Anda di halaman 1dari 10

PERILAKU MEROKOK PADA 

REMAJA

        Oleh

NIP.

UNIT KERJA:PUSKESMAS
I. Prilaku merokok

Puada remaja saat ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing.
Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi perokok, namun di lain pihak
dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya.
Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif pada tubuh
penghisapnya. Beberapa motivasi yang melatar belakangi merokok adalah untuk mendapat
pengakuan (anticipatory beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan
menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission beliefs/positive)
(Joemana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang
biasanya dilakukan di depan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena
mereka sangat tertatik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan
kelompoknya.

Masa remaja bisa jadi masa di mana individu mengkonsumsi rokok. Smet (1994) berpendapat
bahwa usia pertama kali merokok umumnya berkisar antara usia 11-13 tahun dan mereka pada
umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam
rentangan masa remaja. Lebih jauh lagi Data WHO mempertegas bahwa remaja memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk merokok, data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh jumlah
perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja (Republika, 1988).

Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi remaja untuk merokok. Secara umum
berdasarkan kajian Kurt Lewin, merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu.
Artinya, perilaku merokok selain disebabkan dari faktor lingkungan juga disebabkan oleh faktor
diri atau kepribadian.

Faktor dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkemangan remaja. Remaja mulai merokok
dikatakan oleh Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang
dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini
sering terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan perkembangan sosial. Upaya-
upaya untuk menemukan jati diri tersebut tidak selalu dapat berjalan sesuai dengan harapan
masyarakat. Beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris. Seperti
yang dikatakan oleh Brigham (1991) yang dikutip oleh Helmi, bahwasanya perilaku merokok
bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Symbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan,
dan daya tarik terhadap lawan jenis.

Merokok bagi sebagian remaja merupakan perilaku proyeksi dari rasa sakit baik psikis maupun
fsik. Walaupun di sisi lain, saat pertama kali mengkonsumsi rokok dirasakan ketidakenakkan.
Hal ini sejalan dengan perkataan Helmi yang berpendapat bahwa saat pertama kali
mengkonsumsi rokok, kebanyakan remaja mungkin mengalami gejala-gejala batuk, lidah terasa
getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan
pengalaman perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi
ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan
kepuasan psikologis. Sehingga tidak jarang perokok mendapatkan kenikmatan yang dapat
menghilangkan ketidaknyamanan yang sedang dialaminya. Gejala ini apat djelaskan dari konsep
tobacco dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok meruakan perilaku
menyenangkan dan dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang
bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin aalah adiktif dan anti-depressan, jika dihentikan
tiba-tiba akan menimbulkan stress.

Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang
mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga dapat dipahami
apabila para perokok sulit untuk behenti merokok. Klinke & Meeker (dalam Aritonang, 1997)
mengatakan bahwa motif para perokok adalah relaksasi. Dengan merokok dapat mengurangi
ketegangan, memudahkan berkonsentrasi, pengalaman yang menyenangkan dan relaksasi.

Seperti yang diungkapkan Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip kembali oleh Helmi
bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:

1. Tahap Preparatory. Seseorang yang mendapatkan gambaran yang menyenangkan


mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini
menimbulkan minat untuk merokok.
2. Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang meneruskan untuk
tetap mencoba-coba merokok.
3. Tahap becoming smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebnayak empat
batang perhari maka seseorang tersebut mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
4. Tahap maintenance of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari
cara pegaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek
fisiologis yang menyenangkan.

Selain faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak faktor dari luar
individu yang berpengaruh pada proses pembentukkan perilaku merokok. Pada dasarnya perilaku
merokok adalah perilaku yang dipelajari. Hal itu berarti terdapat pihak-pihak yang berpengaruh
besar dalam proses sosialisasi.

Konsep sosialisai pertama berkembang dari Sosiologi dan dan Psikologi Sosial merupakan suatu
proses transmisi nilai-nilai, sistem belief, sikap ataupun perilaku-perilakunya dari generasi
sebelumnya kepada generasi berikutnya (Durkin dalam Helmi). Adapun tujuan sosialisasi ini
adalah agar generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan tututan norma yang
diinginkan kelompok, sehingga individu dapat diterima dalam kelompok. Dalam kaitannya
dengan perilaku merokok, pada dasarnya hamper tidak ada orang tua yang menginginkan
anaknya untuk menjadi perokok, bahkan masyarakat tidak menuntut anggota masyarakat untuk
menjadi perokok, namun demikian dalam kaitan ini secara tidak sadar, ada beberapa agen yang
merupakan model dan penguat bagi perokok remaja.

Agen sosialisasi perilaku merokok pada remaja dapat merupakan orang tua maupun teman
sebaya. Dengan merujuk konsep transmisi perilaku, bahwa pada dasarnya perilaku dapat
ditransmisikan melalui transmisi vertical dan horizontal (Berry dkk, 1992). Transmisi vertical
dapat dilakukan oleh orang tua dan transmisi horizontal dilakukan oleh teman sebaya.

Namun bagaimanapun latarbelakang remaja melakukan perilaku mengkonsumsi merokok tetap


saja merokok sebagai salah satu bentuk adiksi yang harus dieliminir. Dalam hal ini remaja di
sekolah merupakan subjek layanan profesi bimbingan dan konseling yang harus segera diberi
bantuan. Kendatipun perilaku merokok pada remaja dilatarbelakangi lingkungan dan keprbadian,
tetapi fokus bantuan konseling yang memandirikan adalah membantu individu untuk memiliki
kepribadian sehat dan interdependen terhadap lingkungan.

II. Perilaku Merokok pada Remaja

Merokok merupakan overt behavior dimana perokok menghisap gulungan tembakau. Hal ini
seperti dituliskan dalam KBBI merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus
dengan kertas (Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 752). Lebih jauh lagi Poerwadarminta
dalam Kemala (2007: 9) mendefinisikan merokok sebagai menghisap rokok, dan rokok
didefinisikan sebagai gulungan tembakau yang berbalut daun nipah atau kertas. Fakhrurrozi
mengidentifikasi merokok sebagai overt behavior karena merokok merupakan perilaku yang
nampak. Sebagai overt behavior merokok merupakan perilaku yang dapat terlihat karena ketika
merokok individu melakukan suatu kegiatan yang nampak yaitu menghisap asap rokok yang
dibakar ke dalam tubuh, hal ini senada dengan pendapat Armstrong dalam Kemala (2007: 10)
merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan
menghembuskannya kembali keluar.

Merokok merupakan kegiatan yang meyebabkan efek kenyamanan. Rokok memiliki


antidepressant yang menimbulkan efek kenyamanan pada perokok. Walaupun perilaku merokok
merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan karena terdapat sekitar 4000 racun dalam
sebatang rokok.

Merokok sebagai gangguan obsesif kompulsif. orang yang mengalami gangguan ini memiliki
obsesi atau kompulsi yang menetap. Obsesi adalah pikiran, ide atau citra yang terus menerus
berulang secara tidak terkendali dan mendominasi kesadaran seseorang. Kompulis adalah
dorongan untuk melakukan tindakan stereotip dengan tujuan yang umumnya tidak realistik yaitu
menghilangkan sistuasi yang menimbulkan ketakutan. Upaya untuk menolak kompulsi
menimbulkan ketegangan yang sangat besar sehingga individu biasanya menyerah dan
melakukannya.

Merokok sebagai ganggguan kesehatan dan jiwa. Merokok berkaitan erat dengan disabilitas dan
penurunan kualitas hidup. Dalam sebuah penelitian di Jerman sejak tahun 1997-1999 yang
melibatkan 4.181 responden, disimpulkan bahwa responden yang memilki ketergantungan
nikotin memiliki kualitas hidup yang lebih buruk, dan hampir 50% dari responden perokok
memiliki setidaknya satu jenis gangguan kejiwaan. Selain itu diketahui pula bahwa pasien
gangguan jiwa cenderung lebih sering menjadi perokok, yaitu pada 50% penderita gangguan
jiwa, 70% pasien maniakal yang berobat rawat jalan dan 90% dari pasien-pasien skizrofen yang
berobat jalan (Pikiran Rakyat).

Perilaku merokok dipengaruhi perasaan negative. Menurut Silvan & Tomkins (Muta’din: 2002)
banyak orang yang merokok untuk perasaan negative dalam dirinya. Misalnya merokok bila
marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila
perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasan yang tidak enak.
Perilaku merokok pada remaja merupakan perilaku transmisif. Dari penelitian Helmi dan
Komalasari (2000) didapatkan kesimpulan bahwa perilaku merokok merupaka perilaku yang
dipelajari dan ditularkan melalui aktivitas teman sebaya dan perilaku permisif orang tua.

Perilaku merokok didorong oleh nilai-nilai dalam diri remaja. Beberapa motivasi yang melatar
belakangi merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs) untuk
menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan menganggap perbuatannya tersebut tidak
melanggar norma (permission beliefs/positive) (Joemana, 2004).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok pada remaja adalah kegiatan kompulsif dengan
menghisap asap yang berasal dari gulungan tembakau yang dibakar untuk mendapatkan
kepuasan fisiologis dan sosiologis dan juga upaya eliminasi perasaan negative yang ada dalam
diri remaja yang banyak dipelajari dari lingkungan teman sebaya dan didorong oleh keinginan
mendapat pengakuan (anticipatory beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs)
dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission beliefs/positive).

III .Latar Belakang Perilaku Merokok dan Kecanduan Merokok Pada Remaja

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merokok. Hansen dalam Kemala
(2008) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok yaitu: Faktor biologis,
faktor psiklogis, faktor lingkungan sosial, faktor demografis, faktor sosial-kultural,faktor sosial
politik. Namun pada remaja yang paling mempengaruhi perilaku merokok adalah:

IV.        Pengaruh Orang Tua

Salah satu temuan remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah
tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan
memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah untuk menjadi perokok dibanding anak-anak
muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson,
Pengantar Psikologi, 1999 : 292) Ditemukan juga oleh Helmi dan Komalasari (online) bahwa
sikap permisif orang tua memiliki korelasi yang signifikan dengan perilaku merokok pada
remaja.

V. Pengaruh Teman

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar
kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut
ada dia kemungkinan yang terjadi, Pertama, remaja terpengaruh oleh teman-temannya atau
bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka
semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya
satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok, (Al. Bachri, 1991).

VI. Kepribadian

Remaja merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau
jiwa membebaskan diri dari kebosanan. Menurut Teddy Hidayat, (Pikiran Rakyat: 2007) remaja
yang berisiko tinggi adalah remaja-remaja yang memiliki sifat pemuasaan segera, kurang mampu
menunda keinginan, merasa kosong dan mudah bosan, mudah cemas, gelisah, dan depresif. Hal
ini diperkuat dengan hasil penelitian dari CASA (Columbian University`s National Center On
Addiction and Substance Abuse), remaja perokok memiliki risiko dua kali lipat mengalami
gejala-gejala depresi dibandingkan remaja yang tidak merokok. Para perokok aktif pun
tampaknya lebih sering mengalami serangan panik dari pada mereka yang tidak merokok Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa merokok dan depresi merupakan suatu hubungan yang
saling berkaitan. Depresi menyebabkan seseorang merokok dan para perokok biasanya memiliki
gejala-gejala depresi dan kecemasan (ansietas).

VII. Rasa keingintahuan

Pada remaja perkembangan kognisi menuntut rasa keingintahuan yang sangat besar. Seiring pula
dengan hal itu kognisi sosial pada remaja berkembang pula, sehingga remaja sering melakukan
kegiatan coba-coba yang didukung oleh pergaulan.

VII. Kompensasi rasa kurang percaya diri

Rasa kurang percaya diri pada remaja dimanifestasikan dengan berbagai cara baik dengan cara
positif maupun negatif. Cara yang positif untuk membangun rasa percaya diri yaitu dengan
menciptakan definisi diri positif, memperjuangkan keinginan yang positif, mengatasi masalah
secara positif, memiliki dasar keputusan yang positif. Sedangkan cara yang negatif untuk
membangun rasa percaya diri yaitu sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan
diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri namun di lain pihak memasang harapan
yang tidak realistik terhadap diri sendiri. Cenderung melakukan tindakan negatif yaitu dengan
merokok, sehingga dengan menggunakan zat tersebut remaja cenderung lebih merasa percaya
diri (Jacinta, 2002). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Haryono (2007) bahwasanya
Terdapat korelasi antara Ketergantungan Merokok dengan Percaya Diri,  (r = -0,90 p < 0,05).
Artinya semakin tinggi tingkat ketergantungan merokok, maka semakin rendah tingkat percaya
diri.

IX. Dinamika Psikologis Perilaku Merokok Pada Remaja

Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip kembali oleh Helmi dan Komalasari (2000)
berpendapat bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi
perokok, yaitu: tahap preparatory, tahap initiation, tahap becoming smoker dan tahap
maintenance for smoke.

X. Tahap Preparatory

Tahap preparatory merupakan tahap dimana remaja sering mendapatkan model yang
menyenangkan dari lingkungan dan media. Remaja yang mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan
menimbulkan minat untuk merokok.
Yang biasanya menjadi life-model paling utama bagi remaja adalah teman sebaya hal ini terbukti
dengan berbagai fakta yang mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya,
biasanya remaja menularkan perilaku merokok dengan cara menawari teman-teman remaja
lainnya dengan menjanjikan kenikmatan merokok, atau dalih solidaritas kelompok. Dari teman
sebaya ini kemudian remaja yang belum merokok menginterpretasi bahwasanya dengan merokok
dia akan mendapatkan kenyamanan, dan atau dapat diterima kelompok, dari hasil interpretasi
tersebut kemungkinan remaja membentuk dan memperkokoh anticipatory beliefs yaitu belief
yang mendasari bahwa remaja membutuhkan pengakuan teman sebaya.

Life-model lainnya yang mungkin berpengaruh pada perilaku merokok pada remaja adalah orang
tua. Orang tua yang merokok kemungkinan berdampak besar pada pembentukkan perilaku
merokok pada remaja. Hal tersebut membuat permission belief remaja. Interpretasi remaja yang
mungkin terbentuk adalah bahwasanya merokok tidak berbahaya, tidak melanggar peraturan dan
norma. Hasil dari interpretasi tersebut memungkinkan terbentuknya permission belief system.

Model lainnya yang mungkin berpengaruh pada pembentukkan perilaku merokok adalah media
masa.

XI. Tahap Initiation

Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang meneruskan untuk tetap mencoba-coba
merokok. Setelah terbentuk interpretasi-interpretasi tentang model yang ada, kemudian remaja
mengevaluasi hasil interpretasi tersebut melalui perasaan dan perilaku. Evaluasi perasaan yang
mungkin terbentuk adalah “saya akan hancur apabila teman-teman lain merokok dan saya tidak,
mungkin mereka akan menjauhi, saya akan hancur”, maka evaluasi perilaku yang remaja lakukan
adalah mencoba-coba untuk merokok. Biasanya kegiatan coba-coba ini hanya dilakukan dengan
intensitas yang rendah dan hanya pada waktu-waktu tertentu. Helmi dan Komalasari (2000: 9)
membuktikan bahwa perilaku merokok pada remaja sebanyak 27,96 % dilakukan ketika
berkumpul bersama teman-teman.

XII.    Tahap becoming smoker

Menurut Levethal & Clearly Tahap becoming smoker merupakan tahap dimana seseorang telah
mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang perhari maka seseorang tersebut mempunyai
kecenderungan menjadi perokok. Hal ini didukung dengan adanya kepuasan psikologis dari
dalam diri, dan terdapat reinforcement positif dari teman sebaya.

Untuk memperkokoh perilaku merokok, paling tidak terdapat kepuasan psikologis tertentu yang
diperoleh ketika remaja merokok. Kepuasan psikologis merokok dijelaskan Helmi dan
Komalasari (2000: 11) sebagai akibat atau efek yang diperoleh dari merokok yang berupa
keyakinan dan perasaan yang menyenangkan. Hasil penelitian Helmi & Komalasari
membuktikan bahwa kepuasan psikologis memberikan sumbangan yang besar sebanyak 40,9 %
terhadap perilaku merokok remaja. Hal ini memberikan gambaran bahwa perilaku merokok bagi
remaja dianggap memberikan kenikmatan dan menyenangkan. Berikut hasil penelitian Helmi
dan Komalasari mengenai perasaan-perasaan remaja saat merokok dan setelah merokok.
Efek %

Nikmat 38,298

Puas 15,957

Tenang 12,766

Biasa saja 11, 703

Santai 5, 139

Hangat 3, 192

Percaya diri 2, 128

Gaya 1,064

Masalah hilang 1,064

Mengantuk 1,064

Pusing 5,257

Pahit 2, 218

(Helmi & Komalasari: 2000)

Selain mendapatkan kepuasan psikologis reinforcement positif dari teman sebaya merupakan
faktor yang menentukan bagi remaja untuk merokok. Penelitian Harlianti (1988), Helmi dan
Komalasari (2000) membuktikan bahwa lingkungan sebaya memberikan sumbangan yang besar
terhadap perilaku merokok pada remaja. Ligkungan teman sebaya memiliki arti yang penting
bagi remaja. Kebutuhan untuk diterima dan usaha untuk menghindari penolakan teman sebaya
merupakan kebutuhan yang sangat penting pada remaja. Remaja menurut Brigham dalam Helmi
(2000) tidak ingin dirinya disebut banci atau pengecut. Merokok bagi remaja merupakan
simbolisasi atas kejantanan, kekuasaan dan kedewasaan.

Bisa jadi symbol kedewasaan, kejantanan dan kekuasaan merupakan hasil evalauasi proses
kognisi atas interpretasi remaja terhadap orang tua yang bertindak sebagai life-model merokok.
Interpretasi tersebut kemudian dievaluasi melalui perasaan dan tindakan. Evaluasi perasaan yang
terbentuk adalah “terlihat jantan, dewasa, dan berkuasa, akan sangat membanggakan”.

XIII. Tahap maintenance of smoking

Menurut Levethal & Clearly pada tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara
pegaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang
menyenangkan. Individu yang berada pada tahap ini telah merasakan betul kenikmatan dari
merokok, merokok dapat dilakukan sesering mungkin, pengharapan eliminasi kecemasan juga
dilakukan perokok pada tahap ini melalui meroko, selain itu rokok juga digunakan sebagai
penghindaran-penghindaran kecemasan dan upaya relaksasi bagi perokok. Merokok dilakukan
untuk menhilangkan rasa lelah, mengjhilangkan rasa tidak enak ketika setelah makan, merokok
ketika melakukan pekerjaan, merokok ketika merasa terpojokkan, merokok ketika lelah berpikir,
merokok ketika merasa pusing dan lain-lain.

Tahap ini terjadi setelah keyakinan inti terbentuk, keyakinan inti tersebut adalah keyakinan
dengan merokok mendapatkan pengakuan dari teman sebaya (anticipatory beliefs), merokok
dapat memberikan kenikmatan dan menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), serta
keyakinan bahwa merokok bukan suatu pelanggaran norma (permission beliefs).

Selain itu perilaku permisif orang tua tentang bagaimana menyikapi remaja yang merokok, dapat
berpengaruh pada perilaku merokok remaja. Bila saja orang tua berlaku tegas untuk tidak
membiarkan anak remajanya untuk merokok maka tahap maintenance of smoking ini akan
ditekan atau dieliminir.

DAFTAR PUSTAKA

Brigham C.J. (1991). Social psychology. Boston: Harper Collins Publisher

Haryono. 2007. Hubungan Antara Ketergantungan Merokok Dengan Percaya Diri. [online]
tersedia di http://www.infoskripsi.com/Artikel-Penelitian/Ketergantungan-Merokok.html pada
pada: 7 mei 2009, 06.30.

Kemala N, Indri. (2007). Perilaku Merokok pada Remaja. Semarang: Digital USU.

Komalasari, D & Helmi, A.F (2000). Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Remaja.
[online] tersedia di http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/perilakumerokok_avin.pdf pada: 7 mei
2009, 06.30.

Pikiran Rakyat. (2009). Kebiasaan Merokok Dalam Tinjauan Kesehatan Jiwa. 10 Mei 2009

Poerwadarminta. (1995) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Republika. (1988). Lebih Dari Tiga Juta Meninggal Karena Tembakau dalam Setahun. 30
oktober 1988

Rita L. Atkinson, dkk. (1983). Pengantar Psikologi, edisi kedelapan, Jakarta: PT. Erlangga,

Smet, B (1994). Psikologi Kesehatan. Semarang: PT gramedia

Anda mungkin juga menyukai