Anda di halaman 1dari 6

Membaca Kejatuhan Ke Dua Sombaopu

Sudahlah kalah negeri Mengkasar


Dengan kodrat Tuhan malik al-djabbar
Patik karangkan di dalam fajar
Kepada negeri yang lain supaya terchabar
Entji Amin. Syair Perang Mengkasar .

Jika masa adalah pendulum, maka bagi Benteng Sombaopu bola besi itu
sedang berayun ke masa suram. Rumah-rumah adat yang berdiri di kawasan itu
nampak makin lusuh bahkan ada yang benar-benar rubuh. Mereka seolah
berjalan menuju kemusnahan. Di sana-sini paving block mulai bergelombang,
mencipta berpuluh-puluh kubangan begitu air hujan menjejak tanah, sementara
yang lain sudah tercerabut atau hancur.
Di atas salah satu rumah, orang-orang terlihat memainkan kartu
sepanjang hari. Mereka mungkin adalah guide atau paling tidak perawat rumah,
akan tetapi karena tidak ada pengunjung, profesi mereka pun beralih. Museum
terkunci, dan si pembawa kunci harus dicari sebelum dia datang tergopoh
membuka museum berisi barang berdebu, bahkan sebagian telah pecah
berkeping. Dan cobalah tanya penduduk yang tinggal kawasan ini, “bagaimana
bentuk benteng ibukota kerajaan tua Gowa ini?” Jawabnya: seperti tubuh
manusia dewasa yang terlentang!
Nyata adanya, Sulawesi Dalam Miniatur, sudah ditinggalkan publik.
Jika dibayangkan, masa ini mirip tahun 1669, ketika dinding ‘setinggi
pohon kelapa’ Benteng Sombaopu itu koyak dibombardir hingga hampir tak
tersisa. Begitu pula istana, mesjid, dan rumah-rumah, dibumihanguskan hingga
menyisakan sunyi dan cekam. Hasilnya, tak ada lagi yang sudi tinggal di bekas
pusat kerajaan besar itu. Bersamaan dengan itu hancur pula tatanan kerajaan
Gowa-Tallo. Lambat-laun benteng ini dilupakan orang. Mulailah masa
kesuraman Makassar.

I
Sombaopu mulai dibangun pada masa pemerintahan Tuma’parisi’-
Kallonna seiring mulai menguatnya Kerajaan Gowa. Pada masa pemerintahan
Sultan Malikussaid bersama Perdana Menterinya yang terkenal Karaeng
Pattingalloang, Benteng ini diperkuat dengan persenjataan, memanfaatkan
bukan hanya tenaga asing tapi juga naskah-naskah yang diterjemahkan dari
bahasa asing seperti Portugis, Malayu dan Turki. Pada masa itulah, di awal abad

1
ke-17, Kota Makassar yang tidak lain adalah Sombaopu dan sekitarnya semakin
dikenal oleh pedagang asing. Jumlah penduduk pun melonjak melampaui
Roma.
Kemegahan ini mulai menggoda VOC untuk memonopoli pelabuhan
strategis ini. Sebagai perusahaan dagang mereka bergerak murni untuk
mendapatkan keuntungan, untuk itu mereka harus menggunakan cara apapun,
termasuk monopoli, yang waktu itu memang menjadi paktek lazim bagi bangsa
Eropa yang datang ke wilayah yang mereka sebut Indies. Biasanya, upaya
pertama dilancarkan dengan meminta raja meluluskan maksud monopoli itu.
Tentu saja permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh raja-raja Gowa, mulai dari
Sultan Alauddin, Malikussaid, hingga Sultan Hasanuddin.
Tidak berhasil dengan jalan halus, VOC akhirnya berhasil melemahkan
Gowa-Tallo dan sekutunya lewat peperangan. Tahun 1667, dengan bertempur
bersama pasukan Bone-Soppeng, Ternate dan Buton, mereka akhirnya memaksa
Gowa melepas banyak daerah bawahannya, hingga Gowa tinggal bertahan di
dalam dan sekitar benteng terakhir, Sombaopu. Saat itulah Perjanjian Bungaya
ditandatangani.
Benteng ini bukan hanya sekedar benteng istana, tetapi lambang
pemersatu kekuatan Gowa. Speelman sadar, tanpa menaklukkan Sombaopu,
kemenangan demi kemenangan di medan pertempuran lain tidak berarti, karena
Gowa merasa belum bertekuk lutut.
Akhirnya, perang kembali pecah 14 Juni 1669. Dibuka dengan
meledakkan dinding Sombaopu, yang tebalnya sekitar tiga setengah meter.
Pertempuran berlangsung sepanjang hari dengan jeda hanya beberapa
jam pada dini hari. Itu berlangsung beberapa hari. Namun terkepung oleh
kekuatan gabungan, dan terlemahkan oleh pecahnya kekuatan, Gowa akhirnya
mundur meninggalkan benteng ini.
Speelman tidak menunggu lama. Hari itu juga, 24 Juni 1669, dia
mengambil seluruh persenjataan yang tertinggal di benteng itu dan
menghancurkan dinding-dinding dan bastion benteng, sementara sebelumnya
isi benteng telah dijarah pasukan pribumi. Itu baru awal dari proyek besar dan
panjang VOC, menancapkan kuku imperialisme.
Untuk memantapkan pondasi proyek ini, ‘kelupaan’ terhadap Sombaopu
sangat diperlukan. Mereka pun memindahkan pusat pemerintahan ke Benteng
Ujung Pandang yang dibangun kembali dan diberi nama kota kelahiran
Speelman, Rotterdam. Dan siasat ini berhasil. Penyakit kelupaan ini membuat
masyarakat Makassar dan Sulawesi Selatan, secara bertahap namun mantap,
lupa akan kemampuan dirinya.
Masyarakat tertimpa penyakit menular; tidak punya alternatif kreatif
untuk membangun dirinya sendiri, menghilangnya daya inovasi yang

2
sebelumnya begitu deras mengalir. Lambat laun masyarakat Makassar
kehilangan daya hidup dan kebanggaannya sehingga menjadi inferior.
Kebanyakan dari mereka menjadi pesuruh, mulai dari pesuruh dalam bentuk
budak maupun dalam bentuk bangsawan.
Mattulada mencatat kekalah itu ‘menyebabkan timbulnya ekses-ekses
yang jauh dalam sikap hidup menghadapi lingkungan. Ia menjadi liar, menjadi
sangat curiga kepada tiap hal baru, menjadi pengecut dan selalu dapat berbuat
eksplosif, seolah-olah lahir dari emosi yang tak terkendali.’
Sementara yang tidak sudi untuk jadi pesuruh, harus hidup dalam
kesengsaraan atau meninggalkan negeri yang dicintainya ini. Setelah Perang
Makassar puluhan bahkan ratusan ribu orang eksodus dari Sulawesi Selatan, ke
wilayah barat Nusantara.
II
Masa Suram Makassar berlangsung terus. Mungkin mencapai titik
terendah paruh awal abad ke-20. Anthony Reid mencatat bahwa pada tahun
1920 dan 1930-an masyarakat suku Makassar merupakan salah satu yang
termiskin di Hindia-Belanda—yang kemudian menjadi Indonesia. Dan hingga
kini sisanya masih terlihat, sehingga dengan memaparkannya pada kesempatan
ini hanya membuat kita sedih.
Kemerdekaan Indonesia hanya memberi sedikit pengaruh terhadap
pemulihan kebanggaan dan inovasi masyarakat Makassar. Neo-Imperialisme
telah mengungkungi negeri baru ini. Penjajahan model baru perusahaan dagang
internasional dilancarkan lewat penguasaan kesadaran. Mereka menyerang
dengan kampanye gaya hidup konsumerisme. Melalui Televisi, Internet, dan
Mall, mereka menjual mimpi. Dengan menyantap makanan di Mc Donald,
minum Coca-cola dan mengenakan pakaian bermerek, mengendarai mobil merek
tertentu, mereka merasa menjadi manusia yang lebih ‘baik’. Akhirnya,
masyarakat hanya menjadi konsumen setia dari produk-produk itu, dan
mengkonsumsi lebih dari yang seharusnya mereka konsumsi.
Sekedar contoh, dalam sebuah wawancara dengan tukang becak, mereka
mengatakan bahwa “anak muda di sini pak, ka mauji berusaha tapi tena [tidak
ada] modal”. Sambil berbicara itu mereka sedang menonton pertandingan tinju
internasional dengan TV berukuran 20 inchi. Setelah diselidiki, ternyata mereka
—dia dan tetangganya—banyak yang punya TV bahkan ada yang punya VCD
player. Sementara rumah mereka kelihatan sudah reot, anak-anak kurang gizi
dan untuk sekolah harus dimintai bantuan. Sedangkan untuk membeli barang-
barang elektronik itu mereka rela secara ijon.
III
Kita kembali ke Sombaopu. Setelah luluh lantak, Sombaopu berdiri sepi
ditinggal masyarakat yang pernah menjadikannya ibukota. Beberapa keturunan

3
berlalu dan ingatan masyarakat tentangnya semakin meredup. Ibukota inipun
menghilang.
Adalah Sagimun MD bersama kawan-kawannya, yang mula-mula
mencari sisa-sisa benteng besar ini. Tahun itu, 1964, dengan panduan tulisan-
tulisan dan peta buatan VOC, mereka menyeberang sungai, menerobos semak,
untuk menemukan titik koordinat kota hilang ini. Akhirnya mereka tiba di desa
Sapiria. Tempat remah-remah benteng Sombaopu berada. Kota tua ini memang
masih dihuni manusia, namun ketika mereka bertanya pada kepala desa
setempat, jawabnya: dia sama sekali tidak tahu kalau mereka tinggal di bekas
ibukota kerajaan Gowa. Maka mulailah penggalian sisa benteng ini.
Jika reruntuhan benteng ini tidak ditemukan, segala tulisan yang ada di
Lotara Bilang, atau tulisan Entji Amin, Gervaise, Pinto, Vieiera, Tome Pires,
Speelman dan lainnya tentang kebesaran kota Makassar hanya akan menjadi
pau-pau rikadong, dongeng pelipur lara. Reruntuhan ini membuktikan
keberadaan kerajaan besar Goa-Tallo dan memverifikasi segala tulisan
tentangnya. Reruntuhan ini membuka mata masyarakat luas, bukan hanya para
peneliti yang ada di kampus atau pusat-pusat penelitian.
Usaha memperkenalkan Sombaopu lebih luas memang dimulai oleh
segelintir orang. Pertengahan dekade 60-an, hampir bersamaan dengan
penelitian Sagimun dan kawan-kawan, penelitian mulai merebak, seiring dengan
semakin amannya keadaan Sulawesi Selatan. Didukung banyaknya pusat-pusat
penelitian, dan tentu saja penelitinya, serta pelatihan-pelatihan, penelitian
berkembang pesat pada masa itu. Nama-nama besar seperti Anthony Reid,
Christian Pelras, Umar Kayam, pernah bertugas di lembaga-lembaga penelitian
ini.
Lagi-lagi seorang cendikiawan punya andil penting dalam hal ini.
Kathryn Robinson mengungkap, selama kepemimpinan Prof. Dr. Ahmad
Amiruddin, ketika menjabat rektor sepuluh tahun dan setelahnya sebagai
gubernur juga sepuluh tahun, banyak sekali penelitian yang dilaksanakan.
Keadaan sangat kondusif karena pemerintah hingga tingkat desa diminta untuk
mendukung kerja penelitian ini. Penemuan demi penemuan dari ‘harta
terpendam’ berlangsung luas dan cepat. Tentu saja kondisi ini menarik lebih
banyak lagi peneliti asing, yang hasil-hasil penelitiannya kelak banyak
dibukukan dan dibaca secara luas di luar negeri.
Meski demikian, memperkenalkan sejarah kepada publik tidak cukup
hanya dengan membuka reruntuhan itu sebagai situs untuk dikunjungi para
peneliti. Media yang punya efek publik pun dimanfaatkan. Tulisan-tulisan di
koran tentang sejarah dan budaya lokal merebak. Tulisan Mattulada misalnya
pernah diterbitkan berturut-turut di koran lokal. Buku-buku pun tidak

4
ketinggalan. Seminar nasional hingga internasional tentang sejarah dan budaya
Sulawesi Selatan juga menjamur.
Kulminasinya, di bekas benteng Sombaopu, dibangunlah Sulawesi
Selatan Dalam Miniatur. Masa kejayaan Makassar tak pernah lepas dari
Sombaopu. Dalam bentuk lain, di waktu lain, dengan masyarakat yang lain,
Sombaopu akhirnya kembali menjadi pilihan sebagai simbol kemajuan
Makassar.

IV
Masa kejayaan ini, lagi-lagi, tidak berlangsung lama. Serangan budaya
materialisme semakin gencar. Masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari
penyakit insomnia sejarah yang membunuh daya inovasi itu kembali tak
berdaya diserang agen-agen penjual barang produksi. Mereka masuk ke rumah
kita, ke kepala kita dan menguasai gerak hidup anak-anak kita. Televisi sudah
menjangkau hingga masyarakat yang bermukim jauh di gunung, lewat berbagai
channel, mengantar beragam gaya hidup konsumtif.
Kita, dan anak-anak kita kelak, akan lupa bahwa orang yang tinggal di
Makassar ini empat ratus tahun lalu, sanggup mengatakan tidak terhadap sistem
dagang monopoli Eropa, sanggup membangun sistem pemerintahan sendiri, tata
masyarakat sendiri. Mereka hidup dengan gaya hidup sendiri, mereka membuat
sabun, minuman, kue-kue, sandal, mereka produktif. Akan halnya bahasa,
mereka memodifikasi abjad dari tempat lain untuk membuat aksara sendiri, agar
bisa menikmati komunikasi tertulis, mereka invoatif. Mereka bukan orang laut,
tetapi mereka berlayar ke sana ke mari, sebagai pedagang dan pengemudi.
Untuk itu mereka buat peta sendiri dengan bahasa sendiri. Mereka belajar
dengan cepat, punya daya hidup. Mereka memang mengutip, tapi itu hanya
sebagai pelengkap bukan yang utama. Singkatnya, mereka adalah masyarakat
yang mandiri.
Kita dan anak-anak kelak lupa bahwa kita telah menelantarkan sejarah,
menelantarkan masa depan. Lupa kalau benteng terakhir yang
merepresentasikan ingatan masyarakat terhadap sejarah dan budaya lokal itu
pernah ada. Kita lebih memilih datang ke pesta kembang api di Global Trade
Centre, Tanjung Bunga, dan larut hingga lupa diri kalau di sana tak ada satupun
karya kita, semua sudah tertata rapih hanya untuk kita beli.
Lagi-lagi, pesta kembang api ini membuat ingatan saya melenting
ke masa lalu.
Beberapa hari sebelum menyerang Benteng Sombaopu, pasukan
Speelman membuat terowongan, lalu meletakkan mesiu di bawah dinding
benteng itu. Dan malam itu, setelah beberapa hari menggali terowongan rahasia,
Speelman mengadakan pesta. Seluruh raja dan bangsawan yang kooperatif

5
diundang. Pesta berlangsung meriah, bahkan ada kanjara sumpah setia hingga
kesurupan bagi VOC. Mungkin, seandainya kembang api telah ada, mereka akan
meluncurkan kembang api. Saat semua terlena melihat pesta ini, diam-diam
mesiu menanti waktu peledakannya.

Sumber-sumber:
Andaya, Leonard Y. 2004 . ‘Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad
ke-17’. (terj. The Heritage of Arung Palakka: History of South Sulawesi (Celebes)
in the Seventeenth Century, 1981, Martinus Nijhoff). Ininnawa. Makassar

Mattulada. 1985. Latoa: Suatu Lukisan Antropologi Politik. UGM Press. Yogyakarta.

Reid Anthony. 2000. Pluralism and Progress in seventeenth century Makassar. dalam
Authority and Enterprise among the Peoples of South Sulawesi. KITLV Press.
Leiden.

Robinson, Kathryn. Mukhlis Paeni (eds.). 1998 Living Through Histories: Culture,
History and Social Life in South Sulawesi. Australian National University. Canberra.

Anda mungkin juga menyukai