan menghilangkan penyalahgunaan dan
ketidakadilan. Tiga kemungkinan hukum yang umum bagi
parlemen untuk memperoleh informasi dari pemerintah adalah:
• Debat parlemen
• Pertanyaan parlemen dan interpelasi
• Pengawasan parlemen

Debat parlemen tentang masalah keamanan memberikan


peluang kunci untuk bertukar pendapat dan mengumpulkan
informasi penting tentang fakta dan niat pemerintah. Secara
umum, debat parlementer dapat terjadi dalam lima jenis situasi:
• Setelah presentasi oleh eksekutif dari proposal anggaran
pertahanan tahunannya
• Selanjutnya pernyataan resmi atau tidak resmi oleh menteri
terkait seperti menteri pertahanan atau menteri luar negeri
Collaborative Governance | 69

• Sehubungan dengan tinjauan pertahanan nasional, penyajian


buku putih pertahanan atau kebijakan pertahanan nasional
utama lainnya
• Sehubungan dengan program pemerintah, yang terutama
dikeluarkan setelah pemilu
• Setiap masalah keamanan utama atau bencana.

Salah satu mekanisme yang paling banyak digunakan


untuk memperoleh informasi konkret tentang pekerjaan
pemerintah dan mungkin untuk mengekspos
maladministrasi/penyalahgunaan dalam badan-badan
pemerintah dan mencari reorientasi kebijakan pemerintah.
Pertanyaan dapat diajukan secara tertulis kepada pemerintah
atau secara lisan pada sidang parlemen khusus.

Faktor-faktor berikut berkontribusi pada efektivitas


pertanyaan parlemen:
• Kemungkinan bagi anggota parlemen untuk mengajukan
pertanyaan pelengkap setiap kali mereka tidak puas dengan
jawabannya atau perlu klarifikasi lebih lanjut.
• Kemungkinan bagi anggota parlemen untuk memulai debat
tentang isu-isu yang diangkat selama jam tanya jawab.
• Kemauan anggota parlemen untuk memanfaatkan
kemungkinan prosedural untuk mengajukan pertanyaan.
• Kemungkinan bagi publik untuk menghadiri waktu tanya
jawab parlemen, atau mengikutinya di radio atau televisi.
• Publikasi pertanyaan dan jawaban dalam dokumen yang
dapat diakses oleh publik.
70 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Baik sebagai bagian dari atau sebagai pelengkap


mekanisme yang disebutkan di atas, parlemen dapat meneliti
pekerjaan eksekutif dengan meninjau laporan yang disiapkan
oleh pemerintah atau badan publik independen dan dengan
melakukan penyelidikan khusus. Kekuasaan inti parlemen
biasanya mencakup kekuasaan untuk:
• Memilih topik dan ruang lingkup penyelidikan parlemen.
• Melakukan kunjungan ke pangkalan militer dan tempat
layanan keamanan lainnya.
• Mengumpulkan semua informasi yang relevan, termasuk
dokumen rahasia dan rahasia, dari kepresidenan,
administrasi publik atau staf umum.
• Mengambil bukti di bawah sumpah dari anggota
kepresidenan, administrasi publik atau militer serta
masyarakat sipil.
• Menyelenggarakan audiensi publik atau tertutup.

C. Faktor Kelembagaan dan Politik.


Struktur komite yang dikembangkan dengan baik sangat
penting jika parlemen ingin memberikan pengaruh nyata pada
eksekutif dalam pengawasan sektor pertahanan. Pengawasan
parlementer atas sektor pertahanan melibatkan beberapa komite
yang dapat ditemukan dengan nama yang berbeda di parlemen
yang berbeda, tergantung pada struktur dan tugas parlemen
tersebut. Beberapa contoh dari komite yang terlibat dalam
pengawasan sektor pertahanan antara lain:
Collaborative Governance | 71

1) Komite Pertahanan: Komite ini bertanggung jawab untuk


memantau kebijakan pertahanan dan keamanan, serta
anggaran pertahanan dan pengelolaannya.
2) Komite Anggaran: Komite ini bertanggung jawab untuk
memantau dan menyetujui anggaran pemerintah,
termasuk anggaran sektor pertahanan.
3) Komite Intelijen: Komite ini bertanggung jawab untuk
memantau kegiatan intelijen dan keamanan nasional.
4) Komite Luar Negeri: Komite ini bertanggung jawab untuk
memantau kebijakan luar negeri dan hubungan
internasional, termasuk kebijakan pertahanan dan
keamanan.
5) Komite Audit: Komite ini bertanggung jawab untuk
memantau keuangan publik dan mengevaluasi
penggunaan dana publik, termasuk anggaran sektor
pertahanan.

Struktur komite yang dikembangkan dengan baik harus


memastikan bahwa setiap komite memiliki mandat yang jelas
dan tanggung jawab yang jelas dalam pengawasan sektor
pertahanan. Komite harus memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk memahami isu-isu
pertahanan dan keamanan, serta memiliki akses ke informasi
yang diperlukan untuk melakukan pengawasan yang efektif.
Selain itu, komite harus dapat bekerja sama dan
berkoordinasi dengan komite lain dan memiliki mekanisme
untuk berbagi informasi dan laporan yang relevan. Ini akan
memastikan bahwa semua aspek pengawasan sektor pertahanan
tercakup dan tidak ada yang terlewatkan.
72 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Secara keseluruhan, struktur komite yang dikembangkan


dengan baik sangat penting dalam memastikan pengawasan
parlementer yang efektif atas sektor pertahanan dan
membangun integritas di sektor tersebut.Untuk tujuan penilaian
ini, komite-komite berikut memiliki kepentingan khusus:
• Komite Pertahanan, yang umumnya menangani semua
masalah yang berkaitan dengan sektor pertahanan.
• Komite anggaran atau keuangan, yang memiliki keputusan
akhir tentang anggaran semua organisasi sektor pertahanan;
mungkin publik komite akun yang meninjau laporan audit
untuk seluruh anggaran nasional termasuk anggaran
pertahanan.
• Komite atau sub-komite untuk badan intelijen dan hal-hal
terkait, yang seringkali bersidang secara tertutup.
• Komite industri dan perdagangan, yang secara khusus
relevan dalam hal pengadaan dan perdagangan senjata.
• Komite antikorupsi, yang menangani isu-isu terkait
integritas untuk semua lembaga negara, termasuk badan-
badan sektor pertahanan.

Tingkat kekuasaan dan keahlian yang tersedia bagi sebuah


komite akan sangat penting untuk menjalankan mandatnya
secara efektif. Fungsi-fungsi kunci yang mungkin dari sebuah
komite parlementer mengenai isu-isu pertahanan mungkin
adalah:

Kebijakan keamanan.
• Untuk memeriksa dan melaporkan inisiatif kebijakan utama
yang diumumkan oleh kementerian pertahanan.
Collaborative Governance | 73

• Untuk memeriksa menteri pertahanan secara berkala tentang


pelaksanaan tanggung jawab kebijakannya.
• Untuk mengawasi kepatuhan kementerian pertahanan
terhadap undang-undang kebebasan akses informasi, dan
kualitas penyediaan informasinya kepada parlemen dengan
cara apa pun.
• Menelaah petisi dan pengaduan personel militer dan sipil
mengenai bidang keamanan.

Perundang-undangan.
• Mempertimbangkan dan melaporkan setiap rancangan
undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah dan
dirujuk oleh parlemen.
• Memprakarsai undang-undang baru dengan meminta
menteri untuk mengusulkan undang-undang baru atau
dengan membuat undang-undang itu sendiri.

Pengeluaran.
• Untuk memeriksa dan melaporkan perkiraan utama dan
pengeluaran tahunan kementerian pertahanan.
• Mempertimbangkan setiap perkiraan tambahan yang
disajikan oleh kementerian pertahanan dan melaporkan
kepada parlemen kapan pun ini memerlukan pertimbangan
lebih lanjut.
• Mempertimbangkan laporan audit mengenai penggunaan
dana di sektor pertahanan dan bila diperlukan.
a) Lapor ke parlemen.
74 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

b) Meminta menteri untuk mengambil langkah-


langkah untuk mengatasi kemungkinan
malpraktek.
c) Memerintahkan otoritas yang berwenang
untuk memerintahkan audit lebih lanjut.

Pengadaan/pelepasan aset/penjualan senjata, transfer senjata.


• Untuk memeriksa dan melaporkan keputusan/keputusan
yang direncanakan mengenai pengadaan/pelepasan
aset/penjualan senjata, transfer senjata.
• Memeriksa dan melaporkan kontrak yang diusulkan.
• Tinjauan tahapan pengadaan berikut ini:
a) Menentukan kebutuhan peralatan.
b) Membandingkan dan memilih produsen.
c) Menilai tawaran kompensasi dan off-set.

Personil pertahanan, manajemen dan organisasi.


• Untuk mempertimbangkan dan jika sesuai untuk
melaporkan setiap penunjukan utama yang dibuat oleh
otoritas eksekutif yang relevan (militer terkemuka Panglima,
PNS).
• Meninjau dan melaporkan rencana personalia dan plafon
tenaga kerja.
• Mempertimbangkan organisasi internal dan manajemen
sektor pertahanan, jika relevan melalui badan-badan
eksternal terkait ke parlemen, dan menarik perhatian
parlemen untuk kemungkinan malfungsi.

Pengawasan parlemen yang efektif atas sektor keamanan


membutuhkan keahlian dan sumber daya yang memadai di
Collaborative Governance | 75

dalam parlemen. Ada beberapa isu kunci yang harus


diperhitungkan dalam hal ini.
Pertama-tama, jumlah, tingkat kapasitas, dan stabilitas staf
sangat penting dalam memastikan pengawasan parlemen yang
efektif. Parlemen harus memiliki jumlah staf yang cukup dan
kapasitas penelitian yang memadai untuk memahami isu-isu
yang kompleks dan teknis yang terkait dengan sektor keamanan.
Staf harus memiliki akses ke data dan dokumentasi pendukung
yang relevan dan kapasitas untuk memanggil para ahli serta
mengadakan dengar pendapat dan melakukan penyelidikan.
Kedua, adanya kemauan politik dan kemampuan anggota
parlemen untuk menggunakan mekanisme yang mereka miliki
juga merupakan elemen kunci dalam pengawasan parlemen
yang efektif. Bahkan jika pengawasan parlemen diatur secara
memadai dan badan parlemen/anggota parlemen individu
memiliki sumber daya dan keahlian yang memadai, pengawasan
parlemen yang efektif tidak mungkin terjadi tanpa dukungan
politik yang kuat. Parlemen harus dapat mempertahankan
otoritas mereka dan mengatasi tekanan politik atau tekanan lain
yang mungkin menghalangi upaya mereka untuk melakukan
pengawasan yang efektif.
Ketiga, kapasitas penelitian yang memadai dan akses ke
data dan dokumentasi pendukung yang relevan juga sangat
penting dalam memastikan pengawasan parlemen yang efektif.
Parlemen harus memiliki kapasitas untuk memperoleh dan
memperbanyak data dan dokumentasi pendukung yang
diperlukan untuk melakukan pengawasan yang efektif. Staf
parlemen harus memiliki keterampilan dan kapasitas penelitian
76 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

yang memadai untuk memahami isu-isu yang terkait dengan


sektor keamanan.
Secara keseluruhan, pengawasan parlemen yang efektif
atas sektor keamanan membutuhkan sumber daya dan keahlian
yang memadai di dalam parlemen. Parlemen harus memiliki staf
yang memadai dan kapasitas penelitian yang memadai, serta
akses ke data dan dokumentasi pendukung yang relevan.
Namun, elemen kunci lain dalam pengawasan parlemen yang
efektif adalah adanya kemauan politik dan kemampuan anggota
parlemen untuk menggunakan mekanisme yang mereka
miliki.Kemauan/kemampuan politik untuk mengawasi dinas
keamanan secara efektif ditentukan oleh berbagai faktor, antara
lain sebagai berikut:

- Disiplin partai: karena kepentingan anggota parlemen


dari partai yang memerintah untuk mempertahankan
kekuasaan eksekutif, mereka memiliki kecenderungan
untuk menahan diri dari kritik publik terhadap eksekutif.
Dengan demikian, mekanisme khusus untuk meminta
pertanggungjawaban menteri/pemerintah sebagian besar
menjadi tidak efektif karena dominasi loyalitas partai atas
tugas-tugas formal anggota parlemen. Namun, fitur
sistem partai/parlemen/politik dapat memperkuat atau
melemahkan ketergantungan anggota parlemen pada
kepemimpinan partai dan karenanya peluang dan
kecenderungan mereka untuk mempertanyakan
keputusan kepemimpinan.
Collaborative Governance | 77

- Kepentingan politik: bisa dibilang, di sebagian besar


negara pemilih tidak terlalu tertarik dengan masalah
keamanan. Selain itu, politisi akan lebih tertarik untuk
mendiskusikan hal-hal yang berorientasi pada masa
depan daripada membahas masalah-masalah masa lalu
yang mungkin telah kehilangan minat topiknya. Oleh
karena itu, anggota parlemen mungkin kurang motivasi
untuk mencurahkan banyak perhatian untuk memeriksa
pekerjaan pemerintah di bidang pertahanan dan hal-hal
lain.

- Pertimbangan keamanan (nyata atau imajiner) dapat


membuat anggota parlemen yang bertanggung jawab atas
masalah pertahanan enggan untuk mengungkapkan,
berbagi dan secara terbuka mendiskusikan temuan dan
pengamatan yang telah mereka lakukan.

Sebagai akibat dari faktor-faktor tersebut, mekanisme


akuntabilitas parlemen biasanya akan diterapkan secara pasif.
Hanya ketika partai-partai mengantisipasi bahwa perilaku
seperti itu akan merusak prospek pemilu mereka, maka mereka
siap untuk meminta pertanggungjawaban anggotanya di kantor
publik.
78 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Referensi:

Alesina, A., & Tabellini, G. (2019). Parliaments and Governments


Database: Parliamentary Oversight. Retrieved from:
https://parlimentsgovernments.github.io/parliamentary
-oversight.html
International Institute for Strategic Studies. (2018). Parliament
and Security: Ten Years of Parliamentary Engagement in
Defence and Security in the UK. London: International
Institute for Strategic Studies.
Nodia, G. (2019). The Role of Parliament in Defence and Security
Policy. NATO Parliamentary Assembly.
Sardjito, Aris, 2022, Good Governance Sektor Pertahanan Jilid 3,
Aksara Global Akademia, Indonesia
Stoddard, A., & Fritzen, S. (2019). Legislating Security: An
Overview of Parliamentary Oversight of Security and
Intelligence Services. Ottawa: Library of Parliament.
Transparency International Defence and Security Programme.
(2021). Parliament and Defence Budget Oversight: A
Comparative Study of 10 Countries. London:
Transparency International.
Collaborative Governance | 79

BAB 6
KEBIJAKAN ANTI
KORUPSI
6.1 Pendahuluan

6.2 Strategi Anti-Korupsi

6.3 Kerangka Hukum

6.4 Integrasi ke dalam sistem integritas nasional yang lebih luas


6.5 Konflik Kepentingan
6.6 Kebebasan Akses Informasi dan Transparansi Anggaran
Pertahanan
6.7 Audit Internal dan Eksternal, Inspektur Jenderal, dan Kontrol
Badan Intelijen
6.8 Institusi Ombudsman
6.9 Pengadaan Publik dan Pembuangan Aset
80 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 6
KEBIJAKAN ANTI KORUPSI

6.1 Pendahuluan
ebijakan anti korupsi penting untuk membangun integritas.
K Banyak laporan dan studi tentang korupsi di negara-negara
yang tercakup dalam studi ini menunjukkan “kesenjangan
implementasi” sebagai masalah terkait korupsi yang paling akut,
yang mengatakan bahwa kerangka legislatif biasanya dalam
bentuk yang relatif memuaskan tetapi praktiknya adalah sesuatu
yang lain.
Kesenjangan ini sebagian besar disebabkan oleh tidak
memadainya kebijakan antikorupsi. Hal ini pada gilirannya
merusak reputasi politisi karena mereka tampaknya tidak
tertarik untuk memerangi korupsi sementara mereka perlu
memberikan kepemimpinan dalam upaya ini. Dapat
diperdebatkan, di negara-negara di mana tingkat korupsinya
tinggi, mungkin perlu mengembangkan anti-korupsi khusus.
kebijakan korupsi. Kebijakan tersebut – dalam bentuk program
atau strategi – dapat memberikan pesan yang jelas tentang
prioritas pemerintah, dan dengan demikian menjadi alat bagi
pemerintah untuk mengkomunikasikan pekerjaan anti korupsi
mereka dan untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan
kementerian sektoral dan pemangku kepentingan lainnya.
Collaborative Governance | 81

Di negara-negara Eropa Tenggara, organisasi internasional


dan lembaga donor termasuk yang pertama mengangkat isu
korupsi. Mereka sering memberikan insentif yang kuat untuk
perubahan melalui program bantuan atau kondisi untuk
keanggotaan (misalnya proses aksesi UE). Sementara insentif
dan dukungan seperti itu bisa sangat menarik, kepemimpinan
eksternal dari agenda anti-korupsi saja tidak berkelanjutan
dalam jangka panjang; itu harus didukung oleh kekuatan politik
dalam negeri.
Program partai politik, program pemerintah, dan
pernyataan politisi, media dan masyarakat sipil tidak menjadi
pusat perhatian organisasi internasional di mana negara-negara
yang bersangkutan bercita-cita untuk menjadi anggota.
Dokumen dan pernyataan ini mungkin lebih akurat
mencerminkan prioritas dan keprihatinan politisi yang
sebenarnya daripada kebijakan yang dikembangkan atas inisiatif
dan dengan panduan dari organisasi internasional.

6.2 Strategi Anti-Korupsi


Strategi antikorupsi merupakan dokumen kebijakan
penting dalam memerangi korupsi di negara-negara di seluruh
dunia. Menurut rencana aksi antikorupsi Istanbul, strategi
antikorupsi adalah dokumen kebijakan yang menganalisis
masalah, menetapkan tujuan, mengidentifikasi area tindakan
utama seperti pencegahan dan penindasan korupsi dan
pendidikan publik, serta menetapkan mekanisme implementasi.
Strategi ini dapat didukung oleh rencana aksi yang menyediakan
langkah-langkah implementasi khusus, mengalokasikan
tanggung jawab, menetapkan jadwal, dan menyediakan
82 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

prosedur pemantauan. Strategi dan rencana aksi dapat diadopsi


oleh parlemen, presiden, atau kepala pemerintahan sebagai
kebijakan nasional.
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan
Korupsi (UNCAC), setiap negara pihak harus mengembangkan
dan menerapkan kebijakan anti-korupsi yang efektif dan
terkoordinasi sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya. Prinsip-prinsip ini meliputi supremasi hukum,
pengelolaan urusan publik dan properti publik yang tepat,
integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Meskipun tidak ada
kesepakatan internasional yang secara eksplisit mewajibkan
negara untuk mengembangkan strategi antikorupsi, Group of
States against Corruption (GRECO) merekomendasikan
sejumlah negara untuk mengembangkan strategi nasional anti
korupsi.
Secara tidak langsung, UNCAC memberikan panduan
tentang isi dan desain strategi anti korupsi. Pedoman
penyusunan dokumen tersebut juga telah disiapkan oleh
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD),
GRECO, dan Transparency International (TI) berdasarkan
evaluasi terhadap sejumlah strategi nasional antikorupsi.
Strategi antikorupsi merupakan pernyataan penting dari
kemauan politik dan arah kebijakan. Mereka dapat menjadi alat
yang berguna untuk memobilisasi upaya pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya, untuk menyusun proses
pengembangan kebijakan, dan untuk memastikan pemantauan
implementasi kebijakan. Oleh karena itu, strategi antikorupsi
adalah alat yang penting dalam memerangi korupsi di negara-
negara di seluruh dunia.Menurut Transparency International
Collaborative Governance | 83

Anti-corruption strategies (ACSs) strategi yang dilakukan


adalah:
• Memiliki kepemilikan lokal.
• Memenuhi kebutuhan lokal.
• Komprehensif dan seimbang.
• Termasuk pengaturan untuk implementasi dan pemantauan
dan, mungkin yang paling penting.
• Didorong oleh kemauan politik.

Strategi anti-korupsi (ACS) merupakan dokumen


kebijakan penting yang bertujuan untuk menganalisis masalah
korupsi, menetapkan tujuan, mengidentifikasi area tindakan
utama (seperti pencegahan dan penindakan korupsi, dan
pendidikan publik), serta menetapkan mekanisme implementasi.
ACS dapat didukung oleh rencana aksi yang memberikan
langkah-langkah implementasi yang spesifik, mengalokasikan
tanggung jawab, menetapkan jadwal, dan memberikan prosedur
pemantauan. Strategi dan rencana aksi tersebut dapat diadopsi
oleh parlemen, presiden, atau kepala pemerintahan sebagai
kebijakan nasional. ACS merupakan pernyataan penting dari
kemauan politik dan arah kebijakan. Mereka dapat menjadi alat
yang berguna untuk memobilisasi upaya pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya, untuk menyusun proses
pengembangan kebijakan, dan memastikan pemantauan
implementasi kebijakan.
Tidak ada kesepakatan internasional yang secara eksplisit
mewajibkan negara untuk mengembangkan ACS. Namun,
menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan
Korupsi (UNCAC), "Setiap Negara Pihak harus, sesuai dengan
84 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, mengembangkan dan


menerapkan atau memelihara kebijakan anti-korupsi yang
efektif dan terkoordinasi yang mempromosikan partisipasi
masyarakat dan mencerminkan prinsip-prinsip supremasi
hukum, pengelolaan urusan publik dan properti publik yang
tepat, integritas, transparansi, dan akuntabilitas."
Group of States against Corruption (GRECO)
merekomendasikan beberapa negara untuk mengembangkan
strategi nasional anti-korupsi. Secara tidak langsung, UNCAC
memberikan panduan tentang isi dan desain ACS. Pedoman
untuk penyusunan dokumen tersebut juga telah disiapkan oleh
OECD, GRECO, dan Transparency International (TI),
berdasarkan evaluasi beberapa strategi nasional anti-korupsi.
ACS harus memiliki kepemilikan lokal dan memenuhi
kebutuhan lokal. Mereka harus komprehensif dan seimbang,
termasuk pengaturan untuk implementasi dan pemantauan, dan,
mungkin yang paling penting, didorong oleh kemauan politik.
Lebih khusus TI mengamati: “Reformasi yang didorong
oleh donor gagal, ketika mereka tidak memiliki kepemilikan
lokal, ketika masyarakat dan pemerintah tidak menerima
reformasi. Sikap masyarakat terhadap korupsi dan dukungan
publik terhadap reformasi antikorupsi sangat penting untuk
memastikan keberlanjutan dan konsistensi reformasi. Jika
pemerintah melibatkan perwakilan masyarakat sipil dalam
pengembangan, implementasi dan pemantauan ACS, maka hal
itu dapat memastikan partisipasi publik yang nyata.
ACS harus memenuhi kebutuhan lokal dan
mempertimbangkan spesifik dan realitas negara. Analisis
diagnostik untuk mengidentifikasi tingkat dan jenis korupsi
Collaborative Governance | 85

yang lazim di negara tertentu harus dibuat, bersama dengan


penilaian sikap masyarakat dan pola perilaku. Temuan dari
kedua penilaian tersebut kemudian harus dilihat terhadap
situasi politik-ekonomi negara secara keseluruhan.
Korupsi yang meluas harus ditangani [secara
komprehensif] melalui penargetan sebanyak mungkin lembaga
dan tingkatan dan memungkinkan. Namun, pendekatan ini
harus seimbang, dengan mempertimbangkan sumber daya dan
kapasitas yang tersedia. Sementara itu, keseimbangan juga harus
diberikan antara tindakan pencegahan, hukuman dan dukungan
publik.
ACS harus realistis dalam hal sumber daya dan kapasitas
yang tersedia di negara tersebut untuk implementasinya.
Biasanya, pemerintah dalam ekonomi transisi bergantung pada
satu-satunya sumber pendanaan utama – bantuan internasional,
yang tidak dapat dijamin sebagai sarana dukungan jangka
panjang dan karenanya tidak berkelanjutan. Oleh karena itu,
sangat penting untuk memulai dengan langkah-langkah yang
secara realistis dapat diimplementasikan dengan kapasitas yang
sudah tersedia atau yang memerlukan sumber daya tambahan
yang terbatas. Namun, ini tidak boleh digunakan sebagai alasan
yang sah untuk tidak mengambil tindakan nyata dan konsisten.
Biasanya, sangat sulit untuk mengukur keberhasilan atau
kegagalan ACS. Oleh karena itu, penting untuk memiliki
mekanisme pemantauan yang tepat untuk melacak perubahan
secara teratur dengan mempertimbangkan semua faktor yang
mempengaruhi proses reformasi.”
Pengalaman yang luas menegaskan bahwa kemauan
politik yang benar adalah salah satu faktor yang paling
86 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

menentukan dalam memastikan keberhasilan reformasi anti-


korupsi. Kebanyakan tipologi korupsi membedakan secara luas
antara korupsi insidental (korupsi kecil-kecilan, penggelapan
skala kecil, dll.) di satu sisi dan korupsi sistemik (penggelapan
skala besar, penyelewengan aturan, dan patronase yang kejam)
di sisi lain. Ada kesepakatan umum bahwa korupsi sistemik
adalah jenis yang paling sulit untuk ditangani dengan sukses. Di
beberapa negara, politisi sebenarnya merupakan sumber utama
korupsi dan dengan demikian berkontribusi pada sifat
sistemiknya. Yang sangat sulit untuk dihadapi adalah reformasi
yang menghadapi pecundang yang kuat, yang menentang
perubahan dan memiliki sumber daya yang signifikan untuk
dimobilisasi, dan pemenang yang lemah yang akan mendapat
manfaat dari perubahan tetapi memiliki sedikit sumber daya.
Menurut para analis, inilah salah satu alasan mengapa begitu
sulit untuk memobilisasi dukungan politik untuk memerangi
“mesin patronase” secara efektif.
Rekomendasi GRECO tentang bagaimana ACS harus
disiapkan dan diterapkan serupa dengan rekomendasi TI. Oleh
karena itu, menurut GRECO strategi anti-korupsi tidak boleh
hanya sebatas deklarasi niat, “Agar kredibel, mereka harus
dikoordinasikan dan harus terdiri dari tujuan yang pasti dan
terukur. Harus dipastikan bahwa mereka diimplementasikan
dan dievaluasi dan diadaptasi secara berkala. Oleh karena itu,
GRECO telah merekomendasikan, dalam kasus-kasus tertentu,
mengadopsi rencana aksi yang terperinci dan memiliki strategi
dan rencana aksi yang ditinjau dan dilaksanakan oleh badan-
badan yang diberi wewenang dan tingkat sumber daya yang
sesuai untuk tugas ini.” GRECO menekankan bahwa prasyarat
Collaborative Governance | 87

pertama untuk pencegahan yang memuaskan adalah penilaian


risiko yang objektif.

Indikator kemauan politik untuk memerangi korupsi


• Lokus inisiatif: Apakah inisiatif reformasi datang? dari aktor
dalam negeri yang setidaknya secara nominal menyerukan
reformasi atau inisiatif diajukan dengan kelompok eksternal
yang telah mendorong atau memaksa rezim untuk menerima
atau mendukung isu anti-korupsi? Situasi yang pertama
mungkin menunjukkan bahwa para reformis sendiri
menganggap korupsi sebagai masalah yang menonjol
sedangkan yang terakhir dapat menimbulkan keraguan
tentang komitmen dan kepemilikan.
• Derajat ketelitian analitis: Indikator ini mencerminkan
sejauh mana analisis mendalam dari i.a. korupsi dan
penyebabnya telah dimanfaatkan untuk memahami konteks
dan penyebab korupsi. Para reformis yang tidak mengambil
langkah analitis ini dan yang misalnya menganjurkan
langkah-langkah yang jelas-jelas tidak memadai, misalnya
mendiskreditkan lawan politik atau membersihkan beberapa
pejabat yang korup, menunjukkan kemauan yang tidak
memadai untuk berjuang mengatasi masalah korupsi.
• Mobilisasi dukungan: Apakah rezim mengadopsi strategi
yang partisipatif, yaitu yang mengaktifkan kepentingan
banyak pemangku kepentingan dan dapat memastikan
kepemilikan dan keberlanjutan bersama? Asumsinya adalah
bahwa pemangku kepentingan bertindak atas dasar
kepentingan mereka sendiri dan partisipasi yang luas akan
88 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

meningkatkan komitmen politik untuk kebijakan anti


korupsi yang efektif.
• Kesinambungan upaya: Apakah rezim memperlakukan
upaya mendukung kegiatan antikorupsi sebagai upaya sekali
tembak dan/atau isyarat simbolis atau apakah upaya
dilakukan untuk jangka panjang? Ini termasuk menugaskan
sumber daya manusia dan keuangan yang sesuai untuk
program dan membangun mekanisme untuk memantau
dampak reformasi anti-korupsi.

a. Badan Anti-Korupsi Khusus


Pembentukan badan khusus anti korupsi penting untuk
membangun integritas. Selama bertahun-tahun pembentukan
Badan Anti-Korupsi Khusus, seperti KPK di Indonesia, telah
secara luas dianggap sebagai salah satu inisiatif paling penting
untuk secara efektif mengatasi korupsi. Namun, meski sering
kali dibangun dengan optimisme tinggi, pengalaman
menunjukkan bahwa efektivitas lembaga antikorupsi sangat
bervariasi dari satu negara ke negara lain. Pelajaran yang dipetik
menunjukkan bahwa lembaga antikorupsi yang cakap
cenderung memiliki sumber daya yang baik, dipimpin oleh
kepemimpinan yang kuat dengan integritas dan komitmen yang
terlihat, dan berada di antara jaringan aktor negara dan non-
negara yang bekerja sama untuk melaksanakan intervensi
antikorupsi. Di sisi lain, lembaga antikorupsi yang lebih lemah
seringkali dirusak oleh kemauan politik yang lemah, yang
dimanifestasikan dalam sumber daya dan kapasitas staf yang
terbatas.
Collaborative Governance | 89

Contoh lembaga antikorupsi yang efektif adalah Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, yang telah berhasil
menangani kasus-kasus korupsi tingkat tinggi dan menangkap
beberapa pejabat tinggi yang terlibat dalam praktik korupsi.
KPK didirikan pada tahun 2002 dan secara independen
menyelidiki dan menuntut kasus-kasus korupsi tanpa campur
tangan politik. Lembaga serupa yang efektif adalah Komisi
Independen Anti-Korupsi (ACI) di Hong Kong, yang secara aktif
mengejar kasus-kasus korupsi dan melakukan kampanye publik
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
integritas dan transparansi.
Namun, terdapat juga contoh lembaga antikorupsi yang
lebih lemah, seperti Komisi Integritas Nasional (KIN) di
Kamboja, yang hanya memiliki kekuatan penegakan hukum
yang terbatas dan sumber daya yang tidak memadai untuk
menangani kasus-kasus korupsi secara efektif. KIN juga
seringkali menjadi korban campur tangan politik dan kurangnya
dukungan pemerintah untuk memerangi korupsi.
Selain itu, ada juga lembaga antikorupsi yang terkena
masalah internal seperti di Filipina, di mana Komisi
Ombudsman telah dituduh tidak cukup independen dan
mengalami korupsi internal. Lembaga antikorupsi seperti ini
mengalami kesulitan dalam memberantas korupsi dan
membangun integritas karena kurangnya dukungan politik dan
masalah internal yang tidak teratasi.

Badan anti-korupsi khusus standar normatif


Pengakuan global Badan Anti-Korupsi Khusus sebagai
elemen vital dalam kerangka anti korupsi nasional terkait
90 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

dengan adopsi United Nations Convention Against Corruption


(UNCAC) pada tahun 2005. Pasal 6 UNCAC mewajibkan Negara
Pihak untuk memastikan keberadaan badan yang menangani
pencegahan korupsi.
Sementara UNCAC menetapkan beberapa prinsip dasar
mengenai Badan Anti-Korupsi Khusus, belum ada norma
internasional yang rinci untuk badan-badan tersebut yang telah
disusun. Konvensi mengakui bahwa tidak hanya ada satu model
yang cocok untuk semua negara. Sementara beberapa negara
mungkin memusatkan upaya pencegahan korupsi di satu badan
khusus, yang lain mendistribusikan fungsi-fungsi tersebut di
antara sejumlah organ.
Contoh negara yang memiliki badan khusus anti-korupsi
adalah sebagai berikut:
a) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia
b) Commission Against Corruption (ICAC) di Hong Kong
c) Independent Commission Against Corruption (ICAC) di
Australia
d) Anti-Corruption Commission (ACC) di Bangladesh
e) National Anti-Corruption Commission (NACC) di
Thailand
f) Central Anti-Corruption Bureau (CBA) di Poland
g) Anti-Corruption Agency (ACA) di Malaysia
h) Special Investigation Service (STT) di Lithuania
i) Anti-Corruption Agency (ACA) di Serbia
j) National Anti-Corruption Directorate (DNA) di Romania

Di beberapa negara seperti Jerman, Inggris, dan Amerika


Serikat, upaya pencegahan korupsi didistribusikan di antara
Collaborative Governance | 91

sejumlah lembaga, seperti kepolisian, pengadilan, dan badan


pengawas pemerintah.
Kerangka normatif yang diuraikan di bawah ini didasarkan
pada panduan UNCAC dan UNDP untuk penilaian kapasitas
Badan Anti-Korupsi Khusus.
Artikel UNCAC tentang Badan Anti-Korupsi Khusus
a. Setiap Negara Pihak harus sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar sistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu
badan atau badan-badan, sebagaimana mestinya, yang
mencegah korupsi dengan cara-cara seperti: (a)
Menerapkan kebijakan-kebijakan yang dirujuk dalam
pasal 5 ini Konvensi dan, jika perlu, mengawasi dan
mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan tersebut; (b)
Meningkatkan dan menyebarluaskan pengetahuan
tentang pencegahan korupsi.
b. Setiap Negara Pihak harus memberikan badan atau
badan-badan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal
ini kemerdekaan yang diperlukan, sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar sistem hukumnya, untuk memungkinkan
badan atau badan-badan tersebut menjalankan fungsinya
secara efektif dan bebas. dari pengaruh yang tidak
semestinya. Sumber daya material dan staf khusus yang
diperlukan, serta pelatihan yang mungkin diperlukan staf
tersebut untuk menjalankan fungsinya, harus disediakan.

6.3 Kerangka hukum


Kerangka hukum yang berkaitan dengan Badan Anti-
Korupsi Khusus sangat penting. Badan Anti-Korupsi Khusus
membutuhkan mandat hukum yang jelas. Duplikasi dengan
92 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

institusi lain harus dihindari. Pembentukan Badan Anti-Korupsi


Khusus harus diatur oleh hukum primer, yaitu undang-undang
yang disetujui oleh Parlemen. Praktik mendirikan Badan Anti-
Korupsi Khusus melalui dekrit atau keputusan eksekutif harus
dihindari. Undang-undang yang digunakan untuk membentuk
Badan Anti-Korupsi Khusus setidaknya harus mengatur
kompetensinya, dan kemandirian organisasi dan keuangannya.
Contoh konkrit pengaturan hukum dalam membentuk
Badan Anti-Korupsi Khusus yang efektif dapat dilihat di
berbagai negara. Berikut ini adalah beberapa contoh:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia
dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-
undang tersebut memberikan kewenangan kepada KPK
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan,
dan pencegahan tindak pidana korupsi. KPK juga diatur
sebagai badan independen yang tidak tergantung pada
kekuasaan eksekutif atau legislatif.
2) National Anti-Corruption Commission (NACC) di
Thailand didirikan berdasarkan Undang-undang NACC
No. 1 Tahun 1999, yang mengatur tentang fungsi,
kewenangan, struktur organisasi, dan tata cara
pengangkatan anggota NACC. Undang-undang tersebut
juga menetapkan bahwa NACC harus bekerja secara
independen, transparan, dan akuntabel.
3) Hong Kong Independent Commission Against
Corruption (ICAC) dibentuk berdasarkan Undang-
undang ICAC pada tahun 1974. Undang-undang tersebut
memberikan kewenangan kepada ICAC untuk
Collaborative Governance | 93

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pencegahan


korupsi, serta mengatur struktur organisasi, kewenangan,
dan tata cara pengangkatan anggota ICAC. ICAC
dianggap sebagai lembaga independen yang efektif
dalam memerangi korupsi.
4) Corruption Eradication Commission (CEC) di Taiwan
didirikan berdasarkan Undang-undang CEC pada tahun
2007. Undang-undang tersebut mengatur tentang
kewenangan, struktur organisasi, dan tata cara
pengangkatan anggota CEC. CEC diatur sebagai badan
independen yang memiliki kewenangan untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pencegahan
korupsi.

Dalam semua contoh tersebut, badan anti korupsi dibentuk


melalui undang-undang yang jelas dan komprehensif, yang
memberikan kewenangan dan mandat yang jelas untuk
melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Selain itu, badan-badan tersebut juga diatur sebagai lembaga
independen yang memiliki kemandirian organisasi dan
keuangan.

6.4 Integrasi ke dalam sistem integritas nasional yang lebih


luas
Sejumlah badan negara akan diberi mandat untuk
menjalankan fungsi-fungsi khusus yang mungkin terkait erat
dengan mandat Badan Anti-Korupsi Khusus dan di mana
efektivitas Badan Anti-Korupsi Khusus dapat bergantung.
Tantangan bagi Badan Anti-Korupsi Khusus mungkin termasuk
94 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

posisi yang tidak memadai dalam sistem kelembagaan, mandat


yang tumpang tindih atau kurangnya otoritas yang dapat
mengakibatkan persaingan kelembagaan dan penegakan anti-
korupsi yang buruk.
Hubungan antara Badan Anti-Korupsi Khusus dan sistem
peradilan – khususnya, kepolisian dan kejaksaan – sangat
penting. Upaya badan-badan ini harus dikoordinasikan dan
saling melengkapi, terutama dalam hal pengumpulan informasi
dan pengamanan bukti terkait korupsi. Idealnya sistem
integritas nasional harus memungkinkan kolaborasi antar-
lembaga dalam kerangka kelembagaan yang koheren dengan
mekanisme koordinasi yang efektif.
Contoh implementasi di lapangan mengenai hubungan
antara Badan Anti-Korupsi Khusus dan sistem peradilan antara
lain adalah:
a) Di Malaysia, Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia
(SPRM) bekerja sama dengan Agensi Anti-Penyeludupan
Malaysia (APM) dan Lembaga Hasil Dalam Negeri
(LHDN) untuk memerangi tindak pidana korupsi. Dalam
rangka memperkuat kerjasama ini, pada tahun 2018,
SPRM menandatangani memorandum kesepahaman
dengan APM dan LHDN.
b) Di Filipina, Komisi Pemberantasan Korupsi (Commission
on Audit) bekerja sama dengan Bureau of Internal
Revenue (BIR) dan Bureau of Customs (BOC) dalam
rangka pencegahan korupsi. Salah satu hasil kerjasama ini
adalah pengembangan sistem pengawasan yang
terintegrasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan
BIR/BOC.
Collaborative Governance | 95

c) Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


berperan sebagai lembaga penegak hukum yang
independen dan bekerja sama dengan sistem peradilan
dalam menangani kasus korupsi. KPK memiliki hak
untuk melakukan penyelidikan, penuntutan, dan
pengadilan atas kasus-kasus korupsi. KPK juga bekerja
sama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam proses
penanganan kasus korupsi.

Independen.
Independensi Badan Anti-Korupsi Khusus adalah hal yang
sangat penting dalam upaya pencegahan dan penindakan
korupsi. Namun, menentukan tingkat independensi yang tepat
tidaklah mudah karena konsep ini memiliki banyak aspek yang
harus diperhitungkan.
Sebagai contoh, Badan Anti-Korupsi Khusus yang
bertanggung jawab untuk memberikan nasihat tentang
kebijakan mungkin tidak memerlukan tingkat independensi
yang sama dengan Badan Anti-Korupsi Khusus yang bertugas
membuat keputusan dalam kasus-kasus individu. Semakin
besar tanggung jawab Badan Anti-Korupsi Khusus dalam
membuat keputusan, semakin besar pula kebutuhan untuk
memastikan independensinya.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
independensi Badan Anti-Korupsi Khusus meliputi mandat
hukum yang jelas, sumber daya yang memadai, kepemimpinan
yang kuat dan terpercaya, serta perlindungan dari intervensi
politik atau tekanan dari pihak luar.
96 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Sejumlah negara telah menunjukkan upaya untuk


meningkatkan independensi Badan Anti-Korupsi Khusus
mereka. Sebagai contoh, di Brasil, Badan Anti-Korupsi Khusus
(the Federal Police) memiliki independensi yang relatif tinggi
karena diatur oleh undang-undang dan memiliki kewenangan
yang cukup luas. Di Latvia, Badan Anti-Korupsi Khusus (KNAB)
dibentuk melalui undang-undang dan memiliki mandat yang
jelas untuk mengatasi korupsi di sektor publik.
Namun, independensi Badan Anti-Korupsi Khusus tidak
selalu terjamin di semua negara. Di beberapa negara, Badan
Anti-Korupsi Khusus masih rentan terhadap intervensi politik
atau tekanan dari pihak luar. Sebagai contoh, di Azerbaijan,
Badan Anti-Korupsi Khusus memiliki sedikit independensi dan
sering dituduh mengejar tujuan politik pemerintah.
“Independen” adalah konsep multi-segi. Oleh karena itu,
pertanyaan tentang seberapa independen suatu badan publik
sebenarnya dan faktor-faktor apa yang menentukan
independensinya merupakan pertanyaan yang rumit. Ruang
lingkup independensi Badan Anti-Korupsi Khusus individu
harus disesuaikan dengan tugas dan fungsi tubuh. Jenis fungsi
yang berbeda memerlukan jenis dan tingkat kemandirian yang
berbeda. Misalnya, jika Badan Anti-Korupsi Khusus semata-
mata memberikan nasihat tentang pengembangan kebijakan,
kemungkinan tidak akan terlindung dari partisipasi pemerintah
dalam pelaksanaan kegiatannya, karena dalam hal ini Badan
Anti-Korupsi Khusus merupakan bagian dari eksekutif dan
harus tunduk pada hukum. bentuk kontrol politik yang sama
seperti badan eksekutif lainnya. Di sisi lain, semakin Badan Anti-
Korupsi Khusus bertanggung jawab untuk membuat keputusan
Collaborative Governance | 97

dalam kasus-kasus individual, semakin besar kebutuhan untuk


memastikan keyakinan akan ketidakberpihakan, netralitas, dan
independensinya.
UNDP merekomendasikan bahwa ketentuan hukum yang
melindungi independensi Badan Anti-Korupsi Khusus harus
mencakup:
• mandat, kompetensi, dan wewenang Badan Anti-Korupsi
Khusus yang ditentukan oleh undang-undang;
• anggaran yang cukup dan dapat diprediksi
• posisi lembaga yang memadai dalam kerangka
kelembagaan nasional dengan garis akuntabilitas yang
jelas, kerjasama protokol dan mekanisme koordinasi
• prosedur yang jelas dan transparan untuk pengangkatan
dan pemberhentian kepala badan dan staf dengan
pangkat tertinggi, termasuk: keterlibatan otoritas
tertinggi peradilan dan legislatif termasuk oposisi,
masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan terkait
lainnya dalam proses pemilihan ketua Badan Anti-
Korupsi Khusus
• dua pertiga atau mayoritas khusus di parlemen untuk
mengangkat dan memberhentikan kepala badan
• proses rekrutmen yang terbuka dan transparan untuk staf
berpangkat rendah dengan keterlibatan dan dukungan
dari staf senior Badan Anti-Korupsi Khusus.

Akuntabilitas.
Pengaturan yang memastikan independensi Badan Anti-
Korupsi Khusus harus diimbangi dengan langkah-langkah yang
menjamin tingkat akuntabilitas yang memadai. Meskipun bukan
98 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

persyaratan UNCAC yang eksplisit, menurut UNDP badan-


badan antikorupsi dapat beroperasi lebih efektif jika mereka
diminta untuk melapor ke badan pengawas, seperti parlemen
atau dewan publik. Badan pengawas dengan wewenang yang
cukup untuk meninjau dan melaporkan Badan Anti-Korupsi
Khusus dapat meningkatkan kredibilitas mereka.
Sehinggan penting sekali dalam menjaga keseimbangan
antara independensi dan akuntabilitas Badan Anti-Korupsi
Khusus. Meskipun Badan Anti-Korupsi Khusus harus memiliki
tingkat independensi yang cukup untuk mengejar tugas dan
fungsi mereka secara efektif, mereka juga harus
diakuntabilitaskan terhadap publik, sehingga transparansi dan
akuntabilitas yang memadai perlu dijamin. Salah satu cara untuk
mencapai ini adalah melalui badan pengawas yang memiliki
wewenang untuk meninjau dan melaporkan kinerja Badan Anti-
Korupsi Khusus, seperti parlemen atau dewan publik. Dengan
adanya badan pengawas, kredibilitas Badan Anti-Korupsi
Khusus dapat ditingkatkan karena mereka diakuntabilitaskan
dan dipantau oleh pihak yang independen. Meskipun tidak
diwajibkan oleh UNCAC secara eksplisit, badan-badan
antikorupsi dapat bekerja lebih efektif dengan adanya badan
pengawas yang memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Teori-praktek terkait dengan pengaturan independensi dan
akuntabilitas Badan Anti-Korupsi Khusus memiliki beberapa
landasan teoritis yang penting, di antaranya:
a) Teori checks and balances: Teori ini mengasumsikan
bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi agar tidak
disalahgunakan, dan bahwa struktur pemerintahan yang
kuat membutuhkan keseimbangan antara kekuasaan dan
Collaborative Governance | 99

kendali. Dalam hal ini, Badan Anti-Korupsi Khusus


dianggap sebagai bagian dari sistem pemerintahan dan
harus ditempatkan di bawah kendali dan pengawasan
badan pengawas independen, seperti parlemen atau
dewan publik.
b) Teori keagenan: Teori ini mengasumsikan bahwa agen
(Badan Anti-Korupsi Khusus) harus bertanggung jawab
kepada prinsipal (masyarakat umum) untuk memastikan
kepatuhan dan akuntabilitas. Badan pengawas
independen dapat membantu memastikan bahwa Badan
Anti-Korupsi Khusus menjalankan tugasnya sesuai
dengan mandatnya dan menghindari penyalahgunaan
kekuasaan.
c) Teori legitimasi: Teori ini mengasumsikan bahwa Badan
Anti-Korupsi Khusus harus memiliki legitimasi untuk
menjalankan tugas-tugasnya dan mengejar tujuannya.
Hal ini dapat dicapai melalui akuntabilitas dan
transparansi, di mana badan pengawas independen
memainkan peran penting dalam memastikan bahwa
Badan Anti-Korupsi Khusus memiliki dukungan publik
yang cukup.

Dengan memastikan independensi dan akuntabilitas


Badan Anti-Korupsi Khusus, kita dapat mengurangi risiko
korupsi dan meningkatkan efektivitas tindakan anti-korupsi
secara keseluruhan.
100 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Sumber daya.
Pasal 30 UNCAC menetapkan bahwa Badan Anti-Korupsi
Khusus harus memiliki sumber daya yang memadai untuk
melaksanakan fungsinya. Hal ini meliputi sumber daya material,
staf khusus, dan pelatihan untuk staf. Oleh karena itu,
pembentukan Badan Anti-Korupsi Khusus yang efektif
memerlukan biaya besar yang harus ditanggung oleh
pemerintah.
Badan Anti-Korupsi Khusus memerlukan staf khusus
untuk menjalankan sebagian besar fungsi antikorupsi mereka.
Oleh karena itu, rekrutmen staf yang terbuka dan adil sangat
penting untuk memastikan bahwa staf Badan Anti-Korupsi
Khusus memiliki integritas dan kapasitas yang baik. Badan Anti-
Korupsi Khusus juga harus memberikan paket kompensasi yang
kompetitif untuk memastikan bahwa stafnya tidak tergoda
untuk melakukan tindakan korupsi. Selain itu, pelatihan dan
pengembangan kapasitas secara berkelanjutan juga sangat
penting untuk memastikan bahwa staf Badan Anti-Korupsi
Khusus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka dengan efektif.
Pelatihan dapat mencakup pelatihan hukum, etika, teknologi
informasi, dan manajemen kasus.
Pembentukan Badan Anti-Korupsi Khusus yang berhasil
menyiratkan biaya besar yang harus ditanggung oleh
pemerintah. Badan Anti-Korupsi Khusus perlu memiliki staf
khusus mereka sendiri untuk menjalankan sebagian besar fungsi
antikorupsi. Agar staf Badan Anti-Korupsi Khusus tidak tercela
dalam perilaku dan kapasitas, Badan Anti-Korupsi Khusus
harus melakukan rekrutmen yang terbuka dan adil, memberikan
Collaborative Governance | 101

paket kompensasi yang kompetitif, dan melaksanakan pelatihan


dan pengembangan kapasitas secara berkelanjutan.

6.5 Konflik Kepentingan


Pengaturan pencegahan benturan kepentingan penting
untuk membangun integritas. Karena beberapa alasan,
kebijakan konflik kepentingan merupakan instrumen penting
untuk membangun integritas sektor publik. Pejabat public
diharapkan membuat keputusan dan bertindak untuk
kepentingan publik tanpa mempertimbangkan kepentingan
pribadi mereka. Konflik kepentingan yang tidak dikelola dengan
baik di pihak pejabat publik berpotensi melemahkan
kepercayaan warga negara terhadap lembaga publik.
Pengaturan penanganan kebijakan konflik kepentingan
merupakan instrumen penting untuk menegakkan norma-
norma ini dan membangun integritas sektor publik. Konflik
kepentingan itu sendiri bukanlah korupsi, tetapi berpotensi
melakukan korupsi, dan jika dibiarkan tidak terselesaikan, pada
akhirnya dapat mengakibatkan perilaku koruptif. Memang,
sebagian besar waktu korupsi muncul di mana kepentingan
pribadi sebelumnya telah mempengaruhi kinerja pejabat publik
secara tidak semestinya. Korupsi menyebarkan kepercayaan
khusus dan eksklusif di antara orang-orang yang termasuk
dalam kelompok sosial yang sama, atau yang dekat. Keadaan ini
menghalangi perkembangan kepercayaan inklusif di tingkat
masyarakat dan menghambat pembuatan kebijakan yang adil.
102 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Konflik Kepentingan Standar Normatif.


Kerangka normatif yang diuraikan dalam bab ini terutama
didasarkan pada dokumen-dokumen berikut:
• Membangun Integritas dan Mengurangi Korupsi dalam
Pertahanan: Ringkasan Praktik Terbaik, NATO dan Pusat
Jenewa untuk Kontrol Demokratik Angkatan Pertahanan,
2010;
• Mengelola Konflik Kepentingan dalam Layanan Publik:
Pedoman dan Tinjauan OECD, Paris: OECD, 2003;
• Mengelola Konflik Kepentingan dalam Layanan Publik: A
Toolkit, Paris: OECD, 2005; “Nilai dan Kode Etik Bagi
Pelayanan Masyarakat”, Menteri Pekerjaan Umum dan
Layanan Pemerintah Kanada, 2003;
• “Kebijakan dan Praktik Konflik Kepentingan di Sembilan
Negara Anggota UE: Tinjauan Komparatif”, Makalah SIGMA
No. 36, Juni 2007.

Deklarasi kepentingan pribadi.


Prosedur yang mewajibkan pejabat publik untuk
menyatakan kepentingan pribadi yang relevan yang berpotensi
bertentangan dengan tugas resmi mereka harus diberlakukan.
Kami mempertimbangkan:
• Pernyataan pendapatan
• Deklarasi aset
• Kepentingan pribadi lainnya.

Menurut SIGMA deklarasi pendapatan tidak mutlak


diperlukan jika ada deklarasi aset dan deklarasi kepentingan,
tetapi bisa membantu dalam mengendalikan pejabat politik dan
pejabat terpilih lokal. Terlalu mahal untuk meminta semua
Collaborative Governance | 103

pegawai negeri mengumumkan pendapatan, dan mungkin


cukup untuk mewajibkan hanya eksekutif senior yang
melakukannya.
SIGMA menggarisbawahi bahwa deklarasi aset dapat
sangat membantu dalam mendeteksi dan mengendalikan
konflik kepentingan yang dihadapi pejabat lokal terpilih,
anggota parlemen dan pejabat politik. Namun, mewajibkan
semua pegawai negeri untuk menyatakan aset mungkin tidak
diperlukan dan mungkin terlalu mahal; itu akan cukup untuk
mewajibkan eksekutif senior dan pegawai negeri sipil dalam
kategori dan sektor berisiko untuk melakukannya.
Menurut SIGMA deklarasi pendapatan dan aset keluarga
adalah ukuran yang terlalu ketat dan mungkin sulit
dipertahankan secara konstitusional. Mungkin solusi terbaik
adalah menetapkan tindakan ini secara sukarela atau hanya
meminta pejabat publik yang lebih tinggi di pemerintahan dan
lembaga tinggi negara lainnya untuk membuat pernyataan
semacam itu.
Deklarasi dan pendaftaran kepentingan pribadi lainnya
merupakan landasan kebijakan konflik kepentingan yang baik.
SIGMA merekomendasikan bahwa anggota pemerintah,
anggota parlemen, pejabat lokal yang dipilih dan pejabat politik
harus menyatakan kepentingan mereka dalam dokumen formal
yang diperbarui setiap kali kepentingan ini berubah. Pegawai
negeri sipil berpangkat tinggi dan pegawai negeri sipil dalam
kategori dan sektor yang berisiko juga harus dipaksa untuk
menyatakan dan mendaftarkan kepentingan mereka.
Perusahaan swasta yang berada di bawah kendali atau
tunduk pada keputusan pejabat publik tidak boleh dimiliki oleh
104 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

pejabat publik ini. Pejabat publik tidak boleh memiliki


perusahaan swasta yang mengontrak atau bermitra dengan
sektor publik. Kepentingan pribadi dalam kasus ini dapat
membahayakan kinerja yang tepat dari tugas pejabat publik.
Kepemilikan sebagian kecil saham di perusahaan besar dapat
diizinkan ketika mereka adalah bagian dari investasi swasta dan
tidak mempengaruhi kebijakan perusahaan-perusahaan ini,
tetapi ini harus dipelajari berdasarkan kasus per kasus,
tergantung pada posisi yang diduduki oleh perusahaan tersebut.
pejabat publik. Divestasi, baik dengan penjualan atau dengan
membuat perjanjian manajemen buta, adalah solusi terbaik
setiap kali ada konflik kepentingan yang terlibat dengan
kepemilikan perusahaan.
SIGMA juga merekomendasikan bahwa deklarasi
kepentingan dan aset pejabat terpilih dan pejabat politik harus
terbuka untuk pengawasan publik, sementara pada saat yang
sama menghormati aturan keamanan dan perlindungan privasi.
Namun, akan lebih baik dalam kasus pegawai negeri bahwa
pernyataan dan pengungkapan mereka hanya tersedia untuk
kepala instansi terkait atau badan yang bertanggung jawab atas
kontrol dan pencatatan.
External concurrent employment
Pejabat publik tidak boleh terlibat dalam pekerjaan di luar
layanan publik atau mengambil bagian dalam kegiatan di luar
(misalnya penunjukan di LSM, serikat pekerja dan partai politik)
jika pekerjaan atau kegiatan tersebut cenderung menimbulkan
konflik kepentingan yang nyata, nyata, atau potensial. Pejabat
publik harus memberikan informasi kepada atasan mereka
tentang semua pekerjaan atau kegiatan di luar. Atasan kemudian
Collaborative Governance | 105

akan memutuskan apakah pekerjaan atau kegiatan yang


bersangkutan dapat membuat mereka tunduk pada
tuntutan/pengaruh yang tidak sesuai dengan tugas resmi
mereka, atau yang dapat meragukan kemampuan mereka untuk
melaksanakan tugas mereka secara objektif sepenuhnya.
Penyelia dapat meminta agar kegiatan di luar dimodifikasi atau
dihentikan jika ditentukan bahwa konflik kepentingan yang
nyata, nyata, atau potensial dapat timbul.
Peraturan yang relevan di bidang ini harus menetapkan
keadaan di mana pejabat publik dapat memegang pekerjaan
sampingan eksternal, termasuk prosedur otorisasi yang
diperlukan yang harus diterapkan dalam hal ini.
Withdrawal and abstention in decision-making.
Pejabat publik bertanggung jawab untuk menunjukkan
objektivitas dan ketidakberpihakan dalam pengambilan
keputusan publik. Oleh karena itu, menurut pengamatan
SIGMA, salah satu landasan program benturan kepentingan
yang baik adalah memiliki regulasi yang kuat tentang penolakan.
Ini membutuhkan daftar lengkap dan terperinci tentang
penyebab abstain atau penarikan diri.
Gifts and benefits
Pegawai negeri tidak boleh menerima hadiah,
keramahtamahan, atau manfaat lain apa pun yang mungkin
memiliki pengaruh nyata, atau potensial terhadap objektivitas
mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab resmi
mereka atau yang dapat menempatkan mereka di bawah
kewajiban kepada pemberi. SIGMA merekomendasikan agar
hadiah dilarang sama sekali, terutama bila a) diberikan sebagai
penghargaan atas sesuatu yang dilakukan oleh pejabat publik
106 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

dalam menjalankan fungsinya, dan tidak diminta atau didorong;


b) mereka meragukan independensi dan kebebasan pejabat
publik untuk bertindak; dan c) tidak dapat diumumkan secara
transparan kepada organisasi dan warga negara. Hadiah resmi
kepada anggota pemerintah dan pejabat politik harus menjadi
milik negara. Hadiah kesopanan (misalnya pin atau pena) hanya
dapat diterima jika nilai uangnya sangat rendah.

Batasan kerja setelah tinggal kantor


Tanpa terlalu membatasi kemampuan mereka untuk
mencari pekerjaan lain, mantan pegawai negeri harus
meminimalkan kemungkinan konflik kepentingan yang nyata,
nyata atau potensial antara pekerjaan baru mereka dan tanggung
jawab terakhir mereka dalam pelayanan publik.
Demikian pula dalam jangka waktu tertentu setelah
meninggalkan jabatan, mantan pegawai negeri diharapkan
untuk tidak:
• Menerima penunjukan sebagai dewan direksi atau pekerjaan
dengan entitas yang dengannya mereka secara pribadi, atau
melalui bawahan, memiliki urusan resmi yang signifikan
selama periode satu tahun segera sebelum penghentian
layanan mereka
• Membuat representasi untuk, atau atas nama, orang-orang di
departemen atau organisasi mana pun yang dengannya
mereka secara pribadi, atau melalui bawahan mereka,
memiliki hubungan resmi yang signifikan selama periode
satu tahun segera sebelum penghentian layanan mereka, atau
• Memberikan nasihat kepada klien mereka menggunakan
informasi yang tidak tersedia untuk umum mengenai
Collaborative Governance | 107

program atau kebijakan dari departemen atau organisasi


tempat mereka bekerja atau dengan siapa mereka memiliki
hubungan langsung dan substansial.

Sistem organisasi
Untuk menerapkan kebijakan benturan kepentingan secara
efektif, diperlukan sistem pendeteksian yang andal. SIGMA
menekankan bahwa mutlak diperlukan untuk memiliki badan
independen yang bertanggung jawab atas sistem deteksi –
sebuah organisasi yang memiliki staf yang memadai dan dengan
kekuatan yang cukup untuk menyelidiki dan menuntut bila
diperlukan. SIGMA merekomendasikan bahwa inspektur
internal dilatih dalam isu-isu yang berkaitan dengan konflik
kepentingan sebagai bagian dari program yang terkoordinasi.
Sanksi hukuman dan administratif
Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran hukum, maka perlu
adanya sistem sanksi, tidak terkecuali. Sanksi pidana dan sanksi
disiplin keduanya diperlukan. Untuk berhasil melaksanakan
sanksi diperlukan sistem penyidikan dan penuntutan yang baik.

6.6 Kebebasan Akses Informasi dan Transparansi Anggaran


Pertahanan
Kebebasan akses informasi penting untuk membangun
integritas. Kebebasan akses informasi mendorong
kejujuran/integritas dengan:
• Mengurangi kemungkinan korupsi dan bentuk-bentuk
maladministrasi lainnya
108 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

• Memungkinkan publik untuk tetap mendapat informasi, dan


membentuk opini yang beralasan tentang otoritas yang
mengaturnya
• Memperkuat kontrol warga negara atas pemerintah dan
mempromosikan demokrasi.

Keberadaan Freedom of Access to Information Agencies


(FOIA) secara positif terkait dengan tingkat korupsi yang lebih
rendah dan tren positif yang signifikan dalam pengendalian
korupsi. Hak atas kebebasan akses informasi juga semakin
dirasakan sebagai komponen penting dari masyarakat
demokratis dan hak asasi manusia dijamin oleh beberapa
konvensi/perjanjian internasional.
Anggaran yang transparan dan terperinci yang tersedia
untuk publik adalah kunci untuk meminta pertanggungjawaban
pemerintah kepada warganya. Keputusan pembelanjaan
pertahanan yang tidak jelas dapat mendorong korupsi dan
menghambat efektivitas dan efisiensi angkatan bersenjata.
Seiring dengan alasan domestik tersebut, proses penganggaran
pertahanan yang transparan dapat memiliki manfaat regional
dan internasional. Kerahasiaan yang berlebihan dapat
menyebabkan tingkat ketidakpastian dan kecurigaan yang lebih
tinggi di tingkat regional dan global. Ada kesadaran yang
tumbuh di antara anggota organisasi regional bahwa stabilitas
dan keamanan dapat ditingkatkan melalui peningkatan
pengungkapan informasi terkait pertahanan.
Prinsip umum akses terhadap dokumen resmi dan
pengecualian.
Collaborative Governance | 109

Hak atas akses informasi yang bebas memiliki dua arti


utama. Yang pertama adalah hak pihak yang berkepentingan
untuk mengakses, dalam kerangka prosedur administrasi,
dokumen yang dipegang oleh administrasi publik yang dapat
mempengaruhi keputusan administratif. Yang kedua mengacu
pada hak publik untuk akses tanpa batas ke dokumen resmi.
Rezim transparansi semacam ini lebih luas cakupannya, karena
mengatur hak publik untuk mengakses dokumen resmi sebagai
bagian dari kebebasan informasi warga negara. Hak ini, yang
bersifat umum, diberikan kepada setiap orang dan mencakup
semua informasi yang secara resmi dipegang oleh otoritas publik,
sebagaimana dituntut oleh sifat dasar hak tersebut. Penting
untuk ditekankan bahwa hanya jenis transparansi kedua ini
yang menjadi subjek penyelidikan kami.
Kebebasan akses informasi adalah konsep yang relatif baru,
yang bertujuan untuk melawan fitur tradisional negatif dari
sebagian besar administrasi publik Eropa, seperti kerahasiaan
dan kerahasiaan. Ini diperkenalkan di Swedia untuk pertama
kalinya pada tahun 1766 dan baru mulai diproklamasikan di
negara lain. negara-negara di paruh kedua abad ke-20, terutama
dengan diadopsinya Freedom of Information Acts (FOIA). Di
beberapa negara, akses bebas terhadap informasi juga telah
ditetapkan sebagai hak konstitusional. Fakta bahwa hak atas
akses bebas informasi dijamin oleh Konstitusi dan/atau KIP yang
disahkan di parlemen, namun tidak menjamin keterbukaan dan
transparansi yang lebih besar dalam pemerintahan dan
administrasi, terutama jika tidak diikuti dengan implementasi
yang memadai.
110 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Konvensi Dewan Eropa tentang akses ke dokumen resmi


merangkum standar normatif utama yang terkait dengan akses
bebas ke informasi.
Pertama, hak atas akses informasi publik adalah “hak
setiap orang, tanpa diskriminasi atas dasar apapun” (Pasal 2.1).
Ini berarti bahwa hak atas akses informasi yang bebas harus
diberikan kepada semua warga negara, dengan atau tanpa
kewarganegaraan dan terlepas dari apakah mereka penduduk
atau bukan.
Negara, bagaimanapun, dapat membatasi hak akses ke
dokumen resmi tetapi hanya dalam kasus-kasus yang
dibenarkan. Pengecualian ini harus “ditetapkan dengan tepat
oleh hukum, diperlukan dalam masyarakat demokratis dan
proporsional dengan tujuan melindungi”. Risiko yang jelas
adalah bahwa, jika alasan pengecualian didefinisikan dan
ditafsirkan terlalu luas, hak untuk mengetahui mungkin dibatasi
secara berlebihan.
Di semua FOIA Eropa, hak untuk mengakses tunduk pada
berbagai pengecualian: beberapa di antaranya melindungi
kepentingan publik, sementara yang lain melindungi
kepentingan pribadi.
• Perlindungan Kepentingan Umum yang Sah meliputi dua
kelompok utama: Yang pertama mencakup empat
kepentingan publik: pertahanan dan militer; hubungan
Internasional; keamanan publik (atau ketertiban umum atau
keselamatan publik;) dan kebijakan moneter, keuangan, dan
ekonomi pemerintah. Kepentingan-kepentingan ini secara
kolektif diidentifikasi sebagai “fungsi kedaulatan” negara.
Pengecualian kepentingan umum kelompok kedua biasanya
Collaborative Governance | 111

mencakup informasi yang berkaitan dengan proses


pengadilan; pelaksanaan investigasi, inspeksi dan audit; dan
pembentukan keputusan pemerintah (yaitu dokumen
internal.) Perlu dicatat bahwa alasan penolakan akses ini
mengacu pada kategori tindakan tertentu daripada
kepentingan umum umum.
• Perlindungan kepentingan pribadi yang sah. Pada dasarnya
ada tiga jenis kepentingan pribadi yang biasanya disebut oleh
undang-undang transparansi sebagai dasar pengecualian:
a) Rahasia dagang, bisnis, dan profesional.
b) Kepentingan komersial.
c) Data pribadi.

Penting untuk dicatat bahwa akses ke dokumen tidak


dapat dibatasi hanya karena termasuk dalam kategori yang
dikecualikan, seperti area pertahanan atau ketertiban umum.
Pemeriksaan individu yang konkret atas dokumen-dokumen
yang bersangkutan selalu diperlukan untuk dua tujuan utama:
pertama, untuk menentukan, berdasarkan informasi yang
dikandungnya, apakah pengungkapannya benar-benar akan
merusak kepentingan publik atau swasta yang dilindungi oleh
pengecualian; kedua, untuk menilai apakah pengecualian
mencakup dokumen secara keseluruhan atau sebagian.
Prosedur pemrosesan permintaan dan tinjauan.
Pemrosesan permintaan harus melibatkan beberapa jaminan:
• Pemohon akta dinas tidak wajib memberikan alasan apapun
untuk mengakses akta dinas. Ini sejalan dengan sifat umum
hak atas akses informasi yang bebas, yang tidak
mengandaikan persyaratan apa pun.
112 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

• Permintaan akses harus diproses "segera" atau "tanpa


penundaan yang tidak semestinya" dan, dalam hal apa pun,
dalam waktu yang wajar "yang telah ditentukan
sebelumnya”.
• Biaya untuk akses gratis ke informasi harus ditekan
seminimal mungkin. Konsultasi dokumen resmi asli di
tempat pada prinsipnya harus bebas biaya. Jika pemohon
meminta salinan dokumen yang sudah tersedia, hanya biaya
reproduksi (untuk transkrip atau salinan dokumen) yang
harus dibebankan. Namun, jika permintaan menimbulkan
beban administrasi yang lebih signifikan, biaya yang lebih
tinggi dapat dikenakan.
• Permintaan akses ke dokumen resmi dapat ditolak jika
permintaan tersebut secara nyata tidak masuk akal. Standar
ini bertujuan untuk melindungi otoritas publik dari
permintaan yang sangat menuntut dan tidak masuk akal
yang menimbulkan beban nyata yang tidak masuk akal bagi
otoritas. Dalam hal ini, otoritas publik menanggung beban
pembuktian atas skala tugas yang tidak masuk akal itu.
Direkomendasikan bahwa otoritas publik dapat menolak
permintaan hanya setelah ia benar-benar menyelidiki semua
opsi lain yang mungkin dan menjelaskan secara rinci dalam
keputusannya alasan mengapa berbagai opsi tersebut juga
melibatkan jumlah pekerjaan yang tidak masuk akal.
• Otoritas publik yang menolak akses ke dokumen resmi
secara keseluruhan atau sebagian memiliki kewajiban untuk
memberikan alasan penolakan, yang harus menyatakan
pengecualian dan klarifikasi legislatif tentang bagaimana
akses ke dokumen tersebut dapat merugikan kepentingan
Collaborative Governance | 113

publik atau swasta, atau dengan cara apa permintaan


tersebut secara nyata tidak masuk akal. Pernyataan alasan
juga harus disertai dengan indikasi upaya hukum.

Mengenai prosedur peninjauan, pemohon harus memiliki


akses ke peninjauan administratif tingkat pertama dan
peninjauan kembali tingkat kedua. Direkomendasikan bahwa
tinjauan administratif tingkat pertama adalah:
• Independen dari pemerintah (misalnya ditunjuk oleh
parlemen oleh mayoritas yang memenuhi syarat untuk tidak
kurang dari lima tahun masa jabatan dan pelaporan ke
parlemen).
• Terpusat dalam satu institusi, yang memungkinkan
pengawasan kesatuan dan harmonisasi praktik
• Khusus untuk melakukan fungsi ini saja, karena keahlian
sangat penting dalam melakukan tugas-tugas pengadilan
dan penetapan standar dan
• Dipercayakan dengan kekuasaan pengadilan yang dapat
ditegakkan, yang dapat ditinjau kembali oleh pengadilan.

Selain itu, pemohon harus selalu memiliki hak banding ke


pengadilan terhadap keputusan otoritas peninjauan
administrasi dan diberikan perlindungan peradilan yang
memadai dan efektif.

Tindakan komplementer.
Untuk mempromosikan prinsip transparansi, disarankan
agar badan-badan negara menyediakan semua informasi untuk
kepentingan publik atas inisiatif mereka sendiri. Prinsip
114 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

umumnya adalah bahwa dokumen harus dapat diakses oleh


institusi sejak awal kecuali pengecualian terhadap hak akses
publik secara jelas berlaku. Lebih lanjut direkomendasikan
bahwa informasi yang menarik bagi publik harus dipublikasikan
di situs web institusional sebagai cara paling nyaman untuk
menyediakan akses publik terhadap informasi. Terakhir,
direkomendasikan agar lembaga publik menyediakan akses
publik ke daftar dokumen dalam bentuk elektronik. Setiap
register harus menyertakan “panduan informasi”, yang
memberikan perincian tentang: a) informasi yang
dipublikasikan secara rutin dan dapat diakses langsung melalui
register; b) bagaimana informasi yang tersisa dapat diakses
sesuai permintaan dan c) apakah akan dikenakan biaya atau
tidak untuk akses ini. Juga penting bahwa badan-badan negara
memiliki aturan yang jelas tentang bagaimana mereka
mengarsipkan dokumen mereka, yang akan memungkinkan
pemohon untuk memiliki akses yang efektif ke semua informasi
yang penting bagi publik.

Transparansi anggaran pertahanan.


Beberapa kesepakatan/rekomendasi internasional
organisasi internasional yang mengatur tentang transparansi
anggaran publik secara umum dan di bidang pertahanan secara
khusus, yaitu. pengikut:
• Disusun pada tahun 1999, Praktik Terbaik OECD untuk
Transparansi Anggaran mencakup tiga komponen utama: 1)
komponen utama dokumen anggaran yang harus
diungkapkan oleh pemerintah dengan konten yang sesuai; 2)
informasi spesifik yang akan diungkapkan dalam laporan
Collaborative Governance | 115

tersebut termasuk data keuangan dan non-keuangan; 3)


metode untuk memastikan bahwa laporan akurat dan
transparan. Manual ini dimaksudkan untuk mendorong
negara-negara anggota OECD untuk merilis data fiskal yang
lebih komprehensif dan akurat.
• Instrumen PBB untuk Pelaporan Internasional Standar
Pengeluaran Militer berasal dari tahun 1980 dan tetap
menjadi satu-satunya sistem pelaporan resmi di seluruh
dunia hingga saat ini. Ini adalah instrumen sukarela untuk
mengungkapkan pengeluaran terkait pertahanan dan PBB
menyerukan kepada para anggotanya untuk melakukannya
setiap tahun.
• Diluncurkan pada tahun 2004, Rencana Aksi Kemitraan
NATO untuk Pembangunan Institusi Pertahanan
mendefinisikan tujuan bersama dan mendorong pertukaran
pengetahuan tentang isu-isu yang berkaitan dengan
pembangunan lembaga-lembaga pertahanan yang efektif
dan efisien yang berfungsi di bawah kendali sipil dan
demokrasi yang layak. Isu-isu sentral dari Rencana tersebut
melibatkan proses alokasi anggaran yang transparan dan
efektif untuk sektor pertahanan.
• Pada tahun 2002, Komite Menteri Dewan Eropa mengadopsi
Rekomendasi Rec (2002) dimaksudkan untuk menjamin
akses publik terhadap informasi otoritas publik. Menurut
Rekomendasi, dokumen resmi mengacu pada 'semua
informasi yang dicatat dalam bentuk apa pun, dibuat atau
diterima dan disimpan oleh otoritas publik dan terkait
dengan fungsi publik atau administratif, dengan
pengecualian dokumen yang sedang disiapkan'.
116 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Di bagian ini kita berurusan dengan beberapa hal:


• Sejauh mana pemerintah mempublikasikan (atau tidak)
proposal anggaran mereka, anggaran yang berlaku dan
laporan audit
• Persentase item rahasia dalam pengeluaran pertahanan.

6.7 Audit Internal dan Eksternal, Inspektur Jenderal, dan


Kontrol Badan Intelijen
Pengaturan untuk audit internal dan eksternal dan
inspektur jenderal sangat penting untuk membangun integritas
karena beberapa alasan. Pemeriksaan praktik badan-badan
negara memungkinkan otoritas audit untuk menentukan sejauh
mana badan publik tersebut benar-benar mematuhi standar
akuntansi dan pelaporan keuangan yang ditetapkan. Mereka
adalah mekanisme kunci untuk memastikan penggunaan uang
publik yang tepat dalam hal legalitas, keteraturan dan efisiensi
biaya. Kurangnya audit internal dan eksternal yang tepat dapat
menyebabkan penyalahgunaan dana publik yang dipercayakan
oleh warga negara untuk pengelolaan pemerintah.
Inspektur Jenderal (IG) dapat memiliki peran militer murni,
atau audit, investigasi, atau tugas khusus lainnya. Itjen dapat
meninjau proses dan mekanisme untuk meningkatkan efisiensi
dan nilai uang serta menghasilkan laporan dan rekomendasi
untuk mengurangi biaya, menghilangkan penipuan,
mengurangi pemborosan, menyelidiki penyalahgunaan
wewenang, meningkatkan kinerja, memperkuat kontrol internal,
dan mencapai kepatuhan terhadap undang-undang, peraturan,
dan kebijakan.
Collaborative Governance | 117

Sektor intelijen juga merupakan area khusus kegiatan


negara. Ini memiliki peran penting dalam menjaga keamanan
nasional (dan dalam beberapa kasus ekstrim, kelangsungan
hidup negara), menghasilkan keharusan yang kuat untuk
kerahasiaan. Namun, jika tidak tunduk pada kontrol dan
pengawasan, karakteristik unik sektor intelijen – keahlian dalam
pengawasan, kapasitas untuk melakukan operasi rahasia,
kontrol informasi sensitif, dan berfungsi di balik tabir
kerahasiaan – dapat merusak tata kelola demokrasi dan hak-hak
dasar dan kebebasan warga negara.

Pengendalian keuangan internal publik.


Sistem Public Internal Financial Control (PIFC) bertujuan
untuk menyediakan metode yang memadai dan transparan
untuk memastikan bahwa dana publik digunakan untuk tujuan
yang ditentukan oleh pemerintah dan parlemen. PIFC bersifat
preventif dan bertujuan untuk memastikan bahwa sistem yang
memadai tersedia untuk sedapat mungkin menghalangi
terjadinya korupsi dan penipuan.
PIFC mencakup standar internasional dan praktik terbaik
UE, dan bertujuan untuk memberikan pendekatan optimal
untuk mereformasi sistem kontrol nasional tradisional. Biasanya,
sistem pengendalian internal publik yang lebih tradisional
didasarkan pada sistem pengendalian ex ante terpusat dan
pemeriksaan ex post atas legalitas dan keteraturan pengeluaran
yang berfokus pada pengaduan pihak ketiga, transaksi yang
dipertanyakan, pelanggaran aturan anggaran (tidak peduli
bagaimana sepele atau bagaimana tidak dapat dihindari dalam
keadaan tertentu) dan menghukum kesalahan manusia. PIFC
118 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

tidak memasukkan tugas-tugas inspeksi seperti investigasi dan


hukuman atas kasus-kasus penipuan individu atau
penyimpangan serius. Tujuan PIFC adalah untuk mengalihkan
tanggung jawab pengendalian keuangan dari pengendalian
terpusat yang biasanya dilakukan oleh perbendaharaan kepada
para manajer kementerian, dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pengeluaran publik.
Standar internasional utama untuk Pengendalian
Keuangan Internal Publik adalah Organisasi Internasional
Lembaga Audit Tertinggi (INTOSAI) untuk Pengendalian
Internal di Sektor Publik, dan Kertas Posisi EC IIA tentang Audit
Internal di Eropa.
Ada tiga komponen utama pengendalian keuangan
internal publik yang diperlukan untuk mencapai penggunaan
uang publik yang efisien dan efektif dalam organisasi:
Manajemen dan pengendalian keuangan, audit internal, dan
unit harmonisasi sentral (CHU) untuk mengembangkan
metodologi dan standar yang berkaitan dengan dua pilar yang
pertama.
Manajemen dan kontrol keuangan mengasumsikan bahwa
manajer dari semua tingkatan harus bertanggung jawab atas
manajemen keuangan dan kebijakan pengendalian. Ini berarti
bahwa manajer bertanggung jawab untuk membangun dan
memelihara manajemen keuangan dan sistem kontrol untuk
melaksanakan tugas perencanaan, pemrograman,
penganggaran, akuntansi, pengendalian, pelaporan,
pengarsipan dan pemantauan. Agar sistem tersebut dapat
diterapkan, harus ada pendelegasian wewenang yang sistematis
dari kepala organisasi kepada manajemen organisasi.
Collaborative Governance | 119

Pendelegasian tersebut harus disertai dengan pendelegasian


sumber daya anggaran dan spesifikasi tujuan yang ingin dicapai
serta standar kinerja dan persyaratan pelaporan yang jelas.
Reformasi organisasi dan budaya pegawai negeri
merupakan hal mendasar bagi keberhasilan pelaksanaan PIFC,
untuk memungkinkan pengenalan gagasan akuntabilitas
manajerial. Dalam melakukan reformasi ini, pemisahan yang
lebih besar antara tanggung jawab politik dan manajerial harus
ditetapkan, dengan menteri berfokus pada strategi dan
kebijakan, dan manajer pada pemberian layanan.
Manajer organisasi juga harus bertanggung jawab untuk
membangun sistem pengendalian internal yang baik.
Pengendalian internal dapat didefinisikan sebagai organisasi,
kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk membantu
memastikan bahwa program pemerintah mencapai hasil yang
diinginkan; bahwa sumber daya yang digunakan untuk
melaksanakan program ini konsisten dengan maksud dan tujuan
yang dinyatakan dari organisasi yang bersangkutan dan bahwa
program dilindungi dari pemborosan, penipuan dan manipulasi.
Sistem pengendalian internal harus meneliti semua bidang yang
relevan dari kegiatan organisasi, seperti: ex ante kontrol
pengeluaran, sistem akuntansi, pengadaan, kontrol pendapatan
dan sistem pelaporan.
Komponen kedua adalah pembentukan mekanisme
audit/inspektorat internal yang independen secara fungsional
dengan kewenangan dan ruang lingkup yang relevan. Audit
internal adalah kegiatan independen dalam suatu organisasi
yang memberikan pendapat konsultasi profesional yang objektif
tentang sistem pengendalian internal dalam suatu organisasi. Ini
120 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

secara obyektif mengumpulkan, memeriksa, menganalisis dan


memperkirakan informasi tentang operasi sistem kontrol untuk
menetapkan apakah mereka sesuai dengan standar dan prinsip
manajemen keuangan yang sehat.
Meskipun layanan audit internal secara alami berada di
bawah kepala organisasi di mana mereka didirikan, mereka
harus sejauh mungkin independen secara organisasi dan
fungsional. Independensi organisasi berarti bahwa audit internal
independen dari kegiatan yang menjadi sasaran auditnya, bukan
merupakan bagian dari unit organisasi lain, dan bertanggung
jawab langsung kepada manajer lembaga. Independensi
fungsional berarti bahwa audit internal secara independen –
berdasarkan penilaian risiko – memilih area yang akan diaudit
dan cara audit dan pelaporan.
Terakhir, di tingkat pemerintah, juga harus ada Unit
Harmonisasi Pusat yang bertanggung jawab untuk koordinasi
dan pengawasan pengelolaan dan pengendalian keuangan yang
diterapkan, serta standar dan metodologi audit internal dari
berbagai badan publik (kementerian, lembaga, dll.). Artinya,
harus ada organisasi yang bertanggung jawab atas koordinasi
dan harmonisasi pelaksanaan pengelolaan dan pengendalian
keuangan serta audit internal di seluruh sektor publik, biasanya
di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan konsistensi dalam kualitas sistem
pengendalian internal yang ada di sektor publik, serta
menyediakan titik fokus untuk penyebaran praktik terbaik dan
mengembangkan panduan baru dan yang disempurnakan.
Collaborative Governance | 121

Audit eksternal.
Audit eksternal juga memiliki peran penting dalam
evaluasi dan pelaporan tentang bagaimana pengendalian
keuangan dan sistem audit internal diterapkan. Audit eksternal
menyediakan mekanisme kunci di mana pembayar pajak
meneliti bagaimana pemerintah menggunakan uang yang
dipilih untuk itu dan meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Di seluruh dunia, lembaga audit tertinggi nasional (SAI) telah
didirikan dengan tugas mengaudit penggunaan dana publik
secara teratur dan efisien.
SAI dapat menyelesaikan tugas mereka secara objektif dan
efektif hanya jika mereka independen dari entitas yang diaudit
dan dilindungi dari pengaruh luar. Deklarasi Lima
membedakan antara berbagai jenis independensi anggota dan
pejabatnya dan independensi finansial lembaga. (Lihat kotak
teks 4 di bawah.) Pembentukan SAI dan tingkat independensi
yang diperlukan harus diatur dalam Konstitusi, sedangkan
rincian pekerjaan mereka harus diatur dalam undang-undang.
Praktik internasional terbaik juga mensyaratkan bahwa
independensi pengelolaan SAI juga ditentukan oleh Konstitusi,
khususnya, prosedur pemberhentian dari jabatan. Metode
pengangkatan dan pemberhentian kepengurusan SAI
bergantung pada struktur konstitusional SAI setiap negara.
SAI juga perlu memiliki kemandirian finansial penuh yang
berarti bahwa mereka berhak untuk mengajukan secara
langsung sarana keuangan yang diperlukan kepada badan
publik yang memutuskan anggaran nasional (yaitu parlemen).
SAI selanjutnya berhak untuk menggunakan dana yang
122 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

dialokasikan untuk mereka di bawah pos anggaran terpisah


sesuai keinginan mereka.
Setiap SAI harus menentukan prioritasnya dalam
melakukan berbagai jenis audit sesuai dengan program yang
ditentukan sendiri. SAI juga harus memiliki akses ke semua
catatan dan dokumen yang terkait dengan manajemen keuangan
dan harus diberi wewenang untuk meminta, secara lisan atau
tertulis, informasi apa pun yang diperlukan untuk SAI.
SAI harus diberi wewenang untuk mengaudit legalitas dan
keteraturan pengelolaan keuangan serta melaksanakan audit
kinerja. Tujuan pemeriksaan legalitas dan keteraturan adalah
untuk memastikan bahwa dana publik dibelanjakan sesuai
dengan undang-undang, peraturan, dan prinsip yang ada dan
karenanya hanya dapat digunakan untuk tujuan yang
dimaksudkan oleh undang-undang yang memberi wewenang
(biasanya undang-undang anggaran tahunan dan undang-
undang substantif lainnya). Audit kinerja, di sisi lain,
berorientasi pada pemeriksaan ekonomi, efisiensi dan efektivitas
penggunaan dana publik.
Semua operasi keuangan publik, terlepas dari apakah dan
bagaimana mereka tercermin dalam anggaran nasional harus
diaudit oleh SAI. Jika bagian dari pengelolaan keuangan publik
dikeluarkan dari anggaran (misalnya pengeluaran kesehatan,
yang biasanya dioperasikan oleh Dana Jaminan Kesehatan),
tidak boleh dikecualikan dari audit oleh SAI.
SAI harus diberdayakan dan diwajibkan oleh Konstitusi
untuk melaporkan temuannya setiap tahun dan secara
independen kepada parlemen atau badan publik lain yang
bertanggung jawab. Hal ini memastikan distribusi dan diskusi
Collaborative Governance | 123

yang ekstensif dan meningkatkan peluang untuk menegakkan


temuan-temuan SAI. Parlemen atau komite yang ditunjuknya
juga berkewajiban untuk mempertimbangkan laporan-laporan
SAI dan pemerintah berkewajiban untuk secara formal dan
publik menanggapi laporan-laporan yang dipublikasikan. Lebih
lanjut penting untuk memastikan tindak lanjut yang efektif
apakah rekomendasi SAI dan parlemen dilaksanakan.

Independensi Lembaga Pemeriksa Keuangan (Deklarasi Lima,


bagian 5-7)
• Lembaga Pemeriksa Keuangan dapat melaksanakan
tugasnya secara obyektif dan efektif hanya jika lembaga
tersebut independen dari entitas yang diperiksa dan
dilindungi dari pengaruh luar.
• Meskipun lembaga negara tidak dapat berdiri sendiri secara
mutlak karena merupakan bagian dari negara secara
keseluruhan, namun Lembaga Pemeriksa Keuangan
memiliki kemandirian fungsional dan organisasional yang
diperlukan untuk melaksanakan tugasnya.
• Pembentukan Lembaga Pemeriksa Keuangan dan tingkat
independensinya yang diperlukan diatur dalam Undang-
Undang Dasar; rinciannya dapat diatur dalam undang-
undang. Secara khusus, perlindungan hukum yang memadai
oleh Mahkamah Agung terhadap campur tangan terhadap
independensi dan mandat audit Lembaga Pemeriksa
Keuangan harus dijamin.

Independensi anggota dan pejabat Lembaga Pemeriksa


Keuangan.
124 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

• Independensi BPK tidak dapat dipisahkan dengan


independensi anggotanya. Anggota adalah orang-orang yang
harus mengambil keputusan bagi Lembaga Pemeriksa
Keuangan dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut
kepada pihak ketiga, yaitu anggota badan pembuat
keputusan atau kepala Pemeriksa Keuangan yang
diselenggarakan secara monokratis. Lembaga.
• Independensi para anggota dijamin oleh Konstitusi. Secara
khusus, tata cara pemberhentian dari jabatan juga harus
dituangkan dalam Konstitusi dan tidak boleh mengganggu
independensi para anggota. Metode pengangkatan dan
pemberhentian anggota tergantung pada struktur
konstitusional masing-masing negara.
• Dalam karir profesionalnya, staf audit BPK tidak boleh
dipengaruhi oleh organisasi yang diperiksa dan tidak boleh
bergantung pada organisasi tersebut.

Kemandirian keuangan Lembaga Pemeriksa Keuangan.


• Lembaga Pemeriksa Keuangan harus dilengkapi dengan
sarana keuangan yang memungkinkan untuk melaksanakan
tugasnya.
• Jika diperlukan, Lembaga Pemeriksa Keuangan berhak
untuk mengajukan secara langsung sarana keuangan yang
diperlukan kepada badan publik yang memutuskan
anggaran nasional.
• Lembaga Pemeriksa Keuangan berhak menggunakan dana
yang dialokasikan untuk mereka di bawah pos anggaran
tersendiri yang dianggap perlu.
Collaborative Governance | 125

Inspektur Jenderal.
Banyak negara memiliki jabatan Inspektur Jenderal (IG),
bersama dengan staf Itjen pendukung (yang dapat berupa
militer atau sipil), yang dapat mencakup fungsi khusus atau
umum. IG dapat bervariasi dalam peringkat, dan tugas mereka
juga akan bervariasi dari satu negara ke negara lain dan
kebutuhan kepemimpinan. Peran utama mereka, terutama
dalam kaitannya dengan bidang berisiko tinggi seperti
memerangi pemborosan atau korupsi, adalah: inspeksi;
pendampingan; investigasi dan pelatihan (seperti membangun
integritas di lembaga pertahanan); dan beberapa IG juga
memiliki fungsi penjangkauan dengan negara lain. Wewenang
Itjen berasal dari undang-undang dan peraturan dan Itjen harus
menunjukkan kualitas pribadi dengan standar tertinggi dan
memberikan nasihat yang akurat dan tidak memihak kepada
pimpinan yang harus mereka akses secara teratur dan langsung.
Itjen sering bertindak sebagai penasihat utama Menteri
Pertahanan, atau penunjukan militer senior (walaupun dalam
beberapa kasus Inspektur Jenderal Khusus dapat bertanggung
jawab langsung kepada parlemen).
Itjen harus benar-benar mandiri dan dapat memilih program
kerja mereka sendiri yang dapat mencakup bidang-bidang
seperti:
• masalah kesehatan dan keselamatan
• perdagangan orang
• whistle-blower reprisal – militer, sipil, karyawan kontraktor,
karyawan dana yang tidak dialokasikan
• evaluasi kesehatan mental militer yang tidak tepat
• kebocoran informasi rahasia
126 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

• suap dan penerimaan gratifikasi


• konflik kepentingan
• penipuan kontrak dan pengadaan
• penipuan perawatan kesehatan
• pengaduan hotline
• meninjau proses militer untuk meningkatkan efisiensi,
meningkatkan nilai uang atau mengurangi korupsi
• penipuan kartu perjalanan atau pembelian
• kesalahan pengisian biaya/tenaga kerja
• suku cadang palsu atau di bawah standar
• kejahatan komputer

Itjen dapat meninjau proses dan mekanisme untuk


meningkatkan efisiensi dan nilai uang dan menghasilkan
laporan dan rekomendasi untuk mengurangi biaya,
menghilangkan penipuan, mengurangi pemborosan,
menyelidiki penyalahgunaan wewenang, meningkatkan kinerja,
memperkuat kontrol internal, dan mencapai kepatuhan
terhadap hukum, peraturan, dan kebijakan.

Kontrol layanan intelijen.


Tantangan pengendalian intelijen yang efektif adalah
signifikan dan menakutkan, terutama di lingkungan di mana
persepsi ancaman terhadap keamanan meningkat. Paradoks
perjuangan untuk transparansi di area yang secara inheren
rahasia dan tingkat kebijaksanaan profesional yang dibutuhkan
oleh intelijen yang efektif adalah isu sentral. Namun demikian,
nilai-nilai dan norma-norma yang mendasar bagi sistem
demokrasi mengharuskan badan-badan intelijen bertanggung
Collaborative Governance | 127

jawab dan tunduk pada kontrol eksternal oleh ketiga cabang


pemerintahan, legislatif, eksekutif dan yudikatif:
• Badan Legislatif - Badan Legislatif dapat meninjau laporan
dari badan intelijen yang diserahkan ke parlemen dan
meneliti badan intelijen melalui komite khusus.
• Eksekutif - Menteri melakukan kontrol intelijen melalui
arahan dan pedoman kebijakan. Hubungan pemerintah dan
badan intelijen tidak boleh terlalu dekat untuk menghindari
politisasi intelijen dan melemahnya pengawasan.
• Yudikatif - Pengadilan dapat meninjau kekuasaan dinas
intelijen dan tindakan pemerintah untuk memastikan bahwa
mereka tidak melanggar hak warga negara.

6.8 Institusi Ombudsman


Lembaga ombudsman penting untuk membangun
integritas. Agar negara demokrasi dapat mencapai tujuan
pemerintahan yang baik, kontrol terus-menerus, baik politik
maupun hukum, dikenakan pada lembaga pemerintah dan
pejabat publik. Namun, mekanisme kontrol dan pemulihan yang
diberikan oleh parlemen dan pengadilan mungkin tidak selalu
sepenuhnya memadai karena politisasi partai dari pengawasan
parlemen dan proses pengadilan yang panjang. Oleh karena itu,
untuk memastikan administrasi yang baik dan fair play,
lembaga ombudsman muncul, pertama di negara-negara
Skandinavia dan kemudian di Inggris dan Selandia Baru.
Ombudsman diberi wewenang untuk menyelidiki keluhan
warga tentang keputusan pemerintah dan merekomendasikan
perbaikannya. Biasanya dia memiliki kekuatan untuk
menyelidiki dan mengkritik tetapi tidak untuk membalikkan
128 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

tindakan administratif. Ombudsman adalah arbiter independen


antara pemerintah dan warga negara. Bisa dibilang, keberadaan
lembaga ombudsman dan pengungkapan temuannya akan
membantu mengungkap korupsi dan menghalangi pejabat
publik untuk terlibat dalam perilaku tersebut.
Catatan ombudsman militer menunjukkan bahwa lembaga
ini dapat menjadi alat yang ampuh dalam meningkatkan
kepercayaan publik di sektor pertahanan. Selain itu,
ombudsman militer memberikan perlindungan penting bagi
prajurit individu dan wanita dari perlakuan sewenang-wenang
di dalam militer.

Standar normatif faktor kelembagaan


Lembaga ombudsman harus diatur oleh Konstitusi atau
ketentuan hukum dan kantor ombudsman didirikan oleh
undang-undang. Prosedur penunjukan ombudsman harus
memastikan pemegang jabatan memiliki tingkat independensi
yang memadai. Dia harus dilindungi dari pemindahan atau
kecaman sewenang-wenang dan kantor ombudsman diberi
anggaran terpisah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
organisasi.
Anggota staf ombudsman harus dipekerjakan atas dasar jasa
profesional dan mudah diakses oleh warga negara.
Kompetensi
Bidang tanggung jawab ombudsman harus mencakup
kompetensi berikut ini:
• Hak untuk menyelidiki apakah pemerintah, termasuk
Kementerian Pertahanan, menjalankan fungsinya sesuai
dengan hukum dan standar etika.
Collaborative Governance | 129

• Hak untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah


atau lembaga negara individu untuk membalikkan tindakan
administrasi yang tidak tepat.
• Hak untuk mempublikasikan hasil kegiatannya.
• Hak untuk mengajukan proposal untuk undang-undang
baru dan langkah-langkah lain untuk mempromosikan tata
pemerintahan yang baik dan integritas.
• Hak untuk merekomendasikan pemberhentian pejabat
politik, dengan mendokumentasikan praktik politik atau
administrasi ilegal.

Pelaporan
Sebagian besar kantor ombudsman melaporkan kegiatan
kantor setiap tahun kepada otoritas yang menunjuk, pembuat
kebijakan lain dan publik. Biasanya laporan tersebut mencakup
informasi tentang: jumlah pertanyaan yang diterima, jumlah
kasus yang diselesaikan, kasus yang diselidiki dan investigasi
yang tertunda, rekomendasi dibuat dan dipatuhi atau tidak.
6.8.1 Ombudsman Pertahanan
Ombudsman untuk pertahanan merupakan mekanisme
tambahan untuk memantau militer, atas nama warga negara
dan/atau parlemen. Tugas utama ombudsman militer adalah
untuk menyelidiki dugaan keputusan sewenang-wenang atau
pelanggaran ringan yang dilakukan atas nama menteri yang
bertanggung jawab dari dinas keamanan, terutama militer.
Penanaman kelembagaan ombudsman militer dalam
sistem politik bervariasi dari satu negara ke negara lain.
Ombudsman pertahanan dapat ditunjuk oleh parlemen dan
melapor ke parlemen (Jerman, Swedia), atau dapat ditunjuk oleh
130 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

menteri pertahanan (Israel, Kanada). Beberapa ombudsman


memiliki kantor di dalam kantor parlemen (seperti halnya
Komisioner Parlemen Jerman untuk Angkatan Bersenjata atau
dapat secara institusional berlokasi di luar parlemen (Swedia).
Warga atau prajurit yang dianiaya oleh militer dapat
meminta ombudsman untuk memulai penyelidikan. Selain itu,
anggota parlemen dapat meminta ombudsman untuk
menyelidiki dugaan pelanggaran dan pengaduan. Seringkali
kasus-kasus yang diselidiki oleh ombudsman berhubungan
dengan pembebasan dan penundaan wajib militer, pemindahan
dan penempatan kembali selama dinas militer, demobilisasi, cuti,
pelanggaran disiplin dan dapat dihukum. Jika ombudsman
menemukan bahwa pengaduan itu dapat dibenarkan, ia dapat
membuat rekomendasi, termasuk menuntut lembaga yang
bersangkutan untuk mengubah atau mempertimbangkan
kembali keputusannya.
Mengingat sifat sektor keamanan, beberapa informasi tidak
dapat diungkapkan kepada publik karena alasan keamanan
nasional. Banyak negara telah menetapkan ketentuan khusus
dalam undang-undang tentang bagaimana ombudsman harus
beroperasi dalam masalah keamanan nasional. Secara umum,
bahkan di mana aturan kerahasiaan tertinggi berlaku,
ombudsman diizinkan untuk melakukan penyelidikan apa pun
yang diperlukan, dan memiliki akses ke pangkalan militer dan
semua dokumen yang relevan untuk kasus tertentu. Namun,
ombudsman tidak dapat mengungkapkan hasil investigasi
tersebut kepada publik.
Collaborative Governance | 131

6.9 Pengadaan Publik dan Pembuangan Aset


Pengaturan untuk pengadaan umum dan pembuangan
aset penting untuk membangun integritas karena beberapa
alasan.
• Tidak diragukan lagi pengadaan publik adalah kegiatan
pemerintah yang paling rentan terhadap korupsi –
mengingat volumenya yang sangat besar transaksi dan
jumlah orang dan organisasi yang terlibat.
• Pengaturan yang tidak memadai untuk pengadaan publik:
o dapat mengurangi kepercayaan publik dalam proses
persaingan, dan merusak manfaat dari pasar yang
kompetitif
o dapat mengarah pada tender kolusi di mana bisnis,
yang seharusnya diharapkan untuk bersaing, diam-
diam bersekongkol untuk menaikkan harga atau
menurunkan kualitas barang atau jasa untuk pembeli
yang ingin memperoleh produk atau jasa melalui
proses penawaran.
• Organisasi publik dan swasta mengandalkan penawaran
kompetitif untuk mencapai nilai uang yang lebih baik. Proses
pengadaan hanya akan menghasilkan harga yang lebih
rendah dan kualitas yang lebih baik jika perusahaan dapat
bersaing secara transparan.

Kerangka hukum pengadaan umum


Kerangka hukum nasional harus menyediakan
pembentukan infrastruktur kelembagaan dan administrasi yang
koheren dan komprehensif untuk semua aspek proses
pengadaan: perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,
132 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

pemantauan dan pengendalian. Adalah penting bahwa


kerangka hukum membedakan dengan jelas antara undang-
undang, peraturan dan prosedur dan bahwa prioritas ditetapkan
secara tegas untuk meminimalkan inkonsistensi dalam
implementasinya. Sebaiknya setiap badan publik memiliki
manual pengadaan publik yang memuat ketentuan terkait
integritas dan etika. Tugas yang terkait dengan pengadaan
publik harus tercermin dengan jelas dalam uraian tugas semua
pegawai negeri/pegawai negara yang bersangkutan.
Kerangka hukum umum untuk pengadaan publik harus
mencakup semua bidang/sektor/situasi. Namun, di beberapa
negara, sejumlah badan/daerah publik – khususnya sektor
pertahanan – dikecualikan dari Undang-Undang Pengadaan
Umum. Pengecualian dari persyaratan persaingan secara
signifikan meningkatkan risiko salah urus dan korupsi. Dengan
demikian, penggunaan pengurangan harus dibatasi pada kasus-
kasus yang didefinisikan dengan jelas dan luar biasa (Pengadilan
Uni Eropa). Pengurangan dari undang-undang pengadaan
publik umum harus dianggap sebagai masalah politik/hukum
yang serius.
Sebagai aturan umum, pengadaan peralatan, pekerjaan,
dan layanan non-sensitif dan non-militer di bidang pertahanan
harus diatur oleh undang-undang pengadaan umum. Namun,
pengecualian dapat dibuat ketika aturan umum tidak cukup:
• Melindungi informasi rahasia
• Mengamankan pasokan barang dan jasa yang sangat penting,
khususnya pada saat krisis atau konflik bersenjata.
Lingkup pengadaan militer harus didefinisikan secara jelas
dan menyeluruh. Misalnya peralatan militer biasanya meliputi:
Collaborative Governance | 133

• Senjata, amunisi, bahan perang (war materials)


• Produk yang tidak dimaksudkan untuk tujuan militer
khusus
• Peralatan, pekerjaan, dan layanan keamanan sensitif yang
melibatkan akses ke informasi rahasia.

Harus ada kantor pengadaan publik dengan dasar hukum yang


jelas untuk pekerjaannya dan dengan tanggung jawab
keseluruhan untuk desain dan implementasi kebijakan
pengadaan publik. Kantor semacam itu mungkin berlokasi di
kementerian atau di kantor perdana menteri.
6.9.1 Prosedur Pengadaan
Pengadaan pertahanan dilaksanakan dalam tiga tahap,
yaitu: pre-bidding, bidding, dan post-bidding.

Pre-bidding
Kurangnya perencanaan sistematis dan pelaksanaan
proses pengadaan menciptakan risiko praktik yang tidak jelas
dan korup. Oleh karena itu, setiap badan publik yang akan
melaksanakan pengadaan harus menyusun rencana pengadaan
yang merinci barang-barang yang akan dibeli, anggaran yang
tersedia, penanggung jawab dan tenggat waktu pelaksanaan
rencana tersebut. Rencana pengadaan harus disetujui oleh
kepala organisasi pengadaan. Untuk menjamin transparansi,
disarankan agar semua rencana pengadaan dipublikasikan.
Tindakan pencegahan harus diambil untuk memastikan bahwa
spesifikasi teknis tidak dijelaskan dan persyaratan mengenai
kepatuhan administratif dan kapasitas teknis dan keuangan
tidak diatur sedemikian rupa sehingga hanya ada satu pemasok.
134 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Bidding
Sifat sebenarnya dari pengadaan yang dimaksud harus
menentukan pilihan prosedur pengadaan yang akan digunakan.
Setiap keputusan untuk melakukan pengadaan dari “sumber
tunggal” harus didasarkan pada prosedur khusus. Jumlah
keseluruhan prosedur "sumber tunggal" dan nilainya harus
dijaga seminimal mungkin.
Informasi tentang pengadaan publik harus dipublikasikan
secara luas, mis. di semua media massa utama. Namun,
sementara negara-negara semakin mengungkapkan lebih
banyak informasi tentang prosedur dan peluang pengadaan
publik sesuai dengan Undang-Undang Kebebasan Informasi,
ada indikasi bahwa mereka menjadi semakin selektif dalam hal
informasi yang tidak diungkapkan – pada tahap proses apa dan
untuk siapa (penawar, pemangku kepentingan lainnya dan
masyarakat luas). Penting untuk memastikan bahwa semua
penawar memiliki akses ke informasi yang sama pada waktu
yang sama.
Jangka waktu untuk persiapan penawaran yang tidak
mencukupi atau tidak diterapkan secara konsisten di seluruh
penawar dapat menguntungkan penawar tertentu. Oleh karena
itu, keputusan pengadaan harus memberikan waktu yang cukup
bagi semua calon penyedia untuk mempersiapkan penawaran
mereka.
a. Dokumentasi
Kerangka acuan proses pengadaan harus didasarkan
pada analisis kebutuhan yang tepat dan sepenuhnya
sesuai dengan tujuan dan sasaran pengadaan.
Collaborative Governance | 135

Langkah-langkah harus diambil untuk memastikan


bahwa dokumentasi teknis dan definisi kapasitas
keuangan dan teknis secara langsung sesuai dengan
tujuan dan sasaran pengadaan.
b. Evaluasi
Keputusan untuk membentuk komisi evaluasi harus
diambil sebelum pengumuman pengadaan publik
diterbitkan. Anggota komisi evaluasi harus dipilih
melalui prosedur seleksi terbuka. Mekanisme yang
memastikan bahwa anggota komisi tidak berada dalam
situasi konflik kepentingan harus ada. Semua anggota
komisi harus independen dalam pengambilan keputusan
dan sepenuhnya mampu menilai secara objektif para
penawar dan proposal mereka dan membuat
rekomendasi akhir. Rekomendasi komisi evaluasi harus
dibenarkan dan dipublikasikan di situs web kementerian.
Sebagai aturan umum, rekomendasi harus mengikat
secara hukum bagi pengambil keputusan akhir.
Semua komisi evaluasi tender harus menyiapkan catatan
yang lengkap dan cukup rinci – di atas kertas dan dalam
bentuk elektronik – dari proses pengadaan. Semua
penawar (yang gagal) harus memiliki hak yang diakui
untuk mengakses dan mendasarkan banding potensial
pada catatan ini. Kurangnya akses tersebut membuat
penawar yang gagal untuk menantang keputusan
pengadaan.

Post-bidding
a. Kontrak
136 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Mekanisme untuk menentukan kualitas barang dan jasa


yang dibeli – dan untuk mengambil tindakan khusus jika
persyaratan tidak terpenuhi – harus ada di setiap badan
publik, termasuk Kementerian Pertahanan.
b. Prosedur pengaduan/banding
Prosedur pengaduan/banding harus memastikan bahwa
penawar memiliki hak dan secara praktis diberdayakan
untuk menegakkan/membela kepentingan mereka.
Prosedur banding harus efisien (murah dan cepat),
menyediakan pemeriksaan dan terbuka untuk umum.
Banding / otoritas pengaduan harus cukup independen
dari pembuat keputusan tingkat pertama.
Pendekatan proporsional untuk kontrol dianjurkan;
pengadaan besar harus dipantau/diperiksa. Prosedur
kontrol ex-ante harus diperkenalkan untuk pengadaan
dengan nilai yang sangat tinggi.

6.9.2 Pembuangan Aset


Seringkali pelepasan aset 'di bawah radar' adalah area
utama untuk korupsi, tetapi salah satu yang mudah ditangani
dengan kontrol. Selain personel dan keahlian, peralatan dan
bangunan sering kali merupakan aset paling berharga yang
dimiliki oleh lembaga pertahanan atau keamanan. Dalam
lembaga pertahanan dan keamanan, aset dapat dibagi menjadi
enam kategori: 1. Peralatan militer yang tidak dapat digunakan
untuk tujuan sipil; 2. Tanah dan Bangunan; 3. Aset dalam
penyelesaian; 4. Alat transportasi; 5. Pabrik dan Mesin; dan 6.
Teknologi Informasi (TI) dan Komunikasi. Keenam kategori ini
Collaborative Governance | 137

dapat dikenakan korupsi. Dua kategori yang paling sering


dilaporkan adalah Tanah dan Bangunan, dan Senjata.
Dalam membuang kelebihan alutsista, lembaga pertahanan
wajib memberikan hasil yang terbaik bagi wajib pajak. Risiko
korupsi ada terutama di negara-negara yang menjual atau
membuang sejumlah besar aset dan di negara-negara konflik
atau pasca-konflik di mana aset militer tidak dapat dilindungi.
Seringkali aktor luar telah berkontribusi pada pengalihan dan
pembuangan yang tidak semestinya. Penggunaan peralatan dan
infrastruktur yang berlebih merupakan tantangan bagi semua
institusi pertahanan dan keamanan. Ketika penjualan atau
pembuangan kelebihan peralatan dan infrastruktur tidak
tunduk pada pengawasan yang sama seperti pengadaan
pertahanan, pengelolaan peralatan dan surplus dapat
melibatkan risiko korupsi yang sangat tinggi. Pada prinsipnya,
penjualan peralatan atau infrastruktur harus didekati dengan
cara yang mirip dengan pengadaan.

Pengadaan pertahanan – rekomendasi TI


Proses pengadaan pertahanan akan bervariasi dari satu
negara ke negara lain, dan akan ada variasi lebih lanjut
tergantung pada apakah pengadaan pertahanan akan dilakukan
dengan menggunakan kompetisi terbuka, atau akuisisi sumber
tunggal, atau sebagai bagian dari program offset (juga disebut
counter trade). Pada dasarnya evaluasi operasional harus
dilakukan untuk mengidentifikasi kemampuan tempur yang
dibutuhkan dan pilihan peralatan untuk mengisinya; pengadaan
besar harus diteliti dan disetujui oleh parlemen, tetapi barang-
barang yang lebih kecil dapat diperoleh sesuai dengan delegasi
138 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

keuangan yang disetujui dan dialokasikan untuk organisasi dan


komandan. Namun; semua akuisisi dan anggaran harus
transparan. Idealnya serangkaian prosedur dan mekanisme
integritas harus ada untuk mengurangi risiko korupsi, seperti:
iklan publik tentang peluang tender; penggunaan organisasi
pengadaan peralatan yang terpisah (dari pengguna akhir);
persaingan terbuka (sebagai lawan dari pengadaan sumber
tunggal) sebagai prosedur normal; penilaian tender independen;
delegasi keuangan dan komersial yang terpisah; persetujuan
proyek independen; pengawasan parlemen dan publik;
pelepasan dokumen secara serentak kepada semua peserta
tender; dan menanyai semua peserta tender tentang pemberian
kontrak yang menguraikan skor yang dinilai. terhadap kriteria.
Pengadaan sumber tunggal dalam pertahanan –rekomendasi
TI
Idealnya semua pengadaan harus dilakukan dengan
kompetisi untuk menekan biaya dan mengurangi risiko korupsi;
namun, ini tidak mungkin dalam praktiknya dan beberapa item
atau layanan perlu diperoleh dari satu sumber (yaitu tanpa
persaingan – seperti suku cadang spesialis dari produsen
peralatan tertentu). Meskipun prosedur ini dapat diterima bila
benar-benar diperlukan, prosedur ini dapat disalahgunakan dan
dapat menyembunyikan korupsi. Pengadaan sumber tunggal
harus dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan (misalnya
pengadaan kaus kaki tidak boleh dari sumber tunggal tetapi
dipertandingkan) dan harus ada mekanisme pembenaran dan
transparansi untuk mitigasi risiko. Seringkali pengadaan sumber
tunggal digunakan selama akuisisi persyaratan Operasional
Mendesak (UOR). UOR biasanya digunakan untuk: memperoleh
Collaborative Governance | 139

kemampuan operasional tertentu yang diidentifikasi dalam


waktu singkat; mengisi celah yang tidak diketahui sebelumnya;
mempercepat program; memberikan patch sampai program
yang didanai dilaksanakan; atau mengisi kesenjangan yang
diidentifikasi sebelumnya yang tidak didanai. UOR sering kali
diselimuti kerahasiaan dan dilakukan dalam waktu yang sangat
singkat, sering kali melewati rute pendanaan dan pengawasan
konvensional yang dirancang untuk mengurangi risiko korupsi.
Sementara UOR adalah alat yang sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan operasional pemberitahuan singkat,
mereka tetap harus tunduk pada pengawasan dan transparansi.
pemberitahuan singkat, seringkali melewati jalur pendanaan
dan pengawasan konvensional yang dirancang untuk
mengurangi risiko korupsi. Sementara UOR adalah alat yang
sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan
operasional pemberitahuan singkat, mereka tetap harus tunduk
pada pengawasan dan transparansi.
140 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Referensi:
European Anti-Fraud Office (OLAF). (2021). Annual Report 2020.
https://ec.europa.eu/anti-
fraud/sites/antifraud/files/olaf_annual_report_2020_en.p
df
Transparency International. (2020). Defence Companies Anti-
Corruption Index 2020. https://ti-defence.org/wp-
content/uploads/2020/07/20200706-DCACI-2020.pdf
United Nations Development Programme (UNDP). (2018). Anti-
Corruption Agencies: Review of Experience.
https://www.undp.org/content/dam/undp/library/Demo
cratic%20Governance/Anti-
Corruption/UNDP%20RBA%20Review%20of%20Experie
nce%20-%20Anti-Corruption%20Agencies%20.pdf
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). (2020).
Technical Guide to the United Nations Convention
against Corruption.
https://www.unodc.org/documents/treaties/UNCAC/Pub
lications/2020/Technical_Guide_to_UNCAC_2020_editio
n.pdf
World Bank. (2019). Governance Global Practice.
https://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/g
overnance-global-practice
Collaborative Governance | 141

BAB 7
MANAJEMEN SUMBER
DAYA MANUSIA
7.1 Pendahuluan

7.2 Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

7.3 Pemisahan Politik dan Administrasi

7.4 Rekrutmen dan Promosi


7.5 Pemutusan Hubungan Kerja
7.6 Sistem Penghargaan
142 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 7
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

7.1 Pendahuluan
entingnya pengaturan Manajemen Sumber Daya Manusia
P (MSDM) dalam membangun integritas di sektor
kepegawaian dan keamanan. Peran utama dari kedua sektor ini
adalah untuk menjaga nilai-nilai konstitusional serta melindungi
kepentingan umum dan keamanan negara sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Namun, konflik dan politisasi yang tidak
semestinya dapat mengancam kesetiaan dan ketidakberpihakan
dari pegawai negeri khususnya dan personel militer, terutama
perwira senior. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemisahan
yang tegas antara politik dan administrasi serta antara politik
dan militer untuk memastikan kinerja yang efisien, profesional,
dan tidak memihak dari kedua sektor tersebut. Penulis akan
membahas asumsi dasar dari pemisahan politik dan
administrasi serta pemisahan politik dan militer yang berkaitan
dengan sumber legitimasi dan logika dasar yang berbeda dalam
setiap entitas.

7.2 Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)


Pengaturan manajemen sumber daya manusia (MSDM)
yang baik sangat penting untuk membangun integritas dalam
organisasi kepegawaian dan sektor keamanan. Sebagai penegak
Collaborative Governance | 143

nilai-nilai konstitusional dan pelindung kepentingan umum dan


keamanan negara, peran mereka harus dilaksanakan secara
profesional dan tanpa pandangan politis yang memihak. Namun,
implementasi MSDM yang buruk dapat mempengaruhi sejauh
mana peran ini dapat terpenuhi dan bahkan menyebabkan
potensi konflik antara kesetiaan kepada pemerintah saat itu dan
kewajiban konstitusional.
Pada tingkat organisasi kepegawaian, MSDM yang baik
meliputi rekrutmen yang terbuka dan adil, kompensasi yang
kompetitif, pelatihan dan pengembangan kapasitas yang
berkelanjutan, serta pengukuran kinerja yang obyektif. Hal ini
membantu memastikan bahwa pegawai negeri tidak terlibat
dalam perilaku yang tidak etis dan menjaga ketidakberpihakan
mereka terhadap penguasa politik.
Sementara itu, di sektor keamanan, MSDM yang baik
termasuk standar etika yang ketat dan pelatihan yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dengan
profesional. Politisasi yang tidak semestinya dapat
membahayakan kesetiaan personel militer terutama pada
perwira senior, mengancam ketidakberpihakan mereka dan
bahkan memecah belah kesetiaan mereka.
Pemisahan yang tegas antara politik dan administrasi serta
antara politik dan militer sangat penting dalam memastikan
MSDM yang baik. Pemisahan ini didasarkan pada asumsi dasar
bahwa politik dan administrasi/militer memiliki sifat yang
berbeda, memiliki logika dasar yang berbeda, dan memiliki
sumber legitimasi yang berbeda. Politik didasarkan pada
kepercayaan publik yang diekspresikan dalam pemilihan politik
144 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

yang bebas, sementara administrasi dan militer didasarkan pada


prestasi dan kemampuan profesional.

Dalam upaya membangun integritas dalam organisasi


kepegawaian dan sektor keamanan, pemerintah perlu
mengimplementasikan MSDM yang baik dan memastikan
pemisahan yang jelas antara politik dan administrasi/militer.
MSDM yang baik akan membantu memastikan kesetiaan pada
kewajiban konstitusional dan meminimalkan potensi konflik
antara kesetiaan kepada pemerintah saat itu dan kewajiban
konstitusional. Ini akan memperkuat peran organisasi
kepegawaian dan sektor keamanan dalam menegakkan nilai-
nilai konstitusional, melindungi kepentingan umum dan
keamanan negara, dan membangun integritas dalam organisasi.

7.3 Pemisahan Politik dan Administrasi


Pemisahan antara politik dan administrasi serta politik dan
militer merupakan konsep yang penting dalam good governance.
Konsep ini berasal dari negara-negara Eropa yang percaya
bahwa pemisahan ini akan memungkinkan kinerja yang efisien,
profesional, dan tidak memihak dari administrasi publik dan
angkatan bersenjata. Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa
terdapat berbagai entitas utama dalam domain publik, yang
memiliki sifat, logika, dan sumber legitimasi yang berbeda-beda.
Politik didasarkan pada kepercayaan publik dan disahkan
melalui pemilihan politik yang bebas, sedangkan administrasi
dan militer didasarkan pada prestasi dan kemampuan
profesional yang dibuktikan melalui persaingan untuk
memasuki organisasi masing-masing.
Collaborative Governance | 145

Pemisahan antara politik dan administrasi serta politik dan


militer menjadi penting karena dapat mencegah konflik
kepentingan dan politisasi yang tidak semestinya. Tanpa
pemisahan ini, pegawai negeri dan personel militer dapat
terjebak dalam hubungan yang sulit dengan penguasa politik
mereka, dan karenanya mengancam ketidakberpihakan mereka
dan memecah belah kesetiaan.
Oleh karena itu, setiap negara harus memiliki aturan yang
jelas dan diterima secara universal untuk menentukan posisi
mana yang termasuk dalam ranah politik dan mana yang
termasuk dalam administrasi/militer. Hal ini akan
memungkinkan terciptanya tata kelola yang baik dalam setiap
sektor dan mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan.
Dalam konteks pembangunan industri, pemisahan antara
politik dan administrasi serta politik dan militer juga menjadi
sangat penting. Sebagai bagian dari sektor publik, organisasi
industri harus menjalankan fungsinya untuk kepentingan
umum dan melindungi keamanan negara. Dengan pemisahan
yang jelas antara politik dan administrasi, serta politik dan
militer, pengaturan MSDM yang tepat dapat diterapkan
sehingga peran ini terpenuhi secara efisien dan profesional.
Dalam hal ini, pembinaan integritas dan pengurangan
korupsi di sektor industri juga harus menjadi fokus utama.
Diperlukan rekrutmen yang terbuka dan adil, paket kompensasi
yang kompetitif, dan pelatihan dan pengembangan kapasitas
secara berkelanjutan untuk menciptakan lingkungan kerja yang
profesional dan berintegritas. Dengan demikian, pengaturan
MSDM dan pemisahan yang jelas antara politik dan administrasi
146 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

serta politik dan militer dapat membantu membangun integritas


dalam pembangunan industri.
7.4 Rekrutmen dan Promosi
Diakui secara luas bahwa prestasi dan profesionalisme
birokrasi tidak hanya menjadi fondasi penting dari administrasi
publik yang baik dan efektif; birokrasi yang tidak memihak,
kompeten secara profesional dan cukup independen untuk
“berbicara kebenaran kepada kekuasaan”, telah menjadi
landasan sistem pemerintahan demokratis untuk pegawai negeri,
sedangkan militer biasanya sejajar dengan Kepala Negara dan
bersifat a-politis. Dalam mungkin sebagian besar negara di
wilayah OECD, prinsip merit adalah dasar penempatan staf di
organisasi kepegawaian sipil dan militer. Untuk negara-negara
kandidat UE, layanan publik yang profesional dan karenanya
sistem rekrutmen berdasarkan prestasi merupakan prasyarat
yang diperlukan untuk memenuhi kriteria Kopenhagen dan
Madrid untuk aksesi. Dengan demikian, Kemitraan Eropa
mewajibkan pemerintah negara-negara kandidat (calon) untuk
“meningkatkan prosedur rekrutmen berdasarkan kriteria
objektif dan berdasarkan prestasi, memastikan transparansi dan
penunjukan segera pegawai negeri sipil yang berkualitas dalam
menyelaraskan undang-undang pegawai negeri untuk
membangun pegawai negeri yang akuntabel, efisien,
berdasarkan kriteria pengembangan karir profesional.”
Prinsip merit berarti bahwa pengangkatan harus non-
partisan dan dilakukan dengan prosedur yang adil dan terbuka
berdasarkan penilaian kompetensi dan kemampuan untuk
melakukan pekerjaan. Singkatnya, janji harus bertujuan untuk
memilih orang terbaik yang tersedia. Jika beberapa kandidat
Collaborative Governance | 147

kompeten, posisi tersebut harus ditawarkan kepada orang yang


akan melakukannya dengan baik. Penentuan prestasi mencakup
penilaian terhadap pendidikan, keterampilan, pengetahuan
pelamar, prestasi kerja sebelumnya dan tahun-tahun pelayanan
berkelanjutan dalam pelayanan publik. Pelamar dinilai
berdasarkan kriteria seleksi yang diperlukan untuk posisi
tersebut, atau peringkat promosi/komando yang bersangkutan.
Kandidat yang paling berjasa akan menjadi orang yang
kinerjanya paling sesuai dengan elemen posisi yang paling kritis.
Seluruh prosedur harus dilakukan dalam proses kompetitif
yang transparan dan publik yang memungkinkan pelamar
untuk dinilai dan diberi peringkat relatif satu sama lain. Proses
seleksi harus objektif, tidak memihak dan diterapkan secara
konsisten agar dianggap adil. Prosedur perekrutan juga harus
ditentukan sebelumnya secara hukum dan hasilnya harus
ditinjau oleh badan administratif independen dan minimal oleh
pengadilan. Selanjutnya, prosesnya harus terbuka, artinya
peluang kerja harus diiklankan secara terbuka dan kandidat
potensial harus diberikan informasi yang diperlukan tentang
posisi dan persyaratannya serta tentang proses seleksi.
Perbedaan dapat dibuat antara perekrutan untuk kondidi
berikut:
• Posisi masuk.
• Posisi yang lebih tinggi.
• Posisi tingkat atas.

Sedangkan prinsip merit harus diterapkan sepenuhnya


dalam dua kasus sebelumnya, mungkin diperlukan ketentuan
khusus untuk posisi puncak yang terletak di antarmuka antara
148 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

politik dan administrasi di mana elemen-elemen prinsip merit


perlu diseimbangkan dengan persyaratan dan realitas politik.
Solusi yang telah diterapkan di beberapa negara adalah prinsip
merit dan bukan prinsip penunjukan politik berlaku sepenuhnya
dalam tahap rekrutmen dan seleksi, sementara aspek politik
diperhitungkan sampai batas tertentu sehubungan dengan
pemutusan hubungan kerja. Relaksasi prinsip merit dalam hal
ini harus sejalan dengan tradisi/budaya administrasi negara.

7.5 Pemutusan Hubungan Kerja


Pekerjaan pegawai negeri sipil dan militer berbeda dengan
pekerjaan hukum swasta karena pegawai negeri sipil dan
personil militer masing-masing terlibat dalam menjalankan
kekuasaan publik dan menggunakan kekuatan mematikan
untuk melindungi Negara. Oleh karena itu, dalam banyak sistem,
stabilitas pekerjaan memiliki arti khusus – beberapa sistem
bahkan menyediakan masa kerja 'seumur hidup' atau periode
kontrak yang diperpanjang.
Jenis penghentian layanan berikut harus dibedakan:
• Masa pensiun.
• Pemecatan.
• Berakhirnya penunjukan jangka waktu tertentu.
• Pengakhiran luar biasa pengangkatan pegawai negeri sipil
tingkat atas di kementerian dan badan administratif lainnya.

Pegawai negeri sipil dan personel militer harus pensiun:


• Ketika dia mencapai usia pensiun yang sah.
• Jika ia tidak mampu secara permanen karena cacat
sebagaimana ditetapkan oleh ahli medis resmi.
Collaborative Governance | 149

• Pada titik pemutusan kontrak yang disepakati.

Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI dapat


diberhentikan/dibebaskan jika:
• Prasyarat hukum untuk pekerjaan tidak ada lagi (misalnya
kewarganegaraan negara yang bersangkutan, hukuman
pidana).
• Dia setuju dengan lembaga pemberi kerja tentang pemutusan
hubungan kerja.
• Dia mengundurkan diri, meskipun persyaratan militer dapat
menentukan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat
ditunda/ditolak dengan tunduk pada persyaratan awak
operasional atau layanan, atau kebutuhan untuk
mengamortisasi pelatihan spesialis.
• Dia tidak dapat dipindahkan dalam kasus restrukturisasi
atau penghapusan badan sipil atau militer.
• Dia gagal mencapai standar yang dipersyaratkan selama
masa percobaan.
• Dia gagal mencapai standar pengembangan profesional yang
dipersyaratkan oleh uji kompetensi/keamanan wajib selama
masa pelayanan.
• Dia telah dinyatakan bersalah atas pelanggaran ringan yang
memerlukan pemecatan mengikuti prosedur disiplin sipil
atau militer yang sesuai.

Dalam hal penunjukan untuk jangka waktu tertentu,


hubungan kerja harus berakhir secara otomatis pada akhir masa
jabatan yang ditentukan.
150 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

7.6 Sistem Penghargaan


Sebagian besar diterima bahwa prediktabilitas gaji adalah
salah satu prinsip utama yang harus menjadi dasar sistem
penggajian dalam administrasi publik dan institusi militer. Ini
mensyaratkan bahwa struktur gaji harus ditetapkan dalam
kerangka hukum dan komponen variabel gaji diturunkan ke
tingkat serendah mungkin. Gaji pokok (terkait dengan proses
penilaian pekerjaan) harus merupakan bagian utama dari
remunerasi.
Sistem penggajian dianggap lemah jika pimpinan lembaga
berwenang memutuskan penambahan bonus ke gaji pokok atas
kebijakannya sendiri, tanpa syarat yang jelas yang diatur dalam
kerangka hukum. Situasi ini dapat menyebabkan
penyalahgunaan dari pimpinan lembaga dalam hal mereka
mungkin menerapkan bonus sedemikian rupa sehingga mereka
membedakan antara pegawai negeri tanpa menggunakan
kriteria objektif atau skema manajemen kinerja yang tepat.
Akibatnya, mungkin ada pengaruh yang tidak semestinya pada
pegawai negeri dan masalah terkait integritas mungkin muncul.
Para kepala administrasi publik dan institusi militer
memiliki berbagai alat untuk memberi penghargaan atau
memotivasi bawahan mereka. Alat-alat ini, apakah moneter atau
non-moneter, harus digunakan berdasarkan kriteria objektivitas
untuk merangsang pegawai negeri sipil dan personel militer
dalam kinerja pekerjaan mereka. Dalam kasus ketika praktik
manajemen kinerja digunakan untuk memastikan kesetiaan
pribadi pegawai negeri sipil dan personel militer kepada atasan
mereka, sistem secara keseluruhan menghasilkan efek yang
merugikan dan selain secara negatif mempengaruhi kinerja staf
Collaborative Governance | 151

secara keseluruhan, dapat memiliki efek yang tidak diinginkan


pada integritas. pegawai negeri sipil dan personel militer.
Pekerjaan pegawai negeri sipil dan militer memerlukan
standar etika dan profesionalisme yang tinggi. Sebagai agen
pemerintah, mereka bertanggung jawab untuk melindungi
kepentingan negara dan keamanan publik. Oleh karena itu,
pengaturan penghentian layanan pegawai negeri sipil dan
militer harus diatur dengan ketat dan transparan agar terjamin
integritas dan efektivitas organisasi.
Masa pensiun, pemecatan, berakhirnya penunjukan jangka
waktu tertentu, dan pengakhiran luar biasa pengangkatan
adalah jenis penghentian layanan yang harus dibedakan.
Pensiun pegawai negeri sipil dan personel militer harus
dilakukan pada saat mencapai usia pensiun yang sah, cacat
permanen menurut ahli medis resmi, atau pada titik pemutusan
kontrak yang disepakati.
Namun, pegawai negeri sipil dan personel militer juga
dapat diberhentikan/dibebaskan jika prasyarat hukum untuk
pekerjaan tidak ada lagi, setuju dengan lembaga pemberi kerja
tentang pemutusan hubungan kerja, mengundurkan diri, gagal
mencapai standar yang dipersyaratkan selama masa percobaan
atau pengembangan profesional yang dipersyaratkan oleh uji
kompetensi/keamanan wajib selama masa pelayanan, atau telah
dinyatakan bersalah atas pelanggaran ringan yang memerlukan
pemecatan mengikuti prosedur disiplin sipil atau militer yang
sesuai.
Dalam hal penunjukan untuk jangka waktu tertentu,
hubungan kerja harus berakhir secara otomatis pada akhir masa
jabatan yang ditentukan. Oleh karena itu, pengaturan MSDM
152 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

yang tepat dan transparan sangat penting dalam memastikan


integritas dan efektivitas organisasi. Hal ini dapat diwujudkan
melalui aturan dan prosedur yang jelas dan diterima secara
universal untuk menentukan posisi mana yang termasuk dalam
ranah politik dan mana yang termasuk dalam
administrasi/militer, serta melalui pemisahan yang tegas antara
politik dan administrasi dan antara politik dan militer. Dengan
pengaturan MSDM yang baik, pegawai negeri sipil dan personel
militer dapat memainkan peran penting mereka dalam
menegakkan nilai-nilai konstitusional dan melindungi
kepentingan umum dan keamanan negara.
Collaborative Governance | 153

Referensi:

African Development Bank. (2018). Governance, Institution, and


Corruption: A Review of Current Issues. Abidjan: African
Development Bank.
Asian Development Bank. (2018). Good Governance and
Anticorruption: A Strategic Framework for ADB. Manila:
Asian Development Bank.
European Union. (2019). EU Anti-Corruption Report 2019: Main
Findings and Policy Implications. Brussels: European
Union.
Global Integrity. (2019). The Global Integrity Report 2019:
Confronting the Crisis of Democracy and Governance.
Washington, DC: Global Integrity.
International Monetary Fund. (2019). Governance, Institutions,
and Corruption. Washington, DC: International Monetary
Fund.
Organisation for Economic Co-operation and Development.
(2020). Public Governance in Focus 2020: Fighting
Corruption and Promoting Integrity. Paris: Organisation
for Economic Co-operation and Development.
Transparency International. (2020). Corruption Perceptions
Index 2020. Berlin: Transparency International.
U.S. Department of State. (2020). Country Reports on Human
Rights Practices for 2019. Washington, DC: U.S.
Department of State.
United Nations Development Programme. (2017). Anti-
Corruption Strategies: Making Change Happen. New York:
United Nations Development Programme.
154 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

World Bank Group. (2017). World Development Report 2017:


Governance and the Law. Washington, DC: World Bank
Group.
Collaborative Governance | 155

BAB 8
GOOD GOVERNANCE
DALAM
DEVELOPMENT
INDUSTRI
8.1 Pendahuluan

8.2 Development Industri

8.3 Reformasi dan Tata Kelola Sektor Pertahanan


8.4 Segitiga Good Governance
156 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

BAB 8
GOOD GOVERNANCE DALAM DEVELOPMENT
INDUSTRI

8.1 Pendahuluan
engembangan industri menjadi salah satu faktor kunci
P dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun,
pengembangan industri yang berkelanjutan dan efektif
membutuhkan tata kelola yang baik atau good governance.
Good governance dalam pengembangan industri memainkan
peran penting dalam menciptakan lingkungan yang memadai
untuk investasi, mendorong inovasi, menciptakan lapangan
kerja yang layak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks pembangunan industri, good governance
mengacu pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi publik,
akuntabilitas, efisiensi, dan supremasi hukum yang harus
dijalankan oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Namun, implementasi good governance dalam pengembangan
industri sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan seperti
korupsi, kebijakan yang tidak konsisten, kekurangan
keterampilan dan kapasitas, dan kurangnya partisipasi publik.
Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki tata kelola
dalam pengembangan industri menjadi penting untuk
memastikan pengembangan industri yang berkelanjutan dan
Collaborative Governance | 157

efektif yang dapat memberikan manfaat yang luas bagi


masyarakat.
8.2 Development Industri
Dewasa ini, para sarjana dan praktisi di bidang
pengembangan percaya bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan terutama bukan karena kurangnya modal atau
pendidikan, infrastruktur yang buruk, akses yang tidak
memadai ke teknologi, pembagian kekayaan yang tidak
seimbang atau ketidaksetaraan dalam perdagangan
internasional. Menurut paradigma saat ini, semua ini
berkontribusi pada keterbelakangan, tetapi masalah yang paling
mendasar adalah buruknya kinerja lembaga dan layanan negara;
yaitu, bad governance. Ada kesepakatan luas dalam development
industry bahwa meningkatkan tata kelola adalah kunci untuk
mencapai United Nations’ Millennium Development Goals (MDGs).
United Nations Development Programme (UNDP) adalah arsitek
dan pendukung pendekatan ini yang paling menonjol.
Pada tahun 1997, kepala eksekutif UNDP, James Gustavo
Speth, menulis kata pengantar untuk laporan penting yang
disebut Governance for Sustainable Development. Dia menulis:
‘Wherever change is for the better, wherever the human condition is
improving, people point to good governance as the key.’
Laporan tersebut menjelaskan bahwa selama ini good
governance lebih banyak diukur dari segi efektivitas dan efisiensi.
Sementara menegaskan bahwa ini penting, laporan tersebut
memusatkan perhatiannya pada karakteristik masyarakat. Ia
mendefinisikan good governance sebagai berikut:
“Tata kelola dapat dilihat sebagai pelaksanaan otoritas
ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola
158 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

urusan negara di semua tingkatan … Tata pemerintahan


yang baik, antara lain, partisipatif, transparan dan
akuntabel. Ini juga efektif dan adil. Dan itu
mempromosikan supremasi hukum. Tata pemerintahan
yang baik memastikan bahwa prioritas politik, sosial dan
ekonomi didasarkan pada konsensus yang luas dalam
masyarakat dan bahwa suara-suara yang paling miskin
dan paling rentan didengar dalam pengambilan
keputusan mengenai alokasi sumber daya pembangunan.”

Dalam 15 tahun berikutnya, UNDP dan lain-lain


mengelaborasi pengertian good governance, menggantinya
dengan istilah ‘democratic governance.' Para sarjana mungkin
tidak menyukai penggunaan istilah-istilah ini yang dapat
dipertukarkan, tetapi kenyataannya adalah bahwa praktisi dan
pembuat kebijakan jarang membedakan antara mereka. Sebuah
laporan tahun 2010 berjudul A Guide to UNDP Democratic
Government Practice menanyakan:
Apa artinya mensosialisasikan ‘good governance' untuk
pembangunan manusia? Tidak ada jawaban pasti atau
sederhana. Tetapi banyak diskusi tentang definisi good
governance berpusat pada apa yang membuat lembaga
dan aturan bisa lebih efektif dan efisien dalam mencapai
kesetaraan, transparansi, partisipasi, daya tanggap,
akuntabilitas, dan supremasi hukum.

Merilee S. Grindle dari Universitas Harvard menggambarkan


agenda tata kelola industri pembangunan yang baik sebagai
jangka panjang yang tidak realistis dan terus berkembang.
Collaborative Governance | 159

Perubahan yang diperlukan untuk mewujudkan tata


pemerintahan yang baik sangat mengejutkan, tetapi harapannya
tetap tinggi. Grindle merekomendasikan bertujuan untuk 'tata
kelola yang cukup baik.' Dia menunjukkan bahwa sangat
bermasalah untuk membutuhkan kemajuan cepat menuju
pemerintahan yang baik dari negara-negara yang membutuhkan
sejumlah besar bantuan asing untuk memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan. Hampir tak terhindarkan, lembaga negara
mereka lemah, tidak efektif, tidak efisien, dan integritasnya
meragukan. Bahkan jika para penguasa ingin mendorong
reformasi semacam itu dengan cepat untuk membuka jalan bagi
bantuan internasional, mereka akan gagal.

8.3 Reformasi dan Tata Kelola Sektor Pertahanan


Hambatan reformasi pemerintahan semakin besar.
Pasukan militer, intelijen, dan polisi kemungkinan besar akan
menolak upaya untuk membuat mereka lebih akuntabel dan
transparan lebih kuat dan lebih berhasil daripada lembaga
pemerintah sipil. Pemerintah mungkin dengan tegas menolak
untuk melakukan reformasi semacam itu karena takut
kehilangan dukungan dari pasukan keamanan mereka.
Namun doktrin negara-negara donor untuk Security
Sector Reform (SSR), yang ditulis oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) bekerja sama
dengan pemerintah dan pakar Eropa Barat dan Utara, sama
bersikerasnya dengan UNDP tentang perlunya good governance.
Pendekatan mereka, yang dikodifikasikan dalam Buku
Pegangan 2007 tentang Reformasi Sistem Keamanan, dibuat oleh
Development Assistance Committee (DAC) OECD, badan yang
160 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

mengoordinasikan kebijakan pembangunan luar negeri semua


negara donor Barat.
Kebijakan OECD untuk mendukung Reformasi Sektor
Keamanan (RSK) dibangun di atas empat prinsip panduan, yang
terbagi menjadi dua pasang. Yang pertama adalah efektivitas
dan akuntabilitas. RSK seharusnya meningkatkan pemberian
layanan keamanan dan keadilan sedemikian rupa sehingga
warga negara lebih aman dan merasa lebih aman. Doktrin RSK
Barat sama sekali tidak meremehkan pentingnya keamanan
nasional, menjaga hukum dan ketertiban, atau menegakkan
dasar-dasar konstitusional negara. Namun, sejalan dengan
pemikiran Barat saat ini tentang pembangunan, ia berpendapat
bahwa ujian akhir dari sistem keamanan dan peradilan adalah
apakah sistem itu memberikan keselamatan bagi setiap wanita,
pria, dan anak. Keamanan manusia adalah kunci di bidang ini,
sama seperti pembangunan manusia adalah omong kosong dari
komunitas pembangunan.
Ada alasan kuat untuk penekanan berat ini. Pada
kenyataannya, pasukan keamanan nasional seringkali menjadi
ancaman bagi keselamatan dan ketenangan pikiran orang-orang
yang seharusnya mereka lindungi. Memang, orang sering kali
lebih takut pada polisi dan militer daripada takut pada penjahat
dan teroris. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk memastikan
bahwa aparat keamanan menggunakan kekuatan mereka
dengan cara yang benar. Kecuali mereka dikontrol ketat oleh
pemerintah, diawasi oleh parlemen, bertanggung jawab kepada
pengadilan dan diawasi secara ketat oleh masyarakat sipil dan
media independen, mereka tidak mungkin memberikan
keamanan manusia. Keamanan manusia hanya dapat dilindungi
Collaborative Governance | 161

jika kekuatan sektor keamanan diimbangi dengan akuntabilitas


penuh. Dengan demikian, dua prinsip panduan RSK yang
pertama terkunci satu sama lain dalam hubungan dialektika.
Dua berikutnya adalah keberlanjutan dan kepemilikan
lokal. Sepuluh tahun yang lalu, komunitas keamanan sama
sekali tidak terbiasa dengan kedua gagasan ini. Keberlanjutan
dapat berarti berbagai hal. Ini sering mengacu pada penggunaan
sumber daya alam secara hati-hati, tetapi di sini kita dapat
mengartikannya sebagai efektivitas hari ini dan besok. Dalam
kerjasama pembangunan, keberlanjutan sering kali menjadi
singkatan dari kemampuan untuk terus berjalan ketika bantuan
asing telah berakhir. Tentu saja, bantuan luar negeri lebih berarti
daripada uang asing. Sama pentingnya bagi sistem keamanan
untuk berkelanjutan dalam hal ketersediaan berkelanjutan dari
orang yang tepat dalam jumlah yang dibutuhkan, dukungan
politik yang berkelanjutan dan kepercayaan publik yang
berkelanjutan.
Persyaratan kepemilikan lokal berarti RSK harus
digerakkan dan dipimpin oleh kelompok-kelompok terkait di
negara yang bersangkutan. Dalam jargon pembangunan, ini
disebut pemangku kepentingan. Buku Pegangan DAC OECD
tentang RSK berargumen bahwa jika program untuk
meningkatkan sektor keamanan tidak didasarkan pada
kebutuhan, prioritas dan gagasan domestik, dan dipimpin oleh
masyarakat lokal, program itu tidak akan tepat, apalagi
berkelanjutan. Jika RSK ditentukan oleh tujuan, perhatian, cara
kerja dan jadwal para donor, mungkin akan mencapai beberapa
hasil yang bermanfaat, tetapi hal itu akan kurang sesuai dengan
162 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

kebutuhan lokal dan kemungkinan besar akan rusak ketika


bantuan asing berakhir.
Ini masuk akal. Namun demikian, kepemilikan lokal
dianggap sebagai tantangan terbesar, jika bukan kelemahan RSK.
Masalah pertama di sini adalah bahwa kepentingan dan tujuan
pemerintah negara tuan rumah tidak sama dengan donor. Yang
pertama biasanya ingin menggunakan bantuan asing untuk
memodernisasi pasukan keamanan mereka, sementara yang
kedua mendorong agar pasukan keamanan dikurangi
ukurannya, dilatih untuk menghormati hak asasi manusia,
diawasi oleh parlemen yang kuat dan diteliti oleh media dan
masyarakat yang bebas. Bahkan jika pemerintah donor ingin
membuat pasukan keamanan negara penerima lebih kuat,
parlemen mereka akan sering meminta mereka untuk menuntut
peningkatan transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum dan
pemberdayaan kelompok rentan sebagai syarat untuk bantuan
asing.
Keinginan dan perhatian para 'pemangku kepentingan' ini
dapat memberikan legitimasi bagi upaya para donor untuk
mendorong program RSK yang enggan diterima oleh
pemerintah pusat. Ini adalah masalah kedua kepemilikan lokal.
Seperti yang diakui oleh DAC OECD, RSK sangat politis. Ini
meningkatkan kekuatan badan-badan pengawasan,
memberdayakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan
memenuhi syarat kekuatan eksekutif. Tidak heran bahwa
pemerintah negara tuan rumah memiliki perasaan campur aduk
tentang upaya semacam itu, yang muncul dari strategi yang
dirancang di Utara untuk digunakan di Selatan.
Collaborative Governance | 163

Ini, kemudian, adalah masalah ketiga kepemilikan lokal. Di


sini juga, DAC OECD jujur. Ini dengan terus terang menyajikan
doktrin RSK sebagai strategi donor, dengan alasan bahwa
negara-negara industri tidak dapat dan tidak seharusnya
menentukan bagaimana negara-negara berkembang harus
mengatur sistem keamanan mereka. Mereka hanya dapat
menyusun kebijakan bersama untuk membantu negara-negara
berkembang melakukan hal ini.
Ini benar dan tepat, sejauh ini. Namun, jika negara
penerima sangat bergantung pada bantuan asing, mereka tidak
punya banyak pilihan selain mematuhi kondisi di mana bantuan
ditawarkan. Dan jika semua donor mengikuti strategi yang sama,
dalam hal ini doktrin DAC OECD untuk bantuan RSK, maka
penerima tidak akan bisa mempermainkan donor satu sama lain.
Dalam situasi seperti itu, persyaratan donor menjadi diktat, dan
kepemilikan lokal menjadi kepura-puraan. DAC OECD
mengakui bahwa kepemilikan lokal seringkali meninggalkan
banyak hal yang diinginkan pada awal program, dan
mendorong para donor untuk menjadikan peningkatan
kepemilikan lokal sebagai salah satu tujuan program bantuan
RSK.
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dan
ditimbulkannya, namun tata kelola yang baik sangat penting
untuk keberhasilan sektor keamanan. Berdasarkan beberapa bab
sebelumnya, mari kita pertimbangkan beberapa tantangan yang
dihadapi sektor keamanan di Turki. Turki, tentu saja, tidak lagi
dianggap sebagai negara berkembang. Ini sedang mereformasi
sistem keamanannya, sebagian di bawah pengaruh persyaratan
aksesi ke UE. Ia menerima beberapa bantuan asing untuk tujuan
164 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

tersebut. Tetapi, seperti yang telah dikemukakan, reformasinya


lebih ditentukan oleh kebijakan dan kepentingan pemerintahnya
daripada oleh persyaratan asing seperti Kriteria Kopenhagen
dan acquis Communautaire. Strategi donor untuk RSK
bukanlah persyaratan asing, karena Turki adalah pendiri
anggota OECD.

8.4 Segitiga Good Governance


Tata pemerintahan yang baik adalah prasyarat penting
untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan stabil di
semua sektor. Namun, sektor keamanan merupakan salah satu
bidang yang paling sulit dicapai dalam mencapai tata
pemerintahan yang baik. Hal ini disebabkan karena sektor
keamanan sering kali memiliki struktur hierarkis yang kuat,
kurangnya transparansi dan akuntabilitas, serta rentan terhadap
pengaruh politik dan korupsi. Namun, hal ini sangat penting
terutama dalam konteks keamanan, karena sektor keamanan
memiliki tugas krusial dalam menjaga keamanan negara dan
melindungi warga negara.
Dalam konteks ini, tata kelola yang baik di sektor
keamanan berperan penting dalam memastikan bahwa
lembaga-lembaga keamanan bekerja secara efektif dan efisien,
dalam menghargai hak asasi manusia, meminimalkan
pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, serta
mempromosikan aksesibilitas dan keadilan. Lebih lanjut, tata
kelola yang baik di sektor keamanan memungkinkan publik
untuk memahami bagaimana keamanan negara diatur dan
dioperasikan, serta untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan yang memengaruhi keamanan mereka.
Collaborative Governance | 165

Dengan kata lain, memastikan tata kelola yang baik di


sektor keamanan adalah prasyarat penting untuk menjaga
keamanan negara dan melindungi hak asasi manusia, serta
untuk membangun kepercayaan dan dukungan publik terhadap
lembaga-lembaga keamanan. Oleh karena itu, semua pihak
terkait perlu bersama-sama untuk meningkatkan tata kelola
yang baik di sektor keamanan, termasuk pemerintah, lembaga
keamanan, dan masyarakat sipil.
Efektivitas, keterjangkauan/efisiensi, dan legitimasi adalah
tiga sisi dari good governance yang saling terkait dan
mempengaruhi satu sama lain. Ketiga sisi ini harus dipenuhi
agar pemerintahan dapat dianggap sebagai "baik". Dalam
konteks sektor keamanan, efektivitas berarti bahwa sektor
keamanan harus dapat menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dengan baik dan berhasil mencapai tujuannya.
Keterjangkauan atau efisiensi berarti bahwa sektor keamanan
harus dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan
cara yang paling efisien dan hemat biaya. Legitimasi berarti
bahwa sektor keamanan harus dilihat sebagai lembaga yang
diakui oleh masyarakat dan pemerintah, dan menjalankan
tugasnya sesuai dengan aturan dan norma yang diterima oleh
masyarakat.
Jika salah satu sisi dari good governance tidak terpenuhi,
maka akan berdampak pada sisi-sisi lainnya. Jika sektor
keamanan tidak efektif, maka pemerintah akan kehilangan
legitimasinya di mata rakyat dan wakilnya. Hal ini akan
menyebabkan penurunan dukungan politik dan sumber daya,
dan pada akhirnya akan memperburuk efektivitas sektor
keamanan itu sendiri. Demikian pula, jika sektor keamanan
166 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

tidak efisien atau terlalu mahal, maka akan mempengaruhi


legitimasinya di mata masyarakat dan pemerintah. Dengan
demikian, ketiga sisi good governance harus dianggap secara
bersamaan dan harus diperlakukan sebagai satu kesatuan untuk
mencapai tujuan akhir, yaitu pemerintahan yang baik.Ketiga sisi
berjalan bersama, tetapi masing-masing sisi membutuhkan
perhatian khusus. Dalam dua dekade terakhir, militer Belanda
telah menjadi kekuatan yang lebih efektif, semakin fokus pada
misi barunya: pemeliharaan perdamaian internasional,
keamanan dan supremasi hukum. Ini telah mendapatkan rasa
hormat dan dukungan publik dalam prosesnya. Pemerintah juga
belajar menggunakan sumber dayanya secara lebih efisien.
Namun, kesediaan untuk menyediakan angkatan bersenjata
dengan sumber daya yang mereka butuhkan, pada tingkat
ambisi yang lebih rendah, belum tumbuh sesuai dengan itu.
Politisi telah gagal menjelaskan kepada pemilih mengapa kita
tidak mampu terus memotong anggaran pertahanan. Sisi
segitiga ini membutuhkan perhatian lebih.
Di Turki, tampaknya lembaga pertahanan perlu bekerja
pada legitimasi dan efektivitas. Peningkatan akuntabilitas dan
transparansi politik akan menginspirasi kepercayaan di antara
warga dan teman-teman Turki di luar negeri. Peningkatan
koherensi dan kolaborasi akan membuat kebijakan pertahanan
Turki lebih efektif. Selanjutnya, kedua upaya tersebut akan
saling menguatkan.

Kesimpulan
Pembinaan integritas dan pengurangan korupsi di sektor
pertahanan menjadi isu yang semakin mendapat perhatian dari
Collaborative Governance | 167

banyak negara. Menurut Transparency International, sektor


pertahanan merupakan sektor pemerintah di mana korupsi
tersebar luas. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya langkah
konkret untuk memastikan implementasi kebijakan anti korupsi
di sektor pertahanan.
Salah satu upaya penting adalah dengan meningkatkan
pengawasan dan akuntabilitas di sektor pertahanan. Hal ini
dapat dilakukan dengan memperkuat peran badan pengawas
dan regulator, seperti Komisi Keamanan dan Badan Pengawas
Keuangan Negara, untuk mengawasi penggunaan anggaran dan
sumber daya yang dikelola oleh sektor pertahanan. Selain itu,
pembentukan badan anti korupsi khusus juga dapat menjadi
solusi efektif untuk menangani praktik korupsi di sektor
pertahanan.
Pemberdayaan masyarakat sipil juga menjadi penting
untuk mengawasi dan melaporkan praktik korupsi yang terjadi
di sektor pertahanan. Masyarakat sipil harus diberi akses dan
informasi yang cukup untuk memantau dan memberikan
laporan tentang praktik korupsi yang terjadi di sektor
pertahanan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat
keterbukaan informasi dan mempromosikan partisipasi publik
dalam proses pengambilan keputusan di sektor pertahanan.
Selain itu, perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi praktik korupsi di sektor pertahanan, seperti
politisasi, sifat kebijakan publik, dan rendahnya integritas dalam
organisasi kepegawaian dan sektor keamanan. Dengan
memahami faktor-faktor ini, maka dapat dilakukan langkah-
langkah yang efektif untuk mencegah dan menangani praktik
korupsi di sektor pertahanan.
168 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Secara keseluruhan, upaya untuk membangun integritas


dan mengurangi korupsi di sektor pertahanan merupakan hal
yang penting untuk memastikan keamanan dan kestabilan
negara. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama dan koordinasi
yang erat antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga-
lembaga pengawas untuk mewujudkan sektor pertahanan yang
bersih dan berintegritas.
Collaborative Governance | 169

Referensi:

Global Integrity. (2020). Global Integrity Anti-Corruption


Evidence (GI-ACE) Synthesis Report: Evidence on
Effectiveness of Anti-Corruption Measures. Diakses
pada 5 Mei 2023, dari https://gi-ace.org/wp-
content/uploads/2020/03/GI-ACE-synthesis-report-
2020.pdf
Jalal, N. (2019). Perceptions and Attitudes towards Corruption in
the Indonesian Defence Sector. Asia & the Pacific Policy
Studies, 6(3), 365-373.
KPK RI. (2019). Buku Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
2019-2024. Diakses pada 5 Mei 2023, dari
https://www.kpk.go.id/id/publikasi/buku/strategi-
nasional-pencegahan-korupsi-2019-2024
KPK RI. (2021). Program Pencegahan Korupsi dalam Sektor
Pertahanan dan Keamanan. Diakses pada 5 Mei 2023,
dari
https://www.kpk.go.id/id/publikasi/artikel/program-
pencegahan-korupsi-dalam-sektor-pertahanan-dan-
keamanan
Sardjito, Aris, 2022, Good Governance Sektor Pertahanan Jilid 3,
Aksara Global Akademia, Indonesia
Sihaloho, F. (2020). Rebutting the Rise of Corruption in
Indonesia's Defense Procurement. The Diplomat.
Diakses pada 5 Mei 2023, dari
https://thediplomat.com/2020/09/rebutting-the-rise-of-
corruption-in-indonesias-defense-procurement/
170 | Teori & Praktik dalam Perspektif Kebijakan Pertahanan

Supriyanto, A., & Sjafri, A. (2021). Implementasi Kebijakan Anti


Korupsi di Sektor Pertahanan dan Keamanan. Jurnal
Sosial Politik, 3(1), 52-65.
Transparency International. (2021). Defense and Security: Anti-
Corruption Glossary. Diakses pada 5 Mei 2023, dari
https://www.transparency.org/en/glossary/defense-
and-security
Watch Indonesia (2021). Tinjauan Atas Korupsi dalam Proyek-
proyek Pertahanan Indonesia. Diakses pada 5 Mei 2023,
dari https://www.watchindonesia.org/tinjauan-atas-
korupsi-dalam-proyek-proyek-pertahanan-indonesia/
Wicaksono, A., & Febriani, D. (2021). Kebijakan Antikorupsi
dalam Konteks Kebijakan Pertahanan: Sebuah Tinjauan
Literatur. Jurnal Integritas, 7(1), 1-10.
Yulianto, A., & Trisanti, R. (2020). Analisis Pengendalian Korupsi
pada Pengadaan Alutsista di Indonesia. Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora, 9(2), 93-100.
ABOUT AUTHOR

Mayor Jenderal TNI DR. Agus Winarna


M.Sc, M.TR (Han) (lahir pada tanggal 26
Oktober 1966) adalah seorang perwira
tinggi TNI-AD yang sejak tanggal 28
September 2022 menduduki jabatan
sebagai Dekan Fakultas Manajemen
Pertahanan Universitas Pertahanan
Indonesia. Penulis adalah lulusan
Akademi Militer (Akmil) tahun 1988 dari
cabang Infanteri. Jabatan terakhirnya
adalah Ketua Lembaga Pengembangan
Pendidikan dan Jaminan Mutu (LP3M)
Universitas Pertahanan Indonesia.
Pendidikan Militer:
Akademi Militer (1988), Upgrading P4 100 JAM (1988), Sussarcabif
(1989), Diklapa I (1994), Diklapa II (1999), Seskoad (2001), Susdanyonif
(2002), Susdandim (2006), Sesko TNI (2012), Kompetensi Danrem
(2014), Susunan Ketua BPKP Wasrik (2014), Lemhannas RI PPRA LV
(2016), Susunan Pendidikan dan Pelatihan Bencana (2018).

Pendidikan Umum:
Sekolah Dasar (1973-1979), Sekolah Menengah Pertama (1979-1982),
Sekolah Menengah Atas (1982-1985), Sarjana Universitas Terbuka (UT)
dengan jurusan Administrasi Negara (1997), Magister Ilmu
Pendidikan Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) dengan
jurusan Ilmu Pemerintahan (2013), Pendidikan Beasiswa Magister di
Universitas Pertahanan Republik Indonesia (UNHAN RI) dengan
jurusan Strategi Kampanye Militer (2014), Program Pendidikan
Pascasarjana (Doktoral) di Universitas Satyagama dengan jurusan
Ilmu Manajemen Pemerintahan (2021).

171
Pengalaman Mengajar:

Rindam V/BRW, Akademi Militer, Seskoad, Universitas Pertahanan


Republik Indonesia. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian
Pertahanan Indonesia. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Provinsi DKI Jakarta. Pusat Pelatihan BNPB. Dosen/Tamu Pembicara
di berbagai universitas.

Pengalaman di Luar Negeri:


Korea Selatan (2012), Brunei Darussalam (2013), Laos (2016), Tiongkok
(2018), Amerika Serikat (2018), Jepang (2019), Myanmar (2019),
Thailand (2019).

Penghargaan:
SL KESETIAAN VIII, SL KESETIAAN XVI, SL KESETIAAN XXIV, SL
SEROJA I, SL SEROJA II, SL SEROJA III, SL DHARMA NUSA, SL
DWIJA SISTHA I, SL DWIJA SISTHA II, SL KARTIKA EKA PAKSI
NARARYA, SL YUDHA DHARMA NARARYA, SL DHARMA
BANTALA.

Publikasi:

1) Tesis “Pengaruh Remunerasi Terhadap Motivasi Prajurit TNI AD


(Studi Kodim 0818/BS Bandung)” (2013)
2) Tesis “Upaya Pemerintah Dalam pemberdayaan Warga Negara
selaku Komponen Pendukung Pertahanan Negara dalam strategi
Kampanye Militer (Studi Dokter di RS Magelang)”. (2014)
3) Disertasi “Kolaborasi Pengelolaan Wilayah Perbatasan RI-RDTL
“(2021)
4) S. Anwar, A. Winarna. P. Suharto, 2020. Strategi Pemberdayaan
Wilayah Pesisir Dalam Menghadapi Bencana Tsunami serta
Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Di Desa Bulakan,
Kec. Cinangka, Kabupaten Serang Banten) Jurnal Ketahanan
Nasional UGM. Vol. 26 No. 1, Apl. 2020 pp.108-131
5) Lasmono, A. Winarna, “Strategi Perlindungan Pasukan Penjaga
Perdamaian PBB Contingen Garuda RI Atas Potensi Ancaman
172
Senjata Biologi Penyakit Leishmaniasis di Timur Tengah tinjauan
Manajemen Pengembangan (2018)”
6) Toruan, A. Winarna. P.Suharto “Implementasi Program Bela
Negara Bagi Generasi Muda di Kota Besar (Studi di Wilayah Jakarta)
2018”
7) A.Winarna, T. Budi, Ridwan “Strategi Pengelolaan Pengamanan
Perbatasan RI- RDTL Dalam Meningkatkan Sistem Pertahanan
Negara dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten
Belu, Nusa Tenggara Timur (2019)”
8) Paper. Implementasi Keputusan Menuju Pendidikan Berkarakter di
Era Globalisasi (2018)
9) Paper International Conference on Disaster Management / ICDM
2019. Pekan Ilmiah Tahunan Unhan 2019. Mitigasi Bencana Banjir
Bandang Secara Cepat, Tepat Dan Bersinergi (Tinjauan Perspektif
Pengambilan Keputusan Komandan Dan Pemberdayaan Siswa
Secaba Rindam V/Brawijaya Studi Kasus Di Kecamatan Panti
Kabupaten Jember Tahun 2006).
10) Paper Internasional Indonesia International Defense Science
Seminar / IIDSS. Developing a System of Handling Prenention of
Radicalism Within Institution of Higher Education Through a
Holistic Approach. (2019)
11) Penelitian dan Pengembangan Ketua Pokja. Rancang Bangun
Latihan Menembak Senjata Perorangan Taruna Akmil
Menggunakan Recoildop dengan sasaran Gambar atau video
Animasi (2016)
12) Widodo, P., Sudaryani., Winarna, A., & Parlina, N. “The
Empowerment Strategy of Defense Areas to Supportin State Defence
(Case Study of Indonesia-Malaysia Land Border)” Jurnal HISPISI.
(2021)
13) Lena Lusiana, Nugroho Adi Sasongko, Agus Winarna, Tri
Setya Dharma S, Irza Utami. “Analisis Biaya Perang Teluk III pada
Pihak Amerika Serikat Ditinjau dari Sudut Pandang Logistik dan
Energi” Jurnal Pertahanan & Bela Negara Vol 11, No. 2,
Agustus, 2021.
Email : aguswinn@gmail.com
173
174

Anda mungkin juga menyukai