36 - Ni Kadek Astini (Jaratkaru)
36 - Ni Kadek Astini (Jaratkaru)
2
3 Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu. Menjawablah dia dengan
sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya: “Tapawrata karma wayam.
Hamba ditanya oleh tuanku dan akan kuberitahukan semua keadaanku. Itu semua
terjadi karena akan putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari pitraloka (alam
arwah para leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah
hampir jatuh ke alam neraka. Sebenarnya aku mempunyai satu keturunan. Namanya
Jaratkaru.
Tetapi dia moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu
manusia, tidak beristri, menjadi murid Brahmana yang suci. Jika seandainya
keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku senang terutama
oleh pekerjaan tapa yang istimewa. Tetapi hal yang demikianlah yang terjadi sekarang
ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tidak ada perbedaan antara aku dengan
orang yang melakukan perbuatan dosa yang sama-sama menghadapi kesengsaraan.
Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih “Bikshu itu bernama
Jaratkaru, mintalah belas kasih kepadanya. Suruh supaya beliau mempunyai anak,
agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku
menghadapi sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih”.
Dengan arwah itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris
hatinya melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru,
keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid
brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal telah sempurna tapa
yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga, janganlah
tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dengan
mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun yang hamba
kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada
halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah
hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."
4 Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan
dirinya. Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya baru
beristrikan Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh
daerah (desa) yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama
dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk memikirkan upaya
agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia ke hutan yang sunyi,
menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (makhluk raksasa), katanya:
hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama
Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri yang senama
dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak,
sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.
Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu
terdengar oleh semua naga yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang
brahmana yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya
yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru,
supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (ular-ular tadi) dari
korban ular. Itulah maksud Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang
brahmana bernama Jaratkaru). Dan ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru,
gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang
3
Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru.
Dibawa pulanglah Jaratkaru oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta
dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama beliau duduk di
tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya: "Saya berjanji dengan engkau,
jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi
melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu,
maka aku akan meninggalkan engkau".
5 Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah
beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru.
Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui
ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk
dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya: Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur".
Dengan hati-hati si istri memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga
waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru,
katanya:"Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus
membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun,
pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena
itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu dibangunkan si
suami:"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja
tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan
dan padi."Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian
bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah
mukanya karena marah besarnya. Katanya:"Cih! Engkau naga perempuan yang sangat
jahat, engkau sebagai istri menghinaku. engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak
layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau
sekarang ini." Demikianlah sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga
perempuan, dan lari memeluk si suami:
6 "Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba
membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja.
Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ...
tuan yang terhormat. Jika hamba telah mempunyai anak, di mana anak itu akan
menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa
lagi."Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab:
"Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk
memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk
meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau
kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban
ular. Tenangkanlah hatimu". Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si
naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia
memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada
isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah
anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak
mengucapkan "asti". Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut
segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana.
Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat
pulang ke Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah
4
Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari
segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah
orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.