Anda di halaman 1dari 27

Peran Syahbandar dalam Penegakkan Hukum Laut

(Studi Kasus Pencemaran Minyak di Laut Cilacap oleh Kapal Tanker)


Elly Kristiani Purwendah1, Agoes Djatmiko2
1
Fakultas Hukum, Universitas Wijayakusuma Purwokerto
elly_kristiani@yahoo.co.id
2
Fakultas Hukum, Universitas Wijayakusuma Purwokerto
agoes-dj@yahoo.co.id

Abstract
This research was designed by empirical juridical approach study used primary data from an
in-depth interview of respondens.
Syahbandar at the port was an government official who are appointed by the Minister with a
supreme authority to supervise the enforcement of legislation ensuring the safety and security of
shipping. One of his authority was the prevention and control of oil pollution at sea by tanker. In the
implementation of reduction and prevention pollution, the Syahbandar had a main role as a
mandatory in the coastal sovereign state obligation including the maritime law enforcement of
administrative, civil and criminal areas. The task of Syahbandar in conducting pollution prevention
served as the coordinator/commander of Puskodalok (Command Control Center at location) teams
consisting of the Police, the Navy, the Pertamina (State Oil and Gas Company) and the local
government. The teams formed to control and prevention of pollution called "Tier 1" had a restrict
authority with the categorization of oil spill emergency response occurs inside or outside the Region
of Interest Ports Environment (DLKP) and Working Environment Regional Ports (DLKR) or the oil
and gas activity or other units that could be handled by the infrastructure, facilities and human
resources that available at the port or the oil and gas activity unit or other activity units.

Key words: Syahbandar, Prevention of oil pollution, the Regional Environmental Interests Port,
Harbor Regional Working Environment.

1. PENDAHULUAN
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan perwujudan dari usaha masyarakat
internasional untuk mengatur masalah kelautan secara menyeluruh, masalah perlindungan
lingkungan laut dari sumber pencemaran. Salah satu pencemaran lingkungan laut bersumber
dari tumpahan minyak oleh kapal tanker, merespon keadaan ini Konperensi Washington di
Amerika Serikat pada tahun 1926 mengeluarkan rekomendasi, ”the discharge of oil at sea be
limited”(http://www.amsa.gov.an/me/pn324.HTM, 06-06-2000).
Pengangkutan minyak merupakan hal penting bagi ekonomi dunia dan merupakan
bisnis besar. Pengankutan minyak melalui laut diperkirakan 40% dari keseluruhan
perdagangan yang diangkut melalui laut. Sarana angkutan laut didominasi oleh kapal-kapal
tanker yang diperkirakan lebih dari 400 super tanker berlayar setiap harinya (Cross dan
Hamer, 1992 :3-4). Kapal-kapal tersebut setiap tahunnya menumpahkan satu sampai dua juta
ton minyak di lingkungan laut. Tumpahan minyak ke laut diakibatkan oleh pengoperasian
kapal, kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan penurunan mutu lingkungan laut.
Pencemaran yang terjadi karena pengoperasian kapal tanke diperkirakan mencapai 75%,

1
sedangkan akibat dari kecelakaan kapal hanya 25% dari total pencemaran yang terjadi
(Griffin, 1994 :1).
Untuk mencapai keseimbangan masalah pencemaran minyak di laut, negara pantai
menginginkan terlindunginya lingkungan laut melalui berbagai ratifikasi Konvensi
Internasional seperti the International Convention for the Prevention of Pollution from the
Ship (MARPOL), yang mengatur tentang port authorities dalam hal ini peran Syahbandar
dalam menegakkan laut sebagai akibat pencemaran minyak oleh kapal tanker sebagaimana
diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang menentukan bahwa penegakkan hukum
terhadap pelaku pencemaran lingkungan laut harus dilakukan oleh negara-negara berbendera
(flags states), negara pelabuhan (port states) dan negara pantai (coastal states) sebagaimana
diatur oleh Pasal 213-220 Konvensi Hukum Laut 1982. Law enforcement dimaksud yang
memiliki kewenangan dalam lini terluar untuk mengamankan lingkungan laut dari
pencemaran minyak oleh kapal tanker adalah Syahbandar sebagai pejabat pemerintah di
pelabuhan. Laut Cilacap dengan pelabuhan Tanjung Intan menjadi lokasi yang sangat menarik
untuk melakukan penelitian ini karena seringnya kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker
terjadi, bahkan dalam kurun waktu dua tahun terakhir dari 2011 sampai dengan 2012 terdapat
kasus pencemaran minyak dari tiga kapal tanker, yaitu di tahun 2011 ada dua kasus
pencemaran pada bulan Juli dan September oleh Kapal Super Tanker TT. Arenza XXVII dan
Kapal MT. Medelin Atlas Belawan IMO 8717245, dan pada bulan april 2012 Kapal MV.
Indobaruna V kembali mencemari lingkungan laut Cilacap.
Pencemaran minyak oleh kapal tanker yang marak terjadi di laut Cilacap menarik
minat peneliti untuk melakukan penelitian dengan permasalahan yang akan diteliti sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah peran syahbandar dalam penegakkan hukum laut dari risiko pencemaran
minyak oleh kapal tanker yang memuat minyak mentah untuk kepentingan Pertamina UP
IV Cilacap?
2. Upaya-upaya apakah yang dilakukan syahbandar dalam penegakkan hukum laut pada
kasus pencemaran minyak di laut Cilacap oleh kapal tanker?
3. Langkah-langkah apakah yang dilakukan oleh syahbandar dalam mengantisipasi
beberapa kasus pencemaran minyak di laut Cilacap?
4. Bagaimanakah mekanisme koordinasi kerja antara syahbandar dengan aparat penegak
hukum yang lain dalam penegakkan hukum kasus pencemaran minyak di laut Cilacap
oleh kapal tanker?
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi awal mengenai fakta-fakta
penegakkan hukum pencemaran laut oleh kapal tanker, upaya penanggulannya, kendalamya
supaya di kemudian hari didapatkan suatu model yang tepat untuk mengantisipasi kasus-kasus
pencemaran minyak dimasa mendatang.

2
Penelitian ini menggunakan teori Lawrence Friedmann sebagai alat uji hipotesis
untuk menganalisis peran syahbandar dalam penegakkan hukum pencemaran laut oleh kapal
tanker di laut Cilacap. Teori Friedmann melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan
Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure),
komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu
sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang
dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang
diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan
gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan harapan dan pendapat tentang
hukum (Friedman, 1977 :6-7).

2. KAJIAN LITERATUR
Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/ atau
komponen lain ke dalam air atau udara. Pencemaran juga bisa berarti berubahnya tatanan
(komposisi) air atau udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/
udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Pengertian yang diberikan oleh Organisation for economic Co-Operation and
Development (OCED) dalam Glossary of Environment Statistics, Studies in Methods, Series
F, No, 67 yaitu (Glosarry of Environment Statistics, Studies in Methods, Series F, No. 67,
United Nations, New York, 1997), “The introduction by men, directly, or indirectly of
substances or energy into the environment, resulting in deleterious effect of such a nature as
to endanger human health, harm living resources and ecosystem and impair or interfere with
amenities and other legitimate uses of environment”.
Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, “Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai
lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya”.
Pencemaran laut didefinisikan oleh para ahli yang tergabung pada badan-badan di
bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Introduction by man, directly or indirectly, of substance
or energy into the the marine environment (including) resulting in such deleterious effects as
harm to living resources, hazardous human health, hindrance to marine activities including
fishing, impairment quality for use of sea water and reduction of amenities” (Ariadno, 2007
:55).

3
The United States National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
dalam laporannya dalam kongres mengenai pembuangan limbah di samudra (ocean dumping),
menyimpulkan pencemaran samudera sebagai berikut, “The unfavourable alteration of the
marine environment....thought direct or indirect effect of changes in energy pattern, tradition
and distribution, abundance, and quality of organisms” (Baylish, Steve Smith, 2005 :454-
455).
OECD memberikan definisi pencemaran laut merupakan sesuatu yang diakibatkan
oleh manusia baik disengaja maupun tidak, yang memberikan efek berupa kerusakan
lingkungan maupun ancaman bagi kesehatan umat manusia dan segala sesuatu yang dapat
menghambat aktivitas laut termasuk aktivitas perikanan, penurunan kualitas air laut dan
menganggu kegunaan lain dari lingkungan.
Definisi lain, yang diakui secara internasional terdapat dalam article 1 (4) UNCLOS
yang menyebutkan bahwa, “Pollution of the marine or directly, of substancesor energy into
the marine environment, including estuaries, which resultsor is likely to result in such
deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human healts
hindrance, to marine activities, including fishing and other legitimate uses of the sea,
impairment of quality for uses of the sea, impairment of quality for use of the sea water and
reduction of amenitie”.
Dua faktor penting dalam pencemaran laut, yang pertama tindakan yang dilakukan
oleh manusia (introduction by men) baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, kedua
adalah tindakan manusia tersebut menimbulkan suatu akibat berupa kerusakan pada
lingkungan (deleterius effect).
Selanjutnya Komar Kantatmadja berpendapat, pencemaran laut adalah telah
terjadinya perubahan lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya oleh
manusia secara langsung maupun tidak langsung bahan-bahan atau energi ke dalam
lingkungan laut yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan
kerugian bagi kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap
kegiatan di laut termasuk perikanan, penggunaan air laut yang wajar, pemburukan daripada
kualitas laut dan menurunnya kualitas tempat pemukiman dan rekreasi (Kusumaatmadja, 1977
:5).
2. Kategori Pencemar Laut
Pencemar laut dapat dibedakan dalam enam kategori utama, sebagai berikut :
1. Marine Pollution caused via the atmosphere by land based activities
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga penyebab utama pencemaran laut
golongan pertama ini, yaitu :
a.Penggunaan berbagai macam “synthethic chemical” khususnya “chlorinated hydrocarbons”
untuk pertanian;

4
b. Pelepasan logam-logam berat (“heavy metal”) seperti merkuri akibat proses industri atau
lainnya;
c.Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan oleh penggunaan minyak
bumi untuk menghasilkan energi;
2. The disposal of domestic and industrial wastes
Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah domestik atau limbah industri
dari pantai, baik melalui sungai “sewage outlets” atau akibat “dumping”
3. Marine Pollution caused by radioactivity
Pencemaran laut karena adanya kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun dari
kegiatan-kegiatan manusia. Dua penyebab utamanya adalah percobaan senjata nuklir dan
pembuangan limbah radioaktif, termasuk pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut
untuk kepentingan militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
4. Ship-borne Pollutants
Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari berbagai macam bentuk kapal dan muatan.
Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan minyak di laut, yang dapat dibedakan karena
kegiatan kapal seperti pembuangan air ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut,
terutama apabila kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
5. Pollution from offshore mineral production
Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila terjadi kebocoran pada instalasi
penambangan dan pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
(Ariadno, 2007 :24-25).
3. Perlindungan Lingkungan Laut
Definisi hukum lingkungan terkait dengan dua aspek, pertama terkait ruang lingkup
subjek hukum dan kompetensi kelembagaannya; kedua, terkait pertanggungjawaban terhadap
kerusakan lingkungan. Deklarasi Stockholm 1972 (Pasal 2 ayat (10) Directive 79/117), dalam
Prinsip ke-2 menyatakan yang dinamakan dengan sumber daya alam di bumi adalah “udara, air,
tanah, flora, fauna dan ekosistem alam”. Sementara itu, hukum European Community menyepakati
lingkungan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan air, udara, tanah dan semua bentuk
biologis (Pasal 194 ayat (5)). UNCLOS, sebagai sumber utama hukum laut internasional
memasukkan ekosistem dan habitat yang langka atau rapuh sebagai cakupan perlindungan
lingkungan laut (Pasal 1 ayat (1)). Meskipun demikian, tidak satupun konvensi internasional yang
dengan tegas memuat definisi lingkungan.
Dalam konteks hukum nasional, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan pegertian lingkungan hidup sebagai
kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

5
Perlindungan lingkungan memiliki prinsip umum, yaitu (Sands, 2003, :231-290):
a. Sovereignity over natural resources and the responbility not to cause damage to the
environment of other states or to areas beyond national jurisdiction.
Sebagai prinsip tertua dalam hukum internasional, kedaulatan merupakan
karakteristik utama sebuah negara. Suatu negara mempunyai kedaulatan internal dan
kedaulatan eksternal. Kedaulatan internal berarti negara mempunyai yurisdiksi legislative,
eksekutif dan yudikatif terhadap setiap aktivitas di wilayahnya (O’Brien, 2001 ; 227).
Pengakuan kedaulatan terhadap kekayaan alam pertama kali tertuang dalam Resolusi Majelis
Umum PBB No 1803 tahun 1962 tentang Kedaulatan Permanen terhadap Kekayaan Alam.
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa negara-negara berdasarkan Piagam
PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan
alamnya dan bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau
kontrolnya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap area
di luar yurisdiksi nasional suatu negara.
Berdasarkan prinsip ini, negara memiliki kedaulataan atas wilayah nya serta
melaksanakan aktivitas di wilayah teritorialnya. Namun demi kian pelaksanaan kedaulatan
tersebut tidak boleh melanggar hukum in ternasional. Prinsip kedaulatan negara terhadap
kekayaan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban negara untuk menjamin tidak
merusak lingkungan negara lain dan lingkungan di wilayah yurisdiksinya sendiri.
b. Principle of preventive action
Selain disebutkan dalam Prinsip ke-21 Deklarasi Stockholm, prinsip preventive action
juga disebutkan dalam Prinsip ke-2 United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED). Prinsip tersebut miliki dua perspektif.
Pertama, prinsip ini mewajibkan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan sebagai
tujuan utama.Kedua, negara berkewajiban untuk mencegah kerusakan lingkungan dalam dan
melalui yurisdiksinya, termasuk regulasi, administrative dan tindakan lainnya.
Bahkan dalam United States of Foreign Affairs Law, disebutkan bahwa kewajiban
negara tidak hanya untuk melakukan tindakan pencegahan, melainkan juga pengurangan
(reduction) dan pengontrolan setiap kerugian lingkungan yang terjadi.
Dalam hal pencemaran lintas batas negara, setiap negara diminta untuk melaksanakan
dua kewajiban, pertama untuk melakukan tindakan yang diperlukan dalam itikad baik; kedua
untuk mengatur aktivitas publik dan privat yang menjadi subjek dari yurisdiksinya (Sands,
2003 :266).
c. Co-operation
Prinsip kerjasama ini bersumber dari prinsip umum good neigh bourliness yang dapat
ditemukan dalam hukum kebiasaan internasional maupun dalam Pasal 74 Piagam PBB.

6
Prinsip ini terefleksikan dalam beberapa perjanjian internasional dan didukung oleh
praktek-praktek ne gara utamanya dalam aktivitas yang berbahaya dan darurat.
Cooperation tertuang dalam Prinsip ke-24 Deklarasi Stockholm dan Prinsip Ke-27
Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa negara-negara harus bekerjasama dalam prinsip good
faith dan semangat partnership sebagai upaya per- lindungan lingkungan.
d. Sustainable development
Prinsip pembangunan berkelanjutan menekankan bahwa pem- bangunan yang
dilaksanakan sekarang tidak beoleh mengurangi hak-hak generasi mendatang.
Dengan kata lain, pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan kemampuan
lingkungan dalam pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Prinsip sustainable
mempunyai beberapa aspek, yaitu (Sands, 2003 :266):
1) The need to take into consideration the needs of present and future generation;
2) The acceptance on environmenat protection grounds, of limit placed upon the use and
exploitation of natural resources;
3) The role of equitable principles in the allocation of rights and obliga- tion;
4) The need to integrate all aspects of environment and the development;
5) The need to interpret and apply rules of international law in an inte- grated and systemic
manner.
e. Precutionary Principle
Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pem- buktian ilmiah yang
konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah
kerusakan lingkungan. Sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip ke-15 Deklarasi Rio “where
there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainly shall not be
used asa a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental
degradation”.
f. Polluter pays principle
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan polluter
pays principle dalam environmental Principles and Concepts sebagai :
‘The principle to be used for allocating costs of pollution preven- tion and control
measures to encourage rational use of scarce environ- mental resource and to avoid
distortions in international trade and in- vestment is so called polluter pays principle. That
principle means that that polluter should bear the expenses of caring out the above mentioned
measures decided by the public authorities to ensure that the environ- ment is in a acceptable
states. In other world the cost of these measures should be reflected in the cost of goods and
services which cause pollu- tion in production and/or consumption.
Such measures should not be accompanied by subsidies that would create significant
distortions in international trade and investment”.

7
(http://www.oecd.org/officialdocuments/displaydocumentpdf/?cote=OCDE/GD(9
2)81&docLanguage=En).
Pada tanggal 18 Maret 1967 kapal tanker Torrey Canyon berbendera Liberia
kandas di dekat "the Scilly Isles" ketika memasuki the English Channel. Peristiwa ini terjadi
dilaut lepas, kapal tanker ini membawa lebih dari 119.000 ton the crude oil dalam bentuk
kargo.
Churchill and A.V. Lowe, The Law Of the Sea, (Great Britain:Manchester Univers
ityPress, 1995: h. 241) akibat terpaan angin keras tumpahan minyak sampai kelaut territorial,
sehingga menimbulkan kerusakan yang serius di sepanjang the cornish cast kibat terpaan
angin keras akibat tumpahan minyak tersebut sampai kelaut teritorial sehingga menimbulkan
kerusakan yang serius disepanjang 2”he cornish coast”
(http://www. amsa.gov.an/me/ pn324.htm) berupa kerusakan serius pada ekologi kelautan dan
perikanan. Setelah peristiwa kandasnya kapal tanker Torrey Canyon, menimbulkan
pertanyaan bagi masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah bagi
pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, dan juga bagaimana membuat suatu sitem
kompensasi bagi setiap kecelakaan kapal tanker.
Konvensi Intervensi 1969 dikhususkan melindungi dan menyelamatkan negara-negara
pantai dari bahaya pencemaran, khususnya tumpahan minyak
(http://www.imo.org/imo/convent/summary.htm) tidak membatasi pencemaran oleh minyak
dari kapal tanker saja tetapi mencakup bagi tumpahan minyak dari semua kapal.
Pengecualian dari konvensi ini mencakup pencemaran yang berasal dari instalasi minyak
dalam hal eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut, kapal perang serta
kapal-kapal milik pemerintah dengan tujuan pelayanan non komersial.
Pasal 1 Konvensi Intervensi 1969 menyatakan, “(1) Parties to the present convention
may take such measures on the highseas as may be necessary to prevent, mitigate or
eliminate grave and imminent danger to their coastline or related interest from polltion or
threat of pollution of the sea by oil, following upon a maritime casuality or acts related to
such a casualty, which may reasinably be expected to resulted in major harmful
consequences; (2) However, no meaures shall be taken under the present convention against
any warship or other ship owned or operated by a state and used, for the time being, only on
government non-commercial service”.
4. Penegakkan Hukum Pencemaran Minyak di Laut dan Otorisasi Syahbandar sebagai Law
Enforcement di Indonesia
Kepentingan Indonesia dan juga dunia internasional atas perlunya eksistensi rezim
hukum laut yang mengatur hal tersebut diatas mencapai puncaknya pada awal abad ke-20.
Tercatat dalam paruh pertama abad ke-20 telah terdapat 4 kali usaha dunia internasional untuk
memperoleh suatu rezim hukum laut yang menyeluruh, yaitu:

8
a. Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification Conference in 1930) di
bawah naungan Liga Bangsa-bangsa;
b. Konferensi PBB tentang Hukum Laut I tahun 1958 (The First UN Conference on the law of
the Sea in 1958). (http://ferryijunigwan.wordpress,com/2011/01/27)
c. Konferensi PBB tentang Hukum Laut II tahun 1960 (The Second UN Conference on the Law
of the Sea in 1960); dan
d. Konferensi Hukum Laut III tahun1982 (The Third UN Conference on the Law of the Sea
1982) yang menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS
1982).
UNCLOS 1982 merupakan puncak karya dari upaya dunia internasional atas
pembentukan rezim hukum laut menyeluruh yang disetujui di Montego Bay, Jamaica, pada
tanggal 10 Desember 1982. Pada hari pertama penandatangan, UNCLOS 1982 telah ditanda
tangani oleh 119 negara dan dikenal juga sebagai Konstitusi Lautan (Constitution for the
Ocean).
UNCLOS 1982 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
terhadap kerusakan lingkungan laut, hak kekebalan bagi kapal perang dan kapal-kapal
pemerintah serta kaitan dari Bagian XII UNCLOS 1982 tentang Perlindungan dan
Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-
konvensi lainnya guna perlindungan lingkungan laut.
Bagian XII UNCLOS 1982 tersebut juga mewajibkan negara-negara peserta untuk
melakukan upaya-upaya yang dipandang perlu guna mencegah, mengurangi dan mengawasi
pencemaran lingkungan laut dari sumber-sumber manapun baik dari daratan (pembuangan
sampah rumah tangga dan deterjen berlebih, penggunaan peptisida yang melebihi ambang batas
yang diperbolehkan, pencemaran air sungai, dan lain-lain) ataupun laut.
UNCLOS 1982 juga mengatur kewajiban negara peserta untuk memastikan bahwa
tindakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut di dalam jurisdiksi nasionalnya tidak
mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan laut wilayahnya sendiri dan juga
lingkungan laut negara lain.
United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS, 1982) Pasal 192
mengatur mengenai pencemaran minak di laut lepas dengan menyatakan bahwa, “negara-
negara diwajibkan melindungi dan memelihara lingkungan kelautan sesuai dengan aturan
internsional dan perundang-undangan nasional”. Konvensi Jenewa 1958 mengenai rezim laut
lepas yaitu pada Pasal 24 menyatakan, “every state shall draw up regulations to prevent
pollution of the seas by the discharge oil from ship of pipelines or resulting from the
exploitation and exploration of the seabed and its subsoil taking account to the existing treaty
provisions on the subject”.

9
Setiap negara peserta wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah
pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yangberasal dari kapal atau pipa laut yang
disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah dibawahnya dengan
memperhatikan keentuan-ketentuan perjanjian internasional yang ada mengenai masalah ini.
Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi tersebut mengakomodir
kepentingan perlindungan laut dari pencemaran minyak oleh kapal tanker dengan peraturan
tentang kewenangan negara pantai memberi ijin memasuki wilayahnya melalui otoritas
pelabuhan yang dimiliki oleh syahbandar sebagaimana datur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor : KM 01 tahun 2010 tentang tatacara penerbitan surat persetujuan berlayar
(port clearance). Dalam Bab I. Ketentuan Umum dinyatakan bahwa, (1) Penerbitan Surat
Persetujuan Berlayar (port clearance) adalah suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh
Syahbandar terhadap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan untuk memastikan
bahwa kapal, awak kapal dan muatannya secara teknis-administratif telah memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritime; (2)
Surat Persetujuan berlayar (port clearance) adalah dokumen negara yang dikeluarkan oleh
Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah kapal
memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya; (3) Syahbandar adalah
pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan
tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan
peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran; (4)
Pejabat pemeriksa kelaiklautan apal adalah pejabat kesyahbandaran yang ditunjuk, dan telah
memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang kesyahbandaran; (5) Kelaiklautan kapal adalah
keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran
perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan
kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
Selanjutnya Peran Syahbandar dalam otorisasi kepelabuhanan dikatakan dalam
Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim
dalam Pasal 1 ayat 18 menyatakan bahwa syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan
yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertiggi untuk menjalankan dan
melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
Dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, secara gamblang disebutkan
syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang memiliki kewenangan tertinggi untuk
melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan UU untuk menjamin keselamatan dan
keamanan pelayaran.

10
Sesuai pasal 209 UU No. 17/ 2008 tentang Pelayaran, Syahbandar memiliki delapan
kewenangan, yaitu mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di pelabuhan, memeriksa
dan menyimpan surat, dokumen, dan warta kapal, menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di
pelabuhan, melakukan pemeriksaan kapal, menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar, melakukan
pemeriksaan kecelakaan kapal, menahan kapal atas perintah pengadilan, dan melaksanakan sijil
Awak Kapal. Dari delapan kewenangan itu, setidaknya ada empat kewenangan syahbandar
yang tidak diakomodir dalam PP No.61/2009. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan
pemeriksaan kapal, penerbitan persetujuan berlayar, menahan kapal dan melaksanakan sijil
awak kapal. "Penghapusan sejumlah substansi kewenangan syahbandar itu tergambar jelas
dalam PP Kepelabuhanan dengan hanya menyiapkan dua pasal untuk kewenangan syahbandar,"
tambah Hakim. Padahal dalam UU No.17/2008, DPR telah menetapkan satu bab khusus
dengan 18 pasal yang secara detail mengatur kewenangan, tugas dan fungsi seorang
syahbandar.
Syahbandar ditugaskan memeriksa kapal yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan
setelah memenuhi persyaratan keselamatan pelayaran. Syahbandar juga harus memeriksa ulang
kapal dan alat tangkap, guna memastikan kapal laik tangkap dan simpan.
5. Perlindungan Lingkungan Laut Nasional
a. Teori Kedaulatan Negara
Pasal 1 Konvensi Montevideo 27 Desember 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban
negara menyebutkan unsur konstitutif ke 4 bagi pembentukan negara adalah capacity to enter
into relations with other states. Konvensi Montevideo ini merupakan suatu kemajuan bila
dibandingkan dengan konsepsi klasik pembentukan negara yang hanya mencakup tiga unsur
konstitutif yaitu penduduk, wilayah dan pemerintah. Bagi konvensi tersebut ketiga unsur ini
belum cukup untuk menjadikan suatu entitas sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Oleh
karena itu diperlukan unsur tambahan yang tidak kurang pentingnya yaitu kapasitas untuk
mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Namun sebagai akibat perkembangan
hubunganpat antar negara yang sangat cepat. Ketentuan konvensi ini berisikan unsur kapasitas
sudah agak ketinggalan dan diganti dengan kedaulatan sebagai unsur konstitutif keempat
pembentukan negara mengingat artinya yang sangat penting dan ruang lingkup yang lebih luas.
Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi belum berarti bahwa negara tersebut
mempunyai kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertingi yang dimiliki oleh suatu negara
secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingnnya asal saja kegatan tersebut tidak
bertentangn dengan hukum internasional. Sesuai konsep hukum internasional, kedaulatan
memiliki tiga aspek utama (Mugerwa, 1968 :253) yaitu :
1. aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan
hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan
atau pengawasan negara lain;

11
2. aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang ekslusif suatu negara untuk menentukan
bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat
undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi;
3. aspek teritorial berarti kekuasaan penuh dan ekslusf yang dimiliki oleh negara atas individu-
individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
Selain itu, kedaulatan juga mempunyai pengertian negatif dan positif (Charpentier,
1997 :25-26) :
1. Pengertian negatif
a. kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi;
b. kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun
datangnya tanpa persetujuan negara yang yang bersangkutan.
2. Pengertian positif
a. Kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga
negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari suatu negara.
b. Kedaulatan memberikan wewenang kepada negara untuk mengeksploitasi sumber-
sumber alam wilayah nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang
disebut kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam.
Negara berbeda masyarakat lain, karena adanya summa potesta. Meskipun inheren
dengan sifat negara, terletak pada individu-individu yang dalam kenyataannya memiliki
kekuasaan tertinggi. Salah satu aspek kedaulatan adalah kekuasaan untuk menjadikan hukum
sebagai cara untuk mengefektifan kehendak kedaulatan dan oleh sebab itu Bodin kemudian
menyamakan undang-undang dengan hukum. Teori Bodin dikuatkan oleh Hobbes, yang
mengakui tidak adanya batasan kekuasaan pembuat hukum dari kedaulatan. Tidak ada prinsip
hukum alam, kecuali hanya kemampuan untuk memerintah secara efektif yang membatasi
kekuasaan mutlak dari penguasa.
Austin memperjelas konsep kedaulatan hukum dengan pembedaannya yang tajam
mengeai sains legislasi dan sains hukum, telah merumuskan filsafat hukum dari negara nasional
modern, dengn tuntutannya tentang kedaulatan yang tak terbantahkan. Ihering mengaitkan
kekuasaan kekuasaan dari negara modern dengan erat pada hukum, ketika ia mendefinisikan
yang terakhir ini sebagai jaminan kondisi kehidupan yang diberikan oleh kekuasaan negara.
Mayoritas ahli hukum pada paruh terakhir abad kesembilan belas dengan perkembangan yang
sangat kuat dari negara nasionalis Jerman, mengembangkan doktrin kedaulatan negara absolut,
mencoba memadukan dengan doktrin persamaan kekuasaan dari rechtstaat, yang melindungi
hak-hak individu dan juga mengemukakan pembetasan dalam hubungan internasional.
Berdasarkan pemikiran bahwa negara berdaulat untuk mempertahankan wilayah negara
oleh kerugian yang ditimbulkan negara asing tidak menutup kemungkinan terjadinya tindakan

12
merugikan negara asing dalam hal ini terepresentasikan melalui sebuah bendera asing dalam
teritori negara dalam hal sebuah kapal tanker melakukan tujuan komiditinya untuk mengangkut
minyak ke Indonesia. Meskipun terlihat sedemikian sederhana namun rentanitas dampak yang
mungkin ditimbulkan perlu mendapat prioritas dari negara selaku struktur hukum yang berdaulat
terhadap keamanan negaranya dari dampak pencemaran maupun kekuatan struktur untuk
melakukan tuntutan kerugian (right of defense) pada dampak kerugian yang ditimbulkan akibat
adanya pencemaran tersebut di wilayahnya yang berdaulat. Struktur hukum untuk dapat berperan
aktif merepresentasikan negara mempertahankan kedaulatannya dalam mempertahankan
penegakkan hukum lingkungan laut nasional dalam hal ini terkait kasus pencemaran minyak oleh
kapal tanker tentu saja memerlukan instrumen hukum positif sebagai substansi hukum yang
mendukung kinerja struktur hukum.
Substansi hukum yang dimaksudkan dapat mengatasi tindakan pencemaran yang
dilakukan oleh kapal tanker berbendera asing yang masuk wilayah Indonesia memenuhi pesanan
Badan Usaha Milik Negara yaitu Pertamina.

3. METODE PENELITIAN
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap yang
merupakan otorita syahbandar dalam menentukan keluar masuknya kapal tanker ke wilayah
pengolahan minyak UP IV Pertamina Cilacap.
b. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis,
merupakan suatu metode yang mengkaji hukum sebagai kenyataan yang hidup dalam masyarakat
mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain (Ibrahim, 2006 :321). Penelitian ini
akan bersifat sebagai penelitian deskriptif dengan menggunakan data kualitatif. Supaya dapat
lebih peka dalam menangkap informasi kualitatif, digunakan studi kasus yang berupa status
subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas yang berupa, individu, kelompok, dan lembaga/institusi.
c. Sasaran Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diambil, sasaran utama penelitian ini adalah
Syahbandar sebagai law enforcement yang memiliki kewenangan mutlak lalu lintas pelayaran laut
untuk kapal tanker. Syahbandar sebagai sasaran utama dalam penelitian ini akan ditentukan secara
purposive sampling, sedangkan sasaran pendukung berupa penyelesaian kasus pencemaran dan
antisipasi pemulihan kerugian yang diderita, akan dipilih melalui tehnik bola salju (snow ball
sampling).
d. Rancangan Penelitian

13
Penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan, yang pada dasarnya dapat
dirinci menjadi lima tahapan utama sebagai berikut :
a. Tahap orientasi/eksplorasi menyeluruh
Tahap eksplorasi menyeluruh ini dilakukan untuk melihat seluruh kasus pencemaran minyak
di laut Cilacap sehingga mempermudah peneliti untuk melihat prosentase serta menentukan
informan dalam penelitian ini. Selanjutnya tahap wawancara untuk memperoleh data primer
dilakukan dengan metode purposive sampling. Pendekatan kualitatif yang dipilih
menentukan strategi yang digunakan yaitu observasi terhadap situasi sosial yang ada serta
wawancara kepada informan.
b. Tahap eksplorasi terfokus
Pada tahapan ini diharapkan dapat diperoleh suatu pola dan bentuk pemahaman peran
syahbandar dalam menangani kasus pencemaran minyak oleh kapal tanker, model tugasnya
secara hierarkis, proses dan tata cara penanganan serta upaya-upaya meminimalisir kerugian
laut akibat pencemaran minyak oleh kapal tanker.
c. Tahap analisis data dan penyusunan hasil laporan penelitian
Pada tahapan ini, diharapkan seluruh data yang dibutuhkan dalam penelitian sudah diperoleh
secara menyeluruh, sudah dicek validitasnya dan diklasifikasikan berdasarkan relevansinya
masing-masing.
d. Tahap akhir yaitu seminar hasil penelitian dan pembuatan laporan hasil akhir penelitian.
Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap akhir ini adalah perbaikan laporan hasil penelitian
untuk penyusunan akhir, penggandaan laporan, publikasi hasil penelitian.
e. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (indepth interview), observasi participation, mencatat (recording) dan,
dokumentasi.
f. Analisis Data
Model analisis data kualitatif dalam penelitian ini dengan cara berpikir konstruksi logis
konsisten. Data dianalisis menggunakan metode content analisis, dengan mempelajari isi data,
dikualifikasi berdasarkan konsep yang dirumuskan oleh peneliti kemudian disusun secara
sistematis. Dalam model ini diperlukan empat komponen berupa, pengumpulan data, reduksi data,
display data dan pengambilan kesimpulan. Keempat proses ini merupakan silus interaktif
(Bungin, 2003 :70).

14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kedudukan Syahbandar dalam Pelaksanaan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran
dalam Sistem Hukum Nasional
Negara Kesatuan Republik Indeonsia merupakan negara kepulauan berciri
nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan yang sangat luas dengan batas-batas, hak-
hak dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Daya dukung vitalisasi
negara dalam pelaksanakan pembangunan di setiap sektor baik politik, ekonomi, sosial dan
budaya diperlukan transportasi nasional yang mudah terakses bagi warga masyarakatnya.
Indonesia sebagai negara berdaulat sebagaimana diartikan secara positif oleh Charpentier
(Charpentier, 1997 :25-26), diharapkan dapat disatu sisi dapat mengoptimalisasi segala
sumber daya alam yang dimiliki untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya
dan disisi lainnya dapat memiliki kewenangan untuk mengatur dan menetapkan kebijakan
dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Indonesia dengan kekayaan maritimnya dan
kedaulatan yang dimilikinya mengatur urgensitas transportasi laut melalui Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan dasar pemikiran tuntutan
penyelenggaraan pelayaran sesuai dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi peran serta
swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah dan akuntabilitas penyelenggaraan negara
dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan
nasional.
Dalam Undang-undang Pelayaran ini diatur mengenai pengertian siapakan
Syahbandar. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh
Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan
angkutan di perairan, pelabuhan serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana
ditetapkan oleh UU pelayaran perlu dilaksanakan dengan cermat melalui struktur terkait
sebagai pemangku kepentingan dalam hal ini diatur tersendiri secara khusus sebagai
penjabaran undang-undang pelayaran melalui Peraturan Menterita Kerja Kantor
Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (dulu administrator pelabuhan yang mengatur
jalannya kegiatan pelabuhan dan operasional kapal, melalui Permen Perhubungan 36
Tahun 2012 rekomendasi ada pada Syahbandar (Sumber data Primer, Hasil wawancara
dengan Kasie Keselamatan Berlayar,12 Mei 2014). Menteri mengatur sepenuhnya segala
sesuatu yang bertalian dengan penyelenggaraan pelabuhan dan menunjuk seorang pejabat
yang memegang tanggung-jawab dan pimpinan umum yaitu Administrator Pelabuhan atau
Kepala Pelabuhan (Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1969 Tanggal 18 Januari 1969
tentang Susunan dan Tata Kerja Kepelabuhan dan Daerah.

15
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) merupakan unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Kementrian Perhubungan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Tugas yang diemban
adalah melaksanakan pengawasan dan penegakkan hukum di bidang keselamatan dan
keamanan pelayaran, koordinasi kegiatan pemerintahan di pelabuhan serta pengaturan
pengendalian dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan pada pelabuhan yang diusahakan
secara komersial.
Dalam melaksanakan tugasnya KSOP menyelenggarakan fungsi, melaksanakan
pengawasan dan pemenuhan kelaiklautan kapal, sertifikasi keselamatan kapal, pencegahan
pencemaran dari kapal dan penetapan status hukum kapal; melaksanakan pemeriksaan
managemen keselamatan kapal; melaksanakan pengawasan keselamatan dan keamanan
pelayaran terkait dengan kegiatan bongkar muat barang berbahaya dan beracun (B3),
pengisian bahan bakar, ketertiban embarkasi dan debarkasi penumpang, pembangunan
fasilitas pelabuhan, tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur pelayaran,
pemanduan dan penundaan kapal serta penerbitan surat persetujuan berlayar.
Susunan organisasi KSOP Kelas II selon III.a. Cilacap meliputi; Kepala KSOP
(Syahbandar) dalam menjalankan tugasnya didukung oleh struktur organisasi meliputi
lingkup administratif dan penegakkan hukum. Bagian-bagian tersebut adalah; sub bagian
tata usaha, seksi status hukum dan sertifikasi kapal, seksi keselamatan berlayar, penjagaan
dan patroli dan seksi lalu lintas dan angkutan laut dan usaha kepelabuhanan (Sumber data
primer, Hasil wawancara dengan Sie Keselamatan Berlayar, 25 Mei 2014).
Sub bagian tata usaha menyelenggarakan fungsi mengelola urusan keuangan,
pelaporan sistem akuntansi intansi serta pengelolaan penerimaan negara bukan pajak;
melaksanakan urusan kepegawaian, pembinaan dan pengembangan jabatan fungsional,
surat menyurat, kearsipan, kerumahtanggaan dan urusan umum; melaksanakan
pertimbangan dan bantuan hukum serta hubungan masyarakat. Sub bagian umum dan
hubungan masyarakat mempunyai fungsi melakukan urusan surat menyurat, kearsipan,
kerumahtanggaan dan urusan umum, pertimbangan dan bantuan hukum serta hubungan
masyarakat penyusunan dan sosialisasi peraturan kepelabuhan. Bidang status hukum dan
sertifikasi kapal mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan, pengujian dan sertifikat
kelaiklautan, keselamatan kapal, pencegahan pencemaran dari kapal dan managemen
keselamatan kapal serta penetapan status hukum kapal.
Seksi sertifikasi kapal memiliki peran fungsi yang salah satunya adalah
melaksanakan pemeriksaan peralatan pencegahan pencemaran dan pembersihan tangki
serta verifikasi manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal. Selain itu
seksi sertifikasi kapal memiliki tugas sampai kepada pembersihan kapal serta
perlindungan ganti rugi pencemaran.

16
Bidang yang sangat penting terkait dengan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran adalah Bidang Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli yang mempunyai
tugas melaksanakan pengawasan tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur
pelayaran, pemanduan dan penundaan kapal, penerbitan surat persetujuan berlayar,
kegiatan alih muat di perairan pelabuhan, salvage dan pekerjaan bawah air, bongkar muat
barang berbahaya, barang khusus, pengisian bahan bakar, limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3), ketertiban embarkasi dan debarkasi penumpang, pembangunan fasilitas
pelabuhan, pengerukan dan reklamasi, pelaksanaan bantuan pencarian dan penyelamatan
(Search and Rescue/SAR), pengendalian dan koordinasi penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran di pelabuhan, pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim,
pelaksanaan pemeriksaan dan verifikasi sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan
(International Ship and Port Facility Security Code/SPS Code), pemeriksaan pendahuluan
pada kecelakaan kapal, penegakkan hukum di bidang keselamatan dan keamanan
pelayaran serta pelaksanaan koordinasi kegiatan pemerintahan di pelabuhan yang terkait
dengan pelaksanaan pengawasan dan penegakkan hukum di bidang keselamatan dan
keamanan pelayaran.
Syahbandar dalam pelaksanaan tugas perlindungan lingkungan maritim dari
kegiatan pencemaran, baik pencegahan maupun penanggulangan pencemaran dalam
pelaksanaannya secara mekanisme struktural kinerja organisatoris didukung oleh bidang
tersebut diatas. Seksi tersebut menyelenggarakan fungsi secara administratif berbicara
tentang perijinan yang merepresentasikan peran fungsi kewenangan negara dalam
memberikan surat persetujuan berlayar untuk keluar dan masuk wilayah negara. Bidang
ini berfungsi melaksanakan pengawasan tertib bandar dan tertib berlayar, lalu lintas keluar
masuk kapal, pergerakan kapal (shifting), pemanduan dan penundaan kapal; pelaksanaan
pengawasan pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal; pelaksanaan penerbitan surat
persetujuan berlayar; pelaksanaan pengawasan kapal asing (port state control dan flag
state control);melaksanakan pengawasan kegiatan bongkar muat barang khusus dan
barang berbahaya dan pengisian bahan bakar serta limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3), pembangunan fasilitas pelabuhan serta pengerukan dan reklamasi; melaksanakan
patroli di perairan pelabuhan, pengawasan dan pengamanan terhadap keselamatan kapal
yang masuk keluar pelabuhan, kapal sandar dan berlabuh; menyiapkan bahan koordinasi
dan pemberian bantuan pencarian dan penyelamatan (search and rescue/SAR),
penanggulangan pencemaran laut serta pencegahan dan pemadaman kebakaran di perairan
pelabuhan serta pengawasan perlindungan lingkungan maritim;melaksanakan pengawasan
kegiatan alih muat di perairan pelabuhan, salvage dan pekerjaan bawah air; melaksanakan
pemeriksaan dan verifikasi sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan (International
Ship and Port Facility Security Code/ISPS-Code); menyiapkan bahan pemeriksaan

17
pendahuluan pada kecelakaan kapal dan melaksanakan penyidikan tindak pidana di bidang
pelayaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Syahbandar dalam pelaksanaan tugas dalam mempertahankan kedaulatan wilayah
laut negara mendasarkan kepada sistem hukum nasional terkait hukum laut, yang sebagian
besar merupakan hasil ratifikasi dari konvensi internasional. Ratifikasi yang mendasari
sistem hukum nasional yaitu Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di Laut, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran dan
Otoritas Pelabuhan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 58 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan, Undang-undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS, Keppres Nomor 52 Tahun 1999 tentang
Pengesahan CLC 1969, Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Ratifikasi
SOLAS 1974, Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Ratifikasi MARPOL
73/78, dan Resolusi IMO Nomor A741 (18) tentang ISM-Code.
Syahbandar melaksanakan tugas mengamankan teritori wilayah laut berdasarkan
kewajiban negara dan kedaulatan negara pantai yang diamanatkan oleh UNCLOS sebagai
konvensi tentang hukum laut internasional yang sudah diratifikasi menjadi hukum
nasional. Kedudukan syahbandar dalam konsepsi hukum laut internasional sebagai
commander/leading sector utama untuk menjaga keselamatan dan keamanan wilayah
negara dalam hal ini wilayah lingkungan laut.
Kedudukan dan peran syahbandar dalam sistem penegakkan hukum laut Indonesia
sangat strategis mengingat wilayah yang ditegakkan meliputi sisi administratif terkait
persyaratan administratif, surat menyurat, perijinan dan lain-lain berhubungan dengan
ketatausahaan kepelabuhan dan teritori laut, kemudian penegakkan wilayah perdata dan
pidana terkait ganti kerugian dan denda atau sanksi badan.
Dalam tataran praktis di lapangan, UNCLOS belum dipahami sekali dalam tataran
praktek hukum karena ratifikasi ini hanya melalui Keppres, sedangkan dalam sistem
hukum nasional mengenai hirarkial peraturan perundang-undangan Undang-undang
memiliki posisi yang lex superior dalam hal ini adalah Undang-undang Pelayaran. Dalam
tataran praktis, UNCLOS tidak dikenal dan lebih dikenal konvensi yang telah diratifikasi
yaitu SOLAS yang mengatur keselamatan kapal komersial dan IMO. Instrumen CLC yang
telah diratifikasi, belum mendapatkan porsi untuk digunakan sebagai standar perhitungan
ganti kerugian di dalam praktek. Padahal Indonesia telah meratifikasi konvensi CLC tapi
sementara ini belum dikenal dalam tataran praktek penegakkan hukum laut dalam hal

18
terjadi pencemaran minyak dilaut (data primer, wawancara dengan Kasie Keselamatan
Berlayar, Senin, 12 Mei 2014)
2. Peran dan Fungsi Syahbandar dalam Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran
Minyak di Laut Cilacap oleh Kapal Tanker
Peran dan fungsi syahbandar yang diamanatkan melalui Undang-undang
Pelayaran, Syahbandar berfungsi mengamankan transportasi laut. Dalam melaksanakan
tugas penegakkan hukum laut Syahbandar memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi
administratif dalam penegakkan administratif perijinan transportasi laut, melaksanakan
peran dan fungsi penegakkan hukum laut dalam hal terjadi kecelakaan kapal karena
ketidak laik laut kapal atau dalam hal terjadinya pencemaran laut oleh kapal termasuk
dalam hal ini adalah pencemaran minyak oleh kapal tanker (Data primer, wawancara
dengan Sie Keselamatan Berlayar, 25 Mei 2014).
Peran syahbandar dalam penanggulangan keadaan darurat akibat tumpahan
minyak dilaut oleh kapal tanker diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006
tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut. Pemikiran
pegaturan ini karena kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi serta
kegiatan lainnya mengandung risiko terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan
terjadinya tumpahan minyak yang dapat merugikan lingkungan laut sehingga memerlukan
tindakan penanggulangan secara cepat, tepat dan terkoordinasi. Sehubungan dengan telah
diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Conventions on the Law of the Sea. Pemerintah Indonesia berkewajiban
mengembangkan suatu kebijakan dan mekanisme cepat, tepat dan terkoordinasi dalam
penanggulangan tumpahan minyak di laut dan penanggulangan dampak lingkungan akibat
tumpahan minyak di laut dengan mengerahkan potensi lokal, wilayah dan nasional secara
efektif.
Penanggulangan keadan darurt tumpahan minyak di laut diperlukan sebagai
sebuah tindakan cepat, tepat dan terkoordinasi untuk mencegah dan mengatasi penyebaran
tumpahan minyak di laut. Syahbandar berperan mengatur jalannya kegiatan pelabuhan dan
otoritas pelabuhan dan operasional kapal melalui rekomendasi syahbandar. Syahbandar
sebagai pejabat yang menjadi leading sector dalam kselematan berlayar transportasi laut
dan sebagai mandatory negara (sumber data primer, wawancara dengan sie keselamatan
berlayar, 25 Mei 2014).
Dalam melaksanakan keselamatan berlayar kapal tanker, syahbandar berkoordinasi
dengan Pertamina sebagai pengelola dermaga, dimana Syahbandar memberikan ijin untuk
melakukan kegiatan dermaga dan kapal tanker sebagai kapal yang dicharter oleh pihak
Pertamina sebagai pengelola dermaga.

19
Setelah mendapat persetujuan dari syahbandar, kapal asing dari karantina
kesehatan setelah dipastikan dalam seluruh awaknya dalam kondisi sehat, kemudian dari
imigrasi kementrian hukum dan ham memenuhi prosedural formal keimigrasian dan
terpenuhinya persyaratan bea dan cukai maka kapal tersebut oleh pilot pandu dari kontrol
negara pantai (port state control) di periksa oleh syahbandar sebagai clearent terakhir.
Syahbandar naik ke kapal tanker asing sebagai clearent terakhir setelah semua instansi
terkait naik keatas untuk memeriksa administratif perijinan masuk dalam kedaulatan
negara.
Syahbandar selaku koordinator di Daerah Lingkungan Kerja (DLKR) dan Daerah
Lingkungan Kepentingan (DLKP) memiliki struktur tugas dalam organisasi yang dibentuk
melalui hukum positif dalam hal ini melalui Peraturan Menteri Perhubungn Nomor PM 36
Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas
Pelabuhan, dimana kantor KSOP Cilacap berdasarkan klasifikasi ada pada klasifikasi
KSOP kelas II.
Syahbandar dalam melaksanakan keamanan dan keselamatan berlayar dalam hal
pencemaran minyak oleh kapal tanker mendasarkan pada dokumen Marine Pollution
(MARPOL), dimana setiap kapal tanker wajib memiliki sertifikat CLC 1969 dan Fund
1992. CLC bunker diwajibkan sebagai pengaman bagi negara pantai dalam hal menerima
kapal tanker yang masuk dalam kedaulatan wilayahnya, untuk antispasi dan proteksi
apabila terjadi force majeur dengan akibat pencemaran lingkungan karena CLC yang
berkantor di Singapura (Sumber data primer, hasil wawancara dengan sie Keselamatan
Berlayar, 25 Mei 2014).
Fungsi, Tugas, dan Kewenangan Syahbandar adalah melaksanakan fungsi
keselamatan dan keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan
penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan
lingkungan maritim di pelabuhan, selain itu syahbandar melaksanakan fungsi membantu
pelaksanaan pencarian dan penyelamatan (Search and Rescue/SAR) di pelabuhan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Syahbandar diangkat oleh Menteri
setelah memenuhi persyaratan kompetensi di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran
serta kesyahbandaran. Dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan
Syahbandar mempunyai tugas, mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan
ketertiban di pelabuhan; mengawasi tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur-
pelayaran; mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan; mengawasi kegiatan
salvage dan pekerjaan bawah air; mengawasi kegiatan penundaan kapal; mengawasi
pemanduan; mengawasi bongkar muat barang berbahaya serta limbah bahan berbahaya
dan beracun; mengawasi pengisian bahan bakar; mengawasi ketertiban embarkasi dan
debarkasi penumpang; mengawasi pengerukan dan reklamasi; mengawasi kegiatan

20
pembangunan fasilitas pelabuhan; melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan; dan
mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim.
Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan
Syahbandar melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peran syahbandar dalam pengawasan keamanan dan keselamatan berlayar kapal
tanker di wilayah Indonesia, adalah (sumber data primer, hasil wawancara dengan sie
Keselamatan Berlayar, 25 Mei 2014), pihak keagenan kapal tanker via surat melaporkan
rencana kedatangan maksimal 1x24 jam. Setelah laporan tersebut valid berikut dengan
jadwal kedatangannya diinfokan kepada kepanduan atau navigasi agar mereka dapat
menempatkan area labuh jangkar (anchorage area) yang posisinya sudah diploting di peta.
Setelah itu keagenan baru mengirimkan surat kepada Syahbandar untuk
mendapatkan ijin masuk (clearent in). Syahbandar secara organisatoris hirarkial (sebagai
struktur hukum yang berperan merepresentasikan mandatory negara) mendasarkan kepada
sistem hukum nasional dalam hal ini UU pelayaran berkewajiban untuk menyelenggarakan
perlindungan lingkungan maritim dilakukan oleh Pemerintah, menyelenggarakan
perlindungan lingkungan maritim melalui, pencegahan dan penanggulangan pencemaran
dari pengoperasian kapal; dan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan
kepelabuhanan. Selain Syahbandar wajib melakukan perlindungan lingkungan maritim
terhadap, pembuangan limbah di perairan; dan penutuhan kapal.
Syahbandar dalam melakukan perlindungan maritim memiliki kewenangan untuk
menegakkan hukum melalui penerapan sanksi pidana sebagaimana dicantumkan secara
tegas dalam Pasal 303 UU Pelayaran yang menyatakan bahwa, setiap orang yang
mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan
keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam
pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Dalam melaksanakan fungsi dan tugas Syahbandar mempunyai kewenangan,
mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di pelabuhan; memeriksa dan
menyimpan surat, dokumen, dan warta kapal; menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di
pelabuhan; melakukan pemeriksaan kapal; menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;

21
melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal; menahan kapal atas perintah pengadilan; dan
melaksanakan sijil Awak Kapal.
Syahbandar dalam menentukan kapal tanker yang dapat masuk wilayah Indonesia
mendasarkan pada rekomendasi dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang menentukan
kelas atau klasifikasi kapal yang boleh beroperasi di Indonesia. Ini terkait dengan
kelaiklautan kapal yang secara standarisasi memenuhi persyaratan memiliki
penanggulangan pencemaran, memiliki gas buang dan lain-lain. Meskipun adakalanya di
dalam praktek secara administrasi terkadang prosedur dan persyaratan tidak dipenuhi
secara rigid karena adanya dispensasi untuk kapal dalam keadaan tertentu. Seharusnya
hanya kapal diatas tahun 1992 yang memiliki fasilitas double bottom dan double hull yang
dianggap laik laut yang diijinkan untuk masuk pelabuhan (port state), namun pada
kenyataannya di bawah kondisi standard tersebut diijinkan karena memiliki dispensasi.
3. Mekanisme Kerja Syahbandar dan Koordinasi dengan Struktur Hukum Lainnya
dalam Pengendalian Pencemaran Minyak di Laut Cilacap oleh Kapal Tanker
Syahbandar dalam melaksanakan pengendalian pencemaran minyak oleh kapal
tanker bekerja secara terorganisatoris bersama unsur pemerintahan yang lain sebagai
struktur hukum terkait penegakkan hukum laut, dengan mekanisme yang sistematis
sebagaimana diatur oleh UU Pelayaran, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2013.
Menurut Sumber data primer dari sie keselamatan berlayar (25 Juni 2014), saat
terjadi pencemaran syahbandar sebagai commander-koordinator penanggulangan
pencemaran meaporkan kapal kepada keagenan kapal dan syahbandar akan minta keagenan
untuk menanggulangi pencemaran tersebut dengan SOP (satuan operasional prosedur) untuk
wilayah pencemaran yang terjadi. Commander dalam hal ini syahbandar sebagai koordinator
akan menggerakkan tim penanggulangan pencemaran dari Kasie Keselamatan Berlayar,
Penjagaan dan Patroli bekerjasama dengan Kepolisian, TNI AL, dan instasi terkait seperti
Pemerintah Daerah dengan lembaga terkait dan Pertamnina sebagai Pengusaha minyak.
Laporan pencemaran dilakukan oleh Syahbandar kepada Kapolres, Komandan AL,
Pemerintah Daerah untuk kemudian dibentuk Puskodalok (Pusat Komando Pengendalian
Lokasi). Koordinasi tersebut di dalam sistem komando Syahbandar bertempat di kantor
Syahbandar dan Pertamina.
Dalam penanggulangan pencemaran dibuat gugus tugas pengendalian pencemaran
yang disebut sebagai Tier. Ada tiga klasifikasi Tier dalam pengendalian pencemaran, Tier 1
untuk tehnik pengembangan pencemaran wilayah lokal. Dalam rangka penanggulangan
keadaan darurat tumpahan minyak di laut Tier 1 terdiri dari ADPEL atau KAKANPEL atau
pimpinan unit pengusaha minyak dan gas bumi atau penanggung jawab kegiatan lain wajib

22
membentuk Tim Lokal Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan minyak di laut yang
biasa disebut dengan tim lokal.
Dari data primer diketahui keterlibatan pengusaha minyak dala penanggulangan
pencemaran terutama dalam hal fasilitas baik sarana maupun prasarana. Hal ini terutama
dalam sarpras kapal karena kondisi kapal KSOP tidak sesuai dengan kondisi geografis laut
cilacap, selain itu pemeriksaan sampel tercemar juga masih menggunakan fasilitas
laboratorium pertamina yang tentu saja independensi dan akurasinya validitasnya perlu
untuk di cross check ulang untuk validitas hasilnya. Keadaan ini dimungkinkan terjadi
karena sistem hukum positif mengatur biaya penanggulan yang memang dibebankan kepada
pemilik atau operator kapal, pimpinan tertinggi pengusaha minyak dan gas bumi atau
penanggungjawab tertinggi kegiatan pengusahaan minyak lepas pantai atau pimpinan
penanggung jawab kegiatan lain yang karena kegiatannya mengakibatkan terjadinya
tumpahan minyak di laut bertanggung jawab mutlak atas biaya, penanggulangan tumpahan
minyak di laut, penanggulangan dampak lingkungan akibat tumpahan minyak dilaut,
kerugian masyarakat akibat tumpahan minyak dilaut, dan kerugian lingkungan akibat
tumpahan minyak dilaut.
Perhubungan laut sendiri selalu merefresh institusinya untuk melakukan pelatihan
penanggulangan pencemaran laut secara nasional secara periodik setiap dua tahun dengan
agenda MARPOL exercise di Kementrian Perhubungan Laut dimana Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut sebagai mission commander dilakukan secara bergiliran di pelabuhan
dengan Pertamina.
Dalam penanggulangan pencemaran minyak setiap pelabuhan negara pantai
seharusnya memiliki sarana pelabuhan penanggulan pencemaran (port facilities). Dalam
wilayah Cilacap, Pelindo tidak memiliki port facilities sehingga penanggulangan
pencemaran menggunakan alat Pertamina. Ternyata permasalahan dalam penegakkan
hukum pencemaran minyak oleh kapal tanker terkait peran syahbandar masih terkendala
permasalahan sarpras terkait dengan sarana kapal syahbandar, laboratorium penentu ambang
batas pencemaran yang independen dan fasilitas pelabuhan penanggulangan pencemaran.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama ini dapat disimpulkan, bahwa
:
1. Peran Syahbandar sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran adalah melakukan penegakkan hukum di wilayah teritorial laut baik
secara administratif perijinan, maupun preventif dan represif meliputi pemberian sanksi
keperdataan (ganti kerugian) dan sanksi pidana (denda dan kurungan) secara terintegrasi
dengan aparat penegak hukum yang lain dalam hal terjadi pencemaran minyak di laut oleh

23
kapal tanker. Syahbandar dalam konsepsi hukum laut internasional sebagai
commander/leading sector utama untuk menjaga keselamatan dan keamanan wilayah
negara dalam hal ini wilayah lingkungan laut. Peran syahbandar dalam sistem penegakkan
hukum laut Indonesia sangat strategis mengingat wilayah yang ditegakkan meliputi sisi
administratif terkait persyaratan administratif, surat menyurat, perijinan dan lain-lain
berhubungan dengan ketatausahaan kepelabuhan dan teritori laut, kemudian penegakkan
wilayah perdata dan pidana terkait ganti kerugian dan denda atau sanksi badan.
Syahbandar melakukan penegakkan hukum laut dalam hal terjadi pencegahan
dan penanggulangan pencemaran minyak oleh kapal tanker berperan sebagi commander,
mengkoordinasi berbagai institusi untuk melakukan berbagai hal supaya pencemaran
tersebut tidak berdampak semakin luas.
2. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh syahbandar dalam menanggulangi pencemaran
minyak di laut oleh kapal tanker melalui mekanisme pengawasan pencegahan pencemaran
dengan kontrol terhadap peralatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran kapal
tanker yang masuk ke wilayah RI, apabila kapal tanker tersebut tidak bisa mengantisipasi
pencemaran tersebut, syahbandar dan tim yang terbentuk akan menanggulangi pencemaran
dengan sarana prasarana yang dimiliki pengusaha minyak dalam hal ini pertamina,
menurut ketentuan, seharusnya pelabuhan memiliki sarana pelabuhan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran, dalam praktek fasilitas tersebut tidak dimiliki oleh
pelabuhan.
Syahbandar dalam berupaya untuk menghindari pencemaran minyak di laut oleh
kapal tanker melakukan pemeriksaan administratif kapal tanker melalui kelengkapan
sarana prasarana kapal terhadap standarisasi pencemaran yang dimiliki oleh kapal tanker.
Kapal tanker yang dapat masuk wilayah Indonesia mendasarkan pada rekomendasi dari
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yan menentukan kelas atau klasifikasi kapal yang boleh
beroperasi di Indonesia. Ini terkait dengan kelaiklautan kapal yang secara standarisasi
memenuhi persyaratan memiliki penanggulangan pencemaran, memiliki gas buang dan
lain-lain.
Meskipun adakalanya di dalam praktek secara administrasi terkadang prosedur
dan persyaratan tidak dipenuhi secara rigid karena adanya dispensasi untuk kapal dalam
keadaan tertentu. Seharusnya hanya kapal diatas tahun 1992 yang memiliki fasilitas double
bottom dan double hull yang dianggap laik laut yang diijinkan untuk masuk pelabuhan
(port state), namun pada kenyataannya di bawah ondisi standard tersebut diijinkan karena
memiliki dispensasi.
3. Langkah yang diambil oleh Syahbandar pada saat terjadi pencemaran adalah, dibentuknya
tim gugus tugas dimana syahbandar sebagai commander-koordinator penanggulangan
pencemaran meaporkan kapal kepada keagenan kapal dan syahbandar akan minta

24
keagenan untuk menanggulangi pencemaran tersebut dengan SOP (satuan operasional
prosedur) untuk wilayah pencemaran yang terjadi.
Commander dalam hal ini syahbandar sebagai koordinator akan menggerakkan
tim penanggulangan pencemaran dari Kasie Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli
bekerjasama dengan Kepolisian, TNI AL, dan instasi terkait seperti Pemerintah Daerah
dengan lembaga terkait dan Pertamnina sebagai Pengusaha minyak. Laporan pencemaran
dilakukan oleh Syahbandar kepada Kapolres, Komandan AL, Pemerintah Daerah untuk
kemudian dibentuk Puskodalok (Pusat Komando Pengendalian Lokasi). Koordinasi
tersebut di dalam sistem komando Syahbandar bertempat di kantor Syahbandar dan
Pertamina.
Dalam penanggulangan pencemaran dibuat gugus tugas pengendalian
pencemaran yang disebut sebagai Tier. Ada tiga klasifikasi Tier dalam pengendalian
pencemaran, Tier 1 untuk tehnik pengembangan pencemaran wilayah lokal. Dalam rangka
penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut Tier 1 terdiri dari ADPEL atau
KAKANPEL atau pimpinan unit pengusaha minyak dan gas bumi atau penanggung jawab
kegiatan lain wajib membentuk Tim Lokal Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan
minyak di laut yang biasa disebut dengan tim lokal.
4. Mekanisme koordinasi kerja antara Syahbandar dengan aparat penegak hukum yang lain
dalam hal ini Kepolisian, TNI AL, ADPEL, Pemerintah Daerah yang tergabung dalam
Pusat Komando Pengendalian Lokasi (Pusdalok). Syahbandar bertugas sebagai Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Syahbandar bertindak sebagai koordinator misi (commander), dalam hal ini sebagai
pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan operasi penanggulangan keadaan
darurat tumpahan minyak dilaut oleh kapal tanker

6. REFERENSI
Ariadno, Melda Kamil, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, 2007, Diadit Media,
Jakarta.

Austin, John, The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E. Rumble Ed., Cambridge,
University Press.

Baylish, John, Steve Smith, 2005, The Globalization of World Politics (3rd ed), Oxford
University Press, Oxford.

Churchill R.R., and Lowe, A.V., 1995, The Law of the Sea, University Press, Great Britain,
Manchester.

Charpentier, Jean, 1997, Institutions internationales, 13e edition, Momentos Dalloz, Paris.

Friedman, Lawrence, 1984, American Law, W.W. Norton & Company, London.

25
Friedmann, W., 1990, Teori & Filsafat Hukum, Hukum & Masalah-Masalah Kontemporer,
Susunan III, Rajawali Press, Jakarta.

Konvensi Jenewa 1958 " Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone" Nikson S.,
Willem, 2009, Kebijakan Keselamatan Transportasi Laut, Badan Koordinasi
Keamanan Laut, Jakarta.

Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang.

Konvensi Jenewa 1958 " Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone" Nikson S.,
Willem, 2009, Kebijakan Keselamatan Transportasi Laut, Badan Koordinasi
Keamanan Laut, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1977, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, Universitas


Padjajaran, Bandung .

Mugerwa, Nkambo, 1968, Subjects of International Law, Edited by Max Sorensen, Mac
Millan, New York.

O’Brien, John, 2001, International Law, Routledge Cavendish, New York.

Sands, Philippe, 2003, Principle of International Environmental Law Second Edition,


Cambridge University Press, Cambridge.

Prijanto, Heru, 2007, Hukum Laut Internasional, Bayumedia, Malang.

Prodjodikoro, Wiryono, 1984, Hukum Laut bagi Indonesia, Sumur Bandung.

Sands, Philippe, 2003, Principle of International Environmental Law Second Edition,


Cambridge University Press, Cambridge.

Peraturan Perundangan-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2011
tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di Laut.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau


Perusakan Laut.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan.

26
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan.

Keppres Nomor 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan CLC 1969.

Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Ratifikasi SOLAS 1974.

Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Ratifikasi MARPOL 73/78.

Resolusi IMO Nomor A741 (18) tentang ISM-Code.

United Nation on The Law of The Sea (UNCLOS 1982)

Convention on Liability for Oil Pollution Damage 1969

Protocol 1992 (CLC 1969)

Liabillity Convention 1972 "The Convention on International Liability for Damage


Cause by Space Object 1972"

Jurnal Penelitian
Cross, Michael, Hamer, Mick, March, 1992, How to Seal a Supertanker, Improving Ship
Design to Prevent Oil Spills, New Scientist, Vol. 133, No. 1812.

Griffin, Andrew, 1994, Marpol 73/78 and Vessel Pollution: a Glass Half Full or Half Empty
?, Indiana Journal of Global Legasl Studies.

Ariany, Zulfaidah, 2011, Kajian Aspek Hukum Internasional pada Kasus Tumpahan Minyak
Kapal Tanker Exxon Valdez, Media Komunikasi Ilmu dan Profesi Bidang
Kerekayasaan, volume 32. No,1., Available online at
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/tehnik, ISSN 0852-1697.

Lain-lain

Imo and Maritime Security; International Maritime Orgnization, 1986, Superintendent of


Documents Department of State Bulletin.

IMO-index of convention, 24-02-2000, http://www.imo.org/imo/convent/index.htm

IMOs Website-Summary of Status of Convention, 24-06-200,


http://www.imo.org/convent/summary.htm

Marine Pollution, (26-06-2000), http://www.imo.org/imo/convent/pollute .htm


Ports, Maritime & Logistics: Marine Pollution Prevention, (6-08-2000),
http://www. world-bank. org/htmi/tpd/transport/ports/mar-poll.htm

27

Anda mungkin juga menyukai