Anda di halaman 1dari 6

1

PERSOALAN LAIN DALAM KEHIDUPAN :


SEORANG SUAMI YANG MENANGGAP ISTRINYA TELAH BERZINA
PENYELESAIN PERSOALAN ADA HUKUM SYARIAT YANG BERNAMA LI’AN

Definisi li’an Istilah li’aan diambil dari kata la’n yang berarti laknat atau kutukan.
Sedangkan menurut syari’at, li’aan adalah kesaksian yang diperkuat dengan
sumpah antara suami-istri yang disertai dengan menyebutkan laknat dan
kemurkaan Allah. [Lihat Taisirul Alam Syarah ‘Umdatul Ahkaam (II/211]
Hukum li’aan dibolehkan apabila suami memiliki dugaan kuat istrinya telah berselingkuh
dengan lelaki lain, atau dia mengetahui istrinya berselingkuh. Namun jika
suami mendapati istrinya hamil sedangkan dirinya tidak pernah menggauli
istrinya atau dia yakin kehamilannya itu bukan dari hasil hubungan dengannya
maka hukum li’aan menjadi wajib. [Subulus Salam (II/278)]

Dalil (an-nur) َ‫ ِدقِين‬3‫ٱلص‬َّ ٰ َ‫ت بِٱهَّلل ِ ِإنَّهۥُ لَ ِمن‬ ِ ۢ ‫ ٰهَ ٰ َد‬3‫ ُع َش‬3َ‫ ِد ِهمۡ َأ ۡرب‬3‫َوٱلَّ ِذينَ يَ ۡر ُمونَ َأ ۡز ٰ َو َجهُمۡ َولَمۡ يَ ُكن لَّهُمۡ ُشهَدَٓا ُء ِإٓاَّل َأنفُ ُسهُمۡ فَ َش ٰهَ َدةُ َأ َح‬
َ‫ت بِٱهَّلل ِ ِإنَّهۥُ لَ ِمن‬ ِ ۢ ‫ ٰهَ ٰ َد‬3‫ َع َش‬3َ‫هَ َد َأ ۡرب‬3‫اب َأن ت َۡش‬ َ ‫ َذ‬3‫ُؤا ع َۡنهَا ۡٱل َع‬ 3َ ِ‫َو ۡٱل ٰ َخ ِم َسةُ َأ َّن لَ ۡعنَتَ ٱهَّلل ِ َعلَ ۡي ِه ِإن َكانَ ِمنَ ۡٱل ٰ َك ِذب‬
ْ ‫ين َويَ ۡد َر‬
‫هَّلل‬ ‫َأ‬
ٌ‫ض ُل ٱ ِ َعلَ ۡي ُكمۡ َو َر ۡح َمتُهۥُ َو َّن ٱ َ تَوَّاب‬ ‫هَّلل‬ ۡ َ‫ص ِدقِينَ َولَ ۡواَل ف‬ ٰ
َّ ‫ب ٱهَّلل ِ َعلَ ۡيهَٓا ِإن َكانَ ِمنَ ٱل‬ َ ‫ض‬ َ ‫ين َو ۡٱل ٰ َخ ِم َسةَ َأ َّن َغ‬3َ ِ‫ۡٱل ٰ َك ِذب‬
‫َح ِكي ٌم‬
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang
itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar.
7. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta.
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang
yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.
10. Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan
(andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya
kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).

Persoalan yang "Jika seorang laki-laki dari kami masuk ke rumahnya, lalu ia memergoki seseorang
terjadi ketika suami sedang berada di atas perut istrinya”
mencurigai istrinya
1. Ia datang untuk membawa empat orang laki-laki supaya menjadi saksi
berzina
baginya, lelaki tadi pun telah selesai melampiaskan hajatnya dan keluar.
2. jika ia membunuhnya, ia pun terancam dibunuh.
3. Sedang jika ia mengatakant, "Saya temukan si anu sedang bersama
perempuan itu," ia pun akan dijatuhi hukuman cambuk.
4. Dan jika diam saja, pasti dia akan memendam kemarahan.

Kejadian di zaman Kasus li’aan ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
rasul sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

“Bahwasanya Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya melakukan zina


dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Syarik bin Sahma’, lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Buktikanlah (dengan
2

mendatangkan saksi), atau hadd (hukuman) akan menimpamu.’ Kemudian ia


berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat seorang laki-
laki di atas istrinya (berselingkuh), apakah wajib kepadanya pergi untuk
mencari bukti?’ Lalu Nabi pun berkata, ‘Buktikanlah atau hadd yang akan
menimpamu.’ Hilal berkata, ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq
(kebenaran), sesungguhnya aku berkata benar, dan semoga Allah menurunkan
sesuatu yang dapat membebaskanku dari hadd.’

Kemudian Jibril ‘alaihis salam turun dan menurunkan kepadanya (firman


Allah Ta’ala): ‘Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)… -ia
membacanya sampai- …jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang benar.’
Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi dan mengutus
seseorang kepadanya (si wanita), kemudian Hilal datang dan bersaksi
sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah
Mahatahu bahwa salah seorang diantara kalian telah berdusta, apakah
diantara kalian berdua ada yang mau bertaubat?’ Lalu wanita itu berdiri dan
bersaksi. Tatkala sampai pada kesaksian yang kelima kalinya, mereka semua
menghentikannya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia yang berhak
(mendapatkan siksa),’

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Lalu ia berhenti sehingga kami


menyangka bahwa ia akan mengambil kembali ucapannya (mengaku).’
Akhirnya ia berkata, ‘Aku tidak akan mempermalukan kaumku selamanya.’
Akhirnya dia terus saja (mengucapkannya). Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Perhatikanlah ia (si wanita), jika ia melahirkan
seorang anak yang hitam kedua matanya, besar kedua pantatnya, dan besar
kedua betisnya, maka anak itu milik Syarik bin Sahma’.’

Akhirnya ia (wanita itu) melahirkan anak yang demikian (seperti dikatakan


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Seandainya tidak berlalu keputusan Kitabullah kepadaku,
niscaya aku akan menegakkan hadd kepadanya.'” [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 4747), Abu Dawud (no. 2237), Tirmidzi (no. 3229), dan Ibnu
Majah (no. 2067)]

Diriwayatkan juga dari jalur Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,beliau


menceritakan:

“Bahwa fulan bin fulan berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut


pendapatmu jika salah seorang diantara kami mendapati istrinya berbuat
zina, apakah yang seharusnya ia lakukan?’ Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbicara, maka dia berbicara untuk suatu perkara yang besar.
Sedangkan jika dia diam, maka dia diam untuk perkara yang besar. Ibnu
‘Umar menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak
menjawabnya.
3

Setelah itu, orang tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi
dan mengatakan, ‘Sesungguhnya permasalahan yang aku tanyakan kepadamu
itu telah menimpaku.’ Oleh karena itu, Allah Ta’ala menurunkan banyak ayat
dalam surat An-Nuur yang berbunyi, ‘Orang-orang yang menuduh istri-istri
mereka melakukan perbuatan zina..’ Nabi membacakan ayat-ayat tersebut
pada orang tadi. Beliau memberikan nasihat kepadanya, mengingatkannya
dan memberitahu kepadanya bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada
siksa di akhirat. Orang tadi mengatakan, ‘Tidak, demi Dzat yang telah
mengutusmu sebagai seorang Nabi, aku tidaklah berdusta dalam tuduhan itu.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil istri orang tersebut.


Beliau memberinya nasihat, mengingatkannya, memberitahu bahwa siksa di
dunia itu lebih ringan daripada siksa di akhirat. Wanita tersebut lantas
berkata, ‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa
kebenaran, sesungguhnya suamiku telah berdusta.’ Nabi memulai dari orang
tersebut. Orang tersebut lantas memberikan kesaksian atas nama Allah
sebanyak empat kali bahwa dirinya adalah orang yang benar. Yang kelima
adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya sekiranya dirinya berdusta.

Berikutnya adalah sang istri, wanita tersebut lantas bersaksi atas nama Allah
sebanyak empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Yang kelima adalah
bahwa dirinya akan mendapatkan kemurkaan Allah, jika ternyata
suaminyalah yang benar. Setelah itu, Nabi menceraikan pasangan suami istri
tersebut.’

‘Allah mengetahui bahwa salah satu diantara kalian telah berdusta. Apakah
ada diantara kalian yang hendak bertaubat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata demikian sebanyak tiga kali.

Dalam lafazh lain disebutkan, ‘Engkau tidak boleh bersamanya untuk


selamanya.’

‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mas kawinku?’ kata orang tersebut.


Nabi menjawab, ‘Mas kawin itu tidak lagi menjadi milikmu. Jika kamu
memang benar, maka maskawin itu adalah sebagai ganti engkau telah
menggaulinya. Namun, jika engkau berdusta, maka amat sangat tidak
mungkin harta itu kembali kepadamu darinya.” [Hadits shahih. Riwayat
Muslim (no. 1493). Si fulan yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah
Uwaimir Al-‘Ajlani]
maka dapat diketahui bahwa praktik li’aan memiliki beberapa langkah yang harus ditempuh,
yaitu:

1. Seorang hakim memulai dengan mengingatkan pasangan suami istri agar bertaubat
sebelum melakukan li’aan, lalu jika mereka berdua bersikeras untuk tetap melakukan li’an,
selanjutnya;
2. Seorang hakim memulai dengan memerintahkan suami untuk berdiri dan hakim berkata,
“Katakanlah empat kali, ‘Aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berkata benar dalam tuduhan zina yang aku lemparkan kepada istriku.'”
3. Kemudian suami berkata seperti apa yang diperintahkan oleh hakim di atas.
4

4. Sebelum suami mengatakan kalimat la’nat (yang kelilma), hakim memerintahkan


seseorang untuk meletakkan tangan di mulut suami, kemudian hakim berkata kepada
suami, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ucapan tersebut menetapkan adanya
siksa yang pedih.” Sehingga ia tidak terburu-buru untuk mengucapkan perkataan sumpah
yang kelima kalinya sebelum mendapatkan nasihat, karena siksa dunia lebih ringan dari
siksa akhirat.
5. Jika suami bersikeras untuk li’an, maka ia mengucapkan, “Laknat Allah ditimpakan
kepadaku jika aku termasuk kepada orang-orang yang berdusta.” Jika ia mengatakan hal
ini maka tidak berlaku hadd qadzaf (hukuman akibat menuduh orang lain berzina). Jika ia
menarik perkataannya, maka ia dihukum dengan hukumam menuduh orang lain melakukan
zina (hadd qadzaf), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.
6. Hakim berkata kepada istri, “Kamu pun harus mengucapkan perkataan seperti itu. Jika
kamu tidak mau mengucapkannya maka kamu akan dihukum dengan hukuman zina (yakni
dirajam).”
7. Lalu si istri berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia (suami) termasuk orang-orang yang
berdusta.” Sebanyak empat kali.
8. Kemudian hakim memerintahkan seseorang untuk menghentikannya, agar memberikan
nasihat dan memberitakan kepadanya bahwa hal itu akan menetapkan murka Allah
sebelum dia bersaksi untuk yang kelima kalinya.
9. Jika ia menarik kembali ucapannya dan mengakui perbuatannya, maka ia dihukum dengan
hukuman zina, yaitu dirajam.
10. Namun jika ia terus saja mengingkari tuduhan tersebut, maka ia diperintahkan untuk
berkata, “Murka Allah kepadaku jika ia (suami) termasuk orang-orang yang benar.” Maka
jika istri telah mengucapkannya, gugurlah hukuman rajam kepadanya. [Lihat Ensiklopedi
Fiqh Wanita (II/432-433]

Apabila pasangan suami-istri telah melakukan li’an maka keduanya dipisahkan. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan li’aan antara seorang laki-laki dan wanita dari kalangan Anshar, kemudian beliau
memisahkan keduanya. Namun, para ‘ulama berselisih pendapat mengenai hukum perpisahan
karena li’aan, apakah dia dihukumi sebagai talak ataukah fasakh (rusaknya akad nikah). [Lihat
uraiannya dalam Terj. Subulus Salam (III/88-90)]

Catatan:

 Bila seorang suami menuduh istrinya berselingkuh (berzina), tetapi keduanya tidak
mengadukan masalah tersebut pada seorang hakim, maka wanita tersebut masih berstatus
istrinya, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim An-Nakha’i dalam Mushannaf
‘Abdurrazzaq (no. 12911) dengan sanad yang shahih.
 Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku tidak mendapati keperawanan darimu,”
namun tidak bermaksud menuduhnya berzina, maka tidak berlaku hadd atau li’aan
kepadanya. Karena hilangnya keperawanan seorang wanita tidak selalu diakibatkan karena
senggama. Adapun jika suami berkata demikian dengan maksud menuduh istrinya telah
berzina, maka hukum yang berlaku adalah wanita tersebut masih berstatus sebagai istrinya.
[Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/436]
5

Konsekwensi setelah lian terjadi :


1. jatuhnya Para fuqaha berselisih pendapat tentang terjadinya perpisahan karena
perpisahan li'an:
antara suami  Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah berkata: Tidak jatuh perpisahan secara
istri otomatis begitu selesainya mereka berdua dari pernyataan li'an sampai
hakim memisahkan mereka, dan tidak terjadi perpisahan sebelum
diterbitkannya putusan hukum.
 Asy-Syafi'iyah berpendapat: Apabila suami telah menyempurnakan
kesaksian dan pernyataan li'annya, secara otomatis hilanglah ikatan
perkawinan dengan istrinya dan tidak halal lagi istri itu baginya untuk
selama-lamarrya, baik istrinya turut menyatakan li'an atau tidak.
 Al-Malikiyah, Al-Laits dan Ztfar berpendapat: Apabila kedua belah pihak
telah selesai menyampaikan li'an, rnaka terjadilah perpisahan setelah li'an
pihak perempuan secara khusus, sekalipun hakim tidak memutuskan pisah
di antara mereka
2. berkumpulnya Kalangan Asy-Syafi'iyatu Al-Malikiyah, Al-Hanabilalu Abu Yusuf dan
pasangan Ats-Tsauri berkata:
suami setelah  Pasangan yang telah menyatakan li'an tidak berkumpul selamanya setelah
li’an perpisahan. Ini adalah pendapat Ali, Umar, dan Ibnu Mas'ud, berdasarkan
keterangan yang diriwayatkan dari Nabi, bahwa beliau bersabda kepada
dua orang yang saling menyatakan li'an,' Tidak ada jalan bagimu untuk
kembali kepadanya." Dan beliau tidak mengatakan sampai engkau
mendustakan dirimu sendiri.
 Berdasarkan keterangan yang diriwayatkan dari Ali, semoga Allah
memuliakannya/Umar bin Al-Khathab, dan Abdullah bin Mas'ud ,&, bahwa
mereka mengatakan, pasangan yang telah menyatakan li'an tidak
berkumpul lagi selamanya.
 Juga keterangan yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari Sahal bin Saad
dalam kisah Al-Ajlani, "Telah berlaku sunnih bahwa mereka berdua
apabila telah saling menyatakan li'an, niscaya dipisahkan di antara mereka,
kemudian tidak berkumpul lagi selamanya." Seluruh riwayat ini
menerangkan bahwa pengharaman istri bagi suami adalah bersifat
permanen.
3. tentang  Kalangan fuqaha sepakat, bahwa perempuan yang dipisahkan secara
nafkah akibat fasakh melalui li'an, selama masa iddahnya tidak berhak mendapatkan
li’an nafkah maupun tempat tinggal. Karena nafkah hanya berhak didapatkan
perempuan yang menjalani iddah talak, bukan iddah fasakh.
4. tentang  Para fuqaha berkata: Apabila pelaksanaan li'an telah berlangsung
mahar sempurna/ maka istri difasakhkan akadnya dan ia berhak memiliki harta
yang telah menjadi miliknya, berupa mahar, untuk kemaluannya yang telah
dijadikan halal bagi suaminya selama masa sebelumli'an. Diriwayatkan,
bahwa setelah menyatakan li'an kepada istrinya, Hilal bin Umayyah
mengatakan, "Wahai Rasulullatr, bagaimana dengan harta saya?" Yakni
maskawin yang telah diserahkannya kepada istrinya, hendak diambilnya
kembali darinya. Maka Rasul menjawab, "Tidak ada ialan bagimu untuk
mendapatkannyt."
 Adapun untuk istri yang belum digauli oleh suaminya, maka jumhur ulama
berpendapat bahwa ia hanya berhak mendapatkan separo maskawin
seperti yang lain dari wanita-wanita yang dijatuhi talak sebelum digauli.
5. anak milik  Para fuqaha menyebutkan, bahwa anak dari pasangan yang telah saling
siapa ? menyatakan li' an dinasabkan kepada ibunya, sehingga akan mewarisinya
6

apabila ibunya meninggalkan dan ibunya mewarisinya apabila ia meninggal


dunia sebelumnya.
 Berbagai kehormatan itu tetap terjaga dari noda selama belum
diperoleh kepastian dan tidak boleh pula bagi siapa pun untuk menuduh
anak pasangan yang saling menyatakart li'an, bahwa anak itu anak zina.
Barangsiapa yang memanggilnya anak zina, maka dikenakan hukuman
cambuk sebanyak 80 kali. Kerabat anak yang dinafikan adalah kerabat
ibunya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas @1,
"Diputuskan bahwa tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberi makan
dan tidak pula tempat tinggal, dikarenakan mereka berdua berpisah dengan
cara selain talak dan tidak pula karena kematian." Dan perkataannya,
"Dihubungkan (dinasabkan) anak kepada perempuan. "
 Dalam suatu riwayat disebutkary "Maka anak dihubungkan nasabnya
kepada ibunya," yakni dijadikannya milik ibunya sendiri dan dinafikannya
dari suami, sehingga tidak saling mewarisi antara keduanya dan keluarga
ibunya menjadi keluarganya." Diriwayatkan, bahwa Nabi t& bersabda
dalam hadits li'an, "Barlngsiapa yang menuduhnya (berbuat zina), niscaya
dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh cambukan." Dalam suatu
riwayat disebutkan, "Diputuskan, agar jangan mengakukan anaknya kepada
ayah dan jangan pula menuduh anaknya, dan barangsiapa yang menuduhnya
atau menuduh anaknya, maka dikenakanhad terhadapnya."
6. lian diwaktu  Asy-Syafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat: Li'an secara mutlak sah
hamil ? dilakukan atas wanita yang hamil sebelum melahirkan dan sah pula
menafikan kehamilan. Hanya saja kelompok Al-Malikiyah mensyaratkan,
 Sementara Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah berkata: Tidak sah li'an dan
penafian sebelum kelahiran, karena tidak adanya kepastian disebabkan
bisa saja kehamilan itu hanya berupa angin semata.
7. jika  Kalangan Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat: Tidak diperbolehkan
perbedaan bagi ayah untuk menafikan anaknya hanya gara-9ata berbeda warna kulit
warna kulit dengannya.
anak terjadi  Asy-Syafi'iyah berkata: Jika perbedaan wama kulit itu tidak ditambah
dengan dengan adanya tanda-tanda perbuatan zina, maka tidak,boleh menafikan.
ayahnya? Namun, jika suami menuduhnya, lalu istrinya melahirkan anak yang mirip
dengan laki-taki yang dituduhkan suaminya, menurut pendapat yang
shahih boleh ia menafikaruxya.
 Sementara Al-Hanabilah berpendapat: Secara mutlak boleh saja menafikan
anak yang lahir dengan warna kulit berbeda dengan ayahnya asalkan
disertai gelagat adanya perbuatan zina. Adapun jika tidak ada gelagat maka
tidak boleh.
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah &, bahwa ia menceritakary Seorang laki-laki
dari Bani Fazarah datang kepada Rasulullah seraya mengatakan, istri saya telah
melahirkan seorang bayi berkulit hitam, sedang a waktu itu berniat untuk
menafikannya. Maka Nabi ffi berkata kepadanya, Apakah engkau punya onta?" Ia
menjawab, "Ya." "Apa warnanya?" Ia menjawab, "Merah." " Adakah padanya
warna abu-abu?" Ia menjawab, "Ya,padanya ada warna abu-abu."
Beliau bertanya lagi, "Dari mana datangnya itu?" Ia rnenjawab, barangkali itu
pengaruh keturunan. Beliau menegaskan, "Nah, karna kulit bayi ini barangkali
juga pengaruh keturunan." Beliau tidak memberi kemudahan kepadanya untuk
menafikan anak darinya. (HR. Jamaah)

Anda mungkin juga menyukai