Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara termiologi, tasawuf diartikan beragam. Hal ini di antaranya
karena berbeda cara memandang aktifitas-aktifitas para kaum ssufi, berikut
ini akan dikemukakan bebrapa definisi yang diformulasikan oleh para ahli-
ahli tasawuf. Ma’ruf al-Kakhi sebagaimana yang dikutip oleh As-Suhrawadi
mengatakan ”tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada
di tangan makhluk”. Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf berupaya
mencari hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi.
Kesenangan duniawi tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena dapat
mengganggu ibadah dan hubungan dengan Allah Swt.1
Dari berbagai pandangan ulama tasawuf tentang asal usul tasawuf
dapat disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah kesadaran murni yang
mengarahkan jiwa secara benar kepada mal shalih dan kegiatan yang
sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kedunian dalam rangka pendekatan
diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-
Nya.2
Orang yang bertasawuf adalah orang yang mensucikan dirinya dari
lahir dan batin dalam suatu pendidikan etika dengan menempuh jalan atas
dasar didikan tiga tingkat yang ada dalam istilah tasawuf dikenal dengan
takhali, tahalli, dan tajalli. Tasawuf dalam Islam, menurut ahli sejarah,
sebagai ilmu yang berdiri sendiri sekitar abad ke-2 atau awal abad ke -3
Hijriyah. Adapun faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf dibedakan
atas dua, yaitu faktor intern dan ekstern.3
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama
Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul
untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah juga

1
Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), hlm. 5
2
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 3
3
Ibid., hlm. 3
2

menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul


telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira, untuk
mengasingkan diri dari masyarakat kota Makkah yang sibuk dengan nafsu
keduniaan.4
B. Rumusan Masalah
Adapun dari latar belakang di atas terdapat beberapa rumusan masalah
yang dapat diambil yaitu:
1. Bagaimana Sejarah Munculnya Tasawuf?
2. Apa Saja Faktor-faktor Yang Mendorong Lahirnya Tasawuf?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah tersebut maka tujuan dari pembahasan ini
adalah untuk mengetahui sejarah munculnya tasawuf dan faktor-faktor yanga
mendorong munculnya tasawuf.

4
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 9
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama
Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw. Diutus menjadi rasul
untuk segenap umat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah juga
menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul
telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira, untuk
menghabiskan diri dari masyarakat kota Makkah yang sibuk dengan hawa
nafsu kedunian.5
Kehidupan nabi yang seperti itu dikenal sebagai hidup kerohanian
yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah yang dilakukan oleh orang
sufi sekarang ini. Corak kehidupan kerohanian nabi itulah yang dijadikan
sebagai pedoman dalam hidup kerohanian sesudahnya sebagai materi dalam
tasawuf. Tasawuf ini merupakan ajaran yang diikuti oleh orang sufi, dimana
sufi itu dianggap penganut Islam yang memisahkan kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat. Tasawuf dalam leteratur Barat disebut dengan sufisme.6
Istilah sufi, merupakan istilah mistik yang terdapat dalam Islam. Sufi
itu memiliki konotasi religius yang khas, yang dipakai dalam wacana yang
terbatas untuk menyebutkan mistik yang dianut oleh para pemeluk agama
Islam. Sekitar tahun 800 M, dikaitkan dengan bahasa Yunani, istilah sufi ini
mengandung makna yang lebih luhur dan memancarkan kesehajaan. Namun,
sampai sekarang masih sering terjadi perbedaan pendapat tentang asal-usul
kata sufi itu. Meskipun demikian, sebagai sufi berpendapat bahwa kata sufi
itu berasal dari bahasa arab, yang artinya kemurnian, sehingga seorang sufi
itu diartikan sebagai orang yang murni hatinya atau insan yang terpilih.
Namun, menuruk Noldeke dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa
kata sufi itu berasal dari suf yang terambil dari bahasa Arab yang berarti bulu

5
Ibid.
6
Ibid.
4

domba. Istilah itulah yang pertama kali diperkenalkan kepada orang Islam
yang hidup seperti bertapa (asketis) yang meniru kehidupan nirvana Nasrani.7
Tasawuf kurang tepat disebut sebgai ilmu empiris, logis, rasional dan
sintematis, karena mereka tidak bisa mentrasformasikan ilmunya kepada
orang lain. Lebih tepatnya tasawuf merupakan kumpulan pengalaman yang
mengadakan komunikasi dengan Nur Ilahi yang penuh dengan rasa dan
terwujud dalam berbagai bentuk kahidupan yang menjauhi kemewahan dan
menghabiskan waktu beribadah pad Allah, rindu untuk bertemu dengan
Allah.8
Usaha yang ditempuh oleh para sufi untuk bertemu dengan Allah itu,
tetntu melaului cara-cara, metode-metode atau jalan agar bisa sampai kepada
Tuhan. Dalam usaha untuk mencapai cara atau jalan yang ditempuh oleh
seorang sufi itu, tentu memerlukan riyadhah-riydhah dan pelajaran yang
diberikan oleh seorang guru (syeikh). Di mana hal itu merupakan suatu
organisasi yang punya turan-aturan yang harus dipatuhi oleh seorang murid
pada gurunya. Semua terangkum dalam sebuah istilah yang dikenal sengan
sebutan tarikat.9
1. Zaman Nabi
Memang hidup sufi itu sudah terdapat pada diri Nabi. Sehari-hari ia
hidup sederhana dan menderita, di samping ia menghabiskan waktunya dalam
ibadat, dalam mendekati Tuhannya.10
Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidupnya
menceritakan, bagaimana kesukaran rumah tangganya sehari-hari. Bukan saja
tidak terdapat perabot-perabot rumah tangga yang mewah dan makanan yang
enak-enak, tetapi alat rumah tangga yang perlu sehari-hari pun jarang
terdapat, dan jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa sehari-hari
pun belum tentu terdapat tiap waktu makan. Bahwa ia tidur di atas sepotong
tikar, sampai berbekas pada pipinya, dan bahwa sebagai makanan yang

7
Ibid., hlm. 10
8
Ibid.
9
Ibid. Hlm. 11
10
Abubakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Ramadhani, 1994), hlm. 41
5

terutama di rumahnya, yang dapat disajikan istrinya, adalah roti kering yang
terbuat dari tepung kasar dengan segelas air minum, sebutir atau dua butir
korma, adalah cerita yang banyak diketahui orang. Begitu pun bahwa di
rumahnya tidak terdapat meja makan, sehingga ahli rumahnya terpaksa
menghadapi hidangan makan dengan duduk di atas tanah, ini pun cerita yang
banyak dapat dibaca dalam kitab-kitab sejarah.11
Rasulullah sering kali berpuasa sunnat, yang barangkali maksudnya,
supaya waktu lapar itu tidak tersia-sia di luar amal. Setelah beribadat di
Mesjid beberapa waktu, ia pulang kerumahnya dan bertanya:”Hai Aisyah,
apakah ada sesuatu untuk dimakan?”12
Tatkala Aisyah menjawab tidak ada, ia kembali lagi ke Masjid dan
menghabiskan waktunya dengan sembahyang sunnat. Kemudian kembali
pula bertanya kepada istrinya, yang memberikan jawaban sebagai semula.
Sesudah beberapa kali berulang-ulang akhirnya berhasillah ia mendapati
sepotong roti di rumah, yang diantarkan kepada isterinya oleh Usman bin
Affan.13
Nabi Muhammad-lah yang memberikan contoh pertama tentang hidup
sederhana itu tentang menerima seadanya, menjadikan hidup rohani lebih
tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah, dan mengajak manusia untuk
meninggalkan berebut-rebutan kekayaan dan kesenangan dunia, dengan
meningggalkan tujuan hidup manusia pokok. Ia memberi contoh bahwa
kekayaan dan kesenangan itu tidak abadi, ia mengajak agar mencari kelezatan
hidup yang kebih tinggi darpda itu, yaitu hidup sepanjang ajaran Pecipta
dunia ini.14
a. Abad I dan II Hijriyah
Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu ketika sekelompok
kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya pada

11
Ibid.
12
Ibid., hlm. 42
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 43
6

pelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara


lain: Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H).15
b. Abad III dan IV Hijriiyah
Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi
kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga hijriyah mendapat
sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka
tidak semata – mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian
pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan
langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan
membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang
dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke
persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi
perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.16
Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan
pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat. Kemudian dari
beberapa tokoh lain muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah
suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal
fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa
bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan
kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia
yang dipilih.17[9] Tokoh-tokohnya adalah: Abu Yazid Al-Busthami
(w.261 H), Al-Junaid, Al-Sari Al-Saqathi , Al-Kharraz, Al-Hussain bin
Manshur Al-Hallaj (w. 309 H).
c. Abad V Hijriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf
dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering
disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi
(sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan

15
http://rouf250389.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-perkembangan-tasawuf.html
16
Ibid.,
17
7

reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng


dari koridor syari’ah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh
yang paling terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) atau yang
lebih dikenal dengan al-Ghzali yang menjadi acuan para tokoh sufi
lainnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah: Abu Hamid al-Ghazali (w.
505 H), Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H), Syaikh Abdul Qadir Al-
Jilani (w. 651 H), Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H), Abu Al-
Abbas Al-Mursi (w.686 H), Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H).18
d. Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf
bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman –
pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba
kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah
al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan
selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayalan. Dalam aliran ini para sufi lebih mengarahkan tasawuf pada
“kebersatuan” dengan Allah. Perhatian mereka sangat tertuju pada aspek
ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Para tokohnya antara lain:
Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560 –
638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya, Al-Syuhrawardi Al-Maqtul
(549 – 587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya, Umar ibn Al-Faridh (w.
632 H), Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in (w. 669 H).19
2. Zaman Sesudah Nabi
Kita sudah ceritakan dan sudah pula memberikan contoh-contoh,
bahwa kehidupan sufi itu sebenarnya sudah terdapat pada diri Nabi kita
Muhammad Saw, sudah pula terdapat pada diri sahabat-sahabatnya, bahkan
sudah kita kemukakan, bahwa kehidupan demikian sudah dikenal orang Arab
sebelum kedatangan Islam.20
18
Ibid.,
19
Ibid.,
20
Ibid., hlm 46
8

Bahwa perkataan tasawuf atau perkataan sufi belum dikenal orang


dalam zaman nabi atau zaman sahabat-sahabatnya sudah jelas. Hanya dari
perkataan-perkataan yang diucapkan mereka, atau perbuatan-perbuatan yang
dikerjakannya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hidup mereka lebih banyak
diarahkan kepada kehidupan roahani daripada kehidupan duniawi. Amal-
amal kerohanaian tampak jelas dilihat dalam ibadat-ibadat agama mereka.
Jika orang lain melakukan ibadat-ibadat itu hanya untuk memenuhi syarat
rukun agama semata-mata, mereka menunaikannya dengan tujuan yang lebih
mendalam, mencari hikmah-hikmah yang lebih tinggi daripada amal
perbuatan lahir semata-mata.21
3. Orang-orang Sufi Pertama
Kemudian terkenal pula di Bagdad seorang sufi besar, yang bernama
Abu Hamzah, yang juga sangat giat membina mazhab tasawuf, terutama
dalam membersihkan zikir, menetapkan hikmah, mempertebal kecintaan
terhadap tuhan, memperhalus rasa, memperbanyak ibadat, dan memperindah
budi manusia. Ajaran-ajarannya sangat diterima baik oleh penduduk Bagdad.
Dari syair-syairnya dapat kita lihat, bahwa ia seorang yang ingin
merendahkan diri dan membersihkan akhlak-akhlak, yang dapat membawa
kepada takabur dan ria. Hal ini kelihatan tatkala ia datang di Mekkah dan
disambut dengan kebesaran oleh suatu golongan sufi. Dengan tiba-tiba
penyambutan itu mengubahkan air mukanya. jarir bertannya “wahai guru,
apakah rahasia jiwa itu dapat berubah dengan berubah sifat luar?” ia
menjawab “mudah-mudahan Tuhan memberikan pertolongannya. Jikalau
rahasia bathin itu berubah karena berubah sifat luarnya, akan binasalah alam
ini. Tetapi rahasia bathin tidak berubah dan tetap, hanya menafik sifat-sifat
luar yang berubah itu”.22
Menurut Shorter Encycl of Islam dalam masa pertengahan kedua dari
abad ke VIII M. Sudah mulai menjadi kebiasaan memakai kata sufi itu
sebagai gelaran, diantaranya oleh Jabir Ibn Haiyan, seorang ahli kimia

21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 51
9

golongan Syi’a di Kufah, yang juga turut membangun ilmu bathin itu dengan
giatnya, begitu juga Abu Hasyim, seorang mistik yang ternama dalam kota
itu. Kira-kira bersamaan dengan waktu itu, menurut Muhasidi dan Jahis,
sudah terdapat juga pemakaian kata sufi oleh orang-orang Syi’a yang menjadi
anggota gerakan sufi di Kufah, yang perna dikepalai oleh Abdag As-Sufi,
seorang yang hidup dengan makan daun-daunan saja, dan yang meninggal
dunia di Bagdad dalam tahun 825 M. Jadi perkataan sufi ini mula-mula
berkembang di Kufah, dan kemudian barulah meluas pemakaiannya ke
tempat-tempat lain, sebagaimana auatu gerajan yang tertentu tujuannya.23
4. Tentang Mazhab Sufi
Sejarah sufi ini dipengaruhi oleh dua pikiran, menurut Alam pikiran
yang berkembang sesudah zaman sahabat Nabi itu gerakan itu pecah dalam
dua mazhab, sebagaimana terjadi dengan aliran-aliran paham yang lain dalam
Islam, yang satu berpusat di Basrah dan yang satu lagi berpusat di Kufah.24
Orang-orang Arab di Basrah, yang berasal dari bangsa Tamimi, yang
pembawanya realis dan kritis dalam cara berfikir, tgemar kepada logika
dalam kepuasan ilmu bahasa, realis dalam membuat sajak dan gubahan, kritis
dalam mengupas hadist dan sunnah Nabi dengan jiwa mu’tazilah dan
hadariyah dalam dogmatiqnya mempunyai guru dalam ilmu sufi Hasan Basri,
Malik bin Dinar, Fazl Raqqasyi, Rabah bin Amr Al-Qaisi, Salih Al-Murri,
dan Abdul Wahid bin zaid semuanya merupakan suatu golonagn tertentu dari
Abadan.25
Orang-orang Arab di Kufah, yang berasal dari suku bangsa Yamani,
berpembawaan idealis dan tradisonalis berisi jiwa kegemaran mendalami
ilmu bahasa, pengikut Plato dalam sajak dan syair, pengikut mazhab Sahiri
dalam mengupas hadist, dengan jiwa syi’ah dan mujiah dalam dogmatiqnya,
mendapat guru dalam ilmu mistik Rabi’ bin Khaisam, dan lain-lain. Ketiga
guru terakhir bnayak menghabiskan umurnya di ibu kerajaan Islam ketika itu
Bagdad, yang merupakan pusat gerakan mistik Islam sesudah tahun 864 M,
23
Ibid., hlm. 53
24
Ibid., hlm. 54
25
Ibid.
10

sekitar tahun mana yang pertama kali di Kota itu tempat-tempat perdebatan
persoalan agama, sehingga mesjid-mesjid yang terdapat di Bagdad
menjadilah tempat-tempat ceramah dan persoalan jawab mengenai ilmu
sufi.26
B. Faktor-faktor Yang Mendorong Lahirnya Tasawuf
Tasawuf dalam Islam, menurut ahli sejarah, sebagaimana ilmu yang
berdiri sendiri, lahir sekitar abad ke-2 atau awal abad ke-3 hijriyah.
Pembicaraan para ahli tentang lainnya tasawuf lebih banyak menyoroti
faktor-faktor yang mendorong kelahiran tasawuf. faktor dimaksud, oleh para
ahli, lazim dibefdakan kepada faktor ekstern, yang datang dari luar, dan
faktor intern, yang ada di dalam Islam itu sendiri. Faktor-faktor tersebut
dibedakan menjadi dua, yaitu:27
1. Faktor Ekstern
Banyak pendapat yang telah dikemukakan sekitar faktor ekstern ini,
antara lain sebagai berikut:28
a. Tasawuf lahir karena pengaruh dari paham kristen yang menjauhi
dunia dan hidup mengasingkan dari biara-biara. Sikap hidup yang
menjauhi dunia dan keramaian dunia ini memang terlihat jelas dalam
perilaku para sufi dengan paham zuhud yang mereka anut.
b. Tasawuf lahir karena pengaruh filsafat Phytagoras yang berpendapat
bahwa roh manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
29
Badan atau raga adalah penjara bagi roh. Untuk mencapai
kesenangan yang sebenarnya di dalam samawi, seseorang harus
membersihkan roh tersebut dengan sikap hidup meninggalakan
kehidupan materi dan berkontemplasi. Menurut pendukung teori ini,
ajaran Phytagiras inilah yang memengaruhi munculnya paham zuhud
di dalam tasawuf Islam.30

26
Ibid.
27
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Op. Cit., hlm. 4
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ris’an Rusli, Op. Cit., hlm. 11
11

c. Munculnya tasawuf dalam islam sebagai pengaruh dari filsafat


emanasi Plotinus yang membawa paham wujud memancar dari zat
Tuhan. Masuknya ke dalam materi menyebabkan roh menjadi kotor.
Untuk kembali kepada Tuhan roh harus dibersihkan terlebih dahulu
dengan sikap meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada
Tuhan seerat mungkin.
d. Tasawuf lahir atas pengaruh nirwana. Menurut ajaran Budha bahwa
seseorang meninggalkan dunia dan melakukan kontemplasi.
e. Tasawuf lahir karena pengaruh jaran Hinduisme yang mendorong
manusia meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Kebenaran teori-teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini
memang tidak dapat dipasdtiakn. Semua serba mungkin karena tasawuf
lahir pada saat Islam telah memunyai kontak dengan dunia luar agama
lain.31
2. Faktorn Intern
Sebagian ahli menekankan faktor intern. Menurut mereka, lahirnya
tasawuf islam dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang ada dalam Islam itu
sendiri, bukan pengaruh dari luar.32
Faktor-faktor intern ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-Hadis, dan
perilaku Nabi Muhammad Saw. Di dalam Al-Qur’an ditemukan ayat-ayat
tertentu yang dapat membawa pada paham mistis. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya teori bahwa paham tasawuf ini muncul dan
berkembang dari dalam diri sendiri, bukan karena paham dari luar.33
Allah berfirman dan QS Al-Baqarah [2]: 186:34
          
        

31
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Op. Cit., hlm. 5
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.
12

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku,


maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.
Gambaran tentang dekatnya Allah dengan manusia dapat dipertegas
lagi dalam surat Qaf [50]: 16. Allah berfirman:35
         
     
Dalam ayat ini Allah menunujukkan betapa dekat Ia dengan manusia,
bahkan lebih dekat dari pembuluh darah yang ada di leher manusia itu
sendiri. lebih jauh lagi ayat ini bisa dipahami bahwa Tuhan sebenarnya
berada di dalam diri manusia, bukan berada di luarnya. Karena itu, ke mana
pun manusia berpaling dan menghadapkan mukanya, ia selalu berjumpa
dengan Tuhan, sebagaimana ditegaskan Tuhan dan surat Al-Baqarah [2]: 115,
firman Allah:36
            
 

Apabila Tuhan menegaskan bahwa ia sangat dekat dengan manusia,


maka manusia tentu dapat berusaha lebih dekat sedekat mungkin kepada
Tuhan, bahkan lebih jauh lagi, manusia dapat menyatukan dirinya dengan
Tuhana, dalam arti Tuhan dan manusia sebenarnya adalah satu.
Sebagaimana telah dimaklumi, Rasulullah Saw. Di dalam ber-
taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, tidak jarang oergi meninggalkan
keramaian orang banyak, hidup menyepi untuk merenung dan
berkontemplasi, dan ber-tahannuts di Gua Hira. Ternyata di tengah-tengah
kesendirian ini, Rasulullah Saw mendapat petunjuk dari Allah Swt sebagai
Nabi dan Rasul yang menjadi panutan utama, sudah barang tentu dan wajar

35
Ris’an Rusli, Op. Cit., hlm. 13
36
Ibid., hlm. 14
13

perilaku Rasulullah ini contoh umatnya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau di
antara umat Islam memandang sikap menyendiri dan berkontemplasi sebagai
cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang merupakan salah satu ciri
utama di dlama dunia tasawuf.37
C. Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah yang dibawa
oleh para pedagang dari luar, termasuk dari Arab. Kemudian Islam di
Indonesia mengalami pasang surut seolah-olah menghilang beberapa abad
lamanya. Tetapi, pada abad ke-11 M, Islam menampakkan kekuasaannya lagi
di Indonesia lewat paham Syi’ah, kemudian pada abad ke-13 berubah lagi
menjadi aliran Syafi’iyah.
Muncul pertanyaan, kapan tasawuf masuk ke Indonesia? Di
Indonesia, tasawuf muncul dalam bentuk Tarekat, misalnya Tarekat
Qadiriyah berasal dari Baghdad, Naqsabandiyah dar Turkistan, dan Sattariyah
dari Makkah, berikut penulis akan coba memaparkan beberapa tokoh tasawuf
dari Indonesia, antara lain:38
1. Perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa
Di akhir abad ke XV Masehi, tepatnya pada tahun 1479 M, berdirilah
kerajaan Islam yang pertama di pulau Jawa (di Demak, Jawa Tengah),
dengan rajanya yang pertama adalah Raden Patah, maka tercatat dalam
sejarah bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran tasawuf.
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa, tidak terlepas dari usaha para
wali yang dikenal dengan nama “Wali Songo”, dengan menggunakan
pendekatan mistik, yang di dalamnya diisi ajaran tasawuf.
Dalam perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa, hampir sama pula
dengan keadaan yang dialami oleh masyarakat Islam di pulau lain,
dimana mereka dihadapkan kepada dua aliran tasawuf yang bertentangan;

37
Ibid., hlm. 15
38
http://rouf250389.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-perkembangan-tasawuf.html
14

yaitu aliran Sunni (Salaf) dan aliran Falsafi, sebagai aliran yang sudah
berkembang di Jazirah Arabiyah dan sekitarnya.
Ajaran tasawuf yang bercorak Sunni dan Falsafi di pulau Jawa, tetap
dianut oleh masyarakat. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, tasawuf
yang bercorak Falsafi inilah yang mengarah kepada aliran kebatinan,
sesuai kenyataan sekarang ini. Tentu saja aliran ini, sudah dimasuki oleh
unsur-unsur kepercayaan lain yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa
sebelumnya. Sehingga mewujudkan suatu bentuk lain, yang disebut aliran
kebatinan dan kepercayaan.39
2. Perkembangan Tasawuf di Pulau Sumatera
Perkembangan tasawuf di Sumatera, tidak terlepas dari upaya
maksimal para ulama Shufi yang bermukim di beberapa daerah di pulau
tersebut, untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-ulama Shufi yang
sangat berpengaruh di Sumatera. Antara lain;
a. Syekh Hamzah Pansuri
b. Syekh Syamsuddin bin abdillah As-Sumatraniy
c. Syekh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri
d. Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani
3. Perkembangan Tasawuf di Pulau Kalimantan
Perkembangan tasawuf di Kalimantan, sama halnya di pulau lain di
Nusantara, dimana ulama yang bermukim di sana, berupaya semaksimal
mungkin untuk menyebarkan ajaran tasawufnya, melalui dakwahnya,
buku-buku karangannya, maupun melalui Tarekatnya.
Salah seorang Shufi yang terkemuka di Kalimantan Barat adalah
Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi. Kemudian kita meninjau lagi
perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan; antara lain dikembangkan
oleh Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari.
Ulama-ulama inilah yang membekali Ilmu Tasawuf yang sangat luas
kepada Syekh Muhammad Nafis, sehingga ia mendapatkan pengakuan

39
Ibid.,
15

yang tinggi oleh masyarakat luas di kalimantan selatan, dengan gelar


Al-‘Alimul ‘Allamah Wal Fahhamah.
4. Perkembangan Tasawuf di Pulau Sulawesi
Perkembangan tasawuf di Sulawesi, tidak jauh berbeda dengan
keadaan di pulau lain, dimana ajaran tasawuf yang diterimanya, ada yang
bercorak Sunni dan ada pula yang bercorak Falsafi. Dan yang sangat
disayangkan, karena kebanyakan penganut tasawuf Falsafi mencampur-
baurkan ajaran tasawuf dengan ilmu hitam (guna-guna), sehingga makin
membingungkan masyarakat awam. Hal semacam inilah yang membuat
citra tasawuf di masyarakat semakin direndahkan, sehingga sekarang
kurang diminati orang.
Dalam pembahasan ini, penulis mengemukakan salah seorang Ulama
tasawuf dari kesekian banyak ulama’ yang menekuni ilmu tersebut.
Ulama yang dimaksudkan itu adalah Syekh Tajul Khalwati Al-Makassari;
lahir 8 Syawal1036 H. (3 Juli 1629 M.).40
Ia termasuk penganut ajaran tasawuf yang beraliran sunni, yang
bermukim di Goa (Sulawesi Selatan). Dan di sana-sana mula-mula
mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, meskipun ia sendiri masih
berasakan kekurangan ilmu. Sehingga selalu bercita-cita hendak merantau
ke daerah lain untuk menambah ilmu yang dimil

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa
timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan munculnya agama
Islam itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad Saw diutus
menjadi rasul seperti melakukan melakukan tahannuts dan khalwat di
Gua Hira, yang ditunjukkan dengan kehidupan nabi yang

40
Ibid.,
16

kerohaniannya bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah seperti


yang dilakukan oleh orang sufi saat sekarang ini.
Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
tasawuf yakni faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern nya antara lain
adalah lahir karena pengaruh dari paham kristen yang menjauhi dunia
dan hidup mengasingkan dari biara-biara, lahir karena pengaruh
filsafat Phytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia kekal dan
berada di dunia sebagai orang asing, lahir sebagai pengaruh dari
filsafat emanasi Plotinus yang membawa paham wujud memancar
dari zat Tuhan, lahir atas pengaruh nirwana, lahir karena pengaruh
jaran Hinduisme yang mendorong manusia meninggalkan dunia dan
berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sedangkan faktor-faktor intern ditemukan dalam Al-Qur’an, Al-
Hadis, dan perilaku Nabi Muhammad Saw. Di dalam Al-Qur’an
ditemukan ayat-ayat tertentu yang dapat membawa pada paham
mistis. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya teori bahwa paham
tasawuf ini muncul dan berkembang dari dalam diri sendiri, bukan
karena paham dari luar.

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abubakar, 1994, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Solo: Ramadhani

http://rouf250389.blogspot.co.id/2014/10/sejarah-perkembangan-tasawuf.html

M. jamil, 2007, Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta

Nasution, Ahmad Bangun, 2013, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Rusli, Ris’an, 2013, Tasawuf dan Tarekat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
17

Solihin dan Anwar Rosihan, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia

Susanti, Reni, 2012, Aklaqk Tasawuf, Curup: LP2 STAIN Curup

Anda mungkin juga menyukai