2010 HuseinSrijono PetaITCGeomorfologiDIY
2010 HuseinSrijono PetaITCGeomorfologiDIY
net/publication/308415694
CITATIONS READS
8 26,990
2 authors, including:
Salahuddin Husein
Universitas Gadjah Mada
105 PUBLICATIONS 240 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Surface Geological Mapping Lahat Formation (older than Late Oligocene) in South Sumatera View project
All content following this page was uploaded by Salahuddin Husein on 22 September 2016.
I. Pendahuluan
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki letak geomorfologis yang sangat menarik. Berada di
bagian selatan Pulau Jawa, propinsi ini berada pada transisi dua mandala geologi, yaitu Jawa Tengah dan
Jawa Timur (van Bemmelen, 1949). Bagian selatan mandala geologi Jawa Timur dicirikan oleh munculnya
Pegunungan Selatan yang dibangun oleh batuan volkanik laut dan ditutup oleh batuan karbonat yang
melampar ekstensif dengan kemiringan landai ke arah selatan. Sebaliknya, bagian selatan mandala geologi
Jawa Tengah dicirikan tidak munculnya Pegunungan Selatan ke permukaan. Daerah tinggian selatan Jawa
Tengah dibangun oleh serangkaian batuan sedimen volkanik laut yang terlipat kuat membentuk
Pegunungan Serayu Selatan. Ke arah timur di Propinsi Yogyakarta, Pegunungan Serayu Selatan dibatasi
oleh kompleks gunungapi Kulon Progo. Pertemuan kedua pegunungan tersebut di Yogyakarta membentuk
depresi atau rendahan yang dikenal dengan nama Cekungan Yogyakarta dan terisi oleh endapan Gunung
Merapi sebagai produk geologi yang berumur paling muda.
Keragaman informasi geomorfologi tersebut diatas, terutama yang terkait dengan proses geologi
pembentuknya, idealnya dapat dipresentasikan dalam wujud peta yang mudah dibaca dan dapat menjadi
acuan berbagai pihak yang terkait dan membutuhkan. Hingga saat ini peta geomorfologi untuk Propinsi D.I.
Yogyakarta baru dibuat oleh McDonald & Partners (1984). Meski demikian, informasi yang diberikan peta
tersebut masih bersifat umum tanpa memberikan gambaran proses geologi secara lengkap, terkait dengan
skalanya yang kecil. Padahal berbagai kajian ilmu kebumian yang bersifat ilmiah maupun terapan sangat
membutuhkan suatu peta geomorfologi yang baik dan bersifat standar.
Suatu pemetaan geomorfologi dilakukan untuk menyajikan gambaran sistematik dari bentuklahan
dan fenomena lain yang berhubungan. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta
sistem ITC mampu menampilkan berbagai aspek geomorfologi secara utuh, jelas dan mudah dibaca, serta
mampu menghimpun informasi geologi dasar berupa litologi dan struktur geologi (van Zuidam, 1983).
Metode sistem pemetaan ITC, yang dikembangkan oleh Institute for Aerial Survey and Earth Sciences,
Enschede, Belanda, dimaksudkan untuk tujuan analisis geomorfologi dengan menyertakan aspek-aspek
morfometri, morfografi, morfogenetik dan morfokronologi (Verstappen, 1970; Verstappen & van Zuidam,
1975; van Zuidam & van Zuidam-Cancelado, 1979; van Zuidam, 1983). Perhatian juga ditujukan pada aspek
litologi dan proses perubah bentuklahan. Upaya penerapan kajian geomorfologi dengan sistem ITC telah
pernah diterapkan oleh Srijono & Untung (1981) pada daerah yang sempit di Pantai Parangtritis,
Yogyakarta, dan Srijono, dkk. (2008) pada mandala Pegunungan Selatan bagian barat. Kedua kajian
tersebut menunjukkan bahwa metode ITC mudah diterapkan dan memberikan hasil yang memuaskan.
Tulisan ini berupaya untuk membuat peta geomorfologi dengan sistem serupa, dengan luasan daerah kajian
~32.000 km2 mengikuti batas mengikuti wilayah administratif Provinsi D.I. Yogyakarta. Diharapkan bahwa
tulisan ini mampu menghasilkan peta geomorfogi Provinsi D.I. Yogyakarta yang bersifat standar, serta
menjadi model bagi penerapan kajian serupa di daerah lain.
Geomorfologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mencakup banyak aspek terkait dengan
bentuklahan (landforms) dan perkembangannya. Aspek-aspek tersebut tidak selalu dapat dipresentasikan
dalam bentuk kalimat, terutama menyangkut bentuk, ukuran dan posisi. Untuk alasan tersebut, fenomena
geomorfologi dapat digambarkan dengan sangat baik melalui medium peta. Secara umum, peta
geomorfologi dikelompokkan menjadi kategori ‘umum’ dan ‘terapan’.
Konsep kajian geomorfologi dewasa ini menyebutkan peta geomorfologi kategori umum sebagai
‘peta analitis’ yang dihasilkan dari telaah monodisiplin mendalam, dan peta geomorfologi kategori terapan
sebagai ‘peta sintetis’ yang dihasilkan dari telaah multidisiplin dengan mempertimbangkan aspek ekologis
(Van Zuidam, 1983). Meski berbeda pendekatan antara kedua kategori peta tersebut, kajian geomorfologi
sintetis yang bersifat terapan membutuhkan kemampuan telaah mendalam yang mampu mengupas
berbagai aspek geomorfologi sebagai suatu monodisiplin.
Terdapat empat aspek penting dalam kajian geomorfologi analitis (Van Zuidam, 1983), yaitu (i)
morfologi atau tampilan relief, mencakup (a) morfografi atau aspek deskriptif geomorfologi suatu wilayah,
dan (b) morfometri atau aspek kuantitatif suatu wilayah; (ii) morfogenesa atau asalmula dan perkembangan
proses yang membentuk suatu bentuklahan, meliputi (a) morfostruktur pasif atau jenis batuan, (b)
morfostruktur aktif atau jenis struktur geologi akibat tektonik dan volkanisme, dan (c) morfodinamik atau
proses-proses eksogenik yang bekerja di permukaan bumi; (iii) morfokronologi atau penentuan urutan
proses terbentuknya berbagai bentuklahan; dan (iv) morfoaransemen atau hubungan spasial berbagai
bentuklahan dan prosesnya.
Suatu peta geomorfologi yang baik akan memuat semua atau sebanyak mungkin aspek-aspek
tersebut diatas. Perkembangan kajian geomorfologi dewasa ini menunjukkan peta sistem ITC mampu
menampilkan keempat aspek secara utuh, jelas dan mudah dibaca, serta telah menghimpun informasi
geologi dasar berupa litologi dan struktur geologi (Van Zuidam, 1983; Gambar 2). Peta geomorfologi sistem
ITC menggunakan beberapa tingkatan dalam menyajikan informasi bentuklahan, yaitu: (i) lapis pertama
berupa morfogenesa dan disajikan dalam simbol warna wilayah; (ii) lapis kedua berupa litologi dan
ditampilkan dalam warna mono terang; (iii) lapis ketiga berupa morfologi yang ditampilkan dengan simbol
alfabet dalam warna mono terang; (iv) lapis keempat berupa morfokronologi yang ditampilkan dengan simbol
alfabet warna hitam; dan (v) lapis terakhir bila diinginkan untuk memuat aspek morfodinamik.
Peta geomorfologi disajikan dalam skala tertentu, dimana skala yang terpilih ditentukan oleh dan
mempengaruhi pada jenis pekerjaan lapangan yang dilakukan (Van Zuidam, 1983). Secara umum, ada dua
kelompok peta berdasarkan skalanya, yaitu: (i) peta skala besar dan medium, terdiri dari dua kelas, yakni (a)
peta skala detail 1:10.000 – 1:25.000 yang harus dicek secara penuh di lapangan dan tidak ada atau sangat
sedikit generalisasi, dan (b) peta skala semi-detail 1:25.000 – 1:250.000 yang dilakukan dengan cek
lapangan secara umum dan ekstrapolasi dan generalisasi diperkenankan.; (ii) peta skala kecil, juga terbagi
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 2
dua kelas, yakni (a) peta skala kecil normal 1:250.000 – 1:5.000.000 yang hanya dilakukan cek lapangan
secara kasual dan dilakukan dengan generalisasi dan ekstrapolasi yang sangat besar, dan (b) peta
rekonaisans skala > 1:500.000 yang dikompilasi dari peta-peta skala besar dan medium serta sangat
digeneralisasi.
b. Bentangalam struktural
Bentangalam struktural dapat dikenali dalam 10 unit berbeda, mendominasi bagian utara
Pegunungan Selatan, bagian barat Pegunungan Kulon Progo, serta Perbukitan Sentolo. Pelamparan
yang luas dan kompleksitas bentukan mengindikasikan pengaruh tektonik yang dominan terhadap
Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut dapat dipahami bahwa letak Provinsi D.I. Yogyakarta yang berada
di depan busur volkanik (fore-arc) pada saat ini dan senantiasa berhadapan dengan jalur penunjaman
Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Benua Eurasia semenjak terbentuknya cekungan
pengendapan, membuat daerah ini mengalami sejarah tektonik yang berulang (multi-fase) dan
kompleks.
Sebagian bentangalam struktural tersusun oleh litologi batuan gunungapi piroklastik dan
epiklastik yang tersesarkan secara kuat, kedua hal inilah yang membedakannya dengan bentangalam
volkanik. Di Pegunungan Selatan, bentangalam struktural hadir secara khas di bagian utara, dimana
lajur-lajur sesar yang bersifat memanjang dan dikontrol oleh kehadiran tubuh volkanik modern
menghasilkan rangkaian pegunungan Kambengan, Plopoh dan Baturagung, yang bersifat memanjang
relatif berarah timur-barat. Pola serupa juga dapat diamati di bagian barat pada Lajur Baturagung yang
dikontrol oleh kehadiran sistem Sesar Opak yang berarah relatif timurlaut-baratdaya dan membatasinya
dengan Dataran Rendah Yogyakarta. Di Pegunungan Kulon Progo, bentangalam struktural hadir di
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 3
bagian tepi (periperal) dengan pola sesar yang cenderung bersifat radial. Batas utara Pegunungan
Kulon Progo merupakan suatu sesar melengkung (arcuate) berarah relatif Timur-Tenggara – Barat-
Baratlaut, menyerupai sesar-sesar batas utara Pegunungan Selatan.
Sebagian bentangalam struktural tersusun pula oleh litologi batugamping yang tersesarkan dan
terlipatkan secara lemah, tersebar di Perbukitan Sentolo dan bagian tengah Pegunungan Selatan.
Perbedaan derajat deformasi antara batuan produk volkanik Tersier Awal dan batugamping Tersier
Akhir lebih disebabkan pada umur, dimana batuan volkanik mengalami lebih banyak sejarah tektonik
dibandingkan dengan batugamping.
Bentangalam struktural terdiri dari 10 unit morfologi, yaitu morfologi perbukitan struktural terbiku
kuat, perbukitan struktural terbiku sedang, pegunungan struktural terbiku sedang, pegunungan struktural
terbiku kuat, teras struktural terbiku lemah, teras sturuktural terbiku sedang, teras struktural terbiku kuat,
perbukitan terisolasi, kuesta, dan cekungan denudasional.
c. Bentangalam kars
Bentangalam kars berkembang secara eksklusif di bagian selatan Pegunungan Selatan,
menempati kawasan yang dikenal sebagai Gunung Sewu. Dibatasi di bagian barat oleh bentangalam
struktural yang memisahkannya dengan Dataran Rendah Yogyakarta, dan bagian utara oleh Depresi
Wonosari serta Pegunungan Panggung. Kehadiran bentangalam ini yang mensyaratkan adanya
endapan batugamping yang cukup tebal menandakan sejarah genang laut daerah tersebut pada Tersier
Akhir yang lebih lama dibandingkan bagian utara, serta adanya periode pengangkatan yang episodik
yang memberikan kesempatan tahapan-tahapan karstifikasi untuk bekerja dengan baik. Secara
stratigrafis, bentangalam kars Gunung Sewu tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping berlapis
bersifat tufan dan napalan, yang dikelompokkan kedalam formasi Wonosari (Surono dkk., 1992;
Rahardjo dkk., 1995).
Selain di Pegunungan Selatan, bentangalam kars juga berkembang, meski tidak dominan, pada
Pegunungan Kulon Progo. Di daerah Jonggranan, bentangalam ini dibangun oleh batugamping terumbu
dan batugamping napalan dari Formasi Jonggrangan (Rahardjo dkk., 1995), hadir sebagai kerucut kars
membulat yang dikelilingi oleh dataran tepi kars. Sedangkan di daerah Paingan, kerucut kars membulat
hadir pada daerah yang sempit dan tersusun oleh kalkarenit Formasi Sentolo (Rahardjo dkk., 1995).
Bentangalam kars dikelompokkan menjadi dari 5 unit morfologi, yaitu kars konikal membulat,
kars konikal memanjang, kars konikal trapesoid, dataran tepi kars, dan lembah kering kars.
d. Bentangalam fluvial
Bentangalam fluvial berkembang secara terpisah-pisah diantara bentangalam-bentangalam
lainnya, sehingga secara umum dapat dikatakan sebagai suatu cekungan antar pegunungan struktural
yang aktif saat ini sebagai tempat deposisi sedimen yang berasal dari tinggian di sekitarnya. Penyusun
utama bentangalam ini adalah pasir lempungan dan pasir kerikilan, di beberapa tempat dijumpai
sebagai endapan rawa. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan fasies yang cepat dari fluvial
menjadi lakustrin akibat adanya pengaruh tektonik yang mengontrol perkembangan geomorfologi.
Di Pegunungan Selatan, bentangalam ini diidentifikasi pada dua lokasi, yaitu di sepanjang kaki
utara gawir Lajur Baturagung, serta di daerah Imogiri pada kaki barat gawir Lajur Baturagung. Di
Pegunungan Kulon Progo, bentangalam fluvial hadir secara luas pada kaki selatan perbukitan Sentolo,
dimana batas selatannya disusun oleh bentangalam eolian yang membentuk pesisir selatan Yogyakarta.
Pada batas kedua pegunungan tersebut, yaitu Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo,
terhadap Dataran Rendah Yogyakarta, berkembang dua sungai besar, yaitu Sungai Opak dan Sungai
Progo. Kedua sungai tersebut memiliki morfologi tubuh sungai yang dapat dikenali pada skala pemetaan
ini.
Ada empat unit morfologi bentangalam fluvial yang dapat dikenali, yaitu morfologi dataran banjir,
dataran banjir antar pegunungan, kipas aluvial non aktif, dan tubuh sungai.
e. Bentangalam eolian
Bentangalam eolian hanya berkembang di bagian baratdaya daerah kajian sebagai unit gumuk
pasir, menempati sepanjang pesisir selatan Dataran Rendah Yogyakarta hingga ke arah barat menerus
mencapai perbatasan provinsi. Tersusun oleh sedimen pasir yang dibawa oleh aliran tiga sungai utama
Simposium Geologi Yogyakarta - 23 Maret 2010 | 4
yang mengalir ke Samudera Hindia, yaitu sungai Opak, Progo, dan Serang, serta diendapkan kembali
oleh proses gelombang serta dibentuk oleh proses angin membentuk morfologi gumuk-gumuk pasir.
Jenis gumuk pasir yang dijumpai bervariasi, dari tipe transversal di tepi pantai diatas morfologi berm,
kemudian berkembang menjadi tipe parabola ke arah darat dan selanjutnya menjadi tipe longitudinal.
VI. Kesimpulan
Dalam kajian ini, pemetaan geomorfologi metode ITC dapat memberi arahan yang cepat dan cukup
akurat dalam membuat keluaran peta skala tinjau. Meskipun tidak menggunakan foto udara sebagaimana
yang dianjurkan, peta topografi standar skala 1:50.000 dan skala 1:25.000 yang dipergunakan dalam kajian
ini dapat dimanfaatkan secara efektif dalam mengidentifikasi dan mendelineasi unit-unit morfogenesa serta
tingkatan morfologinya. Hubungan antar unit morfologi dalam konteks geologi regional juga dapat dilakukan
dengan cepat berdasarkan pada pola pelamparan masing-masing unit. Pada penelitian ini, dijumpai lima
bentangalam genetik utama yang berkembang di Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu bentukan asal volkanik,
struktural, karst, fluvial, dan eolian.
Daftar Rujukan
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1977) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, edisi ke-
2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992), Peta Geologi lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The
Hague.
Van Zuidam, R.A. (1983) Guide to Geomorphologic Aerial Photographic Interpretation and Mapping. Section
of Geology and Geomorphology ITC, Enschede, The Netherlands, 324 pp.
Van Zuidam, R.A., and F.I. van Zuidam-Cancelado (1979) Terrain Analysis and Classification using Aerial
Photographs. ITC Textbook of Photo-interpretation, vol. VII-6, 348 pp.
Verstappen, H.Th. (1970) Introduction to the ITC-system of Geomorphological Survey. KNAG Geografisch
Tijdschrift, vol. 4(1), pp. 85-91.
Verstappen, H.Th., and R.A. van Zuidam (1975) ITC-system of Geomorphological Survey. ITC Textbook of
Photo-interpretation, vol. VII-2, 52 pp.