Anda di halaman 1dari 15

PERANAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP


CRIMES AGAINST HUMANITY (KASUS ROHINGYA)

Diajukan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah …………

Dosen:

Disusun Oleh:
Tony Hartanto
211003741011107

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG

2022
PERANAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP
CRIMES AGAINST HUMANITY (KASUS ROHINGYA)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kejahatan adalah suatu hal yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia, sejak awal mula peradaban manusia telah terjadi banyak
sekali tindak kejahatan mulai dari kejahatan yang belum diidentifikasikan secara
hukum sampai pada akhirnya umat manusia mengenal kejahatan sebagai sesuatu yang
dapat diklasifikasi berdasarkan berbagai macam aspek, seperti skala kecil dan
besarnya kejahatan, jumlah korban, kerusakan yang diakibatkan, dan hal-hal lainnya.
Kejahatan pada dasarnya dimungkinkan terjadi karena pada hakekatnya manusia
selalu berinteraksi, di dalam masyarakat manusia selalu berhubungan satu sama lain.
Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya interaksi, kontak atau hubungan satu
sama lain. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau menimbulkan
pertentangan atau konflik (Mertokusumo, 2005: 3)
Sebelum adanya konsep negara, kejahatan hanya dipandang sebagai suatu tindak
pidana yang terjadi antara subjek hukum manusia saja. Hal ini berubah total dengan
munculnya konsep kedaulatan negara dan hukum internasional. Dengan lahirnya
konsep negara yang berdaulat maka dunia mulai mengenal adanya konsep masyarakat
internasional (R. Abdussalam, 2003: 5) dan juga hukum internasional. Hukum
internasional lazimnya mengatur hak-hak dan kewajiban dari negara-negara,
sedangkan hokum pidana yang mengatur tentang tindak-tindak kejahatan, secara
paradigma berkaitan dengan berbagai larangan-larangan yang ditujukan kepada
individu, pelanggaran kepada hukum pidana ini akan berujung pada sanksi dari
negara. Mengingat telah tumbuhnya konsep negara dan juga masyarakat internasional
maka lahirlah sebuah ranah baru yang disebut sebagai hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional berkembang dari berbagai macam sumber. Konsep
kejahatan perang lahir dari ‘hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang (laws and
customs of war), yang menyepakati adanya perlindungan kepada individu tertentu di
dalam konflik bersenjata (Cryer, 2010: 3). Hukum pidana internasional, dalam hal
ini mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan tentu tidak bisa lepas dari konsep Hak
Asasi Manusia (HAM) dan juga hukum humaniter internasional. Hukum humaniter
internasional secara garis besar adalah sebuah perangkat peraturan yang bertujuan,
demi alasan kemanusiaan, untuk membatasi efek dari konflik bersenjata, hukum ini
melindungi orang-orang yang tidak maupun yang sudah tidak berpartisipasi di dalam
pertikaian dan membatasi sarana dan metode peperangan (International Committee of
the Red Cross, 2004).
Pada hakekatnya, selain menjadi sebuah hukum dan norma-norma yang harus
dipegang oleh semua pihak pada waktu terjadinya suatu konflik bersenjata ataupun
perang, hukum humaniter internasional juga merupakan sebuah pedoman hukum yang
menjadi dasar perlindungan HAM, atau dalam arti yang lebih luas, sebuah hukum
yang melindungi kemanusiaan itu sendiri. Salah satu dari empat kejahatan
internasional inti (core international crimes) yang diatur di dalam hukum pidana
internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap
kemanusiaan ini menurut Jean Graven sudah mempunyai umur yang sama dengan
halnya umur kemanusiaan itu sendiri. Meskipun demikian, baru dalam tujuh decade
terakhir muncul sebuah pelanggaran internasional terhadap kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan baru dalam lima belas tahun terakhir lekuk-lekuk yang akurat (the
precise contours) dari tindak kejahatan ini dapat diklarifikasi (Cryer: 2010).
Klarifikasi tersebut terlihat dari mulai terkodifikasinya pengertian kejahatan
terhadap kemanusiaan di dalam berbagai Statuta peradilan baik yang ad hoc seperti
ICTY dan ICTR maupun yang permanen, seperti ICC. Di bawah Komisi Hukum
Internasional PBB, pada Konferensi di Roma yang dihadiri 160 negara dan sejumlah
organisasi internasional non governmental organization, maka ditandatanganilah
Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court (ICC). Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ ICC), dalam ketentuan Statuta Roma
1998 menyebutkan, International Criminal Court adalah suatu lembaga pengadilan
pidana internasional yang bersifat permanent, independent, dan complementeir.
Mahkamah ini merupakan manifestasi atas perjuangan masyarakat internasional untuk
mewujudkan suatu mahkamah yang bersifat permanen, yang dapat mengadili
kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh masyarakat internasional. Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) memiliki yurisdiksi atas
kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, yang redaksi
lengkapnya sebagai berikut:

Yurisdiksi Mahkamah akan dibatasi pada kejahatan yang paling serius yang
menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengadilan
memiliki yurisdiksi sesuai dengan Statuta ini sehubungan dengan kejahatan-
kejahatan berikut: a) Kejahatan genosida; b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; c)
Kejahatan perang; d) Kejahatan agresi.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian


dari serangan yang meluas atau sistematis yang dapat diketahui bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa tindakan
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan penduudk secara paksa,
perampasan dengan paksaan kebebasan penduduk seperti memenjarakan dengan
melanggar prinsip dasar hukum internasional, perkosaan, perbudakan seksual,
pemaksaan untuk melakukan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi
dan bentuk-bentuk kebrutalan seksual yang mengerikan, Penganiayaan suatu
kelompok yang diklasifikasikan atas dasar aliran politik, ras, suku bangsa, etnis,
budaya, agama dan gender atau atas dasar klasifikasi penyiksaan dengan tegas dilarang
dalam hukum internasional dan yurisdiksi ICC, penghilangan paksa, kejahatan
apartheid, dan Perbuatan tidak manusiawi lain yang sifatnya dengan sengaja
menyebabkan penderitaan berat atau luka parah mengenai badan dan mental serta
sangat mengganggu terhadap kesehatan manusia (Dirdjosisworo, 2002).
Penderitaan etnis Rohingya dimulai sejak tahun 1978 yaitu ketika ada 300 ribu
jiwa etnis Rohingya yang dipaksa mengungsi dari negerinya ke Bangladesh dan
terlunta bertahun-tahun. Sejak 1991-1992, terjadi eksodus gelombang berikutnya. Tak
hanya ke Bangladesh, gelombang eksodus juga terjadi ke negara Asean lainnya.
Namun, seringkali mereka tidak diterima oleh negara tujuan dan menjadi manusia
perahu. Puluhan ribu dari mereka tewas dan banyak lagi mengungsi akibat Kejahatan
Terhadap Manusia lainnya yang dilakukan oleh umat Budha dan pemerintah junta
Myanmar. PBB sendiri menyebut Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas yang
paling teraniaya di dunia. Tidak adanya tanggapan serta bantuan nyata dari organisasi
internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional terhadap Kejahatan
Kemanusiaan yang sudah berlangsung lama tersebut menimbulkan pertanyaan apakah
peran dari ICC sebagai Mahkamah Internasional yang memiliki wewenang serta
kapasitas untuk mengadili telah sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada kaum Rohingya?
2. Bagaimana peran International Criminal Court (ICC) dalam menangani
crimes against humanity terhadap etnis minoritas Rohingya?

C. PEMBAHASAN
1. International Criminal Court (ICC)

International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional


merupakan sebuah lembaga peradilan internasional yang bersifat tetap dan
independen dengan kedudukannya yang berada diluar tubuh Perserikatan Bangsa-
Bangsa. ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 dengan tujuan utama
adalah untuk dapat mengadili individu yang melakukan pelanggaran berat
terhadap hukum kemanusiaan internasional (Jutta, 2010). Sejarah pembentukan
ICC diawali sejak kejahatan-kejahatan yang terjadi selama Perang Dunia II yang
telah memicu dibentuknya tribunal militer yang dikenal dengan Nurenberg
Tribunal melalui London Agreement untuk mengadili para penjahat perang Nazi.
Demikian juga pada tahun 1946, Negara-Negara sekutu menyepakati suatu piagam
yang membentuk International Military Tribunal untuk Timur Jauh yang dikenal
dengan Tokyo Tribunal untuk mengadili para penjahat perang Jepang selama
Perang Dunia II. Terbentuknya Nurenberg Tribunal dan Tokyo Tribunal menjadi
awal kesadaran terhadap pentingnya membentuk sebuah lembaga peradilan
internasional yang bersifat permanen dan independen untuk dapat mengadili
pelaku kejahatan kemanusiaan dan menghilangkan hak impunitas tidak terkecuali
bagi kepala Negara dan diplomat yang dapat membebaskannya untuk diadili
didalam pengadilan. Tujuan utamanya adalah untuk menghentikan segala bentuk
kejahatan kemanusiaan seperti genosida, penghapusan suatu etnis dan juga
kejahatan perang yang dilakukan oleh individu (Jena, 2016).
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Umum PBB membentuk sebuah komisi
untuk menyiapkan proposal yang berhubungan dengan pembentukan sebuah
peradilan internasional. Secara bertahap sejak tahun 1949 sampai tahun 1954,
Komisi Hukum Internasional PBB melakukan persiapan pembentukan draft
Statuta yang berisi tentang pembentukan suatu mahkamah pidana internasional.
Perjalanan pembentukan ICC sempat mengalami penundaan akibat adanya
perbedaan pendapat dari para anggota Komisi Hukum International PBB dalam
menyiapkan draft Statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasional
(Mauna, 2013).
Sebagai sebuah organisasi, International Criminal Court memiliki struktur
dengan tugas dan fungsi masing-masing. ICC memiliki empat struktur utama
yaitu Kepresidenan, majelis, jaksa penuntut umum, dan Kepaniteraan. Adapun
tugas dari masing-masing struktur adalah sebagai berikut (Sarah, 2011).
1. Kepresidenan, terdiri dari seorang hakim ketua atau presiden dan dua orang
wakil yang dipilih secara langsung dari 18 hakim yang ada di dalam struktur
ICC. Tugas dari hakim utama adalah memimpin persidangan yang digelar, baik
jalannya sidang maupun administrasinya, dan memutuskan hukuman terhadap
terdakwa.
2. Majelis, terdiri dari 18 hakim yang terbagi atas divisi pra-sidang dengan tujuh
hakim, divisi sidang dengan enam hakim, dan divisi banding dengan lima
hakim. Keseluruhan hakim ini bertugas sebagai majelis persidangan baik pra-
sidang, sidang, dan sidang banding.
3. Kantor Penuntut Umum, bertugas untuk mengumpulkan informasi, investigasi
kasus, memproses tuntutan, dan mengajukan tuntutan di dalam persidangan.
4. Kepaniteraan, bertugas untuk menjaga dan mengontrol persidangan agar tetap
bejalan secara adil, dan lancar dengan cara menyediakan administrasi dan
kebutuhan operasional bagi Majelis dan Jaksa Penuntut Umum, selain itu
lembaga regristrasi juga bertugas sebagai penyampai informasi kepada public
(International Criminal Court. 2002.)

2. Crimes Against Humanity (Kejahatan Kemanusiaan)

Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915 untuk
menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan besar-besaran di
Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis berhubungan
dengan berlakunya asas non- retroaktif dalam hukum pidana dimana asas tersebut
tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana tindak pidana
tersebut belum ada hukum yang mengatur (Diantha,2014).
Di era pasca Perang Dunia II, pengaturan mengenai kejahatan terhadap
kemanusiaan terdapat dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg
Pasal 6 (c) yang memberikan penjelasan mengenai kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai berikut:
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan
secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang
ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama
perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama
dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan
ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau
tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan”
(Widyawati, 2014: 93).

Setiap bentuk dari kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,


kejahatan perang dan kejahatan agresi sudah pasti meninggalkan korban jiwa dan
harta benda dari pihak-pihak yang tidak berdosa dan tidak ikut dalam konflik
berdarah itu, yakni rakyat. Korban yang ditimbulkan akibat konflik bersenjata
atau kekerasan terhadap pihak yang lemah cukup besar dengan persenjataan dan
penyiksaan semakin canggih pasca Perang Dunia II (Robertson, 2002). Perbuatan
melanggar hukum internasional itu dimulai sebagai kejahatan oleh Negara atau
militer yang dikutuk dunia sebagai perilaku yang kurang manusiawi. Pengadilan
terhadap para pelaku pelanggaran HAM melibatkan masyarakat internasional,
karena perbuatan tersebut dianggap dapat mengancam perdamaian dunia (world
peace) yang dibangun berdasarkan pada prinsip kesamaan, kebebasan
berpendapat, keadilan, dan penghormatan terhadap HAM. Dari keempat kejahatan
tersebut, kejahatan yang sering melanggar HAM rakyat sipil dalam pandangan
masyarakat internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang dapat diketahui bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa
tindakan (Dirdjosisworo, 2002) :
(1) Pembunuhan;
(2) Pemusnahan;
(3) Perbudakan;
(4) Pemindahan penduduk secara paksa;
(5) Perampasan dengan paksaan kebebasan penduduk
seperti memenjarakan dengan melanggar prinsip dasar
hukum internasional;
(6) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan untuk
melakukan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan
sterilisasi dan bentuk-bentuk kebrutalan seksual yang
mengerikan;
(7) Penganiayaan suatu kelompok yang diklasifikasikan
atas dasar aliran politik, ras, suku bangsa, etnis, budaya,
agama dan gender atau atas dasar klasifikasi penyiksaan
dengan tegas dilarang dalam hukum internasional dan
yurisdiksi ICC;
(8) Penghilangan paksa;
(9) Kejahatan apartheid;
(10) Perbuatan tidak manusiawi lain yang sifatnya dengan
sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka parah
mengenai badan dan mental serta sangat mengganggu
terhadap kesehatan manusia.
3. Bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan pada Kaum Rohingya
Pemberitaan tentang pembantaian muslim Rohingya pada Oktober
2016 tahun lalu telah mengejutkan publik di tingkat regional dan
internasional. Di era yang sangat terbuka dan kebebasan pers begitu
dijunjung tinggi seperti saat ini, telah terjadi dugaan pelanggaran berat
HAM di negeri Burma (Myanmar) yang berbatasan sebelah barat dengan
Bangladesh dan India. Peristiwa dugaan pelanggaran berat HAM ini, telah
menyebabkan eksodus besar-besaran ribuan warga Rohingya yang
mengungsi ke Indonesia, Malaysia, Thailand, dan India. Bahkan, United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memperkirakan
setidaknya 150.000 orang melarikan diri dari perbatasan Myanmar menuju
Bangladesh dan India sejak tahun 2012. Hal ini dipicu sejak munculnya
gerakan Rohingya Elimination Group pada tahun 2012 yang bertujuan
untuk menghapus kaum Rohingya dari bumi arakan. Gerakan Rohingya
Elimination Group, telah memaksa puluhan ribu orang untuk tinggal di
camp-camp konsentrasi dan menyebabkan ratusan orang lainnya
meninggal dunia (Nalom, 2017).
Negeri bekas koloni Inggris yang mendapatkan kemerdekaannya
pada tanggal 4 Januari 1948 ini, memiliki jumlah penduduk lebih dari 50
puluh juta jiwa. Mayoritas penduduk yang merupakan keturunan dari ras
Mongol ini merupakan pemeluk Budha yang taat. Meski telah merdeka
sejak 1948, bukan berarti kehidupan politik dan masyarakat di negeri
Burma ini, berjalan tanpa aral dan gejolak. Setidaknya terdapat beberapa
peristiwa pergolakan politik yang dapat dicatat pasca kemerdekaan
Myanmar 1948. Sebuah laman mengungkapkan secara kronologis tentang
terjadinya peristiwa Rohingya sebagai berikut
1. yaitu upaya mengintimidasi kaum Rohingya dan memaksa
mereka keluar dari wilayah arakan dengan melakukan operasi
King Dragon pada tahun 1978;
2. tidak diakuinya kewarganegaraan kaum Rohingya sebagai
bagian dari 135 kelompok etnis resmi di Myanmar pada tahun
1982;
3. pengembalian secara paksa para pengungsi Rohingya yang telah
melarikan diri ke Bangladesh akibat tidak mampu bertahan
dalam situasi konflik yang berkepanjangan pada tahun 1990,
serta pemusnahan rumah ibadah (Masjid) dan sekolah pada
tahun 2001;
4. munculnya gerakan Rohingya elimination group yang didalangi
oleh kelompok ekstrimis yang menamakan dirinya 969.
Gerakan ini bertujuan untuk menghapus kaum Rohingya dari
bumi arakan. Akibat dilakukannya gerakan ini, sekitar 140.000
orang dipaksa tinggal di kamp konsentrasi yang menyebabkan
200 orang tewas;
5. terjadinya eksodus besar-besaran warga Rohingya dengan
menggunakan kapal untuk mengungsi ke Indonesia, Malaysia,
dan Thailand. Eksodus ini menyebabkan ribuan orang
terkatung-katung di lautan dan banyak diantaranya meninggal
dalam perjalanan. UNHCR memperkirakan setidaknya terdapat
150.000 orang melarikan diri dari perbatasan Myanmar-
Bangladesh sejak Januari 2012 – 2015;
6. pembantaian terhadap muslim Rohingya yang terjadi pada
bulan Oktober 2016 yang menewaskan 150 orang dan 3 desa
yang hangus dibakar (Nalom, 2017).
Meski jumlah korban, waktu dan tempat kejadian atas dugaan
pelanggaran HAM yang terjadi terhadap warga Rohingya tidak ada yang
memiliki angka pasti, namun beberapa diantaranya dapat dikonfirmasi
kebenarannya. Sebagaimana rilis yang dikeluarkan oleh Human Rights
Watch sebagaimana diberitakan oleh BBC, lebih dari 1.200 rumah telah
diratakan dengan tanah di beberapa kampung tempat tinggal umat Islam
Rohingya di Myanmar dalam enam pekan belakangan ini (terhitung sejak
Oktober-November 2016). Bahkan, lampiran foto satelit terhad tersebut.
Perusakan rumah warga tersebut diindikasikan dilakukan oleh Militer
Myanmar yang sedang menggelar operasi militer di kawasan tersebut.
Namun tidak mudah untuk melakukan verifikasi terhadap peristiwa
sesungguhnya, karena akses untuk masuk ke dalam wilayah tersebut
sangat terbatas. Tidak hanya bagi warga negara sipil dan asing, bagi
wartawan sekalipun tidak diberikan akses untuk meliput di sekitar tempat
peristiwa itu terjadi.

4. Peranan International Criminal Court (ICC) dalam Penegakan


Hukum Pidana Internasional Terhadap Crimes Against Humanity
(Kasus Rohingya)
ICC dapat melaksanakan kewenangannya atas suatu kasus jika
negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus, sungguh-sungguh tidak
mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk melakukan
penyidikan atau penuntutan (Sefriani, 2012). Pasal 17 Statuta Roma
1998 mengatur bahwa ICC tidak dapat melaksanakan yurisdiksi
berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kasus tersebut sedang disidik
dan dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus, kecuali
negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau (unwilling) atau tidak
mampu (unable); kedua, kasus itu telah di- selidiki oleh negara yang
mempunyai yurisdiksi terhadapnya dan negara itu telah memutuskan
tidak menuntut individu tersebut; ketiga, individu yang bersangkutan
telah dihukum; keempat, kasus itu cukup bukti untuk membenarkan
tindakan-tindakan lebih lanjut oleh pengadilan. Ketentuan Pasal 17 ayat
(2) Statuta Roma 1998 menjelaskan bahwa ICC dapat melaksanakan
yurisdiksi apabila salah satu syaratnya sistem pengadilan nasional suatu
negara unwilling. Ketentuan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma 1998
menjelaskan bahwa ICC akan mempertimbangkan indikator (unable)
ketidakmampuan, baik itu ketidakmampuan secara menyeluruh atau
kegagalan substansial, sehingga sistem peradilan nasional tidak dapat
melaksanakan sendiri proses persidangan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 17 Statuta Roma 1998, indikator
mengenai unwilling atau unable pada dasarnya berlaku pada negara yang
telah meratifikasi. Bagi negara yang belum meratifikasi, seperti pada
negara Myanmar, maka dasar agar ICC dapat melaksanakan
kewenangannya dapat dilihat dalam Pasal 12 Statuta Roma 1998. Pasal
tersebut menjelaskan apabila suatu pelanggaran terjadi pada negara yang
bukan pihak peratifikasi statuta, maka harus mengajukan pernyataan
yang diajukan ke kantor panitera bahwa negara tersebut menerima
pelaksanaan yurisdiksi ICC.
Dalam menangani kasus kejahatan kemanusiaan terhadap etnis
Rohingya di Myanmar, ICC telah melakukan serangkaian upaya
penanganan kasus ini. Berdasarkan Pasal 15 dari Statuta Roma akumulasi
34 laporan/laporan dan kemudian ditindaklanjuti oleh Jaksa Penuntut
Umum ICC untuk melakukan pemeriksaan prelimanary dan dimulai pada
tanggal 18 September 2018. Pada tanggal 9 April 2018, ICC Jaksa
Penuntut mengajukan permintaan sesuai dengan peraturan pasal 46 (3)
untuk dilakukan Pre-Trial Chamber mengenai dugaan deportasi orang-
orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Pada tanggal 9 April
2018, ICC Jaksa Penuntut mengajukan permintaan sesuai dengan
peraturan pasal 46 (3) untuk dilakukan preTrial Chamber mengenai
dugaan deporrtasi orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.
Pada tanggal 11 Mei 2018, Chamber mengeluarkan perintah untuk
dilaksanakannya sidang konferensi pada tanggal 20 Juni 2018, dalam sesi
tertutup, dan hanya di lakukan di hadapan Jaksa Penuntut. Pada tanggal
14 Juni 2018, registri (administratif/bantuan untuk korban) diserahkan
kepada informasi Chamber terkait 21 laporan korban yang diterima Jaksa
Penuntut. Selanjutnya, dalam keputusan dari 6 September 2018, PTC
menemukan bahwa pengadilan dapat menegaskan yurisdiksi sesuai
dengan Pasal 12 (2) (a) dari Statuta jika setidaknya satu unsur kejahatan
dalam yurisdiksi pengadilan atau bagian dari kejahatan seperti itu
dilakukan di wilayah Negara Pihak pada Statuta. Secara khusus,
Chamber berpendapat bahwa tindakan deportasi yang dimulai di negara
bukan kewenangan Statuta (melalui pengusiran atau tindakan memaksa
lainnya) dan diselesaikan dalam negara yang memandatangani Statuta
(berdasarkan korban menyeberangi perbatasan ke Negara) jatuh dalam
parameter Pasal 12 (2) (a) dari Statuta itu berarti penyelidikan dilakukan
melalui Bangladesh.

D. KESIMPULAN
1. Bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan pada Kaum Rohingya
a. upaya mengintimidasi kaum Rohingya dan memaksa mereka
keluar dari wilayah arakan dengan melakukan operasi King
Dragon pada tahun 1978;
b. tidak diakuinya kewarganegaraan kaum Rohingya sebagai
bagian dari 135 kelompok etnis resmi di Myanmar pada tahun
1982;
c. pengembalian secara paksa para pengungsi Rohingya yang telah
melarikan diri ke Bangladesh akibat tidak mampu bertahan
dalam situasi konflik yang berkepanjangan pada tahun 1990,
serta pemusnahan rumah ibadah (Masjid) dan sekolah pada tahun
2001;
d. munculnya gerakan Rohingya elimination group yang didalangi
oleh kelompok ekstrimis yang menamakan dirinya 969. Gerakan
ini bertujuan untuk menghapus kaum Rohingya dari bumi
arakan. Akibat dilakukannya gerakan ini, sekitar 140.000 orang
dipaksa tinggal di kamp konsentrasi yang menyebabkan 200
orang tewas;
e. terjadinya eksodus besar-besaran warga Rohingya dengan
menggunakan kapal untuk mengungsi ke Indonesia, Malaysia,
dan Thailand. Eksodus ini menyebabkan ribuan orang terkatung-
katung di lautan dan banyak diantaranya meninggal dalam
perjalanan. UNHCR memperkirakan setidaknya terdapat
150.000 orang melarikan diri dari perbatasan Myanmar-
Bangladesh sejak Januari 2012 – 2015;
f. pembantaian terhadap muslim Rohingya yang terjadi pada bulan
Oktober 2016 yang menewaskan 150 orang dan 3 desa yang
hangus dibakar.
2. Dalam menangani kasus kejahatan kemanusiaan terhadap etnis
Rohingya di Myanmar, ICC telah melakukan serangkaian upaya
penanganan kasus ini. Berdasarkan Pasal 15 dari Statuta Roma
akumulasi 34 laporan/laporan dan kemudian ditindaklanjuti oleh
Jaksa Penuntut Umum ICC untuk melakukan pemeriksaan
prelimanary dan dimulai pada tanggal 18 September 2018. Pada
tanggal 9 April 2018, ICC Jaksa Penuntut mengajukan permintaan
sesuai dengan peraturan pasal 46 (3) untuk dilakukan Pre-Trial
Chamber mengenai dugaan deportasi orang-orang Rohingya dari
Myanmar ke Bangladesh. Pada tanggal 9 April 2018, ICC Jaksa
Penuntut mengajukan permintaan sesuai dengan peraturan pasal 46
(3) untuk dilakukan preTrial Chamber mengenai dugaan deporrtasi
orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Pada tanggal
11 Mei 2018, Chamber mengeluarkan perintah untuk
dilaksanakannya sidang konferensi pada tanggal 20 Juni 2018,
dalam sesi tertutup, dan hanya di lakukan di hadapan Jaksa Penuntut.
Pada tanggal 14 Juni 2018, registri (administratif/bantuan untuk
korban) diserahkan kepada informasi Chamber terkait 21 laporan
korban yang diterima Jaksa Penuntut. Selanjutnya, dalam keputusan
dari 6 September 2018, PTC menemukan bahwa pengadilan dapat
menegaskan yurisdiksi sesuai dengan Pasal 12 (2) (a) dari Statuta
jika setidaknya satu unsur kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan
atau bagian dari kejahatan seperti itu dilakukan di wilayah Negara
Pihak pada Statuta.

E. DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam,.(2003). Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:PTIK.

Cryer, P.E. (2010). Textbook of Diabetes (4th ed.). The Atrium, Southern
Gate, Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell.

Diantha. (2016). Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Prenada


Media Group.

Dirdjosisworo S.2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. PT Grafindo Persada.

Jena-Baptiste Jeangène Vilmer. (2016). ‘The African Union and the


InternationalCriminal Court: Counteracting the crisis’, International
Affairs, 92 (6) p. 1323.

Jutta Brunnée and Stephen Toope. (2010). ‘The Responsibility to Protect and
the use of force: Binding legality?’. Global Responsibility to Protect.
2(3): p. 193.

Mauna. 2013. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam


Era Dinamika Global. Bandung: P.T. ALUMNI.

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Liberty.
Nalom. (2017). Rohingya Case and State Responsibility in the Enforcement of
Human Rights. Jurnal Konstitusi. 14 (4): 880-905.

Robertson. 2002. Performance Measurement. Jogjakarta: Ranah.

Sarah M. H. Nouwen and Wouter G. Werner. (2011).‘Doing justice to the


political: the International Criminal Court in Uganda and Sudan’,
European Journal of International Law, 21 (4): pp. 947–50.

Sefriani. (2012).Hukum internasional. Jakarta: Rajawali Press.

Anda mungkin juga menyukai