Anda di halaman 1dari 9

Mengenal Buddha Simhacandra - Calon Buddha Sesudah Maitreya

Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah Sang Buddha Sakyamuni parinirvana maka calon
Buddha beriktunya adalah Buddha Maitreya yang masih berstatus sebagai bodhisatva-
ekajatipratibaddha (Bodhisatva yang menyisakan satu kelahiran lagi untuk merealisasi Kebuddhaan),
dan kini Beliau masih berdiam di alam surga Tusita.

Selanjutnya akan diperkenalkan calon Buddha sesudah Maitreya, yaitu Buddha Simhancandra.
Dalam kitab Pratyutpanna-bhadra-kalpa-sahasra-buddha-nāma-sūtra yang berisi daftar seribu Buddha
di era kalpa Bhadra mencatat bahwa Buddha Simhancandra adalah Buddha ke-6 dalam kalpa Bhadra.

Berikut adalah urutan dari Buddha tersebut:

1. Buddha Krakucchanda
2. Buddha Kanakamuni
3. Buddha Kasyapa
4. Buddha Sakyamuni
5. Buddha Maitreya
6. Buddha Simha

Dalam kitab ini hanya menulis nama Buddha Simhacandra secara singkat, yaitu Buddha Simha.
Sedangkan kisah kehidupan lampau Buddha Simhacandra tercatat dalam Simhacandra Buddha Jataka-
sutra. Sutra ini tersimpan dalam Tripitaka edisi Taisho no. 0176.

Mengenai siapa penerjemah dari Sutra ini masih belum bisa dipastikan. Sebenarnya dalam
beberapa edisi katalog Tripitaka mencatat bahwa kitab ini diterjemahkan oleh Dharmaraksa (竺法護;
229-306 M) pada era Tai’an (太安; 302-303 M) pada masa Dinasti Jin-Barat, misalnya tercatat di bagian
Bab VI dari Katalog Lidai Sanbao Ji (歷代三寶紀) dan Bab II dari Datang Neidian Lu (大唐內典錄).
Namun dalam katalog lain yang disusun lebih belakangan, yaitu Bab IV dari Kaiyuan Shijiao Lu (開元釋
教錄) di mana tertulis: “Katalog Changfang mengatakan kitab ini diterjemahkan oleh Dharmaraksa, kini
setelah dikaji gaya bahasa [terjemahannya] maka ia bukan berasal dari Dharmaraksa, namun sepertinya
hasil terjemahan masa Dinasti Qing, oleh karena itu ia dipindahkan ke [kategori] sini.” Katalog
Changfang yang dimaksud di sini adalah catalog Tripitaka Lidai Sanbao Ji yang disusun oleh Fei
Changfang (費長房). Berdasarkan keterangan dalam katalog Kaiyuan Shijiao Lu, maka nama penerjemah
Sutra ini tidak lagi dicantumkan.

Dalam Simhacandra Buddha Jataka-sutra menjelaskan bahwa sang calon Buddha penerus
Maitreya ini hidup di zaman Sang Buddha Sakyamuni dengan status sebagai seorang siswa bhiksu-
bodhisatva bernama Vasumitra. Yang menarik adalah Vasumitra adalah seorang siswa yang berperilaku
sangat unik, berbeda dengan para siswa Buddha lainnya, karena Beliau sangat senang bermain dengan
hewan terutama kera. Hal ini menimbulkan kegaduhan hingga kabar ini terdengar sampai ke telinga Raja
Bimbisara. Sang Raja sendiri merasa terusik karena perilaku Vasumitra sampai ditertawai oleh kaum
tirtika, sekte yang di luar Buddhasasana. Oleh karena itu, Sang Raja pergi menemui Sang Buddha, dan
dari situlah Sang Buddha mengisahkan kehidupan lampau Vasumitra, dan memberi ramalan pasti
tentang pancapaian Kebuddhaan Beliau.
Identitas Vasumitra juga bisa dilihat dalam bagian pengantar dari kitab Ārya Vasumitra
bodhisattva Sangiti sāstra (Tripitaka Taisho 1549). Kitab ini menjelaskan bahwa Vasumitra adalah calon
Buddha yang bernama Simhacandra setelah Buddha Maitreya. Sebelum menjadi bhiksu namanya adalah
Uttara, dan ayahnya adalah Brahmana Brahmayu. Mengenai Sang Brahmana dan Uttara bisa juga dilihat
dalam Brahmayu Sutta (Majjhima Nikaya 91). Namun dalam Brahmayu Sutta tidak menyinggung soal
Uttara sebagai calon Buddha, dan hanya menyebutkan bahwa Uttara adalah murid Brahmayu, bukan
anaknya. Kendati demikian, adalah hal yang lumrah jika ada brahmana yang begitu menyayangi
muridnya hingga dianggap sebagai anak sendiri. Jadi perbedaan informasi ini tidak menjadi masalah
penting. Brahmayu sendiri pernah memerintahkan Uttara untuk memeriksa apakah Sang Buddha
memiliki 32 tanda fisik manusia unggul. Setelah mengetahui Sang Buddha memilikinya, Brahmayu
kemudian menemui Sang Buddha dan setelah mendengarkan Dharma, beliau meninggal dan terlahir di
alam Suddavasa sebagai Anagami.

Selain itu, yang tidak kalah menariknya adalah ada sebuah kisah yang juga berkaitan dengan
Buddha Simhacandra. Kisah ini tercatat di kitab Jingde Chuandeng Lu (景德傳燈錄; yang berisi catatan
garis silsilah Chan), dalam riwayat Master Chan- Zhifeng (志逢), beliau adalah murid dari Master Chan
Tiantai Deshao (天台德韶) pewaris Chan dari garis silsilah Qingyuan Xingsi (清原行思). Dalam
riwayatnya mengisahkan bahwa Master Zhifeng pernah bermimpi naik ke atas gunung Sumeru dan
bertemu dengan tiga orang suci yang sedang duduk bersamaan. Orang pertama adalah Sang Buddha
Sakyamuni, dan yang kedua adalah Bodhisatva Maitreya. Melihat kedua suciwan tersebut, Master
Zhifeng bersujud memberi hormat. Namun beliau tidak mengenali orang ketiga. Kemudian Sang Buddha
Sakyamuni berkata kepada beliau bahwa orang ketiga ini adalah calon Buddha setelah Maitreya,
namanya adalah Buddha Simhacandra. Setelah itu beliau baru bersujud kepada sang calon Buddha.
Master Zhifeng selama ini belum tahu menahu tentang sosok Buddha Simhacandra. Jadi saat terbangun
dari mimpinya, beliau mencari referensinya di Tripitaka dan membuktikan kebenaran dari apa yang
beliau mimpikan.

Jika Buddha Maitreya muncul di dunia ini pada saat usia kehidupan rata-rata manusia adalah
80.000 tahun (84.000 tahun), maka menurut kitab Fozu Tongji (佛祖統紀; Catatan Sejarah Silsilah
Buddha) Bab 13, Buddha Simhacandra akan muncul pada saat usia rata-rata manusia adalah 70.000
tahun.

Cgik2020
Tripitaka Taisho No. 176


佛說師子月佛本生經
Simhacandra Buddha Jataka-sutra
Penerjemah bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa: tidak diketahui,
Tercatat pada masa Dinasti Qin
Penerjemah bahasa Tionghoa ke bahasa Indonesia: dJoni_Chingik

Demikianlah yang telah aku dengar:

Pada suatu ketika Sang Buddha sedang menetap di Rajagraha, taman bambu Karanda, bersama 1.250
bhiksu dan ratusan bodhisatva.

Pada saat itu, di dalam perkumpulan tersebut terdapat seorang bhiksu-bodhisatva bernama Vasumitra
yang sedang bermain di taman bambu [sambil manjat] naik turun di atas pohon. Beliau [bertingkah]
dengan suara seperti seekor kera, atau [kadang] memegang tiga lonceng, atau membuat permainan
[tarian] Nata. Saat itu, para kepala rumah tangga dan orang yang berjalan melewati lokasi tersebut
datang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Ketika semua orang telah berkumpul, [Vasumitra]
melompat ke udara dan ke atas pohon sambil mengeluarkan suara kera.

[Selain itu] di gunung Grdhakuta terdapat 84.000 kera berwarna emas datang berkumpul di tempat sang
bodhisatva. Sang bodhisatva lalu membuat berbagai jenis [pertunjukkan] transformasi wujud untuk
menghibur mereka. Selanjutnya orang-orang dalam suatu perkumpulan itu berkata, “Sang pertapa putra
Sakya bermain seperti anak kecil untuk mengacaukan pikiran semua orang. Perbuatan buruk demikian
membuat orang kehilangan keyakinan, bahkan ia melakukan hal yang tidak pantas dengan binatang-
binatang tersebut.” Demikianlah kabar miring [tentang Vasumitra] menyebar ke seantero kota
Rajagraha.

[Kemudian] ada seorang brahmana melaporkan hal ini kepada Raja Bimbisara dengan berkata, “Pertapa
putra Sakya berbuat hal yang tidak pantas, membuat permainan [tarian] Nata dengan hewan-hewan.
Setelah mendengar kabar ini, raja menjadi curiga terhadap para putra Sakya, lalu bertanya kepada
Karanda, sang kepala rumah tangga, “Para putra Sakya berkumpul dengan banyak kera. Apa yang
dilakukan mereka di taman Anda? Apakah Sang Tathagata mengetahui hal ini?” Sang kepala rumah
tangga berkata kepada raja, “Vasumitra melakukan berbagai [pertunjukkan] transformasi wujud untuk
menghibur kera-kera tersebut, lalu para dewa menurunkan hujan bunga dan menggunakan bunga
tersebut sebagai persembahan. Namun hamba tidak tahu apa maksud dari perbuatan mereka.”

Pada saat itu Raja Bimbisara diiringi oleh para pengikutnya, mengendarai gajah yang tersohor menuju ke
tempat kediaman Sang Buddha. Setelah tiba di taman bambu Karanda, ia lalu turun dari atas gajah, dan
dari kejauhan ia melihat Sang Buddha sedang berada di atas kutagarasala. TubuhNya berwarna ungu
keemasan dengan tinggi badan 1.6 zhang, dan [memiliki] tiga puluh dua tanda fisik unggul [utama] dan
delapan puluh tanda baik, sedang duduk di atas [singgasana yang terbuat] dari kembang tujuh permata,
memancarkan cahaya yang bagaikan gunung ungu keemasan yang berada di dalam kobaran api yang
dikelilingi oleh cahaya emas, agar para peserta persamuhan sama-sama memiliki warna keemasan.
Demikian juga Yang Arya Vasumitra dan 84.000 kera juga tampak berwarna keemasan.

[Selanjutnya] ketika kera-kera tersebut melihat sang raja, mereka membuat berbagai jenis gerakan, ada
yang bersenandung, atau menari, memukul genderang, dan meniup [terompet] kerang. Di antaranya
ada yang memetik bunga untuk mempersembahkannya kepada sang raja. Setelah raja menyaksikannya,
ia bersama rombongannya menuju ke tempat Sang Buddha, memberi hormat dan berpradaksina
sebanyak tiga kali. Setelah itu ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha, “Oh Bhagava,
berkah kebajikan apa yang telah dilakukan oleh kera-kera ini di masa lampau sehingga memiliki tubuh
berwarna emas? Kemudian kejahatan apa yang telah mereka lakukan sehingga terlahir di alam binatang?
Kemudian berkah kebajikan apa yang ditanam oleh Yang Arya Vasumitra di masa lampau sehingga ia
terlahir di keluarga kepala perumah tangga, dan memiliki keyakinan pada [kehidupan] tanpa rumah
hingga meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk mempraktikkan jalan [Dharma]? Selanjutnya apa
kejahatan [beliau di masa lampau], walaupun terlahir di alam manusia dengan indriya yang lengkap
namun tidak menjalani praktik Sila, [malah] berkumpul dan bergaul dengan kera-kera, membuat suara
nyanyian bagaikan kera, akibatnya para penganut tirtika menertawai kita? Semoga Sang Bhagava
berbelas kasih kepada kami dan berkenan menjelaskannya agar pemahaman kami menjadi terbuka.”

Sang Buddha berkata kepada maharaja, “Dengarkanlah baik-baik, dan renungkan dengan seksama, Aku
akan menjelaskannya kepadamu. Pada masa jutaan kalpa lalu yang tak terhingga, dan masa sebelum itu
muncul seorang Buddha bernama Dipankara, lengkap dengan sepuluh gelarNya. Setelah Buddha
tersebut parinirvana, terdapat para bhiksu yang mempraktikkan ajaran Buddha di wilayah pegunungan.
Mereka memenuhi praktik dutanga dengan berdiam di dalam hutan, teguh dalam praktik Sila bagaikan
orang yang [hati-hati dalam] menjaga matanya. Oleh karena itu mereka seketika itu merealisasi
[kesucian] Arahat, [memperoleh] tiga jenis pengetahuan, enam kekuatan batin, dan delapan
pembebasan. Pada saat itu, ada seekor kera yang berada di tengah rawa terbuka mendatangi kediaman
sang Arahat. Ia melihat Arahat tersebut sedang bermeditasi duduk memasuki dhyana. Kemudian ia
mengambil perlengkapan jubah sang Arahat, mengenakannya dan melipat [jubahnya] ke samping
dengan membiarkan bahu sebelah kanannya terbuka seperti tindakan seorang sramana (pertapa).
Tangannya mengangkat tungku dupa kemudian mengelilingi sang bhiksu [arahat]. Saat itu, sang bhiksu
[arahat] bangkit dari meditasinya, menyaksikan bahwa kera ini memiliki itikad yang baik, maka beliau
tiba-tiba berkata kepada kera tersebut, ‘Putra Dharma, sekarang engkau hendaknya membangkitkan
pikiran jalan pencerahan tertinggi.’ Setelah mendengar [ucapan sang bhiksu], kera itu meluapkan
kegembiraannya, lalu ia bersujud dengan lima titik anggota tubuhnya ke lantai untuk memberi hormat
kepada sang bhiksu. Setelah bangkit [dari sujudnya], ia lalu memetik bunga dan menaburkannya ke atas
sang bhiksu.

Pada saat itu, sang bhiksu memberikan Trisarana kepada kera tersebut dan berkata, “Putra Dharma!
Berhubung sekarang engkau mengikuti praktik ajaran Buddha dari tiga masa, hendaknya bermohon
menerima Trisarana dan Lima Sila.” Kemudian kera itu berdiri, bersikap anjali dan berkata, “Yang Mulia,
kini aku ingin berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha.”
Sang bhiksu lalu berkata, “Engkau hendaknya berlindung pada Buddha, berlindung pada Dharma, dan
berlindung pada Sangha. Dan untuk kedua dan ketiga kalinya juga diucapkan demikian.
‘[Selanjutnya], berlindung pada Buddha, sekian, berlindung pada Dharma, sekian, berlindung pada
Sangha, sekian.’ Untuk kedua dan ketiga kalinya juga diucapkan demikian.

“Selanjutnya hendaknya bertobat.” Lalu [sang bhiksu] berkata kepada kera itu, “Pada masa kehidupan
lampau sebanyak kalpa tak terhingga yang lalu, engkau telah melakukan berbagai jenis kejahatan yang
memenuhi sepuluh perbuatan jahat, yaitu keserakahan, kebencian, kebodohan batin, pandangan salah,
iri hati, sombong, fitnah, melanggar Sila. Melakukan lima pelanggaran berat, memfitnah Sutra Vaipulya,
berbuat asusila dengan bhiksuni, mencuri benda milik Sangha, melakukan banyak kejahatan berat yang
tak terhitung dan terbatas. Sekarang adalah kelahiranku yang terakhir, tiada lagi kelahiran berikutnya.
Maha-arahat dapat mengikis karma berat yang tak terhitung dari para makhluk hidup. Mengapa
demikan? Sejak awal kelahiranku telah membawa serta welas asih agung. Para makhluk suci dan mulia
dari tiga masa kehidupan juga demikian, telah membawa serta welas asih agung untuk terlahir di dunia.”

Demikianlah [sang bhiksu] dengan penuh perhatian menjelaskan bagaimana untuk terbebas dari karma
buruk melalui pertobatan sebanyak tiga kali kepada sang kera. Setelah pertobatan, ia berkata kepada
kera itu, “Putra Dharma! Kini engkau telah menjadi murni dan disebut [telah menjalani] upavasatha.
Mulai hari ini hingga akhir hayat engkau menerima Sila tidak membunuh. Para Buddha dan Arahat dari
tiga masa melalui perbuatan, ucapan dan pikiran yang murni selamanya tidak melakukan tindakan
membunuh, demikian juga dengan engkau.”

Selanjutnya, kera itu berkata kepada sang Arahat, “Aku bertekad untuk menjadi Buddha. Dengan
mengikuti ucapan Yang Mulia, mulai sekarang hingga mencapai Kebuddhaan aku selamanya tidak akan
membunuh makhluk hidup.” Setelah sang Arahat mendengar ucapan kera itu, ia merasa bersukacita
lalu memberikannya Lima Sila [dan berkata],”Putra Dharma! Mulai hari ini hingga akhir hayat, engkau
[hendaknya] mengikuti ajaran Buddha. Para Buddha dan kelompok Sravaka dari tiga masa memiliki
perbuatan melalui tubuh yang murni, [mereka] selamanya tidak membunuh makhluk hidup,
menjalankan Sila tidak membunuh. Demikian juga dengan engkau, hingga akhir hayat ini menjalankan
Sila tidak membunuh, apakah [engkau] sanggup menjalankannya?” Kera menjawab, “Aku sanggup
menjalankannya.” Berikutnya juga menjalankan [Sila] tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak
berbohong, tidak minum minuman keras, sama seperti kaidah di atas. Setelah [kera itu] menerima Sila,
sang Arahat berkata, “Engkau hendaknya membangkitkan tekad. Engkau adalah makhluk hewan yang
muncul dengan tubuh yang mengalami halangan [mempraktikkan] jalan, namun gigih dan
bersemangatlah mencari [realisasi] Anuttarasaymaksambodhi.”

Setelah kera itu membangkitkan tekad, ia meluapkan kegembiraannya sambil berjalan menuju ke atas
gunung. Ia menari-nari di atas pohon [namun karena] terjatuh ke tanah [mengakibatkan ia] tewas.
Sehubungan dengan Lima Sila yang ia terima dari sang Arahat, maka setelah kematiannya ia
menghancurkan karma alam binatang dan terlahir kembali di alam surga Tusita. Di sana ia langsung
bertemu dengan seorang bodhisatva-ekajatipratibaddha (bodhisatva yang menyisakan satu kelahiran
lagi untuk merealisasi Pencerahan Sempurna). Sang bodhisatva lalu mengajarinya tentang pikiran jalan
pencerahan tertinggi. Kemudian ia membawa bunga surgawi turun ke tengah rawa terbuka untuk
mempersembahkannya kepada sang Arahat. Saat melihatnya, sang Arahat tersenyum dan berkata,
“Rajadewa! Buah akibat dari perbuatan baik dan jahat bagaikan bayangan mengikuti bentuknya, tidak
pernah saling terpisah.” Selanjutnya sang Arahat mengucapkan syair:

Karma dapat menghiasi tubuh di setiap tempat sesuai dengan alam yang dituju.
Ia tidak akan hilang bagaikan tanda bukti, dan karma juga bagaikan orang yang memiliki harta.
Kini engkau terlahir di alam surga, yang disebabkan oleh karma dari [menjalankan] Lima Sila,
yang kehidupan sebelumnyaa adalah seekor kera karena pernah melanggar substansi Sila.
Menjalankan Sila melahirkan tangga [menuju] surga, sedangkan melanggar Sila [mengalami siksaan
neraka] yang dimasak dengan kuah [mendidih].
Aku menyaksikan orang yang menjalankan Sila, tubuhnya dihiasi dengan cahaya.
Gedung yang megah dengan hiasan tujuh permata yang dihadiahkan oleh para dewa.
Ranjangnya terbuat dari berbagai jenis permata, dan dihiasi dengan mutiara Mani, bunga, dan keyura.
Bertemu dengan Buddha yang akan datang, ia digembirakan dengan pembabaran Dharma yang unggul.

Aku menyaksikan orang yang melanggar Sila terjatuh ke alam neraka,


[Tampak] besi bajakan membajak lidah mereka,
[kemudian] terbaring di atas ranjang besi, cairan tembaga mengalir di keempat sisinya,
membakar dan memasak hingga menghancurkan tubuhnya.
Atau ada yang ditempatkan di gunung pisau, hutan pedang dan kotoran yang mendidih,
[atau berada di] neraka dingin dengan sungai nan kelam, [menelan] pil besi dan meminum tembaga
yang meleleh.
Mereka terus mengalami penderitaan demikian seperti [perhiasan] keyura yang selalu dikenakan di
tubuh mereka.

Jika ingin terbebas dari berbagai penderitaan, tidak terjatuh ke tiga alam buruk, dan
derdiam, berjalan di alam surga, bahkan melampauinya hingga tercapainya kebahagiaan nirvana,
maka tekunlah menjalankan Sila secara murni, berdana, dan mempraktikkan kehidupan suci.”

Setelah selesai mengucapkan syair tersebut, sang Arahat berdiam diri. Dewaputra kera lalu berkata,
“Yang Mulia, karma buruk apa yang aku lakukan di kehidupan lampau sehingga terlahir kembali sebagai
seekor kera? Kemudian berkah kebajikan apa sehingga dapat bertemu dengan Yang Mulia, terbebas dari
alam binatang dan terlahir kembali di alam dewa?” Sang Arahat menjawab, “Sekarang engkau dengarlah
baik-baik, dan renungkanlah dengan seksama. Pada masa [kehidupan] lampau, di Jambudvipa ini, ada
seorang Buddha muncul di dunia ini dengan nama Ratnamati Tathagata, Arahat, Samyaksambuddha,
lengkap dengan sepuluh gelarNya. Setelah [Buddha tersebut] parinirvana dengan tiga jenis
pertunjukkanNya, dan [saat memasuki] masa Dharma-tiruan, terdapat seorang bhiksu bernama
Padmagarbha. Ia banyak menjalin pergaulan dengan para raja, kepala rumah tangga dan upasaka,
[namun] karena menjalani penghidupan yang salah, bersikap munafik, tidak menjalani Sila, dan sifatnya
yang suka menipu, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematiannya, secepat seorang kuat
merentangkan lengannya yang tertekuk, ia terlahir kembali di alam neraka besar, Avici. Tubuhnya
bertebaran di delapan belas bilik [neraka] bagaikan bunga teratai yang mekar. Kemudian turun hujan
bola api panas [menghantam] masuk dari atas kepalanya, dan terdapat ratusan ribu roda besi panas
membara turun dari atas angkasa. Usia kehidupan di neraka Avici yang jumlahnya tak terhitung dan tak
terbatas adalah satu kalpa. Setelah usia kalpanya habis, ia hidup kembali lagi, dan demikian seterusnya
melewati berbagai neraka besar tersebut [satu per satu] selama 84.000 kalpa. Begitu keluar dari alam
neraka, ia terlahir kembali di alam hantu kelaparan [yang hidupnya] dari meminum tembaga meleleh
dan menyantap bola besi panas. Setelah melewati 84.000 kalpa, ia keluar dari alam hantu kelaparan dan
[terlahir kembali] menjadi sapi sebanyak 500 kehidupan. Selanjutnya sebanyak 500 kehidupan lagi ia
[terlahir] menjadi unta, selanjutnya 500 kehidupan ia terlahir menjadi babi, 500 kehidupan ia terlahir
menjadi anjing, 500 kehidupan ia terlahir menjadi kera. Berhubung ia telah pernah memberi
persembahan kepada bhiksu yang menjalankan Sila, [pernah] bertekad agar dapat bersua kembali
[dengan sang bhiksu], maka kini ia kembali bertemu dengan aku dan memperoleh siraman [Dharma]
yang jernih sehingga dapat terlahir kembali di alam dewa. [Ketahauilah] bahwa bhiksu yang
menjalankan Sila tersebut adalah diriku, sedangkan bhiksu yang lengah itu adalah engkau.
Kemudian setelah mendengar ucapan ini, sang dewaputra kera merasa gentar dan bulu kuduknya
berdiri. Ia lalu bertobat atas perbuatan jahatnya di masa lampau, setelah itu ia kembali ke alam surga.
Sang Buddha berkata kepada raja, “Meskipun kera tersebut adalah makhluk hewan, namun begitu
melihat sang Arahat dan menerima Trisarana dan Lima Sila, maka atas jasa kebajikan ini telah
membuatnya melampaui karma buruk yang sangat berat selama ribuan kalpa, dan dapat terlahir
kembali di alam surga, bertemu langsung dengan bodhisatva-ekajatipratibaddha. Dan semenjak itu ia
bertemu dengan Buddha yang jumlahnya tak terhitung, mempraktikkan penghidupan suci, memenuhi
praktik enam penyempurnaan (sadparamita), berdiam di dalam samadhi Shurangama, berdiam di tahap
tidak mundur, lalu pada kelahirannya yang terakhir setelah Maitreya, ia akan merealisasi
Anuttarasamyaksambodhi (pencerahan yang lengkap dan sempurna), dan [pada masa itu] rajanya
bernama Ratnaprabha, alamnya memiliki kemurnian bagaikan surga Travatimsa. Para makhluk yang
terlahir di alam tersebut semuanya mempraktikkan sepuluh kebajikan dan memiliki Sila tanpa celah.
Gelar Buddha-nya adalah Sang Tathagata Simhacandra (Bulan Singa), arahat, samyaksambuddha, vidya-
carana-sampanna, sugata, lokavid, anuttara, purusa-damya-sarathi, shasta deva-manusyam, buddha,
bhagava. Jika ada makhluk yang mendengar nama Buddha tersebut, maka dalam setiap alam
kelahirannya akan terhindar dari alam binatang, dan dapat mengikis karma buruk samsara selama kalpa
yang tak terhitung.”

Sang Buddha berkata kepada maharaja, “[Apakah engkau] ingin mengetahui [siapakah] Buddha
Simhacandra dari negeri tersebut? Dia adalah Bhiksu Vasumitra yang berada di dalam persamuhan ini
sekarang.” Pada saat Raja Bimbisara mendengar ucapan ini, ia langsung berdiri sambil bersikap anjali,
sekujur tubuhnya bercucuran keringat, dengan terisak sedih dan air matanya jatuh berderai, ia
menyesalinya dan merasa bersalah. Kemudian ia mensujudkan kepalanya ke lantai di hadapan
Vasumitra, sambil memegang kaki [Vasumitra], ia bertobat atas kesalahannya. Sang Buddha berkata
kepada maharaja, “[Apakah engkau] ingin mengetahui tentang ke-84.000 kera emas tersebut? Pada
zaman [kemunculan] Buddha Krakucchanda di masa lampau, terdapat kerajaan Varanasi dan Kausambi.
Dalam kedua kerajaan ini terdapat 84.000 bhiksuni. Mereka berbuat hal yang bertentangan dengan
Dharma, menjadi utusan yang membawa pesan kepada para perumah tangga, melakukan berbagai
pelanggaran berat, menghiasi tubuh mereka bagaikan Gandarbha wanita yang tidak memiliki rasa malu,
perbuatan asusila dijadikan seperti perhiasan gelang bagi mereka, berbagai pelanggaran Sila berat
dijadikan seperti kalung bunga, mengibarkan bendara kesombongan, menabur genderang keangkuhan,
memainkan kecapi kemalasan, memuji senandung kejahatan, diliputi kebodohan akut dan tidak memiliki
kebijaksanaan bagaikan kera yang dungu, melihat bhiksu yang baik dan memiliki moralitas malah
dipandang seperti maling.

Pada saat itu terdapat seorang bhiksuni bernama Suksema yang telah mencapai kearahatan, [menguasai]
tiga jenis pengetahuan, enam kekuatan batin, dan delapan pembebasan. Beliau berkunjung ke tempat
para bhiksuni dan mengatakan, “kakak, saat Sang Bhagava berada di dunia ini Beliau kerap
mengucapkan syair ini:

Jika ada bhiksuni yang tidak mempraktikkan delapan peraturan Garudhamma,


Ia bukanlah wanita keturunan Sakya , [dan ia] bagaikan [kasta] Candala.
Jika ada bhiksuni yang malas dan melanggar delapan peraturan keras,
Maka ketahuilah bahwa ia adalah perampok besar di antara semua dewa dan manusia.
Ia selamanya akan berada di alam neraka merasakan [penderitaan] di delapan belas bilik neraka.
Tiga alam sengsara lainnya menjadi taman kediamannya sendiri
Selama ratusan ribu hingga tak terhitung kalpa, ia tidak dapat mendengar nama Triratna.
Memakan bola besi yang membara dan memeluk tiang tembaga di neraka dingin
Setelah hukuman karma ini berakhir, ia terlahir kembali menjadi burung dara,
ular berbisa, musang, kelabang, kaki seribu, dan lainnya.
Demikianlah ia akan mengalami kelahiran dalam beragam jenis binatang.

Saat itu, setelah para bhiksuni mendengar syair dari sang bhiksuni Arahat, pikiran mereka dipenuhi
kebencian, dan memarahi [sang bhiksuni arahat] dengan berkata, “Dari manakah si kera tua yang
mengucapkan kata-kata jahat dan bohong tentang neraka ini?” Kemudian sang Arahat melihat orang-
orang jahat ini memunculkan pikiran tidak bajik, maka ia membangkitkan tubuh welas asihnya, terbang
ke atas angkasa sambil mengubah tubuhnya sebanyak delapan belas transformasi. Setelah orang-orang
jahat ini menyaksikan transformasi [gaib] ini, masing-masing dari mereka melepaskan gelang emas
untuk ditaburkan ke atas sang Arahat, sambil berkata,”Semoga dalam setiap kelahiranku memiliki tubuh
berwarna emas. Kejahatan yang telah aku lakukan sebelumnya kini [aku] menyesalinya dan bertobat.
Semoga dengan welas asihmu dapat mengasihani kami dan berkenan menerima persembahan kami.”
Kemudian sang bhiksuni Arahat turun dari angkasa dan menerima berbagai persembahan dari para
wanita jahat tersebut. Pada saat itu, setelah orang-orang jahat tersebut mengalami kematian maka
mereka terlahir kembali di alam neraka Avici, bagaikan bunga teratai yang mekar, mereka bertebaran di
seantero neraka, dan begitu juga mereka harus mengalami [penderitaan] di delapan belas neraka
lainnya.

Masing-masing dari usia kehidupan di berbagai neraka tersebut adalah tepat satu kalpa, dan demikian
seterusnya mereka menempati neraka tersebut selama sembilan puluh dua kalpa. Setelah keluar dari
alam neraka, selama lima ratus kehidupan terus terlahir sebagai hantu kelaparan. Setelah keluar dari
alam hantu kelaparan, selama seribu kehidupan terus terlahir sebagai kera dengan tubuh berwarna
emas. Ketahuilah maharaja, pada saat itu, kedelapan puluh empat ribu bhiksuni pelanggar Sila yang
memarahi sang Arahat adalah delapan puluh ribu kera berwarna emas yang berada di dalam
persamuhan sekarang ini. Saa itu, orang yang memberi persembahan kepada para bhiksuni jahat
tersebut adalah [engkau], maharaja sekarang ini. Sehubungan dengan sifat kebiasaan masa lampau dari
kera-kera tersebut, maka sekarang mereka membawa bunga dan wewangian untuk
mempersembahkannya kepada maharaja. Pada saat itu, orang yang menodai bhiksuni [yang mematuhi]
Sila tersebut adalah Kokalika dan lima ratus pandaka (kaum homo) kerajaan. Sang Buddha berkata
kepada maharaja, “Perbuatan melalui tubuh, ucapan dan pikiran tidak boleh tidak diwaspadai.”
Kemudian Sang Bhagava mengucapkan syair:

Sila adalah obat amrta, mereka yang meminumnya tidak [mengalami] tua dan mati.
Dengan mengandalkan kualitas Sila, buah berkah kebajikan akan selalu mengikuti sang insan sendiri.
Menjalankan Sila memperoleh kedamaian, di alam kelahiran manapun tidak akan mengalami petaka.
Dan juga akan dapat bertemu dengan para Buddha, menerima ajaran hingga mencapai pembebasan.
Melanggar Sila akan terjatuh ke alam neraka, bagaikan kera-kera ini,
selalu berada di alam kelahiran yang hina dan rendah, hingga berakhirnya penderitaan di alam neraka.
Dengarkanlah dengan seksama oh maharaja, hentikan kejahatan dan praktikkan semua kebajikan.

Setelah Raja Bimbisara mendengar syair ini, ia melakukan pertobatan di hadapan Sang Buddha dengan
rasa malu dan mengakui kesalahan sendiri, kemudian tiba-tiba menjadi terbuka pemahamannya
sehingga ia mencapai [kesucian] Anagami. Delapan ribu pengikut raja kemudian bermohon kepada raja
untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga, dan raja mengizinkannya. Sang Buddha berkata, “
Kemarilah, bhiksu!” lalu rambut mereka terjatuh dengan sendirinya, dan jubah dikenakan ke tubuh
mereka, maka mereka pun menjadi samana (pertapa). Mereka bersujud di kaki Sang Buddha, dan sesaat
sebelum mengangkat kepala, mereka mencapai [kesucian] Arahat, menguasai tiga jenis pengetahuan,
enam kekuatan batin, dan delapan pembebasan. Enam belas ribu orang yang dibawa oleh raja
semuanya membangkitkan [aspirasi merealisasi] Anuttarasamyaksambodhi. Demikian juga ada sebanyak
delapan puluh ribu dewa membangkitkan batin yang sama. Setelah delapan puluh empat ribu kera emas
mendengar sebab musabab kejadian masa lampau, mereka merasa malu dan menyalahi diri sendiri,
kemudian mereka mengelilingi Sang Buddha sebanyak seribu kali dan bertobat di hadapan Sang Buddha.
Masing-masing dari mereka juga membangkitkan pikiran Anuttarasamyaksambodhi. Kemudian masing-
masing dari mereka wafat sesuai denga panjang pendeknya usia kehidupan mereka. Setelah wafat,
mereka terlahir kembali di alam surga Tusita dan bertemu langsung dengan Bodhisatva Maitreya.
Selanjutnya praktik mereka semakin meningkat hingga mencapai tahap tidak mundur.

Saat itu, setelah Yang Arya Maha Kasyapa melihat kejadian ini, ia lalu berkata kepada kelompok
persamuhan, “Praktik kesucian bodhisatva dapat membuat binatang membangkitkan jalan [spiritual].
Vasumitra saja dapat melakukan aktivitas Buddha yang begitu besar, apalagi dengan bodhisatva lainnya
yang memiliki kualitas kebajikan yang tak terhitung?”

Kemudian para dewaputra, dewa gunung, dewa bumi, beserta delapan kelompok dewa, naga dan
makhluk supranatural, menyaksikan kera-kera yang membangkitkan bodhicitta tersebut akan terlahir
kembali di alam surga dan mencapai tahap tidak mundur,muncul rasa sukacita dalam pikiran mereka,
lalu berkata kepada Sang Buddha,”Kapan kera-kera ini akan merealisasi Kebuddhaan?”

Sang Buddha berkata kepada para peserta persamuhan, “Setelah melewati kalpa sebanyak jumlah pasir
dari seratus trilyun nayuta asankheya sungai Gangga [yang akan datang], ada kalpa yang bernama
Mahaprabha, mereka akan mencapai Kebuddhaan di kalpa tersebut. Delapan puluh empat ribu Buddha
akan muncul di dunia secara bergantian yang sama-sama selama satu kalpa, dan semuanya memiliki
gelar yang sama, yaitu Sang Tathagata Samanthasvarnaprabhasaraja, arahat, samyaksambuddha, vidya-
carana-sampanna, sugata, lokavid, anuttara, purusa-damya-sarathi, shasta deva-manusyam, buddha,
bhagava.

Saat itu, para peserta persamuhan mendengar Sang Buddha-bhagava memberi vyakarana (ramalan pasti)
kepada kera-kera tersebut, mereka melepaskan perhiasan yang berkualitas menakjubkan untuk
dipersembahkan kepada Sang Tathagata dan para bhiksu Sangha. Secara serentak mereka memuji
kualitas praktik yang tak hitung dari Sang Bhagava, “Sang Tathagata muncul di dunia ini sungguh demi
kera-kera tersebut. Bagus sekali, Bhagava! Kera mendengarkan Dharma saja dapat mencapai
Kebuddhaan, apalagi dengan kami, mana mungkin tidak akan mencapai Kebuddhaan di masa
mendatang?”

Setelah para peserta persamuhan mendengar pembabaran Sang Buddha, mereka dengan sukacita
melaksanakannya, lalu memberi hormat dan mengundurkan diri.

----------------

Anda mungkin juga menyukai