Anda di halaman 1dari 4

Suatu hari yang murung di bulan Agustus 1760.

Di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, tali yang


menjulur dari tiang gantungan seolah tak sabar menunggu Upas berjalan ke arahnya. Ia akan segera
menjemput maut di ujung tali gantungan itu.

Keputusan pengadilan Kolonial di Tanjung Harapan telah menghukum budak asal Sinjai ini bersama
dua belas budak lainnya. Mereka adalah, menurut versi pengadilan penjajah itu, komplotan budak
pembunuh dan pengacau yang sudah setengah tahun mengganggu tidur para pemilik budak di
kawasan yang dikuasai VOC Belanda ini. Adalah sepucuk surat yang ditulis Upas kepada September,
juga seorang budak dari Sinjai, yang dianggap sebagai bukti meyakinkan akan keterlibatannya dalam
komplotan itu.

Begitulah ringkasan kisah berjudul Upas, September, and the Bugis at the Cape of Good Hope. The
Context of a Slave’s Letter, yang muncul di jurnal Archipel terbitan Paris tahun 2005.

Artikel ini ditulis dua orang ahli: Sirtjo Koolhof, ahli sejarah dan sastra Bugis, dan Robert Ross, ahli
sejarah perbudakan Afrika Selatan. Mereka bertemu secara kebetulan di Perpustakaan KITLV,
Leiden, di mana Sirtjoo bekerja sebagai pustakawan. “Dia perlihatkan pada saya laporan tentang
surat seorang budak Bugis pada sebuah majalah terbitan tahun 1930an,” kenang Sirtjoo pada
peristiwa yang terjadi di Leiden sekitar enam tahun lalu itu. Setelah beberapa kali diskusi mulailah
mereka menyusun artikel yang membahas surat Upas.

Sebagaimana judulnya, artikel ini berusaha membangun konteks di mana surat ini ditulis, mereka
membahasnya dalam konteks daerah tujuan, Tanjung Harapan, dan daerah asal, Sulawesi Selatan.
Mereka membahas perbudakan di Sulawesi Selatan, lalu lebih spesifik melompat ke (reputasi) budak
Bugis di wilayah Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Tradisi literasi Bugis pun dikupas sebelum menuju
ke pembahasan spesifik tentang surat itu.

Menurut mereka, belum ada tulisan yang benar-benar fokus memberi keterangan memadai tentang
konteks penulisan surat tersebut. Prof. J.L.M. Franken, di tahun 1930, mulai membahasnya secara
sekilas sebagai contoh surat yang ditulis budak di Kawasan Tanjung, Afrika Selatan; S.A. Rochilin
empat tahun berikutnya menulisnya sebagai ‘satu-satunya surat yang pernah ditulis budak kepada
penguasa Tanjung di abad 18’ (sebuah kesalahpahaman yang dikoreksi oleh Koolhof dan Ross);
Victor de Kock, di tahun 1950, malah menyebutkan surat itu ketika membahas obat-obatan dan
prosedur penyembuhan; Robert Ross sendiri, pada tahun 1983, lebih memfokuskan perhatiannya
pada proses peradilan budak tersebut; Davids, tahun 1991, menyinggungnya dalam bingkai
fenomena literasi di kalangan budak di Afrika Selatan.

***

Sebuah penyataan menyentak untuk memulai diskusi tentang perbudakan di Sulawesi Selatan:
“Orang Bugis sendiri menjelma menjadi komoditas: mereka adalah penyumbang budak terbesar di
Hindia-Belanda pada abad 18,” dikutip Koolhof dan Ross dari tulisan Anthony Reid dan Heather
Sutherland.

Lalu laporan demi laporan berderet menunjukkan jejak perbudakan di Sulawesi Selatan. Ringkasan
deskripsi Manuel Pinto (pengelana Portugis) di abad 16, serta Speelman (laksamana VOC) dan
Nicholas Gervais (seorang agamawan Perancis) keduanya di abad 17, menjelaskan serba singkat
tentang fenomena perbudakan di Sulawesi Selatan. Namun bagi Koolhof dan Ross, perbudakan pada
abad berikutnya berlangsung dalam skala yang lebih besar.

Apa yang terjadi pada abad 18 sehingga Sulawesi Selatan menjadi ‘juara’ budak di Hindia Belanda?
Laporan Roelof Blok, seorang pejabat Benteng Rotterdam, yang terbit tahun 1799 dan
diterjemahkan ke bahasa Inggris tahun 1814, memperlihatkan betapa perbudakan sudah
berlangsung begitu gencar dan banal. Jika di abad sebelumnya hanya orang kalah perang yang
dijadikan budak, maka pada abad ini orang-orang sudah diculik dari kampungnya untuk dijual dan
dijadikan budak. Blok menyebutkan kelompok-kelompok penculik pun sudah terbentuk, dan ia
menggambarkan betapa canggihnya kerja mereka.

Hasilnya, Koolhof dan Ross, mengutip Abeyaskere, menyebutkan: “Di Batavia […] 25 persen dari
seluruh budak adalah keturunan Bugis.” Bila kita membayangkan betapa banyak suku di Hindia
dengan jumlah penduduk cukup besar, maka angka seperempat dari seluruh suplai budak sungguh
jumlah yang luar biasa.

Dan kisah suplai budak dari Sulawesi Selatan tidak berakhir di abad 18 saja sebab di abad-abad
berikutnya, wilayah ini masih menjadi primadona komoditas yang menguntungkan itu. Kolhoof dan
Ross antara lain menyebutkan, James Brook, seorang pengelana Inggris yang kemudian menjadi ‘raja
putih’ Serawak, dan Carl Bock, yang singgah di Sulawesi Selatan pada abad 19, juga menuliskan
kesannya tentang komoditas ini. Bahkan Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, dalam autobiografinya
yang tersohor Hikayat Abdullah, juga melukiskan secara dramatis nasib budak Bugis yang baru tiba di
Singapura pada abad itu.

Sayangnya Koolhof dan Ross tidak membahas tentang siapa yang mensponsori ‘produksi’ budak
yang bisa bertahan selama berabad-abad dalam jumlah yang sangat besar itu. Catatan Bigalke (2006)
tentang budak Toraja yang dijual bangsawannya untuk ditukar senjata dan amunisi yang disuplai
bangsawan Sidenreng, mungkin bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa Carl Bock menganggap
“kota pelabuhan Parepare adalah sarangnya budak”. Begitu banyaknya budak di Makassar pada
masa itu, Karl Marx sekalipun terkesan pada laporan Raffles tentang kota ini, yang punya benteng
dengan kantong bawah tanah yang berisi banyak budak.

***

Tentang jumlah budak Bugis di Tanjung, Koolhof dan Ross memperkirakan terdapat sekitar 3.500
hingga 5.000 orang, dan ini sudah cukup untuk membuatnya ‘terlihat’ di antara budak lainnya yang
ada di Tanjung. Selain itu, reputasi budak Bugis sebagai tukang rusuh, terlihat dari catatan kejahatan
mereka, menambah perhatian orang, terutama para pemilik budak, terhadap mereka.

Selain itu secara universal memang para pemilik budak selalu diliputi kecemasan. “Begitulah tuan-
tuan pemilik budak yang jumlahnya selalu lebih sedikit dibandingkan budaknya, mereka selalu dalam
ketakutan. Mereka mencari alasan untuk menghukum supaya merasa tenang,” tegas Sirtjoo.
Di awal tahun 1760 sekelompok budak bergabung membentuk kelompok yang melarikan diri dari
tuannya. Mereka berkumpul di pegunungan di bawah pimpinan Fortuyn van Bugis. Mereka
menghindari kejaran dengan singgah dari pemukiman ke pemukiman. Mereka menghindar di daerah
pegunungan yang sulit dijangkau dan sesekali saja turun ke pemukiman. Pada bulan Juli terjadi
peristiwa yang membelokkan nasib kelompok ini: mereka membunuh keluarga Michele Smuts,
seorang asisten dan akuntan VOC. Budak dari keluarga ini sangat dendam terhadap perlakuannya
hingga memfasilitasi pembunuhan. Mereka tidak hanya membunuh Smuts tetapi juga istri beserta
seorang anaknya.

Pemerintah Kolonial Tanjung menjawab peristiwa ini dengan memperketat patroli. Pun mereka
meminta para pemilik budak melarang budaknya mencari kayu bakar di hutan pegunungan. Namun
ini hanya berlangsung dua hari karena akan menyebabkan kedinginan di musim dingin dan
kekurangan kayu bakar di dapur.

Saat penyerangan itu terjadi, salah seorang budak, Baatjoe van Bugis, mengalami luka, dan yang
menyembuhkannya tidak lain adalah September. Dia tidak hanya merawat luka tetapi juga memberi
persediaan makanan kepada kawanan yang sedang melarikan diri itu. September sendiri tak turut
dalam pelarian. Kelak menjelang kematiannya, Baatjoe van Bugis, dalam keadaan terluka parah,
menyebut nama September sebagai seorang anggota komplotan. Dan hukuman pria lima puluh
tahun asal Sinjai itu menjadi lebih berat karena sepucuk surat berhuruf lontara ditemukan di lacinya.

***

Surat yang ditulis Upas kepada September itu kekal melampaui masanya. Surat ini ‘ditemukan’ dari
tumpukan arsip oleh Prof. J.L.M. Franken yang sedang melakukan studi tentang peran bahasa
Melayu, Portugis dan Belanda di Koloni Tanjung di kurun akhir abad 17 hingga 1772. Hasilnya, tulisan
berseri Franken terbit di majalah Afrika Selatan, Die Huisgenoot, pada tahun 1930. Di salah satu
edisinya Franken mereproduksi surat Upas secara terbalik. Tentu ini terjadi karena sang guru besar
sama sekali tidak mengenali aksara Bugis. Bahkan menurut Sirtjoo dan Ross, nasib surat naas ini
berlanjut hingga penerbitan-penerbitan berikutnya di tahun 1953, 1991, 1994 (dua kali): dia
diterbitkan dengan kepala surat berada di bawah dan hufur berbaring.

Untung saja Koolhof dan Ross masih bisa melihat naskah asli surat Upas di Arsip Tanjung, Afrika
Selatan, dan salinannya ada di Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Naskah ini terkumpul dalam satu
folder bersama dokumen proses peradilan para budak yang dihukum mati itu.

Lalu apa isi surat itu? Surat ini sebenarnya sangat sederhana: berisi permintaan bantuan Upas yang
sudah dua bulan sakit kepada September yang dikenal bisa menyembuhkan penyakit, karena belum
ada yang bisa menyembuhkan penyakitnya, karena mereka pernah bertemu dan ngobrol, dan
karena September adalah sesama orang Sinjai. Surat beraksara lontara ini kelak, untuk kepentingan
proses peradilan, diterjemahkan ke bahasa Melayu dialek Betawi, lalu diterjemahkan lagi ke bahasa
Belanda. Malangnya, penulis-penulis yang membahas surat ini kebanyakan bergantung kepada hasil
terjemahan yang bermasalah itu.

Menurut Koolhof dan Ross, kesalahpahaman terbesar terjadi di bagian awal dan akhir surat tersebut.
Bila membandingkan dengan naskah aslinya — dalam aksara lontara —mereka melihat terjemahan
Melayu dari surat itu justru membalikkan fakta bahwa yang menulis surat itu adalah Upas.
Terjemahan naskah ini bisa dengan mudah ditafsirkan sebaliknya menjadi, September menulis surat
kepada Upas. Dampaknya, September dianggap sebagai gembong komplotan pengacau ini dan
menerima hukuman yang mengerikan.

Bagian lain yang bermasalah dari terjemahan Melayu surat ini adalah penyebutan kata seajing atau
saudara, yang bisa ditafsirkan sebagai saudara kandung atau kerabat, juga bisa dipakai kepada orang
sekampung di perantauan. Dengan menafsirnya sebagai saudara biologis atau kerabat, motif
gerakan komplotan ini tentu bisa dianggap semakin kuat. Sehingga mengukuhkan alasan untuk
menghukum mati seluruh anggotanya.

“Surat itu ditulis dalam aksara dan bahasa ibu kedua budak itu, Bugis. Tentu mereka tak menyangka
bahwa surat lugu permintaan tolong itu berubah menjadi bukti untuk mengetuk palu hukuman mati,
dan bahwa surat itu masih didiskusikan hingga dua abad kemudian. September dituduh menjadi
kepala komplotan budak (Bugis), dan surat yang ditemukan di lacinya disodorkan sebagai barang
bukti,” tulis Koolhof dan Ross.

***

Ketika Boone van Bugis yang melaporkan persembunyian para pelarian tengah menikmati
kebebasannya, delapan anggota komplotan itu, ditambah Upas, telah menjalani hukuman gantung.
Empat orang lain, yang dianggap gembong komplotan, menjalani hukuman lebih berat. Ujung kaki
dan tangan mereka diikat lalu ditarik hingga sobek terpisah dari badan, lalu badannya dilindas roda
pedati. Sebuah hukuman yang dipertontonkan di depan umum agar nyali calon pengikut mereka
menjadi ciut. Salah satu di antara empat orang itu, January van Macassar, mendapat keringanan
dengan dihujani tombak di dadanya agar tak merasakan sakit terlalu lama. Tiga orang lainnya harus
merasakan hukuman kejam itu secara utuh, mereka adalah Alexander, January dan September van
Bugis.

Komplotan budak itu pada akhirnya dapat ditumpas, tapi surat Upas tampaknya akan abadi.

Anda mungkin juga menyukai