Anda di halaman 1dari 32

Anamnesis

1. Identitas Pasien
a) Nama : Ny. Ode (wanita)
b) Usia : 30 tahun
2. RPS
a) KU : kepala terasa pusing berputar
b) Onset : mendadak sebelum masuk rumah sakit
c) Durasi : + 10 menit
d) Kualitas : pusing seperti berputar
e) Kuantitas :
f) Faktor >> : perubahan posisi (tidur  duduk)
g) Faktor << : berdiam beberapa lama
h) Gejala lain : Mual, muntah, keringat dingin saat pusing, Keluhan
pandangan ganda, pendengaran berkurang dan telinga terasa penuh
disangkal
3. RPD
a) 4 hari sebelum merasa pusing berputar, Ny. Ode mengalami demam, batuk,
pilek tetapi kemudian merasa sembuh setelah minum parasetamol dan
istirahat
b) Riwayat terbentur pada daerah kepala dan kejang disangkal
4. RPK
Tidak ada informasi mengenai keluarga
5. RSE
Kebiasaan merokok dan minum alkohol disangkal

Klarifikasi Istilah
1. Pusing berputar
Keluhan subyektif dalam bentuk rasa berputar dari tubuh/kepala atau
lingkungan sekitarnya, disebut juga vertigo. Vertigo merupakan suatu ilusi
gerakan; perasaan ilusi bahwa sepertinya lingkungan atau tubuhnya sendiri
berputar; dapat diakibatkan oleh penyakit pada telinga dalam atau oleh
gangguan pusat-pusat vestibular atau jaras-jarasnya di dalam system system
saraf pusat. Istilah ini sering digunakan secara salah untuk menyatakan pusing
(Dorland, 2002).
2. Mual-muntah
a. Mual
Suatu sensasi tidak menyenangkan yang secara samar dialihkan ke
epigastrium dan abdomen, serta sering memuncak dengan muntah
(Dorland, 2002).
b. Muntah
Refleks perlindungan yang berpusat di medulla oblongata. Refleks untuk
mencegah kerusakan lambung dan semua organism dari keracunan.
Walaupun demikian, muntah yang terus-terusan disertai oleh kehilangan
asam lambung dan mengakibatkan alkalosis non respiratori dan gangguan
keseimbangan cairan (Despopoulus, 1998).

Identifikasi masalah
1. Mekanisme perubahan posisi menyebabkan pusing berputar
2. Hubungan mual, muntah, keringat dingin saat pusing
3. Hubungan pendengaran menurun dan telinga penuh
4. Hubungan demam, batuk, pilek dengan keadaan pasien sekarang
5. Anatomi keseimbangan
6. Fisiologi keseimbangan
7. Motion of sickness

Informasi I
1. RPD
a. Riwayat penyakit yang sama pernah diderita
b. Riwayat penyakit jantung disangkal
c. Riwayat penyakit DM disangkal
d. Riwayat penyakit hipertensi disangkal
2. RPK
a. Riwayat penyakit yang sama disangkal
b. Riwayat penyakit jantung disangkal
c. Riwayat penyakit DM disangkal
d. Riwayat penyakit hipertensi disangkal

Informasi II
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kuantitatif : GCS E4 M6 V5
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N : 84 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit
T : 36,3o C
Kepala : mesochepal, tanda trauma (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, reflek cahaya
+/+, Pupil isokor diameter 2 mm/2 mm
Leher : dbn
Jantung : dbn
Paru : dbn
Abdomen : dbn

Informasi III
Pemeriksaan Neurologis :
Tanda rangsang meningeal (-)
Nervus Cranialis : N. VIII (N. akustikus)
Fungsi vestibuler :
a. Nylen barany test :+
b. Romberg test :+
c. Tandem gait : Baik
d. Past pointing test : baik
Pemeriksaan sensibilitas : dbn
Reflek fisiologis : + normal
Reflek patologis :-
Pembahasan PBL 5.1
1. Motion of sickness
Motion sickness  diikuti oleh mual dan muntah  yang ditimbulkan akibat
rangsangan terhadap apparatus vestibular adalah yang tidak biasa (misalnya di
laut)  makin parah jika kepala digerakkan  ketidaksesuaian input mata
dengan input vestibular (Despopoulus, 1998).
2. Hubungan demam, batuk, pilek dengan keadaan pasien sekarang
Demam, batuk, pilek (gejala influenza)  etiologi : virus/bakteri  menyebar
secara hematogen  vestibular di telinga  gangguan keseimbangan.
3. Mengapa ditanyakan riwayat hipertensi
a. Gangguan keseimbangan juga berhubungan dengan masalah vaskuler atau
aliran darah dikarenakan pada perjalanan apparatus vestibularis akan
mempengaruhi autonomic centre yang berperan dalam pengaturan system
vaskularisasi.
b. Hipertensi  tekanan darah sistemik meningkat  aliran darah otak
meningkat  meningkatkan tekanan intrakranial  menekan struktur peka
nyeri  nyeri kepala
4. Past pointing test
Pemeriksaan fungsi serebelum : past pointing test, dilakukan dengan
merentangkan tangan diangkat tinggi, kemudian telunjuk menyentuh telunjuk
yang lain dengan mata tertutup. Tes jari hidung, dilakukan dalam posisi duduk,
pasien diminta menunjuk hidung dengan jari dalam keadaan mata terbuka dan
tertutup.Pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan lengan penderita
ke arah lesi (Soepardi, 2008).
5. Romberg Test
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbuka kemudian tertutup. Biarkan posisi seperti ini selama 20-30 detik. Harus
dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya
dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler,
badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi,
pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada krlainan
serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun
pada mata tertutup (Wreksoatmodjo, 2004).
6. Tandem Gait
Penderita bergerak lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakan pada ujung jari
kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler, perjalanannya akan
menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.

Sasaran Belajar
1. Nylen Barany Test
2. Anatomi organ keseimbangan
3. Fisiologi organ keseimbangan
4. Gangguan dan Karakteristik gangguan vestibuler dan non-vestibuler
5. BBPV
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Faktor risiko
d. Etiologi
e. Tanda dan Gejala
f. Patogenesis
g. Patofisiologi tanda dan gejala
h. Tehnik pemeriksaan dan interpretasi
i. DD
j. Pemeriksaan Penunjang
k. Penatalaksanaan
l. Prognosis
m. Komplikasi
6. Mekanisme perubahan posisi menyebabkan pusing berputar
7. Hubungan mual, muntah, keringat dingin saat pusing
8. Hubungan pendengaran menurun dan telinga penuh
9. Hubungan demam, batuk, pilek dengan keadaan pasien sekarang

Pembahasan PBL 5.2


1. Nylen Barany Test (Uji Dix Hallpike)
Tes Nylen-barany membantu membedakan nistagmus posisional jinak dari
penyebab sentral. Caranya: Pasien duduk di tepi tempat tidur membelakangi
pemeriksa, pasien digerakkan dari posisi duduk ke posisi berbaring ke
belakang sampai kepala sekitar 45 derajat di bawah bidang horisontal dari
ranjang pasien. Tes ini diulangi dengan kepala ekstensi dan menengok ke kiri
serta ke kanan. Amati adanya nistagmus dan keluhan vertigo.
Tes ini dapat memperkuat diagnosis BPPV tetapi tes yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis karena gejalanya dapat intermiten dan tidak selalu
kambuh meskipun kepala diletakkan pada posisi yang terganggu.

2. Anatomi organ keseimbangan


Telinga terdiri atas 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Selain berfungsi sebagai organ pendengaran, telinga juga berperan
sebagai alat keseimbangan tubuh manusia. Telinga dipersarafi oleh saraf
cranial VII (N. Vestibulocochlearis) yang terbagi menjadi N. Vestibularis yang
bertugas mempertahankan keseimbangan tubuh dan N. Cochlearis yang
bertugas menyalurkan impuls pendengaran ke lobus temporal korteks serebri.
Bagian-bagian telinga yaitu: Telinga luar terdiri atas auricula yang merupakan
lempeng tulang rawan elastis tipis dilapisi kulit yang berfungsi mengumpulkan
getaran udara dan meatus acusticus externus yang merupakan suatu saluran
berbentuk tabung berkelok yang menghubungkan dan menyalurkan gelombang
suara dari auricula ke membrana tympani (Snell, 2006).
Telinga tengah merupakan suatu ruangan (celah) sempit berisi udara di dalam
pars petrossus os temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruangan ini
berisi tulang-tulang pendengaran (os maleus, os incus, dan os stapes) yang
berfungsi menyalurkan getaran dari membrana tympani ke perilimfe telinga
dalam. Selain itu di ruangan telinga tengah juga terdapat saluran eustachius
(tuba auditiva) yang menghubungkan telinga dalam dengan nasofaring dan
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum tympani dengan
nasofaring (Snell, 2006).
Telinga dalam merupakan bagian paling medial dari organ telinga yang terdiri
atas labyrinthus osseus yang tersusun atas sejumlah rongga di dalam tulang dan
labyrinthus membranaceus yang tersusun atas sejumlah saccus dan ductus
membranosa di dalam labyrinthus osseus. Labyrinthus osseus terdiri dari
vestibulum yang di dalamnya terdapat sacculus dan utriculus labyrinthus
membranaceus, canalis semicircularis yang di dalamnya terdapat ductus
semicircularis, dan cochlea (rumah siput). Sementara labyrinthus
membranaceus merupakan struktur yang terletak di dalam labyrinthus osseus
dan berisi endolimfe yang dikelilingi perilimfe. Struktur paling utama yang ada
pada labyrinthus membranaceusi adalah utriculus dan sacculus. Sacculus
merupakan struktur berbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus yang
merupakan bagian terbesar dari 2 buah sacculus yang ada. Canalis
semicircularis bersama dengan sacculus dan utriculus membentuk apparatus
vestibularis yang berfungsi untuk mendeteksi posisi dan gerakan kepala serta
penting untuk keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala, mata, dan tubuh.
Sedangkan cochlea berperan pada proses pendengaran pada manusia (Snell,
2006).
Gambar 1. Anatomi Telinga

3. Fisiologi organ keseimbangan


Keseimbangan tubuh manusia diatur oleh integrasi sistem dan organ tubuh,
yaitu sistem visual, sistem somatosensorik, dan sistem vestibuler.
a. Visual
Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan akan
terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada
titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor
tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Penglihatan juga
merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita
berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan
mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan
muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak
pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau
bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga
memberikan kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh (Sherwood, 2001).
b. Sistem vestibular
Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting
dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor 
sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular
meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem
sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine
mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan sudut.
Kanalis semisirkularis akan mendeteksi percepatan atau perlambatan
anguler/rotasi kepala dalam 3 aksis: mengangguk, menggeleng, dan posisi
mendekatkan telinga pada pundak (Sherwood, 2001).
Semua komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe dan
dikelilingi perilimfe. Masing-masing komponen vestibularis memiliki sel-
sel rambut yang berespon terhadap perubahan bentuk mekanis yang
disebabkan oleh gerakan endolimfe. Sel-sel rambut reseptif ini terletak pada
ampula, yakni pembesaran di pangkal kanalis. Rambut-rambut ini terbenam
dalam lapisan gelatinosa, yaitu kupula (Sherwood, 2001).
Pada saat kepala bergerak, saluran serta bagian-bagian yang melekat pada
tulang akan ikut bergerak sesuai dengan arah rotasi. Namun cairan
endolimfe memiliki sifat inersi (lembam) sehingga awalnya cairan ini
tertinggal di belakang. Gerakan ini menyebabkan kupula condong ke arah
berlawanan arah rotasi. Selanjutnya sel-sel rambut terstimulasi dan
meneruskan impuls ke saraf aferen untuk membuat refleks pada otot-otot
postural di leher, tubuh, dan ekstremitas untuk mencegah kehilangan
keseimbangan (Sherwood, 2001).
c. Somatosensoris
Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-
kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis
medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju
serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan talamus. Kesadaran akan posisi berbagai bagian
tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat
indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf
yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari alat indra
ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain , serta otot di proses di
korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Sherwood,
2001).

4. Gangguan dan Karakteristik gangguan vestibuler dan non-vestibuler


Berdasarkan gejalanya yang menonjol/klinis, vertigo dapat dibagi atas
beberapa kelompok penyakit :
a) Vertigo yang paroksismal
b) Vertigo yang kronis
c) Vertigo yang serangannya mendadak/akut, berangsur-angsur mengurang

Tabel 1. Jenis-Jenis Vertigo


Jenis Vertigo Disertai Keluhan Tidak Disertai Timbul Karena
Berdasarkan Telinga Keluhan Telinga Perubahan Posisi
Awitan
Serangan
Vertigo Penyakit Meniere, TIA arteri Benign
paroksismal tumor fossa cranii vertebro-basilaris, paroxysmal
posterior, transient epilepsi, vertigo positional vertigo
ischemic attack akibat lesi (BPPV)
(TIA) arteri lambung
vertebralis
Vertigo Otitis media Kontusio serebri, Hipotensi
kronis kronis, meningitis sindroma paska ortostatik, vertigo
tuberkulosa, tumor komosio, multiple servikalis
serebelo-pontine, sklerosis,
lesi labirin akibat intoksikasi obat-
zat ototoksik obatan
Vertigo akut Trauma labirin, Neuronitis -
herpes zoster vestibularis,
otikus, labirinitis ensefalitis
akuta, perdarahan vestibularis,
labirin multipel sklerosis

Ada pula yang membagi vertigo menjadi :


1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler.
2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual.

Tabel 2. Gangguan & Karakteristik Vertigo Vestibuler/Nonvestibuler

No Gejala dan tanda Perifer Sentral

1. Sifat vertigo Rasa berputar Hilang keseimbangan


2. Onset Mendadak Bertahap/mendadak
3. Episodik/kontinyu Episodik Kontinyu
4. Berhubungan Ya Tidak
dengan perubahan
posisi
5. Mual/muntah Ada Tidak
6. Intensitas vertigo Mencolok Sering ringan
7. Tinitus &/ Sering terdapat Biasanya jarang
pendengaran
kurang
8. Nistagmus a. Tidak pernah a. Dapat
menetap > berlangsung lama
beberapa minggu b. Horisontal/
b. horizontal vertikal
c. Antar kedua
c. mengenai mata bisa saling
kedua mata berbeda
d. Berubah arah
d. tidak berubah dengan perubahan
arah dengan arah pandang
perubahan arah
9. Gejala neurologik pandang
10. Gerakan pencetus Tidak ada
11. Situasi pencetus Gerakan kepala Sering
Tidak ada Gerakan visual
Keramaian

5. BBPV
a) Definisi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah vertigo yang
bersifat paroksismal, yaitu hilang timbul dan berlangsung hanya beberapa
saat. Vertigo ini diakibatkan adanya perubahan posisi kepala secara cepat
dan tiba-tiba, berulang, dan sering disertai dengan nistagmus (Lempert,
2009).

b) Epidemiologi
BPPV adalah jenis vertigo vestibuler perifer yang paling umum ditemukan
yakni 75 % dari persentase kasus dan merupakan salah satu penyebab
terbanyak dari serangan vertigo yang tiba-tiba. Wanita memiliki angka
kejadian yang sedikit lebih besar daripada pria. BPPV mempunyai
predileksi lebih tinggi pada populasi yang lebih tua yaitu sekitar usia 50-
70 tahun dengan rata-rata onset pada umur 51 tahun. BPPV dapat
ditemukan pada orang dengan usia kurang dari 35 tahun jika ada riwayat
cedera kepala. BPPV kanal posterior merupakan tipe terbanyak dari
seluruh BPPV (Lempert, 2009).

c) Faktor risiko
1) Umur > 60 tahun,
2) Adanya gangguan telinga dalam (vestibuler),
3) Riwayat trauma kepala,
4) Riwayat neurolabirintitis,
5) Riwayat neuritis vestibuler,
6) Riwayat penyakit Meniere (Lempert, 2009).
d) Etiologi
1) Infeksi virus
2) Inflamasi pada saraf (neuritis)
3) Komplikasi pada bedah telinga
4) Efek samping dari obat
5) Pergerakan kepala yang cepat

e) Tanda dan Gejala


1) Vertigo sensasi berputar yang hebat, biasanya 5 – 10 menit
2) Kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh
3) Mual dan muntah
4) Dapat pula ditemukannya nystagmus

f) Patogenesis
1) Teori Cupulolitiasis

Macula utriculus degenerasi

Terlepasnya otolith
(Partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia)

Otolith menempel di permukaan kupula

Canalis semisircularis posterior menjadi sensitif terhadap gravitasi

Canalis semisircularis menjadi tidak stabil

Gerakan kepala dijatuhkan kebelakang


(test Dix-Hallpike)

Canalis semisirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke


superior

Kupula bergerak menjauhi ultrikulus

Nistagmus, pusing/vertigo
2) Teori Calalithiasis

Otolith bergerak bebas di canalis semisircularis

Kepala tegak

Otolith dalam posisi sesuai gravitasi paling bawah

Kepala direbahkan ke belakang

Otolith berotasi 90 derajat di canalis semisircularis endolimfe menjauhi


ampula

Kupula defleksi

Nistagmus, pusing
g) Patofisiologi tanda dan gejala

Gambar 2. Bagan Sistem Keseimbangan Manusia (Wreksoatmodjo, 2004)

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan


tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada
beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut:
1) Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan
muntah (Wreksoatmodjo, 2004).
2) Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidak-seimbangan/asimetri
masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan.Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul
respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata),
ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa
melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).Berbeda
dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan
gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab
(Wreksoatmodjo, 2004).
3) Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut
teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan
tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang
aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul
reaksi dari susunan saraf otonom.(Gb.2).

Gambar 3. Skema Teori Neural Mismatch (Wreksoatmodjo, 2004).


Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan
terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi
timbul gejala (Wreksoatmodjo, 2004).
4) Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga
usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika
sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim
parasimpatis mulai berperan (Gb. 3) (Wreksoatmodjo, 2004).
Gambar 4. Skema Teori Otonomik
5) Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom
yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo (Wreksoatmodjo, 2004).
6) Teori sinaps
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi
pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan
menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin
releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik.Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan
saraf parasimpatis (Wreksoatmodjo, 2004).

h) Tehnik pemeriksaan dan interpretasi


1. Fungsi vestibuler
a. Uji Romberg
penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan
kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi
demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita
tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik
cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada
mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis
tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita
tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita
akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup
(Wreksoatmodjo, 2004).

Gambar 5. Uji Romberg (Wreksoatmodjo, 2004).


b. Tandem Gait
Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan
pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti.Pada kelainan
vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan
serebeler penderita akan cenderung jatuh (Wreksoatmodjo, 2004).
c. Uji Unterberger
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu
menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan
menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang
melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua
lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan
yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase
lambat ke arah lesi (Wreksoatmodjo, 2004).
Gambar 6. Uji Unter Berger (Wreksoatmodjo, 2004).
d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan
sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan
berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup.Pada kelainan
vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi
(Wreksoatmodjo, 2004).

Gambar 7. Uji Tunjuk Barany (Wreksoatmodjo, 2004).


e. Uji Babinsky-Weil
Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke
depan dan lima langkah ke belakang seama setengah menit; jika
ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan
arah berbentuk bintang (Wreksoatmodjo, 2004).
Gambar 8. Uji Babinsky-Weil(Wreksoatmodjo, 2004).

2. Pemeriksaan khusus Oto-neurologis


Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya
di sentral atau perifer.
a. Fungsi Vestibuler
1) Uji Dix Hallpike (Nylen Barany Test)
Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri

Kepala diputar kesamping

Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke


posisi terlentang)
Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa

Gambar 9. Uji Dix Hallpike (Wreksoatmodjo, 2004).

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-


kan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-
gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya
dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul
dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat
dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral (Wreksoatmodjo,
2004).
Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus
timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu
kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes
diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode
laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit,
bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue)
(Wreksoatmodjo, 2004).
2) Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga
kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua
telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air
hangat (44ºC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap
irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak
permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal
90-150 detik) (Wreksoatmodjo, 2004).
Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau
directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis
ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah
rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional
preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah
nistagmus yang sama di masing-masing telinga.Canal paresis
menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan
directional preponderance menunjukkan lesi sentral
(Wreksoatmodjo, 2004).
3) Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan
tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan
demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif
(Wreksoatmodjo, 2004).
b. Fungsi Pendengaran
1) Tes garpu tala
Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan
tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach.Pada
tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang
tuli, dan Schwabach memendek (Wreksoatmodjo, 2004).
2) Audiometri
Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti
Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone
Decay.Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus,
kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah,
pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik
(kelumpuhan ekstremitas),fungsi sensorik (hipestesi, parestesi)
dan serebeler (tremor, gangguan cara berjalan) (Wreksoatmodjo,
2004).

i) DD
1) Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing
berat dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau
berjalan. Gejala gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari.
Sebagian pasien perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala
dan dehidrasi. Serangan menyebabkan pasien mengalami
ketidakstabilan dan ketidakseimbangan selama beberapa bulan,
serangan episodik dapat berulang. Pada fenomena ini biasanya tidak
ada perubahan pendengaran.
2) Labirintitis
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
mekanisme telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan
patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau
supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur
didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak
bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan
pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh
produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh
organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri
akut yang meluas ke dalam struktur-struktur telinga dalam.
Kemungkinan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular cukup
tinggi.
3) Penyakit Meniere.
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu
gangguanpendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi
pada wanita dewasa.
j) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan lab darah
2) Foto rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurioma akustik)
3) Elektroenselografi
4) Elektromiografi
5) Brainstem Auditory Evoked Pontential
6) Audiometri
7) Elektrokardiografi
8) Psikiatrik
9) ENG
10) CT scan
11) Arteriografi
12) MRI

k) Penatalaksanaan
Farmakologi
Medikasi merupakan terapi yang paling berguna untuk mengobati vertigo
akut dari beberapa jam sampai beberapa hari. Nmaun terapi
medikamentosa tidak terlalu berguna pada pasien BPPV karena episode
vertigo biasanya kurang dari 1 menit. Vertigo yang berlangsung selama
lebih dari beberapa hari mengarah ke cedera vestibular yang permanent.
Berbagai obat-obatan digunakan untuk terapi vertigo dan seringkali untuk
mual dan muntah. Obat-obatan ini dapat berupa kombinasi asetilkolin
antagonist, dopamine antagonist, dan antagonis reseptor histamine.
American Gastroenterological Association merekomendasikan
antikolinergik dan antihistamin untuk terapi mual yang bersamaan dengan
vertigo atau motion sickness (Labuguen, 2006).
Obat untuk mengurangi vertigo yang ringan adalah meklizin,
dimenhidrinat, perfenazin dan skopolamin. Skopolamin terutama berfungsi
untuk mencegah motion sickness, yang terdapat dalam bentuk plester kulit
dengan lama kerja selama beberapa hari. Semua obat tersebut bisa
menyebabkan ngantuk, terutama pada usia lanjut. Skopolamin dalam
bentuk plester kulit memiliki efek mengantuk yang paling sedikit
(Labuguen, 2006).
Gamma-aminobutyric acid (GABA) menghambat neurotransmitter pada
system vestibular. Bezodiazpine meningkatkat aksi GABA system
saraf pusat dan efektif menyembuhkan vertigo dan kecemasan. Pada
pasien yang lebih tua seringkali berkaitan dnegan efek samping dari
pengobatan ini yaitu supresi dari vestibular (misalnya sedasi,
meningkatkan resiko jatuh, retensi urin). Pasien seperti ini juga lebih
mudah terjadi interaksi obat (misalnya efek adiktif dengan CNS depressant
lainnya) (Labuguen, 2006).

Nonfarmakologi
Manajemen untuk BPPV meliputi tiga jenis perawatan konservatif, yang
melibatkan latihan dan operasi dijelaskan berikut ini :
a. Perawatan di tempat praktek
dokter
Manuver Epley dan Semont, dilakukan untuk merelokasi debris
yang berada di kanalis semisirkularis posterior menuju ke labirin
vestibuler. Manuver ini dengan segera menyembuhkan vertigo sekitar
90% dari penderita. Mengulang manuver meningkatkan kesembuhan
5% lagi, pada beberapa orang yang menderita vertigo berulang. Pasien
bisa diajari bagaimana caranya untuk melakukan manuver di rumah jika
vertigo berulang. Manuver Epley dan Semont berlangsung sekitar 15
menit hingga selesai. Manuver Semont (liberatory manuver)
melibatkan prosedur dimana pasien cepat berpindah dari posisi
berbaring di satu sisi ke sisi lainnya. Tetapi sekarang manuver ini
jarang digunakan di Amerika Serikat (Sura, 2010).

Manuver Epley
Gangguan BPPV sering bisa dilenyapkan dengan mempergunakan
manuver Epley untuk mengeluarkan partikel dari kanal. Pada manuver
ini, badan dan kepala orang digerakkan ke dalam posisi berbeda,
beriringan. Masing-masing posisi ditahan selama sekitar 30 detik untuk
membiarkan partikel pindah oleh gravitasi ke bagian kanal lain. Untuk
memeriksa jika manuver berjalan, pasien memindahkan kepala ke arah
dimana dulunya menyebabkan vertigo. Jika vertigo tidak terjadi,
manuver berjalan baik.
1. Pertama, dengan pasien posisi duduk, kepala diputar sekitar 45
derajat ke sebelah kanan atau kiri, tergantung pada sisi pemicu
vertigo. Pasien kemudian berbaring dengan kepala bergantung di
balik pinggir meja periksa (atau tempat tidur). Partikel memicu
sinyal ke otak, menghasilkan vertigo.
2. Kepala kemudian diubah ke arah yang lain dengan sudut yang sama.
3. Kepala dibelokkan lebih jauh ke sebelah kiri, agar telinga sejajar
dengan lantai.
4. Akhirnya, kepala dan badan dibalik semakin banyak, sampai hidung
menunjuk ke lantai. Pasien kemudian duduk tegak tetapi menjaga
kepala agar tetap dibelokkan sejauh mungkin. Ketika pasien sudah
duduk tegak, kepala bisa dihadapkan ke depan (Sura, 2010).
Instruksi untuk pasien setelah melakukan manuver Epley atau Semont
maneuvers
1. Tunggu selama 10 menit setelah manuver dilakukan sebelum pulang.
Hal ini untuk menghindari quick spins atau serangan vertigo
berulang ketika debris mereposisi kembali segara setelah melakukan
manuver. Jangan pulang ke rumah sendirian.
2.Tidur setengah telentang selama dua malam. Ini artinya tidur dengan
kepala membentuk sudut 45 derajat. Hal ini paling mudah
dilakukan dengan menggunakan recliner kursi atau menggunakan
bantal yang disusun untuk mengganjal kepala. Sepanjang hari,
cobalah untuk menjaga kepala pada posisi vertikal. Jangan
melakukan kegiatan yang memerlukan gerakan kepala. Ketika
bercukur, pasien harus menekuk tubuh mereka maju dalam rangka
mempertahankan kepala vertikal.
3. Setidaknya satu bulan, menghindari posisi kepala yang mungkin
menyebabkan terjadinya BPPV lagi.
a) Menggunakan dua bantal saat Anda tidur.
b) Hindari tidur pada posisi yang buruk.
c) Jangan menggerakkan kepala ke atas atau bawah secara
ekstrim.
4. Pada satu bulan setelah perawatan, menempatkan diri Anda di posisi
yang biasanya membuat anda pusing. Hati-hati dalam
memposisikannya, dan kondisikan pasien agar tidak jatuh atau
berpotensi terluka. Dokter harus mengetahui bagaimana pasien
melakukannya (Sura, 2010).
b. Perawatan di rumah
Latihan Brandt-DAROFF adalah sebuah metode untuk merawat BPPV,
biasanya digunakan ketika manuver Epley dan Semont yang telah
dibahas di atas gagal. Latihan ini berhasil dalam 95% kasus, tetapi lebih
sulit daripada manuver Epley dan Semont. Latihan ini akan dilakukan
dalam tiga set per hari selama dua minggu. Dalam setiap set, manuver
dilakukan lima kali (Sura, 2010).

1 repetisi = manuver dilakukan untuk masing-masing sisi bergantian


(selama 2 menit)

Jadwal yang disarankan untuk latihan


Brandt-Daroff

Waktu Latihan Durasi

5 10
Pagi
repetisi menit

Siang 5 10
repetisi menit

5 10
Sore
repetisi menit

Mulai duduk tegak lurus (posisi 1). Kemudian pindah ke salah satu sisi
(posisi 2), dengan kepala setengah menoleh ke atas. Cara mudah untuk
mengingat ini adalah bayangkan seseorang berdiri dengan jarak sekitar
6 kaki di depan Anda, dan hanya melihat kepala mereka setiap waktu.
Tetap pada posisi di salah satu sisi selama 30 detik, atau sampai pusing
hilang, kemudian kembali ke posisi duduk (posisi 3). Posisikan selama
30 detik, dan kemudian ganti ke sisi lainnya (posisi 4) dan ikuti hal
yang sama.
Latihan ini harus dilakukan selama dua minggu, tiga kali per hari, atau
selama tiga minggu, dua kali per hari. Ini menambahkan hingga total
52 set. Pada kebanyakan orang, gejala berkurang setelah 30 set, atau
sekitar 10 hari. Sekitar 30 persen pasien, BPPV akan terulang dalam
satu tahun. Jika BPPV berulang, mungkin pasien ingin menambahkan
10 menit untuk latihan rutin sehari-hari (Sura, 2010).

Perawatan Bedah
Jika latihan yang dijelaskan di atas tidak efektif dalam mengendalikan
gejala, gejalanya persisten untuk satu tahun atau lebih, dan diagnosis
sangat jelas, prosedur operasi yang disebut "posterior kanal plugging"
mungkin dianjurkan. Canal plugging block sebagian besar fungsi dari
kanal posterior tanpa mempengaruhi fungsi-fungsi lainnya kanal atau
bagian telinga. Prosedur ini memiliki risiko kecil untuk mendengar, tetapi
efektif pada sekitar 90% dari orang yang tidak memiliki respon terhadap
pengobatan lainnya. Hanya sekitar 1 persen dari pasien BPPV akhirnya
tertangani. Pembedahan tidak boleh dilakukan sampai tiga manuver /
latihan (Epley, Semont, dan Brandt-Daroff) telah dicoba dan gagal.
Labyrintyhectomy dan sacculotyomy tidak cocok karena pada prosedur ini
dapat terjadi pengurangan atau kehilangan pendengaran (Sura, 2010).
l) Prognosis
Dengan maneuver reposisi Epley, 80-90 % pasien dengan BPPV dapat
teratasi dengan baik. Sekitar 40-50 % bisa kambuh setelah 5 tahun, 18 %
setelah 10 tahun, dan 50 % setelah 40 bulan (Lempert, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Anderson JH dan Levine SC. 1997.Buku Ajar Penyakit THT Boies Edisi Keenam.

Jakarta : EGC.

Corwin, E.J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Despopoulus, Agamemnon. 1998. Atlas Berwarna dan teks Fisiologi Edisi 4.

Jakarta: EGC. Hal 204

Dorland, W.A. Newman. Kamus kedokteran Dorland. 2002. Jakarta: EGC. Hal.

2390.

Ganong, William F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Hal

245.

Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Iskandar, J . 1981. Cedera Kepala. Jakarta : PT Dhiana Populer. Kelompok

Gramedia

Joesoef AA. 2002. Tinjauan Umum Mengenai Vertigo. Dalam : Joesoef AA,

Kusumastuti K. Jakarta : Kelompok Studi Vertigo Perdossi.

Jong, W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo. Journal American Family

Physician. (73).

Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and

vestibular migraine. Journal Neurology. (25) : 333-338.

Mansjoer A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.

Mardjono, M. Priguna, S. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.


Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC

hlm 136-138.

Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Ed. 5.

Jakarta: EGC.

Soepardi, EA. 2008.Gangguan Keseimbangan dan Kelumpuhan Nervus Fasialis;

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher,

edisi keenam.Jakarta: Balai Penerbit FK-UI

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care.

BJMP. (4) :351-351.

Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.

Jakarta: EGC.

T. Declan, Walsh., Kapita Selekta Penyakit dan Terapi, alih bahasa Caroline

Wijaya, Jakarta:EGC, 1997, hlm. 50, 54, 491.

Wreksoatmodjo, BR. 2004. Vertigo: Aspek Neurologi. Cermin Dunia

Kedokteran. (vol) No. 144.

Anda mungkin juga menyukai