SANDI
SANDI
DAN PERDAMAIAN
Disusun oleh :
Nama : Sandi Novian
Kelas : XI MIA 2
Mapel : SOSIOLOGI
Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang atas rahmatnya
dan karunianya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun
tema dari makalah ini adalah “ Konflik sosial, kekerasan, dan perdamaian”
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada guru supriyanto S,pd. Selaku guru sosiologi di sekolah kami.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami momohon maaf sebesar-besarnya jika ada salah kata
& kalimat yang kurang tepat di dalam makalah saya. jika ditemukan salah kata atau
perkataan yang menyinggung kami memohon pembaca memberikan kritik dan saran
agar saya dapat membenahi di kemudian hari.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
LATAR BELAKANG
Sebelum lebih jauh, mari kita bahas dulu tentang pengertian konflik. Adakah di
antara kamu yang sudah tahu apa itu konflik? Ya, betul sekali, secara etimologis, kata
konflik berasal dari bahasa Latin “con” dan “figere”.
Kata “con” memiliki arti bersama, sementara “figere” memiliki arti memukul. Dalam
KBBI, entri “konflik” didefinisikan sebagai percekcokan; perselisihan; pertentangan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah sebuah kondisi saat ada dua atau lebih
pandangan, keinginan, kepercayaan, kepentingan, nilai, atau kebutuhan yang berbeda,
berseberangan, tidak sejalan, atau tidak selaras.
Dalam materi Sosiologi tentang konflik, kata ini lebih diartikan sebagai sebuah
proses sosial yang terjadi antara dua orang atau kelompok, yang berusaha saling
menyingkirkan satu sama lain dengan cara membuat seseorang atau kelompok lainnya
tidak berdaya atau bahkan dengan menghancurkan orang atau kelompok tersebut.
Konflik biasanya timbul dari adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan,
seperti perbedaan fisik, kebudayaan, nilai, kepentingan, emosi, kebutuhan, atau pola-
pola perilaku antarindividu atau kelompok dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan
dalam tersebut dapat memuncak menjadi konflik sosial saat sistem sosial
masyarakatnya tidak dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat tersebut.
Seperti yang terjadi di sekitar kita, konflik memang tidak dapat dihindari dari
dinamika kehidupan sosial. Dalam teori konflik, kondisi masyarakat yang plural memang
akan terjadi ketidakseimbangan distribusi kekuasaan (authority), sehingga akan selalu
ada kelompok-kelompok sosial yang saling bersaing dalam merebut pengaruh dalam
suatu masyarakat.
Dari persaingan tersebut kemudian akan muncul kelompok yang paling berkuasa
atas kelompok-kelompok lainnya. Kelompok paling berkuasa dan berpengaruh
biasanya bersifat elit, sehingga dapat membuat peraturan-peraturan yang sifatnya lebih
membela kepentingan kelompoknya sendiri.
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh kelompok yang berkuasa ini dapat berupa
hukum yang mengikat kelompok-kelompok sosial lainnya agar tetap patuh. Persaingan
antara dua atau lebih kelompok-kelompok sosial inilah yang kemudian menyebabkan
terjadinya konflik sosial di masyarakat.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………… 2
LATAR BELAKANG……………………………………………………………………… 3
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………. 4
A. KONFLIK DAN KEKERASAN DALAM MASYARAKAT………………………. 5
1. KONFLIK SOSIAL…………………………………………………………….. 5
2. KEKERASAN………………………………………………………………….. 7
3. FAKTOR PENYEBAB KONFLIK DAN KEKERASAN…………………….. 7
4. JENIS JENIS KONFLIK………………………………………………………. 7
B. DAMPAK KONFLIK DAN KEKERASAN DALAM MASYARAKAT…………… 9
1. DAMPAK FISIK……………………………………………………………….. 9
2. DAMPAK SOSIAL…………………………………………………………….. 9
3. DAMPAK PSIKOLOGIS……………………………………………………… 9
C. PEMETAAN KONFLIK SERTA METODE PENYELESAIAN
KONFLIK DAN KEKERASAN …………………………………………………... 10
1. PEMETAAN KONFLIK DALAM PENYELESAIAN KONFLIK……………. 10
2. METODE PENYELESAIAN KONFLIK DAN KEKERASAN
UNTUK PERDAMAIAN……………………………………………………… 11
KESIMPULAN………………………………………………………………………... 13
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………… 14
Konflik dan kekerasan sosial di Indonesia dapat dipetakan kepada tiga fase
utama yaitu fase rezim Orde Baru, masa transisi awal (1997-2003), dan periode pasca
reformasi (tahun 2004 hingga sekarang). Tiga periode ini memiliki pola konflik
kekerasan yang berbeda dan mengalami perubahan seturut dengan perkembangan
proses demokratisasi di Indonesia (Muliono, 2020). Pada masa rezim Orde Baru konflik
dan kekerasan sosial berkarakter penguasa (negara) versus masyarakat sipil. Sebagian
tindakan represi dilakukan negara memperoleh resistensi sebagaimana terjadi di Papua
(1964), Aceh (sejak tahun 1976) dan Timor Timur dengan melakukan gerakan separatis
untuk melepaskan diri dari kesatuan republik Indonesia kesatuan republik Indonesia.
Gerakan separatis ini mengakibatkan dentaman konflik kekerasan dan diikuti korban
dalam skala yang begitu besar (Barron et al., 2014). sia. Gerakan separatis ini
mengakibatkan dentaman konflik kekerasan dan diikuti korban dalam skala yang begitu
besar (Barron et al., 2014). Belakangan, Timor Timur berhasil memisahkan diri (pada
Mei 2002), Aceh memperoleh resolusi perdamaian tahun 2005 (Asia Report, 2007;
Fahmi, 2014), sementara Papua masih terus menacari jalan perdaiaman hingga sampai
saat ini dan kerap jatuh bangun dalam pusaran konflik kekerasan. Pada masa transisi
pasca runtuhnya rezim Orde Baru konflik dan kekerasan sosial di Indonesia berkarakter
komunalitas dimana suku, agama, ras, dan antar golongan dipandang sebagai basis
konflik kekerasan. Fase ini cukup menarik diperhatikan karena dalam rentang waktu
lima tahun terdapat setidaknya 21.495 korban jiwa (Barron et al., 2014). Dan, di antara
insiden tersebut, terdapat 6 (enam) provinsi dikategorikan sebagai daerah konflik
berskala tinggi dan berkelanjutan yaitu Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara,
dan Papua Barat. Konflik Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat tahun 1998-2008 berdasarkan data World Bank (2010), sejak tahun 2006
rata-rata per tahun mengalami insiden 2.000 peristiwa konflik kekerasan
2. Kekerasan
Kekerasan dalam Bahasa Inggris disebut violence yang berasal dari Bahasa latin
violentina, artinya penggunaan kekuatan fisik hingga dapat melukai. Adapun yang
dimaksud keekrasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menyebabkan cedera atau meninggalnya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain.
Menurut pandangan Assegaf, kekerasan adalah sikap agresif pelaku yang
melebihi kapasitas kewenangannya dan menimbulkan pelanggaran hak dan kewajiban.
- Kekerasan struktural dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan
sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Kekerasan yang
sifatnya struktural sulit untuk dikendalikan karena menimbulkan dampak secara nyata
bagi banyak orang, yaitu ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan,
pendapatan, keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan Faktor Penyebab
Kekerasan lahir karena adanya persaingan antara dua pihak atau lebih sehingga
melahirkan bentrokan yan gberkepanjangan.
3. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Penyebab terjadinya konflik sosial dalam
masyarakat dilatarbelakangi beberapa faktor, diantaranya:
a. Adanya perbedaan antarindividu
b. Adanya perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang
berbeda-beda.
c. Adanya perbedaan kepentingan antara individu dengan kelompok.
4. Jenis-Jenis Konflik Beberapa jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek, yaitu sebagai
berikut
a. Aspek Subjek yang terlibat dalam konflik
1). Konflik personal : KOnflik ynag terjadi dalam diri seseorang karen aharus memilih
dari sejumlah alternatif pilihan
2). Konflik interpersonal : konflik yang terjadi antarpersonal dalam suatu organisasi, di
mana pihak-pihak dalam organisasi salin gbertentnagan
3). Konflik interest : berkembang dari konflik interpersonal di mana para individu dalam
organisasi memiliki ketertarikan yang lebih besar dari ketertarikan organisasi sehinga
mempengaruhi aktivitas organisasi
2. Dampak sosial
3. Dampak psikologis
1) Terjadinya Perubahan Kepribadian Para Individu
Perubahan kepribadian dapat terjadi pada kedua belah pihak yang mengalami
konflik. Kedua belah pihak dapat saling menyesuaikan atau justru masing-masing
mempertahankan kebenaran yang diyakini.
2) Terjadinya Akomodasi, Dominasi, bahkan Penaklukan Salah Satu Pihak yang
Terlibat Pertikaian
Adanya konflik dapat menyebabkan suatu pihak menjadi dominan dan
menghalakan segala cara. Namun, ada beberapa akomodasi yang dilakukan sebagai
bentuk penyelesaian konflik yang meningkatkan solidaritas dan mengesampingkan
konflik yang terjadi.
C. PEMETAAN KONFLIK SERTA METODE PENYELESAIAN KONFLIK DAN
KEKERASAN
1. PEMETAAN KONFLIK DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
Pemetaan konflik merupakan langkah awal yang dapat dilakukan guna merancang
penyelesaian konflik. Sehingga konflik dapat diselesaikan dengan baik.
Pemetaan konflik merupakan langkah awal yang dapat dilakukan guna merancang
penyelesaian konflik. Sehingga konflik dapat diselesaikan dengan baik.
2) Arbitrase
Pengendalian konflik dengan cara arbitrase berarti menyelesaikan konflik
dengan bantuan pihak ketiga (bersifat netral) yang bertindak sebagai pemberi
keputusan. Keputusan-keputusan yang dibuat disertai dengan perjanjian tertulis dari
pihak yang berkonflik.
Contoh arbitrase yakni ketika wasit mengganjar kartu merah untuk Rano pasca
keributannya dengan Aldo. Di sini, wasit bertindak sebagai pihak ketiga yang netral.
Selain itu, keputusan wasit juga bersifat mutlak dan harus dipatuhi.
3) Adjudikasi
Adjudikasi merupakan cara penyelesaian konflik melalui jalur pengadilan
(sidang). Contoh adjudikasi yakni ketika hakim memutuskan hak asuh anak diberikan
kepada sang istri setelah perceraian.
4) Kompromi
penyelesaian konflik kompromi Dengan berkompromi, konflik bisa mereda
dengan berkurangnya tuntutan dari kedua belah pihak Upaya penyelesaian konflik
sosial selanjutnya adalah dengan cara kompromi. Kompromi adalah bentuk
penyelesaian konflik dengan adanya upaya masing-masing pihak untuk mengurangi
tuntutan.
Contoh kompromi adalah ketika Mia terlibat kecelakaan dengan Diana, lalu mereka pun
saling menuntut ganti rugi. Namun, pada akhirnya mereka saling mengikhlaskannya.
5) Konsiliasi
Konsiliasi adalah bentuk penyelesaian konflik dengan adanya upaya
mempertemukan pihak yang berkonflik. Contoh konsiliasi yaitu ketika Pak RT
memanggil Budi dan Damar setelah rebutan lahan parkir.
6) Koersi
penyelesaian konflik koersi adalah Bentuk penyelesaian konflik dengan ancaman
bisa disebut dengan koersi. Koersi merupakan bentuk akomodasi dengan
menggunakan ancaman, baik fisik maupun psikologis agar pihak lain bertindak sesuai
yang diharapkan. Contoh koersi yakni ketika polisi menggunakan gas air mata sebagai
upaya menghentikan demonstrasi yang ricuh.
7) Stalemate
Stalemate adalah situasi di mana ketika kedua belah pihak yang berkonflik
memiliki kekuatan yang seimbang sehingga konflik terhenti pada titik tertentu. Contoh
stalemate yakni berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat vs Uni Soviet,
hingga konflik Korea Utara dan Korea Selatan.
KESIMPULAN
Masyarakat pasca-konflik mendapat perhatian khusus dalam studi ilmu sosial
karena kehadiran fenomena kekerasan baru yang secara bersamaan dapat merambah
ke berbagai aksi premanisme dan keterlibatan orang-orang yang tidak bersalah
(Hayner, 2010; Hynes, 2004). Tidak sampai di situ, masyarakat pascakonflik juga
berdampak secara sosial, ekonomi, dan bahkan secara psikologis seperti trauma.
Terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhatikan dalam masyarakat pasca-konflik
yaitu kondisi dan potensi ekonomi, sistem politik, dan kapasitas birokrasi
(kelembagaan). Berbagai kebijakan pasca-konflik pada kaitannya dengan tiga hal
tersebut harus berorientasi pada proses mewujudkan rekonstruksi, mendorong
pemulihan berkelanjutan, dan mereduksi kemungkinan kembali terulangnya konflik dan
kekerasan sosial baru.
Pada masa pasca-konflik Indonesia bermetamorfosa kepada wajah baru dalam
tata kehidupan sesama dan kehidupan bernegara. Wajah konflik dan kekerasan sosial
di Indonesia pada masa pasca-konflik berkarakter pada konflik demokrasi elektoral.
Pola penyaluran konflik cenderung bertransformasi ke cara-cara yang damai (peaceful)
seperti dalam bentuk aksi protes dan demonstrasi meskipun pada titik tertentu konflik
kekerasan tetap terjadi. Artinya, pasca-konflik di Indonesia tidaklah berarti bahwa
konflik dan kekerasan sosial masyarakat turut berakhir secara totalitas. Akan tetapi
masyarakat Indonesia tetap berada dalam gesekangesekan baik itu antara rezim
peguasa maupun sesama kelomok masyarakat yang bersifat komunal. Studi ini
menekankan pembangunan masyarakat pascakonflik melalui proses pembangunan
berkelanjutan (sustainable development and empowerment) yang mengandaikan
adanya interkoneksi berimbang secara berkelanjutan antara berbagai aspek kehidupan
dalam tujuannya untuk memanusiakan manusia, peka terhadap lingkungan, dan
mengantisipasi sejak dini kemungkinan konflik kekerasan yang akan terjadi.
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah berjudul “KONFLIK SOSIAL KEKERAAN, DAN PERDAMAIAN” disusun untuk
Memenuhi tugas sosiologi.
Purbolinggo, 2023
Menyetujui
Penulis, Guru pembimbing