Anda di halaman 1dari 25

REFERENSI ARTIKEL

DIABETES MELLITUS

Oleh:
XXX

Periode: 25 Oktober s.d 19 Desember 2021


Pembimbing:
dr. Nurhasan Agung Prabowo, Sp.PD, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RS UNS
Referensi artikel dengan judul:

PENEGAKAN DIAGNOSIS SESAK NAFAS

Hari, Tanggal: Rabu, 10 November 2021

Disusun oleh:
XXXXX

Mengetahui dan menyetujui


Staff Pembimbing

dr. Nurhasan Agung P, Sp.PD, M.Kes.


BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronis yang


ditandai dengan hiperglikemia persisten. DM memiliki beberapa kategori,
termasuk tipe 1, tipe 2, diabetes onset dewasa muda (MODY), diabetes
gestasional, diabetes neonatal, dan penyebab sekunder karena endokrinopati atau
induksi obat-obatan. Menurut International Diabetes Federation (IDF), sekitar 415
juta orang dewasa berusia antara 20 hingga 79 tahun menderita diabetes mellitus
pada tahun 2015. DM terbukti menjadi beban kesehatan masyarakat global karena
jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 200 juta lagi pada tahun 2040.
Hiperglikemia kronis yang bersinergi dengan kelainan metabolik lain pada pasien
diabetes mellitus dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai sistem organ, yang
mengarah pada perkembangan komplikasi kesehatan yang melumpuhkan dan
mengancam jiwa, yang paling menonjol adalah mikrovaskuler (retinopati,
nefropati, dan neuropati) dan komplikasi makrovaskular yang menyebabkan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular 2 kali lipat hingga 4 kali lipat.
Perjalanan penyakit DM berkaitan erat dengan gaya hidup terutama gaya hidup
sedentary dengan konsumsi makanan cepat saji dan rendahnya aktivitas fisik. Pola hidup
seperti itu lama kelamaan akan meningkatkan penumpukan asam lemak yang menjadi
salah satu penyebab terganggunya sensitivitas insulin. Keadaan ini lama kelamaan dapat
menyebabkan resistensi insulin secara sistemik dan mengganggu kerja organ lain. Karena
DM merupakan penyakit gaya hidup yang keliru maka dibutuhkan peran tenaga
kesehatan untuk melakukan pencegahan dengan memodifikasi berbagai faktor risiko yang
ada pada masyarakat. Perjalanan kronis DM yang dapat menyebabkan kerusakan organ
juga harus diberikan tatalaksana yang efektif dan cepat disertai metode diagnosis yang
menyeluruh. Pada referat ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai DM
serta berbagai jenis tatalaksana terkini sehingga dapat menurunkan penderita DM di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabaetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang
memiliki karakteristik berupa hiperglikemia akibat kerusakan pada sekresi insulin,
kerja insulin maupun keduanya (American Diabetes Association, 2010).
Keruskana insulin akan berakibat pada disfungsi kronis pada metabolism
karbohidrat, lipid dan protein (Banday, Sameer and Nissar, 2020). Keadaan
hiperglikemia yang kronis berhubungan dengan kerusakan organ jangka panjang
terutama pada mata, ginjal, saraf, jntung dan pembuluh darah. Diabetes
merupakan penyakit degeneratif yang tidak menular dan menjadi ancaman utama
bagi kesehatan manusia (Setiati et al., 2014).
B. Patogenesis
Sesuai dengan definisinya patogenesis utama penyebab dari DM adalah
kondisi hiperglikemia dan kerusakan sekresi maupun kerja dari insulin.
Permasalahan insulin yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu
defisiensi absolut sekresi insulin pada DM tipe 1 (DMT1) dan kombinasi
resistensi terhadap kerja insulin dan kompensasi yang tidak memadai dalam
respons sekresi sulin pada DM tipe 2 (DMT2). Hal ini berkaitan pada kerusakan
sel-β pankreas, dimana pada DMT1 terjadi destruksi sel-β pankreas akibat
autoimun dan pada DMT2 terjadi disfungsi sel Beta akibat stres metabolik.
Kerusakan sel-β pankreas ini juga dapat terjadi karena adanya inflamasi yang
dapat dipengaruhi factor genetik dan lingkungan seperti pola makan, gaya hidup,
dan aktivitas fisik (Skyler et al., 2017).
Berbeda dari DMT1 yang terjadi akibat autoimun pada sel-β pankreas,
DMT2 sebagian besar disebabkan oleh gaya hidup dan bersifat multiorgan.
Keterlibatan multiorgan ini disebut juga dengan “Egregious Eleven”, teori
menjelaskan keterlibatan 11 organ pada keadaan hiperglikemia pada DMT2.
Hiperglikemia dan resistensi insulin memiliki hubungan timbal balik sehingga
membentuk lingkaran setan, dimana keadaan glukotoksisitas pada hiperglikemia
dapat menyebabkan resistensi insulin dan sebaliknya resistensi insulin
memperparah hiperglikemia (Schwartz et al., 2016). Sesuai dengan diagram
tersebut (Gambar 1) dapat ditarik 11 organ yang terlibat, yaitu.

Gambar 1. Egregious Eleven

1. Kegagalan Sel-β Pankreas


Penurunan fungsi dan masa dari sel-β pankreas dapat
mempengaruhi fungsi dari berbagai organ, dimana jika penurunan kadar
insulin pada DMT2 sudah terjadi menandakan keruskaan komplit sel-β
pankreas (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
2. Penurunan Inkretin pada Usus Halus
Penurunan incretin terjadi karena adanya defisiensi hormon
glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) serta pemecahan langsung oleh
enzim DPP-4. Kerja incretin yang tidak maksimal menyebabkan
ketidakseimbangan antara glucagon dan insulin sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
3. Disfungsi Sel-α Pankreas
Disfungsi ini menyebabkan peningkatan glukagon yang
berpengaruh terhadap peningkatan produksi glukosa hati sehingga terjadi
peningkatan glukosa darah (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
4. Sel Lemak
Sel lemak dapat bersifat toksik atau lipotoksisitas saat terjadi
peningkatan asam lemak bebas (Free Fatty Acid) yang dapat merangsang
proses glukogenesis dan mencetuskan resistensi insulin hepar yang lama
kelamaan menjadi sistemik. Sel lemak juga bersifat aktif secara metabolik
yang dapat mensekresikan sitokin inflamasi, adipokin dan adiponektin.
Penumpukan adipokin yang berakibat pada terganggunya proses
neurohormonal dan metabolisme (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
5. Otot
Gangguan fungsi dari insulin menyebabkan gangguan ambilan
glukosa sehingga terjadi penurunan sintesis glikogen dan oksidasi glukosa
yang berujung pada peningkatan kadar glukosa darah (Schwartz et al.,
2016; Soelistijo, 2021).
6. Hepar
Peningkatan FFA yang menyebabkan resistensi insulin pada hepar
dapat memengaruhi sel alfa pankreas yang berlanjut pada kerusakan sel
beta pankreas dan berujung pada terjadinya diabetes mellitus tipe 2.
Resistensi insulin pada hepar juga menyebabkan peningkatan produksi
glukosa pada hepar atau gluconeogenesis (Schwartz et al., 2016;
Soelistijo, 2021).
7. Otak
Penderita obesitas terjadi resistensi pada leptin sehingga
menyebabkan nafsu makan yang terus meningkat. Hal ini diperparah
dengan peran jalur hedonis yang bekerja dengan prinsip reward-based.
Peningkatan nafsu makan berujung pada peningkatan asupan makanan
sehingga terjadi peningkatan FFA (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
8. Kolon/Mikrobiota
Kondisi microbiota pada kolon dipengaruhi oleh obesitas dan
keadaan hiperglikemia. Tidak seimbangnya mikrobiotak pada kolon dapat
menyebabkan penurunan GLP-1 (Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
9. Disregulasi Imun/Inflamasi
Sel lemak merupakan sel yang aktif secara metabolik. Sekresi
TNF-α dapat menyebabkan fosforilasi, inaktivasi reseptor insulin di
jaringan adiposa dan otot polos, induksi lipolisis yang meningkatkan kadar
asam lemak bebas dan inhibisi sekresi adipoektin. Sekresi IL-6 yang
merupakan sitokin inflamasi dapat menurunkan sensitivitas insulin
(Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
10. Lambung
Penurunan kadar amilin akibat kerusakan sel-β pankreas dapat
mempercepat pengosongan lambung yang berakibat pada peningkatan
absorbs glukosa sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa postpardinal
(Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
11. Ginjal
Peningkatan absorbsi glukosa pada ginjal terjadi karena keadaan
hiperglikemia akibat gangguan kerja insulin yang menyebabkan
peningkatan regulasi dari Sodium glucose c-transporter-2 atau SGLT-2
(Schwartz et al., 2016; Soelistijo, 2021).
Mekanisme dari 11 organ ini bukan hanya menjadi dasar dari pathogenesis
terjadinya DMT2, namun juga menjadi dasar teori untuk tatalaksana dari DMT2
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan Egregious Eleven dengan Terapi Farmakologis

C. Klasifikasi
Klasifikasi DM berdasarkan American Diabetes Association adalah
sebagai berikut.
1. Diabetes Mellitus Tipe 1 (DMT1)
DMT1 terjadi karena adanya autoimun sehingga terjadi destruksi
terhadap sel-β pankreas. Destruksi ini menyebabkan penurunan kadar
insulin pada penderitanya. Karena adanya intake glukosa dari luar tubuh,
penderita DMT1 membutuhkan insulin dari luar tubuh untuk memenuhi
kadar insulin agar glukosa atau sumber energi yang dikonsumsi dapat
dimetabolisme. Oleh karena itu DMT1 disebut juga Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM). DMT1 biasanya muncul pada usia anak-anak
dan ditandai dengan ditemukannya penanda imunologi seperti autoantibodi
asam glutamate dekarbosilase (GAD65), autoantibodi pada tirosin fosfat
(IA-2 dan IA-2α), dan autoantibodi sel islet (ICA512). Walau faktor imun
memiliki peran dominan sebagau penyebab DMT1, namun di beberapa
kasus DMT1 dapat bersifat idiopatik. Gejala klinis DMT1 yaitu
hiperglikemi, rasa haus yang meningkat, sering buang air kecil,
mengompol pada anak yang sebelumnya tidak mengompol di malam hari,
kelaparan yang ekstrim, penurunan berat badan yang tidak disengaja,
iritabilitas, kelelahan dan penglihatan kabur (Skyler et al., 2017; Banday,
Sameer and Nissar, 2020).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
DMT2 menyumbang sekitar 90% dari semua kasus diabetes. Pada
DMT2, respons terhadap insulin berkurang yang didefinisikan sebagai
resistensi insulin. Selama keadaan ini, insulin tidak efektif dan awalnya
diimbangi dengan peningkatan produksi insulin untuk mempertahankan
homeostasis glukosa, tetapi seiring waktu keadaan hyperinsulinemia justru
menyebabkan masalah pada sensitivitas indulin. Penderita DMT2 paling
sering terlihat pada orang yang lebih tua dari 45 tahun. Resistensi insulin
berkembang karena adanya deposisi lemak ektopik di hati dan otot yang
berkaitan dengan kejadian obesitas. Gejala atau tanda khas DMT2 adalah
poliuri, polidipsi, dan poliphagi ditambah dengan gejala lain seperti
kelelaha, penyembuhan luka yang sulit (ulkus), pruritus, infeksi, katarak
hingga gangguan jantung (Banday, Sameer and Nissar, 2020; Soelistijo,
2021).
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional didefinisikan sebagai semua derajat
intoleransi glukosa atau diabetes yang didiagnosis pada awal atau selama
kehamilan, biasanya trimester kedua atau ketiga. Menurut American
Diabetes Association (ADA), DM Gestasional mempersulit 7% dari semua
kehamilan dan keturunannya memiliki peningkatan risiko terkena DMT2
di masa depan. DM Gestasional dapat dipersulit oleh hipertensi,
preeklamsia, dan hidramnion serta dapat meningkatan intervensi operatif.
Janin dapat mengalami peningkatan berat dan ukuran (makrosomia) atau
kelainan kongenital. Gangguan toleransi glukosa ini disebabkan perubahan
hormonal pada ibu hamil tepatnya peningkatan pada hormon lactogen,
prolactin dan progesterone dapat menstimulasi terjadinya resistensi
insulin. Gejala klinis DM Gestasional tidak jauh berbeda dengan DMT2,
biasanya keluhan DMT2 akan menghilang setelah kehamilan (Banday,
Sameer and Nissar, 2020; Soelistijo, 2021).
4. Diabetes Mellitus dengan Penyebab Lain
Tipe spesifik DM diklasifikasikan sesuai etiologinya, adapaun
pembagiannya sebagai berikut.
 Sindroma Diabetes Monogenik
Diabetes tipe ini terjadi karena mutasi genetik tunggal pada
gen dominan autosomal. Contoh diabetes monogenik termasuk
kondisi seperti diabetes mellitus neonatal dan diabetes onset
dewasa muda (Maturity Onset Diabetes of Young) yang biasanya
muncul di bawah usia 25 tahun (Setiati et al., 2014; Soelistijo,
2021).
 Penyakit Eksokrin Pankreas
Penyakit eksokrin pankreas menyumbang 0,5% dari semua
kasus diabetes. Ini termasuk pankreatitis kronis (pankreatitis
fibrokalkulus), trauma (pankreatektomi), infeksi, hemokromatosis
herediter, hemokromatosis sekunder, fibrosis kistik, dan neoplasia
pankreas (adenokarsinoma dan glukagonoma). Penyakit tersebut
lama kelamaan akan menyebabkan kerusakan luas pada pankreas
hingga melibatkan pankreas endokrin, termasuk pulau Langerhans,
yang menyebabkan pengurangan yang cukup besar dalam massa
sel dan gangguan fungsi sel (American Diabetes Association, 2010;
Banday, Sameer and Nissar, 2020).
 Disebabkan Oleh Obat atau Zat Kimia
Beberapa obat menginduksi diabetes baik melalui gangguan
produksi atau sekresi insulin, yang terutama disebabkan oleh
penghancuran sel atau melalui penurunan sensitivitas jaringan
terhadap insulin, yang menyebabkan resistensi insulin. Obat-obatan
dan bahan kimia yang diketahui menginduksi diabetes termasuk
glukokortikoid, diazoksida, tiazid, agonis reseptor 2 (salbutamol
dan ritodrin), antagonis β-adrenergik nonselektif, dilantin, hormon
termasuk hormon pertumbuhan (dalam dosis sangat tinggi),
hormon tiroid, somatostatin, estradiol, levonorgestrel, dan
glucagon (Banday, Sameer and Nissar, 2020).
D. Diagnosis
Penilaian palig penting untuk menegakkaan diagnosis DM adalah glukosa
darah dan HbA1c. kadar glukosa darah dianjurkan diukur menggunakan
pemeriksaan enzimatik dengan sampel darah vena. Secara garis besar gejala Dm
dapat diklasifikasikan menjadi gejala khas dan gejala tidak khas. Pembagian ini
berguna untuk penapisan diagnosis, dimana jika ditemukan gejala khas DM dan
kadar glukosa yang abnormal maka diagnosis dapat ditegakkan. Jika gejala yang
ditunjukkan merupakan gejala tidak khas maka dibutuhkan kondirmasi hasil kadar
glukosa darah abnormal sebanyak 2 kali (Gayatri et al., 2019; Soelistijo, 2021).
 Gejala Khas : poliuri (banyak kencing), polidipsi (banyak
minum), poliphagi (banyak makan), dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Gejala Tidak Khas : lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita
Pemeriksaan kadar glukosa darah yang paling sering digunakan adalah
dengan metode tes toleransi glukosa oral (TTGO), pemeriksaan ini dilakukan
dengan menilai kadar glukosa sebelum dan sesudah intake dari larutan glukosa
(Gayatri et al., 2019; Soelistijo, 2021). Adapun langkah pelaksanaan TTGO
adalah sebagai berikut.
 Pasien yang akan melakukan TTGO harus berpuasa paling sedikit
8 jam lalu akan dilakukan pemeriksaan pertama pada kadar glukosa
darah puasa.
 Setelah itu, pasien akan diberikan larutan yang berisi gula (75 gram
pada dewasa dan 1,75 gram/KgBB pada anak) yang dilarutkan
dalam 250 mL air. Larutan tersebut harus diminum dalam waktu 5
menit.
 Pasien akan melakukan puasa kembali selama 2 jam setelah
meminum larutan tersebut dan kadar glukosa darah diperiksa
kembali.
 Pasien harus berada pada kondisi istirahat dan tidak merokok
selama pemeriksaan.

Gambar 3. Kriteria Diagnosis DM


Hasil pemeriksaan TTGO dapan bukan hanya dapat menegakkan diagnosis
DM tetapi juga dapat menilai kelainan dalam toleransi glukosa seperti Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).

Diagnosis DM ditegakkan saat kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL atau
glukosa plasma ≥ 200 mg/dL setelah pemeriksaan TTGO. Penegakkan diagnosis
DM juga dapat menggunakan kadar HbA1c ≥ 6,5%, tetapi pemeriksaan ini tidak
dapat dilakukan pada kondisi yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan
fungsi ginjal. Pemeriksaan HbA1c dapat menggunakan metode immunoassay,
kromatografi pertukaran ion dan afinitas boronate (Genuth, Palmer and Nathan,
2015; Gayatri et al., 2019; Soelistijo, 2021).
Gambar 4. Alur Diagnosis DM
Pada keadaan normal glukosa darah puasa berkisar antara 70-99 mg/dL
sedangkan kadar plasma glukosa setelah TTGO berkisar antara 70-139 mg/dL.
Seseorang dikatakan mengalami GDPT saat hasil kadar glukosa plasma setelah
TTGO < 140 mg/dL dan glukosa plasma puasa berkisar antara 100-125 mg/dL.
Pada pasien TGT kadar glukosa plasma puasa < 100 mg/dL dan kadar glukosa
plasma setelag TTGO berkisar antara 140-199 mg/dL. Diagnosis prediabetes ini
juga dapat ditegakkan dengan HbA1c antara 5,7-6,4% (Genuth, Palmer and
Nathan, 2015; Soelistijo, 2021).

E. Langkah Penatalaksanaan Umum


Melakukan pemeriksaan fisik dan penilaian komplikasi yang dilakukan
pada fasilitas pelayanan kesehatan primer, dimana jika terdapat fasilitas yang
belum tersedia dapat dirujuk ke fasilitas tingkat selanjutnya. Komplikasi dari DM
dapat dibagi menjadi komplikasi spesifik dan non spesifi. Pada pasien DM
komplikasi terjadi jika penyakit yang diderita sudah bersifat kronis (Nyenwe et
al., 2011; Soelistijo, 2021).
 Komplikasi Spesifik : kelainan mikrovaskular atau
mikroangiopati di berbagai organ merupakan komplikasi spesifik pada
DM, diantaranya : retinopati, nefropati, neuropati dan diabetic food atau
ulkus diabetikum
 Komplikasi Non-Spesifik : kelainan pembuluh darah besar berupa
timbunan lemak yang dapat menyebabkan aterosklerosis, kekeruhan pada
lensa mata (katarak lentis) dan terjadinya infeksi seperti infeksi saluran
kencing dan tuberkulosis.

F. Langkah Penatalaksanaan Khsusus


Perubahan gaya hidup yang diikuti dengan itervensi farmakologis
merupakan tatalaksana utama dari DM. Edukasi merupakan langkah awal untuk
mengubah gaya hidup pasien menjadi pola hidup sehat. Edukasi dengan pasien
pradiabetes atau diabetes harus mencakup bidang yang didasarkan pada kebutuhan
yaitu: (1) proses penyakit; (2) pilihan pengobatan; (3) rencana nutrisi; (4) rencana
latihan fisik; (5) pengetahuan tentang obat diabetes yang diresepkan; (6)
pemantauan glukosa darah; (7) pengetahuan tentang komplikasi akut dan kronis;
(8) masalah psikososial; dan (9) strategi individu untuk meningkatkan kesehatan.
Pemberian edukasi harus dilakukan bertahap dimulai dari hal sederhana dan dapat
menggunakan media yang menarik seperti audiovisual (Nyenwe et al., 2011;
Soelistijo, 2021).
1. Terapi Nutrisi Medis
Prinsip terapi nutrisi pada psien DM adalah makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan individu masing-masing pasien.
Jumlah kalori pada pasien DM gemuk kebutuhan kalori dikurangi 20-30%
sebaliknya jika pasien DM kurus kalori ditambah 20-30%. Diet harus
mencakup 45-65% karbohidrat, 20-25% lemak (lemak jenuh harus <
10%), dan asupan protein sebesar 0,8 g/kgBB atau 10% dari jumlah total
kalori, serta serat 20-35 g/hari. Penting untuk diingat bahwa baik kontrol
porsi dalam pengelolaan diet dan olahraga sehari-hari memainkan peran
yang sangat penting dalam menjaga berat badan ideal.
2. Aktivitas Fisik
Gaya hidup sendetary adalah faktor risiko yang kuat tetapi dapat
dimodifikasi untuk DMT2 oleh karena itu, olahraga ringan sangat
bermanfaat bagi pasien diabetes. Program latihan fisik yang disarankan
adalah 3-5 hari seminggu selama 30-45 menit dengan total 150
menit/minggu. Jenis latihan fisik yang disarankan berupa jalan cepat,
jogging dan berenang yang seluruh aktivitas tersebut merupakan bersifat
aerobik. Pasien DM tanpa kontraindikasi (osteoatritis, hipertensi tidak
terkontrol, retinopati dan nefropati) disarankan melakukan latihan beban 2-
3x/minggu.
3. Terapi Farmakologis
 Obat Antihiperglikemia Oral
- Pemacu sekresi insulin (Insuline Secretagogue)
Bekerja merangsang sekresi insulin oleh sel pulau pankreas
dengan berinteraksi dengan reseptor sulfonilurea. Mereka termasuk
sulfonilurea dan glinida. Sulfonilurea sangat umum digunakan
karena tersedia, terjangkau, dan memiliki dosis yang sesuai. Efek
samping utama dari sulfonilurea adalah hipoglikemia, yang dapat
lebih parah dan berkepanjangan daripada yang dihasilkan oleh
insulin, terutama ketika digunakan pada orang tua. Contoh lain dari
preparat ini adalah glinid (Nyenwe et al., 2011; Soelistijo, 2021).
- Peningkat Sensitivitas Insulin (Insulin Sensitizers)
Terdapat 2 jenis obat pada golongan ini yaitu metformin
dan Tiazolidinedion (TZD). Metformin meningkatkan respons sel
pulau Langhans terhadap lukosa melalui koreksi toksisitas glukosa
dan meningkatkan pemanfaatan glukosa perifer dengan
meningkatkan penyerapan glukosa oleh otot, meningkatkan
aktivitas reseptor insulin tirosin kinase, dan meningkatkan
translokasi dan aktivitas transpor GLUT-4. TZD merupakan agonis
dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
gamma) yang dapat memperbaiki kerja sel otot, lemak dan hepar
dalam pengangkutan glukosa. TZD dapat menyebabkan retensi
cairan sehingga menjadi kontraindikasi bagi pasien yang memiliki
penyakit jantung (Nyenwe et al., 2011; Soelistijo, 2021).
- Penghambat Alfa Glukosidase
Inhibitor α-glukosidase yaitu acarbose dan miglitol dapat
mengurangi pencernaan karbohidrat di bagian atas usus kecil,
sehingga memperbaiki hiperglikemia postprandial dan
memungkinkan sel untuk mengkompensasi defek sekresi insulin
fase pertama pada DMT2. Efek samping khas penggunaan obat ini
adalah bloating (Nyenwe et al., 2011; Soelistijo, 2021).
- Penghambat Enzim Dipeptil Peptidase-4 (DPP-4)
Enzim ini dapat menginaktivasi GLP-1 yang dapan
mengganggu toleransi glukosa, sehingga inhibisi pada enzim DPP-
4 dapat mempertahankan GLP-1 dalam bentuk aktif sehingga
terjadi peningkatan sensitivitas insulin (Nyenwe et al., 2011;
Soelistijo, 2021).
- Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter-2)
Obat ini dapat menurunkan absorbs gula pada ginjal
tepatnya pada tubulus proksimal sehingga dapan menurunkan
kadar glukosa dalam darah. Efek samping khas pada penggunaan
obat ini adalah infeksi saluran kencing (Nyenwe et al., 2011;
Soelistijo, 2021).
 Obat Antihiperglikemia Suntik
Preparat antihiperglikemia suntik berupa insulin, GLP-1
RA dan kombinasi keduanya. Insulin digunakan saat HbA1c pasien
≥7,5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat oral,
penggunaan insulin langsung diberikan jika HbA1c > 9% atau
terjadi kegagalan dengan preparat oral. Insulin dapat dibagi
menjadi 6 jenis berdasarkan lama kerjanya yang ditunjuukan pada
Gambar 5. Indikasi lain penggunaan insulin adalah penurunan berat
badan yang cepat, hiperglikemia berat hingga krisis hiperglikemia,
kondisi stres berat dan gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
Efek samping utama dari penggunaan insulin adalah hipoglikemia
(Soelistijo, 2021).
Agonis GLP-1 RA (Incretin Mimetic) merupakan hormon
yang emiliki fungsi meningktakan sekresi insulin. Terdapat dua
macam incretin yaitu GLP-1 dan GIP (Glucose Dependent
Insulinotropic Polypeptide). Berdasrkan cara kerjanya obat ini
dapat dibagi menjadi kerja pendek dan kerja panjang. Contoh
Sediaan dari preparat ini adalah liraglutide dan lixisenatide
(Nyenwe et al., 2011).
Gambar 5. Klasifikasi Preprat Insulin
G. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 (DMT2)

Gambar 6. Algoritma Pengelolaan DMT2


Algoritma diatas menjelaskan uruutan dari tatalaksana DMT2 dengan
mempertimbangkan faktor pembiayaan, ketersediaan obat, efektifitas, efek dan
samping. Pasien dengan HbA1c < 7,5% memulai pengobatan dengan modifikasi
gaya hidup ditambah intervensi monoterapi oral. Penggunaan oat oral sesuai
dengan urutan yang tertera, jika terdapat hal yang menyebabkan metformin tidak
dapat diberikan seperti alergi atau keterbatasan biaya maka dapat digunakan
Sulfonilurea. Acarbose dapat menjani lini pertama pada kondisi glukosa prandial
lebih tinggi dibangding glukosa puasa. Jika pasien tidak mecncapai target HbA1c
< 7% selama 3 bulan dengan intervensi monoterapi maka dimulai dengan
kombinasi 2 macam obat. Pilihan terapi ini juga ditunjukkan pada pasien yang
memiliki kadar HbA1c ≥ 7,5%, dimana prinsip kombinasi 2 obat adalah
menggunakan obat lini pertama ditambah dengan obat yang memiliki mekanisme
kerja berbeda. Jika HbA1c tetap tidak mencapai target maka diterapkan dosis 3
kombinasi obat yang memiliki mekanisme berbeda dengan dua obat lainnya
sesuai dengan yang diberikan sebelumnya. Pada pasien dengan HbA1c > 9%
disertai gejala dekompensasi metabolic maka langsung diberikan terpai insulin
dan obat oral lainnya (Soelistijo, 2021).
Pasien yang masih belum mencapai target HbA1c walau sudah mendapat 3
kombinasi obat oral maka dilakukan inisiasi pemberian insulin. Inisiasi insulin
bisa dengan insulin basal 10 unit/hari atau 0,2 unit kgBB/hari; Co-formulation
atau Premixed 1 kali sehari dengan dosis 10 unit pada malam hari serta Fixed ratio
combination yaitu kombinasi insulin basal dan GLP-1 RA 10 unit/hari. Terapi
insisiasi dapat ditingkatkan menjadi terapi intensifikasi jika pada pemberian
insulin basal dan atau dengan obat oral masih tidak mencapai target. Intensifikasi
berupa penambahan insulin prandial yang dapat ditambahkan sesuai nilai glukosa
darah tertinggi dalam satu hari. Pada pemberian co-formulation dapat dilakukan
intensifikasi dosis 2 kali sehari di pagi dan sore hari. Intensifikasi pemberian fixed
ratio combination maka intensifikasi berupa penambahan prandial. Pada seluruh
kombinasi tersebut jika intensifikasi tidak berhasil maka dapat diberikan regimen

basal bolus (Soelistijo, 2021).


Gambar 7. Algorutma Pemberian Insulin
H. Pengelolaan Terintegrasi
Seperti yang sudah kita ketahui, terdapat kaitan erat pada permasalahan
metabolism dengan penyakit kardiovaskular, termasuk pada penderita DM.
Tingginya risiko tersebut membutuhkan terapi pencegahan berupa terapi yang
dilakukan secara bersamaan pada kondisi-kondisi permasalahan metabolisme lain.
1. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan ketidakseimbangan kadar lemak dalam
darah yang ditunjukkan dengan peningkatan LDL dan Trigliserida serta
penurunan HDL. Dislipidemia saling berkaitan dan dapan menyebabkan
pathogenesis satu sama lain. Penurunan berat badan merupakan terapi
utama pada dislipidemia, tatalaksana yang dapat dilakukan berupa
modifikasi gaya hidup dan statin. Pada padien DM keseimbangan profil
lipid yang menjadi target utama adalah penurunan LDL < 100 mg/dL pada
kelompok risiko tinggi dan LDL < 70 pada kelompok dengan risiko dangat
tinggi. Khusus untuk kadar trigliserida jika ≥ 500 mg/dL dapat diberikan
fibrat guna mencegah pankreatitis (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
2. Hipertensi
Pasien DM yang diikuti hipertensi dapat dilakukan terapi non
farmakologis berupa menurunkan berat badan, menghentikan rokok dan
mengurangi konsumsi garam < 2300 mg/hari. Jika tekanan darah ≥ 140/90
mmHg maka dapat diberikan agen antihipertensi seperti ACE inhibitor.
Konsumsi obat antihipertensi harus tetap dipantau selama satu tahun walau
tensi sudah mencapai target (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
3. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu penyebab Dm dan penyakit
kardiovaskular yang paling sering dijumpai. Penatalaksanaan obesitas
bertujuan untuk menurunkan berat badan, glukosa darag, tekanan darah
serta memperbaiki profil lipid. Target minimal penurunan berat badan
berkisar antara 5-10% dimana hal ini dapat tercapai melalui pembatasan
kalori yang bersifat individu (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
4. Gangguan Koagulasi
Pemberian aspirin 75-162 mg/hari dapat digunakan sebagai
pencegahan primer gangguan kardiovaskular pada pasien DM beresiko.
Kontraindikasi pemberian aspirin adalah pada pasien yang berusia < 21
tahun. Jika sudah terjadi sindrom koroner akut makan diberikan terapi
kombinasi dengan antiplatelet yaitu clopidogrel (Setiati et al., 2014;
Soelistijo, 2021).
I. Penyulit Diabetes Mellitus
1. Penyulit Akut
 Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia dapat berupa Ketoasidosis Diabetikum
(KAD) dan status hiperglikemi Hiperosmolar (SHH). Peningkatan
kadar glukosa hingga 300-600 mg/dL yang disertai keton (+),
anion gap dan peningkatan osmolaritas plasma 300-320 mOs/mL
makan dapat diitegakkan diagnosis KAD. Jika peningkatan terjadi
sangat tinggi (glukosa darah >600 mg/dL dan osmolaritas plasma
>320 mOs/mL) tanpa peningkatan aninon gap maka diagnosis
SHH ditegakkan (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
 Hipoglikemia
Seseorang dikatakan mengalami hipoglikemia saat kadar
glukosa darah < 70 mg/dL yang disertai gejala autonomic maupun
neuroglikopenik atau ditemukannya Whipple Triad yaitu terdapat
gejala hipoglikemia, kadar glukosa rendah, serta gejala membaik
dengan pengobatan. Pada penderita DM hipoglikemia sering
disebabkan penggunaan insulin dan sulfonilurea. Hipoglikemia
dapat diklasifikasikan menjadi ringan dan berat. Hipoglikemia
ringan berarti pasien tidak membutuhkan orang lain untuk
pemberian glukosa per oral sedangkan hipoglikemia berat pasien
membutuhkan bantuan oranglain untuk pemberian glukosa baik
secara intravena atau resusitasi (Setiati et al., 2014; Soelistijo,
2021).
Tatalaksana hipoglikemi pada penderita DM berupa
pemberian makanan tinggi glukosa seperti pemberian gula pasir
15-20g yang dilarutkan dalam air. Pemeriksaan glukosa dilakukan
setiap 15 menit, dimana jika pada menit ke 45 masih terjadi
hipoglikemi maka dapat diberikan infus dextrose 10% sebanyak
150-200 ml selama 15 menit. Pada hipoglikemia berat langkah
awal yang dilakukan adalah pemberhentian obat anti diabetes
diikuti pemberian intravena dextrose 20% sebanyak 75-100 mL
dalam waktu 15 menit (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
Gambar 8. Gejala Hipoglikemia
2. Penyulit Menahun
 Makroangiopati : stroke, penyakit jantung coroner, penyakit arteri
perifer, stroke iskemik atau hemoragik. Penyakit arteri perifer
paling sering terjadi pada penderita Dm dengan gejala nyeri saat
aktivitas dan mereda saat istirahat (Setiati et al., 2014; Soelistijo,
2021).
 Mikroangiopati (Setiati et al., 2014; Soelistijo, 2021).
o Retinopati : pengendalian tekanan darah, glukosa darah dan
penggunaan aspirin dapat mencegah retinopati
o Nefropati : dapat dicegah dengan mengontrol tekanan
darah, jika nefropati sudah terjadi maka tidak
direkomendasikan untuk mengurangi konsumsi protein
karena tidak memiliki pengaruh,
o Neuropati : hilangnya sensasi pada distal merupakan gejala
khas pada neuropati perifer pada DM. Gejala ini dapat
berupa rasa terbakar dan bergetar sendiri yang lebih parah
pada malam hari.
o Kardiomiopati : pasien dengan DM beresiko 2 kali lipa
mengalami gagal jantung, jika gagal jantung sudah terjadi
pada pasien DM maka dapat diberikan SGLT-2 inhibitor
atau GLP-1 RA.
J. Pencegahan DMT2
Tingginya prevalensi DMT2 di masyarakat mengharuskan tenaga
kesehatan melakukan pencegahan yang efektif dan strategis. Pendekatan pada
masyarakat dapat dilakukan berbasis populasi dan individu yang memiliki risiko
tinggi. Pendekatan ini berguna untuk mengubah gaya hidup menuju gaya hidup
yang lebih sehat. Pendekatan individu dilakukan pada masyarakat yang berusia >
40 tahun, obesitas/gemuk, hipertensi, memiliki riwayat DM, riwayat melahirkan
bayi >4kg, riwayat DM saat kehamilan dan dislipidemia (Setiati et al., 2014;
Soelistijo, 2021).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan pada individu yang memiliki risiko
tetapi belum menderita DMT2 ataupun intoleransi glukosa. Tujuan utama
dari pencegahan primer adalah memperbaiki faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti obesitas, hipertensi dan dislipidemia. Perubahan gaya
hidup merupaka tindakan utama yang dapat dilakukan. Perubahan pola
hidup menuju pola hidup sehat dapat diiikuti dengan pemberian metformin
jika individu tersebut sudah ada pada status prediabetes dan berusia <60
tahun dengan obesitas. Metformin juga dapat diberikan pada ibu yang
memiliki riwayat DM gestasional.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan mencegah terjadinya penyulit
DMT2. Pengendalian kadar glukosa menjadi focus utama pada
pencegahan sekunder yang dapat dilakukan berupa edukasi. Adanya
peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi pada DMT2 mennyebabkan
vaksinasi merupakan salah satu rekomendadi pencegahan sekunder
terhadap penyulit DMT2. Vaksinasi yang direkomendasikan berupa :
vaksin influenza, hepatitis B, pneumokokus dan COVID-19.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kecacatan melalui 3 tahap utama yaitu pencegahan
komplikasi yang dilakukan bersamaan dengan pencegahan sekunder,
pencegahan progresi agar tidak terjadi kerusakan organ serta pencegahan
terjadinya kerusakan organ yang dapat menyebabkan kecacatan.
Penyuluhan terhadap pasien dan keluarga tetap harus dilakukan termasuk
upaya rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (2010) ‘Diagnosis and classification of diabetes


mellitus’, Diabetes Care, 33(SUPPL. 1). doi:10.2337/dc10-S062.
Banday, M.Z., Sameer, A.S. and Nissar, S. (2020) ‘Pathophysiology of diabetes:
An overview’, Avicenna Journal of Medicine, 10(04), pp. 174–188.
doi:10.4103/ajm.ajm_53_20.
Gayatri, R.W. et al. (2019) Diabetes Mellitus Dalam Era 4 . 0. Malang: Wineka
Media.
Genuth, S.M., Palmer, J.P. and Nathan, D.M. (2015) ‘Diabetes in America, 3rd
Edition, Chapter 1: Classification and Diagnosis of Diabetes’, 2(4), pp.
1–39.
Nyenwe, E.A. et al. (2011) ‘Management of type 2 diabetes: Evolving strategies
for the treatment of patients with type 2 diabetes’, Metabolism: Clinical
and Experimental, 60(1), pp. 1–23. doi:10.1016/j.metabol.2010.09.010.
Schwartz, S.S. et al. (2016) ‘The time is right for a new classification system for
diabetes: Rationale and implications of the β-cell-centric classification
schema’, Diabetes Care, 39(2), pp. 179–186. doi:10.2337/dc15-1585.
Setiati, S. et al. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta: Interna
Publishing.
Skyler, J.S. et al. (2017) ‘Differentiation of diabetes by pathophysiology, natural
history, and prognosis’, Diabetes, 66(2), pp. 241–255.
doi:10.2337/db16-0806.
Soelistijo, S.A. (2021) Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 Dewasa di Indonesia 20121. PERKENI. Available at:
www.ginasthma.org.

Anda mungkin juga menyukai