Makalah 7
Makalah 7
Dosen:
Disusun Oleh:
Tony Hartanto
211003741011107
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG
2022
PERANAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP
CRIMES AGAINST HUMANITY (KASUS ROHINGYA)
Kejahatan adalah suatu hal yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia, sejak awal mula peradaban manusia telah terjadi banyak
sekali tindak kejahatan mulai dari kejahatan yang belum diidentifikasikan secara
hukum sampai pada akhirnya umat manusia mengenal kejahatan sebagai sesuatu yang
dapat diklasifikasi berdasarkan berbagai macam aspek, seperti skala kecil dan
besarnya kejahatan, jumlah korban, kerusakan yang diakibatkan, dan hal-hal lainnya.
Kejahatan pada dasarnya dimungkinkan terjadi karena pada hakekatnya manusia
selalu berinteraksi, di dalam masyarakat manusia selalu berhubungan satu sama lain.
Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya interaksi, kontak atau hubungan satu
sama lain. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau menimbulkan
pertentangan atau konflik (Mertokusumo, 2005: 3)
Sebelum adanya konsep negara, kejahatan hanya dipandang sebagai suatu tindak
pidana yang terjadi antara subjek hukum manusia saja. Hal ini berubah total dengan
munculnya konsep kedaulatan negara dan hukum internasional. Dengan lahirnya
konsep negara yang berdaulat maka dunia mulai mengenal adanya konsep masyarakat
internasional (R. Abdussalam, 2003: 5) dan juga hukum internasional. Hukum
internasional lazimnya mengatur hak-hak dan kewajiban dari negara-negara,
sedangkan hokum pidana yang mengatur tentang tindak-tindak kejahatan, secara
paradigma berkaitan dengan berbagai larangan-larangan yang ditujukan kepada
individu, pelanggaran kepada hukum pidana ini akan berujung pada sanksi dari
negara. Mengingat telah tumbuhnya konsep negara dan juga masyarakat internasional
maka lahirlah sebuah ranah baru yang disebut sebagai hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional berkembang dari berbagai macam sumber. Konsep
kejahatan perang lahir dari ‘hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang (laws and
customs of war), yang menyepakati adanya perlindungan kepada individu tertentu di
dalam konflik bersenjata (Cryer, 2010: 3). Hukum pidana internasional, dalam hal
ini mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan tentu tidak bisa lepas dari konsep Hak
Asasi Manusia (HAM) dan juga hukum humaniter internasional. Hukum humaniter
internasional secara garis besar adalah sebuah perangkat peraturan yang bertujuan,
demi alasan kemanusiaan, untuk membatasi efek dari konflik bersenjata, hukum ini
melindungi orang-orang yang tidak maupun yang sudah tidak berpartisipasi di dalam
pertikaian dan membatasi sarana dan metode peperangan (International Committee of
the Red Cross, 2004).
Pada hakekatnya, selain menjadi sebuah hukum dan norma-norma yang harus
dipegang oleh semua pihak pada waktu terjadinya suatu konflik bersenjata ataupun
perang, hukum humaniter internasional juga merupakan sebuah pedoman hukum yang
menjadi dasar perlindungan HAM, atau dalam arti yang lebih luas, sebuah hukum
yang melindungi kemanusiaan itu sendiri. Salah satu dari empat kejahatan
internasional inti (core international crimes) yang diatur di dalam hukum pidana
internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap
kemanusiaan ini menurut Jean Graven sudah mempunyai umur yang sama dengan
halnya umur kemanusiaan itu sendiri. Meskipun demikian, baru dalam tujuh decade
terakhir muncul sebuah pelanggaran internasional terhadap kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan baru dalam lima belas tahun terakhir lekuk-lekuk yang akurat (the
precise contours) dari tindak kejahatan ini dapat diklarifikasi (Cryer: 2010).
Klarifikasi tersebut terlihat dari mulai terkodifikasinya pengertian kejahatan
terhadap kemanusiaan di dalam berbagai Statuta peradilan baik yang ad hoc seperti
ICTY dan ICTR maupun yang permanen, seperti ICC. Di bawah Komisi Hukum
Internasional PBB, pada Konferensi di Roma yang dihadiri 160 negara dan sejumlah
organisasi internasional non governmental organization, maka ditandatanganilah
Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court (ICC). Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ ICC), dalam ketentuan Statuta Roma
1998 menyebutkan, International Criminal Court adalah suatu lembaga pengadilan
pidana internasional yang bersifat permanent, independent, dan complementeir.
Mahkamah ini merupakan manifestasi atas perjuangan masyarakat internasional untuk
mewujudkan suatu mahkamah yang bersifat permanen, yang dapat mengadili
kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh masyarakat internasional. Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) memiliki yurisdiksi atas
kejahatan yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, yang redaksi
lengkapnya sebagai berikut:
Yurisdiksi Mahkamah akan dibatasi pada kejahatan yang paling serius yang
menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengadilan
memiliki yurisdiksi sesuai dengan Statuta ini sehubungan dengan kejahatan-
kejahatan berikut: a) Kejahatan genosida; b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; c)
Kejahatan perang; d) Kejahatan agresi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada kaum Rohingya?
2. Bagaimana peran International Criminal Court (ICC) dalam menangani
crimes against humanity terhadap etnis minoritas Rohingya?
C. PEMBAHASAN
1. International Criminal Court (ICC)
Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915 untuk
menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan besar-besaran di
Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis berhubungan
dengan berlakunya asas non- retroaktif dalam hukum pidana dimana asas tersebut
tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana tindak pidana
tersebut belum ada hukum yang mengatur (Diantha,2014).
Di era pasca Perang Dunia II, pengaturan mengenai kejahatan terhadap
kemanusiaan terdapat dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg
Pasal 6 (c) yang memberikan penjelasan mengenai kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai berikut:
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan
secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang
ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama
perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama
dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan
ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau
tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan”
(Widyawati, 2014: 93).
D. KESIMPULAN
1. Bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan pada Kaum Rohingya
a. upaya mengintimidasi kaum Rohingya dan memaksa mereka
keluar dari wilayah arakan dengan melakukan operasi King
Dragon pada tahun 1978;
b. tidak diakuinya kewarganegaraan kaum Rohingya sebagai
bagian dari 135 kelompok etnis resmi di Myanmar pada tahun
1982;
c. pengembalian secara paksa para pengungsi Rohingya yang telah
melarikan diri ke Bangladesh akibat tidak mampu bertahan
dalam situasi konflik yang berkepanjangan pada tahun 1990,
serta pemusnahan rumah ibadah (Masjid) dan sekolah pada tahun
2001;
d. munculnya gerakan Rohingya elimination group yang didalangi
oleh kelompok ekstrimis yang menamakan dirinya 969. Gerakan
ini bertujuan untuk menghapus kaum Rohingya dari bumi
arakan. Akibat dilakukannya gerakan ini, sekitar 140.000 orang
dipaksa tinggal di kamp konsentrasi yang menyebabkan 200
orang tewas;
e. terjadinya eksodus besar-besaran warga Rohingya dengan
menggunakan kapal untuk mengungsi ke Indonesia, Malaysia,
dan Thailand. Eksodus ini menyebabkan ribuan orang terkatung-
katung di lautan dan banyak diantaranya meninggal dalam
perjalanan. UNHCR memperkirakan setidaknya terdapat
150.000 orang melarikan diri dari perbatasan Myanmar-
Bangladesh sejak Januari 2012 – 2015;
f. pembantaian terhadap muslim Rohingya yang terjadi pada bulan
Oktober 2016 yang menewaskan 150 orang dan 3 desa yang
hangus dibakar.
2. Dalam menangani kasus kejahatan kemanusiaan terhadap etnis
Rohingya di Myanmar, ICC telah melakukan serangkaian upaya
penanganan kasus ini. Berdasarkan Pasal 15 dari Statuta Roma
akumulasi 34 laporan/laporan dan kemudian ditindaklanjuti oleh
Jaksa Penuntut Umum ICC untuk melakukan pemeriksaan
prelimanary dan dimulai pada tanggal 18 September 2018. Pada
tanggal 9 April 2018, ICC Jaksa Penuntut mengajukan permintaan
sesuai dengan peraturan pasal 46 (3) untuk dilakukan Pre-Trial
Chamber mengenai dugaan deportasi orang-orang Rohingya dari
Myanmar ke Bangladesh. Pada tanggal 9 April 2018, ICC Jaksa
Penuntut mengajukan permintaan sesuai dengan peraturan pasal 46
(3) untuk dilakukan preTrial Chamber mengenai dugaan deporrtasi
orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Pada tanggal
11 Mei 2018, Chamber mengeluarkan perintah untuk
dilaksanakannya sidang konferensi pada tanggal 20 Juni 2018,
dalam sesi tertutup, dan hanya di lakukan di hadapan Jaksa Penuntut.
Pada tanggal 14 Juni 2018, registri (administratif/bantuan untuk
korban) diserahkan kepada informasi Chamber terkait 21 laporan
korban yang diterima Jaksa Penuntut. Selanjutnya, dalam keputusan
dari 6 September 2018, PTC menemukan bahwa pengadilan dapat
menegaskan yurisdiksi sesuai dengan Pasal 12 (2) (a) dari Statuta
jika setidaknya satu unsur kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan
atau bagian dari kejahatan seperti itu dilakukan di wilayah Negara
Pihak pada Statuta.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam,.(2003). Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:PTIK.
Cryer, P.E. (2010). Textbook of Diabetes (4th ed.). The Atrium, Southern
Gate, Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell.
Jutta Brunnée and Stephen Toope. (2010). ‘The Responsibility to Protect and
the use of force: Binding legality?’. Global Responsibility to Protect.
2(3): p. 193.