Tiga Setengah Abad Yang Lalu Bandar Makassar
Tiga Setengah Abad Yang Lalu Bandar Makassar
Empat abad yang lalu Bandar makassar amat disegani. VOC sekalipun beberapa kali harus
menelan pil pahit kala berurusan dengan Somba Opu –Benteng sekligus istana kerajaan Gowa.
Mulai pada masa pemerintahan Raja ke-13, ketika itu kapal-kapal VOC mulai menghalang-
halangi perahu-perahu Makassar untuk berlabuh di Ambon. Raja Gowa yang selalu
memperlakukan sama sahabat-sahabatnya tidak terima dengan sabotase ini. Mereka menutup
kantor dagang VOC di Makassar yang kala itu ramai dikujungi pedagang Portugis, Inggris,
Kejadian ke dua ketika Sultan Alauddin Raja ke-14 Gowa berhasil membuat perjanjian dengan
VOC yang membuat VOC sangat merugi karena mereka harus mengizinkan perahu-perahu
Makassar berada di Maluku, daerah yang hampir semuanya telah menjadi milik mereka. Ke
tiga, pada masa Pemerintahan Sultan Malikussaid, dengan perdana menterinya yang terkenal
Karaeng Pattingaloang berhasil menaklukkan seluruh Sulawesi dan hampir seluruh Indonesia
***
Apakah yang menyebabkan mereka begitu hebat, hingga VOC yang terkenal ganas itu—yang
sudah lama mengintainya—tidak mampu dengan mudah memerangi apalagi membujuk Gowa?
Apa yang membuat mereka begitu perkasa sekaligus memberi jaminan ekonomi, sosial, dan
pasang pemimpin yang mengawaki kerajaan Gowa-Tallo, Sultan Alauddin dan Karaeng
Matoaya, serta keturunannya Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang, telah mewarisi
sebuah kekuatan besar. Bahkan dalam buku Leonard Andaya, The Heritage of Arung Palakka,
di sebutkan bahwa kerajaan ini mampu mensejajarkan diri dengan kerajaan-kerajaan besar
lainnya di dunia.
Mereka mengembangkan manajemen pemerintahan yang begitu hebat dan terbuka. Bahkan
Anthony Reid mengungkapkan pada masa pemerintahan Sultan Malikussaid, kerjaan ini sangat
ramai didatangi pedagang bukan hanya karena jatuhnya Malaka, namun juga sifat terbuka yang
wilayahnya –meski seluruh kerajaan merupakan penganut Islam, serta memperlakukan setiap
pengunjung dengan cara yang sama. Bahkan, menurut Anthony Reid, ketika Sultan Hasanuddin
menutup gereja Jesuit dan Dominican tahun 1657-1668, itu karena masalah antara kaum
Katolik sendiri, bukan karena sikap tidak toleran kamu Muslim di Makassar.
Karaeng Pattingaloang sendiri memiliki koleksi buku berbahasa asing yang cukup banyak, bola
dunia, dan teleskop yang baru diciptakan oleh Galileo. Ini menandakan luasnya cakupan
pandangannya pada masa itu. Tidak hanya berada di bawah tempurung kerajaannya, melainkan
melenting menembus batas-batas geografis yang begitu jauh. Dan itu tentunya menghasilkan
sebuah lompatan intelektual melampaui orang-orang semasanya. Kemudian lompatan ini tidak
dia nikmati sendiri. Sebagai seorang pemimpin dan sekaligus cendikiawan, dia juga mendorong
naskah ini antara lain ada yang diterjemahkan dari bahasa Turki.
Dari manakah Karaeng Pattingaloang belajar? Bukan hanya dari barat. Jika kita meneliti
lebih dalam, kita akan menemukan akar pemikiran tokoh ini dalam menjalankan pemerintahan.
Dia misalnya diketahui mengingatkan dirinya dengan menyebutkan lima hal yang dapat
menghancurkan negeri. ; pertama,bila para pemimpin tak lagi menyayangi rakyatnya, kedua,
bila para hakim makan suap, ketiga, bila ……… kemungkinan besar versi ini dikutip dari
Kajao Laliddong, seorang cendikiawan Bone, dalam kitab La Toa. Hanya versi Latoa
pemerintahan, sesuatu yang kini sudah begitu langka. Perpaduan antara Pangngadakkang atau
aturan adat istiadat tradidional Makassar yang merupakan kearifan lokal dan ajaran Islam yang
diadopsi dan popular pada saat itu dengan nama sara’ yang menurut Rahman Rahim, seorang
peneliti naskah Bugis-Makassar, berasal dari kata bahasa Arab Syariat. Pelanggar dari prinsip
adat dan sara’ ini oleh masyarakat dianggap kehilangan siri’ dan kemudian akan dianggap
sederajat dengan binatang (ingat penjelasan Almarhum Mattulada terhadap kasus Andi Galib).
Peringatan ini juga menyiratkan adanya kedekatan emosional antara rakyat dan
pemerintah. Berbagai keluhan atau ketidak puasan dapat segera dideteksi oleh para pemimpin.
Bila kita melihat birokrasi sekarang yang dibuat begitu njelimet dan hirarkis, kesempatan untuk
menyampaikan uneg-uneg tentunya tidak mudah. Keluhan-keluhan yang datang akan segera
terhenti dilapisan paling bawah birokrasi. Adanya itikad baik dari kedua belah pihak untuk
saling memberi, juga cukup penting dalam prinsip tadi. Kadang sistem birokrasi pemerintahan
sekarang akhirnya dengan susah payah dapat ditembus, namun itikad baik masih sulit
ditemukan. Akhirnya setali tiga uang, masyarakat menjadi kapok dan segera mengembangkan
Kedua, kembali ke masa kejayaan Makassar, hal lain yang menjadi syarat bertahannya
prinsip pemerintahan yang berdasarkan moralitas itu adalah pengikut atau rakyat itu sendiri. Di
samping memiliki posisi yang kuat sebagai pemilik negeri, mereka adalah masyarakat yang
berakar dari budaya yang tidak ditransplantasikan dari luar secara serampangan. Kerajaan
Gowa adalah konfederasi dari sembilan komunitas yang dipimpin oleh seorang gallarang.
Ketika dalam proses penyatuan mereka melakukannya secara sadar dan sukarela. Dan
bate salapang. Jadi bukan anggota parlemen siluman atau menjulur luar wilayah jangkauan
pengetahuan rakyat, seperti kader kiriman dari ibukota negara sebagaimana di masa sekarang.
Sehingga, mereka memiliki sistem kontrol yang kuat sehingga dengan mudah dapat
melakukan impeachment kepada raja yang berlaku zalim. Tercatat ada beberapa yang benar-
benar menjadi korban impeachment seperti raja ke-..yang diberi gelar Tunipasulu’ (orang yang
diusir). Dengan cara seperti ini, kekesalan tidak akan menumpuk dan menjelma menjadi sikap
***
Sayangnya kejayaan ini berakhir tragis dengan masuknya mesin kapitalisme awal Eropa, kartel
terbesar pertama di dunia bernama VOC. Hal yang sama terjadi di seluruh daerah Sulawesi
Selatan yang telah lama mengenal penjaminan hak asasi manusia. James Brook, seorang
pengelana dari Inggris pada sekitar tahun 1840-an sempat singgah di Wajo, dalam catatan
Secara berangsur-angsur, dalam kurun waktu yang cukup lama, satu persatu pranata
tradisional pendukung sistem pemerintahan ini dihilangkan baik dengan cara kekerasan
maupun dengan cara hegemoni pemikiran dikalangan para cendikiawan. Terakhir institusi
kerajaan Bone dijinakkan oleh Belanda pada tahun 1905. Dalam suasana anarkis (tanpa
pemerintahan yang secara tradisional berwibawa) orang Sulawesi Selatan pada umumnya
semakin kebingungan mencari-cari dalam suasana chaos. Suasana sianre balabe taue yang
masih terekam dalam cerita-cerita rakyat kembali berulang. Namun kini inovasi untuk
memecahkan kebuntuan itu, sebagaimana daerah lain di Indonesia, tidak mandapat kesempatan
Kini dalam bingkai Otoda momentum itu kembali terkuak. Daerah mulai bergerak,
meski lamban dan mendapat gangguan dari sana sini, untuk membenahi diri masing-masing.
Berbagai alternatif mulai diajukan, namun sayang sekali jarang sekali pihak yang menguak
sejarah sebagai sumber inspirasi. Padahal bangsa-bangsa di Sulawesi Selatan, oleh banyak
ilmuan asing, cukup terkenal sebagai orang yang menjunjung tinggi sejarah dan di masa lalu
Bahkan, peredebatan untuk revitalisasi nilai-nilai lama kini berputar-putar pada tataran
konsepsi; yang dipilah dalam bentuk esensialisme melawan dialektika nilai-nilai berdasarkan
konteks. Pemikiran terakhir ini terutama berada dibawah kangkangan Foucoult yang
yang dikaguminya. Mereka begitu marahnya karena capek melihat kaum rohaniawan yang
terkorupsi dan bergabung dengan pihak lain yang berkuasa melakukan kejahatan terselubung di
Eropa sana. Apakah pemikiran itu applicable atau memberi titik terang terhadap masa depan
kita di sini, itu masih kabur. Sebaliknya bahaya timbulnya feodalisme baru hasil dari kurang
Harus diakui, persoalan kini begitu kompleks dan kacau, namun manusia tetaplah
manusia dengan sifatnya yang sama sejak jaman Fir’aun. Mereka selalu cenderung tenggelam
dalam keserakahan, kehausan akan kekuasaan, selalu merasa tidak puas. Namun, dibalik itu
mereka juga punya potensi untuk berbuat baik, saling membantu, saling memberi. Dan tafsir
sesering mungkin pada sebanyak mungkin orang. Godaan determinisme materialis yang selama
ini menghantui program ‘pembangunan’ sudah sepantasnya mendapat perlawanan dari sisa-sisa
nilai tradisional yang lebih mengarah pada ‘harmonisasi’ dan tidak eksploitatif, atau
perkawinan antara nilai-nilai itu dengan nilai baru yang eksistensinya masih diakui di tengah
Masyarakat harus diyaklinkan bahwa materi hanyalah alat bukan tujuan. Sebuah pekerjaan
besar yang mungkin tak pernah akan selesai, namun harus segera dimulai.
Untuk itu kita butuh Karaeng Pattingaloang baru, kita butuh sistem yang lebih
merakyat, dan rakyat yang lebih kritis dan independen. Kita butuh sejarah dan inovasi.