Anda di halaman 1dari 1

Melalui jawaban-Nya, Yesus mengundang lawan bicara-Nya — dan kita juga — untuk

mempertimbangkan bahwa dimensi duniawi di mana kita sekarang hidup bukanlah satu-satunya
dimensi, tetapi ada dimensi lain, yang tidak lagi tunduk pada kematian, yang akan terwujud
sepenuhnya bahwa kita adalah anak-anak Allah. Sangat menghibur dan penuh pengharapan
ketika mendengar perkataan Yesus yang sederhana dan jelas ini tentang kehidupan setelah
kematian; kita sangat membutuhkannya terutama di zaman kita ini, yang begitu kaya akan
pengetahuan tentang alam semesta tetapi begitu kurang hikmat tentang hidup yang kekal.
Kepastian Yesus yang jelas tentang kebangkitan didasarkan sepenuhnya pada kesetiaan Allah,
Yang adalah Allah kehidupan. Sebenarnya, di balik pertanyaan orang Saduki tersembunyi
pertanyaan yang lebih mendalam: tidak hanya istri siapa yang akan menjadi janda dari tujuh
suami, tetapi milik siapa hidupnya. Ini adalah keraguan yang menyentuh umat manusia dari
setiap zaman dan juga kita: setelah ziarah duniawi ini, apa yang akan terjadi dengan hidup kita?
Apakah itu bukan milik apa-apa, sampai mati? Yesus menjawab bahwa hidup adalah milik
Allah, yang mengasihi kita dan sangat memperhatikan kita, hingga menghubungkan nama-Nya
dengan nama kita: Dia adalah “Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah
orang mati, melainkan Allah orang hidup.” (ayat 37-38). Hidup ada di mana ada ikatan,
persekutuan, persaudaraan; kehidupan yang lebih kuat daripada kematian ketika dibangun di atas
hubungan sejati dan ikatan kesetiaan. Sebaliknya, tidak ada kehidupan di mana seseorang
memiliki anggapan hanya milik dirinya sendiri seperti hidup pada sebuah pulau: kematian terjadi
dalam sikap-sikap ini. Itu adalah keegoisan. Jika kita hidup untuk diri kita sendiri, kita menabur
kematian di hati kita.

(Angelus, 10 November 2019)

Anda mungkin juga menyukai