Anda di halaman 1dari 11

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI

PPC
Program Pendidikan dan
Modul Diklat Tahap 2

“KEBERATAN DAN PUTUSAN SELA PERKARA PIDANA”


Pelatihan Calon Hakim

TERPADU

e-learning.mahkamahagung.go.id
© 2018 1
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
KEBERATAN DAN PUTUSAN SELA PERKARA PIDANA

Mata ajar keberatan dan putusan sela perkara pidana memuat materi jenis-jenis
keberatan dan putusan sela dalam perkara pidana.
Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

Keberatan (eksepsi) adalah istilah dalam proses peradilan yang berarti keberatan/
penolakan terhadap dakwaan Penuntut Umum, yang diajukan oleh Terdakwa atau
Penasehat Hukumnya sesaat setelah Penuntut Umum selesai membacakan dakwaan.

Pasal 156 Ayat (1) KUHAP membagi jenis keberatan menjadi:
1. Keberatan kompetensi/kewenangan mengadili.
2. Keberatan dakwaan tidak dapat diterima.
3. Keberatan dakwaan harus dibatalkan.

Praktek peradilan pidana menggolongkan jenis keberatan menjadi:
1. Keberatan kompetensi/ kewenangan mengadili.
a. Kewenangan absolut.
b. Kewenangan relatif. ( terkait Pasal 84-86 KUHP ).
2. Keberatan tuntutan gugur.
a. Nebis in idem. ( terkait Pasal 76 KUHP ).
b. Perkara daluwarsa. ( terkait Pasal 78-82 KUHP ).
c. Terdakwa meninggal dunia. ( Terkait Pasal 77 KUHP ).
3. Keberatan syarat formil.
Melanggar tata cara/prosedur yang ditentukan UU. (misal: tidak dipenuhinya
ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP; tidak adanya pengaduan dari korban untuk delik
aduan).
4. Keberatan lepas dari segala tuntutan hukum. ( acuan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 191
Ayat (2) KUHAP.
5. Dakwaan tidak dapat diterima.
a. Tindak pidana yang didakwakan sedang dalam pemeriksaan di PN lain atau sedang
dalam proses upaya hukum.
b. Keliru orang yang diajukan sebagai terdakwa.
c. Keliru sistimatika dakwaan.
d. Keliru bentuk dakwaan
6. Dakwaan batal demi hukum.
Kabur, tidak jelas, menyesatkan, berakibat menyulitkan pembelaan.
a. Tidak memuat tanggal dan tanda tangan.
b. Tidak memuat identitas lengkap.
c. Tidak menyebut locus dan tempos delicti.
d. Tidak disusun secara jelas lengkap mengenai tindak pidana (unsur delik dan cara
tindak pidana dilakukan).

Pasal 156 Ayat (1) KUHAP: setelah mempertimbangkan keberatan (eksepsi) tentang
kewenangan mengadili, atau dakwaan tidak dapat diterima, atau dakwaan harus
dibatalkan selanjutnya Hakim menjatuhkan putusan. Putusan Hakim tersebut dapat
berupa: keberatan (eksepsi) diterima/dikabulkan; keberatan (eksepsi) tidak

2
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
diterima/ditolak; keberatan (eksepsi) baru dapat diputuskan setelah selesai pemeriksaan
(Pasal 156 Ayat (2) KUHAP).
Putusan terhadap keberatan (eksepsi) dapat berupa putusan sela, atau putusan akhir.

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum memeriksa pokok
perkara karena adanya keberatan (eksepsi) terhadap dakwaan Penuntut Umum yang
diajukan oleh terdakwa atau Penasehat Hukumnya sesaat setelah Penuntut Umum
membacakan dakwaan.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah memeriksa pokok
perkara.

Kecenderungan dalam praktek perkara pidana, putusan sela seolah-olah hanya digunakan
terhadap keberatan (eksepsi) kewenangan mengadili, sedangkan terhadap keberatan
(eksepsi) dakwaan tidak dapat diterima dan dakwaan harus dibatalkan kecenderunganya
digunakan putusan akhir. Akan tetapi keberatan (eksepsi) kewenangan mengadili ada
juga yang diputus dengan menggunakan putusan akhir, hal tersebut terjadi apabila Hakim
berpendapat keberatan (eksepsi) tersebut baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan (pokok perkara).

Yahya Harahap,S.H. menyimpulkan apabila pokok perkara belum diperiksa baik terhadap
dikabulkan atau ditolaknya keberatan (eksepsi) maka digunakan putusan sela, sedangkan
apabila untuk mempertimbangkan keberatan (eksepsi) diperlukan memeriksa pokok
perkara maka akan digunakan putusan akhir.

A. PENGANTAR
Tata cara pemeriksaan perkara pidana di pengadilan diatur dalam Bab XVI KUHAP.
Setelah Ketua Majelis Hakim menyatakan “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka
untuk umum” (Pasal 153 Ayat (3) dan (4) KUHAP), terdakwa dipanggil masuk ke ruang
sidang (Pasal 154 Ayat (1) KUHAP). Selanjutnya Ketua Majelis Hakim menanyakan
kepada terdakwa tentang identitas terdakwa : nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal
155 Ayat (1) KUHAP). Identitas terdakwa tersebut digunakan Majelis Hakim untuk
memastikan bahwa terdakwalah yang dimaksud dalam dakwaan yang didakwakan
kepada terdakwa.
Ketua Majelis Hakim mengingatkan agar terdakwa selalu memperhatikan segala
sesuatu (melihat, mendegar) yang terjadi selama persidangan, kemudian Ketua Majelis
Hakim minta agar Penuntut Umum untuk membacakan dakwaan, selanjutnya Ketua
Majelis Hakim menanyakan kepada terdakwa apakah telah mengerti isi dakwaan
tersebut, apabila terdakwa belum mengerti Penuntut Umum wajib memberikan
penjelasan (Pasal 155 Ayat (2) KUHAP).
Tahap selanjutnya adalah hak terdakwa atau Penasihat Hukumnya untuk mengajukan
keberatan (eksepsi) apabila terdapat alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 156
KUHAP.



3
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
B. KEBERATAN
Keberatan (eksepsi) adalah istilah dalam proses hukum/ persidangan yang berarti
keberatan/ penolakan yang diajukan oleh terdakwa atau Penasehat Hukumnya
terhadap dakwaan Penuntut Umum.
M. Yahya Harahap,S.H. dalam buku “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP” memberikan pengertian eksepsi atau exception sebagai tangkisan (plead)
atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok surat
dakwaan, tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat formal yang
melekat pada surat dakwaan.
Pasal 156 Ayat (1) KUHAP tidak memberikan pengertian tentang keberatan.
Pasal 156 Ayat (1) KUHAP membagi jenis keberatan menjadi;
- Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya.
- Dakwaan tidak dapat diterima.
- Dakwaan dibatalkan.

Praktek peradilan pidana mengelompokan keberatan menjadi:

1. Keberatan terkait Kompetensi/ kewenangan mengadili.
a) Kompetensi absolut/ kewenangan absolut terkait kewenangan antar lingkungan
lembaga peradilan.
b) Kompetensi relatif/ kewenangan relatif terkait kewenangan antar Pengadilan
Negeri.

Sebagai rujukan untuk menentukan kewenangan relatif adalah:
- Pasal 84 Ayat (1) KUHAP - wilayah hukum tidak pidana dilakukan (locus delicti).
- Pasal 84 Ayat (2) KUHAP - tempat tinggal terdakwa (kediaman terakhir, tempat
diketemukan atau ditahan), apabila sebagian besar saksi bertempat tinggal
didekat Pengadilan Negeri yang meliputi wilayah tempat tinggal terdakwa
tersebut.
- Pasal 85 KUHAP - kewenangan atas penetapan atau penunjukan Menteri
Kehakiman. (baca: Ketua Mahkamah Agung, atas dasar Pelimpahan Organisasi
Administrasi Finansial dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung).
- Pasal 86 KUHAP - kewenangan PN Jakarta Pusat terhadap tindak pidana yang
dilakukan di luar negeri.

2. Keberatan Tuntutan Gugur.
A) Nebis in idem (exceptio judicate) - Pasal 76 KUHP.
Tindak pidana yang didakwakan telah pernah didakwakan dan diadili, putusan
atas perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap, dan putusan tersebut
bersifat positif (penghukuman, atau pembebasan, atau pelepasan).
B) Perkara Kadaluwarsa/ lewat waktu (exceptio in tempores) - Pasal 78 KUHP.
Penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa telah
melampoi tenggang batas waktu yang ditentukan undang-undang.
Daluwarsa penuntutan tindak pidana diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal
82 KUHP.

4
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
C) Terdakwa meninggal dunia.
Kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia - Pasal 77
KUHP.

Terhadap keberatan tuntutan gugur apabila Hakim mengabulkan maka
putusanPengadilan Negeri berupa putusan akhir, bukan putusan sela. Terhadap
putusan akhir tersebut Penuntut Umum mempunyai hak mengajukan upaya hukum
banding dan kasasi.
Apabila putusan akhir tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka manurut
M.Yahya Harahap,S.H. bersifat langsung “final dan mengikat”, tidak bisa diajukan
lagi untuk kedua kali.

Sebagai catatan, tanpa diajukanya keberatan oleh terdakwa atau Penasihat Hukum,
apabila dalam persidangan Majelis Hakim menemukan fakta nebis in idem atau
daluwarsa, Majelis Hakim harus memutus perkara tersebut dengan amar “
menyatakan kewenangan menuntut hapus atau gugur”.

3. Keberatan Syarat Formil.
Keberatan syarat formil disebut juga sebagai keberatan tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima. Keberatan syarat formil berkaitan dengan prosedur tata cara
pemeriksaan penyelidikan, ataupun penyidikan yang dilakukan tidak sesuai syarat
yang ditentukan undang-undang.
a) Pemeriksaan dalam penyidikan tidak memenuhi ketentuan Pasal 56 Ayat (1)
KUHAP. Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana mati atau 15 tahun atau lebih, atau bagi yang
tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai
Penasihat Hukum, maka pejabat yang berwenang harus menunjuk Penasihat
Hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP berakibat
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. (Putusan Mahkamah Agung
Nomor.1565K/Pid/1991 tanggal 16 September 1991).
b) Tindak pidana yang dilakukan termasuk delik aduan, akan tetapi dakwaan
terhadap Terdakwa dilakukan tanpa ada pengaduan dari korban atau tenggang
waktu pengaduan tidak dipenuhi (Pasal 72 - 75 KUHP).
Menurut M.Yahya Harahap,S.H. oleh karena persyaratan yang diminta undang-
undang yaitu adanya pengaduan tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap terdakwa
tidak dapat diterima.
Ada atau tidak ada keberatan, ketika Hakim melihat fakta bahwa tindak pidana yang
didakwakan mengandung pemeriksaan yang tidak memenuhi syarat yang
ditentukan undang-undang, maka menurut M.Yahya Harahap,S.H. Hakim harus
menjatuhkan putusan akhir. Terhadap putusan akhir tersebut dapat diajukan upaya
hukum banding dan kasasi. Akan tetapi putusan tersebut tidak bersifat final karena
tidak melekat unsur nebis in idem (putusan menyatakan tuntutan tidak dapat
diterima, pokok perkara dalam dakwaan belum dibuktikan).

4. Keberatan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum.
M.Yahya Harahap,S.H. mendasarkan eksepsi Lepas Dari Segala tuntutan Hukum
pada Pasal 67 KUHAP ( “lepas dari segala tuntutan hukum”) dan Pasal 191 Ayat (2)

5
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
KUHAP ( “Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum” ), dalam praktek eksepsi lepas dari segala tuntutan
hukum terjadi apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa
perdata.
Ada atau tidak adanya keberatan tersebut,putusan yang dijatuhkan berupa putusan
akhir bukan putusan sela. Terhadap putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya
hukum melalui Banding ( Pasal 67 KUHAP) maupun perlawanan (Pasal 156 KUHAP),
upaya yang diperbolehkan adalah kasasi (Pasal 244 KUHAP) .Apabila putusan telah
berkekuatan hukum tetap bersifat final, tidak dapat diajukan kembali untuk kedua
kalinya.

5. Keberatan Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
Salah satu jenis keberatan yang disebut dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP adalah
“dakwaan tidak dapat diterima”, namun KUHAP tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dakwaan tidak dapat diterima.
Praktek peradilan pidana memberikan pengertian keberatan dakwaan tidak dapat
diterima apabila dakwaan yang diajukan mengandung cacat formal, atau
mengandung kekeliruan beracara (error in procedure). Cacat mengenai orang yang
didakwa, keliru bentuk atau susunan surat dakwaan.
Jenis keberatan dakwaan tidak dapat diterima meliputi:
a) Exceptie subjudice/ Exceptio letis pedentis.
Tindak pidana yang didakwakan sedang dalam pemeriksaan.
Misalnya apa yang didakwakan kepada terdakwa, persis sama dengan perkara
pidana yang sedang diperiksa di Pengadilan Negeri lain, atau dalam pemeriksaan
banding, atau kasasi.
Terhadap keberatan tersebut apabila Pengadilan Negeri menyatakan dakwaan
tidak dapat diterima atas alasan pemeriksaan masih bergantung (subjudice),
kemudian putusan pengadilan lain yang mengadili menyatakan tidak berwenang
mengadili, dan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri yang
memutus dakwaan tidak dapat diterima atas alasan tergantung (subjudice), maka
Penuntut Umum dapat mengajukan dakwaan kembali ke Pengadilan Negeri
tersebut untuk yang kedua kali. Sebaliknya apabila putusan pengadilan yang
memeriksa semula menjatuhkan putusan yang bersifat positif (penghukuman
atau bebas), maka putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan dakwaan tidak
dapat diterima langsung bersifat final, sehingga dakwaan dalam perkara tersebut
tidak dapat diajukan kembali karena alasan nebis in idem.
b) Exceptio in persona.
Keliru orangnya yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan tersebut,
dengan kata lain seharusnya yang diajukan sebagai terdakwa adalah orang lain,
sebagai pelaku tindak pidana yang sebenarnya.
Jika Penuntut Umum telah mendakwa seseorang yang tidak mempunyai
hubungan hukum dan pertangunganjawab dengan tindak pidana atau kejahatan
yang didakwakan, maka menurut M.Yahya Harahap,S.H. dakwaan harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan yang demikian tidak bersifat final
sehingga Penuntut Umum dapat mengajukan kembali dengan terdakwa pelaku
yang sebenarnya.

6
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
c) Keberatan terkait keliru sistematika dakwaan subsideritas.
Praktek peradilan pidana menempatkan dakwaan tindak pidana yang lebih
serius/ lebih berat ancaman pidananya pada posisi dakwaan primair, selanjutnya
yang lebih ringan ancaman pidananya pada dakwaan subsidair, lebih subsidair
dan seterusnya.
Susunan/sistimatika dakwaan subsideritas tersebut telah baku, sehingga apabila
susunan/sistematika tersebut dilanggar maka dianggap kacau dan menyesatkan
bagi terdakwa dalam rangka membela diri, oleh karena itu cukup alasan untuk
menyatakan dakwaan kabur (obscur libel), sehingga dalam amar putusan akan
dinyatakan dakwaan tidak dapat diterima.
Yahya Harahap,S.H. memberikan catatan terhadap keberatan keliru sistematika
dakwaan subsideritas sebagai berikut: Meskipun dari sudut strict law pendapat
diatas dapat dibenarkan, namun lebih bijaksana bila kekeliruan susunan
dakwaan tersebut dianggap sebagai clerical error (kesalahan pengetikan), Hakim
dapat meluruskan dalam persidangan dan mempertimbangkan dalam putusan
demi kepentingan keadilan.
d) Keberatan terkait keliru bentuk dakwaan.
Bentuk dakwaan disusun berdasarkan terjadinya peristiwa pidana. Misalnya
seharusnya dakwaan berbentuk kumulatif, akan tetapi dakwaan diajukan
dipersidangan dalam bentuk subsideritas, atau sebaliknya.
Sebagaimana halnya keberatan keliru sistematika dakwaan subsideritas, M.
Yahya Harahap,S.H. berpendapat sebaiknya Hakim tidak bersikap strick law.
Putusan yang dijatuhkan terhadap keberatan dakwaan tidak dapat diterima
berbentuk putusan akhir, sehingga terbuka peluang adanya upaya hukum
banding dan kasasi. Sifat putusanya tidak final, dengan pengertian bila putusan
telah berkekuatan hukum tetap maka dakwaan dapat diajukan kembali, dengan
syarat cacat yang ada dalam dakwaan disempurnakan terlebih dahulu.

6. Keberatan Dakwaan Batal Demi Hukum.
Keberatan terkait dakwaan batal demi hukum dapat diajukan dengan asumsi
dakwaan dianggap kabur, tidak jelas, menyesatkan yang mengakibatkan terdakwa
sulit dalam melakukan pembelaan. Pasal 143 Ayat (2) KUHAP
Bentuk keberatan dakwaan batal demi hukum selain yang telah dinyatakan dalam
Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, dalam praktek peradilan pidana ada pula bentuk lain
sebagai pengembangan dari ketentuan Pasal 143 Ayat (2) KUHAP tersebut, yaitu:
a) Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum.
Pasal 143 Ayat (2) KUHAP menyatakan :”surat dakwaan diberi tanggal dan
ditandatangani”.
M.Yahya Harahap,S.H. berpendapat agar Hakim tidak bersikap strick law lalu
kemudian menyatakan dakwaan batal. Diharapkan Hakim menggunakan
pendekatan clerical error, memberikan toleransi dengan cara meminta Penuntut
Umum mencantumkan tanggal dan tanda tangan melalui mekanisme sebelum
hari sidang (Pasal 144 KUHAP), atau ketika sidang.
b) Dakwaan tidak memuat identitas lengkap terdakwa (nama lengkap, tempat
lahir/umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan. (Pasal
143 Ayat (2) KUHAP).

7
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
Terhadap keberatan ini M.Yahya Harahap,S.H. berpendapat sepanjang data
identitas masih mampu memberikan informasi dan mampu mengklarifikasi diri
terdakwa, ketidak lengkapanya bisa ditambahkan dan tidak perlu menyatakan
batal.
c) Dakwaan tidak menyebut locus delicti/ tempat dan tempos delicti/ waktu
peristiwa tindak pidana terjadi. (Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP).
Praktek peradilan pidana penyebutan locus delicti dan tempus delicti
menggunakan kalimat “…. setidak tidaknya masih dalam wilayah hukum PN….” ;
“ …setidak tidaknya terjadi pada kurun waktu bulan Januari 2018…”.
Perluasan kalimat tersebut digunakan karena tidak jarang tempat dan waktu
kejadian masih diingat oleh para saksi.
Meskipun perluasan kalimat dalam menggambarkan tempat dan waktu peristiwa
tindak pidana terjadi telah diakui dalam praktek peradilan pidana, namun hal
tersebut tetap harus memperhatikan kecermatan dan kejelasan dakwaan.
Kesalahan penyebutan Locus dan tempos dalam dakwaan yang menyesatkan dan
merugikan terdakwa dalam membela diri harus dinyatakan dakwaan batal demi
hukum.
d) Dakwaan tidak disusun secara cermat jelas dan lengkap mengenai uraian tindak
pidana yang didakwakan (Pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP artinya semua
unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat
disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat lengkap dan jelas mengenai
cara tindak pidana dilakukan secara utuh.
Ancaman atas kelalain merumuskan dakwaan yang tidak cermat, jelas dan
lengkap tersebut adalah dakwaan batal demi hukum (Pasal 143 Ayat (3) KUHAP.
Apabila putusan terhadap keberatan tersebut telah berkekuatan hukum tetap
maka dakwaan perkara tersebut dapat diajukan kembali oleh Penunut Umum,
dengan terlebih dahulu memperbaiki/ menyempurnakan hal-hal yang telah
dinyatakan dalam pertimbangan putusan.

C. PUTUSAN SELA
Putusan Sela adalah merupakan putusan yang dijatuhkan Hakim sebelum pokok
perkara.
Putusan Sela dijatuhkan karena adanya keberatan dari terdakwa atau Penasehat
Hukumnya. Keberatan tersebut diajukan sesaat setelah Penuntut Umum membacakan
dakwaan.
Berdasarkan Pasal 156 Ayat (2) KUHAP terkait dengan keberatan, Hakim dapat
menyatakan keberatan tersebut diterima, dan sebaliknya Hakim dapat menyatakan
keberatan tidak diterima, atau Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus
setelah pemeriksaan pokok perkara.
Apabila Hakim menyatakan keberatan diterima maka pendapat dan pertimbangan
hukumnya dituangkan dalam putusan sela. Amar putusan tersebut menyatakan
keberatan dapat diterima kemudian diikuti amar deklaratis sesuai jenis keberatan

8
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
yang diajukan, akibat hukum atas dapat diterimanya keberatan maka pokok perkara
dihentikan pemeriksaanya.
Apabila Hakim menyatakan keberatan tidak dapat diterima maka pendapat dan
pertimbangan hukumnya dituangkan dalam putusan sela. Amar putusan tersebut
menyatakan keberatan tidak dapat diterima, akibat hukumnya pemeriksaan pokok
perkara dilanjutkan.
Apabila Hakim menyatakan keberatan akan diputus setelah pemeriksaan pokok
perkara, maka pendapat dan pertimbangan hukumnya dituangkan dalam putusan
akhir. Hal ini didasarkan pada alasan, keberatan baru dapat dipertimbangkan setelah
Hakim memeriksa materi/pokok perkara. (misalnya terkait keberatan dakwaan
obscur libel, dakwaan nebis in idem, dakwaan bukan perkara pidana melainkan
perkara perdata dan sebagainya). Keberatan tersebut baru dapat dibuktikan setelah
Hakim memeriksa pokok perkaranya.
Apabila setelah memeriksa pokok perkara diperoleh fakta yang menguatkan
kebenaran eksepsi maka Hakim baru dapat menyatakan keberatan dapat diterima;
menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, atau batal demi hukum. Putusan tersebut
dituangkan dalam bentuk putusan akhir, yang mengakhiri proses pemeriksaan
pemeriksaan ditingkat pertama.
Dilihat dari sisi teknis yustisial M.Yahya Harahap,S.H. menilai putusan tersebut
berbentuk alternatif, yaitu:
1. Putusan akhir yang dijatuhkan didasarkan pada alasan keberatan, sehingga putusan
tersebut bersifat negatif, karena Hakim belum memeriksa dan mempertimbangkan
pokok perkara.
2. Putusan akhir yang dijatuhkan didasarkan pada materi pokok, sehingga putusan
tersebut bersifat positif, karena Hakim telah memeriksa dan mempertimbangkan
pokok perkara dan menjatuhkan pidana berupa putusan bebas, atau putusan
pemidanaan (penghukuman).
Pasal 156 Ayat (2) KUHAP memberi wewenang kepada hakim untuk menerima
atau tidak diterima keberatan.
Menurut M Yahya Harahap,S.H. setiap tindakan Hakim dalam menerima atau tidak
menerima eksepsi tersebut harus dituangkan dalam putusan sela atau putusan akhir.
1. Dituangkan dalam putusan sela.
Pasal 156 Ayat (1) KUHAP : Terdakwa atau Penasehat Hukumnya mengajukan
keberatan (eksepsi) atas dakwaan, keberatan (eksepsi) tersebut disampaikan
setelah dakwaan dibacakan, Penuntut Umum menanggapi keberatan (eksepsi)
tersebut, selanjutnya Hakim mempertimbangkan dan memutus eksepsi tersebut
dengan putusan sela.
Praktek peradilan pidana penjatuhan putusan sela seolah-olah hanya untuk eksepsi
kewenangan relatif. Hal tersebut dapat dipahami karena dengan penentuan
kewenangan relatif dapat menghindari penyelesaian perkara yang berlarut, yaitu
terlanjur memeriksa pokok perkara ternyata pengadilan yang bersangkutan tidak
berwenang.
Apabila Hakim menerima keberatan, maka akan dinyatakan Pengadilan Negeri
tersebut tidak berwenang untuk mengadili, dan pemeriksaan akan dihentikan (tidak
dilanjutkan). Penghentian pemeriksaan dapat bersifat permanen, dan dapat pula

9
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
bersifat temporer. Bersifat permanen terjadi apabila Penuntut Umum tidak
mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi, sehingga putusan berkekuatan
hukum tetap. Dengan demikian secara permanen Pengadilan Negeri tersebut tidak
berwenang mengadili, dan yang berwenag adalah Pengadilan Negeri lain, oleh
karena itu Pengadilan Negeri tersebut harus segera mengembalikan berkas perkara
kepada Penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
yang berwenang. Bersifat temporer atau sementara terjadi apabila Penuntut Umum
mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Jika Pengadilan Tinggi menolak
perlawanan Penuntut Umum maka putusan Pengadilan Negeri menjadi bersifat
permanen. Namun sebaliknya jika Pengadilan Tinggi menerima perlawanan
Penuntut Umum maka sifat temporer menjadi gugur dan Pengadilan Negeri harus
segera melanjutkan pemeriksaan pokok perkara.

Apabila Hakim tidak menerima keberatan maka akan dinyatakan Pengadilan Negeri
tersebut berwenang untuk mengadili, dan pemeriksaan akan dilanjutkan. Sifat
kewenangan untuk mengadili dapat bersifat permanen, dan dapat pula bersifat
temporer. Bersifat permanen terjadi apabila Terdakwa atau Penasehat Hukumnya
tidak mengajukan perlawanan, sehingga Pengadilan Negeri melanjutkan
pemeriksaan. Bersifat temporer terjadi apabila Terdakwa atau Penasehat
Hukumnya mengajukan perlawanan. Jika Pengadilan Tinggi menerima perlawanan,
maka gugur kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili, dan harus
menghentikan pemeriksaan serta mengembalikan berkas perkara kepada Penuntut
Umum selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh
Pengadilan Tinggi. Jika Pengadilan Tinggi menolak perlawanan, maka sifat temporer
berubah menjadi permanen, selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan.

2. Dituangkan dalam putusan akhir.
Praktek peradilan pidana terhadap keberatan yang menyangkut dakwaan tidak dapat
diterima atau dakwaan batal demi hukum pada umumnya dituangkan dalam putusan
akhir, sedangkan yang menyangkut kewenangan mengadili pada umumnya
dituangkan dalam putusan sela. Akan tetapi ada juga kewenangan mengadili yang
diputus dengan putusan akhir, yaitu ketika Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat
diputus setelah selesai memeriksa pokok perkara (Pasal 156 Ayat (2) KUHAP. Jika
kemudian Hakim berpendapat Pengadilan Negeri tidak berwenang maka dijatuhkan
putusan akhir, selanjutnya pemeriksaan dihentikan dan berkas dikembalikan kepada
penuntut umum untuk dilimpahkan ke Pengadiilan Negeri yang berwenang. Menurut
M.Yahya Harahap,S.H. tindakan yang tepat adalah melalui putusan sela, agar
pemeriksaan lebih efektif dan lebih cepat menentukan Pengadilan Negeri yang
berwenang.

10
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana
11
Keberatan dan Putusan Sela Perkara Pidana

Anda mungkin juga menyukai