Anda di halaman 1dari 4

‫ينهض اإلنسان بما عنده من فكر‬

“Bangkitnya manusia bergantung terhadap pemikirannya.”1


Islam sebagai budaya berupaya dijauhkan dari umat Islam. Syariat Islam dianggap tak sesuai
lagi dengan zaman kekinian. Selain upaya di atas, salah satu wacana yang digaungkan oleh musuh
kepada umat muslim adalah dengan penyelewengan berbagai kaidah syara’ yang mendukung
kepentingan mereka untuk menyatakan bahwa Islam bersifat fleksibel dan elastis, sehingga ia bisa
berjalan sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi atau politik pada setiap waktu dan tempat.
Artinya, Islam berkembang agar implementasi hukum-hukumnya sejalan dengan kejadian, kondisi
dan tuntutan manusia yang telah menjadi tradisi saat itu.
Mereka berdalih dengan anggapan yang disandarkan pada satu kaidah dimana menurut
mereka kaidah ini merupakan kaidah syara’. Kaidah itu berbunyi:
‫ال ينكر تغير األحكم بتغر الزمان‬
“Tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena perubahan zaman”2
Mereka kemudian mengubah aturan hukum Islam sesuai realita yang ada. Mereka bertindak
sesuai dengan tuntutan keadaan. Jika mereka diingatkan dengan hukum-hukum syara’, mereka
mengatakan, bahwa hukum-hukum itu hanya khusus untuk waktu tertentu, sedangkan Islam
mengharuskan umatnya untuk terus menyesuaikan diri dengan zaman dan melakukan hal-hal yang
sesuai dengan zaman dan tempatnya. 3 Mereka mengganti syariat qishash dengan hukuman sanksi
penjara, mereka merubah tatanan pemerintahan dengan demokrasi, yang sebenarnya juga bukan
budaya asli dari Indonesia, mereka mengada-adakan perbuatan baru yang merusak akidah (seperti
salam lintas agama dan sebagainya), semua itu mereka lakukan untuk menjauhkan masyarakat dari
aturan dan budaya Islam.
Mereka pun memakai kaidah al-â’dah muhâkamah sembarangan. Kaidah ini mereka jadikan
sebagai tameng ketika ingin merubah aturan lama agar bisa disesuaikan dengan aturan baru. Maka tak
heran jika terdapat fenomena pada saat ini yang menyatakan bahwa agama harus mengikuti
perkembangan budaya yang ada. Budaya harus dijadikan acuan karena merupakan realitas kekinian
yang ada pada zaman sekarang. Agama harus bersifat fleksibel dengan budaya yang ada. Semua itu
disebabkan karena salah tafir terhadap kaidah al-â’dah muhâkamah ini.
Perlu diketahui bahwa Islam adalah agama yang bersifat fleksibel dengan realitas kekinian,
selama masih dalam koridor yang benar. Semua syarat dan ketentuan berlaku. Untuk merealisasi hal
tersebut, Islam membuka pintu Ijtihad dalam menggali hukum.
Dalam berijtihad terdapat beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar. Ijtihad hanya berlaku
pada hal zhanni saja. Mari perhatikan pendapat Wahbah Zuhayli berikut ini:
‫فه**و األحك**ام ال**تي ورد فيه**ا نص ظ**ني الثب**وت‬ :‫وأما ما يصح االجتهاد فيه‬
‫ واألحكام التي لم يرد فيها نص وال إجماع‬،‫والداللة أو ظني أحدهما‬
“Ijtihad tidak berlaku pada nash syari yang bersifat qath’i sedangkan nash yang bersifat
zhanni merupakan ruang ijitihad manusia”4.
Ijtihad itu berguna melahirkan hukum terhadap objek yang baru yang digali dari nash syar’i,
disanalah letak kefleksibelitasan Islam sebagai sebuah dalil umum yang bisa diterapkan di setiap

1
Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al Islâm, Hizbut Tahrir, 2001, cet. VI, hlm. 5
2
Muhammad Muhammad Ismail, al-Fikru al-Islâm, Beirut: Maktabah al-Waie, 1958, hlm. 49
3
Muhammad Muhammad Ismail, al-Fikru al-Islâm, hlm. 50
4
Wahbah ibnu Musthafa az-Zuhayli, al-Fiqhu al Islamî wa Adilatuhu. Damaskus - Suriah: Dar Al-Fikr, 1989, juz
8, hlm. 142.
zamannya. Namun, kefleksibelitasan itu malah diartikan untuk menghukumi aturan syariat yang ada,
yang telah diatur dalam nash, dengan aturan manusia yang pasti ada cacatnya.
Adapun kaidah al-â’dah muhâkamah hanya berlaku untuk beberapa bab fikih saja. Kaidah ini
juga tidak berlaku terhadap benda atau perbuatan yang sudah jelas tertera dalam syariat. Kita tidak
bisa memukul rata kaidah tersebut untuk setiap permasalahan hukum.
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa budaya tidaklah bisa bersifat mutlak
benar. Baik dan buruknya sebuah budaya harus dilihat dari kacamata Islam. Islam menjadi acuan atas
sebuah realitas, bukan sebaliknya. Penulis berharap agar adanya peninjauan ulang pada sikap
mempertahankan budaya yang benar dalam pendidikan, agar apa yang dijalankan masih sesuai dengan
syariat Islam dan tidak memiliki nilai-nilai yang rancu.
Syariat acuan terhadap budaya. Mari renungi bagaimana kesudahan orang-orang yang tak
mau merubah budaya nenek moyangnya sesuai dengan ajaran yang syariat benar di dalam firman
Allah swt. berikut ini:
ۤ ‫ ِه ٰابَ ۤا َءنَا ۗ اَ َولَوْ كَانَ ٰا‬C‫َواِ َذا قِي َْل لَهُ ُم اتَّبعُوْ ا َمٓا اَ ْن َز َل هّٰللا ُ قَالُوْ ا بَلْ نَتَّب ُع َمٓا اَ ْلفَيْنَا َعلَ ْي‬
‫وْ نَ َشئًْـا َّواَل‬CCُ‫بَاُؤ هُ ْم اَل يَ ْعقِل‬ ِ ِ
}۱۷۰{ َ‫يَ ْهتَ ُدوْ ن‬
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami dapati pada nenek moyang
kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak
mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah [2]: 170) 5
Untuk memperinci penjelasan ayat di atas mari kita lihat penjelasan yang terdapat di dalam
Tafsir Jalalain sebagai berikut:
‫{ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ } أي الكفار { اتبعوا مَا أَنزَلَ اهلل } من التوحيد وتحليل‬
‫الطيبات {قَالُواْ} ال { بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا } وجدنا { عَلَيْهِ ءَابَاءنَا } من‬
ْ‫ { أ } يتبع**ونهم { وَلَ**و‬: ‫عبادة األصنام وتحريم السوائب والبحائر قال تعالى‬
‫كَانَ ءَابَآؤُهُمْ الَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا } من أمر الدين { وَالَ يَهْتَدُونَ } إلى‬
. ‫الحق والهمزة لإلنكار‬
“(Dan apabila dikatakan kepada mereka) kepada orang-orang kafir, ("Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah,") berupa tauhid dan menghalalkan yang baik-baik,
(mereka menjawab,) "Tidak!' (Tetapi kami hanya akan mengikuti apa yang kami
jumpai) atau dapati (dari nenek moyang kami.") berupa pemujaan berhala,
diharamkannya bahair/unta yang dipotong telinganya dan sawaib/unta yang tidak
boleh dimanfaatkan, dibiarkan lepas bebas hingga mati dengan sendirinya. (Apakah)
mereka akan mengikuti juga (walaupun mereka itu tidak mengetahui sesuatu)
mengenai urusan keagamaan (dan tidak pula beroleh petunjuk) untuk mencapai
kebenaran. Hamzah atau 'apakah' di atas untuk pengingkaran.”6
2. Penggunaan Istilah Toleransi Yang Benar
Toleransi adalah sebuah sikap yang berasal dan digaungkan oleh dunia Barat, sedang Islam
tidak pernah mengenal istilah tersebut. Umat muslim yang menjalankan ajaran agamanya dengan
baik, pasti tidak akan pernah memiliki masalah dengan toleransi. Istilah ini tidak dibutuhkan oleh
kaum muslimin karena ajaran Islam sudah mencakup nilai yang diharapkan oleh toleransi itu. Nilai itu

5
Abdul Aziz Abdul Rauf, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Cordoba Internasional-Indonesia, 2020, hlm. 26.
6
Jalâl al-Din al-Mahalli dan Jalâl al-Din al- Suyûti, Tafsîr al-Jalâlain, Dar al-Amiyah, 2013, hlm. 26.
dijelaskan dalam buku Kemenag di atas, yaitu menjaga kerukunan hidup sesama umat beragama,
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-
masing, tidak memberikan label negatif pada penganut agama dan kepercayaan lain dalam bentuk
apapun, serta tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain. Umat Islam tak perlu
slogan ‘toleransi’ untuk bisa bersikap toleransi.
Toleransi berasal dari buah pemikiran barat dengan berbagai rangkaian latar belakang sejarah
mereka. Berikut kutipannya:
Pemikiran toleransi lahir di Nasrani karena pengaruh perang agama di Eropa yang telah
memakan ribuan korban orang Nasrani, akibat konflik berkepanjangan antara Katolik dengan
Protestan. Toleransi yang bermakna pemisahan agama dari aktivitas-aktivitas negara, atau
ringkasnya sekularisme digagas untuk menyelesaikan problem orang-orang Nasrani. Masalah
in tidak pernah muncul di negeri-negeri Islam. Sebab orang orang yang memeluk agama-
agama yang berbeda, mendapati disana, adanya kemungkinan hidup saling percaya dan
bersaudara tanpa ada konflik dan perselisihan. Toleransi sudah ada di dalam pokok ajaran
Islam; dan toleransi bukan pemikiran yang dilekatkan setelah Islam. Ketika Islam menyatakan
“tidak ada paksaan dalam agama”, maka ini menunjukkan dengan sangat jelas pentingnya
tasamuh (toleransi) yang hendak dianugerahkan oleh Islam. Non-muslim semampang mereka
berjalan di atas standar-standar tertentu, maka hal itu memungkinkan mereka hidup dalam
ketenangan dan kebahagiaan di dalam negara Islam 7
Hal-hal semacam ini adalah masalah-masalah yang terjadi di dunia Barat. Akan sangat keliru
jika kita mengambil juga paham toleransi ini dan menjadikannya sebagai sebuah sikap dalam
kehidupan kaum muslimin. Hanya orang-orang yang tak pernah menggali ajaran Islam sajalah yang
mengambil pemikiran ‘sampah’ ini sebagai sikap dalam sosial masyarakat atau mungkin mereka
terlanjur terpedaya dengan tipuan kemajuan dunia Barat sehingga membuat mereka gelap mata dan
tak melirik pada apa yang ada di depan matanya -yaitu ajaran agama Islam itu sendiri-. Sekali lagi
penulis tegaskan, bukankah Islam telah sempurna menjelaskan tentang segala sesuatu?
Islam, agama ini mengajarkan umatnya tentang bagaimana mengatur keragaman dan
perbedaan secara sempurna, serta menjelaskan hukum dan etika untuk memecahkan persoalan-
persoalan yang lahir dari keduanya. Di dalam lintasan sejarahnya yang panjang, kaum Muslim
berhasil membuktikan keunggulan Islam dalam menyelesaikan problem keragaman dan derivatnya.
Islam melarang seorang muslim untuk memaksaan kepada non-muslim untuk masuk ke dalam agama
Islam (QS. 2:256). Non-muslim dibiarkan menjalankan peribadahan sesuai dengan agama dan
keyakinan mereka. Kaum muslim dilaranag mencela sesembahan agama lain, tanpa dasar ilmu (QS.
29:46). Kaum Muslim juga diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang telah
ditetapkan Islam. Di dalam kitab-kitab fikih dijelaskan kedudukan, hak-hak dan perlakuan terhadap
non-muslim yang hidup dalam masyarakat Islam.
Ajaran Islam adalah ajaran yang inklusif, sebagaimana didamba-dambakan Kemendikbud RI.
Ajaran Islam mengajarkan manusia untuk mengedepankan rasionalitas dan menjunjung tinggi adab.
Mereka telah terbiasa hidup dalam kemajemukan, memiliki tradisi toleran, memperlakukkan orang
yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun, adil, dan manusiawi. Dakwah Islam pun tegak di
atas rasionalitas, mujadalah berkelas, dan kesantunan dalam diksi, bukan dengan kekerasan. Dengan
penerapan ajaran Islam secara sempurna, bahkan warga negara Islam (dzimmiy) mengaku lebih
menyukai tinggal di dalam negara Islam dan tidak menganggap ajaran Islam sebagai biang kerok dari
sikap intoleran.
Islam tak mengajarkan fanatisme golongan, dan juga tidak mengenal ikatan kesukuan,
kepentingan (material), kebangsaan ataupun kerohanian. Ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk
7
Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy, Melawan Proyek Moderasi Agama: Istilah, Wacana, Propaganda, dan Ide-
ide Derivasinya, Bogor: Al-Azhar Fresh Zone, 2023, cet. I, hlm. 6.
memilki ikatan yang kokoh lagi kuat, yang mampu mengikat manusia seluruhnya, yaitu ikatan akidah.
Ikatan ini tidak terikat oleh perasaaan yang sifatnya temporal dan lemah. 8
Alih-alih menjadi sebuah istilah agama, toleransi lebih cocok dikenal sebagai istilah politik.
Sebagaimana dijelaskan dalam kutipan buku milik Kemenag berikut:
Di dalam penjelasan ini pula dijelaskan bahwa toleransi tidak hanya dijadikan sebagai sikap
keterbukaan dalam hal agama saja. Tapi dalam konteks yang lebih luas, toleransi juga
mengarah pada perbedaan, ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, budaya, dan lain
sebagainya.9
Saat ini kita berada dalam ideologi kapitalisme dengan akidah sekularisme. Sekularisme
mengamini sebuah pemahaman berupa pemisahan agama dari kehidupan. Kebenaran tidak diukur dari
syariat. Ideologi ini hanya menjamin dan menjadi fasilitator kebebasan individu sehingga umat
muslim tidak bisa bertindak apa-apa saat melihat tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Ideologi ini masih saja dipertahankan karena mereka (oknum yang berwenang) juga memiliki
kepentingan di dalamnya. Jika ada pihak yang ingin mengedepankan syariat, mereka menganggap
pihak tersebut terlalu kaku dan konservatif dalam memegang agama, mereka menganggap pihak itu
intoleran dan lain sebagainya. Mereka jadi memiliki alasan untuk melakukan tindakan hukum
terhadap orang-orang seperti itu dengan hukum yang mereka sepakati dan mereka buat sendiri.
Jikalau memang mereka tetap bersikeras menginginkan toleransi tetap ada, lantas
bagaimanakah penggunaan toleransi yang benar? Bagaimana Islam menempatkan toleransi, dan
dalam batas apa saja seorang Muslim boleh toleran, dan kapan mereka tidak boleh toleran dengan
perbedaan? Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy di dalam bukunya menjawab sebagai berikut:
Pertama, seorang muslim wajib meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang
benar, sedangkan di luar Islam salah (kufur). Tidak ada toleransi, kompromi, dan pengakuan
atas klaim kebenaran agama selain Islam. Allah berfirman:
ۢ ‫ب اِاَّل ِم ۢ ْن بَ ْع ِد مَا جَ ۤا َءهُ ُم ْال ِع ْل ُم بَ ْغ‬
ْ‫ر‬CCُ‫يًا بَ ْينَهُ ْم َۗو َم ْن يَّ ْكف‬ ْ ‫اِ َّن ال ِّد ْينَ ِع ْن َد هّٰللا ِ ااْل ِ ْساَل ُم ۗ َو َما‬
َ ‫اختَلَفَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬
}۱۹{ ‫ت هّٰللا ِ فَا ِ َّن هّٰللا َ َس ِر ْي ُع ْال ِح َساب‬ ِ ‫بِ ٰا ٰي‬
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi
kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian
di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat
cepat perhitungan(-Nya). “{QS. Ali Imran [3]: 19}10

8
Taqiyuddin an-Nabhani, Nizam Al Islam, Hizbut Tahrir, 2001, cet. VI, hlm.
9
Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Implementasi Moderasi
Beragama dalam Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2019, hlm. 19.
10
Abdul Aziz Abdul Rauf, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Cordoba Internasional-
Indonesia, 2020, hlm. 50.

Anda mungkin juga menyukai