Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, oleh
karena itu pasti terjadi interaksi di antara sesama. Setiap individu pasti
menginginkan kesejahteraan, yang bisa didapat dengan berbagai cara, dan
sesungguhnya kesejahteraan bagi tiap-tiap individu itu relatif.
Namun, dalam prosesnya pasti tidak seluruh posisi bisa ditempati oleh
setiap individu, maka dari itu terdapat persaingan menuju kesejahteraan itu,
dalam hal ini berubah menjadi sebuah tujuan dasar yang hendak dicapai.
Identitas ada pada setiap manusia, begitu pula politik yang mengalir dalam
kehidupan bermasyarakat, maka ada yang dinamakan dengan politik identitas,
dan penting untuk mengetahuinya karena berhubungan dengan situasi politik
beberapa tahun terakhir. Politik Identitas pada dasarnya adalah situasi dan
cara berpolitik yang mempersatukan kelompok karena adanya rasa
ketidakadilan dan ketidakpuasan yang didasari oleh persamaan latar belakang
golongan, contohnya suku, ras, agama, dan jender.
Tujuan dapat dicapai melalui berbagai cara, namun usaha untuk
menduduki suatu posisi agar dapat memiliki kewenangan dalam menata
sebuah sistem dari skala yang lebih besar demi mewujudkan kepentingan
serta cita-cita tertentu, itulah yang dapat dikatakan sebagai politik.
Sederhananya, politik dapat ditemukan dalam berbagai unsur dan tingkatan di
keseharian masyarakat.
Menurut Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh oleh
warganegara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam hal ini, disusun
makalah dengan judul “Identitas Politik Nasional”.
Pada dasarnya identitas bukan hanya soal sosiologis tetapi juga bisa
masuk ke ranah politik. Dalam teorinya, politik identitas dapat berpengaruh
baik dan buruk, ibarat pedang bermata dua dalam republik yang berbhinneka
ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari judul makalah yaitu
“Identitas Politik Nasional” diantaranya:
1. Bagaimana definisi dari Identitas Nasional?
2. Bagaimana definisi dari Identitas Politik?
3. Bagaimana Identitas Politik Nasional?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang dapat diambil dari judul makalah yaitu “Identitas
Politik Nasional” diantaranya:
1. Ingin mengetahui definisi dari Identitas Nasional.
2. Ingin mengetahui definisi dari Identitas Politik.
3. Ingin mengetahui Identitas Politik Nasional.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Identitas Nasional
1. Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas
kebangsaan. Secara etimologis, identitas nasional berasal kebangsaan.
Secara etimologis, identitas nasional berasal dari kata identitas dan
nasional. Kata identitas berasal dari bahasa inggris yaitu identity yang
berarti ciri, tanda atau jati diri yang dimiiki oleh seseorang, kelompok,
masyarakat bahkan bangsa. Sementara nasional berasal dari kata
nasional yang diartikan sebagai kelompok persekutuan hidup manusia
yang lebih besar. Istilah identitas nasional secara keseluruhan adalah
suatu cairi yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis
membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Berdasarkan pengertian yang demilian maka setiap bangsa di
dunia ini akan memiliki identitas sendiri sesuai keunikan, sifat, ciri-ciri
serta karakter dari bangsa tersebut. Jadi identitas nasional adalah
sebuah kesatuan yang terikat dengan wilayah dan selalu memiliki
wilayah (tanah tumpah darah mereka sendiri), kesamaan sejarah, sistim
hokum, perundang-undangan, hak dan kewajiban serta pembagian
kerja berdasarkan profesi. Hal ini juga sangat ditentukan oleh proses
bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan
hakikat pengertian ‘identitas nasional’ sebagaimana dijelaskan di atas,
maka identitas nasional suatu bangsa tida dapat dipisahkan dengan jati
diri suatu bangsa atau lebih popular disebut sebagai kerpibadian suatu
bangsa.
2. Factor Yang Mendorong Terbentuknya Identitas Nasional
Factor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
bangsa Identitas adalah:
a. Factor Objektif, yang meliputi factor geografis-ekologis dan
demografis.
b. Factor Subjektif, yaitu factor historis, sosial, politik dan
kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.

B. Identitas Politik
Politik identitas mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun
terakhir. Dalam studi pasca-kolonial politik identitas sudah lama digeluti.
Pemikir seperti Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak
adalah nama-nama yang biasa dirujuk. Mereka dirujuk karena
sumbangsihnya dalam meletakkan politik identitas sebagai ciptaan dalam
wacana sejarah dan budaya. Sementara dalam literatur ilmu politik, politik
identitas dibedakan secara tajam antara identitas politik (political identity)
dengan politik identitas (political of identity). Political identity merupakan
konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan
suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada
mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik
maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik.
Pemaknaan bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana
politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik sangat
dimungkinkan dan kian mengemuka dalam praktek politik sehari-hari.
Karena itu para ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas
berusaha sekuat mungkin untuk mencoba menafsirkan kembali dalam
logika yang sangat sederhana dan lebih operasional. Misalnya saja Agnes
Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus
perhatinnya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.
Sedangkan Donald L Morowitz (1998), pak ar politik dari
Univeritas Duke, mendefinisikan Politik identitas adalah memberian
garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa
yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak
dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta
merta tampak bersifat permanen.
Baik Agnes Heller maupun Donald L Morowitz memperlihatkan
sebuah benang merah yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai
politik berbedaan. Konsep ini juga mewarnai hasil Simposium Asosiasi
Politik Internasional di selenggarakan di Wina pada 1994. Kesan yang lain
dari pertemuan Wina adalah lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas.
Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan
Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa:
Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai
retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki
kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan
kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat
memanipulasi alat untuk menggalang politik guna memenuhi
kepentingan ekonomi dan politiknya”.
Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Agnes Heller
dan Donald L Morowitz sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh
dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis. Yang
biasanya digunakan sebagai alat memanipulasi alat untuk menggalang
politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, pada bagian yang
lain, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran dengan
mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan
mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang
potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.
Pemahaman ini berimplikasi pada kecenderungan untuk: Pertama,
ingin mendapat pengakuan dan perlakuan yang setara atau dasar hak-hak
sebagai manusia baik politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Kedua,
demi menjaga dan melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas
kelompok yang bersangkutan. Terakhir, kesetiaan yang kuat terhadap
etnistas yang dimilikinya. Selain tiga kecenderungan di atas Klaus Von
Beyme (dalam Ubai Abdillah, 2002) menyebutkan ada tiga karakteristik
yang melekat pada politik identitas, yakni; Gerakan politik identitas pada
dasarnya membangun kembali “narasi besar” yang prinsipnya mereka
tolak dan membangun suatu teori yang mengendalikan faktor-faktor
biologis sebagai penyusun perbedaan–perbedaan mendasar sebagai realitas
kehidupannya; Dalam gerakan politik identitas ada suatu tendensi untuk
membangun sistem apartheid terbalik. Ketika kekuasaan tidak dapat
ditaklukkan dan pembagian kekuasaan tidak tercapai sebagai tujuan
gerakan, pemisahan dan pengecualian diri diambil sebagai jalan keluar;
Kelemahan dari gerakan politik identitas adalah upaya untuk menciptakan
kelompok teori spesifik dari ilmu. Sebagai contoh, tidak seorangpun yang
bisa menolak bahwa seorang hitam atau seorang sarjana wanita bisa jadi
telah mempunyai pengalaman yang membuat mereka sensetif dalam kasus-
kasus tertentu menyangkut hubungan dengan kelompok yang lain.
Dari tiga kriteria tersebut, selanjutnya Von Beyme (dalam Ubed
Ubdillah,2002) membuat analisis lanjutan dengan melihat politik identitas
melalui pola gerakan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai. Hasil dari
analisis Von Beyme digambarkan melalui tabel berikut:

C. Identitas Politik Nasiona


Politik Identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai
dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk
represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi
politik identitas ketika menjadi basis perjuangan (Bagir, 2011: 18). Identitas
bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas
identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya
digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa ini, namun justru mulai tampak
penguaan identitas-identitas sektarian baik dalam agama suku, daerah dan
lainlain. Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan
(citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara.
Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang,
terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama, etnis,
daerah dan lain-lain (Bagir, 2011: 17).
Pada era reformasi, kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan lain
dibuka. Dalam perkembangannya kebebasan (yang berlebihan) ini telah
menghancurkan pondasi dan pilar-pilar yang pernah dibangun oleh pemerintah
sebelumnya. Masyarakat tidak lagi kritis dalam melihat apa yang perlu diganti
dan apa yang perlu dipertahankan. Ada euphoria untuk mengganti semua.
Perkembangan lebih lanjut adalah menguatnya wacana hak asasi manusia dan
otonomi daerah yang memberikan warna baru bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menunjukkan sisi positif dan negatifnya.
Perjuangan menuntut hak asasi menguat. Perjuangan tersebut muncul dalam
berbagai bidang dengan berbagai permasalahan seperti: kedaerahan, agama dan
partai politik. Mereka masing-masing ingin menunjukkan identitasnya, sehingga
tampak kesan ada ‘perang’ identitas. Munculnya istilah ‘putra daerah’, organisasi
keagamaan baru, lahirnya partai-partai politik yang begitu banyak, kalau tidak
hati-hati dapat memunculkan ‘konflik identitas’. Sebagai negara-bangsa,
perbedaan-perbedaan tersebut harus dilihat sebagai realitas yang wajar dan
niscaya. Perlu dibangun jembatan-jembatan relasi yang
menghubungkan keragaman itu sebagai upaya membangun konsep kesatuan
dalam keragaman. Kelahiran Pancasila diniatkan untuk itu yaitu sebagai alat pemersatu.
Keragaman adalah mozaik yang mempercantik gambaran tentang
Indonesia secara keseluruhan. Idealnya dalam suatu negara-bangsa, semua
identitas dari kelompok yang berbeda-beda itu dilampaui, idealitas terpenting
adalah identitas nasional (Bagir, 2011: 18).
Politik identitas bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif berarti
menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya perbedaan,
bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan suatu daerah
terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara historis dan logis.
Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain,
misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan
kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apabila dilegitimasi oleh negara. Negara
bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan
kepentingannya serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu
harmoni (Bagir, 2011: 20).
Menurut Lukmantoro (2008:2) Politik identiti adalah tindakan politis untuk
mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok
karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras,
etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari
politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap
pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas
sengaja dijalankan kelompok- kelompok masyarakat yang mengalami
marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka
selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.
Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya muali sekedar penyaluran
aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai
yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni
penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan,
politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai-nilai kedalam
peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan
otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam
konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk
memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk
menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik
dengan agama tertentu.
Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang
disebabkan oleh banyaknya faktor seperti: aspek struktural berupa disparitas
ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi saat ini yang
telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kelompok
primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik dan istitusional.
Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan melembaganya
partisipasi danketerwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah
memicu munculnya kebijakan yang diskriinatif dan eksklusif yang pada akhirnya
memperkuat alasan kebangkitan politik identitas.
Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta minat
terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tema utama kajian
budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisitas, dan orientasi seks, juga tematema
lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan erat dengan politik
identitas. Politik Identitas didasarkan pada esensialisme strategis, dimana kita bertindak
seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis dan
praktis tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan mengenai
diri, identitas, komunitas identifikasi (bangsa, etnisitas, seksualitas, kelas, dan
lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai
pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer. Politik tanpa penyisipan
kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian,
persilangan arah, retakan adalah mustahil.
Camen dan Champion mengatakan Bahwa, “identitas dari suatu etnik adalah
integrasi dari etnisiti dan perasaan kesamaan ras dalam sutu konsep diri. Harus
diakui bahwa etnisitas juga merupakan salah satu akibat dari identitas diri yang
mengalir dari nilai, tata cara, gaya, dan latar belakang individu seseorang.
Identitas etnik tidak mengalir dari opini atau prasangka yang berkembang dalam
suatu masyarakat luas. Identitas etnik dibangun dari dalam” (Carmen GuanipaHo, 1998).
Ini juga berarti setiap orang mempunyai identitas personal mulai dari
jenis kelamin, warna suara, gaya bicara, tipe wajah hingga status perkawinan,
jumlah anak, tingkatpendidikan dan tempat tinggal. Setiap orang juga
mempunyai identitas etnik atau suku bangsa yang dapat dikenal melalui pakaian
dan makanan, bahasa, adat-istiadat dalam perkawinan, kelahiran, inisiasi, dan
kematian. Identitas kelompok etnik merupakan kunci untuk membentuk identitas
manusia sebagai perkembangan manusia.
Konsep- konsep tentang identitas dan bahkan identitas itu sendiri semakin
dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara
konteks (dan sejarah) dengan construct. Eriksen (1993) telah menunjukan
sebagian dari proses proses yang terlibat dalam konstruksi histories identitas
etnik dalam kasus orang-orang India yang bermigrasi ke Mauritius dan Trinidat.
(Mauneti, 2004:25).
Picard (1997) dalam Mauneti (2004:29) mengatakan bahwa identitas etnis
dibangun sesuai dengan situasi yang ada. Demikianpun Eriksen (1993:117)
mengatakan bahwa identitas itu sifatnya situasional dan bisa berubah. Sifat penanda
identitas yang stuasional dan selalu dapat berubah ini tampak jelas
dengan dimasukannya perbedaan agama ke dalam konstruksi identitas. Dalam
konteks Kalimantan misalnya ke-dayak-an seseorang pun dikaitkan dengan
agama Kristen dan dipertentangkan dengan Islam. Bila seorang Dayak masuk
Islam, mereka tidak lagi dianggap sebagai Dayak, tetapi justeru menjadi orang
’Melayu’ (lihat Coomans, 1987). Sejalan dengan itu Winzeller (1997:219)
menengarai bahwa dikalangan Dayak Bidayuh” biasanya menjadi Muslim berarti
tidak lagi menjadi Bidayuh. King (1982:38) juga mengatakan hal yang sama
suku Taman di Kapuas Hulu yang memeluk Islam akan menjadi seorang Melayu.
Penanda-penanda identitas ’budaya’ bisa berasal dari sebuah kekhasan yang
diyakini ada pada agama, bahasa dan adat pada masyarakat yang bersangkutan
(Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu pula, karena King juga
mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks sebahagian
karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Identitas Politik Nasional merupakan suatu hal yang menjadi sebuah
ciri khas dalam bidan politik di Indonesia. Yaitu berupa.
B. Saran
Menyadari penulis jauh dari kata sempurna penulis mohon maaf
apabila masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah. Penulis
menerima kritik maupun saran untuk revisi makalah yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Winarno.2013.Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan
Kuliah di Perguruan Tinggi.Jakarta:PT Bumi Aksam.

Jimung, Martinus.2016.Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan dan


Pancasila.Jakarta Timur:CV. Trans Info Media.

Haboddin, Muhtar.2012.Menguatnya Politik di Ranah Lokal.Jurnal Studi


Pemerintahan.3(1).119-121.

Ma’arid, Syafii Ahmad.2012.Politik Identitas dan Masa Depan


Pluralisme Kita.Jakarta:Demoncracy Project.

Anda mungkin juga menyukai