Anda di halaman 1dari 5

Tugas Literasi

Bab 3

Cerpen 1 : Guru Karya : A Zaky Zulhazmi

Aku tak tahu sejak kapan ia dipanggil Guru. Tentu saja Guru di sini
bukan dalam arti sempit. Bukan orang yang setiap pagi datang ke sekolah
untuk mengajar murid- muridnya. Panggilan Guru, menurutku, seperti
semacam panggilan penghalusan, untuk tidak memanggilnya dukun, begawan,
kiai, tabib atau semacamnya.
Ia memang tokoh yang disegani di kampungku. Konon ia berasal dari pulau
seberang. Konon pula, leluhurnya adalah orang-orang yang babat alas
mendirikan kampungku. Tidak ada yang pasti, tapi yang pasti ia adalah seorang
yang piawai menyembuhkan beragam penyakit.

Dulu, ketika aku kecil, tetanggaku terserang demam tinggi berhari-hari.


Badannya panas, ia menggigil, kalau malam sering mengigau. Rumah sakit dan
para dokter tak membuatnya sembuh. Keluarganya nyaris putus asa. Hingga
salah seorang kerabat menyarankan untuk membawa si sakit ke Guru. Benar,
saran itu dijalankan, ia pun sembuh, hanya dengan meminum ramuan racikan
Guru.
Setiap hari ada saja yang mendatangi rumah Guru. Sebagian besar dala rangka
berobat, sebagian yang lain me – minta “jalan keluar” untuk urusan rumah
tangga, usaha yang hampir bangkrut dan lain-lain. Guru tidak pernah
memasang tarif untuk jasa pengobatan yang ia berikan. Orang-orang yang
datang dengan gula kopi atau hasil panen tetap ia layani dengan baik
sebagaimana orang yang menyelipkan amplop tebal.

Mereka yang akan maju dalam pencalonan kepala desa selalu datang kepada
Guru. Begitu juga para caleg, bahkan calon bupati dan calon gubernur. Mereka
merasa perlu untuk sowan kepada Guru. Sekadar untuk minta doa restu.
GuruPernah juga Guru mendamaikan dua kelompok yang bertikai gara-gara
pemilihan kepala desa di kampungku. Andai Guru tidak turun tangan, mungkin
darah telah tertumpah.

Semua baik-baik saja, tak ada yang aneh, hingga pada suatu hari yang gelap,
kampungku dihajar banjir bandang. Hujan deras berhari-hari menjadikan
kampungku serupa waduk. Air di mana-mana. Sejauh mata memandang hanya
air. Tak banyak yang punya rumah dua lantai di kampungku. Aku tak tahu
bagaimana orang-orang bertahan. Aku juga tak tahu berapa orang yang hilang
diseret banjir bandang.

Aku beruntung karena aku dan keluargaku bisa bertahan di lantai dua rumah
kami. Bantuan yang sedikit terlambat akhirnya datang. Sejumlah orang
dievakuasi dengan perahu karet. Tapi hujan yang terus mengguyur
menyulitkan proses evakuasi.

Di tengah suasana yang buruk itu aku mendengar kabar bahwa Guru
menawarkan semacam serbuk yang membuat peminumnya bisa berjalan di
atas air . Semula berita itu kukira kelakar belaka. Tapi rupanya aku keliru. Aku
melihat sendiri Guru membagikan serbuk kepada orang-orang dengan berjalan
di atas air! Serbuk itu terbungkus plastik kecil. Keluargaku mendapat bagian
juga. Guru sendiri yang memberikan.

Guru berjalan di atas air seperti ia berjalan di atas tanah, terlihat biasa saja.
Bahkan ia dengan mudah berlari ke sana kemari membagikan serbuk. Mungkin
orang-orang ternganga demi melihat Guru yang berjalan di atas air. Seolah
tubuhnya jadi seringan kapas.

Kami tak bisa berlama-lama bertahan di lantai dua rumah kami. Udara dingin
dan makanan yang terbatas membuat kami ingin segera bebas dari kepungan
banjir. Maka meminum serbuk yang diberikan Guru adalah jalan terbaik.
Mula-mula ayahku yang meminum serbuk itu, diikuti adik dan ibuku. Ayah dan
adikku begitu saja melompat ke air dengan harapan langsung bisa berjalan.
Tapi, kengerian itu terlihat di depan mataku. Ayah dan adikku tidak bisa
berjalan di atas air. Mereka terseret banjir! Teriakan minta tolong terdengar
memilukan. Ibuku meraung-raung.

Aku tak membiarkan ayah dan adikku di telan banjir . Aku tahu mereka berdua
tak bisa berenang, begitu juga aku. Dalam kepanikan, kutelan serbuk dari
pemberian Guru. Aku merapal doa dalam hati. Namun, sama saja. Aku tak bisa
berjalan air. Tubuhku hanyut. Menangis tak ada gunanya. Kudengar ibu makin
meraung. Dalam hati aku bertanya: pertanda apa ini semua?

Cerpen 2 : Dendam Pohon – Pohon Karya : A Habib

Jauh sebelum wilayah ini menjadi perkotaan yang tidak bisa lepas dari hingar-
bingar. Tuhan telah mengirimkan Si Air dan Si Pohon dari surga. Mereka adalah
yatim piatu yang Tuhan turunkan untuk menjaga keseimbangan bumi. Karena
Dia tahu bumi ini tidak bisa hidup tanpa Si Air, dan tidak akan bisa bernapas
tanpa Si Pohon.
Meskipun mereka bersaudara, tapi mereka memiliki sifat yang jauh berbeda. Si
air adalah pemarah, sedangkan di pohon begitu penyabar. Tahun demi tahun
mereka tumbuh bersama-sama. Mereka saling menghidupi satu sama lain. Si
Air dengan teratur memberikan tubuhnya demi terlahirnya pohon-pohon yang
baru. Si Pohon dengan sangat sabar selalu membersihkan Si Air agar tetap
jernih dan tidak tercemar.

Si Air pun semakin besar, dan Si Pohon telah memiliki banyak anak yang
tersebar di seluruh bumi. Si Air akan marah ketika banyak pohon diperlakukan
sembarangan oleh manusia. Ia ingin sekali membalas perbuatan manusia itu
dengan mengalirkan seluruh tubuhnya ke permukiman. Tapi Si Pohon selalu
menghentikannya, ia tidak ingin manusia mengalami musibah dan kesusahan.
“Mengapa kau selalu melarangku untuk membalaskan dendammu dan
keturunanmu kepada manusia?”

“Aku tidak merasa dendam terhadap mereka, begitu pula dengan


keturunanku.”

“Sampai kapan kau akan terus seperti ini, sampai semua pohon habis ditebang
oleh manusia, hah?!”

“Sudahlah jangan dibahas.”

“Tidak bisa seperti itu. Aku tidak terima kalau mereka terus menusuk tubuh
kalian dengan paku hanya untuk memasang foto mereka, menebang leher lalu
mencencang tubuh kalian menjadi beberapa bagian, dan membunuh kalian
secara massal hanya untuk menanam sebuah beton. Aku tidak terima itu.
Mereka lupa kalau mereka bisa hidup karena oksigen yang selalu kalian
berikan, tapi apa balasan mereka? Mereka malah memperlakukan kalian
seenaknya.”

“Kau tahu kenapa Tuhan mengirim kita ke sini? Dia ingin supaya kita selalu
memberikan kehidupan kepada makhluknya yang sempurna itu.”

“Kau memang tidak pernah berubah, sejak dulu selalu seperti itu. Tapi apakah
kau tidak benci atau sekadar capek menahan tubuhku yang seharusnya sudah
merendam pemukiman manusia itu?”
“Tidak. Tidak sama sekali. Malah aku merasa senang bisa menjalankan tugasku
dengan baik. Karena hanya dengan ini aku mengabdi kepada Tuhanku.”
Si Air pergi begitu saja. Ia sadar, percuma berdebat dengan Si Pohon karena
akhirnya akan tetap samaóia kalah dan Si Pohon tidak akan pernah
mengizinkannya membalas dendam.

Hari demi hari berlalu. Pohon-pohon di kota semakin dipenuhi tusukan paku di
tubuhnya. Pelbagai macam wajah manusia dengan posenya masing-masing
menempel pada tubuh mereka. Lengkap dengan biodata singkat dan visi misi
sekaligus motto hidup masing-masing. Sedangkan di hutan, pohon-pohon
semakin sedikit. Mereka perlahan namun pasti ditebang oleh manusia setiap
harinya. Mereka ingin melawan tapi tidak bisa, karena mereka diciptakan dari
kebaikan dan hanya bisa memberikan kebaikan, bukan balas dendam.

Siang itu Si Air mendapat kabar dari burung elang, katanya, Si Pohon sedang
disembelih oleh manusia. Mendapat kabar itu, Si Air semakin marah kepada
manusia. Cuaca yang sedang panas membuat Si Air dengan mudah
menguapkan tubuhnya ke langit. Dan dengan cepat berubah menjadi awan
berwarna kelabu yang siap menurunkan hujan. Setengah tubuh yang ia uapkan
berubah menjadi hujan yang tidak berhenti selama tiga hari tiga malam.

Si Air meluapkan kemarahannya kepada manusia. Tubuhnya ia alirkan ke


permukiman demi membalaskan dendam sahabatnya. Angin selaku teman baik
hujan membantunya membalaskan dendam. Ia mengembuskan tubuhnya
sekencang mungkin. Pohon-pohon di kota menumbangkan tubuhnya sendiri ke
jalanan. Mereka tidak terima nenek moyangnya disembelih oleh manusia.
Kekacauan seketika terjadi di kota itu. Gambar-gambar wajah manusia pun
beterbangan digasak oleh angin lalu ditenggelamkan ke dalam tubuh Si Air
yang meluap.

Anda mungkin juga menyukai