Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM KESEHATAN

PADA HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

DISUSUN OLEH:

1. SORAYA (2033001179)
2. RAFIF SA’DI NUR PUTRO (2033001072)
3. DANNI ANGGIAT INDRANANDA (2033001231)
4. ALIEF TAUFIKRIRAHMAN (2033001168)

UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA

FAKULTAS HUKUM

KELAS B/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul Hukum Kesehatan yang merupakan bagian dari
Hukum Tindak Pidana Khusus dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas Bapak Supriyono, S.H, M.H. Selain itu penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang Hukum Tindak Pidana Khusus.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak selaku dosen mata
kuliah Hukum Tindak Pidana Khusus. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................................................................5
1.4. Manfaat Penelitian.....................................................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
2.1 Pengertian Hukum.......................................................................................................................6
2.2 Pengertian Kesehatan..................................................................................................................6
2.3 Pengertian Dari Hukum Kesehatan..............................................................................................6
2.4 Sejarah Hukum Kesehatan...........................................................................................................6
2.5 Kelompok-Kelompok Dalam Hukum Kesehatan..........................................................................7
2.6 Ruang Lingkup Dalam Hukum Kesehatan....................................................................................8
2.7 Latar Belakang Terjadinya Terjadinya Undang-Undang di Dunia Kesehatan...............................9
2.8 Fungsi Dari Hukum Kesehatan.....................................................................................................9
2.9 Sumber-Sumber Hukum Kesehatan...........................................................................................10
2.10 Asas-Asas Hukum Kesehatan...................................................................................................11
2.11 Upaya Kesehatan Guna Meningkatkan Derajat Kesehatan......................................................11
2.12 Hukum Kesehatan Dimasa Yang Akan Datang.........................................................................11
2.13 Hal-Hal Penting Dari Undang-Undang Kesehatan....................................................................12
2.14 Materi Perundang-Undangan Dibidang Kesehatan..................................................................14
2.15 Objek Perjanjian Medis............................................................................................................16
BAB III....................................................................................................................................18
PENUTUP...............................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
bagi setiap orang yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan diperlukan dukungan
hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konse
pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya,
pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan
penekanan pada upaya pencegahan penyakt dan peningkatan kesehatan.

Paradigma ini dikenal dalam kesehetan sebagai paradigma sehat. Sebagaimana


konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus
berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaaan dan peningkatan
kualitas individu, keluarga, dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus
memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau
serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Secara singkat untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang,
maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi
penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan. Adanya jaminan atas
pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme, dan dilakukannya desentralisasi
bidang kesehatan. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya
kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara uaya kesehatan
maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.

Pertanyaan yang muncul adalah siapa saja tenaga kesehatan itu dan keterkaitannya
dengan sumpah atau kode etik tenaga kesehatan dokter dan bidan, selanjutnya ialah apakah
yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan huku kesehatan, materi
muatan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa
yang akan mendatang. Untuk itu, dilakukan kajian normatif yang mengacu pada hukum
sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi
keilmuan hukum.
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 kelompok sesuai
dengan tiga lapisan ilmu hukum, yaitu dogmatik hukum teori hukum, dan filsafat hukum.
Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum pertanyaan hukum yang timbul, maka digunakan
pendekatan konseptual, staula, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatan
waktu, maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa pembahasan yang akan dibahas
penulis dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa saja sumber-sumber di dalam Hukum Kesehatan?


2. Apa saja yang menjadi landasan di dalam Hukum Kesehatan?

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui hubungan antara Hukum Kesehatan dengan Hukum Tindak Pidana
Khusus beserta asas-asas dan sumber-sumber hukum dari Hukum Kesehatan secara lebih
rinci.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum, khususnya
dalam bidang hukum kesehatan terakit sarana kesehatan.

2. Diharapkan dapat memberikan bahan bacaan dan refrensi bagi kepentingan akadems
dan juga sebagai tambahan bagi kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan
dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur.
2.2 Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2.3 Pengertian Dari Hukum Kesehatan
Beberapa pengertian Hukum Kesehatan menurut beberapa ahli dan undang-undang:
a. Van Der Mijn: Hukum Kesehatan diartikan sebagai hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum
perdata, pidana, dan TUN
b. Lenen: Hukum Kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum
di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya
c. Hukum Kesehatan (No. 23 tahun 1992): Semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan dan penerapannya. Yang diatur
menyangkut hak dana kewajibn baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelengggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan
medis, ilmu pengetahuan kesehatan, dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan yang mengatur hak dan kewajiban individu,
kelompok, atau masyarakat sebagai penerima pelayan kesehatan pada satu pihak, hak dan
kewajiban tenaga kesehatan dan sarana kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan di pihak lain yang mengikat masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian
terapeutik dan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang
kesehatan lainnya yang berlaku secara lokal, regional, nasional, dan iternasional.
2.4 Sejarah Hukum Kesehatan
Pada mulanya orang menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada yang
bisa menjelaskan mengapa suatu penyakit menyerang satu orang dan tidak menyerang yang
lain. Memahami apa yang terjadi selalu melibatkan kekuatan supranatural. Penyakit
dipandang sebagai hukuman Tuhan bagi mereka yang tidak mematuhi hukumnya, atau
sebagai akibat dari aktivitas roh jahat yang berperang melawan dewa pelindung umat
manusia. Penyembuhan hanya dapat dilakukan oleh pendeta atau pemuka agama melalui doa
atau upacara kurban. Dia berwenang membuat hukum karena sebagai wakil Tuhan dia
dipercaya untuk membuat hukum di muka bumi. Undang-undang yang mereka sadari
memberikan hukuman yang berat, seperti amputasi tangan seseorang yang melakukan
pekerjaan dokter dengan cara yang berbeda dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga
orang enggan memasuki profesi tersebut.
Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga
memiliki hukum kesehatan. Konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana
penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.
Peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen. Tidak ada hukuman
bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti. Profesi kedokteran masih di
dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran Sebenarnya
ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek
pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem
imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal,
bukan dari Mesir). Dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta
daftar hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula
ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter
ketika menangani budak tersebut.
Salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah
berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
a. Adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran
yang bersifat coba-coba
b. Adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien
serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia
dan aborsi
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil
keuntungan
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
Abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang
kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat
hukum untuk mengontrol profesi kedokteran. Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk
menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang
etika batin, tujuan hukum adalah untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan
manusia, sanksi hukum bersifat memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.
2.5 Kelompok-Kelompok Dalam Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan dapat di kelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1. Hukum kesehatan yang terkait langsung dengan pelayanan kesehatan yaitu antara lain :
a. UU No. 23/ 1992 Tentang Kesehatan yang telah diubah menjadi UU No 36/2009 tentang
Kesehatan
b. UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran
c. UU No, 44/ 2009 tentang Rumah sakit
d. PP No. 32/1996 tentang Tenaga Kesehatan
e. Permenkes 161/2010 tentang Uji kompetensi
2. Hukum Kesehatan yang tidak secara laingsung terkait dengan pelayanan Kesehatan antara
lain:
a. Hukum Pidana
Pasal-pasal hukum pidana yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal
359 KUHP tentang kewajiban untuk bertanggung jawab secara pidana bagi tenaga kesehatan
atau sarana kesehatan yang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan
pasien mengalami cacat, gangguan fungsi organ tubuh atau kematian akibat kelalaian atau
kesalahan yang dilakukannya.
b. Hukum Perdata
Pasal-pasal Hukum perdata yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya Pasal
1365 KUHPerd. Mengatur tentang kewajiban hukum untuk mengganti kerugian yang dialami
oleh pasien akibat adanya perbuatan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan dalam memberikan pelayanan terhadap
pasien
c. Hukum Administrasi
Ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan maupun oleh sarana kesehatan yang melanggar hukum adminstrasi yang
menyebabkan kerugian pada pada pasien menjadi tanggung jawab hukum dari penyelenggara
pelayanan kesehatan tersebut
3. Hukum Kesehatan yang berlaku secara Internasional:
1. Konvensi
2. Yurisprudensi
3. Hukum Kebiasaan
4. Hukum Otonomi:
1. Perda tentang Kesehatan
2. Kode Etik Profesi
2.6 Ruang Lingkup Dalam Hukum Kesehatan
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan yang
disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Menurut Leenen, masalah kesehatan
dikelompokkan dalam 15 kelompok (Pasal 11UUK):
1. Kesehatan keluarga
2. Perbaikan gizi
3. Pengemanan makanan dan minuman
4. Kesehatan lingkungan
5. Kesehatan kerja
6. Kesehatan jiwa
7. Pemberantasan penyakit
8. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. Penyuluhan kesehatan
10. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. Pengamanan zat adiktif
12. Kesehatan sekolah
13. Kesehatan olah raga
14. Pengobatan tradisional
15. Kesehatan matra
Hukum kesehatan di Indonesia belum seluruhnya memenuhi runag lingkup yang
ideal, sehingga yang diperlukan adalah:
1. Melakukan inventarisasi dan analisis terhadap perundang-undangan yang sudah ada untuk
dikaji sudah cukup atau belum.
2. Perlu dilakukan penyuluhan tidak hanya terbatas kepada tenaga kesehatan saja tetapi juga
kalangan penagak hukum dan masyarakat
3. Perlu dilakukan identifikasi yang tepat bagi pengaturan masalah-masalah kesehatan guna
pembentukan perundang-undangan yang benar.
2.7 Latar Belakang Terjadinya Terjadinya Undang-Undang di Dunia Kesehatan
1. Pengaturan pemberian jasa keahlian
2. Tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. Keterarahan
4. Pengendalian biaya
5. Kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi
kewajiban pemerintah
6. Perlindungan hukum pasien
7. Perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. Perlindungan hukum pihak ketiga
9. Perlindungan hukum bagi kepentingan umum
2.8 Fungsi Dari Hukum Kesehatan
Fungsi hukum kesehatan adalah:
1. Menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di
dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar bagi
ketertiban masyarakat secara keseluruhan
2. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang
kesehatan). Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
3. Merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-halangi dokter
untuk melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka
tindakan tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan. Contoh lain: mengenai pandangan
masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah.
Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan
kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika perbuatannya
memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan
pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa
tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.
2.9 Sumber-Sumber Hukum Kesehatan
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun
kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan
mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak
mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam
melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber
yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana
kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya,
hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik,
pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.
Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU) : Peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara
yang berwenang, dan mengikat masyarakat.
2. Kebiasaan : Perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang.
3. Yurisprudensi : Keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi
dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu
menjadi keputusan hakim yang tetap.
4. Traktat (Perjanjian antar negara) : Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena
perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu
sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
5. Perjanjian : Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah
dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang.
Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
6. Doktrin : Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi
pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu
sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
2.10 Asas-Asas Hukum Kesehatan
1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa
2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan
perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan
dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai
oleh semangat kekeluargaan.
4. Asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus
dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental,
antara materiel dan spiritual
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.
2.11 Upaya Kesehatan Guna Meningkatkan Derajat Kesehatan
Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat
meliputi:
1. Upaya peningkatan kesehatan (promotif)
2. Upaya pencegahan penyakit ( preventif)
3. Upaya penyembuhan penyakit (kuratif)
4. Upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
2.12 Hukum Kesehatan Dimasa Yang Akan Datang
Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam
peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar
untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan
yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan
kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan
kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan
masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara
efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu dukungan hukum
tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum
baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap
tatanan hukum yang telah ada.
2.13 Hal-Hal Penting Dari Undang-Undang Kesehatan
1. Adanya payung bagi tindakan aborsi atas indikasi medik
Sebagaimana diketahui bahwa tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan dengan
alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan hukum.
Namun dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dapat dilakukan aborsi. Aborsi
atas indikasi medik tersebut dapat dilakukan dengan syarat:
a. adanya kondisi yang menyebabkan wanita hamil berada dalam keadaan bahaya maut jika
tidak dilakukan aborsi.
b. Sebelumnya harus meminta pertimbangan lebih dahulu dari tim ahli yang terdiri atas ahli
medik, agama, hukum, dan psikologi.
c. Harus ada informed consent dari wanita yang bersangkutan. Jika wanita ybs dalam keadaan
tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, maka informed consent dapat
diminta dari suami atau keluarganya.
d. Pelaksanaan aborsi harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan.
e. Tempat aborsi adalah di sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan fasilitas yang
memadai untuk kepentingan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.
2. Penyembuhan dan pemulihan kesehatan dengan transplantasi
Upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transplantasi. Meskipun
belum diatur secara lengkap tetapi beberapa pembatasan telah dikemukakan dalam UUK,
antara lain:
a. Transplantasi organ/jaringan hanya boleh dilakukan dengan kemanusiaan. Tidak
dibenarkan dilakukan dengan tujuan komersial.
b. Pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu.
c. Tempat pelaksanaan ialah di sarana kesehatan yang memiliki persyaratan ketenagaan dan
fasilitas.
d. Pengambilan organ/jaringan harus memperhatikan kesehatan donor
e. Harus ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya
3. Dimungkinkannya melakukan upaya kehamilan di luar cara alami
Upaya kehamilan untuk memperoleh keturunan di luar cara alami dengan memanfaatkan
teknologi bayi tabung dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat-syarat yang
sangat ketat, yaitu:
a. Hanya boleh dilakukan terhadap pasangan nikah (suami isteri).
b. Harus menggunakan sperma suami dan ovum isteri.
c. Embrio yang dihasilkan hanya boleh ditanamkan ke dalam rahim isteri.
d. Pelaksanaannya hanya di sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan ketenagaan dan
fasilitas yang memadai untuk itu dan telah ditunjuk oleh pemerintah
e. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu.
Dengan adanya syarat tersebut maka upaya kehamilan dengan teknologi bayi tabung tidak
boleh menggunakan donor sperma atau ovum, donor embrio, dan ibu tumpang. (tentang
kehamilan dengan menggunakan teknologi cloning tidak disinggung dalam UUK)
4. Diakuinya hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
Pengakuan atas hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri yang diwujudkan dalam
bentuk informed consent merupakan refleksi bahwa HAM juga dijadikan acuan bagi
kebijakan di bidang kesehatan. Dengan adanya pengakuan tersebut maka pasien berhak
menentukan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik. Mengenai masalah
imunisasi, yang sebetulnya amat oenting bagi upaya meningkatkan kesehatan masyarakat
tidak disebut dalam UUK, yaitu termasuk wajib atau sukarela.
5. Dibolehkannya melakukan pengobatan tradisional
Dengan dibolehkannya melakukan pengibatan tradisional berarti sistem yang dianut bukan
sistem monopoli kedokteran, artinya orang boleh melakukan praktek pengobatan tradisional,
yaitu metode pengobatan yang mengacu pada pengalaman turun temurun, baik yang asli
maupun dari luar negeri. Kebijakan seperti ini memang patut dihargai, sebab masyarakat
memang punya hak untuk menentukan, metode mana yang menurutnya baik untuk dipilih.
Meskipun demikian pemerintah punya kewajiban dan sekaligus kewenangan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya sehingga tidak merugikan masyarakat.
6. Dibentuknya majelis disiplin tenaga kesehatan
Untuk memberikan perlindungan yang seimbang antara tenaga kesehatan dan penerima
layanan kesehatan, maka perlu dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, yang akan
menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam rangka memberikan layanan. Majelis terdiri atas ahli psikologi, sosiologi, agama dan
ahli hukum yang sekaligus bertindak sebagai ketua. Hukuman yang dapat diterapkan adalah
hukuman administratif berupa pencabutan izin untuk jangka waktu ttt atau hukukman lain
sesuai dengan kesalahan dan kelalaiannya.
7. Adanya payung bagi Program KB
Sebelum ada UUK banyak tenaga kesehatan merasa ragu terhadap program KB, sebab
meskipun secara materiil tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana namun secara formil
masih. Dengan adanya UUK, maka secara formil tindakan pengaturan terhadap kelahiran
dalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis tidak lagi mrpkn tindak pidana.
8. Ditetapkannya hukuman pidana yang yang sangat berat (Pasal 80-86)
Bisanya dalam uu yang mengatur hal yang khusus (lex specialis) diatur juga ketentuan
pidananya, demikian juga dalam UUK. Hukumannya mencapai 15 tahun penjara disertai
denda 500 juta rupiah.
2.14 Materi Perundang-Undangan Dibidang Kesehatan
Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian
masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi
profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka
digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan
Schuyt. Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang
dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga
yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan
keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh
subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan
prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal
tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat
oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan.
Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan
asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa.
Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa
dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat
menetapkan dan yang bersifat mengatur. Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat
dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
a. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan
b. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan
c. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan
d. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan
merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan
sendiri. Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh
organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup
kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4
(empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Sebelum
memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai
intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur.
Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam
komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan
terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
a. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu
b. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu
c. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan
sesuatu yang secara umum diharuskan.
d. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang
secara umum dilarang.
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat
diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu
apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive. Selanjutnya dengan komponen
kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi
dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta. Pada
organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga
pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi
dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa
tujuan yang ingin dicapat adalah :
a. Penyelenggaraan ketertiban sosial
b. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan
c. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual
d. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat
e. Kanalisasi perubahan sosial.
2.15 Objek Perjanjian Medis
Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka
kita dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan
atau pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian medis dapat merupakan:
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi sehat atau
cenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha
promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi seseorang yang
mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis
B, dianjurkan sekali untuk mendapatkan vaksinasi Hepatitis B. Usaha preventif ini bersifat
spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.
3. Keluarga Berencana
Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai keturunan, secara
umum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kebaha¬giaan keluarga secara umum.
4. Usaha penyembuhan penyakit
Sifat tindakan di sini adalah kuratif, Untuk menyembuhkan penyakit yang akut atau relatif
belum terlalu lama di derita.
5. Meringankan penderitaan
Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya menghilangkan
gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya obat-obat penghilang
rasa nyeri.
6. Memperpanjang hidup
Penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga sewaktu-waktu perlu dilakukan
tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal yang memerlukan ‘cuci darah’.
7. Rehabilitasi
Tindakan medis yang dilakukan untuk rehabilitasi umumnya dilakukan terhadap pasien yang
cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka bakar atau trauma. Ada
pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang cantik sehingga menginginkan
dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang kadang menimbulkan masalah apabila
harapan yang didambakan untuk memperoleh kecantikan yang dijanjikan tidak terpenuhi.
Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek
hukum yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah
inspanningsverbintenis atau suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam kaitamya
dengan ‘beban pembuktian’ apabila terjadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila dokter
bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta hubungan
dokter-pasien merupakan hubungan yang saling penuh pengertian, umumnya tidak akan ada
permasalahan yang menyangkut jalur hukum.
Dengan demikian maka Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh
karena itu jika perjanjian terapetik telah memenuhi pasal 1320 KUH Perdata, maka semua
kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasien. Pasal 1338 (2) perjanjian itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang
oleh UU dinyatakan cukup untuk itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Hukum kesehatan secara umum diatur dalam suatu regulasi yang dibuat berdasarkan
kepentingan publik. Pengaturan tentang kesehatan saat ini diatur secara umum dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Adapun materi muatan yang
terkandung dalam Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut meliputi 4
(empat) obyek, yaitu :

1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan


2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.

Secara umum hukum kesehatan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan mengedepankan beberapa anatara lain : prinsip perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminatif serta norma-norma agama. Sedangkan mengenai bentuk regulasi
hukum kesehatan selain diatur dalam suatu undang-undang yang mengatur secara umum dan
khusus di bagian-bagian tentang kesehatan juga diatur dalam berbagai regulasi khusus yang
dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan dan berbagai kode etik.
Diantaranya adalah kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar operasional yang
dibuat dalam rangka penyelenggaraan upaya kesehatan.

2. Terdapat kaitan yang erat mengenai upaya kesehatan, tenaga kesehatan dan pasien yang
menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum atau perikatan antara ketiga komponen
dalam pelayanan kesehatan, dapat lahir karena perjanjian dan karena UU. Hubungan hukum
antara dokter dan pasien kebanyakan lahir karena perjanjian, hanya sedikit yang lahir karena
UU. Oleh karena itu ketiga komponen diatas harus memenuhi, mengetahui dan memahami
segala bentuk regulasi yang ada, hal ini untuk mengurangi berbagai kemungkinan
pergesekkan yang dapat menimbulkan suatu implikasi hukum, khususnya dalam pdalam
praktek pemberian pelayanan kesehatan.
3. Interaksi antara dokter, pasien, dan penyelenggara kesehatan seringkali menimbulkan
hubungan hukum. Hubungan hukum kadangkala menimbulkan berbagai persengketaan.
Persengketaan inilah yang perlu mendapat perhatian. Perhatian khusus terhadap adanya
kemungkinan persengketaan perlu dilakukan suatu pemecahan dan solusi khusus. Sengketa
yang sering muncul antara dokter, pasien, dan penyelenggara kesehatan umumnya berkenaan
dengan sengketa medik. Oleh karena itu sengketa medis ini harus dilakukan secara elegan.
Bentuk penyelesaian sengketa medik secara umum dapat di selesaikan dengan beberapa cara,
baik melalui proses litigasi maupun non litigasi. Proses litigasi biasanya dilakukan melalui
proses penuntutan, baik secara pidana maupun secara perdata. Namun dalam
perkembangannya, sengketa medik dapat diselesaikan melalui mediasi medis, atau kalau
memang harus diselesaikan di tingkat pengadilan maka sangat dibutuhkan suatu pengadilan
khusus kesehatan yang bersifat ad hoc tanpa ada campur tangan peradilan umum dari
penegak hukum umum

3.2 Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pidana yang dibahas adalah Undang-Undang Kesehatan terbaru Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Perumusan tindak pidana dan pemidanaan dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 telah dirumuskan secara tegas karena dalam Undang-Undang
kesehatan yang lama, yaitu Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 masih banyak
memberikan perlindungan hukum secara tidak langsung. Namun demikian Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 masih mengandung kelemahan.

Untuk memaksimalkan pelaksanan pemidanaan tindak pidana dalam pelayanan


kesehatan atau lazimnya disebut tindak pidana medis maka perlu segera diterbitkan peraturan
pelaksana Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhamad. (2001). Etika Profesi Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti

Anonim. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bandung :


Fokusmedia.

Anonim. (2013). Buruknya Pelayanan Kesehatan-Program Askes dan Jamkesmas Tidak


Optimal. [ cited 2013 Mar 7 ] available from : www.sapa-indonesia.com

Bastian, Indra dkk. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

Erwin, Muh, (2001), Filsafat Hukum : Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta : Rajawali
Pers

Maryam,St. dkk. (2013). Perlindungan Hukum Bagi Pasien Penerima Jasa Pertolongan
Persalinan. Jurnal Ilmu Hukum di Pasca Unhas.

Masniati. (2013) : Pasien Keluhkan Dokter. Tribun Timur Tanggal Mei 2013, Makassar:
[cited 2013 June 16]: Available from :www.tribuntimur.com

Moejatno. (2007). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : PT.Bumi Aksara.

Sutrisno, S. (1991). Tanggungjawab Dokter di bidang Hukum Perdata. Segi-segi Hukum


Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, Semarang 29 Juni 1991

Soekanto, Soerjono dkk. (2004) Penelitian Hukum Normatif "Suatu Tinjauan Singkat".
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

P. R , Kongstvedt. (2000). Pokok-Pokok Pengelolaan Usaha Pelayanan Kesehatan. Alih


Bahasa: Susi Purwoko. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai