Anda di halaman 1dari 16

1. BIOGRAFI IR.

SOEKARNO
Ir. Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia, sekaligus tokoh
proklamator negara ini. Soekarno akrab dipanggil dengan julukan Bung Karno. Bung
Karno juga dikenal sebagai Putra Sang Fajar karena lahir saat fajar menyingsing.  Bung
Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Dikutip
dari laman RRI, Soekarno awalnya diberi nama Koesno Sosrodihardjo. Karena sering
sakit, namanya diganti menjadi Soekarno. Soekarno merupakan putra dari Raden
Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunda Bung Karno merupakan
bangsawan Bali. Kedua orang tua Soekarno bertemu saat sang ayah menjadi guru di
Bali. 
Dilansir dari buku Soekarno Hatta Ada Persamaan dan Perbedaanya (1983) karya
Tamar Djaya, tahun 1907 Soekarno masuk sekolah dasar atau sekolah rakyat (SR) pada
waktu itu, di Tulung Agung. Ia tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo. Pada
tahun 1908, Soekarno masuk ke Sekolah Dasar di HIS, kemudian melanjutkan ke
Europesche Legore School (ELS) di Mojokerto pada tahun 1913. Lulus dari ELS,
Soekarno melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya pada
1916. Ia kemudian melanjutkan sekolahnya di Technische hoge School (THS) atau kini
lebih dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Soekarno berhasil memperoleh
gelar insinyur di tahun 1926.
Tahun 1926 Soekarno mendirikan Algeemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
didirikan Soekarno pada 4 Juli 1927, dengan rumusan ajaran Marhaenisme. Usaha yang
dilakukan Soekarno membuat PNI tumbuh dan berkembang di Jawa maupun di luar
Jawa. Akibatnya aktivitas Soekarno di PNI, Belanda menangkapnya pada 29 Desember
1929. Soekarno kemudian dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung. Ia baru dibebaskan
pada 31 Desember 1931.
Setelah bebas, Soekarno bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia) yang
merupakan pecahan dari PNI dan memimpinnya. Hal ini mengakibatkan dirinya kembali
ditangkap Belanda dan diasingkan ke Ende, Flores pada 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu. Di Bengkulu Soekarno berhasil kabur dan menuju Padang.
Kemudian menyeberangi Selat Sunda dan kembali ke Jakarta pada Juli 1942.
Soekarno pada masa pendudukan pemerintah Jepang aktif menyiapkan
kemerdekaan Indonesia. Dia tergabung dalam BPUPKI dan PPKI untuk merumuskan
Pancasila, UUD 1945 dan dasar negara. Setelah mendengar Jepang menyerah pada
sekutu, pada 16 Agustus 1945, golongan muda memanfaatkan momentum untuk
menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Hal ini dilakukan agar proklamasi
kemerdekaan Indonesia digaungkan secepatnya.
Tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan suci Ramadan, Soekarno dan
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Berita kemerdekaan disebarluaskan
melalui radio Hoso Kanriyoko dan Harian Soeara Asia. Setelah proklamasi
kemerdekaan, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil
Presiden oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Sebelum ini, Soekarno telah merumuskan
dasar negara Pancasila pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.

2. BIOGRAFI DRS. MOH. HATTA


Mohammad Hatta atau yang memiliki nama lahir Mohammad Athar, lahir pada
tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Padang. Ayahnya bernama Muhammad Djamil
dan ibunya bernama Siti Saleha. Hatta mengenyam pendidikan di sekolah swasta lalu
berpindah ke sekolah rakyat. Ia berpindah sekolah lagi pada pertengahan semester kelas
tiga ke ELS. Setamatnya dari ELS, Hatta melanjutkan sekolah ke MULO. Karirnya di
masa pergerakan terlihat dari keaktifannya dalam Jong Sumatranen Bond.
Hatta memilih untuk bersekolah di luar negeri, yaitu di Handels Hogeschool,
Belanda dengan jurusan ekonomi. Selama bersekolah di luar negeri, Hatta turut aktif
dalam organisasi Indische Vereeniging serta mengatur majalah Hindia Putera yang
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setelah Indische Vereeniging berganti nama
menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1924, ia terpilih menjadi ketua pada
tahun 1926. Di bawah kepemimpinannya, PI mengalami banyak perubahan. Hatta
pernah diasingkan ke Digul dan Banda Neira karena tindakan non-kooperatifnya. Beliau
baru dibebaskan pada masa kependudukan Jepang. Hatta juga terlibat dalam berbagai
lembaga-lembaga bentukan Jepang seperti Putera, BPUPKI, dan PPKI.
Hatta adalah salah satu perumus dari proklamasi kemerdekaan yang disusun di
rumah Laksamana Maeda. Ia mendampingi Soekarno ketika beliau memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, lewat sidang PPKI
pertama, Hatta terpilih menjadi wakil presiden pertama di Indonesia. Masa jabatannya
terhitung sejak 1945 sampai 1956 dikarenakan pengunduran dirinya sejak 1 Desember
1956. Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Jakarta karena kesehatannya yang terus
memburuk.

3. BIOGRAFI AHMAD SOEBARDJO


Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo lahir di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat,
tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan
bangsawan Aceh dari Pidie. Ibu Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo bernama Wardinah. Ia
keturunan Jawa-Bugis dan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon. Semasa remaja,
Subarjo sekolah di Hogere Burger School, Jakarta (Setara dengan Sekolah Menengah
Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden,
Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana
Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Dalam bidang pendidikan, Subardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah
Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas
Indonesia. Ketika menjadi mahasiswa, Subardjo aktif dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia melalui organisasi kepemudaan seperti Jong Jawa dan Persatuan
Mahasiswa Indonesia di Belanda.
Ahmad Soebardjo merupakan tokoh yang menjemput Soekarno dan Mohammad
Hatta dari Rengasdengklok dan dibawa ke Jakarta. Di Jakarta, Achmad Soebardjo
bersama dengan Soekarno dan Mohammad Hatta pergi ke rumah Laksamana Muda
Maeda. Disana juga terdapat para pemuda yang sudah menunggunya. Di rumah
laksamana muda Maeda, Perannya dalam proklamasi kemerdekaan indonesia yakni
Achmad Soebardjo menjadi salah satu tokoh yang menyusun dan merumuskan teks
proklamasi kemerdekaan Indonesia bersama dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.
Teks proklamasi ini kemudian yang akan di bacakan keesokan harinya pada tanggal 17
Agustus 1945.
Subarjo juga pernah menjadi utusan Indonesia bersama dengan Mohammad
Hatta pada konferensi antar bangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan
Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan
pertama itu juga ia bertemu Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang
terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah
Indonesia merdeka, Subardjo menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.

4. BIOGRAFI SAYUTI MELIK


Mohamad Ibnu Sayuti atau Sayuti Melik dilahirkan di Kadisobo, Rejodani,
Sleman, Yogyakarta pada 25 November 1908. Ia meninggal di Jakarta pada 2 Maret
1989. Sayuti Melik adalah putra dari Abdul Muin alias Partoprawito dan Sumilah.
Istrinya bernama S.K. Trimurti, seorang aktivis perempuan dan wartawati. Mohamad
Ibnu Sayuti memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro (setara dengan SD) di Desa
Srowolan hingga kelas IV. Ia meneruskan pendidikannya ini hingga mendapatkan ijazah
di Yogyakarta.
Mengutip dari situs Encyclopedia Jakarta, Sayuti Melik melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Guru di Solo. Namun, ia ditangkap Belanda karena dicurigai
bergabung dalam kegiatan politik. Semenjak saat itu, ia lebih sering belajar mandiri atau
belajar sendiri. Setelah Indonesia merdeka, ia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Indonesia. Namun, hanya dalam waktu yang singkat dan Sayuti
Melik tidak mendapat gelar. Nasionalisme dalam diri Sayuti Melik didapat dari didikan
bapaknya yang saat itu menentang kebijakan Belanda terkait penanaman tembakau di
sawah miliknya. Ia juga mempelajari nasionalisme saat mengenyam pendidikan di
Sekolah Guru di Solo.
Pada persiapan kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik turut menjadi saksi
penyusunan teks proklamasi kemerdekaan, di ruang makan rumah Laksamana Maeda.
Dalam hal ini, ia mewakili golongan pemuda bersama Sukarni. Saat proses penyusunan
naskah proklamasi, Sayuti Melik membantu Ir. Sukarno. Sedangkan Mohammad Hatta
dibantu oleh Sukarni. Sayuti Melik dikenal sebagai pengetik naskah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal aktif dalam bidang jurnalistik dan politik.

5. BIOGRAFI B.M DIAH


Burhanuddin Mohammad Diah atau B.M. Diah (lahir di Kutaraja, yang kini
dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 - Jakarta, 10 Juni 1996) adalah seorang tokoh
pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia. Nama asli B.M. Diah
yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah,
seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Ia
kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya.
Burhanuddin menjalani pendidikannya di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman
Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan
guru-guru Belanda. Pada usia 17 tahun, Burhanuddin hijrah ke Jakarta dan belajar di
Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian). Burhanuddin memilih jurusan
jurnalistik dan disana ia banyak belajar tentang bidang kewartawanan.
Setelah tamat sekolah, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur
harian Sinar Deli. Tidak lama bekerja di Medan, karena satu setengah tahun kemudian ia
kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Lalu ia pindah
ke Warta Harian dan tujuh bulan kemudian koran tersebut dibubarkan karena dianggap
membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri,
bulanan Percaturan Dunia.
Setelah Peristiwa Rengasdengklok, pada 16 Agustus 1945, diadakan pertemuan
di rumah Laksamana Maeda antara tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), yang turut dihadiri oleh BM Diah. Pada hari itu, Soekarno-Hatta dan Achmad
Soebardjo menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara BM Diah
bersama para aktivis dan pemuda lainnya menunggu di ruang tengah rumah Laksamana
Maeda.
Setelah rancangan naskah proklamasi selesai disusun, Sayuti Melik diminta
untuk mengetik naskah tersebut. Begitu naskah proklamasi selesai disalin oleh Sayuti
Melik, naskah asli proklamasi dibuang begitu saja ke tempat sampah. Menyaksikan hal
itu, BM Diah mengambil naskah asli proklamasi yang sudah dibuang dan
menyimpannya. Setelah rapat perumusan naskah proklamasi berakhir, BM Diah
menyimpan naskah asli proklamasi itu sebagai dokumen pribadinya.
Karena naskah itu merupakan bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
BM Diah menyerahkan teks proklamasi yang ditulis tangan oleh Soekarno kepada
Presiden Soeharto pada Mei 1992. Tindakan yang dilakukan BM Diah menjadi kunci
pelengkap arsip nasional tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Setelah Soekarno
mengumandangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, BM
Diah, yang merupakan seorang jurnalis, terpanggil untuk menyebarkan berita
kemerdekaan ke pelosok Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1959, B.M. Diah menjabat sebagai duta
besar Indonesia untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Kemudian ia dipindahkan ke
Inggris, lalu ke Thailand. Periode tahun 1966-1968 ia menjabat menteri penerangan.
Setelah itu, ia menjadi anggota DPR dan anggota DPA.

6. BIOGRAFI FATMAWATI
Fatmawati adalah anak tunggal dari pasangan H.Hassan Din dan Siti Chadidjah.
Beliau lahir di Bengkulu pada tanggal 5 Februari 1923. Meskipun berstatus sebagai
puteri satu-satunya, bukan berarti Fatmawati hidup dengan bergelimang harta dan
kemanjaan. Justru, kondisi ekonomi orangtuanya tidak semulus yang dikira.
Peliknya keadaan finansial keluarga saat itu membuat Fatmawati harus berpindah
sekolah dan rumah. Ia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tingkat II, Hollandsch
Inlandsche School (HIS), kemudian bermukim di Palembang, dan akhirnya tinggal di
Curup, sebuah kota yang berada di antara Lubuk Linggau dan Bengkulu.
Fatmawati mulai menyukai dan memberikan minta pada organisasi sejak beliau
berada sekolah dasar. Pada saat itu beliau aktif dalam organisasi naysatul asyiyah yang
merupakan organisasi perempuan dibawah organisasi muhamamdiyah. Beliau mulai
kenal dengan soekarno, sejak soekarno dipindahkan ke tempat perasinganya yaitu
didaerah Flores, NTT. Pada saat itu bung karno bekerja sebagai seorang pengajar di
sekolah muhammadiyah dan fatmawati menjadi siswanya pada saat itu.
Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno. Setahun setelah
pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah
Putih juga boleh dikibarkan dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya diizinkan
berkumandang. Fatmawati kemudian berinisiatif untuk membuat bendera Merah Putih
untuk dikibarkan di Pegangsaan 56. Pada waktu itu tidak mudah mendapatkan kain
merah dan putih di luar. Chaerul Basri dalam artikelnya "Merah Putih, Ibu Fatmawati,
dan Gedung Proklamasi" yang dimuat di Harian Kompas, 16 Agustus 2001 menuliskan,
Fatmawati tidak mudah mendapatkan kain untuk bendera. Fatmawati berhasil
mendapatkan kain berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang
sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia.
Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang mengepalai
gudang di Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Bendera itulah yang berkibar di
Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Fatmawati menjahit
bendera itu dalam kondisi fisik cukup rentan. Ia sedang hamil tua dan sudah waktunya
untuk melahirkan putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra.
"Istriku telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain
putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan," ungkap Soekarno dalam
buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. "Inilah bendera resmi yang
pertama dari Republik," tambah sang proklamator yang kemudian menjadi Presiden RI
pertama ini. Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 14 Mei
1980 dalam usia 57 tahun. Pernikahannya dengan Soekarno dikaruniai 5 orang anak,
yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri,
Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

7. BIOGRAFI SUTAN SYAHRIR


Sutan Syahrir lahir di kota Padang Panjang, Sumatera Barat tanggal 5 Maret
1909. Ia memiliki saudara perempuan bernama Rohana Kudus. Ayahnya bernama
Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan
Palindih dan ibunya bernama Puti Rabiah yang berasal dari Kota Gadang, Agam,
Sumatera Barat.
Orang tua dari Sutan Syahrir merupakan orang terpandang di Sumatera. Ayahnya
menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan menjabat sebagai kepala jaksa atau landraad
pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Karena lahir dari keluarga dengan ekonomi
berkecukupan, Sutan Syahrir pada zaman kolonial Belanda bias mendapatkan
pendidikan dari mulai ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Syahrir kemudian masuk MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau setingkat sekolah menengah pertama (SMP). Di
MULO, Syahrir banyak belajar dari buku – buku asing terbitan Eropa dan karya – karya
dari luar. Setelah menamatkan pendidikan di MULO pada tahun 1926, Syahrir pindah ke
Bandung dan bersekolah di AMS (Algemene Middelbare School) yang merupakan
sekolah termahal dan terbaik di Bandung.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di
Bandung. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia
(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia
gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya
Universitas Rakyat).
Sjahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum,
Universitas Amsterdam. Di sana, Sjahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-
sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua
Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi
Sjahrir, meski sebentar. (Kelak Sjahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua
dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Sjahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930,
pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan
aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut
pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut
menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu
menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya
dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin
menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan
pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir melakukan pergerakan bawah tanah
untuk membangun jaringan persiapan perebutan kemerdekaan tanpa kerjasama dengan
Jepang seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Syahrir percaya bahwa pendudukan
Jepang sudah tidak lama dan Jepang tak mungkin menang melawan Sekutu sehingga
Indonesia harus cepat merebut kemerdekaan dari tangan Jepang.
Sutan Syahrir mendesak Soekarno dan Hatta untuk mendeklarasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945, desakan tersebut juga didukung
oleh golongan pemuda kala itu. Namun, Soekarno dan Hatta menolak dan memilih tetap
sesuai dengan rencana yaitu tanggal 24 September 1945 seperti yang ditetapkan oleh
PPKI yang dibentuk oleh Jepang.
Hal tersebut mengundang kekecewaan bagi para pemuda Indonesia terlebih
ketika mereka tau bahwa Jepang telah menyerah dan kalah dari Sekutu. Alasan inilah
yang kemudian membuat para pemuda menculik Soekarno dan Hatta pada tanggal 16
Agustus 1945 dan membawanya ke Rengasdengklok dengan tujuan menjauhkan
keduanya dari pengaruh Jepang serta mendesak agar segera memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir ditunjuk oleh
Soekarno menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia dan menjadi perdana
Menteri termuda di dunia dengan usia 36 tahun. Selain itu, ia juga merangkap menjadi
Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang baru saja
merdeka. Tulisannya yang terkenal adalah Perjuangan Kita

8. BIOGRAFI LATIEF HENDRANINGRAT


Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat lahir di Jakarta pada 15 Februari 1911.
Latief Hendraningrat merupakan seorang prajurit Pembela Tanah Air (Peta). Pada masa
pendudukan Jepang, beliau aktif dalam pelatihan militer yang diadakan oleh Jepang.
Ketika Jepang mendirikan Peta, beliau ikut bergabung menjadi anggotanya.
Jabatan Latief Hendraningrat di Peta adalah komandan kompi dan berpangkat
sudanco. Pangkat ini berada di bawah pangkat tertinggi pribumi, yaitu daidanco atau
komandan batalyon. Latief Hendraningrat termasuk golongan pemuda yang aktif
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Latief Hendraningrat menjadi anggota Peta yang bertanggung jawab dalam
peristiwa Rengasdengklok. Berkat peran beliau dan anggota Peta lainnya, proses
pengamanan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok dapat terhindar dari pantauan tentara
Jepang. Menjelang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, Latief Hendraningrat
mendapat tugas untuk mengamankan lingkungan sekitar rumah Soekarno.
Latief Hendraningrat mengemban tugas yang cukup berat. Selain bertanggung
jawab atas keamanan lokasi, beliau juga bertugas menjamin kelancaran proklamasi dan
keselamatan para peserta. Menjelang pukul 10.00, Latief Hendraningrat mengawal
Soekarno dan Mohammad Hatta ke lokasi pembacaan teks proklamasi. Usai pembacaan
teks proklamasi, beliau menjadi pengibar Sang Saka Merah Putih bersama S. Suhud.
Saat mengibarkan bendera, Latief Hendraningrat memakai seragam tentara Jepang
karena beliau merupakan prajurit Peta.
Suhud Sastro Kusumo atau S Suhud sendiri juga merupakan anggota Barisan
Pelopor bentukan Jepang. Suhud lahir pada tahun 1920. Selain Latief dan Suhud pada
proses pengibaran sang saka merah putih masih ada satu tokoh lain yang ikut berperan.
Tokoh tersebut adalah Surastri Kusumo (SK) Trimurti. Surastri Kusumo (SK) Trimurti
atau lebih dikenal SK Trimurti merupakan satu-satunya perempuan yang berperan dalam
pengibaran bendera pertama. SK Trimurti adalah guru sekolah dasar yang lahir pada
tanggal 11 Mei 1912 di Boyolali, Jawa Tengah. Awalnya, Soekarno memintanya
menjadi pengerek bendera, namun permintaan Soekarno ditolaknya karena pengerek
harus dilakukan oleh seorang prajurit. Akhirnya SK Trimurti berperan sebagai pembawa
bendera.

9. BIOGRAFI IWA KUSUMA SUMANTRI


Iwa Koesoema Soemantri (lahir di Ciamis, 31 Mei 1899 – meninggal 27
November 1971 pada umur 72 tahun) atau Iwa Kusumasumantri (Ejaan Soewandi),
adalah seorang politikus Indonesia. Iwa lulus dari sekolah hukum di Hindia Belanda
(sekarang Indonesia) dan Belanda sebelum menghabiskan waktu di sebuah sekolah di
Uni Soviet.
Usai menamatkan kuliah, Iwa dan Semaun diutus oleh PI pergi ke Moscow untuk
mempelajari Front Persatuan (Eenheidsfront) yang didengungkan oleh Komintern,
semacam organisasi komunis internasional. Di satu sisi Iwa memang tertarik
mempelajari sosialisme, tapi tidak untuk komunisme.
Pada tahun 1927 Ia kembali ke tanah air dan sempat bekerja di Bandung. Tak
lama kemudia ia diminta pamannya membuka kantor pengacara di Medan. Di sana, Iwa
tetap aktif dalam pergerakan dengan membuat surat kabar Matahari Indonesia serta
mendekati kaum buruh dan tani yang tertindas. Iwa juga disebutkan pernah mendirikan
SKBI (Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia) cabang Medan. Lantaran memiliki afiliasi
dengan Moscow dan Komintern, para pemimpin SKBI ditangkap dan diasingkan.
Termasuk juga Iwa yang pada Juni 1930 dibuang ke Bandanaira dan Makassar selama
10 tahun.
Ketika Jepang menaklukan Belanda, Iwa akhirnya dibebaskan. Jepang sempat
mengangkat Iwa sebagai hakim Keizei Hooin (Pengadilan Kepolisian) Makassar. Tak
lama setelah itu, Iwa akhirnya kembali membuka praktek sebagai pengacara di Jakarta.
Perjalanan hidup Iwa selanjutnya adalah saat dirinya diangkat menjadi anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersama tokoh lain seperti Latuharhary dan
Soepomo. Dalam sidang PPKI, Iwa adalah salah seorang yang berpandangan rancangan
UUD 1945 adalah konstitusi yang lahir dalam keadaan darurat dan sangat mungkin
untuk diperbaiki. Makanya Iwa mengusulkan agar dimasukkan satu pasal yang mengatur
tentang perubahan UUD 1945. Usul Iwa itu disambut oleh Soepomo. Setelah adanya
pembahasan dan perdebatan, maka munculah Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur
tentang bagaimana cara untuk mengubah konstitusi.

Setelah Indonesia merdeka, Iwa didaulat menjadi Menteri Sosial pada kabinet pertama.
Tak lama kemudian ia bersama Mohammad Yamin, Soebardjo dan Tan Malaka sempat
ditahan karena dianggap terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946.
Meski sempat ditahan atas tuduhan "kudeta" Iwa masih dipercaya Soekarno
untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-
1955). Saat itu Fraksi Masyumi pernah mengajukan mosi kepada Iwa lantaran dituduh
sebagai seorang komunis dan adanya upaya kudeta oleh Angkatan Perang Republik
Indonesia. Boleh jadi karena dua tuduhan itu Iwa memutuskan mengundurkan diri dari
kursi Menteri Pertahanan.
Pada 1957, Iwa diangkat menjadi Presiden Unpad. Lalu pada tahun 1961
diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di pemerintahan, karir
terakhirnya adalah sebagai Menteri Negara pada Kabinet Kerja IV (1963-1964) dan
Kabinet Dwikora I (1964-1966). Masa pensiunnya dihabiskan dengan menjadi ketua
Badan Penelitian Sejarah Indonesia dan aktif menerbitkan beberapa buku.
Iwa Koesoema Soemantri meninggal pada 27 September 1971 karena penyakit
jantung. jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata. Atas segala jasa-jassanya kepada
negara, Iwa diangkat menjadi pahlawan Indonesia pada 6 November 2002 dengan
Keppres No. 73/TK/2002.

10. BIOGRAFI CUDANCO SUBENO


Cudanco Subeno yaitu komandan kompi tentara PETA di Rengasdengklok. Saat
Peristiwa Rengasdenklok Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada
tanggal 14 Agustus 1945. Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh
Jepang. Namun demikian para pemimpin pergeraakan dan pemuda Indonesia lewat
siaran luar negeri telah mengetahui pada tanggal 15 Agustus 1945. Untuk itu para
pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur No.56
Jakarta dan meminta agar mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari
pengaruh Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujui dengan alasan bahwa proklamasi
perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Sehingga pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945 mengadakan rapat di ruang
Laboratorium Mikrobiologi di Pegangsaan Timur yang dihadiri oleh Soekarni, Yusuf
Kunto, Cudanco Singgih, dan Chaerul Saleh sebagai pemimpinnya. Hasil rapat
disampaikan oleh Darwis dan Wikana yaitu mendesak agar Soekarno-Hatta memutuskan
ikatan dengan Jepang. Muncul suasana tegang sebab Soekarno-Hatta tidak
menyetujuinya. Namun golongan muda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945
diproklamasikan kemerdekaan. Prinsip golongan tua menekankan masih perlunya
diadakan rapat PPKI.
Kemudian dini hari tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda mengadakan rapat
di Asrama Baperpi, Jalan Cikini 71 Jakarta dengan keputusan untuk membawa Bung
Karno dan Bung Hatta keluar kota agar tidak terkena pengaruh Jepang. Pada dini hari
tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diculik oleh Soekarni, Yusuf Kunto, dan
Cudanco Singgih ke Rangasdengklok. Pada sore harinya, Ahmad Soebarjo memberi
jaminan bahwa selambat-lambantnya esok hari tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta
akan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, maka Cudanco Subeno (komandan
kompi tentara PETA di Rengasdengklok) memperbolehkan Soekarno-Hatta kembali ke
Jakarta.

11. BIOGRAFI MOH. YAMIN


Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera
Barat. Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di
Indonesia.
Moh. Yamin memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika
ia bersekolah di Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di
sekolah guru. Moh. Yamin juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian
Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht
Hogeschool) Jakarta.
Moh. Yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair
terkemuka angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade
1920 yang sebagian dari karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis Moh.
Yamin diterbitkan dalam jurnal Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor
puisi modern. Moh. Yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal
yaitu Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka(1945) Tanah
Air (1922), Indonesia Tumpah Darah (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi
Amerika, (1951)
Karir Moh. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua
Jong Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia
bergabung ke Partai Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya
berlanjut ketika Moh. Yamin mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama
Adam Malik, Wilipo, dan Amir Syarifudin.
Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya
berpantun yang banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun
disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921
sekaligus pelopor Angkatan Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Dibesarkan
dalam dunia pendidikan yang berlatar belakang Belanda, bukan berarti Yamin,
sapaannya, memihak Belanda yang kala itu menduduki Indonesia. Semangat
nasionalismenya tetap berkobar dan dibuktikan dalam bentuk karya sastra dan
menghindari kalimat yang kebarat-baratan.
Moh. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di
mana akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan
cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat
Moh. Yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP).
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting
negara, di antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman
(1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri
Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan
Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Moh. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan
dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal
ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan. Moh. Yamin dianugerahi gelar
pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.

12. BIOGRAFI H. AGUS SALIM


Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan tokoh pejuang kemerdekaan yang
lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 9 Oktober 1884. Saat kecil, ia mempunyai
nama Mashudul Haq. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Agus Salim menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS),
yaitu sekolah khusus anak-anak Eropa. Ia melanjutkan pendidikannya ke Hoogere
Burgerschool (HBS) di Batavia. Agus Salim berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-
Hindia Belanda. Setelah lulus, Agus Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu
notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, ia berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja pada
Konsulat Belanda. Agus Salim juga sempat menekuni jurnalistik sejak tahun 1915 di
Harian Neratja, sebagai Redaktur II. Ia bahkan diangkat sebagai Ketua Redaksi.
Kesuksesannya dalam dunia jurnalistik terus meningkat, hingga akhirnya ia menjadi
Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Karena kesuksesannya, ia mendirikan Surat
Kabar Fadjar Asia, Redaktur di Harian Merdeka di Yogyakarta, lalu membuka kantor
Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu, Agus Salim juga aktif dalam dunia politik sebagai
pemimpin organisasi Sarekat Islam. Agus Salim juga cerdas dalam berbahasa. Ia
menguasai 9 bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, dan
Jepang. Bahkan, Agus Salim sempat menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di
Jeddah, Arab Saudi.
Tak sampai situ, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada
periode 3 Juli 1947 – 20 Desember 1949. Pada masa jabatannya, Agus Salim menjadi
ketua delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India, dan berusaha
membuka hubungan diplomatik dengan beberapa negara Arab, terutama Mesir dan Arab
Saudi. Pada perkembangannya, Agus Salim berhasil memimpin tim delegasi Indonesia
untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara Mesir, Suriah, Lebanon, Arab
Saudi, dan Yaman.
Pada tahun 1953, Agus Salim memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia
politik dan mengarang buku yang berjudul “Bagaimana Takdir, Tawakal, dan Tauchid
Harus Dipahamkan?”. Judul buku tersebut lalu diubah menjadi “Keterangan Filsafat
Tentang Tauchid, Takdir, dan Tawakal”.
Tokoh pejuang Indonesia ini wafat pada 4 November 1954 di RSU Jakarta, dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.

13. BIOGRAFI SUHUD


Suhud Sastro Kusumo atau S Suhud lahir pada 1920. Sejak muda, ia bergabung
dalam Barisan Pelopor, yaitu suatu kelompok yang dibentuk oleh Jepang pada Agustus
1944. Menjelang proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 14 Agustus 1945, Suhud
ditugaskan untuk menjaga keluarga Soekarno.
Pada 16 Agustus 1945, Soekarno dibawa oleh Sukarni Kartodiwirjo dan Chaerul
Saleh ke Rengasdengklok. Saat itu, Suhud sama sekali tidak mencurigai tindakan
Sukarni Kartodiwirjo dan Chaerul Saleh sebagai penculikan, yang kemudian dikenal
sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Malam harinya, Suhud mendapat kabar bahwa
Sukarni dan Chaerul Saleh sudah kembali ke Jakarta bersama Soekarno. Keesokan
harinya, pada 17 Agustus 1945, Soediro, pemimpin Barisan Pelopor, memanggil para
pekerjanya untuk menyebarluaskan berita penting terkait proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang akan dilaksanakan hari itu.
Soediro menugaskan K Gunadi untuk menyerahkan instruksi tertulis yang
ditujukan kepada para anggota Barisan Pelopor. Soediro kemudian pergi ke Lapangan
Ikada, yang awalnya ditetapkan sebagai tempat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Akan tetapi, sesampainya di sana, Soediro dikejutkan dengan tentara Jepang
yang telah memenuhi Lapangan Ikada. Alhasil, upacara proklamasi kemerdekaan
Indonesia pun dipindahkan, yakni ke rumah Soekarno. Saat itu, tugas Suhud Sastro
Kusumo adalah menyiapkan tiang bendera yang nantinya digunakan untuk mengibarkan
bendera Merah Putih. S Suhud diminta menyiapkan bambu sebagai tiang bendera yang
diberi tali dan ditanam di teras rumah Soekarno.
Upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1945
pukul 10.00 WIB. Acara dimulai dengan pidato singkat dari Soekarno, yang dilanjutkan
dengan pengibaran bendera Merah Putih untuk pertama kalinya. S Suhud merupakan
orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih saat proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Dalam peristiwa bersejarah itu, ia berdampingan dengan SK Trimurti dan
Latief Hendraningrat, yang menarik benderanya. Suhud meninggal dunia pada 1986
dalam usia 66 tahun.
14. BIOGRAFI SOEKARNI
Sukarni Kartodiwirjo lahir pada tanggal 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran,
Garum, Blitar Jawa Tmur. Ayah Sukarni bernama Dimoen Kartodiwirjo, yang
merupakan keturunan Eyang Onggo, yaitu juru masak Pangeran Diponegoro. Sementara
ibu Sukarni bernama Supiah, seorang gadis asal Kediri.
Pendidikan Sukarni dimulai saat dia bersekolah di Taman Siswa di Blitar yang
lebih dikenal dengan nama Mardisiswo. Diketahui, Taman Siswa merupakan sekolah
rakyat yang didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Jiwa
nasionalisme Sukarni sudah ditanamkan sejak kecil baik di lingkungan keluarga maupun
di sekolah. Saat di sekolah, Sukarni dididik oleh seorang guru bernama Mohammad
Anwar. Gurunya ini sangat nasionalisme dan antipenjajahan Belanda. Lulus dari
Mardisiswo, Sukarni melanjutkan studi ke HIS Blitar, lalu lanjut ke MULO Blitar.
Setelah lulus dari MULO, Sukarni melanjutkan studi ke Kweekschool atau Sekolah
Guru dan Volks Universiteit atau Universitas Rakyat.
Memasuki tahun 1930, Sukarni mulai aktif dalam perjuangan kemerdekaan
melalui jalur politik. Dia bergabung dengan Indonesia Muda, yaitu organisasi
kepemudaan Partai Indonesia atau Partindo. Saat di Indonesia Muda ini Sukarni pernah
ditugaskan ke Bandung untuk mengikuti sekolah pengaderan. Salah satu pengadernya
adalah Soekarno. Sehingga kesempatan tersebut merupakan kali pertama Sukarni
bertemu dengan Soekarno.
Menjelang akhir pemerintahan Belanda, Sukarni yang saat itu memimpin
Indonesia Muda ditangkap oleh Belanda. Sukarni dibuang ke beberapa daerah, mulai
Balikpapan, Samarinda, hingga Jakarta. Saat Jepang berkuasa, Sukarni termasuk dalam
tokoh-tokoh politik yang dibebaskan Jepang. Pada masa Jepang ini kemudian Sukarni
bersama tokoh muda lain membentuk Angkatan Baru Indonesia, yang sekretariatnya
berada di Jalan Menteng 31.
Memasuki akhir Perang Dunia II, gejolak politik di Indonesia sangat luar biasa.
Terdapat dua kubu besar di kalangan para pejuang, yaitu kelompok tua dan kelompok
muda. Kelompok tua yang dipimpin Soekarno-Hatta menginginkan langkah politik yang
terukur dalam menentukan kemerdekaan, salah satunya melalui mekanisme PPKI.
Sedangkan kelompok muda yang di dalamnya ada Sukarni menginginkan agar
proklamasi kemerdekaan segera diumumkan. Desakan kelompok muda kian besar ketika
mereka mendengar kabar penyerahan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945.
Sukarni kemudian mengusulkan para pemuda untuk dapat menguasai situasi.
Para pemuda itu kemudian memutuskan untuk “menculik” Soekarno-Hatta, dan
melindungi keduanya agar tidak dipengaruhi oleh Jepang. Maka pada tanggal 16
Agustus 1945, para pemuda membawa Soekarno, Hatta, Ibu Fatmawati dan Guntur
Soekarnoputra ke Rengasdenglok. Tanggal dan peristiwa tersebut kemudian dikenal
dengan nama Peristiwa Rengasdengklok.
Di hari yang sama pada sore harinya, Ahmad Subardjo datang ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno-Hatta. Para pemuda dijanjikan bahwa
proklamasi kemerdekaan akan segera diumumkan. Malam harinya, para tokoh
kemerdekaan itu berkumpul di rumah Laksamana Maeda. Soekarno, Hatta, dan Ahmad
Subarjo berada dalam ruangan bertiga untuk merumuskan teks proklamasi.
Setelah itu, teks yang sudah disusun kemudian dibacakan di hadapan hadirin.
Namun setelah disepakati, muncul masalah yaitu siapa yang akan menandatangani teks
itu. Maka, Sukarni kemudian muncul dan mengusulkan Soekarno-Hatta saja yang tanda
tangan, atas nama bangsa Indonesia. Sukarni meninggal dunia pada tanggal 7 Mei 1971,
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

15. BIOGRAFI TRIMURTI


Surastri Karma Trimurti lahir di Desa Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah. Ia
merupakan putri dari seorang abdi dalem keraton Surakarta. Ayahnya bernama Salim
Banjaransari Mangunkusumo, yang merupakan seorang asisten wedana. Sementara itu,
ibunya bernama R.A. Saparinten. Trimurti mengenyam pendidikan awal di Sekolah
Guru Putri. Ia juga pernah sekolah di Normaal School dan Algemeene Middelbare
School (AMS) di Surakarta.
Trimurti tertarik masuk ke dunia pergerakan setelah mendengarkan pidato-pidato
Bung Karno. Sejak tahun 1930-an, Trimurti turut andil dalam gerakan kemerdekaan
Indonesia. Namun, ia secara resmi bergabung dengan Partai Indonesia pada 1933. Selain
itu, Trimurti bekerja sebagai guru di sekolah dasar di berbagai wilayah, seperti Bandung,
Surakarta, dan Banyumas.
Pada 1936, Trimurti ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda setelah
ketahuan menyebarkan pamflet anti-kolonial. Ia kemudian dihukum selama sembilan
bulan di Penjara Bulu, Semarang. Selepas bebas dari penjara, Trimurti kemudian beralih
bekerja sebagai wartawan. Ia banyak menulis terkait gerakan anti-kolonial. Dalam
tulisannya, ia tidak menggunakan nama SK Trimurti. Ia memilih menggunakan nama
tengahnya sebagai samaran, yakni Karma.
Setelah Indonesia Merdeka, Trimurti menjadi seorang aktivis buruh. Ia banyak
memperjuangkan hak-hak pekerja. Ia akhirnya diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja
pertama Indonesia di bawah kabinet Amir Sjarifuddin. Trimurti menjabat sebagai
Menteri Tenaga Kerja sejak 1947 hingga 1948. Ia juga terjun di dunia politik dan aktif
sebagai eksekutif di Partai Buruh Indonesia dan memimpin sayap wanitanya.
Sepanjang hidupnya, SK Trimurti berjuang untuk kepentingan orang banyak. SK
Trimurti meninggal dunia pada 20 Mei 2008 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot
Soebroto (RSPAD), Jakarta. Ia meninggal diduga karena pecah pembuluh darah vena
dan menderita hemoglobin rendah. SK Trimurti dimakamkan di TMP Kalibata.

16. BIOGRAFI LUKAS KUSTARYO


Lukas Kustaryo lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 20 Oktober 1920. Sedari
muda, ia sudah terjun ke dunia militer. Saat zaman pendudukan Jepang, Lukas masuk
dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Di PETA, Lukas menjadi komandan regu
yang setara dengan sersan atau disebut budancho. Selain itu, ia juga sempat menjadi
shodancho (komandan peleton) di Pacitan, Jawa Timur.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Lukas ditempatkan di Brigade III/Kian
Santang, Purwakarta, yang dipimpin oleh Letkol Sidik Brotoatmodjo. Lukas kemudian
diangkat menjadi Komandan Kompi Batalyon I Sudarsono/Kompi Siliwangi atau yang
dikenal sebagai Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi. Ketika menjabat sebagai
komandan kompi, ia dikenal sebagai pejuang yang gagah berani dan memiliki banyak
taktik untuk mengalahkan musuhnya, yaitu Belanda. Salah satu contohnya, Lukas kerap
memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh mereka secara tiba-tiba. Selain itu,
ia pernah membajak rangkaian kereta yang berisi persenjataan. Lukas juga sangat gesit,
sehingga kerap lolos dari sergapan Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan, Karawang merupakan salah satu basis kaum
Republik. Sejak tahun 1945 hingga 1947, terjadi pertempuran berdarah di Karawang-
Bekasi. Pada saat itu, Kapten Lukas berhasil menyergap para prajurit Belanda dan
cukup banyak menghabisi nyawa mereka dengan cara menusuknya. Jengkel dengan aksi
Kapten Lukas, Divisi I KNIL mengirim pasukannya ke Rawagede dengan dipimpin oleh
Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons. Kedatangan Fons bertujuan untuk
mencari Lukas Kustaryo, yang saat itu memang sedang bergerilya di sekitar Rawagede.
Fons pun mencari-cari Lukas di sana, tetapi ia sangat sulit ditemukan. Saking sulitnya,
Fons sampai menghargai kepala Lukas sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yang
berhasil menemukannya. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil menemukan jejak
Lukas. Oleh sebab itu, militer Belanda memutuskan untuk mengumpulkan dan
menghabisi laki-laki di Rawagede yang dianggap pro-Republik.
Korban di Rawagede yang terbunuh pada 9 Desember 1947 mencapai 413 orang.
Mengetahui kondisi itu, Lukas merasa berduka karena banyak penduduk sipil yang
dibunuh tentara Belanda yang kesulitan menangkapnya. Jumlah anggota kompi Lukas
yang sebelumnya berjumlah ratusan orang tinggal tersisa sekitar 40 orang. Hingga
militer Belanda hengkang dari Indonesia, Lukas masih belum juga tersentuh oleh para
pengincarnya. Kabarnya, selama Belanda mencari Lukas di Rawagede, ia bersembunyi
di Desa Pasirawi selama satu minggu, yang hanya berjarak sejauh dua kilometer dari
Rawagede. Berkat keberanian, kecerdikan, dan kegesitannya, pasukan militer Belanda
yang bertugas di sekitar Karawang-Bekasi menyebut Lukas sebagai Begundal
Karawang.
Setelah berhasil lolos dari incaran militer Belanda, Lukas terus melanjutkan
karier militernya. Batalion Lukas sempat dikirim ke Maluku untuk melawan Angkatan
Perang Republik Maluku Selatan (RMS). Pasukannya berada di Maluku saat Letkol
Slamet Rijadi terbunuh pada November 1950. Masih di tahun yang sama, Lukas juga
mulai terjun sebagai politikus. Ia tergabung sebagai anggota parlemen mewakili Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan oleh AH Nasution bersama
koleganya. Pangkat terakhir yang disandang Lukas adalah Brigadir Jenderal. Hingga
akhir hayatnya, ia tinggal di Cipanas, Jawa Barat, bersama keluarganya. Lukas Kustaryo
wafat pada 8 Juni 1997. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP)
Cipanas.

Anda mungkin juga menyukai