Anda di halaman 1dari 23

PEDOMAN PROGRAM

GIZI STUNTING
DAN WASTING

DI RSIA PERMATA IBUNDA

Jl. Stadion Badak No. 20 Saruni Majasari Pandeglang


TAHUN 2022

PEDOMAN PROGRAM STUNTING DAN WASTING Page 1


RSIA PERMATA IBUNDA
PERATURAN DIREKTUR
RSIA PERMATA IBUNDA
NOMOR:93 /PER-DIR/RSIA-PI/XI/2022…..

TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM GIZI STUNTING DAN WASTING
RSIA PERMATA IBUNDA

DIREKTUR RSIA PERMATA IBUNDA


Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Penanggulangan dan Pencegahan Stunting dan Wasting di RSIA
Permata Ibunda, maka diperlukan pedoman pelaksanaan Program
Giz Stunting dan Wasting.
b. bahwa dalam usaha-usaha penanggulangan dan pencegahan
stunting dan wasting di RSIA Permata Ibunda dapat berjalan
dengan baik, perlu adanya Keputusan Direktur Tentang Pedoman
Program Gizi Stunting dan Wasting di RSIA Permata Ibunda.
c. bahwa sesuai butir a dan b tersebut di atas perlu ditetapkan
Pedoman Program Gizi Stunting dan Wasting dengan Keputusan
Direktur RSIA Permata Ibunda.

Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009


tentang Rumah Sakit;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
3. Surat keputusan Direktur utama PT. Rumah Sakit Ibu dan Anak
Permata Ibunda Nomor /SK/DIRUT/PT. Rumah Sakit Ibu dan
Anak Permata Ibunda /I/ tentang struktur organisasi RSIA
Permata Ibunda. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan

PEDOMAN PROGRAM STUNTING DAN WASTING Page 2


RSIA PERMATA IBUNDA
Penurunan Stunting ;
5. Peraturan Direktur RSIA Permata Ibunda Nomor
30/PER.DIR/RSIA-PI/I/2022 Tentang Kebijakan Pelayanan
Pasien.

MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR RSIA PERMATA IBUNDA TENTANG
PEDOMAN PROGRAM GIZI STUNTING DAN WASTING DI RSIA
PERMATA IBUNDA.

KESATU : Pedoman Program Gizi Stunting dan Wasting di RSIA Permata Ibunda
dimaksud tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
KEDUA : Pedoman Progam Gizi Stunting dan Wasting di RSIA Permata Ibunda
sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu harus dijadikan acuan
dalam memberikan pelayanan penannggulangan dan penurunan Stunting
dan Wasting di RSIA Permata Ibunda.
KETIGA : Peraturan ini berlaku Dua (2) Tahun sejak tanggal ditetapkan dan
apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam penetapan ini, akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Pandeglang
Pada Tanggal : 1 September 2022

Direktur
RSIA Permata Ibunda

dr. H. SURADAL, Sp.OG


NIK. 2206195401

PEDOMAN PROGRAM STUNTING DAN WASTING Page 3


RSIA PERMATA IBUNDA
LAMPIRAN : PERATURAN DIREKTUR UTAMA RSIA PERMATA IBUNDA
NOMOR : 93 /PER-DIR/RSIA-PI/IX/2022
TENTANG : PEDOMAN PROGRAM GIZI STUNTING DAN WASTING

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya Pedoman Program Gizi Stunting dan Wasting dapat diselesaikan
sesuai dengan kebutuhan.

Pedoman Program Gizi Stunting dan Wasting adalah sebagai acuan bagi RSIA
Permata Ibunda dalam melaksanakan kegiatan penurunan dan penganggulangan
stunting dan wasting.

Pedoman ini akan dievaluasi kembali untuk dilakukan perbaikan / penyempurnaan


sesuai perkembangan ilmu pengetahuan atau bila ditemukan hal-hal yang tidak
sesuai lagi dengan kondisi di rumah sakit.

Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada


pihak terkait yang dengan segala upaya telah berhasil menyusun Pedoman
Program Gizi Stunting dan Wasting

Pandeglang, 1 September 2022

1
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN..........................................................
A. LATAR BELAKANG.......................................................... 1
B. TUJUAN............................................................................... 5
C. RUANG LINGKUP PELAYANAN.................................... 6
D. BATASAN OPERASIONAL.............................................. 6
E. LANDASN HUKUM........................................................... 6
BAB II : STANDAR KETENAGAAN
A. KUALIFIKASI SDM.......................................................... 8
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN ......................................... 9
C. PENGATURAN JAGA....................................................... 9
BAB III :STANDAR FASILITAS
A. DENAH RUANGAN.......................................................... 10
B. STANDAR FSILITAS........................................................ 10
BAB IV : TATA LAKSANA PELAYANAN .......................... 11
BAB V : LOGISTIK ................................................................. 15
BAB VI : KESELAMATAN PASIEN .................................... 16
BAB VII : KESELAMATAN KERJA ................................. 17
BAB VIII : PENGENDALIAN MUTU ................................... 20
BAB IX : PENUTUP.................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mereka
juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial, seperti tercantum dalam Undang-
undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Semua pihak berperan dalam
menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan potensi
yang dimilikinya dan menjadi generasi berkualitas.
Anak bebas gizi buruk termasuk komitmen bersama dunia, termasuk
Indonesia. Komitmen dunia internasional, tertuang dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) butir kedua yang menegaskan
pentingnya “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan
gizi, serta menggalakkan pertanian yang berkelanjutan”. Di tingkat nasional, hal
ini sejalan dengan Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, penanggulangan masalah kekurangan
gizi, termasuk gizi buruk, perlu ditingkatkan.
Balita dengan gizi buruk mempunyai dampak jangka pendek dan panjang,
berupa gangguan tumbuh kembang, termasuk gangguan fungsi kognitif, kesakitan,
risiko penyakit degeneratif di kemudian hari dan kematian. Situasi status gizi
kurang (wasting) dan gizi buruk (severe wasting) pada balita di wilayah Asia
Tenggara dan Pasifik pada tahun 2014 masih jauh dari harapan. Indonesia
menempati urutan kedua tertinggi untuk prevalensi wasting di antara 17 negara di
wilayah tersebut, yaitu 12,1%. Selain itu, cakupan penanganan kasus secara rerata
di 9 negara di wilayah tersebut hanya mencapai 2%.
Komitmen Pemerintah dalam penanggulangan gizi buruk pada balita telah
lama didengungkan di tingkat nasional dan ditindak-lanjuti melalui berbagai
upaya. Misalnya, melalui upaya penyuluhan gizi, peningkatan cakupan
penimbangan balita, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan bagi balita
dengan gizi kurang, peningkatan kapasitas petugas dalam tata laksana balita gizi
buruk, pembentukan Therapeutic Feeding Centre (TFC) dan Community Feeding
Centre (CFC) sebagai pusat-pusat pemulihan gizi di faskes. Selain itu, pada tahun
2016 dikembangkan perangkat lunak yang menghasilkan data elektronik status
gizi balita menurut nama dan alamat, walaupun cakupannya masih terbatas.
Namun, berbagai upaya tersebut belum optimal dalam menanggulangi masalah
balita gizi buruk. Perbaikan kualitas pelayanan dan peningkatan kerjasama lintas
sektor/program, serta keterlibatan masyarakat diperlukan untuk menanggulangi
masalah kekurangan gizi pada balita.
Upaya Integrated Management of Acute Malnutrition (IMAM) atau
Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi telah dianjurkan oleh WHO, UNICEF, WFP
dan UNSSCN sejak lama. Upaya ini menekankan pentingnya peran serta aktif
keluarga/masyarakat dan lintas sektor terkait dalam penanggulangan gizi buruk
pada balita. Upaya ini telah dilaksanakan paling sedikit di 70 negara, antara lain
Timor-Leste, Kambodia, Korea Utara dan Vietnam. Di Indonesia, sejak tahun
2015, upaya tersebut dilaksanakan dalam tahapan uji coba di 6 kecamata
Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan bantuan UNICEF.
Dari sekitar 6000 balita yang dipantau setiap bulan, ditemukan 719 balita dengan
gizi buruk, yang kemudian dengan tatalaksana kasus yang baik, tingkat
kesembuhannya dapat mencapai 79% pada tahun 2017 upaya pengelolaan gizi
buruk terintegrasi tersebut perlu diperluas untuk meningkatkan cakupan dan
kualitas layanan penanganan balita dengan gizi buruk di Indonesia. Untuk itu,
Kementerian Kesehatan RI, khususnya Direktorat Gizi Masyarakat, bekerjasama
dengan UNICEF, lintas program dan lintas sektor terkait, organisasi profesi dan
pihak terkait lainnya menyusun Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gizi Buruk
pada Balita.
B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan umum :
Tersedianya pedoman pencegahan dan tatalaksana gizi buruk pada balita
dalam rangka menurunkan prevalensi gizi buruk.
2. Tujuan khusus :
a. Tersedianya informasi tentang faktor penyebab dan dampak gizi buruk
pada balita oleh keluarga, masyarakat serta pemegang kepentingan.
Tersedianya pedoman yang mengandung unsur pencegahan, deteksi dini,
tatalaksana, rehabilitasi gizi buruk pada balita melalui rawat jalan dan
rawat inap, dengan melibatkan peran serta aktif keluarga dan masyarakat.
b. Tersedianya acuan tentang faktor pendukung, termasuk obat-obatan dalam
tatalaksana gizi buruk pada balita untuk pencegahan, diagnosis,
pengobatan dan rehabilitasi.
c. Tersedianya acuan pengelolaan upaya penanggulangan gizi buruk pada
balita yang komprehensif dan integratif sejak proses perencanaan,
pelaksanaan dengan kerjasama lintas program/sektor dan keterlibatan
keluarga/masyarakat, serta pemantauannya.
C. Ruang Lingkup
1. Bagian rekam medis
2. Instalasi rawat jalan
3. Instalasi gawat darurat
4. Instalasi gizi
5. Instalasi farmasi
6. Instalasi Laboratorium
7. Humas
D. Batasan Operasional
1. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan Panjang
atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
2. Wasting adalah suatu kondisi kekurangan gizi akut dimana BB anak tidak
sesuai dengan TB atau nilai Z-score kurang dari -2SD (Standart Deviasi)
3. Percepatan Penurunan Stunting adalah setiap upaya yang mencakup
Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif yang dilaksanakan secara
konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja secara
multisektor di pusat, daerah, dan desa.
4. Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting adalah langkah-langkah
berupa 5 (lima) pilar yang berisikan kegiatan untuk Percepatan Penurunan
Stunting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
melalui pencapaian target nasional prevalensi Stunting yang diukur pada
anak berusia di bawah 5 (lima) tahun.
5. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan
Percepatan Penurunan Stunting, mengidentifikasi, serta mengantisipasi
permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil
tindakan sedini mungkin.
6. Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan antara target dan
capaian pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting.
E. Landasan Hukum
1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
2. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi,
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014
Tentang Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan dan Gangguan Tumbuh
Kembang Anak.
4. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis
Pangan dan Gizi,
5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat,
6. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana
Aksi Pangan dan Gizi yang menetapkan RAN-PG, Pedoman Penyusunan
RAD-PG, dan Pedoman Pemantauan dan Evaluasi RAN/RAD-PG
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

Standar ketenagaan adalah untuk mencapai tujuan dan sasaran yang optimal dari
program pelaksanaan program gizi stunting dan wasting perlu ditata pengorganisasian
pelayanan yang bertugas dan wewenang yang jelas dan terinci baik secara
administratif maupun teknik.
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
1. Ketua Tim Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan Wasting
Seorang yang mempunyai tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola
serta mengkoordinir kegiatan Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan
Wasting.
Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan formal minimal S1 Kedokteran Umum, diutamakan Dokter
Spesialis Anak.
b. Memiliki kemampuan kepemimpinan.
c. Sehat jasmani dan rohani.
2. Sekretaris Tim Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan Wasting
Seorang yang mempunyai tanggung jawab dalam mengelola kegiatan
administratif kegiatan Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan
Wasting.
Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan formal dokter umum
b. Pengalaman kerja minimal 2 tahun
c. Sehat jasmani dan rohani
3. Anggota Tim Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan Wasting
Sekelompok orang yang mempunyai tanggung jawab dalam mengelola
kegiatan Penanggulangan dan Penurunan Stunting dan Wasting.
Anggota terdiri dari staf medis, keperawatan, farmasi, gizi, dan humas.
Persyaratan dan Kualifikasi :
a. Pendidikan formal minimal S1 kedokteran umum, D3 Keperawatan,
D3/S1 Farmasi, D3/S1 gizi, dan D3/S1 umum.
b. Sehat jasmani dan rohani.

B..Distribusi Ketenagaan
Terlihat pada bagan dibawah :
No Instalasi Distribusi ketenagaan Jumlah Keterangan
1 IGD a. dokter 1 Daftar jaga dokter
b. Perawat 1 IGD

2 Gizi Ahli Gizi 1 Daftar dinas

3 Lab a. Analis 1 Daftar dinas


4 Farmasi b. Apoteker 1 Daftar dinas
c.
5 RM d. Pelaksana 1 Daftar dinas
6 Humas e. Pelaksana 1 Daftar dinas

C. Pengaturan Jaga
a. Shift pagi : 07.30 – 13.30
b. Shift Siang: 13.30 – 20.30

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang/ Tempat Pelayanan

Kursi Dr Troli
dokter tindakan Bad
pasien
Meja
dokter

Alat pengukur
Pintu masuk BB/TB wastafel

Denah poli stunting

B. Standar fasilitas
1. Ruang poliklinik dilengkapi dengan buku register program STUNTING dan
WASTING, timbangan Berta badan, PB, lingkar kepala, lingkar lengan
2. Ruang keperawatan dilengkapi dengan buku rekam medis, buku register, alat
antopometri dan bukti pelaporan kejaian pasien dengan penurunan pravelansi
STUNTING dan WASTING

BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Kegiatan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan teknis Surveilans Gizi yaitu
pengkajian (assessment), analisis (analysis) dan respon (action) yang merupakan
suatu siklus. Sistem Surveilans Gizi adalah alat untuk menghasilkan informasi yang
sangat membantu dalam formulasi, modifikasi dan aplikasi kebijakan gizi disuatu
wilayah. Surveilans mencakup informasi tentang pengaruh pola konsumsi gizi dan
status gizi, oleh karena itu didalam analisis Surveilans Gizi juga membutuhkan
informasi terkait faktor ekonomi, sosial budaya dan biologis.

Berdasarkan dijelaskan fungsi Surveilans Gizi dalam menanggulangi masalah gizI


ada 3 langkah yaitu pengkajian (assessment), analisis (analysis) dan respon (action):
1. Assessment atau pengkajian adalah kegiatan pengumpulan dan pengolahan data
mengenai situasi gizi populasi di suatu wilayah.
2. Analysis atau analisis adalah kegiatan menganalisis determinan masalah gizi
termasuk penyebab langsung, tidak langsung dan mendasar. Analisis ini
disajikan dalam bentuk informasi yang digunakan untuk diseminasi dan
advokasi.
3. Action atau respon adalah tindakan yang didasari oleh hasil analisis dan sumber
daya yang tersedia. Hasil analisis menjadi dasar perumusan kebijakan,
pengambil keputusan, dan perencanaan program.

Indikator kinerja gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan
kinerja program gizi, yang meliputi:
1. Cakupan Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan Mendapat ASI Eksklusif
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan adalah seluruh bayi umur 0 bulan 1 hari
sampai 5 bulan 29 hari
b. Bayi mendapat ASI Eksklusifkurang dari 6 bulan adalah bayi kurang dari
6 bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat,
vitamin dan mineral berdasarkan recall 24 jam.
c. Persentase bayi kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusifadalah jumlah
bayi kurang dari 6 bulan yang masih mendapat ASI Eksklusifterhadap jumlah
seluruh bayi kurang dari 6 bulan yang direcall dikali 100%.
2. Cakupan Ibu Hamil yang Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) Minimal 90
Tablet Selama Masa Kehamilan
a. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara dengan
60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan oleh
pemerintah maupun diperoleh sendiri.
b. Ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil yang selama
kehamilan mendapat minimal 90 TTD terhadap jumlah sasaran ibu hamil
dikali 100%.
3. Cakupan Ibu Hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang Mendapat Makanan
TambahanIbu hamil KEK adalah Ibu hamil dengan Lingkar Lengan Atas
(LiLA) kurang dari 23,5 cm
a. Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai tambahan
asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk makanan tambahan
pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan lokal.
b. Persentase Ibu hamil KEK mendapat makanan tambahan adalah jumlah
ibu hamil KEK yang mendapatkan makanan tambahan terhadap jumlah
ibu hamil KEK yang ada dikali 100%.
4. Cakupan Balita Kurus yang Mendapat Makanan Tambahan
a. Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29
hari dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB -3 SD sampai dengan
kurang dari -2 SD).
b. Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai tambahan
asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk makanan tambahan
pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan local.
c. Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah balita
kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita kurus
dikali 100%. c

5. Cakupan Remaja Putri (Rematri) mendapat Tablet Tambah Darah (TTD),


a. Remaja Putri adalah remaja putri yang berusia 12-18 tahun yang
bersekolah di SMP/SMA atau sederajat
b. TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara dengan
60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan oleh
pemerintah maupun diperoleh secara mandiri
c. Remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang mendapat
TTD secara rutin setiap minggu sebanyak 1 tablet.
d. Persentase remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang
mendapat TTD secara rutin setiap minggu terhadap jumlah remaja putri
yang ada dikali 100%.
6. Cakupan Bayi Baru Lahir yang Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
a. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu dimulai segera setelah
lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara bayi dengan
ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1 (satu) jam
b. Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD adalah jumlah bayi baru
lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir hidup
dikali 100%.

7. Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul Vitamin A


a. Bayi umur 6-11 bulan adalahbayi umur 6-11 bulan yang ada di suatu
wilayah kabupaten/kota.
b. Balita umur 12-59 bulan adalah balita umur 12-59 bulan yang ada di
suatu wilayah kabupaten/kota
c. Balita 6-59 bulanadalah balita umur 6-59 bulan yang ada di suatu wilayah
kabupaten/kota.
d. Kapsul vitamin Aadalahkapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi,
yaitu 100.000 Satuan Internasional (SI) untuk bayi umur 6-11 bulan dan
200.000 SI untuk anak balita 1259 bulan.
e. Persentase balita mendapat kapsul vitamin Aadalah jumlah bayi 6-11
bulan ditambah jumlah balita 12-59 bulan yang mendapat 1 (satu) kapsul
vitamin A pada periode 6 (enam) bulan terhadap jumlah seluruh balita 6-
59 bulan dikali 100%. C

8. Cakupan Kasus Balita Gizi Buruk yang Mendapat Perawatan


a. Balita adalah anak yang berumur di bawah 5 tahun (0-59 bulan 29 hari).
b. Kasus balita gizi burukadalah balita dengan tanda klinis gizi buruk dan
atau indeks Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dengan nilai Z-score kurang dari-3
SD.
c. Kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan adalah balita gizi buruk
yang dirawat inap maupun rawat jalan di fasilitas pelayanan kesehatan dan
masyarakat sesuai dengan tata laksana gizi buruk.
d. Persentase kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan adalah
jumlah kasus balita gizi buruk yang mendapat perawatan terhadap jumlah
kasus balita gizi buruk yang ditemukan di suatu wilayah pada periode
tertentu dikali 100%. C
Indikator Kinerja Program Gizi
1. Diklat external
2. Diklat internal
3. Program 1000 hpk
4. Promosi dan konseling imd dan asi ekslusif
5. Pemberian makanan bayi dan anak
6. Suplemen tablet besi dan folat pada ibu hamil
7. Pemberian vitamin a
8. Pemberin imunisasi
9. Pemantaun pertumbuhan ( pelayanan tumbuh kembang bayi dan balita )
10. Pemberian makanan tambahan pada bayi
11. Pemberian makanan tambahan balita gizi kurang
12. Penguatan system surveilans gizi
BAB V
LOGISTIK

A. Kebutuhan Alat Tulis Kantor


Pemenuhan akan kebutuhan alat tulis ataupun cetakan dapat diperoleh dari
Logistik, dengan menggunakan form yang tersedia. Permintaan barang untuk
keperluan pravelansi penurunan STUNTING dan WASTING harus dipisahkan
sehingga pengontrolan untuk hal tersebut mudah. Pemenuhan akan kebutuhan
alat tulis ataupun cetakan dapat diperoleh dari Logistik, dengan menggunakan
form yang tersedia. Permintaan barang dilakukan berdasarkan ketentuan yang
telah diatur oleh Unit Logistik.

B. Permintaan ke Logistik
Prosedur permintaan ke logistik adalah suatu permintaan alat tulis kantor
yang akan digunakan untuk pelayanan pada karyawan dan dibuat oleh petugas
yang sedang bertugas, serta diserahkan kebagian logistik untuk didapatkan
penggantinya.
Adapun prosedurnya sebagai berikut:
1. Petugas mencatat keperluan alat tulis kantor yang sudah digunakan atau
yang dibutuhkan untuk pelayanan terhadap karyawan pada formulir
permintaan rangkap 2 (putih dan merah).
2. Formulir tersebut diberikan pada petugas logistik umum untuk dilakukan
pendataan. Sebagai bukti pengambilan maka formulir yang berwarna putih
diserahkan ke logistik umum untuk pengambilan barang yang sudah
digunakan atau yang sedang dibutuhkan dan formulir berwarna merah
disimpan sebagai arsip.

C. Pengadaan Barang Operasional


Barang umum (alat tulis)
No Persediaan Barang Jumlah
Barang
1 Rekam Medis
2 Form Rujuk Balik
3 Buku kontrol
Barang Umum (Rumah Tangga)

No Persediaan Barang Jumlah


Barang
1 Timbangan BB 1
2 Ukur PB / microtoice 1
3 Pengukur lingkar kepala dan lengan 1
4 Sarung tangan 1
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu system dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Tujuan nya adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya kejadian tidak diharapakan (KTD) di RS
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian tidak diharapkan
Standar keselamatan pasien (patient safety) untuk pelayanan instalasi poli anak
rawat jalan :
a. Ketepatan Identitas
b. Ketepatan penyampaian hasil pemeriksaan penunjang.
Yang dimaksud tidak tepat apabila: salah ketik hasil mengetik terbalik
dengan hasil lain, hasil tidak terketik, salah identitas.
c. Ketepatan pengukuran antropomteri
.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Keselamatan kerja merupakan suatu sistem dimana rumah sakit membuat kerja /
aktifitas karyawan lebih aman. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan pribadi ataupun rumah sakit. Tujuannya
adalah:
1. Terciptanya budaya keselamatan kerja di RSIA Permata Ibunda
2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
3. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan
proses kerjanya.
4. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Tata Laksana Keselamatan Karyawan.


1. Setiap petugas medis maupun nonmedis menjalankan prinsip pencegahan infeksi,
yaitu :
a. Menganggap bahwa pasien maupun dirinya sendiri dapat menularkan infeksi
b. Menggunakan alat pelindung (sarung tangan, kacamata, sepatu boot/alas
kaki tertutup, celemek, masker dll) terutama bila terdapat kontak dengan
spesimen pasien yaitu: urin, darah, muntah, sekret, dll
c. Melakukan perasat yang aman bagi petugas maupun pasien, sesuai prosedur
yang ada, misalnya : memasang kateter, menyuntik, menjahit luka,
memasang infus, dll
d. Mencuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum dan sesudah menangani
pasien
2. Terdapat tempat sampah infeksius dan non infeksius
3. Mengelola alat dengan mengindahkan prinsip sterilitas yaitu:
a. Dekontaminasi dengan larutan klorin
b. Pencucian dengan sabun
c. Pengeringan
4. Menggunakan baju kerja yang bersih
5. Melakukan upaya-upaya medis yang tepat dalam menangani kasus
a. HIV / AIDS (sesuai prinsip pencegahan infeksi).
b. Hepatitis B / C (sesuai prinsip pencegahan infeksi)
c. Covid 19
6. Cuci tangan
Hal ini dilakukan sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan tindakan
aseptic, setelah terkontaminasi cairan tubuh pasien, setelah menyentuh
pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien.
7. Memakai masker bedah
8. Menggunakan pelindung wajah / kaca mata goggle (bila diperlukan)
9. Menggunakan apron / gaun pelindung
10. Menggunakan sarung tangan
11. Menggunakan pelindung kaki (sepatu boot)
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Indikator mutu yang dapat dinilai dari program gizi STUNTING dan WASTING
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Kepatuhan cuci tangan
3. Kepatuhan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri)
4. Kepatuhan dalam pelaporan dengan kolaborasi dengan tim puskesmas yang
memiliki akses EPPGBM (belum adanya sosialisasi)
BAB IX
PENUTUP

Masa balita merupakan kesempatan emas tumbuh kembang anak,


khususnya dalam dua tahun pertama kehidupan. Dukungan semua pihak
diperlukan agar balita memperoleh makanan bergizi sesuai umur, mendapatkan
stimulasi tumbuh kembang dan terhindar dari penyakit yang dapat dicegah.
Pemenuhan hak anak untuk menjalani proses tumbuh kembang secara optimal
diperlukan guna mengembangkan potensi yang dimiliki dan menjadi generasi
berkualitas di masa depan.
Masalah gizi buruk pada balita masih merupakan tantangan besar yang
mendesak untuk ditangani mengingat dampak buruk yang ditimbulkannya.
Prevalensinya yang masih tinggi, yang rendah penemuan kasus, cakupan penanganan
dan kualitas pelayanan yang rendah, merupakan masalah yang perlu segera diatasi.
Pengelolaan balita gizi buruk terintegrasi, yang telah dilaksanakan di berbagai negara,
terbukti dapat mengatasi sebagian besar masalah tersebut. Pendekatan ini melibatkan
keluarga dan masyarakat yang berperan aktif dalam pencegahan dan penemuan kasus
secara dini, serta dalam proses layanan rawat jalan dan rawat inap. Pendekatan ini
juga menekankan pentingnya dukungan lintas sektor dan mitra terkait.
Upaya penanggulangan gizi buruk pada balita meliputi upaya pencegahan,
penemuan dini kasus serta tatalaksananya sampai sembuh dan tidak terulang kembali.
Selain pemantapan upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat, aspek peningkatan
kualitas pelayanan tatalaksana gizi buruk di fasilitas kesehatan tidak kalah
pentingnya, baik di faskes primer maupun di faskes rujukan. Penyakit infeksi dan
sejumlah penyakit lainnya yang sering diderita balita dapat menjadi pemicu
terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu, balita perlu mendapat imunisasi dasar lengkap,
konseling MP-ASI sesuai umur, pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang, yang
didukung oleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta ketersediaan air bersih
dan jamban keluarga.
Pedoman ini menjadi acuan pengelola program dan mitra terkait di
berbagai tingkat administrasi dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk
pada balita. Diharapkan semakin banyak balita yang terhindar dari gizi buruk dan
selamat dari dampak yang merugikan.

Anda mungkin juga menyukai