Pendalang Berbahasa Inggris, Bermimpi Membawa Wayang Go Internasional
Dalam dunia pewayangan, seorang Dalang
memiliki peran penting sebagai pembawa cerita dan pengisi suara dari setiap tokohnya. Seorang dalang tidak hanya berkemampuan memahami setiap detail dari sebuah cerita pewayangan, namun juga dapat menggambarkan sebuah perasaan dan karakter tokoh wayang dalam sebuah pagelaran. Wayang yang menjadi salah satu budaya masyarakat jawa kini telah mencuri perhatian budayawan dari mancanegara. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi sebuah kelompok penggelar wayang yang mendapat kesempatan untuk menampilkan sebuah pagelaran wayang di negara lain. Tentu hal ini termasuk salah satu pengenalan budaya Indonesia yang tidak dapat dimiliki oleh negara lain. Ketertarikan dalam dunia pewayangan, khususnya seorang dalang, tidaklah umum diminati oleh seorang anak kecil karena kesulitan ataupun banyaknya detail kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang dalang. Namun, lain hal dengan seorang pemuda bernama Tony Ekaputra Arif Wicaksono. Ia kini sedang menempuh jenjang pendidikan S1 di Institut Seni Indonesia Surakarta dalam Program Studi Seni Pedalangan. Ketertarikannya dalam bidang pedalangan telah tumbuh sejak ia berumur 3 tahun. Dimana, sang kakek terbiasa mengajaknya untuk menonton sebuah pagelaran wayang di salah satu channel TV swasta pada masa itu. “Saya selalu menemani kakek ketika menonton pagelaran wayang di TV. Dan itu yang membuat saya tertarik dengan dunia pendalangan.” Ujar Tony dalam sebuah perbincangan. Pada umur 5 tahun, Tony mulai mengembangkan ketertarikannya pada pedalangan dengan bermain miniatur wayang dimana seolah-olah ia adalah seorang dalang. Dari kebiasaan itu, Tony akhirnya menekuni ketertarikannya pada dunia pewayangan terkhusus pedalangan, dengan mulai membuat wayang dari kertas dan mewarnainya. Hal ini menjadi sebuah kesempatan emas untuk Tony dalam berkesempatan untuk mengikuti program ASEAN International Mobility Students (AIMS) di Filipina selama 6 bulan pada tahun 2019 lalu. Yang mana dalam kesempatan tersebut, Tony mendapat kesempatan untuk memperkenalkan Indonesia ke ranah internasional terutama dalam hal kebudayaan. Selain memiliki ketertarikan kepada seni pedalangan, Tony juga mengasah kemampuan komunikasi multibahasanya dengan belajar dan menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Jepang dan Korea. Dimana dalam salah satu event ketika mengikuti AIMS di Filipina, Tony berkesampatan untuk mendalangi sebuah cerita wayang dengan menggunakan bahasa Inggris. “Kalau menjadi dalang di depan orang asing, tidak pas jika saya menggunakan bahasa Jawa. Jadi, saya memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris. Tentunya butuh persiapan terutama dalam penyusunan skripnya. Karena, ada beberapa istilah jawa yang tidak ada dalam bahasa lain, bahkan Indonesia. Disinilah peran bahasa Inggris sebagai pengantar cerita wayang yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya Jawa ke ranah international.” Jelasnya. Hal ini semakin memotivasi Tony untuk memperkaya kemampuan multibahasanya supaya nantinya dapat membawa sebuah cerita pewayangan dengan berbagai bahasa asing. Penggunaan Bahasa asing dalam sebuah pagelaran wayang pastilah masih terdengar asing bagi dunia seni di seluruh Indonesia. Keberadaan Tony yang memiliki ketertarikan kepada dua hal yang saling menguntungkan tersebut diharapkan dapat membawanya ke kesempatan lain yang berstandar internasional. Nilai ke-Nasima-an yang membara di Filipina Ketika mengikuti reruntutan kegiatan AIMS selama 6 bulan di Filipina, rasa cintanya kepada tanah air semakin menguat. Dengan keinginan untuk memperkenalkan Indonesia ke ranah yang lebih luas, menjadikannya semakin mantap untuk terus menekuni kemampuan pedalangan dan multi Bahasa. Dalam sebuah bincang-bincang ringan, Tony menjelaskan jika selama mengikuti kegiatan di Filipina, rasa nasionalisnya justru semakin membara. Dimana rasa cintanya terhadap tanah air Indonesia semakin menguat dengan keinginannya untuk meng- internasional-kan budaya Indonesia terutama Jawa. Hal ini ternyata sudah tertanam sejak ia berumur belasan tahun. Tepat ketika Tony menempuh Pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Nasima Semarang, Tony mendapatkan sebuah kunci kehidupan yang hanya ia dapatkan di sekolah tersebut sehingga memengaruhi kariernya dalam dunia pedalangan. Tidak lain, hal tersebut ialah rasa nasionalis dan agamais yang tinggi yang mana menjadi dasar utama dari sekolah Nasima. Sisi keagamaan yang telah ditanamkan sejak ia berada di bangku SMP, membuat cerita wayang yang ia bawakan selalu memberikan nilai moral yang terkandung. Dimana nilai-nilai tersebut selalu terkait dengan keberadaan Allah SWT, Sang Maha Kaya di seluruh alam semesta. Pendidikan karakter yang ia peroleh selama berada di SMP Nasima Semarang, membuahkan hasil yang tidak biasa baginya. Selama mewujudkan mimpinya untuk menjadi salah satu dalang internasional yang memiliki kemampuan multibahasa, rasa ingin memperkenalkan budaya Indonesia melalui pagelaran wayang multibahasa menjadi salah satu wujud dari tertanamnya rasa nasionalisme yang tinggi di dalam dirinya. Pun, tidak pernah luput baginya untuk menyampaikan pesan moral yang terkandung dalam setiap pagelaran wayang menjadi wujud nyata hasil dari nilai agamais yang diajarkan di Sekolah Nasima. Kesan yang paling tertanam dalam diri Tony sebagai dalang international ialah ketidaksia-siaan yang ia dapatkan selama belajar di Sekolah Nasima. Dimana ada Pendidikan karakter yang diajarkan secara tidak langsung oleh para tenaga pendidik, dan telah menjadi kebiasaan yang tak terlupakan bagi Tony, membuatnya semakin siap untuk bersaing dalam memperkenalkan seni wayang kulit dalam multibahasa yang berasal dari sebuah negara maritim, Indonesia. WISUDA PURNASISWA: Tony ketika mengikuti wisuda purnasiswa di SMP Nasima pada tahun 2011
PAGELARAN WAYANG: Tony ketika menjadi dalang dalam sebuah pagelaran
wayang SANG MAESTRO; Berfoto dangan Sang Maestro Pedalangan, almarhum Ki Manteb Sudarsono yang berjuluk, “Dalang Setan” karena keterampilan dan kecepatan sabetannya.