Anda di halaman 1dari 71

LITERATURE REVIEW TERAPI OKUPASI MENGGAMBAR

DALAM MENURUNKAN TANDA GEJALA PADA PASIEN


DENGAN HALUSINASI PENDENGARAN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Jiwa Program
Profesi Ners

Disusun Oleh :
Mahasiswa Profesi Ners Angkatan 17

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat kekuatan, kesehatan, karunia dan berkat-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan makalah ini dengan berjudul “ Literature Review Terapi

Okupasi Menggambar Dalam Menurunkan Tanda Gejala Pada Pasien

Dengan Halusinasi Pendengaran ”.

Makalah ini dibuat oleh penulis sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

tugas seminar akhir Keperawatan Jiwa 2023. Dalam penulisan makalah ini penulis

banyak mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat

kekurangan, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran dari para pembaca yang

sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 20 Juli 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Pendahuluan .............................................................................................. 1
1.2 Metode penelitian ..................................................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.4 Tujuan ....................................................................................................... 5
1.5 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Kesehatan Jiwa...........................................................................6
2.2 Konsep skizofrenia .................................................................................10
2.3 Konsep halusinasi ...................................................................................18
2.4 Konsep terapi okupasi aktivitas menggambar ........................................29
2.5 Kerangka konsep .....................................................................................33

BAB III EVIDANCE BASED PRACTICE


3.1 Step 0 : cultivate a spirit of inquiry .......................................................... 34
3.2 Step 1 : ask clinical question in PICOT format......................................... 34
3.3 Step 2 : search for the best evidance ......................................................... 34
3.4 Step 4 : pembahasan ................................................................................. 54
3.5 Step 5 : evaluasi ....................................................................................... 62
3.6 Step 6 : desmination .................................................................................. 62

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN KASUS


A. Pengkajian ................................................................................................. 22
B. Analisa Data .............................................................................................. 24
C. Diagnosa Keperawatan.............................................................................. 24
D. Intervensi ................................................................................................... 25

BAB V PEMBAHASAN
4.1 Diskusi ...................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN DAN PEMBAHASAN

1.1 Pendahuluan
Kesehatan jiwa menurut WHO adalah suatu kondisi sejerah secara fisik sosial,

dan mental yang lengkap dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacatan.

Atau dapat dikatakan bahwa individu dikatakan sehat jiwa apabila berada dalam

kondisi fisik, mental, dan sosial yang terbebas dari gangguan (penyakit) atau tidak

dalam kondisi tertekan sehingga dapat mengendalikan stress yang timbul. Sehingga

kemungkinan individu untuk hidup produktif, dan mampu melakukan hubungan

sosial yang memuaskan (dwidiyanti, Meidiana; Pamungkas, Yanuar F; Ningsih.

2017; Yusuf, A.H &, R &Nihayati, 2015).

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,

intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu

berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna Kesehatan jiwa mempunyai

sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan meperhatikan semua segi-segi dalam

kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain (KEMENKES,

2017).

Gangguan jiwa merupakan suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi

psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan yang nyata dan kinerja yang

buruk, dan disebabkan oleh gangguan bilogis, sosial, psikologis, genetik, fisik, atau

kimiawi (Andir et al., 2019; Kurniawan, 2016).

Skizofrenia merupakan diagnosa medis yang banyak ditemukan pada pasien

gangguan jiwa. Individu dengan skizofrenia menunjukkan gangguan dalam proses

1
kognitif dan menerima stimulus. Termasuk gangguan memori janka panjan untuk

merespon rasa bahagia, belajar, proses berpikir, membuat keputusan. Kondisi ini

sering dihubungkan dengan gejala negatif skizofrenia (seperti anhedonia, asosial)

(Green et al., 2019).

Keadaan ini menyebabkan penderita menjadi tidak nyaman dan berpotensi

menyebabkan kambuh. Fakta ini menunjukkan bahwa keluarga belum mampu

merawat anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Keluarga gagal untuk

menciptakan dan memodifikasi situasi kondusif yang mendukung pemulihan

kondisi pasien selama dirawat dirumah (Fitryasari et al., 2020).

Para ahli membagi gejala skizofrenia menjadi dua kategori yaitu positif dan

negatif. Gejala positif mengacu pada perilaku yang tidak tampak pada individu

yang sehat meliputi; Halusinasi, Delusi atau waham, Perilaku kekerasan.

Sedangkan gejala negatif mengacu pada hilangnya minat yang sebelumnya dimiliki

oleh penderita. Gejala negatif meliputi;Isolasi Sosial, Harga Diri Rendah, Defisit

Perawatan Diri, Resiko Bunuh Diri (Fitryasari et al., 2020).

Menurut WHO Kasus halusinasi di Indonesia mencapai kenaikan 20% pada

tahun 2022 dan menurut data di RSJ Provinsi Jawa Barat terdapat 1500 orang pasien

jiwa dengan gangguan halusinasi, harga diri rendah berjumlah 2 orang dari bulan

januari sampai bulan juli 2023. Prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah

tangga gangguan jiwa psikosis di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2018 yaitu 7,0

permil (Fitryasari et al., 2020). Prevalensi gangguan jiwa halusiansi di Indonesia

adalah 9,8% dari total penduduk berusia dari 15 tahun. Pada rumah sakit jiwa di

Indonesia, presentase halusinasi sekitar 70% mengalami halusinasi pendengaran,

2
20% halusinasi penglihatan, serta 10% halusinasi pengecap, penciuman dan

perabaan (Depkes RI, 2020). Prevalensi gangguan mental emosional yang

ditunjukkan dengan gejala – gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun

keatas mencapai sekitar 9,8 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia, sedangkan

prevalensi pengobatan penderita gangguan jiwa dengan skizofrenia mencapai

sekitar 84,9% yang berobat dan 15,1% yang tidak berobat. Pasien gangguan jiwa

berat di Jawa Barat mencapai 16.714 orang. Prevalensi gangguan waham menetap

secara nasional masih belum diketahui. Namun, data dari riset kesehatan dasar

nasional (riskesdas) tahun 2018 mendapatkan prevalensi schizophrenia/psikosis di

Indonesia adalah 6,7%. Psikosis mencakup gangguan waham menetap, gangguan

bipolar dengan ciripsikotik, dan depresi dengan ciripsikotik. Berdasarkan fenomena

yang ada di RSJ di ruang rawat inap didapatkan data pasien dengan masalah

keperawatan gangguan persepsi sensori : Halusinasi sebanyak 1.500 selama tahun

2023.

Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca

insratan paada ransangan indra dari luar, suatu penghayatan yang di alami suatu

persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstern atau persepsi palsu (Keliat,

2015 dalam Pujinungsih, 2021).

Okupasi adalah sebuah perawatan yang mempunyai tujuan untuk membantu

seseorang yang mempunyai keterbatasan fisik, mental, serta kognitif. Terapi ini

dilakukan dengan tujuan supaya pengidap bisa menjadi tidak ketergantungan pada

orang lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari (KEMENKES, 2022).

3
Peran Perawat dalam terapi okupasi adalah memberi pengajaran terkait

kegiatan sehari-hari. Memberikan bantuan kepada pasien agar dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan rumahnya. Meningkatkan rasa toleransi kerja,

pemeliharaan, dan kemampuan pasien. Memfasilitasi pasien agar dapat belajar

menemukan pekerjaan yang tepat.

1.2 Metode Penelitian


Metode yang digunakan yaitu literature review dari artikel-artikel kesehatan

periode Januari 2018-Januari 2023. Literature review adalah sebuah metode

sistematis, eksplisit, dan reprodusibel untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan

sintesis terhadap hasil penelitian yang sudah dihasilkan oleh para peneliti dan

praktisi. Artikel dipilih berdasarkan kriteria Inklusi yang meliputi:

A. Tipe Study

Hasil penelitian kuantitatif dengan desain pre eksperimental, quasi

eksperimen, control group pretest posttest.

B. Tipe outcame yang diukur

Dampak Terapi Okupasi dalam mengontrol dan menurunkan gejala

halusinasi.

C. Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah artikel berbahasa Indonesia. Database jurnal

yang digunakan adalah Google scholar dan Crossref dengan pencarian kata

kunci untuk pencarian artikel dalam Bahasa Indonesia adalah “ Terapi

Okupasi menggambar dan Halusinasi”.

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep terapai okupasi ?

4
2. Bagaimana konsep halusinasi ?

3. Bagaimana EBP terapi okupasi menggambar pada pasien halusinasi?

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pemberian terapi okupasi terapi menggambar pada

pasien halusinasi

1.4.2. Tujuan khusus

a. Menganalisis jurnal terapi okupasi menggambar dalam

mengontrol dan menurunkan gangguan halusinasi.

b. Mengevaluasi jurnal terapi okupasi menggambar dalam

mengontrol dan menurunkan gangguan halusinasi.

1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Rumah Sakit
Hasil analisis literatur review hendaknya dijadikan dasar sebagai

pendukung pelaksanaan terapi dalam mengontrol dan menurunkan

halusinasi di Rumah Sakit Jiwa.

1.5.2 Bagi Universitas Bhakti Kencana


Hasil analisis literatur review hendaknya dijadikan dasar sebagai

referensi tentang terapi okupasi mengambar pada pasien halusinasi

1.5.3 Perawat
Hasil analisis literatur review hendaknya sebagai pertimbangan

dalam pelaksanaan terapi okupasi menggambar pada pasien halusinasi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sehat Jiwa
2.1.1 Definisi Sehat Jiwa
Pada tahun 2016, WHO (World Healt Organization)
mendefinisikan seseorang yang dikatakan sehat jiwa jika
memiliki karakteristik positif yang menggambarkan
keharmonisan dan kesejahteraan psikologis yang
menggambarkan kedewasaan kepribadiannya, merasa sehat
dan bahagia, mampu menghadapi tantangan tidup dan dapat
menerima orang lain sebagaimana mestinya dan memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2014 kesehatan jiwa adalah
keadaan di mana seseorang dapat berkembang baik secara
mental, jasmani, rohani, dan sosial sehingga yang
memperoleh keterampilan baru memiliki kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat berkontribusi secara
produktif, dan dapat berkontribusi pada komunitasnya.
Kesehatan mental merupakan perilaku yang dapat
ditunjukkan melalui hubungan intrapersonal yang produktif,
tindakan yang baik dan koping yang berhasil di lingkungan
sosial, konsep diri yang positif, dapat mengontrol
kesetabilan emosional. Seseorang dapat dikatakan sehat
mental jika memiliki sikap seperti sikap positif terhadap diri
sendiri, respon emosional terhadap kemandirian, stabilitas
diri, presepsi yang tepat tentang realitas, penguasaan
lingkungan dan kopetensi sosial dan emosional yang
kompeten. Dari penjelasan tersebut sebaliknya dapat
diansumsikan bahwa individu dengan gangguan jiwa adalah
individu dengan penyakit fisik dan sosial serta tidak punya
sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain
(Suryani U. Ausrianti, Yolanda, 2020).

6
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi aspek kesehatan
jiwa
Menurut (Suryani U. Ausrianti, Yolanda, 2020)
Masalah pada kesehatan jiwa adalah permaslahan yang harus
diatasi secara komprehensif, faktor pendukungnya adalah
sebagai berikut:
a. Faktor fisik (organo biologis)
Faktor fisik cukup dapat mempengaruhi kualitas
kesehatan jiwa pada seseorang, contohnya yaitu saat
seseorang mengetahui bahwa tubuhnya digerogoti
kanker pada saat itu juga seseorang telag kehilangan
sebagian kehidupannya, walaupun secara pemikiran
sadar teapi mental emosionalnya telah terganggu dan
mempercepat proses penurunan sistem kekebalan tubuh
secara drastis dan semngat hidupnya juga berkurang.
b. Faktor mental/emosional (psikoedukatif)
Kekuatan pada mental dan emosional yang mendukung,
dan saran positif diperlukan untuk membangunkan
semangat hidup dalam mengembalikan kesehatan secara
jasmani dan rohani.
c. Faktor sosial budaya (sosial kultural)
Lingkungan keluarga dan satu darah sangat diperlukan
untuk menyempurnakan konsep kesehatan mental
emosional seseorang, komunikasi dalam keluarga sangat
dibutuhkan dalam mengatasi setiap permasalahan yang
datang kapan saja dalam hidup. Dalam keluarga.
lingkungan, budaya, sangat menentukan kualitas
kesehatan mental emosional seseorang dalam
menghadapi setiap permasalahan yang ada.

7
2.1.3 Gejala Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (2020) ialah perubahan kapasitas jiwa
yang menyebabkan masalah kapasitas kejiwaan, yang
menyebabkan ketahanan seseorang dan juga hambatan
dalam menyelesaikan pekerjaan sosial.
Menurut Irmansyah (2013) kekeliruan pandangan
terhadap penderita gangguan jiwa, berawal dari steriotipe
keliru tentang gangguan jiwa yang ada di masyarakat saat
ini. Perilaku sangatmerugikan penderita, mereka akan
mengalami tambahan beban mental yang telah rapuh karena
penyakitnya. Dan keadaan ini akan membuat makin sulit
proses penyembuhan penyakit yang diderita yaitu proses
pengembalian klien kepada masyarakat. Hingga pada
akhirnya akan merugikan masyarakat secara keseluruhan
juga.
Secara umum segala gangguan jiwa menurut hawari
(2018) terdiri dari:
a) Gangguan Kesadaran
Kesadaran merupakan kemampuan individu
mengadakan hubungan denganlingkungan serta dengan
dirinya sendiri (melalui panca indranya) dan
mengadakan pembatasan terhadap lingkungan serta
terhadap dirinya sendiri (melalui perhatian).
b) Gangguan Ingatan
Gangguan ingatan umum adalah tidak terbatas pada
suatu waktu tertentu saja seperti pada amnesia, histeri
dan dapat meliputi kejadian yang baru saja terjadi
misalnya kejadian beberapa hari yang lalu dan juga
kejadian yang sudah lama terjadi misalnya kejadian
beberapa tahun yang lalu. Amnesia adalah ketidak
mampuan mengingat kembalipengalaman mungkin

8
bersifat sebagai atau total, serta mungkin terjadi karena
sudah paksa kepala, gangguan emosi. Pramneesia adalah
ingatan yang keliru disebabkan distro pemanggilan
kembali seperti sudah melihat sesuatu padahal
sebelumnya belum pernah.
c) Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi adalah penerapan tanpa adanya
objek/rangsangan apapun pada panca indra, yang terjadi
dalam keadaan sadar penuh. Ilusi adalah interpertasi atau
penilaian yang salah tentang penerapan yang sungguh
terjadi karena rasa pada panca indra.
d) Gangguan Kepribadian
Suatu gangguan yang dianggap telah terjadi bilamana
sebuah atau lebih sifat kepribadian itu menjadi
sedemikian rupa sehingga individu itu merugikan dirinya
sendiri atau masyarakat sekitarnya. Macam-macam
gangguan kepribadian yang paranoid, histeri, asetemik,
anti social dan pasif agresif.
e) Gangguan Orientasi
Gangguan orientasi atau disorientasi timbul sebagai
akibat gangguan kesadaran dapat menyangkut waktu
(tidak tahu menahu tentang jam, hari, atau musim),
tempat (tidak tahu tentang di mana dia berada) atau orang
(tidak tahu dirinya sendiri atau orang lain).
f) Gangguan Efek dan Emosional
Depresi: ditandai dengan adanya gangguan komponen
psikologis, misalnya rasa sedih, susah, rasa tidak
berguna, gagal, kehilangan, tak ada harapan, putus asa,
penyesalan yang patologis. Misalnya anoreksia, kulit
lembab, nadi, tekanan darah menurun. Kecemasan
ditandai dengan komponen psikologis misalnya kuatir,
gugup, tegang, cemas, rasa tidak nyaman, kekas terkejut,

9
sedangkan komponen somatiknya dapat berupa keringat
dingin pada telapak tangan, tekanan darah meningkat,
peristaktik bertambah. Apatisi: kurangnya efek dan
emosi terhadap sesuatu atau terhadap semua hal dengan
disertai rasa terpencil dan tidak peduli.
g) Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi adalah penerapan tanpa adanya
objek/rangsangan apapun pada panca indra, yang terjadi
dalam keadaan sadar penuh. Ilusi adalah interprestasi
atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
sungguh terjadi karena rasa pada panca indra.
h) Gangguan Penampilan
Terlalu kritis, teliti atau rewel mungkin erupakan tanda
obsesi kompulatif. Kemunduran dalam tingkat
kebersihan dan kerapian dan merupakan tanda adanya
depresi atau skizofermia. Bila seorang wanita bersolek
atau berpakaian dan berperilaku sedemikian rupa seakan-
akan hendak membangkitkan rangsangan seks maka
perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya gangguan
jiwa.
i) Gangguan Pola Hidup
Gangguan pola hidup mencangkup gangguan dalam
hubungan antara manusi, sifat-sifat dalam keluarga,
pekerjaan, rekreasi dan masyarakat.

2.2 Konsep Skizofrenia


2.2.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,
persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu
(Videbeck, 2018). Pengertian yang lebih ringkas
diungkapkan oleh Hawari (2018), dimana skizofrenia
berasal dari dua kata "Skizo" yang artinya retak atau pecah

10
(spilt), dan "frenia" yang artinya jiwa. Dengan demikian
skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa
atau keretakan kepribadian (splinting of personality),
sedangkan pengertian yang lebih lengkap diungkapkan oleh
Direja (2016) bahwa skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa
fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta
disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek
atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi
terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi.

2.2.2 Etiologi Skizofrenia


Hawari (2018) membagi gejala skizofrenia menjadi 2 yaitu:
A. Faktor predisposisi
1) Biologis
Baru dipahaminya respons neurobiologis yang
maladaptif karena abnormalitas perkembangan
sistem saraf, hal ini dibuktikan dalam beberapa
penelitian yaitu:
a. Lesi area frontal, temporal, dan limbik akan
menyebabkan perubahan dalam perilaku
psikotik, juga terdapat pembesaran ventrikel dan
penurunan massa kortikal menunjukkan atrofi
otak.
b. Zat kimia otak yang berkaitan dengan skizofrenia
seperti dopamin neurotransmiter berlebihan.
dopamin dan neurotransmiter lainnya tidak
seimbang terutama serotonin serta dapat juga
karena sistem reseptor dopamin yang
bermasalah.
c. Gen dalam keluarga juga memiliki pengaruh
yang besar terjadinya skizofrenia, kembar identik

11
yang dibesarkan terpisahpun memiliki angka
kejadian skizofrenia lebih tinggi daripada
saudara sekandung yang tidak identik. Penelitian
terbaru berfokus pada gene mapping (pemetaan
gen) dalam keluarga menunjukkan keturunan
pertama lebih rentan terjadi skizofrenia
dibandingkan populasi secara umum.
2) Psikologis
Teori psikodinamika terjadinya respon neurobiologis
yang maladaptif belum didukung penelitian, faktor
psikologis lebih menyalahkan keluarga sebagai
penyebabnya hal ini menjadikan keluarga kurang
percaya dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.
3) Sosiobudaya
Penumpukan stress dapat menunjang skizofrenia dan
gangguan lain, tetapi tidak diyakini sebagai
penyebab utama.
B. Faktor pencetus
1) Biologis
Stressor biologis yang menyebabkan respons
neurobiologis maaladaptif seperti gangguan saat
komunikasi, abnormalitas pada mekanisme otak
sehingga mengakibatkan ketidakmampuan seseorang
menanggapi stimulus secara selektif.
2) Lingkungan
Gangguan perilaku dapat disebabkan pula oleh
ambang toleransi terhadap stress yang secara bilogis
berinteraksi terhadap stressor lingkungan.
3) Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimuli yang sering
menimbulkan penyakit baru, biasanya pemicu akan

12
muncul dari berbagai hal yang berhubungan dengan
kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku individu.
a. Penilaian stressor
Stres, penilaian individu terhadap stressor, dan
masalah koping dapat mengindikasikan
kemungkinan kekambuhan gejala. Meski tidak
ada riset ilmiah tetapi model diatesis ess
menjelaskan bahwa gejala skizofrenia akan
muncul dari hubungan antara beratnya stress dan
ambang toleransi terhadap stress itu sendiri.
b. Sumber koping
Keluarga sangat berperan dalam hal ini, orang tua
perlu mendidik anak anak dan dewasa muda
mengenai keterampilan koping karena sumber
koping tidak hanya didapatkan dari pengalaman.
Keluarga memiliki peran sangat penting dalam
memberikan pengetahuan mengenai penyakit,
finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan
tenaga.
c. Mekanisme koping Perilaku yang mewakili
upaya untuk melindungi klien dari pengalaman
menakutkan meliputi :
1) Regresi, hubungannya dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas.
2) Proyeksi, upaya menjelaskan kerancuan
persepsi.
3) Menarik diri
2.2.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia
Menurut Hawari (2018), gejala-gejala skizofrenia
dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu gejala positif dan
gejala negatif. Selengkapnya seperti pada uraian berikut:

13
a. Gejala positif skizofrenia
Gejala positif merupakan gejala yang mencolok, mudah
dikenali, menganggu keluarga dan masyarakat serta
merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa
pasien berobat (Hawari, 2018). Gejala-gejala positif
yang diperlihatkan pada pasien skizofrenia yaitu:
1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak
rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah
dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu tidak
rasional, namun pasien tetap meyakini
kebenarannya.
2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa
rangsangan (stimulus). Misalnya pasien mendengar
suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya
padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikian itu.
3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau,
sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir,
agresif, bicara dengan semangat dan gembira
berlebihan, yang ditunjukkan dengan perilaku
kekerasan.
5) Merasa dirinya orang besar", merasa serba mampu,
serba hebat dan sejenisnya.
6) Pikiran penuh dengan ketakutan sampai kecurigaan
atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan.
b. Gejala negatif skizofrenia
Gejala negatif skizofrenia merupakan gejala yang
tersamar dan tidak menggangu keluarga ataupun
masyarakat, oleh karenanya pihak keluarga seringkali
terlambat membawa pasien berobat (Hawari, 2018).

14
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada pasien
skizofrenia yaitu:
1) Alam perasaan (affect) "tumpul" dan "mendatar"
Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari
wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Isolasi sosial atau mengasingkan diri (withdrawn)
tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain,
suka melamun (day dreaming).
3) Kontak emosional amat "miskin", sukar diajak
bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berpikir abstrak.
6) Pola pikir stereotip
2.2.4 Tipe-tipe Skizofrenia
Hawari (2014) membagi skizofrenia menjadi 5 tipe
yang memiliki spesifikasi yang berbeda, yaitu:
a. Skizofrenia tipe hebefrenik
Seorang penderita Skizofrenia tipe Hebefrenik, disebut
juga disorganized type atau "kacau balau" ditandai
dengan gejala-gejala antara lain sebagai berikut:
1) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, sehingga
ucapannya tidak dapat dimengerti, biasanya ucapan
klien tidak ada hubungannya antara satu dengan
lainnya.
2) Alam perasaan (mood, affect) yaitu ketidaksesuaian
antara stimulus dan respond yang ditunjukkan klien.
3) Perilaku dan tertawa kekanak kanakan (giggling),
senyum yang menunjukkan rasa puas diri atau
senyum yang hanya dihayati sendiri.
4) Waham (delu pecah) tidak jelas dan tidak sistematik
(terpecah - idak teroganisir sebagai suatu kesatuan.
teroganisir sebagai satu kesatuan.

15
5) Halusinasi yang terpecah pecah yang isi temanya
tidak
6) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri,
menunjukkan gerakan gerakan aneh, berkelekar,
pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim
dari hubungan sosial.

Oleh karena itu sebaiknya pihak keluarga


mewaspadai apabila terdapat anggota keluarga yang
mengalami gejala tersebut dan segera membawa ke
dokter, karena yang bersangkutan tidak merasa dirinya
sakit sehingga tidak ada motivasi untuk berobat.

b. Skizofrenia tipe katatonik


Orang yang mengalami tipe katatonik akan menunjukkan
gejala - gejala sebagai berikut:
1) Stupor katatonik, yaitu sikap klien yang tidak peduli
dengan lingkungan, malas beraktivitas sehingga
nampak seperti "patung", atau diam membisu (mute).
2) Negativisme katatonik, yaitu perlawanan yang
nampaknya tanpa motif terhadap semua perintah atau
upaya untuk menggerakkan dirinya.
3) Kekakuan (rigidity) katatonik, merupakan sikap dari
berbagai upaya untuk mempertahankan kekakuan
dirinya.
4) Kegaduhan katatonik, yaitu aktivitas motorik yang
gaduh, tidak bertujuan, dan tidak ada rangsangan dari
luar.
5) Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar
atau aneh. Penderita juga sering tidak makan dan
minum, bahkan tidak tidur berhari hari sehingga

16
dapat menyebabkan dehidrasi dan memburuknya
kondisi fisik dapat berakhir kematian.
c. Skizofrenia tipe paranoid
Seseorang yang menderita skizofrenia tipe paranoid
menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
1) Waham (delusion) kejar atau waham kebesaran,
penderita mengaku dirinya sebagai orang besar tetapi
tidak masuk akal seperti penyelamat bangsa atau
agama. Waham cemburu juga seringkali ditemukan.
2) Halusinasi yang mengandung isi kebesaran.
3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, seperti
kecemasan yang tidak menentu, kemarahan, suka
bertengkar, berdebat dan tindakan kekerasan.
Penderita juga merasa bingung tentang identitas jenis
kelamin dirinya (gender identity) atau takut diduga
sebagai seorang homoseksual.
d. Skizofrenia tipe residual
Merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia
yang tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan
yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi
(inuppropriate), penarikan diri dari pergaulan sial,
tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak
rasional atau pelanggaran asosiasi pikiran. Meski gejala
skizofrenia tidak aktif atau tidak menampakkan gejala
gejala positif skizofrenia, sebaiknya pihak keluarga tetap
mewaspadai dan membawa berobat agar dapat
menjalankan fungsi kehidupan sehari- hari secara
optimal.
e. Skizofrenia tipe tak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang
telah diuraikan dimuka, hanya gambaran klinisnya
terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau tingkat

17
kacau. Gejala-gejala tersebut di atas cukup jelas untuk
dikenali, sehingga keluarga segera membawa penderita
berobat ke dokter (psikiater) agar tidak menjadi
bertambah parah.

2.3 Konsep Halusinasi


2.3.1 Definisi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa
pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori
persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penciuman. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2016). Menurut
Pambayung (2015),halusinasi adalah hilangnya kemampuan
manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran)
dan rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah
salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepi sensori, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penghiduan.
Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola
stimulus yang datang disertai gangguan respon yang kurang,
berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus tersebut (Astutik,
2018).

2.3.2 Tanda dan Gejala


Menurut Yosep ( 2013) yaitu :
a. Halusinasi Pendengaran
Data Subjektif :
1) Mendengar sesuatu, menyuruh melakukan sesuatu
yang berbahaya
2) Mendengar suara atau bunyi
3) Mendengar suara yang mengajak bercakap – cakap
4) Mendengar seseorang yang sudah meninggal

18
5) Mendengar suara yang mengancam diri klien atau
orang lain atau yangmembahayakan.

Data Objektif :

1) Mengarahkan telinga pada sumber suara


2) Bicara atau tertawa sendiri
3) Marah- marah tanpa sebab
4) Menutup telinga, mulut komat – kamit
5) Ada gerakan tangan
b. Halusinasi Pengelihatan
Data Subjektif :
1) Melihat orang yang sudah meninggal
2) Melihat makhluk tertentu
3) Melihat bayangan
4) Melihat sesuatu yang menakutkan
5) Melihat cahaya yang sangat terang
c. Halusinasi Penghidu
Data Subjektif :
1) Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah bayi, bau
masakan, dan
2) parfum yang menyengat
3) Klien mengatakan sering mencium bau sesuatu

Data Objektif :

1) Ekspresi wajah seperti sedang mencium


2) Adanya gerakan cuping hidung
3) Mengarahkan hidung pada arah tertentu
d. Halusinasi Peraba
Data Subjektif :
1. Klien mengatakan seperti ada sesuatu ditubuhnya
2. Merasakan ada sesuatu ditubuhnya
3. Merasakan ada sesuatu dibawah kulit
4. Merasakan sangat panas atau dingin

19
e. Halusinasi Pengecap
Data Subjektif :
1. Merasakan seperti sedang makan sesuatu
2. Merasakan ada yang dikunyah di mulutnya

Data Objektif :

1. Seperti mengecap sesuatu


2. Mulutnya seperti mengunyah
3. Meludah atau muntah
f. Halusinasi Chenesthetic dan Kinestetik
Data Subjektif :
1. Klien mengatakan tubuhnya tidak ada fungsinya
2. Merasakan tidak ada denyut nadi
3. Perasaan tubuhnya melayang layang

Data Objektif :

1. Klien menatap dan melihat tubuhnya sendiri


2. Klien memegangi tubuhnya sendiri

Menurut SDKI (2017)

1) Gejala dan tanda mayor


a. Subjektif
1. Mendengar suara bisikan atau melihat
bayangan
2. Merasakan sesuatu melalu indera perabaan,
penciuman atau pengecapan
b. Objektf
1. Distorsi sensori
2. Respons tidak sesuai
3. Bersikap seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba, atau mencium sesuatu
2) Gejala dan tanda minor
a. Subjektif

20
1. Mengatakan kesal
b. Objektif
1. Menyendiri
2. Melamun
3. Konsentrasi buruk
4. Disorientrasi waktu, tempat, orang atau
situasi
5. Curiga
6. Melihat ke satu arah
7. Mondar-mandir
8. Bicara sendiri
2.3.3 Tingkatan
Stuart and Laraia (2005) dalam Irwan et al (2021)
membagi halusinasimenjadi 4 fase, yaitu:
a. Fase 1 : Comforting – ansietas tingkat sedang, secara
umum halusinasi bersifatmenyenangkan

Karakteristik : Klien mengalami keadaan emosi seperti ansietas,


kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk
berfokus pada penenangan pikiran untuk mengurangi
ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
pengalaman sensori yang dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya bisa dibatasi (non
psikotik)

Perilaku pasien : Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai,

menggerakkan bibir tanpa menimbulkan suara,

pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat,

diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.

b. Fase 2 : Condemning – ansietas tingkat

berat, secara umum halusinasimenjadi

menjijikan

21
Karakteristik : Pengalaman sensori bersifat menjijikan dan

menakutkan, klien mulai lepas kendali dan mungkin

mencoba untuk menjauhkan dirinya dengan sumber

yang dipersepsikan. Klien mungkin merasa malu karena

pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain

(psikotik ringan)

Perilaku : Peningkatan sistem syaraf otonom yang menunjukkan

ansietas, seperti peningkatan nadi, pernafasan dan

tekanan darah, penyempitan kemampuan konsentrasi,

dipenuhi dengan pengalaman sensori dan kehilangan

kemampuan membedakan antara halusinasi dengan

realita.

c. Fase 3 : Controlling – ansietas tingkat

berat, pengalaman sensori menjadi

berkuasa

Karakteristik Klien berenti menghentikan perlawanan terhadap

halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Isi

halusinasi menjadi menarik, dapat berupa permohonan.

Klien mungkin mengalami kesepian jika pengalaman

sensori tersebut berakhir (psikotik).

22
Perilaku : Cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan

halusinasinya daripada menolaknya, kesukaran

berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian

hanya beberapa detik atau menit, adanya tanda-tanda

fisik ansietas berat: berkeringat, tremor, tidak mampu

mengikuti.

d. Fase IV : Conquering – Panik, umunya

halusinasi menjadi lebih rumit,melebur

dalam halusinasinya

Karakteristik : Pengalaman sensori menjadi mengancam dan

menakutkan jika klien tidak mengikuti perintah.

Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau

hari jika tidak ada intervensi terapeutik (psikotik berat)

Perilaku : Perilaku menyerang, teror seperti panik, berpotensi kuat

melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.

Aktivitas fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti

amuk, agitasi, menarik diri, atau katatonia, tidak mampu

berespon terhadap perintah yang kompleks,

tidak mampu berespon terhadap lebih satu orang

2.3.4 Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi terbagi menjadi 5 menurut Yusuf
(2015)
1) Halusinasi Pendengaran

23
Data objektif antara lain: bicara atau tertawa sendiri,
marah tanpa sebab, mengarahkan telinga kearah
tertentu,klien menutup telinga.
Data subjektif antara lain: mendengarkan suara-suara
atau kegaduhan, mendengarkan suara yang ngajak
bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya.
2) Halusinasi Penglihatan
Data objektif antara lain: menunjuk kearah tertentu,
ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas. Data subjektif
anatar lain: melihat bayangan, sinar, bentuk kartun,
melihat hantu atau monster.
3) Halusinasi Penciuman
Data objektif antara lain: mencium seperti membaui bau-
bauan tertentu dan menutup hidung. Data subjektif antara
lain: mencium bau- bau seperti bau darah, feses, dan
kadang-kadang bau itu menyenagkan.
4) Halusinasi Pengecapan
Data objektif antara lain: sering meludah, muntah. Data
subjektif antara lain: merasakan seperti darah, feses,
muntah.
5) Halusinasi Perabaan
Data objektif antara lain: menggaruk-garuk permukaan
kulit. Data subjektif antara lain: mengatakkan ada
serangga dipermukaan kulit, merasa seperti tersengat
listrik.
2.3.5 Rentang Respon
Halusinasi merupakan salah satu respon meladaptif
individu yang berbeda dalam rentang respon neurobilogist.
Individu yang sehat persepsinya akurat mampu
mengidentifikasi stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,

24
pengecapan, penghidu dan perabaan) sedangkan pasien
dengna halusinasi mempersiapkan suatu stimulus panca
indera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.

Respon adaptif Respon maladaptif

Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Hubungan sosial - Pikiran terkadang 1. Kelainan pikiran


menyimpang
2. Perilaku sosial - Ilusi 2. Halusinasi

3. Emosi konsisten - Emosi berlebihan 3. Tidak mampu


berkomunikasi
4. Persepsi akurat - Perilaku ganjil 4. Isolasi sosial

5. Pikiran logis - Menarik diri

(Efendi, 2021)

1. Respon Adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-


norma sosial budaya yang berlak dengan kata lain individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah
akan dapat memecahkan masalah tersebut, responadaptif.

a) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada


kenyataan.

b) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada


kenyatan.

c) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan


yang timbul daripengalaman ahli.

d) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih

25
dalam bataskewajaran.

e) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan


orang lain danlingkungan.

2. Respon psikososial

Respon psikososial meliputi :

a) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang


menimbulkan gangguan.

b) Ilusi adalah miss interpretasi/penilaian yang salah


tentang penerapanyangbenar-benar terjadi (objek nyata)
karena rangsangan panca indera.

c) Emosi berlebihan atau berkurang.

d) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang


melebihibataskewajaran.

e) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari


interaksi dengan oranglain.

3. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon individu dalam


menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-
norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif meliputi:

a) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh


dipertahankanwalaupun tidak diyakini oleh orang lain
dan bertentangan dengan kenyataan sosial
b) Halusinasi merupakan persepsi sensori
yang salah atau persepsi eksternalyang tidak
realita atau tidak ada.
c) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang
timbul dari hati.
d) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak
teratur.

26
e) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian
yang dialami oleh individu danditerima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.
2.3.6 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi menurut Efendi (2021) adalah
sebagai berikut:
1. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan
syaraf-syaraf pusatdapat menimbulkan gangguan realita.
Gejala yang mungkin timbul adalah: hambatan dalam
belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku
menarik diri.
a) Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Jika seseorang mengalami stres yang berlebihan,
maka di dalam tubuhnya akan dihasilkansuatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
buffofenon dan dimethytransferase (DPM).
b) Genetik

Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum


diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor
keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
c) Neurotransmisi
Merupakan faktor kunci dalam memahami bagaimana
berbagai area dari fungsi otak saling komunikasi dan
bagaimana tindakan, seperti pengobatandan terapi laina,
mempengaruhi aktivitas otak dan perilaku manusia.
2. Psikologis
Keluarga pengasuh dan lingkungan Pasien sangat

27
mempengaruhi respons psikologis Pasien, sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi
realitas adalah: penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidupPasien.
3. Sosial budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan
orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial
budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2.3.7 Faktor Presipitasi
1. Stresor sosial budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi
penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang
yang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat
menimbulkan halusinasi.
2. Faktor Biokimia
Penelitian tentang dopamine, norepinetrin, indolamine,
serta zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan
orientasi realitas termasuk halusinasi.
3. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstream dan memanjang
disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah
memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi
realistic. Pasien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
4. Faktor perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan
orientasi realitas berkaitan dengan perubahan proses
piker, afektif persepsi, motoric, dan sosial.
2.3.8 Mekanisme Koping
Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping
adalah perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri

28
sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan
dengan respon neurobiologi maladaptif meliputi :
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan
menampilkan perilaku kembali seperti apa perilaku
perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi,
mencurahkan emosi pada orang lain karena kesalahan
yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
menjelaskan kerancuan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa
reaksi fisik maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu
pergi atau lari menghindari sumber stressor, misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-
lain. Sedangkan reaksi psikologis individu menunjukan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering
disertai rasa takut dan bermusuhan.

2.4 Konsep Terapi Okupasi Aktivitas Menggambar


2.4.1 Definisi Terapi Okupasi
Terapi okupasi berasal dari kata occupation yang
artinya pekerjaan. Yang dimaksud pekerjaan disini bukan
pekerjaan profesi, tetapi pekerjaan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari atau pun melakukan hobi dan merawat
diri. Terapi okupasi umumnya menekan pada kemampuan
motorik halus, selain itu terapi okupasi juga bertujuan untuk
membantu seseorang agar dapat melakukan kegiatan
keseharian, aktifitas produktifitas dan pemanfaatan waktu
luang. Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi
kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis.
Pada terapi okupasi penyandang cacat akan dilatih untuk

29
melakukan kegiatan aktivitas sehari-hari sehingga nantinya
dapat mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.
(Canadian Association of Occupational Therapists, 2019).
Terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan
kepada masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan
fisik atau mental dengan menggunakan latihan/aktivitas
mengerjakan sasaran yang terseleksi (okupasi) untuk
meningkatkan kemandirian (World Federation of
Occupation Therapy, 2016).

Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang


menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni
dapat berupa: pensil, kapur berwarna, warna, cat, potongan-
potongan kertas dan tanah liat (Shimada et al., 2019).
Terapi menggambar selain untuk penyembuhan juga
dapat meningkatkan kreativitas pasien. Menurut The British
Association of Art Therapist (2018) mendefinisikan Art
Therapy sebagai suatu bentuk psikoterapi yang
menggunakan media seni sebagai cara utama ekspresi dan
komunikasi. Art therapy atau terapi menggambar telah
banyak di lingkungan medis, salah satunya untuk
pengobatan penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi.
Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi,
mengekspresikan diri melalui cara cara non verbal dan
membangun komunikasi.
2.4.2 Tujuan Terapi Okupasi
Menurut (Charles H. Christiansen dan Carolyn M.
Baum,2016 ) Adapun tujuan dari terapi okupasi antara lain:
1. Mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak
sendi, kegiatan otot, dan koordinasi gerakan.
2. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti
makan, berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum

30
(telepon, televisi, dan lain-lain, baik dengan maupun
tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan sebagainya.
3. Membantu untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan
rutin di rumahnya, dan memberi saran penyederhanaan
ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
2.4.3 Manfaat Terapi Okupasi
Tujuan terapi menggambar pada dasarnya adalah
salah satu penyembuhan. Terapi menggambar ini bermanfaat
bagi pasien agar pasien dapat melepaskan emosi,
mengekspresikan diri, mengurangi stress, media untuk
membangun komunikasi serta meningkatkan aktivitas pada
pasien gangguan jiwa.
Manfaat terapi menggambar sederhananya ialah
diantaranya penyembuhan. Terapi menggambar bertujuan
untuk pasien supaya pasien bisa melepaskan emosi,
mengekspresikan diri, mengurangi stress, media agar
membangun interaksi serta menambah kegiatan terhadap
pasien gangguan kejiwaan dengan halusinasi.
2.4.4 Fungsi Terapi Okupasi
Adapun Fungsi Terapi Okupasi antara lain :
a. Sebagai perlakuan psikiatri yang spesifik untuk
membantu kesempatan- kesempatan demi hubungan
yanga lebih memuaskan, membantu pelepasan, atau
sublimasi dorongan emosional, sebagai suatu alat
diagnostik.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fungsi fisik,
meningkatkan ruanag gerak sendi, kekuatan otot dan
koordinasi gerak.
c. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti
makan, berpakian, belajar menggunakan fasilitas umum,
baik dengan maupun tanpa alat bantu.

31
d. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan
pekerjaan rutin dirumahnya dan memberi saran
penyederhanaan ruangan maupun letak alat-alat
kebutuhan sehari-hari.
e. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan
meningkatkan kemampuan yang masih ada.
2.4.5 Mekanisme Kerja Terapi Menggambar
a. Penyembuhan pribadi : Terapi seni dapat membantu
memahami perasaanpribadi caranya mengetahui serta
mengatasi kekesalan, kemarahan serta bentuk emosi
lainnya. Terapi ini dapat membantu mengembalikan
semangat pasien.
b. Pencapaian pribadi : Membuat suatu karya seni mampu
membangun rasa kepercayaan diri serta memelihara
perasaan sayang serta menghargai diri sendiri.
c. Menguatkan : Terapi seni dapat membantu
menggambarkan emosi serta ketakutan yang tak dapat
pasien utarakan secara verbal. Dengan cara ini, pasien
lebih mampu mengendalikan perasaannya.
d. Relaksasi serta mengurangi stress : Stres kronis dapat
membahayakan baik pikiran ataupun tubuh. Terapi
menggambar dapat dipakai dalam penanganan tunggal
ataupun digabungkan bersama teknik relaksasi lainnya
agar dapat mengurangi stress serta kecemasan.
2.4.6 Indikasi Terapi Okupasi Menggambar
Terapi okupasi menggambar dapat dilakukan pada
pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan halusinasi.
Halusinasi dengan berbagai gangguan indera dapat
dilakukan terapi. Diutamakan pada pasien yang belum bisa
mengenali halusinasi dan pasien yang tidak bisa
menggambarkan halusinasi secara verbal. Sehingga dapat
memudahkan pasien dalam mengenali halusinasinya.

32
2.5 Kerangka Konsep

Sehat Jiwa

Gangguan Terapi
Gangguan Jiwa persepsi Okupasi
(Skizofrenia) Sensori : Menggambar
Halusinasi

Sumber : Irmansyah (2016), Keliat (2016)

33
BAB III
EVIDANCE BASED PRATICE

3.1 Step 0: (Step Zero: Cultivate a spirit of inquiry)


1. Mengapa dapat terjadi halusinasi?
2. Apa dampak bila halusinasi tidak ditangani?
3. Apa saja teknik non farmakologis yang dapat dilakukan untuk
menurunkan gejala halusinasi?
4. Bagaimana kefektifan terapi okupasi menggambar dalam menurunkan
tanda gejala pada pasien halusinasi?
3.2 Step 1: Ask Clinical Question in PICOT Format
Sebelum mencari bukti ilmiah terbaik, peneliti menyusun
pertanyaan PICOT sesuai dengan fenomena yang akan diteliti:
P: Halusinasi
I: Terapi okupasi menggambar
C: Tidak ada
O: Menurunkan gejala halusinasi
T: Waktu penelitian 2019-2023
3.3 Step 2: Search For The Best Evidance
Mencari kata kunci untuk mengumpulkan bukti-bukti
1. Keyword
Adapun kata kunci yang digunakan untuk mencari jurnal yaitu
“Halusinasi”, “terapi okupasi menggambar”, “menurunkan gejala
halusinasi” dan “Hallucinations”, “occupational drawing therapy”,
“reduce hallucination symptoms”.
2. Mencari literature
Mesin pencarian yang digunakan yaitu google scholar dengan keywords
terapi menggambar terhadap halusinasi sebanyak.: 200 jurnal, sitasi >1
123 jurnal. Melalui Cross ref sebanyak 1000 jurnal, sitasi >1 78. Setelah
masuk mendeley, total jurnal 201 jurnal, duplikasi: 3, sisa 198 jurnal.
Metadata tidak lengkap 12 yang akan dihilangkan, sisa 186. Tema yg

34
tidak sesuai dengan tujuan penbelitian: 178, didapatkan 8 jurnal yang
dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

PRISMA Flow Diagram

Google Scholar, n=200 Mendeley Website


Cross ref, n=1000 n=1
Identification

Total combined Exclude duplicate


n=201 n=3

Final combined
Sesuai kriteria inklusi dan eksklusi:
n = 198
1. Sitasi google scholar >1 (n=123).
Screening

2. Sitasi Cross ref >1 (n=78)


3. Meta data tidak lengkap (n=12)
4. Tema yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian
(n=178)

Full-text articles assessed Pembacaan abstrak dan


for eligibility full text sesuai dengan
(n = 8) tujuan penelitian. Exclude
Eligibility

(n=8)

Artikel yang diambil untuk


Included

telaah literatur
(n = 8)

35
a. Kriteria inklusi
1) Jurnal yang dipublikasikan dalam waktu 5 tahun terakhir dari
mulai 2019-2023
2) Jurnal yang dibahas adalah jurnal mengenai terapi okupasi
menggambar untuk menurunkan gejala pada pasien halusinasi
pendengaran
3) Jurnal berbahasa Indonesia dan berbahasa inggris
4) Sitasi > 1
b. Kriteria eksklusi
1) Jurnal yang dipublikasikan kurang dari tahun 2019
2) Jurnal dengan meta data tidak lengkap
3. Bukti literature yang didapatkan
a. Oktavia, S., Hasanah, U., & Utami, I. T. (2021). Penerapan terapi
menghardik dan menggambar pada pasien halusinasi
pendengaran. Jurnal Cendikia Muda, 2(3), 407-415. ISSN: 2807-
3469. e-ISSN: 2548-6292; p-ISSN: 2548625X
b. Firdaus, R., Kaamilah, T. A., & Muhaafidhin, T. I. (2022).
Menggambar Terstruktur Menurunkan Tingkat Halusinasi Pasien
Gangguan Jiwa. MNJ (Mahakam Nursing Journal), 2(11), 465-470.
E-ISSN: 2655-0830.
c. Saptarani, N., Erawati, E., Sugiarto, A., & Suyanta, S. (2020). Studi
Kasus Aktivitas Menggambar Dalam Mengontrol Gejala Halusinasi
Di Rsj Prof. Dr. Soerodjo Magelang. Jurnal Keperawatan Dan
Fisioterapi (Jkf), 3(1), 112-117.
d. Furyanti, E., & Sukaesti, D. (2018). Art Therapy Melukis Bebas
Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi. Jurnal
Kesehatan Universitas Esa Unggul, 3(6), 1-10.
e. Firmawati, Fadli Syamsuddin, Restivera Botutihe. (2023) .Terapi
Okupasi Menggambar Terhadap Perubahan Tanda Dan Gejala
Halusinasi Pada Pasien Dengan Gangguan Presepsi Sensori
Halusinasi Di Rsud Tumbulilato.Jurnal Medika

36
Nusantara.Vol.1,No.2 Mei 2023.e-ISSN: 2986-7878; p-ISSN: 7986-
7061.
f. Sujiah, S., Warni, H., & Fikrinas, A. (2023). Efektifitas Penerapan
Terapi Okupasi Aktivitas Menggambar Terhadap Gejala Halusinasi
Pendengaran. Media Keperawatan Indonesia , 6 (2). E-ISSN: 2615-
1669; ISSN: 2722-280.
g. Vega Widya Pradana1, Nia Risa Dewi2, Nury Luthfiyatil Fitri.
(2023). Penerapan Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Tanda
Dan Gejala Pasien Halusinasi Pendengaran Di Ruang Kutilang
RSJD Provinsi Lampung. Jurnal Cendekia Muda, Volume 3, Nomor
1, ISSN:2807-3469.

37
Step 3: Table Literature Review
Pengarang, Hasil penelitian
Jurna judul Lokasi, Metode Populasi Gambaran
Sebelum
l artikel dan ruang rawat penelitian dan sampel terapi Sesudah terapi
terapi
tahun
Jurnal Pengarang : Penelitian ini Penelitian ini Populasi Penelitian ini Pada pre terapi Gambaran evaluasi
1 Shella dilakukan di menggunaka tidak menggunakan didapatkan data keperawatan diperoleh
Oktaviani, Ruang Nuri n desain dicantumkan, perawatan pada subjek pada subjek 1 didapatkan
Uswatun RSJ Daerah studi kasus cara dengan cara pertama hasil dengan tanda gejala
Hasanah, Provinsi (case study) pengambilan stategi mempunyai masih mendengar suara
Indhit Tri Lampung m sampel pelaksanaan keluhan bisikan, bersikap seolah
Utami tidak secara rutin mendengar mendengar sesuatu,
dicantumkan dan juga suara bisikan, bicara sendiri.
Judul : dan jumlah dengan terapi bersikap seolah Sedangkan paa subjek
Penerapan sampel 2 okupasi, mendengar kedua didapatkan hasil
Terapi orang terapi sesuatu , dengan tanda gejala
Menghardik okupasi yang respon tidak mendengar suara bisikan,
Dan digunakan sesuai, curiga, bersikap seolah
Menggamba adalah mondar mendengar sesuatu,
r Pada menggambar. mandir, melihat bicara sendiri. Rata-rata

38
Pasien ke satu arah, tanda gejala setelah
Halusinasi bicara sendiri dilakukan intervensi
Pendengara dan disorientasi adalah 27% sehingga
n waktu,tempat, terdapat penurunan tanda
orang atau dan gejala sebesar
Tahun : situasi (73%) 41.5%.
2021 sementara pada
subjek kedua
didapatkan
keluhan
mendengar
suara bisikan,
bersikap seolah
mendengar
sesuatu ,
respon tidak
sesuai, curiga,
mondar
mandir, melihat
ke satu arah

39
dan , bicara
sendiri (64%).
Jurnal Pengarang: Ruang punai Teknik Populasi Penelitian ini pasien A Pasien A tidak memiliki
2 Edi RSJD Atma Probabilty berjumlah 16 menggunakan memiliki 3 tanda gejala (0%), pasien
Sukamto, Husada sampling, orang, rencana tanda gejala B tidak memiliki tanda
Rivan Samarinda melalui sample Terapi (21,4%), pasien gejala (0%), pasien C
Firdaus, sampling sebanyak 4 Aktivitas B memiliki 2 tidak memiliki tanda
Tilka A.K, acak orang. Kelompok tanda gejala gejala (0%), pasien D
Tomi I.M sederhana mengganbar (12,2%), pasien tidak memiliki tanda
terstruktur C memiliki 4 gejala (0%).
Judul: dengan tanda gejala
Menggamba perawat yang (28,5%), dan
r Terstruktur menentukan pasien D
Menurunka tema yang memiliki 1
n Tingkat akan tanda gejala
Halusinasi digambar (7,14%).
Pasien oleh pasien.
Gangguan Kemudian
Jiwa perawat akan
memberikan

40
Tahun : stimulus
2022 pendengaran
dan kognitif
pasien
dengan
meminta
jawaban yang
sesuai dengan
tema yang
didapat oleh
masing-
masing
pasien.
Setelah
pasien
melakukan
terapi
menggambar,
perawat
melakukan

41
penilaian
terhadap hasil
gambar
berkaitan
dengan
kesesuaian
antara tema
dengan
persepsi
pasien.
Kemudian
perawat
melakukan
penilaian
terhadap
tanda dan
gejala
halusinasi
yang dialami
oleh pasien

42
setelah
dilakukan
terapi
menggambar.
Jurnal Pengarang: Penelitian ini Penelitian ini Populasi Penelitian ini Sebelum Sesudah dilakukan
3 Novianti dilakukan di menggunaka pada menggunakan dilakukan Aktivitas menggambar
Saptarani, RSJ n kuesioner penelitian ini aktivitas Aktivitas dalam mengontrol gejala
Erna Prof.Dr.Soero PSYRAT pada klien menggambar menggambar halusinasi selama 5 hari,
Erawati, jo magelang (Psychotic dengan melalui untuk dilakukan evaluasi
Angga Symptom masalah wawancara mengontrol dengan wawancara dan
Sugiarto. Rating keperawatan observasi, gejala observasi untuk
Scale) halusinasi dokumen halusinasi, mengukur gejala
Judul : yang yang terdiri klien Tn. A halusinasi, berdasarkan
Studi Kasus memenuhi dari isi mudah kuesioner PSYRAT pada
Aktivitas kriteria halusinasi, tersinggung, klien Tn. A yaitu
Menggamba inklusi frekuensi klien terlihat mengkaji, frekuensi,
r Dalam halusinasi bicara sendiri durasi, lokasi, kerasnya
Mengontrol dan respon dan tertawa suara, keyakinan, isi
Gejala mengendalika sendiri. intensitasketidaknyaman
Halusinasi n suara pada Sebelum an, gangguan dalam

43
halusinasi. melakukan fungsi kehidupan
Tahun: Pelaksanaan tindakan sehingga klien Tn. A
2020 terapi aktivitas hasil kuesioner dengan
melakukan menggambar, hasil kuesioner dengan
aktivitas penulis skor 25. Hasil evaluasi
menggambar memerhatikan klien mengalami
terdiri dari 3 kondisi klien penurunan setelah
tahap yaitu sebenarnya, dilakukan aktivitas
tahap karena akan menggambar dengan
prainteraksi berpengaruh hasil evaluasi klien Tn. A
tahap kerja dalam dengan skor 18
dan tahap melakukan
terminasi. asuhan
Aktivitas keperawatan.
menggambar Hal yang jadi
terdiri dari 5 penghambat
sesi dengan dalam
waktu untuk melakukan
melakukan aktivitas
aktivitas menggambar

44
menggambar pada klien Tn.
selama 45 A terkadang
menit. biasa saja dan
kadang merasa
malas dangan
ingin
menyendiri
dikamar.
Jurnal Pengarang : Penelitian ini Penelitian ini Sample Pre- Hasil penelitian Hasil uji hipotesis paired
4 Eli dilakukan di menggunaka penelitian eksperimental didapatkan sampel T-Test
Furyanti, ruang rawat n teknik pre- adalah pasien design bahwa sebelum menunjukan bahwa nilai
Diah inap RSJ Dr. eksperiment halusinasi dengan diberikan terapi p-value <ª, yaitu
Sukaesti Soeharto al design dengan besar bentuk one pasien 0,04<0,05. Artinya Ho
Heerdjan dengan sample 44 group pra- halusinasi ditolak dan Ha diterima
Jakarta Barat bentuk one responden. post test dengan besar yang menunjukan bahwa
Judul :
group pra- design. sampel 44 ada pengaruh art therapy
Art Therapy post test responden, melukis bebas terhadap
Melukis design. terdiri dari kemampuan pasien
Bebas kelompok mengontrol halusinasi
Terhadap perlakuan yang

45
Kemampua bahwa kata-
n Pasien kata dapat
Mengontrol disalurkan
Halusinasi melalui
kegiatan
Tahun :
melukis
2018
sehingga
melalui terapi
melukis
terdapat
perbaikan
dalam aspek
kognitip,
afektip dan
psikomotorik
Jurnal Pengarang: Ruang Rawat Pre- 15 responden Pre-test dan Penelitian yang Hasil didapatkan nilai P
5 Firmawati, Inap Rumah Exsperiment pos-test didapatkan value 0,000 (<α0,05)
Fadli Sakit Umum al sebelum pre- terdapat pengaruh yang
Syamsuddin Daerah test dilakukan signifikan antara
Tombulilato terapi okupasi okupasi menggambar

46
, Restivera menggambar terhadap perubahan
Botutihe pada tanda dan gejala pada
peretemuan pasien dengan gangguan
Judul: pertama presepsi sensori
Terapi terdapat 15 halusinasi di rsud
Okupasi pasien (100) tombulilato
Menggamba mengalami
r Terhadap halusinasi berat
Perubahan
Tanda Dan
Gejala
Halusinasi
Pada Pasien
Dengan
Gangguan
Presepsi
Sensori
Halusinasi
Di Rsud
Tumbulilato

47
Tahun:
2023
Jurnal Pengarang: Penelitian ini Metode Populasi Peneliti Nilai rata-rata Nilai rata-rata responden
6 Sujiah S., dilakukan di dalam adalah semua menyepakati gejala tentang gejala halusinasi
Hernida Rumah Sakit penelitian ini responden kontrak halusinasi setelah dilaksanakan
Warni, Adi Jiwa Provinsi adalah dengan dengan sebelum terapi aktivitas
Fikrinas Jawa Tengah penelitian diagnosa responden dilakukan menggambar didapatkan
kuantitatif medis yang terapi okupasi pada kelompok
Judul: dengan skizofrenia tergabung aktivitas intervensi adalah 23,65,
The desain Quasi yang dalam kegiatan nilai minimalnya 18,
Effectivenes Eksperiment, mengalami kelompok menggambar dengan nilai maksimal
s Of menggunaka halusinasi intervensi yang dilakukan 29, sedangkan rata-rata
Application n pendekatan pendengaran sebanyak 8 pada responden tanda gejala halusinasi
Of Drawing “Control dan sedang (delapan) kali kelompok kelompok kontrol adalah
Activity Group Pre menjalani pertemuan intervensi 27,95, nilai minimalnya
Occupation Test-Post perawatan di selama 3 adalah 38,35, 22 dengan nilai
al Therapy Test”. RSJ Daerah (tiga) minggu nilai maksimal 33, sehingga
Against Provinsi guna untuk minimalnya 32 rata-rata gejala
Auditory Lampung melakukan sedangkan nilai halusinasi responden

48
Hallucinatio yaitu Ruang intervensi maksimalnya setelah dilakukan terapi
n Rawat Inap terapi 44. Diketahui aktivitas menggambar
Symptoms Nuri, Ruang okupasi rata-rata gejala didapatkan pada kedua
Rawat Inap aktivitas halusinasi pada kelompok berada pada
Tahun: Kutilang dan menggambar. kelompok tingkat rendah.
2022 Ruang Rawat Langkah kontrol adalah
Inap Melati pelaksanaan 36,50, nilai
dengan penelitian minimalnya 32
jumlah 83 pre-test dan
responden. dilakukan maksimalnya
Peneliti pada 41. Jadi rata-
menggunaka pertemuan rata gejala
n teknik pertama dan halusinasi
Purposive Post test responden
sampling pengukuran sebelum
dengan gejala dilaksanakan
jumlah halusinasi terapi okupasi
sampel pendengaran kegiatan
sebanyak 40 dilakukan menggambar
responden pada pada kedua

49
dengan pertemuan kelompok
halusinasi kesembilan berada pada
pendengaran dengan tingkat sedang.
kelompok
yang
dilakukan
intervensi
Jurnal Pengarang: Penelitian ini Penelitian ini Populasi Penelitian ini Sebelum Sesudah dilakukan
7 Vega Widya di lakukan di menggunaka pada menggunakan dilakukan setelah diberikan
Pradana, Di Ruang n metode penelitian . 1. Tanda penerapan terapi okupasi
Nia Risa Kutilang Rsjd study kasus ini. Lembar gejala menggambar selama 7
Dewi , Nury Provinsi Subjek yang observasi halusinasi hari, menunjukkan
Luthfiyatil Lampung digunakan tanda dan sebelum bahwa tanda gejala
Fitri sebanyak 2 gejala dilakukan halusinasi pendengaran
orang pasien halusinasi penerapan sesudah dilakukan
Judul : yang dengan menurut menggamb penerapan terapi
Penerapan 50iagnose SDKI ar pada menggambar pada
Terapi keperawatan sebelum dan subjek I subjek I dan subjek II
Okupasi halusinasi sesudah pada sebelum mengalami penurunan,
Menggamba pendengaran pasien 72% subjek I mengalami

50
r Terhadap dengan dengan penurunan sebanyak
Tanda Dan masalah nilai tanda 66% sehingga hanya
Gejala halusinasi dan gejala meninggalkan 1 tanda
Pasien pendengaran berat dan gejala yang belum
Halusinasi terdiri dari 11 subjek II teratasi (8%) sedangkan
Pendengara tahap yang sebelum subjek II tanda gejala
n Di Ruang dilihat 63% menurun sebanyak
Kutilang dengan dengan 100%.
Rsjd pilihan ceklis nilai tanda
Provinsi (✓) jika tidak dan gejala
Lampung dilakukan berat
dan (-) jika 2. Hasil
Tahun: tidak di observasi
2023 melakukan, kemampuan

kembar sebelum
observasi dilakukan

terlampir penerapan
terapi
okupasi
menggamba

51
r pada
subjek I 0%
dengan nilai
kemampuan
rendah dan
subjek II
sebelum 0%
dengan nilai
kemampuan
rendah

Jurnal Pengarang : Penelitian ini Penelitian ini Populasi Penelitian ini Sebelum terapi nilai rata-rata pre-test
8 Azzahra, dilakukan di menggunaka tidak menggunakan menggunakan 5.50 dan post-test 0.00.
Fadia ; RSJ Islam n pre dicantumkan, pretest skor dengan di dapatkan nilai sig. (2-
Mahyar Klender eksprimental sampel posttest nilai hasil rata- tailed) adalah 0.004 <
Suara Jakarta Timur dengn diambil rata pre-test 0.05 maka dapat
rancangan dengan 5.50 dan post- disimpulkan bahwa Ha
Judul : penelitian tehnik test 0.00. diterima dan Ho ditolak
Efektivitas one group purposive yang artinya ada
Terapi sampling pengaruh yang signifikan

52
Okupasi pretest- berjumlah 10 antara efektivitas terapi
Menggamba po.sttest responden okupasi menggambar
r Pada terhadap penurunan
Pasien gejala skizofrenia. Ada
Skizofrenia Efektivitas Terapi
Terhadap Okupasi Menggambar
Penurunan Pada Pasien Skizofrenia
Gejala Terhadap Penurunan
Skiofrenia Gejala Skizofrenia Di
di RSJ RSJ Islam Klender
Islam Jakarta Timur Tahun
Klender 2022.
Jakarta
Timur

Tahun :
2022

53
3.4 Step 4: Pembahasan
Jurnal 1 Penerapan Terapi Menghardik Dan Menggambar Pada
Pasien Halusinasi Pendengaran
Halusinasi merupakan salah satu diagnosa dalam gangguan jiwa
atau gangguan mental. Halusinasi di definisikan sebagai terganggunya
persepsi sensori seseorang, dimana tidak ada stimulus. Pasien akan
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien merasa ada suara
padahal tidak ada stimulus suara. Salah satu tipe halusinasi adalah halusinasi
pendengaran (auditory-hearing voices or sounds) dan menjadi tipe
halusinasi yang paling banyak di derita. Cara menangani pasien dengan
halusinasi salah satunya adalah menggunakan perawatan di Rumah Sakit
dengan strategi pelaksanaan secara rutin dan juga dengan terapi okupasi,
terapi okupasi yang digunakan adalah menggambar.
Tanda gejala sebelum dan sesudah dilakukan terapi menghardik dan
menggambar, Sebelum dilakukan penerapan didapatkan data pada subjek
pertama keluhan yang muncul yaitu mendengar suara bisikan, bersikap
seolah mendengar sesuatu, respon tidak sesuai, curiga, mondar mandir,
melihat ke satu arah, bicara sendiri dan disorientasi waktu, tempat, orang
atau situasi (73%), sementara pada subjek kedua di dapatkan data dengan
keluhan mendengar suara bisikan, bersikap seolah mendengar sesuatu ,
respon tidak sesuai, curiga, mondar mandir, melihat ke satu arah dan bicara
sendiri (64%). Tanda dan gejala halusinasi pada subjek sesudah dilakukan
terapi menghardik dan menggambar pada kedua subjek didapatkan hasil
dengan tanda gejala masih mendengar suara bisikan, bersikap seolah
mendengar sesuatu, bicara sendiri sehingga dapat di simpulkan terdapat
penurunan tanda dan gejala dari 64% menjadi 27%.
Penurunan tanda gejala setelah dilakukan terapi menghardik juga
dikarenakan adanya latihan menggambar pada kedua subjek. Menggambar
merupakan terapi okupasi skil dan kemampuan, aktivitas menggambar yang
dilakukan bertujuan untuk meminimalisasi interaksi pasien dengan
dunianya sendiri, mengeluarkan pikiran, perasaan atau perilaku yang tidak
disadarinya, memberi motivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan,

54
serta mengalihkan perhatian pasien dari halusinasi yang dialami sehingga
pikiran pasien tidak terfokus pada halusinasi.

Jurnal 2 Menggambar Terstruktur Menurunkan Tingkat Halusinasi


Pasien Gangguan Jiwa
Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang
menjadi disfungsional secara fisilogis untuknya sendiri maupun interaksi
secara sosial. Orang yang terkena skizofrenia tidak akan mampu
berkomunikasi secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah
karena menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakannya.
Data World health Organization (WHO) pada tahun 2016 secara
global terdapat sekitar 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang
dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan skizofrenia, dan 47,5 juta
orang dengan demensia (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Seni dapat menjadi salah satu media terapi yang mampu
memberikan kontribusi positif terhadap proses rehabilitasi gangguan
kejiwaan. Dengan bersinerginya peran psikolog, tenaga medis dan pengajar
seni, akan memberikan dampak yang positif bagi proses penyembuhan
pasien gangguan jiwa.
Perawat pada penilian ini menentukan tema menggambar yang akan
digambar oleh pasien. Kemudian perawat akan memberikan stimulus
pendengaran dan kognitif pasien dengan dengan meminta jawaban yang
sesuai dengan tema yang didapat oleh masing-masing pasien. Setelah pasien
melakukan terapi menggambar, perawat melakukan penilaian terhadap hasil
gambar berkaitan dengan kesesuaian antara tema dan persepsi pasien.
Kemudian perawat melakukan penilaian terhadap tanda dan gejala
halusinasi yang dialamu oleh pasien setelah dilakukan terapi menggambar.
Sebelum dilakukan penerapan terapi menggambar pasien A
memiliki 3 tanda gelaja A (21,4%), pasien B memiliki 2 tanda gejala
(12,2%), pasien C memiliki 4 tanda gejala (28,5%), dan pasien D memiliki
1 tanda gejala (7,14%). Diketahui penerapan terapi menggambar pasie A

55
tidak memiliki tanda gejala (0%), pasien B tidak memiliki tanda gejala
(0%), Pasien C tidak memiliki tanda gejala (0%), D tidak memiliki tanda
gejala (0%). Ada pengaruh terapi menggambar terstruktur dengan tingkat
halusinasi pasien gangguan jiwa. Terapi menggambar terstruktur dapat
diaplikasikan sebagai salah satu teknik dalam menurunkan tingkat
halusinasi pasien yang mengalami gangguan jiwa agar mereka
mengekspresikan pikiran dan perasaannya serta mengalihkan focus pasien
dari halusinasi yang dialami melalui media menggambar
Jurnal 3: Aktivitas Menggambar Dalam Mengontrol Gejala Halusinasi
Berdasarkan hasil tersebut klien Tn.A efektif dalam melakukan
aktivitas menggambar klien cukup kooperatif dalam melakukan aktivitas
menggambar, namun terkadang klien malas dengan keadaan tersebut
sebaiknya klien diberikan penjelasan tentang tujuan aktivitas
menggambar untuk mengontrol halusinasinya, sebagaimana sesuai dengan
pendapat Candra, Ruspawan & Wijayanti (2013) bahwa adanya
perubahan gejala halusinasi karena dapat merangsang atau
menstimulasikan klien melalui aktivitas atau kegiatan seperti melukis atau
menggambar.
Evaluasi pada klien Tn.A yaitu menggunakan kuesioner PSYRAT
untuk mengukur gejala halusinasi hanya pada hari terakhir pada hal ini
banyak yang dapat mempengaruhi penurunan gejala halusinasi diakibatkan
dari tindakan keperawatan lainya seperti patuh minum obat dan
aktivitas bermanfaat laiinya untuk mengalihkan halusinasinya.
Seharusnya penulis mengevaluasi gejala halusinasi setiap hari
menggunakan kuesioner PSYRAT dan mengobservasi respon nonverbal
dari klien. Selain itu penulis juga mengalami kesulitan ketika
halusinasi klien muncul pada malam hari dikarenakan penulis tidak
bisa medampingi klien untuk mengontrol halusinasi dengan aktivitas
menggambar. Seharusnya penulis memberikan media seperti kertas
dan alat tulis kepada klien untuk mengontrol gejala halusinasi
apabila halusinasi muncul pada malam hari.

56
Setelah dilakukan intervensi aktvitas menggambar klien
halusinasi tampak ada penurunan gejala halusinasi pada klien Tn.A di
wisma Antareja RSJ Prof.dr.Soerodjo Magelang. Hal ini membuktikan
bahwa ada pengaruh dalam melakukan aktivitas menggambar untuk
mengontrol halusinasi, hal tersebut sesuai dengan penelitian Niken,
Antoro & Stevani (2019) bahwa dengan melakukan aktivitas
menggambar klien dapat meminimalisir interaksi klien dengan dunia
halusinasi sehingga klien tidak terfokus dengan halusinasinya. Dengan
melakukan aktivitas menggambar bisa menurunkan gejala positif dan
negatif skizofrenia, salah satunya adalah halusinasikarena dalam
aktivitas menggambar bisa menurunkan perasaan cemas, marah atau
emosi yang bisa menjadi penyebab maladaftif. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Sari (2018) bahwa dapat terjadi penurunan
halusinasi yang lebih efektif karena dengan melakukan aktivitas
menggambar klien dapat bercerita, mengeluarkan pikiran, dan emosi
yang biasanya sulit untuk diungkapkan sehingga dengan melakukan
aktivitas menggambar klien dapat termotivasi, menghibur serta
kegembiraan yang dapat menurunkan perasaan cemas, marahatau emosi
dan dapat memperbaiki pikiran yang kacau serta meningkatkan aktivitas
motorik.
Mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas
menggambar dapat didukung dengan minat dan klien yang kooperatif
sehingga klien yang memiliki hobi menggambar akan lebih termotivasi
untuk memaksimalkan manfaat dalam melakukan aktivitas
menggambar sehingga klien dapat meninimalisir halusinasinya serta
dapat meningkatkan aktivitas motorik

Jurnal 4: Art Therapy Melukis Bebas Terhadap Kemampuan Pasien


Mengontrol Halusinasi
Penelitian dilakukan pada bulan juli 2018. Responden penelitian ini
memiliki karakteristik yang beragam usia sampel dalam penelitian ini 16
sampai 55tahun dengan mayoritas berusia antara 28 sampai 33 tahun.

57
Dimana usia tersebut masuk ke dalam kategori usia dewasa awal. Hal ini
dikarenakan tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap polapola
kehidupan yang baru dan harapan-harapan social baru, seperti suami atau
istri orang tua dan pencari nafkah, keinginan keinginan baru,
mengembangkan sikap sikap baru dan nilai nilai baru tugas baru.
Hampir seluruh jenis kelamin sample pada penelitian ini berjenis
kelamin perempuan. Hal ini mungkin di karenakan perempuan mempunyai
beban stress yang lebih tibggi sehingga membuat perempuan memendam
perasaan nya sendiri dan sering mengalami keputusan dalam kehidupannya
.
Sebagian besar dari seluruh pasien halusinasi di rsj dr.soeharto
heerdjan Jakarta barat yang menjadi responden memiliki status Pendidikan
rendah (SD). Semakin rendah Pendidikan seseorang maka sangat kurang
seseorang mendapatkan pengetahuan dan informasi, sehingga
menyebabkan mekanisme koping tidak baik, mudah putus asa, tidak dapat
mengendalikan diri dalam kehidupannya sehingga menyebabkan seseorang
rentan mengalami gangguan jiwa seperti halusinasi .
Sebagian besar dari seluruh pasien halusinasi di rsj dr. soeharto
heerdjna Jakarta barat yang menjadi reponden memiliki status pekerjaan
sebagai karyawan. Hal ini di karenakan kurangnya motivasi untuk mencari
pekerjaan dan tekanan dalam bekerja,sehingga faktor social ekonominya
lama kelamaan akan menjadikurang. Hampir seluruh pasien halusinasi di rsj
dr. soeharto heerdjan Jakarta barat yang menjadi responden memiliki status
perkawinan belum kawinn. Hal ini dipengaruhi dari ketidak mampuan untuk
mengungkapkan perasaan untuk menikah dan merasa kesal dengan
kondisinya sehinggan membuat seseorang menjadi prustasi, marah dan iri
kepada orang lain sehingga menjadikan seseorang tersebut berhalusinasi
untuk cepat menikah.
Sebagian besar pasien halusinasi di rsj dr soeharto heerdjan Jakarta
barat memiliki Riwayat keluarga, pasien gangguan jiwa. Hal ini disebabkan
karena adanya faktor keturunan dari keluarga kakek atau nenek yang

58
terdahulu sehingga keturunan selanjutnya lebih cenderung akan mengalami
gangguan kejiwaan.
Hampir seluruh pasien halusinasi di rsj dr. seoharto heerdjan Jakarta
barat yang menjadi responden halusinasi memiliki frekuensi dirawat di rsj
lebih dari kali. Satu kali. Hal ini dikarenakan fungsi otak yang menurun
sehingga menimbulkan rendahnya kemampuan pasien untuk merawat
dirinya sendiri dan harus Kembali dirawat di rumah sakit jiwa.

Jurnal 5: Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Perubahan Tanda


Dan Gejala Halusinasi Pada Pasien Dengan Gangguan Presepsi
Sensori Halusinasi Di Rsud Tumbulilato

Hasil penelitian yang didapatkan sebelum (pre-test) dilakukan terapi


okupasi menggambar pada pertemuanpertama terdapat 15(100%)
mengalami halusinasi berat dan tidak terdapat pasien dengan halusinasi
ringan. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sebelum diberikan terapi
okupasi menggambar tanda dan gejala halusinasi yang di alami pasien
sebagian besar berada dalam kategori berat, hal ii ditujukan dengan
halusinasi diantaranya pasien tersenyum dan tertawa sendiri,tap katakutan,
bicara sendiri, mendengar suara yang mengajaknya bercakap cakap dan
menyuruhnya melakukan sesuatu berbahaya, tatapan mata pasien pada
tempat tertentu, menunjuk nunjuk arah tertentu, ketakutan pada objek yang
dilihat, mencium sesuatu seperti (bau darah, bau mayat, dll), pasien tampak
menggaruk garuk dan seperti sedang merasakan makanan tertentu.
Hasil penelitian ini nilai maen pre test adalah 2,00 dengan standar
deviasi 0,507 dan didapatkan nilai p value 0,009, pada penilaian post test
didapati nilai mean 1,07 dengan nilai standar deviasi 0,258 dan didapatkan
nilai p value 0,000 (<a 0.5) artinya ada pengaruh terapi okupasi
menggambar dengan terhadap perubahan tanda dan gejala halusinasi pada
pasien dengan ganguan persepsi sensri halusinasi di RSUD tombulitato.
Hal ini menunjukan bahwa terapi okupasi menggambar berpengaruh dalam
perubahan tanda dan gejala halusinasi pada pasie dalam gangguan persepsi
sendori halusinasi.

59
Penelitian yang dilakukan oleh Candra et all., 2019 didapatkan
bahwa hasil penelitian dari uji hipotesis didapatkan z=4,725 p=0,000 p<1,00
artinya ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian terapi okupasi
aktivitas menggambar terhadap perubahan halusinasi pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hasil penelitian ang
menunjukan sebagian besar gejala halusinasi yang dialami responden
setelah diberikan terapiokupasi aktivitas menggambar dalam kategori
ringan, dan 28 responden mengalami penurunan gejala halusinasi.

Jurnal 6: The Effectiveness Of Application Of Drawing Activity


Occupational Therapy Against Auditory Hallucination Symptoms
Pada penelitian ini pelaksanaan intervensi terapi okupasi aktivitas
menggambar dilakukan dengan cara berkelompok, dimana sebelum
pertemuan dilakukan peneliti terlebih dahulu menyiapkan alat-alat yang
dibutuhkan selama kegiatan berlangsung. Selanjutnya mengawali kegiatan
dengan salam, menjelaskan tujuan kegiatan, menjelaskan tahapan-tahapan
kegiatan sesuai dengan SOP selanjutnya ketika kegiatan telah usai peneliti
menutup kegiatan dan melakukan evaluasi dan validasi serta menyepakati
kontrak yang akan datang. Pelaksanaan terapi okupasi aktivitas
menggambar pada pertemuan pertama responden menggambar secara
bebas, pada pertemuan kedua responden melakukan aktivitas menggambar
sesuai dengan instruksi dari peneliti, pada pertemuan ketiga responden
kembali menggambar bebas, selanjutnya pada pertemuan keempat kegiatan
menggambar dilakukan sesuai instruksi dari peneliti, begitu seterusnya
hingga pertemuan kedelapan. Post test pengukuran gejala halusinasi
pendengaran dilakukan pada pertemuan kesembilan dengan kelompok yang
dilakukan intervensi. Begitu juga post test pada kelompok kontrol dilakukan
pada hari yang sama. Penelitian diakhiri setelah peneliti melakukan
terminasi akhir terhadap kedua kelompok. Selanjutnya teknik analisa data
dilakukan dengan menggunakan uji paired t-test dan uji independent t-test.
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata gejala halusinasi responden
sebelum dilakukan terapi okupasi aktivitas menggambar pada kedua

60
kelompok berada pada tingkat sedang. Kondisi tersebut terjadi karena
semua responden dalam penelitian ini berada dalam tahap lanjutan
perawatan di ruang rawat inap RSJ yang sudah terkontrol dengan terapi
obat-obatan psikiatri sehingga halusinasi responden berada dalam tingkat
sedang bukan lagi berat seperti pada saat berada di IGD atau PICU. Setelah
dilaksanakan terapi okupasi aktivitas kegiatan menggambar pada responden
kelompok intervensi didapatkan 23,65, sedangkan nilai rata-rata gejala
halusinasi pada responden kelompok kontrol yaitu 27,95, sehingga
didapatkan nilai rata-rata gejala halusinasi responden setelah dilakukan
terapi okupasi aktivitas kegiatan menggambar pada kedua kelompok berada
pada tingkat rendah.
Dari seluruh responden penelitian, setelah satu per satu diobservasi,
ditemukan 6 responden yang gejala halusinasinya tidak berkurang secara
signifikan setelah post test. Ketika pre test gejala halusinasi responden-
responden tersebut berada pada kategori sedang dan tidak berubah ketika
post test dilaksanakan. Keenam responden tersebut merupakan responden
pada kelompok kontrol. Kondisi ini bisa terjadi dikarenakan responden
belum mampu mengontrol halusinasinya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aktivitas menggambar sebagai terapi okupasi berpengaruh terhadap
penurunan gejala halusinasi pendengaran. Pada responden kelompok
intervensi penelitian dan responden kelompok kontrol, terdapat adanya
perbedaan penurunan tanda gejala pada halusinasi pendengaran setelah
dilakukan terapi okupasi aktivitas menggambar.

Jurnal 7: Penerapan Terapi Okupasi Menggambar Terhadap Tanda


Dan Gejala Pasien Halusinasi Pendengaran Di Ruang Kutilang Rsjd
Provinsi Lampung
Kedua subjek dalam karya tulis ilmiah ini mengalami masalah
keperawatan utama halusinasi. Salah satu cara menangani klien dengan
halusinasi adalah menggunakan cara terapi menggambar. Terapi
menggambar membuat penulis dapat mengkaji status emosional klien
dengan halusinasi, penyebab halusinasi, tanda gejala halusinasi,

61
kemampuan positif yang dimiliki klien dan membantu klien
mengembalikan kepercayaan dirinya untuk mengembangkan kemampuan
positifnya bahkan mencoba hal baru yang mungkin klien memiliki potensi
dalam melakukannya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pada
pasien yang mengalami halusinasi pendengaran adalah dengan terapi
menggambar yang merupakan salah satu terapi lingkungan. Terapi
menggambar berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang
akan berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun
psikologis seseorang.

Jurnal 8: Efektivitas Terapi Okupasi Menggambar Pada Pasien


Skizofrenia
Terhadap Penurunan Gejala Skiofrenia di RSJ Islam Klender Jakarta
Timur

Terapi okupasi ialah ilmu dan seni yang mengarahkan partisipasi seseorang
dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu (Ridfah et al., 2021). Terapis
okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi
motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu
tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri,
aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang.
(Haq et al., 2020).
Hasil menunjukkan bahwa rata-rata post test skor PANSS kelompok
kontrol sebesar 74.60, sedangkan pada kelompok perlakuan sebesar 56.20,
sehingga dapat disimpulkan bahwa rata – rata skor PANSS pada kelompok
kontrol lebih besar 18.40 dibandingkan kelompok perlakuan. Nilai
signifikan pada kelompok kontrol sebesar 0.015 (<0,05), sedangkan pada
kelompok perlakuan sebesar 0.017 (<0,05). Hasil uji tersebut menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan yang diberikan art drawing therapy lebih efektif
dalam penurunan skor PANSS pada pasien skizofrenia.

3.5 Step 5: Evaluasi

62
Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang
menjadi disfungsional secara fisilogis untuknya sendiri maupun interaksi
secara sosial. Orang yang terkena skizofrenia tidak akan mampu
berkomunikasi secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah
karena menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakannya. (Firdaus, R.,
Kaamilah, T. A., & Muhaafidhin, T. I. (2022).
Halusinasi merupakan salah satu diagnosa dalam gangguan jiwa
atau gangguan mental. Halusinasi di definisikan sebagai terganggunya
persepsi sensori seseorang, dimana tidak ada stimulus. Pasien akan
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada, pasien merasa ada suara
padahal tidak ada stimulus suara. Salah satu tipe halusinasi adalah halusinasi
pendengaran (auditory-hearing voices or sounds) dan menjadi tipe
halusinasi yang paling banyak di derita. Cara menangani pasien dengan
halusinasi salah satunya adalah menggunakan perawatan di Rumah Sakit
dengan strategi pelaksanaan secara rutin dan juga dengan terapi okupasi,
terapi okupasi yang digunakan adalah menggambar. (Oktavia, S., Hasanah,
U., & Utami, I. T. 2021)
Terapi okupasi ialah ilmu dan seni yang mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu (Ridfah et al., 2021).
Terapis okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam
fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan
individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas
perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi
waktu luang. (Vega Widya Pradana1, Nia Risa Dewi2, Nury Luthfiyatil
Fitri. 2023)
Dari Hasil penelitian 8 jurnal menunjukkan bahwa aktivitas
menggambar sebagai terapi okupasi berpengaruh terhadap penurunan gejala
halusinasi pendengaran. Pada responden kelompok intervensi penelitian dan
responden kelompok kontrol, terdapat adanya perbedaan penurunan tanda
gejala pada halusinasi pendengaran setelah dilakukan terapi okupasi
aktivitas menggambar.

63
3.6 Step 6: Desmination
1. Oral persentasi
2. Small group presentation
3. Publikasi kelayakan umum, seperti: publish laporan dalam jurnal

64
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 DISKUSI
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan persepi sensori, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penghiduan. Halusinasi
adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang datang disertai
gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi terhadap stimulus
tersebut (Astutik, 2018). Tanda gejala halusinasi berdasarkan Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) dengan masalah keperawatan
gangguan persepsi sensori meliputi tanda gejala mayor dan minor. Untuk
tanda gejala mayor yaitu mendengar suara bisikan atau melihat bayangan,
merasakan sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, atau pengecapan,
distorsi sensori, respon tidak sesuai, bersikap seolah melihat, mendengar,
mengecap, meraba, atau mencium sesuatu, kemudian untuk tanda minor
yaitu menyatakan kesal, menyendiri, melamun, konsentrasi buruk,
disorientasi waktu, tempat, orang, atau situasi, curiga, melihat ke satu arah,
mondar mandir, berbicara sendiri (PPNI, 2017)
Berdasarkan telaah literatur tanda dan gejala halusinasi memiliki
kesamaan dengan teori SDKI namun dalam beberapa jurnal ada perbedaan
dalam tanda gejala halusinasi yaitu ketakutan, menunjuk – nunjuk kearah
tertentu, menggaruk-garuk dan seperti merasakan makanan tertentu
(Firmawati, 2022).
Penurunan tanda gejala dapat dilakukan dengan terapi okupasi.
Terapi okupasi merupakan bentuk layanan kesehatan kepada masyarakat
atau pasien yang mengalami gangguan fisik atau mental dengan
menggunakan latihan/aktivitas mengerjakan sasaran yang terseleksi
(okupasi) untuk meningkatkan kemandirian (World Federation of
Occupation Therapy, 2016). Terapi okupasi yang dapat digunakan salah
satunya adalah terapi menggambar yang bertujuan untuk meminimalisasi

65
interaksi pasien dengan dunianya sendiri, mengeluarkan fikiran, perasaan,
atau perilaku yang tidak disadarinya, meberi motivasi dan memberikan
kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan perhatian pasien yang dialami
sehingga pikirann pasien tidak berpokus pada halusinasinya. (Shella, 2022)
Hasil telaah jurnal mengatakan sebelum dilakukan terapi okupasi
menggambar rata-rata gejala halusinasi pada kedua kelompok berada pada
tingkat sedang (Sujiah, dkk. 2023). Jurnal selanjutnya menggunakan
kuesioner PSYRAT untuk mengukur tanda dan gejala halusinasi dengan
hasil kuesioner 25 skor ( Novianti,dkk. 2020). Berdasarkan jurnal
selanjutnya dilakukan pre-test terdapat 15 pasien (100%) mengalami
halusinasi berat. (Firmawati, dkk. 2023). Kemudian hasil post-test setelah
diberikan terapi okupasi menggambar didapatkan hasil (84,4%) (Sujiah,
dkk. 2023). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Novianti (2020), yaitu pasien halusinasi mengalami
penurunan skor kuesioner PSYRAT sebanyak 18 skor. Jurnal selanjutnya
mengatakan setelah diberikan terapi okupasi menggambar paling banyak
dalam kategori ringan yaitu 21 orang (70%) dan terdapat dua pasien yang
dalam kategori berat (30%) (Firmawati, dkk. 2023).
Berdasarkan 8 jurnal yang di telaah dapat disimpulkan bahwa terapi
okupasi menggambar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan tanda dan gejala pada pasien yang memiliki gangguan persepsi
sensori halusinasi. (Oktavia, 2021. Firdaus, 2022. Septarani, 2020. Furyanti,
2018. Firmawati, 2023. Sujiah, 2023. Vega, 2023)

66
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Ermawati, & Dkk. (2014). Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Jiwa. Trans Info Medika.
Direja, A. H. S. (2016). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Nuha
Efendi, H. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN.H
DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
PENDENGARAN DI RUANG 6 RSPAL Dr. RAMELAN
SURABAYA.
F. P. (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Masalah Halusinasi. OSF
Preprints, 1–47. https://osf.io/fdqzn
Hawari, D. (2018). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.
Individualized Occupational Therapy Programme and its Effects on the
Neurocognition, Symptoms and Social Functioning of Patients with
Schizophrenia. 425-435. https://doi.org/10.1002/oti.1445
Irmansyah. 2013. Pencegahan dan Intervensi Dini Skizofrenia :Jakarta
Irwan, F., Efendi Putra Hulu, Manalu, L. W., Romintan Sitanggang, &
Waruwu, J.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Keliat, B. (2016). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC.
Keliat, B.A., Akemat. (2016). Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas
Kelompok. Jakarta: EGC.
Medika.
Pambayung. (2015). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan
Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11
(Larasati) RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Purwaningsih, W dan Ina Karlina. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Cetakan II. Yogyakarta : Nuha Medika.
Saputra, A. A., Purwata, K. D., & Tasalim, R. (2021). No Title (R. R.
Rerung (ed.)). Media Sains Indonesia.
Shimada, T., Nishi, A., Yoshida, T., Tanaka, S., & Kobayashi, M. (2016).
Development of an
Suryani, U., Ausrianti, R., Yolanda, Y., & Guci, A. (2020). Pemberian
Terapi Suportif terhadap Keluarga yang Memiliki Anggota
Keluarga dengan Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas

67
Nanggalo Kota Padang. Jurnal Peduli Masyarakat, 2(1), 11-18.
https://doi.org/10.37287/jpm.v2i1.77
Tiaswarasita, A., & Dkk. (2017). KEPERAWATAN JIWA GANGGUAN
PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Videbeck, S. L. (2018). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
World Healt Organization (WHO). Mental Health; 2016.
https://www.who.int/health-topics/mental-health (Diakses tanggal
20 juli 2023, jam 18.51)
Yosep,I. (2013). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung : Refika
Medika

68

Anda mungkin juga menyukai